You are on page 1of 8

Carut-Marut Postmodernism

Posted on April 14th, 2009 Agung Wibowo No comments

Carut-Marut Postmodernism *
Agung Wibowo

Apa itu kebenaran? Sekumpulan perumpamaan, metonimia, dan ungkapan-ungkapan manusiawi. Singkatnya,
kebenaran adalah kumpulan hubungan antar manusia yang telah didandani, diatur, dan dicat secara puitis dan
retoris. Setelah lama digunakan, kumpulan ini menjadi kokoh, mutlak dan orang-orang diharuskan untuk menaati
dan mengikutinya. Kebenaran adalah ilusi karena orang sering lupa asal-usulnya: perumpamaan yang sudah
kadaluarsa dan tidak menarik; uang logam yang sudah hilang gambarnya dan sekarang hanyalah sebuah besi tua,
bukan lagi uang logam.

(Freedrich Nietzsche, 1976)

Postmodernism
Banyak pengamat sosial sepakat bahwa dunia Barat sedang mengalami pergeseran atau perubahan
budaya yang berlawanan dengan ciri khas jaman modern, yakni: inovasi yang lahir sebagai reaksi
terhadap kemandulan dan kelumpuhan abad pertengahan. Sama seperti pergeseran ini, sekarang era-
Modern sedang bergeser pada era postmodern. Oleh karena itu, tidak mudah untuk menggambarkan
era transisi ini yang merupakan sebuah runtutan sejarah panjang yang tidak bisa hanya diringkas
kedalam satu atau dua lembar tulisan, ketakutannya akan terjadinya epistemological reptune
(kertakan epistomologi) meminjam istilah Bachelard. Dengan apakah kita akan mengupamakan
masa transisi ini dan apa cirinya?, memang pertanyaan yang sulit dijawab. Sekalipun demikian, kita
sedang menyasikan perubahan monumental yang membajiri seluruh aspek kehidupan kita ini, mulai
dari seni sampai dengan ilmu pengetahuan.
Istilah postmodern dapat ditelusuri kembali dari tahun 1930-an ketika perubahan besar terjadi dalam
sejarah. Istilah tersebut juga menunjuk pada perkembangan dan pergeseran yang terjadi dalam
dunia seni. Namun posmodernism tidak diperhatikan secara serius sampai tahun 1970-an. Seja itu,
istilah posmodern mulai kembali digunakan untuk menunjukan kepada sebuah gaya arsitektur baru.
Posmodernism setelah itu juga mewabah di kalangan intelek (cendekiawan) menjadi sebuah jargon
bagi teori-teori yang sedang populer di universitas, khususnya di jurusan bahasa inggris dan filsafat.
Akhirnya istilah posmodernism digambarkan untuk menggambarkan fenomena budaya dalam
lingkup yang lebih luas, dan dalam banyak aspek lainnya (Grenz, 1996: 9).
Posmodernism lahir di St. Louis, Missouri, 15,Juli1972, pukul 15.32. Ketika pertama kali didirikan,
proyek rumah Pruitt-Igoe di St. Louis dianggap sebagai lambang arsitektur modern, yang
menggunakan teknoligi untuk menciptakan masyarakat utopia untuk kesejahteraan manusia. Tetapi,
para penghuninya menghancurkan bangunan itu dengan sengaja. Pemerintah mencurahkan banyak
dana untuk merenovasi bangunan itu. Akhirnya, setelah menghabiskan jutaan dollar, pemerintah
menyerah. Pada sore hari pada bulan Juli 1972, bangunan itu diledakan dengan dinamit. Menurut
Charles Jencks, yang dianggap sebagai arsitektur postmodern yang paling berpengaruh, peristiwa
peledakan itu menandai kematian modernism dan lahirnya postmodernism.
Dengan menganut ciri dari posmodernism yang tidak lagi mengedepankan prinsip pemikiran
kesatuan homologi, tetapi pada parologi, yang menghargai narasi kecil-kecil dengan
melegitimasikan macam-macam praterk pengetahuan tanpa perlu persetujuan dari grandnarratives.
Karena itu istilah-istilah kunci posmodernism adalah antara lain: pluralisme, fragmentisme,
heterogenitas, interminasi, skeptisisme, dekonstruksi, ambigitas, ketidak pastian, dan perbedaan.
Istilah istilah itu muncul dari tulisan Jean Francois Lyotard yang menyampaikan laparanya kepada
Universitas Quebec tentang perkembangan ilmu pengetahuan dalam masyarakat industri maju
akibat pengaruh teknologi baru. Lyotard menolak ide dasar modern sejak jaman Renaisans sampai
Neo-Marxis yang dilegitimasi satu kesatuan ontologi.dalam kondisi yang dipengaruhi teknologi
informasi dewasaini-kata Lyotard-prinsip tersebut sudah relevan dengan kondisi masyarakat
kontemporer.untuk itu haru dideligitimasi oleh ’paralogi’ atau ide ’prulalitas’. Tujuan kekuasaan
tidak lagi jauh pada sistem totaliter.
Modernitas, lanjut Lyotard, adalah situasi diman filsafat berfungsi memberikan wacana metailmiah
yang dapat melegitimasikan prosedur-prosedur dan kesimpulan dari sains. Wacana metailmiah itu
mendasarkan pada suatu grannarratives atau metanarratives. Grannarratives menjadi panutan segala
hal, ia membawahi, mengorganisasi, dan menerangkan narasi-narasi lainserta memberi legitimasi
pada ilmu pengetahuan. Ia mencurigai alurpemikiran itu dan menolaknya dengan lebih
mempercayai pada hal-hal yang sifatnya lebih kecil, sehingga yang berlaku adalah konsep
lokalnarratives.

