You are on page 1of 5

Jikalau kita mengelola media1

Oleh Maulida Sri Handayani2

Suatu hari, katakanlah kita berpikir akan membuat sebuah media massa.
Pertama-tama yang harus kita tanyakan pada diri kita adalah, apa dasar atau
alasannya. Apa pasal? Sebab, alasan adalah hal terpenting. Alasan itu
menentukan jenis media dan bentuk pengelolaan yang akan kita buat dan
terapkan.

Sederhana saja, jika kita akan mencari keuntungan sebanyak-banyaknya dari


media yang akan kita buat, mungkin kita akan membuat media semacam
tabloid Pulsa yang menghimpun review produk telepon selular yang—
masyallah—setengah mati sering dicari oleh masyarakat. Atau tak tanggung-
tanggung, kita akan membuat harian cabul macam Lampu Hijau (tadinya
Lampu Merah). Kita akan melakukan apapun yang akan membuat mereka laku,
menghasilkan uang sebanyak-banyaknya.

Sebaliknya, jika kita mempercayai bahwa media adalah sesuatu yang akan
mengantarkan kita pada cita-cita besar, kita barangkali akan membuat media
macam Kompas atau Koran Tempo atau The Guardian (atau Isola Pos). Kita
akan setengah mati membuat perencanaan dan pengelolaan yang sebaik-
baiknya demi cita-cita itu. Dan satu hal yang saya percayai, media besar yang
terus hidup sekian lamanya, diawali dari cita-cita mulia. Lahir dari
keberpihakan terhadap publik dan kebenaran. Bahkan, sudah mati pun bisa
bangkit lagi; seperti yang terjadi pada Tempo, misalnya.3

Beranjak dari ihwal alasan tadi, saya asumsikan saja kita akan membuat media
yang tak hanya bertujuan profit (keuntungan) tetapi juga menjadikan media itu
lembaga milik publik. Maksud saya tentu saja bukan sahamnya go public,
walaupun bisa juga mengarah demikian. Melainkan, media sebagai lembaga
atau saluran yang dimanfaatkan sebesar-besarnya oleh publik untuk
kepentingan publik. Pada bagian yang lebih partikular yakni dalam masyarakat
terbuka, media atau pers ini berperan sebagai pilar keempat demokrasi. 4 Soal

1
Disampaikan dalam Workshop Jurnalistik UPM UPI, 23 November 2008
2
Pemimpin Umum Isola Pos 2005-2006. Kegiatannya sekarang kuliah di jurusan Filsafat
Budaya Universitas Parahyangan. Bisa dikontak melalui alamat
maulida.sri.handayani@gmail.com dan nomor 085221683399.
3
Majalah Tempo dibredel pada 1994 terkait pemberitaan kapal bekas oleh Habibie,
namun Tempo terbit lagi setelah Reformasi 1998.
4
Pada Abad Pertengahan di Eropa, tiga pilar yang pertama adalah kaum bangsawan,
agamawan dan masyarakat umum. Setelah ada trias politika dari Montesquieu, tentu
saja yang tiga itu adalah badan-badan eksekutif, legislatif dan yudikatif. Pilar
keempatnya adalah pers.
ini pasti sudah panjang lebar dibahas dalam materi sebelumnya. Sekarang,
setelah kita memilih jenis media yang akan dibangun, mari kita tentukan visi
dan misinya.

Visi dan misi

Misalnya media kita bernama Koran Isola, media yang berbasis warga
kelurahan Isola. Kita buat visi seperti ini: Koran Isola adalah koran yang yang
mendorong terciptanya kehidupan warga Isola yang demokratis dan sejahtera.

Kemudian dari visi itu, kita buat misinya, antara lain:


(1) Koran Isola mendorong warga Isola mendapat informasi yang
memenuhi asas kepentingan publik—misalnya dalam hal anggaran desa;
(2) Koran Isola menjadi saluran bagi masyarakat untuk menyampaikan
aspirasi pada pengelola desa, dan sebaliknya;
(3) Koran Isola mendorong terciptanya pemerintahan desa dan pelayanan
publik yang baik.

Dari atas dapat dilihat, bahwa visi merupakan bentuk ideal atas media yang
kita bangun, sedangkan misi merupakan turunan dari visi itu, yakni tujuan
besar/penting yang kita harus lakukan dengan media itu. Selanjutnya dapat
ditentukan tujuan-tujuan dan/atau langkah yang lebih taktis, terkait
pencapaian visi dan misi tersebut.

Riset pembaca

Kita harus meneliti “pasar” pembaca mana yang dituju, sehingga isinya dapat
memenuhi kebutuhan informasi dan kepentingan khalayak pembaca tersebut.
Contohnya Koran Isola merupakan media yang ditujukan bagi warga kelurahan
Isola, maka isinya harus berkaitan dengan kebutuhan mereka. Jangan lupa juga
lihat karakteristik umum dari calon pembaca kita. Basis profesinya apakah tani,
guru, pedagang, dll (sosio dan ekonografi). Bisa juga melihat demografi dan
psikografinya, misalnya apakah calon pembaca kita umumnya berusia remaja,
usia produktif atau usia lanjut. Tentu saja, lagi-lagi isi media harus sesuai
dengan kebutuhan dan kepentingan mereka.

