Professional Documents
Culture Documents
Dalam dunia medis yang semakin berkembang, peranan rumah sakit sangat penting
dalam menunjang kesehatan dari masyarakat. Maju atau mundurnya rumah sakit akan
sangat ditentukan oleh keberhasilan dari pihak-pihak yang bekerja di rumah sakit, dalam
hal ini dokter, perawat dan orang-orang yang berada di tempat tersebut. Dari pihak rumah
sakit diharapkan mampu memahami konsumennya secara keseluruhan agar dapat maju
dan berkembang.
Dalam pelayanan kesehatan, rumah sakit juga harus memperhatikan etika profesi tenaga
yang bekerja di rumah sakit yang bersangkutan. Akan tetapi, tenaga profesional yang
bekerja di rumah sakit dalam memberikan putusan secara profesional adalah mandiri.
Putusan tersebut harus dilandaskan atas kesadaran, tanggung jawab dan moral yang tinggi
sesuai dengan etika profesi masing-masing.1
Ditinjau dari segi ilmu kemasyarakatan dalam hal ini hubungan antara dokter dengan
pasien menunjukkan bahwa dokter memiliki posisi yang dominant, sedangkan pasien
hanya memiliki sikap pasif menunggu tanpa wewenang untuk melawan. Posisi demikian
ini secara historis berlangsung selama bertahun-tahun, dimana dokter memegang peranan
utama, baik karena pengetahuan dan ketrampilan khusus yang ia miliki, maupun karena
kewibawaan yang dibawa olehnya karena ia merupakan bagian kecil masyarakat yang
semenjak bertahun-tahun berkedudukan sebagai pihak yang memiliki otoritas bidang
dalam memberikan bantuan pengobatan berdasarkan kepercayaan penuh pasien.
Tenaga Kesehatan yang diberikan kepercayaan penuh oleh pasien, haruslah
memperhatikan baik buruknya tindakan dan selalu berhati-hati di dalam melaksanakan
tindakan medis. Dari tindakan medis tersebut tidak menutup kemungkinan terjadi suatu
kesalahan ataupun kelalaian. Kesalahan ataupun kelalaian yang dilakukan tenaga
kesehatan dalam melaksanakan tugas profesinya dapat berakibat fatal baik terhadap
badan maupun jiwa dari pasiennya, dan hal ini tentu saja sangat merugikan bagi pihak
pasien. Dari kesalahan ataupun kelalaian yang dilakukan tenaga kesehatan terhadap
pasien, menimbulkan pertanyaan, yaitu; adakah perlindungan hukum terhadap pasien,
dapatkah pasien yang dirugikan menuntut ganti rugi, dan siapa yang harus
bertanggung jawab atas kerugian yang menimpa pasien.
BAB I
PENDAHULUAN
1. Permasalahan
a. Latar Belakang Masalah
Dalam dunia medis yang semakin berkembang, peranan rumah sakit sangat penting
dalam menunjang kesehatan dari masyarakat. Maju atau mundurnya rumah sakit akan
sangat ditentukan oleh keberhasilan dari pihak-pihak yang bekerja di rumah sakit, dalam
hal ini dokter, perawat dan orang-orang yang berada di tempat tersebut. Dari pihak rumah
sakit diharapkan mampu memahami konsumennya secara keseluruhan agar dapat maju
dan berkembang.
Dalam pelayanan kesehatan, rumah sakit juga harus memperhatikan etika profesi tenaga
yang bekerja di rumah sakit yang bersangkutan. Akan tetapi, tenaga profesional yang
bekerja di rumah sakit dalam memberikan putusan secara profesional adalah mandiri.
Putusan tersebut harus dilandaskan atas kesadaran, tanggung jawab dan moral yang tinggi
sesuai dengan etika profesi masing-masing.1
Ditinjau dari segi ilmu kemasyarakatan dalam hal ini hubungan antara dokter dengan
pasien menunjukkan bahwa dokter memiliki posisi yang dominant, sedangkan pasien
hanya memiliki sikap pasif menunggu tanpa wewenang untuk melawan. Posisi demikian
ini secara historis berlangsung selama bertahun-tahun, dimana dokter memegang peranan
utama, baik karena pengetahuan dan ketrampilan khusus yang ia miliki, maupun karena
kewibawaan yang dibawa olehnya karena ia merupakan bagian kecil masyarakat yang
semenjak bertahun-tahun berkedudukan sebagai pihak yang memiliki otoritas bidang
dalam memberikan bantuan pengobatan berdasarkan kepercayaan penuh pasien.
Si pasien selaku konsumen, yaitu diartikan “setiap pemakai dan atau pengguna barang
dan atau jasa baik kepentingan sendiri maupun kepentingan orang lain”.2 Dan sudah
merasa bahagia apabila kepadanya dituliskan secarik kertas. Dari resep tersebut secara
implisit telah menunjukkan adanya pengakuan atas otoritas bidang ilmu yang dimiliki
oleh dokter yang bersangkutan. Otoritas bidang ilmu yang timbul dan kepercayaan
sepenuhnya dari pasien ini disebabkan karena ketidaktahuan pasien mengenai apa yang
dideritanya, dan obat apa yang diperlukan, dan disini hanya dokterlah yang tahu,
ditambah lagi dengan suasana yang serba tertutup dan rahasia yang meliputi jabatan
dokter tersebut yang dijamin oleh kode etik kedokteran. Kedudukan yang demikian tadi
semakin bertambah kuat karena ditambah dengan faktor masih langkanya jumlah tenaga
dokter, sehingga kedudukannya merupakan suatu monopoli baginya dalam memberikan
pelayanan pemeliharaan kesehatan. Lebih-lebih lagi karena sifat dari pelayanan kesehatan
ini merupakan psikologis pihak-pihak yang saling mengikatkan diri tidak berkedudukan
sederajat.
