You are on page 1of 142

PRAGMATIK

 
pragmatics (n) - pragmatik - pragmatika
pragmatis (adj) : melihat sesuatu dari kegunaan
pragmatisme: aliran yang melihat sesuatu dari kegunaan

Dalam komunikasi, satu maksud atau satu fungsi dapat diungkapkan dengan berbagai
bentuk/struktur. Untuk maksud “menyuruh” orang lain, penutur dapat mengungkapkannya
dengan kalimat imperatif, kalimat deklaratif, atau bahkan dengan kalimat interogatif.
Dengan demikian, pragmatik lebih cenderung ke fungsionalisme daripada ke formalisme.
Pragmatik berbeda dengan semantik dalam hal pragmatik mengkaji maksud ujaran dengan
satuan analisisnya berupa tindak tutur (speech act), sedangkan semantik menelaah makna
satuan lingual (kata atau kalimat) dengan satuan analisisnya berupa arti atau makna.
Kajian pragmatik lebih menitikberatkan pada ilokusi dan perlokusi daripada lokusi
sebab di dalam ilokusi terdapat daya ujaran (maksud dan fungsi tuturan), perlokusi berarti
terjadi tindakan sebagai akibat dari daya ujaran tersebut. Sementara itu, di dalam lokusi
belum terlihat adanya fungsi ujaran, yang ada barulah makna kata/kalimat yang diujarkan.
Berbagai tindak tutur (TT) yang terjadi di masyarakat, baik TT representatif, direktif,
ekspresif, komisif, dan deklaratif, TT langsung dan tidak langsung, maupun TT harafiah dan
tidak harafiah, atau kombinasi dari dua/lebih TT tersebut, merupakan bahan sekaligus
fenomena yang sangat menarik untuk dikaji secara pragmatis. Misalnya, bagaimanakah TT
yang dilakukan oleh orang Jawa apabila ingin menyatakan suatu maksud tertentu, seperti
ngongkon ‘menyuruh’, nyilih ‘meminjam’, njaluk ‘meminta’, ngelem ‘memuji’, janji ‘berjanji’,
menging ‘melarang’, dan ngapura ‘memaafkan’. Pengkajian TT tersebut tentu menjadi semakin
menarik apabila peneliti mau mempertimbangkan prinsip kerja sama Grice dengan empat
maksim: kuantitas, kualitas, hubungan, dan cara; serta skala pragmatik dan derajat
kesopansantunan yang dikembangkan oleh Leech (1983).
 
Pragmatik dan Fungsi Bahasa
Bidang “pragmatik” dalam linguistik dewasa ini mulai mendapat perhatian para peneliti
dan pakar bahasa di Indonesia. Bidang ini cenderung mengkaji fungsi ujaran atau fungsi bahasa
daripada bentuk atau strukturnya. Dengan kata lain, pragmatik lebih cenderung ke
fungsionalisme daripada ke formalisme. Hal itu sesuai dengan pengertian pragmatik yang
dikemukakan oleh Levinson (1987: 5 dan 7), pragmatik adalah kajian mengenai penggunaan
bahasa atau kajian bahasa dan perspektif fungsional. Artinya, kajian ini mencoba
menjelaskan aspek-aspek struktur bahasa dengan mengacu ke pengaruh-pengaruh dan sebab-
sebab nonbahasa.
Fungsi bahasa yang paling utama adalah sebagai sarana komunikasi. Di dalam
komunikasi, satu maksud atau satu fungsi dapat dituturkan dengan berbagai bentuk tuturan.
Misalnya, seorang guru yang bermaksud menyuruh muridnya untuk mengambilkan kapur di
kantor, dia dapat memilih satu di antara tuturan-tuturan berikut:
(1)  Jupukna kapur!( kalimat imperatif)
(2)  Kene ora ana kapur.( kalimat deklaratif)
(3)  Ibu ngersakake kapur.( kalimat deklaratif)
(4)  O, jebul ora ana kapur.( kalimat deklaratif)
(5)  Ing kene ora ana kapur, ya?( kalimat interogatif)
(6)  Ngapa ora padha gelem njupuk kapur?( kalimat interogatif)
Dengan demikian untuk maksud “menyuruh” agar seseorang melakukan suatu tindakan
dapat diungkapkan dengan menggunakan kalimat imperatif seperti tuturan (1), kalimat
deklaratif seperti tuturan (2-4), atau kalimat interogatif seperti tuturan (5-6). Jadi, secara
pragmatis, kalimat berita (deklaratif) dan kalimat tanya (interogatif) di samping berfungsi untuk
memberitakan atau menanyakan sesuatu juga berfungsi untuk menyuruh (imperatif atau
direktif).
 
PRAGMATIK VS SEMANTIK
Sebelum dikemukakan batasan pragmatik kiranya perlu dijelaskan lebih dahulu
perbedaan antara pragmatik dengan semantik.
(a)  Semantik mempelajari makna, yaitu makna kata dan makna kalimat, sedangkan pragmatik
mempelajari maksud ujaran, yaitu untuk apa ujaran itu dilakukan.
(b)  Kalau semantik bertanya “Apa makna X?” maka pragmatik bertanya “Apa yang Anda
maksudkan dengan X?”
(c)  Makna di dalam semantik ditentukan oleh koteks, sedangkan makna di dalam pragmatik
ditentukan oleh konteks, yakni siapa yang berbicara, kepada siapa, di mana, bilamana,
bagaimana, dan apa fungsi ujaran itu. Berkaitan dengan perbedaan (c) ini, Kaswanti Purwo
(1990: 16) merumuskan secara singkat “semantik bersifat bebas konteks (context independent),
sedangkan pragmatik bersifat terikat konteks (context dependent)” (bandingkan Wijana, 1996:
3).
 
Definisi pragmatik:
1. cabang ilmu bahasa yang menelaah penggunaan bahasa. Satuan-satuan lingual dalam
penggunaannya.
2. studi kebahasaan yang terikat konteks.
3. studies meaning in relation to speech situation (Leech, 1983).
4. cabang ilmu bahasa yang mempelajari struktur bahasa secara eksternal, yakni
bagaimana satuan kebahasaan digunakan dalam komunikasi (Wijana, 1996: 2).
Cukup banyak kiranya batasan atau definisi mengenai pragmatik. Levinson (1987: 1-
53), misalnya, membutuhkan 53 halaman hanya untuk menerangkan apakah pragmatik itu dan
apa saja yang menjadi cakupannya. Di sini dikutipkan beberapa di antaranya yang dianggap
cukup penting.
(1)  Pragmatik adalah kajian mengenai hubungan antara tanda (lambang) dengan penafsirnya,
sedangkan semantik adalah kajian mengenai hubungan antara tanda (lambang) dengan objek
yang diacu oleh tanda tersebut.
(2)  Pragmatik adalah kajian mengenai penggunaan bahasa, sedangkan semantik adalah kajian
mengenai makna.
(3)  Pragmatik adalah kajian bahasa dan perspektif fungsional, artinya kajian ini mencoba
menjelaskan aspek-aspek struktur linguistik dengan mengacu ke pengaruh-pengaruh dan sebab-
sebab nonlinguistik.
(4)  Pragmatik adalah kajian mengenai hubungan antara bahasa dengan konteks yang menjadi
dasar dari penjelasan tentang pemahaman bahasa.
(5)  Pragmatik adalah kajian mengenai deiksis, implikatur, praanggapan, tindak tutur, dan
aspek-aspek struktur wacana.
(6)  Pragmatik adalah kajian mengenai bagaimana bahasa dipakai untuk berkomunikasi,
terutama hubungan antara kalimat dengan konteks dan situasi pemakaiannya.
            Dari beberapa definisi tersebut dapat dipahami bahwa cakupan kajian pragmatik sangat
luas sehingga sering dianggap tumpang tindih dengan kajian wacana atau kajian sosiolinguistik.
Yang jelas disepakati ialah bahwa satuan kajian pragmatik bukanlah kata atau kalimat,
melainkan tindak tutur atau tindak ujaran (speech act).
 
            Stephen C. Levinson telah mengumpulkan sejumlah batasan pragmatik yang berasal dari
berbagai sumber dan pakar, yang dapat dirangkum seperti berikut ini.
1. Pragmatik adalah telaah mengenai hubungan tanda-tanda dengan penafsir (Morris,
1938:6). Teori pragmatik menjelaskan alasan atau pemikiran para pembicara dan
penyimak dalam menyusun korelasi dalam suatu konteks sebuah tanda kalimat dengan
suatu proposisi (rencana, atau masalah). Dalam hal ini teori pragmatik merupakan
bagian dari performansi.
2. Pragmatik adalah telaah mengenai hubungan antara bahasa dan konteks yang
tergramatisasikan atau disandikan dalam struktur sesuatu bahasa.
3. Pragmatik adalah telaah mengenai segala aspek makna yang tidak tercakup dalam teori
semantik, atau dengan perkataaan lain: memperbincangkan segala aspek makna ucapan
yang tidak dapat dijelaskan secara tuntas oleh referensi langsung kepada kondisi-kondisi
kebenaran kalimat yang ciucapkan. Secara kasar dapat dirumuskan: pragmatik = makna
- kondisi-kondisi kebenaran.
4. Pragmatik adalah telaah mengenai relasi antara bahasa dan konteks yang merupakan
dasar bagi suatu catatan atau laporan pemahaman bahasa, dengan kata lain: telaah
mengenai kemampuan pemakai bahasa menghubungkan serta menyerasikan kalimat-
kalimat dan konteks-konteks secara tepat.
5. Pragmatik adalah telaah mengenai deiksis, implikatur, anggapan penutur
(presupposition), tindak ujar, dan aspek struktur wacana.

Parker (1986: 11), pragmatics is distinct from grammar, which is the study of the
internal structure of language. Pragmatics is the study of how language is used to
communicate.

Pragmatik sebenarnya merupakan bagian dari ilmu tanda atau semiotics atau semiotika.
Pemakaian istilah pragmatik (pragmatics) dipopulerkan oleh seorang filosof bernama Charles
Morris (1938), yang mempunyai perhatian besar pada ilmu pengetahuan tentang tanda-tanda,
atau semiotik (semiotics). Dalam semiotik, Morris membedakan tiga cabang yang berbeda
dalam penyelidikan, yaitu: sintaktik (syntactics) atau sintaksis (syntax) yaitu telaah tentang
relasi formal dari tanda yang satu dengan tanda yang lain (mempelajari hubungan satuan lingual
dengan satuan lingual lain: tanda dengan tanda);  semantik (semantics) yaitu telaah tentang
hubungan tanda-tanda dengan objek di mana tanda-tanda itu diterapkan (ditandainya) (atau
hubungan antara penanda dan petanda (signifiant dan signifie/yang ditandai)); dan pragmatik
yaitu telaah tentang hubungan tanda-tanda dengan penafsir (interpreters). Ketiga cabang
tersebut kemudian lebih dikenal dengan teori trikotomi.
Contoh:
Kok, sudah pulang!
Isteri: ’betul-betul terkejut’ atau ’orang itu lama sekali perginya’
Suami menafsirkan: siapa yang berbicara, kepada siapa, situasinya bagaimana?
 
L. Witgenstein (filsuf): makna adalah penggunaannya. Makna sebuah tuturan itu
penggunaannya.
 
Cabang-cabang bahasa:
Fonologi: bunyi sebagai sistem  
Morfologi: satuan gramatikal terkecil. internal atau formal
Sintaksis: frase, klausa, kalimat, wacana.
Semantik: makna (biasanya leksikal). diadik: bentuk dan makna
Pragmatik: cabang ilmu bahasa yang  
mempelajari makna satuan kebahasaan eksternal atau fungsional
yang bersifat eksternal / bagaimana triadik: bentuk, makna, dan
satuan kebahasaan itu dikomunikasikan maksud.
 
Semantik: makna linguistik (makna), bersifat internal.
Pragmatik: makna penutur (maksud), makna dalam penutur.
 
Contoh:
Sugeng enjing!
makna: menyapa
maksud: tergantung siapa yang berbicara atau maksud lain, misalnya menyindir atau memarahi.

Baik!
makna: baik, apik
maksud: bisa tidak baik, dilihat dari berbagai faktor , ada hal-hal yang tidak langsung
’indirectness atau secara tidak literal’.
 
Makna itu berubah-ubah tergantung pada konteksnya. Jadi, sebenarnya semantik sudah ada
pragmatik.
Pragmatik: bagaimana orang menafsirkan. Mempelajari bagaimana satuan lingual itu
ditafsirkan. 
Asal-usul dan perilaku historis istilah pragmatik
            Pemakaian istilah pragmatik (pragmatics) dipopulerkan oleh seorang filosof
bernama Charles Morris (1938), yang mempunyai perhatian besar pada ilmu pengetahuan
tentang tanda-tanda, atau semiotik (semiotics). Dalam semiotik, Morris membedakan tiga
cabang yang berbeda dalam penyelidikan, yaitu: sintaktik (syntactics) atau sintaksis (syntax)
yaitu telaah tentang relasi formal dari tanda yang satu dengan tanda yang lain, semantik
(semantics) yaitu telaah tentang hubungan tanda-tanda dengan objek di mana tanda-tanda itu
diterapkan (ditandainya), dan pragmatik yaitu telaah tentang hubungan tanda-tanda dengan
penafsir (interpreters). Ketiga cabang tersebut kemudian lebih dikenal dengan teori trikotomi.
            Morris memberikan contoh interjeksi seperti Oh!, Come here!, Good morning!
dipengaruhi oleh hukum pragmatik, yaitu bahwa variasi retoris dan alat puitis hanya muncul di
bawah kondisi tertentu dalam batas-batas pemakaian bahasa.
            Akhirnya pengarang menyimpulkan bahwa perbedaan pemakaian istilah pragmatik
ditimbulkan dari bagian asal-usul semantik karya Morris, yaitu suatu telaah dari sebagian besar
jajaran fenomena psikologis dan sosiologis yang mencakup sistem tanda pada umumnya atau
dalam bahasa tertentu (the Continental sense of the term); atau telaah konsep abstrak tertentu
yang membuat acuan pada pelaku (agents) (satu gagasan dari Carnap); atau studi istilah
indeksikal atau deiktis (deictis) (gagasan Montague); atau akhirnya pemakaian dalam linguistik
Anglo-American dan filsafat.
            Buku ini secara eksklusif menyangkut istilah pada gagasan yang terakhir dan
menerapkannya pada pembicaraan ini.
 
Contoh semantika:
kursi                                                               ’tempat duduk’ 
signifiant (penanda)                                        signifie (petanda)
 
Terdapat suatu prinsip:
Noam Chomsky:
Terdapat hubungan satu lawan satu antara penanda dan petanda (signifiant  dan signifie).
 
Pragmatik:
Satu tanda bisa menyatakan bermacam-macam maksud atau bermacam-macam tanda satu
maksud.
Contoh: ’menolak’ bisa dinyatakan dengan
- Ora duwe dhuwit.
- Omahku sepi kok.
 
·         Tuturan semakin panjang tuturan semakin sopan, semakin pendek tidak sopan.
o        Contoh: Lunga! (tidak sopan) dan Lungaa! (lebih sopan)
·         Semakin langsung semakin tidak sopan, semakin tidak langsung semakin sopan.
(Contoh: Nyilih sepedha motore (tidak sopan) dan Menawa pareng, aku nyilih sepedha motore
(lebih sopan)).
 
Obyek data pragmatik itu konkrit, jelas, karena:
-          jelas kapan bahasa itu digunakan
-          siapa yang berbicara
-          kepada siapa.
J.W.M. Verhaar (Pengantar Lingguistik Umum):
- Makna          : ada pada satuan lingual (internal)
- Maksud        : ada pada penutur (eksternal)
- Informasi     : isi tuturan (internal)
 
Dia membeli buku
makna: ‘aktif’ dan ‘pasif’
Buku dibelinya
 
Makna yang abstrak, yang tidak jelas siapa penuturnya tidak jelas.
Makna kongkrit: makna tuturan.
 
Berkenaan dengan data:
Data kalimat : sentence.
Data pragmatik: utterance (kalimat + konteks). Obyek data primer adalah bahasa lisan. Bahasa
tulis juga bisa asalkan mampu merekonstruksi tuturan yang sebenarnya.
 
Sosiolinguistik: berkaitan dengan variasi bahasa.
1. Dia pergi ke Surabaya. Ayahnya sakit. —-> terkait dengan wacana.
2. + Piye bijimu
- Entuk 4                    wacana pragmatik
+ Apik!
 
Menurut Halliday (pakar Functional Grammar):
1.      Field (medan): siapa berbicara kepada siapa.
2.      Tenor (pelibat): misalnya, ayah dengan anak.
3.      Mode (bentuk bahasa): strategi memilih yang mana)
 
Pragmatik: retorika, bagaimana strateginya.
 
Widowson:
1.            Kalimat (sentence)     - minus konteks.
2.            Tuturan (utterance)   - plus konteks.
3.            Teks (texs)                   - di atas kalimat minus konteks.
4.            Wacana (discourse)   - di atas kalimat plus konteks.
 
Wacana: mengandung amanat yang lengkap.
Contoh:
Sugeng rawuh.
Lunga!                                    Wacana.
 
Jadi, wacana tidak selalu di atas kalimat.
 
Arep?                                                                         teks tidak jelas konteksnya, Kopi bisa
marahi saya melek terus.                         menolak atau menerima.
 
Neng ngendi sabune?                     - kalimat tanya.
 
 

TUTURAN PERFORMATIF DAN TUTURAN KONSTATIF


 
 
Pustaka:
 
Austin, J.L. 1962. How to Do Things with Words. (ed. J.O. Urmson). New York: Oxford
University Press.
Harimurti Kridalaksana. 1984. Kamus Linguistik. Jakarta: PT Gramedia.
Leech, Geoffrey. (Terjemahan M.D.D. Oka). 1993. Prinsip-prinsip Pragmatik. Jakarta:
Universitas Indonesia.
Richards, Jack dkk. 1989. Longman Dictionary of Applied Linguistics. Longman: Longman
Group UK Limited.
Searle, John. 1969. Speech Acts. Cambridge: Cambridge University Press.
 
 
Tuturan (utterance, oleh Kridalaksana disebut dengan istilah ujaran): (1) regangan wicara
bermakna di antara dua kesenyapan aktual atau potensial, (2) kalimat atau bagian kalimat yang
dilisankan (Kridalaksana, 1984: 2001).
Intinya: bahasa pada umumnya sebagai alat komunikasi, tetapi sebenarnya ada tindakan tertentu
yang baru dapat terlaksana kalau orang itu mengemukakan tuturan/bahasa. Dengan demikian
bahasa bukan semata-mata alat untuk menyatakan sesuatu tetapi juga melakukan sesuatu.
Filosof J.L. Austin membedakan antara tuturan performatif (performativei) dan konstatif
(constative).
 
Definisi:
Tuturan performatif (performative utterance): tuturan yang memperlihatkan bahwa suatu
perbuatan telah diselesaikan pembicara dan bahwa dengan mengungkapkannya berarti
perbuatan itu diselesaikan pada saat itu juga; misalnya: dalam ujaran Saya mengucapkan terima
kasih, pembicara mengujarkannya dan sekaligus menyelesaikan perbuatan “mengucapkan”
(Kridalaksana, 1984: 2001). Performative (in speech act theory): an utterance which performs
an act, such as Watch out (=a warning), I promise not to be late (= a promise). ((Richards dkk.,
1989: 212). Secara ringkas dikatakan pula bahwa tuturan performatif adalah tuturan untuk
melakukan sesuatu (perform the action).
Tuturan performatif  tidak dievaluasi sebagai benar atau salah, tetapi sebagai tepat atau tidak
tepat, misalnya: I promise that I shall be there (Saya berjanji bahwa saya akan hadir di sana)
dan performatif primer atau tuturan primer I shall be there (Saya akan hadir di sana) (Geoffrey
Leech (terjemahan), 1993: 280).
 
Contoh lain:
1.     Saya berterima kasih atas kebaikan Saudara. (Tindakan berterima kasih: the act of
thanking)
2.     Saya mohon maaf atas keterlambatan saya. (Tindakan mohon maaf: the act of
apologizing).
3.     Saya namakan anak saya Parikesit. (Tindakan memberi nama: the act of naming).
4.     Saya bertaruh Mike Tyson pasti menang. (Tindakan bertaruh: the act of betting).
5.     Saya nyatakan Anda berua suami-isteri. (Tindakan menyatakan/menikahkan: the act of
marrying).
6.     Saya serahkan semua harta saya kepada anak saya. (Tindakan menyerahkan: the act of
bequeting).
7.     Saya akan pergi sekarang. (Tindakan pergi: the act of going).
 
Ciri-ciri tindakan performatif
§         Subyek harus orang pertama, bukan orang kedua atau ketiga.
§         Tindakan sedang/akan dilakukan
Kalau dalam bahasa Inggris, subjek orang pertama dan kala-nya present tense.
Austin dalam menentukan ciri-ciri tuturan performatif ini hanya melihat aspek gramatikalnya
saja. Akhirnya direvisi (dilengkapi) oleh murid-muridnya, yaitu dengan adanya syarat-syarat
lainnya yang disebut syarat tuturan performatif (felicity condition). Syarat-syarat itu antara lain:
1.       Orang yang menyatakan tuturan dan tempatnya harus sesuai atau cocok. Misalnya: Saya
nyatakan Anda berdua suami-isteri. Penuturnya adalah penghulu (naib), pendeta, rama, 
tempatnya di KUA, Gereja, Pura, Masjid,  objeknya 2 orang (berdua).
2.       Tindakan harus dilakukan secara sungguh-sungguholeh penutur. Misalnya: Saya mohon
maaf atas kesalahan saya. Harus diucapkan sungguh-sungguh, tidak dengan tindakan
menginjak kaki mitra tutur-nya.
 
Syarat itu juga belum cukup, kemudian diperbaharui lagi oleh John Searle, sebagai berikut.
1.       Penutur harus memiliki niat yang sungguh-sungguh dalam mengemukakan tuturannya.
Misalnya: Saya berjanji akan setia padamu. (the act of promising).
2.       Penutur harus yakin bahwa ia mampu melakukan tindakan itu. atau mampu melakukan
apa yang dinyatakan dalam tuturannya. Misalnya: Sesuk kowe tak-tukokke sepur (yakin tidak,
kalau tidak berarti bukan tuturan performatif).
3.       Tuturan harus mempredikasi tindakan yan g akan dilakukan, bukan yang telah dilakukan.
Misalnya: Saya berjanji akan setia.
4.       Tuturan harus mempredikasi tindakan yang akan dilakukan oleh penutur, bukan oleh
orang lain. Misalnya: Saya berjanji bahwa saya akan selalu datang tepat waktu.
5.       Tindakan harus dilakukan secara sungguh-sungguh oleh kedua belah pihak. Misalnya:
Aku njaluk pangapura marang sliramu, tumindakku kang ora ndadekake renaning
penggalihmu. (Orang perta dan kedua melakukan tindakan secara sungguh-sungguh).
Kalau tuturan tidak memenuhi kelima syarat tersebut, maka tuturan itu dikatakan tidak valid
(infelicition).
 
Tuturan konstatif atau deskriptif (constative utterance): tuturan yang dipergunakan untuk
menggambarkan atau memerikan peristiwa, proses, keadaan, dsb. dan sifatnya betul atau tidak
betul (Kridalaksana, 1984: 2001)., atau Austin mengatakan bahwa tuturan konstatif dapat
dievaluasi dari segi benar-salah (Geoffrey Leech (terjemahan), 1993: 316).
Misalnya:
1.       Ali pergi ke Jakarta
2.       Saya tidur di hotel.
 
A constative is an utterance which assert something that is either true or false; for example,
Chicago is in the United States (Richards dkk., 1989: 212-213).

TINDAK TUTUR
(Speech Act)
 
A. Pengertian
           
            Tindak tutur (istilah Kridalaksana ‘pertuturan’ / speech act, speech event): pengujaran
kalimat untuk menyatakan agar suatu maksud dari pembicara diketahui pendengar
(Kridalaksana, 1984: 154)
Speech act: an utterance as a functional unit in communication (Richards et al, 1989: 265). Di
dalam mengatakan suatu kalimat, seseorang tidak semata-mata mengatakan sesuatu dengan
pengucapan kalimat itu. Di dalam pengucapan kalimat ia juga “menindakkan” sesuatu. Dengan
pengucapan kalimat Arep ngombe apa? si pembicara tidak semata-mata menanyakan atau
meminta jawaban tertentu; ia juga menindakkan sesuatu, yakni menawarkan minuman. Seorang
ibu rumah pondokan putri, mengatakan Sampun jam sanga ia tidak semata-mata memberi tahu
keadaan jam pada waktu itu; ia juga menindakkan sesuatu, yaitu memerintahkan si mitratutur
supaya pergi meninggalkan rumah pondokannya.
Hal-hal apa sajakah yang dapat ditindakkan di dalam berbicara? Ada cukup banyak; antara lain,
permintaan (requests), pemberian izin (permissons), tawaran (offers), ajakan (invitation),
penerimaan akan tawaran (acceptation of offers)
 
B. TINDAK TUTUR DAN JENIS-JENISNYA
Tindak tutur (selanjutnya TT) atau tindak ujaran (speech act) mempunyai kedudukan yang
sangat penting dalam pragmatik karena TT adalah satuan analisisnya. Uraian berikut
memaparkan klasifikasi dari berbagai jenis TT.
 

3.1 Lokusi, Ilokusi, dan Perlokusi


Austin (1962) dalam How to do Things with Words mengemukakan bahwa mengujarkan sebuah
kalimat tertentu dapat dipandang sebagai melakukan tindakan (act), di samping memang
mengucapkan kalimat tersebut. Ia membedakan tiga jenis tindakan yang berkaitan dengan
ujaran, yaitu lokusi, ilokusi, dan perlokusi.
            Lokusi adalah semata-mata tindak berbicara, yaitu tindak mengucapkan sesuatu dengan
kata dan kalimat sesuai dengan makna kata itu (di dalam kamus) dan makna kalimat itu sesuai
dengan kaidah sintaksisnya. Di sini maksud atau fungsi ujaran itu belum menjadi perhatian.
Jadi, apabila seorang penutur (selanjutnya disingkat P) Jawa mengujarkan “Aku ngelak” dalam
tindak lokusi kita akan mengartikan “aku” sebagai ‘pronomina persona tunggal’ (yaitu si P) dan
“ngelak” mengacu ke ‘tenggorokan kering dan perlu dibasahi’, tanpa bermaksud untuk minta
minum.
            Ilokusi adalah tindak melakukan sesuatu. Di sini kita mulai berbicara tentang maksud
dan fungsi atau daya ujaran yang bersangkutan, untuk apa ujaran itu dilakukan. Jadi, “Aku
ngelak” yang diujarkan oleh P dengan maksud ‘minta minum’ adalah sebuah tindak ilokusi.
            Perlokusi mengacu ke efek yang ditimbulkan oleh ujaran yang dihasilkan oleh P.
Secara singkat, perlokusi adalah efek dari TT itu bagi mitra-tutur (selanjutnya MT). Jadi, jika
MT melakukan tindakan mengambilkan air minum untuk P sebagai akibat dari TT itu maka di
sini dapat dikatakan terjadi tindak perlokusi.
 
3.2 TT Representatif, Direktif, Ekspresif, Komisif, dan Deklaratif
Searle (1975) mengembangkan teori TT dan membaginya menjadi lima jenis TT (dalam
Ibrahim, 1993: 11-54). Kelima TT itu sebagai berikut:
(1)  TT representatif yaitu TT yang mengikat P-nya kepada kebenaran atas apa yang
dikatakannya, misalnya menyatakan, melaporkan, menunjukkan, dan menyebutkan.
(2)  TT direktif yaitu TT yang dilakukan P-nya dengan maksud agar si pendengar atau MT
melakukan tindakan yang disebutkan di dalam ujaran itu, misalnya menyuruh, memohon,
menuntut, menyarankan, dan menantang.
(3)  TT ekspresif ialah TT yang dilakukan dengan maksud agar ujarannya diartikan sebagai
evaluasi mengenai hal yang disebutkan di dalam ujaran itu, misalnya memuji, mengucapkan
terima kasih, mengritik, dan mengeluh.
(4)  TT komisif adalah TT yang mengikat P-nya untuk melaksanakan apa yang disebutkan di
dalam ujarannya, misalnya berjanji dan bersumpah.
(5)  TT deklaratif merupakan TT yang dilakukan P dengan maksud untuk menciptakan hal
(status, keadaan, dan sebagainya) yang baru, misalnya memutuskan, membatalkan, melarang,
mengizinkan, dan memberi maaf.
 
            Pada bagian terdahulu telah disinggung bahwa di dalam komunikasi satu fungsi dapat
dinyatakan atau diutarakan melalui berbagai bentuk ujaran. Untuk maksud atau fungsi

“menyuruh”, misalnya, menurut Blum-Kulka (1987) (lihat Gunarwan, 1993: dapat


diungkapkan dengan menggunakan berbagai ujaran sebagai berikut.
 
(1)  Kalimat bermodus imperatif      :  Pindhahen meja iki!
(2)  Performatif eksplisit                   :  Dakjaluk sliramu mindhahke meja iki!
(3)  Performatif berpagar                 :  Aku jan-jane arep njaluk tulung sliramu mindhahke meja
iki.
(4)  Pernyataan keharusan               :  Sliramu kudu mindhahke meja iki!
(5)  Pernyataan keinginan                :  Aku kepengin meja iki dipindhah.
(6)  Rumusan saran                            :  Piye yen meja iki dipindhah?
(7)  Persiapan pertanyaan                :  Kowe bisa mindhah meja iki?
(8)  Isyarat kuat                                  :  Yen meja iki ana ing kene, kamar iki katon rupek.
(9)  Isyarat halus                                 :  Kamar iki kok katone sesak ngono ya?
 
3.3 TT Langsung vs TT Tidak Langsung
Dari sembilan bentuk ujaran tersebut diperoleh sembilan TT yang berbeda-beda derajat
kelangsungannya dalam menyampaikan maksud ‘menyuruh memindahkan meja’ itu. Hal ini
berkaitan dengan tindak tutur langsung (TT-L) dan tindak tutur tidak langsung (TT-TL).
Derajat kelangsungan TT dapat diukur berdasarkan “jarak tempuh” antara titik ilokusi ( di
benak P) ke titik tujuan ilokusi (di benak MT). Derajat kelangsungan dapat pula diukur
berdasarkan kejelasan pragmatisnya: makin jelas maksud ujaran makin langsunglah ujaran itu,
dan sebaliknya. Dari kesembilan bentuk ujaran tersebut, yang paling samar-samar maksudnya
ialah bentuk ujaran (9), berupa isyarat halus. Karena kata “meja” sama sekali tidak disebutkan
oleh P dalam ujaran (9), maka MT harus mencari-cari konteks yang relevan untuk dapat
menangkap maksud P.
            Selain TT-L dan TT-TL, P dapat juga menggunakan tindak tutur harafiah (TT-H) atau
tindak tutur tidak harafiah (TT-TH) di dalam mengutarakan maksudnya. Jika kedua hal itu,
kelangsungan dan keharafiahan ujaran, digabungkan maka akan didapatkan empat macam
ujaran, yaitu:
(1)  TT-LH         :  “Buka mulut”, misalnya diucapkan oleh dokter gigi kepada pasiennya.
(2)  TT-LTH       :  “Tutup mulut”, misalnya diucapkan oleh seseorang yang jengkel kepada
MT-nya yang selalu “cerewet”.
(3)  TT-TLH       :  “Bagaimana kalau mulutnya dibuka?”, misalnya diucapkan oleh dokter gigi
kepada pasien yang masih kecil agar anak itu tidak takut.
(4)  TT-TLTH     :  “Untuk menjaga rahasia, lebih baik jika kita semua sepakat menutup mulut
kita masing-masing”, misalnya diucapkan oleh P yang mengajak MT-nya untuk tidak membuka
rahasia.
 
            Dengan demikian, secara ringkas, berdasarkan uraian dan contoh-contoh di atas dapat
dicatat ada delapan TT sebagai berikut (bandingkan Wijana, 1996: 36).
(1)  Tindak tutur langsung (TT-L)
(2)  Tindak tutur tidak langsung (TT-TL)
(3)  Tindak tutur harafiah (TT-H)
(4)  Tindak tutur tidak harafiah (TT-TH)
(5)  Tindak tutur langsung harafiah (TT-LH)
(6)  Tindak tutur tidak langsung harafiah (TT-TLH)
(7)  Tindak tutur langsung tidak harafiah (TT-LTH)\
(8)  Tindak tutur tidak langsung tidak harafiah (TT-TLTH)
Apabila seseorang menggunakan bahasa, maka ada 3 jenis tindakan atau tindak tutur
(selanjutnya disingkat TT), yaitu lokusi, ilokusi, dan perlokusi. Hal ini sejalan dengan pendapat
Austin (1962) yang melihat adanya tiga jenis tindak ujar, yaitu tindak lokusi (melakukan
tindakan mengatakan sesuatu), tindak ilokusi (melakukan tidakan dalam mengatakan sesuatu),
dan tindak perlokusi (melakukan tindakan dengan mengatakan sesuatu). Misalnya:
 
n mengatakan kepada t bahwa X.
(merupakan tindak mengatakan sesuatu: menghasilkan
1. Lokusi serangkaian bunyi yang berarti sesuatu. Ini merupakan aspek
bahasa yang merupakan pokok penekanan linguistik
tradisional).
Dalam mengatakan X, n menegaskan (asserts) bahwa P.
(Dilakukan dengan mengatakan sesuatu, dan mencakup
tindak-tindak seperti bertaruh, berjanji, menolak, dan
2. Ilokusi memesan. Sebagian verba yang digunakan untuk melabel
tindak ilokusi bisa digunakan secara performatif. Dengan
demikian mengatakan Saya menolak bahwa X sama halnya
menolak bahwa X.)
Dengan mengatakan X, n meyakinkan (convinces) t bahwa
P.
(Menghasilkan efek tertentu pada pendengar. Persuasi
3. Perlokusi merupakan tindak perlokusi: orang tidak dapat mempersuai
seseorang tentang sesuatu hanya dengan mengatakan Saya
mempersuasi anda. Contoh-contoh yang sesuai adalah
meyakinkan, melukai, menakut-nakuti, dan membuat tertawa)
 
Perbedaan kekuatan antara perlokusi dan ilokusi tidak selalu jelas. Misalnya, suruhan (request)
memiliki kekuatan esensial untuk membuat pendengar melakukan sesuatu. Kesulitan dalam
definisi ini muncul dari urutan tindakan yang banyak diabaikan oleh teori tindak tutur.
Kesulitan itu juga muncul dari dasar definisi maksud penutur, yang merupakan keadaan
psikologis yang tidak bisa diobservasi (lihat Abd. Syukur Ibrahim, 1993: 115).
 
1. TT lokusi:  Austin, perbuatan bertutur, hal mengungkapkan sesuatu atau menyatakan
sesuatu (locutionary speech act).
Misalnya: Dia sakit.
                        Kaki manusia dua.
                        Pohon punya daun.
     Wacana-wacana ilmiah yang tidak menekankan emosi termasuk TT lokusi. TT ini sangat
sedikit peranannya dalam pragmatik.
 
2. TT ilokusi: Austin, Searle, perbuatan yang dilakukan dalam mengujarkan sesuatu atau
melakukan sesuatu, mis. memperingatkan, bertanya (illocutionary speech act).
     Misalnya: Saya berjanji.
                        Ibunya di rumah! (bisa bermaksud melarang datang menemui anaknya)
                        Bapaknya galak! (bisa melarang jangan ke sana)
                        Saya tidak dapat datang. (minta maaf)
                        Kula nyuwun sekilo. (membeli)
                        Temboknya dicat! (jangan dekat tembok itu)
                        Adoh lho le! (jangan ke sana)
3. TT perlokusi: Austin, Searle, perbuatan yang dilakukan dengan mengujarkan sesuatu,
membuat orang lain percaya akan sesuatu dengan mendesak orang lain untuk berbuat sesuatu,
dll. atau mempengaruhi orang lain (perlocutionary speech act)
     Misalnya:  Tempat itu jauh.
 
Tempat itu jauh
Lokusi Lokusi Perlokusi
Tempat itu jauh. Tempat itu jauh. Tempat itu jauh.
mengandung pesan. metapesan ‘Jangan pergi ke metapesan (Dalam
sana!’ pikiran mitratutur ada
keputusan) “Saya tidak
akan pergi ke sana.”
 
 
C. Tindak tutur langsung-tidak langsung dan literal-tidak literal
 
            Berdasarkan isi kalimat atau tuturannya, kalimat dapat dibedakan menjadi 3 macam,
yaitu kalimat berita (deklaratif), kalimat tanya (interogatif), dan kalimat perintah (imperatif).
 
Berita Tanya Perintah
Adiknya sakit. Di mana handuk saya? Pergi!
Informasi ya, tidak (apa, intonasi) larangan, ajakan, dan
informasi (apa, siapa, di perintah biasa
mana, kapan, ke mana,
untuk apa, dsb.)
TT langsung (direct TT langsung (direct TT langsung (direct
speech) speech) speech)
 
Berdasarkan mudusnya, kalimat atau tuturan dapat dibedakan menjadi tuturan langsung dan
tutran tidak langsung. Misalnya:
[Tuturan langsung]
A: Minta uang untuk membeli gula!
B: Ini.
 
[Tuturan tidak langsung]
A: Gulanya habis, nyah.
B: Ini uangnya. Beli sana!
 
Kadang-kadang secara pragmatis kalimat berita dan tanya digunakan untuk memerintah,
sehingga merupakan TT tidak langsung (indirect speech). Hal ini merupakan sesuatu yang
penting dalam kajian pragmatik. Misalnya:
 
1. Rumahnya jauh. (ada maksud: jangan pergi ke sana).
2. Adiknya sakit. (ada maksud: jangan ribut atau tengoklah!)
 
Berdasarkan keliteralannya, tuturan dapat dibedakan menjadi tuturan literal dan tuturan tidal
literal.
1. Tuturan literal: tuturan yang sesuai dengan maksud atau modusnya. Misalnya, Buka
mulutnya! (makna lugas: buka).
2. Tuturan tidak literal: tuturan yang tidak sesuai dengan maksud dalam tulisan/tuturan.
Misalnya, Buka mulutnya! (makna tidak lugas: tutup). Hal ini disebut juga ‘nglulu’
 
Dalan bahasa kadang-kadang terjadi, yang bagus dikatakan jelek (hal ini disebut banter
[bEnte]), yang jelek dikatakan bagus (disebut ‘ironi’).
 
Masing-masing tindak tutur (langsung, tidak langsung, literal, dan tidak literal) apabila
disinggungkan (diinterseksikan) dapat dibedakan menjadi 8 macam seperti sebagai berikut.
1. TT langsung
2. TT tidak langsung
3. TT literal
4. TT tidak literal
5. TT langsung literal
6. TT tidak langsung literal
7. TT langsung tidak literal
8. TT tidak langsung tidak literal
 
Misalnya, kalimat Radione kurang banter.
 
1. TT langsung betul-betul kurang keras.
2. TT tidak langsung keraskan radionya!
3. TT literal betul-betul kurang keras.
4. TT tidak literal suara radionya keras
sekali.
Radione kurang
5. TT langsung literal betul-betul kurang keras
6. TT tidak langsung literal banter. keraskan radionya!
7. TT langsung tidak literal suara radionya keras
sekali.
8. TT tidak langsung tidak matikan!
literal
 
 
 
 
 
 
 
 
PRINSIP KERJA SAMA
(Cooperative Principle)
 
Sebelum belajar tentang ‘prinsip kerja sama’, kita perlu belajar tentang ‘asumsi pragmatik’.
            Kalau orang berbicara kepada orang lain pasti ingin mengemukakan sesuatu.
Selanjutnya orang lain diharapkan menangkap apa (hal) yang dikemukakan. Dengan adanya 2
tujuan ini, maka orang akan berbicara sejelas mungkin, tidak berbelit-belit, ringkas, tidak
berlebihan, berbicara secara wajar (termasuk volume suara yang wajar).
            Hanya saja dalam pragmatik terdapat penyimpangan-penyimpangan, ada maksud-
maksud tertentu, tetapi ia harus bertanggung jawab atas penyimpangan itu, sehingga orang lain
bisa mengetahui maksudnya. Mereka harus bekerja sama.
            Contoh:
            kikir                            : q2r
            berdua satu tujuan  : ber-217-an
            tekate dhewe                        : TKTDW
            kutujukan                  : ku√49kan
            wawan                       : wa-one
            prawan ayu               : pra one are you
            kian maju                   : q-an maju
            lali main                     : la5in
            dik daniel                   : dick&niel
            kaki lima                    : kq lima
            thank before             : thx b4
            aku                             : aq
            kamu                          : u
sama-sama               : =
yang                           : y9
sayang                       : sy9
anti gadis                   : an3dis
dan                             : n
 
 
Di dalam berkomunikasi, antara P dengan MT harus saling menjaga prinsip kerja sama
(cooperative principle) agar proses komunikasi berjalan dengan lancar. Tanpa adanya prinsip
kerja sama komunikasi akan terganggu. Prinsip kerja sama ini terealisasi dalam berbagai kaidah
percakapan. Secara lebih rinci, Grice menjabarkan prinsip kerja sama itu menjadi empat
maksim percakapan (periksa Gunarwan, 1993: 11; Lubis, 1993: 73; dan bandingkan pula
Wijana, 1996: 46-53). Keempat maksim percakapan itu ialah sebagai berikut.
 
(1)  Maksim kuantitas:
a.  Berikan informasi Anda secukupnya atau sejumlah yang diperlukan oleh MT.
b.  Bicaralah seperlunya saja, jangan mengatakan sesuatu yang tidak perlu.
 
(2)  Maksim kualitas:
a.  Katakanlah hal yang sebenarnya.
b.  Jangan katakan sesuatu yang Anda tahu bahwa sesuatu itu tidak benar.
c.  Jangan katakan sesuatu tanpa bukti yang cukup.
 
(3)  Maksim relevansi:
a.  Katakan yang relevan.
b.  Bicaralah sesuai dengan permasalahan.
 
(4)  Maksim cara:
a.  Katakan dengan jelas.
b.  Hindari kekaburanan ujaran.
c.  Hindari ketaksaan.
d.  Bicaralah secara singkat, tidak bertele-tele.
e.  Berkatalah secara sistematis.
 
            Kenyataan membuktikan, di dalam percakapan sehari-hari tidak jarang kita temukan
praktik-praktik pelanggaran terhadap maksim-maksim Grice tersebut. Akan tetapi, bagi
pengamat pragmatik, justeru pelanggaran-pelanggaran itulah yang menarik untuk dikaji:
mengapa P melakukan pelanggaran terhadap maksim tertentu, ada maksud apa di balik
pelanggaran maksim tersebut? Misalnya, mengapa P yang bermaksud meminjam uang atau
memerlukan bantuan kepada MT biasanya diawali dengan menceritakan secara panjang lebar
keadaan dirinya seraya disertai dengan janji-janji? Apakah itu berlaku secara universal?
Bukankah tindakan tersebut melanggar maksim kuantitas?
            Pada hemat saya, di antara empat maksim itu, maksim ketiga atau maksim relevansilah
yang paling penting sebab betapa pun informasi yang kita sampaikan itu cukup serta
disampaikan dengan cara yang jelas, sistematis, dan tidak ambigu, kalau informasi itu tidak
relevan dengan permasalahan toh tidak akan membawa manfaat. Sejauh mana asumsi ini benar
juga masih memerlukan pengkajian secara pragmatis.
 
 
            Asumsi pragmatik ini merupakan titik acuan (point of reference). Untuk memenuhi
komunikasi secara wajar dan terjadi kerja sama yang baik, maka dalam komunikasi harus
memenuhi prinsip (maksim). Dalam pragmatik dikontrol oleh maksim (principle controlled),
sedangkan dalam gramatika/ tatabahasa diatur oleh kaidah (rule governed).
            Terdapat beberapa asumsi pragmatik, yaitu:
 
1. Maksim kuantitas
            Berbicara sejumlah yang dibutuhkan oleh pendengar. Kalau lebih berarti ada tujuannya.
Misalnya: Ibu kota Provinsi Jawa Timur Surabaya. (Secara kuantitas cukup jelas). Ibu kota
Provinsi Jawa Timur Sura …… Tuturan ini disampaikan oleh guru, lalu murid menjawab …..
baya.
 
2. Maksim kualitas
            Prinsip yang menghendaki orang-orang berbicara berdasarkan bukti-bukti yang
memadai. Misalnya: Buku itu dibuat dari kertas. Bukti cukup memadai, tetapi apabila ada
tuturan *Buku itu dibuat dari nasi, bukti tidak memadai. Dalam kaitannya dengan maksim
kualitas, terdapat penyimpangan maksim, misalnya Modal saja tidak bisa dan Untung saja
tidak dapat.
 
3. Maksim relevansi
          Penutur dan mitra tutur berbicara secara relevan berdasarkan konteks pembicaraan.
            Misalnya:
            A         : Ini jam berapa?
            B         : Ini jam 3.
Akan menjadi tidak relevan misalnya apabila B menjawab Ini baju kamu atau Di sana.
 
4. Maksim cara
          Tuturan harus dikomunikasikan secara wajar, tidak boleh ambigu (taksa), tidak terbalik
(harus runtut).
            Misalnya:
            A         : Dia penyanyi solo.
            B         : Benar, dia sering tampil di TVRI.
            Tetapi kadang-kadang dalam tuturan yang wajar terjadi dis-ambiguasi
(pengawaambiguan), sehingga kata-kata yang ambigu itu hanya satu makna.
            Misalnya:
            A         : Kamu penjahat kelas kakap, ya?
            B         : Bukan, mujair.
 
            A         : Ini Tanah Abang, ya?
            B         : Jangan menghina, masak saya miskin seperti ini punya tanah.
 
Keempat prinsip tersebut di atas termasuk pada jenis ‘retorika tekstual’ sebab dalam pragmatik
dikenal adanya retorika tekstual dan retorika interpersonal.
            Retorika tekstual harus memenuhi 4 prinsip (maksim) kerja sama, yaitu maksim
kuantitas, maksim kualitas, maksim relevansi, dan maksim cara. Sedangkan retorika
interpersonal harus memperhitungkan orang lain. Jadi tidak hanya bersifat tekstual.
            Retorika interpersonal membutuhkan prinsip kesopanan (politeness principle). Ada 6
macam prinsip agar memenuhi prinsip kesopanan.
 
