You are on page 1of 78

KEPEMIMPINAN VISIONER

Abstrak

Pemimpin yang memiliki kegesitan, kecepatan serta mampu beradaptasi dalam membawa
jalannya organisasi memiliki peran yang penting dalam menghadapi kondisi organisasi yang senantiasa
mengalami perubahan. Sebab, fleksibilitas organisasi pada dasarnya merupakan karya orang-orang
yang mampu bertindak proaktif, kreatif, inovatif dan non konvensional. Pribadi-pribadi seperti inilah
yang dibutuhkan sebagai pemimpin organisasi saat ini. Seorang pemimpin adalah inspirator perubahan
dan visioner, yaitu memiliki visi yang jelas ke arah mana organisasi akan di bawa.

Perubahan yang tak Terhindarkan


Terra incognita, demikian Alvin Toffler melukiskan milenium ketiga sebagai daerah yang tak
dikenal yang merupakan bentangan masa depan yang tak terpetakan. Perspektif Newtonian mengenai
perubahan yang linier dan dapat diramalkan telah usang, digantikan teori kekacauan ( chaos theory).
Menurut teori ini kehidupan merupakan pertemuan di mana satu peristiwa dapat mengubah peristiwa-
peristiwa lain secara tak terduga, bahkan dapat menghancurkan. Perubahan terjadi secara tidak linier,
diskontinu dan tak dapat diramalkan. Kehidupan bukanlah rangkaian peristiwa yang saling terkait dan
susul-menyusul.

Gejolak perubahan yang berlangsung secara cepat mengakibatkan kesementaraan menjadi sifat
hakiki dari kegiatan usaha di masa depan. Kegiatan bisnis menghadapi berbagai kondisi paradoksial yang
penuh ketidakpastian. Organisasi-organisasi dan perusahaan-perusahaan di seluruh dunia dirongrong
oleh faktor-faktor eksternal yang memaksa mereka untuk berubah secara drastis. Dalam bukunya : " The
New Rules: How to Succeed in Today's Post-Corporate World", John P. Kotter (Tommy Sudjarwadi, 2003)
menyebut empat penyebab utama yang memaksa organisasi untuk berubah. Keempat faktor tersebut
adalah: perubahan teknologi, integrasi ekonomi internasional, kejenuhan pasar di negara-negara maju
serta jatuhnya rezim komunis dan sosialis.

Inisiatif untuk melakukan perubahan dengan berbagai upaya sistematik, banyak dilakukan
perusahaan. Hasil dari upaya-upaya ini banyak yang berhasil, namun banyak pula yang gagal. Ada
delapan kesalahan yang sering dilakukan yang menyebabkan perusahaan mengalami kegagalan dalam
melakukan perubahan besar yang diharapkan. Hal-hal tersebut menurut John P. Kotter (1996) dalam
bukunya : "Leading Change" adalah :
1. Membiarkan rasa puas diri yang berlebihan. Perusahaan membiarkan para karyawan berada
dalam zona nyaman terus menerus.
2. Gagal membentuk tim pengarah perubahan yang kuat. Perubahan didelegasikan terlalu jauh.
3. Menganggap remeh kekuatan suatu visi. Perusahaan tidak percaya kekuatan suatu visi, sehingga
tidak cukup meluangkan waktu untuk membuat visi yang jelas. Visi hanya dianggap sekedar
suatu pernyataan. Sekedar formalitas.
4. Visi tidak dikomunikasikan dengan baik.
5. Membiarkan rintangan yang menghadang pencapaian visi. Struktur organisasi, uraian jabatan,
sistem penilaian prestasi serta mekanisme kenaikan gaji dan bonus seringkali menjadi habitat
yang buruk untuk hidupnya visi yang baru.
6. Gagal mendapatkan kemenangan jangka pendek. Perubahan yang mendasar memerlukan waktu
yang panjang. Dalam menjalaninya perlu dibuat sasaran-sasaran antara yang memungkinkan
para karyawan merasa mencapai suatu keberhasilan dan berhak merayakannya sebagai
kemenangan. Tanpa kemenangan jangka pendek, para karyawan akan frustasi dan gagal
mencapai perubahan besar.
7. Terlalu cepat menyatakan kemenangan akhir. Suatu perubahan yang telah dicapai umumnya
masih labil. Mudah sekali untuk kembali ke keadaan semula. Jika kemenangan akhir dinyatakan
terlalu dini dan hasil perubahan tidak dijaga dengan baik, kembalinya perubahan yang telah
terjadi ke kondisi semula sangat mungkin terjadi.
8. Gagal membakukan perubahan ke dalam budaya perusahaan. Budaya perusahaan diyakini
sebagai kumpulan perilaku-perilaku yang ditunjukkan oleh para karyawan dalam kegiatan
sehari-hari. Jika perubahan tidak dapat diabadikan ke dalam perilaku karyawan dalam kegiatan
sehari-hari, maka lambat laun perubahan yang telah dicapai akan memudar.

Pentingya Visi
Visi dapat diartikan sebagai segala sesuatu yang ingin dicapai secara ideal dari seluruh aktivitas.
Visi juga dapat diartikan sebagai gambaran mental tentang sesuatu yang ingin dicapai di masa depan.
Visi adalah cita-cita. Visi adalah wawasan ke dapan yang ingin dicapai dalam kurun waktu tertentu. Visi
bersifat kearifan intuitif yang menyentuh hati dan menggerakkan jiwa untuk berbuat. (Tap. MPR RI
No.VII/MPR/2001 tanggal 9 November 2001)

Tanpa visi yang jelas organisasi akan berjalan tanpa arah,


berputar-putar tidak menuju sasaran dan akhirnya punah. Peter Senge (Saeful Millah, 2003) melalui
karya terkenalnya, "The Fith Discipline" (1997) melontarkan gagasannya bahwa sebuah organisasi hanya
akan mampu beradaptasi dengan perubahan apabila ia mampu menjadikan dirinya tampil sebagai
sebuah organisasi pemelajaran, learning organization, yakni sebuah organisasi yang dibangun oleh
orang-orang yang secara terus-menerus mau memperluas kapasitas dirinya dalam rangka mencapai
tujuan bersama yang telah ditetapkan.

Salah satu disiplin yang harus dilakukan dalam rangkan learning organization ungkap Senge
adalah membangun visi bersama, shared vision, yakni harapan bersama tentang masa depan yang ingin
dicapai organisasi. Sebuah visi benar-benar merupakan visi bersama apabila setiap orang memiliki
gambaran yang sama dan setiap orang merasa memiliki komitmen untuk mencapainya.
Visi merupakan sebuah daya atau kekuatan untuk melakukan perubahan, yang mendorong
terjadinya proses ledakan kreatifitas yang dahsyat melalui integrasi maupun sinergi berbagai keahlian
dari orang-orang yang ada dalam organisasi tersebut. Bahkan dikatakan (Aribowo Prijosaksono dan Roy
Sembel, 2002) bahwa "nothing motivates change more powerfully than a clear vision." Visi yang jelas
dapat secara dahsyat mendorong terjadinya perubahan dalam organisasi. Visi inilah yang mendorong
sebuah organisasi untuk senantiasa tumbuh dan belajar, serta berkembang dalam mempertahankan
survivalnya sehingga bisa bertahan sampai beberapa generasi. Visi tersebut dapat mengikat seluruh
anggotanya, juga mampu menjadi sumber inspirasi dalam menjalankan tugas mereka. Oleh karena itu,
visi bersama juga berfungsi membangkitkan dan mengarahkan. Menjalankan visi secara benar akan
memberikan dampak yang mencerahkan organisasi (Arvan Pradiansyah, http://www.dunamis.co.id),
karena:

1. Visi memberikan sense of direction yang amat diperlukan untuk menghadapi krisis dan
berbagai perubahan.
2. Visi memberikan fokus. Fokus merupakan faktor kunci daya saing perusahaan untuk
menjadi nomor satu di pasar. Karena focus mengarahkan kita tetap pada bidang keahlian
yang kita miliki..
3. Visi memberikan identitas kepada seluruh anggota organisasi. Ini baru terjadi bila setiap
individu menerjemahkan visi tersebut menjadi visi dan nilai pribadi mereka.
4. Visi memberikan makna bagi orang yang terlibat di dalamnya. Orang akan menjadi lebih
bergairah dan menghayati pekerjaan yang bertujuan jelas.

Burt Nanus (1992) menegaskan visi yang baik akan memberikan dampak terhadap
organisasi karena:
1. The right vision attracts commitment and energizes people
2. The right vision creates meaning in workers’ lives
3. The right vision establishes a standard of excellence
4. The right vision bridges the present and the future

Visi bukan merupakan sekadar rumusan kata-kata indah yang puitis dan enak didengar.
Visi juga bukan sekadar hasil olah pengetahuan (knowledge management), meski ia mencakup
hal itu. Visi tidak mungkin diperoleh dari pelatihan (training) sebab pada hakikatnya visi bukan
keterampilan. Visi harus berangkat dari hati (heart, perenungan, dan proses pembelajaran), yang
kemudian diberi "bingkai" oleh akal budi (ratio, pengetahuan), dan kemudian direalisasikan
lewat tindakan nyata (will, keterampilan) demikian ungkap Andrias Harefa. Oleh karena itu Burt
Nanus (1992) menyarankan agar visi organisasi memenuhi kriteria sebagai berikut:

1. Kepantasan (appropriateness). Visi organisasi harus cocok dengan "sejarah, budaya dan nilai."
Suatu visi harus mempertimbangkan masa lalu dan kondisi saat ini suatu organisasi, dan pada
waktu yang bersamaan, menjadi sesuatu yang realistis dan pantas untuk masa depan
organisasi.
2. Idealistis (idealistic). Suatu visi harus menyampaikan sesuatu yang penuh harapan dan positif.
Suatu visi harus membedakan antara value-latent dan mencerminkan "gagasan tinggi." Suatu
visi merupakan sesuatu yang produktif dan penting, barangkali bahkan, sesuatu yang adalah
sangat penting atau revolusioner.
3. Terpercaya dan penuh arti (purposeful dan credible). Suatu visi harus pula menjadi sesuatu yang
penuh arti atau memusat pada keberhasilan beberapa tujuan yang masuk akal. Visi harus bersih
dan memberi para pengikut dan affected others suatu arah yang penuh arti. Apakah visi dan alur
ke perwujudannya merupakan sesuatu yang sah? Apakah visi memberikan fokus benar dan
menawarkan suatu masa depan yang lebih baik?
4. Mendatangkan ilham (inspirational). Suatu visi harus memotivasi orang-orang untuk percaya
dan bergabung menjadi bagian dari kelompok yang mewujudkan masa depan yang lebih baik
(the making of a better tomorrow). Visi adalah suatu "pendorong" organisasi yang baru harus
memberikan inspirasi terhadap individu dan mendorong mereka untuk terikat secara penuh.
Orang-orang harus diberi dorongan dan keinginan guna mewujudkan visi.
5. Dapat dimengerti (understandable). Apakah visi jelas dan dapat dimengerti? Jika visi tersebut
rancu terlalu sukar untuk dipahami, visi tersebut merupakan suatu yang hilang dalam
pemaknaan awal dan dapat mengantarkan organisasi pada kegagalan. Para pemimpin harus
bekerja kearas untuk mengkomunikasikan suatu visi yang tidak saja bisa diraih oleh dirinya,
namun juga dapat diraih oleh yang lainnya. Seorang pemimpin harus mengetahui setiap aspek
yang berhubungan dengan visi, dan mampu untuk menyampaikan hal tersebut ke yang lainnya.
6. Unik (unique). Tiap organisasi berbeda dalam beberapa bentuk atau cara mengatur kegiatan
bisnis. Suatu organisasi bagaimanapun juga memiliki pengecualian dalam sejarahnya , tradisi,
aktivitas, dan lain-lain. Suatu visi tidak dapat mengelak untuk mencerminkan keunikan-keunikan
ini.
7. Ambisius (ambitious). Visi merupakan pandangan yang terlalu tinggi atau jauh, dan sangat
berani, dan sering juga berlawanan dengan hal yang berlaku alamiah. Mereka memerlukan
keberanian dan ketabahan. Sering mereka membutuhkan "pengorbanan dan investasi
emosional."

Hasil studi Andrias Harefa (http://www.pembelajar.com) sejauh ini menunjukkan 17


kemungkinan bila organisasi tidak dapat mewujudkan visinya, yaitu:
1. Visi itu tidak cukup jelas; 
2. Visi itu tidak cukup dikomunikasikan; 
3. Visi itu tidak cukup menarik perhatian; 
4. Visi itu tidak sesuai dengan harapan dan keinginan banyak orang; 
5. Visi itu tidak cukup sederhana untuk dapat diingat; 
6. Visi itu tidak cukup ambisius, 
7. Visi itu tidak cukup memotivasi; 
8. Visi itu tidak sesuai dengan nilai-nilai yang dianut sebagian besar orang;
9. Visi itu tidak menginspirasikan antusiasme; 
10. Visi itu, kalau tercapai, tidak memberikan rasa bangga; 
11. Visi itu tidak mampu memberi makna dalam kaitannya dengan kehidupan sehari-hari; 
12. Visi itu tidak merefleksikan keunikan; 
13. Visi itu tidak diyakini dapat dicapai; 
14. Visi itu membuat orang bersedia berkorban; 
15. Visi itu tidak "bernapas" atau tidak "hidup"; 
16. Visi itu tidak dirumuskan secara positif; dan 
17. Visi itu tidak dipelihara baik-baik oleh penggagasnya.
Agar visi organisasi yang dirumuskan dapat diwujudkan Paulus Wirutomo (2003),
memberikan beberapa rambu-rambu yang dapat dijadikan pedoman, yaitu:
1. Pelajari organisasi (atau masyarakat) kita dan organisasi (masyarakat) lain serta lingkungannya
(tantangan)
2. Ikutkan pihak lain (stakeholders)
3. Gunakan akal sehat, jangan asal meniru organisasi lain.
4. Dapatkan masukan dari pihak bawahan
5. Hargai hal-hal yang sudah ada sebelumnya.

Pemimpin Visioner
Kepemimpinan visioner, adalah pola kepemimpinan yang ditujukan untuk memberi arti pada
kerja dan usaha yang perlu dilakukan bersama-sama oleh para anggota perusahaan dengan cara
memberi arahan dan makna pada kerja dan usaha yang dilakukan berdasarkan visi yang jelas (Diana
Kartanegara, 2003).

Kompetensi Pemimpin Visioner


Kepemimpinan Visioner memerlukan kompetensi tertentu. Pemimipin visioner
setidaknya harus memiliki empat kompetensi kunci sebagaimana dikemukakan oleh Burt Nanus
(1992), yaitu:
1. Seorang pemimpin visioner harus memiliki kemampuan untuk berkomunikasi secara efektif dengan
manajer dan karyawan lainnya dalam organisasi. Hal ini membutuhkan pemimpin untuk
menghasilkan “guidance, encouragement, and motivation.”
2. Seorang pemimpin visioner harus memahami lingkungan luar dan memiliki kemampuan bereaksi
secara tepat atas segala ancaman dan peluang. Ini termasuk, yang plaing penting, dapat "relate
skillfully" dengan orang-orang kunci di luar organisasi, namun memainkan peran penting terhadap
organisasi (investor, dan pelanggan).
3. Seorang pemimpin harus memegang peran penting dalam membentuk dan mempengaruhi praktek
organisasi, prosedur, produk dan jasa. Seorang pemimpin dalam hal ini harus terlibat dalam
organisasi untuk menghasilkan dan mempertahankan kesempurnaan pelayanan, sejalan dengan
mempersiapkan dan memandu jalan organisasi ke masa depan (successfully achieved vision).
4. Seorang pemimpin visioner harus memiliki atau mengembangkan "ceruk" untuk mengantisipasi
masa depan. Ceruk ini merupakan ssebuah bentuk imajinatif, yang berdasarkan atas kemampuan
data untuk mengakses kebutuhan masa depan konsumen, teknologi, dan lain sebagainya. Ini
termasuk kemampuan untuk mengatur sumber daya organisasi guna memperiapkan diri
menghadapi kemunculan kebutuhan dan perubahan ini.

Barbara Brown mengajukan 10 kompetensi yang harus dimiliki oleh pemimpin visioner, yaitu:

1. Visualizing. Pemimpin visioner mempunyai gambaran yang jelas tentang apa yang hendak
dicapai dan mempunyai gambaran yang jelas kapan hal itu akan dapat dicapai.
2. Futuristic Thinking. Pemimpin visioner tidak hanya memikirkan di mana posisi bisnis pada
saat ini, tetapi lebih memikirkan di mana posisi yang diinginkan pada masa yang akan
datang.

3. Showing Foresight. Pemimpin visioner adalah perencana yang dapat memperkirakan masa
depan. Dalam membuat rencana tidak hanya mempertimbangkan apa yang ingin dilakukan,
tetapi mempertimbangkan teknologi, prosedur, organisasi dan faktor lain yang mungkin
dapat mempengaruhi rencana.

4. Proactive Planning. Pemimpin visioner menetapkan sasaran dan strategi yang spesifik untuk
mencapai sasaran tersebut. Pemimpin visioner mampu mengantisipasi atau
mempertimbangkan rintangan potensial dan mengembangkan rencana darurat untuk
menanggulangi rintangan itu

5. Creative Thinking. Dalam menghadapi tantangan pemimpin visioner berusaha mencari


alternatif jalan keluar yang baru dengan memperhatikan isu, peluang dan masalah. Pemimpin
visioner akan berkata “If it ain’t broke, BREAK IT!”.

6. Taking Risks. Pemimpin visioner berani mengambil resiko, dan menganggap kegagalan
sebagai peluang bukan kemunduran.

7. Process alignment. Pemimpin visioner mengetahui bagaimana cara menghubungkan sasaran


dirinya dengan sasaran organisasi. Ia dapat dengan segera menselaraskan tugas dan pekerjaan
setiap departemen pada seluruh organisasi.

8. Coalition building. Pemimpin visioner menyadari bahwa dalam rangka mencapai sasara
dirinya, dia harus menciptakan hubungan yang harmonis baik ke dalam maupun ke luar
organisasi. Dia aktif mencari peluang untuk bekerjasama dengan berbagai macam individu,
departemen dan golongan tertentu.