Arsitektur Postmodernism
Modernism mendominasi arsitektur (juga bidang lainnya) sampai pada tahun 1970-an. Para arsitek
modern mengembangkan gaya yang terkenal dengan International Style (gaya internasional).
Arsitektur modern mempunyai keyakinan kepada rasio manusia dan pengharapan untuk penciptaan
manusia idaman.
Arsituktur modern berkembsng dan menjadi arus yang dominan. Arsitektur itu memajukan program
industrialisasi dan menyingkirkan aneka ragam corak lokal. Akibatnya, ekspansi arsitektur modern
sering menghancurkan struktur bangunan tradisional.
Arsitektur Posmodernism muncul sebagai reaksi terhadap arsitektur modern. Posmodernism
merayakan sebuah konsep multivalance (melawan univalance dari modernism). Misalnya, arsitektur
posmodernism sengaja memberikan ornamen (hiasan). Ini merupakan lawan dari arsitektur modern
yang membuang segala hiasan yang tidak perlu. Penolakan oleh posmodernism terhadap modernism
didasarkan pada sebuah prinsip. Prinsip arsitektur posmodernism adalah semua arsitektur bersifat
simbolik.

Postmodernism dalam bidang seni


Seni modern bercirikan dengan sifat seni yang murni ‘orisinil’. Seni posmodernism berangkat
dengan kesadaran adanya hubungan erat antara miliknya dan milik orang lain, yang cenderung pada
seni yang tidak murni.seni mencampur adukan menjadi sebuah pastiche. tujuan dari teknik ini
adalah mengharapkan para penonton dengan gambar-gambar yang saling bertentangan sehingga
tidak ada lagi makna obyektif. Dengan pola yang saling bertentangan, warna yang tidak selaras, dan
tata huruf yang kacau, pasti menyebar dari dunia seni kekehidupan sehari-hari.
Segala campuran dan keaneragaman itu bukan hanya untuk menarik perhatian. Daya tarik
sebanarnya tidak sedangkal itu, namun jauh lebih dalam. Seniman postmodernisme tidak suka pada
pengagung-agungan seorang seniman modern karena kemurnian hasil seninya. Bagi mereka,
seniman tunggal yang menghasilkan karya tunggal hanyalah dongeng belaka.

