You are on page 1of 6

c cc


c c c 


Seseorang yang mempunyai rasa seni yang kental akan menggunakan karya seni itu sebagai
medium komunikasi untuk menyampaikan pikiran dan perasaannya kepada pencintanya.
Puisi merupakan suatu karya sastra yang banyak digunakan untuk tujuan tersebut di samping
karya seni lain. Jenis karya seni ini masing-masing mempunyai ciri untuk mengungkapkan
tujuan. Puisi sebagai karya sastra menggunakan bahasa sebagai medium untuk
mengungkapkan makna. Makna tersebut diungkapkan melalui sistem tanda yakni tanda-tanda
yang punya arti. Bahasa dalam karya sastra merupakan lambang yang punya arti yang
ditentukan oleh perjanjian masyarakat atau ditentukan oleh konvensi masyarakat.
Pengamatan terhadap puisi melalui pendekatan struktur untuk menghubungkan suatu tulisan
dengan pengalaman bahasanya disebut sebagai analisis statistika. (Widdowson, 1997,13334).
Sehubungan dengan itu Nababan (1999,43) mengatakan bahwa statistika memberi suatu
sarana bagi pelajar sastra untuk mampu memahami sastra dari tinjauan ilmu linguistik, dan
ini diharapkan membantu mereka untuk lebih mampu menikmati sastra. Penikmatan terhadap
karya sastra tidak bisa dilakukan tanpa mempertimbangkan struktur. Penikmatan terhadap
karya sastra melalui interpretasi keseluruhannya tidak dapat dimulai tanpa pemahaman
bagian-bagiannya, tapi interpretasi bagian mengandalkan lebih dahulu pemahaman
keseluruhan karya itu (Teeuw 1984, 123). Lebih lanjut ia mengatakan bahwa interpretasi
ungkapan bahasa dalam arti yang lebih luas menurut maksud inilah yang disebut sebagai
hermeneutika.

B. Charil Anwar dan Karyanya


Chairil Anwar dilahirkan di Medan Sumatra Utara, 26 Juli 1922, meninggal di Jakarta 28
April 1949. Bersama Asrul Sani dan Rivai Apin, sastrawan yang oleh H.B. Yassin
dinobatkan sebagai Pelopor angkatan 45. Dia mendirikan ¶¶Gelanggang Seniman Merdeka¶¶
(1946). Kumpulan puisi penyair yang pernah yang pernah jadi Resktur Ruang budaya, Siasat
³Gelanggang¶¶ dan Gema Suasana ini adalah Kerikil Tajam dan yang Terampas dan yang
Putus (1949), Deru Campur Debu (1949), Tiga Menguak Takdir (1950; bersama Asrul Sani
dan Rivai Apin), Aku Ini Binatang Jalan (1986), Derai-Derai Cemara (1998). Karya-karya
terjemahannya: Pulanglah Dia Si Anak Hilang (1948; Andre Gide), Kena Gempur (1951;
John Steinbeck). Penerjemahan karya-karyanya ke dalam bahasa Inggris dan Jerman
dilakukan Burton Raffel, Chairil Anwar: Selected Poems (New York: 1963) dan The
Complete Poetry and Prose of Chairil Anwar (New York:1970), Liaw Yock-Fang (Singapura:
1974), Walter Karwath, Feur und Asche (Wina: 1978). Karya-karya studi tentang Chairil
Anwar antara lain dilakukan oleh: S.U.S. Nababan, A Linguistic Analysis of The Poetry of
Amir Hamzah and Chairil Anwar (New York: 1976), Boen S. Oemarjati, Chairil Anwar:the
Poet and His Language (Den Haag: 1972).

