You are on page 1of 31

Disolusi

Kadar obat dalam darah pada sediaan peroral dipengaruhi oleh proses absorpsi
dan kadar obat dalam darah ini menentukan efek sistemiknya (Shargel dan Yu,
1999). Obat dalam bentuk sediaan padat mengalami berbagai tahap pelepasan dari
bentuk sediaan sebelum diabsorpsi. Tahapan tersebut meliputi disintegrasi,
deagregasi dan disolusi.
Kecepatan obat mencapai sistem sirkulasi dalam proses disintegrasi, disolusi dan
absorpsi, ditentukan oleh tahap yang paling lambat dari rangkaian di atas yang
disebut dengan rate limiting step (Shargel dan Yu, 1999). Kecepatan pelepasan
obat sediaan lepas lambat, yaitu kecepatan disolusi dianggap selalu lebih lambat
daripada kecepatan absorpsi, atau dengan kata lain kecepatan disolusi merupakan
rate limiting step. Pengaturan absorpsi sistemik obat bentuk sediaan lepas lambat
dapat dilakukan dengan mengatur kecepatan disolusi (Notari, 1980).
Supaya partikel padat terdisolusi maka molekul solut pertama-tama harus
memisahkan diri dari permukaan padat, kemudian bergerak menjauhi permukaan
memasuki pelarut. Tergantung pada kedua proses ini dan bagaimana cara proses
transpor berlangsung maka perilaku disolusi dapat digambarkan secara fisika.
Dari segi kecepatan disolusi yang terlibat dalam zat murni, ada tiga dasar model
fisika yang umum (Abdou, 1989).
Di dalam pembahasan untuk memahami mekanisme disolusi, kadang-kadang
digunakan salah satu model atau gabungan dari model-model tersebut.
a. Model lapisan difusi (diffusion layer model)
Model ini pertama kali diusulkan oleh Nerst dan Brunner. Pada permukaan padat
terdapat satu lapis tipis cairan dengan ketebalan ℓ , merupakan komponen
kecepatan negatif dengan arah yang berlawanan dengan permukaan padat seperti
terlihat pada gambar 1 berikut (Banakar, 1992)

Gambar 1. Model lapisan difusi (Banakar, 1992)


Reaksi pada permukaan padat-cair berlangsung cepat. Begitu model solut
melewati antar muka “liquid film – bulk film”, pencampuran secara cepat akan
terjadi dan gradien konsentrasi akan hilang. Karena itu kecepatan disolusi
ditentukan oleh difusi gerakan Brown dari molekul dalam liguid film (Banakar,
1992).

b. Model barrier antar muka (interfacial barrier model)


Model ini menggambarkan reaksi yang terjadi pada permukaan padat dan dalam
hal ini terjadi difusi sepanjang lapisan tipis cairan seperti terlihat pada skema
gambar 2 berikut (Banakar, 1992).

Gambar 2. Model barrier antar muka (Banakar, 1992)

Sebagai hasilnya, tidak dianggap adanya kesetimbangan padatan-larutan, dan hal


ini harus dijadikan pegangan dalam membahas model ini. Proses pada antar muka
padat-cair sekarang menjadi pembatas kecepatan ditinjau dari proses transpor.
Transpor yang relatif cepat terjadi secara difusi melewati lapisan tipis statis
(stagnant) (Banakar, 1992).
c. Model Dankwert (Dankwert model)
Model ini beranggapan bahwa transpor solut menjauhi permukaan padat terjadi
melalui cara paket makroskopik pelarut mencapai antar muka padat-cair karena
terjadi pusaran difusi secara acak seperti terlihat pada gambar 3 berikut (Banakar,
1992).
Gambar 3. Model Dankwert (Banakar, 1992)

Paket pelarut terlihat pada permukaan padatan. Selama berada pada antar muka,
paket mampu mengabsorpsi solut menurut hukum difusi biasa, dan kemudian
digantikan oleh paket pelarut segar. Jika dianggap reaksi pada permukaan padat
terjadi segera, proses pembaharuan permukaan tersebut terkait dengan kecepatan
transpor solut atau dengan kata lain disolusi (Banakar, 1992).
Disolusi didefinisikan sebagai suatu proses melarutnya zat kimia atau senyawa
obat dari sediaan padat ke dalam suatu medium tertentu (Wagner, 1971). Laju
disolusi suatu obat adalah kecepatan perubahan dari bentuk padat menjadi terlarut
dalam medianya setiap waktu tertentu. Jadi disolusi menggambarkan kecepatan
obat larut dalam media disolusi (Banakar, 1992).
Ekspresi matematika untuk definisi ini dinyatakan dalam bentuk persamaan
sebagai berikut (Leeson dan Cartensen, 1974):
dc / dt = K S ( Cs – C ) ………………………………………… ……( 7 )