            Sebelum sampai pada prinsip kesopanan, perlu mengingat kembali dari adanya kategori
sintaktik yang terdiri dari berita, tanya, dan perintah. Dalam kategori pragmatik didasarkan
pada fungsi komunikatifnya. Yang diperhatikan adalah tuturan. Dalam kaitannya dengan
kategori pragmatik ini ada tuturan komisif, tuturan impositif (direktif), tuturan asertif, tuturan
ekspresif.
1. Tuturan komisif: berjanji, menawarkan. Misalnya:
Saya akan datang.
Boleh saya bawakan?
Saya akan setia.
Swear.
2. Tuturan impositif (direktif): menyuruh, memerintah, memohon. Misalnya:
            Apakah Anda bisa menolong saya.
          Saya akan datang
            (ada efek yang lain untuk memerintah)
3. Tuturan asertif: menyatakan sesuatu (objektif). Misalnya:
            Bali terletak di sebelah timur Pulau Jawa.
          Fakultas Sastra dan Seni Rupa UNS memiliki 8 jurusan.
4. Tuturan ekspresif: menyatakan perasaan (emosi). Misalnya:
          Gedung itu indah sekali.
          Gadis itu cantik sekali.
Kadang-kadang sulit dibedakan antara tuturan asertif dengan ekspresif.
 
Selanjutnya agar memenuhi prinsip (maksim) kesopanan, berikut ini inti 6 prinsip kesopanan
menurut Leech.
 
1. Maksim kebijaksanaan/kedermawanan, tact maxim. Ditujukan pada orang lain (other
centred maxim). Jenis maksim ini untuk berjanji dan menawarkan (impositif, komisif).
     = memaksimalkan keuntungan orang lain, meminimalkan kerugian orang lain.
     Misalnya:
     Ada yang bisa saya bantu?
     A     : Mari saya bawakan!
     B     : Tidak usah.
 
     Tuturan A dan B disebut pragmatik paradoks.
 
2. Maksim penerimaan (approbation maxim). Ditujukan pada diri sendiri, bukan pada orang
lain (self centred maxim). Maksim penerimaan ini ditujukan untuk menawarkan dan berjanji.
     = memaksimalkan kerugian diri sendiri, meminimalkan keuntungan diri sendiri.
     Misalnya:
    Bolehkah saya bantu?
    Mari saya bantu.
    Apakah Anda bersedia membawakan?
    Bawakan ini! (tidak sopan)
    Mari saya antarkan!
    Tolong saya dihantarkan!
 
3. Maksim kemurahhatian (generosity maxim). Pusatnya orang lain (other centred maxim)
Maksim ini ditujukan untuk kategori asertif dan ekspresif.
     = memaksimalkan rasa hormat pada orang lain, meminimalkan rasa tidak hormat  pada
orang lain.
     Misalnya:
    Omahmu jane apik, ning emane cedhak pabrik.
    Pekarangane jembar, nanging emane akeh sukete.
 
 4. Maksim kerendahhatian (modesty maxim). Pusatnya pada diri sendiri (self centred maxim).
     = meminimalkan rasa hormat pada diri sendiri dan memaksimalkan rasa tidak hormat pada
diri sendiri.
     Misalnya:
     A     : Kau sangat pandai.
     B     : Ah tidak, biasa-biasa saja.
 
     A     : Mobilnya bagus!
     B     : Ah, begini saja kok bagus.
 
5. Maksim kesetujuan atau kecocokan (agreement maxim). Pusatnya pada orang lain (other
centred maxim). Ditujukan untuk menyatakan pendapat dan ekspresif.
     = memaksimalkan kesetujuan pada orang lain dan meminimalkan ketidaksetujuan pada
orang lain.
     Misalnya:
     A     : Omah kuwi apik.
     B     : Iya, apik banget.
 
     A     : Omah kuwi apik banget.
     B     : Wah elek banget ngono kok.
     (Ketidaksetujuan total / tidak sopan)
 
     A     : Wah, ayu banget ya dheweke?
     B     : Iya, ning rada …. (kera).
     (Ketidaksetujuan parsial / sopan)
 
6. Maksim kesimpatian (symphaty maxim). Pusatnya orang lain (other centred maxim).
Ditujukan untuk menyatakan asertif dan ekspresif.
     = memaksimalkan simpati pada orang lain dan meminimalkan antipati pada orang lain.
     Misalnya:
     A     : Saya lolos di UMPTN, Jon.
     B     : Selamat, ya.
 
     A     : Baru-baru ini dia telah meninggal.
     B     : Oh, saya turut berduka cita.

Pragmatik
Mengapa Pragmatik Perlu Dipelajari dalam Program Studi Linguistik?

1. Pendahuluan
Dalam jangka yang cukup lama, seperti diungkap oleh Yule (1996: 6), studi bahasa sangat
dikuasai oleh kecenderungan untuk menjelaskan bahasa berdasarkan sistem formalnya, yaitu
dengan menurunkan sistem yang terdapat dalam matematika dan logika, dan mengabaikan
unsur pengguna bahasa. Sebagai tataran terbaru dalam linguistik, Pragmatik merupakan satu-
satunya tataran yang turut memperhitungkan manusia sebagai pengguna bahasa. Meskipun
memiliki fokus kajian yang serupa dengan semantik, yaitu makna, seperti akan saya jelaskan
kemudian, makna yang dikaji dalam pragmatik berbeda dengan makna yang dikaji dalam
semantik.
Makalah ini bertujuan menjelaskan pentingnya bidang pragmatik untuk dipelajari dalam
program studi linguistik. Untuk tujuan tersebut, saya mengawali makalah ini dengan
pembahasan mengenai pengertian pragmatik, perkembangannya, menjelaskan secara singkat
topik-topik bahasannya, dan, dengan melihat perbedaan kajiannya dengan bidang lain dalam
linguistik, menunjukkan pentingnya pragmatik.
2. Definisi Pragmatik
Para pakar pragmatik mendefinisikan istilah ini secara berbeda-beda. Yule (1996: 3), misalnya,
menyebutkan empat definisi pragmatik, yaitu (1) bidang yang mengkaji makna pembicara; (2)
bidang yang mengkaji makna menurut konteksnya; (3) bidang yang, melebihi kajian tentang
makna yang diujarkan, mengkaji makna yang dikomunikasikan atau terkomunikasikan oleh
pembicara; dan (4) bidang yang mengkaji bentuk ekspresi menurut jarak sosial yang membatasi
partisipan yang terlibat dalam percakapan tertentu.
Thomas (1995: 2) menyebut dua kecenderungan dalam pragmatik terbagi menjadi dua bagian,
pertama, dengan menggunakan sudut pandang sosial, menghubungkan pragmatik dengan
makna pembicara (speaker meaning); dan kedua, dengan menggunakan sudut pandang kognitif,
menghubungkan pragmatik dengan interpretasi ujaran (utterance interpretation). Selanjutnya
Thomas (1995: 22), dengan mengandaikan bahwa pemaknaan merupakan proses dinamis yang
melibatkan negosiasi antara pembicara dan pendengar serta antara konteks ujaran (fisik, sosial,
dan linguistik) dan makna potensial yang mungkin dari sebuah ujaran ujaran, mendefinisikan
pragmatik sebagai bidang yang mengkaji makna dalam interaksi (meaning in interaction).
Leech (1983: 6 (dalam Gunarwan 2004: 2)) melihat pragmatik sebagai bidang kajian dalam
linguistik yang mempunyai kaitan dengan semantik. Keterkaitan ini ia sebut semantisisme,
yaitu melihat pragmatik sebagai bagian dari semantik; pragmatisisme, yaitu melihat semantik
sebagai bagian dari pragmatik; dan komplementarisme, atau melihat semantik dan pragmatik
sebagai dua bidang yang saling melengkapi.
3. Perkembangan Pragmatik
Mey (1998), seperti dikutip oleh Gunarwan (2004: 5), mengungkapkan bahwa pragmatik
tumbuh dan berkembang dari empat kecenderungan atau tradisi, yaitu: (1) kecenderungan
antisintaksisme; (2) kecenderungan sosial-kritis; (3) tradisi filsafat; dan (4) tradisi
etnometodologi.
Kecenderungan yang pertama, yang dimotori oleh George Lakoff dan Haji John Robert Ross,
menolak pandangan sintaksisme Chomsky, yaitu bahwa dalam kajian bahasa yang sentral
adalah sintaksis, dan bahwa fonologi, morfologi, dan semantik bersifat periferal. Menurut
Lakoff dan Ross, keapikan sintaksis (well-formedness) bukanlah segalanya, sebab, seperti
sering kita jumpai, komunikasi tetap dapat berjalan dengan penggunaan bentuk yang tidak apik
secara sintaksis (ill-formed), bahkan semantik (Gunarwan 2004: 6).
Kecenderungan kedua, yang tumbuh di Eropa, tepatnya di Britania, Jerman, dan Skandinavia
(Mey 1998: 717 (dalam Gunarwan 2004: 6)), muncul dari keperluan terhadap ilmu bahasa yang
secara sosial relevan, bukan yang sibuk dengan deskripsi bahasa semata-mata secara mandiri.
Tradisi yang ketiga, yang dipelopori oleh Bertrand Russell, Ludwig Wittgenstein, dan terutama
John L. Austin dan John R. Searle, adalah tradisi filsafat. Para pakar tersebut mengkaji bahasa,
termasuk penggunaannya, dalam kaitannya dengan logika. Leech (1983: 2), seperti dikutip
Gunarwan (2004: 7), mengemukakan bahwa pengaruh para filsuf bahasa, misalnya Austin,
Searle, dan Grice, dalam pragmatik lebih besar daripada pengaruh Lakoff dan Ross.
Tradisi yang keempat adalah tradisi tradisi etnometodologi, yaitu cabang sosiologi yang
mengkaji cara para anggota masyarakat tutur (speech community) mangorganisasi dan
memahami kegiatan mereka. Dalam etnometodologi, bahasa dikaji bukan berdasarkan aspek
kegramatikalannya, melainkan berdasarkan cara para peserta interaksi saling memahami apa
yang mereka ujarkan. Dengan kata lain, kajian bahasa dalam etnometodologi lebih ditekankan
pada komunikasi, bukan tata bahasa (Gunarwan 2004: 6).
4. Beberapa Topik Pembahasan dalam Pragmatik
4.1 Teori Tindak-Tutur
Melalui bukunya, How to Do Things with Words, Austin dapat dianggap sebagai pemicu minat
yang paling utama dalam kajian pragmatik. Sebab, seperti diungkap oleh Marmaridou (2000: 1
(dalam Gunarwan 2004: 8)), sejak itu bidang kajian ini telah berkembang jauh, sehingga kita
dapat melihat sejumlah kecenderungan dalam pragmatik, yaitu pragmatik filosofis (Austin,
Searle, dan Grice), pragmatik neo-Gricean (Cole), pragmatik kognitif (Sperber dan Wilson),
dan pragmatik interaktif (Thomas).
Austin, seperti dikutip oleh Thomas (1995: 29-30), bermaksud menyanggah pendapat filosof
positivisme logis, seperti Russel dan Moore, yang berpendapat bahwa bahasa yang digunakan
sehari-hari penuh kontradiksi dan ketaksaan, dan bahwa pernyataan hanya benar jika bersifat
analitis atau jika dapat diverifikasi secara empiris. Contoh.
(1) Ada enam kata dalam kalimat ini
(2) Presiden RI adalah Soesilo Bambang Yoedoyono
Dari contoh di atas, dapat dipahami bahwa para filosof yang dikritik Austin ini mengevaluasi
pernyataan berdasarkan benar atau salah (truth condition), yaitu, sesuai contoh di atas, kalimat
(1) benar secara analitis dan kalimat (2) benar karena sesuai dengan kenyataan. Persyaratan
kebenaran ini kemudian diadopsi oleh linguistik sebagai truth conditional semantics (Thomas
1995: 30).
Austin (dalam Thomas 1995: 31) berpendapat bahwa salah satu cara untuk membuat
pembedaan yang baik bukanlah menurut kadar benar atau salahnya, melainkan melalui
bagaimana bahasa dipakai sehari-hari. Melalui hipotesis performatifnya, yang menjadi landasan
teori tindak-tutur (speech-act), Austin berpendapat bahwa dengan berbahasa kita tidak hanya
mengatakan sesuatu (to make statements), melainkan juga melakukan sesuatu (perform
actions). Ujaran yang bertujuan mendeskripsikan sesuatu disebut konstatif dan ujaran yang
bertujuan melakukan sesuatu disebut performatif. Yang pertama tunduk pada persyaratan
kebenaran (truth condition) dan yang kedua tunduk pada persyaratan kesahihan (felicity
condition) (Gunarwan 2004: 8). Contoh.
(3) Dengan ini, saya nikahkan kalian (performatif)
(4) Rumah Joni terbakar (konstatif)
Selanjutnya Austin, seperti juga ditekankan lebih lanjut oleh Searle (dalam Gunarwan 2004: 9),
memasukkan ujaran konstatif, karena memiliki struktur dalam yang mengandungi makna
performatif, sebagai bagian dari performatif (Austin 1962: 52 dan Thomas 1995: 49). Dalam
contoh (4), struktur dalam ujaran tersebut dapat saja berbunyi Saya katakan bahwa rumah Joni
terbakar.
Tindakan yang dihasilkan dengan ujaran ini mengandung tiga tindakan lain yang berhubungan,
yaitu lokusi (locutionary act), ilokusi (illocutionary act), dan perlokusi (perlocutionary act)
(Yule 1996: 48). Tindak lokusioner berkaitan dengan produksi ujaran yang bermakna, tindak
ilokusioner terutama berkaitan dengan intensi atau maksud pembicara, dan tindak perlokusioner
berkaitan dengan efek pemahaman pendengar terhadap maksud pembicara yang terwujud dalam
tindakan (Thomas 1995: 49). Tindak-tutur, seperti dikembangkan lebih jauh oleh Searle (dalam
Gunarwan 2004: 9), dapat berupa tindak-tutur langsung (direct speech-act) dan tindak-tutur
tidak langsung (indirect speech-act). Dalam direct speeh-act terdapat hubungan langsung antara
struktur kalimat dengan fungsinya, sedangkan dalam indirect speech-act hubungannya tidak
langsung atau menggunakan (bentuk) tindak-tutur lain (Gunarwan 2004: 9; dan Yule 1996: 54-
55).
Selain itu, Searle juga menyebut lima jenis fungsi tindak-tutur, yaitu asertif (assertive), direktif
(directive), komisif (comissive), ekspresif (expressive), dan deklarasi (declaration) (Littlejohn
2002: 80; dan Yule 1996: 53-54). Asertif atau representatif merupakan tindak-tutur yang
menyatakan tentang sesuatu yang dipercayai pembicaranya benar; direktif merupakan tindak-
tutur yang menghendaki pendengarnya melakukan sesuatu; komisif merupakan tindak-tutur
yang digunakan pembicaranya untuk menyatakan sesuatu yang akan dilakukannya; ekspresif
merupakan tindak-tutur yang menyatakan perasaan pembicaranya; dan deklarasi merupakan
tindak-tutur yang mengubah status sesuatu.
4.2 Prinsip Kerja Sama (Cooperative Principle)
Grice mengemukakan bahwa percakapan yang terjadi di dalam anggota masyarakat dilandasi
oleh sebuah prinsip dasar, yaitu prinsip kerja sama (cooperative principle) (Yule 1996: 36-37
dan Thomas 1995: 61). Kerja sama yang terjalin dalam komunikasi ini terwujud dalam empat
bidal (maxim), yaitu (1) bidal kuantitas (quantity maxim), memberi informasi sesuai yang
diminta; (2) bidal kualitas (quality maxim), menyatakan hanya yang menurut kita benar atau
cukup bukti kebenarannya; (3) bidal relasi (relation maxim), memberi sumbangan informasi
yang relevan; dan (4) bidal cara (manner maxim), menghindari ketidakjelasan pengungkapan,
menghindari ketaksaan, mengungkapkan secara singkat, mengungkapkan secara beraturan
(Gunarwan 2004: 11 dan Thomas 1995: 63-64).
Berkaitan dengan prinsip kerja sama Grice di atas, pada kenyataannya, dalam komunikasi
kadang kita tidak mematuhi prinsip tersebut. Hal ini, seperti diungkap oleh Gunarwan (2004:
12-14), didasarkan atas beberapa alasan, misalnya untuk memberikan informasi secara tersirat
(implicature) dan menjaga muka lawan bicara (politeness).
4.3 Implikatur (Implicature)
Grice, seperti diungkap oleh Thomas (1995: 57), menyebut dua macam implikatur, yaitu
implikatur konvensional dan implikatur konversasional. Implikatur konvensional merupakan
implikatur yang dihasilkan dari penalaran logika, ujaran yang mengandung implikatur jenis ini,
seperti diungkap oleh Gunarwan (2004: 14), dapat dicontohkan dengan penggunaan kata
bahkan. Implikatur konversasional merupakan implikatur yang dihasilkan karena tuntutan
konteks tertentu (Thomas 1995: 58). Contoh.
(5) Bahkan Bapak Menteri Agama menghadiri sunatan anak saya
(6) Saya kebetulan ke Inggris untuk studi selama dua tahun dan berangkat besok
Contoh (5) di atas merupakan implikatur konvensional yang berarti Bapak Menteri Agama
biasanya tidak menghadiri acara sunatan, sedangkan contoh (6) merupakan implikatur
konversasional yang bermakna ‘tidak’ dan merupakan jawaban atas pertanyaan maukah Anda
menghadiri selamatan sunatan anak saya?
Berbeda dengan Grice, menurut Gazdar, dengan menggunakan prinsip kerja sama Grice,
implikatur dapat dibedakan menjadi implikatur khusus dan implikatur umum. Yang pertama
ada karena konteks ujaran, misalnya contoh (6) di atas, sedangkan yang kedua tidak, misalnya
contoh (5) di atas.
4.4 Teori Relevansi
Teori relevansi yang dikembangkan oleh Sperber dan Wilson merupakan kritik terhadap empat
maksim yang terdapat dalam prinsip kerja sama Grice. Menurut mereka, bidal yang terpenting
dalam teori Grice adalah bidal relevansi, dan percakapan dapat terus berjalan meski hanya
melalui bidal ini. Dalam teori relevansi dipelajari bagaimana sebuah muatan pesan dapat
dipahami oleh penerimanya. Sperber dan Wilson (1995), seperti dikutip oleh Renkema (2004:
22), menyebutkan bahwa bahasa dalam penggunaannya (language in use) selalu dapat
diidentifikasi melalui hal yang disebutnya indeterminacy atau underspecification. Melalui hal
tersebut, penerima pesan (addressee) hanya memilih sesuatu yang dianggapnya relevan dengan
apa yang hendak disampaikan oleh pengirim pesan (addresser) dalam konteks komunikasi
tertentu. Contoh.
(7) Pastikan semua pintu terkunci jika meninggalkan ruangan ini.
Setiap pembaca dapat memahami bahwa pesan ini hanya berlaku jika ia akan meninggalkan
ruangan tersebut untuk terakhir kalinya, bukan untuk setiap kali meninggalkan ruangan,
misalnya untuk ke kamar mandi. Dengan kata lain, pesan ini berada dalam spesifikasi tertentu
yang disepakati oleh addresser dan addressee dalam konteks komunikasi.
Selanjutnya, untuk menjelaskan cara sebuah pesan dipahami penerimanya, Sperber dan Wilson
(1995), seperti dikutip oleh Renkema (2004: 22), menetapkan tiga macam hubungan antara cue
dan implicature, yaitu: pertama, ujaran merupakan sebentuk tindakan dari komunikasi ostensif,
misalnya tindakan untuk membuat sesuatu menjadi jelas dan dapat dimengerti oleh penerima
pesan; kedua, komunikasi tidak hanya memasukkan apa yang ada dalam pikiran pengirim pesan
ke dalam pikiran penerima pesan, namun mencakup perluasan wilayah kognitif (cognitive
environment) kedua belah pihak. Misalnya pada contoh (7) di atas, pengirim pesan dapat
memperkirakan reaksi penerima pesan terhadap pesan yang disampaikannya, yaitu tidak perlu
mengunci pintu jika keluar dalam batasan waktu dan situasi yang diperkirakan cukup aman; dan
ketiga, explicature atau degree of relevance, tahapan yang harus dilewati untuk memahami
implikatur dalam percakapan. Contoh yang ditulis Renkema (2004: 23) di bawah ini
memberikan gambaran yang cukup jelas.
(8) A: Well, there is a shuttle service sixty euros one-way, when do you want to go?
B: At the weekend.
A: What weekend?
B: Next weekend. How does it works? You just turn up for the shuttle service?
A: That might be cheaper. Then that's fifty.
Dalam percakapan di atas, pemahaman penerima pesan terhadap apa yang hendak disampaikan
oleh pengirim pesan terjadi melalui beberapa tahapan. Dalam percakapan tersebut, B mengira A
mengerti bahwa at the weekend berarti next weekend, padahal A harus memastikan dengan
jelas setiap pemesanan pembelian tiket. Begitu juga A, ia mengandaikan B dapat mengerti
bahwa that migh be cheaper dapat berarti If you purchase a ticket now, you have booked seat
which costs 60 euros. If you buy ticket when you turn up, it costs 50 euros. Dalam hal ini,
ujaran at the weekend, dalam pengertian degree of relevance, merupakan ujaran yang
relevansinya rendah dan membutuhkan processing effort yang lebih besar, sedangkan that
might be cheaper merupakan ujaran yang relevansinya lebih baik; karena semakin tinggi
contextual effect maka semakin rendah ia membutuhkan processing effort.
4.5 Kesantunan (Politeness)
Konsep strategi kesantunan yang dikembangkan oleh Brown dan Levinson diadaptasi dari
konsep face yang diperkenalkan oleh seorang sosiolog bernama Erving Goffman (1956)
(Renkema 2004: 24-25). Menurut Goffman (1967: 5), yang dikutip oleh Jaszczolt (2002: 318),
"face merupakan gambaran citra diri dalam atribut sosial yang telah disepakati". Dengan kata
lain, face dapat diartikan kehormatan, harga diri (self-esteem), dan citra diri di depan umum
(public self-image). Menurut Goffman (1956), seperti dikutip oleh Renkema (2004: 25), setiap
partisipan memiliki dua kebutuhan dalam setiap proses sosial: yaitu kebutuhan untuk
diapresiasi dan kebutuhan untuk bebas (tidak terganggu). Kebutuhan yang pertama disebut
positive face, sedangkan yang kedua disebut negative face.
Berdasarkan konsep face yang dikemukakan oleh Goffman ini, Brown dan Levinson (1978)
membangun teori tentang hubungan intensitas FTA dengan kesantunan yang terrealisasi dalam
bahasa (Renkema 2004: 25). Intensitas FTA diekspresikan dengan bobot atau weight (W) yang
mencakup tiga parameter sosial, yaitu: pertama, tingkat gangguan atau rate of imposition (R),
berkenaan dengan bobot mutlak (absolute weight) tindakan tertentu dalam kebudayaan tertentu,
misalnya permintaan "May I borrow your car?" mempunyai bobot yang berbeda dengan
permintaan "May I borrow your pen?"; kedua, jarak sosial atau social distance (D) antara
pembicara dengan lawan bicaranya, misalnya bobot kedua permintaan di atas tidak terlalu besar
jika kedua ungkapan tersebut ditujukan kepada saudara sendiri; dan ketiga, kekuasaan atau
power (P) yang dimiliki lawan bicara (Renkema 2004: 26). Contoh.
(9) a. Maaf, Pak, boleh tanya?
b. Numpang tanya, Mas?
Dalam contoh di atas terlihat jelas, ujaran (9a) mungkin diucapkan pembicara yang secara
sosial lebih rendah dari lawan bicaranya, misalnya mahasiswa kepada dosen atau yang muda
kepada yang tua; sedangkan ujaran (9b) mungkin diucapkan kepada orang yang secara sosial
jaraknya lebih dekat (9a).
Politeness (kesantunan) dalam hal ini dapat dipahami sebagai upaya pencegahan dan atau
perbaikan dari kerusakan yang ditimbulkan oleh FTA; semakin besar intensitas FTA
mengancam stabilitas komunikasi, maka politeness strategy semakin dibutuhkan. Politeness,
face work technique, yang bertujuan untuk mendapatkan positive face disebut solidarity
politeness, dapat dilakukan, misalnya dengan pujian; sedangkan politeness yang dilakukan
untuk tujuan sebaliknya disebut respect politeness, dapat dilakukan, misalnya dengan
melakukan tindakan yang tidak kooperatif dalam komunikasi (Renkema 2004: 25). Berkaitan
dengan politeness strategy ini, Brown dan Levinson (1978), seperti diungkapkan oleh Renkema
(2004: 26), dalam penelitiannya menunjukkan bahwa terdapat banyak cara untuk menghindari
FTA yang dapat direduksi menjadi lima macam cara. Kelima strategi tersebut diurut
berdasarkan tingkat resiko "kehilangan muka"; semakin tinggi resiko kehilangan muka, maka
semakin kecil kemungkinan pembicara melakukan FTA. Dalam hal ini, Renkema (2004: 27)
memberi contoh strategi tersebut.
(5) a. Hey, lend me a hundred dollars. (baldly)
b. Hey, friend, could you lend me a hundred bucks? (positive polite)
c. I'm sorry I have to ask, but could you lend me a hundred dollars? (negative polite)
e. Oh no, I'm out of cash! I forgot to go to the bank today. (off record)
Teori kesantunan lain dibahas oleh Leech (1983). Pakar ini membahas teori kesantunan dalam
kerangka retorika interpersonal (Eelen 2001: 6). Dalam hal ini, Leech (dalam Eelen 2001: 8)
menyebutkan enam bidal kesantunan, yaitu bidal kebijaksanaan (tact maxim), bidal
kedermawanan (generosity maxim), bidal pujian (approbation maxim), bidal kerendahhatian
(modesty maxim), bidal kesetujuan (aggreement maxim), bidal simpati (sympathy maxim); dan,
seperti diungkap oleh Gunarwan (2004: 19), ditambah bidal pertimbangan (consideration
maxim).
5. Pragmatik dalam Linguistik
Seperti telah saya uraikan sedikit dalam sub 3 di atas, salah satu kecenderungan yang
melatarbelakangi berkembangnya pragmatik adalah antisintaksisme Lakoff dan Ross. Dalam
sintaksis, seperti dikemukakan oleh Yule (1996: 4), dipelajari bagaimana hubungan antarbentuk
linguistis, bagaimana bentuk-bentuk tersebut dirangkai dalam kalimat, dan bagaimana
rangkaian tersebut dapat dinyatakan well-formed secara gramatikal. Secara umum, sintaksis
tidak mempersoalkan baik makna yang ditunjuknya maupun pengguna bahasanya, sehingga
bentuk seperti kucing menyapu halaman, meskipun tidak dapat diverifikasi secara empiris, tetap
dapat dinyatakan apik secara sintaksis.
Dalam kehidupan sehari-hari, penggunaan bahasa tidak semata-mata didasarkan atas prinsip
well-formed dalam sintaksis, melainkan atas dasar kepentingan agar komunikasi tetap dapat
berjalan. Lebih tepatnya, dengan mengikuti kecenderungan dalam etnometodologi, bahasa
digunakan oleh masyarakat tutur sebagai cara para peserta interaksi saling memahami apa yang
mereka ujarkan. Atas dasar ini, pertama, dapat dipahami, dan memang sering kita temukan,
bahwa komunikasi tetap dapat berjalan meskipun menggunakan bahasa yang tidak apik secara
sintaksis; dan kedua, demi kebutuhan para anggota masyarakat tutur untuk mangorganisasi dan
memahami kegiatan mereka, selain tata bahasa, makna juga merupakan hal yang tidak dapat
diabaikan dalam analisis bahasa. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa perbedaan utama
antara sintaksis dan pragmatik, sekaligus menyatakan pentingnya studi pragmatik dalam
linguistik, terletak pada makna ujaran dan pada pengguna bahasa.
Pembahasan tentang makna membawa kita pada pentingnya semantik, yaitu tataran linguistik
yang mengkaji hubungan antara bentuk-bentuk linguistik (linguistic forms) dan entitas yang
terdapat di luar bahasa, dalam analisis bahasa. Berdasarkan truth conditional semantics, untuk
dapat dinyatakan benar, sebuah pernyataan harus dapat diverifikasi secara empiris atau harus
bersifat analitis. Dengan demikian, bentuk kucing menyapu halaman adalah bentuk yang tidak
berterima secara semantis, karena tidak dapat diverifikasi secara empiris dan bukan termasuk
pernyataan logika. Namun demikian, pembahasan makna dalam semantik belum memadai,
karena masih mengabaikan unsur pengguna bahasa, sehingga bentuk seperti seandainya saya
dapat berdiri tentu saya tidak akan dapat berdiri dan saya akan datang besok pagi, meskipun
bentuk seperti ini dapat saja kita jumpai, tidak dapat dinyatakan benar karena yang pertama
menyalahi logika dan yang kedua tidak dapat diverifikasi langsung. Dengan kata lain, untuk
menjelaskan fenomena pemakaian bahasa sehari-hari, di samping sintaksis dan semantik,
dibutuhkan juga pragmatik yang dalam hal ini saya pahami sebagai bidang yang mengkaji
hubungan antara struktur yang digunakan penutur, makna apa yang dituturkan, dan maksud dari
tuturan. Kegunaan pragmatik, yang tidak terdapat dalam sintaksis dan semantik, dalam hal ini
dapat ditunjukkan dengan, misalnya, bagaimana strategi kesantunan mempengaruhi
penggunaan bahasa, bagaimana memahami implikatur percakapan, dan bagaimana kondisi
felisitas yang memungkinkan bagi sebuah tindak-tutur.
Selanjutnya, untuk melihat pentingnya pragmatik dalam linguistik, saya akan mengemukakan
pendapat Leech (1980). Menurut Leech (dalam Eelen 2001: 6) perbedaan antara semantik dan
pragmatik pada, pertama, semantik mengkaji makna (sense) kalimat yang bersifat abstrak dan
logis, sedangkan pragmatik mengkaji hubungan antara makna ujaran dan daya (force)
pragmatiknya; dan kedua, semantik terikat pada kaidah (rule-governed), sedangkan pragmatik
terikat pada prinsip (principle-governed). Tentang perbedaan yang pertama, meskipun makna
dan daya adalah dua hal yang berbeda, keduanya tidak dapat benar-benar dipisahkan, sebab
daya mencakup juga makna. Dengan kata lain, semantik mengkaji makna ujaran yang
dituturkan, sedangkan pragmatik mengkaji makna ujaran yang terkomunikasikan atau
dikomunikasikan. Selanjutnya, kaidah berbeda dengan prinsip berdasarkan sifatnya. Kaidah
bersifat deskriptif, absolut atau bersifat mutlak, dan memiliki batasan yang jelas dengan kaidah
lainnya, sedangkan prinsip bersifat normatif atau dapat diaplikasikan secara relatif, dapat
bertentangan dengan prinsip lain, dan memiliki batasan yang bersinggungan dengan prinsip
lain.
Lebih jauh lagi, dalam pengajaran bahasa, seperti diungkapkan Gunarwan (2004: 22), terdapat
keterkaitan, yaitu bahwa pengetahuan pragmatik, dalam arti praktis, patut diketahui oleh
pengajar untuk membekali pemelajar dengan pengetahuan tentang penggunaan bahasa menurut
situasi tertentu. Dalam pengajaran bahasa Indonesia, misalnya, pengetahuan ini penting untuk
membimbing pemelajar agar dapat menggunakan ragam bahasa yang sesuai dengan situasinya,
karena selain benar, bahasa yang digunakan harus baik. Dalam pengajaran bahasa asing,
pengetahuan tentang prinsip-prinsip pragmatik dalam bahasa yang dimaksud penting demi
kemampuan komunikasi yang baik dalam bahasa tersebut. Secara umum, dapat disimpulkan
bahwa kaitan antara pragmatik dan pengajaran bahasa adalah dalam hal kompetensi
komunikatif yang mencakup tiga macam kompetensi lain selain kompetensi gramatikal
(grammatical competence), yaitu kompetensi sosiolinguistik (sociolinguistic competence) yang
berkaitan dengan pengetahuan sosial budaya bahasa tertentu, kompetensi wacana (discourse
competence) yang berkaitan dengan kemampuan untuk menuangkan gagasan secara baik, dan
kompetensi strategik (strategic competence) yang berkaitan dengan kemampuan pengungkapan
gagasan melalui beragam gaya yang berlaku khusus dalam setiap bahasa.
6. Penutup
Seperti telah disebutkan di muka, tujuan tulisan ini adalah menunjukkan bahwa pragmatik
penting dipelajari dalam program studi linguistik. Berdasarkan penjelasan di atas, saya melihat
pentingnya pragmatik dalam linguistik setidaknya dalam dua hal, pertama, pragmatik
merupakan satu-satunya tataran dalam linguistik yang mengkaji bahasa dengan
memperhitungkan juga penggunanya; kedua, berkaitan dengan ketidakmampuan sintaksis dan
semantik dalam menjelaskan fenomena penggunaan bahasa sehari-hari, saya melihat kedudukan
semantik dan pragmatik sebagai dua hal yang saling melengkapi. Selain itu, berkaitan dengan
pengajaran bahasa, pragmatik berperan dalam pengembangan kompetensi komunikatif.
Daftar Acuan
Austin, John L. 1962. How to Do Things with Word (edisi kedua). Oxford: Oxfod University
Press.
Brown, Penelope., dan Stephen C. Levinson. 1978. Politeness: Some Universal in Language
Usage. Cambridge: Cambridge University Press.
Eelen, Gino. 2001. A Critique of Politeness Theories. Manchester, UK: St. Jerome Publishing
Gunarwan, Asim. 2004. Dari Pragmatik ke Pengajaran Bahasa (Makalah Seminar Bahasa dan
Sastra Indonesia dan Daerah). IKIP Singaraja.
Jaszczolt, K.M. 2002. Semantics and Pragmatics: Meaning in Language and Discourse.
Edinburgh: Pearson Education.
Renkema, Jan. 2004. Introduction to Discourse Studies. Amsterdam: John Benjamins
Publishing Company.
Thomas. Jenny. 1995. Meaning in Interaction: an Introduction to Pragmatics. London/New
York: Longman.
Yule, George. 1996. Pragmatics. Oxford. Oxford University Press.
Posted by Hendri Rahmana at 15.55 0 comments

EMA KEMANUSIAAN
DALAM KUMPULAN CERPEN KUDA TERBANG MARIA PINTO
KARYA LINDA CHRISTANTY

SKRIPSI

diajukan untuk memenuhi persyaratan akademik


Program S-1 Jurusan Sastra Indonesia
Fakultas Sastra - Universitas Padjadjaran
Wemmy al-Fadhli
H1A01018

JURUSAN SASTRA INDONESIA


FAKULTAS SASTRA
Universitas padjadjaran
2007

ABSTRAK

Penelitian ini bertujan untuk mengetahui tema kemanusiaan dalam kumpulan cerpen Kuda
Terbang Maria Pinto karya Linda Christanty. Adapun metode yang digunakan dalam penelitian
ini adalah struktural dengan penekanan pada aspek tematik. Dengan menggunakan pendekatan
objektif melalui analisis struktur karya diharapkan dapat dibongkar nilai-nilai yang terkandung
dalam objek analisis terkait dengan aspek tematiknya sebagai tujuan utama penelitian. Tema
kemanusiaan merupakan narasi utama yang terlihat menjadi benang merah pemaknaan atas
kumpulan cerpen ini.
ABSTRACT

The objective of this research is to observe humanity theme in Kuda Terbang Maria Pinto
written by Linda Christanty. The method that used in this research is structuralism with focused
on theme aspect. Used objective approach with structur analiysis—hooked theme aspect as an
object—this research will become distangled variously senses and values on this literary work.
Humanism look as a grand narration of this short story collection.

…dari cahaya? Dari ketiaknya tercium harum bunga


yang membuat kuntum-kuntum mawar di halaman menunduk
dan kelopaknya memerah karena malu.”
BIDADARI yang Mengembara.cerpen: as sulak,

Essli(li)n, “Segala usaha untuk tiba pada penafsiran yang jelas dan tertentu melalui analisis
kritis, akan sebodoh mencari garis-garis jelas yang tersembunyi di balik kesamaran lukisan
Rembrandtj dengan mengikis habis tinta-tintanya.”
“Orang-orang yang bijaksana memuliakan tuhan, meskipun ia sedang diam. Tetapi orang-orang
bodoh mengotori Tuhan, meskipun ia sedang berdoa dan memberikan pengorbanan.”
(Porphyry, 233-301 M)

“Karena mengajari orang lain, sama artinya


dengan belajar dari orang lain.”
(Drs. Putu Sedana, Sastrawan Bali)

dalam mentertawakan diri sendiri,


wemmy selalu mewanti kita:
“Hati-hati dengan Permukaan.”
[Aporisma kumaha urang]

Jabar, thanks & goodbai,


…lembar tak berguna itu akan kukirimkan
kepada engkau ibubapakku.

Semoga d is ana bisa menjadi berharga,


di atas dinding berbingkai kaca.

Kaca-kaca airmata…
…dari cahaya? Dari ketiaknya tercium harum bunga
yang membuat kuntum-kuntum mawar di halaman menunduk
dan kelopaknya memerah karena malu.”
BIDADARI yang Mengembara.cerpen: as sulak,
“Karena mengajari orang lain, sama artinya
dengan belajar dari orang lain.”
(Drs. Putu Sedana, Sastrawan Bali)

dalam mentertawakan diri sendiri,


wemmy selalu mewanti kita:
“Hati-hati dengan Permukaan.”
[Aporisma kumaha urang]

Jabar, thanks & goodbai,

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim,
Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya
sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Tema Kamanusiaan dalam
Kumpulan Cerpen Kuda Terbang Maria Pinto Karya Linda Christanty”. Skripsi ini disusun
sebagai salah satu persyaratan ujian sarjana pada Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra,
Universitas Padjajaran.
Selama penyusunan skripsi ini, penulis banyak memperoleh bantuan dan dorongan baik moral
dan material dari berbagai pihak. Untuk itu, pada kesempatan ini, penulis hendak mengucapkan
terima kasih yang sebesar-besarnya pada:
1.Bapak Dr. Dadang Suganda, selaku dekan Fakultas Sastra Universitas Padjajaran.
2.Bapak R. Yudi Permadi, M. Hum., selaku ketua Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra,
Universitas Padjajaran.
3.Bapak Abdul Hamid, Drs., selaku pembimbing utama atas segala bantuan, masukan, saran,
dukungan, dan waktu yang telah diberikan pada penulis.
4.Bapak Nana Suryana, Drs, selaku pembimbing pendamping atas segala bantuan, masukan,
saran, dukungan, dan waktu yang telah diberikan pada penulis.
5.Ibu Hj. Yetti Setianingsih, Dra., selaku dosen wali penulis atas segala bantuan, masukan,
saran, dukungan, dan waktu yang telah diberikan pada penulis.
6.Seluruh staf pengajar Jurusan Sastra Indonesia pada khususnya dan Fakultas Sastra pada
umumnya atas segala ilmu pengetahuan yang telah diberikan pada penulis semasa masa
perkuliahan.
7.Bapak Andi dan Lili, beserta segenap karyawan SBA dan SBK Fakultas Sastra lainnya, yang
telah banyak membantu kelancaran administrasi dan finansial penulis selama masa perkuliahan.
8.Seluruh kawan-kawan sekelas yang bagaimanapun memberikan pengalaman hidup kepada
penulis.
9.Seluruh pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu. Terima kasih banyak.
Penulis menyadari sepenuhnya skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh karenanya, kritik dan
saran akan sangat penulis harapkan.
Semoga skripsi ini dapat berguna bagi pihak-pihak yang memerlukan.

Jatinangor, April 2007

Penulis

LEMBAR PENGESAHAN

Judul : Tema Kemanusiaan dalam Kumpulan Cerpen Kuda Terbang Maria Pinto Karya Linda
Christanty
Penyusun : Wemmy al-Fadhli
NPM : H1A 01018

Jatinangor, April 2007


Pembimbing I, Pembimbing II,

Nana Suryana, Drs. Abdul Hamid, Drs.


NIP, 131954729 NIP, 131573157

Disahkan Diketahui
Dekan Fakultas Sastra Ketua Jurusan
Universitas Padjadjaran, Sastra Indonesia,

Dr. Dadang Suganda R. Yudi Permadi, M.Pd.


NIP, 131472538 NIP, 132102803

LEMBAR PENGESAHAN

Judul : Tema Kemanusiaan dalam Kumpulan Cerpen Kuda Terbang Maria Pinto Karya Linda
Christanty
Penyusun : Wemmy al-Fadhli
NPM : H1A 01018

Jatinangor, April 2007

Pembimbing I, Pembimbing II,

Abdul Hamid, Drs. Nana Suryana, Drs.


NIP, 131573157 NIP, 131954729

Disahkan Diketahui
Dekan Fakultas Sastra Ketua Jurusan
Universitas Padjadjaran, Sastra Indonesia,

Dr. Dadang Suganda R. Yudi Permadi, M.Pd.


