You are on page 1of 14

PERSAMAAN DAN PERBEDAAN KEBIJAKAN

EKONOMI PADA MASA ORDE LAMA, ORDE


BARU DAN REFORMASI
PERSAMAAN

o Sama-sama masih terdapat ketimpangan ekonomi, kemiskinan, dan ketidakadilan


Setelah Indonesia Merdeka, ketimpangan ekonomi tidak separah ketika zaman penjajahan
namun tetap saja ada terjadi ketimpangan ekonomi, kemiskinan, dan ketidakadilan.
Dalam 26 tahun masa orde baru (1971-1997) rasio pendapatan penduduk daerah terkaya
dan penduduk daerah termiskin meningkat dari 5,1 (1971) menjadi 6,8 (1983) dan naik
lagi menjadi 9,8 (1997). Ketika reformasi ketimpangan distribusi pendapatan semakin
tinggi dari 0,29 (2002) menjadi 0,35 (2006).
Sehingga dapat dikatakan bahwa kaum kaya memperoleh manfaat terbesar dari
pertumbuhan ekonomi yang dikatakan cukup tinggi, namun pada kenyataanya tidak
merata terhadap masyarakat.

o Adanya KKN (Korupsi, Kolusi, Nepotisme)


Orde Lama: Walaupun kecil, korupsi sudah ada.

Orde Baru: Hampir semua jajaran pemerintah koruptor (KKN).

Reformasi: Walaupun sudah dibongkar dan dipublikasi di mana-mana dari media


massa,media elektronik,dll tetap saja membantah melakukan korupsi.

Hal ini menimbulkan krisis kepercayaan masyarakat yang sulit untuk disembuhkan akibat
praktik-pratik pemerintahan yang manipulatif dan tidak terkontrol.

o Kebijakan Pemerintah
Sejak pemerintahan orde lama hingga orde reformasi kini, kewenangan menjalankan
anggaran negara tetap ada pada Presiden (masing-masing melahirkan individu atau
pemimpin yang sangat kuat dalam setiap periode pemerintahan sehingga menjadikan
mereka seperti “manusia setengah dewa”). Namun tiap-tiap masa pemerintahan
mempunyai cirinya masing-masing dalam menjalankan arah kebijakan anggaran negara.
Hal ini dikarenakan untuk disesuaikan dengan kondisi: stabilitas politik, tingkat ekonomi
masyarakat, serta keamanan dan ketertiban.

