You are on page 1of 41

Celah Timor sering digunakan untuk merujuk kepada wilayah laut antara Timor,

Indonesia dan Australia. Pada kenyataannya, ini mengacu pada kesenjangan dalam

batas dasar laut yang dinegosiasikan Australia dan Indonesia pada tahun 1972 - bagian

dari garis mereka tidak bisa menentukan karena, Portugal, yang memerintah Timor

Timur, menolak untuk berpartisipasi dalam negosiasi. Timor Timur kemudian berada di

bawah kontrol Indonesia, dan Australia dan Indonesia menegosiasikan Perjanjian Celah

Timor pada tahun 1989. Kualalumpur - Pemerintah Malaysia akhirnya buka mulut soal

Ambalat. Melalui Menteri Pertahanan Malaysia Ahmad Zahid Hamidi, negeri jiran itu

menegaskan tetap menempuh jalur diplomasi dalam menyelesaikan kasus sengketa di

perairan Ambalat.

"Malaysia berpegang teguh kepada prinsip bahwa konflik apapun harus diselesaikan

melalui jalur diplomasi," kata Zahid dalam jumpa pers di kantornya Jalan Padang

Tembak, Kuala Lumpur, Rabu (3/6/2009).

Zahid mengatakan, tindakan provokatif apapun hanya akan memperburuk keadaan dan

tidak akan menyelesaikan permasalahan. Dia menjelaskan, di antara kedua negara,

Indonesia-Malaysia, telah dibentuk kerjasama perundingan melalui Menlu masing-

masing untuk menyelesaikan persengketaan maritim secara aman dan damai.

"Menlu Malaysia dan Indonesia bersepakat untuk membentuk Kelompok Teknis pada 9

Maret 2005," ujarnya.


Kelompok teknis tersebut, lanjut dia, terdiri dari unsur pemerintah dan pakar yang

membahas mengenai isu perbatasan maritim. Bahkan pertemuan kelompok teknis

kedua negara telah dilakukan sebanyak 13 kali sejak Maret 2005 hingga Agustus 2008.

"Pertemuan yang ke-14 akan dilakukan di Malaysia pada Juli 2009," sambung menteri

berdarah Jogjakarta ini.

Bahkan Zahid juga mengungkapkan, sejak 2007 hingga April 2009, Kementrian

Pertahanan Malaysia sebenarnya telah membuat 13 nota protes diplomatik kepada

Pemerintah Indonesia melalui kedutaan besarnya di Kuala Lumpur mengenai tindakan

TNI Angkatan Laut yang melanggar perbatasan laut Malaysia.

"Tapi Malaysia Committed untuk menyelesaikan masalah ini dalam meja perundingan,

tidak ke media. Sehingga diharapkan adanya satu perjanjian perbatasan maritim di

antara kedua negara," Pihak TNI AL mendesak Departemen Luar Negeri (Deplu)

mengirimkan nota diplomatik pada Malaysia terkait tindak pelanggaran batas wilayah

laut di Ambalat. Deplu juga  harus mempercepat proses perundingan batas wilayah

yang telah berjalan.

Demikian disampakan KSAL Marsekal Tedjo Edhie usai rapat koordinasi, di Kantor

Presiden, Jakarta, Rabu (3/6/2009).

"Surat permintaan akan saya kirimkan kepada Panglima TNI dengan tembusan ke
Menlu RI. Nanti Panglima yang akan tindaklanjuti ke Menlu," ujar dia.

Sengketa tapal batas RI-Malaysia di perairan Ambalat mencuat sejak 2005. Semenjak

itu tercatat pihak Malaysia melakukan aksi-aksi yang dinilai provokatif sebanyak 11 kali

pada tahun 2009. Sedangkan pada 2006 terjadi 76 kali.

Pada kesempatan sama, Menko Polhukam Widodo AS juga menyatakan hendak minta

Deplu mempercepat perundingan batas wilayah dengan Malaysia. Tidak saja laut

Ambalat tapi juga perairan lain di sekitarnya.

"Perundingan sudah berjalan 23 kali dan yang ke 24 di Malaysia nanti kita minta agar

ada akselerasi pencapaian kesepakatan,"

Timor Timur merdeka pada tahun 2002. Namun, mereka belum menetapkan batas

maritim dengan negara-negara tetangga mereka, Indonesia dan Australia. [1]

Negosiasi menentukan kepemilikan puluhan milyar dolar minyak dan gas terletak di

dasar laut Laut Timor, termasuk menyelesaikan batas terdefinisi dikenal sebagai Celah

Timor, telah berlangsung antara Australia dan Timor Leste sejak tahun 2002, tetapi

meskipun beberapa perjanjian interim, batas maritim permanen masih harus

diselesaikan. Australia dan perusahaan minyak internasional dituduh menekan Timor

Leste untuk menerima formula bagi hasil minyak bumi sementara menunda resolusi

batas permanen dan di atas jalan hukum.


Pada hari kemerdekaannya, Timor Leste menandatangani Perjanjian Laut Timor

dengan Australia. perjanjian ini hampir menempatkan Timor Timur di tempat Indonesia

di Celah Timor, kecuali bahwa rasio distribusi pendapatan di Kawasan Pengembangan

Minyak Bersama, dikenal sebagai Zona Kerjasama di bawah perjanjian 1989, diubah

menjadi 90:10 mendukung Timor Timur. Perjanjian 2002 yang disediakan untuk

"unitisasi" masa depan - mengobati lapangan gas atau minyak yang melintasi

perbatasan satu atau beberapa sebagai satu unit - dari ladang gas Greater Sunrise,

yang hanya 20% terletak dengan di JPDA sementara sisanya dianggap berada di

wilayah Australia. Dalam pandangan Timor Timur, distribusi ini bisa diperdebatkan

karena tidak mengenal perbatasan, ditarik antara Australia dan Indonesia, yang

menempatkan sebagian besar dari Greater Sunrise di wilayah Australia.

Pada tanggal 20 Februari 2007, parlemen Timor Leste sepakat untuk meratifikasi

perjanjian dengan Australia atas pengelolaan sumber daya minyak dan gas di lapangan

Greater Sunrise di Laut Timor. Australia dan Timor Timur secara resmi dipertukarkan

catatan pemerintah di Dili pada 23 Februari 2007 untuk menjadi kekuatan dua

perjanjian yang menyediakan kerangka hukum dan fiskal untuk pengembangan

lapangan gas Greater Sunrise di Laut Timor.

Catatan meliputi Sunrise Kesepakatan Penyatuan Internasional (IUA Sunrise) dan

Perjanjian tentang Pengaturan Kelautan Tertentu di Laut Timor (CMATS). Menteri Luar

Negeri Alexander Downer, menggunakan kekuasaan dipanggil hanya enam kali dalam
sejarahnya, dipanggil sebuah "kepentingan nasional" klausa pengecualian untuk

ratifikasi jalur cepat dari perjanjian CMATS melalui parlemen tanpa pengawasan oleh

perusahaan Joint Standing Committee tentang Perjanjian Internasional. [2]

[Sunting] Lihat pula

    * Celah Timor

    * Perjanjian Laut Timor

    * Australia-Indonesia perbatasan

[Sunting] Referensi

   1. ^ "Timor Gap, Wonosobo dan Nasib Timor Portugis", Journal of Royal Australian

Historical Society, Vol.88 Pt.1, Juni 2002, pp.75-103. Juga di:

http://www.nla.gov.au/pathways/jnls/austjnls/view/324.html (pencarian APAFT)

   2. ^ Robert J. King, Maritim tertentu Pengaturan di Laut Timor, Laut Timor dan Celah

Timor, 1972-2007, penyerahan ke Australia Berdiri Komite Bersama Parlemen tentang

Perjanjian Internasional 'Permintaan ke dalam Perjanjian tentang Pengaturan Kelautan

Tertentu di Laut Timor ,

Pengelolaan "Timor Gap" Harus Lebih Adil

Sabtu, 1 Desember 2007 14:35 WIB | Peristiwa | | Dibaca 878 kali

Kupang (ANTARA News) - Kebijakan politik luar negeri Australia terhadap Timor Leste

di bawah pemerintahan Perdana Menteri yang baru, Kevin Rudd, tidak akan berubah
karena kepentingan utama Australia membangun hubungan baik dengan Timor Leste

selalu dihubungkan dengan Timor Gap (Celah Timor).