9. Continuous Learning. Pemimpin visioner harus mampu dengan teratur mengambil bagian
dalam pelatihan dan berbagai jenis pengembanganlainnya, baik di dalam maupun di luar
organisasi. Pemimpin visioner mampu menguji setiap interaksi, negatif atau positif, sehingga
mampu mempelajari situasi. Pemimpin visioner mampu mengejar peluang untuk
bekerjasama dan mengambil bagian dalam proyek yang dapat memperluas pengetahuan,
memberikan tantangan berpikir dan mengembangkan imajinasi.

10. Embracing Change. Pemimpin visioner mengetahui bahwa perubahan adalah suatu bagian
yang penting bagi pertumbuhan dan pengembangan. Ketika ditemukan perubahan yang tidak
diinginkan atau tidak diantisipasi, pemimpin visioner dengan aktif menyelidiki jalan yang
dapat memberikan manfaat pada perubahan tersebut.

Peran Pemimpin Visioner


Burt Nanus (1992), mengungkapkan ada empat peran yang harus dimainkan oleh
pemimpin visioner dalam melaksanakan kepemimpinannya, yaitu:
1. Peran penentu arah (direction setter). Peran ini merupakan peran di mana seorang pemimpin
menyajikan suatu visi, meyakinkan gambaran atau target untuk suatu organisasi, guna diraih
pada masa depan, dan melibatkan orang-orang dari "get-go." Hal ini bagi para ahli dalam studi
dan praktek kepemimpinan merupakan esensi dari kepemimpinan. Sebagai penentu arah,
seorang pemimpin menyampaikan visi, mengkomunikasikannya, memotivasi pekerja dan rekan,
serta meyakinkan orang bahwa apa yang dilakukan merupakan hal yang benar, dan mendukung
partisipasi pada seluruh tingkat dan pada seluruh tahap usaha menuju masa depan.
2. Agen perubahan (agent of change). Agen perubahan merupakan peran penting kedua dari
seorang pemimpin visioner. Dalam konteks perubahan, lingkungan eksternal adalah pusat.
Ekonomi, sosial, teknologi, dan perubahan politis terjadi secara terus-menerus, beberapa
berlangsung secara dramatis dan yang lainnya berlangsung dengan perlahan. Tentu saja,
kebutuhan pelanggan dan pilihan berubah sebagaimana halnya perubahan keinginan para
stakeholders. Para pemimpin yang efektif harus secara konstan menyesuaikan terhadap
perubahan ini dan berpikir ke depan tentang perubahan potensial dan yang dapat dirubah. Hal
ini menjamin bahwa pemimpin disediakan untuk seluruh situasi atau peristiwa-peristiwa yang
dapat mengancam kesuksesan organisasi saat ini, dan yang paling penting masa depan.
Akhirnya, fleksibilitas dan resiko yang dihitung pengambilan adalah juga penting lingkungan
yang berubah.
3. Juru bicara (spokesperson). Memperoleh "pesan" ke luar, dan juga berbicara, boleh dikatakan
merupakan suatu bagian penting dari memimpikan masa depan suatu organisasi. Seorang
pemimpin efektif adalah juga seseorang yang mengetahui dan menghargai segala bentuk
komunikasi tersedia, guna menjelaskan dan membangun dukungan untuk suatu visi masa
depan. Pemimpin, sebagai juru bicara untuk visi, harus mengkomunikasikan suatu pesan yang
mengikat semua orang agar melibatkan diri dan menyentuh visi organisasi-secara internal dan
secara eksternal. Visi yang disampaikan harus "bermanfaat, menarik, dan menumbulkan
kegairahan tentang masa depan organisasi."
4. Pelatih (coach). Pemimpin visioner yang efektif harus menjadi pelatih yang baik. Dengan ini
berarti bahwa seorang pemimpin harus menggunakan kerjasama kelompok untuk mencapai visi
yang dinyatakan. Seorang pemimpin mengoptimalkan kemampuan seluruh "pemain" untuk
bekerja sama, mengkoordinir aktivitas atau usaha mereka, ke arah "pencapaian kemenangan,"
atau menuju pencapaian suatu visi organisasi. Pemimpin, sebagai pelatih, menjaga pekerja
untuk memusatkan pada realisasi visi dengan pengarahan, memberi harapan, dan membangun
kepercayaan di antara pemain yang penting bagi organisasi dan visinya untuk masa depan.
Dalam beberapa kasus, hal tersebut dapat dibantah bahwa pemimpin sebagai pelatih, lebih
tepat untuk ditunjuk sebagai "player-coach."

Kepemimpinan Visoner dalam Tindakan

Kepemimpinan Visioner adalah suatu konsep yang dapat diuraikan terperinci dan dipahami
melalui literatur dan teori. Namun arti yang lebih besar dari kepemimpinan adalah tindakan nyata, cara
bekerja, dan serangkaian peristiwa. Pada bagian ini, kepemimpinan visioner dapat dilihat kerangka
pergerakan, perubahan, dan waktu. Jelasnya, tindakan kepemimpinan visioner berbeda dari talking atau
analyzing hal tersebut, media yang dipergunakan di sini akan menjadi sesuatu yang penting untuk
ditulis. Hal ini menjadi penting bagi para pembaca bahwa memadukan apa yang terjadi dalam kenyataan
dengan teori haruslah menjadi keharusan, karena kepemimpinan visioner tidak dinilai dari sudut
pendekatan teoretis atau ideologi semata.

Harper (2001) menyatakan bahwa kepemimpinan menghadapi suatu era perubahan pesat atau
"accelerating" perubahan. Karenanya, waktu merupakan faktor penting untuk menjadikan seorang
pemimpin visioner. Guna menghadapi perubahan pesat ini dengan baik, pemimpin harus memiliki
serangkaian kompetensi yang pokok seperti kemampuan antisipasi, kecepatan, agility dan persepsi.

Antisipasi berarti bahwa kepemimpinan visioner harus secara pro aktif mengamati lingkungan
guna menemukan perubahan yang secara negatif maupun positif mempengaruhi organisasi.
Pemimimpin harus secara aktif mendukung pekerja untuk bersiap setiap saat menghadapi perubahan
pesat lingkungan, dan untuk mempertahankan pemimpin dan para manajer selalu menaruh perhatian
atas hal tersebut. Menjadi “perceptive, nimble dan innovative” dalam lingkungan yang berubah pesat
akan memberikan manfaat bagi organisasi. Sebagai tambahan, praktek menggunakan skenario “what if”
menguntungkan bagi para pemimpin. Secara rutin, mempertimbangkan dan mendiskusikan
kemungkinan seluruh skenario yang mungkin dapat terjadi pada masa depan, menjaga pemimpin
visioner untuk memfokuskan dan menyiapkan beragam kemungkinan. Penciptaan rencana-rencana
darurat dapat berguna untuk beberapa skenario.

Harper (2001), dan para pengarang buku lain tentang kepemimpinan dan manajemen percaya
bahwa speed merupakan faktor penting untuk mempertahankan posisi kompetitif, merespon secara
kompetitif terhadap kebutuhan pelangan dan menghemat uang. (Grant and Gnyawali, 1995; McKenna,
1997; LeBoeuf, 1993; Reinhardt, 1997; Carnevale, 1990). Para ahli setuju bahwa perdagangan dan bisnis
pada hari ini mencakup sektor jasa juga. Bergerak cepat dalam merespon kebutuhan konsumen di
bidang jasa. Pemimpin visioner melihat kecepatan sebagai sebuah kemampuan yang harus dikuasai
guna memuaskan konsumen yang menginginkan pelayanan atau pemenuhan kebutuhan seketika.
Pelayanan yang cepat, bersahabat dan efisien merupakan contoh dari apa yang diinginkan oleh
pelanggan terhadap pelayanan pemerintah. Teknologi informasi, pelayanan on-line melalui internet
merupakan prasyarat bagi pemerintah dalam membentuk highest quality service. Hal ini menandakan,
kecepatan pelayanan membantu pemerintah dalam meraih simpati dan kerja sama warga.

Kecerdikan (agility) merupakan istilah lain yang secara perlahan berhubungan dengan
kepemimpinan visioner. The National Baldrige Program mendefinisikan hal kecerdikan “a capacity for
rapid change and flexibility.” Harper (2001) mengatakan bahwa “agility is the ability to turn on a dime.”
Kecerdikan merupakan kemampuan seorang pemimpin untuk melihat ke depan dalam kaitan dengan
faktor apa yang terletak di depan bagi sebuah organisasi (perceptiveness). Hal ini juga termasuk
kapasitas untuk mempersiapkan dan juga menjadi fleksibel, guna membuat perubahan atau penyesuian
untuk menghilangkan ancaman dan mengambil keuntungan dari oportunitas. Agility memiliki beberapa
komponen integral:

1. The ability to develop and make available new and desirable products and services.
2. The ability to enter new markets or connect with new constituencies.
3. The ability to adjust and respond to changing customer needs.
4. The ability to adjust swiftly from one organizational process or procedure to another.
5. The ability to compress time in the delivery of goods and services.

Perceptiveness merupakan kapasitas penting lain dari kepemimpinan visioner. Pemimpin harus
waspada terhadap segala bentuk intrik dan perubahan di lingkungan eksternal. Kewaspadaan ini harus
segera ditindaklanjuti guna merespon secara cepat dan tepat, dan mengambil langkah-langkah yang
tepat. Pada kasus dimana peluang dirasa ada, pemimpin harus segara bertindak. Lead-time juga penting
bagi kesuksesan organisasi; karenanya, pemimpin visioner harus memiliki "radar screens" yang selalu
menyala setiap saat. Pemimpin harus mengidentifikasi peluang yang muncul dan potensial,
mempersiapkan serangkaian strategi dan memadukan seluruh sumber daya yang dibutuhkan, dan
melayani serta memproduksi "at opportune times" guna memaksimalkan kesuksesan atau prestasi.

Penutup
Chaos theory memberikan satu pelajaran penting, berubah dan antisipasi perubahan. Praktek
terbaik untuk dapat mengantisipasi perubahan yang cepat dalam dunia yang chaos salah satunya adalah
melalui kepemimpinan visioner. Kepemimpinan yang memiliki visi kuat adalah tonggak penentu
organisasi. Kepemimpinan visioner memiliki beberapa faktor integral, seperti kemampuan antisipasi,
kecepatan, kecerdikan dan persepsi. Seluruh faktor tersebut dirangkum dalam sebuah ikatan gaya
kepemimpinan yang komunikatif, coaching, terbuka, menjadi fasilitator, dan penumbuh motivasi. Faktor
terakhir merupakan prasyarat bagi kepemimpinan visioner dalam mengajak seluruh anggota organisasi
meraih visi organisasi. Tanpa kemampuan tinggi dalam menumbuhkan semangat dan motivasi melalui
kesadaran kolektif, pencapaian visi dan keberlangsungan organisasi dipertaruhkan.

Daftar Pustaka

Burt Nanus. Visionary Leadership: Creating a Compelling Sense of Direction for Your
Organization. (San Francisco, CA: Jossey-Bass Publishers, 1992).

Cox, M., & Rock, M. E. (1997). The seven pillars of visionary leadership: Aligning your
organization for enduring success. Toronto, ON: Dryden - Harcourt Brace Canada.

Frances Hesselbein, Marshall Goldsmith and Richard Beckhard. The Leader of the Future: New Visions,
Strategies, and Practices for the Next Era. (San Francisco, CA: Jossey-Bass Publishers, 1997).

Harefa, Andrias. Kepemimpinan-Manajemen: Visionaris. [Online].


http://www.pembelajar.com/pemimpin/peminari.htm

Kartanegara, Diana. (2003). Strategi Membangun Eksekutif. [Online]. Tersedia:


http://www.pln.co.id/fokus/ArtikelTunggal.asp?ArtikelId= 268
Tentang Visi Indonesia Masa Depan. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat RI
No.VII/MPR/2001 tanggal 9 November 2001,.

Kotter, J. P. ( 1996). Leading Change. Boston, MA: Harvard Business School Press.

Marshall Sashkin. From “Visionary Leadership,” in Contemporary Issues in Leadership, 2nd Edition,
William E. Rosenbach and Robert L. Taylor, eds., Westview Press, 1989. As edited by J. Thomas
Wren. The Leader’s Companion: Insights on Leadership Through the Ages. (New York, NY: The
Free Press, 1995).

Millah, Saeful. (2003) Perubahan Birokrasi Secara Menyeluruh. Harian Umum Pikiran Rakyat.
Edisi Kamis, 13 Februari 2003

Pradiansyah, Arvan. Merumuskan Visi, [Online]. Tersedia:


http://www.dunamis.co.id/Homepage/EffLibrary.nsf/0/d1f91ddd170c9c8747256a40002a
aa4a?

Prijosaksono, Aribowo dan Sembel, Roy. Kepemimpinan yang Melayani. [Online].


http://www.sinarharapan.co.id/ekonomi/mandiri/2002/ 02/2/man01.html

Ronald A. Heifetz. Leadership Without Easy Answers. (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1994).

Stephen C. Harper. The Forward-Focused Organization: Visionary Thinking and Breakthrough Leadership
to Create Your Company’s Future. New York, NY: AMACOM, American Management Association,
2001).

Sudjarwadi, Tommy. Mengapa Dinosaurus Punah? [Online].


http://www.dunamis.co.id/Homepage/EffLibrary.nsf/0/fac21c946b3d366947256cda002f8
ba0?

Wirutomo, Paulus. (2003). Kepemimpinan Visioner, Makalah disampaikan pada Seminar dan
Lokakarya bagi pejabat Struktural Eselon III dan IV di lingkungan Dikdasmen di Bogor.
Tidak dipublikasikan.

Extraordinary Leadership – Habitus Baru Kepemimpinan Korporasi

Kepemimpinan Visioner

Lily Widjaja (*)

1. Membentuk visi pribadi dan visi organisasi:

A. Visi Pribadi: nilai martabat luhur manusia


B. Visi Organissasi: habitus prifit/beyond profit/based on values

C. Lebih lanjut dengan Values

2. Menterjemahkan visi menjadi tindakan

3. Pemimpin visioner yang bijaksana

     (tidak hanya cakap mengelola bisnis, namun juga cerdas secara spiritual)

4. Contoh pemimpin visioner: Pater Jules Chevalier MSC

Apa itu sukses?

            Baru-baru ini aku melempar suatu pertanyaan kepada seorang teman: sukses itu tujuan
atau akibat? Secara spontan dia langsung menjawab: tujuan. Tapi ketika aku memandangya
dengan penuh pikir, dia juga mulai berpikir, lalu menjawab: mestinya suskes itu akibat.

Dalam berbagai interview, sering aku ditanya definisi sukses. Dalam benak penanya jelas
sukses dikaitkan dengan harta dan kuasa. Aku punya pandangan yang sangat berbeda. Pada
hematku, sukses adalah ketika aku memberi yang terbaik dari diriku, melaksanakan tugas
pekerjaanku dengan sepenuh hati dan penuh tanggung jawab. Apapun hasilnya, itulah sukses!
Jadi, aku telah sukses sejak aku menjadi murid yang sekolah dengan baik. Seorang ibu rumah
tangga atau bapak rumah tangga yang mengurus rumah tangganya dan anak-anaknya dengan
sepenuh hati dan penuh tanggung jawab, itulah sukses. Tidak ada kaitan dengan posisi, jabatan,
harta kekayaan, kekuasaan apapun. Sukses adalah ketika aku memberi yang terbaik dari diriku!

1. Membentuk Visi Pribadi dan Visi Organisasi

A. Visi Pribadi: nilai martabat luhur manusia

Sukses itu bukan tujuan tetapi sebuah akibat. Dalam tataran personal, mari kita bertanya
kepada diri kita masing-masing: mengapa perlu berubah? Apakah agar kita lebih kaya, lebih
berkuasa, lebih bertahta? Sah-sah saja semua keinginan dan cita-cita itu. Namun aku mau
menawarkan sebuah jawaban yang menurutku lebih permanent dan transcendent, yakni: kita
berubah agar kita sejahtera jiwa raga, hidup bernilai dan bermakna sebagai manusia, selayak-
layaknya makhluk yang utuh.
 

Menurut hemat saya, bisnis itu harus berorientasi nilai dan mengarah kepada perubahan
yang transformative, suatu perubahan yang mengungkapkan dan meneguhkan hakikat martabat
manusia itu sendiri di tengah-tengah dunianya. Semua kemajuan dan pencapaian yang bisa
dibuat manusia di bidang apapun, termasuk dalam dunia bisnis, semuanya itu harus tetap dikritisi
dalam terang nilai-nilai. Apa artinya suatu kemajuan kalau manusia direndahkan hanya sebagai
hamba kemajuan itu sendiri? Apa artinya pencapaian tertinggi manusia, kalau manusia pada
akhirnya dikendalikan dan mendapatkan dirinya sedang masuk dalam pusaran efek boomerang
yang destruktif?

Nilai-nilai merupakan fundamen dan pegangan manusia untuk selalu hidup akrab dengan
kesejatian dirinya dan hidup harmonis dengan alam sekitarnya (social maupun natural). Nilai-
nilai akan menuntun manusia untuk senantiasa menjalani kehidupan, mengisinya dengan segala
dinamika yang diperlukan, menuju kehidupan yang lebih baik dan berkualitas, suatu dunia baru
yang terbentang luas dan layak untuk dihidupi. Bahasa agamanya: kembali ke hakikat luhur
manusia sebagai fitrah Penciptanya, citra dan rupa Allah sendiri!!

(Visi pribadi yang mengasumsikan nilai dan keyakinan di atas, tentu saja sudah dan akan
mempengaruhi saya dalam menjalani pekerjaan profesional di sejumlah korporat dan
organisasi bisnis lainnya)

B. Visi Organisasi: habitus profit/beyond profit/based on values

Suatu entitas bisnis didirikan sudah pasti dengan tujuan mencari untung, meningkatkan
nilai bagi pemegang saham. Management perusahaan bertugas dan bertanggung jawab untuk
membawa perseroan tumbuh dan berkembang sebagai suatu going-concern yang sukses. Ukuran
yang mudah adalah nilai buku atau net asset yang meningkat. Dengan kata lain, sudah kodratnya
suatu entitas bisnis yang bukan yayasan sosial mencari untung. Tidak ada yang salah dengan itu.

Tapi pertanyaannya adalah: apa visi misi dari suatu bisnis yang sustainable di masa
depan? Apakah sekedar mencari untung dengan segala cara kalau perlu yang tidak etis, atau
mencari untung secara jujur dan adil? Tentu saja yang seharusnya adalah bisnis mencari untung
dengan cara yang benar. Sementara ini, bisnis dan kejujuran dipersepsikan sebagai dua kutub
yang berlawanan dan tidak mungkin dipertemukan. Benarkah itu?