Kebijakan anggaran negara yang diterapkan pemerintah selama ini sepertinya


berorientasi pada ekonomi masyarakat. Padahal kenyataannya kebijakan yang ada
biasanya hanya untuk segelintir orang dan bahkan lebih banyak menyengsarakan rakyat.
Belum lagi kebijakan-kebijakan yang tidak tepat sasaran, yang hanya menambah beban
APBN. Bila diteliti lebih mendalam kebijakan-kebijakan sejak Orde Baru hingga
sekarang hanya bersifat jangka pendek. Dalam arti kebijakan yang ditempuh bukan untuk
perencanaan ke masa yang akan datang, namun biasanya cenderung untuk mengatur hal-
hal yang sedang dibutuhkan saat ini.
PERBEDAAN :
- Orde lama (Demokrasi Terpimpin)
1. Masa Pasca Kemerdekaan (1945-1950)
Keadaan ekonomi keuangan pada masa awal kemerdekaan amat buruk, antara lain
disebabkan oleh :
a. Inflasi yang sangat tinggi, disebabkan karena beredarnya lebih dari satu mata uang
secara tidak terkendali. Pada waktu itu, untuk sementara waktu pemerintah RI
menyatakan tiga mata uang yang berlaku di wilayah RI, yaitu mata uang De Javasche
Bank, mata uang pemerintah Hindia Belanda, dan mata uang pendudukan Jepang.
Kemudian pada tanggal 6 Maret 1946, Panglima AFNEI (Allied Forces for Netherlands
East Indies/pasukan sekutu) mengumumkan berlakunya uang NICA di daerah-daerah
yang dikuasai sekutu. Pada bulan Oktober 1946, pemerintah RI juga mengeluarkan uang
kertas baru, yaitu ORI (Oeang Republik Indonesia) sebagai pengganti uang Jepang.
Berdasarkan teori moneter, banyaknya jumlah uang yang beredar mempengaruhi
kenaikan tingkat harga.
b. Adanya blokade ekonomi oleh Belanda sejak bulan November 1945 untuk menutup
pintu perdagangan luar negeri RI.
c. Kas negara kosong.
d. Eksploitasi besar-besaran di masa penjajahan.
Usaha-usaha yang dilakukan untuk mengatasi kesulitan-kesulitan ekonomi, antara lain :
a.Program Pinjaman Nasional dilaksanakan oleh menteri keuangan Ir. Surachman dengan
persetujuan BP-KNIP, dilakukan pada bulan Juli 1946.
b.Upaya menembus blokade dengan diplomasi beras ke India, mangadakan kontak
dengan perusahaan swasta Amerika, dan menembus blokade Belanda di Sumatera dengan
tujuan ke Singapura dan Malaysia.
c.Konferensi Ekonomi Februari 1946 dengan tujuan untuk memperoleh kesepakatan yang
bulat dalam menanggulangi masalah-masalah ekonomi yang mendesak, yaitu : masalah
produksi dan distribusi makanan, masalah sandang, serta status dan administrasi
perkebunan-perkebunan.
d.Pembentukan Planning Board (Badan Perancang Ekonomi) 19 Januari 1947
Rekonstruksi dan Rasionalisasi Angkatan Perang (Rera) 1948, mengalihkan tenaga bekas
angkatan perang ke bidang-bidang produktif.
e.Kasimo Plan yang intinya mengenai usaha swasembada pangan dengan beberapa
petunjuk pelaksanaan yang praktis. Dengan swasembada pangan, diharapkan
perekonomian akan membaik (mengikuti Mazhab Fisiokrat : sektor pertanian merupakan
sumber kekayaan).
2. Masa Demokrasi Liberal (1950-1957)
Masa ini disebut masa liberal, karena dalam politik maupun sistem ekonominya
menggunakan prinsip-prinsip liberal. Perekonomian diserahkan pada pasar sesuai teori-
teori mazhab klasik yang menyatakan laissez faire laissez passer. Padahal pengusaha
pribumi masih lemah dan belum bisa bersaing dengan pengusaha nonpribumi, terutama
pengusaha Cina. Pada akhirnya sistem ini hanya memperburuk kondisi perekonomian
Indonesia yang baru merdeka.
Usaha-usaha yang dilakukan untuk mengatasi masalah ekonomi, antara lain :
a)Gunting Syarifuddin, yaitu pemotongan nilai uang (sanering) 20 Maret 1950, untuk
mengurangi jumlah uang yang beredar agar tingkat harga turun.
b)Program Benteng (Kabinet Natsir), yaitu upaya menumbuhkan wiraswastawan pribumi
dan mendorong importir nasional agar bisa bersaing dengan perusahaan impor asing
dengan membatasi impor barang tertentu dan memberikan lisensi impornya hanya pada
importir pribumi serta memberikan kredit pada perusahaan-perusahaan pribumi agar
nantinya dapat berpartisipasi dalam perkembangan ekonomi nasional. Namun usaha ini
gagal, karena sifat pengusaha pribumi yang cenderung konsumtif dan tak bisa bersaing
dengan pengusaha non-pribumi.
c)Nasionalisasi De Javasche Bank menjadi Bank Indonesia pada 15 Desember 1951
lewat UU no.24 th 1951 dengan fungsi sebagai bank sentral dan bank sirkulasi.
d)Sistem ekonomi Ali-Baba (kabinet Ali Sastroamijoyo I) yang diprakarsai Mr Iskak
Cokrohadisuryo, yaitu penggalangan kerjasama antara pengusaha cina dan pengusaha
pribumi. Pengusaha non-pribumi diwajibkan memberikan latihan-latihan pada pengusaha
pribumi, dan pemerintah menyediakan kredit dan lisensi bagi usaha-usaha swasta
nasional. Program ini tidak berjalan dengan baik, karena pengusaha pribumi kurang
berpengalaman, sehingga hanya dijadikan alat untuk mendapatkan bantuan kredit dari
pemerintah.
e)Pembatalan sepihak atas hasil-hasil Konferensi Meja Bundar, termasuk pembubaran
Uni Indonesia-Belanda. Akibatnya banyak pengusaha Belanda yang menjual
perusahaannya sedangkan pengusaha-pengusaha pribumi belum bisa mengambil alih
perusahaan-perusahaan tersebut.
3. Masa Demokrasi Terpimpin (1959-1967)
Sebagai akibat dari dekrit presiden 5 Juli 1959, maka Indonesia menjalankan sistem
demokrasi terpimpin dan struktur ekonomi Indonesia menjurus pada sistem etatisme
(segala-galanya diatur oleh pemerintah). Dengan sistem ini, diharapkan akan membawa
pada kemakmuran bersama dan persamaan dalam sosial, politik,dan ekonomi (mengikuti
Mazhab Sosialisme). Akan tetapi, kebijakan-kebijakan ekonomi yang diambil pemerintah
di masa ini belum mampu memperbaiki keadaan ekonomi Indonesia, antara lain :
a)Devaluasi yang diumumkan pada 25 Agustus 1959 menurunkan nilai uang sebagai
berikut :Uang kertas pecahan Rp 500 menjadi Rp 50, uang kertas pecahan Rp 1000
menjadi Rp 100, dan semua simpanan di bank yang melebihi 25.000 dibekukan.
b)Pembentukan Deklarasi Ekonomi (Dekon) untuk mencapai tahap ekonomi sosialis
Indonesia dengan cara terpimpin. Dalam pelaksanaannya justru mengakibatkan stagnasi
bagi perekonomian Indonesia. Bahkan pada 1961-1962 harga barang-baranga naik 400%.
c)Devaluasi yang dilakukan pada 13 Desember 1965 menjadikan uang senilai Rp 1000
menjadi Rp 1. Sehingga uang rupiah baru mestinya dihargai 1000 kali lipat uang rupiah
lama, tapi di masyarakat uang rupiah baru hanya dihargai 10 kali lipat lebih tinggi. Maka
tindakan pemerintah untuk menekan angka inflasi ini malah meningkatkan angka inflasi.
Kegagalan-kegagalan dalam berbagai tindakan moneter itu diperparah karena pemerintah
tidak menghemat pengeluaran-pengeluarannya. Pada masa ini banyak proyek-proyek
mercusuar yang dilaksanakan pemerintah, dan juga sebagai akibat politik konfrontasi
dengan Malaysia dan negara-negara Barat. Sekali lagi, ini juga salah satu konsekuensi
dari pilihan menggunakan sistem demokrasi terpimpin yang bisa diartikan bahwa
Indonesia berkiblat ke Timur (sosialis) baik dalam politik, eonomi, maupun bidang-
bidang lain.
- Orde Baru/ Orba (Demokrasi Pancasila)
Pada masa orde baru, pemerintah menjalankan kebijakan yang tidak mengalami
perubahan terlalu signifikan selama 32 tahun. Dikarenakan pada masa itu pemerintah
sukses menghadirkan suatu stablilitas politik sehingga mendukung terjadinya stabilitas
ekonomi. Karena hal itulah maka pemerintah jarang sekali melakukan perubahan-
perubahan kebijakan terutama dalam hal anggaran negara.

Pada masa pemerintahan orde baru, kebijakan ekonominya berorientasi kepada


pertumbuhan ekonomi. Kebijakan ekonomi tersebut didukung oleh kestabilan politik
yang dijalankan oleh pemerintah. Hal tersebut dituangkan ke dalam jargon kebijakan
ekonomi yang disebut dengan Trilogi Pembangungan, yaitu stabilitas politik,
pertumbuhan ekonomi yang stabil, dan pemerataan pembangunan.

Hal ini berhasil karena selama lebih dari 30 tahun, pemerintahan mengalami stabilitas
politik sehingga menunjang stabilitas ekonomi. Kebijakan-kebijakan ekonomi pada masa
itu dituangkan pada Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN), yang
pada akhirnya selalu disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk disahkan
menjadi APBN.

APBN pada masa pemerintahan Orde Baru, disusun berdasarkan asumsi-asumsi


perhitungan dasar. Yaitu laju pertumbuhan ekonomi, tingkat inflasi, harga ekspor minyak
mentah Indonesia, serta nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika. Asumsi-asumsi dasar
tersebut dijadikan sebagai ukuran fundamental ekonomi nasional. Padahal sesungguhnya,
fundamental ekonomi nasional tidak didasarkan pada perhitungan hal-hal makro. Akan
tetapi, lebih kearah yang bersifat mikro-ekonomi. Misalnya, masalah-masalah dalam
dunia usaha, tingkat resiko yang tinggi, hingga penerapan dunia swasta dan BUMN yang
baik dan bersih. Oleh karena itu pemerintah selalu dihadapkan pada kritikan yang
menyatakan bahwa penetapan asumsi APBN tersebut tidaklah realistis sesuai keadaan
yang terjadi.

