You are on page 1of 15

e-banjar portal web site

PENGERTIAN DAN FUNGSI PURA


Contributed by admin
Last Updated Monday, 24 November 2008

PENGERTIAN DAN FUNGSI PURA / PARHYANGAN*


Prof. I Made Titib Ph. D
Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar

“Para dewa tidak hanya berkenaan untuk turun dan tinggal di Tìrtha (Patìrthan), di tepi sungai, dan danau,
tetapi juga di tepi pantai, pertemuan dua atau lebih sungai-sungai, dan kuala (muara sungai), di puncak-puncak gunung
atau bukit-bukit, di lereng-lereng pegunungan, di hutan, di semak belukar dan kebun atau taman-taman, dekat tempat-
tempat yang dirakhmati atau pertapaan, di desa-desa, kota-kota dan di tempat-tempat lain yang membahagiakan”

Tantra Samuccaya I.1.28

Pendahuluan

Pura atau kahyangan dibangun di tempat-tempat yang dianggap suci. Tempat-tempat yang dianggap suci
disebutkan pada bagian awal dari tulisan ini (Tantra Samuccaya I.1.28), yakni di Tìrtha atau Patìrthan, di tepi sungai, tepi
danau, tepi pantai, pertemuan dua atau lebih sungai-sungai yang di Bali disebut Campuhan, sedang di India disebut
dengan nama Saògam yang mengandung makna sama, yakni bertemunya dua sungai atau lebih. Di muara sungai, di
puncak-puncak gunung atau bukit-bukit, di lereng-lereng pegunungan, dekat pertapaan, di desa-desa, di kota atau pusat-
pusat kota dan di tempat-tempat lain yang dapat memberikan suasana bahagia.

Dengan memperhatikan kutipan di atas, maka tiada halangan untuk membangun sebuah pura atau kahyangan di
mana saja di tempat-tempat yang dipandang suci. Ada suatu yang unik, yakni tempat yang dipandang indah dan
memiliki getaran spiritual yang tinggi adalah tempat yang disebut ‘hyang-hyang ning sagara giri’ atau
‘sagara-giri adomukha’, tempat bila di tepi pantai terlihat puncak-pucak gunung yang indah, sebaliknya bila
berdiri di pegunungan, tampak pantai-pantai dengan gulung-gemulungnya ombak yang memukau. Tempat-tempat yang
disebut ‘hyang-hyang ning sagara giri’ ini hampir dijumpai di mana saja di seantero Bali, karena pulau Bali
tidak begitu luas dan ditengah-tengahnya membentang pegunungan vulkanik yang beberapa di antaranya masih aktif.
http://www.e-banjar.com Powered by Joomla! Generated: 24 September, 2010, 20:40
e-banjar portal web site

Di samping itu, di pulau yang kecil ini terdapat 4 buah danau yang besar dan kecil dan ratusan mata air yang
jernih, yang menyegarkan dan mempesona siapa saja yang memiliki kepekaan dan apresiasi terhadap keindahan. Tidak
mengherankan leluhur umat Hindu di Bali membangun pura di mana saja hampir di seluruh Bali dan Bernet Kempers,
seofrang akhli purbakala memberi julukan pulau yang kecil ini sebagai “Land of One Thousand
Temples”,pulau dengan seribu pura (1977: 73). Di samping itu berbagai julukan telah diberikan kepada pulau
yang memikat ini di antaranya adalah:

-------------------------

“The Last Paradise on Earth”(sorga terakhir di bumi), “The Morning of the World”
(paginya dunia),“The Island of Gods”(pulau dewata), “The Intresting Peacefull Island” (pulau
penuh kedamaian yang sangat mempesona). Kepopuleran pulau Bali bukanlah merupakan sesuatu yang baru, sebab
sejak zaman purbakala pulau ini sudah dikenal di manca negara. Keterangan tentang kemuliaan gunung Agung, yang di
Bali disebut juga “To Langkir”(yang menjulang tinggi)atau di dalam bahasa Sanskåta disebut “Udaya
Parvata” (gunung yang tinggi) diyakini sebagai bagian dari pegunungan Mahàmeru (yang pada zaman dahulu juga
disebut Úiúira Parvata) dan nama ini sudah diungkapkan di dalam susastra Sanskåta Ràmàyaóa, pada bagian Kiûkióðha Kànda
karya agung àdikavi mahàrûi Vàlmìki, sebagai sthana para dewa (Misra,1989: VI) dan bila melihat peninggalan purbakala di
daerah Goa Gajah dan Gunung Kawi, di Kabupaten Gianyar, maka jelaslah pada zaman dahulu kehidupan keagamaan
masyarakat Bali sudah sedemikian mantap.