NIP, 131472538 NIP, 132102803

DAFTAR ISI

Lembar Pengesahan
Lembar Persembahan
Abstrak i
Abstract ii
Kata Pengantar iii
Daftar Isi v

BAB I PENDAHULUAN 1
1.1 Latar Belakang Masalah 1
1.2 Pembatasan Masalah 11
1.3 Tujuan Penelitian 13
1.4 Metode Penelitian 13
1.5 Sistematika Penulisan 14
BAB II LANDASAN TEORI 15
2.1 Telaah Struktural 15
2.2 Cerpen 19
2.3 Struktur Cerpen 24
2.3.1Tema 26
2.3.2Tokoh 35
2.3.3Latar 38
2.3.4Sudut Pandang 41
2.4 Kemanusiaan 43
BAB III TEMA KEMANUSIAAN
DALAM KUMPULAN CERPEN KUDA TERBANG MARIA PINTO KARYA LINDA
CHRISTANTY 50
3.1Corak Estetis Kumpulan Cerpen KTMP 50
3.1.1Gaya Realis dan Surealis 51
3.1.2Diksi Puitis 56
3.2Ringkasan Cerita 62
3.2.1Cerpen “Kuda Terbang Maria Pinto” 62
3.2.2Cerpen “Makan Malam” 63
3.2.3Cerpen “Pesta Terakhir” 63
3.2.4Cerpen “Balada Hari Hujan” 64
3.2.5Cerpen “Lelaki Beraroma Kebun” 64
3.2.6Cerpen “Makam Keempat” 65
3.3Struktur Umum 66
3.3.1Tokoh 66
3.3.2Latar 83
3.3.3Sudut Pandang 87
3.4Tema 89
3.4.1Kehampaan Jiwa dan Kesetiaan terhadap Tugas
dalam Cerpen “Kuda Terbang Maria Pinto” 89
3.4.2Derita Seorang Ibu dan Makna Keutuhan Sebuah Keluarga
dalam Cerpen “Makan Malam” 94
3.4.3Antara Rahasia Pengkhianatan
dan Usaha Untuk Menjaga Persahabatan
dalam Cerpen “Pesta Terakhir” 98
3.4.4Seorang Waria yang Dilukai Hatinya
dalam Cerpen “Balada Hari Hujan” 104
3.4.5Kampung Halaman, Segala Kenangan, dan yang Tersisa Darinya dalam Cerpen “Lelaki
Beraroma Kebun” 107
3.4.6Mencintai Buah Hati yang Diam-Diam Telah “Pergi”
dalam Cerpen “Makam Keempat” 113
BAB IV SIMPULAN 119
Daftar Pustaka 122
Riwayat Hidup
Ucapan Terima Kasih

BAB I
PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang Masalah


Sastra didefenisikan Sumardjo (1997: 3) sebagai ungkapan pribadi manusia yang berupa
pengalaman, pemikiran, perasaan, ide, semangat, keyakinan dalam suatu bentuk gambaran
konkret yang membangkitkan pesona dengan alat bahasa. Pengertian pengalaman tidak harus
selalu merujuk pada pengungkapan pengalaman pribadi seorang individu saja. Dengan daya
imajinasi yang tinggi dan daya pengamatan yang teliti dan tajam, dapat diciptakan pengalaman-
pengalaman kemanusiaan yang bisa jadi juga bersumber dari masyarakat umum (Hanafi,
1984:9)
Dari defenisi tersebut bisa dipahami bahwasanya karya sastra diciptakan oleh sastrawan
berdasarkan pengalaman, pikiran, perasaan, ide, semangat, dan keyakinannya. Hal-hal
tersebutlah yang diolah sastrawan dengan menggunakan kemahirannya dalam berkreasi atas
potensi estetis bahasa. Kemahiran dalam mengaplikasikan ungkapan pribadi inilah yang
membedakan sastrawan dengan masyarakat pada umumnya.
Sebagaimana diketahui, sastrawan memiliki karakteristik yang unik dalam memandang
persoalan-persoalan hidup dibandingkan dengan masyarakat pada umumnya. Jiwa yang selalu
gelisah, benturan antarnilai akibat kompleksitas cara memandang atas berbagai persoalan
kehidupan, serta perbedaan cara melihat persoalan kehidupan tersebut dengan pandangan
masyarakat di sekitarnya merupakan sebuah karakteristik umum yang menghinggapi seorang
pengarang karya sastra.
Segala perbedaan antara sastrawan dengan masyarakat pada umumnya itu menyebabkan
terciptanya produk kreatif bernama karya sastra. Kreativitas yang dihasilkan dalam sebuah
karya sastra inilah yang membuat dikenali akan adanya kebaruan dalam karya sastra. Kebaruan
tersebut meliputi penyegaran cara pandang bagi masyarakat dalam melihat kehidupan ini.
Kesegaran itu diperoleh karena keunikan cara pandang yang dimiliki oleh sastrawan dalam
menghayati kehidupan ini dibandingkan dengan masyarakat kebanyakan.
Saini K.M. (1990: 14-16 & 49-50) mengemukakan adanya tiga kedudukan sastra terhadap
kehidupan. Sastra, sebagai bagian dari kesenian seperti halnya filsafat dan ilmu pengetahuan,
adalah salah satu dari lembaga manusiawi yang menjadi sarana bagi manusia untuk berupaya
mengendalikan lingkungannya. Lingkungan itu baik berupa lingkungan jasmani ataupun berupa
lingkungan rohani. Sastra sebagai seni, dengan demikian, jelas mempunyai hubungan dengan
kehidupan. Yang menjadi persoalan adalah bagaimana kedudukan sastra itu dalam
hubungannya dengan kehidupan.
Kedudukan pertama adalah sebagai “pemekat” (intensifikator). Dalam karya-karya sastra yang
memekatkan, pengalaman kehidupan disaring, dijernihkan, diambil sarinya, dan dikristalkan
hingga pembaca dapat mengambil hikmah dan kekayaan pengalaman itu dengan mudah dan
dalam waktu singkat.
Kedudukan kedua adalah sastra sebagai penentangan terhadap kehidupan. Dalam perihal seperti
ini gambaran yang dilukiskan sastra bertentangan dengan kehidupan yang dihadapi pembaca.
Penentangan ini dimaksudkan agar pembaca bisa melihat kehidupan dari perspektif lain
sehingga bertambah jelaslah gambaran tentangnya.
Kedudukan sastra yang ketiga adalah mengolah dan mendistorsi gambaran kehidupan sehingga
menjadi sesuatu yang menggelikan. Kemampuan untuk menertawakan sesuatu, termasuk diri
sendiri, merupakan kemampuan untuk mengambil jarak dan memandang sesuatu dengan lebih
objektif. Hal ini sesuai dengan perkataan Budi Darma dalam penutup Olenka, “Untuk dapat
melihat diri kita sendiri dengan benar kita tidak selayaknya menjadi narkisus, yang selalu
melihat dirinya sebagai tampan tanpa mengantongi penyakit”. Kemampuan memperolok-
olokkan ini membantu pembaca untuk merenungkan kehidupan dengan lebih luas, mendalam,
dan mendasar. Melalui perenungan itulah diharapkan pembaca akan dapat mengambil hikmah
dalam bentuk kemampuan mengendalikan kehidupan mereka secara lebih baik.
Dalam hubungannya dengan dunia pemikiran, Wellek & Warren (1990: 134-135)
mengemukakan bahwa sejarah sastra sejajar dan mencerminkan sejarah pemikiran. Oleh karena
itu, sastra sering dilihat sebagai suatu bentuk filsafat atau sebagai suatu pemikiran yang
terbungkus dalam bentuk khusus. Filsafat atau dunia pemikiran tentulah sangat berhubungan
erat dengan kehidupan manusia. Supadjar (2003: 43) menyatakan bahwa umumnya tema
kefilsafatan dalam karya sastra yang menonjol itu adalah mengenai soal-soal kemanusiaan, baik
aspek kejiwaannya atau moral sosial, terutama yang menyangkut keadilan.
Kemanusiaan adalah bentuk pembendaan dari kata sifat manusiawi. Manusiawi berarti bersifat
manusia (kemanusiaan) dan kemanusiaan adalah sifat-sifat manusia atau secara manusia dan
sebagai manusia (KBBI, 2003: 714). Oleh karena itu, tema-tema kemanusiaan dalam karya
sastra tidak pelak lagi dengan berbagai cara membicarakan manusia dan karakteristiknya,
manusia dengan segala tragedi dan kepedihannya, serta manusia dan kehidupannya.
Dalam usahanya memecahkan manusia sebagai misteri, para pengarang yang baik
berkesimpulan bahwa hidup memang pahit. Kebahagiaan yang dicetuskan di sana-sini dalam
karya-karya yang baik akhirnya dikalahkan oleh dominasi kepahitan hidup. Hampir semua
karya sastra yang baik mengimplikasikan, bahwa manusia adalah keterbatasan. Dalam karya
mereka kita melihat berkecamuknya manusia yang tidak jujur, manusia yang putus-asa,
manusia yang diinjak dan sebagainya. Sementara yang baik itu belum tentu menang dan yang
jelek belum tentu mendapat hukuman yang setimpal. Kalau dilihat dari segi ini saja, akan
nampak bahwa sastra menyadarkan manusia atau lebih menyadarkan manusia, bahwa hidup
adalah pahit dan bahwa keadilan belum tentu dapat menjalankan tugasnya. Kalau sastra
dianggap sebagai jalan untuk memanusiawikan manusia dan memang demikian, caranya adalah
justru dengan menunjukkan bahwa hidup adalah pahit. Sastra justru menunjukkan kenyataan
dan bukannya menipu atau mengatakan apa yang seharusnya terjadi tapi tidak terjadi. Karena
itu, yang tertinggal dalam renungan seseorang yang telah mengalami katarsis adalah juga
kepahitan hidup. (Darma, 1984: 70)
Soal-soal kemanusiaan dan kehidupan tersebut salah satunya bisa ditampilkan dalam bentuk
cerpen. Cerpen sebagai salah satu sarana pengungkapan nilai-nilai kehidupan dalam beberapa
hal tidak kalah dengan karya sastra lainnya (Suharjana, 2000: 10). Dengan kesingkatannya
cerpen mampu menjelaskan atau memaparkan bentuk-bentuk gejala sosial yang kompleks.
Selain itu, cerpen merupakan salah satu bentuk kesusastraan yang cukup menonjol dewasa ini.
Adanya media publikasi dengan siklus penerbitan instan seperti koran, majalah, dan internet—
yang semakin menonjol kehadirannya dewasa ini—membuat bentuk sastra seperti cerpen
tertunjang eksistensinya. Hal ini disebabkan format cerpen sendiri yang memang sesuai dengan
perputaran yang cepat, ringkas, dan bergegas tersebut. Sebuah cerpen selain dipublikasikan
lewat media di atas sebagian juga diterbitkan secara konvensional lewat bentuk buku kumpulan
cerpen.
Kumpulan cerpen Kuda Terbang Maria Pinto (KTMP) karya Linda Christanty (LC) merupakan
salah satu karya sastra yang lahir dari situasi tersebut. Semua cerpen yang dimasukkan ke
dalam kumpulan cerpen tersebut adalah karya yang sudah pernah dipublikasikan di berbagai
media massa nasional dan daerah meski dalam buku kumpulan cerpen itu sendiri tidak
diterangkan karena persoalan dalam teknis proses penerbitan
(http://www.vision.net.id/detail.php?id=3975). Karya-karya tersebut dipublikasikan pertama
kali dalam rentang tahun 2000 hingga tahun 2004 saat kumpulan cerpen ini diterbitkan.
Walaupun LC merupakan seorang pendatang baru dalam kancah sastra Indonesia, kumpulan
cerpen karangan perempuan lulusan UI kelahiran Bangka (1970) yang kini tengah menulis
novel tentang perburuhan di Indonesia ini dipandang cukup mengejutkan mata khalayak sastra
Indonesia ketika berhasil meraih penghargaan Khatulistiwa Literary Award (KLA) 2004. KLA
ini sendiri adalah sebuah penghargaan yang cukup diakui di Indonesia (http://www.pikiran-
rakyat.com/cetak/2006/102005/8/khazanah/index.html). Nama-nama besar seperti Goenawan
Mohammad, Remy Silado, dan Hamsad Rangkuti juga pernah meraih penghargaan yang baru
dimulai pada tahun 2000 ini.
Keberhasilan KTMP ini juga seperti memberi warna baru dalam peta sastra perempuan
Indonesia. Dalam ajang tersebut, karya ini, berdua dengan Negri Senja karya Seno Gumira
Ajidarma, berhasil menyingkirkan Jangan Main-Main (dengan Kelaminmu) karya Djenar
Mahesa Ayu. Padahal pada masa itu sedang mewabah tren penulisan berani tentang seks oleh
kalangan penulis perempuan. Jangan Main-Main (dengan Kelaminmu) karya Djenar Mahesa
Ayu sendiri belum genap setahun terbit telah mengalami cetak ulang keempat. Hal ini, seperti
dikemukakan Sambodja (http://www.sinarharapan.co.id/hiburan/budaya/2005/
0402/bud2.html), merupakan hal yang tergolong luar biasa karena mampu mengalahkan buku
pelajaran dalam hal cetak ulang. Akan tetapi, KTMP bisa mengalahkan popularitasnya di ajang
KLA 2004.
Sambodja menyatakan bahwa penilaian dewan juri KLA 2004 ini sungguh membesarkan hati
para pengajar sastra di sekolah-sekolah karena ternyata karya sastra yang berhak mendapat
penghargaan itu bukanlah karya sastra yang sekadar merangsang kelamin pembacanya,
melainkan juga yang merangsang pemikiran dan nurani pembacanya. Hasil riset Associated
Press (AP) 2003 mendudukkan Indonesia di peringkat kedua setelah Rusia dalam hal pornografi
(http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/2006/012006/14/khazanah/index.html). Oleh karena itu,
kehadiran KTMP karangan seorang penulis perempuan ini sungguh mengharukan.
Hal berbeda dikemukakan Susmana (http://www.kompas.com/kompas-
cetak/0406/27/Buku.html). Dia menganggap karya LC ini tidak sejalan dengan daya juang dan
keberanian penulis perempuan dewasa ini yang berbicara tentang seks secara blak-blakan.
Dalam soal perjuangan kaum perempuan, tulis Susmana, cerpen-cerpen LC masih terasa
menggantung. Namun, seperti kemukaan Saidi
(http://www.hamline.edu/apakabar/basisdata/1996/04/21/0006.html), premis tentang ideologi
patriarkat yang dianggap menekan kaum perempuan seperti didengungkan kaum feminis perlu
ditelusuri kembali. Dalam menafsirkan karya sastra (dengan wacananya yang ambigu),
subjektivitas seorang aktivis feminisme bisa berpengaruh terhadap hasil pemaknaan. Padahal
dengan cara lain (atau sudut pandang berbeda) sebuah karya bisa saja ditafsirkan sebaliknya,
termasuk dalam hal nilai-nilai feminisme.
Kemenangan kumpulan cerpen ini dalam ajang KLA 2004, seperti kemukaan para juri, adalah
karena kumpulan cerpen ini dilihat mampu menjadikan bahasa sebagai ”kendaraan” yang
membimbing pembacanya memasuki relung-relung batin paling tersembunyi dan tak terduga
(http://www.sinarharapan.co.id/berita/0410/13/ hib01.html). Peristiwa yang dilukiskan LC
dengan ringkas tetap mampu menyiratkan banyak dimensi. Selain itu, dalam kumpulan
cerpennya ini, LC dipandang memiliki kekuatan dalam hal yang amat mendasar yaitu makna.
LC mampu menjaga koherensi antara teknik dan tema dengan memanfaatkan konvensi-
konvensi dalam teknik retorika dan piranti sastra serta menata dan meraciknya secara kreatif
sesuai dengan tema. Wajar kiranya Sapardi Djoko Damono, pada sampul belakang kumpulan
cerpen ini, menilai bahwa kumpulan cerpen ini menjadi bayangan bagi perkembangan cerpen di
masa depan.
Litbang Kompas dalam sebuah resensinya menyatakan bahwa semua cerpen dalam kumpulan
cerpen ini sungguh menarik karena semuanya mengangkat tema kemanusiaan
(http://www.kompas.com/kompas-cetak/0405/ 22/pustaka/ 1037030.html). Sastrawan senior
Sutardji, dalam catatannya di sampul belakang buku kumpulan cerpen ini, memuji LC karena
dalam sebagian besar cerpennya, “kelamin prosa dan kelamin puisi menyatu bersejiwa
melahirkan pukauan mengasyikkan, mengatasi namun meninggikan ikhwal pesan pada tukikan
kedalaman yang mencerahkan”. Menampilkan tema-tema kemanusiaan tanpa menyerahkan
sastra ke bawah telapak kaki penindasan pesan bukanlah upaya gampang. LC, tegas Sutardji,
mampu menaklukkan kemuskilan ini.
Dalam wawancara dengan Wimar Witoelar, LC mengatakan bahwa soal-soal kemanusiaan
sangatlah menjadi perhatiannya (http://www.balipost.co.id/
BaliPostcetak/2004/6/14/rubrik.html). Ajaran-ajaran dari kakeknya yang seorang aktivis kaum
buruh sewaktu LC kecil, dan aktivitasnya sendiri sebagai penentang pemerintahan Soeharto
setelah dia dewasa, membentuk kepeduliannya pada soal-soal kemanusiaan tersebut. Oleh
karena itu, Witoelar dalam wawancara tersebut menyebut LC sebagai “begitu tenggelam dalam
dunia kepedihan dan ekspresi kemanusiaan”. Sekarang ini bahkan LC sedang bekerja sebagai
redaktur pada kantor berita Pantau di Banda Aceh, daerah yang sempat dilanda tragedi
kemanusiaan besar berupa bencana tsunami. Hal ini menunjukkan keterlibatan langsung dan
secara mendalam LC pada soal-soal kemanusiaan.
Dalam KTMP karya LC ini juga terlihat bagaimana dunia kepedihan dan ekspresi kemanusiaan
itu digarap dalam membicarakan kemanusiaan. Kumpulan cerpen ini terlihat begitu dalam
menggarap persoalan kemanusiaan dan jauh memasuki relung-relung kehidupan. Dalam
bahasanya Witoelar, “Linda begitu tenggelam dalam dunia kepedihan dan ekspresi
kemanusiaan”. Berikut sebuah kutipan dari salah satu cerpen LC dalam kumpulan cerpen ini:
Siang itu aku menyambut jam makan dengan perasaan aneh. Elia memanggang ikan hiu. Aku
tak mau makan daging hiu. Siapa tahu putri kami dimakan hiu. Kata orang-orang, Paula
dibuang ke laut dan mungkin dimakan hiu. Elia menghidangkan hiu panggang di meja makan,
tapi aku cuma menyentuh sayur bening sawi. Air mata menggenangi sepasang mataku. Ada
apa, tanya Elia. Tangisku makin keras. Ada apa, ia bertanya lebih lembut. Putri kita ada dalam
hiu ini, bisikku, tersendat-sendat. Ia langsung tersedak, beranjak dari kursi, menangis di tepi
bak cucian. Tak berapa lama ia kembali, meraih piring ikan di meja, lalu menuang isinya ke
tong sampah.
Di malam hari, aku memutuskan bicara pada istriku tentang Paula. Aku tak mau lagi menunggu
putri kami setiap malam. Aku ingin Paula tenang. Aku ingin kami menjalani hidup tenang tanpa
dia. Biarlah, anak kita bersama ibu, kataku. Istriku mengangguk pelan. (hlm.133)

Kutipan di atas diambil dari cerpen “Makam Keempat” yang bercerita tentang rasa kehilangan
orang tua (tokoh Aku dan Elia, istrinya) terhadap anaknya (tokoh Paula). Rasa kehilangan
tersebut terutama dialami tokoh Aku (ayah) yang menjadi pusat pengisahan. Pada cerpen ini
diceritakan bagaimana tokoh Aku ini mengalami sebuah halusinasi sebagai manifestasi atas
harapannya akan kehadiran putri tunggalnya yang telah sangat tipis kemungkinan untuk akan
kembali lagi ke rumah. Bayangannya tentang kemungkinan bahwa hiu di piring makannyalah
yang telah memakan putrinya juga memperlihatkan bentuk kepedihan ini. Meski peristiwa
dalam cerpen ini utamanya terkait dengan aktivitas politik tokoh Paula, makna cerpen ini justru
lebih tergarap lewat eksplorasiasi perasaan tokoh Aku sebagai sosok ayah yang tidak tahu di
mana “rimba” anak gadis semata wayangnya.
Kemudian juga, baik peristiwa maupun makna yang bisa didapat dari cerpen ini terlihat
berimbang menghadirkan dan mengangkat tema kemanusiaan. Dengan kata lain cerpen ini
cukup kuat menggarap dialektika antara makna dan peristiwa sebagaimana teori Ricoeur—hasil
interpretasi Ignas Kleden untuk penerapan pada cerpen—tentang sense dan reference (Kleden,
2004: 128). Selain itu, kesegaran dan kebaruan juga didapat karena tokoh yang dieksploitasi
perasaannya adalah sosok lelaki bukan seorang ibu dan kepekatan serta ironi atau kontras atas
kenyataan umum didapat karena yang menghilang karena aktivitas politik melawan pemerintah
tersebut adalah seorang anak perempuan, semata wayang pula.
Karya sastra merupakan suatu bentuk komunikasi yang disampaikan dengan cara yang khas.
Akibatnya karya sastra menjadi lain dan tidak lazim, namun juga bersifat kompleks sehingga
memiliki berbagai kemungkinan penafsiran dan sekaligus menyebabkan pembaca menjadi
terbata-bata untuk berkomunikasi dengannya (Nurgiyantoro, 2000: 34 – 35). Untuk itulah
kumpulan cerpen KTMP karya LC ini dianalisis.

1.2Pembatasan Masalah
Kumpulan cerpen KTMP karya LC ini memuat dua belas cerpen. Semuanya bertema
kemanusiaan. Variasi bahasan atas narasi besar kemanusiaan ini dihadirkan beragam.
Hubungan antara pengalaman kemanusiaan dengan sejenis trauma politis ataupun sekedar
berupa penghadiran latar peristiwa politik dapat ditemukan pada cerpen “Makan Malam”,
“Pesta Terakhir”, “Danau”, “Rumput Liar”, dan “Makam Keempat”. Lebih spesifik lagi,
peristiwa politis ini dihadirkan atau sangat dikaitkan dengan bentuk kejadian perang. Ini
terdapat pada cerpen “Kuda Terbang Maria Pinto”, “Perang”, “Joao”, dan “Qirzar”.
Cerpen “Lubang Hitam” dan “Balada Hari Hujan” mengupas dan membahas sisi kemanusiaan
manusia dari sisi perilaku seksualnya. Lebih tepatnya dua cerpen ini mengedepankan
keberlainan seksualnya. Penyimpangan terhadap normalitas di masyarakat kebanyakan, apalagi
menyangkut aspek sensitif, bisa berakibat fatal bagi timbulnya tragedi kemanusiaan dalam jiwa
tokoh-tokoh yang bukan orang kebanyakan. Cerpen pertama mengemukakan sosok lesbian dan
pelaku seks inses; cerpen kedua menampilkan seorang waria.
Terakhir, cerpen “Lelaki Beraroma Kebun” tegak sendiri menghadirkan tema kemanusiaan
yang kurang politis, tanpa perang dan konflik, serta sama sekali jauh dari isu seksual. Ikatan
batin pada keluarga dan tanah kelahiran merupakan segi yang mengemuka dalam cerita yang
sanggup menghadirkan romantisme dalam bentuk tak biasa-biasa saja ini. Tentu saja, wacana
simpati dan empati kemanusiaan pada akhirnya menjadi sangat mengemuka pada cerpen yang
berbicara tentang hubungan antarmanusia ini, sebagaimana juga cerpen-cerpen lainnya.
Dalam analisis ini penulis membatasi pada enam cerpen dari dua belas cerpen yang ada dalam
kumpulan cerpen KTMP karya LC ini. Penulis membatasi analisis keenam cerpen tersebut pada
unsur tema yang dianggap mewakili kedua belas cerpen yang ada dalam kumpulan cerpen ini.
Tema kemanusiaan yang menjadi pokok analisis ini kehadirannya begitu menonjol dalam
keenam cerpen ini. Kemenonjolan unsur tema ini terbukti dengan lakuan yang ditampilkan
tokoh pada setiap cerpen. Hal ini bukan berarti unsur-unsur yang lain tidak ada, tetapi sebagai
pendukung munculnya tema.
Dalam cerpen yang baik akan terkandung tema yang baik dan bermanfaat untuk pembaca.
Dengan demikian, unsur tema dalam cerita sangat penting di samping unsur lainnya. Tema
karya sastra selalu berkaitan dengan salah satu masalah kehidupan dan masalah tersebut
dihadapi dan dialami manusia (Suharjana, 2000: 11). Pemilihan judul-judul cerpen yang dipilih
ini didasari kesamaan tema-tema kemanusiaannya yang begitu dominan. Keenam cerpen yang
menjadi bahan analisis tersebut yaitu:
1.“Kuda Terbang Maria Pinto”,
2.“Makan Malam”,
3.“Pesta Terakhir”,
4.“Balada Hari Hujan”,
5.“Lelaki Beraroma Kebun”, dan
6.“Makam Keempat”.
1.3Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:
1.Mengetahui kesatuan tematik cerpen-cerpen dalam kumpulan cerpen KTMP karya LC.
2.Mendeskripsikan makna-makna dan nilai-nilai yang didapat dari enam cerpen yang dianalisis
terkait benang merah tema yang diusung kumpulan cerpen ini dan variasi nuansa atas tema
tersebut pada setiap cerpennya.

1.4Metode Penelitian
Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode struktural. Metode struktural adalah metode
yang mengkaji karya sastra sebagai struktur yang dibangun oleh unsur-unsur seperti tema,
tokoh, alur, dan latar. Satu konsep dasar yang menjadi ciri khas teori struktural adalah adanya
anggapan bahwa di dalam dirinya sendiri karya sastra merupakan suatu struktur yang otonom
yang dapat dipahami sebagai suatu kesatuan yang bulat dengan unsur-unsur pembangunnya
yang saling berjalinan (Pradopo dkk. dalam Suwondo, 2003b: 54). Dengan menggunakan teori
struktural, yang menjadi pelopor masuknya pendekatan objektif ke Indonesia pada 1960-an,
diharapkan dapat dihasilkan hasil-hasil yang baru sekaligus maksimal dalam memahami karya
sastra (Ratna, 2004: 73).
Metode struktural yang digunakan dalam penelitian ini diharapkan mampu mengungkapkan
permasalahan kemanusiaan yang dieksplorasi dalam kumpulan cerpen KTMP karya LC. Jadi,
unsur-unsur karya sastra berusaha dipahami dan dinilai sepenuhnya atas dasar permasalahan
tempat dan fungsi unsur-unsur tersebut dalam keseluruhan karya sastra (Pradopo, 1995: 41).
Dalam kaitan ini Teeuw (1984: 35) menyatakan bahwa analisis struktural bertujuan untuk
membongkar dan memaparkan secermat, seteliti, dan semendetail mungkin keterjalinan semua
anasir dan semua aspek yang terdapat dalam karya tersebut.
Teknik analisis dibagi menjadi empat tahap yaitu:
1.Membaca karya sastra (kumpulan cerpen) secara linear sampai mendapat kejelasan tentang
semua isi karya tersebut.
2.Memilih cerpen-cerpen yang dinilai mampu mewakili keseluruhan cerpen dalam karya
tersebut.
3.Mengidentifikasi unsur-unsur seperti tokoh, latar, dan sudut pandang.
4.Melihat hubungan antarunsur tadi sehingga menghasilkan kebulatan tema yang global sebagai
nyawa yang menjadi akhir analisis.

1.5Sistematika Penulisan
Penelitian ini disusun atas empat bab. Bab I berisi pendahuluan yang terdiri atas latar belakang
masalah, pembatasan masalah, tujuan penelitian, metode penelitian, dan sistematika penulisan.
Bab II berupa landasan teori tentang strukturalisme, cerpen, struktur cerpen, dan kemanusiaan.
Bab III merupakan pembahasan yang meliputi corak estetis, ringkasan cerita, analisis struktur
umum, dan pembahasan tema kemanusiaan setiap cerpen.
Bab IV berisi simpulan.
BAB II
LANDASAN TEORI

2.1 Telaah Struktural


M.H. Abrams menyajikan empat model pendekatan dalam studi sastra. Keempat model ini,
dengan konsep dan tata kerja masing-masing, dipandang telah mencakup keseluruhan situasi
dan orientasi karya sastra. Keempat model tersebut juga dipandang telah mengandung
pendekatan kritis utama terhadap karya sastra. Keempat model tersebut adalah: (1) pendekatan
ekspresif, (2) pendekatan pragmatik, (3) pendekatan mimetik, dan (4) pendekatan objektif
(Pradotokusumo, 2002: 45).
Pendekatan ekspresif adalah model yang menonjolkan pengkajiannya terhadap peran pengarang
sebagai pencipta karya sastra. Pendekatan pragmatik adalah model yang lebih menitikberatkan
sorotannya terhadap peranan pembaca sebagai penyambut dan penghayat sastra. Pendekatan
mimetik lebih berorientasi pada aspek referensial yang terkait dengan kenyataan atau dunia
nyata. Pendekatan objektif adalah model yang memberikan perhatian penuh pada karya sastra
sebagai struktur yang otonom dengan koherensi intrinsik.
Pendekatan objektif merupakan pendekatan yang terpenting sekaligus memiliki kaitan yang
paling erat dengan teori sastra modern, khususnya teori-teori yang menggunakan konsep dasar
struktur (Ratna, 2004: 72). Kritik sastra objektif, kata Sayuti (Suwondo, 2003: 167), mendekati
karya sastra sebagai sesuatu yang berdiri bebas dari pengarang, audiens, dan dunia yang
melingkupinya. Kritik ini memerikan karya sastra sebagai objek yang mencukupi dirinya
sendiri atau sebagai dunia dalam dirinya sendiri; yang hendaknya dianalisis dan ditimbang
dengan kriteria intrinsik seperti kompleksitas, koherensi, keseimbangan, integritas, dan
interrelasi elemen-elemennya.
Prinsip objektif tersebut memiliki pengertian bebas dari unsur prasangka dan adanya distansi
antara peneliti dengan objek yang diteliti. Menariknya, gejala-gejala dalam situasi kesastraan
sering menuntut perhatian tersendiri (Soeratno, 2003: 12-13). Soeratno mengingatkan bahwa
generalisasi sebagaimana yang dianjurkan oleh suatu metode penelitian positivistik tentu saja
tidak dapat dilakukan mengingat karya sastra juga memiliki sifat unik dan khusus. Hal ini
membuat seorang peneliti sastra mesti sangat berperan sebagai penyibak kekaburan
(transferabilitas).
Pendekatan objektif baru masuk ke Indonesia pada sekitar tahun 1960-an, dengan jalan mulai
dikenalnya teori strukturalisme (Ratna, 2004: 73), meskipun pendekatan objekif di dunia Barat
sama tuanya dengan umur puitika sebagai cabang ilmu pengetahuan sebagaimana bahasan
Aristoteles dalam bukunya Poetica (Pradotokusumo, 2002: 45). Selden (1991: 53) mengatakan
bahwa pendekatan-pendekatan struktur terhadap kesusastraan menantang beberapa kepercayaan
yang paling dihargai oleh pembaca awam. Kebiasaan mengait-ngaitkan sebuah karya sastra
dengan kenyataan atau pengarang, misalnya, sudah sejak dahulu menjadi kebiasaan umum; hal
ini tentu berbeda dengan model pendekatan objektif yang berlepas diri dari hal-hal tersebut.
Namun, seperti yang dikatakan Ratna (2004: 73), pendekatan objektif merupakan pendekatan
yang terpenting sebab pendekatan apapun yang dilakukan pada dasarnya bertumpu atas karya
sastra itu sendiri.
Hawkes—dalam pandangan yang sesungguhnya didasari oleh pandangan Aristoteles ketika
menulis Poetica—mengatakan bahwa strukturalisme adalah cara berpikir tentang dunia yang
dikaitkan dengan persepsi dan deskripsi struktur (Teeuw, 1984: 120). Pada hakikatnya dunia ini
lebih tersusun pada hubungan-hubungan daripada benda-bendanya sendiri. Dalam kesatuan
hubungan itu, setiap unsur atau anasirnya tidak memiliki makna sendiri-sendiri kecuali dalam
hubungannya dengan anasir-anasir lain sesuai dengan posisinya di dalam keseluruhan struktur.
Dengan demikian, struktur merupakan sebuah sistem, yang terdiri atas sejumlah anasir, yang di
antaranya tidak satu pun dapat mengalami perubahan tanpa menghasilkan perubahan dalam
semua anasir lain (Strauss dalam Teeuw, 1984: 140-141).
Menurut Jean Piaget, sebuah struktur dapat diidentifikasi berdasarkan unsur-unsurnya. Pertama,
struktur adalah tatanan. Dengan demikian, dalam struktur ada stabilitas. Kedua, struktur
dicirikan oleh keutuhan, transformasi, dan pengaturan diri. Struktur berfungsi menjaga
keutuhan sebuah sistem bahasa dari erosi akibat perubahan waktu. Tapi, pada saat yang sama,
struktur juga mengubah tindakan-tindakan bahasa ke arah yang lebih produktif, dan kemudian
menstabilkannya kembali. Tegangan antara transformasi dan pengaturan-diri selalu intrinsik
dalam setiap struktur. Tanpa tarik menarik antara kedua unsur tersebut, sebuah struktur tidak
akan bertahan lama (Fayyadl, 2005: 32).
Terbitnya buku Cours de Linguistique Generale karya Ferdinand de Saussure dianggap sebagai
permulaan pemikiran strukturalis (Krampen, 1996: 55-56; Fayyadl, 2005: 31). Dalam linguistik,
pemikiran struktural de Saussure ini telah mengubah tekanan studi linguistik dari pendekatan
diakoronik ke sinkronik. Dalam telaah karya sastra, pemikiran de Saussure ini secara langsung
dianggap telah mempengaruhi langsung kaum Formalis Rusia dan Strukturalisme Praha
(Nurgiyantoro, 2000: 36). Bahkan dia dianggap telah mempersiapkan jalan bagi lahirnya
posstrukturalisme dalam kaitan dengan teori tentang otonomi tanda-tanda (atau makna-teks)
dan kematian subjek, terlepas dari paradigma logosentrisme yang masih membayang dan
menaunginya (Fayyadl, 2005: 61-62).
Analisis struktural karya sastra, seperti cerita rekaan, dapat dilakukan dengan mengidentifikasi,
mengkaji, dan mendeskripsikan fungsi dan hubungan antar unsur intrinsiknya. Pada awalnya
diidentifikasikan dan dideskripikan, misalnya, bagaimana peristiwa terjadi, tema, plot, tokoh
dan penokohan, latar, sudut pandang, dan lain-lain. Kemudian dijelaskan fungsi setiap unsur itu
dalam menunjang makna keseluruhannya dan bagaimana hubungan antar unsur-unsur itu
sehingga secara bersama membentuk makna yang padu (Suharjana, 2000: 14; Nurgiyantoro,
2000: 37).
Analisis struktural dalam dunia kritik sastra telah begitu mengalami perkembangan dewasa ini.
Analisis struktural juga dipandang memiliki banyak kelemahan karena melepaskan karya sastra
dari banyak aspek ekstrinsiknya. Hal ini juga mengundang minat para kritikus kritis untuk
mengembangkan model-model pendekatan lain sebagai reaksi atas strukturalisme, semisal
semiotik dan dekonstruksi, atau mungkin nanti akan muncul lagi model terbaru yang lebih
canggih. Pun begitu, Teeuw (1983: 61) berpendapat bahwa bagaimanapun juga analisis struktur
merupakan tugas prioritas bagi seseorang peneliti sastra sebelum ia melangkah ke hal-hal lain.

2.2 Cerpen
Cerpen adalah cerita berbentuk prosa yang relatif pendek (Sumardjo & Saini K.M., 1997: 30).
Akan tetapi, berapa ukuran panjang pendeknya itu memang tidak ada aturannya; tidak ada satu
kesepakatan antara para pengarang dan para ahli. Edgar Allan Poe pernah mengatakan bahwa
cerpen adalah sebuah cerita yang selesai dibaca dalam sekali duduk, kira-kira berkisar antara
setengah sampai dua jam—suatu hal yang kiranya mustahil diperlakukan terhadap novel
(Nurgiyantoro, 2000: 10).
Walaupun sama-sama pendek, panjang cerpen itu sendiri bervariasi. Ada cerpen yang pendek
(short short story), bahkan mungkin pendek sekali (berkisar 500-an kata); ada cerpen yang
panjangnya cukupan (midle short story), serta ada cerpen yang panjang (long short story), yang
terdiri dari puluhan (atau bahkan beberapa puluh) ribu kata. Karya yang lebih panjang lagi dari
cerpen disebut novelet; novelet ini lebih pendek dari novel.
Dalam pembedaan berdasarkan bentuk fisiknya tersebut ada juga jenis-jenis cerita pendek yang
bukan cerpen. Jenis itu adalah fabel, yakni cerita yang pendek dengan tokoh-tokoh binatang
yang mengandung ajaran moral. Ada juga parabel yakni cerita pendek yang mengambil-ambil
ajaran agama dari bagian-bagian kitab suci. Cerita rakyat adalah juga cerita pendek, yakni
tentang orang-orang atau peristiwa-peristiwa suatu kelompok suku atau bangsa yang diwariskan
turun temurun, biasanya secara lisan. Ada juga anekdot, yakni cerita yang pendek berisi kisah
lucu dan eksentrik dari tokoh-tokoh sejarah atau orang biasa baik nyata maupun hanya rekaan
semata (Sumardjo & Saini K.M., 1997: 36).
Kemudian, sebagai ciri dasarnya, cerpen memiliki sifat rekaan. Cerpen bukan penuturan
kejadian yang pernah terjadi, berdasarkan kenyataan kejadian yang sebenarnya, tetapi murni
ciptaan saja, direka oleh pengarangnya. Meskipun cerpen hanyalah rekaan, ia ditulis
berdasarkan kenyataan kehidupan. Apa yang diceritakan di cerpen memang tidak pernah
terjadi, tetapi dapat terjadi semacam itu. Orang membaca cerita rekaan bukan sekedar membaca
lamunan. Orang membaca cerita rekaan karena ia menunjukkan sesuatu sisi kenyataan.
Orang menghayati pengalaman seseorang, mengidentifikasikan diri dengan tokoh cerita rekaan
sehingga dapat ikut mengalami peristiwa-peristiwa yang dihadapinya, perbuatan-perbuatannya,
pikiran dan perasaannya, keputusan dan keputusasaanya, dilema-dilemanya, dan sebagainya.
Kebenaran kehidupan bukan hanya dapat kita dekati melalui ilmu pengetahuan atau filsafat
yang lebih banyak berdasarkan penalaran semata, tetapi juga lewat penghayatan perasaan orang
lain. Aristoteles memformulasikannya dengan kata-kata bahwa sastra (termasuk cerpen)
merupakan jalan keempat menuju kebenaran setelah filsafat, sains, dan agama.
Terakhir, cerpen bersifat naratif atau penceritaan (Sumardjo & Saini K.M., 1997: 37). Cerpen
bukanlah pencandraan (deskripsi) atau argumentasi dan analisis tentang sesuatu hal, tetapi
cerita. Namun tidak setiap cerita dapat disebut cerpen. Dalam hal ini sebuah sketsa
(penggambaran tentang sesuatu kenyataan), berita, dan kisah perjalanan dan petualangan juga
berbentuk cerita, namun semua itu berdasarkan hal-hal yang benar-benar ada dan telah terjadi.
Secara umum dapat disimpulkan bahwa cerpen adalah cerita atau narasi (bukan analisis
argumentatif) yang fiktif (tidak benar-benar telah terjadi tetapi dapat terjadi di mana saja dan
kapan saja) serta relatif pendek. Penceritaan atau narasi tadi harus dilakukan secara hemat dan
ekonomis. Inilah sebabnya dalam sebuah cerpen biasanya hanya ada satu tokoh saja, hanya ada
satu peristiwa, dan hanya ada satu efek saja bagi pembacanya. Semuanya harus serba ekonomis
sehingga hanya ada satu kesan saja bagi pembacanya. Namun begitu, sebuah cerpen harus
merupakan suatu kesatuan bentuk yang betul-betul utuh dan lengkap.
Ketunggalan peristiwa dalam cerpen dapat dipahami dalam bentuk hadirnya satu konflik utama
di dalamnya. Sebagaimana skema tradisonal yang sudah umum dikenali tentang runtutan alur
sebuah cerita, mulai dari tahap awal hingga akhir, dalam alur terdapat sebuah peristiwa klimaks
yang umumnya dibangun dari tegangan yang dihasilkan konflik dalam cerita. Beragam
peristiwa yang faktualnya juga serta ada dalam cerita pada akhirnya akan merujuk pada
peristiwa utama yang dihadirkan dan ditonjolkan oleh lain-lain peristiwa tersebut.
Dari sekian peristiwa penting dalam sebuah cerita pada akhirnya akan dihasilkan satu peristiwa
terpenting yang diangkat ke muka. Hal ini tentu saja terkait juga dengan tema pokok,
pemusatan tokoh, pengintensifan sebuah latar, penyataan amanat utama, dan seterusnya. Dalam
cerpen, dengan segala kesingkatannya, tentu pula hal demikian semakin berkecenderungan
lebih kuat untuk terjadi. Hal ini pula yang membuat sebuah cerpen sering diidentifikasikan
secara teoritis sebagai beralur tunggal.
Contoh ketunggalan peristiwa dalam sebuah cerpen ini dapat dilihat pada cerpen “Sungai”
karya Nugroho Notosusanto. Cerpen karangan sastrawan sekaligus birokrat yang juga sempat
terlibat dalam dunia kemiliteran ini sangat suspensif sekali menghadirkan ketunggalan konflik
lewat pengklimaksan alurnya. Cerpen yang berlatarkan peristiwa sejarah Perjanjian Renville ini
bercerita tentang sebuat tragedi kemanusiaan saat seorang ayah mesti memutuskan untuk
mengakhiri nafas anak kandungnya.
Sersan Kasim, sang ayah tersebut, dijadikan pusat cerita dalam cerpen ini; namun, dengan
melalui berbagai titik peristiwa. Berawal dari perjalanannya bersama prajurit-prajurit TNI
lainnya dari Jawa Barat ke Yogya dengan membawa serta istri-anaknya, saat kematian istrinya
di Yogya ketika melahirkan Acep, putranya, hingga cerita terus mengalir ke waktu perjalanan
kembali Sersan Kasim bersama Acep ke tempat semula. Tentu saja pembagian garis besar ini
bisa lebih akan beragam lagi satuan peristiwanya jika diurai dengan lebih detail. Namun dari
sekian peristiwa itu, kejadian saat Sersan Kasim menenggelamkan Acep di Sungai Serayulah
yang pada akhirnya paling jadi menonjol sebagai peristiwa. Dari peristiwa tersebut muncul
sebuah tragedi yang sangat mengharukan. Tragedi ini terhubung erat pada tema kemanusiaan,
sesuatu yang lebih universal daripada sekedar kepentingan politis berbagai negara yang sedang
saling bertengkar.
Dalam “Seribu Kunang-Kunang di Manhattan” karya Umar Kayam ternyata bisa juga didapat
esensi ketunggalan peristiwa sebuah cerpen ini. Kepadatan cerita dalam sebuah cerpen pada
cerpen ini bukannya didapat dari terdapatnya satu buah latar tempat, yakni apartemen Jane;
justru kehadiran tempat yang tunggal tersebut memberikan peluang besar bagi tokoh-tokohnya
yang terkurung secara fisik untuk mengelebatkan ingatan hingga fantasi mereka ke berbagai
belahan tempat lainnya, baik yang nyata maupun yang khayalan semata. Jane terbayang
Tommy, Empire State Building, Alaska, Paman Tom, hingga taman kota, sementara Marno
terkenang istri dan kunang-kunang kampung halamannya. Ketunggalan peristiwa justru
dihasilkan oleh peristiwa akhir setelah selesai sekian obrolan ke sana-sini sebelumnya:
bagaimana menafsirkan menghilangnya Marno ke balik pintu yang terdengar sebentar beberapa
langkah dan bantal tidur Jane yang basah?
Cerpen-cerpen yang berperistiwa tunggal ini, selain publikasi awal lewat kehadirannya di media
massa, pada akhirnya dikumpulkan ke dalam sebuah buku sehingga menjadi sebuah kumpulan
cerpen. Kumpulan cerpen yang terdiri atas beragam cerpen ini selain bisa pula seragam dan
memiliki ketunggalan tema namun tak pelak pula bisa cukup sangat beragam menggarap
berbagai tema. Namun dalam keragaman maupun keseragaman itu, sebuah cerpen karena
kesingkatannya akan cukup sulit untuk menghindari ketunggalan peristiwa yang sudah
semestinya hadir pada esensinya. Contoh-contoh di atas telah menunjukkan bukti-bukti.
Kumpulan cerpen pada dasarnya kumpulan beberapa cerpen yang termuat dalam sebuah buku.
Cerpen yang dikumpulkan mungkin berasal dari seorang pengarang, dua atau tiga pengarang,
atau sejumlah pengarang. Kumpulan cerpen biasanya memiliki kesamaan pada salah satu
unsurnya. Kesamaan tersebut biasanya terletak pada tema keseluruhan cerpen yang ditampilkan
(Suharjana, 2000: 9-10). Kumpulan cerpen merupakan sarana untuk menerbitkan cerpen dalam
bentuk buku, selain alternatif mempublikasikan cerpen di media massa atau media on-line. Ada
kecenderungan dewasa ini bahwa kumpulan cerpen adalah publikasi ulang dari cerpen-cerpen
yang telah terlebih dahulu diumumkan lewat koran minggu yang memiliki ruang sastra. Selain
itu tentunya ada saja cerpenis pemula yang punya nyali untuk menerbitkan secara independen
karya perdananya sebagai sebuah perlawanan terhadap otoritas koorporasi kapital media-media
publikasi mapan.

2.3 Struktur Cerpen


Secara tradisional, unsur-unsur dalam cerpen bisa digolongkan menjadi dua bagian. Pertama
adalah unsur intrinsik. Unsur intrinsik adalah unsur-unsur yang membangun karya sastra itu
sendiri. Unsur intrinsik ini meliputi tema, latar, penokohan, sudut pandang, alur, amanat, dan
gaya bahasa. Unsur inilah yang secara faktual akan dijumpai dalam membaca karya sastra.
Kedua adalah unsur ekstrinsik. Unsur ekstrinsik adalah unsur-unsur yang berada di luar karya
sastra, tetapi secara tidak langsung mempengaruhi bangunan atau sistem organisme karya
sastra. Unsur ini antara lain meliputi pandangan hidup pengarang, situasi politik, ekonomi, dan
sosial (Nurgiyantoro, 2000:23-24).
Stanton (Nurgiyantoro, 2000: 25) membagi unsur sebuah cerita rekaan kepada tema, fakta, dan
sarana cerita. Tema adalah sesuatu yang menjadi dasar cerita. Ia selalu berkaitan dengan
berbagai pengalaman kehidupan, seperti masalah cinta, kasih, rindu, takut, maut, religius,
kemanusiaan, dan sebagainya. Dalam hal tertentu, sering, tema dapat disinonimkan dengan ide
dan tujuan utama cerita.
Fakta (facts) dalam sebuah cerita meliputi karakter (tokoh cerita), plot, dan setting. Ketiganya
merupakan unsur fiksi yang secara faktual dapat dibayangkan peristiwanya, eksistensinya,
dalam sebuah novel. Oleh karena itu, ketiganya dapat pula disebut sebagai struktur faktual
(factual structure) atau derajat faktual (factual level) sebuah cerita. Ketiga unsur tersebut harus
dipandang sebagai satu kesatuan dalam rangkaian keseluruhan cerita, bukan sebagai sesuatu
yang berdiri sendiri dan terpisah satu dengan yang lain.
Sarana pengucapan sastra, sarana kesastraan (literary devices), adalah teknik yang
dipergunakan oleh pengarang untuk memilih dan menyusun detil-detil cerita (peristiwa dan
kejadian) menjadi pola yang bermakna. Tujuan penggunaannya sarana kesastraan adalah untuk
memungkinkan pembaca melihat fakta sebagaimana yang dilihat pengarang, menafsirkan
makna fakta sebagaimana yang ditafsirkan pengarang, dan merasakan pengalaman seperti yang
dirasakan pengarang. Macam sarana kesastraan yang dimaksud antara lain berupa sudut
pandang penceritaan, gaya (bahasa) dan nada, simbolisme, dan ironi.
Berdasarkan tuntutan ekonomis serta efek pada pembacanya, biasanya penulis cerpen akan
mementingkan salah satu unsur dalam cepennya (Sumardjo & Saini K.M., 1997: 37). Dalam hal
ini, penekanan salah satu unsur cerpen tidak berarti meniadakan unsur-unsur lainnya. Sebuah
cerpen mesti lengkap, bulat, dan utuh. Artinya, harus memenuhi unsur-unsur bentuk yang sudah
disebutkan tadi. Hanya pengarang dapat memusatkan (fokus) pada salah satu unsurnya saja
yang mendominasi cerpennya, seperti aspek tema.