Tenaga Kesehatan yang diberikan kepercayaan penuh oleh pasien, haruslah
memperhatikan baik buruknya tindakan dan selalu berhati-hati di dalam melaksanakan
tindakan medis. Dari tindakan medis tersebut tidak menutup kemungkinan terjadi suatu
kesalahan ataupun kelalaian. Kesalahan ataupun kelalaian yang dilakukan tenaga
kesehatan dalam melaksanakan tugas profesinya dapat berakibat fatal baik terhadap
badan maupun jiwa dari pasiennya, dan hal ini tentu saja sangat merugikan bagi pihak
pasien. Dari kesalahan ataupun kelalaian yang dilakukan tenaga kesehatan terhadap
pasien, menimbulkan pertanyaan, yaitu; adakah perlindungan hukum terhadap
pasien, dapatkah pasien yang dirugikan menuntut ganti rugi, dan siapa yang harus
bertanggung jawab atas kerugian yang menimpa pasien.
Dengan latar belakang tersebut di atas, penulis mencoba mengangkat persoalan mengenai
“PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PASIEN SEBAGAI KONSUMEN JASA
DI BIDANG PELAYANAN MEDIS (SUATU TINJAUAN DARI SUDUT HUKUM
PERDATA)”
b. Rumusan Masalah
Di dalam penulisan skripsi ini sesuai dengan judul yang diketengahkan maka timbul
beberapa masalah yang dianggap perlu untuk mendapatkan penyelesaian atau
pembahasan. Adapun permasalahan yang akan dibahas dapat dirumuskan sebagai
berikut :
1. Adakah perlindungan hukum bagi pasien sebagai konsumen jasa pelayanan di bidang
medis ?
2. Dapatkah pihak pasien yang dirugikan sebagai konsumen jasa pelayanan medis
menuntut ganti rugi, dan apa dasarnya ?
3. Siapakah yang harus bertanggung jawab atas kerugian yang menimpa pasien sebagai
konsumen jasa pelayanan medis dimaksud ?
2. Telaah Pustaka
Dalam suatu peristiwa yang mana mengakibatkan kerugian terhadap seseorang, maka
sudah tentu merupakan kewajiban dari pihak yang melakukan kesalahan mengganti
kerugian. Seseorang dalam hal ini korban, dari tindakan tersebut mengalami kerugian
baik material maupun moril sehingga adalah sudah wajar kiranya kalau mereka yang
dirugikan tersebut mendapat imbalan berupa ganti rugi dari pihak yang merugikan.
Dalam menentukan pertanggung jawaban suatu tindakan yang mana salah satu pihaknya
dirugikan (konsumen), maka pihak korban dapat memperoleh sejumlah ganti kerugian
yang sepantasnya guna pembiayaan kerugian yang telah dideritanya. Hal tersebut terjadi
sehubungan dengan adanya suatu resiko yang harus diterima dan tidak dapat dibalikkan
kepada orang lain, sebab dengan terjadinya kesalahan yang menimbulkan korban, tidak
terlepas dari kerugian yang ditimbulkan. Sehingga, pada pihak penimbul kerugian wajib
untuk memberikan sejumlah ganti kerugian pada korbannya. “Menurut hukum yang
berlaku menyebutkan bahwa si pelaku perbuatan berkewajiban memberi ganti kerugian
pada seorang penderita kerugian”.3
Mengenai perlindungan hukum terhadap pasien sebagai konsumen jasa pelayanan medis
ada ketentuan yang mengatur. Pada dasarnya ketentuan yang mengatur perlindungan
hukum bagi konsumen dapat dijumpai pasal 1365 KUH Perdata. Disamping itu pasal
1365 KUH Perdata berisikan ketentuan antara lain sebagai berikut: “Tiap perbuatan
melawan hukum, yang membawa kerugian kepada seorang lain, mewajibkan orang yang
karena salahnya menerbitkan kerugian tersebut”.
Di dalam UU RI No. 23 / 1992 tentang kesehatan disebutkan juga perlindungan terhadap
pasien, yaitu pasal 55 yang berisikan ketentuan antara lain sebagai berikut:
(1) Setiap orang berhak atas ganti rugi akibat kesalahan atau kelalaian yang dilakukan
tenaga kesehatan,
(2) Ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pemberian hak atas ganti rugi merupakan suatu upaya untuk memberikan perlindungan
bagi setiap orang atas suatu akibat yang timbul, baik fisik maupun non fisik karena
kesalahan atau kelalaian tenaga kesehatan. Perlindungan ini sangat penting karena akibat
kelalaian atau kesalahan itu mungkin dapat menyebabkan kematian atau menimbulkan
cacat yang permanen.
Yang dimaksud dengan kerugian fisik adalah hilangnya atau tidak berfungsinya seluruh
atau sebagian organ tubuh, sedangkan kerugian non fisik berkaitan dengan martabat
seseorang.
Dalam Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen tidak diatur
dengan jelas mengenai pasien, tetapi pasien dalam hal ini juga merupakan seorang
konsumen.
Perlindungan hukum di bidang keperdataan menganut prinsip bahwa “ barang siapa
merugikan orang lain, harus memberikan ganti rugi”4.Jika seseorang merasa dirugikan
oleh warga masyarakat lain, tentu ia akan menggugat pihak lain itu agar bertanggung
jawab secara hukum atas perbuatannya. Dalam hal ini diantara mereka mungkin saja
sudah terdapat hubungan hukum berupa perjanjian di lapangan hukum keperdataan, tetapi
dapat pula sebaliknya, sama sekali tidak ada hubungan hukum demikian.
Jika seseorang sebagai konsumen melakukan hubungan hukum dengan pihak lain, dan
pihak lain itu melanggar perjanjian yang disepakati bersama, maka konsumen berhak
menggugat lawannya berdasarkan dalih melakukan wanprestasi (cedera janji). Apabila
sebelumnya tidak ada perjanjian, konsumen tetap saja memiliki hak untuk menuntut
secara perdata, yakni melalui ketentuan perbuatan melawan hukum. Dari ketentuan
tersebut diberikan kesempatan untuk menggugat sepanjang terpenuhi empat unsur, yaitu
terjadi perbuatan melawan hukum, ada kesalahan (yang dilakukan pihak lain atau
tergugat), ada kerugian (yang diderita si penggugat) dan ada hubungan kausal antara
kesalahan dengan kerugian itu.