dengan dc/dt = kecepatan disolusi bahan obat, K= konstanta disolusi, S = luas


permukaan padatan, Cs = konsentrasi larutan jenuh dan C = konsentrasi bahan
obat yang terlarut dalam cairan medium.
Persamaan ( 7 ) di atas sebenarnya merupakan turunan dari persamaan Fick
pertama, yang secara matematik dinyatakan dengan:
J = - D dc ………………………………………………………...( 8 )
dx
dimana J = flux bahan obat, yaitu jumlah bahan obat yang lewat persatuan waktu
melalui suatu satuan luas dengan arah tegak lurus ( mg cm-2dt-1), D = koefisien
difusi dan dc/dt = gradien konsentrasi.
Pada jarak ( x ) = h cm dari permukaan bahan obat yang terdisolusi, akan berlaku
persamaan:
dc = ( C – Cs ) ………………………………….……………….( 9 )
dx h

Dengan memasukkan persamaan ( 9 ) ke dalam persamaan ( 8 ) diperoleh


persamaan:
J = - D ( C – Cs ) ………………………………………………..( 10 )
h

Selanjutnya persamaan ( 10 ) akan diubah menjadi:


dm = D ( Cs – C ) ……..…………………………………..…..( 11 )
dt . S h

dm = V . dc = D S ( Cs – C ) ……………..….…………..( 12 )
dt dt h

dc = D S ( Cs – C ) ……………………….……………….( 13 )
dt V h

Pada persamaan (13), jika D/V.h diganti dengan K (karena masing-masing


merupakan tetapan), maka hasilnya akan identik dengan persamaan ( 7 ).
Dengan mempertahankan volume pelarut lebih besar terhadap titik kejenuhan
(antara 5 sampai 10 x lebih besar), akan dicapai kondisi sink. Kondisi ini menjadi
salah satu parameter eksperimental yang perlu diperhatikan selama uji disolusi,
atau dengan kata lain Cs >> C (Hanson, 1991). Pada uji disolusi, apabila kondisi
sink maka persamaan disolusi dapat disederhanakan menjadi:

dc /dt = K S Cs ………………….……………………………… ( 14 )

dimana S = luas permukaan padatan, K = karakteristik zat pada temperatur


konstan dalam pelarut tertentu dan Cs = konsentrasi larutan jenuh.
Laju disolusi obat secara in vitro dipengaruhi beberapa faktor, antara lain:
1. Sifat fisika kimia obat
Sifat fisika kimia obat berpengaruh besar terhadap kinetika disolusi. Luas
permukaan efektif dapat diperbesar dengan memperkecil ukuran partikel. Laju
disolusi akan diperbesar karena kelarutan terjadi pada permukaan solut. Kelarutan
obat dalam air juga mempengaruhi laju disolusi. Obat berbentuk garam, pada
umumnya lebih mudah larut dari pada obat berbentuk asam maupun basa bebas.
Obat dapat membentuk suatu polimorfi yaitu terdapatnya beberapa kinetika
pelarutan yang berbeda meskipun memiliki struktur kimia yang identik. Obat
bentuk kristal secara umum lebih keras, kaku dan secara termodinamik lebih stabil
daripada bentuk amorf, kondisi ini menyebabkan obat bentuk amorf lebih mudah
terdisolusi daripada bentuk kristal (Shargel dan Yu, 1999).
2. Faktor formulasi
Berbagai macam bahan tambahan yang digunakan pada sediaan obat dapat
mempengaruhi kinetika pelarutan obat dengan mempengaruhi tegangan muka
antara medium tempat obat melarut dengan bahan obat, ataupun bereaksi secara
langsung dengan bahan obat. Penggunaan bahan tambahan yang bersifat hidrofob
seperti magnesium stearat, dapat menaikkan tegangan antar muka obat dengan
medium disolusi. Beberapa bahan tambahan lain dapat membentuk kompleks
dengan bahan obat, misalnya kalsium karbonat dan kalsium sulfat yang
membentuk kompleks tidak larut dengan tetrasiklin. Hal ini menyebabkan jumlah
obat terdisolusi menjadi lebih sedikit dan berpengaruh pula terhadap jumlah obat
yang diabsorpsi (Shargel dan Yu, 1999).
3. Faktor alat dan kondisi lingkungan
Adanya perbedaan alat yang digunakan dalam uji disolusi akan menyebabkan
perbedaan kecepatan pelarutan obat. Kecepatan pengadukan akan mempengaruhi
kecepatan pelarutan obat, semakin cepat pengadukan maka gerakan medium akan
semakin cepat sehingga dapat menaikkan kecepatan pelarutan. Selain itu
temperatur, viskositas dan komposisi dari medium, serta pengambilan sampel juga
dapat mempengaruhi kecepatan pelarutan obat (Swarbrick dan Boyland, 1994b;
Parrott, 1971).
Pengungkapan hasil uji disolusi dapat melalui salah satu cara di bawah ini:
1. Metode Wagner
Metode ini dapat menghitung tetapan kecepatan pelarutan (k) dengan berdasarkan
pada asumsi bahwa kondisi percobaan dalam keadaan sink, proses pelarutan
mengikuti orde satu, luas permukaan spesifik turun secara eksponensial terhadap
waktu.
Metode Wagner dapat diungkapkan dengan persamaan sebagai berikut
(Langenbucher, 1972):
ln 100 ( W~ - W ) = A – ( k.t )…………………………….…( 15 )
W
dengan:
W~ = bobot zat padat tertinggi yang dapat larut
W = bobot zat padat yang terlarut pada waktu t
A = tetapan yang mengandung factor-faktor kelarutan, luas spesifik, dan tetapan
kecepatan pelarutan pada awal proses (t0)
k = tetapan kecepatan pelarutan
t = waktu
2. Metode Khan
Metode ini kemudian dikenal dengan konsep dissolution efficiency (DE) yang
diasumsikan sebagai berikut:

DE = ∫ y dt x 100% ………………………….…………….( 16 )
Y 100 t

dengan:
∫ y dt = luas daerah bawah kurva waktu t
y 100 t = luas bidang pada kurva yang menunjukkan semua zat aktif telah terlarut
pada waktu t
DE = luas bidang ABC x 100%
luas bidang ABDE

100% E D
Prosen
terlarut C

AB
Waktu

Gambar 4. Kurva hubungan prosen zat padat yang terlarut pada waktu t (Khan,
1975)
3. Metode klasik
Metode ini menunjukkan jumlah zat aktif yang terlarut pada waktu t, yang
kemudian dikenal dengan T20, T50, T90 dan sebagainya. Metode ini hanya
menyebutkan satu titik saja, sehingga proses yang terjadi di luar (sebelum dan
sesudah) titik tersebut tidak diketahui. Titik tersebut menyatakan jumlah zat aktif
yang terlarut pada waktu tertentu. T20 misalnya, mengandung pengertian waktu
yang diperlukan untuk melarutkan 20% zat aktif (Wagner, 1971).

4. Jumlah zat aktif yang melarut pada waktu tertentu, misalnya C30 adalah dalam
waktu 30 menit zat aktif yang melarut sebanyak x mg atau x mg/ml (Shargel dan
Yu, 1999)

Difusi adalah peristiwa mengalirnya/berpindahnya suatu zat dalam pelarut


dari bagian berkonsentrasi tinggi ke bagian yang berkonsentrasi rendah.
Perbedaan konsentrasi yang ada pada dua larutan disebut gradien
konsentrasi. Difusi akan terus terjadi hingga seluruh partikel tersebar luas
secara merata atau mencapai keadaan kesetimbangan dimana
perpindahan molekul tetap terjadi walaupun tidak ada perbedaan
konsentrasi. Contoh yang sederhana adalah pemberian gula pada cairan
teh tawar. Lambat laun cairan menjadi manis. Contoh lain adalah uap
air dari cerek yang berdifusi dalam udara.Difusi yang paling sering terjadi
adalah difusi molekuler. Difusi ini terjadi jika terbentuk perpindahan dari
sebuah lapisan (layer) molekul yang diam dari solid atau fluida.

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi kecepatan difusi, yaitu:[1]

 Ukuran partikel. Semakin kecil ukuran partikel, semakin cepat


partikel itu akan bergerak, sehinggak kecepatan difusi semakin tinggi.
 Ketebalan membran. Semakin tebal membran, semakin lambat
kecepatan difusi.
 Luas suatu area. Semakin besar luas area, semakin cepat
kecepatan difusinya.
 Jarak. Semakin besar jarak antara dua konsentrasi, semakin
lambat kecepatan difusinya.
 Suhu. Semakin tinggi suhu, partikel mendapatkan energi untuk
bergerak dengan lebih cepat. Maka, semakin cepat pula kecepatan
difusinya.[

Difusi dan biologi

Dalam mengambil zat-zat nutrisi yang penting dan mengeluarkan zat-zat


yang tidak diperlukan, sel melakukan berbagai jenis aktivitas, dan salah
satunya adalah difusi. Ada dua jenis difusi yang dilakukan, yaitu difusi
biasa dan difusi khusus.

