You are on page 1of 28

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PASIEN SEBAGAI KONSUMEN JASA DI

BIDANG PELAYANAN MEDIS (SUATU TINJAUAN DARI SUDUT HUKUM


PERDATA)

Dalam dunia medis yang semakin berkembang, peranan rumah sakit sangat penting
dalam menunjang kesehatan dari masyarakat. Maju atau mundurnya rumah sakit akan
sangat ditentukan oleh keberhasilan dari pihak-pihak yang bekerja di rumah sakit, dalam
hal ini dokter, perawat dan orang-orang yang berada di tempat tersebut. Dari pihak rumah
sakit diharapkan mampu memahami konsumennya secara keseluruhan agar dapat maju
dan berkembang.
Dalam pelayanan kesehatan, rumah sakit juga harus memperhatikan etika profesi tenaga
yang bekerja di rumah sakit yang bersangkutan. Akan tetapi, tenaga profesional yang
bekerja di rumah sakit dalam memberikan putusan secara profesional adalah mandiri.
Putusan tersebut harus dilandaskan atas kesadaran, tanggung jawab dan moral yang tinggi
sesuai dengan etika profesi masing-masing.1
Ditinjau dari segi ilmu kemasyarakatan dalam hal ini hubungan antara dokter dengan
pasien menunjukkan bahwa dokter memiliki posisi yang dominant, sedangkan pasien
hanya memiliki sikap pasif menunggu tanpa wewenang untuk melawan. Posisi demikian
ini secara historis berlangsung selama bertahun-tahun, dimana dokter memegang peranan
utama, baik karena pengetahuan dan ketrampilan khusus yang ia miliki, maupun karena
kewibawaan yang dibawa olehnya karena ia merupakan bagian kecil masyarakat yang
semenjak bertahun-tahun berkedudukan sebagai pihak yang memiliki otoritas bidang
dalam memberikan bantuan pengobatan berdasarkan kepercayaan penuh pasien.
Tenaga Kesehatan yang diberikan kepercayaan penuh oleh pasien, haruslah
memperhatikan baik buruknya tindakan dan selalu berhati-hati di dalam melaksanakan
tindakan medis. Dari tindakan medis tersebut tidak menutup kemungkinan terjadi suatu
kesalahan ataupun kelalaian. Kesalahan ataupun kelalaian yang dilakukan tenaga
kesehatan dalam melaksanakan tugas profesinya dapat berakibat fatal baik terhadap
badan maupun jiwa dari pasiennya, dan hal ini tentu saja sangat merugikan bagi pihak
pasien. Dari kesalahan ataupun kelalaian yang dilakukan tenaga kesehatan terhadap
pasien, menimbulkan pertanyaan, yaitu; adakah perlindungan hukum terhadap pasien,
dapatkah pasien yang dirugikan menuntut ganti rugi, dan siapa yang harus
bertanggung jawab atas kerugian yang menimpa pasien.

BAB I
PENDAHULUAN

1. Permasalahan
a. Latar Belakang Masalah
Dalam dunia medis yang semakin berkembang, peranan rumah sakit sangat penting
dalam menunjang kesehatan dari masyarakat. Maju atau mundurnya rumah sakit akan
sangat ditentukan oleh keberhasilan dari pihak-pihak yang bekerja di rumah sakit, dalam
hal ini dokter, perawat dan orang-orang yang berada di tempat tersebut. Dari pihak rumah
sakit diharapkan mampu memahami konsumennya secara keseluruhan agar dapat maju
dan berkembang.
Dalam pelayanan kesehatan, rumah sakit juga harus memperhatikan etika profesi tenaga
yang bekerja di rumah sakit yang bersangkutan. Akan tetapi, tenaga profesional yang
bekerja di rumah sakit dalam memberikan putusan secara profesional adalah mandiri.
Putusan tersebut harus dilandaskan atas kesadaran, tanggung jawab dan moral yang tinggi
sesuai dengan etika profesi masing-masing.1
Ditinjau dari segi ilmu kemasyarakatan dalam hal ini hubungan antara dokter dengan
pasien menunjukkan bahwa dokter memiliki posisi yang dominant, sedangkan pasien
hanya memiliki sikap pasif menunggu tanpa wewenang untuk melawan. Posisi demikian
ini secara historis berlangsung selama bertahun-tahun, dimana dokter memegang peranan
utama, baik karena pengetahuan dan ketrampilan khusus yang ia miliki, maupun karena
kewibawaan yang dibawa olehnya karena ia merupakan bagian kecil masyarakat yang
semenjak bertahun-tahun berkedudukan sebagai pihak yang memiliki otoritas bidang
dalam memberikan bantuan pengobatan berdasarkan kepercayaan penuh pasien.
Si pasien selaku konsumen, yaitu diartikan “setiap pemakai dan atau pengguna barang
dan atau jasa baik kepentingan sendiri maupun kepentingan orang lain”.2 Dan sudah
merasa bahagia apabila kepadanya dituliskan secarik kertas. Dari resep tersebut secara
implisit telah menunjukkan adanya pengakuan atas otoritas bidang ilmu yang dimiliki
oleh dokter yang bersangkutan. Otoritas bidang ilmu yang timbul dan kepercayaan
sepenuhnya dari pasien ini disebabkan karena ketidaktahuan pasien mengenai apa yang
dideritanya, dan obat apa yang diperlukan, dan disini hanya dokterlah yang tahu,
ditambah lagi dengan suasana yang serba tertutup dan rahasia yang meliputi jabatan
dokter tersebut yang dijamin oleh kode etik kedokteran. Kedudukan yang demikian tadi
semakin bertambah kuat karena ditambah dengan faktor masih langkanya jumlah tenaga
dokter, sehingga kedudukannya merupakan suatu monopoli baginya dalam memberikan
pelayanan pemeliharaan kesehatan. Lebih-lebih lagi karena sifat dari pelayanan kesehatan
ini merupakan psikologis pihak-pihak yang saling mengikatkan diri tidak berkedudukan
sederajat.
Tenaga Kesehatan yang diberikan kepercayaan penuh oleh pasien, haruslah
memperhatikan baik buruknya tindakan dan selalu berhati-hati di dalam melaksanakan
tindakan medis. Dari tindakan medis tersebut tidak menutup kemungkinan terjadi suatu
kesalahan ataupun kelalaian. Kesalahan ataupun kelalaian yang dilakukan tenaga
kesehatan dalam melaksanakan tugas profesinya dapat berakibat fatal baik terhadap
badan maupun jiwa dari pasiennya, dan hal ini tentu saja sangat merugikan bagi pihak
pasien. Dari kesalahan ataupun kelalaian yang dilakukan tenaga kesehatan terhadap
pasien, menimbulkan pertanyaan, yaitu; adakah perlindungan hukum terhadap
pasien, dapatkah pasien yang dirugikan menuntut ganti rugi, dan siapa yang harus
bertanggung jawab atas kerugian yang menimpa pasien.
Dengan latar belakang tersebut di atas, penulis mencoba mengangkat persoalan mengenai
“PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PASIEN SEBAGAI KONSUMEN JASA
DI BIDANG PELAYANAN MEDIS (SUATU TINJAUAN DARI SUDUT HUKUM
PERDATA)”
b. Rumusan Masalah
Di dalam penulisan skripsi ini sesuai dengan judul yang diketengahkan maka timbul
beberapa masalah yang dianggap perlu untuk mendapatkan penyelesaian atau
pembahasan. Adapun permasalahan yang akan dibahas dapat dirumuskan sebagai
berikut :
1. Adakah perlindungan hukum bagi pasien sebagai konsumen jasa pelayanan di bidang
medis ?
2. Dapatkah pihak pasien yang dirugikan sebagai konsumen jasa pelayanan medis
menuntut ganti rugi, dan apa dasarnya ?
3. Siapakah yang harus bertanggung jawab atas kerugian yang menimpa pasien sebagai
konsumen jasa pelayanan medis dimaksud ?

c. Ruang Lingkup Masalah


Sesuai dengan lingkup masalah yang telah ditentukan maka untuk menghindari agar
jangan sampai timbul suatu pembahasan yang nantinya keluar dari pokok permasalahan
dalam kaitannya dengan judul yang telah dipilih tersebut, maka untuk itu fokus
pembahasan masalah dalam penulisan skripsi ini hanya disekitar perlindungan hukum
terhadap pasien sebagai konsumen jasa di bidang pelayanan medis ditinjau dari segi
hukum perdata yang dititik beratkan pada tanggung jawab atas kerugian yang menimpa
pasien.