"Yang kita harapkan dari PM (Perdana Menteri) Australia yang baru adalah bagaimana

membagi hasil minyak di Timor Gap yang lebih adil lagi kepada Timor Leste. Dan inilah

yang harus diperjuangkan oleh rakyat Timor Leste," kata pemerhati masalah Timor

Leste, Florencio Mario Vieira di Kupang, Sabtu.

Alumnus John Heinz III School of Public Policy and Management Carnegie Mellon

University AS mengemukakan hal itu ketika ditanya ANTARA News tentang kebijakan

politik luar negeri Australia terhadap Timor Leste di bawah pemerintahan baru, PM

Kevin Rudd.

Ketika Rudd dari Partai Buruh (ALP) keluar sebagai pemenang dalam pemilu di

Australia pekan lalu, mantan PM Timor Leste, Mari Alkatiri langsung menyampaikan

ucapan selamat dan salam kepada politisi senior ALP lulusan Fakultas Studi-Studi Asia

Universitas Nasional Australia (ANU) yang mahir berbahasa Mandarin itu.

Mantan Presiden Timor Leste di wilayah bekas provinsi ke-27 Indonesia, Xanana

Gusmau, juga akan mengundang Rudd, pria kelahiran Queensland 21 September 1957

ke Timor Leste.

Menurut Vieira, ALP identik dengan aliran sosialis dan hampir mempunyai kesamaan
dengan Frente Revolucionario Timor Leste Independente (Fretilin), partai pemenang

pemilu di Timor Leste belum lama ini.

"Tidak terlalu mengherankan jika Alkatiri dari Fretilin menyampaikan ucapan selamat

dan salam hangat kepada politisi senior dari ALP, Kevin Rudd yang keluar sebagai

pemenang dalam pemilu di Australia dan menjadi PM ke-26 di negeri Kanguru itu,"

katanya.

Ia menambahkan, undangan PM Timor Leste, Xanana Gusmau kepada PM Rudd untuk

berkunjung ke negaranya adalah sebuah hal yang biasa dan wajar sebagai sesama

kepala pemerintahan.

Hanya, Vieira melihat, undangan dari Xanana ini merupakan salah satu taktik politik

untuk merangkul Rudd agar ia tidak terlalu condong ke Fretilin yang memiliki aliran

sosialis dan mempunyai kesamaan dengan ALP.

Ia mengatakan, mau tidak mau Timor Leste tetap menjaga hubungan baik dengan

Australia karena persoalan Timor Gap yang merupakan satu-satunya sumber alam

yang membuat wilayah bekas koloni Portugis itu bisa survive. (*)

Kumpulan artikel media Sydney Morning Herald (SHM) mengenai ''Timor Gap''

menjelaskan, potensi kandungan minyak mentah/petroleum yang terdapat pada basin


Bonaparte di wilayah perairan Laut Timor diperkirakan mencapai 5 miliar barel dan

ditaksir termasuk salah satu dari 23 lapangan minyak terbesar di dunia. Konsorsium

perusahaan minyak multinasional Australia, BHP, Santos (Australia), Petroz (Australia)

dan Inpex (Jepang) telah mengembangkan ladang minyak Elang-Kakatua dengan

production rate sebesar 33.000 barrel oil per day (BOPD) dan proven reserve

(cadangan terbukti) sebesar 30 juta barel. Diperkirakan kedua pemerintah menerima

royalti 3 juta dolar AS per tahun dengan perhitungan harga minyak sekitar 12 dolar AS.

(SMH, 12/02/99).

Sedangkan konsorsium ini juga menemukan ladang gas/condensate Bayu-Undan yang

diperkirakan berkapasitas produksi 60.000 barrels of condensate dan 40.000 LPG

dengan perkiraan potensi cadangan setara minyak sebesar 900 juta BOE (barrel of oil

equivalent) (WS 5/09/98). Lapangan gas ini diproyeksikan mulai produksi pada tahun

2003 dengan memakai biaya mencapai 2,4 miliar dolar AS dan untuk menunjang

kegiatan operasi perminyakan, kota Darwin disiapkan sebagai base operasional logistik.

Pada kwartal kedua tahun 1999, BHP sebagai leader dari konsorsium melepaskan

sahamnya sebesar 42,4 persen pada lapangan Elang Kakatua kepada perusahaan

minyak Amerika, Philips Petroleum, Co. termasuk ladang gas Bayu-Undan.

Ada beberapa hal yang menarik berkaitan dengan pengembangan ladang minyak

tersebut yang terjadi pada Agustus 1998. Seorang geologist bernama Peter Cokroft

yang menjabat sebagai Chief Representative BHP Indonesia mengadakan pertemuan

rahasia dengan Jose Xanana di penjara Cipinang guna membahas aspek legalitas

perjanjian ''Timor Gap''. Dari hasil pertemuan tersebut Xanana menyatakan tidak
mengakui perjanjian Celah Timor, namun tetap mengacu kepada perjanjian UN-

Portugal atau Laut Timor.

Hasil pembicaraan rahasia ini terangkat ke permukaan yang dikutip media massa di

Australia dan hal ini mengakibatkan Peter CocCkroft ditarik pulang dari Jakarta 27

Agustus 1998 oleh perusahaan induknya. Dua minggu sebelum pertemuan Cipinang

berlangsung, Menlu Australia mendukung Pemerintah Indonesia untuk tidak

membebaskan Xanana, namun setelah terungkapnya pertemuan rahasia di Cipinang

oleh media massa Australia, kebijakan Pemerintah Australia berubah sangat drastis.

Dengan disusul membuat pernyataan dari PM Howard, sebaiknya Xanana dibebaskan

dari penjara.

Awal 1999 PM John Howard mengirim surat kepada Presiden Habibie yang

mengatakan bahwa kunci penyelesaian masalah Timor Timur dengan melakukan self

determination. Tampaknya bagi Australia masalah ''Timor Gap'' tidak dapat dipisahkan

dari penyelesaian masalah Timor Timur dan pada suatu kesempatan Menlu Australia

Alexander Downer mengatakan, suatu saat Australia bersedia melakukan negosiasi

ulang, apabila Timor Timur hendak merdeka. Dari perubahan kebijakan yang drastis ini

terkesan bahwa Australia menghendaki perjanjian langsung dengan (negara) Timor

Timur.

Di samping itu, Portugal sebagai anggota Uni Eropa secara intensif telah melakukan

lobi di Eropa untuk mendapat dukungan ekonomi dan politik dari negara-negara

tetangga.
Lobi Portugal ternyata cukup efektif diawali dengan dukungan dari Stat Oil. Perusahaan

minyak Norwegia yang memberikan beasiswa 400.000 dolar AS bagi beberapa

mahasiswa Timor Timur untuk mengikuti pendidikan petroleum engineering.

Titik Silang

Mengingat posisi geografis dan kaitannya dengan jalur-jalur pelayaran utama di Asia

Tenggara, perairan sekitar Pulau Timor tercatat di data internasional sebagai titik silang

jalur pelayaran dari Timur ke Barat dan dari Utara ke Selatan. Dari sebagian area di

ZOCA, tampak yang cukup menonjol yakni partisipasi perusahaan minyak raksasa

Inggris-Belanda ''Shell''. Di masyarakat international kedua negara tersebut mempunyai

beberapa catatan penting; Inggris dan Belanda adalah anggota-anggota terpandang

dalam Uni Eropa dan NATO, Inggris dan Australia mempunyai hubungan historis yang

tak terpisah; Belanda mewakili Portugal dalam hubungan diplomatik

dengan Indonesia (Timor Timur: Dipandang dari sejarah Oilpolitics dalam Percaturan

Ekonomi dan Sekuriti Dunia, oleh Purbo S. Suwondo pada seminar Lemhannas-ICWA,

17/05/99).

Ada satu hal yang cukup menarik untuk disimak khususnya untuk perusahaan minyak

''Shell'' (The Royal Shell Dutch Group), yaitu berdirinya diawali dengan mendapatkan

konsesi minyak di Sumut dari Sultan Langkat pada tahun 1890, kemudian berkembang

dengan usaha di bidang transportasi dan trading dari Balikpapan tahun 1897.
Sedangkan untuk kegiatan di wilayah perairan Timor Timur ibarat ''pulang kampung'',

karena kegiatan survei pernah dilakukan oleh Shell pada pertengahan tahun 1950.