C. Analisis Beberapa Karyanya


Sebagaimana telah dikemukan di atas bahwa Chairil Anwar adalah salah seorang pelopor
angkatan 45 yang banyak menulis karya sastra dengan gayanya sendiri. Gaya pada dasarnya
merupakan cara yang digunakan penutur dalam memaparkan gagasan sejalan dengan tujuan
dan motif yang melatarbelakanginya. Guna mencapai tujuan dengan berbagai motif tersebut
penutur selain secara kreatif menggarap aspek isi tuturannya juga menggarap bentuk
perlambangan sebagaimana terwujud dalam system tandasnya dengan harapan dapat
mewujudkan paparannya yang hidup dan imajinatif, padat dan kaya, gagasan jernih tapi
sublimatis, dan gagasan yang kompleks.
Penggunaan gaya juga diarahkan oleh bentuk karya sastra yang ingin dihasilkan, Puisi
misalnya gaya pengolahan gagasan maupun penataan bentuknya berbeda dengan bentuk
prosa fiksi. Salah satu yang dimiliki oleh penyair ini adalah kemampuannya pada penggunaan
bunyi dalam karya sastranya yang terjadi antara bunyi vokal dan konsnonan. Hal itu dapat
dikaji lewat puisi berjudul ³Kawanku dan Aku´, karya Chairil Anwar. Kutipan selengkapnya
puisi tersebut sebagai berikut.

KAWANKU DAN AKU

Kami sama pejalan larut


Menembus kabut
Hujan mengucur badan
Berkakuan kapal di pelabuhan

Darahku mengental pekat. Aku tumpat pedat


Siapa berkata-kata«?
Kawanku hanya rangka saja
Karena dera mengelucak tenaga
Dia bertanya jam berapa!

