You are on page 1of 94

kooperatif yang dikembangkan oleh Elliot Aronson’s.

Model pembel

Friday, May 15, 2009


Model Pembelajaran Cooperative Learning Teknik Jigsaw

Jigsaw pertama kali dikembangkan dan diujicobakan oleh Elliot Aronson dan teman-teman di Universitas Texas,
dan kemudian diadaptasi oleh Slavin dan teman-teman di Universitas John Hopkins (Arends, 2001).

Teknik mengajar Jigsaw dikembangkan oleh Aronson et. al. sebagai metode Cooperative Learning. Teknik ini
dapat digunakan dalam pengajaran membaca, menulis, mendengarkan, ataupun berbicara.

Dalam teknik ini, guru memperhatikan skemata atau latar belakang pengalaman siswa dan membantu siswa
mengaktifkan skemata ini agar bahan pelajaran menjadi lebih bermakna. Selain itu, siswa bekerja sama dengan
sesama siswa dalam suasana gotong royong dan mempunyai banyak kesempatan untuk mengolah informasi dan
meningkatkan keterampilan berkomunikasi.

Pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw adalah suatu tipe pembelajaran kooperatif yang terdiri dari beberapa
anggota dalam satu kelompok yang bertanggung jawab atas penguasaan bagian materi belajar dan mampu
mengajarkan materi tersebut kepada anggota lain dalam kelompoknya (Arends, 1997).

Model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw merupakan model pembelajaran kooperatif dimana siswa belajar
dalam kelompok kecil yang terdiri dari 4 – 6 orang secara heterogen dan bekerja sama saling ketergantungan
yang positif dan bertanggung jawab atas ketuntasan bagian materi pelajaran yang harus dipelajari dan
menyampaikan materi tersebut kepada anggota kelompok yang lain (Arends, 1997).

Jigsaw didesain untuk meningkatkan rasa tanggung jawab siswa terhadap pembelajarannya sendiri dan juga
pembelajaran orang lain. Siswa tidak hanya mempelajari materi yang diberikan, tetapi mereka juga harus siap
memberikan dan mengajarkan materi tersebut pada anggota kelompoknya yang lain. Dengan demikian, “siswa
saling tergantung satu dengan yang lain dan harus bekerja sama secara kooperatif untuk mempelajari materi
yang ditugaskan” (Lie, A., 1994).

Para anggota dari tim-tim yang berbeda dengan topik yang sama bertemu untuk diskusi (tim ahli) saling
membantu satu sama lain tentang topic pembelajaran yang ditugaskan kepada mereka. Kemudian siswa-siswa
itu kembali pada tim / kelompok asal untuk menjelaskan kepada anggota kelompok yang lain tentang apa yang
telah mereka pelajari sebelumnya pada pertemuan tim ahli.

Pada model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw, terdapat kelompok asal dan kelompok ahli. Kelompok asal
yaitu kelompok induk siswa yang beranggotakan siswa dengan kemampuan, asal, dan latar belakang keluarga
yang beragam. Kelompok asal merupakan gabungan dari beberapa ahli. Kelompok ahli yaitu kelompok siswa
yang terdiri dari anggota kelompok asal yang berbeda yang ditugaskan untuk mempelajari dan mendalami topik
tertentu dan menyelesaikan tugas-tugas yang berhubungan dengan topiknya untuk kemudian dijelaskan kepada
anggota kelompok asal.

Posted by Mang Jaya at 3:58 PM

Category : Search Result


3. Cooperative Learning-Teknik Jigsaw
Posted on 31 Juli 2008 by AKHMAD SUDRAJAT

Oleh : Novi Emildadiany*))

=========================

BAB I PENDAHULUAN

Pendidikan merupakan suatu aspek kehidupan yang sangat mendasar bagi pembangunan
bangsa suatu negara. Dalam penyelenggaraan pendidikan di sekolah yang melibatkan guru sebagai
pendidik dan siswa sebagai peserta didik, diwujudkan dengan adanya interaksi belajar mengajar atau
proses pembelajaran. Dalam konteks penyelenggaraan ini, guru dengan sadar merencanakan kegiatan
pengajarannya secara sistematis dan berpedoman pada seperangkatn aturan dan rencana tentang
pendidikan yang dikemas dalam bentuk kurikulum.
Kurikulum secara berkelanjutan disempurnakan untuk meningkatkan mutu pendidikan dan berorientasi
pada kemajuan sistem pendidikan nasional, tampaknya belum dapat direalisasikan secara maksimal.
Salah satu masalah yang dihadapi dalam dunia pendidikan di Indonesia adalah lemahnya proses
pembelajaran.

Berdasarkan pengamatan riil di lapangan, proses pembelajaran di sekolah dewasa ini kurang
meningkatkan kreativitas siswa, terutama dalam pembelajaran ekonomi. Masih banyak tenaga pendidik
yang menggunakan metode konvensional secara monoton dalam kegiatan pembelajaran di kelas,
sehingga suasana belajar terkesan kaku dan didominasi oleh sang guru.

Proses pembelajaran yang dilakukan oleh banyak tenaga pendidik saat ini cenderung pada pencapaian
target materi kurikulum, lebih mementingkan pada penghafalan konsep bukan pada pemahaman. Hal
ini dapat dilihat dari kegiatan pembelajaran di dalam kelas yang selalu didominasi oleh guru. Dalam
penyampaian materi, biasanya guru menggunakan metode ceramah, dimana siswa hanya duduk,
mencatat, dan mendengarkan apa yang disampaikannya dan sedikit peluang bagi siswa untuk
bertanya. Dengan demikian, suasana pembelajaran menjadi tidak kondusif sehingga siswa menjadi
pasif.

Upaya peningkatan prestasi belajar siswa tidak terlepas dari berbagai faktor yang mempengaruhinya.
Dalam hal ini, diperlukan guru kreatif yang dapat membuat pembelajaran menjadi lebih menarik dan
disukai oleh peserta didik. Suasana kelas perlu direncanakan dan dibangun sedemikian rupa dengan
menggunakan model pembelajaran yang tepat agar siswa dapat memperoleh kesempatan untuk
berinteraksi satu sama lain sehingga pada gilirannya dapat diperoleh prestasi belajar yang optimal.

Proses pembelajaran dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) menuntut adanya partisipasi
aktif dari seluruh siswa. Jadi, kegiatan belajar berpusat pada siswa, guru sebagai motivator dan
fasilitator di dalamnya agar suasana kelas lebih hidup.

Pembelajaran kooperatif terutama teknik Jigsaw dianggap cocok diterapkan dalam pendidikan di
Indonesia karena sesuai dengan budaya bangsa Indonesia yang menjunjung tinggi nilai gotong royong.