Penemuan ladang minyak baru selalu akan memberikan nilai ekonomis tinggi, namun

juga akan menimbulkan masalah baru pula karena jarak antara lokasi ladang minyak

dengan negara konsumen cukup jauh dan semakin hari penemuan minyak sangat sulit,

meskipun didukung dengan teknologi canggih. Penemuan-penemuan lapangan baru

yang terletak di perbatasan wilayah antarnegara akan selalu menjadi sumber potensi

ketegangan international, seperti di Kepulauan Spartley di Laut Cina Selatan, karena

ada beberapa negara yang menuntut kontrol atas wilayah tersebut seperti Cina

(termasuk Taiwan), Vietnam, Filipina, Malaysia dan Brunei.

Dalam artikel yang berjudul Oil and International Tension in the 21st Century pada

majalah Militaire Spectator, Januari 1999, diungkapkan bahwa Cina baru-baru ini telah

expressed a claim sebagian wilayah Natuna yang masih di bawah yuridis teritorial

Indonesia.

Diduga klaim ini diajukan setelah pengumuman penemuan cadangan gas baru yang

relatif besar di kawasan Laut Natuna yang termasuk wilayah Indonesia oleh

perusahaan Amerika. Seandainya di kawasan Pulau Spartley ditemukan cadangan

migas baru, hal yang sama akan dapat terjadi seperti kejadian di kawasan Timor Timur

dengan ''Timor Gap''.

Fakta ini jelas menunjukkan bahwa ada korelasi antara deposit mineral strategis

dengan ketegangan international. Dari latar belakang uraian tersebut, dapat


diasumsikan bahwa negara-negara industri maju yang mempunyai interest sangat

besar atas prospek lapangan minyak di ''Timor Gap''.

Dugaan keberpihakan (impartial) yang dilakukan Unamet/PBB dalam penentuan

pendapat di bumi Loro Sae untuk mendukung kemerdekaan sebenarnya sudah dapat

dibaca atau diduga, apalagi ditambah momentum tawaran opsi seluas-luasnya dari

Pemerintah Indonesia.

Keterkaitan organisasi PBB dalam masalah perminyakan sebenarnya sudah tidak asing

lagi, salah satunya memberlakukan oil embargo terhadap Irak sejak tahun 90.

Hasil penjualan minyak harus mengikuti program oil for food, karena hasilnya harus

melalui escrow account PBB dan sebagai imbalannya hasil dari penjualan tersebut

ditukar dengan bahan pokok makanan, medical dan other UN-authorized purposes

(OPEC Revenue Report, 98). Di bawah UN resolution 986, produksi minyak Irak

dibatasi menjadi hanya sekitar 600,000 barel dari kapasitas produksi 2,3 juta barel/hari.

Begitu juga hal yang sama dilakukan terhadap Libya dikenakan sanksi atas kasus

pemboman Pan Am 103.

Tampaknya pengumuman hasil jajak pendapat di Timtim tanggal 4 September 1999

dari New York, Indonesia tidak dapat menikmati secara signifikan hasil perjanjian Celah

Timor yang ditandatangani tanggal 11 Desember 1989 dari basin Bonaparte dan dalam

waktu yang tidak terlalu lama Timor Timur nantinya akan menikmati Hydrocarbon

Economy seperti negara-negara di kawasan Timur Tengah atau Brunei. ***


Australia dan 'Celah Timor'

oleh

Martin P.A. Baltyn

Dibimbing oleh

     

Prof Chris Rizos

Diedit oleh:

Assoc. Prof J. M. Rüeger

Abstrak

Batas dinegosiasikan antara Australia dan Indonesia di wilayah Laut Timor dipengaruhi

oleh sejumlah faktor sejarah. Sayangnya batas antara Australia dan Indonesia di

wilayah Timor Timur, yang dikenal sebagai "Celah Timor", telah kontroversial, dan

menjadi perhatian Australia selama 30 tahun terakhir. Tidak ada negosiasi berlangsung

dengan Portugal sebelum meninggalkan Timor Timur pada tahun 1975. Dengan

Indonesia menduduki Timor Timur, Australia tidak bisa mengatasinya selama bertahun-
tahun. Perjanjian ditandatangani pada tahun 1989 membentuk Zona Kerjasama tanpa

menentukan batas dasar laut yang sebenarnya. Perjanjian Celah Timor tidak pernah

dimaksudkan untuk menjadi kesepakatan akhir di perbatasan "kontinen rak". Itu adalah

kompromi sementara menyimpulkan "tanpa prasangka" dengan resolusi akhir dari

sengketa batas maritim. Sekarang dengan Timor Lorosae yang independen, Timor asli

Perjanjian Celah telah berakhir dan "Baru" Celah Timor pengaturan ditandatangani

pada bulan Juli 2001.

Tujuan

Menyusul peristiwa baru-baru ini di Timor Timur, dan independensi berikutnya negeri ini

kecil, "Celah Timor" isu telah datang di bawah pengawasan lagi. Tujuan dari tesis ini

adalah untuk menganalisis, dan memberikan penjelasan, perjanjian batas maritim

kontroversial bahwa Australia telah melakukan negosiasi dengan Indonesia, dan untuk

menjelaskan sifat dari Celah Timor melalui analisis konteks di mana ia diciptakan, dan

nya status saat ini. Selain itu, untuk menyoroti pentingnya Australia mengadopsi

pendekatan yang murah hati kepada Perjanjian Celah Timor sehingga untuk

memastikan bahwa Timor Timur akan memiliki akses ke, dan membuat baik

penggunaan, semua sumber daya lepas pantai, dan maka untuk mengurangi

ketergantungannya pada bantuan asing .

Cakupan Kerja
Meneliti literatur yang tersedia (buku, majalah, surat kabar) dan situs web meliputi

Hukum Laut (LOS), Konvensi PBB tentang Hukum Laut I, II dan III (UNCLOS I, II dan

III), Indonesia - Australia batas, Australia dan Timor Timur masalah.

Informasi ini disusun menjadi 3 bagian:

    * Pre-indonesian pendudukan Timor Timur dan isu-isu batas.

    * Pendudukan Indonesia di Timor Timur dan isu-isu batas.

    * Post-indonesian pendudukan Timor Timur dan isu-isu batas.

Tidak banyak informasi yang dipublikasikan (tersedia) meliputi situasi saat ini: situs web

Departemen Luar Negeri dan Perdagangan, Departemen Perindustrian, Sains dan

Sumber Daya, surat kabar dan majalah saja.

     

Aku benar-benar meliputi latar belakang sejarah Timor Leste dan Hukum Laut (LOS)

untuk membantu pembaca untuk memahami lebih baik masalah Celah Timor.

Kemudian aku berkonsentrasi pada batas antara Australia dan Indonesia, Celah Timor

negosiasi, Zona Kerjasama (ZOC), dan akhirnya aku ditangani dengan negosiasi Celah

Timor antara Australia saat ini dan independen Timor Timur.

     

Sejarah Time Line

File pdf pada garis waktu sejarah berisi semua informasi yang tersedia "terorganisir"

dalam urutan kronologis kejadian, dari WW II sampai sekarang: dan meliputi Australia,
Indonesia, LOS, Portugal dan Timor Timur.

Sejarah Time Line

Kesimpulan

Negosiasi atas Celah Timor memiliki sejarah panjang dan rumit. Australia dan Timor

Timur yang independen yang berlaku umum bahwa masalah batas maritim Timor Leste

jauh kurang penting dibandingkan dengan kekayaan yang bisa dihasilkan untuk negara

baru oleh eksploitasi sumber daya Laut Timor. Penandatanganan "baru" Perjanjian

Celah Timor antara Australia dan Timor Leste pada tanggal 5 Juli 2001 menjamin

bahwa ladang minyak direncanakan dan infrastruktur senilai miliaran dolar akan pergi

ke depan, dan bahwa Timor Timur dan ekonomi Australia akan menguntungkan selama

tiga puluh sebelah empat puluh tahun. Ini adalah situasi saat ini, tetapi sebagai sejarah

menunjukkan, dapat berubah dengan berlalunya waktu, dan pada titik tertentu masalah

batas maritim antara Australia dan Timor Lorosa'e harus diselesaikan sesuai dengan

aturan Hukum Laut. Sebuah bagian yang lebih besar dari sumber daya Celah Timor

Timur akan sangat membantu negara baru untuk mencapai swasembada ekonomi.