Apabila terdapat kesalahan / kelalaian dari tindakan medik yang dilakukan oleh tenaga
medis ( dokter, perawat atau asisten lainnya ), dalam hal ini dari pihak konsumen yang
menderita kerugian dapat menuntut ganti rugi. Dari kerugian yang di alami oleh
konsumen, dalam hal ini mungkin tidak sedikit atau bisa juga dari kerugian tersebut
berakibat kurang baik bagi konsumen. Seseorang dapat dimintakan tanggung jawab
hukumnya (liable), kalau dia melakukan kelalaian / kesalahan dan kesalahan / kelalaian
itu menimbulkan kerugian. Orang yang menderita kerugian akibat kelalaian / kesalahan
orang itu, berhak untuk menggugat ganti rugi.5 Begitu pula terhadap kerugian yang
dialami pasien dalam pelayanan medis, pasien dalam hal ini dapat menuntut ganti rugi
atas kesalahan ataupun kelalaian dokter ataupun tenaga medis lainnya.
Mengenai tuntutan ganti kerugian secara perdata menurut pasal 1365 KUH Perdata,
pelaku harus mengganti kerugian sepenuhnya.6 Akan tetapi terdapat juga suatu ketentuan
hukum yang menentukan bahwa apabila kerugian ditimbulkan karena kesalahan sendiri,
ia harus menanggung kerugian tersebut. Dari rumusan tersebut dapat disimpulkan bahwa
pihak yang dirugikan cukup membuktikan bahwa kerugian yang diderita adalah akibat
perbuatan pelaku.
Menurut Van Gelein Vitringa dengan teori Schutznom, dinyatakan bahwa :
“Seseorang yang melakukan perbuatan melawan hukum dan karenanya melanggar suatu
norma hukum, hanya wajib membayar ganti rugi atas kerugian yang ditimbulkan, apabila
norma yang dilanggar bertujuan melindungi kepentingan orang yang dirugikan”.7
Menurut Pasal 1366 KUH Perdata, berisikan ketentuan antara lain sebagai berikut ; “
Setiap orang bertanggung jawab tidak saja untuk kerugian yang disebabkan
perbuatannya, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan kelalaiannya atau kurang hati-
hatinya”.
Dasar tuntutan dari pihak pasien (konsumen) juga dapat dilihat dalam UU No. 23 Tahun
1992 tentang kesehatan yaitu pasal 55. Dari ketentuan pasal tesebut maka dari pihak
paramedis diharuskan berhati hati di dalam melakukan tindakan medis yang mana dari
pihak pasien mempercayakan sepenuhnya akan tindakan tersebut.
Jika kembali kepada asas hukum dalam hukum perdata dapat dikatakan bahwa siapapun
yang tindakannya merupakan pihak lain, wajib memberikan ganti rugi kepada pihak yang
menderita kerugian tersebut. Dalam konsep dan teori dalam ilmu hukum, perbuatan yang
merugikan tersebut dapat lahir karena :
1. Tidak ditepatinya suatu perjanjian atau kesepakatan yang telah dibuat (yang pada
umumnya dikenal dengan istilah wan-prestasi) ; atau
2. Semata-mata lahir karena suatu perbuatan tersebut (atau yang dikenal dengan
perbuatan melawan hukum)8
Dalam perlindungan terhadap pasien sebagai konsumen jasa yang mana merasa dirugikan
oleh dokter ataupun pihak rumah sakit, dan tindakan tersebut menimbulkan suatu
kerugian yang tidak sedikit ataupun dari tindakan tersebut menimbulkan kematian, maka
dalam hal ini si pelanggar hukum masih tetap berwajib memberi ganti rugi.9 Dari wujud
ganti kerugian tersebut bertujuan untuk memperbaiki keadaan, dan dari pengganti
kerugian kebanyakan besar berupa sejumlah uang.
Pengganti kerugian tersebut harus dinilai menurut kemampuan maupun kedudukan dari
kedua belah pihak dan harus pula disesuaikan dengan keadaan. Ketentuan yang paling
akhir ini pada umumnya berlaku dalam hal memberikan ganti kerugian yang diterbitkan
dari suatu perbuatan melawan hukum terhadap pribadi seseorang.10
Dalam hal pertanggung jawaban atas pelayanan medis, yang mana pihak pasien merasa
dirugikan maka perlu untuk diketahui siapa yang terkait di dalam tenaga medis tersebut.
Tenaga Medis yang dimaksud adalah dokter, yang bekerjasama dengan tenaga
profesional lain di dalam menyelenggarakan dan memberikan pelayanan medis kepada
masyarakat atau pasien. Disamping perawat , tenaga profesional lain dalam bidang
kesehatan dan medis, seperti ahli laboratorium dan radiologi, pendidik dan penyuluh
kesehatan, penata berbagai peralatan dan perlengkapan medis, terutama dalam lembaga
pelayanan seperti rumah sakit, klinik spesialis, dan praktek bersama , sangat diperlukan
sebagai pendamping dokter.
Dokter juga memerlukan pembantu dalam bidang adminisrtrasi, asuransi, akuntansi,
hukum dan kemasyarakatan. Lembaga yang tampak kompleks, meskipun terorganisasi
rapi ini disebut “birokrasi pelayanan medis”.11
Jika dalam tindakan medis terjadi kesalahan dan mengakibatkan kerugian dari pihak
pasien, maka tanggung jawab tidak langsung kepada pihak rumah sakit. Mengenai
tanggung jawab terlebih dahulu harus melihat apakah kesalahan tersebut dilakukan oleh
dokter itu sendiri atau tenaga medis lain. Setiap masalah yang terjadi baik sengaja
ataupun tidak sengaja perlu diteliti terlebih dahulu. Jika kesalahan yang dilakukan oleh
para medis tersebut khusus dokter yang melakukan, biasanya pihak rumah sakit yang
bertanggung jawab secara umumnya. Dan dokter sebagai pelaksana tindakan juga dapat
dikenakan sanksi.
Terhadap tenaga kesehatan khususnya yang bekerja di rumah sakit, ada dua tenaga yaitu ;
tenaga dari PNS (Pegawai Negeri Sipil) dan Swasta. Di dalam melaksanakan tugas
profesinya, baik tenaga dari PNS ataupun Swasta mempunyai perbedaan dalam tanggung
jawab. Terhadap tenaga kesehatan (dokter) dari PNS yang melakukan kesalahan /
kelalaian dalam tindakan medis, biasanya dokter tersebut diberikan sanksi berupa
pemindahan kerja ke instansi kesehatan lain atau pemberhentian sementara. Sedangkan
terhadap dokter yang swasta, dalam hal melakukan kesalahan / kelalaian biasanya sanksi
yang dijatuhkan berupa diberhentikan oleh rumah sakit tempat ia bekerja. Dan akibat dari
kesalahan dokter atau paramedis lain yang menyebabkan kerugian terhadap pasien akan
menjadi beban bagi pihak rumah sakit.
