You are on page 1of 12

PENDAHULUAN

Seperti halnya kaidah-kaidah hukum lainya, hukum internasional juga memiliki sumber
yang darinya terlahir kaidah-kaidah hukum internasional.

Secara umum, doktrin membedakan antara sumber-sumber materil (the material


sources/less sources matêrielles/ al mahsôdir al mâdiyyah) dan sumber-sumber
formil(formal sources/less sources formelles/ al mashôdir al syakliyah).

Yang dimaksud dengan sumber hukum materil adalah sebab-sebab, peristiwa-peri

stiwa,kebutuhan sosial,dan nilai-nilai yang menyebabkan adanya kaidah hukum


internasional. Sedangkan sumber formil adalah sumber-sumber yang mengakibatkan
kaidah hukum internasional mempunyai kekuatan memaksa.

Namun perlu diingat ketika dikatakan “sumber hukum internasional” maka yang
dimaksud adalah sumber hukum formil. Hal ini karena doktrin hukum internasional
jarang panjang lebar mebahas sumber hukum materil, karena sumber hukum materil
sebenarnya sudah lebih dahulu menjadi perhatian hukum secara umum sebelum hukum
internasional, maka ia ia lebih tepat masuk dalam kajian ilmu sosiologi hukum atau ilmu
filsafat hukum internasional secara umum.

Sumber-sumber hukum internasional Menurut Pasal 38 ayat (1) Statuta Mahkamah


Internasional, yang dipakai oleh Mahkamah dalam mengadili perkara, adalah:

1.Perjanjian internasional (international conventions/al ittifâqôt al dauliyyah), baik yang


bersifat umum, maupun khusus;
2.Kebiasaan internasional (international custom/al ‘urf al dauli);
3.Prinsip-prinsip hukum umum (general principles of law/ mabâdi al qônûn al ‘âmmah )
yang diakui oleh negara-negara beradab;
4.Keputusan pengadilan (judicial decision/al qodlô) dan pendapat para ahli (al fiqh) yang
telah diakui kepakarannya, yang merupakan sumber hukum internasional tambahan.
(Phartiana, 2003; 197)

Penyebutan sumber-sumber secara urut dalam pasal ini bukan berarti adanya hierarki
dalam sumber-sumber tersebut, namun pasal ini hanya ingin membedakan antara sumber
yang pokok (al ashlî) dengan sumber pelengkap (al ihtiyâthi).

Yang termasuk dalam sumber pokok adalah perjanjian internasional dan kebiasaan
internasional. Sedangkan yang termasuk ke dalam sumber pelengkap adalah prinsip-
prinsip hukum umum serta keputusan pengadilan dan pendapat para ahli.

Mengenai sumber yang ketiga yaitu prinsip-prinsip hukum umum , doktrin hukum
internasional berbeda pandang, yaitu dengan memasukanya ke dalam sumber-sumber
pokok.

Dari keempat sumber diatas hanya dua sumber yang akan diulas dalam makalah ini yaitu
perjanjian internasional dan kebiasaan internasinal, atau yang dinamakan dengan sumber
pokok.

A. PERJANJIAN INTERNASIONAL (international treaty/al mu’âhadah al


dauliyyah)

Perjanjian Internasional merupakan salah satu sumber hukum internasional utama,


sehingga dengan demikian Hukum Internasional sama sekali tidak dapat dipisahkan dari
keberadaan perjanjian-perjanjian internasional yang dibuat oleh negara-negara.

Bahasan perjanjian internasional cukup luas, diantara hal mendasar mengenai perjanjian
internasional ini adalah definisi, macam-macam, ruang lingkup berlaku, revisi dan
amandeman, serta gugurnya perjanjian internasional.

Berikut ini kita akan mencoba mengulas tentang peristilahan, definisi, macam-macam
dan tahapan-tahapan pelaksanaan dan ruang lingkup berlakunya perjanjian internasional.