2.3.1 Tema
Tema adalah pokok pikiran atau dasar sebuah cerita. Tema dipakai sebagai dasar mengarang
(KBBI, 2003: 1164). Hal ini berarti tema adalah ide sebuah cerita. Pengarang dalam menulis
ceritanya bukan sekedar mau bercerita, tapi mau mengatakan sesuatu pada pembacanya
(Sumardjo & Saini K.M., 1997: 56). Sesuatu yang hendak dikatakannya itu bisa jadi merupakan
sebuah masalah kehidupan atau pandangan hidupnya tentang kehidupan ini. Bisa juga disebut
komentarnya atas kehidupan ini.
Kejadian dan perbuatan tokoh cerita, semuanya didasari oleh ide pengarang tersebut. Sebuah
cerpen selalu harus mengatakan sesuatu, yaitu pendapat pengarang tentang kehidupan ini,
sehingga orang bisa menjadi memahami kehidupan ini dengan lebih baik. Adanya tema
membuat karya sastra lebih penting dari sekedar hiburan (Sudjiman, 1987: 50).
Dalam membaca cerita rekaan sering terasa bahwa pengarang tidak sekedar ingin
menyampaikan sebuah cerita demi bercerita saja. Ada sesuatu yang dibungkusnya dalam
bercerita. Dengan kata lain ada sebuah konsep sentral yang dikembangkannya dalam cerita itu.
Alasan pengarang hendak menyajikan cerita ialah hendak mengemukakan suatu gagasan.
Gagasan, ide, atau pilihan utama yang mendasari suatu karya sastra tersebutlah tema.
Tema yang banyak dijumpai dalam karya sastra yang bersifat didaktis adalah pertentangan
antara buruk dan baik. Secara lebih kongkret tema pertentangan baik dan buruk ini dinyatakan,
misalnya, dalam bentuk kebohongan melawan kejujuran, kelaziman melawan keadilan, atau
korupsi melawan hidup sederhana.
Ada kalanya tema cerita dengan jelas dinyatakan, artinya dinyatakan secara eksplisit. Ada juga
yang dinyatakan secara simbolik. Banyak pula yang disampaikan secara implisit (tersirat).
Tema itu beragam-ragam ditinjau dari segi corak maupun kedalamannya. Cinta, kehidupan
keluarga, merupakan tema yang disukai dan bersifat universal (Sudjiman, 1987: 50-52). Masih
banyak lagi ragam tema dan teknik penyampaiannya.
Tema menurut Stanton dan Kenny adalah makna yang dikandung sebuah cerita (Nurgiyantoro,
2000: 67). Dalam sebuah cerita bisa didapatkan bermacam-macam makna. Karena itu, defenisi
sebuah tema mesti lebih dipersempit lagi. Hartoko & Rahmanto mendefenisikan tema sebagai
gagasan dasar umum yang menopang sebuah karya sastra dan yang terkandung di dalam teks
sebagai struktur semantis dan yang menyangkut persamaan-persamaan atau perbedaan-
perbedaan (Nurgiyantoro, 2000: 68).
Tema disaring dari motif-motif yang terdapat dalam karya sastra yang menentukan hadirnya
peristiwa-peristiwa, konflik, dan situasi tertentu. Tema dalam banyak hal bersifat mengikat
kehadiran atau ketidakhadiran peristiwa, konflik, dan situasi tertentu, termasuk berbagai unsur
intrinsik yang lain, karena hal-hal tersebut haruslah bersifat mendukung kejelasan tema yang
ingin disampaikan.
Tema menjadi dasar pengembangan seluruh cerita. Oleh sebab itu ia pun bersifat menjiwai
seluruh bagian cerita. Tema mempunyai generalisasi yang lebih umum, lebih luas, dan lebih
abstrak. Dengan demikian, untuk menemukan tema sebuah karya fiksi, haruslah dilakukan
penyimpulan atas keseluruhan cerita, tidak hanya berdasarkan bagian-bagian tertentu saja.
Tema, walau sulit ditentukan secara pasti, bukanlah makna yang disembunyikan, walau belum
tentu juga dilukiskan secara eksplisit. Tema sebagai makna pokok sebuah karya fiksi tidak
secara sengaja disembunyikan, karena justru inilah yang ditawarkan pengarang kepada
pembaca. Tema merupakan makna keseluruhan yang mendukung cerita; dengan sendirinya ia
akan tersembunyi di balik cerita yang mendukungnya.
Sebagai sebuah makna, pada umumnya tema tidak dilukiskan, paling tidak pelukisan yang
secara langsung atau khusus. Eksistensi atau kehadiran tema adalah terimplisit dan merasuki
keseluruhan cerita. Hal inilah yang menyebabkan kecilnya kemungkinan pelukisan secara
langsung tersebut. Hal ini juga menyebabkan tidak mudahnya menafsirkan tema (Nurgiyantoro,
2000: 68-69).
Karena tema tersembunyi di balik sebuah cerita, penafsiran terhadapnya haruslah dilakukan
dengan berdasarkan pada fakta-fakta yang ada yang secara keseluruhan membangun cerita. Hal
tersebut bisa dimulai dengan cara memahami cerita, mencari kejelasan ide-ide perwatakan,
peristiwa-peristiwa, konflik, dan latar. Para tokoh utama biasanya dibebani tugas membawakan
tema. Oleh karena itu, penafsiran terhadap tema bisa difokuskan pada upaya mengawasi gerak-
gerik tokoh utama tersebut.
Penemuan tema, selain dengan cara tersebut, sebaiknya juga disertai dengan usaha untuk
menemukan konflik sentral yang ada dalam cerita. Konflik, yang merupakan salah satu unsur
pokok dalam pengembangan ide cerita dan plot, pada umumnya erat berkaitan dengan tema.
Usaha menemukan dan memahami konflik utama yang dihadapi tokoh utama merupakan cara
khusus untuk menentukan tema sebuah cerita (Nurgiyantoro, 2000: 85-86).
Dalam menafsirkan tema sebuah novel, misalnya, Stanton (Nurgiyantoro, 2000: 86-88)
mengemukakan adanya sejumlah kriteria yang dapat diikuti. Berikut kriteria-kriteris yang
dimaksud:
a.Penafsiran tema sebuah novel hendaknya mempertimbangkan tiap detail cerita yang
menonjol. Kriteria ini merupakan hal yang paling penting. Hal itu disebabkan pada detail-detail
yang menonjol (atau: ditonjolkan) itulah—yang dapat diidentifikasi sebagai tokoh-masalah-
konflik utama—pada umumnya sesuatu yang ingin disampaikan ditempatkan. Kesulitan yang
mungkin dihadapi adalah dalam hal menemukan atau menentukan detail-detail yang menonjol
tersebut, apalagi jika novel yang bersangkutan relatif panjang dan sarat dengan berbagai
konflik. Detail cerita yang demikian diperkirakan berada di sekitar persoalan tokoh utama yang
menyebabkan terjadinya konflik yang dihadapi (-kan kepada) tokoh utama. Dengan kata lain,
seperti telah dikemukakan, tokoh-masalah-konflik utama merupakan tempat yang paling
strategis untuk mengungkapkan tema utama sebuah novel.
b.Penafsiran tema sebuah novel hendaknya tidak bertentangan dengan tiap detail cerita. Novel,
sebagai salah satu genre sastra, merupakan suatu sarana pengungkapan keyakinan, kebenaran,
ide, gagasan, sikap dan pandangan hidup pengarang, dan lain-lain yang tergolong unsur isi dan
sebagai sesuatu yang ingin disampaikan. Oleh karena itu, tentunya pengarang tidak akan
menjatuhkan sendiri sikap dan keyakinannya yang diungkapkan dalam detail-detail cerita
tertentu lewat detail-detail cerita tertentu lainnya. Jika hal yang demikian terjadi, cobalah
diulangi sekali lagi penafsiran itu barangkali terjadi kesalahpahaman.
c.Penafsiran tema sebuah novel hendaknya tidak mendasarkan diri pada bukti-bukti yang tidak
dinyatakan baik secara langsung maupun tidak langsung dalam novel yang bersangkutan. Tema
cerita tidak dapat ditafsirkan hanya berdasarkan perkiraan, sesuatu yang dibayangkan ada dalam
cerita, atau informasi lain yang kurang dapat dipercaya. Penentuan tema dari kerja yang
demikian kurang dapat dipertanggungjawabkan karena kurangnya data empiris. Tidak jarang
sejumlah pembaca membayangkan tema sebagai sesuatu yang filosofis, muluk-muluk, dan jika
ternyata di dalam cerita tidak ditemukan harapannya itu, mereka seolah-olah tetap memaksakan
sebagai ada ditemui.
d.Penafsiran tema sebuah novel haruslah mendasarkan diri pada bukti-bukti yang secara
langsung ada dan atau yang disarankan dalam cerita. Kriteria ini mempertegas kriteria
sebelumnya. Penunjukkan tema sebuah cerita haruslah dapat dibuktikan dengan data-data atau
detail-detail cerita yang terdapat dalam cerita bersangkutan, baik yang berupa bukti-bukti
langsung, artinya kata-kata tersebut dapat ditemukan langsung dalam novel, maupun tidak
langsung, artinya hanya berupa penafsiran terhadap kata-kata yang ada. Dalam sebuah novel
kadang-kadang dapat ditemui adanya data-data tertentu, mungkin berupa kata-kata, kalimat,
alinea, atau bentuk dialog, yang dapat dipandang sebagai bentuk yang berisi (dan atau
mencerminkan) tema pokok cerita yang bersangkutan.
Kriteria-kriteria tersebut di atas secara umum dapat pula diterapkan terhadap cerita pendek.
Cerita pendek dan novel masih merupakan jenis sastra yang relatif sama. Pandangan sangat
sederhana bahkan hanya membedakan novel dan cerpen berdasarkan ketebalan jumlah
halamannya atau kesingkatan waktu relatif pembacaannya.
Di antara pelbagai perbedaan yang ada antara cerpen dan novel, cerpen dan novel
sesungguhnya juga memiliki kesamaan. Selain sama-sama berjenis cerita rekaan yang
umumnya bersifat prosaik, dalam hal tema cerpen pun bisa sangat sarat makna hingga juga
tema sebagaimana halnya sebuah novel. Kesingkatan, hingga kepadatan, yang terjadi pada
cerpen justru membuat hal tersebut tak muskil untuk terjadi.
Tema tidak perlu selalu berwujud moral, atau ajaran moral. Tema bisa saja hanya berwujud
pengamatan pengarang terhadap kehidupan; simpulannya, atau bahkan hanya bahan mentah
pengamatannya saja. Pengarang bisa saja hanya mengemukakan suatu masalah kehidupan dan
problem tersebut tidak perlu ia pecahkan. Pemecahannya terserah pada masing-masing
pembaca (Sumardjo & Saini K.M., 1997: 56).
Pengarang menyatakan ide atau temanya dalam unsur cerita. Pengarang-pengarang lama
memang sering suka menyatakan secara eksplisit simpulan ceritanya sendiri, seperti dalam
halnya cerita didaktis untuk kanak-kanak. Misalnya di akhir cerita dikatakan: membohongi
orang lain itu tidak baik dan orang yang berbuat jahat pasti akan mendapatkan hukuman atas
perbuatannya; atau kebenaran pada akhirnya akan menang mutlak atas segala jenis pola
kejahatan.
Dalam cerpen yang berhasil, tema justru tersamar dalam seluruh elemen. Pengarang
mempergunakan dialog-dialog tokoh-tokohnya, jalan pikirannya, perasaannya, kejadian-
kejadian, setting cerita untuk mempertegas atau menyarankan isi temanya. Seluruh unsur cerita
jadi memperkuat satu arti saja, satu tujuan. Dan yang mempersatukan segalanya itu adalah tema
(Sumardjo & Saini K.M., 1997: 56).
Namun sudah selayaknya pula untuk cerpen-cerpen yang mengklaim diri telah berjiwa modern-
kontemporer guna justru menghindari sifat otoritatif tema. Sikap konservatif sebuah tema bisa
menghadirkan kekakuan ekspresi bagi sebuah cerita. Goenawan Mohammad (2000: xxv)
menyebut istilah cerpen topikal untuk jenis sastra koran. Danujaya (2000: 139), juga untuk jenis
sastra koran ini, menyebutnya dengan istilah penjajahan tema. Masalah penjajahan tema—
dalam hal ini tema-tema sosial, ekonomi, politik, dan hukum yang bermunculan di koran—pada
kesusastraan, kata Danujaya, pernah menjadi suatu topik pergunjingan yang hangat di kalangan
para kritikus sastra.
Satu sifat yang terdapat dalam cerpen-cerpen yang “patuh serta tunduk” pada topik adalah
bahwa cerita sebagai inti lebih berkuasa dan lebih sentral ketimbang kisah; sesuatu yang
membawa kita kembali surut menuju paradigma lama. Pada awalnya sekedar sebuah ide,
namun kemudian ternyata itulah yang menjadi terpenting. Bahasa akibatnya hanya sekedar
menjadi komunikator yang siap pakai, bukan sebuah wilayah penjelajahan tersendiri. Bahasa
cerpen sebagai sebuah karya sastra pun kemudian menjadi, seringnya bahkan, hanya
meminjam-minjam statemen lazim di rubrik berita koran-koran, tidak jarang mengulang-ulang
klise lama, atau bahkan menggunakan kata yang sama berkali-kali dalam satu paragraf; beku
dan miskin kreatifitas.
Sebagai alternatif perlawanan terhadap cengkraman kaku topik terhadap cerita, maka dalam
dunia penulisan prosa dikenallah apa yang disebut cerpen situasi (Mohammad, 2000: xxvi).
Dalam cerpen situasi, karakter setiap tokoh bisa berkembang secara wajar tanpa harus terbebani
bobot tema, apalagi kehendak yang serba memaksa milik nurani pengarang. Dengan
“kewajaran” tersebutlah pembaca akan bisa yakin bahwa dia sedang berhadapan dengan karya
sastra, sebuah cerita, bukan berita apalagi propaganda.
Dalam membaca sebuah cerpen, memang pembaca bisa hanyut dalam pelukisan karakter-
karakternya, konflik yang penuh suspense, dan sebagainya. Akan tetapi kalau cerpen tersebut
selesai dibaca, maka barulah terasa bahwa semua itu mengandung satu arti yang berupa visi
pengarang terhadap dunia.
Sebuah cerpen kadang-kadang banyak menimbulkan penafsiran. Hal itu terletak pada temanya,
sesuatu yang dikandung oleh sebuah cerpen. Memang dalam sebuah cerpen kadang-kadang
tidak hanya terdapat satu penafsiran tema saja. Sebuah cerpen yang besar mengandung banyak
persoalan yang bersegi-segi. Mungkin mengandung masalah moral, masalah sosial, masalah
individu, masalah spritual, dan sekaligus juga masalah politik.
Mencari arti sebuah cerpen, pada dasarnya adalah mencari tema yang terkandung dalam cerpen
tersebut. Usaha dalam rangka memburu makna itu sesungguhnya sangat mengasyikkan.
Jelaslah bahwa pengarang pastilah tidak secara jelas umumnya mengungkapkan tema
karangannya. Tapi tema itu merasuk dan menyatu dalam semua unsur cerpen. Dengan cara itu
pula sebuah karangan akan menjadi cerpen yang baik dan berhasil.
Semakin banyak persoalan serta implikasi-implikasinya yang terkandung dalam sebuah cerpen,
maka semakin baguslah cerpen tersebut. Dengan hal itu, cerpen tersebut akan kaya dengan
penafsiran-penafsiran; ramai dengan keberbagaian kemungkinan. Cerpen seperti itulah yang
biasanya berdaya tahan menempuh waktu karena ia tidak menjemukan bagi pembaca-pembaca
yang kreatif. Sebuah karya seni yang mengajak orang berpikir biasanya adalah karya seni yang
dihargai (Sumardjo & Saini K.M., 1997: 57).

2.3.2 Tokoh
Kecenderungan cerpen modern adalah penekanan pada unsur perwatakan tokohnya. Ini tidak
berarti bahwa pada cerpen lama perwatakan tidak dipentingkan. Penulis-penulis cerpen jenis ini
banyak menciptakan karakter besar, tokoh cerita dengan watak yang tidak akan terlupakan.
Unsur watak atau karakter dalam cerpen modern menjadi begitu menonjol dan dominan antara
lain disebabkan oleh semakin berkembangnya ilmu jiwa. Terutama psikoanalisis yang
menawarkan daerah baru dalam menyelami kehidupan jiwa manusia.
Tokoh-tokoh dalam cerpen modern mendapatkan sorotan lebih tajam dari para penulisnya, jadi
bukan hanya sekedar elemen untuk membawakan cerita. Di Indonesia dapat disebut Budi
Darma yang sebagian karya cerpennya diumumkan di majalah sastra Horison atau rubrik seni
dan budaya hari minggu di Kompas. Konflik yang mendasari plot ceritanya merupakan konflik
jiwa tokoh-tokoh protagonisnya. Kejadian-kejadian dalam cerpen-cerpennya berpusat pada
konflik watak tokoh utamanya.
Mutu sebuah cerpen banyak ditentukan oleh kepandaian seorang pengarang dalam
menghidupkan watak tokoh-tokohnya. Kalau karakter tokoh lemah, maka menjadi lemahlah
oleh karenanya seluruh cerita. Setiap tokoh semesti memiliki kepribadian sendiri-sendiri.
Bergantung dari masa lalunya, pendidikannya, asal daerahnya, atau juga pengalaman hidupnya.
Seorang penulis yang cekatan hanya dalam satu adegan saja sanggup memberikan pada kita
seluruh latar belakang kehidupan seseorang. Bukan dengan menceritakannya secara langsung
kepada pembaca, tapi dengan mendramatisasinya. Hal ini dilaksanakan lewat cara bicaranya.,
reaksinya terhadap peristiwa, caranya berpakaian, tindakan-tindakannya, dan sebagainya.
Dalam sebuah cerita yang bersifat rekaan, kepribadian yang didapat tidaklah sama dengan
kepribadian orang-orang yang ada dalam kehidupan sebenarnya. Kepribadian dalam kehidupan
sehari-hari begitu kompleks, tetapi kepribadian dalam cerita hanya perlu menonjolkan beberapa
sifat saja karena seni itu intensifikasi, penuh arti, dan padat. Tokoh cerita semestinya
digambarkan seintens mungkin. Apa yang diucapkannya, apa yang diperbuatnya, apa yang
dipikirkannya, apa yang dirasakannya harus betul-betul menunjang penggambaran wataknya
yang khas milik dia (Sumardjo & Saini K.M., 1997: 63-65).
Namun dalam estetika kontemporer, tidak ada salahnya pula ketika tokoh dan perwatakannya
ditampilkan dengan begitu rumit dan tak selesai. Paradigma posmoisme memang merayakan
keragaman dan memaafkan perbedaan. Bahkan menaifkan upaya-upaya pemutlakan. Tak ada
sentral dan yang tunggal; yang ada adalah proses dialektis (dan eklektis) dan pencarian terus
menerus sebagaimana usaha Iwan Simatupang “mengakhiri” novel Koong-nya (1975).
Oleh karena “keresehan” ilmiah untuk senantiasa menghadirkan distingsi dan membuat-buat
kategorisasi, kata Danujaya (2000: 136), para teoritikus sastra sering membedakan fiksi
menjadi dua corak; yakni, antara yang lebih menekankan pada jalinan alur (plotting) dan yang
lebih menekankan pada pengembangan karakter (story line). Pembedaan corak ini memang
tidak bersangkut paut langsung dengan kualitas sastra sebuah karya, namun kebanyakannya
karya sastra yang dianggap bermutu memang yang berada di jalur story line.
Sebagaimana pembicaraan tentang cerpen topikal sebelumnya, pada karya yang lebih
cenderung mendukung bagi upaya pengembangan karakter segala macam penindasan tema,
topik, hingga plot cerita yang sudah ditentukan dari awal bisa dihindari. Perlawanan terhadap
hegemoni pusat, atas, atau dengan kata lain narasi besar (topik) merupakan nilai lebih estetika
kontemporer. Namun, untuk jenis cerpen, upaya pembedaan di atas memang agak sulit dan
lebih samar dibandingkan bentuk fiksi lain yang lebih panjang seperti novel karena paksaan
efesiensi dan efektivitas pemakaian bahasa dalam pemerian maupun pencitraan menuntut
pemakaian semua unsur penceritaan dengan lebih singkat dan padu.
Sumardjo & Saini K.M. (1997: 63-66) memerikan beberapa jalan yang akan menuntun menuju
identifikasi sebuah karakter:
a.Melalui apa yang diperbuatnya, tindakan-tindakannya, terutama sekali bagaimana dia
bersikap dalam situasi kritis. Watak seseorang memang kerap sekali tercermin dengan jelas
pada sikapnya dalam situasi gawat (penting), karena ia tak bisa lagi berpura-pura. Ia akan
bertindak spontan menurut karakternya. Situasi kritis dalam hal ini tidak harus ditafsirkan
kondisi bahaya, tapi situasi yang mengharuskan dia mengambil keputusan dengan segera.
b.Melalui ucapan-ucapannya. Dari apa yang diucapkan oleh seorang tokoh cerita, dapat dikenali
apakah dia orang tua, orang dengan pendidikan yang masih rendah atau tinggi, sukunya,
perempuan atau lelaki, orang berbudi halus atau kasar, dan sebagainya.
c.Melalui penggambaran fisik tokoh. Penulis sering membuat deskripsi mengenai bentuk tubuh
dan wajah tokoh-tokohnya. Yaitu tentang cara berpakaian, bentuk tubuhnya, dan sebagainya.
Tetapi dalam cerpen modern cara ini sudah jarang dipakai. Dalam fiksi lama penggambaran
fisik kerap kali dilakukan untuk memperkuat watak.
d.Melalui pikiran-pikirannya. Melukiskan apa yang dipikirkan oleh seorang tokoh adalah salah
satu cara penting untuk mempertentangkan perwatakannya. Dengan cara ini pembaca dapat
mengetahui alasan-alasan tindakannya. Dalam kenyataan hidup, penggambaran yang demikian
memang mustahil. Tapi inilah konvensi fiksi.
e.Melalui penerangan langsung. Dalam hal ini, penulis membentangkan panjang lebar watak
tokoh secara langsung. Hal ini berbeda sekali dengan cara tidak langsung, yang pengungkapan
watak lewat perbuatannya, apa yang diucapkannya, menurut jalan pikirannya, dan sebagainya.

2.3.3 Latar
Tempat suatu peristiwa terjadi dalam pandangan Balzac sama pentingnya dengan peristiwa itu
sendiri. Ia memiliki peran untuk dimainkan; ia perlu digambarkan sama jelasnya dengan unsur
yang lain. Hal tersebut dikemukakan Henry James, sastrawan termasyhur dari Amerika. Novelis
Prancis tersebut memang terkenal sangat bekerja keras untuk melukiskan lingkungan fisik bagi
cerita-ceritanya. Sampai kadang-kadang sebelum membuat cerita yang berlatar belakang kota
tertentu, ia akan mengunjungi kota tersebut, memilih beberapa rumah, dan menggambarkan
rumah-rumah tersebut sedemikian detail, sampai pada baunya (Adesita, 2004: 14).
Namun tentu saja, tidak semua harus begitu. Abidah El Khalieqy misalnya. Pemenang kedua
Sayembara Novel 2003 DKJ ini mengakui bahwa setting luar negeri bagi Geni Jora-nya sekedar
didapat berbekal riset buku, browsing internet, hingga chatting dengan rekan-rekan luar
negerinya. Hasilnya cukup luar biasa. Novel tersebut berhasil menghadirkan keindahan negeri
Maroko dan Suriah di Timur Tengah sana dengan cukup mempesona. Berwawasan, kata
Sapardi Djoko Damono, dan eksotis, imbuh Budi Darma, serta menggemaskan, sambung
Maman S Mahayana—ketiganya dewan juri sayembara novel tersebut. Belum lagi jika
menengok karya-karya yang fantastis dengan sekedar berbekal fantasi semata. Bahkan karya
bercorak realis seperti yang ditulis Karl May pun konon kabarnya berbekal riset kepustakaan
semata.
Secara sederhana latar bisa diartikan waktu dan tempat terjadinya cerita. Namun pengertian ini
sah-sah saja diperluas dan diperdalam. Latar pada prakteknya bisa beroperasi lebih subtil dalam
kerangka estetika cerita-cerita dengan corak tertentu. Dia bisa juga menjadi dangkal untuk
konteks cerita-cerita tertentu (Adesita, 2004: 14-15). Pada prinsipnya, latar merujuk pada segala
keterangan, petunjuk, dan pengacuan yang berkaitan dengan waktu, ruang, dan suasana
terjadinya peristiwa dalam sebuah karya (Sudjiman, 1987: 44).
Setting dalam fiksi bukan hanya sekedar sebagai background, artinya bukan hanya
menunjukkan tempat kejadian dan kapan kejadian. Sebuah cerpen dan novel memang harus
terjadi di suatu tempat dan dalam suatu waktu. Harus ada tempat dan ruang kejadian. Dalam
fiksi lama tempat kejadian cerita dan tahun-tahun terjadinya disebutkan panjang lebar oleh
penulisnya. Dalam hal ini memang latar sekedar menjadi tempat terjadinya cerita (Sumardjo &
Saini K.M., 1997: 75).
Dalam cerpen Indonesia modern latar telah digarap para penulis menjadi unsur cerita yang
penting. Terlebih lagi dalam estetika kontemporer meski tidak harus. Ia terjalin erat dengan
tema, karakter, dan suasana cerita. Hanya tahu di mana suatu cerita terjadi saja tidak cukup
karena sastra bukanlah alat untuk menginformasikan fakta. Setting dalam cerpen modern telah
menjadi begitu kompleks terjalin dengan unsur-unsur cerpen lainnya.
Setting bukan hanya menunjukkan tempat dan waktu tertentu tetapi juga hal-hal yang hakiki
dari suatu wilayah, sampai pada macam debunya, pemikiran rakyatnya, kegilaan mereka, gaya
hidup mereka, kecurigaan mereka, dan sebagainya. Dalam cerpen yang baik, setting harus
benar-benar mutlak untuk menggarap tema dan karakter cerita. Dari setting wilayah tertentu
harus dihasilkan perwatakan tokoh tertentu dan juga tema tertentu. Kalau sebuah cerpen
settingnya dapat diganti dengan tempat mana saja tanpa mengubah atau mempengaruhi watak
tokoh-tokoh dan tema cerpennya, maka setting demikian akan kurang integral.
Dalam cerpen yang berhasil, setting terintegrasi (menyatu) dengan tema, watak, gaya, dan
implikasi (kaitan) filosofis. Cerpen dengan setting perang misalnya dapat berbicara soal-soal
khusus seperti dendam, pelarian, kebencian, pengungsian, pengkhianatan, patriotisme, politik,
dan kemanusiaan. Dalam setting yang demikian bisa didapatkan banyak kesempatan untuk
terbahasnya segi-segi watak manusia (Sumardjo & Saini K.M., 1997: 76).

2.3.4 Sudut Pandang


Dalam sebuah cerita, kisah atau apa yang disajikan sebagai isi cerita selalu disuguhkan dari
sudut pandang tertentu. Hal itu dapat berasal dari berbagai pihak: pencerita yang memberi sudut
pandang yang mencakup atau salah seorang tokoh (Luxemburg, 1991: 125). Penggunaan istilah
sudut pandang sering tidak jelas apa yang diacunya. Ada yang mengartikan sudut pandang
pengarang; ada juga yang menggunakannya dengan arti sudut pandang pencerita. Ada pula
yang menganggap keduanya sama saja, karena pengarang dan pencerita tidaklah perlu kiranya
dibedakan (Sudjiman, 1987: 75).
Sudut pandang pada dasarnya adalah visi pengarang, artinya sudut pandangan yang diambil
pengarang untuk melihat suatu kejadian cerita. Dalam hal ini harus dibedakan dengan
pandangan pengarang sebagai pribadi, sebuah cerpen adalah pandangan pengarang terhadap
kehidupan. Suara pribadi pengarang jelas akan masuk ke dalam karyanya. Ini kemudian lazim
dikenal dengan istilah gaya pengarang (stilistika). Sedangkan sudut pandang hanya menyangkut
teknik bercerita saja, yaitu soal bagaimana pandangan pribadi pengarang dapat diungkapkan
dengan sebaik-baiknya (Sumardjo & Saini K.M., 1997: 76).
Sudut pandang cerita itu sendiri secara garis besar dapat dibedakan ke dalam dua macam: gaya
“aku” dan “dia”. Dari sudut pandang persona pertama dan ketiga tersebut, dengan berbagai
variasinya, sebuah cerita dikisahkan. Kedua sudut pandang tersebut masing-masing menyaran
dan menuntut konsekuensinya sendiri. Oleh karena itu, wilayah kebebasan dan keterbatasan
perlu diperhatikan secara objektif sesuai dengan kemungkinan yang dapat dijangkau sudut
pandang yang dipergunakan. Bagaimanapun pengarang mempunyai kebebasan tidak terbatas. Ia
dapat mempergunakan beberapa sudut pandang sekaligus dalam sebuah karya jika hal tersebut
dirasakan lebih efektif (Nurgiyantoro, 2000: 249).
Dadaisme, juara Sayembara Menulis Novel DKJ 2003, merupakan sebuah contoh karya sastra
kontemporer yang dinilai oleh sebagian kalangan kritikus sastra Indonesia papan atas cukup
berhasil untuk tidak menyederhanakan soal sudut pandang di tengah arus era baru kreatifitas
ini. Berikut dikutipkan sebagian naskah pertanggungjawaban dewan juri lomba tersebut dari
tulisan Maman S Mahayana, salah seorang juri dari dua orang juri lainnya: Sapardi Djoko
Damono dan Budi Darma, di Media Indonesia (http://www.media-indonesia.com/news
print.asp?Id=2004071023464677&Jenis=c&cat_name=Tifa):
Novel Dadaisme (No Kode 46) mengawali kisahannya dengan peristiwa-peristiwa yang seperti
tidak ada hubungannya satu dengan yang lain. Sebuah rangkaian fragmen yang lepas-lepas.
Cerita seperti melompat ke sana ke mari yang sebenarnya saling bersinggungan.
Penghubungnya adalah peristiwa masa lalu. Dari sanalah secara perlahan terungkap kaitan
tokoh yang satu dengan tokoh yang lain. Di antara itu, di sana-sini muncul pula kisah-kisah
halusinasi dengan tokoh-tokoh imajiner. Bentuk pencerita pun dimanfaatkan ganti-berganti,
mulai dari pencerita orang pertama (aku), orang ketiga (dia), sampai ke pencerita orang kedua
(kamu). Dengan bermain dalam tataran psikologi, tema penyimpangan akibat peristiwa
traumatis masa lalu seperti tidak dapat terlepas dari pergantian bentuk penceritaan itu. Novel ini
seperti membentangkan serpihan-serpihan kritik atas kultur etnik, perselingkuhan, halusinasi,
dunia surealis, dan peristiwa tragis.

2.4 Kemanusiaan
Dalam Divina Comedia, Dante berkata kepada Beatrice, “Di tengah-tengah perjalanan hidup
kita, saya menemukan diri saya di sebuah hutan gelap gulita.” Hutan itu gelap karena dia tidak
dapat melihat apa yang terjadi di seberang yang lain. Untuk menembus kegelapan ini, dia
memerlukan cahaya dan cahaya ini tidak lain dan tidak bukan adalah agama, filsafat, dan seni
(salah satunya sastra) (Darma, 1984: 70) .
Ilustrasi dari tulisan Budi Darma tersebut, yang notabenenya merujuk pula pada pernyataan
Aristoteles, mengisyarat dengan eksplisit betapa kesusastraan sangat berperan bagi
kemanusiaan. Proposisinya sebaliknya dengan proporsi yang tetap sama: karya sastra sarat
dengan nilai-nilai kemanusiaan.
Karya sastra, fiksi, senantiasa menawarkan pesan moral yang berhubungan dengan sifat-sifat
luhur kemanusiaan, memperjuangkan hak dan martabat manusia. Sifat-sifat luhur kemanusiaan
tersebut pada hakikatnya bersifat universal, meski pragmatisnya bisa beraplikasi lokal
(Nurgiyantoro, 2000: 321).
Keuniversalan tersebut berarti sifat-sifat itu dimiliki dan diyakini oleh manusia sejagat. Ia tidak
hanya bersifat kebangsaan, apalagi keseorangan, walau memang terdapat ajaran moral
kesusilaan yang hanya berlaku dan diyakini oleh kelompok-kelompok tertentu. Sebuah karya
fiksi yang menawarkan pesan moral yang bersifat universal, seperti nilai-nilai luhur
kemanusiaan, biasanya akan diterima kebenarannya secara universal pula (Nurgiyantoro, 2000:
322).
Putu Wijaya dalam salah sebuah artikelnya juga menegaskan bahwa kemanusiaan tersebut
bersifat universal (http://www.bahasa-sastra.web.id/putu. asp). Rasa kemanusiaan itu
menyeberangi perbedaan budaya, warna kulit, agama, anutan, dan keyakinan; ia menembus
batas suku dan negara, menyeberangi waktu dan jarak, serta menembus perbedaan strata sosial.
Bahkan, ia juga tidak terhalangi oleh kekuasaan yang merupakan bagian yang sangat
berpengaruh dalam berbagai sengketa antarbangsa.
Sastra, lanjut Wijaya, sejak awal sudah melihat kemanusiaan sebagai lahan yang sangat kaya
dan luas jangkauannya. Sebagai upaya untuk menerobos segala barikade konteks manusia
masing-masing pada tempat, waktu, dan suasananya, sastra memilih tema-tema terbaik, seperti
kematian, kelahiran, kesakitan, kesedihan, kesenangan, kesangsian, penantian, persengketaan,
persaudaraan, cinta, dan nafsu-nafsu bawah sadar yang sangat mendasar dan berserak pada
setiap manusia di seluruh jagat raya.
Sastra dengan demikian menjadi “warga negara” dunia yang bebas masuk ke mana saja karena
dia kelihatan, tetapi tidak tampak seluruhnya. Ia adalah imajinasi yang hanya akan tertangkap
oleh mata hati yang peka. Ia berwujud, tetapi tidak seluruhnya bertubuh karena ia adalah sebuah
pengalaman spiritual. Sastra sudah menjadi sebuah jaringan internasional yang tidak terkendali
lagi kemampuan jangkauannya, tidak terhalang-halangi lagi oleh batas-batas negara dan politik.
Ia begitu ampuh, tetapi juga begitu halus, tidak ubahnya seperti yang dilakukan oleh jaringan
internet dewasa ini. Sastra membebaskan manusia dari berbagai batasan.
Keuniversalan yang ditampilkan karya sastra dengan mengusung nilai-nilai kemanusiaan—
sehingga menghapuskan segala batas-batas yang memisahkan manusia—bukan berarti pula
menyatakan bahwa manusia yang satu harus sama rata dengan manusia yang lain, tetapi hanya
untuk menyadarkan bahwa manusia satu dengan yang lain saling terkait dan tidak mungkin
seseorang hidup tanpa manusia yang lain. Sastra yang universal memberitahukan bahwa
manusia memiliki kemungkinan yang seharusnya sama, tetapi ada perjuangan, kegigihan, dan
kemudian keberuntungan atau nasib baik yang menjadikannya berbeda. Wijaya berkata bahwa
berbeda tidak berarti bermusuhan, tetapi memiliki perjalanan yang tidak sama
perkembangannya.
Dalam sejarah sastra Indonesia, tema kemanusiaan merupakan aspek yang cukup menonjol
hadir ke permukaan. Dalam merekonstruksi sejarah awal sastra Indonesia, Sambodja
(http://cybersastra.net/cgi-bin/naskah/viewesai.cgi?category =5&id=1030357707)
mengemukakan kekurangtepatan penganggapan tema kebangsaan sebagai sarana identifikasi
bagi kesusastraan Indonesia. Pada perkembangannya justru tema kemanusiaanlah yang lebih
banyak diangkat oleh karya-karya puncak khasanah sastra Indonesia. Paling akrab dikenal
adalah semangat humanisme universal yang diusung oleh seniman-seniman Gelanggang hingga
kelompok Manifes Kebudayaan.
Dalam mengamati perkembangan cerpen-cerpen dalam kesusastraan Indonesia terkini,
Ahmadun Yosi Herfanda mengungkapkan dua mainstream terkuat yang menonjol dewasa ini.
Keduanya sastra karangan penulis yang umumnya perempuan yang memang sedang menjadi
perbincangan hangat akhir-akhir ini. Golongan pertama adalah cerpen-cerpen yang mengusung
feminisme dengan jargon-jargon seksual vulgar. Golongan kedua adalah penulis cerpen-cerpen
Islami. Namun di antara dua arus pendatang baru tersebut, dengan jumlah yang tidak kalah
banyak ternyata tetap bertahan penulis-penulis sastra yang mengangkat tema humanisme
universal atau kemanusiaan (http://www.republika. co.id/ koran_ detail.asp?
id=249828&kat_id=364).
Contoh yang cukup mutakhir, namun juga telah cukup mapan, bagi jenis ketiga ini adalah buah
karya-buah karya Seno Gumira Ajidarma yang dianggap tokoh cerpenis Angkatan 2000
(http://www.republika.co.id/koran_detail.asp?id= 60132&kat_id=102&kat_id1=&kat_id2=).
Kekuatan pengarang yang satu ini dapat dilihat, setidaknya, dari penghargaan yang diterimanya
pada ajang KLA 2004. Bersama kumpulan cerpen KTMP karya LC, Seno mendapat
penghargaan dalam kategori fiksi atas novelnya yang berjudul Negeri Senja. Produktivitas
penulis yang satu ini—dapat dilihat dengan tebaran tulisannya di media massa—dan semangat
kemanusiaan universal yang diangkatnya membuat ia menjadi tokoh sastra Indonesia yang
cukup diperhitungkan dewasa ini.
Tentu tidak lupa pula karangan-karangan penulis gaek semacam Budi Darma, Putu Wijaya,
Danarto, hingga Ratna Indraswari Ibrahim yang sempat memunculkan kekhawatiran tentang
regenerasi tokoh-tokoh sastra Indonesia. Dalam bidang novel, tersebutlah Iwan Simatupang
sebagai sosok yang sangat kental mengangkat tema kemanusiaan ini, utamanya soal
keterasingan individu (http://cybersastra.net/cgi-bin/naskah/viewesai.cgi?
category=5&id=1030357707). Bersama banyak pengarang mapan lainnya, penulis-penulis ini
selalu menyisipkan ide-ide tentang kemanusiaan dalam karya-karyanya. Hal ini menunjukkan
bahwa tema kemanusiaan selalu laris nyaris sepanjang sejarah kesusastraan Indonesia.
Contoh bagaimana karya sastra, khususnya cerpen, mengangkat tema kemanusiaan ini dapat
dilihat pada cerpen “Si Montok” karya A.A Navis. Dalam cerpen yang diterbitkan pada usianya
yang ke-77 ini, Navis mengangkat tema kemanusiaan lewat satire dan ironi yang dibangunnya
atas kehidupan militer pada zaman perang. Ide bagi Navis untuk menulis tentang militer dan
kemanusiaan ini muncul pada 1995 ketika ia menyaksikan “…hampir sebulan seluruh stasiun
televisi menyiarkan para pejuang dengan segala atribut di bahu dan dada mengisahkan
pertempuran dalam menegakkan kemerdekaan. Seolah tidak ada orang selain dari mereka yang
berjuang.”
Dalam cerpen “Si Montok” terdapat kisah tentang seorang wanita desa yang dinikahi seorang
komandan tentara berpangkat kapten pada masa perang. Awalnya kapten tersebut secara
kebetulan saja bertemu wanita desa tersebut. Ketika perang usai sang kapten tersebut kembali
ke kota. Wanita itu, yang diberi julukan si Montok sebab “keindahannya”, ditinggalkan di desa
hingga anak yang dikandungnya lahir. Di kemudian hari, bersama anak laki buah
perkawinannya dengan sang kapten, si Montok menemui sang kapten yang telah naik pangkat
menjadi mayor di rumahnya di kota.
Akibatnya, isteri Mayor yang sebelumnya dan sebenarnya marah besar. Wanita itu mengambil
pistol suaminya dan menembak. Tembakan mengenai lengan suaminya dan lengan itu akhirnya
harus diamputasi. Akibatnya pemilik lengan tersebut dipensiun muda. Navis menutup cerita
tersebut dengan kata-kata: “Kedua perempuan itu menyesal... Si Mayor menyesali nasibnya.
Namun, tidak diketahui apakah pistol itu pun ikut menyesal, karena selama perang tidak pernah
melukai musuh, tetapi sehabis perang melukai pemiliknya sendiri”.
Meskipun bukan seorang tentara, berbeda dengan Nugroho Notosusanto atau Trisnoyuwono
yang kerap menulis cerpen berlatar militer, Navis dalam kehidupannya banyak berkawan
dengan perwira militer sehingga wajar jika ia memiliki stok respon cukup memadai untuk
menulis tentang kehidupan tentara dan aspek manusiawi mereka. Sebagaimana Idrus lewat Dari
Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma atau Asrul Sani dengan Naga Bonar, Navis yang juga
nonmiliter ini cenderung mengungkapkan sisi gelap kehidupan militer. Namun lelucon-lelucon
pahit atas ganasnya pertempuran tersebut tidak terkesan sebagai cemoohan terhadap dunia
militer belaka. Ironi yang diangkat Navis, ungkap Adila, lebih sebagai sentuhan batin terhadap
masalah kemanusiaan—kemanusiaan yang digadaikan yang disebabkan oleh peperangan, nafsu,
dan kekuasaan (http://www.kompas.com/ kompas-cetak/0104/15/seni/iron32.htm).
Sutardji Calzoum Bachri menyatakan bahwa manfaat dari karya sastra adalah memberikan
pencerahan kepada pembacanya (http://www.republika. co.id/koran_detail.asp?
id=182197&kat_id=102). Karya sastra sesungguhnya dapat memberi hikmah dan hikmah dari
karya sastra yang baik adalah membuat orang yang membacanya tercerahkan. Karya sastra
mencerahkan karena memberikan penyadaran terhadap masalah-masalah kemanusiaan.
Seorang sastrawan bahkan dapat menjadi agen perubahan jika karya-karyanya dapat
memberikan kesadaran baru bagi pembacanya dan mendorong mereka untuk melakukan
perubahan. Dengan karya sastra suatu bangsa menjadi menghargai masalah-masalah
kemanusiaan dan keluhuran budi pekerti. Karena itu, karya sastra juga menjadi salah satu tolak
ukur kemajuan suatu bangsa.
Oleh karena itu, sangatlah tidak sukar untuk ditemukan adanya nilai-nilai kemanusiaan dalam
karya sastra—dengan segala keragaman estetika dan stilistiknya, baik itu seni untuk seni
maupun seni untuk misi. Nurgiyantoro (2000: 331) menyatakan bahwa seorang pengarang
umumnya tampil sebagai pembela kebenaran dan keadilan, ataupun sifat-sifat luhur
kemanusiaan yang lain. Ia tidak akan diam, meskipun barangkali lewat jalan yang diam-diam,
dan dengan karangannya itu akan diperjuangkannya hal-hal yang diyakininya kebenarannya.
Hal-hal yang memang salah dan bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan tidak akan
ditutup-tutupinya sebab terhadap nilai seni ia hanya bertanggung jawab kepada dirinya sendiri.