Sudah larut sekali


Hilang tenggelam segala makna
Dan gerak tak punya arti

Pada puisi diatas, selain dapat ditemukan adanya asonasi, misalnya antara bunyi [a] pada kata
hujan dengan [a] pada kata badan, juga dapat ditemukan sejumlah paduan bunyi konsonan.
Pada larik pertama puisi di atas, yang berbunyi Kami sama pejalan larut, dapat ditemukan
pengulangan bunyi [m] pada kata kami, dan [m] pada kata sama. Selain itu, ditinjau dari
hubungan antarlarik, juga dapat ditemukan adanya paduan bunyi [-ut] pada kata larut dan [-
ut] pada kata kabut. Bentuk paduan bunyi yang lain pada bait pertama puisi di atas adalah
antara bunyi [n] pada kata hujan, dan [n] pada kata badan,pada larik Hujan mengucur badan,
maupun pada kata berkakuan dan pelabuhan pada larik Berkakuan di pelabuhan. Paduan
bunyi tersebut juga dapat ditemukan pada hubungan suku akhir kata larik ketiga dan keempat.
Paduan bunyi konsonan antara kata-kata dalam satuan larik yang sama lazim disebut aliterasi.
Cummings dan Simmons mengemukakan bahwa, Alliteration ± the repetition of an initial
sound in different words, usually a consonant (Cummings, Michael, 1986:10). Dalam hal ini
ada juga yang membatasi paduan bunyi konsonan sebagai aliterasi tersebut hanya pada bunyi
konsonan pada awal kata-kata yang berbeda pada satuan larik yang sama. Apabila perulangan
bunyi konsonan pada awal kata atau pada awal suku berikutnya disebut aliterasi, perulangan
bunyi konsonan pada akhir kata, baik itu diawali oleh bunyi vokal yang sama atau yang
berbeda disebut konsonansi. Pada puisi diatas perulangan secara demikian dapat ditemukan
pada paduan bunyi [n] pada kata hujan dan [n] pada kata pelabuhan. Cummings dan
Simmons dalam hal ini mengemukakan bahwa, Consonance is basically repetition of the end
consonant, but with a different vowel and the same, or different (1986: 28) sebagai mana
telah disinggung didepan, perulangan bunyi konsonan itu juga dapat ditemukan pada kata
berkakuan dan pelabuhan pada larik Berkakuan kapal di Pelabuhan.
Paduan bunyi konsonan yang sama, diawali oleh bunyi vokal yang sama pada akhir larik
yang berbeda tetapi berurutan disebut rima. Terdapatnya rima pada puisi diatas misalnya
antara [-ut] pada kata larut sebagai kata yang terdapat pada akhir larik Kami sama pejalan
larut dengan [-ut] pada kata kabut sebagai kata yang ada pada akhir larik Menembus kabut.
Apabila diperhatikan, larik Kami sama pejalan larut dan larik menembus kabut, ada secara
berurutan. Paduan bunyi secara demikian juga dapat ditemukan pada paduan [-an] pada kata
badan dan pada larik Hujan mengucur badan, dengan [-an] pada berkakuan pada larik
Berkakuan kapal di pelabuhan.
Sebutan rima juga dapat dirujukkan pada paduan bunyi vokal dari kata-kata pada akhir larik
yang berbeda. Rima secara demikian diistilahkan rima vokal (vowel rhyme). Pada puisi
berjudul ³Kawanku dan Aku´, rima vokal itu dapat ditemukan pada larik siapa berkata-
kata«?/ kawanku hanya rangka saja/ karena dera mengelucak tenaga. Sementara paduan
bunyi [I] pada larik Sudah larut sekali, dengan [I] pada larik Dan gerak tak punya arti dapat
disebut sebagai rima patah (Zaidan, 1991:117) dibentuk demikian karena paduan bunyi antara
bunyi vokal pada larik yang berbeda tersebut diselingi oleh larik yang mengandung bunyi
vokal yang berbeda. Larik yang menyelingi adalah Hilang tenggelam segala makna.
Selain kemampuannya dalam penggunaan bunyi Chairil Anwar juga memliki kreasi dalam
penggunaan bahasa kias pada puisi.
Kreasi penciptaan karya sastra selain mengutamakan kekhasan juga mengutamakan
kebaharuan. Sejumlah ciri pada puisi Goenawan Muhammad misalnya, tidak dapat begitu
saja dirapatkan pada puisi-puisi karya Soebagio Sastrowardojo, Rendra, dan lain-lain. Untuk
lebih mempertegas kemungkinan perbedaan atau mungkin juga kesamaan ciri antara ciri
penggunaan bahasa kias dalam puisi ³Expatriate´ karya Goenawan Muhammad dengan karya
puisi lain dari penyair yang berlainan pula, di bawah ini dilakukan pembahasan bahasa kias
dari salah satu puisi Chairil Anwar berjudul ³Kawanku dan Aku´. Guna memudahkan
pembahasan, puisi tersebut dikutipkan kembali sebagai berikut.