I. Peristilahan

Ada beberapa istilah yang sering dipakai untuk perjanjian internasional, diantaranya
adalah: Traktat (Treaty/traitê/al mu’âhadah), konstitusi (constitution/al dustûr), piagam
(charter/charte/al mîtsâq), pakta (pacte/al ‘ahdu), statuta (statut/al nidzôm), konvensi
(convention/al ittifâqiyât), persetujuan (agreement/accord/al ittifâq), pertukaran surat
(êchange de lettres/al khitôbât al mutabâdilah), pertukaran nota (exchange of
notes/êchange de notes/al mudzâkirôt al mutabâdilah), protokol (protocol/al brutûkûl),
deklarasi (declaration/dêclaration/al ‘ilân/al tashrîh), arrangement (attaswiyyah), modus
vivendi ( modus vivendu/attaswiyyah al mu’aqqotah), Memorandum of Understanding,
final act, Process Verbal, letter of intents.
Walaupun istilah-istilah ini bermakna sama yaitu digunakan untuk menyatakan substansi
yang sama yaitu perjanjian internasional, akan tetapi berdasarkan sensus ada beberapa
istilah mempunyai makna perjanjian internasional tertentu, yaitu:

Traktat (Treaty/al mu’âhadah)

Treaty mencakup segala macam bentuk persetujuan internasional, dan merupakan


perjanjian yang paling penting dan sangat formal dalam urusan perjanjian. Sebagai
contoh perjanjian internasional jenis ini ialah perjanjian persahabatan dan kerja sama di
Asia Tenggara (Treaty of Amity and Cooperation in Southeast Asia) tertanggal 24
Februari 1976.

Konvensi (Convention/al ittifâqiyât)

Istilah konvensi mencakup juga pengertian perjanjian internasional secara umum. Dengan
demikian, menurut pengertian umum, istilah konvensi dapat disamakan dengan
pengertian umum treaty. Istilah konvensi digunakan untuk perjanjian-perjanjian
multilateral yang beranggotakan banyak pihak.

Sebagai contoh perjanjian internasional jenis ini ialah Konvensi Jenewa tahun 1949
tentang Perlindungan Korban Perang.

Persetujuan (Agreement/ accord/al ittifâq)

Menurut pengertian umum, persetujuan (agreement) mencakup seluruh jenis perangkat


internasional dan biasanya mempunyai kedudukan yang lebih rendah daripada traktat dan
konvensi. Contohnya Treaty of Rome, 1957.

Protokol (Protocol/ al brutûkûl)

Terminologi protokol digunakan untuk perjanjian internasional yang materinya lebih


sempit dibanding treaty atau convention. Pengunaan protokol tersebut memiliki berbagai
macam keragaman yaitu:

a. Protocol of signature
b. Optional protocol
c. Protocol based on a framework treaty
Protokol ini merupakan sebagai tambahan dari perjanjian utamanya. Misalnya adalah
“the 1987 Montreal Protocol on Substances that Deplete the Ozone Layer adopted on the
basis of Arts.2 and 8 of the 1985 Vienna Convention for the Protection of the Ozone
Layer.”

Piagam (Charter/al mîtsâq)

Pada umumnya, istilah charter digunakan sebagai perangkat internasional dalam


pembentukan (pendirian) suatu organisasi internasional. Misalnya, the Charter of the
United Nations of 1945 dan the Charter of the Organization of American States of 1952.

Deklarasi (Deklaration dêclaration/al ‘ilân/al tashrîh)

Deklarasi merupakan perjanjian yang berisi ketentuan-ketentuan umum dimana para


pihak berjanji untuk melakukan kebijaksanaan-kebijaksanaan tertentu di masa yang akan
datang. Contohnya ialah Deklarasi ASEAN (ASEAN Declaration) tahun 1967 dan
Deklarasi Universal tentang Hak-hak Asasi Manusia (Universal Declaration on Human
Rights) tahun 1948.
Pertukaran Nota (Exchange of Notes/êchange de notes/al mudzâkirôt al mutabâdilah)
Pertukaran nota merupakan perjanjian internasional bersifat umum yang memiliki banyak
persamaan dengan perjanjian hukum perdata. Perjanjian ini dilakukan dengan
mempertukarkan dua dokumen, “each of the parties being in the possession of the one
signed by the representative of the other.”

Arrangement /attaswiyyah

Adalah suatu perjanjian yang mengatur pelaksanaan teknik operasional suatu perjanjian
induk.

Agreed Minutes & Summary Records

Adalah merupakan catatan mengenai hasil perundingan yang telah disepakati oleh pihak-
pihak dalam perjanjian. Catatan ini akan digunakan dalam perundingan selanjutnya.

Process Verbal
Istilah ini dipakai untuk mencatat pertukaran atau penyimpanan piagam pengesahan atau
untuk mencatat kesepakatan hal-hal yang bersifat tekhik administratif atau perubahan-
perubahan kecil dalam suatu persetujuan.

Modus Vivendi (modus vivendu/attaswiyyah al mu’aqqotah) yaitu, suatu perjanjian yang


bersifat sementara dengan maksud akan diganti dengan pengaturan yang tetap dan
terperinci.