Format APBN pada masa Orde baru dibedakan dalam penerimaan dan pengeluaran.
Penerimaan terdiri dari penerimaan rutin dan penerimaan pembangunan serta
pengeluaran terdiri dari pengeluaran rutin dan pengeluaran pembangunan. Sirkulasi
anggaran dimulai pada 1 April dan berakhir pada 31 Maret tahun berikutnya. Kebijakan
yang disebut tahun fiskal ini diterapkan seseuai dengan masa panen petani, sehingga
menimbulkan kesan bahwa kebijakan ekonomi nasional memperhatikan petani.

APBN pada masa itu diberlakukan atas dasar kebijakan prinsip berimbang, yaitu
anggaran penerimaan yang disesuaikan dengan anggaran pengeluaran sehingga terdapat
jumlah yang sama antara penerimaan dan pengeluaran. Hal perimbangan tersebut
sebetulnya sangat tidak mungkin, karena pada masa itu pinjaman luar negeri selalu
mengalir. Pinjaman-pinjaman luar negeri inilah yang digunakan pemerintah untuk
menutup anggaran yang defisit.

Ini artinya pinjaman-pinjaman luar negeri tersebut ditempatkan pada anggaran


penerimaan. Padahal seharusnya pinjaman-pinjaman tersebut adalah utang yang harus
dikembalikan, dan merupakan beban pengeluaran di masa yang akan datang. Oleh karena
itu, pada dasarnya APBN pada masa itu selalu mengalami defisit anggaran.
Penerapan kebijakan tersebut menimbulkan banyak kritik, karena anggaran defisit negara
ditutup dengan pinjaman luar negeri. Padahal, konsep yang benar adalah pengeluaran
pemerintah dapat ditutup dengan penerimaan pajak dalam negeri. Sehingga antara
penerimaan dan pengeluaran dapat berimbang. Permasalahannya, pada masa itu
penerimaan pajak saat minim sehingga tidak dapat menutup defisit anggaran.

Namun prinsip berimbang ini merupakan kunci sukses pemerintah pada masa itu untuk
mempertahankan stabilitas, khususnya di bidang ekonomi. Karena pemerintah dapat
menghindari terjadinya inflasi, yang sumber pokoknya karena terjadi anggaran yang
defisit. Sehingga pembangunanpun terus dapat berjalan.

Prinsip lain yang diterapkan pemerintah Orde Baru adalah prinsip fungsional. Prinsip ini
merupakan pengaturan atas fungsi anggaran pembangunan dimana pinjaman luar negeri
hanya digunakan untuk membiayai anggaran belanja pembangunan. Karena menurut
pemerintah, pembangunan memerlukan dana investasi yang besar dan tidak dapat
seluruhnya dibiayai oleh sumber dana dalam negeri.

Pada dasarnya kebijakan ini sangat bagus, karena pinjaman yang digunakan akan
membuahkan hasil yang nyata. Akan tetapi, dalam APBN tiap tahunnya cantuman angka
pinjaman luar negeri selalu meningkat. Hal ini bertentangan dengan keinginan
pemerintah untuk selalu meningkatkan penerimaan dalam negeri. Dalam Keterangan
Pemerintah tentang RAPBN tahun 1977, Presiden menyatakan bahwa dana-dana
pembiayaan yang bersumber dari dalam negeri harus meningkat. Padahal, ketergantungan
yang besar terhadap pinjaman luar negeri akan menimbulkan akibat-akibat. Diantaranya
akan menyebabkan berkurangnya pertumbuhan ekonomi.

Hal lain yang dapat terjadi adalah pemerataan ekonomi tidak akan terwujud. Sehingga
yang terjadi hanya perbedaan penghasilan. Selain itu pinjaman luar negeri yang banyak
akan menimbulkan resiko kebocoran, korupsi, dan penyalahgunaan. Dan lebih parahnya
lagi ketergantungan tersebut akan menyebabkan negara menjadi malas untuk berusaha
meningkatkan penerimaan dalam negeri.

Prinsip ketiga yang diterapakan oleh pemerintahan Orde Baru dalam APBN adalah,
dinamis yang berarti peningkatan tabungan pemerintah untuk membiayai pembangunan.
Dalam hal ini pemerintah akan berupaya untuk mendapatkan kelebihan pendapatan yang
telah dikurangi dengan pengeluaran rutin, agar dapat dijadikan tabungan pemerintah.
Oleh karena itu, pemerintah dapat memanfaatkan tabungan tersebut untuk berinvestasi
dalam pembangunan.