Pemberian sanksi juga diatur dalam ketentuan Pasal 54 (1) UU No.23/ 1992 Tentang
kesehatan yaitu “ terhadap tenaga kesehatan yang melakukan kesalahan atau kelalaian
dalam melaksanakan profesinya dapat dikenakan tindakan disiplin”.
Mengenai tanggung jawab diatur dalam pasal 1367 KUH Perdata sebagai penjabaran
lebih lanjut mengenai siapa dan apa saja yang berada di bawah tanggung jawabnya.
Masalah tanggung jawab hukum perdata ini membawa akibat bahwa yang bersalah (yaitu
yang menimbulkan kerugian kepada pihak lain) harus membayar ganti rugi.
Tanggung Jawab dilihat dari segi hukum perdata mengandung beberapa aspek, yaitu
dapat ditimbulkan karena “wanprestasi”, karena perbuatan melanggar hukum, dapat juga
karena karena kurang hati-hatinya mengakibatkan matinya orang dan juga karena kurang
hati-hatinya menyebabkan cacat badan. Akibat perbuatan yang mengakibatkan kerugian
tersebut terbawa oleh karena sifat daripada perjanjian yang terjadi antara dokter dengan
pasien merupakan suatu perjanjian yang disebut “inspannings verbintenis”. Suatu
perjanjian yang harus dilaksanakan dengan teliti dan penuh hati-hati (inspanning)12 Dan
hubungan dokter dengan pasien ada juga dengan perikatan hasil, atau yang dikenal
dengan “resultaat verbintenis “.
Sehingga berdasarkan hal-hal yang telah disebutkan di depan,maka perlu kiranya
kepentingan pasien juga diperhatikan dengan mengadakan perlindungan terhadap korban
yang menderita kerugian dari kesalahan tenaga medis dengan mempercepat proses untuk
mendapatkan ganti rugi.
3. Hipotesis
Bertitik tolak dari hal tersebut di atas dalam telaah pustaka maka dapat diberikan jawaban
sementara (hipotesis) dari permasalahan yang ada yaitu :
1. Bahwa perlindungan hukum bagi pasien sebagai konsumen jasa pelayanan dibidang
medis ada, hal ini diatur dalam KUH Perdata, dan UU No. 23/1992 tentang kesehatan.
2. Bahwa pihak pasien yang dirugikan dapat menuntut ganti rugi terhadap kerugian yang
dideritanya akibat kesalahan dari tenaga medis, dan hal tersebut didasarkan, karena
pasien mempunyai hak untuk menuntut sesuai ketentuan dari pasal 1365 KUH Perdata
dan UU No.23 Tahun 1992.
3. a. Bahwa tanggung jawab atas kerugian yang dialami Pasien, dalam hal ini tidak
langsung kepada pihak rumah sakit. Melainkan, dengan melihat terlebih dahulu pelaksana
daripada pelayanan kesehatan (Negeri atau Swasta).
b Terhadap tenaga kesehatan yang melakukan kesalahan atau kelalaian dalam
melaksanakan profesinya dapat dikenakan tindakan disiplin. Hal ini sesuai ketentuan
Pasal 54 (1) UU No.23 / 1992 Tentang Kesehatan.
4. Tujuan Penulisan
Dalam penulisan skripsi sebagai suatu penulisan ilmiah haruslah mempunyai tujuan
tertentu yang hendak dicapai. Adapun tujuan dari penulisan skripsi ini adalah sebagai
berikut :
a. Tujuan Umum
Untuk mengetahui secara lebih mendalam mengenai perlindungan hukum terhadap
pasien sebagai konsumen jasa di bidang pelayanan medis.
b. Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui tentang ada atau tidaknya perlindungan hukum bagi pasien sebagai
konsumen jasa di bidang pelayanan medis.
2. Untuk mengetahui apakah pihak pasien yang dirugikan sebagai konsumen jasa
pelayanan medis, dapat menuntut ganti rugi.
3. Untuk mengetahui siapakah yang harus bertanggung jawab atas kerugian yang
menimpa pasien.
5. Metode Penelitian
a. Pendekatan Masalah
Dalam rangka membahas masalah yang terdapat dalam skripsi ini digunakan pendekatan
secara yuridis sosiologis. Pendekatan yuridis yaitu pendekatan yang didasarkan pada
peraturan perundang-undangan yang berlaku, sedangkan pendekatan sosiologis yaitu
didasarkan pada hasil penelitian lapangan yang terkait dengan penerapan peraturan
perundang-undangan tersebut dalam praktek.
b. Sumber Data
Data yang diperoleh dalam penelitian didapat dari 2 sumber;
1. Penelitian Kepustakaan (Library Reseacrh) adalah: suatu penelitian dengan pengkajian
melalui buku-buku, dokumen-dokumen serta perundang-undangan yang relevan dengan
masalah yang akan dibahas.
2. Penelitian lapangan (field research) dimaksudkan untuk mengadakan pengamatan
secara langsung dalam kenyataannya di lapangan.
c. Teknik Pengumpulan Data
Untuk data sekunder, teknik pengumpulannya dilakukan melalui studi pustaka, yaitu
dengan membaca peraturan perundang-undangan yang berlaku, buku literatur serta
dokumen-dokumen lain yang ada kaitannya dengan permasalahan yang akan dibahas.
Sedangkan untuk data primer pengumpulannya diperoleh dengan teknik wawancara
dengan para nara sumber di lapangan, dalam hal ini Rumah Sakit Sanglah dan YLKI
Bali.. Wawancara dilakukan dengan memakai pedoman wawancara yang berupa daftar
pertanyaan yang sudah tersedia.
BAB III
PELAYANAN MEDIS OLEH TENAGA KESEHATAN
DAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PASIEN
SEBAGAI KONSUMEN
Kewajiban –Kewajiban
Kewajiban dokter menurut oleh Fred Ameln
1. Kewajiban yang berhubungan dengan standar medis. Pengertian “ standar medis”
dapat dirumuskan sebagai suatu cara melakukan tindakan medis dalam suatu kasus
kongkrit menurut suatu ukuran tertentu yang didasarkian pada ilmu medis dan
pengalaman.