Memorandum of Understanding.

Sebuah perjanjian yang berisi pernyataan persetujuan tidak langsung atas perjanjian
lainnya; atau pengikatan kontrak yang sah atas suatu materi yang bersifat informal atau
persyaratan yang longgar, kecuali pernyataan tersebut disertai atau merupakan hasil
persetujuan atau kesepakatan pemikiran dari para pihak yang dikehendaki oleh keduanya
untuk mengikat.

Final Act

Final Act adalah suatu dokumen yang berisikan ringkasan laporan sidang dari suatu
konfensi dan yang juga menyebutkan perjanjian-perjanjian atau konvensi-konvensi yang
dihasilkan oleh konfrensi tersebut dengan kadang-kadang disertai anjuran atau harapan
yang sekiranya dianggap perlu. Contohnya ialah Final Act General Agreement on Tariff
and Trade (GATT) tahun 1994.

II. Definisi Perjanjian Internasional

Perjanjian internasional dalam Konvensi Wina tahun 1969 Pasal 2 (1) (a) diartikan
sebagai :
“An International agreement concluded between States in written form and governed by
international law, whether embodied in a single instrument or in two or more related
instruments and whatever its particular designation”
“ Ittifâqun dauliyyun yu’qodu baina daulataini au aktsara kitâbatan wa yakhdlo’u li al
qônûn al daulî sawâ’un tamma tadwînuhu fî watsîqotin wâhidatin au aktsara wa ayyan
kânat al tasmiyyah allatî tuthlaqu ‘alaihi”
Yaitu kesepakatan internasional yang dibuat oleh dua Negara atau lebih dan tunduk
terhadap hukum internasional, baik dalam bentuk satu dokumen atau lebih dan apapun
namanya.
Definisi diatas mengisyaratkan bahwa perjanjian internasional dapat dibuat oleh dua
Negara atau lebih , itu artinya bahwa yang dikategorikan perjanjian internasional hanya
terbatas pada kesepakatan yang berlangsung antar lembaga Negara saja, hal ini yang
mendorong para pembuat naskah konvensi untuk meratifikasi konvensi ini dengan
meletakan pasal 3 yang mengisyaratkan terjadinya perjanjian internasional antara Negara
dengan subjek hukum internasional lainya seperti halnya organisasi internasional, dan
juga mengisyaratkan bahwa tidak diterapkannya perjanjian internasional terhadap
Negara, tidak mempengaruhi kekuatan hukumnya, selain itu pasal ini juga
mengisyaratkan bahwa dapat diterapkanya kaidah-kaidah yang tertera dalam perjanjian
internasional terhadap Negara yang memiliki sifat hukum internasional, yang berlaku
untuk Negara dan organisasi internasional.

Dengan demikian kita dapat mendefinisikan perjanjian internasional sebagai berikut:


“Ittifâqun maktûbun baina syakhshoini min asykhôsh al qônûn al dauli al ‘am ayyan
kânat al tasmiyyah allatî tuthlaqu ‘alaihi yatimmu ibrômuhu wafqon li ahkâm al qônûn
al dauli, bihadfi ihdâtsi âtsârin qônûniyyah”
Yaitu kesepakatan tertulis antara dua subjek hukum internasional- apapun namanya
kesepakatan tersebut dan sesuai dengan aturan hukum internasional-dengan tujuan untuk
melahirkan akibat-akibat hukum.

Dari definisi ini kita dapat menarik kesimpulan bahwa unsur-unsur perjanjian
internasional adalah :
- Adanya suatu persetujuan internasional;
- Dibuat oleh subjek hukum internasional ;
- Dalam bentuk tertulis ;
- Didasarkan pada hukum internasional;
- Dibuat dalam instrumen tunggal atau lebih;
- Memiliki nama apapun.

III. Macam-Macam Perjanjian

Secara teori, doktrin hukum internasional membuat perbedaan antara perjanjian


internasional yang satu dengan lainya, pembedaan ini bisa ditempuh dengan
menggunakan prinsip meteril (al asâs al mâdî), yaitu berdasarkan isi dan kandungan
perjanjian, serta karakter kaidah-kaidah dan kewajiban-kewajiban yang tertera dalam
perjanjian tersebut. Dan bisa juga ditempuh dengan menggunakan prinsip formil (al asâs
al syaklî) yaitu berdasarkan bentuk dan prosedur (tahap pembentukanya) yang dilalui
oleh perjanjian internasional, atau berdasar pada jumlah Negara yang menjadi pihak
perjanjian.