Waktu akan menunjukkan bagaimana isu batas dasar laut antara tetangga utara

Australia akan diselesaikan, karena sementara ada beberapa nilai sumberdaya di

wilayah Laut Timor tidak ada Negara siap untuk "memberikan tanah" pada posisinya.

Namun, setelah minyak hilang, segala sesuatu mungkin terjadi

Location of the Timor Gap and the Zone of Cooperation (ZOC)

Produced by AUSLIG (Australian Surveying and Land Information Group)


http://www.dist.gov.au/resources/timor-gap/

Maritime Zones

Produced by AUSLIG (Australian Surveying and Land Information Group)

http://www.auslig.gov.au/marbound/ambisbig.htm

 
 

Mengasuh Celah Timor

Miliaran dolar pendapatan minyak dan gas bumi dipertaruhkan sebagai Australia terus

menggertak Timor Timur keluar dari sumber bawah laut energi.

FAISAL Chaudhry

Pecahnya bentrokan antara pasukan pemerintah dan mantan personil militer yang tidak

puas menempatkan Timor Timur, * salah satu negara di dunia terbaru, menjadi berita

utama musim semi ini. Timor Timur mencapai kemerdekaan penuh pada tahun 2002

setelah hampir tiga dekade pendudukan sangat merusak di tangan seorang militer

Indonesia yang didukung Amerika. Peristiwa akhir Mei, banyak disebabkan oleh
penembakan sekitar sepertiga dari tentara Timor menyusul pemogokan melanggar

hukum oleh tentara, dan perselisihan "komunal", memiliki akar dalam sejarah bencana

baru-baru ini Timor dan keadaan saat ini lemah. Bahkan dengan infrastruktur ekonomi

jarang yang telah dibangun selama pendudukan Indonesia yang sebagian besar hancur

oleh pendudukan berangkat dan pasukan paramiliter pada tahun 1999, negara ini

menghadapi tantangan yang besar dalam upaya untuk membangun kembali dan

mengembangkan. Luas bawah ladang minyak dan gas lepas pantai Timor bisa

menyediakan dana sangat dibutuhkan untuk pembangunan, tetapi dalam beberapa

tahun terakhir Timor telah terlibat dalam pertarungan sengit untuk mendapatkan

tetangga Australia untuk mengakui hak untuk sumber daya yang berharga.

Ada empat minyak utama dan gas di atau dekat produksi di wilayah Celah Timor yang

saat ini pada isu (lihat peta), semua dari mereka sah akan menjadi milik Timor di bawah

berlaku prinsip-prinsip hukum maritim internasional. Meskipun demikian, Australia, 240

mil laut di Laut Timor, terus mencoba untuk melegitimasi klaim sendiri untuk sumber

daya tersebut. Dengan mendorong untuk memperpanjang kerangka perjanjian bilateral

ditempa dengan Indonesia pada 1970-an dan 1980-an ke Timor Timur, Australia telah

mampu menunda penyelesaian masalah yang paling mendesak terdefinisi batas laut

permanen antara kedua negara-panjang ke masa depan yang ditunjuk, di titik mana

minyak dan gas di Celah Timor diharapkan akan habis.

jumlah luas dipertaruhkan. Sejak tahun 1999, misalnya, Australia telah menuai semua

sekitar $ 1 miliar dalam pendapatan bidang Laminaria-Corallina sekarang hampir habis


telah dihasilkan; Timor Leste telah menerima tidak ada. Mengingat lemahnya posisi

Australia, yang secara terbuka bertentangan dengan konsensus global pada sumber

daya bawah laut sebagaimana yang termaktub dalam Konvensi PBB tentang Hukum

Laut (UNCLOS), maka akan dapat memperpanjang "interim" pengaturan dari kerangka

perjanjian usang bilateral hanya selama Australia terus menolak gugatan yang berhak

Timor Timur ke sumber daya tersebut kritis.

TIMOR TIMUR TIMELINE

    * 1600: menginvasi Timor Portugis, mendirikan pos perdagangan dan cendana

menggunakan pulau itu.

    * 1749: Timor split berikut pertempuran antara Portugis dan Belanda. Portugis

mengambil bagian timur.

    * 1942: Jepang menyerang. Sampai 60.000 orang Timor Timur tewas. Jepang pada

kontrol sampai 1945.

    * 1973: Perjanjian yang ditandatangani pada tahun 1971 dan 1972 oleh Australia dan

Indonesia "Menetapkan Batas Dasar Laut Tertentu" mulai berlaku.

    * 1975: Greater Sunrise minyak dan gas di ladang ditemukan.

    * 1975: Agustus 1974 Setelah pemberontakan anti-fasis di Portugal, administrasi

Portugis menarik diri ke pulau lepas pantai Atauro.

      November: Setelah perang saudara yang singkat, Fretilin (Front Revolusioner untuk

Kemerdekaan Timor Leste) menyatakan Timor Timur independen.


      Desember: Indonesia menyerang, menggunakan memerangi komunisme sebagai

alasan. Ini lampiran Timor Timur sebagai propinsi ke-27, sebuah langkah yang tidak

diakui oleh PBB resistensi yang kuat untuk pemerintahan Indonesia yang diikuti oleh

penindasan dan kelaparan di mana 200.000 orang diperkirakan telah meninggal.

    * 1989: Australia dan Indonesia menandatangani Perjanjian Celah Timor, yang

menyediakan untuk Indonesia-Australia eksplorasi bersama di Zona disebut Koperasi

(ZOC), dengan pendapatan bersama 50-50.

    * 1991: November: Santa Cruz pemakaman pembantaian: pasukan kebakaran pada

pelayat pada pemakaman seorang pendukung kemerdekaan di Dili, menewaskan lebih

dari 100 orang.

      Desember: kontrak penghargaan Australia dan Indonesia untuk Phillips Petroleum,

Royal Belanda Shell, Woodside Energy Australia dan perusahaan lain untuk

mengembangkan sumber daya minyak / gas di ZOC. Kontrak terus diberikan sepanjang

tahun 1990-an.

    * 1999: Mei 1998 Setelah pengunduran diri Presiden Indonesia Soeharto, Indonesia

dan Portugal menandatangani perjanjian untuk mengizinkan Timor Timur untuk

memberikan suara pada masa depan mereka. Deal didukung oleh U.N.

      Agustus-Desember: Hampir 99% dari suara pemilih 450.000-kuat dalam referendum

diselenggarakan PBB, dengan 78% pemilih mendukung kemerdekaan.

      Kekerasan meletus sebagai anti-kemerdekaan milisi dibantu oleh militer Indonesia


melanjutkan kampanye teror, meninggalkan hingga 1.000 mati. Seperempat dari

penduduk melarikan diri, terutama ke Timor Barat. Darurat militer diberlakukan.

pasukan penjaga perdamaian yang dipimpin Australia datang, secara bertahap

memulihkan ketertiban. Banyak anggota milisi melarikan diri ke Timor Barat untuk

menghindari penangkapan. parlemen Indonesia mengakui hasil referendum.

Administrasi Transisi PBB di Timor Timur (UNTAET) dibentuk.

    * 2000: Australia dan UNTAET menandatangani nota kesepahaman atas pendapatan

pada masa mendatang dari minyak Laut Timor, ladang gas, mengubah nama ZOC

sebagai Joint Petroleum Development Area; terus split pendapatan 50-50 dari

perjanjian-perjanjian sebelumnya dengan Indonesia.

    * 2001: UNTAET dan Timor Leste Perdana Menteri Mari Alkatiri menandatangani

Pengaturan Laut Timor dengan Australia, yang meningkatkan pangsa Timor Timur

minyak hulu dan pendapatan gas dari JPDA sampai 90%.

    * 2002: Maret Australia diam-diam menarik diri dari proses internasional untuk

menyelesaikan sengketa batas maritim di bawah UNCLOS dan Mahkamah

Internasional.

      20 Mei: Timor Timur kemerdekaan penuh keuntungan. Australia dan Timor Timur

menandatangani Perjanjian Laut Timor untuk menggantikan 2001 Pengaturan Laut

Timor, dengan persyaratan.