Berdasarkan uraian di atas, penulis tertarik untuk menyusun makalah dengan judul “Penerapan Model
Pembelajaran Cooperative Learning Teknik Jigsaw dalam Pembelajaran”.

===========================

BAB II PENERAPAN MODEL COOPERATIVE LEARNING TEKNIK JIGSAW

A. Pembelajaran Cooperative Learning

Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 tahun 2003 menyatakan bahwa pembelajaran
adalah proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan
belajar. Dalam pembelajaran, guru harus memahami hakikat materi pelajaran yang diajarkannya dan
memahami berbagai model pembelajaran yang dapat merangsang kemampuan siswa untuk belajar
dengan perencanaan pengajaran yang matang oleh guru.
Model pembelajaran Cooperative Learning merupakan salah satu model pembelajaran yang
mendukung pembelajaran kontekstual. Sistem pengajaran Cooperative Learning dapat didefinisikan
sebagai sistem kerja/ belajar kelompok yang terstruktur. Yang termasuk di dalam struktur ini adalah
lima unsur pokok (Johnson & Johnson, 1993), yaitu saling ketergantungan positif, tanggung jawab
individual, interaksi personal, keahlian bekerja sama, dan proses kelompok.

Falsafah yang mendasari pembelajaran Cooperative Learning (pembelajaran gotong royong) dalam
pendidikan adalah “homo homini socius” yang menekankan bahwa manusia adalah makhluk sosial.

Cooperative Learning adalah suatu strategi belajar mengajar yang menekankan pada sikap atau
perilaku bersama dalam bekerja atau membantu di antara sesama dalam struktur kerjasama yang
teratur dalam kelompok, yang terdiri dari dua orang atau lebih.

Pembelajaran kooperatif adalah salah satu bentuk pembelajaran yang berdasarkan faham konstruktivis.
Pembelajaran kooperatif merupakan strategi belajar dengan sejumlah siswa sebagai anggota kelompok
kecil yang tingkat kemampuannya berbeda. Dalam menyelesaikan tugas kelompoknya, setiap siswa
anggota kelompok harus saling bekerja sama dan saling membantu untuk memahami materi pelajaran.
Dalam pembelajaran kooperatif, belajar dikatakan belum selesai jika salah satu teman dalam kelompok
belum menguasai bahan pelajaran.

Menurut Anita Lie dalam bukunya “Cooperative Learning”, bahwa model pembelajaran Cooperative
Learning tidak sama dengan sekadar belajar kelompok, tetapi ada unsur-unsur dasar yang
membedakannya dengan pembagian kelompok yang dilakukan asal-asalan. Roger dan David Johnson
mengatakan bahwa tidak semua kerja kelompok bisa dianggap Cooperative Learning, untuk itu harus
diterapkan lima unsur model pembelajaran gotong royong yaitu :

1. Saling ketergantungan positif.

Keberhasilan suatu karya sangat bergantung pada usaha setiap anggotanya. Untuk menciptakan
kelompok kerja yang efektif, pengajar perlu menyusun tugas sedemikian rupa sehingga setiap anggota
kelompok harus menyelesaikan tugasnya sendiri agar yang lain dapat mencapai tujuan mereka.

2. Tanggung jawab perseorangan.

Jika tugas dan pola penilaian dibuat menurut prosedur model pembelajaran Cooperative Learning,
setiap siswa akan merasa bertanggung jawab untuk melakukan yang terbaik. Pengajar yang efektif
dalam model pembelajaran Cooperative Learning membuat persiapan dan menyusun tugas sedemikian
rupa sehingga masing-masing anggota kelompok harus melaksanakan tanggung jawabnya sendiri agar
tugas selanjutnya dalam kelompok bisa dilaksanakan.

3. Tatap muka.

Dalam pembelajaran Cooperative Learning setiap kelompok harus diberikan kesempatan untuk
bertatap muka dan berdiskusi. Kegiatan interaksi ini akan memberikan para pembelajar untuk
membentuk sinergi yang menguntungkan semua anggota. Inti dari sinergi ini adalah menghargai
perbedaan, memanfaatkan kelebihan, dan mengisi kekurangan.
4. Komunikasi antar anggota.

Unsur ini menghendaki agar para pembelajar dibekali dengan berbagai keterampilan berkomunikasi,
karena keberhasilan suatu kelompok juga bergantung pada kesediaan para anggotanya untuk saling
mendengarkan dan kemampuan mereka untuk mengutarakan pendapat mereka. Keterampilan
berkomunikasi dalam kelompok juga merupakan proses panjang. Namun, proses ini merupakan proses
yang sangat bermanfaat dan perlu ditempuh untuk memperkaya pengalaman belajar dan pembinaan
perkembangan mental dan emosional para siswa.

5. Evaluasi proses kelompok.

Pengajar perlu menjadwalkan waktu khusus bagi kelompok untuk mengevaluasi proses kerja kelompok
dan hasil kerja sama mereka agar selanjutnya bisa bekerja sama dengan lebih efektif.

Urutan langkah-langkah perilaku guru menurut model pembelajaran kooperatif yang diuraikan oleh
Arends (1997) adalah sebagaimana terlihat pada table berikut ini

Tabel Sintaks Pembelajaran Kooperatif

B. Tujuan Pembelajaran Cooperative Learning

Tujuan pembelajaran kooperatif berbeda dengan kelompok konvensional yang menerapkan sistem
kompetisi, di mana keberhasilan individu diorientasikan pada kegagalan orang lain. Sedangkan tujuan
dari pembelajaran kooperatif adalah menciptakan situasi di mana keberhasilan individu ditentukan atau
dipengaruhi oleh keberhasilan kelompoknya (Slavin, 1994).

Model pembelajaran kooperatif dikembangkan untuk mencapai setidak-tidaknya tiga tujuan


pembelajaran penting yang dirangkum oleh Ibrahim, et al. (2000), yaitu:
1. Hasil belajar akademik

Dalam belajar kooperatif meskipun mencakup beragam tujuan sosial, juga memperbaiki prestasi siswa
atau tugas-tugas akademis penting lainnya. Beberapa ahli berpendapat bahwa model ini unggul dalam
membantu siswa memahami konsep-konsep sulit. Para pengembang model ini telah menunjukkan
bahwa model struktur penghargaan kooperatif telah dapat meningkatkan nilai siswa pada belajar
akademik dan perubahan norma yang berhubungan dengan hasil belajar. Di samping mengubah norma
yang berhubungan dengan hasil belajar, pembelajaran kooperatif dapat memberi keuntungan baik pada
siswa kelompok bawah maupun kelompok atas yang bekerja bersama menyelesaikan tugas-tugas
akademik.