Bedasarkan prinsip materil doktrin hukum internasional membedakan kelompok


perjanjian internasional, yaitu:

1. Perjanjian internasional “yang membuat hukum” (law making/al mu’âhadah al


syâri’ah) dan Perjanjian internasional” kontrak “ (Treaty contracts/al mu’âhadah al
‘aqdiyah)
a. Perjanjian internasional atau traktat-traktat “yang membuat hukum” (law making/al
mu’âhadah al syâri’ah) yaitu perjanjian yang menetapkan kaidah-kaidah, yang berlaku
secara universal dan umum.
b. Perjanjian internasional atau traktat-traktat ”kontrak“ (Treaty contracts/al mu’âhadah
al ‘aqdiyah) yaitu traktat yang tujuannya hanya sekedar melahirkan kewajiban-kewajiban
bagi para pihak perjanjian berdasarkan kaidah-kaidah internasional. Misalnya, suatu
traktat antara dua atau hanya beberapa Negara, yang berkenaan dengan pokok suatu
permasalahan khusus yang secara eksklusif menyangkut negara-negara itu.

2. Perjanjian internasional “umum” (al mu’âhadah al ‘âmmah) dan perjanjian


internasional “khusus” (al khôshshoh).

Doktrin hukum internasional membedakan antara perjanjian umum dan perjanjian


khusus. Hal ini termaktub pada pasal 38/1 (a) dari aturan pokok International Court of
justice ketika menjelaskan “kesepakatan –kesepakatan internasional umun dan khusus
yang dengan jelas menetapkan kaidah-kaidah yang diakui oleh Negara-negara yang
bersengketa.” Hanya saja pembedaan ini tidak terlepas dari pembadaan yang pertama , itu
karena perjanjian” yang membuat hukum” bersifat umum dan perjanjian “kontrak”
bersifat khusus.

Adapun berdasarkan prinsip formil (al asâs al syaklî) maka perjanjian internasional dapat
di bedakan dalam bebarapa kelompok, yaitu:

1.Perbedaan antara perjanjian internasional “yang detail” (al mu’âhadât bi al ma’na al


daqîq) dan kesepakatan internasional dalam bentuk sederhana (executive agreement/
accord en forme simplifîe /al ittifâqôt fi al syakli al mubassith)
a. Perjanjian internasional “yang detail”(al mu’âhadât bi al ma’na al daqîq) yaitu
perjanjian yang tidak mengikat kecuali setelah terlaksananya semua prosedur perjanjian
dan telah diratifikasi oleh lembaga yang berwenang di Negara-negara anggota.
b. Kesepakatan internasional dalam bentuk sederhana (executive agreement/ accord en
forme simplifîe/al ittifâqôt fi al syakli al mubassith) yaitu semua perjanjian selain
perjanjian “yang detail,” seperti halnya kesepakatan-kesepakatan internasional. Itu karena
kesepakatan tersebut agar dapat terlaksana tidak harus terlaksananya prosedur-prosedur
yang lazim serta tidak tergantung pada ratifikasi dari lembaga yang berwenang.

2. Perjanjian internasional bilateral (traitês bilatêrux/al mu’âhadât al tsunâiyyah) dan


perjanjian internasional multilateral (traitês plurilatêraux/al mu’âhadât al jamâiyyah).
Pembedaan ini adalah berdasarkan banyaknya Negara yang terlibat dalam perjanjian.
Maka seandainya terjadi perjanjian antara dua Negara saja namanya perjanjian bilateral,
dan kalau melibatkan banyak Negara maka namanya adalah perjanjian multilateral. Maka
dari segi bentuk tampaklah perbedaan kedua jenis perjanjian ini.

3. Perjanjian internasional regional (conventions rêgionales/al mu’âhadat al iqlîmiyyah)


dan perjanjian internasional yang bersifat universal (conventions a vocation
universelle/al mu’âhadat dzâtu al thôbi’ al ‘âlamî).

Perjanjian juga dapat dibedakan bedasarkan sifat goegrafis. Oleh karenanya kita
mengenal perjanjian regional dan perjanjian universal. Perjanjian regional adalah
perjanjian yang sifatnya terbatas pada letak geografik tertentu. Sedangkan perjanjian
universal sifatnya menyeluruh tidak terbatas pada letak georafik tertentu.