Difusi biasa terjadi ketika sel ingin mengambil nutrisi atau molekul
yang hydrophobic atau tidak berpolar / berkutub. Molekul dapat langsung
berdifusi ke dalam membran plasma yang terbuat dari phospholipids.
Difusi seperti ini tidak memerlukan energi atau ATP [Adenosine Tri-
Phosphate].

Difusi khusus terjadi ketika sel ingin mengambil nutrisi atau molekul
yang hydrophilic atau berpolar dan ion. Difusi seperti ini memerlukan
protein khusus yang memberikan jalur kepada partikel-partikel tersebut
ataupun membantu dalam perpindahan partikel. Hal ini dilakukan karena
partikel-partikel tersebut tidak dapat melewati membran plasma dengan
mudah. Protein-protein yang turut campur dalam difusi khusus ini
biasanya berfungsi untuk spesifik partikel.

Difusi adalah peristiwa mengalirnya/berpindahnya suatu zat dalam


pelarut dari bagian berkonsentrasi tinggi ke bagian yang
berkonsentrasi rendah. Contoh yang sederhana adalah pemberian gula
pada cairan teh tawar. Lambat laun cairan menjadi manis. Contoh lain
adalah uap air dari cerek yang berdifusi dalam udara.
BAB I

PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang

Disolusi obat adalah suatu proses pelarutan senyawa aktif dari

bentuk sediaan padat ke dalam media pelarut. Pelarutan suatu zat aktif

sangat penting artinya karena ketersediaan suatu obat sangat tergantung

dari kemampuan zat tersebut melarut ke dalam media pelarut sebelum

diserap ke dalam tubuh.

Suatu bahan obat yang diberikan dengan cara apapun dia harus

memiliki daya larut dalam air untuk kemanjuran terapeutiknya. Senyawa-

senyawa yang relatif tidak dapat dilarutkan mungkin memperlihatkan

absorpsi yang tidak sempurna, atau tidak menentu sehingga

menghasilkan respon terapeutik yang minimum. Daya larut yang

ditingkatkan dari senyawa-senyawa ini mungkin dicapai dengan

menyiapkan lebih banyak turunan yang larut, seperti garam dan ester

dengan teknik seperti mikronisasi obat atau kompleksasi.

Melihat pentingnya pengetahuan tentang disolusi, khususnya

dalam pembuatan sediaan maka diadakanlah percobaan ini.

I.2 Maksud dan Tujuan Percobaan

I.2.1 Maksud Percobaan


Mengetahui dan memahami cara penentuan dari konstanta laju

disolusi distribusi suatu obat.

I.2.2 Tujuan Percobaan

Menentukan konstanta kecepatan disolusi tablet amoksisilin dengan

menggunakan air suling sebagai medium disolusi dengan menggunakan

alat disolusi.

I.3 Prinsip Percobaan

Penentuan konstanta kecepatan disolusi dari tablet amoksisilin 500

mg berdasarkan kadar amoksisilin yang terdisolusi dalam medium air

suling menggunakan alat disolusi dan penentuan kadarnya dengan

menggunakan titrasi alkalimetri dengan penambahan indikator fenolftalen

yang dititrasi dengan larutan baku NaOH 0,0731N hingga terjadi

perubahan warna dari bening menjadi merah muda pada menit ke 5, 10

dan 15.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Teori Umum

Disolusi obat adalah suatu proses pelarutan senyawa aktif dari

bentuk sediaan padat ke dalam media pelarut. Pelarut suatu zat aktif

sangat penting artinya bagi ketersediaan suatu obat sangat tergantung

dari kemampuan zat tersebut melarut ke dalam media pelarut sebelum

diserap ke dalam tubuh. Sediaan obat yang harus diuji disolusinya adalah

bentuk padat atau semi padat, seperti kapsul, tablet atau salep. (1)

Agar suatu obat diabsorbsi, mula-mula obat tersebut harus larutan

dalam cairan pada tempat absorbsi. Sebagai contoh, suatu obat yang

diberikan secara oral dalam bentuk tablet atau kapsul tidak dapat

diabsorbsi sampai partikel-partikel obat larut dalam cairan pada suatu

tempat dalam saluran lambung-usus. Dalam hal dimana kelarutan suatu

obat tergantung dari apakah medium asam atau medium basa, obat

tersebut akan dilarutkan berturut-turut dalam lambung dan dalam usus

halus. Proses melarutnya suatu obat disebut disolusi. (2)