2. Penerimaan terhadap perbedaan individu

Tujuan lain model pembelajaran kooperatif adalah penerimaan secara luas dari orang-orang yang
berbeda berdasarkan ras, budaya, kelas sosial, kemampuan, dan ketidakmampuannya. Pembelajaran
kooperatif memberi peluang bagi siswa dari berbagai latar belakang dan kondisi untuk bekerja dengan
saling bergantung pada tugas-tugas akademik dan melalui struktur penghargaan kooperatif akan
belajar saling menghargai satu sama lain.

3. Pengembangan keterampilan sosial

Tujuan penting ketiga pembelajaran kooperatif adalah, mengajarkan kepada siswa keterampilan
bekerja sama dan kolaborasi. Keterampilan-keterampilan sosial, penting dimiliki oleh siswa sebab saat
ini banyak anak muda masih kurang dalam keterampilan sosial.

C. Model Pembelajaran Cooperative Learning Teknik Jigsaw

Jigsaw pertama kali dikembangkan dan diujicobakan oleh Elliot Aronson dan teman-teman di
Universitas Texas, dan kemudian diadaptasi oleh Slavin dan teman-teman di Universitas John Hopkins
(Arends, 2001).

Teknik mengajar Jigsaw dikembangkan oleh Aronson et. al. sebagai metode Cooperative Learning.
Teknik ini dapat digunakan dalam pengajaran membaca, menulis, mendengarkan, ataupun berbicara.

Dalam teknik ini, guru memperhatikan skemata atau latar belakang pengalaman siswa dan membantu
siswa mengaktifkan skemata ini agar bahan pelajaran menjadi lebih bermakna. Selain itu, siswa bekerja
sama dengan sesama siswa dalam suasana gotong royong dan mempunyai banyak kesempatan untuk
mengolah informasi dan meningkatkan keterampilan berkomunikasi.

Pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw adalah suatu tipe pembelajaran kooperatif yang terdiri dari
beberapa anggota dalam satu kelompok yang bertanggung jawab atas penguasaan bagian materi
belajar dan mampu mengajarkan materi tersebut kepada anggota lain dalam kelompoknya (Arends,
1997).

Model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw merupakan model pembelajaran kooperatif dimana siswa
belajar dalam kelompok kecil yang terdiri dari 4 – 6 orang secara heterogen dan bekerja sama saling
ketergantungan yang positif dan bertanggung jawab atas ketuntasan bagian materi pelajaran yang
harus dipelajari dan menyampaikan materi tersebut kepada anggota kelompok yang lain (Arends,
1997).

Jigsaw didesain untuk meningkatkan rasa tanggung jawab siswa terhadap pembelajarannya sendiri dan
juga pembelajaran orang lain. Siswa tidak hanya mempelajari materi yang diberikan, tetapi mereka juga
harus siap memberikan dan mengajarkan materi tersebut pada anggota kelompoknya yang lain.
Dengan demikian, “siswa saling tergantung satu dengan yang lain dan harus bekerja sama secara
kooperatif untuk mempelajari materi yang ditugaskan” (Lie, A., 1994).

Para anggota dari tim-tim yang berbeda dengan topik yang sama bertemu untuk diskusi (tim ahli) saling
membantu satu sama lain tentang topic pembelajaran yang ditugaskan kepada mereka. Kemudian
siswa-siswa itu kembali pada tim / kelompok asal untuk menjelaskan kepada anggota kelompok yang
lain tentang apa yang telah mereka pelajari sebelumnya pada pertemuan tim ahli.

Pada model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw, terdapat kelompok asal dan kelompok ahli. Kelompok
asal yaitu kelompok induk siswa yang beranggotakan siswa dengan kemampuan, asal, dan latar
belakang keluarga yang beragam. Kelompok asal merupakan gabungan dari beberapa ahli. Kelompok
ahli yaitu kelompok siswa yang terdiri dari anggota kelompok asal yang berbeda yang ditugaskan untuk
mempelajari dan mendalami topik tertentu dan menyelesaikan tugas-tugas yang berhubungan dengan
topiknya untuk kemudian dijelaskan kepada anggota kelompok asal.

Hubungan antara kelompok asal dan kelompok ahli digambarkan sebagai berikut (Arends, 1997) :

Kelompok Asal

Kelompok Ahli

Gambar. Ilustrasi Kelompok Jigsaw

Langkah-langkah dalam penerapan teknik Jigsaw adalah sebagai berikut :

 Guru membagi suatu kelas menjadi beberapa kelompok, dengan setiap kelompok terdiri dari 4 –
6 siswa dengan kemampuan yang berbeda. Kelompok ini disebut kelompok asal. Jumlah
anggota dalam kelompok asal menyesuaikan dengan jumlah bagian materi pelajaran yang akan
dipelajari siswa sesuai dengan tujuan pembelajaran yang akan dicapai. Dalam tipe Jigsaw ini,
setiap siswa diberi tugas mempelajari salah satu bagian materi pembelajaran tersebut. Semua
siswa dengan materi pembelajaran yang sama belajar bersama dalam kelompok yang disebut
kelompok ahli (Counterpart Group/CG). Dalam kelompok ahli, siswa mendiskusikan bagian
materi pembelajaran yang sama, serta menyusun rencana bagaimana menyampaikan kepada
temannya jika kembali ke kelompok asal. Kelompok asal ini oleh Aronson disebut kelompok
Jigsaw (gigi gergaji). Misal suatu kelas dengan jumlah 40 siswa dan materi pembelajaran yang
akan dicapai sesuai dengan tujuan pembelajarannya terdiri dari 5 bagian materi pembelajaran,
maka dari 40 siswa akan terdapat 5 kelompok ahli yang beranggotakan 8 siswa dan 8 kelompok
asal yang terdiri dari 5 siswa. Setiap anggota kelompok ahli akan kembali ke kelompok asal
memberikan informasi yang telah diperoleh atau dipelajari dalam kelompok ahli. Guru
memfasilitasi diskusi kelompok baik yang ada pada kelompok ahli maupun kelompok asal.

Gambar Contoh Pembentukan Kelompok Jigsaw

 Setelah siswa berdiskusi dalam kelompok ahli maupun kelompok asal, selanjutnya dilakukan
presentasi masing-masing kelompok atau dilakukan pengundian salah satu kelompok untuk
menyajikan hasil diskusi kelompok yang telah dilakukan agar guru dapat menyamakan persepsi
pada materi pembelajaran yang telah didiskusikan.

 Guru memberikan kuis untuk siswa secara individual.


 Guru memberikan penghargaan pada kelompok melalui skor penghargaan berdasarkan
perolehan nilai peningkatan hasil belajar individual dari skor dasar ke skor kuis berikutnya.
 Materi sebaiknya secara alami dapat dibagi menjadi beberapa bagian materi pembelajaran.
 Perlu diperhatikan bahwa jika menggunakan Jigsaw untuk belajar materi baru maka perlu
dipersiapkan suatu tuntunan dan isi materi yang runtut serta cukup sehingga tujuan
pembelajaran dapat tercapai.