Kebijakan pemerintah ini dilakukan dengan dua cara, yaitu derelgulasi perbankan dan
reformasi perpajakan. Akan tetapi, kebijakan demikian membutuhkan waktu dan proses
yang cukup lama. Akibatnya, kebijakan untuk mengurangi bantuan luar negeri tidak
dapat terjadi karena jumlah pinjaman luar negeri terus meningkat. Padahal disaat yang
bersamaan persentase pengeluaran rutin untuk membayar pinjaman luar negeri terus
meningkat. Hal ini jelas menggambarkan betapa APBN pada masa pemerintahan Orde
Baru sangat bergantung pada pinjaman luar negeri. Sehingga pada akhirnya berakibat
tidak dapat terpenuhinya keinginan pemerintah untuk meningkatkan tabungannya.
- Masa Reformasi (Demokrasi Liberal)
Pada masa krisis ekonomi,ditandai dengan tumbangnya pemerintahan Orde Baru
kemudian disusul dengan era reformasi yang dimulai oleh pemerintahan Presiden
Habibie. Pada masa ini tidak hanya hal ketatanegaraan yang mengalami perubahan,
namun juga kebijakan ekonomi. Sehingga apa yang telah stabil dijalankan selama 32
tahun, terpaksa mengalami perubahan guna menyesuaikan dengan keadaan.
Pemerintahan presiden BJ.Habibie yang mengawali masa reformasi belum melakukan
manuver-manuver yang cukup tajam dalam bidang ekonomi. Kebijakan-kebijakannya
diutamakan untuk mengendalikan stabilitas politik. Pada masa kepemimpinan presiden
Abdurrahman Wahid pun, belum ada tindakan yang cukup berarti untuk menyelamatkan
negara dari keterpurukan. Padahal, ada berbagai persoalan ekonomi yang diwariskan orde
baru harus dihadapi, antara lain masalah KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme),
pemulihan ekonomi, kinerja BUMN, pengendalian inflasi, dan mempertahankan kurs
rupiah. Malah presiden terlibat skandal Bruneigate yang menjatuhkan kredibilitasnya di
mata masyarakat. Akibatnya, kedudukannya digantikan oleh presiden Megawati.
Masa kepemimpinan Megawati Soekarnoputri mengalami masalah-masalah yang
mendesak untuk dipecahkan adalah pemulihan ekonomi dan penegakan hukum.
Kebijakan-kebijakan yang ditempuh untuk mengatasi persoalan-persoalan ekonomi
antara lain :
a)Meminta penundaan pembayaran utang sebesar US$ 5,8 milyar pada pertemuan Paris
Club ke-3 dan mengalokasikan pembayaran utang luar negeri sebesar Rp 116.3 triliun.
b)Kebijakan privatisasi BUMN. Privatisasi adalah menjual perusahaan negara di dalam
periode krisis dengan tujuan melindungi perusahaan negara dari intervensi kekuatan-
kekuatan politik dan mengurangi beban negara. Hasil penjualan itu berhasil menaikkan
pertumbuhan ekonomi Indonesia menjadi 4,1 %. Namun kebijakan ini memicu banyak
kontroversi, karena BUMN yang diprivatisasi dijual ke perusahaan asing.
Di masa ini juga direalisasikan berdirinya KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi), tetapi
belum ada gebrakan konkrit dalam pemberantasan korupsi. Padahal keberadaan korupsi
membuat banyak investor berpikir dua kali untuk menanamkan modal di Indonesia, dan
mengganggu jalannya pembangunan nasional.
Masa Kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono terdapat kebijakan kontroversial yaitu
mengurangi subsidi BBM, atau dengan kata lain menaikkan harga BBM. Kebijakan ini
dilatar belakangi oleh naiknya harga minyak dunia. Anggaran subsidi BBM dialihkan ke
subsidi sektor pendidikan dan kesehatan, serta bidang-bidang yang mendukung
peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Kebijakan kontroversial pertama itu menimbulkan kebijakan kontroversial kedua, yakni
Bantuan Langsung Tunai (BLT) bagi masyarakat miskin. Kebanyakan BLT tidak sampai
ke tangan yang berhak, dan pembagiannya menimbulkan berbagai masalah
sosial.Kebijakan yang ditempuh untuk meningkatkan pendapatan perkapita adalah
mengandalkan pembangunan infrastruktur massal untuk mendorong pertumbuhan
ekonomi serta mengundang investor asing dengan janji memperbaiki iklim investasi.
Salah satunya adalah diadakannya Indonesian Infrastructure Summit pada bulan
November 2006 lalu, yang mempertemukan para investor dengan kepala-kepala daerah.
Menurut Keynes, investasi merupakan faktor utama untuk menentukan kesempatan kerja.
Mungkin ini mendasari kebijakan pemerintah yang selalu ditujukan untuk memberi
kemudahan bagi investor, terutama investor asing, yang salah satunya adalah revisi
undang-undang ketenagakerjaan. Jika semakin banyak investasi asing di Indonesia,
diharapkan jumlah kesempatan kerja juga akan bertambah.
Pada pertengahan bulan Oktober 2006 , Indonesia melunasi seluruh sisa utang pada IMF
sebesar 3,2 miliar dolar AS. Dengan ini, maka diharapkan Indonesia tak lagi mengikuti
agenda-agenda IMF dalam menentukan kebijakan dalam negeri. Namun wacana untuk
berhutang lagi pada luar negri kembali mencuat, setelah keluarnya laporan bahwa
kesenjangan ekonomi antara penduduk kaya dan miskin menajam, dan jumlah penduduk
miskin meningkat dari 35,10 jiwa di bulan Februari 2005 menjadi 39,05 juta jiwa pada
bulan Maret 2006. Hal ini disebabkan karena beberapa hal, antara lain karena pengucuran
kredit perbankan ke sector riil masih sangat kurang (perbankan lebih suka menyimpan
dana di SBI), sehingga kinerja sector riil kurang dan berimbas pada turunnya investasi.
Selain itu, birokrasi pemerintahan terlalu kental, sehingga menyebabkan kecilnya
realisasi belanja Negara dan daya serap, karena inefisiensi pengelolaan anggaran. Jadi, di
satu sisi pemerintah berupaya mengundang investor dari luar negri, tapi di lain pihak,
kondisi dalam negeri masih kurang kondusif.

o Masalah pemanfaatan kekayaan alam.


Pada masa orde lama : Konsep Bung Karno tentang kekayaan alam sangat jelas. Jika
Bangsa Indonesia belum mampu atau belum punya iptek untuk menambang minyak bumi
dsb biarlah SDA tetap berada di dalam perut bumi Indonesia. Kekayaan alam itu akan
menjadi tabungan anak cucu di masa depan. Biarlah anak cucu yang menikmati jika
mereka sudah mampu dan bisa. Jadi saat dipimpin Bung Karno, meski RI hidup miskin,
tapi Bung Karno tidak pernah menggadaikan (konsesi) tambang-tambang milik bangsa ke
perusahaan asing. Penebangan hutan pada masa Bung Karno juga amat minim.

Pada masa Orde Baru konsepnya bertolak belakang dengan orde lama.Apa yang bisa
digadaikan; digadaikan. Kalo bisa ngutang ya ngutang. Yang penting bisa selalu makan
enak dan hidup wah. Rakyat pun merasa hidup berkecukupan pada masa Orba. Beras
murah, padahal sebagian adalah beras impor. Beberapa gelintir orang mendapat rente
ekonomi yang luar biasa dari berbagai jenis monopoli impor komoditi bahan pokok,
termasuk beras, terigu, kedelai dsb. Semua serba tertutup dan tidak tranparan. Jika ada
orang mempertanyakan, diancam tuduhan subversif. Hutan dijadikan sumber duit, dibagi
menjadi kapling-kapling HPH; dibagi-bagi ke orang-orang tertentu (kroni) secara tidak
transparan. Ingat fakta sejarah: Orde Baru tumbang akibat demo mahasiswa yang
memprotes pemerintah Orba yang bergelimang KKN. Jangan dilupakan pula bahwa
ekonomi RI ambruk parah ditandai Rupiah terjun bebas ke Rp 16.000 per dollar terjadi
masih pada masa Orde Baru.

Masa Reformasi krisis ekonomi parah sudah terjadi. Utang LN tetap harus dibayar.
Budaya korupsi yang sudah menggurita sulit dihilangkan, meski pada masa Presiden
SBY pemberantasan korupsi mulai kelihatan wujudnya.. Rakyat menikmati kebebasan
(namun sepertinya terlalu “bebas”). Media masa menjadi terbuka.