Pengertian Pura

http://www.e-banjar.com Powered by Joomla! Generated: 24 September, 2010, 20:40


e-banjar portal web site

Tuhan Yang Maha Esa dan para devatà bersthana di kahyangan atau svarga-loka, diiringi oleh para Úiddha,
Vidyàdhara-Vidyàdharì. Demikian masing-masing devatà diyakini memiliki Vàhana (kendaraan) berupa binatang-binatang
mitos seperti lembu, singa, angsa, garuda dan lain-lain dan sthana-Nya yang abadi adalah kahyangan atau sorga yang
tempatnya jauh di atas angkasa, “vyomàntara”, yang oleh masyarakat Bali disebut “luhuring
àkàúa”. Pada waktu-waktu upacara seperti piodalan dan upacara lainnya, Tuhan Yang Maha Esa, Sang Hyang
Widhi dan para devatà serta para roh suci leluhur dimohon hadir turun ke dunia untuk bersthana di sthana yang telah
disediakan untuk-Nya yang disebut pura dengan aneka nama, jenis serta fungsi dari bangunan palinggihnya. Pada
upacara tertentu seperti karya agung “mamungkah”,“ngalinggihang”,
“ngusabha” dan sebagainya, bagi para devatà yang tidak memiliki sthana khusus di sebuah pura,
dibuatkanlah sthana sementara untuk-Nya yang disebut “dangsil”, seperti meru yang sifatnya sementara
terbuat dari bambu, memakai atap janur atau daun aren.

Pura seperti halnya meru atau candi (dalam pengertian peninggalan purbakala kini di Jawa) merupakan simbol
dari kosmos atau alam sorga (kahyangan), seperti pula diungkapkan oleh Dr. Soekmono (1974: 242) pada akhir
kesimpulan disertasinya yang menyatakan bahwa candi bukanlah sebagai makam, maka terbukalah suatu perspektif
baru yang menempatkan candi dalam kedudukan yang semestinya (sebagai tempat pemujaan/pura). Secara sinkronis
candi tidak lagi terpencil dari hasil-hasil seni bangunan lainnya yang sejenis dan sejaman, dan secara diakronis candi
tidak lagi berdiri di luar garis rangkaian sejarah kebudayaan Indonesia. Kesimpulan Soekmono ini tentunya telah
menghapus pandangan yang keliru selama ini yang memandang bahwa candi di Jawa ataupun pura di Bali sebagai
tempat pemakaman para raja, melainkan sebagian pura di Bali adalah tempat suci untuk memuja leluhur yang sangat
berjasa yang kini umum disebut padharman. Untuk mendukung bahwa pura atau tempat pemujaan adalah replika
kahyangan dapat dilihat dari bentuk (struktur), relief, gambar dan ornament dari sebuah pura atau candi. Pada bangunan
suci seperti candi di Jawa kita menyaksikan semua gambar, relief atau hiasannya menggambarkan mahluk-mahluk
sorga, seperti arca-arca devatà, vahana devatà, pohon-pohon sorga (parijata, dan lain-lain), juga mahluk-mahluk suci
seperti Vidàdhara-Vidyàdharì dan Kinara-Kinarì, yakni seniman sorga, dan lain-lain.

Sorga atau kahyangan digambarkan berada di puncak gunung Mahameru, oleh karena itu gambaran candi atau
pura merupakan replika dari gunung Mahameru tersebut. penelitian Soekmono maupun tulian Drs. Sudiman tentang
candi Lorojongrang (1969: 26) memperkuat keyakinan ini. Berbagai sumber ajaran Hindu sejak kitab suci Veda sampai
susastra Hindu mengungkapkan tentang kahyangan, pura atau mandira, untuk itu kami kutipkan penjelasan tentang hal
tersebut, di antaranya sebagai berikut:

http://www.e-banjar.com Powered by Joomla! Generated: 24 September, 2010, 20:40


e-banjar portal web site

Pràsàdaý yacchiva úaktyàtmakaý


tacchaktyantaiá syàdvisudhàdyaistu tatvaiá,
úaivì mùrtiá khalu devàlayàkhyetyasmàd
dhyeyà prathamaý càbhipùjyà.

Ìúànaúivagurudevapaddhati, III.12.16.

(Pura dibangun untuk memohon kehadiran Sang Hyang Úiva dan Úakti dan Kekuatan/Prinsip Dasar dan segala
Menifestasi
atau Wujud-Nya, dari element hakekat yang pokok, Påthivì
sampai kepada Úakti-Nya. Wujud konkrit (materi) Sang Hyang Úiva merupakan sthana Sang Hyang Vidhi.
Hendaknya seseorang melakukan permenungan dan memuja-Nya)

Di samping hal tersebut, dengan memperhatikan pula praktek upacara yang masih tetap hidup dan terpelihara di
Bali maupun di India, yakni pada saat menjelang upacara piodalan (di India disebut abhiseka), para devatà dimohon turun
ke bumi, di Bali disebut “nuntun atau nedunang Ida Bhaþþàra, di India disebut avahana, sampai upacara
persembahyangan dan mengembalikannya kembali ke kahyangan sthana-Nya yang abadi menunjukkan bahwa pura
adalah replika dari kahyangan atau sorga.

Demikian pula bila kita melihat struktur halaman pura menunjukkan bahwa pura adalah juga melambangkan alam
kosmos, jaba pisan adalah alam bhumi (bhùrloka), jaba tengah adalah bhuvaáloka dan jeroan adalah svaáloka atau
sorga. Khusus pura Besakih secara keseluruhan melambangkan saptaloka (luhuring ambal-ambal) dan saptapatala
(soring ambal-ambal).