BAB III
TEMA KEMANUSIAAN
DALAM KUMPULAN CERPEN KUDA TERBANG MARIA PINTO
KARYA LINDA CHRISTANTY

3.1 Corak Estetis Kumpulan Cerpen KTMP


Pembacaan terhadap kumpulan cerpen KTMP karya LC ini dapat menghasilkan sebuah
petualangan tersendiri. Beraneka ragam warna dan cita rasa estetis terdapat pada cerpen-cerpen
dalam kumpulan cerpen ini. Sebelum mendeskripsikan struktur umum dan makna-makna yang
dapat digali dari keenam cerpen yang dianalisis, berikut akan dituliskan sekilas corak estetis
yang terdapat pada kumpulan cerpen ini. Dua hal yang dipandang cukup menonjol untuk
dibicarakan sebagai contoh corak estetis yang digunakan dalam kumpulan cerpen ini adalah
terdapatnya gaya realis dan surealis serta terdapatnya penggunaan diksi yang puitis.
3.1.1 Gaya Realis dan Surealis
Dari dua belas cerpen yang terhimpun dalam kumpulan cerpen KTMP ini, terlihat beragam
ekpresi estetika ditampilkan. Dilihat dari dua kutub oposisional aspek mimetik karya, gaya
surealis dan realis, kumpulan cerpen ini terlihat menggunakan keduanya. Kedua gaya tersebut
bisa terdapat berimbang pada sebuah karya dan bisa juga salah satunya lebih menonjol pada
karya lain. Oleh karena itu sulit untuk mengotakkan kumpulan cerpen ini ke dalam salah satu
ragam estetika saja. Dengan kata lain, dalam kumpulan cerpen ini tidak hanya terdapat gaya
realis namun juga terdapat bagian-bagian yang bersifat surealistik.
Gaya realis dalam kumpulan cerpen ini bisa dilihat dari kutipan berikut ini:
Kadangkala Ibu mengunjungiku. Kami berjalan-jalan melihat kota, naik becak atau andong.
Kami makan di restoran dan belanja macam-macam keperluan wanita. Menyenangkan.
Setelah tamat perguruan tinggi, aku kembali ke rumah kami. Baru kali ini aku sungguh-
sungguh memperhatikan Ibu. Ia tampak lelah. Ia berkali-kali ke dokter, tapi tak mau diantar.
Sakitnya tak pernah sembuh. Sakit pada tubuh bisa diobati. Sakit pada hati sampai mati. Aku
ingat lagu ini. Dulu Bik Iyem, pembantu kami, suka menyanyikannya sambil memasak atau
menyapu rumah. (hlm. 26)

Kutipan di atas berasal dari cerpen “Makan Malam”. Cerita dalam cerpen ini memang sangat
realistis dan bisa diperiksa logika referensinya terhadap kenyataan dengan cukup terang. Dalam
kutipan tersebut diceritakan peristiwa keseharian seperti seorang ibu yang mengunjungi
anaknya, anaknya yang kembali pulang ke rumahnya, ibu yang mulai sakit-sakitan, dan
pembantu yang suka menyanyi sambil menyapu lantai atau memasak di dapur. Tidak ada yang
aneh dan di luar nalar realitas. Dari segi mimetik, peristiwa-peristiwa yang diceritakan terlihat
tidak melenceng dari kenyataan yang mungkin ada.
Gaya realis seperti ini juga terdapat dalam sebagian besar cerpen lainnya. Cerpen “Perang”
mengisahkan suatu episode kehidupan seorang pejuang kemerdekaan. Meski sosok pejuang
tersebut tidak betul-betul faktual bisa dibuktikan lewat ilmu sejarah, konvensi fiksi memang
membenarkan upaya penyimbolan seperti ini. Jadi sang pejuang tersebut mewakili
kemungkinan faktual dari sosok-sosok pejuang lainnya yang sudah umum diketahui kisah-
kisahnya.
Cerpen “Pesta Terakhir” mengisahkan seorang kakek yang terkenang akan masa lalunya
sebagai seorang pengkhianat terhadap kawan-kawan seperjuangannya. Cerpen “Balada Hari
Hujan” mengisahkan sebuah episode dalam kehidupan seorang waria. Cerpen “Joao”
mengisahkan kesan, pengetahuan, dan pandangan seorang penjaga sebuah pos terhadap salah
seorang prajurit yang singgah beberapa waktu di tempatnya. Cerpen “Rumput Liar”
mengisahkan sebuah keluarga yang tinggal hanya terdiri atas seorang ibu, seorang kakak lelaki,
dan seorang adik perempuan, namun mesti juga berpisah sebab ketidaksalingsesuaian antar
mereka. Dengan berbagai tingkatan intensitas, gaya realis ini juga terdapat dalam cerpen-cerpen
lainnya.
Gaya surealis dalam kumpulan cerpen ini sangat terasa dalam cerpen “Qirzar” dan “Kuda
Terbang Maria Pinto”. Dengan tingkatan intensitas yang tidak terlalu kuat, gaya surealis ini
juga terlihat hadir di dalam cerpen “Makan Keempat” lewat sebuah peristiwa halusinasi yang
dialami salah seorang tokohnya atau lewat cerita mengenai kemampuan seorang anak bercakap-
cakap dengan roh neneknya. Meski kedua hal tadi sebetulnya juga logis dalam kerangka
pemikiran bahwa dunia realitas memang bersinggungan dengan unsur-unsur metafisika, hal
tersebut pada sudut pandang lain kenyataannya ikut meneguhkan fakta bahwa terdapat bumbu-
bumbu fantasi atau aspek khayalan dalam cerita itu.
Dalam cerpen “Kuda Terbang Maria Pinto”, unsur khayalan muncul pada bagian cerita yang
mempertemukan tokoh Yosef Legiman dengan seorang pemimpin pemberontak yang
mempunyai kemampuan magis, Maria Pinto. Berikut kutipannya:
Gaun lembut Maria Pinto membelah anyir perang dengan kibaran putih yang menyilaukan. Dua
pengawal menyertai perjalanan rutin ini, menjaga junjungan mereka dari atas kereta. Yosef
membiarkan iring-iringan di langit itu berlalu. Lutut-lututnya lemas. Ia terduduk di tanah. (hlm.
11)
Maria Pinto melepaskan gaun perinya yang putih. Tubuh telanjang gadis itu menyerupai patung
lilin para santa, lalu berangsur bening transparan. Ia bisa melihat jantung, usus, paru-paru, dan
tulang-tulang tengkorak gadis tersebut dengan jelas. Kepala mungil yang cantik berubah
membesar dengan pupil-pupil mata yang menonjol serta kulit wajah mengeriput. Sekilas ia
teringat film tentang makhluk luar angkasa yang pernah ditontonnya di barak dulu. (hlm.17)

Cerita tentang tokoh Maria Pinto—yang diceritakan mempunyai kuda terbang yang terbuat dari
kayu, mempunyai aneka macam kesaktian atau memiliki tubuh yang kulitnya berwarna bening
sehingga terlihat transparan—terlihat sangat kuat mengandung unsur khayalan jika dilihat dari
aspek mimetik. Sulit untuk mencari referensi nyata bagi hal-hal tersebut dalam kenyataan
kehidupan yang sebenarnya.
Dari segi mimetik, sulit untuk membuktikan kebenaran hal-hal di luar logika kenyataan sehari-
hari pada kutipan cerita di atas. Cerita mengenai kuda yang bisa terbang hanya ada dalam
dongeng meski buat sebagian orang hal-hal seperti ini tidak sekadar dongeng. Begitu pula
penggambaran mengenai seorang perempuan yang mempunyai kulit bening sehingga
memperlihatkan isi organ tubuhnya, sulit untuk diterima logika mimetiknya. Penggunaan kata
makhluk luar angkasa dan film pada kutipan di atas juga semakin memperjelas dan
mempertegas sifat fantasi pada peristiwa dalam cerita tersebut.
Pada bagian cerita pertemuan Yosef Legiman dengan seorang gadis di atas kereta—yang pada
bagian akhir cerita ternyata berstatus sebagai wanita pimpinan teroris yang menjadi target
operasi Yosef saat ia berperan sebagai seorang penembak jitu—cerpen ini menjadi bergaya
sangat realis. Dalam bagian ini hanya diceritakan mengenai seseorang yang bercerita kepada
kawan duduknya di atas kereta. Ada juga cerita tentang para penumpang yang tertidur selama
perjalanan atau para petugas kebersihan yang membersihkan gerbong-gerbong kereta. Terakhir
terdapat bagian cerita perpisahan kedua orang ini setelah mereka sampai di stasiun tujuan.
Semuanya logis secara mimetik.
Di bagian lain cerpen ini, gaya realis dan gaya surealis dipadukan dengan sangat rapat karena
dua jenis gaya yang bertolak belakang itu dihadirkan serentak dalam sebuah paragraf. Berikut
kutipannya:
Maria Pinto semula hanya gadis biasa, sempat kuliah di fakultas sastra sebuah universitas
terkemuka di Jakarta dan bertahan sampai semester tiga, sebelum kembali ke negeri jeruk dan
kopi. Para penghuni negeri tersebut bergegas mati, hilang, bunuh diri, menjadi gila, atau masuk
hutan bersatu dengan babi liar dan rusa. Malapetaka tengah melanda negeri leluhurnya,
sehingga Maria dipanggil pulang oleh para pemimpin suku agar memenuhi takdirnya. Dukun-
dukun suku menahbiskan Maria sebagai panglima dengan senjata sihir tua dan kuda terbang,
karena dialah yang terpilih oleh bisikan gaib para leluhur. Sejak saat itu Maria Pinto menjadi
pemimpin pasukan kabut yang berbahaya, mengepung musuh di tiap zona, menciutkan nyali
orang-orang yang bersandar pada hal-hal nyata; golongan yang mencampakkan dongeng dan
mimpi. (hlm.12)

Sungguh cukup jauh dan tiba-tiba loncatan aspek mimetik cerita dalam paragraf ini. Dari
sesuatu yang sangat jelas referensinya dalam kenyataan (kuliah di fakultas sastra sebuah
universitas terkemuka di Jakarta dan bertahan sampai semester tiga), cerita berikutnya mengalir
pada peristiwa yang bagaikan sebuah dongeng semata. Cerita tentang Maria Pinto yang
memiliki kuda terbang dan kesaktian tentulah sesuatu yang bisa dianggap mustahil secara
mimetik. Dengan kata lain, sesuatu yang dianggap dongeng—dalam pengertian bohong-
bohongan, dusta, atau takmungkin—buat sebagian besar manusia rasional.
Kemudian, satu hal menarik dihadirkan lagi dalam cerpen ini dalam hal sintesis antara gaya
realis dan surealis. Jika dalam peristiwa di atas kereta tokoh Yosef Legiman hanya bercerita
tentang sebuah peristiwa yang penuh fantasi, pada bagian akhir cerita peristiwa realis berupa
upaya eksekusi terhadap wanita pimpinan teroris oleh Yosef Legiman disambung langsung oleh
peristiwa kedatangan Maria Pinto dan kuda terbangnya yang bersifat surealistik. Semula bagian
ini sangat realis menceritakan tugas yang dijalani oleh Yosef Legiman guna membunuh seorang
pimpinan teroris dengan menggunakan senapan sniper dari seberang sebuah gedung bertingkat.
Setelah tugas tersebut selesai dikerjakan Yosef, tiba-tiba diceritakan datangnya Maria Pinto dan
kuda terbangnya. Berikut kutipannya:
Angin tiba-tiba bertiup kencang lewat jendela. Jarum-jarum dingin menembus tulangnya.
Tubuh Yosef menggigil bercampur nyeri. Ketika hendak beranjak dari tepi jendela, ia melihat
Maria Pinto mengarungi langit dengan kuda terbang. Mengapa perempuan itu selalu
mengikutinya ke mana pun? Maria Pinto tersenyum, mengulurkan tangannya yang putih dan
halus. Bagai tersihir, Yosef menyambut jemari gadis yang menunggu. Ia merasa terbang di
antara awan, melayang, melihat sebuah dunia yang terus memudar di bawahnya. (hlm. 20)

Hal ini menunjukkan betapa bagian ini menghadirkan sebuah peristiwa baur antara sesuatu
yang realis dengan sesuatu yang bersifat khayalan semata. Kejadian tersebut juga tidak
dipisahkan dengan teknik penyudutpandangan atau pemberian cerita berbingkai, berupa tokoh
di dunia nyata menceritakan kisah yang absurd yang tidak terjadi di saat, tempat, atau waktu itu
juga, seperti yang terjadi pada bagian lain cerpen ini. Hal tersebut menggambarkan terdapatnya
paduan unsur realis dan fantasi (khayalan atau surealis) dalam kumpulan cerpen ini.

3.1.2 Diksi Puitis


Kemampuan membahasakan peristiwa-peristiwa maupun suasana-suasana dalam sebuah cerita
rekaan secara puitis juga terlihat menonjol dalam kumpulan cerpen ini. Sebagian besar
pembahasaan yang puitis itu terlihat cukup kuat ikut menciptakan nuansa bagi makna yang
dihadirkan tema ceritanya. Sebagai contoh akan dibahas penggunaan diksi puitis dalam tiga
cerpen, yakni cerpen “Balada Hari Hujan”, “Makam Keempat”, dan “Lelaki Beraroma Kebun”.
Cerpen-cerpen tersebut dipandang cukup intensif memanfaatkan kekuatan bahasa puitis.
Dalam cerpen “Balada Hari Hujan” terlihat bahwa pelukisan latar suasana dan peristiwa
guyuran air hujan, dan pembahasaannya, ikut menyugestikan akan adanya “kemendungan”
suasana hati pada tokoh utamanya. Seolah-seolah rintik-rintik gerimis tersebut ikut bergemuruh
dalam perasaan sang tokoh; sesuatu gemuruh di dada yang berujung pada hadirnya kerisauan
jiwa. Berikut beberapa kutipannya:
Ia menguncupkan payung ungunya, lalu mengibaskan ujung mantel yang basah. Butir-butir air
meluncur dan meresap ke tanah ... Hari masih terlalu pagi untuk orang-orang yang takut pada
cuaca dingin bulan Juni. Kelopak-kelopak bakung di bawah jendela terlihat segar berair. (hlm.
57)
Hujan masih turun. Derai air dari langit membasuh jalanan yang sepi. Peristiwa penting dalam
hidupnya selalu ditandai dengan hujan. (hlm. 59)
Hujan masih menyambutnya di luar kafe. Langit abu-abu tua. Payung ungu itu mengembang
lagi. Jalan yang basah menyambut langkah-langkah kaki yang menggigil. Ia rapatkan kerah-
kerah mantelnya, menahan udara dingin. (hlm. 64)

Suasana mendung dan hawa dingin yang melekat pada pengertian kata hujan terlihat sesuai
sekali bagi peristiwa kesedihan yang dialami tokoh utama cerita ini. Secara estetis, suasana
yang serba sedih tersebut disimbolkan atau setidaknya dititipkan nuansanya kepada peristiwa
hujan sehingga seolah menghadirkan sebuah “gerimis perasaan”. Pembahasaan peristiwa
jatuhnya hujan ini secara puitis pada akhirnya memperkuat makna kesedihan dalam cerita ini.
Dalam kutipan di atas juga terdapat penggunaan kata payung ungu dan langit abu-abu.
Pemilihan warna tersebut sangat cocok pula guna melambangkan kerisauan hati sang tokoh.
Terlebih tokoh tersebut adalah seorang waria yang dianggap makhluk “menyimpang” dalam
tata norma masyarakat kebanyakan.
Warna ungu dan abu-abu menjadi lambang bagi keabsurdan nasib yang mesti dijalani tokoh
utama ini. Sebagai sosok yang minoritas di tengah masyarakat, apalagi dianggap menyimpang,
wajar kiranya tokoh tersebut merasakan sesuatu yang serba tidak jelas dalam hal posisi
kehidupannya di tengah-tengah masyarakat kebanyakan. Bisa juga warna tersebut dianggap
mewakili sifat dan sikap inkonsistensi, setakkonsistennya jati diri seorang waria; sebuah sifat
dan kondisi yang inharmonis—dengan catatan warna-warna tersebut tetap menjadi tampil
harmonis ketika dibahasakan secara puitis dan estetis.
Kekuatan penggunaan diksi puitis ini juga bisa dilihat pada cerpen “Makam Keempat”. Dalam
cerpen ini beberapa kali digunakan pengasosiasian dan pengacuan pada mitos cerita silat untuk
menggambarkan kependekaran (atau sifat seorang pendekar pada) tokoh Paula. Berikut
dikutipkan:
Elia sempat menyalahkanku. Katanya, aku terlampau sering membacakan kisah-kisah silat Kho
Ping Hoo pada anak kami dan sepak-terjang pendekar yang hebat membuat kanak-kanak
terpikat, membekas sampai dewasa. (127)
Aku sangat berharap putriku mau bicara. Tetapi, Elia melarangku memaksa Paula. Jangan kasar
padanya. Ia putri kita satu-satunya. Baiklah. Aku juga tak mau disebut diktator. Para kaisar
biasanya diktator. Aku bukan kaisar, kataku. Elia protes lagi. Jangan kau bawa-bawa kisah-
kisah silat itu. Ya, sudah. Aku memilih diam. (hlm. 128)
Dari orang tersebut aku memperoleh pengetahuan baru. Putri kami mengajak orang-orang
melawan kaisar lalim. Kuungkapkan hal itu pada istriku. Ia menjerit dan mencakarku. Kau yang
hasut dia untuk jadi pendekar!

Sebuah majalah menyebutkan putriku mungkin disekap di sebuah benteng.
Sebuah benteng. Aku teringat kisah putri berambut panjang yang disekap di sebuah benteng.
Paula kecil kurang menyukai kisah itu dan menyuruhku membacakan buku dongeng yang lain.
Entah bagaimana mulanya, kubacakan petikan karya Kho Ping Hoo untuk Paula. Ia terkesima.
Mata kanak-kanak yang bening itu tak berkedip. Ia jatuh cinta pada tokoh-tokoh pendekar. Ia
membayangkan dirinya pendekar berpedang sakti, anggun, cantik, keras hati, suka menolong.
Kini ia disekap di benteng. Pendekar sakti disekap dalam benteng. Seharusnya ia bisa
meloloskan diri. Seharusnya. (hlm. 132)

Dengan menggunakan mitos tentang semangat heroik dalam cerita silat Kho Ping Hoo, cerpen
ini dengan cukup puitis memberi penyimbolan dan pengacuan bagi karakter pemberontak pada
tokoh Paula. Pilihan hidup sebagai seorang pembangkang (pemakar) atas pemerintahan sah
yang berkuasa yang dipilih tokoh Paula menjadi terasa lebih heroik ketika dianalogikan kepada
heroisme yang terdapat dalam mitos tentang pendekar-pendekar pembela kebenaran dan
keadilan dalam cerita-cerita silat. Terlebih pula hubungan ini tidak terjadi secara kebetulan atau
apalagi sekadar berupa tafsir pembacaan. Kaitan antara tokoh Paula yang pemberontak dan
cerita-cerita silat tidak muncul serta merta ibarat sebuah pemanis cerita yang hadir tiba-tiba.
Secara kronologis dalam cerpen ini memang dikisahkan pada masa kecilnya Paula telah cukup
kuat terpengaruh pada cerita-cerita silat tersebut. Karakter pendekar dari mitos-mitos itulah
yang mengilhami jalan hidup pemberontak tokoh Paula setelah dewasa.
Kemudian, penggunaan kata-kata seperti diktator, disekap di sebuah benteng, atau kaisar lalim,
ikut menguatkan semangat heroisme dan simbolisme perlawanan yang ada dalam cerpen ini.
Jika kata pendekar merujuk pada tokoh Paula, sekaligus pilihan kata ini menguatkan makna
heroiknya, kata-kata lainnya tersebut merujuk pada pihak sebaliknya. Penggunaan diksi tersebut
juga ikut menguatkan citra negatif bagi pihak yang dilawan oleh tokoh Paula. Tambah pula
diksi yang digunakan bisa terlihat tampil estetis karena menggunakan kata pilihan atau
penyimbolan yang tepat sasaran.
Dalam cerpen “Lelaki Beraroma Kebun” intensitas penggunaan diksi puitis yang cukup kuat
juga kerap bisa ditemukan. Penggunaan diksi puitis ini lebih sering terdapat pada bagian yang
berupa latar cerpen ini, baik latar tempat maupun suasana. Dengan pemilihan kata-kata yang
puitis tersebut, penghayatan terhadap peristiwa dalam cerita terasa menjadi lebih masif, intensif,
dan obsesif. Diksi-diksi puitis tersebut membuat cerita terasa lebih segar dan menciptakan
aneka nuansa hingga memberikan alternatif “beribu” makna. Dengan kepuitisan itu pula cerita
terasa menjadi lebih kreatif menghadirkan amanatnya dalam rangka pemaknaan atas tema.
Di belakang gazebo yang sudah berlumut, bayangan seseorang berkelebat dalam gerimis dan
menghilang di balik tapekong di sudut kebun. Ia bergegas menyusul, karena aroma segar dari
pohon-pohon tropis itu terbawa angin dan tercium olehnya, seperti dulu. (hlm. 78-79)

Di balik awan gelap yang bergumpal, jari-jari petir putih bersinar.
Ia duduk di bangku batu yang lembab, mengusap wajahnya yang kena tempias hujan.
Hujan deras sudah menyambutnya di landasan … Di seberang jendela, laut berwarna hijau tua
terlihat tenang bagai objek dalam lukisan.

Ia punya banyak ingatan tentang pulau ini, terutama debur ombaknya di malam hari. Dulu
keluarganya tinggal dekat pantai. Bagi Halifa, debur ombak seperti nyanyian. Ia tidur nyenyak
dalam buai bunyinya. (hlm. 80-81)

Aroma kebun dari dalam mengalahkan wangi tanah dan daun-daun di luar. (hlm. 85)

Namun, aroma segar dari pohon-pohon tropis yang terbawa angin masih menyertainya di
jalanan, di bus, di kantor, di kamar kontrakan, dan di tempat-tempat baru yang pertama kali
dikunjunginya. (hlm. 87)

Penggunaan diksi puitis pada kutipan-kutipan di atas sebagian besar berkaitan dengan suasana
kebun atau nuansa alam yang menjadi latar cerpen ini. Kata-kata seperti aroma segar, pohon-
pohon tropis, atau kebun menghadirkan nuansa keindahan kepunyaan alam. Diksi bernuansa
alami ini mendukung bagi suasana yang hadir guna membangun makna-makna cerita. Nuansa
yang dihadirkan pilihan-pilihan kata tersebut meliputi keindahan, kedamaian, dan kesejukan.
Selain itu, penggunaan kata-kata seperti pantai, ombak, laut yang bagai objek dalam lukisan,
atau wajah yang kena tempias hujan juga mendukung bagi atmosfer yang dibangun guna
menonjolkan pelataran bernuansa panorama alam perkebunan. Bagian kutipan yang berupa
awan gelap bergumpal pun diperhalus dengan personifikasi berupa jari-jari petir putih bersinar
sehingga nuansa kedamaian dan keindahan dari diksi-diksi puitis ini tetap terjaga.
Dalam cerpen ini diksi puitis juga digunakan untuk menggambarkan pandangan tokoh Halifa
tentang tokoh Si Penjaga Kebun. Hal ini pulalah yang menjadi inti peristiwa cerita cerpen ini.
Berikut salah satunya dikutipkan:
Lelaki itu mengabdi hidupnya untuk gugur dan semi bunga pepohonan, melihat tunas tumbuh
dan dahan tua tumbang.
Pohon-pohon yang dirawatnya setiap hari pun membalas budi, menyerahkan aroma khas
mereka kepadanya, sehingga si perawat tak bisa sembunyi dari siapa pun. Nasibnya seperti
musang yang mengeluarkan wangi pandan. Hembusan angin membawa aroma tubuh penjaga
kebun ke rongga penciuman orang-orang yang berjalan di kejauhan, semacam pengumuman.
Bila ada yang ingin menemuinya, ikuti saja aroma itu. Kalian akan sampai di hadapan lelaki
yang menenteng sabit atau parang. Matanya tak pernah menyorot garang, mata orang yang mau
menolong. Bila kalian ingin bertemu tuannya, yang punya kebun, ia akan berjanji
menyampaikan pesan. Bila ada yang tersesat, ia akan tunjukkan jalan. (hlm. 79)

Bagian ini berhasil mendeskripsikan dengan cukup cantik dan sangat ciamik perasaan yang kuat
tokoh Halifa terhadap tokoh Si Penjaga Kebun. Sekaligus, narasi seperti ini membuat paparan
cerita selalu menghubungkan karakter tokoh Si Penjaga Kebun dengan nuansa alami dari
suasana perkebunan yang menjadi latarnya. Dengan itu pula tema cerita menjadi semakin kuat;
disokong oleh pelataran, juga penokohan, dan pengunaan diksi puitis dalam membahasakannya.
Di bagian lain, penggambaran hubungan tokoh Halifa dengan tokoh Si Penjaga Kebun dalam
cerpen ini, selain dibahasakan dengan kata-kata yang puitis, juga sangat kuat diformulasikan
secara filosofis. Hal ini menunjukkan bagaimana pemadatan makna bisa berjalan seiring dengan
keindahan kata-kata dalam narasi sebuah cerita—yang notabenenya adalah rekaan semata.
Berikut kutipannya:
Sudah lama Halifa tak pulang. Di tanah rantau sesekali saja diingatnya si penjaga kebun.
Namun, ketika pulang dan melihat banyak yang telah hilang dari masa lalunya, lelaki itu
menjadi bagian penting yang tersisa dan berharga. (hlm. 77-78)

3.2 Ringkasan Cerita


3.2.1 Cerpen “Kuda Terbang Maria Pinto”
Cerpen ini mengisahkan suka duka prajurit Yosef Legiman sebagai seorang tentara. Dalam
sebuah pertempuran dalam rangka membasmi para pemberontak di sebuah wilayah yang
bergolak, Yosef tiada disengaja bertemu dengan pimpinan pasukan pemberontak tersebut.
Orang ini ternyata hanya seorang wanita yang ternyata sakti mandraguna. Ia bernama Maria
Pinto. Pertemuan Yosef dengan Maria ini adalah akibat terpisahnya dirinya dari rombongan
pasukannya. Dalam perjalanan mencari posisi posnya,Yosef secara tidak disengaja tersesat ke
pondok tempat Maria yang sakti tersebut menginap.
Menyaksikan secara langsung keajaiban sosok Maria dengan kedua belah matanya, dan tepat di
hadapan ujung hidungnya sendiri, membuat prajurit Yosef didiagnosis dokter tentara menderita
tekanan jiwa sehingga mendapat semacam cutilah ia. Lain waktu, seusai mengeksekusi jiwa
seorang wanita pimpinan teroris yang sebelumnya sebetulnya sempat mendengar cerita tentang
Maria oleh Yosef dalam sebuah pertemuan tidak disengaja mereka di sebuah kereta malam,
Yosef bertemu lagi dengan Maria yang kali ini membawanya terbang menuju angkasa.
3.2.2 Cerpen “Makan Malam”
Cerpen ini mengisahkan kepulangan (kedatangan) sesosok ayah yang telah lama tiada berkabar
ke tengah anak istrinya. Tokoh Ayah ini menghilang dari tengah keluarganya berpuluh-puluh
tahun silam disebabkan oleh sebuah peristiwa sejarah yang “kelam”. Saat situasi politik telah
kondusif, tokoh ini memutuskan datang menjenguk istri dan anak tunggalnya. Kedatangan
tokoh Ayah ini ternyata justru tambah merusak suasana. Tokoh Ibu sangat terpukul begitu
mengetahui suaminya tersebut ternyata telah menikah dengan seorang wanita luar negeri dan
telah beranak pula dua. Tokoh Ayah pun ternyata hanya sebentar berkunjung karena dia akan
melanjutkan “safarinya” bernostalgia dengan kawan-kawan lama. Tokoh Ibu kembali hidup
berdua dengan anak semata wayangnya.

3.2.3 Cerpen “Pesta Terakhir”


Cerpen ini mengisahkan acara ulang tahun yang akan diadakan Kakek Mar serta kenangan
tokoh ini pada kelam masa lalunya. Lembar hitam masa lalunya ini terutama berkaitan dengan
pengkhianatan yang pernah dia lakukan terhadap sahabat-sahabatnya. Peristiwa pengkhianatan
ini ternyata sangat terkait dengan gejolak seksualnya yang cukup agresif dan hormon libidonya
yang agak reaktif.
Kebugaran dan kesegaran hormon seksualnya tersebut membuat Kakek Mar dikenal baik
sebagai seorang petualang cinta. Kakek Mar dapat sudah memuaskan hasrat birahinya dengan
“sambilan” saat beroleh tugas bepergian ke mancanegara. Kesempatan emas tersebut adalah
berkat dari pengkhianatan yang dilakukannya. Di hari tuanya pun ternyata Kakek Mar masih
senantiasa berdesir darah melihat kemolekan gadis-gadis muda. Terkenang akan dosa khianat
yang pernah dia perbuat, tokoh ini sempat berniat berbuat pengakuan dosa di hadapan Mursid,
sahabat karibnya satu-satunya yang masih hidup yang bisa datang memenuhi undangan pesta
ulang tahunnya kali ini. Namun niat ini taksampai.

3.2.4 Cerpen “Balada Hari Hujan”


Cerpen ini mengisahkan sebuah episode dalam kehidupan seorang waria. Di sebuah pagi, waria
ini melaksanakan rutinitasnya berupa sarapan bubur ayam di restoran yang satu-satunya buka
pagi-pagi benar di kotanya. Taksengaja, di restoran tersebut dia bertemu dengan
“langganannya” semalam. Orang itu terlihat datang bersama istrinya dan ketahuan pada
akhirnya telah menipu dia. Semalam orang tersebut bercerita bahwa dia kesepian dan istrinya
telah tiada. Tokoh waria ini semula sempat berharap akan menjalani hubungan tetap dan sah
dengan orang ini sehingga mampu mengakhiri “pekerjaan” kotornya. Pertemuan pagi di sebuah
restoran ini membuyarkan segala harapan indah tersebut karena lagi-lagi cinta tulusnya
didustai.

3.2.5 Cerpen “Lelaki Beraroma Kebun”


Cerpen ini mengisahkan kepulangan seorang gadis perantau bernama Halifa ke kampung
halamannya. Halifa telah cukup lama tidak pulang kampung. Ketika menginjakkan kaki di
tanah kelahirannya didapatinya banyak sudah yang telah berubah. Di saat seperti ini tokoh
penjaga kebun keluarganya menjadi perhatiannya. Tokoh Si Penjaga Kebun ini menjadi pusat
kenangan Halifa akan kampung halamannya selain kenangan-kenangannya pada Kakek, Nenek,
Ayah, Ibu, dan Malida, adik tunggalnya.
Sewaktu bermain atau berkunjung ke kebun, secara tidak sengaja Halifa menyaksikan kelebat
bayang tokoh Si Penjaga Kebun tersebut. Kemudian Halifa menyusul tokoh tersebut ke
pondokannya. Di pondok inilah Halifa mendapatkan cerita menggemparkan dari tokoh itu
tentang pohon sejarah keluarganya. Dari cerita inilah Halifa baru tahu tentang hubungan
darahnya dengan penjaga kebun keluarganya. Cerita tersebut juga sangat menggetarkan
perasaan sebab ada sebuah peristiwa memilukan di dalamnya. Ayah Halifa ternyata adalah anak
pungut dari sebuah keluarga miskin yang setiap anggotanya mengalami kematian dengan cara
mengenaskan. Tokoh Si Penjaga Kebun adalah saudara dari ibu kandungnya ayah Halifa yang
diduga orang mati dimakan ular atau buaya.

3.2.6 Cerpen “Makam Keempat”


Cerpen ini mengisahkan rasa kehilangan sebuah keluarga di suatu tempat terhadap putri semata
wayang mereka. Rasa kehilangan ini utamanya dieksplorasi lewat perasaan dan pandangan
tokoh ayah yang dalam cerpen ini menjadi sudut pandang orang pertama. Putrinya yang
menghilang ini diduga mati dibunuh oleh aparatur pemerintah sebab kegiatan makar atau
subversifnya terhadap penguasa.
Namun sebagaimana kematian para pahlawan, kematian putrinya ini tidak menjadi peristiwa
rutin dan biasa-biasa saja. Kabut misteri menyelimuti keberadaan putri ini dan perihal
kematiannya tidak pernah bisa diverifikasi (atau diricek). Memang tokoh ayahnyalah yang dari
semenjak kecil mendidik putrinya dengan bibit jiwa pemberontak lewat cerita-cerita silat para
pahlawan penumpas kaisar-kaisar zalim dan lalim. Meski harapan akan masih hidupnya
putrinya itu masih menghantui, tokoh ayah ini pada akhir cerita diceritakan merelakan juga
kepergian putrinya ke alam baka dengan mendirikan makam kosong untuknya.

3.3 Struktur Umum


3.3.1 Tokoh
Berikut ini akan dipaparkan penokohan pada setiap cerpen yang dianalisis. Karakter yang
dikemukakan hanyalah tokoh-tokoh yang dianggap mempunyai peran utama dalam cerita dan
berperan signifikan atas makna cerita. Dalam pembahasan karakter setiap tokoh tersebut
tentunya akan disinggung pula hubungan sang tokoh dengan tokoh lainnya serta unsur cerita
lainnya. Hubungan-hubungan ini perlu diungkapkan sejauh ia berperan bagi pembahasan aspek
tematik cerita nantinya.
Tokoh Yosef Legiman dalam cerpen “Kuda Terbang Maria Pinto” berperan sebagai seorang
prajurit yang setia menjalankan tugas pengabdiannya pada pemerintah yang berkuasa di sebuah
negeri. Dalam cerita pertemuannya dengan tokoh Maria Pinto untuk pertama kalinya, Yosef
berperan sebagai seorang infanteri di sebuah medan pertempuran di hutan belantara, sedangkan
dalam bagian cerita pembunuhan dengan target (assassination) terhadap tokoh Wanita Pimpinan
Teroris (wanita teman duduknya di kereta) atau bagian cerita pertemuan keduanya dengan
Maria, ia berprofesi sebagai penembak jitu.
Yosef dilukiskan sebagai seorang prajurit baik-baik yang selalu setia dan taat menjalankan
tugas-tugasnya. Ketika ia sempat mengalami sejenis stress berat, akibat pertemuan dengan
Maria di hutan belantara, ia sempat dipulangkan dari medan tempur untuk berlibur dari tugas
beratnya sebagai seorang petempur. Namun hal ini hanya berlangsung sebentar. Tidak
berselang lama, ternyata ia dialihtugaskan ke bagian lain (dinas rahasia). Yosef ternyata masih
setia pada negaranya tercinta.
Sisi kesetiaannya pada pemerintah negara tercintanya tersebut dapat dilihat dari kutipan berikut
ini:
“Tadi pagi ibu saya menangis lagi. Ini kepulangan terakhir saya sebelum kembali bertugas. Ibu
saya trauma. Kasihan dia. Tapi, ini sudah pilihan,” tutur Yosef, memandang lurus ke depan.
Enam bulan lalu adiknya meninggal disiksa para pemberontak. Jenazah sang adik kembali
tanpa jantung, usus, dan kemaluan, terkunci rapat dalam peti mati kayu mahoni. Kini Yosef
satu-satunya anak lelaki dalam keluarga.
“Petinya berselubung bendera besar, besar sekali!” Ada nada bangga bercampur haru.
Perempuan muda malah menggigil. Betapa sunyi mayat yang berongga! (hlm.14)
Kutipan di atas memperlihatkan betapa teguhnya ia pada sumpah setianya sebagai prajurit—
sebuah keteguhan yang diiringi keyakinan, kecintaan, kebanggaan, dan penghormatan.
Kematian adik kandungnya sendiri, yang tercincang-cincang dan terbantai demi tugas
mempertahankan keutuhan negara yang dikuasai para pemimpin pemerintahan, tidak dianggap
Yosef sebagai sebuah soal besar dibandingkan dengan kebesaran bendera kenegaraan yang
menyelimuti peti jasad tidak berongga tubuh adik kandungnya. Kekuatan dan kejanggalan
perasaan ini bisa dibandingkan dengan kegigilan perasaan hati perempuan muda teman
duduknya yang bukanlah sesiapa saudara kandungnya—bukan pula sesiapanya dia.
Ketetapsetiaannya pada kepentingan negara dan pemerintah itu juga menjadi tambah
menyentuh jika melihat kutipan perkataannya berikut ini:
“Saya benar-benar mencintai kekasih saya. Tapi, sore ini saya benar-benar terpukul.
Keluarganya tak merestui hubungan kami. Kakak-kakaknya mengancam akan mencelakai saya
bila kami nekat juga. Salah seorang pamannya sangat dekat dengan penguasa. Mungkin, gaji
saya terlalu kecil dan hidup seperti ini membuat keluarganya khawatir. Mungkin…,” tutur
Yosef, lirih. (hlm. 15)

Dalam kutipan di atas dapat dilihat betapa Yosef langsung kecut nyalinya untuk
memperjuangkan kepentingannya sendiri saat kepentingan pribadi tersebut mesti bersilang
lintas dengan kepentingan atau kehendak pihak lain yang berkuasa. Padahal orang-orang
berkuasa inilah yang ia bela dan jaga. Kepedihan semakin memilukan, bahkan mungkin agak
memalukan, saat Yosef barangkali terpaksa untuk tahu diri bahwa ia orang kecil—lebih
konkretnya lagi: bergaji kecil dan memiliki hidup yang membuat keluarganya khawatir. Di saat
dan konteks seperti ini, nyatanya ia tidak perlu berbangga dengan kesetiaan dan pengabdian
pada negara yang bersandang di bahunya. Yosef menjadi orang kecil biasa yang menyerah pada
petinggi-petinggi bangsa namun seraya tetap memelihara cinta dan setia.
Bagaimanapun, di balik keteguhannya membela dan mengabdi penguasa tersebut, Yosef juga
ditampilkan apa adanya sebagai manusia. Dari kutipan di atas bisa terlihat kesedihan yang
sangat di hati Yosef kala terpaksa mesti berpisah dengan kekasih hatinya. Perasaannya yang
timbul dari pertemuan yang begitu membekasi hati dengan Maria diceritakannya pada seorang
perempuan tidak dikenalnya di kereta api—yang kemudian ternyata akan menjadi target
pembunuhannya sebagai wanita pimpinan teroris. Hal ini juga menunjukkan segi sentimental
Yosef.
Meski begitu, Yosef kelak tetap ditampilkan sebagai serdadu berdarah dingin—kondisi
kejiwaan yang mungkin berhimpitan dengan sisi sentimennya. Bekunya perasaanya itu kembali
hadir di akhir cerita pada saat pembunuhan wanita pimpinan teroris yang menyimpan sebagian
rahasia hidupnya. Perempuan tersebutlah yang pada kisah sebelumnya mendengar segala keluh
kesahnya. Berikut kutipannya:
Tirai sebuah jendela di lantai tujuh gedung seberang terbuka lebar, sejajar dengan tempatnya
berada. Seseorang terlihat mondar-mandir di kejauhan, berbicara pada dua teman. Titik merah
dalam lensa Yosef ikut bergerak. Pupil matanya menajam. Ia membayangkan dirinya seekor
elang. Kini sasarannya berdiri membelakangi jendela. Ia pelan-pelan menarik picu senapan,
menuju titik merah pada lingkaran, menyambar.
Kaca jendela pecah berkeping di gedung seberang. Seseorang jatuh tersungkur. Yosef sudah
melaksanakan tugas. Kini dinyalakannya telepon seluler dan melapor pada sang komandan.
Ketika pertama kali melihat potret perempuan muda itu, Yosef sempat tercenung lama:
pemimpin para teroris. Ia teringat perempuan yang dijumpainya di kereta sebulan lalu. Pastilah
dia, pikir Yosef. Ya, dunia ini memang kejam pada serdadu. Ia telah membunuh perempuan itu,
melenyapkan nyawa orang yang menyimpan sebagian rahasia hidupnya. (hlm. 19-20)

Dalam cerpen “Makan Malam” terdapat tokoh Ibu yang menjadi pusat penceritaan. Dia adalah
seorang istri yang ditinggal pergi suaminya (tokoh Ayah) ketika ia masih mengandung jabang
bayinya—yakni tokoh Aku. Kepergian suaminya adalah kepergian ke luar negeri. Suaminya
tidak bisa lagi kembali ke dalam negeri disebabkan sebuah gejolak politik besar yang tengah
melanda pemerintahan dalam negeri. Kebetulan sang suami tersebut berlatar belakang politik
bertolak belakang dengan pemerintahan yang berkuasa (kemudian) setelah berhasil merebut
kekuasaaan dari pemerintah lama.
Suatu pagi buta, setelah siaran radio berkali-kali menyiarkan berita kudeta, serombongan orang
mendatangi rumah dan mencari Ayah. Ibu sedang hamil 5 bulan. Mereka mengobrak-abrik
ruang kerja Ayah, mengambil buku-buku dan dokumen lalu membakarnya. Keesokan hari, saat
langit masih gelap, Ibu meninggalkan rumah itu dan pergi ke kampung nenek.
Fitnah-fitnah mulai gencar. Banyak orang dibunuh. Mayat-mayat mengambang di sungai. Ibu
memutuskan kembali ke kota. Hidup harus berlanjut. Aku sudah lahir dan butuh susu. Setelah
itu kehidupanku seperti berhenti, kata Ibu. Pria-pria silih-berganti. (hlm. 27)

Setelah ketidakpulangan sang suami, tokoh Ibu, demi membelikan kebutuhan “susu” anaknya,
terpaksa menjalani hidup sebagai pelacur (pria-pria silih berganti). Sebagai orang tua tunggal
(single parent), seorang diri ia membesarkan dan menyekolahkan anak semata wayangnya. Di
sekolah, anak semata wayangnya ini (tokoh Aku) terpaksa harus menerima fakta bahwa dia
cuma punya ibu dan ibunya itu dipanggil orang wanita panggilan. Lama-kelamaan tokoh Aku
pun terbiasa menerima kenyataan bahwa ibunya punya banyak “langganan” lelaki.
Rencana kepulangan bapak kandung anaknya ternyata menggelisahkan tokoh Ibu. Di satu sisi
dia terlihat masih menyimpan harapan dan kenangan lama pada sang suami. Di sisi lain ia
seperti memendam amarah karena tiadanya kabar sekian lama dari sang suami tercinta tersebut
sehingga dia terpaksa melacur dan membesarkan buah hati mereka hanya sekadar dengan
curahan kasih sayang seorang ibu. Beban perasaan yang berat menekan itu dapat dilihat dari
sikap Ibu pada kutipan berikut ini:
Malam ini Ibu agak dingin. Kalimat ‘I love you’ cuma terdengar sekali. Sepasang matanya
menerawang. Ibu melamun. Ketika Ibu melamun, aku seolah ditinggalkan sendiri dan bukan
bagian dari dirinya lagi. Ketika Ibu melamun, ia bersembunyi dalam kamar yang tak bisa
kumasuki. Dulu sering kulihat Ibu melamun, kemudian makin berkurang, dan akhirnya, tak
pernah lagi. Sekarang Ibu kembali pada kebiasaan lama. Ada apa?
“Dia akan pulang ke sini,” kata Ibu, datar.
“Siapa?”
“Lelaki itu.” (hlm. 22-23)

Sementara kenangannya yang terasa indah pada lelaki itu dapat dilihat pada kutipan berikut ini:
“Sebaiknya kamu bertemu Ayahmu,” kata Ibu, dengan suara serak, sehari sebelum lelaki itu
datang.
Ibu sakit lagi. Tubuhnya demam.
“Mengapa dia meninggalkan kita?” Kemarahan menggumpal di tenggorokan.
“Nanti kamu tanyai dia. Mengapa? Pertanyaan itu juga yang ada di kepalaku selama lebih dari
tiga puluh tahun ini. Mengapa?” Airmata meleleh di pipi Ibu yang mulai kelihatan kendur.
Bila sakit, Ibu senang mendengar gending Jawa. Aneh juga. Selera Ibu jadi berubah mendadak
begini. Ibu bagai terseret dalam alunan gending. Gending menjadi ombak. Ibu menjadi perahu.
Mereka bergulung-gulung dan saling hempas di laut lepas. Kulihat mata Ibu berkaca-kaca.
Dulu ayahmu suka menembang, kata Ibu. Suaranya merdu. Di malam hari ketika Ibu
mengandung aku, Ayah suka menembang. Suaranya jernih. Aku pernah dininabobokkan Ayah
dan itu membuat perasaanku tenteram. Seperti apa wajah Ayah, Bu?
Ibu tak menyimpan potret Ayah. Tetapi dia terekam di sini, Ibu menunjuk dadanya. Bahkan,
untukku pun tak bisa dibagi. (hlm. 26-27)
Kenyataannya, setelah kedatangan sang ayah dan suami tersebut, tidaklah sebagaimana yang
diharapkan semula.. Jangankan berharap kepulangannya akan kembali mengutuhkan keutuhan
keluarga yang sempat rumpang berpuluh-puluh tahun, sang suami malah berkabar bahwa dia
telah beranak pinak pula di perantauannya di tanah seberang (Soviet atau Rusia).
Kedatangannya ternyata hanya sekadar minta maaf pada istri tuanya dan memberikan syal
buatan Rusia pada anak lamanya—dengan ekspresi “dingin’ pula.
Hanya sebentar dia bertamu ke rumah anak istrinya sendiri, sesudah itu dia langsung pergi dan
menginap cukup di hotel sebab dia akan melanjutkan “bernostalgia” mengunjungi teman-teman
lama di dalam negeri lamanya. Kegetiran suasana setelah kedatangan sang suami dan sang ayah
ini dapat terasa dari kontras suasana makan malam—yang menjadi judul cerpen ini—antara
makan malam berdua Ibu dan anaknya sebelum kedatangan tokoh Ayah, saat kedatangannya,
dan setelah kepergiannya kembali. Berikut dikutipkan:
Kami makan malam bersama, aku dan Ibu. Ya, makan malam saja kami bersama. Sarapanku
selalu terburu-buru. Jalanan macet di pagi hari. Kantorku lumayan jauh dari tepi kota ini. Aku
selalu bergegas. Ketika aku berangkat, Ibu masih tidur. Aku makan siang di kantor. Ibu makan
siang di rumah. Makan malam adalah ritual kami, ibu dan anak. Makan malam adalah waktu
kami bersama, tak bisa diganggu-gugat.
Kami selalu makan malam berdua. Ibu memasak sendiri makanan yang disajikan. Sup ikan.
Tempe goreng. Gado-gado. Aku makan dengan lahap dan Ibu akan memandangku dengan
senyum puas. Musik juga mengalun. Kali ini Bach, kemarin Chopin. Padahal, aku suka Satie.
Tiap makan malam usai, kami duduk di beranda belakang. Aku dan Ibu sama-sama merokok.
Asap tembakau yang putih mengepul, berputar, atau bergulung, melayang di udara, kemudian
lenyap. Kadangkala ia menampar wajahku atau wajah Ibu sebelum ditelan udara dingin yang
mengisapnya. Kadangkala, kami juga mengisap ganja. Di antara biusnya, kulihat sepasang mata
Ibu yang terpejam. Ibu kelihatan damai dengan mata terpejam, seperti bayi tidur. (hlm. 21-22)

Makan malam kali ini kami bertiga. Aku, Ibu, dan Ayah. Tak ada musik klasik. Ibu membeli
makanan terbaik dari restoran mahal. Namun, suasana menjadi ganjil. Ibu dan Ayah tak berani
saling pandang. Aku seakan monyet yang terjebak.
Wajah pria di hadapanku tirus, putih, dengan rongga mata dalam. Uban sudah memenuhi
kepala. Jasnya kebesarannya. Suaranya gemetar, mirip rintihan. Inilah Ayahku. Bagaimana aku
menghadapi pria ini?
Kami makan tanpa suara. Denting sendok garpu saling bersahut.
Setelah makan malam, Ayah memberiku sehelai syal biru.
“Kamu bisa mengenakannya untuk bepergian,” kata Ayah, bergetar. Tetapi, aku tak biasa
mengenakan syal untuk penampilan sehari-hari. Ini negeri tropis. Panas.
“Oh, ya … terima kasih, Om … eh, Yah.” Aku memanggilnya “Om”!
Ibu langsung mengusap-usap punggungku. Tenang, bisiknya.
“E, aku ingin mendengar e … Ayah bercerita,” kataku.
“Cerita apa? Aku belum punya cerita.”
“Oh, ya sudah. Kalau begitu menembang saja.”
“Hmm … suaraku nggak bagus lagi. Dan sekarang lagi nggak pengen nembang.”
Kulirik Ibu yang tertunduk diam.
“Ayah berencana tinggal di sini?”
“Belum tahu. Mungkin nggak. Di sana aku juga punya kehidupan.”
Entah kenapa, aku ingin menangis.
“Jadi, kenapa pulang?”
Ia memandangku. Tulang-tulang rahangnya mengeras.
“Aku mau selesaikan urusan dengan Ibumu.”
Malam itu mereka berbicara di beranda. Aku mendekam dalam kamarku, mengisap ganja.
Layar komputer menyala. Desain majalah yang harus selesai besok kubiarkan terbengkalai.
Aku malas. (hlm. 28-29)

Aku dan Ibu masih makan malam bersama. Namun, kali ini aku yang memasak untuk kami.
Aku juga menyuapi Ibu. Chopin, Bach, Beethoven, Schubert … silih-berganti. Kami akan
selalu berdua. Kesehatan Ibu makin memburuk. Ia sudah jarang berbicara padaku. Aku selalu
berbicara padanya tentang bermacam hal. Minggu lalu, ia kubawa ke dokter. Sakit pada tubuh
bisa diobati. Sakit pada hati sampai mati. Ayah, kata itu makin sayup dan tak terdengar lagi ….
(hlm. 30)

Tokoh dalam cerpen “Pesta Terakhir” adalah seorang kakek tua yang dalam cerpen ini cuma
disebutkan dipanggil Mar oleh temannya Mursid dan Papa oleh anaknya Alma. Diceritakan
Kakek Mar ini sedang menikmati ketenangan hidupnya sebagai seorang senior citizen. Dari
lantai rumahnya yang asri ia mengamati perubahan alam dan kondisi. Perobahan cuaca
dihayatinya sebagai suatu karya seni yang indah di mata dan “sedap” di hati. Keindahan yang
semakin lengkap sempurna berkat sokongan kondisi fit fisiknya; tentu saja keadaan fit dengan
konteks orang yang sudah tua. Pada usianya yang semakin uzur dan renta, dia digambar masih
sehat wal afiat adanya.
Beruntunglah ia, masih bisa mencicipi makanan enak, tak punya penyakit jantung, hipertensi,
atau maag kronis seperti kebanyakan teman seusia. (hlm. 33)

Selain itu, Kakek Mar ini dari dulu (masa mudanya) digambarkan sebagai seorang pria
“flamboyan” yang gemar keindahan wanita. Pengertian gemar di sini adalah bernilai lebih dari
standar. Jika standar kebutuhan seorang pria adalah empat buah, Kakek Mar tentulah tidak akan
merasa cukup jika mendapat sebegitu saja. Mungkin perolehan nilai lebih ini berkat karuni
kesehatan fisik yang diberikan Tuhan padanya.
Karakter seperti ini bahkan awet hingga dia lansia. Diceritakan bahwa Kakek Mar berdesir
darah kala mengamati “keindahan” gadis-gadis muda. Barangkali inilah sebabnya secara resmi
ia berhasil sudah menikahi beberapa wanita. Wanita yang dipacari dan dikawininya secara tidak
resmi tentulah dalam jumlah tidak berhingga. Tokoh Alma adalah putrinya dari istri yang
ketiga. Kakek Mar dalam cerpen ini memang ditampilkan kukuh dan kokoh sebagai seorang
petualang cinta atau petualang wanita.
Jangan ngomong begitu, Pa. Siapa tahu ada yang memberatkan pikiran Papa. Siapa tahu, lho.
Nggak ada. Papa nggak mikir apa-apa.
Papa punya pacar lagi, ya?
Pacar? Kamu kok tanya yang begitu-begitu, sih. Gimana kamu sendiri?