Yang memimpikan kembalinya rezim totaliter mungkin hanyalah sekelompok orang yang
dulu amat menikmati previlege dan romantisme kenikmatan duniawi di zaman
Orba.Sekarang kita mewarisi hutan yang sudah rusak parah; industri kayu yang sudah
terbentuk dimana-mana akibat dari berbagai HPH , menjadi muara dari illegal logging.

o Sistem pemerintahan
Orde lama : kebijakan pada pemerintah, berorientasi pada politik,semua proyek
diserahkan kepada pemerintah, sentralistik,demokrasi Terpimpin, sekularisme.
Orde baru : kebijakan masih pada pemerintah, namun sektor ekonomi sudah diserahkan
ke swasta/asing, fokus pada pembangunan ekonomi, sentralistik, demokrasi Pancasila,
kapitalisme.
Soeharto dan Orde Baru tidak bisa dipisahkan. Sebab, Soeharto melahirkan Orde Baru
dan Orde Baru merupakan sistem kekuasaan yang menopang pemerintahan Soeharto
selama lebih dari tiga dekade. Betulkah Orde Baru telah berakhir? Kita masih
menyaksikan praktik-praktik nilai Orde Baru hari ini masih menjadi karakter dan tabiat
politik di negeri ini. Kita masih menyaksikan koruptor masih bercokol di negeri ini.
Perbedaan Orde Baru dan Orde Reformasi secara kultural dan substansi semakin kabur.
Mengapa semua ini terjadi? Salah satu jawabannya, bangsa ini tidak pernah membuat
garis demarkasi yang jelas terhadap Orde Baru. Tonggak awal reformasi 11 tahun lalu
yang diharapkan bisa menarik garis demarkasi kekuatan lama yang korup dan otoriter
dengan kekuatan baru yang ingin melakukan perubahan justru “terbelenggu” oleh faktor
kekuasaan.Sistem politik otoriter (partisipasi masyarakat sangat minimal) pada masa orba
terdapat instrumen-instrumen pengendali seperti pembatasan ruang gerak pers,
pewadahunggalan organisasi profesi, pembatasan partai poltik, kekuasaan militer untuk
memasuki wilayah-wilayah sipil, dll.
Orde reformasi : pemerintahan tidak punya kebijakan (menuruti alur parpol di DPR),
pemerintahan lemah, dan muncul otonomi daerah yang kebablasan, demokrasi Liberal
(neoliberaliseme), tidak jelas apa orientasinya dan mau dibawa kemana bangsa ini.

Referensi :

http://id.answers.yahoo.com/question/index?qid=20090126174820AAFGt08

http://yunaniabiyoso.blogspot.com/2008/04/perbedaan-determinasi-kebijakan.html

http://labtani.wordpress.com/2008/11/07/sejarah-perekonomian-indonesia/

http://www.mudrajad.com/upload/Reformasi%20di%20Persimpangan%20Jalan.pdf

Pohan, Aulia. 2008. Potret Kebijakan Moneter Indonesia.Jakarta:Rajawali pers.

Yustika, Ahmad Erani. 2002. Pembangunan dan Krisis, Memetakan Perekonomian


Indonesia. Jakarta : PT. Grasindo.