2. Telaah Pustaka
Dalam suatu peristiwa yang mana mengakibatkan kerugian terhadap seseorang, maka
sudah tentu merupakan kewajiban dari pihak yang melakukan kesalahan mengganti
kerugian. Seseorang dalam hal ini korban, dari tindakan tersebut mengalami kerugian
baik material maupun moril sehingga adalah sudah wajar kiranya kalau mereka yang
dirugikan tersebut mendapat imbalan berupa ganti rugi dari pihak yang merugikan.
Dalam menentukan pertanggung jawaban suatu tindakan yang mana salah satu pihaknya
dirugikan (konsumen), maka pihak korban dapat memperoleh sejumlah ganti kerugian
yang sepantasnya guna pembiayaan kerugian yang telah dideritanya. Hal tersebut terjadi
sehubungan dengan adanya suatu resiko yang harus diterima dan tidak dapat dibalikkan
kepada orang lain, sebab dengan terjadinya kesalahan yang menimbulkan korban, tidak
terlepas dari kerugian yang ditimbulkan. Sehingga, pada pihak penimbul kerugian wajib
untuk memberikan sejumlah ganti kerugian pada korbannya. “Menurut hukum yang
berlaku menyebutkan bahwa si pelaku perbuatan berkewajiban memberi ganti kerugian
pada seorang penderita kerugian”.3
Mengenai perlindungan hukum terhadap pasien sebagai konsumen jasa pelayanan medis
ada ketentuan yang mengatur. Pada dasarnya ketentuan yang mengatur perlindungan
hukum bagi konsumen dapat dijumpai pasal 1365 KUH Perdata. Disamping itu pasal
1365 KUH Perdata berisikan ketentuan antara lain sebagai berikut: “Tiap perbuatan
melawan hukum, yang membawa kerugian kepada seorang lain, mewajibkan orang yang
karena salahnya menerbitkan kerugian tersebut”.
Di dalam UU RI No. 23 / 1992 tentang kesehatan disebutkan juga perlindungan terhadap
pasien, yaitu pasal 55 yang berisikan ketentuan antara lain sebagai berikut:
(1) Setiap orang berhak atas ganti rugi akibat kesalahan atau kelalaian yang dilakukan
tenaga kesehatan,
(2) Ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pemberian hak atas ganti rugi merupakan suatu upaya untuk memberikan perlindungan
bagi setiap orang atas suatu akibat yang timbul, baik fisik maupun non fisik karena
kesalahan atau kelalaian tenaga kesehatan. Perlindungan ini sangat penting karena akibat
kelalaian atau kesalahan itu mungkin dapat menyebabkan kematian atau menimbulkan
cacat yang permanen.
Yang dimaksud dengan kerugian fisik adalah hilangnya atau tidak berfungsinya seluruh
atau sebagian organ tubuh, sedangkan kerugian non fisik berkaitan dengan martabat
seseorang.
Dalam Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen tidak diatur
dengan jelas mengenai pasien, tetapi pasien dalam hal ini juga merupakan seorang
konsumen.
Perlindungan hukum di bidang keperdataan menganut prinsip bahwa “ barang siapa
merugikan orang lain, harus memberikan ganti rugi”4.Jika seseorang merasa dirugikan
oleh warga masyarakat lain, tentu ia akan menggugat pihak lain itu agar bertanggung
jawab secara hukum atas perbuatannya. Dalam hal ini diantara mereka mungkin saja
sudah terdapat hubungan hukum berupa perjanjian di lapangan hukum keperdataan, tetapi
dapat pula sebaliknya, sama sekali tidak ada hubungan hukum demikian.
Jika seseorang sebagai konsumen melakukan hubungan hukum dengan pihak lain, dan
pihak lain itu melanggar perjanjian yang disepakati bersama, maka konsumen berhak
menggugat lawannya berdasarkan dalih melakukan wanprestasi (cedera janji). Apabila
sebelumnya tidak ada perjanjian, konsumen tetap saja memiliki hak untuk menuntut
secara perdata, yakni melalui ketentuan perbuatan melawan hukum. Dari ketentuan
tersebut diberikan kesempatan untuk menggugat sepanjang terpenuhi empat unsur, yaitu
terjadi perbuatan melawan hukum, ada kesalahan (yang dilakukan pihak lain atau
tergugat), ada kerugian (yang diderita si penggugat) dan ada hubungan kausal antara
kesalahan dengan kerugian itu.
Apabila terdapat kesalahan / kelalaian dari tindakan medik yang dilakukan oleh tenaga
medis ( dokter, perawat atau asisten lainnya ), dalam hal ini dari pihak konsumen yang
menderita kerugian dapat menuntut ganti rugi. Dari kerugian yang di alami oleh
konsumen, dalam hal ini mungkin tidak sedikit atau bisa juga dari kerugian tersebut
berakibat kurang baik bagi konsumen. Seseorang dapat dimintakan tanggung jawab
hukumnya (liable), kalau dia melakukan kelalaian / kesalahan dan kesalahan / kelalaian
itu menimbulkan kerugian. Orang yang menderita kerugian akibat kelalaian / kesalahan
orang itu, berhak untuk menggugat ganti rugi.5 Begitu pula terhadap kerugian yang
dialami pasien dalam pelayanan medis, pasien dalam hal ini dapat menuntut ganti rugi
atas kesalahan ataupun kelalaian dokter ataupun tenaga medis lainnya.
Mengenai tuntutan ganti kerugian secara perdata menurut pasal 1365 KUH Perdata,
pelaku harus mengganti kerugian sepenuhnya.6 Akan tetapi terdapat juga suatu ketentuan
hukum yang menentukan bahwa apabila kerugian ditimbulkan karena kesalahan sendiri,
ia harus menanggung kerugian tersebut. Dari rumusan tersebut dapat disimpulkan bahwa
pihak yang dirugikan cukup membuktikan bahwa kerugian yang diderita adalah akibat
perbuatan pelaku.
Menurut Van Gelein Vitringa dengan teori Schutznom, dinyatakan bahwa :
“Seseorang yang melakukan perbuatan melawan hukum dan karenanya melanggar suatu
norma hukum, hanya wajib membayar ganti rugi atas kerugian yang ditimbulkan, apabila
norma yang dilanggar bertujuan melindungi kepentingan orang yang dirugikan”.7
Menurut Pasal 1366 KUH Perdata, berisikan ketentuan antara lain sebagai berikut ; “
Setiap orang bertanggung jawab tidak saja untuk kerugian yang disebabkan
perbuatannya, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan kelalaiannya atau kurang hati-
hatinya”.
Dasar tuntutan dari pihak pasien (konsumen) juga dapat dilihat dalam UU No. 23 Tahun
1992 tentang kesehatan yaitu pasal 55. Dari ketentuan pasal tesebut maka dari pihak
paramedis diharuskan berhati hati di dalam melakukan tindakan medis yang mana dari
pihak pasien mempercayakan sepenuhnya akan tindakan tersebut.
Jika kembali kepada asas hukum dalam hukum perdata dapat dikatakan bahwa siapapun
yang tindakannya merupakan pihak lain, wajib memberikan ganti rugi kepada pihak yang
menderita kerugian tersebut. Dalam konsep dan teori dalam ilmu hukum, perbuatan yang
merugikan tersebut dapat lahir karena :
1. Tidak ditepatinya suatu perjanjian atau kesepakatan yang telah dibuat (yang pada
umumnya dikenal dengan istilah wan-prestasi) ; atau
2. Semata-mata lahir karena suatu perbuatan tersebut (atau yang dikenal dengan
perbuatan melawan hukum)8
Dalam perlindungan terhadap pasien sebagai konsumen jasa yang mana merasa dirugikan
oleh dokter ataupun pihak rumah sakit, dan tindakan tersebut menimbulkan suatu
kerugian yang tidak sedikit ataupun dari tindakan tersebut menimbulkan kematian, maka
dalam hal ini si pelanggar hukum masih tetap berwajib memberi ganti rugi.9 Dari wujud
ganti kerugian tersebut bertujuan untuk memperbaiki keadaan, dan dari pengganti
kerugian kebanyakan besar berupa sejumlah uang.
Pengganti kerugian tersebut harus dinilai menurut kemampuan maupun kedudukan dari
kedua belah pihak dan harus pula disesuaikan dengan keadaan. Ketentuan yang paling
akhir ini pada umumnya berlaku dalam hal memberikan ganti kerugian yang diterbitkan
dari suatu perbuatan melawan hukum terhadap pribadi seseorang.10
Dalam hal pertanggung jawaban atas pelayanan medis, yang mana pihak pasien merasa
dirugikan maka perlu untuk diketahui siapa yang terkait di dalam tenaga medis tersebut.
Tenaga Medis yang dimaksud adalah dokter, yang bekerjasama dengan tenaga
profesional lain di dalam menyelenggarakan dan memberikan pelayanan medis kepada
masyarakat atau pasien. Disamping perawat , tenaga profesional lain dalam bidang
kesehatan dan medis, seperti ahli laboratorium dan radiologi, pendidik dan penyuluh
kesehatan, penata berbagai peralatan dan perlengkapan medis, terutama dalam lembaga
pelayanan seperti rumah sakit, klinik spesialis, dan praktek bersama , sangat diperlukan
sebagai pendamping dokter.
Dokter juga memerlukan pembantu dalam bidang adminisrtrasi, asuransi, akuntansi,
hukum dan kemasyarakatan. Lembaga yang tampak kompleks, meskipun terorganisasi
rapi ini disebut “birokrasi pelayanan medis”.11
Jika dalam tindakan medis terjadi kesalahan dan mengakibatkan kerugian dari pihak
pasien, maka tanggung jawab tidak langsung kepada pihak rumah sakit. Mengenai
tanggung jawab terlebih dahulu harus melihat apakah kesalahan tersebut dilakukan oleh
dokter itu sendiri atau tenaga medis lain. Setiap masalah yang terjadi baik sengaja
ataupun tidak sengaja perlu diteliti terlebih dahulu. Jika kesalahan yang dilakukan oleh
para medis tersebut khusus dokter yang melakukan, biasanya pihak rumah sakit yang
bertanggung jawab secara umumnya. Dan dokter sebagai pelaksana tindakan juga dapat
dikenakan sanksi.
Terhadap tenaga kesehatan khususnya yang bekerja di rumah sakit, ada dua tenaga yaitu ;
tenaga dari PNS (Pegawai Negeri Sipil) dan Swasta. Di dalam melaksanakan tugas
profesinya, baik tenaga dari PNS ataupun Swasta mempunyai perbedaan dalam tanggung
jawab. Terhadap tenaga kesehatan (dokter) dari PNS yang melakukan kesalahan /
kelalaian dalam tindakan medis, biasanya dokter tersebut diberikan sanksi berupa
pemindahan kerja ke instansi kesehatan lain atau pemberhentian sementara. Sedangkan
terhadap dokter yang swasta, dalam hal melakukan kesalahan / kelalaian biasanya sanksi
yang dijatuhkan berupa diberhentikan oleh rumah sakit tempat ia bekerja. Dan akibat dari
kesalahan dokter atau paramedis lain yang menyebabkan kerugian terhadap pasien akan
menjadi beban bagi pihak rumah sakit.
Pemberian sanksi juga diatur dalam ketentuan Pasal 54 (1) UU No.23/ 1992 Tentang
kesehatan yaitu “ terhadap tenaga kesehatan yang melakukan kesalahan atau kelalaian
dalam melaksanakan profesinya dapat dikenakan tindakan disiplin”.
Mengenai tanggung jawab diatur dalam pasal 1367 KUH Perdata sebagai penjabaran
lebih lanjut mengenai siapa dan apa saja yang berada di bawah tanggung jawabnya.
Masalah tanggung jawab hukum perdata ini membawa akibat bahwa yang bersalah (yaitu
yang menimbulkan kerugian kepada pihak lain) harus membayar ganti rugi.
Tanggung Jawab dilihat dari segi hukum perdata mengandung beberapa aspek, yaitu
dapat ditimbulkan karena “wanprestasi”, karena perbuatan melanggar hukum, dapat juga
karena karena kurang hati-hatinya mengakibatkan matinya orang dan juga karena kurang
hati-hatinya menyebabkan cacat badan. Akibat perbuatan yang mengakibatkan kerugian
tersebut terbawa oleh karena sifat daripada perjanjian yang terjadi antara dokter dengan
pasien merupakan suatu perjanjian yang disebut “inspannings verbintenis”. Suatu
perjanjian yang harus dilaksanakan dengan teliti dan penuh hati-hati (inspanning)12 Dan
hubungan dokter dengan pasien ada juga dengan perikatan hasil, atau yang dikenal
dengan “resultaat verbintenis “.
Sehingga berdasarkan hal-hal yang telah disebutkan di depan,maka perlu kiranya
kepentingan pasien juga diperhatikan dengan mengadakan perlindungan terhadap korban
yang menderita kerugian dari kesalahan tenaga medis dengan mempercepat proses untuk
mendapatkan ganti rugi.

3. Hipotesis
Bertitik tolak dari hal tersebut di atas dalam telaah pustaka maka dapat diberikan jawaban
sementara (hipotesis) dari permasalahan yang ada yaitu :
1. Bahwa perlindungan hukum bagi pasien sebagai konsumen jasa pelayanan dibidang
medis ada, hal ini diatur dalam KUH Perdata, dan UU No. 23/1992 tentang kesehatan.
2. Bahwa pihak pasien yang dirugikan dapat menuntut ganti rugi terhadap kerugian yang
dideritanya akibat kesalahan dari tenaga medis, dan hal tersebut didasarkan, karena
pasien mempunyai hak untuk menuntut sesuai ketentuan dari pasal 1365 KUH Perdata
dan UU No.23 Tahun 1992.
3. a. Bahwa tanggung jawab atas kerugian yang dialami Pasien, dalam hal ini tidak
langsung kepada pihak rumah sakit. Melainkan, dengan melihat terlebih dahulu pelaksana
daripada pelayanan kesehatan (Negeri atau Swasta).
b Terhadap tenaga kesehatan yang melakukan kesalahan atau kelalaian dalam
melaksanakan profesinya dapat dikenakan tindakan disiplin. Hal ini sesuai ketentuan
Pasal 54 (1) UU No.23 / 1992 Tentang Kesehatan.