Sejujurnya, ia tak pernah merasa tua apalagi buruk rupa. Darahnya tetap berdesir macam ombak
laut bila berpapasan dengan gadis-gadis belia. Kadangkala ia bersiul menggoda gadis-gadis
yang lari pagi di jalan depan rumah, mengamati ukuran bokong mereka. Alma hanya tertawa-
tawa melihat kelakuan ayahnya, yang lebih cermat ketimbang tukang jahit. Sejak muda ia
memang gemar keindahan wanita. Tiga perempuan pernah menjadi istrinya. Tak terhitung
gundik maupun pacar yang tersebar di berbagai kota dan negeri yang pernah disinggahi. Yang
terakhir, perempuan Italia, berpanggul lebar dan suka berdendang. Ia tinggalkan begitu saja
lantaran jemu … Istri pertamanya, Connie, Indo-Belanda, minta bercerai setelah memergoki ia
berselingkuh dengan perempuan lain yang kemudian menjadi istri keduanya … Connie gigih
menjanda sampai kini, masih menyimpan sakit hati, selalu menolak ditemui.
Istri keduanya, perempuan yang paling ia cintai, menghilang…
Ia menduga rasa penasaran dan nelangsa akibat ditinggalkan itulah yang membuat cintanya
pada Alijah seolah abadi, ya, ya seolah abadi.
Ibu kandung Alma, istri ketiganya, meninggal dunia tiga tahun lalu. Serangan jantung. Ia dulu
memburu Harini karena tergila-gila pada cawak di kedua pipi perempuan itu yang muncul tiap
senyum atau tawa merekah di wajahnya yang bundar. Namun, siapa yang mampu mampu
mengikat selera pria binal? Ia dan Harini memutuskan berpisah saat Alma berusia 12 tahun,
meski mereka berdua masih berstatus suami-istri. Harini mencurahkan seluruh waktu untuk
putri mereka. Ia menghabiskan waktu untuk para wanita.
Olala. Ia jadi teringat Mursid, si teman karib. Mursid paling sering menentang tabiat Don Juan-
nya itu. Sudahlah, Mar, satu saja tak akan habis, katanya.

Gadis-gadis mengagumi lakonnya di atas panggung dan ia dengan senang hati memacari
mereka. Bahkan, cinta pertama Mursid menjadi kekasihnya yang kesekian…
Ketika ia menikah, Mursid yang menjadi wali, sampai tiga kali. Masak perempuan sedunia mau
kau kawini, Mar? Mursid berbisik di sisi sang mempelai pria yang menyeringai nakal.

Dalam sel yang sempit di Salemba dulu, mereka pernah bertaruh dengan nasib, berbulan-bulan.
Ia tak tahan. Nafsunya, terutama, butuh pelampiasan. Berkali-kali ia onani saat teman-temannya
sudah bergeletakan tidur malam sehabis korve seharian yang menyiksa. (hlm. 35-39)

Dari kutipan di atas terlihat bagaimana hasrat Kakek Mar terhadap ransangan dari kaum Hawa
begitu dahsyatnya. Dari kutipan paragraf terakhir terlihat bagaimana saat-saat ia harus hidup
terkurung di bui pun ia mesti juga mencari-cari kesempatan untuk memenuhi tuntutan libido
berlebihannya. Seusai kerja paksa ternyata ia masih bertenaga untuk melaksanakan “kerja”
lainnya.
Minat dan hobi yang seperti inilah yang membuat Kakek Mar tega mengkhianati kawan-
kawannya sendiri, termasuk Mursid, yang sama-sama di tahan bersamanya di sebuah sel sempit
di Salemba. Berkat bocoran informasi darinya, kawan-kawannya dikirim dengan kapal pertama
ke sebuah kamp dan dia menghirup hidup bebas. Pengkhianatan Kakek Mar terhadap kawan-
kawanya inilah yang kemudian menjadi bahan cerita dalam cerpen ini. Pada akhir cerita
diperlihatkan bahwa rasa bersalah dalam diri Kakek Mar membuat dia berkeinginan melakukan
pengakuan dosa pada Mursid, kawan baiknya.
Tokoh dalam cerpen “Balada Hari Hujan” adalah seorang waria yang oleh pencerita tidak
disebutkan namanya melainkan hanya dideskripsikan dengan menggunakan pronomina Ia.
Tokoh Ia ini dilukiskan dengan teknik penceritaan yang cukup menarik. Menariknya tersebut
adalah bahwa cerpen ini memberikan kejutan kepada para pembaca dengan mengaburkan jenis
kelamin tokoh cerpen ini pada awalnya hingga baru diketahui dengan jelas, kepastian jenis
kelamin tersebut, pada akhir cerita.
Mengikuti deskripsi tentang Ia pada awal hingga tengah cerita—dari apa-apa yang diceritakan
pengarang tentang “pekerjaan” tokoh ini—hanya akan meghasilkan penafsiran pada pembaca
bahwa tokoh tersebut adalah seorang pelacur. Hal ini bisa menjebak pembaca, bahwa Ia
berkelamin wanita, karena memang jenis kelamin inilah yang umum dikenal dekat dan lekat
pada “profesi” tersebut—terutama lagi bagi bangsa timur. Lebih menariknya lagi, teknik
penceritaan seperti menghadirkan alur yang mengklimaks untuk membawa pembaca pada
penafsiran jenis kelamin tokoh Ia ini.
Berikut kutipan teks yang bisa diduga dapat memainkan penafsiran pembaca tersebut:
Ia biasa mengambil meja di pojok, dekat porselen persegi berisi rumpun mawar plastik warna
kuning yang rimbun. Ia biasa ditemani rengek saksofn David Sanborn yang selalu terdengar di
sini pada jam kedatangannya. Sanborn mengingatkannya pada seorang pria berkaca mata hitam
yang tersenyum lepas pada halaman sebuah majalah musik, mirip pacar pertamanya. Hmmm…
Sejak melihat Sanborn yang funky dengan kaca mata hitam ia pun selalu mengenakan kaca
mata hitam bila bepergian, terutama ke tempat-tempat umum dan ramai orang. (hlm. 58)

Kuku-kukunya terlihat berwarna biru turquoise, warna batu kelahirannya, warna cat kuku
kesayangannya.

“Sok ninggrat,” pikirnya , mengingat sang pria. Mereka bertemu tadi malam. Ah, sudahlah,
pagi ini tak ada lagi kenangan. Pikiran romantis hanya membuat hati sedih, memperpendek
umur. (hlm. 59)

Ia mengenal beberapa pria mengesankan saat hujan. (hlm. 59-60)
Ia mendadak terkikik-kikik … Ia sendiri lebih suka membaca novel-novel percintaan, terutama
yang berakhir tragis. Kesedihan ternyata menimbulkan orgasme juga. Ia terkikik lagi.
Sepasang muda-mudi di sudut lain kafe tersebut melirik sebentar ke arahnya, mungkin
menganggapnya gila, lalu berpaling lagi pada kesibukan semula. Ia mencibir ke arah mereka
dan bibirnya terasa kering. Kali ini buru-buru diraihnya lip balm rasa stoberi. “Bibir yang
kering menandakan kesehatan yang buruk,” pikirnya gundah, teringat tips kecantikan di sebuah
majalah wanita.
Pelayan datang membawa nampan berisi pesanannya; bubur ayam yang masih mengepul panas.
Secangkir susu coklat juga diangsurkan pelayan ke hadapannya. Pandangan mereka bertemu. Si
pelayan tersenyum simpul. Sekilas ia melihat pelayan mengerdipkan sebelah mata sebelum
berlalu. “Genit,” pikirnya, sebal. (hlm. 60)
Ia mulai meniup-niup bubur ayamnya, lalu menyeruput cairan kental itu dengan suara keras. Ia
tak begitu peduli pada tatakrama yang diajarkan neneknya bahwa pantang mengeluarkan bunyi-
bunyian saat mengunyah makanan atau meneguk minuman. Ia juga sering bersendawa
seenaknya bila gas dalam perutnya yang kenyang mendesak keluar. Tatakrama kurang
menghargai ekspresi masing-masing pribadi, pikirnya, sinis.

“Maaf, Jeng. Boleh saya ambil sambalnya,” suara perempuan bernada alto mampir di
telinganya. (hlm. 61)

Ia masih ingat cengkraman kencang pria itu pada leher dan bahunya yang terbuka. Jari-jari
kakek yang kurus terasa tajam di daging muda yang lunak. Dengusan keras seakan mampir di
telinganya lagi … Sesudah kegaduhan berlalu, ia merasa kesal menatap gaun dan stocking
sutranya yang robek di sana-sini, meski orang tua itu selalu memberi uang belanja untuk
mengganti pakaiannya yang rusak tiap kali mereka selesai bercinta.
Semula ia berharap Benyamin menjadi yang terakhir. Mungkin, Pria yang menerima segala
kekurangannya itu bersedia mengawininya dan ia akan merawat Ben dengan baik, setulus hati.
Ia memang mencintai pria itu, setia mendengar keluh kesah Ben tentang anak-anak yang satu
demi satu meninggalkan rumah untuk berkeluarga dan tak lagi peduli pada ayah mereka yang
sendirian. (hlm. 62)
Seperti biasa, ia mengelus-elus rambut pria itu dan menyanyikan lagu-lagu nostalgia yang
digemari pria seusia Ben, sampai sang kekasih lelap dan mendengkur.
Ternyata lelaki tetap saja lelaki, tak peduli tua atau muda. Mereka sangat pintar mengarang
cerita sedih, memasang jerat untuk menaklukkan wanita.

Ia membalas tatapan si pria tua secara khusus, lurus-lurus dan berani. Tak sia-sia. Sepasang
mata tua itu mendelik, kaget. Ia merasa puas dan menyungging senyum lebar. (hlm. 63) (cetak
tebal dari penulis)

Variasi acuan dari kata-kata bercetak tebal dalam kutipan di atas menunjukkan upaya
permainan penafsiran pembaca oleh pengarang sebelum pada akhirnya pembaca (bisa)
dikejutkan sekaligus terpuaskan oleh fakta bahwa tokoh Ia adalah seorang waria. Tambah pula
secara linear upaya manipulasi estetik ini terasa cukup runut dan runtut membentuk klimaks
pada bagian akhir. Dari fakta terakhir ini baru bisa dipahami hubungan antara kata-kata yang
terkesan saling bertolak belakang, seperti dikutip di atas, sebagaimana kenyataan bahwa tokoh
Ia adalah paduan antara tubuh seorang pria dan jiwa wanita.
Tokoh Ia dalam cerpen ini digambarkan sebagai seorang sosok yang berharap sangat pada
akhirnya bisa menemukan pria terakhir yang bisa menjadi pasangan penghabisannya sehingga
usai sudahlah profesi laknatnya selama ini. Harapan itu semula tumbuh pada tokoh Benyamin,
kakek tua yang semalam dikencaninya dan begitu Ia kasihi. Namun kenyataan berikut yang
secara tidak sengaja ia temukan, bahwa lelaki ini telah berdusta, benar-benar membuat perasaan
tokoh Ia begitu terpukul pada akhirnya. Ia diceritakan mesti menghibur diri kembali bermain
dengan kawan-kawan sepermainan dan sepernasibannya; melanjutkan lagi roda takdirnya.
Dalam cerpen “Lelaki Bearoma Kebun”, ada dua tokoh yang terlihat hampir sama kuat
kedudukannya sebagai tokoh utama; yang pertama adalah Halifa sebagai tokoh yang bercerita
—meski dengan menggunakan sudut pandang persona ketiga—dan yang kedua adalah Si
Penjaga Kebun sebagai tokoh yang cukup dominan dikisahkan. Tokoh Halifa dalam cerpen ini
adalah seorang perempuan muda yang telah lama tidak kembali ke kampung halaman. Suatu
waktu dia menyempatkan pulang dan mendapati keadaan di kampung halamannya telah banyak
berubah. Dalam keadaan yang sudah banyak berubah tersebut sekonyong-konyong tokoh Si
Penjaga Kebun menjadi pusat perhatian bagi Halifa.
Sudah lama Halifa tak pulang. Di tanah rantau sesekali saja diingatnya si penjaga kebun.
Namun, ketika pulang dan melihat banyak yang telah hilang dari masa lalunya, lelaki itu
menjadi bagian penting yang tersisa dan berharga.
Barangkali, rambut lelaki itu sudah memutih dan kerut-merut usia tua makin nyata. Daya
ingatnya pun mungkin sudah menumpul. Itu galibnya perkembangan manusia, dari bayi merah,
belajar beranak-pinak, lalu renta dan pikun. Apakah masih juga dikenakannya topi kebun dari
kain belacu lusuh itu? Mata sabitnya yang berkilau saat terayun ke batang lalang dan semak-
belukar seakan hadir di depan mata. Kadangkala lelaki itu mengeluarkan suling dari tas resam
dan memainkan lagu-lagu berirama Melayu. Ia punya radio transistor yang bisa menangkap
siaran dari Malaysia. Radio model lama berbentuk roti bantal itu warisan kakek Halifa.
Mungkin, bisa jadi obat sepinya. Halifa kecil tak urung bersiul-siul senang menimpali tiap nada
yang berasal dari lubang-lubang suling si penjaga kebun. (hlm. 77-78)

Tokoh Si Penjaga Kebun ini pada akhirnya cerita baru ketahuan bahwa dia sebetulnya masih
mempunyai hubungan famili dengan keluarga Halifa; bukan sekadar orang upahan biasa
sebagaimana yang selama ini diketahui Halifa dari semenjak berumur kecil. Akan tetapi, tanpa
pengetahuan ini pun Halifa sedari kecil memang mengagumi sosok penjaga kebun ayahnya ini.
Kekaguman ini tentu bisa dimaklumi akan cukup berbekas hingga ia dewasa pun setelah sekian
lama dan jauh berjarak dari masa lalunya. Bagaimana pandangan Halifa terhadap tokoh Si
Penjaga Kebun bisa dilihat dari kutipan berikut ini.
Lelaki itu mengabdi hidupnya untuk gugur dan semi bunga pepohonan, melihat tunas tumbuh
dan dahan tua tumbang. Ia menyiangi lalang dari tanah kebun, menabur kotoran ayam dan
kambing di atasnya. “Biar gembur, tanah perlu makan,” katanya pada Halifa kecil.
Pohon-pohon yang dirawatnya setiap hari pun membalas budi, menyerahkan aroma khas
mereka kepadanya, sehingga si perawat tak bisa sembunyi dari siapa pun. Nasibnya seperti
musang yang mengeluarkan wangi pandan. Hembusan angin membawa aroma tubuh penjaga
kebun ke rongga penciuman orang-orang yang berjalan di kejauhan, semacam pengumuman.
Bila ada yang ingin menemuinya, ikuti saja aroma itu. Kalian akan sampai di hadapan lelaki
yang menenteng sabit atau parang. Matanya tak pernah menyorot garang, mata orang yang mau
menolong. Bila kalian ingin bertemu tuannya, yang punya kebun, ia akan berjanji
menyampaikan pesan. Bila ada yang tersesat, ia akan tunjukkan jalan. (hlm. 79)

Lelaki itu dilukiskan dalam cerita ini sebagai sosok yang setia dan tabah menjalankan
profesinya sebagai tukang kebun. Dia merupakan jenis manusia yang mencintai apa yang
menjadi pekerjaan dan kewajibannya sehingga terlihat dapat menikmati dan bisa berbahagia
atas apa yang dikerjakannya itu. Dia adalah sosok yang menghadirkan ketenangan bagi mata
yang memandang dan menebarkan kedamaian bagi siapapun yang berpapasan dengannya.
Pilihan hidupnya yang memilih sendiri sungguh mengagumkan buat Halifa sedari kecil.
Penjaga kebun itulah yang selalu menarik perhatian Halifa sejak kanak-kanak, terutama
hidupnya yang sendiri. (hlm. 84)

Oleh karena itu, dalam keadaan hujan gerimis dan jari-jari petir menyambar Halifa
memaksakan diri juga untuk berkunjung ke pondokan kecil tempat Si Penjaga Kebun tinggal.
Di sana Halifa mendapatkan lelaki tersebut sudah mulai sakit-sakitan. Di sana Si Penjaga
Kebun sakit-sakitan tersebut menceritakan sesuatu pada Halifa dewasa. Dari pertemuan inilah
Halifa baru mengetahui rahasia pertalian darahnya dengan Si Penjaga Kebun yang selama ini
tidak diketahuinya.
“Oh, dak ape-ape, tuk. Halifa cume nak mampir sebentar. Lame dak pulang. Semue la
berubah,” kata Halifa, seraya duduk di tepi ranjang.
“Benar. Banyak yang berubah. Nyai la dak ade. Yai kau ape agik. Papa kau pun la pensiun.
Kebenaran kau pulang. Ade yang nak atuk cerite. Atuk ni la sakit-sakit terus, sebentar agik nak
pulang ke tanah. Macam-macam sakit pun ade, dari pening, mengas sampai … mate ni la dak
keliat agik la. Kau di situ pun, atuk dak bise nampak jelas, kabur,” lanjut lelaki tua itu, tertatih-
tatih mendekati Halifa, membawa gelas air.
Lelaki itu akhirnya mengungkap kisah yang mengguncang Halifa (hlm. 85-86)

Selain terhadap Si Penjaga Kebun, Halifa juga terkenang pada keluarga besarnya: Malida,
adiknya, ayah dan ibunya, serta nenek dan kakeknya. Nilai-nilai yang bisa dipetik dari orang-
orang tercintanya tersebut senantiasa membekas dalam sanubari Halifa. Sebagai penutup cerita
cerpen ini, perihal Si Penjaga Kebun inilah yang dilukiskan masih setia membayangi hari-hari
selanjutnya Halifa di bumi perantauan.
Ketika si penjaga kebun meninggal dan jenazahnya dimakamkan, Halifa telah kembali ke tanah
rantau. Ia cuma mengirim doa. Namun, aroma segar dari pohon-pohon tropis yang terbawa
angin masih menyertainya di jalanan, di bus, di kantor, di kamar kontrakan, dan di tempat-
tempat baru yang pertama kali dikunjunginya… (hlm. 87)

Dalam cerpen “Makan Keempat” terdapat juga dua tokoh yang terlihat cukup menonjol, yakni
tokoh Aku dan Paula; Aku adalah ayah Paula. Dengan pertimbangan dan argumentasi bahwa
perasaan-perasaan tokoh Akulah yang menjadi fokus utama cerita maka bisa dikatakan bahwa
ayah tokoh Paulalah yang menjadi tokoh utama cerpen ini. Terlebih lagi tokoh Aku faktanya
menjadi pusat pengisahan cerita ini sehingga dia senantiasa terlihat konsisten mengawal alur
cerpen ini.
Tokoh Aku dalam cerpen ini, dan istrinya, Elia, diceritakan kehilangan Paula, putri tercinta
mereka. Menyedihkannya—terlebih—kepergian tokoh Paula tersebut bagai menghilang tanpa
jejak dan tiada berbekas. Ada pula dugaan-dugaan bahwasanya Paula telah disekap dan
disandera pihak penguasa karena aktifitas subversifnya. Sebab itu sulit untuk membuktikan
keberadaan Paula; apakah masih hidup atau memang telah tiada.
Karena pengarang dalam cerpen ini tidak bersikap dan bersifat mahatahu selalu, soal
keberadaan Paula pun hingga akhir cerita tetaplah kenyataannya berselimut kabut misteri; salah
satunya secara retoris—dalam pengertian teknik bercerita—didukung oleh pemilihan sudut
pandang ini. Pada akhirnya, yang jelas, demi menghilangkan kesedihannya tokoh Aku akhirnya
memutuskan untuk menganggap bahwa Paula telah di alam baka sana; entah tenggelam di
lautan atau ditelan daratan (dimakan hiu atau disekap dalam benteng bawah tanah [hlm. 133]).
Untuk itu kedua orang tua tokoh Paula ini membuatkan makam untuk putri kesayangan mereka.
Rasa sedih dan pedih kehilangan Paula tersebut menghadirkan ilusi bagi tokoh Aku pada hari-
hari berikutnya tanpa kehadiran Paula. Jiwa Paula seolah tetap datang kembali ke rumah orang
tua tercinta sebagaimana harapan seorang Aku yang selalu terkenang buah hatinya. Berikut
kutipannya:
Paula datang ketika lampu-lampu ruang telah padam. Tubuhnya memancarkan sinar putih.
Lembut. Berpijar. Kuletakkan kotak cerutuku di meja dan bangkit perlahan dari kursi malas
untuk menyambutnya. Namun, ia memunggungiku, meluncur di lantai, kemudian menghilang
tepat di tengah lorong menuju dapur. Dan lantai licin yang kupijak tiba-tiba berperekat. Aku
tertahan di atasnya, mirip tikus terjebak di perangkap berumpan. Kusaksikan Paula sirna. Kedua
tanganku yang bersiap memeluknya tertahan di udara, menggantung kaku. Ia meninggalkan
ruang lengang tanpa aroma. Ia meninggalkan aku. Datang dan perginya bagai tuah dari tongkat
sihir, terbit dari tiada dan lenyap ke dalam tiada. Dibiarkannya kami menunggu selama sepuluh
musim.
Ketika belum terbiasa dengan cara datang dan pergi Paula, aku sering berteriak-teriak
memanggil namanya dan berharap ia berbalik serta menatapku. Tak sekalipun ia menggubris.
Kedua telinganya bagai tersumbat besi tempaan. Tubuhnya meluncur lurus ke muka, sebelum
lebur dalam udara. Namun, aku masih berharap.
Paula selalu datang ketika hanya pijar lampu bacaku yang menyala dan membuat gradasi
cahaya, ketika temaram di sekelilingku benar-benar hilang di ujung lorong gelap-gulita.
Aku menyebut namanya, dengan tekanan dan perasaan beragam; haru, senang, cemas, putus
asa. Namun, suara serak ini hanya dijawab oleh gemanya sendiri, diikuti desah napasku yang
berat, letih… (hlm. 123-124)

3.3.2 Latar
Latar yang dianggap paling menonjol, terkait tema-tema kemanusiaan dalam kumpulan cerpen
ini, yang akan dibahas pada bagian ini adalah latar suasana. Sesuai kecenderungan ekspresi
kemanusiaan yang begitu teraba dan terasa dari dua belas cerpen kumpulan cerpen ini,
khususnya enam cerpen yang dibahas, latar suasana dalam cerpen-cerpen tersebut terlihat
sangat mendukung bagi tema-temanya. Sebagai contoh berikut akan dikutipkan beberapa
potongan paragraf dari cerpen “Kuda Terbang Maria Pinto”.
Angin tiba-tiba menggeliat bangkit dan mendesis. Udara menjelma mantra ganjil yang
berdengung dalam bahasa sihir; wangi, membius segala yang bergerak dan keras kepala. (hlm.
11)
Angin pun berangsur tenang. Alang-alang yang subur jangkung, semak-semak duri di tanah
gersang, dan gunung batu terjal di kejauhan…
Kereta ini seperti melayang di tengah gelap. Noktah-noktah cahaya dari perkampungan, seperti
barisan kunang-kunang muncul di jendela. Namun, selebihnya gelap pekat. (hlm. 13)
Noktah-noktah cahaya timbul-tenggelam di bidang jendela. Keniscayaan yang lain
memendarkan nyeri lagi pada ulu hati…
Lorong kereta begitu sunyi. Orang-orang lelap dalam selimut katun seragam biru tua. (hlm. 15)
Kesenyapan dan kesabarannya saling beradu. Bunyi gesekan sayap-sayap jangkrik makin
menggema, mengerat sepi. (hlm. 16)

Penggambaran latar yang umumnya telah terpisah dan berjarak dari peristiwa utama cerita,
seperti dikutipkan di atas, memperlihat suasana yang muram dan agak suram. Suasana “kelam”
seperti ini terlihat sangat sesuai dengan kemurungan jiwa yang tengah melanda prajurit Yosef
Legiman, tokoh utama cerpen ini. Atmosfer ini juga sesuai dengan keseluruhan tema cerita
yang mengungkapkan kegalauan hati Yosef sebagai seorang prajurit tempur atau sniper yang
mesti menjalani suratan takdirnya membunuh sesama manusia.
Tidak hanya pelataran suasana alam semata yang menjadi sarana untuk membangun atmosfer
gelap seperti ini. Peristiwa-peristiwa dalam cerita pun cenderung mendukung bagi terciptanya
suasana seperti ini. Berikut dikutipkan narasi cerita ketika dalam cerpen ini dikisahkan Yosef
bertemu langsung, hanya berduaan saja, dengan tokoh Maria Pinto, panglima perang mistis
pasukan musuhnya.
Ia bisa melihat jantung, usus, paru-paru, dan tulang-tulang tengkorak gadis tersebut dengan
jelas. Kepala mungil yang cantik berubah membesar dengan pupil-pupil mata yang menonjol
serta kulit wajah mengeriput. (hlm. 17)

Hal seperti ini juga terasa dari kisahan rekan Yosef yang telah terlebih dahulu terjun ke medan
tempur menghadapi Maria dan gerombolannya. Berikut dikutipkan:
“Ketika kabut datang, bergulung-gulung melewati medan pertempuran, anggota pasukan kami
satu demi satu mendadak gugur dengan luka tembak. Suatu hari kabut itu datang lagi,
bergulung-gulung di atas kami dan aku menembaknya, tanpa henti. Ketika kabut lenyap, aku
saksikan tujuh orang terkapar mati di tanah. Negeri itu memang ajaib,” kisah teman Yosef,
tersenyum pahit. (hlm. 12-13)
Hal seperti ini juga dapat dengan mudah ditemukan pada cerpen-cerpen lainnya. Tentu saja
tidak semua pelataran menciptakan atmosfer yang cenderung “gelap” seperti ini. Berbagai
objek cerita sangat memungkinkan untuk terjadinya bermacam variasi. Namun secara
keseluruhan, pelataran suasana tersebut cenderung menunjang bagi suasana kepedihan manusia
yang dominan menjadi nuansa tema-tema kemanusiaan dalam kumpulan cerpen ini. Berikut
dikutipkan dua buah paragraf dari cerpen “Makan Malam”. Bagian ini merupakan kisah
perpisahan antara tokoh Ibu dan Ayah saat tokoh Aku belum lahir dikarenakan sebuah huru-
hara politik dan sosial.
Suatu pagi buta, setelah siaran radio berkali-kali menyiarkan berita kudeta, serombongan orang
mendatangi rumah dan mencari Ayah. Ibu sedang hamil 5 bulan. Mereka mengobrak-abrik
ruang kerja Ayah, mengambil buku-buku dan dokumen lalu membakarnya. Keesokan hari, saat
langit masih gelap, Ibu meninggalkan rumah itu dan pergi ke kampung nenek.
Fitnah-fitnah mulai gencar. Banyak orang dibunuh. Mayat-mayat mengambang di sungai. Ibu
memutuskan kembali ke kota. Hidup harus berlanjut. Aku sudah lahir dan butuh susu. Setelah
itu kehidupanku seperti berhenti, kata Ibu. Pria-pria silih-berganti. (hlm. 27)

Pelataran di atas berangkat dari peristiwa-peristiwa dalam cerita atau berupa aksi kejadian.
Meski masih sangat eksplisit terasa bernuansa gelap, kegelapan dalam pelataran ini bukan
tersurat lewat keadaan tempat atau saat yang kelam—pengecualian pada bagian Keesokan hari,
saat langit masih gelap...—melainkan melalui kejadian-kejadian yang mengisi dan menempati
waktu dan ruang statis itu. Kutipan di atas menunjukkan bahwa kekelaman suasana tidak hanya
ditampilkan lewat pelataran gelap sesuatu latar tempat dan waktu namun juga secara lebih
berjarak dengan tafsiran dan pemaknaan atas atmosfer sebuah peristiwa atau lakuan tokoh-
tokoh cerita.
Terlihatlah juga betapa suasana mencekam dari peristiwa kerusuhan di atas sangat mendukung
bagi suasana penderitaan hati tokoh Ibu yang menjadi tema cerpen ini. Suasana suram yang
dibangun oleh pelataran, sebagaimana kecenderungan tematik kumpulan cerpen ini, juga
terlihat pada kutipan dari cerpen-cerpen berikutnya. Masing-masing, secara berurut, merupakan
kutipan dari cerpen “Pesta Terakhir”, “Balada Hari Hujan”, Lelaki Beraroma Kebun” dan
“Makam Keempat”.
Angin sore terasa kering dan tajam. Udara taman berdebu. Amis lumpur menguap dari kolam
dangkal serupa kubangan kerbau itu. Daun teratai yang layu dan busuk mengambang di
permukaan air coklat keruh. Di susut kolam, patung perempuan gemuk memegang kendi telah
bersalut kerak debu.
Seorang lelaki tua berdiri tegak di depan jendela yang terbuka, memandang lurus patung di
taman. Debu, debu… Bagaimana mengikis debu yang menebal di benaknya? Ia melihat daun-
daun gugur melayang dari pohon. Merasa ada yang lucu dalam hidupnya. Tapi matanya terasa
pedih, berair. (hlm. 31)

Hujan masih menyambutnya di luar kafe. Langit abu-abu tua. Payung ungu itu mengembang
lagi. Jalan yang basah menyambut langkah-langkah kaki yang menggigil. Ia rapatkan kerah-
kerah mantelnya, menahan udara dingin. Ia merasa hidup begitu sepi, begitu asing. Air mata
mulai mengembang di balik kaca mata hitam ala Sanborn. Ia mencoba bersenandung, tapi tak
bisa. (hlm. 64)

Berminggu-minggu anak-anak tersebut ditinggalkan ibunya yang berharap ada orang kampung
datang dan menyelamatkan mereka. Suatu hari ketika perempuan itu kembali untuk memastikan
anak-anaknya telah diambil orang, ia menemukan lima mayat tergeletak di lantai tanah dan
telah membusuk. Ternyata pikiran yang kalut membuat si perempuan telah mengunci gubuk
dari luar. Anak-anak itu terkurung di sana, tanpa mampu berteriak minta tolong. Perempuan itu
tak sadarkan diri dan saat siuman ia sudah lupa pada siapa pun. Orang-orang kampung
melihatnya berlari kencang ke dalam hutan sambil melolong. Setelah itu ia benar-benar senyap
dari muka bumi. Barangkali, ia mati dimangsa ular atau buaya yang menghuni sungai. (hlm. 86-
87)

Kalian akan melihat sepasang rongsokan manusia berjalan tertatih-tatih, menyerupai zombie.
(hlm. 124)

3.3.3 Sudut Pandang


Sudut pandang persona ketiga digunakan pada cerpen “Kuda Terbang Maria Pinto”, “Pesta
Terakhir”, “Balada Hari Hujan”, dan “Lelaki Beraorma Kebun”, sedangkan pada cerpen
“Makan Malam” dan “Makam Keempat” yang dipakai adalah sudut pandang persona pertama.
Pada cerpen “Kuda Terbang Maria Pinto” terlihat sudut pandang persona ketiganya bersifat
mahatahu, berikut kutipannya:
Perempuan muda itu terusik sebentar, lalu kembali menekuni halaman-halaman buku. Semula
ia kurang berminat mendengar ocehan prajurit cengeng ini. Alangkah ganjil menyaksikan
penembak jitu memercayai hal-hal yang jauh dari hukum benda dan kasatmata. Tetapi, dia
terkesiap ketika menatap wajah si prajurit. Barangkali, inilah wajah orang yang hidup-mati dari
perang. (hlm. 13)

Dari kutipan di atas terlihat bahwa narator juga bisa mengetahui perasaan dan pikiran tokoh
ceritanya. Dalam cerpen “Pesta Terakhir” juga sama. Berikut kutipannya:
Mursid muncul di ambang pintu, kurus dan ringkih. Ia menyambutnya dengan peluk hangat.
Tak urung air matanya terbit ketika Mursid lagi-lagi berbisik, selamat ulang tahun teman dunia-
akhirat. Benarkah? Air matanya meleleh. Mursid mengelus punggungnya. Kini ia mulai
menangis terisak-isak.
Ia menuntun Mursid ke sofa, seraya mengerjap-ngerjapkan mata yang basah. Tangan Mursid
bergetar dalam genggamannya. Ia ingin membuat pengakuan. Mungkin, ini pestaku yang
terakhir, pikirnya, sendu. (hlm. 42)

Narator cerpen ini terlihat mengetahui pikiran dan gumaman di dalam sanubari tokoh yang
diceritakannya. Dalam cerpen “Balada Hari Hujan”, kemahatahuan pengarang bisa dilihat dari
kutipan berikut ini:
Hari masih terlalu pagi untuk orang-orang yang takut pada cuaca dingin bulan Juni. Kelopak-
kelopak bakung di bawah jendela terlihat segar berair. Ia membayangkan teman-teman prianya
masih meringkuk dalam pelukan istri atau pacar mereka, seperti kucing demam. Ia mendorong
pintu cepat-cepat. Tubuhnya makin menggigil oleh terpaan udara dari pendingin ruang.
“Pelayan lupa menaikkan volume,” gerutunya, dalam hati. Jari-jari kakinya terasa mengeriput
dalam stocking sutra setengah basah, menuju baku. Tapi, wangi kaldu ayam dalam adonan
bubur membuat otot-otot lambungnya berdenyut keras dan tubuhnya yang menggigil itu mulai
dialiri hawa panas. Ia biasa mampir ke kafe ini untuk sarapan. (hlm. 58)

Sifat mahatahu pada sudut pandang persona ketiga cerpen “Lelaki Beraroma Kebun” bisa
dilihat pada kutipan berikut ini.
Sudah lama Halifa tak pulang. Di tanah rantau sesekali saja diingatnya si penjaga kebun.
Namun, ketika pulang dan melihat banyak yang telah hilang dari masa lalunya, lelaki itu
menjadi bagian penting yang tersisa dan berharga. (hlm. 77-78)

Teknik penceritaan dengan menggunakan sudut pandang persona pertama pada cerpen “Makan
Malam” bisa dilihat dari kutipan beikut ini.
Kami makan malam bersama, aku dan Ibu. Ya, makan malam saja kami bersama. Sarapanku
selalu terburu-buru. Jalanan macet di pagi hari. Kantorku lumayan jauh dari tepi kota ini. Aku
selalu bergegas. Ketika aku berangkat, Ibu masih tidur. Aku makan siang di kantor. Ibu makan
siang di rumah. Makan malam adalah ritual kami, ibu dan anak. Makan malam adalah waktu
kami bersama, tak bisa diganggu-gugat. (hlm. 21)

Dalam cerpen “Makan Malam” ini tokoh Aku sekadar berperan sebagai tokoh tambahan
sehingga sudut pandangnya pun berupa sudut pandang “Aku Tokoh Tambahan”. Hal ini
berbeda dengan sudut pandang persona pertama pada cerpen “Makam Keempat”. Pada cerpen
ini justru penceritanya menjadi tokoh utama.
Memang sulit untuk tidak diakui bahwa aktifitas tokoh Paula, putrinya, lah yang menjadi bahan
ceritaan dalam cerpen ini. Namun sulit pula untuk diingkari bahwa akibat dari aktifitas politik
Paula tersebutlah—yang berimbas pada “kehilangannya” atau “penghilangannya” dan lalu
berimbas pada kesedihan kedua orang tuanya (terutama lebih intensif lagi digarap pada detail
perasaan tokoh Ayah)—yang paling dekat berkaitan dengan tema kemanusiaan pada cerita ini.
Wajar kiranya sentral garapan cerpen ini berfokus pada perasaan sosok ayah yang kehilangan
putrinya (tokoh Aku). Selain itu secara kuantitas terlihat tokoh Akulah yang dominan
mengawal alur cerita.

3.4 Tema
3.4.1 Kehampaan Jiwa dan Kesetiaan terhadap Tugas pada Cerpen “Kuda Terbang Maria
Pinto”
Masalah kemanusiaan yang diangkat dalam cerpen ini berpusat pada sikap hidup yang dilakoni
tokoh utamanya, Yosef Legiman. Di satu sisi Yosef terlihat teguh menjalankan wataknya
sebagai seorang prajurit (bukan sekadar dalam artian kepangkatan): menjalankan sumpah setia
pada tugas negara dan patuh pada doktrin garis komando. Namun, pada sisi lain dia juga
ditampilkan sebagai sosok manusia apa adanya sebagaimana kebanyakan manusia pada
umumnya. Sebagai seorang manusia ia bisa sedih, jatuh cinta, dan amat perasa. Berikut
kutipannya:
Apakah ini pertanda ia tengah bersiap menyongsong maut, lalu membuat pengakuan dosa serta
jadi amat perasa? (hlm. 14)

Timbulnya sifat perasa pada Yosef, sebagaimana dieksplisitkan secara tekstual pada kutipan
sebelum ini, diceritakan disebabkan oleh peristiwa pertemuannya dengan tokoh Maria Pinto.
Ketidakmampuannya untuk membunuh Maria dan kesempatan untuk meneruskan hidup yang
diberikan Maria ternyata membekas pada kejiwaan Yosef. Wajar kiranya dalam suasana yang
mendukung untuk banyak merenung dan termenung, yakni dalam sebuah perjalan kereta, Yosef
kembali terbayang wajah Maria. Ketika membuka pembicaraan dengan perempuan di
sebelahnya pun (tokoh Wanita Pimpinan Teroris) dia menjadikan kisah Maria ini sebagai bahan
obrolan atau lebih tepatnya curhatan pribadi.
Menariknya, teks pikiran benak perempuan di sebelah Yosef ini sesudah mendengarkan seluruh
cerita Yosef mengaitkan cerita Yosef tentang Maria dengan cerita perpisahannya yang baru saja
terjadi dengan kekasihnya (kekasih Yosef) gara-gara tiada restu orang tuanya kekasih Yosef.
Berikut kutipannya:
“Ini rahasia saya, hanya antara kita,” ujar Yosef, menyudahi kisahnya.
Perempuan muda menghela napas panjang. Kisah cinta segitiga yang rumit dan tragis, pikirnya,
sedih. Prajurit ini terombang-ambing antara pacarnya dan panglima hantu. Dua-duanya sad
ending. (hlm. 18)

Fakta cerita seperti ini menciptakan pemaknaan bahwa nilai kenangan Yosef pada Maria
berelasi dengan fakta cintanya terhadap kekasih nyatanya. Ini berarti, terhadap Maria pun Yosef
kemungkinan memiliki perasaan “sejenis” dengan entah berapa kadarnya. Kemungkinan ini
sebelumnya diperkuat oleh penggunaan kata gadis (bukan sekadar perempuan itu misalnya)
pada narasi berikut di bawah ini oleh pencerita:
Gaun lembut Maria Pinto membelah anyir perang dengan kibaran putih yang menyilaukan. Dua
pengawal menyertai perjalanan rutin ini, menjaga junjungan mereka dari atas kereta. Yosef
membiarkan iring-iringan di langit itu berlalu. Lutut-lututnya lemas. Ia terduduk di tanah.
Angin pun berangsur tenang. Alang-alang yang subur jangkung, semak-semak duri di tanah
gersang, dan gunung batu terjal di kejauhan kembali memenuhi penglihatannya bersama
kenangan pada gadis itu. (hal.11-12)

Gangguan kejiwaan yang melanda Yosef bisa dipandang cukup besar pengaruhnya dari
pertemuan dengan Maria; salah satu alasannya juga bisa dilihat dari pilihan judul bagi cerpen
ini: “Kuda Terbang Maria Pinto”. Padahal kuda saktinya Maria tersebut secara frekuensif
sangat kecil porsi kehadirannya dan bisa dianggap tidak berdiri di barisan tokoh-tokoh utama.
Perannya bagi tema cerita mengenai distorsi kejiwaan yang melanda prajurit Yosef juga bisa
dipandang berlangsung tidak langsung.
Kekagetannya sewaktu mengetahui bahwa kuda Maria tersebut adalah kuda mainan yang
terbuat dari kayu juga kurang kuat untuk bisa dianggap menjadi alasan keutamaan perannya
karena tema cerita juga berputar ke peristiwa-peristiwa lain seperti kematian adiknya. Lagi pula
hadir sebuah antiklimaks saat sang kuda sakti tersebut tidak lagi “besar” dengan selubung kabut
mitos dan misterinya. Dari hal ini bisa diduga bahwa penonjolan kuda tersebut pada judul
adalah berfungsi untuk menonjolkan peran Maria sendiri—sebagai empunya— bagi sisi
kemanusiaan Yosef yang menjadi tema cerita.
Kemudian, perasaan dengan “nilai lebih” ini semakin kuat diduga ada setelah cerpen ini
diakhiri oleh paragraf berikut ini:
Angin tiba-tiba bertiup kencang lewat jendela. Tubuh Yosef menggigil. Ia melihat Maria Pinto
menyeberangi langit dengan kuda terbang. Mengapa perempuan itu selalu mengikutinya ke
mana pun? Maria Pinto tersenyum, mengulurkan tangannya yang putih dan halus. Bagai tersihir
Yosef menyambut jemari gadis yang menunggu. Ia merasa terbang di antara awan, melayang,
melihat sebuah dunia yang terus memudar di bawahnya. (hlm. 20)

Dapat dipahami bahwa pembaca bisa melihat ini sebagai sesuatu yang aneh. Seperti sudah
dikemukakan sebelumnya, di satu sisi Yosef adalah seorang prajurit yang tetap setia
menjalankan tugas yang diembannya. Bahkan hingga akhir cerita pun digambarkan seperti itu;
bagaimana dia dengan tangan dingin membunuh seorang wanita pimpinan teroris yang menjadi
target operasi instrumen keamanan negara yang ternyata tidak lain dan tidak bukan adalah
merupakan perempuan di sebelahnya sewaktu mencurahkan ingatan tentang kisah kesaktian
Maria di atas kereta. Namun di sisi lain, Yosef terlihat memelihara, atau mungkin memendam,
perasaannya terhadap Maria, seorang gadis yang menjadi pelindung gerombolan pemberontak,
musuh negaranya.
Kontradiksi inilah yang bisa dimaknai sebagai situasi hampa pada kejiwaan prajurit Yosef
dalam cerpen ini. Jiwa yang hampa ini menghadirkan logika sejalan dengan karakter pembunuh
berdarah dingin pada perannya sebagai seorang sniper pada cerita bagian akhir. Dia tidak
digambarkan begitu menggebu-gebu dalam menjalankan misi untuk membunuh musuh negara
tersebut. Malahan dia digambarkan seolah tetap masih memiliki simpati terhadap sasaran yang
pernah menjadi teman curhatnya tersebut; akan tapi di sisi lain dia juga tidak desersi dari
kewajiban dan loyalitas pada penguasa negara hanya digara-garakan persoalan perasaan dan
cinta.
Paduan yang kontras seperti ini juga tergambar pada bagian cerita yang mengisahkan cerita
Yosef pada perempuan di sebelahnya di atas kereta tentang kematian adiknya yang mungkin
juga memilih jalan hidup sebagai tentara.
“Tadi pagi ibu saya menangis lagi. Ini kepulangan terakhir saya sebelum kembali bertugas. Ibu
saya trauma. Kasihan dia. Tapi, ini sudah pilihan,” tutur Yosef, memandang lurus ke depan.
Enam bulan lalu adiknya meninggal disiksa para pemberontak. Jenazah sang adik kembali
tanpa jantung, usus, dan kemaluan, terkunci rapat dalam peti mati kayu mahoni. Kini Yosef
satu-satunya anak lelaki dalam keluarga.
“Petinya berselubung bendera besar, besar sekali!” Ada nada bangga bercampur haru. (hlm. 14)

Klausa memandang lurus ke depan di atas bisa dimaknai sebagai simbol sisi teguh Yosef
sebagai prajurit yang telah bersumpah setia, tidak akan berkhianat dan lari dari tugas, meski,
sebagaimana digambarkan di atas, beban emosionil menekan begitu berat dan sangat dahsyat.
Walhasil, sisi manusiawinya mesti “terdampar” di kehampaan relung-relung jiwa. Berbagi
cerita yang dilakukannya dengan wanita yang tanpa sebelumnya ia sadari nanti akan
dibunuhnya (demi tugas) itu pun menjadi sebuah sarana untuk mengisi ruang-ruang tertekan
dalam batinnya.
Ia merasa lega sudah membagi kisah-kisahnya yang terdengar lemah dan pengecut pada
perempuan muda ini. Seperti ungkapan menjijikkan dalam roman, ia merasa tenang di sisinya,
di sisi orang asing yang bertemu di perjalanan. (hlm. 14)

Paradoks dan paduan antara kehampaan jiwa dan kesetiaan pada tugas ini terlihat lebih jelas
lagi dalam kutipan berikut ini:
“Tapi, saya tak pernah menembak Maria Pinto dan kuda terbangnya, tak akan, ….ia sangat
sakti, percuma saja,” ujar Yosef pelan, nyaris bergumam.
Perempuan muda itu terusik sebentar, lalu kembali menekuni halaman-halaman buku. Semula
ia kurang berminat mendengar ocehan prajurit cengeng ini. Alangkah ganjil menyaksikan
penembak jitu memercayai hal-hal yang jauh dari hukum benda dan kasatmata. Tetapi, dia
terkesiap ketika menatap wajah si prajurit. Barangkali, inilah wajah orang yang hidup-mati dari
perang.
Wajah lelaki itu mirip boneka kain kanak-kanak yang terlalu disayang, meski sudah kumal dan
koyak-moyak tak dibuang ke tong sampah; wajah penuh luka jahitan. Sepasang matanya sayu
berhias bekas-bekas sayatan dekat alis, yang menyerupai sulaman bordir asal jadi dan bermotif
sulur di tangan pemula. (hlm. 13-14)

3.4.2 Derita Seorang Ibu dan Makna Keutuhan Sebuah Keluarga dalam Cerpen “Makan
Malam”
Tiga kalimat terakhir yang menutup cerpen ini barangkali bisa dipandang sebagai persoalan
inti, atau setidaknya sari cerita, yang ingin dikemukakan:
Sakit pada tubuh bisa diobati. Sakit pada hati sampai mati. Ayah, kata itu makin sayup dan tak
terdengar lagi …(hlm. 30)

Garis relasi antara tokoh Ibu dan Ayah merupakan pemicu utama tema utama cerita meski
tokoh Aku yang menjadi pembawa atau punggawa alur cerita dan hubungan atau interaksi
antara tokoh Aku dan Ibu yang terbanyak menyita porsi kisahan cerita.. Garis tadi
menghasilkan pemaknaan tentang kepedihan jiwa seorang istri yang ditinggalkan sang suami
yang dicintanya.
Pedih dan perih ini terasa sekali berfokus di tokoh Ibu yang mengalami langsung dari jarak
dekat peristiwa ditinggalkan orang terkasih tersebut. Sementara tokoh anak (Aku), yang
menjadi sudut penceritaan, terlihat sudah cukup berjarak secara emosional dengan bapaknya
karena sejak kecil dia memang hanya mengenal ibunya. Oleh karena itu, dalam hubungan
dengan cerita kehilangan dan kemunculan tokoh Ayah, tokoh Aku terlihat tidak terlalu
terguncang secara kejiwaan, berbeda sekali dengan psikologis tokoh Ibu.
Penderitaan tokoh Ibu ini disebabkan dua hal yakni kehilangan sang suami dan “kehilangan
kedua kalinya” sang suami. Kehilangan pertama kalinya terjadi sebagai akibat sebuah peristiwa
atau lebih spesifiknya huru-hara sosial-politik yang membuat tokoh Ayah tidak bisa kembali ke
tengah-tengah keluarganya karena sudah berada di luar negeri (tempat yang aman guna
menyelamatkan diri dari peristiwa sosial-politik yang terjadi itu). Kehilangan inilah yang
membuat tokoh Ibu “terpaksa” menjalani profesi sebagai wanita panggilan demi membesarkan
putri semata wayangnya dan menerima takdir bahwa putri yang dicinta itu, tokoh Aku, hanya
tahu bahwa dia bapak tidak ada.
Namun kemudian, dari kehilangan yang pertama ini, bisa ditafsirkan pula bahwa rasa
kehilangan lebih mendalam diderita tokoh Ibu justru karena tiada kabar yang sekian lama dari
tokoh Ayah. Di sini sebabnya mungkin bukan sekadar keadaan sosial-politik lagi, melainkan
sudah berupa pilihan sikap dari tokoh Ayah untuk tidak sesegera mungkin menemui tokoh Ibu.
Hal ini wajar kiranya dipahami begitu sangat menyakiti hati seorang wanita.
Kenyataan terakhir ini baru diketahui belakangan setelah tokoh Ayah muncul kembali. Derita
kejiwaan tokoh Ibu pun sebetulnya tetap telah ada meski dengan alasan keadaan sosial-politik
sebelumnya. Bisa jadi hal ini karena dia sudah menduga kekurangsetiaan tokoh Ayah.
Kesedihan ini terasa bercampur baur dengan adanya sedikit harapan bahwa sang suami akan
kembali. Kutipan di bawah ini menunjukkan hal itu:
Malam ini Ibu agak dingin. Kalimat ‘I love you’ cuma terdengar sekali. Sepasang matanya
menerawang. Ibu melamun. Ketika Ibu melamun, aku seolah ditinggalkan sendiri dan bukan
bagian dari dirinya lagi. Ketika Ibu melamun, ia bersembunyi dalam kamar yang tak bisa
kumasuki. Dulu sering kulihat Ibu melamun, kemudian makin berkurang, dan akhirnya, tak
pernah lagi. Sekarang Ibu kembali pada kebiasaan lama. Ada apa?
“Dia akan pulang ke sini,” kata Ibu, datar.
“Siapa?”
“Lelaki itu.”
“Oh ….”
Aku tak melanjutkan pertanyaan. Ibu sudah menguncinya dengan jawaban singkat yang umum.
(hlm. 22-23)

“Kalau begitu, putuskan saja. Aku nggak mau melihat Ibu sedih.” Aku cemas.
“Yang satu ini tidak semudah itu. Karena kami punya sejarah.”
“Sejarah bisa dihapus.”
“Yang ini tidak bisa.”
“Kenapa?”
“Dia ayahmu.”
“Ayah? Ibu bilang, aku diambil dari bank.”
Ibu menyeringai getir, lalu mengusap-usap kepalaku, lembut.
“Kamu minta cuti kantor saja sehari. Kita jemput dia di bandara dua hari lagi.” (hlm. 24)

Kutipan di atas memperlihatkan “dinginnya” tokoh Ibu (sekaligus menunjukkan


kebimbangannya) dalam menyikapi kembalinya tokoh Ayah yang telah tiada berkabar sekian
lama itu; sementara tokoh Aku dari kutipan ini kelihatan tidak mempunyai ketertarikan untuk
“menyikapi” peristiwa tersebut alias merasa biasa-biasa saja. Harapan tokoh Ibu bisa dianggap
tetap ada karena, seperti ditunjukkan dalam cerita ini, ia juga tidak mentah-mentah menolak
kehadiran kembali tokoh Ayah, suami tercintanya. Gesekan antara harapan kedatangan lagi dan
kekecewaan ditinggal pergi inilah yang mengusik-usik ketenangan hidup tokoh Ibu. Pemaknaan
seperti ini, sekali lagi, bisa dilihat dari kontrasnya (kejiwaan tokoh Ibu) dengan sikap tokoh
Aku sebagai anak yang tidak pernah berjumpa bapak.
Sementara itu, kehilangan kedua kalinya justru terjadi di saat yang hilang itu telah kembali
datang. Kedatangan sang suami ternyata hanya seperti “merobek” lagi luka lama dengan
memberi kabar tentang istri keduanya dan dua anak barunya di negeri luar sana. Entah apa
permintaan maaf sang suami cukup mengurangi kadar derita sang istri; kenyataannya kutipan
kalimat-kalimat terakhir cerita di awal tadi menunjukkan bahwa tokoh Ibu menderita dan sakit
hatinya.
Judul cerpen sendiri, “Makan Malam”, hanya menjadi sarana untuk melukiskan suasana derita
tersebut dalam konteks keutuhan, kegenapan, dan kebulatan sebuah keluarga. Dari cerita
didapatkan kesan kebahagiaan hidup tokoh Aku dan tokoh Ibu meski sekadar hidup berdua
setiap kali menjalani rutinitas makan malam mereka berdua. Di saat keluarga menjadi utuh,
ketika tokoh Ayah kembali hadir di tengah-tengah mereka, justru suasana semula ini sirna.
Logika umum bahwa berkumpulnya semua anggota keluarga—orang-orang yang dicintai—
akan membahagiakan hati ternyata dalam cerpen ini tidak terbukti. Selain kedatangannya
(tokoh Ayah) hanya, seperti diistilahkan tadi: merobek luka lama, dari sudut pandang tokoh
Aku—yang telah sangat berjarak dengan bapaknya itu—justru kehadiran dan keutuhan tersebut
menjadikan suasana yang tidak sempurna. Seperti melengkapi sebuah puzzle dengan benda
yang sudah berbeda.
Makan malam kali ini kami bertiga. Aku, Ibu, dan Ayah. Tak ada musik klasik. Ibu membeli
makanan terbaik dari restoran mahal. Namun, suasana menjadi ganjil. Ibu dan Ayah tak berani
saling pandang. Aku seakan monyet yang terjebak.
Wajah pria di hadapanku tirus, putih, dengan rongga mata dalam. Uban sudah memenuhi
kepala. Jasnya kebesarannya. Suaranya gemetar, mirip rintihan. Inilah Ayahku. Bagaimana aku
menghadapi pria ini?
Kami makan tanpa suara. Denting sendok garpu saling bersahut. (hlm. 28)

Dari cerita ini didapat pemaknaan bahwa kebahagian keluarga itu justru didapat dalam
ketakutuhannya. Ketidakutuhan ini lebih baik dibanding “lengkap” namun dengan sesuatu yang
sudah sama sekali berbeda. Untunglah keganjilan tersebut hanya berlangsung sementara lalu
berlalu. Namun kepahitan akibat kedatangan itu telah membekas di hati tokoh Ibu dan justru
menambah segala beban derita akibat rasa kehilangan sebelumnya; taktahu apa ada dokter yang
bisa mengobatinya.