Tidak sembarangan tempat dapat dijadikan tempat untuk membangun pura, dalam tradisi Bali (termuat dalam
beberapa lontar) menyatakan tanah yang layak dipakai adalah tanah yang berbau harum, yang "gingsih”dan tidak
berbau busuk, sedangkan tempat-tempoat yang ideal untuk membangun pura, adalah seperti disebutkan pada kutipan
dari Bhaviûya Puràóa dan Båhat Saýhità, yang secara sederhana disebut sebagai “hyang-hyangning sàgara-giri”,
atau “sàgara-giri adumukha”, tempatnya tentu sangat indah disamping vibbrasi kesucian memancar pada
lokasi yang ideal tersebut.

http://www.e-banjar.com Powered by Joomla! Generated: 24 September, 2010, 20:40


e-banjar portal web site

Istilah pura dengan pengertian sebagai tempat pemujaan bagi masyarakat Hindu khususnya di Bali, tampaknya
berasal dari jaman yang tidak begitu tua. Pada mulanya istilah pura yang berasal dari kata Sanskerta itu berarti kota atau
benteng yang sekarang berubah arti menjadi tempat pemujaan Hyang Widhi. Sebelum dipergunakannya kata pura untuk
menamai tempat suci/tempat pemujaan dipergunakanlah kata kahyangan atau hyang. Pada jaman Bali Kuna dan
merupakan data tertua ditemui di Bali, disebutkan di dalamn prasasti Sukawana A I tahun 882 M (Goris, 1964: 56).

Di dalam prasasti Turunyan A I th. 891 M ada disebutkan........................ ..........sanghyang di Turuñan”


yang artinya “tempat suci di Turunyan”. Demikian pula di dalam prasasti Pura Kehen A ( tanpa tahun )
disebutkan pemujaan kepada Hyang Karimama, Hyang Api dan Hyang Tanda yang artinya tempat suci untuk dewa
Karimama, tempat suci untuk dewa api dan tempat suci untuk dewa Tanda.

Prasasti-prasasti tersebut diatas adalah prasasti Bali Kuna yang memakai bahasa Bali Kuna tipe “Yumu
pakatahu” yang berhubungan dengan keraton Bali Kuna di Singhamandawa. Pada abad ke X masuklah bahasa
Jawa Kuna ke Bali ditandai oleh perkawinan raja putri Mahendradata dari Jawa Timur dengan raja Bali Dharma
Udayana. Sejak itu prasasti - prasasti memakai bahasa Jawa Kuna dan juga kesusastraan-kesusastraan mulai memakai
bahasa Jawa Kuna. Dalam periode pemerintahan Airlangga di Jawa Timur (1019-1042M) datanglah Mpu Ràjakåta yang
menjabat Senapati i Kuturandari Jawa Timur ke Bali dan pada waktu itu yang memerintah di Bali adalah raja Marakata
yaitu adik dari Airlangga. Beliaulah mengajarkan membuat "parhyangan atau kahyangan dewa " di Bali, membawa cara
membuat tempat pemujaan dewa seperti di Jawa Timur, sebagaimana disebutkan di dalam rontal Usana Dewa.
Kedatangan Mpu Kuturan di Bali membawa perubahan besar dalam tata keagamaan di Bali.

Mpu Kuturan mengajarkan membuat pura Sad Kahyangan Jagat Bali, membuat kahyangan pura Caturlokapàla
dan Kahyangan Rwabhineda di Bali. Beliau juga memperbesar pura Besakih dan mendirikan palinggih meru, gedong
dan lain-lainnya. Pada masing masing desa Pakraman dibangun Kahyangan Tiga. Selain beliau mengajarkan membuat
kahyangan secara pisik, juga beliau mengajarkan pembuatannya secara spiritual misalnya: jenis-jenis upacara, jenis-
jenis pedagingan palinggih dan sebagainya se bagaimana di uraikan didalam lontar Devatàttwa.

Pada jaman Bali Kuna, dalam arti sebelum kedatangan dinasti Dalem di Bali, istana-isatana raja disebut karaton
atau kadaton. Demikianlah rontal Usaha Bali menyebutkan “......Úrì Danawaràja akadatwan ing
Balingkang........”. Memang ada kata pura dijumpai di dalam prasasti Bali Kuna tetapi kata pura itu belum berarti
tempat suci melainkan berarti kotaatau pasar, seperti kata wijayapuraartinya pasaran Wijaya.

http://www.e-banjar.com Powered by Joomla! Generated: 24 September, 2010, 20:40


e-banjar portal web site

Pemerintahan dinasti Úrì Kåûóa Kapakisan di Bali membawa tradisi yang berlaku di Majapahit. Kitab Nàgarakåtàgama
73.3 menyebutkan bahwa apa yang berlaku di Majapahit diperlakukan pula di Bali oleh dinasti Úrì Kåûóa Kapakisan.

Salah satu contoh terlihat dalam sebutan istanaraja bukan lagi disebut karatonmelainkan disebut pura.Kalau di
Majapahit kita mengenal istilah Madakaripurayang berarti rumahnya Gajah Mada, maka karaton Dalem di Samprangan
disebut Linggarsapura.Karatonnya diGelgel disebut Suwecapuradan karatonnya di Klungkung disebut Smarapura. Rupa-
rupanya penggunaan kata pura untuk menyebutkan suatu tempat suci dipakai setelah dinasti Dalem di Klungkung di
samping juga istilah kahyangan masih dipakai. Dalam hubungan inilalu kata pura yang berarti istana rajaatau rumah
pembesar pada waktu itu diganti dengan kata puri.

