You are on page 1of 3

Sembilan Pelajaran Ibadah Haji

Oleh Mochamad Ilyas

Berbagai ibadah yang Allah perintahkan kepada hamba-Nya sudah barang tentu mengandung

hikmah besar di dalamnya, tanpa terkecuali ibadah haji. Ibadah yang kerap disebut sebagai

napak tilas spiritual Nabi Ibrahim ini mengajarkan banyak hal kepada kita. Setidaknya ada 9

mutiara hikmah yang dapat digali dari ibadah haji ini.

Pertama, Imam Bukhari dan yang lainnya meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas, dikatakan bahwa

penduduk Yaman ketika itu hendak menunaikan ibadah haji. Sementara itu mereka sama

sekali tidak membawa perbekalan. Dengan entengnya mereka mengatakan, “Kami orang-

orang yang bertawakkal.” Sikap orang Yaman itu mendapat teguran dari Allah. Sehingga

turunlah firman Allah, “Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa…,”

(2:197). Lantas para ahli tafsir mengatakan, maksud bekal di sini adalah perbekalan

maaliyyah (finansial) sehingga para jamaah tidak melakukan perbuatan hina dengan minta-

minta dan mengemis selama perjalanan ibadah haji. Jadi jelas sekali di sini Allah secara

implisit mengaitkan tindakan untuk tidak minta-minta dan mengemis dengan ketakwaan.

Artinya, salah satu wujud ketakwaan itu adalah memelihara diri dari perbuatan minta-minta

dan mengemis.

Tampaknya, Allah ingin agar dalam ibadah itu tidak dikotori perbuatan hina. Karena itu, kita

sangat prihatin maraknya perbuatan 'minta-minta massal' yang dipertontonkan oleh sebagain

kalangan umat Islam di jalanan dengan dalih untuk pembangunan masjid, terlebih lagi dengan

sedikit memaksa. Di samping tindakan seperti itu mengganggu ketertiban umum, juga akan

mengesankan bahwa Islam melegalkan perbuatan minta-minta dan mengemis. Bukankah


Islam mengatakan ‘tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah’.

Kedua, adalah sudah menjadi kebiasaan orang-orang Arab jahiliyyah setelah menunaikan

ibadah haji mereka menyebut-nyebut kemegahan nenek moyang mereka. Kemudian Allah

meluruskan kebiasaan tersebut. Firman-Nya, “Apabila kalian telah menuntaskan ibadah

hajimu, maka berdzikirlah dengan menyebut Allah sebagaimana kalian menyebut-nyebut

(membangga-banggakan) nenek moyangmu atau bahkan berdzikir lebih banyak dari itu…,”

(2:200).

Dengan demikian, attajarrud lidzikrillaah (totalitas dalam berdzikir) dalam rangkaian ibadah

haji tidak lantas hilang dalam kehidupan keseharian kita. Manakala seseorang berdzikir

(mengingat) Allah dalam perilaku sehari-harinya, maka dirinya akan merasa diawasi, sehingga
diharapkan akan timbul rasa takut kepada Allah jika hendak melakukan perbuatan-perbuatan

maksiat. Untuk memupuk dzikrullaah ini, Rasulullaah telah memberikan panduan kepada kita,

yaitu amalan dzikir beliau setiap pagi dan petang hari.

Ketiga, ibadah haji merupakan napak tilas ajaran Nabi Ibrahim, Bapak Para Nabi (Abu al-

Anbiyaa). Nilai terpenting dari napak tilas itu adalah pengorbanan (at-Tadhhiyyah). Dengan

pengorbanan ini kita diajak untuk mengenyahkan ego kita yang cenderung kepada hawa

nafsu. Pengorbanan yang disimbolkan dengan penyembelihan Nabi Ismail menunjukkan

betapa Ibrahim telah berhasil mengenyahkan ego kepemilikan mutlak Ismail di tangannya.

Tentu untuk sampai ke sana Ibrahim bukan tanpa godaan dan hambatan. Setan terus

menggodanya sehingga Ibrahim melempar setan itu untuk tidak menggodanya lagi.

Pergumulan antara setan dengan Ibrahim itu kemudian diabadikan dengan melontar jumrah.

Artinya, kita dituntut untuk melemparkan ego kita yang cenderung kepada hawa nafsu,

keserakahan, dan kerakusan. Kita dituntut belajar berkorban untuk orang lain, berjiwa sosial,

dan berlapang dada. Nilai-nilai seperti itu kini makin terkikis pada masyarakat kita yang

individualis. Padahal Rasulullah melukiskan masyarakat Muslim itu seperti satu raga, yang

apabila salah satu anggota raga itu sakit maka raga yang lainnya pun ikut merasa sakit.