DENGAN Dekrit 5 Juli 1959, Soekarno membubarkan Konstituante yang bertugas


merancang UUD baru bagi Indonesia, serta memulai periode yang dalam sejarah politik
kita disebut sebagai “Demokrasi Terpimpin”. Peristiwa ini sangat penting, bukan saja
karena menandai berakhirnya eksperimen bangsa Indonesia dengan sistem demokrasi
yang liberal, tetapi juga tindakan Soekarno tersebut memberikan landasan awal bagi
sistem politik yang justru kemudian dibangun dan dikembangkan pada masa Orde Baru.
Tapi bukankah Soekarno amat berbeda dari Soeharto, pendiri Orde Baru yang
menggantikannya lewat serangkaian manuver politik sejak tahun 1965 yang hingga kini
masih banyak diselimuti misteri?Tentu banyak perbedaan antara Soekarno dan Soeharto
yang amat gamblang. Presiden pertama RI dikenal sebagai orator yang ulung, yang dapat
berpidato secara amat berapi-api tentang revolusi nasional, neokolonialisme dan
imperialisme. Ia juga amat percaya pada kekuatan massa, kekuatan rakyat.
Presiden kedua RI sama sekali bukan orator, jauh lebih tertutup, serta dikenal sebagai
orang yang-meskipun pemerintahannya penuh dengan kasus kolusi, korupsi dan
nepotisme (KKN)-memimpin proses bergabung kembalinya Indonesia dengan sistem
kapitalisme internasional, setelah sempat hendak diputus oleh pendahulunya. Ia juga
terkesan curiga dengan kekuatan rakyat: kebijaksanaan “massa mengambang” Orde Baru
didasari premis bahwa rakyat harus dipisahkan dari politik.
Namun, di balik kesan kuat adanya keterputusan antara “Orde Lama” dan “Orde Baru”,
terdapat pula beberapa kontinuitas yang cukup penting. Pertama, dua-duanya sangat anti
terhadap hal-hal yang dapat menyebabkan disintegrasi teritorial Indonesia, dua-duanya
dapat dikatakan sangat “nasionalis” dalam hal itu. Dengan demikian, baik Soekarno
maupun Soeharto amat mementingkan retorika “persatuan” dan “kesatuan”. Bahkan,
sejak 1956, Soekarno sudah menuduh partai politik di Indonesia pada waktu itu sebagai
biang keladi terpecah-belahnya bangsa, dan sempat mengajak rakyat untuk “mengubur”
partai-partai tersebut dalam sebuah pidato yang amat terkenal.
Dengan mengubur partai politik, Soekarno menganggap bahwa bangsa Indonesia dapat
kembali kepada “rel” revolusi yang sejati dengan semangat persatuan. Soeharto bahkan
dikenal lebih antipartai politik, dengan merekayasa sebuah sistem yang pada dasarnya
didominasi oleh satu “partai negara”, yakni Golkar, dan dua partai “pajangan”.
Sebenarnya, didirikannya satu “partai negara” atau “pelopor” adalah ide yang juga lama
digandrungi oleh Soekarno, walau keinginannya tidak pernah menjadi kenyataan di masa
kekuasaannya.
SEPERTI Soekarno, Soeharto juga beranggapan bahwa sistem politik yang didukungnya
adalah yang paling “cocok” dengan “kepribadian” dan “budaya” khas bangsa Indonesia
yang konon mementingkan kerja sama, gotong-royong, dan keselarasan. Dalam retorika,
keduanya mengecam “individualisme” yang katanya lahir dari liberalisme Barat.
Individualisme itu melahirkan egoisme, dan ini terutama dicerminkan oleh pertarungan
antar-partai.
Pada akhirnya, tidaklah terlalu sulit untuk menemukan banyak kontinuitas antara
“Demokrasi Terpimpin”-nya Soekarno dan “Demokrasi Pancasila”-nya Soeharto, dengan
perbedaan bahwa Soekarno mementingkan politik mobilisasi massa, sedangkan Soeharto
justru sebaliknya. Perbedaan kedua adalah simpati Soekarno pada gerakan-gerakan anti-
imperialisme, dan mungkin sebagai salah satu konsekuensi, penerimaannya pada Partai
Komunis Indonesia (PKI) sebagai aktor politik yang sah. Soeharto sendiri menjalankan
pembangunan bercorak kapitalis, termasuk dengan merangkul kekuatan-kekuatan
kapitalisme terdepan di dunia, dan justru telah menutup arena politik untuk kekuatan
komunisme. Tapi dua-duanya, dengan caranya masing-masing, mencanangkan sistem
politik yang berwatak anti-liberal dan curiga pada pluralisme politik. Dua-duanya
mementingkan “persatuan”-yang satu demi “revolusi” dan yang lainnya demi
“pembangunan”.
Boleh dikatakan bahwa Orde Lama serta Demokrasi Terpimpin telah pave the way,
membuka jalan, bagi Orde Baru dan “Demokrasi Pancasila” versi Soeharto. Tidak
mengherankan bahwa Soekarno telah mengawali Demokrasi Terpimpinnya dengan
kembali pada Undang-Undang Dasar 1945, sedangkan Soeharto, di masa kekuasaannya,
selalu bersikeras tentang sifat “sakral” konstitusi, yang tidak boleh diamandemen.
Sikap menomorsatukan UUD 1945 bukanlah hanya mencerminkan masalah ideologis
atau filosofis yang abstrak, tetapi masalah kekuasaan yang konkret. Baik Soekarno
maupun Soeharto amat mengerti bahwa UUD ‘45 memusatkan kekuasaan pada lembaga
kepresidenan, suatu hal yang hari ini justru menjadi masalah dengan adanya tarik-
menarik antara Presiden dan DPR. Hal yang menarik adalah justru pada tahun 1945
Soekarno pernah berucap bahwa konstitusi itu hanya bersifat sementara. Sebab, UUD ‘45
diciptakan dalam keadaan darurat, jadi sama sekali bukan sesuatu yang “suci”,
sebagaimana diklaim oleh Soeharto, dan beberapa aktor politik lebih kontemporer.
Dalam pengamatan yang lebih seksama, ternyata ada banyak sekali “utang” Orde Baru
pada Orde Lama. Untuk menjelaskan hal ini, mungkin ada baiknya kita kembali dulu
kepada latar belakang pembubaran Konstituante oleh Soekarno serta kembalinya
Indonesia kepada UUD 1945.
Dalam versi sejarah yang dibaca di sekolah, tahun 1950-an di Indonesia ditandai oleh
ketidakstabilan politik yang disebabkan oleh sistem demokrasi parlementer yang berlaku
pada waktu itu. Sistem ini bersifat sangat liberal, dan didominasi oleh partai-partai politik
yang menguasai parlemen. Toh Pemilu 1955-yang dimenangkan empat kekuatan besar,
Masyumi, Partai Nasional Indonesia (PNI), Nahdlatul Ulama (NU) serta PKI-kini masih
dianggap sebagai pemilu paling bebas dan bersih yang pernah dilaksanakan sepanjang
sejarah Indonesia. Namun, sisi lain dari sistem parlemen yang dikuasai partai ini adalah
sering jatuh bangunnya kabinet yang dipimpin oleh perdana menteri. Selain itu, sejarah
yang kita baca di sekolah akan menekankan pula bahwa integritas nasional terus-menerus
diancam oleh berbagai gerakan separatis, yakni DI/TI, PRRI/Permesta, dan sebagainya.
Bahwa kabinet sering jatuh bangun pada waktu itu adalah kenyataan yang tidak bisa
dipungkiri. Bahwa beberapa gerakan separatis muncul sepanjang tahun 1950-an juga
adalah kenyataan, bahkan Soekarno makin curiga pada partai politik karena dia
menganggap Masyumi, dan juga PSI, terlibat dalam beberapa pemberontakan daerah.
Lebih jauh lagi, Soekarno mendekritkan kembalinya Indonesia pada UUD 1945 karena
kegagalan Konstituante untuk memutuskan UUD baru untuk Indonesia, akibat perdebatan