IV. Pelaksanaan Perjanjian

Perjanjian internasional berdasarkan bentuk dan tahap pembuatannya kita mengenal


pembedaan perjanjian internasional “yang detail’ dan perjanjian internasional dalam
bentuk sederhana. Seperti yang telah diulas bahwa perjanjian internasional dalam bentuk
sederhana adalah transaksi sukarela yang tidak mengharuskan prosedur tertentu,
sedangkan perjanjian internasional “yang detail” berdasarkan definisinya, ia merupakan
tahapan-tahapan yang harus dilalui sampai terlaksananya perjanjian.
Tahapan-tahapan dalam pelaksanaan perjanjian ini adalah negosiasi (al mufâwadloh),
pembuatan naskah dan penandatanganan (al tahrîr wa al tauqî’), ratifikasi (al tashdîq),
reservasi (al tahaffudz), pendaftaran (al tasjîl).

Secara singkat berikut penjelasan tahapan-tahapan di atas:


Tahap pelaksanaan perjanjian:

Negosiasi (negotiation/al mufâwadloh), yaitu transaksi tawar menawar antara pihak yang
bermaksud melangsungkan perjanjian sekitar materi perjanjian dengan tujuan tercapainya
mufakat dalam transaksi ini.

Pembuatan Naskah dan Penandatanganan (al tahrîr(redaction) wa al tauqî’), setelah


selesai proses perundingan, maka mufakat yang dihasilkan dalam perundingan tersebut
dituangkan dalam sebuah naskah yang selanjutnya ditandatangani oleh seluruh pihak.
Untuk dikatakan sebuah naskah perjanjian setidak-tidaknya harus terpenuhi dua unsur
pokok sebuah naskah perjanjian, yaitu sebagai berikut:
Mukaddimah/ Konsideran (al dîbâjah/Preambule )
1.Paragraf pertama perlu menyebut “Para Pihak” dalam perjanjian.
2.Paragraf selanjutnya menyebutkan maksud dan tujuan yang akan dicapai dengan
perjanjian tersebut (political will).
3.Paragraf ini biasanya menyatakan maksud dari Kedua Pihak untuk mencapai mutual
benefit, menghormati kedaulatan dan hukum yang berlaku di masing-masing negara, dan
sebagainya.
4.Pernyataan maksud kedua pihak untuk menggantikan/ melanjutkan/ menghentikan
perjanjian (agreement) yang ada sebelumnya, bila memang ada dan dimaksud demikian.
5.Paragraf teerakhir adalah pernyataan bahwa perjanjian dibuat sesuai UU dan peraturan
yang berlaku di kedua negara (dalam perjanjian tertentu bahkan dimuat sesuai dengan
kebijakan negara/ pemerintah daerah maupun tradisi setempa

Batang Tubuh (sholbu al mu’âhadah/Body)

Memuat Pokok-Pokok masalah yang diperjanji-kan para pihak.


1. Definisi.
2. Tujuan.
3. Ruang Lingkup.
4. Materi Muatan/ Prosedural

Ratifikasi (ratification/al tashdîq), yaitu perbuatan hukum berupa pengesahan lembaga


yang berwenang di Negara anggota terhadap perjanjian yang telah berlangsung.
Konstitusi setiap Negara berbeda-beda dalam memberikan wewenang ratifikasi ini
kepada lembaga-lembaga yang ada di dalam Negara. Maka ada sebagian konstitusi
memberikan hak ini kepada lembaga eksekutif saja, ada juga yang memberikan
wewenang ini kepada lembaga legislatif saja, dan ada juga yang memberikan wewenang
ini kepada kedua-duanya.

Reservasi (reservation/rêserves/al tahaffudz), Konvensi Wina 1969 pasal 2 (1/d)


mendefinisikan reservasi sebagai berikut “a unilateral statement, however phrased or
named, made by a State, when signing, ratifying , accepting, approving, or acceding to a
treaty, whereby it purports to exclude or to modify the legal effect of certain provisions of
the treaty in their application to that State” ( pernyataan sepihak dari negara, apapun
redaksinya atau namanya, ketika penandatanganan , ratifikasi, penerimaan, persetujuan,
atau bergabung dalam perjanjian, dengan maksud menghindari, atau mengamandemen
akibat hukum (al atsar al qônûnî) dari hukum-hukum tertentu dari perjanjian yang berlaku
bagi Negara tersebut).

Pendaftaran Perjanjian (the registration of treaties/enregistrement des traitês/ tasjîl al


mu’âhadah), yaitu dengan mendaftarkan perjanjian di Treaty Room (al amânah al
‘âmmah) PBB yang kemudian disanalah naskah aslinya di simpan. Hal ini berdasarkan
Pakta PBB pasal 102 yang mewajibkan didaftarkannya perjanjian international di Treaty
Room (al amânah al ‘âmmah)PBB.