4. Tujuan Penulisan
Dalam penulisan skripsi sebagai suatu penulisan ilmiah haruslah mempunyai tujuan
tertentu yang hendak dicapai. Adapun tujuan dari penulisan skripsi ini adalah sebagai
berikut :
a. Tujuan Umum
Untuk mengetahui secara lebih mendalam mengenai perlindungan hukum terhadap
pasien sebagai konsumen jasa di bidang pelayanan medis.

b. Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui tentang ada atau tidaknya perlindungan hukum bagi pasien sebagai
konsumen jasa di bidang pelayanan medis.
2. Untuk mengetahui apakah pihak pasien yang dirugikan sebagai konsumen jasa
pelayanan medis, dapat menuntut ganti rugi.
3. Untuk mengetahui siapakah yang harus bertanggung jawab atas kerugian yang
menimpa pasien.
5. Metode Penelitian
a. Pendekatan Masalah
Dalam rangka membahas masalah yang terdapat dalam skripsi ini digunakan pendekatan
secara yuridis sosiologis. Pendekatan yuridis yaitu pendekatan yang didasarkan pada
peraturan perundang-undangan yang berlaku, sedangkan pendekatan sosiologis yaitu
didasarkan pada hasil penelitian lapangan yang terkait dengan penerapan peraturan
perundang-undangan tersebut dalam praktek.

b. Sumber Data
Data yang diperoleh dalam penelitian didapat dari 2 sumber;
1. Penelitian Kepustakaan (Library Reseacrh) adalah: suatu penelitian dengan pengkajian
melalui buku-buku, dokumen-dokumen serta perundang-undangan yang relevan dengan
masalah yang akan dibahas.
2. Penelitian lapangan (field research) dimaksudkan untuk mengadakan pengamatan
secara langsung dalam kenyataannya di lapangan.
c. Teknik Pengumpulan Data
Untuk data sekunder, teknik pengumpulannya dilakukan melalui studi pustaka, yaitu
dengan membaca peraturan perundang-undangan yang berlaku, buku literatur serta
dokumen-dokumen lain yang ada kaitannya dengan permasalahan yang akan dibahas.
Sedangkan untuk data primer pengumpulannya diperoleh dengan teknik wawancara
dengan para nara sumber di lapangan, dalam hal ini Rumah Sakit Sanglah dan YLKI
Bali.. Wawancara dilakukan dengan memakai pedoman wawancara yang berupa daftar
pertanyaan yang sudah tersedia.

d. Teknik Pengolahan dan Analisa Data


Setelah data dikumpulkan, maka diperiksa atau diteliti kembali untuk mencari
kebenarannya yang ada hubungannya dengan masalah yang di bahas dalam skripsi ini.
Dan setelah itu akan dilakukan analisa data, dimana analisa itu akan dilakukan dengan
analisa secara kualitatif yaitu dengan menyimpulkan yang kemudian disajikan secara
deskriptif analisis yaitu penggambaran atau penguraian secara umum dari masalah yang
dibahas.
BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG PASIEN SEBAGAI KONSUMEN JASA


PELAYANAN DI BIDANG MEDIS

1. Pengertian dan Hak-Hak Konsumen


Berbicara mengenai konsumen dalam kaitannya di dalam pelayanan medis, dimana
terdapat hubungan antara tenaga pelaksana ( tenaga kesehatan ) dengan pasien yang
merupakan konsumen jasa. Dan untuk itu, perlu diketahui apa yang dimaksud dengan
konsumen.
Menurut UU No. 8 / 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, Pasaal 1 (2) menyebutkan
konsumen adalah “setiap orang pemakai barang dan / atau jasa yang tersedia dalam
masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri , keluarga, orang lain, maupun makhluk
hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.
Konsumen diartikan tidak hanya individu ( orang ), tetapi juga suatu perusahaan yang
menjadi pembeli atau pemakai terakhir. Adapun yang menarik di sini, konsumen tidak
harus terikat dalam hubungan jual beli, sehingga dengan sendirinya konsumen tidak
identik dengan pembeli.13
Lain halnya pendapat dari Hondius ( Pakar masalah Konsumen di Belanda)
menyimpulkan, bahwa para ahli hukum pada umumnya sepakat mengartikan konsumen
sebagai pemakai terakhir dari benda dan jasa. Jasa adalah “ setiap layanan yang
berbentuk pekerjaan atau prestasi yang disediakan bagi masyarakat untuk dimanfaatkan
oleh konsumen” .
Mengenai hak-hak konsumen diatur dalam Undang – Undang Perlindungan Konsumen ,
pasal 4 menyebutkan , diantaranya;
a. hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkomsumsi barang dan /
atau jasa;
b. hak untuk memilih barang dan / atau jasa serta mendapatkan barang dan / atau jasa
tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;
c. hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang
dan / atau jasa;
d. hak untuk di dengar pendapat dan keluhannya atas barang dan / atau jasa yang
digunakan;
e. hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa
perlindungan konsumen secara patut;
f. hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;
g. hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;
h. hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi, dan / atau penggantian, apabila barang
dan / atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana
mestinya;
i. hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
Dari sembilan butir hak konsumen yang diatas, terlihat bahwa masalah kenyamanan,
keamanan, dan keselamatan konsumen merupakan hal yang paling pokok dan utama
dalam perlindungann konsumen. Barang dan / atau jasa yang penggunaannya tidak
memberikan kenyamanan, terlebih lagi yang tidak aman atau membahayakan
keselamatan konsumen jelas tidak layak untuk diedarkan dalam masyarakat.
Selanjutnya, untuk menjamin bahwa suatu barang dan / atau jasa dalm penggunaannya
akan nyaman, aman maupun tidak membahayakan konsumen penggunanya, maka
konsumen diberikan hak untuk memilih barang dan /jasa yang dikehendakinya
berdasarkan atas keterbukaan informasi yang benar, jelas, dan jujur. Jika terdapat
penyimpangan yang merugikan, konsumen berhak untuk didengar, memperoleh
advokasi, pembinaan, perlakuan yang adil, konpensasi sampai ganti rugi.

2.Pasien Sebagai Konsumen Jasa Pelayanan Di Bidang Medis


Dalam pelayanan di bidang medis, tidak terpisah akan adanya seorang tenaga kesehatan
dengan konsumen, dalam hal ini pasien. Pasien dikenal sebagai penerima jasa pelayanan
kesehatan dan dari pihak rumah sakit sebagai pemberi jasa pelayanan kesehatan dalam
bidang perawatan kesehatan.14
Sebelumnya perlu juga untuk diketahui akan pengertian dari pasien itu sendiri. Menurut
DR. Wila Chandrawila Supriadi, S.H, dalam bukunya, “Hukum Kedokteran” bahwa
Pasien adalah orang sakit yang membutuhkan bantuan dokter untuk menyembuhkan
penyakit yang dideritanya, dan pasien diartikan juga adalah orang sakit yang awam
mengenai penyakitnya.
Dari sudut pandangan sosiologis dapat dikatakan bahwa pasien maupun tenaga kesehatan
memainkan peranan- peranan tertentu dalam masyarakat. Dalam hubungannya dengan
tenaga kesehatan, misalnya dokter, tenaga kesehatan mempunyai posisi yang dominan
apabila dibandingkan dengan kedudukan pasien yang awam dalam bidang kesehatan.
Pasien dalam hal ini, dituntut untuk mengikuti nasehat dari tenaga kesehatan, yang mana
lebih mengetahui akan bidang pengetahuan tersebut. Dengan demikian pasien senantiasa
harus percaya pada kemampuan dokter tempat dia menyerahkan nasibnya. Pasien sebagai
konsumen dalam hal ini, merasa dirinya bergantung dan aman apabila tenaga kesehatan
berusaha untuk menyembuhkan penyakitnya. Keadaan demikian pada umumnya di
dasarkan atas kerahasiaan profesi kedokteran dan keawaman masyarakat yang menjadi
pasien.Situasi tersebut berakar pada dasar-dasar historis dan kepercayaan yang sudah
melembaga dan membudaya di dalam masyarakat. Hingga kini pun kedudukan dan
peranan dokter relatif lebih tinggi dan terhormat.
Pasien sebagai konsumen jasa di bidang pelayanan medis, dengan melihat perkembangan
ilmu dan teknologi kesehatan yang pesat, resiko yang dihadapi semakin tinggi. Oleh
karena itu, dalam hubungan antara tenaga kesehatan dengan pasien, misalnya terdapat
kesederajatan. Di samping dokter, maka pasien juga memerlukan perlindungan hukum
yang proporsional yang diatur dalam perundang-undangan.15 Perlindungan tersebut
terutama diarahkan kepada kemungkinan-kemungkinan bahwa dokter melakukan
kekeliruan karena kelalaian.

3. Pengertian Dan Kategori Tenaga Kesehatan


Yang dimaksud dengan Tenaga Kesehatan menurut Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia No. 32 / 1996 Tentang Tenaga Kesehatan Pasal 1 (1) adalah “ setiap orang
yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan dan / atau
keterampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan yang untuk jenis tertentu
memerlukan untuk melakukan upaya kesehatan.
Menurut Undang-Undang No;23 / 1992 Tentang Kesehatan , Pasal 1 (3) yang dimaksud
Tenaga kesehatan adalah “ setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan
serta memiliki pengetahuan dan atau keterampilan melalui pendidikan di bidang
kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya
kesehatan.
Lain halnya menurut Peraturan Pemerintah RI No. 7 / 1987 Tentang Penyerahan
Sebagian Urusan Pemerintahan dalam Bidang Kesehatan Kepada Daerah, disebutkan
pada pasal 1, yang dimaksud dengan Tenaga Kesehatan adalah setiap orang yang
memperoleh pendidikan dan / atau latihan di bidang kesehatan dalam rangka
penyelenggaraan upaya kesehatan.
Yang dimaksud dengan Upaya Kesehatan menurut UU No. 23 /1992 Tentang Kesehatan,
Pasal 1 (2) Upaya Kesehatan adalah “setiap kegiatan untuk memelihara dan
meningkatkan kesehatan yang dilakukan oleh pemerintah dan/ atau masyarakat.
Dari pengertian Tenaga Kesehatan diatas perlu untuk diketahui katagori dari tenaga
kesehatan itu sendiri. Menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 262 / Men. Kes /
Per / VII / 1979 Tentang ketenagaan rumah sakit pemerintahan, ada empat katagori yang
dikenal, diantaranya16 ;
1. Tenaga Medis, Yakni lulusan fakultas kedokteran atau kedokterran gigi dan pasca
sarjana yang memberikan pelayanan medis dan pelayanan penunjang medis. Kategori ini
mencakup;
a.dokter ahli
b.dokter umum
c. dokter gigi, dan lainlain
2 Tenaga Paramedis Perawatan, yaitu lulusan sekolah atau akademi perawat kesehatan
yang memberikan pelayanan perawatan paripurna, yakni;
a. penata rawat
b. perawat kesehatan
c. bidan
d. perawat khusus, dan lain-lain
3 Tenaga Paramedis Non Perawatan, yaitu lulusan sekolah atau akademi bidang
kesehatan lainnya yang memberikan pelayanan penunjang, yakni;
a. analisis
b. penata roentgen
c. sarjana muda fioterapi
d. sarjana muda gizi
e. asisten analisis
f. asisten apoteker
g. pengatur rawat roentgen
h. pengatur rawat gigi
i. pengatur teknik gigi
j. pengatur rawat gigi
k. tenaga sanitasi
l. penata anastesi, dan lain-lain
4 Tenaga Nonmedis , yakni seorang yang mendapat pendidikan ilmu pengetahuan yang
tidak termasuk pendidikan pada butir 1, 2, dan 3 di atas , yaitu;
a. sarjana administrasi perumah sakitan
b. sarjana muda pencatatan medis
c. apoteker
d. sarjana kimia
e. sarjana kesehatan masyarakat
f. sarjana biologi
g. sarjana fisika medis
h. sarjana jiwa
i. sarjana ekonomi
j. sarjana hukum
k. sarjana teknik
m sarjana akuntansi
n. sarjana ilmu sosial
o. sarjana muda teknik elektro medis
p. sarjana muda teknik sipil
q. sarjana muda fisika kesehatan
r. sarjana muda statistic
s. akademi sekretaris
t. lulusan STM
u. pekerja sosial medis
v.lulusan SD, SLTP, SLTP.
Rincian tenaga kesehatan seperti yang tertuang di atas sangat penting terutama untuk
menentukan tanggung jawab professional dan tanggung jawab hukumnya.17

BAB III
PELAYANAN MEDIS OLEH TENAGA KESEHATAN
DAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PASIEN
SEBAGAI KONSUMEN