Kita bisa mengubah mentalitas dan keyakinan yang cenderung dikotomis tersebut. Saya
mengistilahkan habitus profit untuk suatu sikap dan prilaku bisnis yang jujur dan adil. Karena,
sesungguhnya bisnis dan kejujuran, profit dan integritas, merupakan realitas yang tidak
seharusnya saling dipertentangkan, tetapi bisa dan hendaknya dipersandingkan.  Kuncinya adalah
mencintai bisnis sebagai lahan pekerjaan yang sah dan perlu, dengan kesadaran bahwa berbisnis 
punya nilai dan makna sejauh sebagai sarana. Tetapi bukan sembarang sarana, melainkan sarana
positif dan sesuai kehendak Allah. Melalui sarana inipun karyawan atau pebisnis adalah subyek
yang dipanggil menjadi collaborator atau co-Creator Sang Pencipta.

Mencintai bisnis mengandaikan sikap dan perilaku yang menjunjung tinggi


profesionalitas dan integritas moral dari para pelaku bisnis itu sendiri.Apa gunanya mendapat
untung kalau harkat martabat manusia diinjak-injak, atau dalam proses mendapat keuntungan itu
kita harus mencelakakan sesama?

Jadi, perubahan yang hendak dicapai bukanlah sekedar perubahan yang menghasilkan
kemajuan asset material dan citra positif perusahaan. Apa yang dicapai oleh Organisasi atau
Perusahan itu sesungguhnya tidak sekedar menyentuh aspek material, yang memang wajar dan
perlu. Tapi, dalam perspektif berbisnis dengan basis nilai, pencapaian itu tidak lain merupakan
hasil dan peneguhan atas terimplementasikannya nilai-nilai normative dalam proses produksi
perusahaan. Dengan demikian perubahan yang dicapai adalah perubahan yang berbasis nilai-
nilai.

Hemat saya, korporasi masa depan adalah korporasi yang berbasis nilai, yang
menjunjung martabat luhur manusia. Bisnis perusahaan akan bersinergi dengan segala komponen
institusi manusia di bumi yang satu dan sama ini: akan semakin mendekatkan nilai-nilai dan
praktik menuju suatu perubahan yang transformative, yang menghasilkan dunia yang lebih aman
dan sejahtera, lahir dan batin. Perhatikanlah semua konstitusi Negara bangsa, perhatikanlah
ajaran-ajaran spiritual semua agama, Anda akan menemukan bahwa semuanya mengasumsikan
(dasar, harapan, impian) sejumlah nilai yang universal sifatnya (melampaui batas-batas suku,
agama, ras, dan golongan)!!! Karena itu habitus baru dalam segala cara pikir, merasa, dan
bertindak di bidang apapun, termasuk bisnis dan kepemimpinan, senantiasa penting dan relevan.

C. Lebih lanjut dengan Bisnis Berbasis Nilai

Business Ethics sangat penting dan mendesak serta tetap relevan kapan dan di manapun.
Aku bukan pakar dalam bidang business ethics. Tapi pengalamanku mengatakan bahwa
penghayatan akan nilai-nilai yang benar secara otomatis akan membawa kita pada praktik bisnis
yang etis.

Pengakuan atas pentingnya nilai-nilai dalam berbisnis sesungguhnya sudah menjadi


kesadaran dan praktek global. Bisa dikatakan usaha berbisnis berbasis nilai sungguh
mendapatkan dukungan yang kuat dari masyarakat dunia. Contoh yang paling jelas adalah
penerapan Good corporate governance oleh lembaga-lembaga formal maupun non-formal yang
dikelola oleh pemerintah maupun swasta.  Pasti sudah pernah mendengar tentang GCG, atau
Good Corporate Governance, atau tata kelola perusahaan yang baik. Dalam peraturan BEJ sudah
ada ketentuan GCG untuk emiten yang mencatatkan sahamnya. Dalam draft revisi UUPM
dimasukkan pula ketentuan GCG. Ada juga organisasi yang membuat benchmark dan
positioning dari perusahaan-perusahaan dalam pelaksanaan GCG.
Semua itu bagus-bagus saja. Namun menurut aku, GCG perlu muncul dari internal diri
kita, yang kemudian diterjemahkan dalam tindakan. Kalau tidak, pelaksanaan GCG hanya akan
berhenti sebatas checklist pemenuhan normative formalitas.

2. Menterjemahkan Visi menjadi Tindakan

Kekuatan seorang pemimpin visioner terpusat pada suatu visi yang melaluinya para
pengikut atau anggotanya berdaya dan bersemangat.  Visi bukan tercipta dari suatu kekosongan,
melainkan berakar pada sesuatu yang mendasar tentang kehidupan manusia, seperti: nilai-nilai,
kepercayaan, makna dan impian tentang kodrat manusia, gambaran diri sebagai person dan
sebagai professional, dll.

Pada tahap berikutnya sang pemimpin akan mengartikulasikan visi tersebut dengan cara-
cara yang mendorong koleha-koleha mengambil bagian dalam visi itu; kemudian mengiluminasi
kegiatan-kegiatan mereka yang biasa dengan signifikansi yang dramatical. Tahap iluminasi ini
dilakukan dengan cara yang membawa orang pada suatu keyakinan bahwa visi itu layak dan
bernilai, bukan dengan cara ‘selling’ layaknya sebuah barang belaka. Berikutnya, pemimpin
masuk ke tahap menanamkan visi itu dalam struktur dan proses organisasi. Tujuannya supaya
orang mengalami visi itu dalam berbagai pola aktivitas organisasi mereka sendiri. Untuk itu juga
pemimpin dan kolega membuat keputusan hari demi hari dalam terang visi itu sendiri. Tujuannya
supaya visi sungguh menjadi jantung dari budaya organisasi perusahaan. Dan kalau perlu, semua
anggota organisasi punya waktu tertentu untuk merayakan visi itu dalam ritual upacara-upacara,
annual reward, pagelaran seni atau bentuk-bentuk lainnya guna mengungkapkan sekaligus
meneguhkan nilai, menguatkan dan menyemangati perjalanan mereka.

Pemimpin mengartikulasikan visi dalam pelbagai bentuk melalui rapat pertemuan, group
assemblies, interaksi umum lainnya, dst. sehingga seluruh komunitas menjadi bagian dari visi
itu. “Unless the vision becomes a communal vision, then the leader cannot in fact lead”. Until the
vision permeates the policies, practices, relationships and programs operative in the organization
nothing radically happens. When it does, “new traditions arise, new values become highlighted, a
fabric of meaning that binds the community organically together begins to emerge”.

3. Pemimpin visioner yang bijaksana: kesimpulan


 

 the leader must be automatically human, knowing the essence of what it means to be
human and giving living expression to that humanness.
 The leader must also be a real visionary whose vision is impregnated with a
comprehensive knowledge ‘of the history, culture and issues facing the organization. The
leader’s goal is to be an institution builder, one who calls for the inner strengths, values,
feelings of others in identifying and finding meaning and significance for what they do
together.
 the leader must have a thorough knowledge of the formal and informal structures and
processes of the organization.
 A visionary leader should also learn from the other styles of leader in order to
complement his style of leadership. With regard to this, Bishop John Heaps from the
Australian Bishops Conference says: “Leadership contains the ability to inspire others, to
fill them with enthusiasm and to give them an personal example to want to use their gifts
with others for the good of all….True leadership has a quality of openness and quality of
being able to create a climate of unity among people with diverse ideas, so that all will be
heard. The true leader has the courage to take the decisions that have been made with
reasonable consultation”.

4. Pater Jules Chevalier: vision-inspiration-embodiment-mission

I was so touched by the life an work of Jules Chevalier. I think he is a great example of a
true visionary leader. I may share some of my reflections on Father Chevalier as a visionary
leader. People may say that he a visionary leader for what he has done by founding
congregations like the MSC and DOLSH (Daughter of Our Lady of the Sacred Heart). But for
me Father Chevalier is more than a founder.

He is a visionary leader, whose vision becomes a congregational vision.

First: He had a very clear vision of God's Love for human beings regardless races,
religions, color etc. This is a universal vision. That's why it's so popular in his time ... and I
suppose it can be popular in nowadays if we want to promote it.... "Do you think so????" It
depends on our scale of values, belief and commitment to do so ...

Second: In order to develop this vision to become other people's vision, he embodied this
vision in a very practical way which he called: Devotion to the Sacred Heart. A devotion is now
called "a way of the heart" - "spirituality of the Heart" - which focuses on the LOVE as a basic of
human need. And I think many people were so convinced by this "embodied vision". But I hope
that we do not forget that before embodying this vision, his vision became an inspiration for "the
way of the heart" he had chosen. The vision became a driving force. Third: He needed people
who have believed in this vision in their turn to spread this vision. That what we call "mission".
The foundation of the MSC and DOLSH were meant to spread this vision through their
ministries.These are very valuable heritage that we have inherited from Father Chevalier. So I
agree with you that FATHER CHEVALIER IS REALLY A VISIONARY LEADER.

There were FOUR elements we could see from his life:


VISION - INSPIRATION - EMBODIMENT – MISSION.

If you have vision but the vision cannot become an inspiration....and then... you cannot become a
visionary leader. And if you have vision and inspiration but if you cannot convince people by
embodying your vision in a way of life...then...you cannot claim yourself as a visionary leader.
Only when you get the vision to inspire people, embodying it in a concrete way of life, and you
are able to convince other people by commitment of being faithful to your mission....and you can
claim yourself or someone as a visionary leader.
--------------------------

* Sekarang menjabat sebagai Bendahara I Dewan Paroki St. Kristoforus Grogol, Jakarta. Sehari-
hari sebagai praktisi pasar modal, menjabat sebagai Presiden Direktur PT Merrill Lynch
Indonesia, Ketua Umum Asosiasi Perusahaan Efek Indonesia, dan baru saja menyelesaikan dua
periode sebagai Komisaris Bursa Efek Jakarta (sampai pada peralihannya menjadi Bursa Efek
Indonesia).

Kepemimpinan visioner, adalah pola kepemimpinan yang ditujukan untuk memberi arti pada kerja dan
usaha yang perlu dilakukan bersama-sama oleh para anggota perusahaan dengan cara memberi arahan
dan makna pada kerja dan usaha yang dilakukan berdasarkan visi yang jelas.

Kepemimpinan Visioner memerlukan kompetensi tertentu. Pemimipin visioner setidaknya harus


memiliki empat kompetensi kunci sebagaimana dikemukakan oleh Burt Nanus (1992), yaitu:

1. Seorang pemimpin visioner harus memiliki kemampuan untuk berkomunikasi secara efektif dengan
manajer dan karyawan lainnya dalam organisasi. Hal ini membutuhkan pemimpin untuk menghasilkan
“guidance, encouragement, and motivation.”
2. Seorang pemimpin visioner harus memahami lingkungan luar dan memiliki kemampuan bereaksi
secara tepat atas segala ancaman dan peluang. Ini termasuk, yang plaing penting, dapat "relate
skillfully" dengan orang-orang kunci di luar organisasi, namun memainkan peran penting terhadap
organisasi (investor, dan pelanggan).
3. Seorang pemimpin harus memegang peran penting dalam membentuk dan mempengaruhi praktek
organisasi, prosedur, produk dan jasa. Seorang pemimpin dalam hal ini harus terlibat dalam organisasi
untuk menghasilkan dan mempertahankan kesempurnaan pelayanan, sejalan dengan mempersiapkan
dan memandu jalan organisasi ke masa depan (successfully achieved vision).
4. Seorang pemimpin visioner harus memiliki atau mengembangkan "ceruk" untuk mengantisipasi masa
depan. Ceruk ini merupakan ssebuah bentuk imajinatif, yang berdasarkan atas kemampuan data untuk
mengakses kebutuhan masa depan konsumen, teknologi, dan lain sebagainya. Ini termasuk kemampuan
untuk mengatur sumber daya organisasi guna memperiapkan diri menghadapi kemunculan kebutuhan
dan perubahan ini.
RESUME KEPEMIMPINAN VISIONER

MATA PELAJARAN : KEPEMIMPINAN VISIONER DOSEN : WAKA POLRI I. Intisari


Resume. a. Pengertian Kepemimpinan integratif yang visioner seseorang yang dalam memimpin
mempunyai ciri-ciri : Berorientasi pada visi yang diterjemahkan dalam tindakan nyata,
Keinginan untuk adanya perubahan menggugat kemapanan dan keseimbangan dalam sistem,
Memiliki kepekaan dan kepedulian yang tinggi.dan Piawai beradaptasi memperlakukan sumber
daya organisasi. Dengan ciri tersebut akan memperbesar kemungkinan berhasil bagi pimpinan
dan organisasi terebut.

b. Kaitan Materi Kuliah dengan Tugas Polri Dimana Polri adalah suatu organisasi yang
terstruktur yang setiap bagian/ strata adanya suatu pimpinan yang akan memanage dan
bertanggung jawab akan pelaksanaan tugasnya, sehingga organisasi kepolisian akan dapat
dilaksanakan tugasnya dengan baik, lain halnya bila suatu organisasi tidak ada pimpinannya, bila
suatu organisasi tidak ada pimpinannya maka tidak ada arah dan tujuan dalam organisasi
tersebut.

Itulah yang melatarbelakangi adanya mata kuliah kepemimpinan dan para Pasis yang sedang
melaksanakan pendidikan Sespim yang akan dipersiapkan untuk menjadi pimpinan tingkat
menengah di Polri, sehingga mempunyai konsep dan teori yang benar sebagai dasar
implementasi didalam pelaksanaan tugas dengan profesional yaitu ; mahir, terpuji dan patuh
hukum.

Perbandingan kuliah dengan tugas-tugas Kepolisian di negara lain, yang Pasis ketahui dengan
Kepolisian Jepang, Perancis dan Singapura. Saat Pasis studi banding ke negara tersebut antara
lain : Modul agar diberikan kepada Pasis 2-3 hari sebelum perkuliahan dilaksanakan, sehingga
Pasis memahami dan lebih dapat dimengerti secara umum materi tersebut sehingga interaktif 2
arah dapat dilaksanakan dengan aktif.

Hubungan materi kuliah dengan tema pendidikan adalah dengan diajarkan tentang materi
kepemimpinan tersebut Pasis dapat mempelajari, memahami akan artinya kepemimpinan dengan
berbagai konsep dan teori yang nantinya bisa menjadi pedoman dalam pelaksanaan tugas
khususnya dalam menghadapi Pemilu 2009.

II. Refrensi Tambahan Pengertian kepemimpina pada jaman modern ini memiliki pendalaman
dan aplikasi yang cukup rumut serta tidak mudah. Beberapa teori dan konsep kepemimpinan
makna dan hakekat kepemimpinan antara lain: 1. Paul Hersey dan kennet H. Blancchard (1982) :
pemimpin adalah orang yang dapat mempengaruhi kegiatan individu atau kelompok dalam usaha
untuk mencapai tujuan dalam situasi tertentu. 2. Martin J. Gannon (1982) : pemimpin adalah
seorang atasan yang mempengaruhi perilaku bawahanya. 3. R. D. Agarwal (19982) :
kepemimpinan adalah seni mempengaruhi orang lain untuk menggerakan kemampuan mereka,
kemauan mereka dalam usaha untuk mencapai tujuan pemimpin. 4. George R. Terry :
kepemimpinan adalah proses mempengaruhi individu atau kelompok untuk menentukan tujuan
dan sekaligus mencapai tujuan tersebut. 5. Kartini kartono (1985) : pemimpin adalah pribadi
yang mempunyai kecakapan khusus, dengan atau tanpa pengangkatan resmi dapat kelompok
yang dipimpinnya untuk melakukan usaha bersama mengarah pada pencapaian sasaran tertentu.
Ada beberapa teori Kepemimpinan : a. Teori Sifat (Trait Theory) Analisis ilmiah tentang
kepemimpinan dimulai dengan memusatkan perhatiannya pada pemimpin itu sendiri. Pertanyaan
penting yang dicoba dijawab oleh pendekatan teoritis, ialah apakah sifat-sifat yang membuat
seseorang itu disebut sebagai pemimpin. Teori “great man” arti lebih realistis terhadap
pendekatan sifat dari pemimpin, setelah mendapat pengaruh dari aliran perilaku pemikir
psikologi. Menyadari hal seperti ini, bahwa tidak ada korelasi sebab akibat antara sifat dan
keberhasilan manajer, maka Keith Davis merumuskan empat sifat umum yang tampaknya
mempunyai pengaruh terhadap keberhasilan kepemimpinan organisasi : 1) Kecerdasan. Hasil
penelitian pada umumnya membuktikan bahwa pemimpin mempunyai tingkat kecerdasan yang
lebih tinggi dibandingkan dengan yang dipimpin. Namun demikian yang sangat menarik dari
penelitian tersebut ialah pemimpin tidak bisa melampaui terlalu banyak dari kecerdasan
pengikutnya. 2) Kedewasaan dan keluasan hubungan sosial. Pemimpin cenderung menjadi
matang dan mempunyai emosi yang stabil, karena mempunyai perhatian yang luas terhadap
aktivitas-aktivitas sosial. Dia mempunyai keinginan menghargai dan dihargai. 3) Motivasi diri
dan dorongan berprestasi. Para pemimpin secara relatif mempunyai dorongan motivasi yang kuat
untuk berprestasi. Mereka bekerja berusaha mendapatkan penghargaan yang intrinsik
dibandingkan dari yang ekstrinsik. 4) Sikap-sikap hubungan kemanusiaan. Pemimpin-pemimpin
yang berhasil mau mengakui harga diri dan kehormatan para pengikutnya dan mampu berpihak
kepadanya.

b. Teori Kelompok Teori kelompok ini beranggapan bahwa, supaya kelompok bisa mencapai
tujuan-tujuannya, harus terdapat suatu pertukaran yang positif diantara pemimpin dan pengikut-
pengikutnya.