Keempat, pada saat ibadah haji sekitar 3 juta Muslim dari seluruh dunia berkumpul. Mereka

berasal dari berbagai negara, suku bangsa, budaya, profesi, status sosial, warna kulit dan

sekat-sekat duniawi lainnya. Mereka bergerak kompak dari Mina, Arafah, Muzadlifah dan

Makkah. Takbir, tahlil dan tahmid bergema dari lisan-lisan mereka. Tak ada huru-hara dan

pertikaiaan. Maka wajar saja, seperti diriwayatkan Ibnu Hisyam, Rasulullah berpesan dalam

haji wada'nya, "Wahai manusia, sesungguhnya Tuhan kalian satu, nenek moyang kalian satu,

kalian semua berasal dari Adam, dan Adam itu dari tanah, yang paling mulia di antara kalian

di sisi Allah adalah yang paling bertakwa di antara kalian, tidaklah orang Arab atas non Arab

dan tidak pula non Arab atas orang Arab, tidak pula orang berkulit merah atas orang yang

berkulit putih, tidak pula orang yang berkulit putih atas orang yang berkulit merah itu ada

kelebihan kecuali dengan takwa." Seolah-olah Al-Mushtafa mengisyaratkan ibadah haji ini

mengajarkan akan pentingnya nilai-nilai al-Musawaah (egaliter), yang pada gilirannya akan

membangun rasa persatuan dan perdamaian. Dengan berkumpulnya jutaan Muslim dalam

ibadah haji ini, seharusnya menjadi modal dasar wihdatul ummah yang saat ini lenyap dari

umat Islam. Saat ini ummat Islam tercabik-cabik tanpa adanya persatuan, sehingga

kekuatannya tercerai berai dan kekuatannya sirna.


Kelima, ibadah haji merupakan syukur atas nikmat Allah yang berlimpah. Dari nikmat-nikmat

Allah yang tak terhingga, setidaknya nikmat Allah itu dapat dikelompokkan kepada tiga jenis:

nikmat keimanan, kekayaan dan kesehatan. Dan ibadah haji adalah wujud yang paling

mewakili dari berbagai ibadah yang ada untuk mensyukuri ketiga nikmat tersebut. Pasalnya,

ibadah haji adalah panggilan keimanan, yang merealisasikannya perlu perbekalan materi yang

cukup ditambah fisik yang sehat. Maka tak heran ibadah haji disebut ibadah ruuhiyyah

sekaligus ibadah jasadiyyah dan maaliyyah.

Keenam, ibadah haji merupakan sarana paling efektif bagaimana seorang Muslim

menyaksikan berbagai manfaat, dari yang terbesar sampai ke hal-hal kecil. Di sana ada

kebersamaan, pengorbanan, saling mengenal, persaudaraan, persamaan, persatuan,

toleransi, penghormatan dan keragaman. Selain manfaat di atas, sudah barang tentu juga

manfaat-manfaat material. Karena itu, berniaga saat berhaji bukanlah sebuah dosa.

Ketujuh, ibadah haji akan menumbuhkan spirit keprajuritan (ruuhul jundiyyah). Laksana

tentara yang siap siaga memenuhi panggilan sang komandan, demikian pula jamaah haji.

Tatkala niat dipancangkan, tekad dibulatkan, mereka pun serantak dengan sigap menjawab

seruan ilahi, ”Labbaaikallohumma labaik, labbaik laa syarikala labbaaik…" Ya Allah, aku

sambut panggilan ya Allah. Ya Allah, tidak sekutu bagiMu ya Allah.

Kedelapan, ibadah haji merupakan pestival tahunan agama Islam. Ummat Islam dari pelosok

bumi datang ke Tanah Haram. Ragam budaya, adat istiadat dan warna-warni madzhab

peribadatan tersuguhkan di Tanah Haram. Dengan demikian, jika kita hendak melihat miniatur

Muslim seluruh dunia, maka perhatikanlah pestival haji tahunan itu.

Terakhir, haji sebagai konferensi Islam internasional. Inilah konferensi tahunan dengan jumlah

peserta terbanyak dalam sejarah panggung kehidupan dunia. Jutaan orang berkumpul tanpa

perlu diundang setiap tahunnya. Bagi Allah, cukuplah dengan undangan tertulis sekali saja.

"Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji…"(22:27).

Demikianlah butir-butir dari sebagian hikmah ibadah haji, yang kalau diamati meliputi

segenap aspek kehidupan manusia. Semoga saja kita semua dapat mengambil hikmah itu,

untuk kemudian dijadikan pola kehidupan keseharian kita. Semoga...

You might also like