Posmodernism dalam dunia teater


Teater adalah wujud penolakan posmodern terhadap modern yang paling jelas. Kaum modern
melihat sebuah karya seni sebagai karya yang tidak terkat waktu dan ide-ide yang tidak dibatasi
waktu. Etos postmodernism menyukai tragedi, dan tragedi selalu ada dalam setiap karya seni. Kaum
posmodernism melihat hidup ini seperti sebuah kumpulan cerita sandiwara yang terpotong-potong.
Teater adalah sarana terbaik untuk menggambarkan tragedi dan pertunjukan.
Teater posmodernism menggunakan teori estetika ketiadaan (berbeda dengan estetika kehadiran).
Teori nestetika ketiadaan menolak adanya konsep kebenaran yang mendasari dan mewarnai setiap
penampilan. Yang ada dalam setiap penampilan adalah kekosongan (empety presence). Seperti etos
posmodernism, makna sebuah penampilan hanya bersifat semantara, tergantung dari situasi atau
konteksnya.

Posmodernism dalam bidang tulisan-tulisan fiksi


Tulisan fiksi posmodernism menggunakan teknik percampuradukan. Beberapa penulis mengambil
elemen-elemen tradisional dan mencampurkannya secara berantakan untuk menyampaikan suatu
ironi mengenai topik-topik yang bisa dibahas. Bahkan beberapa penulis lain mencampurkan
kejadian nayta dan khayal. Teknik pencampuradukan ini digunakan untuk menunjukan sikap anti-
mdernisme. Tujuan para penulis modrn adalah memperoleh makna tunggal. Sebaliknya, kaum
posmodern ingin mengetahui bagaimana kenyataan-kenyataan yang amat berbeda, dapat berjalan
bersama dan saling bercampur.

Filsuf dan Filsafat Posmodernism


Banyak tokoh telah mendukung posmodernism diantaranya yaitu: Nietzche, Heidegger,
Wittgenstain, Foucault, Derrida, Deleuze, Lyotard, Baudrillard, Rorty, McIntry, Laclau, Maouffe.
Tetapi semua itu ada tiga tokoh yang menonjol, yakni Michel Foucault, Jacgues Derrida, dan
Richard Rorty mereka sering disebut-sebut sebagai Avantgard Posmodernism(Grenz, 1996: 199).
Nietzche sebagai tokoh abad 19 yang pertama kali meragukan konsep modernism menjadi guru
yang sangat berpengaruh pada ketiga pemikir utama dalam posmodernism. Nietzche sedang
berfilsafat untuk generasi berikutnya dimana pemikirannya sangat dianggap aneh dan tidakwajar
pada jamannya (Basis, 2000).

Michael Foucault (1926-1984)