c. Teori situasional dan Model Kontijensi Dua pengukuran yang digunakan saling bergantian dan
ada hubungan dengan gaya kepemimpinan tersebut dapat diterangkan sebagai berikut : 1)
Hubungan kemanusiaan atau gaya yang lunak (lenient) dihubungkan pemimpin yang tidak
melihat perbedaan yang besar diantara teman kerja yang paling banyak dan paling sedikit disukai
(ASO) atau memberikan suatu gambaran yang relatif menyenangkan kepada teman kerja yang
peling sedikit di senangi (LPC). 2) Gaya yang berorientasi tugas atau “hard nosed” dihubungkan
dengan pemimpin yang melihat suatu perbedaan besar diantara teman kerja yang paling banyak
dan paling sedikit disenangi (ASO) dan memberikan suatu gambaran yang paling tidak
menyenangkan pada teman kerja yang paling sedikit diskusi (LPC).

d. Model Kepemimpinan Kontijensi dari Fiedler Model ini berisi tentang hubungan antara gaya
kepemimpinan dengan situasi yang menyenangkan. Adapun situasi yang menyenangkan itu
diterangkan oleh Fiedler dalam hubungannya dengan dimensi-dimensi empiris berikut : 1)
Hubungan pemimpin anggota. 2) Derajat dari struktur tugas. 3) Posisi kekuasaan pemimpin yang
dicapai lewat otoritas formal.

d. Teori Jalan Kecil-Tujuan (Path-Goal Theory) Teori path goal versi house, memasukan empat
tipe atas gaya utama kepemimpinan yang dijelaskan sebagai berikut : 1) Kepemimpinan direktif.
Tipe ini sama dengan model kepemimpinan yang otokratis dari Lippitt dan White. Bawahan tahu
dengan pasti apa yang diharapkan darinya dan pengarahan yang khusus diberikan oleh
pemimpin. Dalam model ini tidak ada partisipasi dari bawahan. 2) Kepemimpinan yang
mendukung (Supportive Leadership). Kepemimpinan model ini mempunyai kesediaan untuk
menjelaskan sendiri, bersahabat, mudah didekati, dan mempunyai perhatian kemanusiaan yang
murni terhadap para bawahannya. 3) Kepemimpinan partisipatif. Pada gaya kepemimpinan ini
pemimpin berusaha meminta dan menggunakan saran-saran dari para bawahannya. Namun
pengambilan keputusan masih tetap berada padanya. 4) Kepemimpinan yang berorientasi pada
prestasi. Menurut teori Path Goal ini macam-macam gaya kepemimpinan tersebut dapat terjadi
dan digunakan oleh pemimpin yanag sama dalam situasi yang berbeda. III. Tanggapan Dalam
membangun peningkatan kemampuan individu dalam menerapkan model kepemimpinan perlu
diawali dengan penajaman rumusan strategi yang akan dipedomani dan rumusan tersebut dapat
berubah sesuai dengan tantangan dan tuntutan masyarakat yang berkembang. Mengingat tuntutan
masyarakat yang paling dominan adalah persoalan perilaku / respon personil, maka perlu
pembenahan dan peningkatan kemampuan individu dalam menerapkan model kepemimpinan
yang benar sesuai paradigma Polri Sipil. Penegakan disiplin dan kode etik yang konsisten serta
pelaksanaan reward dan funismen yang terukur akan meningkatkan kinerja personil

BUTUH PEMIMPIN VISIONER DAN MANAJEMEN DINAMIS

08 January 2002

Catatan dari ‘Stadium General’ di Gedung Pertemuan FE UNS Solo:

Guna menjawab tantangan globalisasi, mordenisasi dan pemulihan ‘kesehatan’ pembangunan


nasional dibutuhkan kemampuan unggul pemimpin visioner dan manajemen dinamis di masa
depan. Sehingga, cita-cita pembangunan nasional mencapai masyarakat sejahtera, adil dan
makmur bisa terwujud.

Ibarat sakit, kini kondisi bangsa sedang dalam taraf pemulihan. Wajah berbagai bidang dan
sektor masih carut-marut. Belum lagi anyarnya reformasi tampak ‘hiruk pikuk’ di sana-sini. Tak
pelak pula banyak pelaku usaha bersifat wait and see. Namun begitu, kata Guru Besar Pasca
Sarjana Progran Studi Pengembangan Sumber Daya Manusia Universitas Airlangga, Surabaya,
Prof Dr Haryono Suyono, kita tak perlu kecil hati selama masih memiliki sikap optimisme.
“Sebab, bisa jadi semua itu bagian dari proses pendewasaan Indonesia,” jelasnya di depan sekitar
enam ratus mahasiswa Fakultas Ekonomi (FE) dan Diploma III Universitas Sebelas Maret (UNS)
Solo, FE Universitas Muhammadiyah, FE Universitas Surakarta, Sekolah Tinggi Ekonomi
Surakarta.
Tampak hadir pada acara Stadium General yang menampilkan dua pembicara – Prof Dr Haryono
dan Prof Dr Prijono Tjiptoherijanto (Kepala Badan Kepegawaian Negara) - di Gedung
Pertemuan FE UNS Solo tersebut di antaranya, Dekan FE UNS Dra Salamah Wahyuni, MM,
Sekretaris Yayasan Indra yang juga mantan Sesmenko Kesra dan Taskin Drs M Sudarmadi,
Administratur Yayasan Damandiri dr Loet Affandi, SpOG, Kepala BKKBN Kabupaten Sragen
Dr M Tri Tjahjadi, MPH, Kepala Cabang Bank Bukopin dan BPD Solo, Dirut BPR Yekti Insan
Sembada Boyolali, serta beberapa dosen FE perguruan tinggi.
Mantan Menko Kesra dan Taskin era Presiden BJ Habibie yang berbicara di sesi pertama ini
melihat kondisi Indonesia saat ini dan untuk masa datang, diperlukan kemampuan pemimpin
unggul yang mumpuni dalam hal manajemen dinamis, seperti diharapkan seluruh rakyat dan
bangsa Indonesia, serta untuk mampu menjawab tantangan globalisasi dan mordenisasi.
“Kepemimpinan visioner dan manajemen yang dinamis sangat diperlukan bagi pemulihan
kondisi bangsa agar pembangunan nasional tetap bisa berjalan seperti yang dicita-citakan oleh
seluruh rakyat dan bangsa Indonesia,” kata Prof Dr Haryono Suyono.

Lima kekuatan penggerak


Negara dan bangsa ini dihat dari sudut pandang Sekjen Patners in Population and Development
yang bermaskas di Dhaka, Bangladesh, sedang diterpa arus deras modernisasi dan globalisasi
dengan kecepatan jauh lebih tinggi dibanding proses yang sama terjadi dan dialami negara-
negara maju di masa lalu. Kerena itu, diharapkan kepada mahasiswa khususnya yang mengambil
jurusan dibidang ekonomi, tidak saja harus mampu menyerap tapi sekaligus mempraktekan
ilmunya sebagai upaya membantu memulihkan kondisi yang tengah dialami bangsa dan negara
ini.
“Setidaknya, harus mampu memberdayakan keluarga sendiri,” ucapnya seraya menambahkan,
baik melalui pengembangan usaha bisnis berorientasi lokal, nasional tapi yang mampu bersaing
dalam lingkup global.
Kepada mahasiswa yang kelak bakal menjadi calon pengusaha dan pelaku bisnis lainnya, ia
mengingatkan agar dalam menjalankan usahanya tetap tampil tegar dengan pendekatan
kepemimpinan yang makin bersifat visioner, serta tetap menjalankan kemampuan manajemen
dinamis dan dukungan komunikasi informasi yang canggih.
Tentunya, sinergi dari kekuatan-kuatan tersebut perlu dilandasi komitmen pada misi, visi,
langkah-langkah operasionalsasi program dalam bentuk kegiatan-kegiatan kongkrit yang dikelola
sumber daya manusia handal dan berkualitas.
Lebih lanjut mantan pejabat tinggi negara asal kota kecil Pacitan, Jatim, mengungkapkan lima
kunci kekuatan penggerak yang perlu diperhatikan. Pertama, kepemimpinan visioner dan
berorientasi ekonomi yang mampu mengembangkan shared vision yang dianut dan mendapat
komitmen luas untuk dilaksanakan pada semua jajaran kepemimpinan sampai ke unit-unit
masyarakat luas yang ada pada tingkat akar rumput.
Kedua, berani mengadakan restrukturisasi berbagai unit-unit pembangunan yang ada, khususnya
unit-unit yang bisa membantu memperkuat ekonomi kerakyatan yang bisa menjemput bola dan
mampu melakukan tugasnya sendiri, dan mampu menjadi pemacu dan pemicu perubahan sosial
yang dinamis serta bisa menjadi penjual dari unit-unit pembangunan modern yang mungkin saja
belum diterima masyarakat luas.
Ketiga, sebagai pejuang masa depan harus sanggup menghasilkan inovasi bermutu dan menarik.
Keempat, pemerintah dan masyarakat harus sanggup mengembangkan unit-unit pelayanan,
seperti misalnya, unit produksi, perbankan, dan unit-unit pelayanan lainnya yang memiliki
orientasi ekonomi, baik dalam lingkungan terbatas maupun lingkungan jaringan lain yang lebih
luas. Kelima, pengembangan sumber daya manusia harus menjadi prioritas utama agar seluruh
upaya tersebut dapat didukung SDM unggul yang mampu memberi tanggapan trengginas
sehingga bisa menjawab tuntutan masyarakat yang makin dinamis dengan tepat.

Kepemimpinan yang Visioner

Asep Purnama Bahtiar


Kepala Pusat Studi Muhammadiyahi dan Perubahan Sosial Politik
- Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY)
Fakta sejarah telah menunjukkan bahwa kebudayaan dan peradaban umat manusia telah menempatkan masalah
kepemimpinan sebagai sentra yang determinan. Tanpa bermaksud menafikan keberadaan komponen lainnya dalam
kepemimpinan seperti wadah dan lembaga, sistem dan aturan, serta pengikut dan anggota, sang pemimpin dan
kepemimpinan tampaknya menjadi pusat perhatian dan sekaligus sasaran bidik dalam konstelasi social-politik dan budaya
suatu masyarakat.

Karena itu tidak heran jika posisi pemimpin selalu menjadi arena perebutan kekuasaan dan kompetisi politik, baik secara
legal maupun ilegal. Fenomena ini, sekali lagi, menandakan bahwa sejarah selalu atau lebih sering didominasi oleh
sirkulasi elite dan masalah kepemimpinan.

Dalam konteks kepemimpinan nasional, persoalan yang muncul dan dihadapi pemimpin bisa semakin kompleks. Karena
itu, sebetulnya tidak gampang untuk menjadi pemimpin yang sadar dengan tanggung jawab moril kepemimpinannya
dalam kondisi zaman yang tidak bersahabat. Di tengah-tengah hasrat berkuasa dan ambisi untuk menjadi pemimpin di
sebagian elite bangsa ini, sesungguhnya pemimpin dan kepemimpinan seperti apa yang harus diwujudkan di republik ini?

Moralitas Kepemimpinan

Bila dihubungkan dengan kehidupan nasional kita dewasa ini, Indonesia membutuhkan pemimpin yang cerdas, cergas,
tegas, dan betul-betul sadar dengan tanggung jawab kepemimpinannya dalam memahami kondisi bangsa serta konsekuen
dalam mewujudkan visi dan cita-cita bangsa. Dalam bahasanya Joseph S. Nye Jr. (2008), pemimpin adalah seseorang
yang membantu banyak orang (bangsanya-Pen.) untuk menciptakan dan mencapai tujuan yang dibagi. Karena itu,
kepemimpinan adalah bukan sekedar siapa Anda, tetapi kepemimpinan adalah apa yang Anda perbuat.

Proposisi itu sangat penting karena secara umum setidaknya ada dua masalah yang menjadi tantangan bagi
kepemimpinan nasional. Pertama, ketidakpercayaan publik terhadap elite karena suka merangkul rakyat ketika butuh
suaranya dan mengabaikannya lagi tatkala berkuasa. Kedua, potensi konflik di masyarakat yang majemuk yang masih
sering mencuat, sebagai akibat dari ketidakpuasan terhadap kebijakan pemimpin yang tidak memihak kepentingan rakyat.

Dalam konteks ini, kepemimpinan yang berkualitas merupakan kunci utama keberhasilan suatu organisasi, kelompok, atau
negara dalam praktik implementasi kebijakan sehari-hari menuju cita-cita bersama. Kualitas kepemimpinan yang
diharapkan tidak hanya kualitas fisik dan intelektual, tapi juga kualitas rohani. Keseimbangan ketiga aspek tersebut akan
membantu seorang pemimpin dalam menjalankan tugasnya. (Muladi dan Adi Sujatno, 2008).

Bagi Indonesia, moralitas kepemimpinan nasional yang visioner tersebut tidak bisa menafikan nilai-nilai Pancasila.
Aktualisasi moral kepemimpinan ini dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara kini menjadi tambah
penting lagi dengan tantangan dan komitmen bersama untuk menerapkan prinsip-prinsip good governance dalam
pembangunan nasional. Hal ini penting dan mendesak, karena eksistensi negara-bangsa juga akan dipengaruhi oleh
faktor-fator eksternal di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, dan sebagainya yang dikendalikan oleh negara-negara
maju.

Kepemimpinan Visioner

Perihal visi kepemimpinan menjadi urgen untuk disimak kembali, terlebih dalam momentum zaman yang semakin
kompleks, karena beberapa pertimbangan sebagai berikut. Pertama, visi perlu lebih ditonjolkan untuk meng-counter
kecenderungan politis dan penyalahgunaan kekuasaan yang selalu berorientasi pada rebutan jabatan, tetapi kerap
mengabaikan problem riil rakyat dan bangsa. Kedua, visi yang dimiliki dapat memberikan arah dan menentukan tujuan ke
mana biduk negara-bangsa ini akan dikayuh oleh sang pemimpin. Ketiga, visi dalam banyak hal juga bisa berperan untuk
memberikan pijakan dan platform yang kuat bagi pemimpin untuk merumuskan strategi dan perencanaan program.

Berdasarkan pengertian seperti itu, maka visi bukan sekedar kemampuan seorang pemimpin atau sebuah bangsa untuk
melihat secara inderawi dan kasat mata. Tetapi substansi dari visi tersebut terletak pada kualitas sikap mental, mutu
kecerdasan, dan kearifan seorang pemimpin serta policy pemerintah dalam memahami lingkungan dengan berbagai
problem dan kecenderungannya serta menjadi tanggap, bijak, dan waskita dalam menatap masa depan bangsa. Dengan
kata lain, visi bisa dipahami sebagai suatu tilikan (insight) yang bersifat ideal dan sekaligus real, strategis, berkesadaran
lingkungan, dan berwawasan ke depan (future oriented), serta berjangka panjang.

Berkaitan dengan pengertian itu pula maka kepemimpinan visioner adalah kepemimpinan yang mampu merumuskan visi
yang jelas, rasional, dan berorientasi ke masa depan sehingga sang pemimpin bisa mengantisipasi dan
mentransformasikan tuntutan zaman serta mampu mengarahkan bangsanya untuk mencapai tujuan nasional. Dalam
kesadaran seperti ini, para pemimpin menginspirasikan visi bersama. Mereka dapat melihat sesuatu melampaui batasan
waktu, membayangkan peluang menarik yang masih tersimpan ketika mereka dan para pengikutnya berada dalam jarak
yang jauh di belakang. (James M. Kouzes & Barry Z. Kousner, 2002)).

Dalam konteks kepemimpinan nasional di Indonesia yang serbaplural, kepemimpinan vsioner ini sangat penting dan akan
menjadi nilai tambah bagi seorang pemimpin. Selain akan membantu dalam perencanaan dan strategi kebijakan,
kepemimpinan visioner juga dibutuhkan untuk pengambilan keputusan dalam realitas yang bhinneka-lintas agama,
budaya, etnik, kelembagaan, partai politik, dan sebagainya.

Strategi dan orientasi yang membantu terbentuknya visi, pada akhirnya pula akan bersinergi dalam upaya untuk
menetapkan misi dan merumuskan kebijakan dan implemetasi program kerja pemerintah yang strategis dan feasible.
Dengan kata lain, misi yang diperjuangkan dan program kerja yang ditetapkan pemerintah itu berada dalam bingkai
strategi yang matang, orientasi yang jelas dan panduan visi yang jernih. Tanpa ini semua, maka biasanya misi hanya
menjadi ambisi dan program kerja akan berupa daftar keinginan belaka yang mengawang-awang.

Dengan kepemimpinan visioner dan strategis, maka sebuah organisasi atau negara-bangsa juga akan terbebas dari-
meminjam istilahnya Max Weber dan Alfred Schutz-routinization, yaitu repetisi kebijakan dan pengulangan program aksi
yang itu-itu saja, monoton, tidak ada inovasi, dan tidak ada kreativitas. Kesibukan dalam program kerja repetitif dan
kebijakan yang monoton-termasuk sibuk berebut jabatan--itu akan mengakibatkan kepemimpinan kehabisan energi, dan
kemudian mengalami stagnasi atau involusi.

--------------------
Sumber : Kolom GAGASAN Harian KORAN JAKARTA | Jumat, 08 Mei 2009

Urgensi Kepemimpinan Visioner


Pemimpin
adalah penerang jalan pada tujuan yang dicita-citakan. Ia harus
berperan sebagai pembawa perubahan. Globalisasi menyebabkan batas-batas
Negara semakin transparan, Berbagai aspek terintegrasi dalam hubungan
masyarakat global. Ini adalah tantangan bagi bangsa kita. Suatu
kerangka perubahan besar untuk memproyeksikan posisi Indonesia di masa
mendatang perlu mendapat prioritas utama.  

Dalam kondisi seperti ini, sudah saatnya kita memilih pemimpin yang visioner dan berwawasan
global agar tidak terjerat dalam  miopia kepemimpinan bangsa. Penyakit kepemimpinan ini akan
membawa Indonesia selalu berputar-putar dalam situasi  permasalahan yang sama dan bergerak
seperti Snail Pace
, tanpa tujuan jangka panjang yang terarah. Suatu hal yang tidak
diinginkan sebagai kesepakatan bangsa kita adalah kemungkinan
tercapainya titik kulminasi meledaknya bom waktu disintegrasi bangsa
sebagai riak dari kealpaan visi kebangsaan yang jelas.

