You are on page 1of 3

FAKTOR-FAKTOR MUNCULNYA ILMU TAUHID (ILMU KALAM)

A.PENDAHULUAN
Kepercayaan sesuatu agama merupakan pokok dasarnya. Islam sebagai agama yang
mengingkari agama-agama Yahudi dan Nasrani serta agama-agama Berhala merasa perlu untuk
menjelaskan pokok dasar ajarannya dan segi-segi dakwah yang menjadi tujuannya, al-Qur’an
dan hadits-hadits Nabi Muhammad saw banyak berisi pembicaraan tentang Wujud Tuhan,
Keagungan, dan ke Esaan-Nya. Qur’an terutama menyebutkan untuk sifat-sifat Tuhan yang
banyak sekali dan sebagian lagi menyatakan macam-macam hubungan dengan makhluknya
seperti mendengar, melihat, Maha adil, menciptakan, memberi rijki, menghidupkan, mematikan
dan sebagainya.
Ilmu tauhid belum dikenal pada masa Nabi Muhammad saw dan sahabat-sahabatnya
melainkan baru dikenal pada masa kemudiannya, setelah ilmu-ilmu keislaman satu persatu
muncul dan setelah orang banyak suka membicarakan alam ghaib atau metafisika.

B. POKOK MASALAH
1. Masalah-Masalah Ilmu Kalam / Ilmu Tauhid.
2. Latar Belakang Munculnya Ilmu Kalam / Ilmu Tauhid.
3. Perbedaan Metode Ilmu Kalam Dengan Filsafat Islam, Fiqh dan Tasawuf.
4. Pengaruh Sosial Politik Terhadap Ilmu Kalam / Ilmu Tauhid.

C. PEMBAHASAN

1. Masalah-Masalah Ilmu Kalam / Ilmu Tauhid. Adalah aqidah islam karena sesuai dengan
dalil-dalil akal pikiran dan dalil naqli, menetapkan keyakinan aqidah dan menjelaskan
tentang ajaran-ajaran yang dibawa oleh junjungan Nabi Muhammad SAW, Bahkan
merupakan kelanjutan dari ajaran para Nabi sebelumnya. Al-Qur’an sebagai kitab suci
menggariskan ajaran-ajarannya diatas jalan yang terang yang belum pernah dilalui oleh
kitab suci sebelumnya, yaitu: jalan yang memungkinkan orang di zaman ia diturunkan
dan orang yang datang kemudian untuk melaluinya.
2. Latar Belakang Munculnya Ilmu Kalam/Ilmu Tauhid. Faktor-faktor yang menyebabkan
timbulnya Ilmu Kalam/ilmu tauhid dapat dibagi menjadi dua , yaitu faktor dari dalam
( intern) dan faktor dari luar ( extern).

a. Faktor Intern:Faktor-faktor intern yang menyebabkan timbulnya ilmu kalam / ilmu tauhid ada
tiga macam, yaitu:

1. Sesungguhnya Al-Qur’an itu sendiri disamping seruan dakwahNya kepada tauhid dan
mempercayai kenabian dan hal-hal yang berhubungan dengannya juga menyinggung golongan-
golongan dan agama, yang tersebar pada masa Nabi Muhammad SAW lalu Al-qur’an
menolaknya dan membatalkan pendapat-pendapatnya.

2) Sesungguhnya kaum muslimin telah selesai menaklukkan negeri-negeri baru, dan keadaan
mulai stabil serta melimpah ruah rezekinya ,disinilah akal pikiran mereka mulai memfilsafatkan
agama .
3) Masalah-masalah politik

b. Faktor Extern. Faktor-faktor extern ada tiga factor penting, yaitu:

1) Sesungguhnya kebanyakan orang-orang memeluk islam sesudah kemenangannaya, semula


mereka memeluk berbagai agama, yaitu: Agama Yahudi, Kristen, Manu, Zoroaster, Brahmana,
Sabiah, Atheisme dan lain-lain.