1. Hubungan Hukum Antara Pasien Dengan Tenaga Kesehatan


Hubungan tenaga kesehatan dengan pasien dilihat dari aspek hukum adalah hubungan
antara subyek hukum dengan subyek hukum. Hubungan hukum selalu menimbulkan hak
dan kewajiban yang timbal- balik. Hak tenaga kesehatan ( dokter ataupun tenaga
kesehatan lain ) menjadi kewajiban pasien, dan hak pasien menjadi kewajiban tenaga
kesehatan.
Hubungan tenaga kesehatan dan pasien adalah hubungan dalam jasa pemberian
pelayanan kesehatan. Tenaga kesehatan sebagai pemberi jasa pelayanan kesehatan dan
pasien sebagai penerima jasa pelayanan kesehatan. Hubungan hukum antara tenaga
kesehatan dengan pasien adalah apa yang dikenal sebagai perikatan (verbintenis).18
Dasar dari perikatan yang berbentuk antara tenaga kesehatan, sebut saja ( dokter ) dengan
pasien biasanya adalah perjanjian, tetapi dapat saja terbentuk perikatan berdasarkan
undang-undang. Apapun dasar dari perikatan antara dokter dan pasien, selalu
menimbulkan hak dan kewajiban yang sama, karena dokter dalam melakukan
pekerjaannya selalu berlandaskan kepada apa yang di kenal sebagai profesi dokter, yaitu
pedoman dokter untuk menjalankan profesinya dengan baik.
Doktrin Hukum kesehatan menentukan ada dua bentuk perikatan, yaitu perikatan ikhtiar
(“ inspanning verbintenis” ), dan perikatan hasil (“ resultaat verbintenis”). Pada perikatan
ikhtiar maka prestasi yang harus diberikan adalah ikhtiar, yaitu upaya semaksimal
mungkin, sedangkan pada perikatan hasil, maka prestasi yang harus diberikan berupa
hasil tertentu.
Menurut Hukum perdata, Hubungan dokter dan pasien dapat terjadi karena dua hal,
yakni,19
1. Berdasarkan Perjanjian ( “ius contractu” )
Disini terbentuk suatu kontrak teraupetik secara sukarela antara dokter dengan pasien
berdasarkan kehendak bebas. Tuntutan dapat dilakukan apabila diduga terjadi “
wanprestasi”, yaitu pengingkaran atas apa yang diperjanjikan. Dasar tuntutan adalah tidak
melakukan atau salah melakukan terhadap apa yang telah diperjanjikan.
2. Berdasarkan Hukum ( “ius delicto” )
Di sinilah berlaku prinsip barang siapa menimbulkan kerugian pada orang lain, harus
memberikan ganti rugi atas kerugian tersebut. Selanjutnya perjanjian sendiri dapat
dirumuskan sebagai tindakan atau perbuatan hukum yang dilakukan secara sukarela oleh
dua orang / lebih yang bersepakat untuk memberikan “prestasi” satu kepada lainnya.
Namun untuk sahnya suatu perjanjian, Pasal 1320 KUH Perdata menyebutkan syarat-
syaratnya, yaitu;
1. Adanya kesepakatan mereka yang mengikat dirinya,
Yaitu bahwa kedua subyek yang mengadakan perjanjian itu harus bersepakat, setuju atau
seia sekata mengenai hal-hal pokok dari perjanjian itu. Mereka menghendaki suatu yang
sama secara timbal- balik. Tidak dianggap sah jika kesepakatan itu diberikan karena,20 .
- salah pengertian atau paksaan
- pemerasan atau paksaan
- adanya penipuan
Dalam hal ini pasien dengan dokter harus mempunyai kesepakatan mengenai cara
penanganan apa yang tepat diberikan untuk menangani penyakit tersebut. Kepada pasien
harus diberikan keterangan yang sejelas-jelasnya mengenai hal –hal yang menyangkut
penyakitnya agar timbul pengertian bagi pasien sehingga pasien untuk mengambil
keputusan. Setelah hal itu terpenuhi maka seorang pasien harus memberikan sejumlah
uang sebagai ongkos dari usaha dokter tersebut.
2. Adanya kecakapan untuk membuat suatu perikatan antara dokter dan pasien.
Orang membuat suatu perjanjian harus cakap menurut hukum. Pada dasarnya orang yang
sudah dewasa atau akil baliq dan sehat pikirannya serta mempunyai kecakapan untuk
melakukan perbuatan hukum. Dalam pasal 1330 KUH Perdata menyebutkan mereka
sebagai orang-orang yang tidak cakap untuk membuat suatu perjanjian, yaitu;
a. orang- orang yang belum dewasa;
b. mereka yang berada di bawah pengampuan ;
c. orang perempuan dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undang- undang dan semua orang
kepada siapa siapa undang- undang telah melarang membuat suatu perjanjian tertentu.
Dari sudut rasa keadilan, bahwa orang yang membuat mempunyai cukup kemampuan
untuk menginsyafi benar- benar akan tanggung jawab yang dipikulnya dengan
perbuatannya. Sedangkan dari sudut ketertiban hukum berarti, orang tersebut haruslah
orang yang sungguh- sungguh bebas berbuat dengan harta kekayaannya. Dalam kontrak
teraupetik, apabila pasien tidak dapat memberikan persetujuannya terhadapnya, maka
dapat diwakilkan oleh wakil dari keluarganya.
3. Adanya suatu hal tertentu
Disebutkan bahwa suatu perjanjian harus mengenai suatu hal tertentu, artinya apa yang
diperjanjikan oleh hak-hak dan kewajiban- kewajiban kedua belah pihak jika timbul suatu
perselisihan. Terhadap hal atau barang yang diperjanjikan itu haruslah tentang suatu yang
sudah tentu jenis atau halnya.
4. Adanya suatu sebab yang halal
Suatu sebab yang dimaksud dalam perjanjian adalah isi dari perjanjian itu sendiri.
Artinya perjanjian tersebut tidak boleh bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan
dan ketertiban umum. Syarat suatu hal tertentu dan sebab yang halal merupakan syarat
obyektif dalam perjanjian sehingga bila syarat ini tiidak dipenuhi, maka perjanjian itu
dianggap tidak pernah lahir sehingga tidak pernah ada akibat hukumnya.
Dua syarat pertama, dinamakan syarat- syarat subyektif, karena mengenai orang-orang
atau subyeknya yang mengadakan perjanjian, sedang syarat kedua terakhir dimana syarat
obyektif karena mengenai perjanjiannya sendiri oleh obyek dari perbuatan hukum yang
dilakukan itu. Selanjutnya apabila perjanjian itu memenuhi syarat subyektif dan syarat
obyektif yang tercantum dalam pasal 1320 KUH Perdata, maka;21
1. isi perjanjian mengikat para pihak sebagai undang-undang;
2. perjanjian itu tidak dapat ditarik kembali
3. perjanjian yang yang telah disepakati itu harus dilaksanakan dengan baik, jujur dan
rela;
4. para pihak tidak saja terkait pada apa saja yang terancam dalam perjanjian, tetapi juga
oleh kepatutan, kebiasaan, dan undang-undang.
Dalam transaksi teraupetik, kedua belah pihak secara umum terikat oleh syarat tersebut
diatas, dan bila transaksi itu sudah terjadi maka antara kedua belah pihak dibebani hak
dan kewajiban yang harus dipenuhi.22

2. Hak Dan Kewajiban Tenaga Kesehatan


Dengan adanya perkembangan hubungan antara pasien dengan tenaga kesehatan, yang
kemudian mengarah kepada suatu hubungan hukum, maka muncullah hak- hak dan
kewajiban dipihak pasien dengan tenaga kesehatan. Mengingat hak dan kewajiban dari
tenaga kesehatan sangat luas, maka penulis menyebutkan akan hak dan kewajiban dari
salah satu tenaga kesehatan, dalam hal ini dokter. Untuk lebih jelasnya sejauhmana hak
dan kewajiban yang dimiliki masing- masing pihak, maka secara singkat penulis dapat
kemukakan;
Pada umumnya dapat dikatakan, bahwa secara profesional hak-hak tenaga kesehatan,
(dokter), adalah sebagai berikut (Fred Ameln, 1986)23 ;
1. Hak-Hak
a. hak untuk bekerja sesuai dengan standar profesi medis
b. hak untuk menolak melaksanakan tindakan medis yang tidak dapat dipertanggung
jawabkan secara professional
c. hak untuk menolak melakukan yang menurut hati nuraninya tidak baik atau tidak benar
d. hak untuk mengakhiri hubungan dengan pasien apabila menurut penilaiannya
kerjasama dengan pasien tidak ada lagi manfaatnya
e. hak atas itikad baik dari pasien
f. hak atas balas jasa
g. hak atas keterbukaan dalam menghadapi pasien yang tidak puas terhadap dirinya
h. hak untuk memilih pasien. Seorang dokter itu juga mempunyai hak untuk menentukan
secara bebas tentang pasien yang ingin ia terima, walaupun hak tersebut bukanlah
merupakan hak yang sifatnya mulak24
i. seorang dokter juga mempunyai hak yang bersifat pribadi ( mempunyai hak agar
suasananya yang bersifat pribadi tidak diganggu
j. seorang dokter mempunyai hak atas adanya suatu fair play mengenai problema-
problema yang dihadapi oleh seorang pasien. Jika ia ingin berpegang pada fair play
tersebut, maka sebaliknya, ia juga mengharapkan agar seorang pasien itu berpegang pada
hal yang sama.
k. seorang dokter juga mempunyai hak untuk dapat membela diri.

Kewajiban –Kewajiban
Kewajiban dokter menurut oleh Fred Ameln
1. Kewajiban yang berhubungan dengan standar medis. Pengertian “ standar medis”
dapat dirumuskan sebagai suatu cara melakukan tindakan medis dalam suatu kasus
kongkrit menurut suatu ukuran tertentu yang didasarkian pada ilmu medis dan
pengalaman.
2. Kewajiban – kewajiban yang berhubungan dengan fungsi social pemeliharaan
kesehatan. Pada kelompok ini kepentingan masyarakat yang menonjol dan bukan
kepentingan pasien. Sehingga dalam melakukan kewajibannya dokter harus
mempertimbangkan untuk tidak menulis resep obat-obatan yang tidak begiti perlu
3. Kewajiban-kewajiban yang berhubungan dengan tujuan ilmu kedokteran.
Adapun tujuan ilmu kedokteran dapat dirumuskan sebagai berikut;
a. menyembuhkan dan mencegah penyakit. Artinya, bahwa dokter harus melakukan
tindakan medis yang ada gunanya, yaitu mengandung kemungkinan untuk
menyembuhkan pasien, atau untuk menghentikan proses penyakit.
b. Meringankan penderitaan
c. Mengantar pasien termasuk menghadapi akhir hidupnya.
4. Kewajiban- kewajiban yang berhubungan dengan prinsip keseimbangan
Dokter harus menjaga keseimbangan antara tindakan-tindakannya dengan tujuan uang
ingin dicapai dari tindakan tersebut. Misalnya melakukan tindakan diagnostic yang berat
terhadap suatu penyakit yang relative ringan tidaklah memenuhi prinsip keseimbangan.
Dokter haruslah selalu membandingkan tujuan tindakan medisnya dengan resiko dan
tindakan tersebut, dan ia harus berusaha mencapai tujuan itu dengan resiko yang terkecil.
5. Kewajiban yang berhubungan dengan hak-hak pasien
Seorang dokter ataupun tenaga keserhatan lainya mempunyai kewajiban umum, misalnya
untuk senantiasa memelihara pengetahuan dan ilmunya dengan sebaik-baiknya. Terhadap
pasien, seorang dokter haruslah membantu sepenuhnya.
Dalam kode etik kedokteran juga dirumuskan mengenai kewajiban dokter terhadap
paasien yaitu pasal 10 sampai pasal 14 yang berbunyi;
Pasal 10; “setiap dokter harus senantiasa mengingat kewajibannya melindungi hidup
Makhluk insani”
Pasal 11, “ setiap dokter wajib bersikap tulus iklhas dan mempergunakan segala ilmu dan
ketrampilan untuk kepentingan penderita”
Pasal 12, “ setiap dokter harus memberikan kesempatan kepada penderita agar senantiasa
dapat berhubungan dengan keluarga dan penasehatnya dalam beribadat dan atau dalam
masalah lainnya”
Pasal 13, ” setiap dokter wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang
seorang penderita juga setelah penderita itu meninggal dunia”
Pasal 14, “ setiap dokter wajib melakukan pertolongan darurat sebagai suatu tugas
perikemanusiaan kecuali bila ia yakin ada orang lain bersedia dan mampu
memberikannya”.
Dalam pasal 2 kode etik kedokteran menyebutkan bahwa kewajiban seorang dokter harus
dilakukan menurut ukuran yang tertinggi, maksudnya adalah bahwa dalam melakukan
profesinya, dokter haruslah bertindak sesuai dengan ukuran ilmu kedokteran , etika
umum, etika kedokteran, hukum, dan agama.