Disintegrasi bangsa, sekali lagi, 


bukan hal yang mustahil terjadi karena konsep bangsa dan kebangsaan
Indonesia yang semakin jauh dari harapan bersama. Ernest Renan, dalam
pidatonya pada tahun 1882, mengatakan bahwa “bangsa itu adalah soal
perasaan, soal kehendak semata-mata untuk hidup bersama yang timbul
antara segolongan besar manusia yang nasibnya sama dalam masa-masa yang
lampau, terutama dalam penderitaan-penderitaan bersama”. Pernyataaan
Renan tersebut sangat memungkinkan sebuah bangsa yang besar menimbulkan
rasa nasionalisme kesukuan, ataupun kedaerahan. Seorang pemimpin
visioner adalah pemersatu rasa kebangsaan, mampu mensinergikan
pengetahuan kesejarahan, dan perkembangan kekinian untuk mengomukasikan
visi yang futuristik dalam kerangka Negara Kesatuan. Otonomi daerah
adalah letak bom waktu disintegrasi itu jika pemimpin kita  mengabaikan “soal perasaan” bangsa
dengan kebijakan-kebijakan yang dangkal.

Gerbong globalisasi telah berjalan, pemimpin visioner harus bisa


menempatkan Indonesia pada posisi yang layak sebagai bangsa yang besar
di masa depan. Sehingga tidak menimbulkan konsekuensi kebijakan tambal
sulam dengan berorientasi jangka pendek hanya pada masa kepemimpinannya
saja. Pemimpin visioner berdiri di pucak gunung kebangsaan.

Abstract
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara persepsi terhadap kepemimpinan
visioner dengan komitmen organisasi pada karyawan. Hipotesis yang diajukan adalah ada
hubungan positif antara persepsi terhadap kepemimpinan visioner dengan komitmen organisasi.
Subjek dalam penelitian ini adalah karyawan Lippo Bank Cabang Yogyakarta yang berjumlah 68
orang dengan ciri-ciri : 1) karyawan tetap, 2) bekerja minimal dua tahun, 3) tingkat pendidikan
minimal SMU. Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah purpossive non random
sampling. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan skala persepsi terhadap
kepemimpinan visioner dan skala komitmen organisasi. Berdasarkan hasil perhitungan teknik
analisis product moment dari Pearson diperoleh nilai koefisien korelasi (r) sebesar 0,521; p =
0,000 (p<0,01) artinya ada hubungan positif yang sangat signifikan antara persepsi terhadap
kepemimpinan visioner dengan komitmen organisasi. Sumbangan efektif persepsi terhadap
kepemimpinan visioner terhadap komitmen organisasi sebesar 27,1%. Berdasarkan hasil analisis
stepwise model akhir diketahui bahwa aspek persepsi terhadap kepemimpinan visioner yang
memberi sumbangan efektif terhadap komitmen organisasi adalah aspek pengetahuan sebesar
27,979%. Berdasarkan hasil analisis diketahui variabel persepsi terhadap kepemimpinan visioner
mempunyai rerata empirik (RE) sebesar 123,000 dan rerata hipotetik (RH) sebesar 105 yang
berarti persepsi terhadap kepemimpinan visioner pada subjek tergolong tinggi. Variabel
komitmen organisasi diketahui rerata empirik (RE) sebesar 98,926 dan rerata hipotetik (RH)
sebesar 100 yang berarti komitmen organisasi pada subjek penelitian tergolong sedang.

CAPRES 2009 DAN KEPEMIMPINAN VISIONER


Oleh: Ahmad Fuad Fanani

Sebagai langkah penataan negeri, kepemimpinan nasional yang tegas dan visioner, harus segera
diwujudkan. Maka, masyarakat haruslah mau dan berani memilih para pemimpin yang bisa
melakukan perubahan dan perbaikan untuk Indonesia.
Untuk mengetahui kualitas mereka, pertimbangan track record, kualitas moral, serta visi-misi
adalah salah satu tolok ukur utama sebelum menentukan pilihan. Dengan melihat track record-
nya,masyarakat akan mengetahui bagaimana kehidupan sehari-hari para calon pemimpin itu dan
bagaimana pula komitmen yang telah dilakukan untuk pengentasan krisis di Indonesia.

Kehidupan sehari-hari para pemimpin, tentu akan menjadi rujukan paling mudah terhadap apa
akan lebih cepat dilakukan ketika terpilih nanti. Moralitas para pemimpin pun harus juga harus
diteliti.

Mendayagunakan Kekuasaan
Harus diakui bahwa masih mengentalnya paradigma kekuasaan sebagai tujuan di kalangan
politisi kita itu menjadi sebab terbesar tidak pernah terjadinya perubahan sosial dan politik dalam
kehidupan kebangsaan. Penguasa datang silih berganti, pemilu dilakukan setiap kali, serta
anggota Dewan dilantik setiap waktu, tapi reformasi politik dan pemberdayaan politik rakyat
tidak pernah betul-betul terjadi.

Pergantian kekuasaan hanya identik dengan pergantian orang dan penyingkiran lawan yang dulu
berkuasa.Kekuasaan baru juga hanya menjadi pundi-pundi pengeruk dana partai untuk
memakmurkan keluarga dan mengisi kas partai.

Sementara pemberantasan KKN, penegakan hukum, pembaharuan budaya politik dan birokrasi
semakin jauh dari agenda kebijakan pengelola negara. Padahal, kekuasaan pada dasarnya adalah
jalan untuk melakukan perubahan masyarakat dan meninggalkan tradisi lama yang dahulu
dikritiknya.

Oleh karenanya, menurut Jakob Oetama (2004),dalam kekuasaan mutlak diciptakan


keseimbangan yang baik antara government (pemerintah) dan governance (pemerintahan). Untuk
menciptakan governance yang baik, maka government- nya harus juga baik.

Ibaratnya, good governance tidak akan ada tanpa hadirnya clean government. Pada paradigma
kekuasaan sebagai jalan untuk menyejahterakan rakyat itu, pemimpin dan kepemimpinan
mestinya mampu melahirkan sebuah motivasi baru dalam berbangsa dan bernegara. Pemimpin
yang baik memang bukanlah pemimpin yang hanya bisa memerintah,minta dilayani,serta gemar
menggunakan fasilitas negara.

Pemimpin yang baik adalah pemimpin yang bisa membangkitkan inspirasi dan motivasi bagi
rakyatnya guna bersama- sama mencari solusi alternatif mengatasi krisis yang berkepanjangan
ini.Oleh karenanya,visi partisipasi dan kebersamaan untuk memberdayakan serta mengayomi
rakyat harus juga menjadi dasar utama dalam memilih para pemimpin kita nanti.

Penanganan Krisis
Penanganan krisis di negeri ini harus menjadi agenda utama dari para calon presiden yang akan
berlaga memperebutkan suara rakyat Pilpres 2009 nanti. Soalnya, dengan krisis yang sudah akut,
terutama krisis politik dan ekonomi, bangsa ini terseok- seok menatap masa depan.

Secara nasional, krisis politik tentu membuat penataan negeri ini menjadi mundur ke belakang.
Di mata internasional, krisis politik juga banyak menghadirkan rasa enggan dan kekhawatiran
negara lain untuk bekerja sama dengan kita.Maka,jangan sampai kampanye perubahan yang
didengungkan beberapa kandidat presiden 2009 dan ketidaktahanan akan keadaan yang tidak
menentu hanya menjadi retorika belaka.

Krisis ekonomi nasional dan ekonomi global yang sudah terbukti banyak melahirkan keresahan
sosial dan tindakan kriminal di mana-mana hendaknya juga dijadikan agenda prioritas oleh para
capres. Untuk menuntaskan krisis politik dan ekonomi yang melanda negara ini, akar-akar
penyebabnya haruslah segera dikikis habis.

Pemberantasan KKN dan penegakan hukum tanpa pandang bulu adalah agenda utama dari
tahapan penyelesaian krisis itu. Maka, proses pengadilan terhadap konglomerat, pejabat, dan
mantan pejabat yang terbukti merugikan negara janganlah hanya dijadikan live service atau
teater politik untuk menarik simpati rakyat.

Kasus-kasus kejahatan HAM dan politik masa lalu yang cenderung ditutup-tutupi harus juga
berani diungkap secepatnya. Oleh karena itu, dalam keadaan dan masa yang tidak menentu
seperti sekarang ini,memilih pemimpin yang hanya biasa-biasa saja tentu bukan jalan yang tepat.
Memilih pemimpin yang kuat dan sekilas tampak tegas saja juga bukan bentuk penyelesaian
yang terbaik.

Pemimpin yang hanya menjadi solidarity maker juga bukanlah pemimpin yang efektif. Apalagi
pemimpin yang hanya terkenal sebagai tipe administrator yang berwatak birokratis. Dalam
keadaan yang tidak normal ini, pemimpin dengan kualitas primalah yang kita butuhkan.

Maka,kombinasi antara kepemimpinan yang tegas, kuat, visioner, solidarity maker, administratif,
dan intelektualis adalah yang mesti kita hadirkan. Visi dan misi para calon pemimpin haruslah
dilihat sebagai gambaran akan masa depan bangsa. Dalam bahasa Ignas Kleden (2003),
pemimpin yang visioner adalah orang yang mempunyai desain masa depan Indonesia.

Maka, dia harus memiliki gambaran tentang bagaimana keadaan, nasib, dan bentuk Indonesia ini
10–20 tahun mendatang.Visi ini tentu bukan hanya janji-janji murahan yang gampang diobral
dan dijual,tapi sulit dan tidak mungkin diwujudkan.

Visi adalah semacam bentuk utopia sosial yang harus diciptakan guna membangkitkan imajinasi
dan kerja keras para pengelola negara dan masyarakat untuk mewujudkannya. Maka, sebuah visi
pada dasarnya harus bisa diturunkan menjadi program-program aksi, baik dalam jangka pendek,
menengah maupun panjang.

Visi kebangsaan dan kerakyatan tentang negara Indonesia yang merdeka dan berdaulat mesti
diturunkan menjadi program berkelanjutan dan strategis. Kita berharap agar para calon Presiden
Indonesia 2009 segera menyosialisasikan visinya serta bisa mendapatkan simpati rakyat dan
memperoleh dukungan dari partai politik.Tentu agar tercipta banyak alternatif kepemimpinan
nasional yang mendatangkan kesejahteraan bagi rakyat banyak. Wallahu a’lam bisshawab.(*)
KOMUNIKASI & KEPEMIMPINAN DALAM ORGANISASI

Disampaikan dalam Training Leadership yang diselenggarakan oleh

Himpunan Mahasiswa Ilmu Komunikasi Unikom


Selasa, 8 April 2008

Oleh

Gumgum Gumilar, S.Sos., M.Si.

UNIVERSITAS KOMPUTER INDONESIA

BANDUNG
2008
KOMUNIKASI DALAM ORGANISASI

Pengertian Komunikasi Organisasi


 Organisasi adalah suatu kumpulan atau sistem individual yang berhierarki secara jenjang dan
memiliki sistem pembagian tugas untuk mencapai tujuan tertentu
 DeVito (1997:337), menjelaskan organisasi sebagai suatu kelompok individu yang diorganisasi
untuk mencapai tujuan tertentu

Fungsi Komunikasi dalam Organisasi


a. Fungsi informatif
Organisasi dipandang sebagai suatu sistem proses informasi. Maksudnya,seluruh anggota dalam
suatu organisasi berharap dapat memperoleh informasi yang lebih banyak, lebih baik,dan lebih
tepat.

b. Fungsi regulatif
Fungsi regulatif ini berkaitan dengan peraturan-peraturan yang berlaku dalam suatu organisasi.

 Ada dua hal yang berpengaru terhadap fungsi regulatif


Pertama, atasan atau orang yang berada dalam tataran managemen, yaitu mereka memiliki
kewenangan untuk mengendalikan semua informasi yang disampaikan.

Kedua, berkaitan dengan pesan atau message,pesan-pesan regulatif pada dasarnya


berorientasi pada kerja.

c. fungsi persuasif
Dalam mengatur suatu organisasi, kekuasaan dan kewenangan tidak akan selalu membawa hasil
sesuai dengan yang diharapkan. Adanya kenyataan ini, maka banyak pimpinan lebih suka
memersuasi bawahanya dari pada memberi perintah

d. Fungsi integratif
Setiap organisasi berusaha menyediakan saluran yang memungkinkan karyawan dapat
melaksanakan tugas atau pekerjaan dengan baik.
JARINGAN KOMUNIKASI
Jaringan : Saluran yang digunakan untuk meneruskan pesan dari satu orang ke orang lain.

Roda
Lingkaran
Y

Rantai
Semua Saluran

STRUKTUR JARINGAN KOMUNIKASI


a. Model Rantai
Metode jaringan komunikasi di sini terdapat lima tingkatan dalam jenjang
hirarkisnya dan hanya dikenal komunikasi sistem arus ke atas (upward) dan ke bawah
(downward), yang artinya menganut hubungan komunikasi garis langsung (komando)
baik ke atas atau ke bawah tanpa terjadinya suatu penyimpangan.
b. Model Roda
Sistem jaringan komunikasi di sini, semua laporan, instruksi perintah kerja dan
kepengawasan terpusat satu orang yang memimpin empat bawahan atau lebih, dan
antara bawahan tidak terjadi interaksi (komunikasi sesamanya).
c. Model Lingkaran
Model jaringan komunikasi lingkaran ini, pada semua anggota/staff bisa terjadi
interaksi pada setiap tiga tingkatan hirarkinya tetapi tanpa ada kelanjutannya pada
tingkat yang lebih tinggi, dan hanya terbatas pada setiap level.
d. Model Saluran Bebas/Semua Saluran
Model jaringan komunikasi sistem ini, adalah pengembangan model lingkaran, di
mana dari semua tiga level tersebut dapat melakukan interaksi secara timbal balik
tanpa menganut siapa yang menjadi tokoh sentralnya.
e. Model Huruf ‘Y’
Model jaringan komunikasi dalam organisasi di sini, tidak jauh berbeda dengan
model rantai, yaitu terdapat empat level jenjang hirarkinya, satu supervisor mempunyai
dua bawahan dan dua atasan mungkin yang berbeda divisi/departemen.

ARUS KOMUNIKASI DALAM ORGANISASI


a. Komunikasi ke atas
Merupakan pesan yang dikirim dari tingkat hirarki yang lebih rendah ke tingkat yang lebih tinggi.
Misal : dari ketua himpunan ke ketua bidang, atau dari ketua panitia ke para pelaksana.
Komunikasi ini sangat penting untuk mempertahankan dan bagi pertumbuhan organisasi. Muncul
manajemen umpan balik yang dapat menumbuhkan semangat kerja bagi anggota organisasi. Adanya
perasaan memiliki dan merasa sebagai bagian dari organisasi dari bawahannya.

Masalah yang timbul dalam komunikasi ke atas :

1. Karena pesan yang mengalir ke atas sering merupakan pesan yang harus didengar oleh hirarki
yang lebih tinggi/atasan, para pekerja seringkali enggan menyampaikan pesan yang negatif.
2. Seringkali pesan yang disampaikan ketas, terutama yang menyangkut ketidakpuasan bawahan,
tidak didengar atau ditanggapi oleh manajemen.
3. Kadang-kadang pesan tidak sampai. Karena disaring oleh penjaga gerbang arus pesan. Atau bisa
terjadi lebih baik bertanya pada rekan kerja atau sesama mahasiswa.
4. Arus ke bawah terlalu besar sehingga tidak ada celah untuk menerima pesan dari bawah.
5. Hambatan fisik. Biasanya secara fisik pimpinan dengan bawahan berjauhan.

b. Komunikasi ke bawah
Merupakan pesan yang dikirim dari tingkat hirarki yang lebih tinggi ke tingkat yang lebih rendah.
Contoh, pesan dari direktur pada sekretaris, dari ketua senat pada bawahannya, dll.

Masalah yang timbul

Manajemen dan bawahan seringkali berbicara dengan bahasa yang berbeda.

c. Komunikasi Lateral
Merupakan arus pesan antar sesama – ketua bidang ke ketua bidang, anggota ke anggota. Pesan
semacam ini bergerak di bagian bidang yang sama di dalam organisasi atau mengalir antar bagian.

Masalah yang timbul

1. Bahasa yang khusus dikembangkan oleh divisi tertentu di dalam organisasi


2. Merasa bidangnya adalah yang paling penting dalam organisasi
d. Kabar Burung
Jika tiga jenis komunikasi di atas mengikuti pola struktur formal di dalam organisasi, maka yang
tergolong kabar burung tidak mengikuti garis formal semacam itu. Sulit melacak sumber asli penyampai
pesan.

Kabar burung seringkali dipergunakan apabila:

1. Ada perubahan besar dalam organisasi


2. Informasinya baru
3. Komunikasi tatap muka secara fisik mudah dilakukan
4. Anggotanya terkelompokan pada bidang-bidang tertentu.

d. Kepadatan Informasi
Banyaknya informasi yang diterima sehingga timbul kesulitan untuk menentukan informasi mana yang
dianggap lebih penting untuk disampaikan terlebih dahulu. Mudahnya informasi dapat diterima dan
disebarkan membuat para pemberi pesan lupa bahwa informasi yang disampaikan butuh dicerna
terlebih dahulu dan itu membutuhkan waktu. Apalagi informasi yang disampaikan oleh atasan lebih
banyak mengenai permasalahan daripada pemecahan.

KEPEMIMPINAN DALAM ORGANISASI


Pemimpin dan Kepemimpinan merupakan suatu kesatuan kata yang tidak dapat dipisahkan
secara struktural maupun fungsional. Banyak muncul pengertian-pengertian mengenai pemimpin dan
kepemimpinan, natara lain :

1. Pemimpin adalah figur sentral yang mempersatukan kelompok (1942)


2. Kepemimpinan adalah keunggulan seseorang atau beberapa individu dalam kelompok, dalam
proses mengontrol gejala-gejala sosial
3. Brown (1936) berpendapat bahwa pemimpin tidak dapat dipisahkan dari kelompok, akan tetapi
boleh dipandang sebagai suatu posisi dengan potensi tinggi di lapangan. Dalam hal sama, Krech
dan Crutchfield memandang bahwa dengan kebaikan dari posisinya yang khusus dalam
kelompok ia berperan sebagai agen primer untuk penentuan struktur kelompok, suasana
kelompok, tujuan kelompok, ideologi kelompok, dan aktivitas kelompok.
4. Kepemimpinan sebagai suatu kemampuan meng-handel orang lain untuk memperoleh hasil
yang maksimal dengan friksi sesedikit mungkin dan kerja sama yang besar, kepemimpinan
merupakan kekuatan semangat/moral yang kreatif dan terarah.
5. Pemimpin adalah individu yang memiliki program/rencana dan bersama anggota kelompok
bergerak untuk mencapai tujuan dengan cara yang pasti.