V. Ruang Lingkup Berlakunya Perjanjian Terhadap Pihak Penandatangan dan


Pihak Bukan Penandatangan.

Perjanjian internasional apabila sudah terpenuhi syarat-syarat formil dan materilnya,


maka telahirlah darinya akibat-akibat hukum. Biasanya naskah perjanjian tersebut
menjelaskan tata cara pelaksanaan dan tanggal mulai berlakunya.

Yang jadi pertanyaan adalah apakah akibat-akibat hukum dari perjanjian internasional itu
hanya berlaku bagi pihak penandatangan, atau berlaku juga bagi pihak bukan
penandatangan?
Untuk menjawab pertanyaan ini Prof.Dr.Abdul Ghoni, guru besar Hukum Internasional
fakultas Syarî’ah dan Hukum Universitas Al Azhar Cairo menjelaskan bahwa perjanjian
internasional ketika sudah masuk pada tahap pelaksanaan (tanfîdz) maka ia menimbulkan
akibat-akibat hukum bagi para pihak penandatangan, yaitu dengan lahirnya hak-hak dan
kewajiban-kewajiban tertentu bagi semua pihak penandatangan , dan hak-hak serta
kewajiban-kewajiban ini wajib diperhatikan dan dilaksanakan. Inilah yang dinamakan
“sifat mengikat sebuah perjanjian internasional terhadap para pihak penandatangan”
(iktisâb al mu’âhadah al quwwah al qônûniyyah al mulzimah li athrôfiha).

Selanjutnya beliau menjelaskan:”kaidah umum yang ditetapkan oleh doktrin dan


yurisprudensi menerangkan bahwa akibat hukum perjanjian internasional tidak berlaku
bagi selain pihak penandatangan, oleh karenanya Negara yang bukan termasuk pihak
perjanjian tidak mempunyai hak-hak dan tidak juga menanggung kewajiban-kewajiban
yang terlahir dari perjanjian internasional, hak-hak dan kewajiban-kewajiban ini hanya
berlaku bagi pihak dalam perjanjian. Inilah yang dinamakan dengan prinsip nisbiyyatu
âtsâri al mu’âhadah .”
Dari penjelasan diatas maka dapat kita simpulkan bahwa akibat hukum dari perjanjian
internasional tidak berlaku bagi selain pihak penandatangan.

Namun kesimpulan ini bukanlah harga mati, hal ini karena ada beberapa pengecualian
dari prinsip yang terakhir disebutkan, mengingat prinsip tersebut bukanlah prinsip mutlak
yang tidak menerima pengecualian . Artinya perjanjian internasional, akibat hukumnya
dapat berlaku juga bagi selain pihak perjanjian sebagai pengecualian dari prinsip
nisbiyyatu âtsâri al mu’âhadah , yaitu dalam keadaan-keadaan sebagai berikut:
1.Bergabungnya pihak lain dalam perjanjian atau menerima perjanjian;
2.Adanya pensyaratan dalam perjanjian untuk kemaslahatan pihak lain;
3.Adanya pelimpahan kewajiban yang timbul dari perjanjian terhadap negara yang bukan
anggota;
4.Adanya perjanjian yang akibat hukumnya melintas Negara-negara bukan anggota,
karena perjanjian tersebut mempunyai karakter yang khusus;

PENUTUP

Bahasan sumber pokok hukum internasional–perjanjian internasional dan kebiasaan


internasional- secara utuh, sulit sekali kalau harus dituangkan dalam makalah yang
singkat ini, mengingat cukup luasnya bahasan sumber ini.

Dalam makalah ini penulis hanya dapat menyampaikan beberapa hal penting saja
mengenai dua sumber diatas khususnya tentang peristilahan, definisi, macam-macam,
pelaksanaan dan ruang lingkup berlakunya perjanjian internasional, serta definisi dan
unsur-unsur kebiasaan internasional.

Semoga bermanfaat dan mudah-mudahan di masa yang akan datang makalah ini dapat
lebih disempurnakan. Dan demi lebih baiknya makalah ini, walaupun terasa “ngeri” kritik
dan saran tetap dibuka.
Kebenaran mutlak hanya milik Yang Maha Kuasa. Salah dan Khilaf adalah semata-mata
kekeliruan dari kami. Wallâhu a’alam!

You might also like