2) Sesungguhnya golongn islam yang terdahulu terutama golongan Mu’tazilah memutuskan


perhatiannya yang terpenting adalah untuk dakwah islamiah dan bantahan alasan orang-orang
yang memusuhi islam.

3) Faktor ketiga ini merupakan kelanjutan factor yang kedua. Yaitu sesungguhnya kebutuhan
para mutakallimin terhadap filsafat itu adalah untuk mengalahkan ( mengimbangi ) musuh-
musuhnya, mendebat mereka dengan mempergunakan alasan-alasan yang sama, maka mereka
terpaksa mempelajari filsafat Yunani dalam mengambil manfaat logika, terutama dari segi
Ketuhanan. Kita mengetahui An-Nadhami ( tokoh Mu’tazilah ) mempelajari filsafat Aristoteles
dan menolak babarapa pendapatnya.

3. Perbedaan Metode Ilmu Kalam Dengan Filsafat Islam, Fiqh dan Tasawuf
Yang akan dibicarakan disini ialah perbedaan metode ilmu kalam dengan beberapa ilmu-ilmu
keislaman lainnya, yaitu: Filsafat Islam, Fiqh dan Tasawuf.

4. pengaruh sosial politik terhadap ilmu kalam atau tauhid.

Apabila memperhatikan masalah khilafah ( bentuk pemerintahan ) dengan akal pikiran


yang sehat, maka dapat disimpulkan bahwa masalah khilafah adalah soal politik belaka. Agama
tidak mengharuskan kaum muslimin mengambil bentuk Khilafah dengan sistem tertentu. Tetapi
Agama hanya memberikan ketentuan supaya memperhatikan kepentingan umum. Mengenai
khilafah Ibnu Taimiyah memandang bahwa tata politik yang lahir di Madinah setelah Nabi
Muhammad SAW wafat adalah despensasi khusus dari Allah dan menyebutnya khilafah an-
nubuwwah. Ia berpendapat bahwa kekholifahan ini juga memiliki sifat yang sui generic, yang
tidak dapat terulang kembali didalam sejarah karena Nabi telah menyatakan; Kekholifahan ini,
hanya bertahan selama tiga puluh tahun setelah itu yang ada hanyalah politik dalam pengertian
yang umum.

Memang benar bahwa kholifah-kholifah dari dinasti-dinasti Umayah, Abbasiyah dan


lain-lainnya menamakan diri mereka sebagai khulafah tetapi kaum muslimin terpaksa menerima
hal itu karena mereka mamiliki kekuatan otoritas yang nyata dan mereka adalah “ Raja-raja
kaum muslimin” dan “ Penguasa-penguasa diatas dunia “.Mereka tidak memerintah sebagai
wakil-wakil Nabi, tetapi hanya tampil sesudah beliau wafat dan melaksanakan syariah sebagai
hukum dasar Negara dengan semua upaya mereka dan oleh karena secara populer dijuluki
sebagai khulafah. Jadi menurut Ibnu Taimiyah praktek-praktek yang telah dilakukan kaum
muslimin di dalam sejarah tidak dapat di jadikan landasan filsafat politik tidak mau ada
kesalahan dengan membenarkan kekuatan politik yang actual sebagaia otoritas yang dihibahkan
oleh kholifah boneka tersebut. Karena tidak menemukan petunjuk mengenai teori teori
konstitusionsl didalam Al Qur’an, Sunnah atau dalam praktek Khulafaur-Rasyidin, maka teori
klasik mengenai kekhalifahan ditolaknya.Qur’an sendiri, sebagai kitab utama agama Islam,
menyerukan pemakaian akal pikiran dan memperhatikan alam semesta ini dengan panca indra,
dan mencela keras taqlid (ikut – ikutan), terutama dalam soal- soal kepercayaan agama. Juga al-
Qur’an banyak menyinggung dan membantah golongan-golongan atheist (dahriyyin), golongan
musyrikin, mereka yang tidak mempercayai keputusan Nabi-nabi.