Muncul dua pertanyaan yang menjadi perdebatan mengenai pemimpin,

1. Apakah seorang pemimpin dilahirkan atau ditempat?


2. Apakah efektivitas kepemimpinan seseorang dapat dialihkan dari satu organisasi ke organisasi
yang lain oleh seorang pemimpin yang sama?
Untuk menjawab pertanyaan pertama tersebut kita lihat beberapa pendapat berikut :

a. Pihak yang berpendapat bahwa “pemimpin itu dilahirkan” melihat bahwa seseorang
hanya akan menjadi pemimpin yang efektif karena dia dilahirkan dengan bakat-bakat
kepemimpinannya.
b. Kubu yang menyatakan bahwa “pemimpin dibentuk dan ditempa” berpendapat bahwa
efektivitas kepemimpinan seseorang dapat dibentuk dan ditempa. Caranya adalah
dengan memberikan kesempatan luas kepada yang bersangkutan untuk menumbuhkan
dan mengembangkan efektivitas kepemimpinannya melalui berbagai kegiatan
pendidikan dan latihan kepemimpinan.

Sondang (1994) menyimpulkan bahwa seseorang hanya akan menjadi seorang pemimpin yang efektif
apabila :

a. seseorang secara genetika telah memiliki bakat-bakat kepemimpinan


b. bakat-bakat tersebut dipupuk dan dikembangkan melalui kesempatan untuk menduduki
jabatan kepemimpinannya
c. ditopang oleh pengetahuan teoritikal yang diperoleh melalui pendidikan dan latihan,
baik yang bersifat umum maupun yang menyangkut teori kepemimpinan.
Untuk menjawab pertannyaan kedua dapat dirumuskan dua kategori yang sudah barang tentu harus
dikaji lebih jauh lagi:

1. Keberhasilan seseorang memimpin satu organisasi dengan sendirinya dapat dilaihkan kepada
kepemimpinan oleh orang yang sama di organisasi lain
2. Keberhasilan seseorang memimpin satu organisasi tidak merupakan jaminan keberhasilannya
memimpin organisasi lain.

Tipe-tipe Kepemimpinan
1. Tipe Otokratik
Semua ilmuan yang berusaha memahami segi kepemimpinan otokratik mengatakan bahwa
pemimpin yang tergolong otokratik dipandang sebagai karakteritik yang negatif.
Dilihat dari persepsinya seorang pemimpin yang otokratik adalah seseorang yang sangat egois.
Seorang pemimpin yang otoriter akan menujukan sikap yang menonjolkan “keakuannya”, antara
lain dalam bentuk :

a. kecenderungan memperlakukan para bawahannya sama dengan alat-alat lain dalam


organisasi, seperti mesin, dan dengan demikian kurang menghargai harkat dan martabat
mereka
b. pengutmaan orientasi terhadap pelaksanaan dan penyelesaian tugas tanpa mengkaitkan
pelaksanaan tugas itu dengan kepentingan dan kebutuhan para bawahannya.
c. Pengabaian peranan para bawahan dalam proses pengambilan keputusan.

Gaya kepemimpinan yang dipergunakan pemimpin yang otokratik antara lain:

a. menuntut ketaatan penuh dari para bawahannya


b. dalam menegakkan disiplin menunjukkan keakuannya
c. bernada keras dalam pemberian perintah atau instruksi
d. menggunakan pendekatan punitif dalamhal terhadinya penyimpangan oleh bawahan.
2. Tipe Paternalistik
Tipe pemimpin paternalistik hanya terdapat di lingkungan masyarakat yang bersifat tradisional,
umumnya dimasyarakat agraris. Salah satu ciri utama masuarakat tradisional ialah rasa hormat yang
tinggi yang ditujukan oleh para anggiota masyarakat kepada orang tua atau seseorang yang dituakan.
Pemimpin seperti ini kebapakan, sebagai tauladan atau panutan masyarakat. Biasanya tiokoh-
toko adat, para ulama dan guru. Pemimpin ini sangat mengembangkan sikap kebersamaan.

3. Tipe Kharismatik
Tidak banyak hal yang dapat disimak dari literatur yang ada tentang kriteria kepemimpinan yang
kharismatik. Memang ada karakteristiknya yang khas yaitu daya tariknya yang sangat memikat
sehingga mampu memperoleh pengikut yang jumlahnya kadang-kadang sangat besar. Tegasnya
seorang pemimpin yang kharismatik adalah seseorang yang dikagumi oleh banyak pengikut meskipun
para pengikut tersebut tidak selalu dapat menjelaskan secara konkret mengapa orang tersebut
dikagumi.
4. Tipe Laissez Faire
Pemimpin ini berpandangan bahwa umumnya organisasi akan berjalan lancar dengan sendirinya
karena para anggota organisasi terdiri dari orang-orang yang sudah dewasa yang mengetahui apa
yang menjadi tujuan organisasi, sasaran-sasaran apa yang ingin dicapai, tugas apa yang harus
ditunaikan oleh masing-masing anggota dan pemimpin tidak terlalu sering intervensi.
Karakteristik dan gaya kepemimpinan tipe ini adalah :

a. pendelegasian wewenang terjadi secara ekstensif


b. pengambilan keputusan diserahkan kepada para pejabat pimpinan yang lebih rendah dan
kepada petugas operasional, kecuali dalam hal-hal tertentu yang nyata-nyata menuntut
keterlibatannya langsung.
c. Status quo organisasional tidak terganggu
d. Penumbuhan dan pengembangan kemampuan berpikir dan bertindah yang inovatif
diserahkan kepada para anggota organisasi yang bersangkutan sendiri.
e. Sepanjang dan selama para anggota organisasi menunjukkan perilaku dan prestasi kerja
yang memadai, intervensi pimpinan dalam organisasi berada pada tingkat yang minimum.
5. Tipe Demokratik
a. Pemimpin yang demokratik biasanya memandang peranannya selaku koordinator dan
integrator dari berbagai unsur dan komponen organisasi.
b. Menyadari bahwa mau tidak mau organisasi harus disusun sedemikian rupa sehingga
menggambarkan secara jelas aneka ragam tugas dan kegiatan yang tidak bisa tidak
harus dilakukan demi tercapainya tujuan.
c. Melihat kecenderungan adanya pembagian peranan sesuai dengan tingkatnya.
d. Memperlakukan manusia dengan cara yang manusiawi dan menjunjung harkat dan
martabat manusia
e. Seorang pemimpin demokratik disegani bukannya ditakuti.

Ciri ciri pemimpin dan kepemimpinan yang ideal antara lain :

1. Pengetahuan umum yang luas, semakin tinggi kedudukan seseorang dalam hirarki
kepemimpinan organisasi, ia semakin dituntut untuk mampu berpikir dan bertindak secara
generalis.
2. Kemampuan Bertumbuh dan Berkembang
3. Sikap yang Inkuisitif atau rasa ingin tahu, merupakan suatu sikap yang
mencerminkan dua hal: pertama, tidak merasa puas dengan tingkat pengetahuan yang dimiliki;
kedua, kemauan dan keinginan untuk mencari dan menemukan hal-hal baru.
4. Kemampuan Analitik, efektifitas kepemimpinan seseorang tidak lagi pada
kemampuannya melaksanakan kegiatan yang bersifat teknis operasional, melainkan pada
kemampuannya untuk berpikir. Cara dan kemampuan berpikir yang diperlukan dalah yang
integralistik, strategik dan berorientasi pada pemecahan masalah.
5. Daya Ingat yang Kuat, pemimpin harus mempunyai kemampuan inteletual yang
berada di atas kemampuan rata-rata orang-orang yang dipimpinnya, salah satu bentuk
kemampuan intelektual adalah daya ingat yang kuat.
6. Kapasitas Integratif, pemimpin harus menjadi seorang integrator dan memiliki
pandangan holistik mengenai orgainasi.
7. Keterampilan Berkomunikasi secara Efektif, fungsi komunikasi dalam organisasi
antara lain : fungsi motivasi, fungsi ekspresi emosi, fungsi penyampaian informasi dan fungsi
pengawasan.
8. Keterampilan Mendidik, memiliki kemampuan menggunakan kesempatan untuk
meningkatkan kemampuan bawahan, mengubah sikap dan perilakunya dan meningkatkan
dedikasinya kepada organisasi.
9. Rasionalitas, semakin tinggi kedudukan manajerial seseorang semakin besar pula
tuntutan kepadanya untuk membuktikan kemampuannya untuk berpikir. Hasil pemikiran itu
akan terasa dampaknya tidak hanya dalam organisasi, akan tetapi juga dalam hubungan
organisasi dengan pihak-pihak yang berkepentingan di luar organisasi tersebut.
10. Objektivitas, pemimpin diharapkan dan bahkan dituntut berperan sebagai bapak
dan penasehat bagi para bawahannya. Salah satu kunci keberhasilan seorang pemimpin dalam
mengemudikan organisasi terletak pada kemampuannya bertindak secara objektif.
11. Pragmatisme, dalam kehidupan organisasional, sikap yang pragmatis biasanya
terwujud dalam bentuk sebagai berikut : pertama, kemampuan menentukan tujuan dan sasaran
yang berada dalam jangkauan kemampuan untuk mencapainya yang berarti menetapkan tujuan
dan sasaran yang realistik tanpa melupakan idealisme. Kedua, menerima kenyataan apabila
dalam perjalanan hidup tidak selalu meraih hasil yang diharapkan.
12. Kemampuan Menentukan Prioritas, biasanya yang menjadi titik tolak strategik
organisasional adalah “SWOT”.
13. Kemampuan Membedakan hal yang Urgen dan yang Penting
14. Naluri yang Tepat, kekampuannya untuk memilih waktu yang tepat untuk
melakukan atau tidak melakukan sesuatu.
15. Rasa Kohesi yang tinggi, :senasib sepenanggungan”, keterikan satu sama lain.
16. Rasa Relevansi yang tinggi, pemimpin tersebut mampu berpikir dan bertindak
sehingga hal-hal yang dikerjakannya mempunyai relevansi tinggi dan langsung dengan usaha
pencapaian tujuan dan berbagai sasaran organisasi.
17. Keteladanan,s seseorang yang dinilai pantas dijadikan sebagai panutan dan teladan
dalam sikap, tindak-tanduk dan perilaku.
18. Menjadi Pendengar yang Baik
19. Adaptabilitas, kepemimpinan selalu bersifat situasional, kondisonal, temporal dan
spatial.
20. Fleksibilitas, mampu melakukan perubahan dalam cara berpikir, cara bertindak,
sikap dan perilaku agar sesuai dengan tuntutan situasi dan kondisi tertentu yang dihadapi tanpa
mengorbankan prinsip-prinsip hidup yang dianut oleh seseorang.
21. Ketegasan
22. Keberanian
23. Orientasi Masa Depan
24. Sikap yang Antisipatif dan Proaktif

KERETAKAN DALAM ORGANISASI

Salah paham dalam menerima dan menafisrkan pesan.


 Prosedur hubungan dalam organisasi tidak diikuti dengan benar. Misalnya, arahan dari pihak
atasan langsung ke level paling bawah, tanpa mengambil peranan pihak tengah (middle level)
dalam organisasi.
 Kurangnya komitmen penuh dalam kerja organisasi. Aturan organisasi tidak dipahami dan
dihayati pleh anggota organisasi.
 Adanya kepentingan pribadi. Organisasi dipergunakan untuk memperoleh keuntungan pribadi.
 Permasalahan yang tidak kunjung selesai, sehingga tidak muncul kondisi organisasi yang
nyaman.
 Tidak adanya pembagian kerja dan juga pembagian keuntungan yang adil..

Keretakan dalam organisasi dapat menumbuhkan citra negatif, dengan permasalah yang saling terkait,
antara lain :

- Keretakan hubungan antara anggota organisasi.


- Perselisihan yang terus berlarut-larut dan suasana organisasi yang muram.
- Wujud sikap mementingkan diri sendiri.
- Produktivitas organisasi merosot.
- Ketidakstabilan organisasi akibat dari retaknya hubungan.
- Penyalahsunaan kekuasaan, mementingkan diri sendiri

PEMIMPIN VISIONER
Kepemimpinan visioner, adalah pola kepemimpinan yang ditujukan untuk memberi arti pada
kerja dan usaha yang perlu dilakukan bersama-sama oleh para anggota perusahaan dengan cara
memberi arahan dan makna pada kerja dan usaha yang dilakukan berdasarkan visi yang jelas (Diana
Kartanegara, 2003).

Kompetensi Pemimpin Visioner


Kepemimpinan Visioner memerlukan kompetensi tertentu. Pemimipin visioner
setidaknya harus memiliki empat kompetensi kunci sebagaimana dikemukakan oleh
Burt Nanus (1992), yaitu:
5. Seorang pemimpin visioner harus memiliki kemampuan untuk berkomunikasi secara efektif dengan
manajer dan karyawan lainnya dalam organisasi. Hal ini membutuhkan pemimpin untuk
menghasilkan “guidance, encouragement, and motivation.”
6. Seorang pemimpin visioner harus memahami lingkungan luar dan memiliki kemampuan bereaksi
secara tepat atas segala ancaman dan peluang. Ini termasuk, yang plaing penting, dapat "relate
skillfully" dengan orang-orang kunci di luar organisasi, namun memainkan peran penting terhadap
organisasi (investor, dan pelanggan).
7. Seorang pemimpin harus memegang peran penting dalam membentuk dan mempengaruhi praktek
organisasi, prosedur, produk dan jasa. Seorang pemimpin dalam hal ini harus terlibat dalam
organisasi untuk menghasilkan dan mempertahankan kesempurnaan pelayanan, sejalan dengan
mempersiapkan dan memandu jalan organisasi ke masa depan (successfully achieved vision).
8. Seorang pemimpin visioner harus memiliki atau mengembangkan "ceruk" untuk mengantisipasi
masa depan. Ceruk ini merupakan ssebuah bentuk imajinatif, yang berdasarkan atas kemampuan
data untuk mengakses kebutuhan masa depan konsumen, teknologi, dan lain sebagainya. Ini
termasuk kemampuan untuk mengatur sumber daya organisasi guna memperiapkan diri
menghadapi kemunculan kebutuhan dan perubahan ini.

Barbara Brown mengajukan 10 kompetensi yang harus dimiliki oleh pemimpin visioner,
yaitu:

1. Visualizing. Pemimpin visioner mempunyai gambaran yang jelas tentang apa yang hendak
dicapai dan mempunyai gambaran yang jelas kapan hal itu akan dapat dicapai.

2. Futuristic Thinking. Pemimpin visioner tidak hanya memikirkan di mana posisi bisnis pada
saat ini, tetapi lebih memikirkan di mana posisi yang diinginkan pada masa yang akan
datang.

3. Showing Foresight. Pemimpin visioner adalah perencana yang dapat memperkirakan masa
depan. Dalam membuat rencana tidak hanya mempertimbangkan apa yang ingin dilakukan,
tetapi mempertimbangkan teknologi, prosedur, organisasi dan faktor lain yang mungkin
dapat mempengaruhi rencana.

4. Proactive Planning. Pemimpin visioner menetapkan sasaran dan strategi yang spesifik untuk
mencapai sasaran tersebut. Pemimpin visioner mampu mengantisipasi atau
mempertimbangkan rintangan potensial dan mengembangkan rencana darurat untuk
menanggulangi rintangan itu

5. Creative Thinking. Dalam menghadapi tantangan pemimpin visioner berusaha mencari


alternatif jalan keluar yang baru dengan memperhatikan isu, peluang dan masalah. Pemimpin
visioner akan berkata “If it ain’t broke, BREAK IT!”.

6. Taking Risks. Pemimpin visioner berani mengambil resiko, dan menganggap kegagalan
sebagai peluang bukan kemunduran.

7. Process alignment. Pemimpin visioner mengetahui bagaimana cara menghubungkan sasaran


dirinya dengan sasaran organisasi. Ia dapat dengan segera menselaraskan tugas dan pekerjaan
setiap departemen pada seluruh organisasi.

8. Coalition building. Pemimpin visioner menyadari bahwa dalam rangka mencapai sasara
dirinya, dia harus menciptakan hubungan yang harmonis baik ke dalam maupun ke luar
organisasi. Dia aktif mencari peluang untuk bekerjasama dengan berbagai macam individu,
departemen dan golongan tertentu.

9. Continuous Learning. Pemimpin visioner harus mampu dengan teratur mengambil bagian
dalam pelatihan dan berbagai jenis pengembanganlainnya, baik di dalam maupun di luar
organisasi. Pemimpin visioner mampu menguji setiap interaksi, negatif atau positif, sehingga
mampu mempelajari situasi. Pemimpin visioner mampu mengejar peluang untuk
bekerjasama dan mengambil bagian dalam proyek yang dapat memperluas pengetahuan,
memberikan tantangan berpikir dan mengembangkan imajinasi.

10. Embracing Change. Pemimpin visioner mengetahui bahwa perubahan adalah suatu bagian
yang penting bagi pertumbuhan dan pengembangan. Ketika ditemukan perubahan yang tidak
diinginkan atau tidak diantisipasi, pemimpin visioner dengan aktif menyelidiki jalan yang
dapat memberikan manfaat pada perubahan tersebut.