Foucault sering dikategorikan sebagai sejarahwan budaya, tetapi ia lebih suka disebut sebagai
‘arkeolog pengetahuan’. Pernyataan keras dia lontarkan kepada pencerahan dan cara pandang
modern. Belajar dari Nietzche, yang menekankan kekayaan dan keanekaragaman realitas. Rasio dan
percakapan rasional menimbulkan masalah karena rasio memaksakan kita menyeragamkan
keanekaragaman realitas agar sesuai dengan konsep kita. Dengan demikian, wacana rasional
menonjolkan keseragaman dan kesatuan sehingga mengorbankan perbedaan atau yang berlainan.
Menurut Foucault, selama 3 abad masyarakat Barat telah membuat berbagai kesalahan mendasar. Ia
menegaskan bahwa para ahli telah percaya secara salah, adanya pengetahuan obyektif yang bisa
diungkapkan, mereka mempunyai pengetahuan demikian dan sifatnya netral (bebas nilai), pencarian
pengetahuan demikian akan memberi manfaat bagi seluruh umat manusia, bukan hanya pada
golongan tertentu. Semua aturan dari masa mpdern itu ditolak mentah-menmtah oleh Foucault,
dimana dia percaya dengan pengetahuan yang berada pada satu wewenang akan menimbulkan
kekuasaan yang terlembaga. Wacana yang terbentuk hanyalah suatu bentuk dominasi dari sistem
kekuasaan.. kebenaran menurutnya adalah produk atau dongeng, ‘sebuah sistem produksi, regulasi,
distribusi, sirkulasi, dan pernyataan’. Sistem kebenaran berada dalam hubungan timbal balik dengan
sistem kekuasaan. Sistem kekuasaan menciptakan dan mempertahankan kebenaran. Kebenaran
hanyalah produk dari praktek-praktek tertentu. Kekuasaan pengetahuan mewujudkan diri dalam
wacana yang menciptakan “kebenaran” secara sewenag-wenag demi kepentingan nya. Dengan
demikian pengetahuan menciptakan realitas (Basis, 2002).
Tiga tesis utama Foucault tentang kekuasaan(Bertens, 1985: 487-490):
1. Kekuasaan bukan milik tetapi strategi,
2. Kekuasaan tidak dapat dilokalisir tetapi menyebar keman-mana,
3. Kekuasaan tidak selalu bekerja melalui penindasan dan represi, tetapi terutama melalui
normalisasi dan regulasi
4. Kekuasaan tidak bersifat destruktif melainkan reproduktif.

Jacques Derrida
Jika Foucault merupakan Filsuf posmodernism yang paling cemerlang, maka Jacques Derrida
adalah filsuf posmodernism yang paling akurat (teliti).jika Foucault murid Nietzsche yang sejati,
maka Derrida adalah penafsir Posmodernism yang terpenting tentang Nietzsche.
Derrida melontarkan kritik terhadap kaum “realis” terhadap bahasa. Kaum realis berpendapat
bahwa kalimat-kalimat kita mencerminkan realitas dunia yang sebenarnya, tanpa hubungan dengan
segala tindakan manusia. Derrida menolak bahwa bahasa mempunyai arti tetap yang selaras dengan
realitas sebenarnya, atau bahasa menyingkapkan realitas yang pasti. Ia ingin menarik jauh dari
konsepmodern ini, dan bahwa kita menuju kemungkinan”hermeneutika” terhadap teks-teks tertulis.
Kebenaran bukan pembacaan kita terhadap suatu teks melainkan umpan balik dengan pembacaan
dan keadaan realitas kita, sehingga kebenaran itu bersifat relatif.
Permainan bahasa oleh Derrida dinilai sangat membahayakan manusia, dimana jebakan-jebakan
bahasa ini akan mengkaburkan manusia atas realitas. Kebenaran dapat diperoleh hanya dengan
permainan bahasa saja. Perubahan dari “Difference”menjadi “difference” mempunyai kegunaan
lain.penggantian huruf e oleh huruf a tidak terlalu tampak ketika diucapkan. Dengan menggunakan
difference, Derrida hendak mengkritik tradisi barat yang mengatakan tulisan hanya menggambarkan
ucapan manusia karena ucapan manusia lebih utama dan lebih langsung sifatnya. Dengan sifat
main-main ia hendak mengkritik teori arti kata yang bergerak dari pikiran ke ucapan lalu ke tulisan.
Derrida bukan seorang pembuat mitos baru, ia tidak berusaha menyusun suatu yang baru
berdasarkan yang lama. Tujuannya bersifat destruktif (menghancurkan), menghancurkan tradisi
logosentrisme barat. Derrida hendak melucuti cita-cita modern yang memandang filsafat sebagai
ilmu murni, sebagai suatu penelitian obyektif, yang juga penolakan terhadap Hermeneutika, yang
menggunakan konsep Dekonstruksi.
Dekontruksi sangat sulit untuk didefinisikan, justru dekonstruksi menolak definisi karena Derrida
menghalangi pendefinisian tersebut. Ia mulai dengan menegaskan bahwa dekonstruksi bukan
sebuah metode atau sebuah teknik, atau sebuah gaya kritik sastra literatur atau sebuah prosedur
untuk menafsirkan teks. Ia memperingatkan kita pemehaman konseptual tentang teks tersebut.
Sekalipun sulit untuk didefinisikan, ada sesuatu yang dapat dikatan tentang dekonstruksi. Intinya,
dekonstruksi berhubungan dengan bahasa. Dekonstruksi adalah segala yang Derrida tolak, yang
menggunakan asumsi filsafat atau filologi tertentu untuk menghancurkan logosentrisme.
Logosentrisme adalah anggapan adanya sesuatu sistem diluarkita yang dapat dijadikan acuan untuk
sebuah karya tulis agar kalimat-kalimatnya dapat dikatakan “benar”.