2. Kewajiban – kewajiban yang berhubungan dengan fungsi social pemeliharaan
kesehatan. Pada kelompok ini kepentingan masyarakat yang menonjol dan bukan
kepentingan pasien. Sehingga dalam melakukan kewajibannya dokter harus
mempertimbangkan untuk tidak menulis resep obat-obatan yang tidak begiti perlu
3. Kewajiban-kewajiban yang berhubungan dengan tujuan ilmu kedokteran.
Adapun tujuan ilmu kedokteran dapat dirumuskan sebagai berikut;
a. menyembuhkan dan mencegah penyakit. Artinya, bahwa dokter harus melakukan
tindakan medis yang ada gunanya, yaitu mengandung kemungkinan untuk
menyembuhkan pasien, atau untuk menghentikan proses penyakit.
b. Meringankan penderitaan
c. Mengantar pasien termasuk menghadapi akhir hidupnya.
4. Kewajiban- kewajiban yang berhubungan dengan prinsip keseimbangan
Dokter harus menjaga keseimbangan antara tindakan-tindakannya dengan tujuan uang
ingin dicapai dari tindakan tersebut. Misalnya melakukan tindakan diagnostic yang berat
terhadap suatu penyakit yang relative ringan tidaklah memenuhi prinsip keseimbangan.
Dokter haruslah selalu membandingkan tujuan tindakan medisnya dengan resiko dan
tindakan tersebut, dan ia harus berusaha mencapai tujuan itu dengan resiko yang terkecil.
5. Kewajiban yang berhubungan dengan hak-hak pasien
Seorang dokter ataupun tenaga keserhatan lainya mempunyai kewajiban umum, misalnya
untuk senantiasa memelihara pengetahuan dan ilmunya dengan sebaik-baiknya. Terhadap
pasien, seorang dokter haruslah membantu sepenuhnya.
Dalam kode etik kedokteran juga dirumuskan mengenai kewajiban dokter terhadap
paasien yaitu pasal 10 sampai pasal 14 yang berbunyi;
Pasal 10; “setiap dokter harus senantiasa mengingat kewajibannya melindungi hidup
Makhluk insani”
Pasal 11, “ setiap dokter wajib bersikap tulus iklhas dan mempergunakan segala ilmu dan
ketrampilan untuk kepentingan penderita”
Pasal 12, “ setiap dokter harus memberikan kesempatan kepada penderita agar senantiasa
dapat berhubungan dengan keluarga dan penasehatnya dalam beribadat dan atau dalam
masalah lainnya”
Pasal 13, ” setiap dokter wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang
seorang penderita juga setelah penderita itu meninggal dunia”
Pasal 14, “ setiap dokter wajib melakukan pertolongan darurat sebagai suatu tugas
perikemanusiaan kecuali bila ia yakin ada orang lain bersedia dan mampu
memberikannya”.
Dalam pasal 2 kode etik kedokteran menyebutkan bahwa kewajiban seorang dokter harus
dilakukan menurut ukuran yang tertinggi, maksudnya adalah bahwa dalam melakukan
profesinya, dokter haruslah bertindak sesuai dengan ukuran ilmu kedokteran , etika
umum, etika kedokteran, hukum, dan agama.
Menurut Ibu Astri di YLKI dalam wawancara tanggal 11 Novenber 2003, berpendapat;
Tenaga kesehatan ( bidan ) yang merupakan public service, yang mana di dalam
melaksankan pertolongan terhadap pasien sudah benar, namun bidan dalam hal ini
melakukan kelalaian terhadap pihak pasien, karena pada waktu menyuruh ke rumah sakit
sanglah , bidan tersebut tidak mendampingi langsung pasien , melainkan dengan
mengendarai kendaraan pribadi.
Pasal 1365 KUH Perdata menyebutkan bahwa” tiap perbuatan melanggar hukum, yang
membawa kerugian kepada seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya
menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut. Begitu pula terhadap ketentuan
Pasal 1366 KUH Perdata yang menyebutkan; “ setiap orang yang bertanggung jawab
tidak saja untuk kerugian yang disebabkan perbuatannya, tetapi juga untuk kerugian yang
disebabkan kelalaian atau kurang hati –hatinya.
Dilihat dalam UU No. 8 / 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, yang mana konsumen
dapat menuntut haknya atas kerugian yang diterima, yaitu dalam pasal 4 (h). UU No. 8/
1999 melindungi kepentingan konsumen karena didasari atas kedudukan konsumen yang
lebih lemah.
3. Pihak Tenaga Kesehatan Yang Mesti Bertanggung Jawab Atas Kerugian Pasien
Kasus hukum dalam pelayanan medis umumnya terjadi di rumah sakit dimana tenaga
kesehatan bekerja. Rumah sakit merupakan suatu yang pada pokoknya dapat
dikelompokkan menjadi;37
- pelayanan medis dalam arti luas yang menyangkut kegiatan promotif, preventif,
kuratif ,dan rehabilitatif
- pendidikan dan latihan tenaga medis
- penelitian dan pengembangan ilmu kedokteran
Pertanggung jawaban hukum rumah sakit, dalam hal ini badan hukum yang memilikinya
bisa dituntut atas kerugian yang terjadi, bisa secara;
1. langsung sebagai pihak, pada suatu perjanjian bila ada wanprestasi, atau
2. tidak langsung sebagai majikan bila karyawannya dalam pengertian peraturan
perundang-undangan melakukan perbuatan melanggar hukum
Tenaga Kesehatan yang berpraktek di rumah sakit bisa merupakan karyawan, misalnya
dokter disebut ( dokter purnawaktu ) atau sebagai dokter tamu (visiting doctor).
Kadangkala pasien sulit mengetahui status dokter yang merawatnya. Di samping itu ada
pendapat yang mengatakan bahwa RS sebagai suatu lembaga yang memberikan
pelayanan perawatan dan pengobatan, bertanggung jawab atas segala peristiwa yang
terjadi di dalamnya. Atas dasar itu timbul doktrin Corporate Liability dimana secara
resmi terhadap pasien yang di rawat, RS bertanggung jawab atas pengendalian mutu
secara keseluruhan dari pelayanan yang diberikan. Jika terjadi kesalahan yang dilakukan
tenaga kesehatan di rumah sakit bersangkutan, selain tenaga kesehatan yang melakukan
tindakan, rumah sakit dalam hal ini juga bertanggung jawab atas bawahannya.