3.4.3 Antara Rahasia Pengkhianatan dan Usaha Untuk Menjaga Persahabatan dalam Cerpen
“Pesta Terakhir”
Seperti debu tanah yang beterbangan di taman, berulang-ulang menyepuh daun dan kelopak
bunga-bunga yang tersisa di ranting hingga terlihat makin kusam (hlm. 41) atau layaknya daun
teratai yang layu dan busuk mengambang di permukaan air coklat keruh (hlm. 31), seperti
begitulah perasaan hati tokoh Kakek Mar ketika terkenang akan sahabat-sahabat
seperideologiannya dahulu sewaktu masih muda dan pengkhianatannya atas mereka.
Sampai ia menjalani usia lanjut dan hingga akhir cerita diceritakan bahwa rahasia
pengkhianatan ini belum juga diceritakannya. Saat ia bertemu Mursid di akhir “pesta terakhir”
diceritakan bahwa ia sudah hendak bercerita tentang pengkhianatan yang ia lakukan ini atau
dengan kata lain hendak melakukan semacam pengakuan dosa, namun sebuah peristiwa kecil
mengganggu terungkapnya rahasia itu dan menggantungkan cerita pada sebuah tanda tanya: apa
gerangan selanjutnya?
Mursid muncul di ambang pintu, kurus dan ringkih. Ia menyambutnya dengan peluk hangat.
Tak urung air matanya terbit ketika Mursid lagi-lagi berbisik, selamat ulang tahun teman dunia-
akhirat. Benarkah? Air matanya meleleh. Mursid mengelus punggungnya. Kini ia mulai
menangis terisak-isak.
Ia menuntun Mursid ke sofa, seraya mengerjap-ngerjapkan mata yang basah. Tangan Mursid
bergetar dalam genggamannya. Ia ingin membuat pengakuan. Mungkin, ini pestaku yang
terakhir, pikirnya, sendu.
Sid, aku mau bicara sesuatu, soal yang dulu.
Oh, ya, ya, bicaralah, soal apa saja.
Aku mau minta maaf. Umur manusia ‘kan terbatas…
Sudah, sudah, jangan menyumpahi dirimu sendiri. Aku yang sakit-sakitan begini nggak pernah
kepingin mati, kok. Kamu yang segar bugar, malah cengeng.
Sid, aku…
Tiba-tiba terdengar jeritan dari arah kolam. Seorang cucunya menunjuk-nunjuk panik ke kolam.
Lho, mana cucunya yang seorang lagi? Ya, Tuhan, Si Sena terjatuh. Olala. Ia langsung berlari
melewati lubang pintu yang terbuka. Orang-orang dalam rumah riuh. Mursid tertegun di sofa.
Angin musim panas berdesir lagi dalam ruangan. Amis lumpur mengelana dalam udara.
Seorang pria tua berjongkok di tepi kolam, bersiap turun menjemput cucunya. Dua tukang
kebun terlihat buru-buru menggotong tangga. Seorang perempuan menghambur ke taman
sambil menggendong bayi. (hlm. 42)

Rahasia yang disimpan Kakek Mar adalah pengkhianatan terhadap kawan-kawannya sewaktu
dahulu mereka dipenjara bersama gara-gara perbedaan ideologi dengan pemerintahan baru yang
melakukan sebuah kudeta merangkak terhadap otoriterianisme pemimpin lama. Karakter tokoh
Kakek Mar yang doyan perempuan dan tiada dapat menahan nafsu birahi berlama-lama menjadi
sebuah jalan untuk mendapatkan “keterangan” yang diperlukan darinya. Barangkali pula bisa
menjadi semacam pembenaran atas khianat terpaksa yang mesti dipilihnya.
Dalam sel yang sempit di Salemba dulu, mereka pernah bertaruh dengan nasib, berbulan-bulan.
Ia tak tahan. Nafsunya, terutama, butuh pelampiasan. Berkali-kali ia onani saat teman-temannya
sudah bergeletakan tidur malam sehabis korve seharian yang menyiksa. Ketika seorang petugas
mendekatinya dan menawarkan kerja sama, ia setuju. Ia hanya diminta menyebutkan nama-
nama yang dianggapnya sangat berbahaya. Apa susahnya, toh tinggal mencatat saja? Setelah itu
kamu bisa bebas dan kumpul dengan anak-istri, kata petugas. Ya, apa susahnya? (hlm. 39)

Dengan “melaporkan” nama-nama kawannya sendiri, termasuk memberi tanda ideolog pada
nama Mursid, Kakek Mar bebas dari penjara dan selanjutnya berstatus sebagai “pencatat” atau
“penjaja manusia” sebagaimana yang dikatakannya sendiri pada putrinya, tokoh Alma. Berikut
kutipannya.
Suatu hari Alma kecil bertanya tentang pekerjaannya. Apa sih pekerjaan Papa? Tukang catat.
Tukang catat? Ya, namun dalam buku rapor putrinya ia menulis: wiraswastra. Ya, berjualan
manusia. Ia terkekeh, geli. Tiba-tiba, seperti disentakkan sesuatu di ulu hati, ia merasa sedih.
(hlm. 40)

Kebebasan itu pun kemudian menjadi “gerbang” bagi Kakek Mar guna melanjutkan
petualangan cinta (seksual)-nya. Barangkali dengan menggunakan anggaran rakyat (uang
negara), Kakek Mar akhirnya bisa bersenang-senang ke berbagai belahan dunia. Pengkhianatan
pada kawan seperjuangan memang berbuah surga duniawi bagi beliau. Bahkan, dengan bekal
posisi yang didapat dari pengkhianatan tersebut—dengan tetap meneruskan profesi sebagai juru
catat—dia bisa membantu mencarikan pekerjaan di lahan “basah” bagi anak Mursid (sahabat
yang dikhianatinya tetapi tetap terus ditemaninya). Meski begitu, pada Mursid dia mengaku
atau berbohong bahwa “rezeki” itu didapat berkat bantuan menantu adiknya. Berikut
kutipannya:
Papa sayang sekali, ya sama Om Mursid?
Oh, tentu, tentu, Nak. Kami sudah melewati banyak suka-duka bersama.
Akibatnya, Alma tak segan-segan mengirim masakan pada keluarga sahabat Ayahnya itu setiap
minggu. Ia sendiri rajin menyantuni Mursid yang tak punya mata pencarian tetap selama
puluhan tahun ini. Tiap bulan dikirimnya wesel ke alamat sahabatnya, jumlah yang cukup untuk
membeli beras dan lauk pauk di pasar. Ketika putra sulung Mursid tamat sekolah menengah, ia
langsung menawarinya bekerja di sebuah kantor pemerintah. Bagaimana kamu bisa punya
koneksi di sana, Mar, tanya Mursid, terheran-heran. Bukan koneksi, tapi kebetulan menantu
adikku sudah berpangkat tinggi di situ, balasnya, setulus mungkin. Mursid memeluknya,
berulang-ulang berucap bahwa ia benar-benar sahabatnya dunia-akhirat. Ia tersenyum kecut,
merasa kurang nyaman mendengar julukan itu. Tapi, sudahlah, apa boleh buat.

Di tengah-tengah kehidupan serba susah yang dijalani Mursid, juga kawan-kawan lamanya
yang lain, dikarenakan bekas dan berkas status ideologi politik yang melekat, Kakek Mar justru
hidup berkecukupan atau berlebihan berkat pilihan menuruti kehendak nafsu birahi yang dahulu
dipilihnya. Namun ternyata status sebagai seorang pengkhianat ini tidak membuat Kakek Mar
melupakan kawan-kawan lama yang dikhianatinya itu; terlebih lagi “sahabat dunia-akhiratnya”
Mursid.
Ia terlihat terus berusaha menjalin hubungan dengan mereka sembari tetap memelihara sebuah
rahasia yang mungkin akan mengoyak-ngoyak hubungan mesra itu. Di pesta ulang tahunnya,
yang diisyaratkan pengarang cerita sebagai pesta terakhir bagi kakek ini, dia mengundang
semua teman-temannya dulu yang kebetulan masih bernyawa dan beruntung belum mati karena
pengkhianatan dan nafsu birahinya.
Ia ingin membaca ulang daftar tamu. Apakah Alma sudah mengundang semua sahabatnya?
Ditariknya laci meja, lalu diraihnya sehelai catatan dari situ; daftar nama para tamu yang ditulis
Alma. Nama Mursid berada di urutan pertama, ya, ya, disusul Arsyad. Setelah Arsyad, berturut-
turut tercantum nama Hendro, Yusmin, Ali… Lima orang. Dua lagi tinggal kenangan. Hartono
mati ditembak. Kasman, ah, ia kehilangan jejak, entah hidup, entah mati. (hlm. 39)

Meski dilukiskan sebagai seorang pengkhianat pada teman-teman seperjuangannya, ternyata


Kakek Mar juga ditampilkan dengan sisi kemanusiawiannya. Selain tetap menjalin hubungan
dan berusaha membantu sahabat-sahabatnya, Kakek Mar juga terkenang akan sahabat-
sahabatnya yang telah tidak ada di dunia ini. Sewaktu Alma mewartakan ketidakdatangan
sahabat-sahabatnya, kecuali Mursid, Kakek Mar menjadi sedih sekali sebagaimana sedihnya dia
mendapat panggilan sahabat dunia-akhirat dari Mursid.
Alma tiba-tiba muncul di ambang pintu. Ia menggeragap.
Papa, Om Ali tak bisa datang. Istrinya baru saja telepon. Katanya, dia dilarikan ke gawat
darurat. Liver, Papa.
Ya, Tuhanku. Terus … bagaimana yang lain, Al?
Om Yusmin bilang, ia juga tak bisa datang. Selamat ulang tahun saja buat Papa. Ia kebetulan
belum ada uang. Rumahnya memang jauh dari sini.
Kenapa dia nggak bilang dari kemarin, biar kita suruh sopir yang jemput?
(Alma mengangkat bahunya. Perempuan itu merasa percuma sudah menyiapkan banyak
makanan.)
Om Mursid sudah janji datang. Bagaimana Om Hendro, sama Om Arsyad? Coba kamu telepon
mereka, Nak.
Aduh, Pa, mereka ‘kan nggak punya telepon.
Oh, ya, ya, aduh… aduh, bagaimana ini?

Ia merenung-renung. Kepalanya mulai pusing dan perutnya mual lagi.
Ia merasai kembali angin musim kemarau, yang bertiup kering dengan tajam ke dalam ruangan.
Ia melihat debu tanah beterbangan di taman…

Sendi-sendi tulangnya tiba-tiba terasa lemas. Dada sesak. (hlm. 40-41)

Beban dari dosa pengkhianatan yang dilakukannya yang berjalan seiring dengan kasih
sayangnya yang tulus pada sahabat-sahabatnya merupakan sebuah fenomena kemanusiaan yang
menarik untuk dimaknai dari tokoh Kakek Mar. Sebagai seseorang yang berhasil lolos untuk
hidup makmur dan sejahtera, Kakek Mar digambarkan sehat wal afiat secara fisik. Namun
kemunculan berkali-kali teks yang menggambarkan gangguan kesehatan pada Kakek Mar bisa
dianggap menunjukkan sesuatu beban yang melanda Kakek Mar. Perhatikan kutipan berikut:
Angin panas mengusap kulitnya lagi di ruangan ini, meninggalkan rasa tersengat dan perih di
pori-pori. Ia berjalan tenang ke wastafel, menyalakan kran, membasuh wajahnya dengan air
dingin yang mengalir.
Musim kering ini hanya membuat kepala pusing dan perut mual. Alma sangat khawatir,
sehingga kemarin tergopoh-gopoh mengantarnya ke dokter. Hasilnya? Bapak sehat, kok, Mbak.
Perubahan cuaca memang sering mengagetkan tubuh, kata dokter itu pada Alma. Oh, ya,
baiklah kalau begitu, terima kasih, balas Alma, senang. Mereka kembali ke mobil dan melaju di
jalanan yang panas dan macet di siang terik. Dalam perjalanan, ia merasa pusing dan mual lagi.
Musik bertempo cepat dari radio mobil membuat kepalanya makin berdenyut. Snut, snut,
snut… Urat kepala bagai dawai dipetik. Tanggo, chacha, salsa… mulai ia jauhi.
Tolong matikan radionya, Al. Kepala Papa pusing sekali.
Mungkin, Papa harus banyak minum dan makan buah segar.
Papa sudah banyak minum dan makan buah, kok. Kemarin Papa habiskan jeruk manis sekilo
sendiri.
Mungkin Papa banyak pikiran, ditambah udara memang panas sekarang ini.
Siapa bilang? Orang seumur Papa ini ‘kan harus menikmati hidup yang sebentar lagi, buat apa
memikirkan yang menyedihkan hati. Ne, ne, ne, ne, ne, ne … (Ia gerakkan telunjuk kanannya,
seperti saat melarang Alma kecil bermain air hujan)
Jangan ngomong begitu, Pa. Siapa tahu ada yang memberatkan pikiran Papa. Siapa tahu, lho.
(hlm. 34-35)

Bisa diduga, secara kurang disadari, perasaan bersalah yang bersifat kebatinan (bukan fisik)
inilah yang tengah melanda Kakek Mar. Gaya hidupnya yang berorientasi hedonis barangkali
membuat dia berusaha untuk tidak menjadikan rasa bersalah itu membebani dirinya dan
mengganggu kesenangan-kesenangannya. Namun secara kurang ia sadari pula, dosa tersebut
secara laten tetap mengendap dan menghantui sisi lain kemanusiaannya. Apalagi sebagai
seorang manusia dengan karakter berorientasi senang dan bahagia, dia terlihat lebih mudah
untuk menyayangi dari pada memelihara benci. Inilah sisi positif manusia dengan karakter
seperti tokoh Kakek Mar. Di samping itu, berkat karakter ini, dia tetap bisa disadarkan bahwa
dia seorang pendosa.
Perasaan berdosa itulah, yang sebelumnya semata diakui di dalam hati, yang mendorong Kakek
Mar untuk hendak melakukan pengakuan dosa pada sahabat terdekatnya Mursid di akhir cerita;
meski pada akhirnya, akhir cerita digantungkan. Meski begitu, judul “Pesta Terakhir” bagi
cerpen ini bisa dianggap memberi pemaknaan tersendiri untuk menafsirkan maksud
penggantungan di bagian akhir tersebut. Seorang pria tua berjongkok di tepi kolam, bersiap
turun menjemput…(hlm. 42). Barangkali seperti derai-derai cemara, ada yang belum
terucapkan di saat akhirnya berserah.

3.4.4 Seorang Waria yang Dilukai Hatinya dalam Cerpen “Balada Hari Hujan”
Dalam udara yang dingin dan cuaca hujan yang seperti tidak henti, tokoh Ia dalam cerpen ini
melaksanakan rutinitasnya. Setelah mencari “nafkah” di malam hari, di pagi yang dingin
menusuk tulang di bulan Juni, tokoh Ia menjalani rutinitas lain yang juga tidak kalah
manusiawi: sarapan. Di sebuah restoran langganan—yang kata cerpenis cerpen ini merupakan
satu-satunya kafe di kota dalam cerpen ini yang buka di pagi hari—tokoh Ia memakan makanan
rutinnya yakni semangkok bubur ayam istimewa dan separo gelas coklat panas.
Tapi siapa sangka, tokoh Ia bertemu lagi di kafe tersebut dengan lelaki sok nigrat
“langganannya” semalam yakni Benyamin G. Lelaki tua ini datang dengan istrinya yang dari
cakapannya pada tokoh Ia (yang menggunakan panggilan jeng) memperlihatkan bahwa tokoh
Benyamin dan istri resminya ini memang orang-orang terhormat yang berlabel ortodoks
ninggrat. Benyamin yang terhormat ini mungkin tidak menyangka akan bertemu lagi dengan
banci yang semalam “dipakainya” untuk menumpahkan hasrat birahi. Lebih sialnya, ia datang
bersama istri yang dari tutur katanya yang sopan menunjukkan mereka merupakan orang-orang
yang berstatus terhormat.
Kedatangan Benyamin dan istri ini sangat membuat sedih hati tokoh Ia karena kedatangan
mereka itu membuka sebuah tabir rahasia yang bisa sangat mengecewakan hatinya. Di saat
mereka sesaat “bercinta” semalam, tokoh Ia sempat dibuai oleh harapan bahwa Benyamin yang
terhormat ini akan menjadi kekasih terakhirnya dan bisa mengakhiri petualangan cintanya dari
satu pria hidung belang ke pria hidung belang lainnya. Benyamin mengaku sebagai pria
kesepian yang sudah ditinggal pergi oleh anak-anaknya yang masing-masing juga sudah
berkeluarga dan juga telah ditinggal mati oleh sang istri tercinta.
Semula ia berharap Benyamin menjadi yang terakhir. Mungkin, Pria yang menerima segala
kekurangannya itu bersedia mengawininya dan ia akan merawat Ben dengan baik, setulus hati.
Ia memang mencintai pria itu, setia mendengar keluh kesah Ben tentang anak-anak yang satu
demi satu meninggalkan rumah untuk berkeluarga dan tak lagi peduli pada ayah mereka yang
sendirian. Istri Ben hampil meninggal sepuluh tahun lau, setelah menderita kanker ganas
bertahun-tahun.
“Anak-anak hanya datang pada hari raya, sekadar bermaaf-maafan, setelah itu kami jadi orang
asing lagi satu sama lain, kembali mengurus diri sendiri. Hidup ini hanya kesialan bagi orang-
orang tua,” kisah Ben, saat berbaring di pangkuannya.
Seperti biasa, ia mengelus-elus rambut pria itu dan menyanyikan lagu-lagu nostalgia yang
digemari pria seusia Ben, sampai sang kekasih lelap dan mendengkur. (hlm. 62-63)

Namun tidak dinyana, Benyamin tega berdusta. Dengan teknik penceritaan yang cukup
menegangkan serta agak mencengangkan, pengarang cerpen ini mempertemukan tokoh Ia dan
Benyamin dan istrinya—yang masih hidup ternyata—di pagi harinya di sebuah kafe. Terang
saja, tokoh Ia merasa dibohongi oleh kakek yang satu ini.
Ternyata lelaki tetap saja lelaki, tak peduli tua atau muda. Mereka sangat pintar mengarang
cerita sedih, memasang jerat untuk menaklukkan wanita. Ben bahkan tega membunuh istrinya
sendiri, meski dalam cerita. Ia sungguh kecewa. (hlm. 63)

Perhatikan penggunaan kata menaklukkan wanita di atas. Pilihan kata seperti ini, yang
dilakukan pengarang, seolah mengisyaratkan betapa telah mewanitanya tokoh Ia yang sejatinya
pria ini. Sensitifitas jiwa perempuan dalam tubuh lelaki tokoh Ia terang saja sangat terguncang
dengan kenyataan pahit dan menyakitkan ini. Secara fisik-psikis bisa diduga perasaan terluka
itu spontan mampu untuk memancing reaksi tubuhnya.
Ia tiba-tiba tersedak dan mulai batuk-batuk. Kini sehelai sapu tangan mulai dikeluarkannya dari
rongga tas tangan, kemudian dibekapkannya pada mulut yang bising. Ada inisial “BG” di sudut
saputangan tersebut, terbuat dari sulaman benang biru. Wangi musk bercampur kayu cheddar
juga masih tertinggal, samar-samar. Pasangan muda-muda maupun manula (Benyamin dan
istri-pen.) serentak menoleh ke arahnya. Sorot mata mereka mengisyaratkan rasa terganggu,
jijik, dan ngeri. Virus influenza bisa saja beterbangan di udara, lalu hinggap di mangkuk-
mangkuk bubur mereka. Hiiiiiii ….
Ia membalas tatapan si pria tua (Benyamin-pen.) secara khusus, lurus-lurus dan berani. Tak sia-
sia. Sepasang mata tua itu mendelik, kaget. Ia merasa puas dan menyungging senyum lebar.
Suara batuk keris yang khas pun terdengar menimpali batuknya. Ada dua komposisi batuk
sekarang, yang sama-sama sumbang, bersahut-sahutan. (hlm. 63-64)

Sapu tangan berinisial “BG” pemberian Benyamin yang dijadikan pengelap ingus tokoh Ia yang
terbatuk-batuk tersebut seolah menjadi sebuah simbol bagi muntahan kemarahan tokoh Ia
terhadap Benyamin. Sebuah kemarahan yang berujung kesedihan, keperihan, dan kepedihan,
sebagaimana bisa disimak dengan sangat nikmat lewat penutup cerita berikut ini:
Ia ingin pulang dan menenangkan pikiran. Hari yang cukup berat di antara puluhan ribu hari
yang sama kembali berlangsung. Berapa lama ia bisa bertahan di dunia semacam ini?
Hujan masih menyambutnya di luar kafe. Langit abu-abu tua. Payung ungu itu mengembang
lagi. Jalan yang basah menyambut langkah-langkah kaki yang menggigil. Ia rapatkan kerah-
kerah mantelnya, menahan udara dingin. Ia merasa hidup begitu sepi, begitu asing. Air mata
mulai mengembang di balik kaca mata hitam ala Sanborn. Ia mencoba bersenandung, tapi tak
bisa.
Mungkin, nanti malam ia akan menghibur hatinya yang sedih di sebuah diskotek di jantung
kota bersama teman-teman senasib. Angie, Mella, Jasmine, Liza, Sophia… tunggu aku, ya, kita
dugem sampai pagi! Di diskotek itu pula ia dinobatkan sebagai ratu waria, ratu dari dunia yang
abu-abu, seperti warna langit hujan. Tapi ini bukan kisah tentang kerajaan, melainkan kisah
tentang kepedihan. (hlm. 64)

3.4.5 Kampung Halaman, Segala Kenangan, dan yang Tersisa Darinya dalam Cerpen “Lelaki
Beraroma Kebun”
Ia merasa ikatan hidupnya dengan pulau itu berangsur-angsur punah (hlm. 87). Demikianlah
bunyi kalimat terakhir cerita dari cerpen “Lelaki Beraroma Kebun” ini. Cerpen ini bercerita
tentang kunjungan pulang ke rumah seorang gadis perantau bernama Halifa yang sudah lima
belas tahun tidak sempat pulang karena sibuk bekerja mencari nafkah di perantauan. Suatu
waktu disempatkanlah oleh tokoh Halifa pulang ke “tanah” airnya.
Sejauh manakah kenangan akan rumah baginya masih membekas? Di kampung halamannya ini,
yang terletak di sebuah pulau kecil, Halifa bertemu lagi dengan salah satu bagian dari masa
lalunya, Si Penjaga Kebun. Pada orang yang dipanggil Atuk oleh Halifa inilah cerita memusat.
Halifa masih ingat wajah lelaki itu. Sepasang mata yang sipit, hidung pesek, dan bibir hitam
terbenam di kepala yang kecil. Saat ia tertawa terlihat gigi-gigi yang tak rata, ompong, dan
kerak nikotin menempel di celah-celah gusinya. Tapi, ia jarang tertawa. Hanya matanya yang
sering berbinar melihat orang datang. Hidup sendirian di tengah kebun tentu sebuah
pengorbanan. Ia senang dikunjungi dan cepat-cepat menyuguhkan air putih serta bijur rebus
atau buah keremunting yang hitam-manis pada tamunya, atau lebih tepat lagi, keluarga pemilik
kebun. (hlm. 77)

Demikianlah narasi paragraf pertama pembuka cerpen ini; langsung mengarah-arahkan pada Si
Penjaga Kebun. Perhatikanlah empat kalimat pertama kutipan di atas. Dengan narasi yang
terlalu “jujur” tersebut, bagaimana akan dipahami segi keindahan seperti yang umum dilekatkan
pada label kesusastraan? Namun ternyata dalam cerpen ini, dinyatakan bahwa Si Penjaga
Kebun ini menjadi begitu berharga bagi Halifa.
Ketika si penjaga kebun meninggal dan jenazahnya dimakamkan, Halifa telah kembali ke tanah
rantau. Ia cuma mengirim doa. Namun, aroma segar dari pohon-pohon tropis yang terbawa
angin masih menyertainya di jalanan, di bus, di kantor, di kamar kontrakan, dan di tempat-
tempat baru yang pertama kali dikunjunginya. Ia merasa ikatan hidupnya dengan pulau itu
berangsur-angsur punah. (hlm. 87)

Kepulangan Halifa dewasa ke “masa kecilnya” tentu saja menghasilkan situasi yang telah
banyak berubah dari masa lalunya itu.
Sudah lama Halifa tak pulang. Di tanah rantau sesekali saja diingatnya si penjaga kebun.
Namun, ketika pulang dan melihat banyak yang telah hilang dari masa lalunya, lelaki itu
menjadi bagian penting yang tersisa dan berharga. (hlm. 77-78)

Kakek dan nenek Halifa telah lebih dahulu berpulang ke “tanah”. Tinggal ibu bapaknya yang
tengah menikmati masa pensiun di hari tua. Sementara Malida, adiknya, juga telah punya
kesibukan tersendiri di tanah rantau. Sebab itu, keberadaan Si Penjaga Kebun menjadi cukup
penting bagi Halifa. Apalagi orang tua ini memiliki nilai historis baginya dan pernah menarik
perhatiannya karena kesendiriannya.
Penjaga kebun itulah yang selalu menarik perhatian Halifa sejak kanak-kanak, terutama
hidupnya yang sendiri. (hlm. 84)

Namun ada sesuatu hal yang membuat hubungan Halifa kepada Si Penjaga Kebun lebih kuat
lagi. Ada sebuah rahasia, yang selama ini belum pernah diketahuinya, belakangan baru
diceritakan Si Penjaga Kebun sewaktu Halifa mendatangi pondoknya.
Lelaki itu akhirnya mengungkap kisah yang mengguncang Halifa. Tentang sebuah keluarga
yang tercerai-berai. Sepasang suami-istri merelakan bayi mereka yang baru berumur dua hari
untuk diangkat anak oleh keluarga lain. Mereka tak sanggup membesarkan bayi itu lantaran
kehidupan yang sulit di masa Jepang. Lima anak yang lahir sebelumnya harus menanggung
penderitaan. Untunglah ada orang yang lebih mampu bersedia mengurus bayi mereka yang baru
lahir. Selang beberapa minggu setelah putra bungsu mereka diserahkan, sang suami meninggal
dunia akibat tuberkulosa dan sang istri meninggalkan gubuk kecil mereka dengan lima anak
kurus meringkuk lapar di dalamnya.
Berminggu-minggu anak-anak tersebut ditinggalkan ibunya yang berharap ada orang kampung
datang dan menyelamatkan mereka. Suatu hari ketika perempuan itu kembali untuk memastikan
anak-anaknya telah diambil orang, ia menemukan lima mayat tergeletak di lantai tanah dan
telah membusuk. Ternyata pikiran yang kalut membuat si perempuan telah mengunci gubuk
dari luar. Anak-anak itu terkurung di sana, tanpa mampu berteriak minta tolong. Perempuan itu
tak sadarkan diri dan saat siuman ia sudah lupa pada siapa pun. Orang-orang kampung
melihatnya berlari kencang ke dalam hutan sambil melolong. Setelah itu ia benar-benar senyap
dari muka bumi. Barangkali, ia mati dimangsa ular atau buaya yang menghuni sungai.
Putra bungsu suami istri yang malang tadi adalah ayah Halifa. Lelaki tua yang bercerita ini adik
kandung dari pihak istri. Halifa terdiam, begitu pula si penjaga kebun. Mereka larut pada
kegetiran masing-masing. (hlm. 86-87)

Pada akhir cerita ini Halifa baru tahu bahwa dia dengan Si Penjaga Kebun tersebut ternyata
adalah saudara. Hubungan mereka ternyata bukan sekadar antara anak majikan dan orang
upahan. Bahkan Ayah Halifa sendiri, dalam cerita, tidak tahu cerita ini. Betapa terenyuh Halifa
menyikapi kesendirian Si Penjaga Kebun. Apalagi jika dihubungkan dengan ingatan Halifa
ketika suatu kali ia mendengar ayahnya pernah menyuruh Si Penjaga Kebun untuk istirahat dan
kembali pada sanak saudaranya tanpa dia sadari bahwa dialah sanak saudaranya itu.
Ayah dan ibu telah memutuskan pindah ke pedalaman, mendirikan rumah di kebun pusaka
kakek, dekat perkampungan orang-orang Tionghoa. Penjaga kebun itulah yang selalu menarik
perhatian Halifa sejak kanak-kanak, terutama hidupnya yang sendiri. Kata ayah, “Dia turut
menyaksikan jatuh-bangun keluarga kita. Ayah sudah menganggapnya keluarga. Dia sudah
ayah minta istirahat dan kembali pada sanak-saudaranya, tapi katanya dia tak punya keluarga
lagi. Ayah suruh tinggal di rumah ini, dia memilih tinggal di rumah kebun.” Lelaki itu mulai
sakit-sakitan lantaran usia tua, tapi tetap bertahan dalam kebun mereka.
Ayah telah menjalankan wasiat kakek. Sebelum meninggal, kakek berpesan agar ayah
memperhatikan nasib penjaga kebun dan tak boleh menyia-nyiakannya. (hlm. 84)

Rupanya kakek Halifa tidak pula membuka rahasia tersebut sebelum wafatnya. Barangkali pula
memang ada kemungkinan kakek Halifa memang tidak mengetahui. Namun wasiat kakek
Halifa pada ayahnya tersebut lebih menguntungkan penafsiran bahwa beliau memang tahu tapi
mengambil keputusan untuk tidak memberi tahu. Sekadar memberi pengetahuan dengan jalan
lain yang barangkali dipikirnya lebih elok dan yang terbaik. Pantaslah kiranya akhir cerita—
sebagaimana sudah dikutip sebelumnya—membentangkan dan menonjolkan hubungan erat
antara Halifa dengan Si Penjaga Kebun, bukan dengan yang lain-lain. Perasaan Halifa pada Si
Penjaga Kebun inilah yang menghadirkan segi keindahan tersendiri bagi cerpen ini.
Beberapa hal berikut ini juga menunjukkan kesan Halifa yang begitu kuat pada Si Penjaga
Kebun:
Barangkali, rambut lelaki itu sudah memutih dan kerut-merut usia tua makin nyata. Daya
ingatnya pun mungkin sudah menumpul. Itu galibnya perkembangan manusia, dari bayi merah,
belajar beranak-pinak, lalu renta dan pikun. Apakah masih juga dikenakannya topi kebun dari
kain belacu lusuh itu? Mata sabitnya yang berkilau saat terayun ke batang lalang dan semak-
belukar seakan hadir di depan mata. Kadangkala lelaki itu mengeluarkan suling dari tas resam
dan memainkan lagu-lagu berirama Melayu. Ia punya radio transistor yang bisa menangkap
siaran dari Malaysia. Radio model lama berbentuk roti bantal itu warisan kakek Halifa.
Mungkin, bisa jadi obat sepinya. Halifa kecil tak urung bersiul-siul senang menimpali tiap nada
yang berasal dari lubang-lubang suling si penjaga kebun.
Apa pendapat lelaki itu saat melihatnya sekarang? Ia bukan lagi Halifa cengeng dan manja
dulu. Ia kini tumbuh jangkung dan manis. Tanah rantau telah membesarkan otot-ototnya lewat
kerja, meluaskan pikiran penghuni pulau kecil itu dengan pahit-getir pengalaman. Halifa
tersenyum-senyum bangga. (hlm. 78)

Lelaki itu mengabdi hidupnya untuk gugur dan semi bunga pepohonan, melihat tunas tumbuh
dan dahan tua tumbang. Ia menyiangi lalang dari tanah kebun, menabur kotoran ayam dan
kambing di atasnya. “Biar gembur, tanah perlu makan,” katanya pada Halifa kecil.
Pohon-pohon yang dirawatnya setiap hari pun membalas budi, menyerahkan aroma khas
mereka kepadanya, sehingga si perawat tak bisa sembunyi dari siapa pun. Nasibnya seperti
musang yang mengeluarkan wangi pandan. Hembusan angin membawa aroma tubuh penjaga
kebun ke rongga penciuman orang-orang yang berjalan di kejauhan, semacam pengumuman.
Bila ada yang ingin menemuinya, ikuti saja aroma itu. Kalian akan sampai di hadapan lelaki
yang menenteng sabit atau parang. Matanya tak pernah menyorot garang, mata orang yang mau
menolong. Bila kalian ingin bertemu tuannya, yang punya kebun, ia akan berjanji
menyampaikan pesan. Bila ada yang tersesat, ia akan tunjukkan jalan. (hlm. 79)

Selain tentang Si Penjaga Kebun, dalam cerpen ini juga dikisahkan kenangan Halifa pada
orang-orang lain dalam keluarganya sendiri. Orang-orang itu yaitu kakeknya, neneknya,
ayahnya, ibunya, Yu Sur, Mang Cali dan adiknya Malida. Dengan Nenek dan Malida, dia
terkenang kepada sebuah peristiwa lucu. Berikut kutipannya:
Seringkali sepulang sekolah, setelah bertukar pakaian dan makan siang, ia dan adiknya, Malida,
berlari ke pantai untuk mencari kulit-kulit lokan dan siput. Mereka biasa menemukan umang-
umang yang menghuni bekas rumah-rumah siput, mengeluarkan binatang-binatang tadi dari
dalamnya, mengikat kaki-kaki tajam-lancip tersebut dengan benang, lalu memacu mereka
berlomba lari. Nenek selalu mengomel panjang-pendek melihat kelakuan cucu-cucunya yang
nakal, “Jangan kau siksa binatang, nanti di neraka kau dibuat begitu pula oleh mereka.” Apa
iya? Mereka ‘kan begitu imut. (81-82)

Dia juga terkenang pada sebuah petuah bijaksana dari neneknya, agar ia sebagai perempuan
bisa menjaga diri di negeri orang.
Nenek memberi nasihat tentang menjaga diri, “Kau yang punya lubang kunci dan jangan
biarkan anak kunci masuk ke situ.” Halifa sempat terbahak, tapi perlahan-lahan ia paham. (hlm.
83)

Dengan ayahnya, Halifa terkenang masa-masa sulit ketika perusahaan tempat ayahnya bekerja
ditutup. Dia juga terkenang pesan bijaksana ayahnya saat dia akan berangkat merantau.
Ayah mengirim Halifa merantau setamat sekolah menengah pertama. “Biar kau temukan
nasibmu sendiri dengan berjuang di rantau,” kata ayah. “Pulau kecil membuat pikiran juga tak
seberapa luas,” lanjut ayah, lagi. (hlm. 83)

Terhadap tokoh-tokoh lain penceritaan tidak dilakukan dengan intensif benar. Hanya dari
hubungan Halifa dengan orang-orang tercintanya itulah tema utama cerita ini terintensifikasi.
Kampung halaman yang telah sekian lama ditinggal pergi, dan tidak lagi ditinggali, telah
menyisakan sejarah atas masa lalu. Di sela-selanya ada yang tersembunyi dan menambah manis
kenangan ini. Keluarga, orang-orang yang dicintai dan mencintainya, memang telah taktampak
lagi di depan kedua bola matanya tetapi akan tetap hadir pada mata hati.
3.4.6 Mencintai Buah Hati yang Diam-Diam Telah “Pergi” dalam Cerpen “Makam ke Empat”
Dengan sebuah toko tembakau kecil di sebuah pulau kecil dan desa yang juga kecil dus
terpencil, tokoh Aku dalam cerpen ini membesarkan Paula, putrinya, beserta istrinya Elia dan
mengirimkan putrinya ini bersekolah ke Jawa. Harapannya, dengan pendidikan yang lebih
tinggi, Paula akan bisa menjadi orang sukses yang tidak hanya bertoko kecil sepertinya
melainkan mempunyai toko besar sebagai pengusaha sukses dan kaya raya. Sebuah cita-cita
yang mulia khas orang-orang tua. Wajar kiranya seorang tua berharap hal yang bagus-bagus
dan indah-indah bagi seluruh keluarga dan turunannya.
Namun apa daya, sebuah “kesalahan” telah dilakukannya. Seperti yang dituduhkan tokoh Elia,
kebiasaan tokoh Aku membacakan kisah-kisah silat Kho Ping Hoo diduga telah memotivasi
Paula, putri mereka, untuk mengajak orang-orang melawan kaisar lalim (hlm. 132). Jangankan
berharap Paula menjadi orang yang sukses dan terlihat terhormat di negeri ini, ia malah menjadi
sosok yang dicari-cari karena kemungkinan aktifitasnya memberontaki sistem dan melawan
penguasa.
Toples-toples kaca berisi berjenis tembakau berderet dalam rak kayu. Ada yang campuran. Ada
yang murni. Rasanya beragam. Di desa ini orang-orang seusiaku senang mengisap tembakau
rajangan yang dibungkus kertas marning. Bagiku, sigaret terasa kurang tajam. Aku juga
menjual cerutu bermutu sedang sampai mahal. Pembelinya tak sebanyak tembakau rajangan,
tapi selalu ada. Toko ini pula yang telah menghidupi keluargaku, termasuk membiayai kuliah
Paula di Jawa. Aku ingin ia menjadi pengusaha besar, bukan pemilik toko kecil sepertiku.
Kubiarkan ia meraih ilmu setinggi langit.
Biarkan bangau terbang, kata ibuku. Namun, air tanah yang kau minum rupanya menentukan
jalan hidupmu. Paula memilih jalannya sendiri. Tetapi, mengapa harus jalan itu? Elia sempat
menyalahkanku. Katanya, aku terlampau sering membacakan kisah-kisah silat Kho Ping Hoo
pada anak kami dan sepak-terjang pendekar yang hebat membuat kanak-kanak terpikat,
membekas sampai dewasa. Benarkah? (hlm. 126-127)

Suatu malam, ia pernah mengejutkan aku dan Elia. Kami mendengar suara-suara dari atas
loteng. Bersama-sama kami mendaki tangga dan diam-diam menempelkan telinga di daun
pintu. Terdengar laci-laci meja ditarik dan kertas-kertas disibak, kemudian dirobek-robek.
Apakah ibuku sedang berbenah? Setahuku ibu selalu hadir tanpa suara. Bukan, bukan, ibu,
bisikku. Elia juga sependapat. Ibu datang dalam sunyi, katanya.
Kami menguatkan hati untuk mengetuk pintu. Tiga kali. Tiga ketukan untuk permulaan. Tak
berapa lama muncul raut mungil putriku. Istriku menangis. Aku terpaku. Kata Paula, ia sengaja
pulang diam-diam dan masuk ke rumah lewat pintu samping yang tak dikunci (istriku kadang-
kadang ceroboh. Lagipula di desa kecil ini, tak pernah ada orang yang kehilangan, kilahnya).
Mengapa harus pulang diam-diam, tak minta dijemput? Dari mana ongkos pulangmu? Bulan
lalu, kamu sudah pulang. Perasaanku tak enak. Paula menatap aku dan ibunya silih-berganti.
“Aku sedang dikejar-kejar orang,” ujarnya, pelan. Kubalas dengan bergurau, “Dikejar pacar?”
Wajah Paula justru menegang. “Kalau ada orang asing ke sini dan menanyakan aku, katakan
saja Papa dan Mama tak kenal,” jawabnya, datar. Tak kenal bagaimana? Kamu adalah putriku,
anak kami satu-satunya. “Aku juga tak akan menyebut-nyebut nama kalian kalau ada apa-apa,”
balasnya, tak acuh. Istriku segera memperoleh firasat buruk. “Kamu melakukan apa, Nak?”
Bibir Elia bergetar. Malam itu Paula tak mau bicara. Ia hanya menggeleng atau menunduk.
Pagi-pagi ia meninggalkan rumah, menyeberang naik kapal pertama. Istriku menangis seharian.
Aku sangat berharap putriku mau bicara. Tetapi, Elia melarangku memaksa Paula. Jangan kasar
padanya. Ia putri kita satu-satunya. Baiklah. Aku juga tak mau disebut diktator. Para kaisar
biasanya diktator. Aku bukan kaisar, kataku. Elia protes lagi. Jangan kau bawa-bawa kisah-
kisah silat itu. Ya, sudah. Aku memilih diam. (hlm. 127-128)