Richard Rorty
Pragmatisme merupan argumeen terkenalnya, inti tradisi pragmatisme adalah pemahaman tertentu
terhadaphakikat kebenaran, yang menuju penolakan terhadap konsep yang menganggap rasio
manusia sebagai “cermin dari realitas”. Pandangan pragmatisme mengenai kebenaran bersifat
nonrealis. Dimana kebenaran bukan yang kita dapatkan dengan apa yang kita lihat,tetapi melalui
jembatan bahasa sehingga kebenaran bukan hal yang filosofis tetapi merupakan kesepakatan
manusia. Selain nonrealis kaum pragmatisme juga berpegang padasifat nonesensialis dalam
memahami kebenaran, kaum ini percaya hanya pada sifat relasional. Obyek menurut perspektif
mereka apa yang kita anggap berguna untuk dibicarakan supaya cocok dengan stimulan dalam diri
kita.kita hanya dapat berbicara tentang hakikat sebuah benda hanya dalam hubungan dengan benda-
benda lainnya.
Skeptif Posmodernism (PS) dan Afirmatif Posmodernism (PA)
Gerakan posmodernism pada perkembangan lebih lanjutn menagalami perpecahan menjadi dua
kelompok besar: Skeptif Posmodernism (PS) Dan Afirmatif Posmodernism (PA) ( Budiman, 1994:
21-23).
PS berhenti pada perdebatan epistemologi tentang pengertian manusia, melalui metode
dekonstruksi, yakni melakukan analisi kritis, mereka menunjukan ada kontradiksi dalam teoi
apapun. Tetapi kelompok PS tidak memeberikan alternatif. Maka, timbul kesan bahwa alirana PS
cenderung larut dalam pemikiran nihilisme, yang dinyatakan bahwa posmodernism dalam
analisisnya dianggap lumpuh (paralysis by analisis) disebabkan karena keyakinan bahwa tindakan
selalu berdasrkan kebenaran. “Bagaimana kita bisa bertindak kalau semua serba terbuka dan
relatif?”. Kebenaran yang meligitimasi tindakan itu didapatkan dari rasionalitas. Dalam mencari
kebanaran melalui rasionalitas itu dapat dicari melalui dua jalan. Pertama, membuat rencana
tindakan- berdasarkan apa yang diyakini benar- dan kemudian bertindak. Kedua, bertindak dahulu
baru mencari rasionalitas sebagai pembenaran. Tindakan yang didasarkan rasionalis sehingga
menimbulkan kebenaran ini masih menyimpan banyak keragu-raguan.
PA melangkah lebih jauh. Mereka juga tidak percaya kebenaran teori yang ada, terutama teori besar.
Semakin besar suatu teori yang kebenarannya mencakup ruang waktu yang luas, kian lemah. Sebab,
teori itu makin abstrak dan makin jauh dari apa yang mau direpresentasikan.
Bagi penganut PA, teori kecil lebih dekat dengan apa yang mau direpresentasikan, karena daerah
cakupannya serba terbatas. Maka, aliran PA berusaha memperhatikan tori-teori kecil, yang
sebelumnya dianggap lemah dan tidak ilmiah. Ini kemudian menimbulkan dialog-dialog baru
dengan mengikut sertakan pelbagai macam teori yang sebelumnya tidak didengarkan. Muculnya
wacana discourse tentang feminisme, tentang pengetahuan lokal yang tidak ilmiah, bahkan tentang
ilmu klenik dan ilmu hitam serta agama-agama primitif, merupakan hasil dari gerakan PA
Tetapi perlu dicatat, aliran PA bukan mau menciptakan teori baru yang lebih baik dan benar
(mungkin, tanpa sadar ada kecenderungan kesini). Kalau ini terjadi, dia sudah keluar dari prinsip
dasar Posmo itu sendiri, yaitu penolakan dari sebuah teori. PA hanya mau sekedar menyatakan
bahwa kita akan lebih aman kalau kita berpegang pada teori kecil yang jangkauannya terbatas.
Disini kita lebih diakrabkan dengan persoalannya. Pada saat yang bersamaan, kita terus membuka
diri terhadap teori-teori yang lainnya, dan mencoba melakukan dialog terus-menerus dengan
mereka. Tentu, PS menganggap PA mengkhianati prinsip dasar Posmo.