Bila suatu tablet atau sediaan obat lainnya dimasukkan dalam

saluran cerna, obat tersebut mulai masuk ke dalam larutan dari bentuk

padatnya. Kalau tablet tersebut tidak dilapisi polimer, matriks padat juga

mengalami disintegrasi menjadi granul-granul, dan granul-granul ini


mengalami pemecahan menjadi partikel-partikel halus. Disintegrasi,

deagregasi dan disolusi bisa berlangsung secara serentak dengan

melepasnya suatu obat dari bentuk dimana obat tersebut diberikan.(3)

Mekanisme disolusi, tidak dipengaruhi oleh kekuatan kimia atau

reaktivitas partikel-partikel padat terlarut ke dalam zat cair, dengan

mengalami dua langkah berturut-turut: (4)

1. Larutan dari zat padat pada permukaan membentuk lapisan tebal

yang tetap atau film disekitar partikel

2. Difusi dari lapisan tersebut pada massa dari zat cair.

Langkah pertama,. larutan berlangsung sangat singkat. Langka kedua,

difusi lebih lambat dan karena itu adalah langkah terakhir.

Adapun mekanisme disolusi dapat digambarkan sebagai berikut :

Lapisan film (h) dgn


konsentrasi = Cs
Kristal

Massa larutan dengan


konsentrasi = Ct

Difusi layer model (theori film)

Pada waktu suatu partikel obat memngalami disolusi, molekul-

molekul obat pada permukaan mula-mula masuk ke dalam larutan

menciptakan suatu lapisan jenuh obat-larutan yang membungkus

permukaan partikel obat padat. Lapisan larutan ini dikenal sebagai lapisan

difusi. Dari lapisan difusi ini, molekul-molekul obat keluar melewati cairan
yang melarut dan berhubungan dengan membrane biologis serta absorbsi

terjadi. Jika molekul-molekul obat terus meninggalkan larutan difusi,

molekul-molekul tersebut diganti dengan obat yang dilarutkan dari

permukaan partikel obat dan proses absorbsi tersebut berlanjut. (3)

Jika proses disolusi untuk suatu partikel obat tertentu adalah cepat,

atau jika obat diberikan sebagai suatu larutan dan tetap ada dalam tubuh

seperti itu, laju obat yang terabsorbsi terutama akan tergantung pada

kesanggupannya menembus menembus pembatas membran. Tetapi, jika

laju disolusi untuk suatu partikel obat lambat, misalnya mungkin karena

karakteristik zat obat atau bentuk dosis yang diberikan , proses

disolusinya sendiri akan merupakan tahap yang menentukan laju dalam

proses absorbsi. Perlahan-lahan obat yang larut tidak hanya bisa

diabsorbsi pada suatu laju rendah, obat-obat tersebut mungkin tidak

seluruhnya diabsorbsi atau dalam beberapa hal banyak yang tidak

diabsorbsi setelah pemberian ora, karena batasan waaktu alamiah bahwa

obat bisa tinggal dalam lambung atau saluran usus halus. (3)

Pemikiran awal dilakukannya uji hancurnya tablet didasarkan pada

kenyataan bahwa tablet itu pecah menjadi lebih luas dan akan

berhubungan dengan tersedianya obat di dalam cairan tubuh. Namun

sebenarnya uji hancur hanya waktu yang diperlukan tablet untuk hancur di

bawah kondisi yang ditetapkan dan lewatnya partikel melalui saringan. Uji

ini tidak memberi jaminan bahwa partikel-partilkel tersebut akan melepas

bahan obat dalam larutan dengan kecepatan yang seharusnya. Untuk


itulah sebabnya uji disolusi dan ketentuan uji dikembangkan bagi hampir

seluruh produk tablet (3).

II.2 Uraian Bahan


1. Ampisilin (5;90)

Nama Resmi : Ampicillinum

Sinonim : Ampisilin

RM / BM : C16H19N3O4S / 349,41

Rumus Bangun : H COOH


O CH3
H
N
CH3
C CONH S

H H
NH2
Pemerian : Serbuk hablur renik; putih; tidak berbau

atau hampir tidak berbau; rasa pahit.

Kelarutan : Larut dalam 170 bagian air; praktis tidak

larut dalam etanol (95 %) P, dalam

kloroform P, dalam eter P, dalam

aseton P dan dalam minyak lemak.