Pada periode pemerintahan Dalem Baturenggong di Gelgel (1460 - I 550 M ) datanglah Dang Hyang Nirartha di
Bali pada Tahun 1489 M adalah untuk mengabadikan dan menyempumakan kehidupan agama Hindu di Bali. Beliau
pada waktu itu menemui keadaan yang kabur sebagai akibat terjadinya peralihan paham keagamaan dari paham-paham
keagamaan sebelum Mpu Kuturan ke paham-paham keagamaan yang diajarkan olch Mpu Kuturan yakni: antara
pemujaan dewa dengan pemujaan roh leluhur, sehingga dikenal adanya pura untuk dewa dan pura untak roh suci
leluhur yang sulit dibedakan secara fisik(Ardana, 1988:20).

Demikian pula bentuk-bentuk palinggih, ada meru dan gedong untuk dewa dan meru dan gedong untuk roh suci
leluhur. Terdapat juga kekaburan di bidang tingkat atap meru, misalnya ada meru untuk roh suci leluhur bertingkat 7 dan
meru untuk dewa bertingkat 3. Hal ini secara fisik sulit untuk dibedakan, walaupun perbedaannya, terdapat pada jenis
padagingannya. Hal itulah yang mendorong Dang Hyang Nirartha membuat palinggih berbentuk padmàsanauntuk
memuja Hyang Widhi, dan sekaligus membedakan palinggib pemujaan dewa serta roh suci leluhur.

Dalam perkembangan lebih lanjut kata puradigunakan di samping kata kahyanganatau parhyangandcngan
pengertian sebagai tempat suci untuk memuja Hyang Widhi (dengan segala manifestasinya ) dan bhaþàra atau dewapitara
yaitu roh suci leluhur. Kendatipun demikian namun kini masih dijumpai kata pura yang digunakan untuk menamai suatu
kota misainya Amlapura atau kota asem (bentuk Sanskertanisasi dari karang asem ).

http://www.e-banjar.com Powered by Joomla! Generated: 24 September, 2010, 20:40


e-banjar portal web site

Meskipun istilah pura sebagai tempat suci berasal dari jaman yang tidak begitu tua, namun tempat pemujaannya
sendiri berakar dan mempunyai latar belakang alam pikiran yang bcrasal dari masa yang amat tua. Pangkalnya adalah
kebudayaan Indonesia asli berupa pemujaan terhadap arwah leluhur di samping juga pemujaan terhadap kekuatan alam
yang maha besar yang telah dikenalnya pada jaman neolithikum, dan berkembang pada periode megalithikum,sebelum
kcbudayaan India datang di Indonesia.

Salah satu tempat pemujaan arwah leluhur pada waktu itu berbentuk punden berundak-undakyang diduga
sebagai replika (bentuk tiruan) dari gunung,karena gunung itu dianggap sebagai salah satu tempat dari roh leluhur atau
alam arwah. Sistim pemujaan terhadap leluhur tersebut kemudian berkembang bersama-sama dengan berkembangnya
kebudayaan Hindu di Indonesia. Perkembangan itu juga mengalami proses akulturasi dan enkulturasi sesuai dengan
lingkungan budaya Nusantara.

Kepercayaan terhadap gunung sebagai alam arwah,adalah relevan dengan unsur kebudayaan Hindu yang
menganggap gunung (Mahameru ) sebagai alam devatà yang melahirkan konsepsi bahwa gunung selain dianggap
sebagai alam arwah juga sebagai alam para dewa. Bahkan dalam proses lebih lanjut setelah melalui tingkatan upacara
keagamaan tertentu (upacara penyucian) roh suci leluhurdapat mencapai tempat yang sama dan dipuja bersama-sama
dalam satu tempat pemujaan dengan dewa yang lazimnya disebut dengan istilah Àtmàúiddhadevatà.

Lebih lanjut kadang kadang dalam proses itu unsur pemujaan leluhur kelihatan melemah bahkan seolah-olah
tampak sebagai terdesak, namun hakekatnya yang essensial bahwa kebudayaan Indonesia asli tetap memegang
kepribadiannnya yang pada akhimya unsur pemujaan leluhur tersebut muncul kembali secara menonjol dan kemudian
secara pasti tampil dan berkcmbang bersama - sama dengan unsur pemujaan terhadap dewa Penampilannya selalu
terlihat pada sistim kepercayaan masyarakat Hindu di Bali yang menempatkan secara bersama sama pemujaan roh
leluhur sebagai unsur kcbudayaan Indonesia asli dengan sistcm pemujaan dewa manifcstasinya Hyang Widhi sebagai
unsur kcbudayaan Hindu. Pentrapannya antara lain tcrlihat pada konsepsi pura sebagai tempat pemujaan untuk dewa
manifestasi Hyang Widhi di samping juga untuk pemujaan roh leluhur yang disebut bhatara. Hal ini membcrikan salah
satu pengcrtian bahwa Pura adalah simbul gunung (Mahameru) tempat pemujaan dcwa dan bhaþþàra.

Pengelompokan Pura

http://www.e-banjar.com Powered by Joomla! Generated: 24 September, 2010, 20:40


e-banjar portal web site

Dari berbagai jenis pura di Bali dengan pengertian sebagai tempat suci untuk memuja Hyang Widhi/dewa dan
bhaþàra, dapat dikelompokkan berdasarkan fungsinya:

1). Pura yang berfungsi sebagai tcmpat untuk memuja Hyang Widhi, para devatà.
2). Pura yang berfungsi sebagai tempat untuk memuja bhaþàra yaitu roh suci leluhur.