    * 2003: Januari: The East Timor Action Network menunjukkan di Washington untuk

menuntut bahwa Australia mematuhi hukum internasional, yang pertama dari

demonstrasi tersebut banyak selama 2 ½ tahun ke depan.


    * 2004: Produksi ladang gas Bayu Undan dimulai; proyek diharapkan dapat $ 100mA

tahun. Peluncuran kampanye baru untuk memprotes pencurian Australia sumber daya

Timor Timur: Laut Timor Keadilan Kampanye di Australia dan Gerakan melawan

Pendudukan Laut Timor di Timor Timur.

    * 2006: Januari: Australia dan Timor Timur menandatangani Perjanjian tentang

Pengaturan Kelautan Tertentu di Laut Timor (CMATS), meningkatkan pangsa Timor

pendapatan dari Greater Sunrise dari 18% menjadi 50% tetapi mendorong penentuan

batas laut permanen 30-50 tahun ke depan. Laporan dugaan kekejaman selama

pemerintahan di Indonesia 24 tahun disajikan untuk PBB ini menemukan bahwa

pendudukan secara langsung bertanggung jawab atas kematian lebih dari 100.000

orang Timor Timur.

Sumber: BBC News, "Timeline: Timor Timur," Mei 2006; Buletin La'o Hamutuk, April

2006.

PENGEMBANGAN DAN REKONSTRUKSI DALAM BANGUN BENCANA

Pada bulan Desember 1975 Indonesia menginvasi dan menduduki Timor Timur,

sembilan hari setelah bangsa 600.000 telah menyatakan kemerdekaannya dari

Portugal. pendudukan brutal Indonesia yang berlangsung selama 24 tahun dan

mengambil kehidupan salah satu yang diperkirakan sepertiga penduduk Timor.

Menyusul Agustus 1999 referendum di mana Timor Timur memilih sangat untuk

kemerdekaan, Indonesia dan milisi Indonesia yang didukung mengamuk di seluruh

negeri, menewaskan lebih dari 1.000, memindahkan 75% dari populasi, dan
menghancurkan jaringan seluruh listrik Timor, tiga-perempat dari bangunan , dan

sebagian besar infrastruktur lainnya. Awal tahun 1999-an, kekuatan penjaga

perdamaian Perserikatan Bangsa-dipimpin internasional membawa tenang, dan Timor

mencapai kemerdekaan penuh pada Mei 2002.

Namun negara baru telah berjuang untuk membangun kembali dan mengembangkan.

2004 Timor PDB sebesar sekitar $, 370 juta atau $ 400 per kapita. Secara keseluruhan,

negara peringkat 140 dari 177 indeks pembangunan manusia Program Pembangunan

PBB di tahun 2005, menempatkannya tepat di atas Sudan, Kongo, dan Zimbabwe.

Timor adalah sangat tergantung pada bantuan internasional: sebagai tahun 2003

negara telah menerima jumlah terbesar bantuan luar negeri per kapita dari setiap

masyarakat pasca-konflik. Selain itu, ini tidak termasuk anggaran dari misi PBB

beberapa yang sudah beroperasi di Timor sejak tahun 1999. Secara keseluruhan, arus

total bantuan hampir sama dengan PDB tahunan rata-rata dari sektor non-minyak

perekonomian.

Pada saat yang sama, Timor telah menjadi sangat tergantung impor. Pada tahun 2004,

misalnya, ekspornya hanya $ 7 juta, hampir kopi semua. Pada tahun yang sama,

negara itu mengimpor $ 113.000.000 senilai barang. Ironisnya, hampir sepertiga dari

impor bahan bakar fosil. Pemerintah awalnya diproyeksikan kekurangan anggaran

sebesar $ 126.000.000 untuk tahun 2005 sampai 2007, membawa dengan itu prospek

jatuh ke dalam utang kepada lembaga-lembaga keuangan internasional. Prospek fiskal

baru-baru ini cerah, tapi tetap mengkhawatirkan.


Mengingat kesulitan-kesulitan ini, kontrol atas gas Timor dan sumber daya minyak

sangat penting untuk prospek untuk menempa jalur independen pembangunan. Celah

Timor terletak baik di dalam garis tengah melintasi Laut Timor yang memisahkan kedua

negara-baris yang, menurut ketentuan UNCLOS, kemungkinan akan menandai batas

maritim yang tepat permanen antara kedua negara.

Namun, Australia adalah berpegangan pada serangkaian perjanjian, pada awalnya

negosiasi dengan Indonesia 1971-1973, yang ditetapkan batas-batas dasar laut tertentu

yang jauh di utara garis tengah. Meskipun perjanjian batas seperti biasanya tetap,

mereka hanya berlaku untuk negara-negara negosiasi mereka-dalam hal ini, Australia

dan Indonesia. Portugal menolak untuk mengambil bagian dalam negosiasi, sehingga

perjanjian tidak berlaku ke Timor Timur sebagai koloni Portugis, dan jelas tidak hari ini

sebagai bangsa merdeka. (Nama "Celah Timor" bukan referensi fisik, tetapi lebih

mengacu pada diskontinuitas dalam batas-batas ditetapkan dalam perjanjian awal

1970-an akibat ketidakhadiran Portugal dari perundingan.)

Satu-satunya negara barat untuk mengakui 1975 aneksasi Indonesia atas Timor Timur,

Australia mulai negosiasi lebih lanjut dengan Indonesia pada akhir tahun 1970 untuk

mencoba "menutup" "celah." Perundingan ini gagal, akhirnya, kedua negara sepakat

untuk menjatuhkan isu batas dan bukan hanya bernegosiasi suatu rencana

pengembangan minyak bumi. Pada tahun 1989 mereka menandatangani Perjanjian

Celah Timor, yang dinamai kembali daerah yang "Zona Kerja Sama" (ZOC): dua negara
sepakat untuk membagi pendapatan dari kegiatan eksplorasi minyak bersama di celah

sama. Perjanjian 1989 tidak hanya mengabaikan prinsip garis tengah untuk

menentukan batas maritim, tetapi status Timor sebagai wilayah yang direbut dan

diduduki secara ilegal juga.

Greater Sunrise, terbesar dari empat bidang di pusat sengketa saat ini, ditemukan pada

tahun 1974. Hanya 20% dari luas geografisnya diantaranya berada di dalam ZOC. Sisa

tiga bidang semua ditemukan pada pertengahan sampai akhir 1990-an. Bayu-Undan,

Elang terbesar berikutnya, dan-Kakatua yang keduanya terletak sepenuhnya di dalam

ZOC. Laminaria-Corallina terletak dekat dengan garis pantai Timor Timur namun jatuh

di luar dari ZOC (meskipun beberapa ahli geologi percaya reservoir yang meluas ke

ZOC). Untuk alasan ini, jika Australia berhasil melanjutkan menerapkan ketentuan

perjanjian bilateral dengan Indonesia di Timor Timur, Timor tidak akan menerima

pendapatan dari lapangan tersebut. Pendapatan distribusi untuk tiga bidang utama

lainnya agak lebih adil tapi masih sangat bermasalah. Dan Australia cenderung

melemparkan setiap pergeseran pengaturan pendapatan sebagai "konsesi" pada

bagian.

Sebagai contoh, sebagai akibat dari tekanan internasional yang berkelanjutan, di bawah

Januari 2006 Tertentu Maritim Pengaturan di Laut Timor (atau CMATS) perjanjian, yang

sudah dianggap sebagai sesuatu dari terobosan, pendapatan dari Greater Sunrise

harus dibagi secara seimbang ketika produksi dimulai dalam beberapa tahun (di bawah

lisensi yang telah ditetapkan untuk sebuah perusahaan Australia, Woodside


Petroleum). Sebelum ini "terobosan," pemerintah Australia telah lama bersikeras bahwa

mereka akan mengakui hanya 18% dari pendapatan dari lapangan ke Timor, secara

proporsional dengan porsi Greater Sunrise yang berada dalam ZOC. Tapi meskipun

perjanjian baru mencerminkan kemenangan yang signifikan bagi Timor Timor serta

bukti kekuatan kampanye tekanan yang dilakukan terhadap split Australia-the 50-50

masih jauh dari 100% penuh dari pendapatan Sunrise bahwa Timor akan ditugaskan di

bawah prinsip garis tengah untuk menyelesaikan batas laut permanen dengan

Australia. (Perjanjian Januari hanya mencakup pendapatan hulu, dengan kata lain,

ekstraksi sumberdaya dan transfer ke dalam pipa atau kapal laut. Distribusi pendapatan

hilir dari Sunrise, yaitu kegiatan pengolahan seperti penyulingan, tetap menjadi masalah

yang luar biasa besar.) Dalam CMATS, arus pendapatan dari dua bidang lain yang

dipermasalahkan, Elang-Kakatua dan Bayu-Undan, tunduk pada skema distribusi di

mana Au stralia akan mempertahankan semua penghasilan dari kegiatan pengolahan

hilir (untuk gas) dan 10% dari pendapatan dari ekstraksi hulu ( untuk minyak dan gas),

dengan 90% dari laba hulu akan ke Timor Timur.