Bertolak dari hasil pembacaan puisi di atas secara keseluruhan dapat diperoleh gambaran
bahwa ditinjau dari tautan pendarannya, puisi di atas memilki tiga tautan pendaran. Ketiga
tautan pendaran itu ditandai oleh terdapatnya fonem anaforik /t/, /n/, dan /a/. sementara
ditinjau dari kemungkinan fokus pembicaraannya, puisi di atas pada intinya berbicara tentang
(1) aku dan kawanku sebagai manusia, (ii) perjalan aku dan kawanku dalam menempuh
kehidupan, (iii) hubungan antara aku, kawanku, kehidupan dan waktu, dan (iv) makna
kehidupan bagi aku/kawanku. Pemahaman butir-butir di atas meskipun baru bersifat umum
paling tidak sudah dapat disajikan bahan pemetaan kemungkinan hubungan antara pengiasan
pada larik yang satu dengan yang lain, hubungan antara pengiasan tersebut dengan
kemungkinan ciri citraan dan gagasan yang dinuansakannya.
Pada bait pertama puisi di atas terdapat larik yang berbunyi Kami sama pejalan larut.
Seandainya larik tersebut berbunyi Kami sama-sama pejalan kaki, misalnya, mungkin tidak
terlalu memberikan kesan aneh. Akibat terdapatnya kombinasi kata-kata yang aneh tersebut
paling tidak pembaca dalam mengambil keputusan bahwa acuan dari Pejalan larut bukan lagi
hanya berhubungan dengan apa yang lazim disebut sebagai ³pejalan´ melainkan juga
merujuk pada sesuatu yang tidak dinyatakan secara langsung. Selain itu juga dapat diperoleh
gambaran bahwa pada kata pejalan pada dasarnya dapat diartikan sebagai órang yang
pekerjaannya ³berjalan´. Dengan demikian keseluruhan ciri yang ada pada µkami¶¶ pada
dasarnya bisa ada pada pejalan, karena kami pada dasarnya adalah µorang¶.
Sebaliknya tidak semua orang dapat disebut sebagai ³pejalan´ sehingga bentuk simbolik
pejalan larut dapat ditentukan sebagai salah satu ciri khusus yang diacukan pada ´Aku dan
Kawanku´. Dalam konteks keberadaan kami sebagai orang demikian pejalan larut hanya
merupakan salah satu ciri yang dijadikan wakil dari keseluruhan ciri yang ada pada kami.
Dengan demikian larik Kami sama pejalan larut dapat ditentukan merupakan bentuk bahasa
kias metonimi. Dalam hal ini pembaca perlu juga mengajukan pertanyaan menyangkut
penggunaan bentuk simbolik larut.
Dinyatakan demikian karena dalam Bahasa Indonesia kata larut dapat mengacu pada waktu,
misalnya malam sudah larut, mengacu pada ketiadaan sesuatu, misalnya gula itu sudah larut
dalam air. Dalam bentuk lain, kata larut juga dapat berada dalam bentuk Upaya dalam
memecahkan masalah itu justru semakin berlarut-larut.
Memang ada kemungkinan pemilihan kata larut tersebut juga didasari oleh kekayaan matra
acuannya. Kata larut pada malam sudah larut antara lain dapat menggambarkan suasana sepi,
kekosongan ataupun ³ngelangut´. Sementara larut dalam gula itu sudah larut dalam air, dapat
menggambarkan ketiadaan bentuk, ketidakjelasan eksistensi. Pada kalimat pemecahan
masalah itu semakin-makin berlarut-larut menggambarkan ketidakjelasan dan ketidakpastian.
Apabila dikembalikan pada keberadaan manusia, bukankah dia bisa saja merasa dirinya
hampa, tidak memilki ketidakjelasan eksistensi dan dihadapkan pada segala sesuatu yang
tidak pasti?
Kakaburan aspek referensial pada larut yang justru mampu memperkaya nuansa maknanya
dapat dibandingkan dengan pemilihan bentuk simbolik memutih pada larik memutih tengah
malam dalam puisi ³Expatriate´. Hal itu mempertegas penyimpulan bahwa pengayaan
gagasan dalam puisi bukan hanya mungkin dilakukan dalam pemanfaatan sebuah citraan,
misalnya binatang jalang yang hanya mengacu pada X = binatang yang jalang, melainkan
juga ditempuh melalui penggandaan X sehingga bentuk simbolik tersebut bukan hanya
mengacu pada X, melainkan bisa X1, X2, X3, dan seterusnya. Kegandaan citraan tersebut
lebih lanjut juga menyebabkan kegandaan fokus penuansaan maknanya sekaligus sebagai
gagasan yang diimplikasikan. Dengan demikian larik Kami sama dengan pejalan larut dapat
ditentukan sebagai sinekdok yang diperkaya melalui pemilihan kata yang dapat menampilkan
citraan secara ganda.
Larik menembus kabut juga dapat ditetapkan sebagai bentuk bahasa kias. Dinyatakan