Sanksi yang dijauhkan kepada tenaga kesehata yang melakukan kesalahan ataupun
kelalaian dapat berupa; nasehat- nasehat dan anjuran , teguran-teguran keras, usul
pencabutan ijin praktek , usul pemindahan ke tempat lain. Terhadap tenaga PNS yang
bekerja di Rumah sakit yang terbukti bersalah, sanksi yang diberikan kemungkinan
dipindahkan ke tempat lain, sedangkan terhadap tenaga swasta biasanya sanksi yang
diberikan berupa diberhentikan sementara dari tugasnya atau dipecat.
Doktrin Vicarious Liability Let The Master Answer, ( Majikan – Karyawan ) bisa
diterapkan dalam hubungan rumah sakit dengan karyawannya. Sehubungan dengan
doktrin Vicarious Liability ini ada yang disebut doktrin Captain Of The Ship yang
berlaku bagi dokter bedah yang melakukan operasi di rumah sakit. Dokter bedah tersebut,
dalam hal ini tidak bekerja dalam kaitan langsung untuk dan atas nama rumah sakit,38
misalnya dokter tamu atau dokter karyawan untuk pasien pribadinya. Dokter itu dianggap
bertanggung jawab atas kesalahan stafnya termasuk perawat bedah. Dalam hal ini
perawat tersebut yang merupakan karyawan RS dianggap dipinjamkan, sehingga
tanggung jawab itu beralih kepada si pemakai yaitu dokter bedah. Pasien yang menuntut
harus memastikan dulu apakah dokter bedah itu bertnaggung jawab atas doktrin
Majikan–Karyawan dan apakah dokter itu mengawasi dan memberikan segala instruksi
kepada perawat pada saat peristiwa itu terjadi. Khusus mengenai dokter anestesi, dokter
bedah tidak bertanggung jawab terhadap tindakannya yang pada umumnya sudah
dianggap bertanggung jawab penuh sendiri atas segala tindakannya. Biasanya di dalam
kamar induksi Captain Of The Shipnya adalah anestisiolog.
BAB V
KASUS DAN ANALISA
1. Kasus
No. Perkara: 28 / Pdt. G / 2003/ PN. DPS
Penggugat ; Juli Christina (31tahun), Kristen, Wiraswasta, Alamat; Jl. Buana Kubu Gg
Asem XIV B / 3 Dps,
Penggugat ; Bambang Santoso (28 tahun ), Wiraswata, Alamat sama.
Selanjutnya disebut Penggugat I dan Penggugat II melawan;
Tergugat :
I Gusti Ayu Suniti;Bidan pada Rumah Bersalin Ikatan Bidan Bali, Jl. Buana Kubu No;51
Dps, selanjutnya disebut tergugat I
I Gusti Rai Widiasih : Pimpinan Runah Bersalin Ikatan Bali , Jl. Buana Kubu No;51 Dps,
selanjutnya disebut tergugat II
Ni Wayan Suri, SKm : Ketua Yayasan Buah Delima, Jl. Buana Kubu No;51 Dps,
selanjutnya disebut tergugat III.
Kasus Posisi :
Bahwa Penggugat I & 2 adalah suami istri. Dari hasil perkawinan tersebut penggugat I
mulai mengandung anak pertama. Dari pemeriksaan di Rumah Bersalin Ikatan Bidan Bali
tersebut, selalu dinyatakan kandungan penggugat I dalam keadaan normal dan kondisi
bayi serta Ibu sehat- sehat, tidak ada kelainan apapun. Dari pemeriksaan itu juga diawasi
oleh dokter Made Suyasa Jaya, Sp OG. Pada tanggal 11 agustus 2002, jam 20.00 wita,
perut penggugat I terasa sakit ( gejala mau melahirkan), kemudian diajak oleh penggugat
II ke RB Ikatan Bidan Bali untuk melakukan persalinan.Dan pada jam 21.00 wita, Bidan
I Gusti Ayu Suniti (tergugat I) mulai memeriksa kandungan penggugat I, dan
memberikan petunjuk kepada penggugat I mengenai cara bernafas saat mau melahirkan ;
Tergugat I juga melakukan pemeriksaan detak jantung bayi dalam kandungan. Pada jam
21.30 wita terjadi kecelakaan lalu-lintas di depan RB tersebut, kemudian tergugat I keluar
dari ruangan dan meninggalkan pengugat I dan I. Pada jam 22.15 wita, tergugat baru lagi
ke kamar periksa. Selanjutnya tergugat I melakukan pemecahan ketuban penggugat I.
Dan saat ketuban penggugat I telah dipecahkan oleh tergugat I, seketika itu tergugat I
tampak kaget, panik serta kebingungan. Setelah itu tergugat I langsung menyuruh
penggugat II untuk membawa penggugat I ke RSUP Sanglah Dps. Atas suruhan tergugat
I, penggugat II mengantar pengguggat I ke RSUP Sanglah Dps dengan mempergunakan
kendaraan Mobil Bix milik penggugat II tanpa ditemani tergugat I. Pada jam 22.45
penggugat I dan II sampai di RSUP Sanglah, langsung dibawa ke IRD RSUP Sanglah
Dps. Tergugat I tiba di RSUP Sanglah pada jam 22.55 dengan mengendarai mobil
sendiri. Pada saat itu penggugat I sedang ditangani oleh tim medis RSUP Sanglah, dan
tanggal 11 Agustus 2002 jam 23.10 wita, penggugat I melahirkan, namun bayi tersebut
lahir dalam keadaan meninggal.
Bahwa sesuai dengan keterangan pihak RSUP Sangah tanggal 30 agustus 2002, penyebab
kematian bayi adalah Prolaps Tali Pusat dan kematian sudah dalam kandungan. Karena
akibat tidak seriusnya dan tidak hati- hatinya tergugat I di dalam menangani persalinan
penggugat I, serta tidak lengkapnya sarana yang dimiliki oleh RB tersebut, sehingga dari
perbuatan itu telah mengakibatkan meninggalnya bayi pertama dan satu –satunya dari
penggugat I dan penggugat II.