Dalam pelaksanaan pembelajaran di sekolah tidaklah selalu berjalan dengan mulus meskipun rencana
telah dirancang sedemikian rupa. Hal-hal yang dapat menghambat proses pembelajaran terutama
dalam penerapan model pembelajaran Cooperative Learning diantaranya adalah sebagai berikut :

1. Kurangnya pemahaman guru mengenai penerapan pembelajaran Cooperative Learning.


2. Jumlah siswa yang terlalu banyak yang mengakibatkan perhatian guru terhadap proses
pembelajaran relatif kecil sehingga yang hanya segelintir orang yang menguasai arena kelas,
yang lain hanya sebagai penonton.
3. Kurangnya sosialisasi dari pihak terkait tentang teknik pembelajaran Cooperative Learning.
4. Kurangnya buku sumber sebagai media pembelajaran.
5. Terbatasnya pengetahuan siswa akan sistem teknologi dan informasi yang dapat mendukung
proses pembelajaran.

Agar pelaksanaan pembelajaran Cooperative Learning dapat berjalan dengan baik, maka upaya yang
harus dilakukan adalah sebagai berikut :
1. Guru senantiasa mempelajari teknik-teknik penerapan model pembelajaran Cooperative
Learning di kelas dan menyesuaikan dengan materi yang akan diajarkan.
2. Pembagian jumlah siswa yang merata, dalam artian tiap kelas merupakan kelas heterogen.
3. Diadakan sosialisasi dari pihak terkait tentang teknik pembelajaran Cooperative Learning.
4. Meningkatkan sarana pendukung pembelajaran terutama buku sumber.
5. Mensosialisasikan kepada siswa akan pentingnya sistem teknologi dan informasi yang dapat
mendukung proses pembelajaran.

=====================================

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan

Pembelajaran di sekolah yang melibatkan siswa dengan guru akan melahirkan nilai yang akan terbawa
dan tercermin terus dalam kehidupan di masyarakat. Pembelajaran yang melibatkan siswa secara aktif
dalam kelompok secara bergotong royong (kooperatif) akan menimbulkan suasana belajar partisipatif
dan menjadi lebih hidup. Teknik pembelajaran Cooperative Learning dapat mendorong timbulnya
gagasan yang lebih bermutu dan dapat meningkatkan kreativitas siswa.

Jigsaw merupakan bagian dari teknik-teknik pembelajaran Cooperative Learning. Jika pelaksanaan
prosedur pembelajaran Cooperative Learning ini benar, akan memungkinkan untuk dapat mengaktifkan
siswa sehingga dapat meningkatkan prestasi belajar siswa.

Sampai saat ini pembelajaran Cooperative Learning terutama teknik Jigsaw belum banyak diterapkan
dalam pendidikan walaupun orang Indonesia sangat membanggakan sifat gotong royong dalam
kehidupan bermasyarakat.

B. Saran

Sudah saatnya para pengajar mengevaluasi cara mengajarnya dan menyadari dampaknya terhadap
anak didik. Untuk menghasilkan manusia yang bisa berdamai dan bekerja sama dengan sesamanya
dalam pembelajaran di sekolah, model pembelajaran Cooperative Learning perlu lebih sering
digunakan karena suasana positif yang timbul akan memberikan kesempatan kepada siswa untuk
mencintai pelajaran dan sekolah / guru. Selain itu, siswa akan merasa lebih terdorong untuk belajar dan
berpikir.

=========================

DAFTAR PUSTAKA

Anita Lie. 2007. Cooperative Learning. Jakarta : Grasindo.

Bambang Sudibyo. 2008. Materi Road Show Dewan Pendidikan Bersama Tim Wajar Dikdas Kabupaten
Kuningan. Kuningan : Dewan Pendidikan Kabupaten Kuningan.

Daeng Sudirwo. 2002. Kurikulum dan Pembelajaran Dalam Rangka Otonomi Daerah. Bandung :
Andira.

Departemen Pendidikan Nasional. 2004. Pedoman Pembelajaran Ekonomi Secara Kontekstual Untuk
Guru SMP. Jawa Barat : Depdiknas.
Departemen Pendidikan Nasional. 2004. Pedoman Pembelajaran Geografi Secara Kontekstual Untuk
Guru SMP. Jawa Barat : Depdiknas.

Dinas Pendidikan Kota Bandung. 2004. Model – model Pembelajaran. Bandung : SMP Kartika XI.

Lynne Hill. 2008. Pembelajaran Yang Baik. Bulettin PGRI Kuningan (Edisi ke-23 / Juni 2008).

Muhibbin Syah. 1995. Psikologi Pendidikan Dengan Pendekatan Baru. Bandung : Rosda.

Syaiful Bahri Djamarah dan Aswan Zain. 1995. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta : Rineka Cipta.

Syaiful Sagala. 2006. Konsep Dan Makna Pembelajaran. Bandung : Alfabeta.

*)) Novi Emildadiany adalah mahasiswa tingkat IV pada Program Studi Pendidikan Ekonomi FKIP-
Universitas Kuningan.

Makalah ini dibuat dalam rangka memenuhi salah satu tugas mata kuliah seminar Ilmu Manajemen,
yang disampaikan oleh Bapak Dr. Uhar Suharsaputra, M.Pd. dan Bapak Akhmad Sudrajat, M.Pd.

 Terima kasih atas kunjungan dan kesediaan Anda untuk berbagi pemikiran tentang tulisan di atas.
Semoga bermanfaat……