berlarut-larut, terutama antara kekuatan nasionalis sekuler dan kekuatan Islam mengenai
dasar negara.
Seperti diketahui, salah satu aspek yang penting dari Demokrasi Terpimpin adalah
berpusatnya kekuasaan di tangan eksekutif (presiden) dan berkurangnya kekuasaan
lembaga legislatif, atau DPR. Hal ini telah difasilitasi dengan kembalinya Indonesia
kepada UUD ‘45. Bahkan, bentuk parlemen pun diubah dengan dicanangkannya suatu
lembaga yang pada dasarnya memberikan tempat yang lebih besar untuk golongan-
golongan “fungsional” dalam masyarakat, yang kemudian dikenal sebagai golongan
“karya”. Pada saat yang sama, tempat partai di dalam parlemen juga dibatasi-sebab
menurut Soekarno-politisi partai hanya mewakili kepentingan partainya, dan yang
diperlukan adalah individu-individu yang dapat mewakili kepentingan “rakyat” atau yang
depat menyuarakan “kepentingan nasional” yang sebenarnya.
Di masa Orde Baru, dengan sistem kekuasaan yang jauh lebih terpusat dibandingkan
pada masa Soekarno, hal ini kemudian menjadi masalah yang amat besar. Negara-dalam
hal ini hampir tidak bisa dibedakan dari Soeharto, keluarga, sekutu serta kroninya-
mengambil-alih seluruh hak untuk mendefinisikan “kepentingan nasional” tersebut.
Akibatnya, kepentingan nasional menjadi identik dengan kepentingan segelintir penguasa
politik dan ekonomi, dan segala unsur dalam masyarakat yang menentangnya dinyatakan
sebagai pengkhianat. Bahkan “oposisi” menjadi kata yang kotor. Mungkin terjadinya hal
seperti itu akan sukar dibayangkan oleh Soekarno sendiri, meskipun ia senang
memandang dirinya sebagai “penyambung lidah rakyat” berada “di atas” konflik-konflik
kepentingan yang sempit.
ADALAH penting juga untuk dicatat bahwa salah satu kekuatan pendukung utama upaya
Soekarno untuk memberlakukan Demokrasi Terpimpin adalah Angkatan Darat. Mengapa
Angkatan Darat mendukung upaya Soekarno? Jawabannya sebenarnya cukup sederhana.
Ada persamaan nasib antara Soekarno dan tentara di dalam sistem demokrasi liberal yang
mementingkan peranan partai dan parlemen, yakni keduanya tidak mempunyai akses
yang langsung terhadap jalannya roda pemerintahan.
Dengan kata lain, di luar jatuh bangunnya kabinet dalam sistem liberal tahun 1950-an
serta pemberontakan-pemberontakan di daerah, baik Soekarno dan Angkatan Darat
mempunyai kepentingan nyata untuk membangun suatu sistem politik baru yang
memberikan mereka kekuasaan yang lebih langsung. Bisa dikatakan Soekarno tidak puas
sebagai presiden yang hanya bersifat figure-head, sedangkan Angkatan Darat telah
berkembang menjadi kekuatan yang juga tidak puas dalam peranan hanya sebagai
penjaga pertahanan dan keamanan belaka. Pembahasan terhadap kepentingan-
kepentingan konkret seperti ini tidak lazim ditemukan dalam pelajaran sejarah di sekolah
pada tahun 1950-an.
Perlu diingat pula bahwa, untuk sebagian, penaklukan terhadap pemberontakan daerah
telah menghasilkan suatu pimpinan Angkatan Darat yang jauh lebih bersatu dibandingkan
sebelumnya. Jenderal Abdul Haris Nasution telah tampil sebagai pimpinan yang mampu
untuk meredam tantangan yang diajukan oleh komandan-komandan lokal yang
memberontak karena tidak senang dengan dominasi Jakarta/Jawa. Di samping itu, kondisi
darurat yang dicanangkan untuk menghadapi pemberontakan daerah telah menempatkan
banyak perwira militer sebagai administrator roda pemerintahan. Lebih jauh lagi,
nasionalisasi perusahaan-perusahaan asing di tahun 1957-yang sebenarnya dipelopori
oleh serikat buruh-telah menempatkan banyak perwira militer di pucuk pimpinan
perusahaan-perusahaan negara yang terbesar. Di antaranya adalah Ibnu Sutowo yang
kemudian mengembangkan Pertamina.
Dengan posisi politik dan ekonomi yang kuat seperti ini, tampaknya militer tergiur untuk
mempunyai peranan yang langsung di dalam sistem politik. “Demokrasi Terpimpin”-nya
Soekarno memberikan peluang. Di antara golongan “fungsional” atau “karya” yang boleh
duduk dalam parlemen adalah tentara.
Dalam konteks ini, kita perlu mengingat pula bahwa Jenderal Nasution telah mengajukan
apa yang disebut sebagai “jalan tengah” untuk militer Indonesia. Dalam konsepsi ini,
militer Indonesia tidak akan bersifat intervensionis-dan terlibat dalam kudeta demi
kudeta-sebagaimana di Amerika Latin, namun juga tidak akan tinggal diam sebagai
penonton arena politik, sebagaimana di negeri-negeri Barat. Walaupun sering dikatakan
bahwa maksud awal Nasution telah dipelesetkan oleh Soeharto, dalam ide ini kita melihat
cikal-bakal dari “dwifungsi” ABRI yang dipraktikkan Orde Baru.
Jadi, bila Soekarno telah memberikan dasar dari konsepsi sistem politik yang akan
dikembangkan dalam versi yang lebih birokratis, otoriter dan ekslusioner pada masa Orde
Baru, Nasution telah memberikan landasan awal bagi peranan militer di dalamnya.
Nasution pulalah yang pertama mengusulkan bahwa hak pilih tentara dan polisi dicabut
dan diganti oleh hak otomatis memperoleh perwakilan di badan legislatif. Oleh karena
itu, Orde Baru dapat dipandang sampai tingkat tertentu sebagai hasil yang tidak disengaja
(unintended consequence) dari manuver-manuver politik Soekarno dan Nasution di tahun
1950-an. Bisa dikatakan bahwa Soeharto tidak mungkin “ada” secara politik tanpa
manuver kedua pendahulunya itu, masing-masing sebagai pimpinan negara dan tentara.
Tentunya, Soekarno dan Nasution pada waktu itu berada dalam situasi yang ditandai oleh
keharusan untuk bernegosiasi dan bekerja sama, tetapi juga tidak jarang oleh konflik.
Khususnya, militer amat tidak senang dengan upaya Soekarno untuk mengikutsertakan
PKI dalam pemerintahan, sedangkan Soekarno semakin mengandalkan PKI sebagai satu-
satunya kekuatan politik di awal tahun 1960-an yang dapat mengimbangi Angkatan
Darat.
Dalam pikiran Soekarno, PKI adalah bagian tak terpisahkan dari “front” nasional
menentang imperialisme dan untuk memajukan revolusi nasional. Ternyata-walaupun
cukup “sukses” dalam pemilu nasional dan lokal sebelumnya-PKI mampu beradaptasi
dengan lingkungan politik baru setelah berakhirnya masa demokrasi parlementer, seperti
juga PNI dan NU (dua elemen lain dari Nasakom-nya Soekarno).
Konflik militer-PKI sendiri setidaknya sudah berawal pada peristiwa Madiun, dan
diperburuk sejak tentara semakin aktif mengembangkan ormas untuk melawan dominasi
PKI terutama di bidang organisasi buruh dan tani. Apalagi tentara sejak 1957 berhadapan
langung dengan SOBSI-serikat buruh yang dekat dengan PKI-di perusahaan nasional
yang dikelola militer. Sebagaimana diketahui, konflik militer dan PKI itu akhirnya
berkulminasi dengan peristiwa 1965 yang hingga kini masih misterius, dan naiknya
Jenderal Soeharto ke pucuk pimpinan negara.