3. Hak Dan Kewajiban Pasien Sebagai Konsumen


Dalam kontrak teraupetik ada dua macam hak asasi yang merupakan hak dasar manusia,
yang mana hal ini erat hubungannya dengan pasien dalam mengambil sikap yaitu;
1.Hak untuk menentukan nasibnya sendiri
Hak ini baru mempunyai efek apabila manusia sebagai individu mendapat kesempatan
secara mandiri untuk dengan bebas dan dengan tanggung jawab sendiri memutuskan apa
yang menjadi tujuan hidupnya. Mandiri maksudnya, bahwa pasien bertanggung jawab
penuh atas apapun keputusan yang telah diambilnya. Kemandirian dalam kaitannya
dengan unsur pertanggung jawaban hanya dimiliki oleh mereka yang telah dewasa. Hak
untuk menentukan nasib sendiri dapat diartikan dalam dua hal;
a. hak untuk menentukan sejauh mungkin segala sesuatu yang berhubungan dengan tubuh
dan rohani,
b. hak untuk merencanakan, membentuk dan mengembangkan dirinya sebagaimanan
yang dikehendakinya.
2.Hak atas informasi
Hak untuk menentukan nasib sendiri tidak mungkin terwujud secara optimal bila tidak
didampingi oleh hak atas atas informasi, karena keputusan akhir mengenai penentuan
nasibnya itu sendiri itu dapat diberikan apabila pengambilan keputusan tersebut
memperoleh informasi yang lengkap tentang segala untung dan ruginya apabila suatu
keputusan tidak diambil.
Hak pasien menurut DR. Wila Chandrawila Supriadi;
a. hak atas informasi, adalah hak pasien untuk mendapatkan informasi dari dokter ,
tentang hal-hal yang berhubungan dengan kesehatannya,
b. hak atas persetujuan yaitu hak asasi pasien untuk menerima atau menolak tindakan
medik yang ditawarkan oleh dokter, setelah dokter memberikan informasi,
c. hak atas rahasia kedokteran, yaitu keterangan yang diperoleh dokter dalam
melaksanakan profesinya, dikenal dengan nama rahasia kedokteran.25 Dokter
berkewajiban untuk merahasiakan keterangan tentang pasien (penyakit pasien )
Kewajiban dokter ini, menjadi hak pasien. Hak ini merupakan hak individu dari pada
pasien.
d. Hak atas pendapat kedua (second opinion), adalah kerjasama antara dokter pertama
dengan dokter kedua.26 Dokter pertama akan memberikan seluruh hasil pekerjaannya
kepada dokter kedua. Kerjasama ini atas inisiatif dari pasien. Dengan hak ini maka
keuntungan lebih besar. Pertama, pasien tidak perlu mengulangi pemeriksaan ruti lagi.
Kedua, dokter yang pertama dapat berkomunikasi dengan dokter yang kedua, sehingga
dengan keterbukaan dari para pakar, dapat menghasilkan pendapat yang lebih baik.
e. Hak untuk melihat rekam medik. Pengertian dari rekam medik yaitu, menurut pasal 1
(a) PermenKes No.749 a/89 , “rekam medik adalah berkas yang berisi catatan, dan
dokumen tentang identitas pasien, pemeriksaan, pengobatan, tindakan dan pelayanan lain
kepada pasien pada sarana pelayanan kesehatan”27
f. Pasien juga memiliki hak konfidensialitas28, yaitu yang menjamindidepan meja hijau
sekalipun bahwa semua informasi tentang dirinya, keadaan fisik dan penyakitnya, harus
dipercayakan kepada dokter.
Kewajiban Kewajiban Pasien
a. Pasien dalam hal ini mempunyai kewajiban yang paling penting adalah kewajiban
bahwa ia tidak menyalahgunakan haknya.
b. Selain itu pasien harus dapat bekerjasama dengan tenaga kesehatan apabila telah ada
persetujuan.
c. Pasien dalam hal ini juga harus mentaati aturan- aturan yang ada pada sarana
kesehatan.
d. Pasien juga mempunyai kewajiban untuk memberikan informasi medik dan mentaati
nasehat dari tenaga kesehatan
e. Pasien berkewajiuban memberikan imbalan jasa kepada tenaga kesehatan
f. Pasien mempunyai kewajiban menyimpan rahasia pribadi dokter yang diketahuinya.
Kewajiban ini sebenarnya merupakan kesejajaran dengan hak pasien untuk sendiri, yakni
untuk rahasianya yang wajib disimpan oleh dokter.
4. Perlindungan Terhadap Pasien Atas Pelanggaran Di Bidang Pelayanan Medis
Banyak pihak yang berpendapat bahwa pasien di dalam pelayanan medis selalu berada
pada posisi yang lemah jika dibandingkan dengan tenaga kesehatan, sehingga akibat dari
ketidakpuasan salah satu pihak, akan selalu mengakibatkan kerugian yang lebih besar
bagi pasien. Hal ini dikarenakan ketidaktahuan atau masih awamnya pengetahuan yang
dimiliki pasien.
Dari tindakan yang dilakukan tenaga kesehatan tidak tertutup kemungkinan terjadi
kelalaian yang lebih dikenal dengan istilah “malpraktek”. Malpraktek adalah kelalaian
dari seorang dokter atau perawat untuk mempergunakan tingkat kepandaian dan ilmu
pengetahuan dalam mengobati dan merawat pasien yang lazim dipergunakan terhadap
pasien atau atau orang terluka menurut ukuran dilingkungan yang sama.29
Yang dimaksud dengan kelalaian adalah sikap kurang hati-hati menurut ukuran wajar.30
Karena , tidak melakukan apa yang seorang dengan sikap hati-hati yang wajar akan
melakukan, atau sebaliknya melakukan apa yang seorang dengan sikap hati-hati yang
wajar tidak akan melakukan di dalam situasi tersebut. Sedangkan kesalahan diartikan
sebagai kelalaian berat, tidak waspada, sangat tidak hati-hati. Kelalaian dirumuskan
sebagai “ sikap tindak yang jatuh dibawah standar untuk ditentukan oleh hukum untuk
perlindungan orang lain terhadap resiko cidera yang sewajarnya tidak harus terjadi”.31
Seorang tenaga kesehatan yang tidak melakukan pekerjaan sesuai dengan standar profesi
dan tidak sesuai prosedur tindakan medik, dapat dikatakan telah melakukan kesalahan
ataupun kelalaian. Hal ini tercantum pada pasal 53 (2) UU No. 23/ 1992 tentang
kesehatan, yang berbunyi ; “ Tenaga kesehatan dalam melakukan tugasnya berkewajiban
untuk mematuhi standar profesi dan menghormati hak pasien”. Dalam hal tindakan medis
terjadi penyimpangan atau kelalaian dari pihak tenaga kesehatan, maka pasien harus
dapat membuktikan kelalaian tersebut. Dan dapat dibuktikan dengan adanya Medical
Repout (Laporan Tindakan Medik).
Hukum pembuktian, pasal 1865 KUH Perdata menentukan ;” Setiap orang yang
mendalilkan bahwa ia mempunyai sesuatu hak, atau guna meneguhkan haknya sendiri
maupun membantah suatu hak orang lain, menunjuk pada suatu peritiwa, diwajibkan
membuktikan adanya hak atas peristiwa tersebut”.
Terhadap perlindungan terhadap pasien, jika terjadi pelanggaran dalam pelayanan medis,
dalam hal ini, ada ketentuan yang mengatur. Yaitu sesuai dengan ketentuan UU
Kesehatan (UU No. 23 /1992 ).
Perlindungan terhadap pasien sebagai konsumen juga diatur dalam Peraturan Pemerintan
RI No. 32 / 1996 Tentang Tenaga Kesehatan, yaitu Pasal 23 yang berbunyi ;
(1) Pasien berhak atas ganti rugi apabila dalam pelayanan kesehatan yang diberikan oleh
tenaga kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 mengakibatkan terganggunya
kesehatan, cacat, atau kematian yang terjadi karena kesehatan atau kelalaian,
(2) Ganti rugi sebagaimana dimaksud ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Undang- Undang No. 8/ 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, menentukan ada
beberapa UU yang materinya melindungi kepentingan konsumen, yang salah astunya
adalah UU No, 23 / 1992 Tentang Kesehatan.
UU No. 8/ 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, didasari pemikiran bahwa kedudukan
konsumen yang lebih lemah dari pelaku usaha, di samping itu konsumen tidak
mengetahui hak –haknya. Dalam UU tersebut tidak diatur dengan jelas mengenai pasien,
tetapi pasien dalam hal ini juga merupakan konsumen. Pasal 4 UU No. 8/ 1999 Butir (h)
mengenai hak konsumen menentukan “ hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi
dan / atau penggantian, apabila barang dan / atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan
perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya”.Dilihat dari sudut tenaga kesehatan, tenaga
kesehatan tidak dapat diidentikkan dengan pelaku usaha di dalam bidang ekonomi, sebab
pekerjaan dalam bidang kesehatan banyak mengandung unsur sosial.
Perlindungan konsumen terhadap pelanggaran seseorang terhadap orang lainnya diatur
juga dalam KUH Perdata, yaitu Pasal 1365 – 1366. Bahwa terhadap akibat yang
ditimbulkannya, seseorang tersebut wajib untuk mengganti kerugian.
BAB IV
TANGGUNG JAWAB TENAGA KESEHATAN ATAS KERUGIAN
YANG DI DERITA PASIEN SEBAGAI KONSUMEN

1. Kerugian Pasien Sebagai Konsumen Di Bidang Pelayanan Medis


Terhadap kelalaian / kesalahan dari tenaga kesehatan di dalam melaksanakan tugasnya,
tentu saja sangat merugikan puihak pasien selaku konsumen. Dari kelalaian / kesalahan
tenaga kesehatan dalam pelayanan medis kemungkinan berdampak sangat besar dari
akibat yang ditimbulkan, apakah dari pasien mengalami ganguan- gangguan dari hasil
yang dilakukan, atau bisa juga menyebabkan cacat / kelumpuhan atau yang paling fatal
meninggal dunia. Dan hal tersebut tentu saja sangat merugikan dari pihak pasien.
Kerugian yang dialami pasien dapat diminta ganti kerugian terhadap tenaga ksehatan
yang melakukan kelalaian / kesalahan. Tetapi tidak semua kerugian dapat dimintakan
penggantian.32 Undang-Undang dalam hal ini mengadakan pembatasan, denga
menetapkan hanya kerugian yang dapat dikira-kirakan atau di duga pada waktu perjanjian
dibuat dan yang sungguh dianggap sebagai suatu akibat langsung dari kelalaian si pelaku
saja dapat dimintakan penggantian.
Kalau terjadi perbuatan melawan hukum, dalam arti tenaga kesehatan melakukan
kesalahan / kelalaian, tetapi kesalahan / kelalaian itu tidak menimbulkan kerugian, maka
tenaga kesehatan yang melakukan kesalahan / kelalaian tidak perlu bertanggung jawab
hukum terhadap apsien, dalam arti tidak perlu membayar ganti rugi kepada pasien.
Kerugian yang dialami seseorang akibat dari perbuatan melawan hukum, dapat berupa:
1. Kerugian materiil, kerugian ini dapat terdiri dari kerugian yang nyata – nyata diderita
dari kerugian berupa keuntungan yang seharusnya diterima.
2. Kerugian in materiil, kerugian yang bersifat in materiil berupa rasa takut, rasa sakit dan
kehilangan kesenangan hidup.
Jika melihat kasus yang terjadi di Jl. Buana Kubu ( Rumah Bersalin) yang mana dari
pihak pasien menuntut bidan, karena menurut dari pihak pasien, bahwa dari kesalahan
bidan menyebabkan bayi pertama pasien meninggal dunia.
Menurut Ibu Pudji, seorang tenaga kesehatan di RSUP Sanglah, dalam wawancara
tanggal 28 Oktober 2003, berpendapat;
Tenaga kesehatan ( bidan) dalam hal ini sudah melakukan tugas dengan baik, tetapi bidan
juga kurang hati – hati , karena seharusnya bidan mengetahui bahwa dari pihak pasien
sangat memerlukan bantuan ( keawaman pasien dalam bidang kesehatan). Yang mana
pada waktu perjalanan menuju ke RS, bidan seharunya bisa memberikan petunjuk
ataupun memberikan oksigen ataupun bantuan lain.