Karena itu kaum muslimin sendiri harus melepaskan akal pikirannya untuk menggali isi al-
Qur’an dan Sunnah Rasul sebagai penjelas dan juru penerangnya (al-Qur’an). Pada waktu Rasul
masih hidup, apabila terdapat sesuatu kesulitan atau sesuatu yang tidak dapat dipahami, atau
diketahui, maka mereka bisa menanyakannya langsung kepada Rasul.
Setelah Rasul wafat, timbullah persoalan, siapakah yang berhak memegang khilafat (pimpinan
kaum muslimin)sesudahnya? Dengan berlalunya masa, muncullah apa yang disebut ”peristiwa
Ali r.a kontra Usman r.a. “ yang telah banyak menimbulkan persengketaan dan perdebatan
dikalangan kaum muslimin untuk di ketahui siapa yang benar dan siapa pula yang salah.

Pertama yang di perselisihkan ialah soal “Imamah” (pimpinan kaum muslimin) dan
syarat- syaratnya, serta siapa yang berhak memegangnya .Golongan syiah (pengikut Ali r.a)
memonopolikan Imamah tersebut kepada Ali r.a. dan keturunan-keturunannya, sedangkan
golongan khawarij dan Mu’tazilah meganggap, bahwa orang yang berhak memangku jabatan
Imamah ialah orang yang terbaik dan paling cakap, meskipun ia budak belian atau bukan orang
Arab (Quraisy). Dalam pada itu, menurut mayoritas kaum muslimin, yang pendapatnya moderat,
yang berhak memangku jabatan tersebut ialah orang yang paling cakap dari golongan Quraisy,
karena Rasul sendiri mengatakan : “imam-imam terdiri dari orang Quraisy “(bukan imam dalam
sholat).
Setelah terjadi pembunuhan atas diri Usman r.a (th.655 M) timbul perselisihan yang lain,
yaitu sekitar prsoalan dosa besar, apa hakekatnya dan bagaimana hukum orang yang
mengerjakannya. Apa yang di maksudkan dengan dosa besar mula-mula ialah pembunuhan
tersebut. Kelanjutannya sudah barang tentu ialah perselisihan tentang iman, apa pengertian dan
bagaimana batasanya, serta pertaliannya dengan perbuatan lahir. Perselisihan ini telah
menimbulkan golongan- golongan Khawarij, Murjiah dan kemudian lagi golongan Mu’tazilah.
D.KESIMPULAN
Adanya perbedaan-perbedaan paham antara golongan atau paham khowarij, murji’ah dan
muktajilah dalam menyikapi masalah seperti yang terjadi diatas. Akhirnya para Ulama ahli
kalam (tauhid) merasa khawatir golongan-golongan tersebut didalam menentukan hukum dan
menyikapi masalah-masalah yang terjadi, keluar dari nash yang sudah digariskan oleh al-qur’an
dan hadits, terutama yang berkaitan dengan aqidah atau kepercayaan umat islam.
Maka lahirlah ilmu kalam sebagai landasan dan acuan didalam menyikapi masalah-masalah yang
berkaitan dengan masalah-masalah aqidah (kepercayaan), sehingga tidak keluar dari ajaran dan
ketentuan-ketentuan yang telah dinashkan oleh hukum-hukum islam baik al-Qur’an maupun
Sunnah Rasulullah saw.

Keyakinan yang wajib kita pegang ialah, bahwa agama islam adalah agama
(kepercayaan) “Tauhid” (monotheisme), bukan agama yang berpecah-pecah dalam keprcayaan-
kepercayaan itu. Akal adalah pembantunya yang paling utama dan naql (al-Qur’an dan Sunnah)
adalah merupakan sendi-sendi yang paling kukuh. Dibalik itu hanyalah godaan-godaan setan
belaka dan nafsu-nafsu orang yang haus kekuasaan. Qur’an menjadi saksi bagi segala amal
perbuatan manusia dan menjadi hakim yang menghukum benar atau salahnya masing-masing
orang dalam amalnya.

You might also like