Professional Documents
Culture Documents
Seperti halnya kaidah-kaidah hukum lainya, hukum internasional juga memiliki sumber
yang darinya terlahir kaidah-kaidah hukum internasional.
Namun perlu diingat ketika dikatakan “sumber hukum internasional” maka yang
dimaksud adalah sumber hukum formil. Hal ini karena doktrin hukum internasional
jarang panjang lebar mebahas sumber hukum materil, karena sumber hukum materil
sebenarnya sudah lebih dahulu menjadi perhatian hukum secara umum sebelum hukum
internasional, maka ia ia lebih tepat masuk dalam kajian ilmu sosiologi hukum atau ilmu
filsafat hukum internasional secara umum.
Penyebutan sumber-sumber secara urut dalam pasal ini bukan berarti adanya hierarki
dalam sumber-sumber tersebut, namun pasal ini hanya ingin membedakan antara sumber
yang pokok (al ashlî) dengan sumber pelengkap (al ihtiyâthi).
Yang termasuk dalam sumber pokok adalah perjanjian internasional dan kebiasaan
internasional. Sedangkan yang termasuk ke dalam sumber pelengkap adalah prinsip-
prinsip hukum umum serta keputusan pengadilan dan pendapat para ahli.
Mengenai sumber yang ketiga yaitu prinsip-prinsip hukum umum , doktrin hukum
internasional berbeda pandang, yaitu dengan memasukanya ke dalam sumber-sumber
pokok.
Dari keempat sumber diatas hanya dua sumber yang akan diulas dalam makalah ini yaitu
perjanjian internasional dan kebiasaan internasinal, atau yang dinamakan dengan sumber
pokok.
Bahasan perjanjian internasional cukup luas, diantara hal mendasar mengenai perjanjian
internasional ini adalah definisi, macam-macam, ruang lingkup berlaku, revisi dan
amandeman, serta gugurnya perjanjian internasional.
Berikut ini kita akan mencoba mengulas tentang peristilahan, definisi, macam-macam
dan tahapan-tahapan pelaksanaan dan ruang lingkup berlakunya perjanjian internasional.
I. Peristilahan
Ada beberapa istilah yang sering dipakai untuk perjanjian internasional, diantaranya
adalah: Traktat (Treaty/traitê/al mu’âhadah), konstitusi (constitution/al dustûr), piagam
(charter/charte/al mîtsâq), pakta (pacte/al ‘ahdu), statuta (statut/al nidzôm), konvensi
(convention/al ittifâqiyât), persetujuan (agreement/accord/al ittifâq), pertukaran surat
(êchange de lettres/al khitôbât al mutabâdilah), pertukaran nota (exchange of
notes/êchange de notes/al mudzâkirôt al mutabâdilah), protokol (protocol/al brutûkûl),
deklarasi (declaration/dêclaration/al ‘ilân/al tashrîh), arrangement (attaswiyyah), modus
vivendi ( modus vivendu/attaswiyyah al mu’aqqotah), Memorandum of Understanding,
final act, Process Verbal, letter of intents.
Walaupun istilah-istilah ini bermakna sama yaitu digunakan untuk menyatakan substansi
yang sama yaitu perjanjian internasional, akan tetapi berdasarkan sensus ada beberapa
istilah mempunyai makna perjanjian internasional tertentu, yaitu:
Istilah konvensi mencakup juga pengertian perjanjian internasional secara umum. Dengan
demikian, menurut pengertian umum, istilah konvensi dapat disamakan dengan
pengertian umum treaty. Istilah konvensi digunakan untuk perjanjian-perjanjian
multilateral yang beranggotakan banyak pihak.
Sebagai contoh perjanjian internasional jenis ini ialah Konvensi Jenewa tahun 1949
tentang Perlindungan Korban Perang.
a. Protocol of signature
b. Optional protocol
c. Protocol based on a framework treaty
Protokol ini merupakan sebagai tambahan dari perjanjian utamanya. Misalnya adalah
“the 1987 Montreal Protocol on Substances that Deplete the Ozone Layer adopted on the
basis of Arts.2 and 8 of the 1985 Vienna Convention for the Protection of the Ozone
Layer.”
Arrangement /attaswiyyah
Adalah suatu perjanjian yang mengatur pelaksanaan teknik operasional suatu perjanjian
induk.
Adalah merupakan catatan mengenai hasil perundingan yang telah disepakati oleh pihak-
pihak dalam perjanjian. Catatan ini akan digunakan dalam perundingan selanjutnya.
Process Verbal
Istilah ini dipakai untuk mencatat pertukaran atau penyimpanan piagam pengesahan atau
untuk mencatat kesepakatan hal-hal yang bersifat tekhik administratif atau perubahan-
perubahan kecil dalam suatu persetujuan.
Memorandum of Understanding.
Sebuah perjanjian yang berisi pernyataan persetujuan tidak langsung atas perjanjian
lainnya; atau pengikatan kontrak yang sah atas suatu materi yang bersifat informal atau
persyaratan yang longgar, kecuali pernyataan tersebut disertai atau merupakan hasil
persetujuan atau kesepakatan pemikiran dari para pihak yang dikehendaki oleh keduanya
untuk mengikat.
Final Act
Final Act adalah suatu dokumen yang berisikan ringkasan laporan sidang dari suatu
konfensi dan yang juga menyebutkan perjanjian-perjanjian atau konvensi-konvensi yang
dihasilkan oleh konfrensi tersebut dengan kadang-kadang disertai anjuran atau harapan
yang sekiranya dianggap perlu. Contohnya ialah Final Act General Agreement on Tariff
and Trade (GATT) tahun 1994.