Menurut Ibu Astri di YLKI dalam wawancara tanggal 11 Novenber 2003, berpendapat;
Tenaga kesehatan ( bidan ) yang merupakan public service, yang mana di dalam
melaksankan pertolongan terhadap pasien sudah benar, namun bidan dalam hal ini
melakukan kelalaian terhadap pihak pasien, karena pada waktu menyuruh ke rumah sakit
sanglah , bidan tersebut tidak mendampingi langsung pasien , melainkan dengan
mengendarai kendaraan pribadi.

Pasal 1365 KUH Perdata menyebutkan bahwa” tiap perbuatan melanggar hukum, yang
membawa kerugian kepada seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya
menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut. Begitu pula terhadap ketentuan
Pasal 1366 KUH Perdata yang menyebutkan; “ setiap orang yang bertanggung jawab
tidak saja untuk kerugian yang disebabkan perbuatannya, tetapi juga untuk kerugian yang
disebabkan kelalaian atau kurang hati –hatinya.
Dilihat dalam UU No. 8 / 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, yang mana konsumen
dapat menuntut haknya atas kerugian yang diterima, yaitu dalam pasal 4 (h). UU No. 8/
1999 melindungi kepentingan konsumen karena didasari atas kedudukan konsumen yang
lebih lemah.

2. Tuntutan Ganti Rugi dari Pasien Yang Dirugikan


Seseorang yang merasa bahwa ia di rugikan oleh seseorang lain, dapat menuntut haknya
atas kerugian yang dialami terhadap yang berbuat. Begitu juga dalam pelayanan medis,
seorang konsumen ( pasien ) yang merasa dirugikan, berhak untuk mendapatkan ganti
rugi atas kerugian yang dialami dalam pelayanan medis tersebut.
Dari tuntutan yang dilakukan pasien haruslah berdasar, dalam arti bahwa ia dapat
membuktikan bahwa kerugian yang dialami memang benar dilakukan oleh yang
bersangkutan ( tenaga kesehatan ). Seseorang dapat dimintakan tanggung jawab
hukumnya, kalau seseorang tersebut melakukan kelalaian / kesalahan dan dari kelalaian /
kesalahan itu menimbulkan kerugian.33
Pasien dapat menggugat tanggung jawab hukum dari tenaga kesehatan, dalam hal berbuat
kesalahan / kelalaian. Tenaga kesehatan tidak dapat berlindung dengan dalih perbuatan
yang tidak disengaja, sebab kesalahan / kelalaian tersebut menimbulkan kerugian
terhadap pasien, dan menimbulkan hak bagi pasien untuk menggugat ganti rugi.
Kalangan kesehatan harus tetap menyadari bahwa dalam menjalankan profesi kesehatan,
mereka tidak saja bertanggung jawab terhadap pasien ( professional responsibility) tetapi
juga bertanggung jawab di bidang hukum (legal responsibility) terhadap pelayanan yang
diberikan.34 Pada dasarnya pertanggung jawaban perdata bertujuan untuk memperoleh
kompensasi atas kerugian yang diderita disamping untuk mencegah terjadinya hal- hal
yang tidak diinginkan. Dan biasanya yang menjadi sebab baik wanprestasi maupun
perbuatan melawan hukum, merupakan dasar untuk menuntut tanggung jawab dari tenaga
kesehatan.
Yang dimaksud dengan wanprestasi, yaitu keadaan tidak terpenuhinya suatu prestasi
yang disebabkan adanya kesalahan dari salah satu pihak di dalam suatu perjanjian.
Kesalahan tersebut dapat berwujud;
1. Kesengajaan, yaitu perbuatan yang dilakukan dengan diketahui dan dikehendaki.
Untuk terjadinya kesengajaan tidak diperlukan adanya maksud untuk menimbulkan
kerugian kepada orang lain. Cukup kiranya jika si pembuat walaupun mengetahui akan
akibatnya, tetapi tetap melakukan perbuatan tersebut.
2. Kelalaian, yaitu perbuatan di mana si pembuatnya mengetahui akan kemungkinan
terjadinya akibat yang merugikan orang lain.
Perbuatan wanprestasi dapat berupa;
a. melakukan apa yang dijanjikan tetapi tidak sebagaimana yang di janjikan,
b. tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya,
c. melakukan apa yang dijanjikan tapiu terlambat,
d. melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya.
Terhadap wanprestasi tersebut dapat dikenakan berupa sanksi, yaitu;
1. membayar kerugian yang di derita oleh pasien,
2. pembatalan perjanjian,
3. peralihan resiko,
4. membayar biaya perkara.
Kesalahan tenaga kesehatan di dalam menjalamkan profesinya dalam hal adanya kontrak
teraupetik ( pemulihan atau peningkatan kesehatan pasien)35, pada dasarnya meliputi
kesalahan yang berkaitan dengan kewajibannya yang timbul dari kontrak tersebut, Bila
kerugian yang diderita pasien di dasarkan pada wanprestasi, maka pasien harus
mempunyai bukti kerugian akibat tidak dipenuhinya kewajiban dari tenaga kesehatan
sesuai dengan standar profesinya.
Dalam hukum kesehatan tuntutan berdasarkan wanprestasi dapat didasarkan apabila
seorang ( tenaga kesehatan ) atau suatu lembaga ( rumah sakit ) telah berjanji untuk
memberikan pelayanan kesehatan, tetapi kemudian ternyata bahwa ia tidak / tidak cukup
melaksanakan janji tersebut, padahal ia tidak berada dalam keadaan memaksa.
Untuk memperoleh ganti rugi sebagai akibat dari wanprestasi, yang mana Pasal 55 UU
No. 23 / 1992 Tentang Kesehatan menyebutkan;
(1) Setiap orang berhak atas ganti rugi akibat kesalahan atau kelalaian yang di lakukan
tenaga kesehatan
(2) Ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksankan sesuai dengan peraturan
perundang- undangan yang berlaku.
Dari kerugian yang dialami pasien, dalam hal ini juga dapat menuntut ganti rugi sesuai
ketentuan dari P\eraturan Pemerintah RI No. 32 / 1996 Tentang Tenaga Kesehatan yaitu
ketentuan Pasal 23. Pasal tersebut dapat ditafsirkan sehingga memberikan kemungkinan
untuk menggugat tenaga kesehatan baik berdasarkan wanprestasi maupun perbuatan
melawan hukum.
Dalam hal tuntutan, didasarkan perbuatan melawan hukum, maka pasien dapat menuntut
tenaga kesehatan atas kerugian yang diterima. Hal ini diatur dalam Pasal 1365 KUH
Perdata. Inti dari pasal ini adalah ganti rugi yang harus diberikan oleh pihak yang
melakukan perbuatan melanggar hukum.
Pengertian perbuatan dalam arti luas berdasarkan Arrst Hoge Raad 31 Januari 1919
adalah mencakup pengertian berbuat atau tidak berbuat, yang melanggar hak orang lain
dan bertentangan dengan kewajiban hukum itu sendiri atau kesusilaan, atau kepatutan
dalam masyarakat, baik terhadap diri sendiri atau benda orang lain. Ini berarti kesalahan
diartikan secara luas yang meliputi kesengajaan, kelalaian dan kurang berhati- hati.
Tuntutan tanggung jawab tenaga kesehatan yang didasarkan atas perbuatan melanggar
hukum, maka pasien harus membuktikan bahwa kerugian yang dialami disebabkan
karena kesalahan tindakan tenaga kesehatan yang;
1. bertentangan dengan kewajiban profesional
2. melanggar hak pasien yang timbul dari kewajiban profesionalnya
3. bertentangan dengan kesusilaan
4. bertentagan dengan kepatutan masyarakat.
Di lihat dari Pasal 1365 KUH Perdata, bahwa untuk mencapai hasil yang baik dalam
melakukan tuntutan berdasarkan perbuatan melawan hukum haruslah memenuhi unsur-
unsur36;
1. perbuatan melawan hukum,
2. kesalahan / kelalaian,
3. kerugian,
4. hubungan kausal antara kesalahan / kelalaian dengan kerugian.
Untuk dapat dituntut berdasarkan perbuatan melawan hukum, Pasal 1365 KUH Perdata
mensyaratkan adanya kesalahan. Syarat kesalahan ini dapat diukur secara obyektif dan
subyektif.
a. Kesalahan yang diukur secara obyektif, bahwa orang yang melakukan perbuatan
melanggar hukum dianggap salah secara obyektif bila yang bersangkutan lain dari yang
seharusnya dilakukan orang- orang umum dalam keadaan sedemikian rupa menurut tata
kehidupan masyarakat yang berseangkutan. Di sebut obyektif, karena kesalahan ini
dilandasi oleh tata kehidupan masyarakat di lingkungan masyarakat tersebut.
b. Kesalahan yang diukur secara subyektif, adalah melihat kepada orang yang melakukan
perbuatan tersebut, apakah yang bersangkutan dapat dipertanggung jawabkan terhadap
perbuatan yang dilakukannya itu. Jadi subyeknya harus dibedakan antara orang yamng
cakap menurut hukum dengan yang tidak cakap menurut hukum.
Dalam pertanggung jawaban hukum dokter kerana melakukan perbuatan melawan hukum
selain mempertanggung jawabkan perbuatannya sendiri, ia juga bertanggung jawab atas
kesalahan yang dilakukan oleh tenaga kesehatan lain yang merupakan bawahannya atau
tanggungannya. Hal ini erat dengan Pasal 1367 KUH Perdata yang berbunyi ; Seorang
tidak saja bertanggung jawab untuk kerugian yang disebabkan perbuatannya sendiri,
tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan perbuatan orang-orang yang menjadi
tanggungannya / disebabkan oleh barang- barang yang berada di pengawasannya.
Gugatan terhadap perbuatan yang melanggar hukum itu dapat ditujukan kepada;
1. Pelaku perbuatan itu sendiri, apakah ia melakukan kesalahan, kelalaian, dan kurang
hati-hati yang menyebabkan kerugian pada orang lain ( pasal 1365, pasal 1366 KUH
Perdata). Bila ketentuan ini diterapkan dalam hukum kesehatan, maka gugatan itu dapat
ditujukan pada tenaga kesehatan baik dokter / para medis yang melakukan perbuatan
melawan hukum itu.
2. Orang – orang yang bertanggung jawab atas perbuatan orang – orang yang menjadi
tanggungannya atau barang – barang yang berada di bawah pengawasannya (Ket. Pas
1367 KUH Perdata ). Jika hal ini diterapkan dalam hukum kesehatan berarti bahwa
gugatan berdasarkan perbuatan melawan hukum dapat juga ditujukan pada orang /
lembaga yang bertanggung jawab atas perbuatan orang lain , yaitu misalnya, rumah sakit,
dokter yang harus bertanggung jawab bagi perbuatan tenaga kesehatan yang bekerja pada
mereka.
Dalam hal pasien yang tidak sadar dalam kondisi gawat darurat, tenaga kesehatan dapat
mengambil tindakan medis tanpa adanya persetujuan dari pasien atau pihak pasien
dengan alasan penyelamatan jiwa.
Persetujuan yang demikian disebut dengan persetujuan diam – diam, dan tenaga
kesehatan bertindak sebagai zaakwarneming (wakil sukarela) dari pasien berdasarkan
Pasal 1354 KUH Perdata, suatu sikap yang pada dasarnya pengambil alihan tanggung
jawab dengan bertindak menolong pasien.
Bunyi dari Pasal 1354 KUH Perdata: Jika seseorang dengan sukarela, dengan tidak
mendapat perintah untik itu, mewakili urusan orang lain dengan atau tanpa pengetahuan
orang ini, maka ia secara diam – diam mengikat dirinya utuk meneruskan serta
menyelesaikan urusan, hingga orang yang diwakili kepentingannya dapat mengerjakan
sendiri urusan itu.
Dalam Pasal 11 Permenkes No. 585 / 1985 Tentang Persetujuan Tindakan Medik,
menyatakan bahwa untuk kasus gawat darurat tidak diperlukan adanya persetujuan
tindakan medik. Sehingga dapat dikatakan disini bahwa ada hubungan yang erat antara
zaakwarneming dengan gawat darurat, yaitu setiap kasus gawat penanganannya
merupakan zaakwarneming, tetapi tidak setiap zaakwarneming mempunyai hubungan
dengan gawat darurat. Tindakan tenaga kesehatan dalam hal gawat darurat adalah
tindakan berdasarkan Pasal 1354 KUH Perdata, namun tetap melahirkan tanggung jawab
yang harus dipikul oleh si pengambil alih tersebut atas segala sikap tindak yang
dilakukannya.