Penyimpanan : Dalam wadah tertutup baik

Khasiat : Antibiotikum

Kegunaan : Sebagai sampel

2. NaOH (5;412)

Nama Resmi : Natrii Hydoxydum

Sinonim : Natrium hidroksida

RM / BM : NaOH / 40,00

Pemerian : Bentuk batang, butiran, masa hablur

atau keeping, kering, keras, rapuh dan

menunjukkan susunan hablur; putih,

mudah leleh basah. Sangat alkalis dan

korosif. Segera menyerap

karbondioksida.

Kelarutan : SangatO mudah larut dalam air dan

dalam etanol (95 %) P.


O OH
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup baik
OH
Khasiat : Zat tambahan
II.3 Prosedur Kerja

1. Bak mantel yaitu tempat labu disolusi dimasukkan, diisi dengan air

suling (kalau digunakan air ledeng akan terjadi pengapuran pada

alat pemanas elemen).

2. Stel pada suhu 37ºC kurang lebih 0,5ºC, alat di on-kan (hubungkan

dengan sumber PLN) melalui stabilizer agar alat tidak mudah

rusak.

3. Isi labu disolusi dengan media disolusi. Kalau suhu media

dimasukkan dengan suhu kamar maka akan memerlukan waktu

yang lama untuk mencapai 37ºC. Volume larutan disolusi adalah

900 ml (lazimnya).

4. Bila suhu dalam labu disolusi sudah mencapai 37ºC (konstan),

tablet amoksisilin dimasukkan dalam keranjang (basket dari kawat

platina).

5. Pada saat dimasukkan, di on-kan pengaduk dengan kecepatan 100

rpm. Kecepatan 100 rpm adalah kecepatan yang lazim digunakan.

6. Catat waktu pada saat basket yang berisi tablet dimasukkan dalam

labu disolusi.

7. Pada menit ke 5, 10 dan 15,diambil media disolusi sebanyak 10 ml

dengan pipet volume dan media disolusi dicukupkan lagi hingga

900 ml dengan aquadest tiap setelah pengambilan sampel.

8. Titrasi hasil pengambilan sampel dengan metode alkalimetri

menggunakan indicator fenolftalein


9. Catat volume titran pada saat terjadi titik akhir titrasi yang ditandai

dengan perubahan warna larutan dari tidak berwarna menjadi

merah muda.
BAB III

METODE KERJA

III.1 Alat dan bahan

III.1.1 Alat percobaan

Alat-alat yang digunakan dalam percobaan ini adalah Alat Collapse

Tester, Erlenmeyer 200 ml, Gelas piala, Gelas ukur, Statif dan klem,

Buret, Pipet volume 10 ml, Lap kasar, Lap halus, Termometer

III.1.2 Bahan percobaan

Bahan-bahan yang digunakan dalam percobaan ini adalah air

suling, indikator fenolftalein, amoksisilin dan tisu roll.

III.2 Cara Kerja

1. Bak disolusi diisi dengan aquadest hingga ¾ nya.

2. Suhu diatur 37°C.

3. Alat diaktifkan (on/off suhu)

4. Panaskan 900 ml aquadest sampai suhu 37°C.

5. Air dimasukkan ke dalam labu disolusi.

6. Sampel dimasukkan ke dalam keranjang.

7. Alatnya dinyalakan (on/off kecepatan).

8. Batang pengaduk mulai bergerak, mulai dihitung waktunya.

9. Digunakan beberapa waktu : menit ke-5, 15, 25, 35, 45.

10. Sampel dipipet 10 ml dengan pipet volume, dimasukkan ke dalam

Erlenmeyer

11. Dihitung kadarnya dengan NaOH yang sebelumnya ditambah PP.


12. Titrasi dilakukan duplo.

13. Setelah dipipet, dicukupkan isi buret dicukupkan lagi dengan

NaOH.

BAB IV
HASIL PENGAMATAN

IV.1 Tabel Data

Menit V1
5 0,1 ml
10 0,2 ml
15 0,2 ml

IV.2 Perhitungan

1. Kadar

% K1 = Vtitrasi X N X BE x 100%

Vsampel

= 0,1ml x 0,0713N x 419,45 x 100%

10

= 29,9%

% K2 = 0,2ml x 0,0713N x 419,45 x 100%

10

= 59,81%

% K3 = 0,2ml x 0,0713N x 419,45 x 100%

10

= 59,81%

%K rata-rata = 29,9% + 59,81% + 59,81%

3
= 149,52%

= 49,84%

2. Bobot Zat aktif

W1 = % K1X 900 ml

= 29,9% X 900 ml

= 26910

100

= 269,1 mg

W2 = % K2 X 900 ml

= 59,81% X 900 ml

= 53829

100

= 538,29 mg

W3 = % K3X 900 ml

= 59,81% X 900 ml

= 53829

100

= 538,29 mg

3. % Kelarutan

% Kelarutan = W X 100% Wo = Bobot etiket


Wo

% K1 = 269,1 X 100%

500

= 53,82 %

% K2 = 538,29 X 100%

500

= 107,658 %

% K3 = 538,29 X 100%

500

= 107,658 %

4. Perhitungan Regresi

t Wn - Wa Log ( Wn - Wa ) (y) Y Reg


5 -230,9 2,36 9,2
10 38,29 1,58 18,4
15 38,29 1,58 27,6

Persamaan wagner :