$ 1 milyar Australia telah menerima pendapatan dari hanya ladang Laminaria-Corallina

sejak tahun 1999 beberapa kali jumlah bantuan pembangunan Australia telah diberikan

kepada Timor Timur pada periode yang sama, dan pada rekening yang telah diterima

dan diberikan sendiri mendapat sambutan besar. Pada tahun 2003 saja, pendapatan

dari Laminaria-Corallina datang ke $ 172.000.000, hampir dua kali lipat anggaran

pemerintah Timor Leste untuk tahun itu. Setelah ladang Greater Sunrise datang ke

dalam produksi, diproyeksikan untuk menghasilkan sebanyak $ 40 milyar pendapatan


selama masa pakai baterai; bawah CMATS Timor adalah karena hanya menerima

setengah dari jumlah ini.

Menghindari HUKUM INTERNASIONAL

Menurut ketentuan UNCLOS, garis tengah antara dua negara harus batas dianggap

mereka (lihat "Hukum Laut: A Brief primer"). Dalam kasus di Laut Timor, namun klaim

Australia bahwa batas maritim dengan Timor harus diselesaikan sesuai dengan

geomorfologi prinsip-dasar laut landas kontinen yang sudah ketinggalan zaman. Dan,

tentu, Australia menyatakan bahwa landas kontinen sendiri adalah terutama

memanjang, membentang sepanjang jalan sampai ke Palung Timor yang disebut,

sekitar 40 mil laut dari pantai Timor. (Intinya adalah salah satu yang ahli geologi tidak

setuju.) 1971 Indonesia's perjanjian batas dasar laut dengan Australia mencerminkan

pandangan ini, menempatkan garis batas tepat di sebelah selatan Palung Timor, sekitar

80 mil laut utara garis tengah.

Mengingat kerangka hukum UNCLOS, posisi Australia yang luar biasa: tuntutan untuk

tidak kurang dari diizinkan untuk mengklaim hampir semua rentang 238-bahari-mil di

antara itu dan Timor sebagai sendiri.

Tidaklah mengherankan, maka, bahwa Australia telah berupaya untuk menghindari

pengawasan serius dari klaim di bawah hukum internasional. Pada bulan Maret 2002,

negara mengumumkan bahwa akan melaksanakan opsi untuk menarik diri dari

yurisdiksi Mahkamah Internasional atas sengketa mengenai eksploitasi sumber daya di


daerah yang dipersengketakan dan dari yurisdiksi UNCLOS 'Pengadilan Internasional

untuk Hukum Laut perselisihan tentang batas maritim. Keputusan ini datang hanya dua

bulan sebelum akhir pengawasan Timor Timur oleh Administrasi Transisi PBB, pada

saat itu, sebagai negara merdeka dan berdaulat penuh, itu akan jauh lebih dekat untuk

mencapai berdiri untuk membawa sengketa maritim seperti di kedua tempat.

Sebuah ABADI "INTERIM"

Sejak tahun 1999, Australia telah mampu menunda penyelesaian masalah batas laut

permanen dengan tetapi sebaliknya berfokus pada "perjanjian sementara" yang

berusaha untuk memindahkan mesin dari kerangka perjanjian sebelumnya bilateral

dengan Indonesia ke Timor Timur yang merdeka. The Juli 2001 Laut Timor Pengaturan,

negosiasi sedangkan PBB masih mengawasi transisi Timor Lorosa'e untuk

kemerdekaan, memulai proses re-legitimasi 1989 Celah Timor-sebuah pakta tercemar,

setelah semua, negosiasi dengan kekuatan pendudukan yang kedaulatan atas wilayah

pada masalah telah diakui oleh hampir tidak ada orang lain selain Australia sendiri.

Dalam pengaturan 2001, Australia berusaha untuk menghapus sejarah ini dinodai,

terutama oleh kembali pembaptisan ZOC sebagai "Petroleum Bersama Pembangunan

Daerah" (JPDA) dan dengan menetapkan split, pendapatan baru seolah-olah lebih

murah hati memberikan Timor 90% dari hulu pendapatan minyak dan gas dari kegiatan

di JPDA.

Pada tahun 2002, hanya 12 jam setelah mencapai kedaulatan penuh, pemerintah Timor

Leste menyetujui Perjanjian Laut Timor baru pada dasarnya identik dengan susunan
2001 (dan efektif dinegosiasikan oleh administrasi transisi PBB). Perjanjian 2002 sekali

lagi menunda soal batas maritim permanen, pada saat yang sama, membuat otoritas

pembangunan 30-tahun untuk proyek-proyek di JPDA.

Pemerintah Timor Leste menghadapi kritik domestik yang signifikan untuk

menandatangani perjanjian 2002. Namun, kritik ini harus lebih berkaitan dengan strategi

daripada dengan tujuan yang mendasarinya, menurut Charles Scheiner, seorang

peneliti dengan La'o Hamutuk / Institut Pemantau dan Analisis Rekonstruksi, sebuah

kelompok masyarakat sipil yang mempromosikan transparansi dan partisipasi

masyarakat dalam pembangunan negara . "Itu dibuat jelas kepada pemerintah Timor

Leste bahwa jika tidak menandatangani perjanjian itu, pendapatan yang sangat

dibutuhkan segera akan mulai menerima dari lapangan Bayu-Undan bisa tertunda

tanpa batas waktu," catatan dia. Masyarakat sipil dan kelompok-kelompok

pembangunan ingin menjaga perjuangan untuk kemerdekaan penuh, termasuk batas

maritim yang adil dan permanen, namun pemerintah, di bawah kemudian-Perdana

Menteri Mari Alkatiri, lebih khawatir tentang pertemuan kebutuhannya sehari-hari untuk

pendapatan. Scheiner juga pandangan oposisi baru untuk Alkatiri, yang menyebabkan

pengunduran dirinya Juni ini, sebagaimana sebagian besar tidak berhubungan dengan

divisi domestik selama negosiasi maritim negara itu dengan Australia.

HUKUM LAUT ATAS: A MINI-PRIMER

Pada tahun 1945, Presiden Harry Truman secara sepihak menyatakan bahwa Amerika

Serikat selanjutnya akan berhak atas semua sumber daya alam di kontinen-rak daerah
dangkal tak jauh dari pantai, meluas ke mana dasar laut turun ke bawah tajam. Dengan

demikian, Truman mulai suatu gerakan menjauh dari "tembakan meriam" prinsip hukum

maritim yang lebih tua, di mana hak-hak bangsa diperpanjang hanya enam kilometer

dari pantainya. Tapi persis di mana rak kontinental akhir dan dasar laut dimulai

seringkali masalah sengketa, dan awal 1970-an prinsip benua-rak baru sudah

menimbulkan konflik. Sebagai tanggapan, sebuah proses PBB-dimediasi menulis ulang

hukum maritim dipercepat sampai, pada tahun 1982, Konvensi PBB tentang Hukum

Laut (UNCLOS) telah selesai. Konvensi baru mulai berlaku penuh pada bulan

November 1994. Baik Indonesia dan Australia adalah penandatangannya; Timor

Lorosa'e belum menandatangani.

Dalam konvensi tersebut, negara memiliki hak politik dan ekonomi secara penuh

selama 12 mil laut dari pantai pertama mereka, mereka "perairan teritorial," dan hak

parsial selama 12 mil laut berikutnya. Yang pertama 200 mil laut adalah zona yang

disebut ekonomi eksklusif dalam bangsa yang memiliki hak penuh untuk

mengeksploitasi sumber daya kelautan dan bawah.