Selain kelompok pura yang mempunyai fungsi seperti tersebut di atas, bukan tidak mungkin terdapat pula pura
yang berfungsi gandayaitu sclain untuk memuja Hyang Widhi/dewa juga untuk memuja bhaþàra. Hal itu di mungkinkan
mengingat adanya kepercayaan bahwa sctelah melalui upacara penyucian, roh leluhur tesebut telah mencapai tingkatan
úiddhadevatà(telah memasuki alam devatà ) dan disebut bhaþàra.

Fungsi pura tcrscbut dapat diperinci lebih jauh berdasarkan ciri (kekhasan ) yang antara lain dapat diketahui atas
dasar adanya kelompok masyarakat ke dalam berbagai jenis ikatan seperti: ikatan sosial, politik, ekonomis, genealogis
(garis kelahiran). Ikatan sosial antara lain berdasarkan ikatan wilayah tempat tinggal (teritorial), ikatan pengakuan atas
jasa seorang guru suci (Dang Guru), ikatan politik di masa yang silam antara lain berdasarkan kepentingan penguasa
dalam usaha menyatukan masyarakat dan wilayah kekuasaannya. Ikatan ekonomis antara lain dibedakan atas dasar
kepentingan sistem mata pencaharian hidup seperti bertani, nelayan , berdagang, nelayan dan lain-lainnya. Ikatan
geneologis adalah atas dasar garis kelahiran dengan perkembangan lebih lanjut.

Berdasarkan atas ciri-ciri tersebut (Titib, 2003: 96-100), maka terdapat beberapa kelompok pura dan
perinciannya lebih lanjut berdasarkan atas karakter atau sifat kekhasannya adalah sebagai berikut.

1) Pura Umum

http://www.e-banjar.com Powered by Joomla! Generated: 24 September, 2010, 20:40


e-banjar portal web site

Pura ini mempunyai ciri umum sebagai tempat pemujaan Hyang Widhi dengan segala manifestasinya (dewa).
Pura yang tergolong umum ini dipuja oleh seluruh umat Hindu, sehingga sering disebut Kahyangan Jagat Bali. Pura-pura
yang tcrgolong mempunyai ciri-ciri tersebut adalah pura Besakih, pura Batur, pura Caturlokapàla dan pura Sadkahyangan.
Pura lainnya yang juga tergolong pura umum adalah pura yang berfungsi sebagai tempat pemujaan untuk memuja
kebesaran jasa seorang pandita guru suci atau Dang Guru.

Pura tersebut juga dipuja oleh seluruh umat Hindu, karena pada hakekatnya semua umat Hindu merasa
berhutang jasa kepada beliau Dang Guru atas dasar ajaran agama Hindu yang disebut åûiåóa. Pura pura tersebut ini
tergolong kedalam karakter yang disebut Dang Kahyangan seperti: pura Rambut Siwi, pura Purancak, pura Pulaki, pura
Ponjok Batu, pura Sakenan, pura Úìlayukti, pura Lempuyang Madya dan lain-lainnya. Pura-pura tersebut berkaitan dengan
dharmayàtrà yang dilakukan oleh Dang Hyang Nirartha, paúraman Mpu Kuturan dan Mpu Agnijaya karena peranannya
sebagai Dang Guru.

Selain pura-pura yang dihubungkan dengan Dang Guru, tergolong pula ke dalam ciri Dang Kahyangan adalah
pura-pura yang dihubungkan dengan pura tempat pemujaan dari kerajaan yang pernah ada di Bali (Panitia Pemugaran
tempat-tempat bersejarah dan peninggalan purbakala, 1977: 10) seperti pura Sakenan, yang merupakan pura kerajaan
Kesiman, pura Taman Ayun yang merupakan pura kerajaan Mengwi. Ada tanda-tanda bahwa masing-masing kerajaan
yang pemah ada di Bali, sekurang kurangnya mempunyai satu jenis pura, yaitu: pura Penataran yang terletak di ibu kota
kerajaan, pura puncak yang ter!etak di puncak bukit atau pegunungan dan pura Segara yang terletak di tepi pantai laut.
Pura-pura kerajaan tersebut rupa-rupanya mewakili tiga jenis tempat pemujaan yaitu: pura gunung, pura pusat kerajaan
dan pura laut. Pembagian mandala atas gunung, daratan dan laut sesuai benar dengan pembagian makrokosmos
menjadi dunia atas atau uranis, dunia tengah tempat manusia itu hidup dan dunia bawah atau chithonis.

2) Pura Teritorial

Pura ini mempunyai ciri kesatuan wilayah (teritorial) sebagai tempat pemujaan dari anggota masyarakat suatu
banjar atau suatu desa yang diikat ikat oleh kesatuan wilayah dari suatu banjar atau desa tersebut. Wilayah banjar
sebagai kelompok sub kelompok dari masyarakat desa adat ada yang memiliki pura tersendiri. Ciri khas suatu desa adat
pada dasamya memiliki tiga buah pura disebut Kahyangan Tiga, yaitu: pura Desa, pura Puseh, pura Dalem yang
merupakan tempat pemujaan bersama. Dengan lain perkataan, bahwa Kahyangan Tiga itulah merupakan unsur
mengikat kesatuan desa adat bersangkutan. Nama-nama kahyangan tiga ada juga yang bervariasi pada beberapa desa
di Bali, pura Desa sering juga disebut pura Bale Agung. Pura Puseh juga disebut pura Segara, bahkan pura Puseh desa
http://www.e-banjar.com Powered by Joomla! Generated: 24 September, 2010, 20:40
e-banjar portal web site

Besakih disebut pura Banua.