Log ( Wn – Wa ) = log Wa - k t

2,303

a = 2,62

b = -0,078
Jadi Y = a + bx

Y = 2,62 – 0,078 x

b = k k= konstanta kec. disolusi

2,303

-0,078 = - k

2,303

k = 2,303 x 0,078

= 0,1796

IV.3 Reaksi

H COOH
O CH3
H + NaOH
N
CH3
C CONH S

H H
NH2

H COONa
O CH3
H + H2O
N
CH3
IV.4 Grafik C CONH S

a. Grafik sebelum regresi H H


NH2
(% kelarutan)
Grafik Hub. Waktu Dengan % Kelarutan

70
60
50
40
30
20
10
0
0 5
10 15 40 50 60 70
x (t)

b. Grafik hubungan Waktu dengan log (Wn – Wa)


BAB V

PEMBAHASAN

Disolusi obat adalah suatu proses pelarutan senyawa aktif dari bentuk

sediaan padat ke dalam media pelarut. Pelarutan suatu zat aktif sangat penting

artinya karena ketersediaan suatu obat sangat tergantung dari kemampuan zat

tersebut melarut ke dalam media pelarut sebelum diserap ke dalam tubuh.

Suatu bahan obat yang diberikan dengan cara apapun dia harus memiliki

daya larut dalam air untuk kemanjuran terapeutiknya. Senyawa-senyawa yang

relatif tidak dapat dilarutkan mungkin memperlihatkan absorpsi yang tidak

sempurna, atau tidak menentu sehingga menghasilkan respon terapeutik yang

minimum. Daya larut yang ditingkatkan dari senyawa-senyawa ini mungkin

dicapai dengan menyiapkan lebih banyak turunan yang larut, seperti garam dan

ester dengan teknik seperti mikronisasi obat atau kompleksasi.

Sifat-sifat kimia, fisika, bentuk obat dan juga fisiologis dari sistem

biologis mempengaruhi kecepatan absorbsi suatu obat dalm tubuh. Oleh karena

itu konsentrasi obat, bagaimana kelarutannya dalam air, ukuran molekulnya, pKa

dan ikatan proteinnya adalah faktor-faktor kimia dan fisika yang harus dipahami

untuk mendesain suatu sediaan. Hal ini meliputi faktor difusi dan disolusi obat.

Pada saat suatu sediaan obat masuk ke dalam tubuh, selanjutnya terjadi

proses absorbsi ke dalam sirkulasi darah dan akan didistribusikan ke seluruh

cairan dan jaringan tubuh. Apabila zat aktif pada sediaan obat tersebut memiliki
pelarut yang cepat, berarti efek yang ditimbulkan juga akan semakin cepat,

begitu juga sebaliknya.

Pada percobaan ini ingin ditentukan konstanta kecepatan disolusi suatu

zat. Zat yang akan diukur kecepatan atau laju disolusinya adalah tablet

amoksisilin yang melarut ke dalam media disolusi, dimana medium disolusi yang

digunakan adalah air suling. Kemudian ditentukan kadarnya dengan

menggunakan titrasi alkalimetri dimana titran yang digunakan adalah NaOH

dengan penambahan indikator fenolftalein.

Pelepasan dari bentuk-bentuk sediaan kemudian diabsorbsi dalam tubuh

dan dikontrol oleh sifat fisika, kimia obat dan bentuk obat yang diberikan dan

juga fisiologis dari sistem biologis. Konsentrasi obat, kelarutan dalam air, ukuran

molekul, bentuk kristal, pKa dan ikatan protein adalah faktor-faktor fisika dan

kimia yang harus dipahami untuk mendesain pemberian yang menunjukkan

suatu karakteristik terkontrol. Lepasnya suatu obat dari sistem pemberian

meliputi faktor disolusi dan difusi.