demikian karena kabut merupakan sesuatu yang ditempuh kami sebagai pejalan larut. Tidak
berbeda dengan penggunaan kabut pada larik pagi tumbuh dalam kabut yang itu juga, yang
ditafsirkan bahwa bentuk simbolik kabut pada larik menembus kabut juga berhubungan
dengan µketidakjelasan¶, dengan µmisteri¶. Perbedaannya, penggunaan bentuk simbolik kabut
pada larik tersebut ada dalam konstruksi yang salah satu unsure fungsionalnya dilepaskan.
Unsur tersebut adalah kami. Ditinjau dari klasifikasiannya, larik menembus kabut merupakan
bentuk metafor.
Pada larik hujan mengucur badan ditemukan adanya hubungan semantis yang tidak lazim
karena hujan pada larik tersebut diberi ciri insani.
Pemberian ciri insani pada hujan pada sisi lain juga disertai pengkomposisian badan sebagai
obyek. Jika dilihat kenyataannya secara konkret, badan yang dinyatakan dikucuri hujan bisa
juga hanya merupakan bagian dari keseluruhan yang merasa dikucuri hujan. Dengan kata lain
pada larik tersebut selain ditemukan gejala personifikasi juga ditemukan gejala sinekdok.
Guna menyederhanakan penyebutannya, jenis bahasa kias yang terdapat pada larik tersebut
adalah bahasa kias campuran.
Antara larik hujan mengucur badan dan berkakuan kapal dipelabuhan terdapat hubungan
sebab akibat. Dengan kata lain, berkakuannya kapal dipelabuhan seakan-akan disebabkan
oleh hujan mengucur badan. Ditinjau dari objek yang diacu, larik berkakuan kapal di
pelabuhan menampilkan citraan µkapal¶ yang ada di µpelabuhan¶. Tetapi berbeda dengan
kapal di pelabuhan yang hilir mudik, datang dan pergi, kapal tersebut µkaku¶. Dengan
demikian, µkapal¶ maupun pelabuhan hanya merupakan kiasan dari sesuatu yang tidak
dinyatakan secara langsung. Guna menentukan apa yang diperbandingkan dengan kapal
maupun pelabuhan, pembaca perlu menghubungkan kembali dengan badan dan larik hujan
mengucur badan. Dari hasil penghubungan itu paling tidak dapat memperoleh gambaran
bentuk ekspresi µx¶ yang tidak dapat mengarungi laut karena µkaku¶.
Dalam hal ini patut disadari bahwa berkakuan yang dikenakan pada kapal merupakan sesuatu
yang tidak lazim karena kapal merupakan benda yang tidak bernyawa. Sebab itu bentuk
simbolik kaku tidak dapat dimaknai sebagai kata µkaku¶ pada umumnya. Ditinjau dari
hubungannya dengan kata kapal penggunaan bentuk simbolik kaku dapat memberi ciri insani
pada kapal. Dengan kata lain, larik tersebut mengandung dua cara pengisian. Yang pertama
melalui personifikasi kapal yang diberi ciri bernyawa. Kedua melalui melalui perbandingan
antara kapal dan pelabuhan dengan X yang tidak dinyatakan secara langsung. Bentuk
perbandingan secara demikian, dapat dikategorikan sebagai metafora terselubung. Dari
terdapatnya dua bentuk pengiasan secara demikian, larik tersebut dapat dinyatakan
menggunakan bahasa kias ataupun metafor campuran.
Larik darahku mengental pekat. Aku tumpat pedat merupakan satuan larik yang ditinjau dari
cara penulisannya juga berkedudukan sebagai bait. Dalam bahasa Indonesia, kata pekat untuk
barang cair yang bernama µlikat¶, µkental¶, maupun µtidak jernih¶. Sementara untuk benda lain
kata tersebut dapat bermakna µkeras¶, µliat¶. Penghubungan kata darah dengan salah satu
kemungkinan makna denotatifnya pada dasarnya dapat mempertegas kemungkinan makna
tersiratnya. Dinyatakan demikian, ³kentalnya darah´ bagi penutup bahasa Indonesia ada juga
yang membayangkannya sebagai µkekuatan¶. Tetapi dari yang keras? Dalam hal demikian,
fonem anaforik /t/ pada pekat dan pedat yang merujuk pada larut dan kabut dapat dijadikan
dasar penafsiran. Dihubungkan dengan dua bentuk, simbolik tersebut dapat ditafsirkan bahwa
bentuk simbolik pekat patut dimaknai sebagai µkeras¶ dan µliat¶ yang mengacu pada
µketiadaan semangat kehidupan¶.
Bertolak dari gambaran seperti diatas dapat diambil kesimpulan bahwa darahku mengental
pekat. Aku tumpat pedat merupakan bentuk bahasa kias. Pada bentuk bahasa kias tersebut,
bentuk simbolik darah pada dasarnya hanya mewakili keseluruhan diri ataupun keberadaan
aku. Dengan kata lain pada larik tersebut dapat ditemukan bahasa kias sinekdok. Karena
pengiasannya dapat juga dinyatakan sebagai bentuk pengiasan pars pro toto, atau sebagian