Kata jalan itu sebagaimana yang dikutip di ataslah jalan yang dipilih Paula: mengajak orang-
orang melawan kaisar lalim. Aktifitas inilah yang membuat Paula dikejar-kejar “orang” bukan
dikejar-kejar pacar sebagaimana normalnya diharapkan oleh masyarakat yang tertib dan
tunduk-tunduk saja pada apapun kemauan penguasa-penguasa lalim yang otoriter; sepertinya
halnya kedua orang tua Paula, tokoh Aku dan Elia. Dua orang sederhana ini tentu tidak
mengerti apa “maunya” putri mereka.
Ketika suatu kali tokoh Aku pernah mencoba bergurau lagi menyinggung persiapan seorang
pacar bagi dirinya, Paula pernah memberikan jawaban yang sungguh mengagetkan dan
barangkali sangat terdengar utopis di gendang telinga tokoh Aku yang awam kebaruan wacana.
Berikut kutipannya:
Ia kini sudah dewasa. Apakah ia sudah punya pacar? Suatu kali ia mengagetkanku dengan
pernyataan seram. Papa jangan harapkan aku menikah, karena pernikahan itu cuma cocok untuk
orang-orang kaya. Hah? Dulu Papa dan Mama menikah dengan modal dengkul, Paula. Ia
terdiam sebentar, kemudian menggamit lenganku. Dengarkan Papa, bisiknya, aku dan teman-
teman sedang berupaya agar setiap orang bisa hidup makmur dan aman. Kalau itu sudah
tercapai, aku akan kawin. Aku terbahak-bahak. Kamu bukan tukang sulap, Nak. Ia terkekeh-
kekeh. (hlm. 131)

Barangkali hal inilah yang membuat Paula tidak mau melibatkan kedua orang tuanya. Inilah
yang di awal cerita sempat dimetaforkan secara sarkastik lewat klausa namun, ia
memunggungiku (hlm. 123). Apa peristiwa yang dihadapi oleh Paula, tokoh Aku tidak pernah
tahu; baru pada akhir cerita, ketika pada akhirnya seorang kawan Paula memberitahukan perihal
menghilangnya Paula, tokoh Aku mulai tahu aktivitas putrinya. Hal seperti inilah yang
membuat tokoh Aku semakin merasa asing pada putri tunggalnya yang dengan bersusah payah
dinafkahinya kuliah ke Pulau Jawa itu demi mencapai kesejahteraan dari segi ekonomi.
Ketika pada akhirnya mengetahui kemungkinan kematian putri mereka dan kemudian juga jadi
tahu mengapanya, tokoh Aku dan Elia masih berusaha mencari-carinya. Setelah diupayakan
namun tidak bertemu, barulah tokoh Aku menggali makam keempat—sebagaimana judul
cerpen ini—bagi arwah putrinya yang jasadnya tidak tahu dimana rimba. Makam itu merupakan
tanda bahwa mereka bagaimanapun harus menerima kepergian atau lebih tepatnya kehilangan
putrinya tersebut dan dalam keharuan mereka pun—di akhir cerita—mesti melewati natal
kelima tanpa Paula.
Sedikit banyaknya pada cerpen ini juga terlihat ketabahan orang tua Paula untuk merelakan
menghilangnya putri mereka. Tokoh Aku dalam cerpen ini juga menyadari bahwa dialah yang
mengajari putri semata wayangnya itu untuk kelak menjadi pendekar yang berjuang guna
menegakkan yang benar.
Kenyatannya, sebagai manusia biasa, tokoh Aku dan Elia tentulah sangat sedih atas kehilangan
putri mereka tersebut. Terlebih lagi kematian putri mereka ini penuh selaput misteri. Lebih-
lebih pula yang menghilang dari mereka ini—dengan aroma intrik-intrik politik kekuasaan
menyelubunginya—adalah seorang anak manusia berjenis kelamin perempuan. Bagaimana
menyentuhnya perasaan manusiawi itu dan betapa perihnya rasa sakit hati kedua ayah bunda
yang ditinggal anak satu-satunya ini bisa sangat dirasakan dari kutipan berikut ini:
Siang itu aku menyambut jam makan dengan perasaan aneh. Elia memanggang ikan hiu. Aku
tak mau makan daging hiu. Siapa tahu putri kami dimakan hiu. Kata orang-orang, Paula
dibuang ke laut dan mungkin dimakan hiu. Elia menghidangkan hiu panggang di meja makan,
tapi aku cuma menyentuh sayur bening sawi. Air mata menggenangi sepasang mataku. Ada
apa, tanya Elia. Tangisku makin keras. Ada apa, ia bertanya lebih lembut. Putri kita ada dalam
hiu ini, bisikku, tersendat-sendat. Ia langsung tersedak, beranjak dari kursi, menangis di tepi
bak cucian. Tak berapa lama ia kembali, meraih piring ikan di meja, lalu menuang isinya ke
tong sampah. (hlm. 133)

Juga, rasa kehilangan ini telah menimbulkan semacam ilusi bagi tokoh Aku tentang kedatangan
selalu putri tunggalnya itu di hari-hari selanjutnya tanpa Paula. Paragraf pertama cerpen ini
telah menyodorkan bagaimana harapan seorang bapak, yang barangkali telah mustahil,
mengental menjadi bayangan sebuah peristiwa.
Paula datang ketika lampu-lampu ruang telah padam. Tubuhnya memancarkan sinar putih.
Lembut. Berpijar. Kuletakkan kotak cerutuku di meja dan bangkit perlahan dari kursi malas
untuk menyambutnya. Namun, ia memunggungiku, meluncur di lantai, kemudian menghilang
tepat di tengah lorong menuju dapur. Dan lantai licin yang kupijak tiba-tiba berperekat. Aku
tertahan di atasnya, mirip tikus terjebak di perangkap berumpan. Kusaksikan Paula sirna. Kedua
tanganku yang bersiap memeluknya tertahan di udara, menggantung kaku. Ia meninggalkan
ruang lengang tanpa aroma. Ia meninggalkan aku. Datang dan perginya bagai tuah dari tongkat
sihir, terbit dari tiada dan lenyap ke dalam tiada. Dibiarkannya kami menunggu selama sepuluh
musim.
Ketika belum terbiasa dengan cara datang dan pergi Paula, aku sering berteriak-teriak
memanggil namanya dan berharap ia berbalik serta menatapku. Tak sekalipun ia menggubris.
Kedua telinganya bagai tersumbat besi tempaan. Tubuhnya meluncur lurus ke muka, sebelum
lebur dalam udara. Namun, aku masih berharap.
Paula selalu datang ketika hanya pijar lampu bacaku yang menyala dan membuat gradasi
cahaya, ketika temaram di sekelilingku benar-benar hilang di ujung lorong gelap-gulita.
Aku menyebut namanya, dengan tekanan dan perasaan beragam; haru, senang, cemas, putus
asa. Namun, suara serak ini hanya dijawab oleh gemanya sendiri, diikuti desah napasku yang
berat, letih. Setelah itu malam mendesakkan sebuah penyelesaian: aku harus tidur dan
meninggalkan kursi malasku yang tegak lurus dengan lorong sebelum istriku muncul
menjemput. Sayang sekali, aku bukan orang yang patuh, meski kutahu berjaga semalaman
memicu asmaku kambuh. Aku lebih suka membiarkan istriku datang, bahkan sengaja
menunggu. Ia selalu membujuk dengan berbisik, lalu menuntunku ke kamar kami. Bisikannya
tak pernah kusimak, tapi kedatangannya menuntutku beranjak dari sini. Kalian akan melihat
sepasang rongsokan manusia berjalan tertatih-tatih, menyerupai zombie. (hlm. 123-124)

Pilihan kata sinar putih yang merujuk pada tokoh Paula pada kalimat kedua paragraf pertama
kutipan di atas atau paragraf Paula selalu datang ketika hanya pijar lampu bacaku yang menyala
dan membuat gradasi cahaya, ketika temaram di sekelilingku benar-benar hilang di ujung
lorong gelap-gulita (hlm. 124) seolah menjadi simbol dari doa tokoh Aku bagi kebahagiaan
putrinya di alam baka berkat segala kebenaran dan kesucian yang diperjuangkannya dalam
menumpas segala kelaliman dan borok-borok yang ditutup-tutupi oleh orang-orang yang
dikarunia Tuhan dengan setetek ketek “sabit bermata dua” bernama kekuasaan, hak, dan
kesempatan. Ada yang salah memilih jalan; semoga kembali ke kebenaran.

BAB IV
SIMPULAN

Setelah menganalisis enam dari dua belas cerpen dalam kumpulan cerpen KTMP karya LC,
ternyata penulis berhasil menemukan intensitas garapan tema-tema kemanusiaan sebagai tema
yang dominan dalam cerpen-cerpen tersebut. Variasi tematik yang digarap dalam keenam
cerpen tersebut pun terlihat dapat mewakili wajah tematik kedua belas cerpen lainnya yang
terdapat pada kumpulan cerpen ini.
Dalam cerpen “Kuda Terbang Maria Pinto” persoalan kemanusiaan yang digarap adalah
tentang kehampaan jiwa seorang prajurit dalam menjalankan kewajibannya sebagai abdi bela
negara. Terlihat dalam cerpen ini bagaimana pada berbagai kesempatan seorang serdadu dengan
segala stereotipnya tersebut ternyata juga mempunyai perasaan manusiawi seperti manusia lain
pada umumnya. Seorang tentara—bahkan kemudian menjadi seorang pembunuh profesional—
ternyata juga bisa sedih, takut, jatuh cinta, dan ingin menumpahkan segala beban pikiran. Akan
tetapi profesi sebagai prajurit terlihat membuat seorang sedadu mesti banyak menahan diri
untuk mengungkapkan ekspresi pribadi; di samping dia juga bisa terlihat bangga dengan jalan
hidupnya ini. Tegangan antara dua kutub inilah yang menghadirkan narasi menarik tentang sisi
kemanusiawian tokoh Prajurit Yosef Legiman dalam cerpen ini.
Dalam cerpen “Makan Malam” perihal kemanusiaan yang digarap adalah mengenai perasaan
sakit hati seorang ibu yang ditinggal sekian lama oleh suaminya. Semula seolah ada secercah
harapan kembali berkobar saat datang kabar tentang kedatangan sang suami. Kenyataannya,
kedatangan tersebut hanya kembali mengoyak luka lama. Tokoh Ibu dalam cerpen ini akhirnya
mesti mengidap rasa sakit hati—yang tentu saja bukan berupa hidup berbahagia—untuk
selama-lamanya.
Dalam cerpen”Pesta Terakhir” tema kemanusiaan yang dihadirkan adalah mengenai beban
mental yang melanda seorang tua atas dosa pengkhianatannya pada kawan-kawan karib yang
dicintainya. Pengkhianatan ini terutama didorong hasrat seksual yang begitu menggebu-gebu.
Pemenuhan atas hal tersebut sempat mesti meminggirkan sikap setia pada kawan seperjuangan,
namun tidaklah sampai menghilangkannya.
Cerpen “Balada Hari Hujan” terlihat jauh menusuk dan menelisik ke relung-relung terdalam
sanubari seorang waria; sosok yang memiliki citra negatif di tengah masyarakat umum. Pada
cerpen ini dieksplorasi perasaan-perasaan manusiawi seorang waria yang ternyata juga ada dan
nyata. Waria ternyata juga punya harapan tentang masa depan yang lebih baik dan waria
ternyata juga bisa sangat terluka bila cintanya didusta. Akhir yang sedih (sad ending) membuat
pesan kemanusiaan dari cerpen ini terasa penuh duka, pedih, dan perih.
Cerpen kelima, “Lelaki Beraroma Kebun”, agak memperlihatkan nuansa sedikit berbeda
dengan kecenderungan cerpen-cerpen lainnya. Cerpen ini tidak terlalu menonjol-nonjolkan
manusia-manusia yang sakit perasaan. Hubungan antara tokoh Halifa dan Si Penjaga Kebun
lebih bernuansa keharuan bukan rasa sakit dan kepedihan yang sampai berlebih-lebihan.
Tampilnya unsur jarak-waktu membuat cerita sedih dalam cerpen ini lebih sublimatif.
Cerpen terakhir yang digarap disini, “Makan Malam”, kembali menggarap soal kepedihan jiwa
manusia yang “terluka”. Uniknya, manusia sakit yang diangkat disebabkan oleh akibat
kepedihan dari peristiwa lainnya. Sanksi politik bagi seorang pemrotes rezim yang berkuasa
ternyata menghasilkan efek tambahan. Ternyata bukan hanya individu-individu yang memilih
jalan hidup penuh onak dan duri—menentang para penguasa—yang akan menderita atas aksi-
aksinya. Keluarga dan orang-orang yang dicintai serta mencintainya juga mesti menanggung
“buah” dari itu semua.
Demikianlah hasil penelitian kali ini. Dari paparan penulis tentang aspek tematik cerpen-cerpen
dalam kumpulan cerpen ini, terlihatlah betapa intensifnya LC dalam menggarap tema
kemanusiaan dalam kumpulan cerpen KTMP ini. Ini terlihat sesuai dengan penghargaan dan
apresiasi banyak pihak atas kumpulan cerpen ini. Dengan demikian, kumpulan cerpen KTMP
karya LC ini bisa dikatakan telah berhasil sebagai sebuah karya sastra—setidaknya dari aspek
penggarapan tema.
DAFTAR PUSTAKA
Adesita, Syufra Malina. 2004. “Setting”. Terjemahan Bab 3 Literature: An Introduction to
Fiction, Poetry, and Drama edisi keempat, X.J. Kennedy, 1987, London: Scott, Foresman and
Company. Dalam Kornel no. 10. (hal.14-15).
Budianta, Melani. 2003. “Merekam Penulis Perempuan dalam Sejarah Kesusastraan”
wawancara dalam Jurnal Perempuan no.30 (hal.100-107).
Budianta, Melani. 2004. “Jejak Lelaki, Kekerasan, dan Sunyi; Catatan Atas Cerpen Pilihan
Kompas 2004” dalam Nurhan, Kenedi (ed.). Sepi Pun Menari Di Tepi Hari; Kumpulan Cerpen
Pilihan Kompas 2004. Jakarta: Kompas.
Christanty, Linda. 2004a. “Pengalaman di Balik Penciptaan: Kuda Terbang Maria Pinto” dalam
http://relawan.net/wmview.php?ArtID=459&page=1. Diakses tanggal 6 Desember 2006.
Christanty, Linda. 2004b. “Berpolitik lewat Cerpen” wawancara dalam
http://www.vision.net.id/detail.php?id=3975. Diakses tanggal 6 Desember 2006.
Christanty, Linda. 2004c. “Sastra Bisa Mengungkapkan Kepedihan Terdalam” wawancara oleh
Wimar Witoelar dalam http://www.balipost.co.id/Bali Postcetak/2004/6/14/rubrik.html. Diakses
tanggal 6 Desember 2006.
Christanty, Linda. “Hidup di Dua Dunia” wawancara dalam Pikiran Rakyat, 14 Desember 2006
(hal.22).
Daery, Viddy AD. “Perjalanan Sastra Buruh Indonesia” dalam http://202.155.
15.208/detail.asp?id=211271 (Republika Online, 17 April 2005). Diakses tanggal 6 Desember
2006.
Damono, Sapardi Djoko. 1978. Sosiologi Sastra; Sebuah Pengantar Ringkas. Jakarta: Pusat
Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Danujaya, Budiarto. 2000. “Realitas Koran Pada Sastra Koran” dalam Dua Tengkorak Kepala;
Kumpulan Cerpen Pilihan Kompas 2000. Jakarta: Kompas.
Darma, Budi. 1984. “Moral dalam Sastra” dalam Sejumlah Esei Sastra. Jakarta: Karya
Unipress.
Fayyadl, Muhammad. 2005. Derrida. Yogyakarta: LkiS.
Hanafi, A. 1984. Segi-Segi Kesusastraan pada Kisah-Kisah Al-Qur’an. Jakarta: Pustaka Al-
Husna.
Herfanda, Ahmadun Yosi. “Peta Kecenderungan Cerpen Indonesia Terkini” dalam
http://www.republika.co.id/koran_detail.asp?id=249828&kat_id=3 64 (Republika Online, 28
Mei 2006). Diakses tanggal 2 Februari 2007.
Imran, Ahda. “Kesenian dalam RUAPdP” dalam http://www.pikiran-rakyat.com/
cetak/2006/012006/14/khazanah/index.html (Pikiran Rakyat, 14 Januari 2005). Diakses tanggal
18 Desember 2006.
Imran, Ahda. “Penghargaan Sastra Khatulistiwa, Sebuah Soal” dalam http:/www.pikiran-
rakyat.com/cetak/2006/102006/08/khazanah/index.html (Pikiran Rakyat, 8 Oktober 2005).
Diakses tanggal 6 Desember 2006.
Irawati, Henny. 2004. “Pohon Sejarah” dalam Kornel no.10 (hal.24-25).
Kleden, Ignas. 2004. Sastra Indonesia dalam Enam Pertanyaan; Esai-Esai Sastra dan Budaya.
Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.
Kompas Cyber Media. 2004. “Cerpen Bertema Kemanusiaan” dalam
http://www.kompas.com/kompas-cetak/0405/22/pustaka/1037030.html. Diakses tanggal 6
Desember 2006.
Krampen, Martin. 1996. “Ferdinand de Saussure dan Perkembangan Semiologi” dalam
Sudjiman, Panuti & Aart van Zoest (ed.). Serba-Serbi Semiotika. Jakarta: Gramedia.
Kurniawan, Eka. “Merayakan Pembacaan” dalam http://www.kompas.com/ kompas-
cetak/0510/01/Bentara/2083130.html (Kompas Cyber Media, 1 Oktober 2005). Diakses tanggal
6 Desember 2006.
Lilis A., Nenden. “Rigidnya Cerpen Gagasan” dalam http://www.pikiran-rakyat.com/
cetak/2006/102006/21/khazanah/index.html (Pikiran Rakyat, 21 Oktober 2006). Diakses
tanggal 28 Oktober 2006.
Luxemburg, Jan van. Mieke Bal dkk.. 1991. Tentang Sastra. Terjemahan Akhadiati Ikram.
Jakarta: Intermasa.
Mahayana, Maman S. “Inovasi Tematik-Stilistik Novel ‘Dadaisme’” dalam http://www.media-
indonesia.com/newsprint.asp?Id=2004071023464677 &Jenis=c&cat_name=Tifa (Media
Indonesia Online, 11 Juli 2004). Diakses tanggal 29 Januari 2007.
Mohammad, Goenawan. 2000. “Kenapa Menulis Cerita Pendek?” dalam Nurhan, Kenedi (ed.).
Dua Tengkorak Kepala; Kumpulan Cerpen Pilihan Kompas 2000. Jakarta: Kompas.
Nurgiyantoro, Burhan. 2000. Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Pradopo, Rachmat Djoko. 1995. Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, Dan Penerapannya.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Pradotokusumo, Partini Sardjono. 2002. Pengkajian Sastra. Bandung: Wacana.
Ratna, Nyoman Kutha. 2004. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra; Dari Strukturalisme
Hingga Posstrukturalisme; Perspektif Wacana Naratif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Rosidi, Ajip. 1998. Ikhtisar Sejarah Sastra Indonesia. Bandung: Binacipta.
Saidi, Acep Iwan. 1996. “Posisi Perempuan dalam Karya Sastra” dalam
http://www.hamline.edu/apakabar/basisdata/1996/04/21/0006.html (Republika Online, 21 April
1996). Diakses tanggal 31 Mei 2006.
Saini KM. 1990. Protes Sosial dalam Sastra. Bandung: Angkasa.
Sambodja, Asep. 2002. “Merekonstruksi Sejarah Sastra Indonesia” dalam
http://cybersastra.net/cgi-bin/naskah/viewesai.cgi?category=5&id=10303 57707. Diakses
tanggal 9 Januari 2007.
Sambodja, Asep. 2005. “Djenar dan Paradoks Masyarakat Kita” dalam
http://www.sinarharapan.co.id/hiburan/budaya/2005/0402 /bud2.html. Diakses tanggal 6
Desember 2006.
Sawitri, Cok. 2003. “Mencari ‘Karya Sastra’ yang menguntungkan Perempuan”. Dalam Jurnal
Perempuan no.30 (hal.55-63).
Selden, Raman. 1991. Panduan Membaca Teori Sastra Masa Kini. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press.
Sinar Harapan Online. 2004. “Khatulistiwa Literary Award 2004 Hasilkan Pemenang Kembar”
dalam http://www.sinarharapan.co.id/berita/0410/13/ hib01.html. Diakses tanggal 6 Desember
2006.
Soeratno, Siti Chamamah. 2003. “Penelitian Sastra: Tinjauan Tentang Teori dan Metode
Sebuah Pengantar” dalam Jabrohim (ed.). Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: Hanindita
Graha Widya.
Suara Karya Online. 2006. “Wanita dalam Sastra” dalam http://www.suarakarya-
online.com/news.html?id=137985. Diakses tanggal 8 Mei 2006.
Sudjiman, Panuti. 1987. Memahami Cerita Rekaan. Jakarta: Pustaka Jaya.
Suharjana, Agus. 2000. Pergeseran Makna Cinta dalam Kumpulan Cerpen Sebuah Pertanyaan
untuk Cinta; Telaah Struktural dengan Penekanan pada Aspek Tematik. Skripsi (Tidak
Diterbitkan). Universitas Padjajaran.
Sukiman, Chusnato. “Ruang Fiksi di Media Gaya Hidup” dalam http://www.republika.
co.id/koran_detail.asp?id=193015&kat_id=364 &kat_id1=&kat_id2= (Republika Online, 3
April 2005). Diakses tanggal 6 Desember 2006.
Sumardjo, Jakob & Saini K.M. 1997. Apresiasi Kesusastraan. Jakarta: PT Graemedia Pustaka
Utama.
Supadjar, Darmadjati. 2003. “Petunjuk Penelitian Sastra dengan Metode Pendekatan Tematis –
Filosofis” dalam Jabrohim (ed.). Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: Hanindita Graha
Widya.
Susmana, A.J. “Terbang Kemana ‘Kuda Terbang Maria Pinto’?” dalam
http://www.kompas.com/kompas-cetak/0406/27/Buku.html (Kompas Cyber Media, 27 Juni
2004). Diakses tanggal 6 Desember 2006.
Suwondo, Tirto. 2003a. Studi Sastra; Beberapa Alternatif. Yogyakarta: Hanindita Graha Widya.
Suwondo, Tirto. 2003b. “Analisis Struktural: Salah Satu Model Pendekatan dalam Penelitian
Sastra” dalam Jabrohim (ed.). Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: Hanindita Graha
Widya.
Teeuw, A. 1983. Tergantung Pada Kata. Jakarta: Pustaka Jaya.
Teeuw, A. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra; Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya.
Teeuw, A. 1994. Indonesia; Antara Kelisanan dan Keberaksaraan. Jakarta: Pustaka Jaya.
Tjahyadi, Indra. 2005. “Sastra yang Berangkat dari Lamunan” dalam
http://www.sinarharapan.co.id/hiburan/budaya/2005/0115/bud2.html. Diakses tanggal 19 Juli
2005.
Utomo, S Prasetyo. “Generasi Cerpenis Pasca-Seno Gumira Ajidarma” dalam
http://www.republika.co.id/koran_detail.asp?id=60132&kat_id=102&kat_id1=&kat_id2
(Republika Online, 13 Januari 2002). Diakses tanggal 2 Februari 2007.
Wellek, Rene & Austin Warren. 1990. Teori Kesusastraan. Terjemahan Melani Budianta.
Jakarta: Gramedia.
Wijaya, Putu. 2002. “Sastra Sebagai Refleksi Kemanusiaan” dalam http://www.ba hasa-
sastra.web.id/putu.asp. Diakses tanggal 10 November 2006.
http://andreasharsono.blogspot.com/2005/01/literary-journalism-course-vii.html. Diakses
tanggal 6 Desember 2006.
http://www.pantau.or.id/contributor.php?act=detail&id=6. Diakses tanggal 6 Desember 2006.
http://ubudwritersfestival.com/ilist.php?id=L. Diakses tanggal 6 Desember 2006.
http://www.republika. co.id/koran_detail.asp?id=182197&kat_id=102. Diakses tanggal 2
Februari 2007.
Nama:

Asrul Sani

Lahir:

Rao, Pasaman, 10 Juni 1927

Meninggal:

Jakarta, 11 Januari 2004, Pukul 22.15 WIB

Istri:

(1) Siti Nurani dan (2) Mutiara Sarumpaet

Anak:

Tiga putra, tiga putri, enam cucu

Ayah:

Sultan Marah Sani Syair Alamsyah, gelar Yang


Dipertuan Rao Mapattunggal Mapatcancang
Pendidikan:

Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas


Indonesia (IPB)

Dramaturgi dan sinematografi di University of


Southern California, Amerika Serikat tahun 1955-1957

Sekolah Seni Drama di Negeri Belanda tahun


1951-1952

SLTP hingga SLTA di Jakarta

SD di Rao, Sumatera Barat

Karir Politik:

Anggota DPR GR 1966-1971 mewakili Partai


Nahdhatul Ulama

Anggota DPR RI 1972-1982 mewakili PPP


Pendiri :

“Gelanggang Seniman Merdeka”

Akademi Teater Nasional Indonesia (ATNI)

Kegiatan Pergerakan:

Lasjkaer Rakjat Djakarta, Tentara Pelajar di


Bogor

Kegiatan Penerbitan:

Menerbitkan “Suara Bogor”, redaktur majalah


kebudayaan “Gema Suasana”, anggota redaksi “Gelanggang”, ruang kebudayaan
Majalah”
Siasat”, dan wartawan Majalah “Zenith”

Konsep Kebudayaan:

“Surat Kepercayaan Gelanggang”


Penghargaan:

Tokoh Angkatan 45

Bintang Mahaputra Utama, tahun 2000

Enam buah Piala Citra pada Festifal Film


Indonesia (FFI)

Film Terbaik pada Festival Film Asia tahun


1970

Karya Puisi:

“Tiga Menguak Takdir” bersama Chairil Anwar


dan Rivai Apin, “Surat dari Ibu”, “Anak Laut”, 19 buah puisi dan lima buah
cerpen sebelum penerbitan antologi “Tiga Menguak Takdir” tahun 1950, lalu
sesudahnya
tujuh buah puisi, enam buah cerpen, enam terjemahan puisi, tiga terjemahan
drama, dan puisi-puisi lain yang dimuat antara lain di yang dimuat di majalah
“Siasat”, “Mimbar Indonesia”, dan “Zenith”.
Karya Film:

“Titian Serambut Dibelah Tudjuh”, “Apa yang


Kau Cari Palupi” “Monumen”, “Kejarlah Daku Kau Kutangkap”, “Naga Bonar”,.
“Pagar Kawat Berduri”, “Salah Asuhan”, “Para Perintis Kemerdekaan”, “Kemelut
Hidup”

Alamat Rumah:

Kompleks Warga Indah, Jalan Attahiriyah No.


4E, Pejaten, Kalibata, Jakarta Selatan

Asrul
Sani

Seniman Pelopor Angkatan '45

Asrul Sani seniman kawakan yang antara lain


dikenal lewat Sajak Tiga Menguak Takdir bersama Chairil Anwar dan Rivai Apin
meninggal dunia hari Minggu 11 Januari 2004 malam sekitar pukul 22.15 di
kediamannya
di Jln. Attahiriah, Kompleks Warga Indah No. 4E, Pejaten Jakarta. Seniman
kelahiran Rao, Sumbar, 10 Juni 1927 ini wafat setelah kesehatannya terus
menurun sejak menjalani operasi tulang pinggul sekitar satu setengah tahun
sebelumnya.

Dia adalah pelaku terpenting sejarah


kebudayaan modern Indonesia. Jika Indonesia lebih mengenal Chairil Anwar
sebagai penyair paling legendaris milik bangsa, maka adalah Asrul Sani, Chairil
Anwar, dan Rivai Apin yang mengumpulkan karya puisi bersama-sama berjudul “Tiga
Menguak Takdir” yang kemudian diterbitkan dalam bentuk buku di tahun 1950.
Mereka bertiga bukan hanya menjadi pendiri “Gelanggang Seniman Merdeka”,
malahan didaulat menjadi tokoh pelopor sastrawan Angkatan 45.

Dalam antologi “Tiga Menguak Takdir” Asrul


Sani tak kurang menyumbangkan delapan puisi, kecuali puisi berjudul “Surat dari
Ibu”. Sejak puisi “Anak Laut” yang dimuat di Majalah “Siasat” No. 54, II, 1948
hingga terbitnya antologi “Tiga Menguak Takdir” tadi, Asrul Sani tak kurang
menghasilkan 19 puisi dan lima buah cerpen. Kemudian, semenjak antologi terbit
hingga ke tahun 1959 ia antara lain kembali menghasilkan tujuh buah karya
puisi, dua diantaranya dimuat dalam “Tiga Menguak Takdir”, lalu enam buah
cerpen, enam terjemahan puisi, dan tiga terjemahan drama. Puisi-puisi karya
Asrul Sani antara lain dimuat di majalah “Siasat”, “Mimbar Indonesia”, dan
“Zenith”.

Sastrawan Angkatan 45 bukan hanya dituntut


bertanggungjawab untuk menghasilkan karya-karya sastra pada zamannya, namun
lebih dari itu, mereka adalah juga nurani bangsa yang menggelorakan semangat
kemerdekaan. Adalah tidak realistis sebuah bangsa bisa merdeka hanya
bermodalkan bambu runcing. Namun ketika para “nurani bangsa” itu mensintesakan
keinginan kuat bebas merdeka menjadi jargon-jargon “merdeka atau mati” dan
semacamnya, maka, siapapun pasti akan tunduk kepada suara nurani.

Sesungguhnya bukan hanya bersastra, pada tahun


1945-an itu Asrul Sani yang pernah duduk sebangku dengan sastrawan Pramoedya
Ananta Toer sewaktu sekolah di SLTP Taman Siswa Jakarta, bersama kawan-kawan
telah menyatukan visi perjuangan revolusi kemerdekaan ke dalam bentuk Lasjkar
Rakjat Djakarta. Masih di masa revolusi itu, di Bogor dia memimpin Tentara
Pelajar, menerbitkan suratkabar “Suara Bogor”, redaktur majalah kebudayaan
“Gema Suasana”, anggota redaksi “Gelanggang”, ruang kebudayaan majalah
“Siasat”, dan menjadi wartawan pada majalah “Zenith”.

Hingga tiba pada bulan Oktober 1950 saat


usianya masih 23 tahun, Asrul Sani sudah mengkonsep sekaligus mengumumkan
pemikiran kebudayaannya yang sangat monumental berupa “Surat Kepercayaan
Gelanggang”, yang isinya adalah sebentuk sikap kritisnya terhadap kebudayaan
Indonesia. Isinya, antara lain berbunyi, ‘kami adalah ahli waris yang sah dari
kebudayaan dunia dan kebudayaan ini kami teruskan dengan cara kami sendiri.
Kami lahir dari kalangan orang banyak dan pengertian rakyat kecil bagi kami
adalah kumpulan campur baur dari mana-mana dunia-dunia baru yang sehat dan
dapat dilahirkan’.
Asrul Sani yang kelahiran Rao, Pasaman, Sumatera
Barat 10 Juni 1927 sebagai anak bungsu dari tiga bersaudara, selain penyair
adalah juga penulis cerita pendek, esei, penterjemah berbagai naskah drama
kenamaan dunia, penulis skenario drama dan film, serta sekaligus sutradara
panggung dan film. Bahkan, sebagai politisi ia juga pernah lama mengecap aroma
kursi parlemen sejak tahun 1966 hingga 1971 mewakili Partai Nahdhatul Ulama,
dan berlanjut hingga tahun 1982 mewakili Partai Persatuan Pembangunan (PPP).
Hal itu semua terjadi, terutama aktivitas keseniannya, adalah karena
keterpanggilan jiwa sebab meski telah menamatkan pendidikan sarjana kedokteran
hewan pada Fakultas Kehewanan IPB Bogor (ketika itu masih fakultas bagian dari
Universitas Indonesia) dan menjadi dokter hewan, pada sekitar tahun 1955 hingga
1957 Asrul Sani pergi ke Amerika Serikat justru untuk menempuh pendidikan
dramaturgi dan sinematografi di University of Southern California.

Seni dan keteknikan adalah dua dunia yang


berbenturan dalam diri Asrul. Setamat Sekolah Rakyat di Rao, Asrul Sani menuju
Jakarta belajar di Sekolah Teknik, lalu masuk ke Fakultas Kehewanan Universitas
Indonesia (di kemudian hari dikenal sebagai Institut Pertanian Bogor). Sempat
pindah ke Fakultas Sastra UI namun kemudian balik lagi hingga tamat memperoleh
titel dokter hewan. Agaknya kekuatan jiwa seni telah memenangkan pertaruhan isi
batin Asrul Sani. Maklum, bukan hanya karena pengalaman masa kecil di desa
kelahiran yang sangat membekas dalam sanubarinya, sebelum ke Negeri Paman Sam
Amerika Serikat pun pada tahun 1951-1952 ia sudah terlebih dahulu ke Negeri
Kincir Angin Belanda dan belajar di Sekolah Seni Drama.

Selain karena pendekatan akademis dan romatisme


kehidupan pertanian di desa, totalitas jiwa berkesenian terutama film makin
menguat pada dirinya setelah Asrul Sani bertemu Usmar Ismail, tokoh lain
perfilman. Bahkan, keduanya sepakat mendirikan Akademi Teater Nasional
Indonesia (ATNI) yang melahirkan banyak sineas maupun seniman teater kesohor,
seperti Teguh Karya, Wahyu Sihombing, Tatiek W. Maliyati, Ismed M Noor, Slamet
Rahardjo Djarot, Nano dan Ratna Riantiarno, Deddy Mizwar, dan lain-lain.

Film pertama yang disutradarai Asrul Sani


adalah “Titian Serambut Dibelah Tudjuh” pada tahun 1959. Dan, ia mulai mencapai
kematangan ketika sebuah film karyanya “Apa yang Kau Cari Palupi” terpilih
sebagai film terbaik pada Festival Film Asia pada tahun 1970. Karya besar film
lainnya adalah “Monumen”, “Kejarlah Daku Kau Kutangkap”, “Naga Bonar”,. “Pagar
Kawat Berduri”, “Salah Asuhan”, “Para Perintis Kemerdekaan”, “Kemelut Hidup”,
dan lain-lain. Tak kurang enam piala citra berhasil dia sabet, disamping
beberapa kali masuk nomibasasi. Alam pikir yang ada adalah, sebuah film jika
dinominasikan saja sudah pertanda baik maka apabila hingga enam kali
memenangkan piala citra maka sineasnya bukan lagi sebatas baik melainkan dia
pantas dinobatkan sebagai tokoh perfilman.

Itulah Asrul Sani, yang pada hari Minggu, 11


Januari 2004 tepat pukul 22.15 WIB dengan tenang tepat di pelukan Mutiara Sani
(56 tahun) istrinya meninggal dunia pada usia 76 tahun karena usia tua. Dia
meninggal setelah digantikan popoknya oleh Mutiara, diberikan obat, dan
dibaringkan. Sebagaimana kematian orang percaya, Asrul Sani menjelang menit dan
detik kematiannya, usai dibaringkan tiba-tiba dia seperti cegukan, lalu
kepalanya terangkat, dan sebelum mengkatupkan mata untuk selamanya terpejam dia
masih sempat mencium pipi Mutiara Sani, yang juga aktris film layar lebar dan
sinetron.

Asrul Sani meninggalkan tiga putra dan tiga


putri serta enam cucu, serta istri pertama Siti Nuraini yang diceraikannya dan
istri kedua Mutiara Sani Sarumpaet. Semenjak menjalani operasi tulang pinggul
enam bulan lalu, hingga pernah dirawat di RS Tebet, Jakarta Selatan, kesehatan
Asrul Sani mulai menurun. Dia adalah putra bungsu dari tiga bersaudara.
Ayahnya, Sultan Marah Sani Syair Alamsyah, Yang Dipertuan Rao Mapattunggal
Mapatcancang adalah raja adat di daerahnya.

Selama hidupnya Asrul Sani hanya


mendedikasikan dirinya pada seni dan sastra. Sebagai penerima penghargaan
Bintang Mahaputra Utama dari Pemerintah RI pada tahun 2000 lalu, dia berhak
dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata. Namun dia berpesan ke istrinya
untuk hanya dimakamkan di Tempat Pemakaman Umum Menteng Pulo, Jakarta Selatan
dengan alasan, sambil bercanda tentunya ke Mutiara Sani setahun sebelumnya,
‘masak sampai detik terakhir, kita masih mau diatur negara’.

Meski sudah mulai mengalami kemunduran


kesehatan dalam jangka waktu lama, Asrul Sani masih saja menyempatkan menulis
sebuah pidato kebudayaan, yang, konon akan dia sampaikan saat menerima gelar
doktor kehormatan honoris causa dari Universitas Indonesia, Jakarta. Nurani
bangsa itu telah pergi. Tapi biarlah nurani-nurani aru lain mekar tumbuh
berkembang seturut zamannya. *hp

kejahatan adalah perangai yg serendah-rendahnya. Membalas kejahatan dengan kejahatan,


bukanlah perikemanusiaan. Membalas kebaikan dengan kebaikan adalah hal biasa. Membalas
kejahatan dengan kebaikan adalah cita-cita kemanusiaan yg setingginya. Kita harus sanggup
hidup untuk memberi cita-cita itu bertumbuh.

Selalu bayangkan diri anda di dalam kasut seseorang. Jika anda rasa ianya menyakitkan,
fikirlah ia mungkin menyakitkan orang lain juga
Tiada siapa paling pandai dan paling bodoh di dunia ini kerena setiap yg pandai itu boleh
menjadi bodoh dan setiap yang bodoh itu boleh menjadi pandai

Kata Kata Mutiara Cinta, Nafsu mengatakan perempuan itu cantik atas dasar rupanya. Akal
mengatakan perempuan itu cantik atas dasar ilmu dan kepintarannya. Dan hati mengatakan
perempuan itu cantik atas dasar akhlaknya.

Saya percaya, esok sudah tidak boleh mengubah apa berlaku hari ini, tetapi hari ini masih boleh
mengubah apa akan terjadi pada hari esok.

Memaafkan mungkin amat berat untuk diberikan kepada orang yang pernah melukai hati kita.
Tetapi hanya dengan memaafkan kita akan dapat mengubati hati yang telah terluka. maaf diberi
secara ikhlas umpama pisau bedah yang boleh membuang segala parut luka emosi

Kasihkan manusia lepaskan dia kepada pilihan dan keputusannya kerana di situ tanda kita
gembira melihat insan kita sayangi beroleh bahagia

Dalam kerendahan hati ada ketinggian budi. Dalam kemiskinan harta ada kekayaan jiwa. Dalam
kesempitan hidup ada kekuasaan ilmu.

Kata Kata Mutiara Cinta, Kita tidak dapat meneruskan hidup dengan baik jika tidak dapat
melupakan kegagalan dan sakit hati di masa lalu.

Orang bijaksana tidak sesekali duduk meratapi kegagalannya, tapi dengan


lapang hati mencari jalan bagaimana memulihkan kembali kerugian yg dideritainya.

Pandanglah segala sesuatu dari kacamata oranglain. Apabila hal itu menyakitkan hatimu, sangat
mungkin hal itu menyakitkan hari orang lain pula.

Jembatan menjadi penghubung antara dua buah kampung, perkahwinan menjadi penghubung
antara dua insan dan anak menjadi penghubung antara ibu dan ayah

Pemimpin berjaya ialah orang yang boleh mengawal komunikasi dengan orang yang lebih atas
daripadanya dan boleh mengawal komunikasi dengan orang lebih bawah daripadanya.

Agama menjadi sendi hidup, pengaruh menjadi penjaganya. Kalau tidak


bersendi, runtuhlah hidup dan kalau tidak berpenjaga, binasalah hayat.
Orang terhormat itu kehormatannya sendiri melarangnya berbuat jahat.

Sesuatu kebaikan, belum tentu benar. Sesuatu yang benar, belum tentu baik.
Sesuatu yang bagus, belum tentu berharga. Sesuatu yang berharga/berguna, belum tentu bagus.

Kawan sejati ialah orang yg mencintaimu meskipun


telah mengenalmu dengan sebenar-benarnya ia itu baik dan burukmu.

Sabar adalah jalan keluar bagi orang yang tidak bisa menemukan jalan keluar.

Jagalah dirimu baik-baik, usahakanlah kemuliaannya, kerana engkau dipandang manusia bukan
kerana rupa tetapi kesempurnaan budi dan adab -Nabi SAW
Kata Kata Mutiara Cinta, Jangan tertarik kepada seseorang kerna parasnya, sebab keelokan
paras dapat menyesatkan. Jangan pula tertarik kepada kekayaannya kerna kekayaan dapat
musnah. Tertariklah kepada seseorang yg dapat membuatmu tersenyum, kerna hanya senyum
yang dapat membuat hari-hari yang gelap menjadi cerah.

Barangsiapa yang hari ini sama dengan kemarin, maka tertipulah dia, dan barangsiapa hari ini
lebih jahat dari kelmarin, maka terkutuklah dia.

Ambillah waktu untuk berfikir, itu adalah sumber kekuatan.


Ambillah waktu untuk bermain, itu adalah rahsia dari masa muda yang abadi.
Ambillah waktu untuk berdoa, itu adalah sumber ketenangan.
Ambillah waktu untuk belajar, itu adalah sumber kebijaksanaan.
Ambillah waktu untuk mencintai dan dicintai, itu adalah hak istimewa

Memang amat tinggi letaknya kebahagiaan. Namun kita harus menuju ke sana. Ada orang yang
berputus asa berjalan ke arahnya lantaran disangkanya jalan ke sana amat sukar. Padahal
mudah, kerana ia dimulai daripada dirinya sendiri -Said Mustafa

Kata Kata Mutiara Cinta yang diucapkan sembarangan dapat mewujudkan perselisihan.
Kata-kata yang kejam dapat menghancurkan suatu kehidupan.
Kata-kata yang diucapkan pada tempatnya dapat meredakan ketegangan.
Kata-kata yang penuh cinta dapat menyembuhkan dan memberkati.

Harta yang paling menguntungkan ialah SABAR. Teman yang paling akrab adalah AMAL.
Pengawal peribadi yang paling waspada DIAM. Bahasa yang paling manis SENYUM. Dan
ibadah yang paling indah tentunya KHUSYUK.

Hidup memerlukan pengorbananan. Pengorbanan memerlukan perjuangan. Perjuangan


memerlukan ketabahan. Ketabahan memerlukan keyakinan. Keyakinan pula menentukan
kejayaan. Kejayaan pula akan menentukan kebahagiaan.

Kekayaan bukanlah satu dosa dan kecantikan bukanlah satu kesalahan. Oleh itu jika anda
memiliki kedua-duanya janganlah anda lupa pada Yang Maha Berkuasa.

Kegembiraan ibarat semburan pewangi, pabila kita memakainya semua akan dapat merasa
keharumannya. Oleh itu berikanlah walau setitik kegembiraan yang anda miliki itu kepada
teman anda.

Penglihatan itu sebagai panah iblis yang berbisa, maka siapa yang mengelakkannya kerana
takut padaKu, maka Aku akan menggantikannya dengan iman yang dirasakan manisnya dalam
hati…

Orang yang berkhianat selalu terhina. Kebahagiaan adalah haruman yang tidak boleh kamu
semburkan kepada orang lain tanpa kamu sendiri mendapat beberapa titisan daripadanya
-Emerson

Kata Kata Mutiara Cinta, Selalu bayangkan diri anda di dalam kasut seseorang. Jika anda rasa
ianya menyakitkan, fikirlah ia mungkin menyakitkan orang lain juga Nilai manusia adalah
semahal nilai matlamatnya. – Marcus Aurelius
Kepada kawan – Kesetiaan
Kepada musuh – Kemaafan
Kepada ketua – Khidmat
Kepada yang muda – Contoh terbaik
Kepada yang tua – Hargai budi mereka dan kesetiaan.
Kepada pasangan – Cinta dan ketaatan
Kepada manusia – Kebebasan

Berfikir itu cahaya, kelalaian itu kegelapan, kejahilan itu kesesatan dan manusia yang paling
hina ialah orang yang menganiaya orang bawahannya.

Semulia-mulia manusia ialah siapa yang mempunyai adab, merendahkan diri ketika
berkedudukan tinggi, memaafkan ketika berdaya membalas dan bersikap adil ketika kuat –
Khalifah Abdul Malik bin Marwan

Jangan tanya apa yang dibuat oleh negara untukmu, tapi tanyalah apa yang
boleh kamu buat untuk negara -Abraham Lincol

Ciri orang yang beradab ialah dia sangat rajin dan suka belajar, dia tidak malu belajar daripada
orang yang berkedudukan lebih rendah darinya – Confucius

Setiap orang dapat mencapai kejayaan dalam hal apa saja, asalkan ia sangat menyukai
pekerjaan yang dilakukan.

Kata Kata Mutiara Cinta, Orang yang berbohong itu sentiasa ingin melarikan diri sedangkan
tiada seorang pun yang mengejarnya namun orang yang benar itu berani seperti singa -Goethe

Barangsiapa membawa berita tentang orang lain kepadamu, maka dia akan membawa berita
tentang dirimu kepada orang lain.

Jangan memberi makanan kepada orang lain yang anda sendiri tidak suka memakannya.

Agama tidak pernah mengecewakan manusia. Tetapi manusia yang selalu mengecewakan
agama.

Setiap bunga mawar pasti ada durinya. Dari kesusahan itu akan diperolehi kesenangan dan
kebahagiaan, seperti durian berduri kerana sedap isinya, kulit manggis pahit sebab manis di
dalamnya dan bunga ros berduri kerana harum baunya

Orang-orang yang paling berbahagia tidak selalu memiliki hal-hal terbaik,


mereka hanya berusaha menjadikan yang terbaik dari setiap hal yang hadir dalam hidupnya.

Kata Kata Mutiara Cinta, Fikirkan permusuhan kita akan dimusuhi, fikirkan kebencian, kita
akan dibenci. Tetapi sekiranya kita fikirkan kasih maka kita akan dikasihi. Ini adalah undang-
undang alam. Kita menjadi seperti apa yang kita fikirkan

Sesiapa yang tidak pernah merasai kepahitan tidak akan mengenal kemanisan. Dunia ini ibarat
pentas. Kita adalah pelakonnya. Maka berlumba-lumbalah beramal supaya hidup bahagia di
dunia dan akhirat (freesmsc.wordpress.com).

You might also like