Proses pelarutan tablet melalui proses disolusi yaitu melarutnya senyawa

aktif dari bentuk sediaannya (padat) ke dalam media pelarut. Setelah obat dalam

larutan, selanjutnya terjadi proses absorbsi ke dalam darah dan di bawa ke

seluruh cairan dan jaringan tubuh. Apabila zat aktif memiliki kecepatan pelarut

yang cepat, berarti efek yang ditimbulkan juga semakin cepat, begitu pula

sebaliknya.
Dalam metode ini digunakan metode alkalimetri karena sampel yang

digunakan dalam hal ini yaitu amoksisilin bersifat asam sehingga dinetralisasi

dengan menggunakan basa (NaOH).

Pada percobaan ini, digunakan air suling sebagai media disolusi karena

air merupakan komponen paling besar yang berada di dalam tubuh manusia, jadi

obat seakan-akan berdisolusi di dalam tubuh, selain itu karena mengingat

kelarutan dari obat yang digunakan. Adapun volume dari labu disolusi yang

digunakan adalah 900 ml. Hal ini dianalogikan terhadap suatu gelembung udara,

maka gelembung udara tersebut akan masuk ke pori-pori dan bekerja sebagai

barier pada interfase sehingga mengganggu disolusi obat. Adapun suhu yang

digunakan, dipertahankan 37° C, dengan maksud agar sesuai dengan suhu

fisiologis suhu tubuh manusia. Hal ini sebagai pembanding jika obat tersebut

berada dalam tubuh manusia. Selain itu alat disolusi juga diatur kecepatan

putarannya sebesar 50 rpm karena ini diumpamakan sebagai kecepatan gerak

peristaltik lambung. .

Pada percobaan ini, mula-mula diisi bak disolusi dengan air suling

hingga ¾ volumenya. Kemudian diatur suhunya 37ºC dan setelah tercapai suhu

tersebut maka dimasukkan air suling yang suhunya 37ºC ke dalam labu disolusi

dan obat (tablet amoksisilin) dimasukkan dalam keranjang. Diambil 10 ml pada

menit ke 5, 10 dan 15. Setiap pengambilan, volume air suling dalam labu disolusi

dicukupkan 900 ml. Pengambilan dilakukan dengan pipet volume yang telah

diikat dengan kertas saring. Ia bertujuan untuk mengelakkan molekul-molekul

amoksisilin yang tidak larut turut sama diambil.Kemudian larutan yang diambil
tersebut dititrasi dengan NaOH dan menggunakan indikator fenolftalein. Dari

titrasi tersebut, dicatat volume titrasinya.

Dari hasil perhitungan diperoleh % kelarutan dari amoksisilin, yaitu:

pada t = 5’ adalah 17,251 %; pada t = 10’ adalah 26,330 %; pada t = 15’ adalah

41,764. Dari percobaan dapat diketahui konstanta kecepatan atau laju disolusi

adalah 0,1796.

Faktor-faktor kesalahan yang mungkin mempengaruhi hasil yang

diperoleh antara lain :

o Suhu larutan disolusi yang tidak konstan.

o Ketidaktepatan jumlah dari medium disolusi, setelah dipipet

beberapa ml.

o Terjadi kesalahan pengukuran pada waktu pengambilan sampel

menggunakan pipet volume.

o Kekeliruan praktikan dalam menentukan volume titrasi dan titik

akhir titrasi.

o Kekeliruan prosedur penentuan kadar

o Indikator yang digunakan sudah rusak.

o Suhu yang dipakai tidak tepat.


BAB VI

PENUTUP

VI.1 Kesimpulan

Dari hasil percobaan didapatkan bahwa % kelarutan dari amoksisilin,

yaitu: pada t = 5’ adalah 17,251 %; pada t = 10’ adalah 26,330 %; pada t = 15’

adalah 41,764%. Dari percobaan dapat diketahui konstanta kecepatan atau laju

disolusi adalah 0,1796

VI.2 Saran

Perjelas lagi suaranya kak agar praktikan bisa dengarkan penjelasannya.


DAFTAR PUSTAKA

1. Tim asisten (2008), “Penuntun Praktikum Farmasi Fisika”, Fakultas

Farmasi UNHAS, Makassar, 35.

2. Ansel, Howard C., (1985), “Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi”, UI Press,

Jakarta, 91,92.

3. Martin, A., et.all., (1993), “ Farmasi Fisika “, Edisi III, Bagian II, Penerbit UI

Jakarta, 827.

4. Gennaro, A. R., et all., (1990), “ Remingto’s Pharmaceutical Sciensces “,

Edisi 18th, Marck Publishing Company, Easton, Pensylvania, 591.

5. Ditjen POM, (1995), “ Farmakope Indonesia”, Edisi III, Departemen

Kesehatan RI, Jakarta, 90, 96, 412, 675.

You might also like