 Facebook

 Digg

 Pembelajaran Kooperatif Model Jigsaw

 23.56 surur

 Definisi dan Penjelasan


Model pembelajaran Jigsaw adalah suatu model pembelajaran yang mengutamakan keaktifan
siswa (student centered) dengan membentuk kelompok-kelompok kecil yang beranggotakan 3-5
orang yang terdiri dari kelompok asal dan kelompok ahli.(Tim Peneliti SMPN 4 Malang)
Dalam Pembelajaran Kooperatif Model Jigsaw, siswa dibagi dalam beberapa kelompok belajar
yang heterogen yang beranggotakan 3-5 orang dengan menggunakan pola kelompok asal dan
kelompok ahli. Para anggota dari kelompok asal yang berbeda dengan topik yang sama bertemu
untuk berdiskusi(antar ahli), saling membantu satu dengan yang lainnya untuk mempelajari topik
yang diberikan (ditugaskan pada mereka). Siswa tersebut kemudian kembali pada kelompok
masing-masing(kelompok asal) untuk menjelaskan kepada teman-teman satu kelompok tentang
apa yang telah dipelajarinya. Guru mengawasi pekerjaan masing-masing kelompok. Dan jika
diperlukan membantu kelompok yang mengalamai kesulitan dan memberikan penekanan
terhadap topik yang sedang dibahas. Pada akhir pembelajaran diberikan kuis dengan materi yang
telah dibahas. (Tim Peneliti SMPN 4 Malang).
Langkah-Langkah Pembelajaran
Langkah-langkah pembelajaran dalam model ini dapat dilaksanakan dalam dua tahap yaitu:
1. Awal kegiatan pembelajaran
a. Persiapan
1. Melakukan Pembelajaran Pendahuluan
Guru dapat menjabarkan isi topik secara umum, memotivasi siswa dan menjelaskan tujuan
dipelajarinya topik tersebut.
2. Materi
Materi pembelajaran kooperatif model jigsaw dibagi menjadi beberapa bagian pembelajaran
tergantung pada banyak anggota dalam setiap kelompok serta banyaknya konsep materi
pembelajaran yang ingin dicapai dan yang akan dipelajari oleh siswa.
3. Membagi Siswa Ke Dalam Kelompok Asal Dan Ahli
Kelompok dalam pembelajarn kooperatif model jigsaw beranggotakan 3-5 orang yang heterogen
baik dari kemampuan akademis, jenis kelamin, maupun latar belakang sosialnya
4. Menentukan Skor Awal
Skor awal merupakan skor rata-rata siswa secara individu pada kuis sebelumnya atau nilai akhir
siswa secara individual pada semester sebelumnya.
2. Rencana Kegiatan
1. Setiap kelompok membaca dan mendiskusikan sub topik masing-masing dan menetapkan
anggota ahli yang akan bergabung dalam kelompok ahli.
2. Anggota ahli dari masing-masing kelompok berkumpul dan mengintegrasikan semua sub topik
yang telah dibagikan sesuai dengan banyaknya kelompok.
3. Siswa ahli kembali ke kelompok masing-masing untuk menjelaskan topik yang
didiskusikannya.
4. Siswa mengerjakan tes individual atau kelompok yang mencakup semua topik.
5. Pemberian penghargaan kelompok berupa skor individu dan skor kelompok atau menghargai
prestasi kelompok.
Sistem Evaluasi
Dalam evaluasi ada tiga cara yang dapat dilakukan:
1. Mengerjakan kuis individual yang mencaukup semua topik.
2. Membuat laporan mandiri atau kelompok.
3. Presentasi.
Materi Evaluasi
- Pengetahuan (materi ajar) yang difahami dan dikuasai oleh mahasiswa.
- Proses belajar yang dilakukan oleh mahasiswa.

PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE JIGSAW


UNTUK MENINGKATKAN AKTIVITAS DAN HASIL BELAJAR SISWA
PADA MATERI KELARUTAN DAN HASIL KALI KELARUTAN

Oleh :
Aceng Haetami1) dan Supriadi2)

Dosen PMIPA FKIP Unhalu

Guru SMAN 1 Poleang

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah penerapan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Jigsaw (KTJ)
dapat meningkatkan aktivitas dan hasil belajar siswa Kelas XI IPA 1 SMAN 5 Kendari pada materi Kelarutan dan
Hasil Kali Kelarutan.Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian tindakan kelas.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa penerapan KTJ dapat : 1) meningkatkan aktivitas belajar siswa untuk setiap
siklus : dari rerata = 65,1 % (siklus I) menjadi rerata = 89,0 %(siklus II); 2) meningkatkan hasil belajar kimia yang
ditandai dengan : (a) meningkatnyahasil belajar kimia untuk setiap siklus : siklus I (Rerata = 86,4) dan siklus II
(Rerata =90,1) ; (b) meningkatnya jumlah siswa yang bernilai ≥ 70,37 (KKM) : dari siklus I
(76,47 %) menjadi siklus II (94,12 %).

Kata kunci : aktivitas belajar , hasil belajar, kooperatif tipe jigsaw

PENDAHULUAN

Upaya pembaharuan di bidang pendidikan pada dasarnya diarahkan pada usaha antara lain: penguasaan materi,
media dan model pembelajaran yang digunakan. Model pembelajaran diarahkan pada peningkatan aktivitas siswa
dalam proses belajar mengajar sehingga proses belajar mengajar berlangsung secara optimal antara guru dan
siswa. Interaksi antara guru dan siswa yang optimal berimbas pada penigkatan penguasaa konsep siswa yang pada
gilirannya dapat meningkatkan prestasi belajar siswa. Dengan perkataan lain, untuk ,meningkatkan prestasi belajar
siswa diperlukan peran guru kreatif yang dapat membuat pembelajaran kimia menjadi lebih baik, menarik dan
disukai oleh peserta didik. Suasana kelas perlu direncanakan dan dibangun sedemikian rupa dengan menggunakan
model pembelajaran yang tepat agar siswa dapat memperoleh kesempatan untuk berinteraksi satu sama lain
sehingga siswa dapat memperoleh hasil belajar yang optimal. Sejalan dengan berkembangnya penelitian maka
ditemukan model – model pembelajaran baru yang dapat meningkatkan interaksi siswa dalam proses belajar
mengajar, yang dikenal dengan model pembelajaran kooperatif dibidang pendidikan yaitu merupakan aktivitas
pelaksanaan pembelajaran dalam kelompok, berinteraksi satu sama lain, dimana pembelajaran adalah bergantung
kepada interaksi antara ahli-ahli dalam kelompok, setiap siswa bertanggung jawab terhadap proses pembelajaran
di kelas dan juga di dalam kelompoknya (Anonim, 2008). Berdasarkan observasi awal di SMA Negeri 5 Kendari
ditemukan bahwa pembelajaran kimia kurang meningkatkan kreativitas siswa, guru-guru masih banyak yang
menggunakan model pembelajaran konvensional yaitu model pembelajaran yang dominan menerapkan metode
ceramah dimana guru lebih aktif sehingga siswa menjadi pasif dalam pembelajaran kimia di kelas dan suasana
belajar terkesan kaku yang mengakibatkan proses belajar mengajar tidak berjalan secara optimal. Menurut analisis
guru kimia SMAN 5 Kendari, ketidak-aktivan siswa tersebut berdampak pada hasil belajar kimia di SMA Negeri 5
Kendari relative rendah. Sebagai gambaran, hasil belajar kimia siswa kelas XI semester dua Tahun Ajaran
2007/2008 pada pokok bahasan Kelarutan dan Hasil Kali Kelarutan memiliki nilai rata-rata sebesar 60,0 lebih
rendah dibandingkan dengan nilai rata– rata pada pokok bahasan lainnya yaitu pokok bahasan Larutan Penyangga
sebesar 65,0,Larutan Asam Basa sebesar 62,5, dan Hidrolisis Garam sebesar 66,8. Berdasarkan data hasil belajar
tersebut, maka pokok bahasan Kelarutan dan Hasil Kali Kelarutan perlu mendapatkan perhatian khusus. Beberapa
upaya yang sudah dilakukan guru untuk meningkatkan hasil belajar siswa khususnya pada pokok bahasan
Kelarutan dan Hasil Kali Kelarutan yaitu dengan memberikan tugas-tugas yang dikerjakan baik di rumah maupun
di sekolah namun belum menunjukkan perubahan yang berarti. Oleh karena itu, diperlukan upaya untuk
memperbaiki masalah pembelajaran untuk meningkatkan hasil belajar siswa. Berdasarkan hasil refleksi dengan
guru kimia maka peneliti mengajukan model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw sebagai alternatif model
pembelajaran agar dapat menanggulangi kelemahan-kelemahan tersebut. Pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw
diyakini dapat menyelesaikan permasalahan yang dialami oleh siswa kelas XI SMAN 5 Kendari tersebut, karena
model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw didesain untuk meningkatkan rasa tanggung jawab siswa terhadap
pembelajarannya sendiri dan juga pembelajaran orang lain. Siswa tidak hanya mempelajari materi yang diberikan,
tetapi mereka juga harus siap memberikan dan mengajarkan materi tersebut pada anggota kelompoknya yang
saling

