You are on page 1of 4

REALITA IMPLEMENTASI TAUHID SOSIAL DALAM KEHIDUPAN MASYARAKAT

Konsep awal dari tauhid adalah menempatkan Allah sebagai Rabb. Allah
telah menciptakan alam semesta sebagai khaliq (pencipta), dan kita adalah
makhluq (yang diciptakan). Sehingga, manusia harus tunduk pada
penciptanya. Konsep ini merupakan konsep paling pokok dalam aqidah,
sehingga jika seseorang belum mengimani hal ini ia tidak dapat dianggap
sebagai seorang muslim yang lurus.

Akan tetapi, konsep tauhid dalam tataran yang lebih luas tidak cukup hanya
dengan membenarkan bahwa Allah itu Maha Esa. Tauhid sejatinya
memerlukan manifestasi dalam realitas empiris.

Jika tauhid kita artikan peng-esaan Tuhan, pengakuan kita bahwa Tuhan
hanya ada satu. Dan artinya kita hanya fokus kepada satu Tuhan, tidak lebih
tidak kurang, dan Dia tidak lain adalah Allah SWT. Seperti yang saya katakan
tadi, pengesaan ini adalah konsep awal dan utama dalam tauhid. Maka
menurut penulis, salah satu aplikasi sosialnya adalah tidak adanya peramal
dan dukun, artinya kita hanya percaya bahwa Allah-lah yang bisa
memberikan pertolongan, bukan dukun, bukan pula peramal.Karena jika kita
tidak berpikiran demikian, maka berarti kita telah menduakan Dia sebagai
Yang Maha memberikan pertolongan. 

Akan tetapi, hal ini mulai terhapus dan dihapus pada masa ini, terutama bisa
kita lihat munculnya dukun-dukun entertainer yang sering muncul di televisi,
entah Mama laurent, Ki Bodo atau yang lainnya.

Tapi konsep pengesaan ini tidak hanya berhenti di sini saja, jika kita
menariknya lebih dalam ia memiliki hal lain yang harus kita aplikasikan dalam
kehidupan sosial juga, yaitu tadi dikatakan bahwa pengesaan Tuhan berarti
hanya fokus kepada satu Tuhan, maka dalam kehidupan sehari-hari kita juga
harus fokus tehadap kewajiban yang kita emban, tidak boleh menduakan
kewajiban itu dengan kepentingan lain apalgi kepentingan pribadi.

Dan lagi-lagi, nampaknya makna ini juga sudah mulai tidak berlaku lagi
dalam masyarakat kita. Contoh kecilnya adalah realita kehidupan para guru—
terutama pns—saat ini. Kita tahu bahwa kewajiban utama seorang guru
adalah mendidik anak didik mereka, menjadikan anak didik mereka
berpendidikan yang sesungguhnya, memanusiakan anak-anak didik mereka.

Akan tetapi hal ini berbanding terbalik dengan kenyataan saat ini, dimana
banyak guru yang tidak hanya menjadi guru, ada yang merangkap
pengusaha, wiraswasta atau profesi lain dan akhirnya waktu mereka untuk
mengajar terkadang terenggut untuk hal-hal yang bukan dalam lingkup
mendidika anak-anak mereka. Ini berarti bahwa mereka telah menduakan
kewajiban mereka sebagai seorang guru, mereka tidak fokus terhadap satu
kewajiban utama mereka, mereka termasuk orang-orang yang “musyrik
sosial”, menyekutukan kewajiban mereka dengan kepentingan pribadi
(setidaknya begitulah saya menyebutnya).

Makna lain—dan merupakan kelanjutan dari makna diatas—adalah bahwa


tauhid bisa diartikan kesetiaan dan ketaatan kita terhadap Tuhan. Kita
bertauhid berarti kita mengikat diri dengan janji kita dengan Tuhan; janji untuk
taat terhadap segala aturan yang Dia berikan. Kita tidak bisa dikatan sebagai
orang yang bertauhid ketika kita melanggar janji kita dengan Tuhan, ketika
kita mengingkari perintahnya, meskipun kita tetap percaya dan teguh bahwa
Tuhan itu esa. Artinya, tidak cukup dengan mengesakan Tuhan tanpa
melakukan ibadah-ibadah yang di perintahkanNya, baik ibadah spiritual
maupun sosial.

Tidak bisa kita pungkiri jika saat ini banyak orang percaya bahwa Tuhan itu
Esa, mengaku bahwa Muhammad itu Nabi mereka, akan tetapi mereka tidak
pernah sekalipun melakukan penyembahan terhadapNya baik melalu shalat
ataupun puasa atau yang lainnya, mereka juga tidak peka terhadap
kehidupan sekitarnya, mereka tidak menghiraukan ketimpangan-ketimpangan
sosial yang terjadi didekatnya. Hal ini menunjukkan bahwa Tauhid hanya
menjadi pajangan hati saja, tanpa implikasi sosial yang berarti.

Makna ini juga mempunya sisi lain yang dapat dan harus kita
implementasikan dalam kehidupan sosial. Kesetiaan dan ketaatan adalah
sebuah keniscayaan yang harus kita miliki selama kita menginginkan
kehidupan yang tentram. Karena hanya dengan keduanya kita bisa menjalin
relasi yang baik dengan orang lain, hanya dengan keduanya kita bisa
membangun kepercayaan orang lain trhadap kita. Kita harus setia terhadap
aturan dan hukum sosial yang ada, kita juga harus setia dan taat terhadap
segala janji yang kita ucapkan terhadap orang lain. Ini adalah pondasi kita
untuk menggapai kesejahteraan bersama sebagai mahluk yang oleh Plato
disebut Zoon Politicon atau mahluk yang bermasyarakat.

Jika kita ingat sebuah perkataan Nabi yang menyatakan bahwa jika berjanji
lalu kita mengingkari, maka itu berarti kita masuk dalam golongan orang-
orang munafik. Maka sama dengan hal ini, jika kita tidak setia dan tidak taat
terhadap janji kita dalam ranah sosial, maka itu berarti bahwa kita “munafik
sosial”.
Tapi, lagi-lagi hal ini juga nampak mulai luntur dalam kehidupan masyarakat
kita. Pengingkarana dan penghianatan telah banyak dilakukan oleh banyak
orang, termasuk oleh para petinggi negeri yang megingkari janjinya dengan
memakan uang yang seharusnya tidak mereka makan. Pengingkaran tauhid
sosial ini juga dilakukan oleh para tullab—yang seharusnya jujur—dengan
budaya “mengutip total” alias plagiat bin copy-tempel tugas-tugas mereka,
agar mendapatkan nilai bagus yang mana hal ini juga berarti “musyrik”
terhadap kewajiban utama mereka, krena menduakan kewajiban mencari
ilmu dengan mencari nilai.

Seharusnya, dengan Tauhid Sosial tersebut, realita-realita menyedihkan di


atas tidak muncul, dengan Tauhid Sosial umat Islam seharusnya
mempraktikkan nilai-nilai Tauhid ke dalam realitas sosial secara benar.
Seorang muslim tidak cukup hanya menjalankan tauhid dengan meyakini
bahwa Allah itu esa, tetapi juga harus menjalankan perintahNya dan peka
terhadap urusan kemanusiaan, sehingga muncul keseimbangan antara
ibadah dan perilaku sosial. Hal inilah yang disebut sebagai amal shalih.

You might also like