mewakili keseluruhannya.
Penggunaan bentuk simbolik yang dari ciri denotasi maknanya saja sudah bersifat ganda
seperti diatas dapat juga dibandingkan dengan penggunaan simbolik putih pada larik
memutih tengah malam dalam puisi ³Ekspatriate´. Pada bentuk simbolik tersebut, memutih
dapat menggambarkan sesuatu yang semula tidak tampak kemudian µtampak sebagai sesuatu
yang putih¶, ¶sesuatu yang tidak putih kemudian menjadi putih¶, µsesuatu yang jelas¶, dan lain
sebagainya. Apabila pada puisi ³Kawanku dan Aku´ penyair menggunakan kata dasar, pada
puisi ³Expartriate´ penyair memanfaatkan efeksemantis pemberian imbuhan. Dalam hal ini
adalah awalan ±me.
Kita kembali pada puisi kawanku dan Aku. Larik siapa berkata-kata dapat ditentukan sebagai
apostrof. Sementara larik kawanku hanya rangka saja dapat ditentukan sebagai bentuk bahasa
kias. Pada larik tersebut bentuk simbolik rangka secara tidak lansung dapat diperbandingkan
µmati¶, µketiadaan kekuatan hidup¶, dan lain sebagainya. Dalam bahasa Indonesia pernyataan
tubuhnya tinggal rangka lazim digunakan untuk menggambarkan orang yang sedemikian
kurus yang tidak memiliki kekuatan hidup. Bertolak dari gambaran pengertian demikian
dapat ditentukan bahwa larik tersebut merupakan bentuk bahasa kias metafora. Sementara
pada larik berikutnya, karena derah mengelucak tenaga dapat ditemukan bahasa kias
personifikasi. Dinyatakan demikian karena dera sebagai salah satu yang tidak berkesadaran
dinyatakan mengelucak.
Larik dia bertanya jam berapa«? Ditinjau dari hubungannya dengan sudah larut sekali dapat
ditafsirkan sebagai bentuk bahasa kias. Dinyatakan demikian karena pertanyaan tentang jam
lazimnya diikuti jawaban yang merujuk pada angka. Sedangkan pada larik tersebut, jam
dihubungkan dengan larut. Pada sisi lain penggunaan dia pada larik tersebut bisa merujuk
pada pesona yang tidak hadir secara langsung sebagai bentuk simbolik, kata jam pada larik
tersebut pada dasarnya digunakan untuk menyatakan waktu. Dengan demikian pada larik
tersebut dapat ditemukan bahasa kias metonimi.
Pada larik sudah larut sekali, kembali dapat ditemukan bentuk simbolik larut tetapi berbeda
dengan penggunaan bentuk simbolik larut pada larik kami sama pejalan larut, bentuk
simbolik larut pada larik tersebut rujukannya jelas pada ³waktu´. Dinyatakan demikian
karena larik tersebut merupakan jawaban dari Dia bertanya jam berapa? Tidak berbeda
dengan larik sebelumnya larik tersebut juga dapat ditafsirkan bersifat metonimik. Ditafsirkan
demikian karena pernyataan sudah larut sekali dapat digunakan untuk menggambarkan
³puncak waktu ³ketiadaan aktivitas dengan ruang kehidupan. Hal itu dipertegas lewat
pengunaan metafora hilang tenggelam segala makna/dan gerak tak punya arti.
Bertolak dari pembahasan di atas, dapat diperoleh gambaran bahwa gaya pada dasarnya
hanya merupakan alat. Sebagai alat gaya dapat digunakan untuk mengatasi keterbatasan
bahasa dalam mengekspresikan gagasan maupun berbagai efek emotif, yang ingin dibuahkan
penuturnya. Ditinjau dari segi penggunaanya, penggunaan gaya sebagai alat bersifat
tetnatitif..Penggunaanya bisa memilih beberapa gaya tertentu dengan mengabaikan
kemungkinan penggunaan jenis gaya yang lain. Dari gaya yang digunakan itu pun pengguna
bisa mengkreasikan ulang dan memanipulasikannya sesuai dengan gaya dan efek yang
dicapai..
Menyangkut hal yang terakhir, antara penyair yang satu dengan yang lain bisa berbeda-beda.
Yang paling umum, perbedaan itu merujuk pada kata-kata yang dikombinasikan, bentuk
simbolik yang dikreasikan, konstruksi, dan penguntaian bentuk gaya bahasanya dalam
untaian secara sintagmatis. Hal itu sebenarnya juga sangat ditentukan oleh karakteristik
gagasan, suasana, dan latar ideologis penyairnya. Pada puisi´ Kawanku dan Aku´ misalnya,
latar ideologis itu dicerahi oleh wawasan filsafat tertentu. Dalam hal ini adalah filsafat
eksistensi. Sementara pada puisi ³Ekspariate´ wawasan ideologis itu harus dihubungkan
dengan wawasan nilai religiusitas. Sesuai denagan keagamaan penyairnya, nilai religiusitas
itu berkaitan dengan keimanan dalam islam.
|

You might also like