Selanjutnya, media dapat menentukan apa yang akan dilakukan dua divisi di
Pemimpin
dalamnya, yakni redaksi Umum
dan perusahaan. Biasanya skemanya seperti ini
/Direktur
Bag.
produksi
Pemimpin Pemimpin Bag.
sirkulasi/distribusi
Redaksi Perusahaan
Bag.
Redaktur iklan
Pelaksana dll
.
Redaktur
desk

Reporte
r
Merencanakan dan mengelola redaksi

1. Pemimpin Redaksi

Seorang pemimpin redaksi bertanggung jawab terhadap segala proses


perencanaan dan eksekusi kegiatan redaksional, serta arah dan
pelaksanaan kebijakan keredaksian.

2. Redaktur Pelaksana

Posisi ini berada di bawah pemimpin redaksi. Bertugas mengkoordinasi


tugas redaktur, reporter; kerja lapangan redaksi secara keseluruhan.

3. Redaktur (desk)

Bertugas mengkoordinasi tugas reporter sesuai dengan desk


(bidangnya) masing-masing. Misalnya politik, ekonomi, olahraga, seni,
kriminal, dll.

4. Reporter

Bertugas mencari data dan fakta, melakukan liputan, wawancara serta


menulis berita.

5. Riset Foto, ilustrasi, layout

Bagian ini meriset kebutuhan foto, layout dan ilustrasi pada media dan
menyediakannya.

Mekanisme dalam redaksi ada tiga, yakni:

1. Perencanaan isi, ini dilakukan dalam rapat redaksi.


2. Pengumpulan bahan, melalui reportase dan riset, monitoring
dilakukan melalui rapat redaksi.

3. Pengolahan bahan dan penyiapan isi, yakni bahan yang didapat


melalui reportase dan riset di atas untuk kemudian masuk proses
penulisan, editing, proofreading, dan pracetak.

Merencanakan dan mengelola perusahaan


Ada dua hal yang penting, yakni :

1. Merencanakan biaya kerja redaksi


Biaya reportase, rapat redaksi, riset pendukung, kantor redaksi, dll

2. Merencanakan biaya produksi


Biaya cetak, distribusi, dll.

Maksudnya sederhana. Bagaimana kita mendistribusikan modal yang kita


punyai, mengkalkulasi kemungkinan penjualan, pendapatan iklan, dan dapat
menghitung kapan break even point alias balik modal.

Selain perencanaan keuangan, hal lain yang harus diatur adalah perencanaan
produksi atau percetakan. Harus ada koordinasi yang baik antara bagian
redaksi dengan produksi agar kesalahan produksi dapat diminimalisasi.
Sebagai catatan tambahan, seringkali bagian produksi ini terpisah secara tegas
dengan bagia perusahaan.

***

Demikianlah pengantar dari saya tentang pengelolaan media massa.


Betapapun saya tekankan lagi, bahwa visi dan misi sebuah institusi media
massa teramat penting bagi kelangsungan hidupnya. Ia akan menjadi
semacam self fulfilling prophecy: jika kita percaya bahwa media massa
merupakan lembaga yang penting dalam kepentingan publik, maka kita akan
berupaya sedemikian rupa untuk mewujudkan ramalan atau keyakinan kita itu.
Manajemen yang baik akan menghantarkan kita ke sana.

Visi dan misi kita juga akan menentukan siapa yang boleh ikut serta dalam
manajemen. Apa jadinya bila saham media dimiliki oleh konglomerat atau
politikus bermasalah? Sekarang mari kita lihat kasus Indonesia. Seorang
bernama Aburizal Bakrie menguasai hampir semua saluran media massa. Dia
punya TVOne untuk TV, punya Jurnal Nasional untuk korannya, bahkan dia juga
punya Vivanews.com yang ada di jalur internet. Selain itu, ia pun menteri. Dan
tak tanggung-tanggung, menteri koordinator!

Sudah 2 tahun perusahaannya menyebabkan bencana Lumpur Lapindo.


Lapindo hampir tidak bertanggung jawab dalam hal ini, dan pemerintah
membiarkan. Belakangan, nilai saham perusahaan bakrie juga terjun bebas
akibat krisis global. Pemerintah berniat menyelamatkan saham Bakrie, padahal
dalam masalah-masalah lain seperti BUMN dan harga BBM, pemerintah
berlagak seperti penegak hukum ekonomi pasar—bebas menjual aset Negara
dan menaikkan harga BBM. Jika tindakan pemerintah itu kita percayai sebagai
sebuah pengkhianatan terhadap kepentingan publik, saya punya beberapa
pertanyaan untuk didiskusikan:

1. Apakah lembaga pers yang dimiliki konglomerat/politikus bermasalah itu


akan tetap punya keberpihakan terhadap kepentingan publik?

2. Apakah lembaga pers itu punya peranan bagi konglomerat/politikus


bermasalah untuk mencuci tangannya?
3. Jika pilar-pilar demokrasi sudah sedemikian koruptif; badan eksekutif,
legislatif dan yudikatif sudah terbeli, sedangkan itu juga terjadi pada the
watchdog, apa yang akan terjadi? Pers sebagai pilar keempat hanya
omong-kosong?

You might also like