Peran Pemimpin Visioner


Burt Nanus (1992), mengungkapkan ada empat peran yang harus dimainkan
oleh pemimpin visioner dalam melaksanakan kepemimpinannya, yaitu:
5. Peran penentu arah (direction setter). Peran ini merupakan peran di mana seorang pemimpin
menyajikan suatu visi, meyakinkan gambaran atau target untuk suatu organisasi, guna diraih
pada masa depan, dan melibatkan orang-orang dari "get-go." Hal ini bagi para ahli dalam studi
dan praktek kepemimpinan merupakan esensi dari kepemimpinan. Sebagai penentu arah,
seorang pemimpin menyampaikan visi, mengkomunikasikannya, memotivasi pekerja dan rekan,
serta meyakinkan orang bahwa apa yang dilakukan merupakan hal yang benar, dan mendukung
partisipasi pada seluruh tingkat dan pada seluruh tahap usaha menuju masa depan.
6. Agen perubahan (agent of change). Agen perubahan merupakan peran penting kedua dari
seorang pemimpin visioner. Dalam konteks perubahan, lingkungan eksternal adalah pusat.
Ekonomi, sosial, teknologi, dan perubahan politis terjadi secara terus-menerus, beberapa
berlangsung secara dramatis dan yang lainnya berlangsung dengan perlahan. Tentu saja,
kebutuhan pelanggan dan pilihan berubah sebagaimana halnya perubahan keinginan para
stakeholders. Para pemimpin yang efektif harus secara konstan menyesuaikan terhadap
perubahan ini dan berpikir ke depan tentang perubahan potensial dan yang dapat dirubah. Hal
ini menjamin bahwa pemimpin disediakan untuk seluruh situasi atau peristiwa-peristiwa yang
dapat mengancam kesuksesan organisasi saat ini, dan yang paling penting masa depan.
Akhirnya, fleksibilitas dan resiko yang dihitung pengambilan adalah juga penting lingkungan
yang berubah.
7. Juru bicara (spokesperson). Memperoleh "pesan" ke luar, dan juga berbicara, boleh dikatakan
merupakan suatu bagian penting dari memimpikan masa depan suatu organisasi. Seorang
pemimpin efektif adalah juga seseorang yang mengetahui dan menghargai segala bentuk
komunikasi tersedia, guna menjelaskan dan membangun dukungan untuk suatu visi masa
depan. Pemimpin, sebagai juru bicara untuk visi, harus mengkomunikasikan suatu pesan yang
mengikat semua orang agar melibatkan diri dan menyentuh visi organisasi-secara internal dan
secara eksternal. Visi yang disampaikan harus "bermanfaat, menarik, dan menumbulkan
kegairahan tentang masa depan organisasi."
8. Pelatih (coach). Pemimpin visioner yang efektif harus menjadi pelatih yang baik. Dengan ini
berarti bahwa seorang pemimpin harus menggunakan kerjasama kelompok untuk mencapai visi
yang dinyatakan. Seorang pemimpin mengoptimalkan kemampuan seluruh "pemain" untuk
bekerja sama, mengkoordinir aktivitas atau usaha mereka, ke arah "pencapaian kemenangan,"
atau menuju pencapaian suatu visi organisasi. Pemimpin, sebagai pelatih, menjaga pekerja
untuk memusatkan pada realisasi visi dengan pengarahan, memberi harapan, dan membangun
kepercayaan di antara pemain yang penting bagi organisasi dan visinya untuk masa depan.
Dalam beberapa kasus, hal tersebut dapat dibantah bahwa pemimpin sebagai pelatih, lebih
tepat untuk ditunjuk sebagai "player-coach."
LITERATUR

Burt Nanus. Visionary Leadership: Creating a Compelling Sense of Direction for Your
Organization. (San Francisco, CA: Jossey-Bass Publishers, 1992).
Devito, A. Joseph. 1997. Komunikasi Antar Manusia. Jakarta : Professional Books.
Harefa, Andrias. Kepemimpinan-Manajemen: Visionaris. [Online].
http://www.pembelajar.com/pemimpin/peminari.htm
Muhammad, Arni. Dr. 1995. Komunikasi Organisasi. Jakarta : Bumi Aksara.
Mar’at, Prof. Dr. 1983. Pemimpin dan Kepemimpinan. PT. Ghalia Indonesia. Jakarta.
Marshall Sashkin. From “Visionary Leadership,” in Contemporary Issues in Leadership, 2nd Edition,
William E. Rosenbach and Robert L. Taylor, eds., Westview Press, 1989. As edited by J. Thomas
Wren. The Leader’s Companion: Insights on Leadership Through the Ages. (New York, NY: The
Free Press, 1995).
Ruslan, Rosady, S.H. 1998. Manajemen Humas dan Manajemen Komunikasi. Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada.
Siagian, Sonsang P. 1994. Teori dan Praktek Kepemimpinan. PT Rineka Cipta, Thoha, Miftah. 1996.
Perilaku Organisasi. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada Jakarta.

Wirutomo, Paulus. (2003). Kepemimpinan Visioner, Makalah disampaikan pada Seminar dan
Lokakarya bagi pejabat Struktural Eselon III dan IV di lingkungan Dikdasmen di Bogor.
Tidak dipublikasikan.

Oleh Muhtadi*) dan DH Ismail Sitanggang**)


MENCERMATI Pernyataan Wakil Sekjen Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Bachtiar
Chamsyah bahwa aklamasi harus dihindarkan. Ungkapan ini sangatlah menarik, apalagi
menjelang Muktamar V PPP, tanggal 20-24 2003. PPP sepertinya tidak harus terjebak pada
aklamasi. Dalam kasus aklamasi, janganlah PPP mengulang sejarah masa lalu, ketika H.J. Naro
secara aklamasi mendapat estafet kepemimpiman dari HMS Mintaredja. Setelah itu, H.J. Naro
pun memimpim PPP selama sebelas tahun. Selama sebelas tahun tidak ada Muktamar, yang
seharusnya menurut anggaran dasar dan anggaran rumah tangga harus diadakan lima tahun
sekali. Padahal Muktamar bisa dikatakan wahana atau proses demokratisasi yang harus
dilakukan oleh PPP. Karena Muktamar tempatnya untuk mengevaluasi kinerja partai politik dan
memilih ketua umum untuk lima tahun ke depan. Kalau seandainya hal ini tidak dijalankan
berarti proses demokratisasi telah terhambat di PPP.

Dalam konteks ini, aklamasi juga seringkali menghasilkan kepemimpinan otoriter. Karena
aklamasi merupakan cermin buruk bagi sebuah partai politik. Aklamasi bisa menumbuhkan
budaya otoriter dalam tubuh organisasi partai politik tersebut.

Di sisi lain, budaya aklamasi juga akan menghambat tumbuh berkembangnya partai politik ke
arah yang lebih baik. Karena hal ini akan menghalangi kader-kader partai yang lebih potensial
dari segi gagasan, visi mupun manajemen kepemimpinannya. Tidak adanya proses kompetisi
berarti partai politik telah menggali kuburannya sendiri. Karena partai tidak laku dan
ditinggalkan banyak kader potensialnya. Seandainya PPP terjebak pada budaya aklamasi, maka
layaklah partai ini disebut sebagai "partai museum"-- isitilah ini julukan yang sering digunakan
oleh kader-kader muda PPP.

Budaya aklamasi juga sangat bertentangan dengan budaya demokratis, yang terakhir ini
seharusnya harus diperjuangkan oleh partai politik tak terkecuali oleh PPP. Bagaimana mau
membangun proses demokratisasi untuk bangsa Indonesia secara keseluruhan, sementara partai
politik tersebut tidak memiliki komitmen yang kuat untuk membangun demokrasi di "rumahnya
sendiri".

Dalam konteks PPP, terobosan yang dilakukan Bachtiar Chamsyah yang akan mencalonkan diri
sebagai Ketua Umum PPP, biar bursa pencalonan tidak monoton dan terjebak kepada aklamasi
tetapi melalui mekanisme pemilihan suara, adalah sesuatu yang kreatif dan inovatif untuk
mendorong partai politik ini membenahi dirinya, terutama dalam melahirkan budaya demokratis
dan dalam menghasilkan kepemimpinan yang kuat.
Bursa pencalonan yang diramaikan dengan banyak tokoh atau figur, memungkinkan PPP untuk
menghasilkan kepemimpinan masa depan. Yakni, kepemimpinan yang kuat dan visioner dalam
menjawab tantangan yang akan dihadapi PPP. Karena banyaknya alternatif pilihan maka hanya
pemimpin yang berkualitas dan memiliki integritas moral yang akan terpilih.

Pada hakikatnya kepemimpinan yang kuat dan visioner, seperti diungkapkan oleh AB Susanto
Managing Partner The Jakarta Consulting Group, adalah kepemimpinan yang mampu untuk
menciptakan dan mengartikulasikan sebuah visi yang realistik, kredibel, dan mendorong para
pengikutnya untuk tumbuh dan berkembang menuju masa depan atau cita-cira bersama.

Dalam konteks ini, visi seorang pemimpin juga memiliki daya tarik luar biasa bagi para
pengikutnya (baca: anggota organisasi). Visinya juga memberikan suatu inpirasi dan motivasi
kepada orang lain. Seorang pemimpin yang visioner dan kuat bisa membuat visi yang diharapkan
dapat menjadi energizer, dan menciptakan antusiasme bagi pengikutnya.

Jadi kepemimpinan yang kuat dan visioner bisa membawa biduk organisasi dari jenjang harapan
menjadi kenyataan, merubah "mimpi-mimpi" menjadi kenyataaan. Para pengikutnya mampu
bergerak bersama dengan pemimpinnya untuk membangun demi kemajuan organisasinya dengan
visi yang digenggam oleh pemimpinnya.

Visi seorang pemimpin yang baik akan mampu menata proses transformasi bagi organisasi
sesuai dengan tujuan bersama yang ingin diraihnya. Visi ini pula mampu menjadi jembatan bagi
konflik atau perbedaan yang ada dalam organisasi tersebut. Sehingga konflik dan perbedaan
bukannya menjadi perpecahan, tetapi menjadi dinamika positif bagi kemajuan organisasi
tersebut.

Yang menjadi pertanyaan kemudian, kenapa PPP membutuhkan kepemimpinan yang kuat dan
visioner serta memiliki integritas moral. Pertama, pertarungan untuk memperoleh suara pada
pemilihan umum (pemilu) sangatlah berat. Dimana PPP harus "bertanding" dengan sekian
banyak partai politik yang berlabel Islam dalam rangka meraup suara pemilih Islam. Kedua,
untuk menjembatani krisis organisasi, dimana konflik dimaknai selalu dengan perpecahan di
tubuh partai politik tersebut. Misalnya keluarnya KH Zainuddin M.Z, yang mendirikan PPP
Reformasi. Ketiga, untuk membongkar budaya yang tidak demokratis yang masih mengkristal di
tubuh PPP tersebut, misalnya selalu saja yang harus menjadi calon presiden (capres) harus ketua
umum partai, padahal hal ini sangat bertentangan dengan proses demokratisasi, karena
menghilangkan kesempatan bagi kader-kader partai yang lainnya, mungkin lebih layak dan lebih
baik.

Sekali lagi, kepemimpinan yang kuat dan visioner tidak mungkin terjaring melalui mekanisme
aklamasi. Tetapi kepemimpinan ini akan lahir dari proses demokratisasi yang mekanisme melalui
pemilihan suara. Berarti proses demokratisasi adalah sebuah keniscayaan yang harus dianut oleh
PPP agar bisa melahirkan kepemimpinan masa depan yang bisa membawa kemajuan bagi partai
politik ini. Semoga. ( *) Peneliti Lembaga Penelitian, Pendidikan, Penerangan untuk Ekonomi
dan Sosial (LP3ES). **) Sekretaris Eksekutif Dewan Pimpinan Pusat Badan Interaksi Sosial
Masyarakat (DPP - BISMA)

KEPEMIMPINAN TRANSFORMASIONAL DAN


VISIONER
Seseorang dengan kepemimpinan transformasional akan sangat efektif bila mempunyai
karakteristik kepemimpinan visioner, karena visi mencerminkan ambisi, daya tarik besar, hasrat
semangat dan keadaan atau perwujudan ideal dimasa depandapat dianggap sebagai impian yang
ingin diwujudkan.

Karakteristik pemimpin visioner adalah yang pertama sebagai penentu arah dimana pemimpin
harus mampu menyusun langkah berbagai sasaran yang dapat diterima sebagai suatu kemajuan
rill oleh semua elemen bangsa. Seperti nahkoda, pemimpin harus mampu menentukan arah
negara dalam situasi dan kondisi apapun dengan langkah-langkah yang tepat untuk
mengamankan, menyelamatkan atau dalam memajukan negara dengan lahkah revolusioner
sekalipun (bila benar-benar dibutuhkan).

Yang kedua sebagai agen perubahan pemimpin harus mampu mengantipasai berbagai
perkembangan di bunia luar, memperkirakan implikasinya terhadap negara, menciptakan sense
of urgency dan prioritas bagi perubahan yang disyaratkan oleh visi, mempromosikan
eksperimentasi dan memberdayakan orang-orang untuk menghasilkan perubahan yang
diperlukan. Gambaran sederhana pemimpin sebagai agen perubahan adalah rakyat yang tadinya
disiplin menjadi berdisiplin tinggi, rakyat yang tadinya dihantui konflik etnis dan agama menjadi
penuh toleran, rakyat yang tadinya membuang sampah sembarangan menjadi membuang sampah
pada tempatnya.

Yang ketiga sebagai orator ulung, yang mampu mengkomunikasikan visi dan misinya kepada
rakyat sehingga rakyat antusias mendengarkan dengan penuh perhatian ketika pemimpin tersebut
memberi pencerahan. Selain itu pemimpin juga harus bisa berdiplomasi di tingkat dunia untuk
mempromosikan berbagai gagasannya yang orsinil dan universal.

Yang keempat sebagai guru dan pemberi teladan yang baik, pemimpin harus sanggup dan
mampu dijadikan cermin bagi warganya dan sanggup menjadi tauladan yang baik kepada
siapapun. Pemimpin harus menjaga ahlaknya karena pemimpin sebagai pusat perhatian,
pemimpin juga harus menciptakan banyak karya dan keberhasilan sebab pemimpin akan
dicontoh oleh warganya.

Contoh kepemimpinan transfomasional sekaligus visioner bisa kita perhatikan ada pada diri nabi
dan rosul sejak jaman Nabi Adam AS sampai Nabi Muhamad SAW dan terutama Rosul Ulul
Azmi. Rosul Ulul Azmi dikenal dengan rosul yang mempunyai banyak keinginan dan harapan
untuk kemajuan peradaban manusia dan mampu mengatasi krisis kemanusian pada zamannya
sehingga manusia pada saat itu mendapat bimbingan dan tercerahkan serta mempunyai efek
(pengaruh) yang sangat besar sampai pada kehidupan masa kini. Rosul Ulul Azmi tersebut
adalah Nabi Nuh, Nabi Ibrahim, Nabi Musa, Nabi Isa dan Nabi Muhamad.

Oleh karena itu untuk memilih pemimpin nasional suka atau tidak suka harus terlebih dahulu
mengkaji kepemimpinan yang telah dicontohkan oleh para Nabi dan Rosul tersebut yang mampu
mentranformasikan visi dan misinya (berupa ajaran ilahi) ke dalam kehidupan nyata. Dan hal
yang terpenting adalah bahwa kepemimpinan para nabi sudah terbukti keberhasilannya.

Demikian artikel tentang kepemimpinan, harapan saya menjadi gambaran kepada anda dalam
rangka mengadapi pemilu (legislatif), pilpres dan pilkada, sehingga anda yakin dengan pilihan
anda, sebab pilihan anda akan menentukan pula masa depan bangsa dan negara. Jadi … Ayo
Bangkit Indonesia …

Visioner, Dambaan Publik Terhadap Pemimpin Politik

Dalam literatur kepemimpinan, terdapat aneka jenis pemimpin berdasarkan tipologinya. Ada yang
mendasarkan pada kemampuan pemimpin menggalang dukungan/konsensus politik (“solidarity maker”).
Ada yang berdasarkan pada kemampuan menjalankan program dan organisasi (administrator). Ada pula
yang mendasarkan daya tarik/daya pengaruh pribadi dan ada yang pada kemampuan teknis.

Dalam pemerintahan di Indonesia, ada berbagai jenjang kepemimpinan politik. Berdasarkan


hirarkinya, ada presiden, gubernur, bupati, dan walikota. Di jajaran pemerintah pusat ada pula
para menteri selaku pembantu presiden yang nota bene merupakan pelaksana pemerintahan yang
dipimpin oleh presiden.

Artikel ini dilengkapi dengan data PDF. klik di sini untuk download

Menjadi pertanyaan yang menarik untuk mengetahui, sebenarnya tipe pemimpin semacam apa yang
menjadi “selera” masyarakat Indonesia. Untuk presiden dan kepala daerah, misalnya, tipe pemimpin
seperti apa yang menjadi titik berat masyarakat: apakah yang mampu memberikan “sense of direction”
(visioner) atau seseorang yang memiliki kemampuan menjalankan organisasi negara secara teknis.

Apakah pemimpin yang memiliki kharisma yang besar, ataukah pemimpin yang memiliki keahlian khusus
di bidang tertentu. Apakah ada perbedaan pendapat masyarakat tentang syarat seorang presiden
dengan seorang menteri. Di sisi lain tipe dari manakah sumber rekrutmen pemimpin yang paling
diinginkan oleh masyarakat untuk mengisi pos-pos jabatan pemerintahan (khususnya eksekutif) di negara
ini.

Pertanyaan semacam inilah yang hendak dijawab melalui survei nasional yang merupakan hasil
kerjasama dari The Lead Institute, Universitas Paramadina dengan Indo Barometer yang dilaksanakan
pada Mei 2007 ini.

Ringkasan Temuan
Tipe Pemimpin: Visioner atau Administratur?
Jika ditanya pada publik Indonesia, manakah pemimpin yang lebih mereka sukai, ternyata mayoritas
menjawab tipe visioner ketimbang tipe administratur. Hal ini berlaku baik untuk puncak jabatan seperti
presiden dan kepala daerah, maupun menteri.

Dari data ini tampak bahwa calon pemimpin harus mampu menawarkan visi (sense of direction) pada
masyarakat Indonesia. Hal ini mungkin disebabkan para pemimpin Indonesia pasca transisi menuju
demokrasi dianggap belum mampu memberikan arah yang jelas tentang Indonesia masa depan akan
seperti apa.

Di satu sisi hal ini mungkin disebabkan para pemimpin nasional Indonesia yang terus berganti secara
cepat dalam 9 tahun terakhir. Periode Habibie hanya 1 tahun, Gus Dur 2 tahun, Megawati 3 tahun, dan
SBY 2,5 tahun.

Kesinambungan kepemimpinan politik nasional yang lebih pasti diharapkan memberi kesempatan pada
pemimpin politik untuk dapat memberikan landasan bagi peletakan dan pencapaian visi yang lebih pasti
bagi masa depan Indonesia.

Faktor Penting Dimiliki Oleh Pemimpin


Apa faktor yang dianggap publik paling penting untuk dimiliki seorang pemimpin? Apakah karisma,
keahlian khusus bidang tertentu, atau pendidikan tinggi?

Ternyata ada perbedaan pendapat publik tentang syarat seorang calon presiden dan menteri menurut
publik. Untuk presiden, mayoritas publik lebih mementingkan karisma ketimbang keahlian khusus
tertentu, apalagi gelar formal seperti sarjana. Namun untuk menteri, publik lebih menginginkan keahlian
khusus tertentu.