Pura Dalem banyak juga macamnya. Namun pura Dalem yang merupakan unsur Kahyangan Tiga adalah pura
Dalem yang memiliki setra (kuburan). Di samping itu banyak juga terdapat pura yang disebut Dalem, tetapi bukan
merupakan pura sebagai unsur Kahyangan Tiga di antaranya: pura Dalem Maspahit, pura Dalem Canggu, pura Dalem
Gagelang dan sebagainya (Panitia Pemugaran Tempat- tempat bersejarah dan peninggalan Purbakala, 1977,12). Di
dekat pura Watukaru terdapat sebuah pura yang bernama pura Dalem yang tidak merepunyai hubungan dengan pura
Kahyangan Tiga, melainkan dianggap mempunyai hubungan dengan pura Watukaru. Masih banyak ada pura Dalem
yang tidak mempunyai kaitan dengan Kahyangan Tiga seperti pura Dalem Puri mempunyai hubungan dengan pura
Besakih. Pura Dalem Jurit mempunyai hubungan dengan pura Luhur Uluwatu.

3) Pura Fungsional

Pura ini mempunyai karakter fungsional, umat panyiwinya terikat oleh ikatan kekaryaan karena mempunyai,
profesi yang sama dalam sistem mata pencaharian bidup seperti: bertani, berdagang dan nelayan. Kekaryaan karena
bertani, dalam mengolah tanah basah mempunyai ikatan pemujaan yang disebut pura Empelan yang sering juga disebut
pura Bedugul atau pura Subak. Dalam tingkatan hirarkhis dari pura itu kita mengenal pura Ulun Carik, pura Masceti, pura
Ulun Siwi dan pura Ulun Danu. Apabila petani tanah basah mempunyai ikatan pcmujaan seperd tersebut diatas, maka
petani tanah kering juga mempunyai ikatan pemujaan yang disebut pura Alas Angker, Alas Harum, Alas Rasmini dan lain
sebagainya.
Berdagang merupakan salah satu sistim mata pencaharian hidup menyebabkan adanya ikatan pemujaan dalam
wujud pura yang disebut pura Melanting. Umumnya pura Melanting didirikan didalam pasar yang dipuja oleh para
pedagang dalam lingkungan pasar tersebut.

4) Pura Kawitan

Pura ini mempunyai karakter yang ditentukan oleh adanya ikatan wit atau lcluhur berdasarkan garis kelabiran
(genealogis). Pura ini sering pula disebut Padharman yang merupakan bentuk perkembangan yang lebib luas dari pura
http://www.e-banjar.com Powered by Joomla! Generated: 24 September, 2010, 20:40
e-banjar portal web site

milik warga atau pura klen. Dengan demikian mika pura Kawitan adalah tempat pemujaan roh leluhur yang telah suci
dari masing-masing warga atau kelompok kekerabatan. Klen kecil adalah kelompok kerabat yang terdiri dari beberapa
keluarga inti maupun keluarga luas yang merasakan diri berasal dari nenek moyang yang sama. Klen ini mcmpunyai
tempat pemujaan yang discbut pura Dadya sehingga mereka disebut tunggal Dadya. Keluarga inti disebut juga keluarga
batih (nuclear family ) dan keluarga luas terdiri lebih dari satu keluarga inti yang juga disebut keluarga besar (extended
family). Suatu keluarga inti terdiri dari seorang suami, seorang istri dan anak-anak mereka yang belum kawin .

Tempat pemujaan satu keluarga inti disebut sanggah atau marajan yang juga disebut kamulan taksu, sedangkan
tempat pemujaan kciuarga luas disebut sanggah gede atau pamarajan agung. Klen besar merupakan kelompok kerabat
yang lebih luas dari klen kecil (dadya) dan terdiri dari beberapa kelompok kerabat dadya. Anggota kelompok kerabat
tcrsebut mempunyai ikatan tempat pemujaan yang disebut pura paibon atau pura panti. Di beberapa daerah di Bali,
tempat pemujaan seperti itu, ada yang menyebut pura Batur (Batur Klen), pura Penataran (Penataran Klen) dan
sebagainya. Didalam rontal Úiwàgama, disebutkan bahwa setiap 40 keluarga batih patut membuat pura panti, setiap 20
keluarga batih patut mendirikan pura lbu, setiap 10 keluarga batih supaya membuat palinggih Påtiwì dan setiap keluarga
batih membuat palinggih Kamulan yang kesemuanya itu untuk pemujaan roh leluhur yang telah suci. Tentang
pengelompokan pura di Bali ini , dalam Seminar kesatuan tafsir terhadap aspek-aspek agama Hindu ke X tanggal 28
sampai dengan 30 Mei 1984 ditetapkan pengelompokan pura di Bali sebagai berikut :

1). Berdasarkan atas Fungsinya :


(a). Pura Jagat, yaitu pura yang berfungsi sebagai tempat memuja Sang Hyang Widhi Wasa dalam segala
prabawa-Nya (manifestasi-Nya).
(b). Pura kawitan, yaitu pura sebagai tempat suci untuk memuja “Àtmàúiddhadevatà“ (roh suci leluhur).