2 METODE PENELITIAN

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian tindakan kelas dengan
menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe jigsaw . Penelitian ini dilaksanakan dalam dua siklus, di mana
setiap siklus terdiri dari empat tahapan utama, yaitu : perencanaan, pelaksanaan kegiatan, observasi dan evaluasi,
dan refleksi. Setiap akhir kegiatan siklus diadakan refleksi, sehingga kelemahan-kelemahan setiap siklus dapat
dibenahi pada siklus berikutnya. Setiap siklus dilengkapi dengan indikator kinerja yaitu 80 % siswa harus
memiliki nilai ≥ 70,37 (KKM SMAN 5 Kendari). Kegiatan yang dilakukan dalam tahap perencanaan meliputi
:menentukan indikator dari setiap materi pokok (sub pokok bahasan ) yang akan diajarkan dalam bentuk garis
besar program pengajaran, membuat skenario pembelajaran setiap sub pokok bahasan berupa Rencana Perbaikan
Pembelajaran (RPP) termasuk menyusun Lembar Kerja Siswa (LKM) , membuat lembar observasi : untuk melihat
bagaimana kondisi belajar mengajar di kelas ketika model pembelajaran mengumpulkan data tentang tanggapan
siswa ketika model pembelajaran diaplikasikan, membuat alat bantu pembelajaran yang diperlukan dalam rangka
membantu siswa memahami konsep-konsep yang diberikan, mendesain alat evaluasi untuk melihat keberhasilan
tindakan, dan membuat jurnal untuk mengetahui refeleksi diri. Kegiatan yang dilaksanakan pada tahap
pelaksanaan adalah melaksanakan skenario pembelajaran yang telah dibuat. Observasi terhadap pelaksanaan
tindakan dilakukan dengan menggunakan lembar observasi yang telah dibuat serta melakukan evaluasi. Hasil yang
diperoleh dalam tahap observasi dan evaluasi dikumpulkan dan dianalisis.
Kelemahan-kelemahan atau kekurangan-kekurangan yang terjadi pada Siklus I akan diperbaiki pada Siklus II dan
seterusnya. Adapun indikator keberhasilan tindakan pada setiap siklus adalah tuntas kelas tercapai apabila 80 %
siswa sudah mencapai hasil belajar dengan nilai ≥ 70,37 dan tuntas belajar individu tercapai apabila siswa telah
memiliki nilai ≥ 70,37.diaplikasikan , membuat kuisioner : untuk

HASIL DAN PEMBAHASAN

Aspek-aspek yang diobservasi pada siswa selama proses pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran
kooperatif tipe Jigsaw adalah aktivitas siswa pada saat proses pembelajara berlangsung.

3 Persentase aktivitas siswa dalam kelompok selama proses pembelajaran berlangsung dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Persentase Aktivitas Siswa Dalam Kelompok Selama Proses Belajar Mengajaryang tidak terbiasa
berkompetisi akan kesulitan untuk mengikuti proses pembelajaran.

Tabel 1. Persentase Aktivitas Siswa Dalam Kelompok Selama Proses Belajar Mengajar

No . siklus/ presentase I II
Aktivitas Siswa Yang Diamati 77.8 93,9
Mendengarkan/memperhatikan penjelasan guru 75,3 92,8
Mengerjakan LKS dalam kelompok belajar 70,9 92,8
Berdiskusi dalam kelompok belajar 48,6 80,6
Mengajukan pertanyaan/menanggapi pertanyaan 66,4 91,1
Menghargai/menerima pendapat 51,7 87,8
Mempresentasekan hasil kerja kelompok 65,1 89,0
Rerata
Siklus/ Persentase

Berdasarkan Tabel 1, terlihat bahwa terjadinya peningkatan aktivitas siswa dalam kelompok selama proses
belajar mengajar berlangsung dari 65,1% pada siklus I menjadi 89,0%. pada siklus II
Sedangkan hasil belajar dan ketuntasan belajar siswa pada siklus I dan siklus II pada pokok bahasan
Kelarutan dan Hasil Kali Kelarutan dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Persentase Ketuntasan Belajar Siswa untuk Setiap Siklus

Siklus
Rerata
Jumlah siswa yang
mencapai KKM
Jumlah siswa yang
tidak mencapai KKM

I
86,4
26 (76,47 %)
8 (23,53 %)

II

90,1
32 (94,12 %)
2 (5,88 %)

Gambar 2. Grafik Ketuntasan Hasil Belajar Siswa

Berdasarkan Tabel 2, menunjukkan bahwa terjadinya peningkatan ketuntasan belajar dari siklus I ke siklus II,
dimana pada siklus I siswa yang mengalami ketuntasan belajar sebanyak 26 orang dengan persentase 76,47%
sedangkan yang belum tuntas adalah sebanyak 8 orang dengan persentase 23,53%. Pada siklus II siswa yang
mengalami ketuntasan belajar sebanyak 32 orang dengan persentase 94,12% dan siswa yang belum tuntas
sebanyak 2 orang dengan persentase 5,88%.