3. Pihak Tenaga Kesehatan Yang Mesti Bertanggung Jawab Atas Kerugian Pasien
Kasus hukum dalam pelayanan medis umumnya terjadi di rumah sakit dimana tenaga
kesehatan bekerja. Rumah sakit merupakan suatu yang pada pokoknya dapat
dikelompokkan menjadi;37
- pelayanan medis dalam arti luas yang menyangkut kegiatan promotif, preventif,
kuratif ,dan rehabilitatif
- pendidikan dan latihan tenaga medis
- penelitian dan pengembangan ilmu kedokteran
Pertanggung jawaban hukum rumah sakit, dalam hal ini badan hukum yang memilikinya
bisa dituntut atas kerugian yang terjadi, bisa secara;
1. langsung sebagai pihak, pada suatu perjanjian bila ada wanprestasi, atau
2. tidak langsung sebagai majikan bila karyawannya dalam pengertian peraturan
perundang-undangan melakukan perbuatan melanggar hukum
Tenaga Kesehatan yang berpraktek di rumah sakit bisa merupakan karyawan, misalnya
dokter disebut ( dokter purnawaktu ) atau sebagai dokter tamu (visiting doctor).
Kadangkala pasien sulit mengetahui status dokter yang merawatnya. Di samping itu ada
pendapat yang mengatakan bahwa RS sebagai suatu lembaga yang memberikan
pelayanan perawatan dan pengobatan, bertanggung jawab atas segala peristiwa yang
terjadi di dalamnya. Atas dasar itu timbul doktrin Corporate Liability dimana secara
resmi terhadap pasien yang di rawat, RS bertanggung jawab atas pengendalian mutu
secara keseluruhan dari pelayanan yang diberikan. Jika terjadi kesalahan yang dilakukan
tenaga kesehatan di rumah sakit bersangkutan, selain tenaga kesehatan yang melakukan
tindakan, rumah sakit dalam hal ini juga bertanggung jawab atas bawahannya.
Sanksi yang dijauhkan kepada tenaga kesehata yang melakukan kesalahan ataupun
kelalaian dapat berupa; nasehat- nasehat dan anjuran , teguran-teguran keras, usul
pencabutan ijin praktek , usul pemindahan ke tempat lain. Terhadap tenaga PNS yang
bekerja di Rumah sakit yang terbukti bersalah, sanksi yang diberikan kemungkinan
dipindahkan ke tempat lain, sedangkan terhadap tenaga swasta biasanya sanksi yang
diberikan berupa diberhentikan sementara dari tugasnya atau dipecat.
Doktrin Vicarious Liability Let The Master Answer, ( Majikan – Karyawan ) bisa
diterapkan dalam hubungan rumah sakit dengan karyawannya. Sehubungan dengan
doktrin Vicarious Liability ini ada yang disebut doktrin Captain Of The Ship yang
berlaku bagi dokter bedah yang melakukan operasi di rumah sakit. Dokter bedah tersebut,
dalam hal ini tidak bekerja dalam kaitan langsung untuk dan atas nama rumah sakit,38
misalnya dokter tamu atau dokter karyawan untuk pasien pribadinya. Dokter itu dianggap
bertanggung jawab atas kesalahan stafnya termasuk perawat bedah. Dalam hal ini
perawat tersebut yang merupakan karyawan RS dianggap dipinjamkan, sehingga
tanggung jawab itu beralih kepada si pemakai yaitu dokter bedah. Pasien yang menuntut
harus memastikan dulu apakah dokter bedah itu bertnaggung jawab atas doktrin
Majikan–Karyawan dan apakah dokter itu mengawasi dan memberikan segala instruksi
kepada perawat pada saat peristiwa itu terjadi. Khusus mengenai dokter anestesi, dokter
bedah tidak bertanggung jawab terhadap tindakannya yang pada umumnya sudah
dianggap bertanggung jawab penuh sendiri atas segala tindakannya. Biasanya di dalam
kamar induksi Captain Of The Shipnya adalah anestisiolog.
BAB V
KASUS DAN ANALISA
1. Kasus
No. Perkara: 28 / Pdt. G / 2003/ PN. DPS
Penggugat ; Juli Christina (31tahun), Kristen, Wiraswasta, Alamat; Jl. Buana Kubu Gg
Asem XIV B / 3 Dps,
Penggugat ; Bambang Santoso (28 tahun ), Wiraswata, Alamat sama.
Selanjutnya disebut Penggugat I dan Penggugat II melawan;
Tergugat :
I Gusti Ayu Suniti;Bidan pada Rumah Bersalin Ikatan Bidan Bali, Jl. Buana Kubu No;51
Dps, selanjutnya disebut tergugat I
I Gusti Rai Widiasih : Pimpinan Runah Bersalin Ikatan Bali , Jl. Buana Kubu No;51 Dps,
selanjutnya disebut tergugat II
Ni Wayan Suri, SKm : Ketua Yayasan Buah Delima, Jl. Buana Kubu No;51 Dps,
selanjutnya disebut tergugat III.

Kasus Posisi :
Bahwa Penggugat I & 2 adalah suami istri. Dari hasil perkawinan tersebut penggugat I
mulai mengandung anak pertama. Dari pemeriksaan di Rumah Bersalin Ikatan Bidan Bali
tersebut, selalu dinyatakan kandungan penggugat I dalam keadaan normal dan kondisi
bayi serta Ibu sehat- sehat, tidak ada kelainan apapun. Dari pemeriksaan itu juga diawasi
oleh dokter Made Suyasa Jaya, Sp OG. Pada tanggal 11 agustus 2002, jam 20.00 wita,
perut penggugat I terasa sakit ( gejala mau melahirkan), kemudian diajak oleh penggugat
II ke RB Ikatan Bidan Bali untuk melakukan persalinan.Dan pada jam 21.00 wita, Bidan
I Gusti Ayu Suniti (tergugat I) mulai memeriksa kandungan penggugat I, dan
memberikan petunjuk kepada penggugat I mengenai cara bernafas saat mau melahirkan ;
Tergugat I juga melakukan pemeriksaan detak jantung bayi dalam kandungan. Pada jam
21.30 wita terjadi kecelakaan lalu-lintas di depan RB tersebut, kemudian tergugat I keluar
dari ruangan dan meninggalkan pengugat I dan I. Pada jam 22.15 wita, tergugat baru lagi
ke kamar periksa. Selanjutnya tergugat I melakukan pemecahan ketuban penggugat I.
Dan saat ketuban penggugat I telah dipecahkan oleh tergugat I, seketika itu tergugat I
tampak kaget, panik serta kebingungan. Setelah itu tergugat I langsung menyuruh
penggugat II untuk membawa penggugat I ke RSUP Sanglah Dps. Atas suruhan tergugat
I, penggugat II mengantar pengguggat I ke RSUP Sanglah Dps dengan mempergunakan
kendaraan Mobil Bix milik penggugat II tanpa ditemani tergugat I. Pada jam 22.45
penggugat I dan II sampai di RSUP Sanglah, langsung dibawa ke IRD RSUP Sanglah
Dps. Tergugat I tiba di RSUP Sanglah pada jam 22.55 dengan mengendarai mobil
sendiri. Pada saat itu penggugat I sedang ditangani oleh tim medis RSUP Sanglah, dan
tanggal 11 Agustus 2002 jam 23.10 wita, penggugat I melahirkan, namun bayi tersebut
lahir dalam keadaan meninggal.
Bahwa sesuai dengan keterangan pihak RSUP Sangah tanggal 30 agustus 2002, penyebab
kematian bayi adalah Prolaps Tali Pusat dan kematian sudah dalam kandungan. Karena
akibat tidak seriusnya dan tidak hati- hatinya tergugat I di dalam menangani persalinan
penggugat I, serta tidak lengkapnya sarana yang dimiliki oleh RB tersebut, sehingga dari
perbuatan itu telah mengakibatkan meninggalnya bayi pertama dan satu –satunya dari
penggugat I dan penggugat II.
Tergugat II adalah pimpinan dari Rumah Bersalin tersebut di atas, bertanggung jawab
penuh atas aktifitas dari RB tersebut, mengawasi semua staf yang ada di rumah bersalin,
termasuk terhadap tindakan yang dilakukan tergugat I. Bahwa tergugat III adalah
pimpinan Yayasan Buah Delima yang memiliki Rumah beralin tersebut. Sebagai ketua
yayasan, tergugat III bertanggung jawab pula terhadap keberadaan dari rumah bersalin,
termasuk terhadap pimpinan rumah bersalin tersebut yaitu tergugat II.
Sesuai dengan UU Kesehatan No; 23 /1992 Tentang Kesehatan, PP No. 32 / 1996 tentang
Tenaga Kesehatan serta pasal 1365 dan pasal 1366 KUH Perdata. Perbuatan Tergugat I,
II, III adalah perbuatan melawan hukum, maka para penggugat berhak menuntut ganti
rugi kepada tergugat I, II, III.
Adapun tuntutan ganti rugi dari penggugat yaitu:
- Ganti Rugi Materiil ; biaya pemeriksaan kandungan, susu untuk ibu, obat-obatan, biaya
ambulan, sewa tempat, biaya pemakaman , biaya lain-lain. Kerugian materiil seluruhnya
sebesar Rp. 23.035.000,- ( dua puluh juta tiga pulu lima ribu rupiah).
- Ganti Rugi Moril ; sebesar Rp. 1000.000.000,- ( sati miyar rupiah) mengingat betapa
besar rasa duka, sedih kecewa akibat meninggalnya bayi pertama yang sangat di
dambakan oleh penggugat.
Dalam perkara perdata / tentang gugatan ganti rugi;
1. mengabulkan gugatan para pengugat seluruhnya,
2. menyatakan sah dan berharaga sita jaminan dalam perkara ini,
3. menyatakan perbuatan para tergugat dalam perkara ini adalah sebagai perbuatan
melawan hukum,
4. menghukum para tergugat secara tanggung renteng untuk membayar ganti kerugian
kepada para pengguagt berupa kerugia materi sebesar 23.035.000,- ( dua puluh tiga juta
tiga puluh lima ribu rupiah) yang harus dibayar secara seketika dan sekaligus,
5. menghukum para tergugat untuk membayar ganti rugi kepada penggugat secara
tanggung renteng akibat kerugian moril yang dinilai dengan uang berjumlah
1.000.000.000,- (satu miliyar rupiah) atau sejumlah yang dianggap pantas dan adil
menurut hukum yang harus dibayar secara seketika dan sekaligus,
6. menghukum para tergugat membayar biaya perkara,
Atau mohon keputusan yang seadil-adilnya;
Putusan Hakim:
Dengan melihat bukti baik yang diajukan oleh para penggugat dan mendengarkan
keterangan dari para saksi maupun dari keterangan para tergugat, serta dengan beberapa
pertimbangan hakim akhirnya Majelis hakim Pengadilan Negeri Denpasar memutuskan;
- menolak gugatan para penggugat seluruhnya,
- menghukum para penggugat untuk membayar biaya perkara yang berjumlah Rp
309.000,- ( tiga ratus sembilan ribu rupiah);
Demikianlah Demikianlah diputuskan dalam rapat permusyawaratan Majelis Hakim pada
hari ; selasa 27 Mei 2003, oleh; I wayan Sugawa, SH sebagai Ketua Majelis, I Gusti
Lanang Dauh, SH dan Arifin,SH masing-masing sebagai hakim anggota berdasarkan
Penetapan Ketua Pengadilan Negeri Denpasar tanggal 06 Pebruari 2003 No. 28/ Pdt/ G/
2003/ PN. Dps putusan mana diucapkan dalam sidang yang terbuka untuk umum pada
hari ini juga oleh Ketua Majelis dan hakim-hakim anggota tersebut dengan dibantu oleh
Ni Ketut Sri Menawati, SH Panitera pengganti serta dihadiri pula oleh kuasa para
penggugat dan para tergugat.
Catatan: Bahwa dari pihak para penggugat mengajukan banding.