Sosiologi Dalam Posmodernism


Banyak sekali permasalahn-permasalan dihadapi oleh Sosiologi sebagai Ilmu yang ingin intens
memperhatikan masalah-masalah masyarakat ini, dimana kondisi Posmodernism yang masih
menimbulkan kontrafersi diantara pemikir-pemikirnya dan juga pemikirannya, menjadi sebuah batu
sandungan bagi Sosiologi yang masih menganut pada universalitas ilmu pengetahuan dan juga
sistemmatika ilmu pengetahuan. Barry Smart yang menaggapi sosiologi posmodernism sebagi
kenyataan-kenyatan yang sudah penuh rekayasa (simulacrum) yang seperti disampaikan oleh
Budrillard, dan seperti apa saja yang telah disampaikan oleh Foucault dan juga Lyotard.
Cara lain yang masih berkaitan untuk memahami kesulitan masa kini adalah dengan mengakui apa
yang ditemui dalam perdebatan seputar kemungkinan adanya perbedaan modernitas dan
posmodernitas adalah relasi dan tujuan dan nilai yang merupakan inti peradaban”Eropa”Barat tidak
bisa dianggap universal, dan proyek modernitas yang terkait belum berahir karena penyelesaiannya
tidak bisa dipahami dan nilainya dipersoalkan.
Tema tentang krisis Sosiologi posmodernism dinyatakan oleh Bauman yang tidak bisa ditangani
secara pasti dengan strtegi ’bisnis sebagi hal yang biasa’, karena permainan dan pembeliannya telah
berubah. Dengan mengikuti pembedaan Habermas antara bentuk-bentuk empiris analitis
interpretatif dan kritis, Bauman menggariskan Posmodernism dalam tiga bentuk Sosiologi. Bagi
sosiologi empiris, kebutuhan obyektif harus berupa pencarian ‘aplikasi sosial baru dari
kemampuannya… atau kemampuan baru’ untuk melawan tatananyang melemah dari negara
demi’pengetahuan menerjemahkan sosial’.kategori kedua sosiologi Interpretatif, mengambil dua
bentuk, satu diantaranya tetap memelihara hubungan sosial yang ditujukan untuk memperkaya
tradisi manusia itu sendiri dengan memberikan bentuk-bentuk ‘asing’ dan yang terpadu, sebuah
produk yang dinyatakan oleh Bauman memungkinkan konsumen untuk tetap ada. Varian kedua dari
sosiologi interpretatif dikemukakan sebagai pemahaman terhadap nilai-nilai kebutuhan, menurunya
permintaan sosial terhadap sosiologi yang menyediakan kesempatan bagi, dan legitimasi dari,
kembalinya memahami kepentingan bagi diri sendiri dari setiapmorang. Bentuk terakhir adalah
sosiologi posmodernism yang tetapmempertahankan paham hubungan sosialdan berupaya untuk
menjadikan ”yang kabur menjadi jelas’, sebuah stategi dimana dengan adanya kemunduran Negara
dan wilayah tersebut secara efektif menjadi wacana sosiologis sebagai kekuatan yang mempunyai
potensi kritis dan/atau subversi, ini merupakan ciri umum dari sosiologi emansipatoris. Namun
demikian, berbeda dengan upaya emansipatoris Habermas mengenai proyek abadi modernism.
Bauman melihat bahwa analisis sosiologi tentang posmodernism yang berupaya untuk yang
berupaya mempertahankan dan ambisi modernism, harus mengakui bahwa strateginya didasarkan
padanilai, asumsi,dan tujuan, bukan hukum, fondasi dan dasar-dasar. Munculnya tradisi nilai
teoritisbersamaan dengantradisi di atas epistemologis yang terus dikritik menimbukkan sejumlah
pertanyaan.