2). Berdasarkan atas Karakterisasi nya


(a). Pura Kahyangan Jagat, yaitu pura tempat memuja Sang Hyang Widhi dalam aneka prabhawa-Nya misalnya
pura Sad Kahyangan dan pura Kahyangan Jagat.
(b). Pura Kahyangan Desa (teritorial )yaitu pura yang disungsung (dipuja dan dipelihara) oleh desa Pakraman
atau desa Adat.
(c). Pura Swagina (pura fungsional)yaitu pura yang penyungsungnya terikat oleh ikatan swagina (kekaryaan)
yang mempunyai profesi sama dalam mata pencaharian seperti: pura Subak, Melanting dan sebagainya .
(d). Pura Kawitan,yaitu pura yang penyungsungnya ditcntukan oleb ikatan "wit" atau leluhur berdasarkan garis
(vertikal geneologis) seperti: sanggah, pamarajan, ibu, panti, dadya, batur, panataran, padharman dan yang sejenisnya.

Pengelompokan pura di atas jelas berdasarkan Úraddhà atau Tatwa agama Hindu yang berpokok pangkal konsepsi
ketuhanan Yang Maha Esa dengan berbagai manifestasi atau prabhawa-Nya dan konsepsi Àtman manunggal dengan
Brahman (Àtmàúiddhadevatà) menyebabkan timbulnya pemujaan pada roh suci leluhur, oleh karena itu pura di Bali ada
http://www.e-banjar.com Powered by Joomla! Generated: 24 September, 2010, 20:40
e-banjar portal web site

yang disungsung oleh seluruh lapisan masyarakat di samping ada pula yang disungsung oleh keluarga atau klen tertentu
saja.

Struktur Pura

Pada umumnya struktur atau denah pura di Bali dibagi atas tiga bagian, yaitu: jabapura atau jaba pisan (halaman
luar), jaba tengah (halaman tengah) dan jeroan (halaman dalam). Di samping itu ada juga pura yang terdiri dari dua
halaman, yaitu: jaba pisan (halaman luar) dan jeroan (halaman dalam) dan ada juga yang terdiri dari tujuh halaman
(tingkatan) seperti pura Agung Besakih. Pembagian halaman pura ini, didasarkan atas konsepsi macrocosmos (bhuwana
agung), yakni : pembagian pura atas 3 (tiga) bagian (halaman) itu adalah lambang dari "triloka", yaitu: bhùrloka (bumi),
bhuvaáloka (langit) dan svaáloka (sorga). Pembagian pura atas 2 (dua) halaman (tingkat) melambangkan alam atas
(urdhaá) dan alam bawah (adhaá), yaitu àkàúa dan påtivì.

Sedang pembagian pura atas 7 bagian (halaman) atau tingkatan melambangkan "saptaloka" yaitu tujuh
lapisan/tingkatan alam atas, yang terdiri dari: bhùrloka, bhuvaáloka, svaáloka, mahàoka, janaloka, tapaloka dan
satyaloka. Dan pura yang terdiri dari satu halaman adalah simbolis dari "ekabhuvana" , yaitu penunggalan antara alam
bawah dengan alam atas. Pembagian halaman pura yang pada umumnya menjadi tiga bagian itu adalah pembagian
horizontal sedang pembagian (loka) pada palinggih-palinggih adalah pembagian yang vertikal. Pembagian horizontal itu
melambangkan "prakåti" (unsur materi alam semesta) sedangkan pembagian yang vertikal adalah simbolis "puruûa"
(unsur kejiwaan/spiritual alam semesta). Penunggalan konsepsi prakåti dengan puruûa dalam struktur pura adalah
merupakan simbolis dari pada "Super natural power". Hal itulah yang menyebabkan orang orang dapat merasakan
adanya getaran spiritual atau super natural of power (Tuhan Yang Maha Esa ) dalam sebuah pura.

Sebuah pura di kelilingi dengan tembok (bahasa Bali = penyengker ) scbagai batas pekarangan yang
disakralkan. Pada sudut-sudut itu dibuatlah "padurakûa" (penyangga sudut) yang berfungsi menyangga sudut-sudut
pekarangan tempat suci (dikpàlaka ).

Sebagian telah dijelaskan di atas, pada umumnya pura-pura di Bali terbagi atas tiga halaman, yaitu yang
pertama disebut jabaan (jaba pisan) atau halaman depan/luar, dan pada umumnya pada halaman ini terdapat bangunan
berupa "bale kulkul" (balai tempat kentongan digantung), “bale wantilan" (semacam auditorium pementasan
kesenian, "bale pawaregan" (dapur) dan “jineng" (lumbung). Halaman kedua disebut jaba tengah (halaman
http://www.e-banjar.com Powered by Joomla! Generated: 24 September, 2010, 20:40
e-banjar portal web site

tengah biasanya berisi bangunan "bale agung" (balai panjang) dan “bale pagongan" (balai tempat gamelan).
Halaman yang ketiga disebut jeroan (halaman dalam), halaman ini termasuk halaman yang paling suci berisi bangunan
untuk Tuhan Yang Maha Esa dan para dewa manifestasi-Nya. Di antara jeroan dan jaba tengah biasanya dipisahkan
oleh candi kurung atau kori agung.