Adalah dalam konteks konflik militer dengan PKI ini jugalah lahir “bayi” yang kemudian
menjadi entitas politik bernama Golkar. Setelah Soekarno memperjuangkan konsep
perwakilan politik berdasarkan “fungsi” dalam masyarakat, ideolog militer macam
Jenderal Soehardiman juga mengembangkan konsep “karyawan” di bidang perburuhan
dengan mendirikan SOKSI (terutama berbasis pada perusahaan negara yang dikuasai
militer). Akhirnya, Sekretariat Bersama Golkar (Sekber Golkar) didirikan oleh tentara
untuk menghimpun kekuatan-kekuatan keormasan dan politik yang berseberangan
dengan kekuatan komunis.
Pada dasarnya, militerlah yang kemudian menjadi ahli waris langsung dari konsep
golongan karya yang awalnya diperjuangkan oleh Soekarno, walau dalam versi tentara,
konsep ini bermutasi menjadi lebih anti-partai, dan bercorak anti-komunis. Dalam
perjalanan sejarah, Golkar dikembangkan di masa Soeharto sebagai salah satu pilar utama
Orde Baru, yakni sebagai wadah untuk melegitimasikan kekuasaan lewat sejumlah
pemilu yang jauh dari prinsip bebas dan bersih.
ADALAH menarik bahwa pada masa awal Orde Baru, terjadi pula perdebatan di antara
para pendukungnya sendiri (ketika itu, termasuk para intelektual dan mahasiswa) tentang
peranan partai politik yang wajar di Indonesia. Intelektual macam Mochtar Lubis pun
menulis di koran Indonesia Raya tentang perlunya lapangan politik dibersihkan dari
partai politik yang identik dengan Orde Lama, yang katanya menghambat pembangunan.
Tentu dia tidak sendiri, karena pandangan ini dikumandangkan juga oleh banyak
intelektual lain-termasuk yang kemudian menjadi lawan Soeharto yang gigih dan tokoh
gerakan demokrasi-serta sejumlah jenderal.
Perdebatan di antara para pendiri atau pendukung Orde Baru berkisar sejauh dan secepat
manakah partai politik perlu di-’kubur’. Dalam hal-hal macam ini pulalah kita bisa
melihat satu lagi “utang” Orde Baru-nya Soeharto pada “Orde Lama”-nya Soekarno.
Seperti diketahui, setelah proses perdebatan dan intrik yang panjang, akhirnya semua
partai “sisa” Orde Lama memang difusikan menjadi Partai Persatuan Pembangunan dan
Partai Demokrasi Indonesia di tahun 1973, disertai oleh Golkar, partainya golongan
karya.
Salah satu tokoh yang paling penting dalam proses perekayasaan sistem politik Orde
Baru adalah Jenderal Ali Moertopo. Peranannya menonjol baik sebagai ideolog maupun
sebagai operator politik utama Soeharto di awal Orde Baru (dengan Aspri dan Opsus-
nya). Jenderal Moertopo menerbitkan beberapa karya yang amat gamblang
menggambarkan dasar-dasar pemikiran, blueprint, politik Orde Baru. Moertopo bukan
seorang Soekarnois, tapi saya kira ada beberapa aspek dari pemikirannya-yang meskipun
mungkin “dipinjam” dari tempat lain- “bertemu” secara tidak langsung dengan ide-ide
yang sempat diperjuangkan oleh Soekarno di tahun 1950-an. Salah satu “pertemuan” itu
adalah dalam penempatan “negara” sebagai suatu entitas yang diidealisasikan berada di
atas konflik dan perbedaan dalam masyarakat. Dalam pidato kenegaraan di tahun 1956,
Soekarno menyatakan bahwa negara atau bangsa adalah suatu organisme yang tidak bisa
dipilah-pilah, sedangkan strategi politik Moertopo dicurahkan terutama untuk menjamin
bahwa tidak ada kekuatan dalam masyarakat yang mampu untuk menentang kemauan
negara sebagai pengejewantahan dari kepentingan bersama.
Menurut David Bourchier (seorang pengamat politik Indonesia berasal dari Australia),
pemikiran Moertopo banyak dipengaruhi oleh pemikiran Gereja Katolik Eropa awal abad
ke-20, yang juga mengajukan konsep adanya pertalian yang erat, hubungan organik,
antara negara dan masyarakat. Pemikiran ini aslinya dikembangkan di Eropa sebagai
respons terhadap bahaya “fragmentasi” masyarakat yang disebabkan oleh kemunculan
politik perjuangan kelas yang dimotori oleh kaum sosialis. Menurut Bourchier, Moertopo
mungkin memperoleh gagasan ini dari intelektual Center for Strategic and International
Studies (CSIS) yang sempat menjadi dapur pemikirannya. Seperti dikemukakan
sebelumnya, Soekarno pun mengkhawatirkan proses fragmentasi di Indonesia, walaupun
lebih menurut aliran politik atau sentimen kedaerahan. Di masa Orde Baru, ketakutan
akan fragmentasi-atas dasar kelas, agama, atau hal lain-digabungkan dengan praktik-
praktik politik represif yang membungkam bukan hanya partai, tetapi semua suara oposisi
dengan dalih ancaman terhadap persatuan nasional dan sebagainya. Bahkan, protes
daerah-daerah tertentu mengenai berbagai kebijakan pemerintah pusat dijawab dengan
pengiriman tentara demi menjamin lestarinya persatuan nasional.
Sekali lagi, tentu ada perbedaan-perbedaan yang penting antara “visi” Orde Baru dan visi
“Demokrasi Terpimpinnya Soekarno”. Setidak-tidaknya retorika Orde Baru di masa awal
dibumbui dengan jargon-jargon teori modernisasi yang dipinjam dari kepustakaan ilmu
sosial Barat, seperti karya Samuel Huntington yang tersohor, Political Order in Changing
Societies. Ironisnya, hal ini terjadi meskipun sistem politik yang hendak dibangun di
Indonesia adalah yang diklaim bercorak kepribadian nasional yang khas. Sebaliknya,
retorika Soekarno seperti biasa dibumbui oleh jargon-jargon revolusioner yang cenderung
romantis dan yang menekankan bersatunya pemimpin dengan rakyat
TULISAN ini telah memusatkan perhatian pada beberapa kontinuitas-mungkin terasa
agak ironis-antara Orla dan Orba, meskipun ada banyak perbedaan di tingkat permukaan.
Hal ini dilakukan untuk menunjukkan betapa relevannya pemikiran dan tindakan
Soekarno pada masa yang jauh melampaui kurun waktu kehidupannya sendiri-walaupun
dalam bentuk unintended consequence-yakni berdiri, berkembang, dan bercokolnya Orde
Baru.Pada dasarnya, kontinuitas adalah tema yang masih amat relevan dibicarakan di
Indonesia, bahkan dewasa ini karena masih eratnya kaitan antara aktor-aktor politik di
masa reformasi ini dengan berbagai kepentingan yang menonjol di masa Orde Baru.
Bedanya, kepentingan-kepentingan ini bukan lagi dilindungi oleh negara yang otoriter
tetapi justru oleh partai-partai yang tumbuh relatif bebas dalam alam demokratisasi.
Seperti di tahun 1950-an dan 1960-an, perilaku partai politik yang dianggap
mementingkan diri sendiri juga telah menyebabkan banyak orang menjadi sinis
terhadapnya. Apakah sejarah akan berulang dan partai politik kembali dicap sebagai
biang keladi fragmentasi bangsa, sebagaimana pernah dituduhkan Soekarno?
Mudah-mudahan saja solusi politik yang akhirnya ditemukan oleh bangsa Indonesia akan
sangat berbeda dari solusi yang pernah muncul sebelumnya. Mudah-mudahan sejarah
tidak berulang dengan naiknya tentara sebagai panglima politik, dan bercokolnya rezim
yang otoriter untuk waktu yang lama.

You might also like