Bagaimana jika, seperti dalam kasus Timor Timur dan Australia, dua negara kurang dari

400 mil laut terpisah? Dalam kasus tersebut, mandat UNCLOS negosiasi sebagai

langkah pertama untuk memilah tumpang tindih klaim ke wilayah laut yang umum dan

mendukung prinsip garis tengah sebagai norma pedoman untuk menyelesaikan klaim

tersebut. Australia sendiri telah mengakui prinsip garis tengah, misalnya, dalam

perjanjian 1997 unratified dengan Indonesia mengenai batas kolom air (untuk perikanan
daripada sumber daya bawah laut) di wilayah yang tepat dari Laut Timor sekarang di

isu. Dan pada bulan Juli 2004, Australia menerima prinsip median line untuk

menyelesaikan batas maritim dengan Selandia Baru-meskipun dalam kasus ini daerah

dasar laut yang dimaksud tidak diyakini memiliki cadangan minyak signifikan atau gas.

Pada tahun 2004, Menteri Luar Negeri Timor Leste Jose Ramos-Horta menawarkan

untuk menyerah klaim Timor berhak untuk batas laut permanen sampai cadangan

minyak semua di daerah Celah Timor lelah. Sebagai gantinya, ia mencari kesepakatan

Australia untuk memberikan bagian yang lebih besar pendapatan dari minyak bumi dan

ladang gas yang dipersengketakan. Pada waktu itu tawaran itu bertemu dengan

antusias sedikit demi Menteri Luar Negeri Australia Alexander Downer, meskipun

sekarang tampaknya mendasari kesediaan Australia untuk reapportion pendapatan

hulu dari gas Greater Sunrise sebagai bagian dari perjanjian CMATS tahun ini.

Sedangkan bagian yang lebih besar dari pendapatan Greater Sunrise yang CMATS

memberikan Timor ini disambut baik, dalam hal-hal lain bergerak perjanjian baru lebih

jauh dari sekedar resolusi. CMATS memungkinkan penyelesaian batas permanen harus

ditunda selama 50 tahun, adanya lonjakan selama jangka waktu Perjanjian Laut Timor

tentang 30 tahun. Sebagai catatan La'o Hamutuk, "[t] ia 50 tahun lamanya tampaknya

didasarkan pada alasan komersial, memberikan kepastian bagi perusahaan minyak

untuk eksplorasi dan eksploitasi sumber daya minyak bumi tanpa perubahan

kepemilikan sampai minyak dan gas habis."


Bahkan, CMATS mengamanatkan bahwa pihak dapat bahkan tidak begitu banyak

seperti menaikkan "dalam hal organisasi internasional yang, langsung atau tidak

langsung, yang relevan dengan batas maritim atau delimitasi di Laut Timor" dan bahwa

partai tidak berada di bawah kewajiban apapun "untuk bernegosiasi permanen batas

laut untuk periode "perjanjian internasional tersebut. Perjanjian tersebut melarang pihak

dari mencari solusi hukum yang relevan dan menetapkan bahwa hampir semua

perselisihan harus diselesaikan melalui "negosiasi" dan "konsultasi." daya tawar unggul

Australia kemungkinan akan memungkinkan untuk menang dalam negosiasi atau

konsultasi.

Mengingat keberhasilan Australia di meja perundingan, pada tahun 2001 kelompok-

kelompok masyarakat sipil Timor Leste mulai mendesak untuk memiliki pendapatan

Australia dari sumber daya jatuh di pihak Timor Leste dari garis tengah ditempatkan di

percaya sampai sengketa batas sepenuhnya diselesaikan. Panggilan ini hanya

berlanjut di bangun dari CMATS, sebagaimana telah kegagalan Australia untuk

merespon kepada mereka dengan cara apapun.

TANTANGAN KE DEPAN

Saat ini, baik pemerintah Timor Leste dan masyarakat sipil dan kelompok-kelompok

pembangunan menemukan dirinya pada saat yang krusial. Pertama, mereka harus

menilai segala kemungkinan yang tersisa untuk bekerja menuju batas laut permanen

sesuai dengan prinsip-prinsip UNCLOS dan memutuskan apakah strategi bukannya

harus fokus hanya pada pencapaian pemerataan, dalam kerangka "sementara", di


mana isu-isu yang beredar tetap (pendapatan hilir dari Sunrise , misalnya).

Kedua, perselisihan sipil musim panas ini sekali lagi membawa pasukan asing-terutama

Australia-ke Timor. Tapi bantuan Australia mungkin memiliki label harga. Beberapa

pengamat khawatir bahwa Australia mungkin, misalnya, permintaan bahwa Timor

membayar pengeluaran penjaga perdamaian atau bahkan menegosiasikan kembali

CMATS sehingga dapat memutar kembali keuntungan parsial bahwa perjanjian yang

ditawarkan Timor.

Akhirnya, bahkan di bawah kerangka perjanjian saat ini, dalam waktu lima tahun Timor

akan memperoleh beberapa 89% dari PDB dan 94% dari pendapatan pemerintah dari

penjualan minyak dan gas dari Bayu-Undan saja, menurut perkiraan La'o Hamutuk.

Jadi, bahkan jika Timor tidak akan menerima adil dari pendapatan minyak dan gas,

ketergantungan pada pendapatan yang akan menerima akan menimbulkan

serangkaian kompleks tantangan yang sama dengan setiap negara berkembang yang

kaya minyak harus dihadapi. Ada alasan bagus yang mayoritas di negara-negara

miskin tapi kaya minyak yang datang menganggap minyak mereka sebagai kutukan.

Dalam banyak kasus, negara-negara ini berakhir dengan korupsi buruk, bahaya

lingkungan yang lebih serius, pembangunan ekonomi lebih lambat, dan investasi

kurang dalam pendidikan dan infrastruktur dari rekan-rekan mereka miskin sumber

daya. Terjerat dalam geopolitik yang sangat militeristis dari bisnis minyak internasional,

mereka menghadapi tantangan yang hampir mustahil mereka mengelola Big Oil mitra

perusahaan dan risiko konstan intervensi minyak terkait.


Pada tahun 2005, pemerintah Timor mendirikan Dana Minyak untuk menahan

pendapatan minyak dan gas untuk investasi masa depan; dana telah sekitar $ 600 juta

deposito sampai saat ini. Selain itu, legislatif telah lulus UU Minyak, Dana Minyak Act,

dan Produksi Model Kontrak Bagi Hasil (template untuk kontrak individual akan

ditandatangani dengan perusahaan minyak) untuk membentuk suatu kerangka

peraturan untuk mengelola sumber daya minyak dari perairan Timor daratan dan

eksklusif serta dari JPDA.

Pembentukan kerangka peraturan untuk industri minyak adalah perkembangan yang

disambut baik, mengurangi kemungkinan keputusan yang tidak akuntabel dan

sewenang-wenang yang dapat menghambur-hamburkan minyak berharga dan

pendapatan gas. Namun, kritikus khawatir bahwa hal itu tetap tidak memadai di

beberapa daerah, termasuk transparansi keseluruhan, yang ketentuan tentang

akuntabilitas korporasi, tingkat daya itu tempat di tangan Perdana Menteri, dan tingkat

keterlibatan masyarakat itu memungkinkan dalam keputusan yang sedang berlangsung

tentang aplikasi pendapatan diharapkan upaya pembangunan daerah. Selain itu,

kerangka saat ini tidak cukup menentukan hubungan yang tepat Lorosae harus dengan

minyak dan gas multinasional itu akan harus bergantung pada. (Salah satu item

masukan LSM pemerintah tidak menerima dalam penyusunan UU Minyak:. Suatu

ketentuan yang memungkinkan untuk sebuah perusahaan minyak pemerintah yang

bisa memiliki sampai 20% dari setiap proyek minyak dan gas di darat atau di perairan

nasional Timor)
Kekerasan terbaru dan kekacauan politik di Timor hanya mempertinggi impor semua

pertanyaan ini. Biasanya, pers barat telah membingkai kisah sebagai salah satu

pemimpin yang haus kekuasaan (mantan Perdana Menteri Alkatiri) kehilangan kendali

atas-gagal-negara di-cerita-pembuatan yang tidak dimulai untuk menangkap

kompleksitas Timor sejarah dan keadaan saat ini. Dicap sebagai "Marxis" dan

"ekstrimis" oleh beberapa pengkritiknya, Alkatiri muncul di kali untuk mengikuti jalur

ekonomi-nasionalis yang bertemu dengan ketidaksetujuan dari Australia dan kekuatan

lainnya. Ia menyatakan keengganan untuk sepenuhnya menerima paradigma

pembangunan yang dominan neoliberal, meskipun persis berapa banyak kebijakannya

mencerminkan keengganan ini adalah menjadi bahan perdebatan. Di bawah Alkatiri,

catatan La'o Hamutuk Scheiner, "dimodifikasi pemerintah pendekatan umum ke

Australia untuk menjadi lebih dekat untuk memanggil gerakan populer untuk mengakhiri

pendudukan Laut Timor." Sebagai cerita lengkap di balik pengusiran baru-baru ini

datang kepada terang, faktor-faktor ini mungkin berubah menjadi bagian dari itu.