Sebelum sampai ke halaman dalam (jeroan) melalui kori agung, terlebih dahulu harus memasuki candi bentar,
yakni pintu masuk pertama dari halaman luar (jabaan atau jaba pisan) ke halaman tengah (jaba tengah). Candi bentar ini
adalah simbolis pecahnya gunung Kailaúa tempat bersemadhinya dewa Úiva. Di kiri dan kanan pintu masuk candi bentar
ini biasanya terdapat arca Dvàrapala (patung penjaga pintu, dalam bahasa Bali disebut arca pangapit lawang), berbentuk
raksasa yang berfungsi sebagai pengawal pura terdepan. Pintu masuk kehalaman dalam (jeroan) di samping disebut
kori agung, juga dinamakan gelung agung. Kori Agung ini senantiasa tertutup dan baru dibuka bila ada upacara di pura.
Umat penyungsung(pemilik pura) tidak menggunakan kori agung itu sebagai jalan keluar-masuk ke jeroan, tetapi
biasanya menggunakan jalan kecil yang biasanya disebut "bebetelan", terletak di sebelah kiri atau kanan kori agung itu.

Pada bagian depan pintu masuk (kori agung) juga terdapat arca Dvàrapàla yang biasanya bermotif arca dewa-
dewa (seperti Pañca Devatà). Di atas atau di ambang pintu masuk kori agung terdapat hiasan kepala raksasa, yang pada
pura atau candi di India disebut Kìrttimukha, pada arnbang candi pintu masuk candi Jawa Tengah discbut Kàla, pada
ambang candi di Jawa Timur disebut Banaspati dan di Bali discbut Bhoma. Cerita Bhoma atau Bhomàntaka (matinya
Sang Bhoma ) dapat dijumpai dalam kakawin Bhomàntaka atau Bhomakawya. Bhoma adalah putra dewa Viûóu dengan
ibunya dewi Påtivì yang berusaha mengalahkan sorga. Akhimya ia dibunuh oleh Viûóu sendiri. Kepalanya yang
menyeringai ini dipahatkan pada kori agung. Mcnurut cerita Hindu, penempatan kepala raksasa Bhoma atau Kìrttimukha
pada kori agung dimaksudkan supaya orang yang bermaksud jahat masuk kedalam pura, dihalangi oleh kekuatan
raksasa itu. Orang-orang yang berhati suci masuk kedalam pura akan memperoleh rakhmat-Nya.

KeSimpulan

Berdasarkan uraian tersebut di atas maka dapat ditarik simpulan bahwa pura adalah tempat suci, tempat untuk
memuja Tuhan Yang Maha Esa, para devatà dan roh suci leluhur. vaýúakarta) yang diyakini telah mencapai alam
kesucian (svarga). Di samping itu pengelompokkan pura juga dibedakan atas pura umum, pura teritorial, pura fungsional,
dan pura kawitan (pura untuk memuja pendiri dinasti).

http://www.e-banjar.com Powered by Joomla! Generated: 24 September, 2010, 20:40


e-banjar portal web site

Berdasarkan fungsinya dibedakan menjadi Pura Jagat dan Pura Kawitan, sedangkan berdasarkan karakternya
dibedakan menjadi Pura Kahyangan Jagat, Pura Kahyangan Desa, Pura Swagina (pura fungsional) dan Pura Kawitan.
Berdasarkan struktur pura dibedakan pura dengan 3 halaman (Jeroan, Jaba Tengah dan Jaba Sisi) yang melambangkan
Tribhuwana (Svah, Bhuvah, dan Bhurloka), 2 halaman (Jeroan dan Jabaan) yang melambangkan alam sorga dan bumi
dan yang satu halaman saja yang melambangkan alam sorga. Pura dengan 3 halaman pada umumnya untuk pura yang
besar (Kahyangan Jagat) sedangn pura dengan 2 atau satu halaman pada umumnya utuk pura Kawitan atau pura
keluarga.

Pura dibedakan berdasarkan pengelompokka peruntukannya, yaitu pura yaitu pura sebagai tempat untuk
memuja Tuhan Yang Maha Esa atau para devatà manifestasi-Nya dan pura untuk memuja roh suci para leluhur,
utamanya roh suci para mahàrûi (àchàrya) dan pendiri dinasti (

http://www.e-banjar.com Powered by Joomla! Generated: 24 September, 2010, 20:40


e-banjar portal web site

Daftar Pustaka

Ardana, I Gusti Gde. 1982. Sejarah Perkembangan Hinduisme di Bali. Denpasar: tanpa penerbit.

Kempers, A. J. Bernet. 1959. Monumental Bali. Den Haag: Van Goor Zonen.

Covarubias, Miguel. 1989. Island of Bali. Kualalumpur: Oxford University Press.

Goris, Roelof. 1954. Prasasti Bali, I. Bandung: Masa Baru.

Mishra, Rajendra.1989.Sejarah Kesusastraan Sanskåta, Denpasar: Publisher.

Soekmono, 1974. Candi Fungsi dan Pengertiannya. Disertasi dalam Ilmu-ilmu Sastra Universitas Indonesia, 27
April 1974. Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pandidikan dan Kebudayaan.

Sudiman. 1969. Candi Lorojongrang. Yogyakarta: Kanisius.

Titib, I Made. 2003. Teologi dan Simbol-Simbol Dalam Agama Hindu. Surabaya: Penerbit Paramita.

-------- Seminar Kesatuan Tafsir Terhadap Aspek-Aspek Agama Hindu ke X tanggal 28 sampai dengan 30 Mei
1984

http://www.e-banjar.com Powered by Joomla! Generated: 24 September, 2010, 20:40

You might also like