Tergugat II adalah pimpinan dari Rumah Bersalin tersebut di atas, bertanggung jawab
penuh atas aktifitas dari RB tersebut, mengawasi semua staf yang ada di rumah bersalin,
termasuk terhadap tindakan yang dilakukan tergugat I. Bahwa tergugat III adalah
pimpinan Yayasan Buah Delima yang memiliki Rumah beralin tersebut. Sebagai ketua
yayasan, tergugat III bertanggung jawab pula terhadap keberadaan dari rumah bersalin,
termasuk terhadap pimpinan rumah bersalin tersebut yaitu tergugat II.
Sesuai dengan UU Kesehatan No; 23 /1992 Tentang Kesehatan, PP No. 32 / 1996 tentang
Tenaga Kesehatan serta pasal 1365 dan pasal 1366 KUH Perdata. Perbuatan Tergugat I,
II, III adalah perbuatan melawan hukum, maka para penggugat berhak menuntut ganti
rugi kepada tergugat I, II, III.
Adapun tuntutan ganti rugi dari penggugat yaitu:
- Ganti Rugi Materiil ; biaya pemeriksaan kandungan, susu untuk ibu, obat-obatan, biaya
ambulan, sewa tempat, biaya pemakaman , biaya lain-lain. Kerugian materiil seluruhnya
sebesar Rp. 23.035.000,- ( dua puluh juta tiga pulu lima ribu rupiah).
- Ganti Rugi Moril ; sebesar Rp. 1000.000.000,- ( sati miyar rupiah) mengingat betapa
besar rasa duka, sedih kecewa akibat meninggalnya bayi pertama yang sangat di
dambakan oleh penggugat.
Dalam perkara perdata / tentang gugatan ganti rugi;
1. mengabulkan gugatan para pengugat seluruhnya,
2. menyatakan sah dan berharaga sita jaminan dalam perkara ini,
3. menyatakan perbuatan para tergugat dalam perkara ini adalah sebagai perbuatan
melawan hukum,
4. menghukum para tergugat secara tanggung renteng untuk membayar ganti kerugian
kepada para pengguagt berupa kerugia materi sebesar 23.035.000,- ( dua puluh tiga juta
tiga puluh lima ribu rupiah) yang harus dibayar secara seketika dan sekaligus,
5. menghukum para tergugat untuk membayar ganti rugi kepada penggugat secara
tanggung renteng akibat kerugian moril yang dinilai dengan uang berjumlah
1.000.000.000,- (satu miliyar rupiah) atau sejumlah yang dianggap pantas dan adil
menurut hukum yang harus dibayar secara seketika dan sekaligus,
6. menghukum para tergugat membayar biaya perkara,
Atau mohon keputusan yang seadil-adilnya;
Putusan Hakim:
Dengan melihat bukti baik yang diajukan oleh para penggugat dan mendengarkan
keterangan dari para saksi maupun dari keterangan para tergugat, serta dengan beberapa
pertimbangan hakim akhirnya Majelis hakim Pengadilan Negeri Denpasar memutuskan;
- menolak gugatan para penggugat seluruhnya,
- menghukum para penggugat untuk membayar biaya perkara yang berjumlah Rp
309.000,- ( tiga ratus sembilan ribu rupiah);
Demikianlah Demikianlah diputuskan dalam rapat permusyawaratan Majelis Hakim pada
hari ; selasa 27 Mei 2003, oleh; I wayan Sugawa, SH sebagai Ketua Majelis, I Gusti
Lanang Dauh, SH dan Arifin,SH masing-masing sebagai hakim anggota berdasarkan
Penetapan Ketua Pengadilan Negeri Denpasar tanggal 06 Pebruari 2003 No. 28/ Pdt/ G/
2003/ PN. Dps putusan mana diucapkan dalam sidang yang terbuka untuk umum pada
hari ini juga oleh Ketua Majelis dan hakim-hakim anggota tersebut dengan dibantu oleh
Ni Ketut Sri Menawati, SH Panitera pengganti serta dihadiri pula oleh kuasa para
penggugat dan para tergugat.
Catatan: Bahwa dari pihak para penggugat mengajukan banding.
2. Analisa Kasus
Dari Putusan Pengadilan Negeri Denpasar No. 28/ Pdt. G/ 2003/ PN.Dps, yang menjadi
perhatian penulis adalah mengenai Perlindungan Pasien sebagai Konsumen Jasa
Pelayanan Medis dari kasus diatas.
Dilihat dari ketentuan pasal 54 (2) UU No. 23/ 1992 tentang kesehatan menyatakan;
penentuan ada tidaknya kesalahan atau sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditentukan
oleh Majelis Disiplin Tenaga Kesehatan dan didalam penjelasannya pasal tersebut
maksud dari ayat (2) adalah untuk memberikan perlindungan yang seimbang dan obyektif
baik kepada tenaga kesehatan maupun pihak penerima pelayanan kesehatan.
Pertimbangan ada tidaknya kesalahan atau kelalaian atas penerapan standar profesi
dilakukan oleh suatu Majelis. Majelis ini tidak hanya terdiri dari tenaga kesehatan saja,
tetapi juga tenaga bidang lain yang berkaitan seperti ahli hukum, ahli psikologi, ahli
sosiologi, ahli agama.
Berdasarkan pasal 55 ayat (1) UU No.23/ 1992 berbunyi; Setiap orang berhak atas ganti
rugi akibat kesalahan atau kelalaian yang dilakukan tenaga kesehatan, dalam penjelasan
UU tersebut dimaksud pemberian hak atas ganti rugi merupakan suatu upaya untuk
memberikan perlindungan kepada setiap orang atas suatu akibat yang timbul, baik fisik
maupun non fisik karena kesalahan atau kelalaian tenaga kesehatan.
Dari kasus diatas, berdasarkan surat –surat bukti dan keterangan saksi penggugat I dan
tergugat, bayi dari penggugat I & II lahir di RS Sanglah dalam keadaan mati yang
disebabkan oleh Prolaps Tali Pusar.