Modernism VS Posmodernism (Kritik Habermas Terhadap


Posmodernism)
Proyek Pencerahan Habermas
Istilah terpenting yang dipakai oleh Mazab Frankfurt termasuk Habermas adalah rasionalisasi.
Rasionalisasi ini berasal dari konsep Weber yang membagi rasionalisasi menjadi empat macam.
Habermas memahami rasionalisasi sebagai proses berkembangnya rasio kedalam segenap
kehidupan dan prilaku manusia.
Habermas membedakan ada dua rasionalitas yang berasal dari konsep Weber. Rasionalitas yang
pertama disebut sebagai tindakan rasionalitas bertujuan dan yang kedua disebut tindakan
komunikatif. Tindakan rasional bertujuan merupakan perkembangan dari konsep Weber,
Zwekrational Action. Tindakan rasional bertujuan ini dalam perkembangannya melahirkan
saintisme dan teknologi. Logika pemikiran saint dan teknologi kemudian mejadi sebuah ideologi
yang terbawa masuk ke dalam dunia sosial. Dengan masuknya logika saint dalam dunia sosial maka
logika komunikatif tidak punya porsi dalam masyarakat, yang ada hanyalah logika ilmu pasti.
Habermas memahami manusia mengalami krisis atau keterasingan dalam dua hal. pertama
keterasingan yang ada diluar dia atau eksternal. Kedua keterasingan yang berasal dari dalam
dirinya. Krisis atau keterasingan eksternal misalnya krisis ekonomi. Krisis eksternal ini mampu
diatasi dengan rasionalitas-instrumental yang menghasilkan manajemen teknik. Sedangkan krisis
yang kedua dialami individu yang mengancam identitas dan eksistensi sosial yang berhubungan
dengan nilai-nilai, norma-norma kultural masyarakat. Krisis ini dapat diatasi dengan rasionalitas
interaksi (komunikatif).
Jadi Habermas tidak sepakat secara mutlak bahwa teknologi menjadi ideologi seperti pendapatnya
Marcuse. Teknologi dipandang Habernas sebagai bentuk rasionalitas yang dibutuhkan manusia.
Namun dalam masyarakat barat perkembangan rasionalitas bertujuan dengan rasionalitas
komunikatif berjalan timpang. Rasionalitas bertujuan yang terwujud dalam kerja berkembang pesat,
sedangkan rasionalitas dalam bidang interaksi kurang berkembang, bahkan akan digeser dan
digantikan oleh rasionalitas dalam bidang kerja. Sehingga letak ideologinya hanyalah penghapusan
atau hilangnya rasionalitas interaksi (komunikasi) dengan rasionalisasi dalam bidang kerja (teknis).
Habermas mengusulkan untuk mengatasi hal itu dengan pengembangan rasionalitas dalam bidang
interaksi.
Habermas sering disalah artikan sebagai tokoh fenomenologi yang begitu saja dimasukkan ke dalam
golongan Hermeunetik. Hal ini perlu dipertanyakan karena Habermas sendiri merupakan seorang
tokoh Teori Kritis yang sangat berbeda dengan Hermeneutik. Meskipun demikian Habermas sering
dipahami sebagai seorang interpretatif, namun bukan sembarang interpretatif. Interpretatif yang
ditawarkan oleh Habermas merupakan interpretatif yang kritis terhadap realitas masyarakat.
Perdebatan dengan Postmodernisme
Jurgen Habermas menganggap rasionalitas sebagai bentuk modernisasi yang punya konsep
pencerahan belum selesai. Jadi dia tidak sepakat mengenai konsep Postmodern, menurutnya
“patologi modernisme” harus diatasi lebih lanjut bukan malah meninggalkannya dan pesimis,
seperti yang dilakukan kelompok yang menamakan dirinya Postmodernisme. Pendapat itu juga
dibenarkan Anthony Giddens dan Frank Magnis Suseno, dimana keduanya melakukan penolakan
terhadap komentar yang mengatakan bahwa saat ini masuk ke dalam era Posmodern. Menurut
Giddens saat ini baru masuk dalam era “high modernity”. Habermas mengaku bahwa dalam rasio
modern masih terdapat sisi-sisi represif akibat “rasionalitas instrumental”, meskipun demikian ia
juga memiliki sisi-sisi emansipatoris dengan rasionalitas komunikatif. Jadi dia sepakat bahwa ada
yang keliru dalam modernisasi, namun dia menolak kalau seluruh rasionalitas dipahami sebagai
biang keladinya. Habermas mencoba untuk melakukan rekonstruksi, bukan dekonstruksi. Ia
berusaha menolak rasionalitas istrumental dan berusaha mengarahkannya ke dalam pemikiran yang
bersifat rasionalitas komunikatif untuk mencapai konsesus demi emansipatoris.
Postmodernisme bersifat ahistoris sehingga kedua konsep tersebut dapat disamakan. Postmodern
sebenarnya hanyalah sebuah pembahasaan era modern, karena tidak mempunyai asal sejarah yang
jelas untuk dapat dipakai sebagai pembeda dengan masyarakat modern. Keduanya merupakan teori
pasca-era pencerahan.
Dengan ungkapan-ungkapan tersebut modernisasi harus dilanjutkan dengan kritik terus menerus
atas segala manifestasi rasio yang berpusat pada subjek dengan tindakan komunikatif. Habermas
yakin bahwa krisis masyarakat modern dapat diatasi dengan rasional intersubjektif dan tidak hanya
direifikasi dengan rasio yang berpusat pada subjek.