2. Analisa Kasus
Dari Putusan Pengadilan Negeri Denpasar No. 28/ Pdt. G/ 2003/ PN.Dps, yang menjadi
perhatian penulis adalah mengenai Perlindungan Pasien sebagai Konsumen Jasa
Pelayanan Medis dari kasus diatas.
Dilihat dari ketentuan pasal 54 (2) UU No. 23/ 1992 tentang kesehatan menyatakan;
penentuan ada tidaknya kesalahan atau sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditentukan
oleh Majelis Disiplin Tenaga Kesehatan dan didalam penjelasannya pasal tersebut
maksud dari ayat (2) adalah untuk memberikan perlindungan yang seimbang dan obyektif
baik kepada tenaga kesehatan maupun pihak penerima pelayanan kesehatan.
Pertimbangan ada tidaknya kesalahan atau kelalaian atas penerapan standar profesi
dilakukan oleh suatu Majelis. Majelis ini tidak hanya terdiri dari tenaga kesehatan saja,
tetapi juga tenaga bidang lain yang berkaitan seperti ahli hukum, ahli psikologi, ahli
sosiologi, ahli agama.
Berdasarkan pasal 55 ayat (1) UU No.23/ 1992 berbunyi; Setiap orang berhak atas ganti
rugi akibat kesalahan atau kelalaian yang dilakukan tenaga kesehatan, dalam penjelasan
UU tersebut dimaksud pemberian hak atas ganti rugi merupakan suatu upaya untuk
memberikan perlindungan kepada setiap orang atas suatu akibat yang timbul, baik fisik
maupun non fisik karena kesalahan atau kelalaian tenaga kesehatan.
Dari kasus diatas, berdasarkan surat –surat bukti dan keterangan saksi penggugat I dan
tergugat, bayi dari penggugat I & II lahir di RS Sanglah dalam keadaan mati yang
disebabkan oleh Prolaps Tali Pusar.
Penulis berpendapat, bahwa bidan (tergugat I ) telah melakukan pertolongan dengan baik,
dari pemeriksaan, maupun pemberian petunjuk saat mau melahirkan. Tetapi pada waktu
ketuban penggugat pecah, bidan langsung menyuruh penggugat II ( suami penggugat I)
untuk segera membawa penggugat I ke RS Sanglah. Pada saat penggugat II membawa
penggugat I ke RS, bidan seharusnya mendampingi penggugat I langsung ke rumah sakit.
Jika melihat kondisi dari penggugat I sudah mau melahirkan, seharusnya bidan ada dan
menberikan petunjuk ataupun bantuan lain gunan membantu memperingan penderitaan
pasien.

BAB VI
PENUTUP

1. Kesimpulan
Berdasarkan atas apa yang telah diuraikan dalam bab – bab tersebut di atas, maka dapat
diambil suatu kesimpulan sebagai berikut ;
a. Bahwa perlindungan hukum terhadap pasien ada, hal ini diatur di dalam UU No. 23/
1992 Tentang Kesehatan, Peraturan Pemerintah RI No. 32 / 1996 Tentang Tenaga
Kesehatan dan KUH Perdata.
b. Pihak pasien, dapat menuntut ganti rugi terhadap kesalahan / kelalaian tenaga medis,
yang didasarkan ketentuan Pasal 1365-1366 KUH Perdata, Pasal 55 dari UU No. 23 /
1992 Tentang Kesehatan dan Pasal 23 dari PP RI No. 32 / 1996 Tentang Tenaga
Kesehatan.

c. Mengenai siapa yang harus bertanggung jawab terhadap kerugian pasien yaitu rumah
sakit tidak selalu bertanggung jawab jika terjadi kesalahan dari tenaga kesehatan di
Rumah Sakit bersangkutan, karena dari tenaga kesehatan sendiri ada yang langsung
bertangung jawab atas kerugian yang dialami pasien.

2. Saran
Hendaknya perlindungan hukum terhadap pasien maupun perlindungan dan tanggung
jawab tenaga kesehatan haruslah diatur dalam undang – undang tersendiri. Pengaturan
khusus ini diperlukan baik untuk kepentingan pasien itu sendiri dan tenaga kesehatan.
Dari pihak pasien sendiri jika merasa tidak puas terhadap tindakan tenaga kesehatan,
janganlah mengambil kesimpulan dan mengganggap kesalahan selalu berada pada pihak
tenaga kesehatan.

DAFTAR BACAAN

I BUKU
Benyamin Lumenta, Pasien, Citra, Peran, dan Perilaku, Kanisius, Yogyakarta, 1989
………..................., Pelayanan Medis, Citra, Konflik, dan Harapan, Kanisius,
Yogyakarta, 1989
Chrisdiono. M. Achadiat, Pernik – Pernik Hukum Kedokteran, Melindungi Pasien dan
Dokter, Cet I, Widya Medika, Jakarta, 1996
Danny Wiradharma, Penuntut Kuliah Hukum Kedokteran, Binarupa Aksara, Jakarta,
1996
Djamali.R Abdoel & L.Terja Permana, Tanggung Jawab Hukum Seorang Dokter Dalam
Menangani Pasien, Abardin, Jakarta, 1988
Gunawan Widjaya & Yani Ahmad, Hukum Tentang Perlindungan Konsumen, PT
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2000
Guwandi. J, Malpraktek Medik, Universitas Indonesia, Jakrta, 1993
Hermien Hadiati & Keoswadji, Hukum dan Masalah Medik, Airlangga, Surabaya, 1984
Jusuf Hanafiah & Amir Amri, Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan, Cet. III,
Kedokteran EGC, Jakarta 1999
Leenen & Lamintang, Pelayanan Kesehatan dan Hukum, Binacipta, Bandung, 1991
Moegni Djojodirjo, Perbuatan Melawan Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta, 1979

Setiawan, R., Pokok –Pokok Hukum Perikatan, Binacipta , Bandung, 1986


……………, Tinjauan Elementer Perbuatan Melawan Hukum, Alumni, Bandung, 1982
Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, PT. Grasindo, Jakarta, 2000
Soerjono Soekanto & Herkutanto, Pengantar Hukum Kesehatan, Ramadja Karya, CV,
Bandung, 1987
Subekti, Pokok- Pokok Hukum Perdata, Intermasa, Cet. X, Jakarta, 1985
Wila Chandrawila Supriadi, Hukum Kedokteran, CV. Mandar Maju, 2001
Wirjono Prodjodikoro, Perbuatan Melanggar Hukum, Sumur, Bandung, 1992
Yahya Harahap, Segi- segi Hukum perjanjian, Alumni, bandung

II. Peraturan Perundang - Undangan


Subekti, R & Tjitro Sudibyo, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, XXVIII, Pradnya
Paramita, Jakarta, 1996
………. Undang- Undang Kesehatan, 1992, Sinar Grafika, 1992

III. Makalah
Koplogan, I. Wayan, Peranan Pasien Terhadap Timbulnya Malpraktek Kedokteran,
Hukum UNUD, 1990
DAFTAR INFORMAN

NAMA: dr. Eka Gunawijaya, Sp.A


UMUR: 34 Tahun
AGAMA: Hindu
PENDIDIKAN : dokter
JABATAN: dr.Sp
ALAMAT: Jl. Pulau Batam IV / 2

NAMA: I Kadek Astrini


UMUR: -
AGAMA: Hindu
PENDIDIKAN : -
JABATAN: Bidang Pengaduan di YLKI
ALAMAT: Jl. Gatot Subroto I /10

NAMA: I Nyoman Pudji


UMUR: 49
AGAMA: Hindu
PENDIDIKAN : SPK
JABATAN: -
ALAMAT: Jl. Raya sesetan Gg Teratai Putih no; 27

DAFTAR ISI

Halaman
HALAMAN JUDUL i
HALAMAN PENGESAHAN ii
KATA PENGANTAR iii
DAFTAR ISI v
BAB I PENDAHULUAN
1. Permasalahan 1
b. Latar Belakang Masalah 1
c. Rumusan Masalah 3
d. Ruang Lingkup Masalah 4
2 Telaah Pustaka 4
3 Hipotesis 12
4 Tujuan Penulisan 13
5 Metode Penelitian 14
a. Pendekatan masalah 14
b. Sumber data 14
c. Teknik pengumpulan data 15
d. Teknik Pengolahan dan analisis data 15
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PASIEN SEBAGAI KONSUMEN JASA
PELAYANAN DI BIDANG MEDIS
1 Pengertian dan Hak-hak Yang Di miliki Konsumen
2. Pasien Sebagai Konsumen Jasa Pelayanan di Bidang Medis
3. Pengertian dan Katagori Tenaga Kesahatan
BAB III PELAYANAN MEDIS OLEH TENAGA KESEHATAN DAN
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PASIEN SEBAGAI KONSUMEN
1 Hubungan Hukum Antara Pasien Dengan Tenaga Kesehatan.
2. Hak Dan Kewajiban Tenaga Kesehatan
3. Hak Dan Kewajiban Pasien Sebagai Konsumen
4. Perlindungan Terhadap Pasien Atas Pelanggaran Di Bidang Pelayanan Medis
BAB IV TANGGUNG JAWAB TENAGA KESEHATAN ATAS KERUGIAN YANG
DIDERITA PASIEN SEBAGAI KONSUMEN
1 Kerugian Pasien sebagai Konsumen di Bidang Pelayanan Medis
2 Tuntutan Ganti Rugi dari Pasien Yang Dirugikan
3 Pihak Tenaga Kesehatan Yang Mesti Bertanggung Jawab Atas Kerugian Pasien
BAB V KASUS DAN ANALISA
1. Kasus………………………………………………………........
2. Analisa……………………………………………………….....
BAB VI PENUTUP
1. Kesimpulan
2. Saran
DAFTAR BACAAN
DAFTAR INFORMAN
LAMPIRAN-LAMPIRAN
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PASIEN SEBAGAI KONSUMEN JASA DI
BIDANG PELAYANAN MEDIS
(Suatu Tinjauan Dari Sudut Hukum Perdata)

OLEH

I NYOMAN AGUS WEDHA P


NIM : 9903005022

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS UDAYANA
BUKIT JIMBARAN
2003

You might also like