Penulis berpendapat, bahwa bidan (tergugat I ) telah melakukan pertolongan dengan baik,
dari pemeriksaan, maupun pemberian petunjuk saat mau melahirkan. Tetapi pada waktu
ketuban penggugat pecah, bidan langsung menyuruh penggugat II ( suami penggugat I)
untuk segera membawa penggugat I ke RS Sanglah. Pada saat penggugat II membawa
penggugat I ke RS, bidan seharusnya mendampingi penggugat I langsung ke rumah sakit.
Jika melihat kondisi dari penggugat I sudah mau melahirkan, seharusnya bidan ada dan
menberikan petunjuk ataupun bantuan lain gunan membantu memperingan penderitaan
pasien.
BAB VI
PENUTUP
1. Kesimpulan
Berdasarkan atas apa yang telah diuraikan dalam bab – bab tersebut di atas, maka dapat
diambil suatu kesimpulan sebagai berikut ;
a. Bahwa perlindungan hukum terhadap pasien ada, hal ini diatur di dalam UU No. 23/
1992 Tentang Kesehatan, Peraturan Pemerintah RI No. 32 / 1996 Tentang Tenaga
Kesehatan dan KUH Perdata.
b. Pihak pasien, dapat menuntut ganti rugi terhadap kesalahan / kelalaian tenaga medis,
yang didasarkan ketentuan Pasal 1365-1366 KUH Perdata, Pasal 55 dari UU No. 23 /
1992 Tentang Kesehatan dan Pasal 23 dari PP RI No. 32 / 1996 Tentang Tenaga
Kesehatan.
c. Mengenai siapa yang harus bertanggung jawab terhadap kerugian pasien yaitu rumah
sakit tidak selalu bertanggung jawab jika terjadi kesalahan dari tenaga kesehatan di
Rumah Sakit bersangkutan, karena dari tenaga kesehatan sendiri ada yang langsung
bertangung jawab atas kerugian yang dialami pasien.
2. Saran
Hendaknya perlindungan hukum terhadap pasien maupun perlindungan dan tanggung
jawab tenaga kesehatan haruslah diatur dalam undang – undang tersendiri. Pengaturan
khusus ini diperlukan baik untuk kepentingan pasien itu sendiri dan tenaga kesehatan.
Dari pihak pasien sendiri jika merasa tidak puas terhadap tindakan tenaga kesehatan,
janganlah mengambil kesimpulan dan mengganggap kesalahan selalu berada pada pihak
tenaga kesehatan.
DAFTAR BACAAN
I BUKU
Benyamin Lumenta, Pasien, Citra, Peran, dan Perilaku, Kanisius, Yogyakarta, 1989
………..................., Pelayanan Medis, Citra, Konflik, dan Harapan, Kanisius,
Yogyakarta, 1989
Chrisdiono. M. Achadiat, Pernik – Pernik Hukum Kedokteran, Melindungi Pasien dan
Dokter, Cet I, Widya Medika, Jakarta, 1996
Danny Wiradharma, Penuntut Kuliah Hukum Kedokteran, Binarupa Aksara, Jakarta,
1996
Djamali.R Abdoel & L.Terja Permana, Tanggung Jawab Hukum Seorang Dokter Dalam
Menangani Pasien, Abardin, Jakarta, 1988
Gunawan Widjaya & Yani Ahmad, Hukum Tentang Perlindungan Konsumen, PT
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2000
Guwandi. J, Malpraktek Medik, Universitas Indonesia, Jakrta, 1993
Hermien Hadiati & Keoswadji, Hukum dan Masalah Medik, Airlangga, Surabaya, 1984
Jusuf Hanafiah & Amir Amri, Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan, Cet. III,
Kedokteran EGC, Jakarta 1999
Leenen & Lamintang, Pelayanan Kesehatan dan Hukum, Binacipta, Bandung, 1991
Moegni Djojodirjo, Perbuatan Melawan Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta, 1979
III. Makalah
Koplogan, I. Wayan, Peranan Pasien Terhadap Timbulnya Malpraktek Kedokteran,
Hukum UNUD, 1990
DAFTAR INFORMAN
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL i
HALAMAN PENGESAHAN ii
KATA PENGANTAR iii
DAFTAR ISI v
BAB I PENDAHULUAN
1. Permasalahan 1
b. Latar Belakang Masalah 1
c. Rumusan Masalah 3
d. Ruang Lingkup Masalah 4
2 Telaah Pustaka 4
3 Hipotesis 12
4 Tujuan Penulisan 13
5 Metode Penelitian 14
a. Pendekatan masalah 14
b. Sumber data 14
c. Teknik pengumpulan data 15
d. Teknik Pengolahan dan analisis data 15
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PASIEN SEBAGAI KONSUMEN JASA
PELAYANAN DI BIDANG MEDIS
1 Pengertian dan Hak-hak Yang Di miliki Konsumen
2. Pasien Sebagai Konsumen Jasa Pelayanan di Bidang Medis
3. Pengertian dan Katagori Tenaga Kesahatan
BAB III PELAYANAN MEDIS OLEH TENAGA KESEHATAN DAN
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PASIEN SEBAGAI KONSUMEN
1 Hubungan Hukum Antara Pasien Dengan Tenaga Kesehatan.
2. Hak Dan Kewajiban Tenaga Kesehatan
3. Hak Dan Kewajiban Pasien Sebagai Konsumen
4. Perlindungan Terhadap Pasien Atas Pelanggaran Di Bidang Pelayanan Medis
BAB IV TANGGUNG JAWAB TENAGA KESEHATAN ATAS KERUGIAN YANG
DIDERITA PASIEN SEBAGAI KONSUMEN
1 Kerugian Pasien sebagai Konsumen di Bidang Pelayanan Medis
2 Tuntutan Ganti Rugi dari Pasien Yang Dirugikan
3 Pihak Tenaga Kesehatan Yang Mesti Bertanggung Jawab Atas Kerugian Pasien
BAB V KASUS DAN ANALISA
1. Kasus………………………………………………………........
2. Analisa……………………………………………………….....
BAB VI PENUTUP
1. Kesimpulan
2. Saran
DAFTAR BACAAN
DAFTAR INFORMAN
LAMPIRAN-LAMPIRAN
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PASIEN SEBAGAI KONSUMEN JASA DI
BIDANG PELAYANAN MEDIS
(Suatu Tinjauan Dari Sudut Hukum Perdata)
OLEH
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS UDAYANA
BUKIT JIMBARAN
2003