DAFTAR PUSTAKA
Turner, Bryan. 2000. Teori-teori Sosiologi Modernitas Posmodernitas. Pustaka Pelajar.
Yogyakarta.

Suyoto, dkk. 1994. Posmodernisme dan Masa Depan Peradaban. Aditya Media.
Yogyakarta.

Grenz, Stanley J. 1996. A Primer on Posmodernism. Yayasan Andi. Yogyakarta.

Bertens, K. 1985. Filsafat Barat Abad XX Jilid II Prancis. Gramedia. Jakarta.

Piliang, Yasraf Amir. 1999. Hiper-Realitas Kebudayan. LkiS. Yogyakarta.

Basis, No 01-02, Tahun ke-51, Januari-Februari 2002. Konfrontasi Foucault dan Marx.
Kanisius. Yogyakarta.

Basis, No11-12, Tahun ke-49, November-Desember 2000. Edisi Khusus: NIETZSCHE Si


Pembunuh Tuhan. Kanisius.Yogyakarta.

Basis, No 01-12, Tahun ke-49, Januari-Februari 2000. Edesi Khusus; Anthony Giddens.
Kanisus. Yogyakarta.

Hardiman, Budi F.1993. Menuju Masyarakat Komunikatif, Ilmu, Masyarakat, Politik dan
Postmoderenisme Menurut Jurgen Habermas. Kanisius. Jogjakarta.

You might also like