Dalam hal apapun, hubungan antara pergolakan terbaru dan latar belakang umum

pengangguran dan kemiskinan yang Laut Timor sumber daya energi dapat digunakan

untuk alamat yang jelas. Jika pemerintah dan aktivis terus menekan Australia, yang

berkelanjutan perampasan sumber daya Lorosa'e telah menjadi penyebab prinsip

masalah saat ini, janji dari minyak negara itu dan kekayaan gas untuk mulai memenuhi

kebutuhan masyarakat dan mencegah kekerasan lebih lanjut hanya akan tumbuh.

Tetapi sumber daya ini perlu digunakan dengan baik untuk mencapai pembangunan
yang sejati, adil, dan berkelanjutan. Untuk tujuan ini, perhatian terus menerus dan

pemahaman situasi Timor oleh orang luar perbatasan nya akan sama pentingnya bagi

rakyatnya seperti yang telah sepanjang sejarah negara mereka baru-baru ini dan sia-sia

tragis.

Faisal Chaudhry, anggota D & S kolektif, adalah seorang pengacara dan Ph.D. calon

dalam sejarah di Harvard University. Ia mempelajari hubungan historis antara

pemerintahan kolonial dan evolusi hukum dan sistem hukum di beberapa bagian Asia

dan Afrika, serta perdagangan kontemporer, hak asasi manusia, dan isu-isu

pembangunan.

TIMOR TIMUR: Scrap Perjanjian Celah Timor

Rabu, 21 Februari 2001 - 11:00

TANAH OLEH JON

Pemerintah Australia berupaya untuk mencegah Timor Timur dari memperoleh hak
berdaulat penuh atas minyak besar dan cadangan gas di Laut Timor yang diharapkan

akan menghasilkan ratusan juta dolar dalam royalti selama 20 sampai 25 tahun

mendatang.

Dengan menyatakan bahwa syarat-syarat saat ini Celah Timor harus tetap tidak

berubah, pemerintah Perdana Menteri John Howard sedang mencoba untuk menipu

rakyat Timor Timur dari pendapatan yang vital, sehingga mengurangi kemampuan

independen Timor Lorosa'e untuk membangun kembali infrastruktur hancur dan

ekonomi.

Ketika perjanjian itu ditandatangani pada tanggal 11 Desember 1989, dengan bahasa

Indonesia menteri luar negeri Ali Alatas dan mitra Australia, Tenaga Kerja Gareth

Evans, itu dipuji sebagai langkah besar dalam hubungan antara kedua negara. Dengan

mengadakan dewan antar-menteri perdana di Bali pada tanggal 9 Februari 1991,

perjanjian tersebut secara resmi mulai berlaku, sehingga kediktatoran Suharto dan

pemerintah Buruh yang dipimpin Bob Hawke untuk menyetujui kontrak dengan

perusahaan petrokimia yang antri untuk mengembangkan orang kaya bidang di Celah

Timor.

Pemimpin perlawanan Timor Timur Xanana Gusmao melewati sebuah surat kepada

Perdana Menteri Bob Hawke melalui delegasi parlemen Australia mengunjungi Timor

Timur pada Februari, 1991. Gusmao mengutuk perjanjian itu sebagai "pengkhianatan

total" dari rakyat Timor-Leste oleh Australia. Sebuah prasyarat bagi pembentukan
perjanjian (dan kelanjutan nya) adalah pengakuan oleh pemerintah Australia berturut-

turut kedaulatan Indonesia atas Timor Timur.

Perbaikan dalam hubungan antara Indonesia dan Australia setelah penandatanganan

perjanjian itu bertepatan dengan gelombang brutal represi militer di seluruh Timor

Timur, dimaksudkan untuk menghancurkan perlawanan rakyat Timor Timur. Upaya-

upaya khusus ditujukan melanggar tekad generasi baru mahasiswa Timor Timur dan

aktivis pemuda yang mengembangkan jaringan bawah tanah yang luas di setiap kota

dan desa.

Pada tanggal 11 Desember 1991, hanya satu bulan setelah pembantaian di

pemakaman Santa Cruz di Dili yang merenggut ratusan nyawa, Australia

menandatangani perjanjian dengan Indonesia untuk penghargaan Celah Timor kontrak

kepada perusahaan-perusahaan eksplorasi. Evans menuduh bahwa pembunuhan

bukan tindakan yang disengaja dari kediktatoran Suharto tetapi hanya "produk dari

perilaku menyimpang oleh kelompok-sub" dan karena itu tidak membenarkan

perubahan kebijakan terhadap Indonesia atau suspensi kegiatan di Celah Timor.

kontrak lebih awal diberikan pada tahun 1992. Perlombaan untuk mendapatkan akses

ke cadangan dikenal dan potensi telah dimulai dengan sungguh-sungguh, terutama di

daerah A dari zona kerjasama. Antara 1989 dan 1999, gas dan minyak perusahaan

menghabiskan $ 485.000.000 untuk mengeksplorasi dan $ 196 juta untuk

mengembangkan deposit di area A.


Industri minyak dan gas bumi, melalui kekuatan besar politik dan pengaruh, memainkan

peran penting dalam membentuk hasil akhir dari perjanjian tersebut. Untuk menyukai

minyak Australia-based dan perusahaan gas seperti BHP, Woodside, Santos dan

Petroz, eksplorasi Celah Timor kebingungan pada 1990-an adalah "hadiah" mereka

untuk tahun lobi dan pertemuan pribadi dengan menteri-menteri pemerintah.

Dengan mayoritas orang Timor-Leste memilih untuk merdeka dalam referendum tahun

1999, prospek perubahan terhadap perjanjian telah menimbulkan "kekhawatiran" dari

perusahaan ini dan lainnya, seperti Phillips yang berbasis di AS dan Inggris-Belanda

Shell korporasi.

kepemimpinan Timor Lorosa'e telah menyatakan, dalam beberapa kesempatan, bahwa

sementara dianggap perjanjian ilegal dan tidak sah (seperti halnya PBB), ia ingin

proyek minyak dan gas untuk melanjutkan. Dalam hal Timor Timur mendapatkan hak

berdaulat penuh atas sumber daya dasar laut, para pemimpin Timor Timur telah

menyatakan bahwa persyaratan fiskal bagi perusahaan yang beroperasi di celah

tersebut akan tetap sama.

Pemerintahan Howard telah berupaya untuk memanipulasi renegosiasi perjanjian,

mengutip "pemeliharaan kepercayaan investor" dan "kepentingan nasional" sebagai

alasan mengapa hal perjanjian tidak harus diubah.


Hal ini dikabarkan bahwa pada putaran berikutnya pembicaraan resmi tentang masa

depan perjanjian antara PBB, Timor Timur dan perwakilan pemerintah Australia,

Australia dapat menerima bagian lebih besar dari royalti akan ke Timor Timur.

Pemerintah Australia tampaknya enggan untuk mengalah pada masalah membangun

kembali batas dasar laut di sepanjang garis setengah-setengah (sesuai dengan hukum

internasional dan norma-norma) antara Timor Leste dan Australia.

Minyak signifikan dan cadangan gas di Celah Timor merupakan faktor utama di balik

dukungan Australia untuk invasi Indonesia dan 24 tahun pendudukan selama Timor

Timur. Dengan menempel Celah Timor tidak adil dan tidak bermoral Perjanjian,

pemerintah Howard terus menyangkal rakyat Timor Timur ekspresi penuh dan bebas

dari hak mereka untuk menentukan NASIB SENDIRI.

You might also like