B. Pembahasan

Hasil observasi pada siklus I menunjukkan bahwa siswa masih merasa asing dengan model pembelajaran
kooperatif tipe Jigsaw. Hal ini terlihat pada pertemuan pertama, siswa masih merasa asing dengan model
pembelajaran ini dan masih kelihatan kaku dalam melakukan prosedur model pembelajaran ini, sehingga
dalam keadaan ini suasana kelas ini terlihat gaduh. Untuk mengatasinya guru memberikan informasi yang
lebih detail kepada siswa disaat mereka mulai kebingungan dalam kegiatan pembelajaran ini. Pemberian
informasi ini dilakukan tidak hanya pertemuan pertama saja melainkan juga pada pertemuan berikutnya.
Hasil pengamatan terhadap aktivitas siswa dalam kelompok pada siklus I, persentase rata–rata aktivitas siswa
yang memberikan perhatian penuh terhadap informasi yang diberikan hanya sekitar 77,8%. Dalam aspek ini
terlihat bahwa masih ada siswa yang kurang memperhatikan penjelasan dari guru. Kemudian pada siklus II,
rata – rata siswa yang memberikan perhatian penuh terhadap informasi yang diberikan sebesar 93,9%.
Peningkatan ini terjadi karena selama proses belajar mengajar berlangsung dengan menggunakan model
pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw ini guru mendorong dan memotivasi siswa baik dalam kelompok asal
maupun kelompok ahli. Hal tersebut membuktikan bahwa proses belajar mengajar yang dikelola oleh guru
telah menunjukkan ciri dari pembelajaran kooperatif.
Seperti yang dikemukakan oleh Ibrahim (2000), bahwa terdapat 7 langkah dalam pelaksanaan model
pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw diantaranya adalah menyampaikan tujuan, memotivasi siswa dan
memberi apersepsi pada tahap ini, guru menyampaikan semua tujuan pelajaran yang ingin dicapai pada
pelajaran, memotivasi siswa belajar dan memberi apersepsi.
Hasil observasi terhadap aktivitas siswa yang mengerjakan materi LKS dalam kelompok pada siklus I
sebesar 75,3%, ditemukan permasalahan siswa yaitu siswa yang hanya diam dan menunggu jawaban dari
temannya ini disebabkan karena seringnya siswa mengerjakan tugas secara individu. Oleh karena itu, untuk
perbaikan pada siklus selanjutnya maka guru akan memberikan penilaian kepada siswa yang mampu
menyelesaikan LKS dengan benar untuk setiap kelompok selain itu guru juga harus terus membimbing siswa
dalam kelompok sehingga siswa dapat mengerjakan LKS dengan terarah dan benar hal ini terlihat persentase
aktivitas siswa yang mengerjakan LKS dalam kelompok mengalami peningkatan yaitu 92,8% pada siklus II.
Menurut Ismail (2002), bahwa dalam pembelajaran kooperatif, selama proses belajar mengajar berlangsung,
guru melatih dan memberikan bimbingan kepada kelompok belajar untuk menemukan penyelesaian suatu
masalah.
Persentase aktivitas siswa yang berdiskusi aktif dalam kelompoknya pada siklus I hanya sekitar 70,9%,
kurangnya kerjasama siswa dikarenakan pada saat kerja kelompok didominasi oleh sebagian kecil siswa dan
beberapa siswa tidak merasa bertanggung jawab kepada kelompoknya. Hal ini disebabkan karena masih ada
siswa yang malu untuk berdiskusi karena merasa memiliki kemampuan yang kurang dibanding dengan teman
sekelompoknya, sebagian siswa masih merasa tidak nyaman dengan anggota kelompok barunya yang semula
selalu bekerja sama dengan teman sebangkunya, harus menyesuaikan diri dengan kelompok barunya. Hal ini
terlihat dari suasana kelas yang gaduh saat kerjasama menyelesaikan soal. Suasana ini mulai kelihatan agak
sedikit berkurang pada pertemuan selanjutnya pada siklus II terlihat semakin aktifnya siswa dalam
menyelesaikan LKS dan sebagian besar siswa sudah mampu bekerja sama dalam kelompok. Guru melatih
keterampilan kooperatif siswa dan juga memberikan informasi kepada siswa, pentingnya kerjasama atau
berdiskusi dalam kelompok untuk memperoleh hasil belajar yang lebih baik secara individual, sehingga
persentase aktivitas siswa dalam bekerjasama menyelesaikan soal dalam kelompok belajar pada siklus II
mencapai 92,8%. Hal ini berarti siswa semakin aktif dan menyadari pentingnya kerjasama dalam kelompok
untuk memberikan nilai terbaik untuk kelompoknya ketika proses pembelajaran tipe Jigsaw ini berlagsung.
Persentase siswa yang mengajukan pertanyaan/ menanggapi pertanyaan pada siklus I diperoleh 48,6%. Hal
ini disebabkan kurangnya perhatian terhadap informasi yang diberikan sehingga tidak memahami pelajaran
yang diajarkan serta kurangnya kerjasama antara siswa sehingga tidak terjadi pertukaran pikiran/pendapat
serta ada 2– orang siswa dalam setiap kelompok yang tidak mengajukan ataupun menanggapi suatu
pertanyaan karena merasa sukar untuk mengeluarkan pendapatnya serta merasa malu dan takut untuk
menyampaikan penghargaan/penguatan yang dilakukan oleh guru adalah untuk memacu semangat siswa
dalam belajar sehingga siswa lebih termotivasi untuk menyampaikan pendapat atau menjawab pertanyaan
dengan berani dan terbukti pada siklus II persentase aktivitas siswa mencapai 80,6%.
Aktivitas siswa dalam menghargai dan menerima pendapat menunjukkan persentase sebesar 66,4%.
Masih ada 3–4 orang siswa dalam setiap kelompok yang sukar menerima pendapat temannya dengan
menganggap jawabannya lebih baik dari jawaban temannya karena siswa tidak terbiasa belajar secara
kooperatif. Pada siklus II guru telah memotivasi siswa untuk lebih menghargai pendapat orang lain sehingga
pada aktivitas tentang menghargai dan menerima pendapat semua meningkat menjadi 91,1%. Hal ini sesuai
dengan prinsip mengajar yang dikemukakan oleh Sapani (1997) bahwa motivasi sangat penting karena
motivasi dapat memberi semangat terhadap seseorang peserta didik dalam kegiatan belajarnya agar
memperoleh hasil belajar yang lebih baik. Selanjutnya aktivitas siswa dalam mempresentasekan hasil kerja
kelompok pada siklus I hanya 51,7% siswa yang melakukan kegiatan ini. Hal ini disebabkan karena pendapat
maupun menjawab pertanyaan. Pemberian adanya perasaan malu – malu terhadap teman-temannya baik
dalam kelompok asal maupun kelompok ahli karena merasa memiliki pengetahuan yang masih kurang untuk
mempresentasekan hasil diskusinya. Pada siklus II aktivitas ini meningkat menjadi 87,8%. Hal ini
membuktikan bahwa tingkat keberhasilan siswa terhadap proses yang dilakukan dan keberhasilan guru sudah
optimal sebagaimana yang diutarakan oleh Djamarah dan Zain (2002) bahwa apabila sebagian besar (76%-
99%) bahan pelajaran yang akan diajarkan dapat dikuasai siswa maka dapat dinyatakan tingkat keberhasilan
siswa terhadap proses yang dilakukan dan keberhasilan guru sudah optimal(baik sekal)i. Aktivitas siswa
dalam kelompok selama proses belajar mengajar pada siklus I hanya 65,1%. Pada Siklus II persentase
aktivitas siswa dalam kelompok meningkat menjadi 89,0%. Hal ini disebabkan karena perbaikan – perbaikan
yang telah dilakukan oleh guru selama proses belajar mengajar berlangsung. Berdasarkan hasil evaluasi yang
dilakukan pada siklus I, terlihat bahwa belum mencapai indikator keberhasilan yaitu minimal 80% siswa telah
mempunyai nilai 70,37 (Kriteria Ketuntasan Minimal/KKM). Siswa yang memperoleh nilai ≥70,37 sebesar
26 orang siswa atau 76,47% dan yang belum mencapai nilai 70,37 sebanyak 8 orang siswa atau 23,53%.
Bertitik tolak dari hasil belajar kimia siswa pada tindakan siklus I yang belum sepenuhnya mencapai indikator
keberhasilan dalam penelitian ini yaitu minimal 80% siswa telah memperoleh nilai minimal 70,37 (Kriteria
Ketuntasan Minimal/KKM), maka penelitian ini dilanjutkan pada siklus II model pembelajaran kooperatif
tipe Jigsaw kembali dilaksanakan. sebagaimana pembagian kelompok pada siklus I. Upaya – upaya yang
dilakukan oleh guru pada siklus II adalah guru memberikan penghargaan kepada kelompok – kelompok
yangmempunyai skor tinggi dan direngkingkan dari rangking 1 sampai dengan rengking 3 dan guru selalu
memberikan motivasi kepada siswa. Dengan demikian hal ini terbukti dengan semakin aktifnya siswa dalam
bekerja kelompok baik dalam kelompok ahli maupun kelompok asal sehingga dari hasil evaluasi yang
dilakukan pada siklus II, diketahui hasil belajar siswa terjadi peningkatan yaitu siswa yang memperoleh nilai
≥70,37 sebanyak 32 orang siswa atau 94,12%. Peningkatan hasil belajar siswa tidak lepas dari keberhasilan
guru dalam menerapkan model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw, yang didukung oleh perbaikan proses
pelaksanaan model pembelajaran ini yang lebih baik pada tiap siklus. Siswa tetap berada dalam
kelompoknyamasing-masing
Selanjutnya pada hasil evaluasi yang dilakukan pada siklus I, terlihat juga bahwa nilai rata–rata yang
diperoleh dari semua kelompok adalah 86,4, sehingga dapat dinyatakan tingkat keberhasilan siswa terhadap
proses yang dilakukan dan keberhasilan guru sudah optimal (baik sekali) sebagaimana yang diutarakan oleh
Djamarah dan Zain (2002).. Selanjutnya pada siklus II, nilai rata – rata hasil belajar siswa meningkat menjadi
90,1.Karena indikator keberhasilan dalam penelitian ini yaitu minimal 80% siswa telah memperoleh nilai
≥70,37 telah tercapai, maka penelitian ini dihentikan pada siklus II. Ini berarti bahwa hipotesis tindakan ini
telah terjawab yaitu dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw hasil belajar kimia
siswa kelas XI IPA 1 SMA Negeri 5 Kendari pada pokok bahasan Kelarutan dan Hasil Kali Kelarutan dapat
ditingkatkan.