Perjanjian internasional dalam Konvensi Wina tahun 1969 Pasal 2 (1) (a) diartikan
sebagai :
“An International agreement concluded between States in written form and governed by
international law, whether embodied in a single instrument or in two or more related
instruments and whatever its particular designation”
“ Ittifâqun dauliyyun yu’qodu baina daulataini au aktsara kitâbatan wa yakhdlo’u li al
qônûn al daulî sawâ’un tamma tadwînuhu fî watsîqotin wâhidatin au aktsara wa ayyan
kânat al tasmiyyah allatî tuthlaqu ‘alaihi”
Yaitu kesepakatan internasional yang dibuat oleh dua Negara atau lebih dan tunduk
terhadap hukum internasional, baik dalam bentuk satu dokumen atau lebih dan apapun
namanya.
Definisi diatas mengisyaratkan bahwa perjanjian internasional dapat dibuat oleh dua
Negara atau lebih , itu artinya bahwa yang dikategorikan perjanjian internasional hanya
terbatas pada kesepakatan yang berlangsung antar lembaga Negara saja, hal ini yang
mendorong para pembuat naskah konvensi untuk meratifikasi konvensi ini dengan
meletakan pasal 3 yang mengisyaratkan terjadinya perjanjian internasional antara Negara
dengan subjek hukum internasional lainya seperti halnya organisasi internasional, dan
juga mengisyaratkan bahwa tidak diterapkannya perjanjian internasional terhadap
Negara, tidak mempengaruhi kekuatan hukumnya, selain itu pasal ini juga
mengisyaratkan bahwa dapat diterapkanya kaidah-kaidah yang tertera dalam perjanjian
internasional terhadap Negara yang memiliki sifat hukum internasional, yang berlaku
untuk Negara dan organisasi internasional.
Dari definisi ini kita dapat menarik kesimpulan bahwa unsur-unsur perjanjian
internasional adalah :
- Adanya suatu persetujuan internasional;
- Dibuat oleh subjek hukum internasional ;
- Dalam bentuk tertulis ;
- Didasarkan pada hukum internasional;
- Dibuat dalam instrumen tunggal atau lebih;
- Memiliki nama apapun.
Adapun berdasarkan prinsip formil (al asâs al syaklî) maka perjanjian internasional dapat
di bedakan dalam bebarapa kelompok, yaitu:
Perjanjian juga dapat dibedakan bedasarkan sifat goegrafis. Oleh karenanya kita
mengenal perjanjian regional dan perjanjian universal. Perjanjian regional adalah
perjanjian yang sifatnya terbatas pada letak geografik tertentu. Sedangkan perjanjian
universal sifatnya menyeluruh tidak terbatas pada letak georafik tertentu.
Negosiasi (negotiation/al mufâwadloh), yaitu transaksi tawar menawar antara pihak yang
bermaksud melangsungkan perjanjian sekitar materi perjanjian dengan tujuan tercapainya
mufakat dalam transaksi ini.
Yang jadi pertanyaan adalah apakah akibat-akibat hukum dari perjanjian internasional itu
hanya berlaku bagi pihak penandatangan, atau berlaku juga bagi pihak bukan
penandatangan?
Untuk menjawab pertanyaan ini Prof.Dr.Abdul Ghoni, guru besar Hukum Internasional
fakultas Syarî’ah dan Hukum Universitas Al Azhar Cairo menjelaskan bahwa perjanjian
internasional ketika sudah masuk pada tahap pelaksanaan (tanfîdz) maka ia menimbulkan
akibat-akibat hukum bagi para pihak penandatangan, yaitu dengan lahirnya hak-hak dan
kewajiban-kewajiban tertentu bagi semua pihak penandatangan , dan hak-hak serta
kewajiban-kewajiban ini wajib diperhatikan dan dilaksanakan. Inilah yang dinamakan
“sifat mengikat sebuah perjanjian internasional terhadap para pihak penandatangan”
(iktisâb al mu’âhadah al quwwah al qônûniyyah al mulzimah li athrôfiha).
Namun kesimpulan ini bukanlah harga mati, hal ini karena ada beberapa pengecualian
dari prinsip yang terakhir disebutkan, mengingat prinsip tersebut bukanlah prinsip mutlak
yang tidak menerima pengecualian . Artinya perjanjian internasional, akibat hukumnya
dapat berlaku juga bagi selain pihak perjanjian sebagai pengecualian dari prinsip
nisbiyyatu âtsâri al mu’âhadah , yaitu dalam keadaan-keadaan sebagai berikut:
1.Bergabungnya pihak lain dalam perjanjian atau menerima perjanjian;
2.Adanya pensyaratan dalam perjanjian untuk kemaslahatan pihak lain;
3.Adanya pelimpahan kewajiban yang timbul dari perjanjian terhadap negara yang bukan
anggota;
4.Adanya perjanjian yang akibat hukumnya melintas Negara-negara bukan anggota,
karena perjanjian tersebut mempunyai karakter yang khusus;
PENUTUP
Dalam makalah ini penulis hanya dapat menyampaikan beberapa hal penting saja
mengenai dua sumber diatas khususnya tentang peristilahan, definisi, macam-macam,
pelaksanaan dan ruang lingkup berlakunya perjanjian internasional, serta definisi dan
unsur-unsur kebiasaan internasional.
Semoga bermanfaat dan mudah-mudahan di masa yang akan datang makalah ini dapat
lebih disempurnakan. Dan demi lebih baiknya makalah ini, walaupun terasa “ngeri” kritik
dan saran tetap dibuka.
Kebenaran mutlak hanya milik Yang Maha Kuasa. Salah dan Khilaf adalah semata-mata
kekeliruan dari kami. Wallâhu a’alam!