Secara psikologis model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw ini memberikan manfaat yang sangat besar
terhadap siswa, antara lain : (1) memotivasi siswa untuk belajar giat karena adanya tekanan dari teman
kelompoknya serta menyadari akan penilaian yang berkelanjutan, (2) menghilangkan rasa takut pada anak
untuk mengungkapkan pendapatnya dan menjawab pertanyaan, dan (3) menumbuhkan kemampuan kerja
sama siswa, berfikir kritis dan kemampuan membantu teman. Hal ini sesuai dengan pendapat Khoirul dalam
Supriyadi (2003) mengemukakan beberapa tujuan khusus model pembelajaran tipe Jigsaw diantaranya adalah
mengkaji kebergantungan positif dalam menyampaikan dan menerima informasi diantara anggota kelompok
untuk mendorong kedewasaan berfikir dan menyediakan kesempatan berlatih bicara (dan mendengar) untuk
berlatih dalam menyampaikan informasi.

PENUTUP

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa penerapan model
pembelajaran kooperatif tipe jigsaw dapat : (1) meningkatkan aktivitas belajar siswaa untuk setiap siklus :
Siklus I (rerata = 65,1 %) dan Siklus II (Rerata= 89,0 %) ; (2) meningkatkan hasil belajar kimia siswa yang
ditandai dengan : (a) meningkatnya rerata hasil belajar Kimia dari Siklus I (rerata 86,4) menjadi Siklus II
(Rerata = 90,1) ; (b) meningkatnya jumlah siswa yang bernilai ≥ 70,37 (KKM) dari Siklus I (76,47 %)
menjadi Siklus II (94,12 %). Tuntas tercapai setelah siklus II.

Berdasarkan simpulan di atas, maka peneliti menyarankan hal-hal sebagai berikut :

(1) kepada para guru diharapkan dapat mengetahui, memahami dan menerapkan model pembelajaran
kooperatif tipe Jiqsaw dalam upaya peningkatan hasil belajar kimia siswa utamanya pada pokok bahasan
Kelarutan dan Hasil Kali Kelarutan; (2) bagi peneliti selanjutnya yang ingin menerapkan model pembelajaran
kooperatif tipe Jigsaw ini sedapat mungkin mampu mengelola alokasi waktu, dan fasilitas pendukung
termasuk media pembelajaran.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2008. Kesan Pembelajaran Kooperatif Terhadap Sikap dan Pencapaian


Matematik bagi murid-murid Sekolah Rendah di Sekitar Bandar
Kuching.http://www.ipbl.edu.my/inter/penyelidikan/jurnalpapres/jurnal2008.pdf
[29 juli 2008].
Djamarah dan Zain. 2002. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: Rineka Cipta.

Emildadiany, N. 2008. Penataan Tempat Duduk Siswa Sebagai Bentuk


Pengelolaan Kelas Persiapan Mengajar. Jakarta: Universitas Kuningan
Ibrahim, M. 2000. Pembelajaran Kooperatif. Surabaya: Program Pasca Sarjana Unesa.
Sutiarso, S.(2007). Pembelajaran Kooperatif yang Dikombinasikan dengan Kegiatan
Problem Posing Sebagai Upaya Mengkatakan Hasil Belajar Matematika di SLTP.
Http : // digilib. Unila.ac.id.//sugengsuti_1004. Diakses tanggal 10 Desember 2007.

You might also like