Melihat temuan ini, calon presiden dan kepala daerah yang paling mungkin dipilih oleh publik adalah
mereka yang memiliki karisma sebagai seorang pemimpin.

Komposisi Kabinet Yang Ideal


Menurut mayoritas publik, komposisi ideal adalah semuanya dari kalangan ahli/profesional atau lebih
banyak ahli/profesionalnya ketimbang kalangan partai politik. Sementara itu, menurut publik komposisi
kabinet sekarang lebih banyak orang partai ketimbang ahli/profesional.
Seandainya Presiden SBY melakukan reshuffle lagi pada masa yang akan datang, jika mengacu pada
pendapat publik di atas, maka pengisinya sebaiknya orang yang bukan non-partai.

Jalur Kepemimpinan
Para pemimpin politik bisa berasal dari bermacam-macam sumber. Ada jalur partai politik, ormas,
militer, birokrasi, pengusaha, LSM, akademisi, dst.

Sumber ideal rekrutmen pemimpin politik menurut publik adalah akademisi, partai politik dan ormas.
Yang menjawab militer atau pengusaha relatif sedikit.

Jawaban publik ini menarik karena militer tidak lagi menjadi favorit seperti praktek di masa lalu di mana
kepala daerah, misalnya, mayoritas datang dipilih dari militer. Juga menarik membandingkannya dengan
sejumlah prediksi bahwa generasi pemimpin politik masa depan akan didominasi oleh para pengusaha.

Kesimpulan
Jika ditanya pada publik Indonesia, manakah pemimpin yang lebih mereka sukai, ternyata mayoritas
menjawab tipe visioner ketimbang tipe administratur. Hal ini berlaku baik untuk puncak jabatan seperti
presiden dan kepala daerah, maupun menteri.

Ternyata ada perbedaan pendapat publik tentang syarat seorang calon presiden dan menteri menurut
publik. Untuk presiden, mayoritas publik lebih mementingkan karisma ketimbang keahlian khusus
tertentu, apalagi gelar formal seperti sarjana. Namun untuk menteri, publik lebih menginginkan keahlian
khusus tertentu.

Menurut mayoritas publik, komposisi ideal adalah semuanya dari kalangan ahli/profesional atau lebih
banyak ahli/profesionalnya ketimbang kalangan partai politik.

Sumber ideal rekrutmen pemimpin politik menurut publik adalah akademisi, partai politik dan ormas.
Yang menjawab militer atau pengusaha relatif sedikit.

(Dikasih Link Hasil Survei PEMIMPIN VISIONER: HARAPAN PUBLIK INDONESIA TERHADAP KEPEMIMPINAN
POLITIK dalam bnetuk PDF

Rakyat Rindu Pemimpin Visioner


Friday, 29 February 2008 11:15 WIB
Ibarat pertandingan sepakbola, Sumut sudah kalah sejak peluit pertama
dibunyikan. Teknik permainan antartim yang sudah kuno, membuat "pemain"
Sumut kalah. Untuk mengejar ketertinggalan, Tim Sumut memerlukan
teknik baru agar dapat bermain lebih taktis dan berlari lebih cepat.
Teknik baru itu hanya mungkin lahir jika Sumut memiliki
pelatih/pemimpin yang visioner. Seperti apa pemimpin visioner itu?
Bung Hatta dalam majalah Daulat Rakyat, 10 September 1933,
menggambarkan syarat seorang pemimpin visioner ini dalam satu kalimat
yang lugas: iman yang teguh, watak yang kukuh dan urat saraf yang kuat.
WASPADA Online

Oleh Suhari Pane

Ibarat pertandingan sepakbola, Sumut sudah kalah sejak peluit pertama dibunyikan. Teknik permainan
antartim yang
sudah kuno, membuat "pemain" Sumut kalah. Untuk mengejar ketertinggalan, Tim Sumut memerlukan
teknik baru agar
dapat bermain lebih taktis dan berlari lebih cepat. Teknik baru itu hanya mungkin lahir jika Sumut memiliki
pelatih/pemimpin yang visioner. Seperti apa pemimpin visioner itu? Bung Hatta dalam majalah Daulat
Rakyat, 10
September 1933, menggambarkan syarat seorang pemimpin visioner ini dalam satu kalimat yang lugas:
iman yang
teguh, watak yang kukuh dan urat saraf yang kuat.

Sementara Rhenald Kasali, pakar manajemen Universitas Indonesia , menganalogikan pemimpin visioner
seperti mata.
Ia bukan sekadar mata yang bergerak secara acak, melainkan harus menjadi mata yang jeli melihat
sesuatu yang belum
terlihat atau bahkan sama sekali tidak terlihat rakyatnya. Bukan itu saja, ia pun sanggup menyakinkan
dan mengajak
rakyatnya untuk memperjuangkan pandangan masa depannya itu. Untuk menjadi pemimpin bermata jeli
(visionary
leader), seorang pemimpin harus berkarakter, punya kredibilitas, menjadi inspirasi keteladanan dan
mampu
menumbuhkan harapan.

Mari kita elaborasi serba sedikit soal ini. Pertama, berkarakter. Pemimpin berkarakter sudah barang tentu
bukan sosok
karbitan atau yang hanya mengandalkan pengalaman jabatan, jam terbang politik, dan deretan panjang
aktivitas
kemasyarakatan, tanpa catatan prestasi yang jelas dalam semua kiprahnya itu. Pemimpin berkarakter
adalah pemimpin
yang mampu membuat skenario masa depan bagi rakyat dan memperjuangkan skenario itu dengan
melakukan
perubahan mendasar dalam pemerintahan dan masyarakatnya dengan bertopang pada nilai-nilai
masyarakatnya sendiri.

Kedua, kredibilitas. Ini menyangkut komitmen, integritas, kejujuran, konsistensi dan keberanian seorang
pemimpin untuk
bertanggung jawab atas pilihannya. Bukan jenis pemimpin dengan mental tempe, selalu ragu-ragu dan
serba lambat
mengambil keputusan di antara sekian banyak pilihan yang memang mustahil sempurna. Pemimpin yang
kredibilitasnya
mumpuni, sejak semula berkuasa siap mempertanggungjawabkan kegagalan tanpa mencari kambing
belang. Ia lebih
suka mencari apa yang keliru untuk diperbaiki ketimbang mencari siapa yang patut disalahkan.
Kredibilitas juga
mengandung pengertian adanya ketenangan batin seorang pemimpin untuk memberikan reaksi yang
tepat terutama
dalam kedaaan kritis. Selain tentu, saja kredibilitas juga menyangkut aspek kecakapan dan ketrampilan
teknis
memimpin.

Ketiga, inspirasi keteladanan. Boleh jadi ini aspek kepemimpinan yang terpenting dan sekaligus teramat
sulit untuk kita
temukan kini. Banyak pemimpin di negeri ini yang gagal menjadi sumber inspirasi keteladanan. Mereka
tidak sanggup
berdiri di barisan terdepan dalam memberi teladan dari dirinya dan lingkungan kekuasaannya yang
terdekatnya.
Pemimpin yang inspiratif, semestinya sanggup secara otentik menunjukkan ketulusan satunya ucapan
dengan tindakan,
satunya seruan dengan pelaksanaan, satunya tekad dengan perbuatan. Orang Jepang menyebut sikap
otentik ini
dengan istliah "makoto", artinya sungguh-sunggguh, tanpa kepura-puraan. Nurcholis Madjid menyebut
pemimpin seperti
ini sebagai lambang harapan bersama, sumber kesadaran arah (sense of direction) dan sumber
kesadaran tujuan Keempat, menumbuhkan harapan. Kita tahu tingkat kepercayaan rakyat terhadap
pemerintah kini begitu rendah.
Pemerintah seperti bebek lumpuh yang kehilangan daya. Alih-alih mampu menggugah dan
menggerakkan rakyatnya,
bahkan niat baik pemerintah pun acapkali disalahpahami oleh rakyatnya sendiri. Pemimpin yang memberi
harapan
adalah pemimpin mampu menjadikan harapan rakyatnya sebagai roh kepemimpinannya. Tidak
sebaliknya, secara egois
menjadikan harapannya seolah-olah sebagai harapan rakyatnya. Dalam Islam ada adagium yang
menyangkut soal ini:
Kebijakan dan tindakan seorang pemimpin atas rakyat yang dipimpin, haruslah terkait langsung dengan
kesejahteraan
mereka (Tasharruf al-imam ala ar-rayyah manutun bi al-maslah-ah). Jelaslah sudah, dalam Islam
seorang pemimpin
yang melalaikan kewajibannya menyejahterakan rakyatnya teramat dicela, sebab ia gagal menumbuhkan
harapan bagi
rakyatnya.

Moving the People

Titik sentral perubahan di Sumut ada pada kepemimpinan. Carut-marut keadaan ini kian tidak menentu
ujungpangkalnya
lantaran daerah ini sedang krisis kepemimpinan. Kita tidak pernah kekurangan penguasa. Buktinya,
setiap
musim pemilihan tiba, stok calon penguasa berlimpah adanya. Tetapi kita jelas sedang dihantam paceklik
panjang
kepemimpinan.

Dalam konteks pemimpin yang visioner, jelas cara pandang mengelola pembangunan harus diubah.
Pembangunan
harus dimaknai sebagai isu manajemen. Yakni, bagaimana seorang pemimpin melakukan proses value
creation yang
berkesinambungan. Apa pun alasannya, siapa pun yang memerintah dan apa pun tantangannya, isu
utama seorang
pemimpin bukan lagi struggle for power, melainkan bagaimana ia mengoptimalkan aset yang ada untuk
menciptakan
kontinuitas kemajuan. Ini penting sekali, agar arah pembangunan dalam skala apapun tidak kehilangan
visinya.
Pemimpin yang visioner tidak boleh membuat rakyatnya galau, gelisah, lalu bertanya-tanya dengan hati
gundah: mau
dibawa ke mana gerangan kami ini?

Mengapa kita perlu pemimpin yang visioner? Pemimpin yang mengelola pembangunan sebagai proses
pembentukan
nilai yang berkesinambungan, bukan hanya sekadar berkuasa untuk lima tahunan? Sederhana saja
jawabannya, tanpa
semua itu pemimpin akan gagal mengajak rakyatnya untuk bergerak (moving the people) mengatasi
carut-marut
keadaan. Rakyat yang engan diajak bergerak menjemput perubahan adalah pertanda gagalnya
kepemimpinan. Di sana
tidak muncul pemimpin berkarakter kuat, punya kredibilitas terjaga, sanggup menjadi inspirasi
keteladanan dan mampu
menumbuhkan harapan.

Dalam carut marut keadaan kita terus bermimpi datangnya pemimpin yang membawa perubahan.
Pemimpin yang tidak
tidak punya kerendahan hati, seperti Abu Bakar Ash-Siddik yang berkata menjelang pelantikan dirinya
sebagai khalifah
pertama: "lastu bi khoirikum in roaatumuuni showaaban fanuuni wa in roaitumuuni wijaajan fa
qowwimuuni" (Saya
bukanlah yang terbaik di antara kalian, maka jika kalian ketahui saya benar, bantulah saya. Dan jika
kalian ketahui saya
menyeleweng, luruskan saya).**

* Penulis adalah Ketua Umum Forum Masyarakat Labuhanbatu (FORMAL)


Waspada Online

Mewujudkan Pemimpin yang Kredibel


dan Visioner

Oleh Lurah Dalam

  

Monolog ini hanya sekedar interpretasi dari fenomena yang sering terjadi, dimana kekuasaan bias
bagaikan candu yang dapat menjerat seseorang. Ketika kekuasaan menjadi yang utama dan agung,
maka kredibelitas mulai mengalami erosi. Birahi kekuasaan ini telah menjerat banyak pemimpin
kedalam kekuasaan otoriter, rejim dictator, kekuasaan tiranik dan pemerintah fasis dan dalam
bentuknya yang paling sederhana kita namakan premanisme. Mudah sekali menemukan kisah-kisah
tentang para pemimpin dengan unlimited power. “Mereka memimpin untuk berkuasa dan berlkuasa
untuk menjadi pemimpin” artinya mereka tidak mau lengser.

Menurut gardner, ada tiga narasi penting yang menekan urgensi Visi Kepemimpinan, yakni
“menciptakan pandangan hidup masyarakat, mengangkat orang keluar dari kepicikan dan mengejar
tujuan….”
 
Pemaparan ini mengantarkan kita pada intisari kepemimpinan yang unggul, yakni kredibilitas dan
visi.

Kredibilitas bersentuhan dengan integritas, autensitas atau nurani pemimpin, sedangkan visi adalah
“mata” jati diri seorang pemimpin.

Pemimpin yang kredibel tanpa visi adalah bagai katak di bawah tempurung, tidak pernah bias
melihat cakrawala yang membentang dan menembus batas-batas kekinian. Mata nuraninya mungkin
jernih, tetapi tidak bias melihat dunia luas, dunia yang akan dating.

Pemimpin yang visioner tetapi tidak kredibel adalah seperti badut di atas pangung sirkus. Opini-
opininya bias menembus angkasa, membentang jauh melampaui zamannya, namun nuraninya yang
keruh selalu mengekang langkah kakinya. Jangan memburu bayangan, sehinga lepas apa yang
sebenarnya hendak ditangkap. Pemimpin yang kredibel tanpa visi hanyalah bayangan kosong, dan
pemimpin visioner yang tidak kredibel hanya memberikan bayangan kosong.

Dari berbagai referensi yang ada maka dapat disimpulkan bahwa ada 3 hal yang harus dilakukan
seorang pemimpin agar tidak mengalami myopia kepemimpinan.

1. Pemimpin harus benar-benar menyaari bahwa perannya adalah memimpin manusia


dan bukan berkuasa atas manusia.
2. Seorang pemimpin harus belajar bersikap kritis, belajar menilai secara lebih terbuka
terhadap opsi-opsi, belajar melakukan komparasi terhadap perubahan-perubahan
kepemimpinannya, dan berusaha untuk tidak terjebak ke dalam satu penilaian tunggal.
3. 3. Pemimpin harus bias menyikapi perubahan dan tantangan secara arif dan dewasa.
Adakalanya wait and see, terkadang harus bersikap konservasif, tetapi bias juga
agresif dan provokatif, selama didukung oleh fakta yang sahih dan opini yang teruji.
Hal-hal yang perlu diperhatikan jika ingin menjadi seorang pemimpin kredibel dan visioner yaitu:

 jadilah pemimpin pembelajar


 jadilah pemimpin visioner
Berupayalah menjadi seorang pemimpin yang membangun kredibilitas melalui Integritas, Otoritas
dan Kapasitas. Membangun integritas berarti memperkuat moratlias dan karakter seorang
pemimpin. Otokritas, berbasis pada legitimasi formal dan wewenang resmi jabatan. Membangun
otoritas berarti memperkuat aspek legal-yuridis. Kapabilitas, berbasis pada kompetensi teknis dan
keahlian prefesional. Membangun kompetensi berati memperkuat keahlian teknis professional.
“Jadilah seorang pemimpin yang baik harus banyak meluangkan waktu untuk
berfikir dan belajar untuk memperlebar wawasan, mempertepat jarak pandang dan
memperkuat daya lihatnya, sehingga ia mampu mengantisipasi peluang dan bahaya
yang dibawa oleh perubahan yang dating tiada putus-putusnya”
 
Iyo be tu rih, St Palindah.***

Indonesia Perlu Pemimpin Visioner


Jakarta, Kompas - Berbagai persoalan yang menimpa Indonesia selama ini dinilai sebagai akibat
lemahnya kepemimpinan bangsa. Indonesia memerlukan pemimpin yang visioner, terutama untuk
memobilisasi sumber kekayaan dan potensi untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Hal itu mengemuka dalam diskusi terbatas antartokoh lintas agama yang diadakan oleh Yayasan Visi
Anak Bangsa dan Maarif Institute untuk membahas berbagai persoalan kebangsaan di Jakarta, Jumat
(16/11).

Pembicara yang hadir, antara lain, mantan Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Ahmad
Syafii Ma’arif, ekonom Faisal Basri, Andreas dari Persekutuan Gereja-gereja Indonesia (PGI), Bhikkhu Sri
Pannyavaro Mahathera (Buddha), Luh Ketut Suryani (Hindu), dan Kardinal Julius Darmaatmadja
(Katolik).

"Apa persoalan utama bangsa ini, jawabannya adalah pemimpin, pemimpin, dan pemimpin," ungkap
Syafii Ma’arif. Ia juga mengingatkan Indonesia belumlah bangsa yang jadi, melainkan masih dalam
proses menjadi.

Faisal Basri menyoroti kekayaan negara yang melimpah menjadi tercecer dan bahkan tidak bisa dinikmati
rakyat karena ketidakmampuan pemimpin mengoptimalkannya untuk kemakmuran rakyat.

Ia mencontohkan pengusaha yang diberi lisensi mengelola kekayaan alam oleh negara, seharusnya tidak
memperjualbelikannya kepada pihak mana pun. "Pengusaha harus mengembalikan hak kelola kepada
negara," ungkapnya.

Masyarakat miskin perlu diberdayakan dan tidak dipinggirkan dalam pembangunan. Pemberdayaan itu,
menurut Kardinal, seharusnya tidak dirupakan pemberian uang secara langsung, tetapi antara lain
dengan menyediakan lapangan kerja yang mencukupi.

"Selama masih ada orang miskin atau tertekan, jangan pernah membanggakan kemajuan bangsa dan
demokratisasi," ungkap Kardinal. (A14)

Kepemimpinan Pendidikan
February 18th, 2009

Kepala Sekolah

Kepala Sekolah berasal dari dua term yang berbeda, yaitu : ‘kepala’ dan ‘sekolah.’ Kata ‘kepala’
dapat diartikan ‘ketua’ atau ‘pemimpin’ dalam suatu organisasi atau sebuah lembaga. Sedang
‘sekolah’ adalah sebuah lembaga di mana menjadi tempat menerima dan memberi pelajaran.
Sekolah juga dapat diartikan sebagai organisasi yang unik dan komplek. Bersifat komplek karena
di dalamnya terdapat berbagai macam dimensi yang satu sama lain saling berkaitan dan saling
menentukan. Sedang sifat unik, menunjukkan bahwa sekolah sebagai organisasi memiliki ciri
tertentu yang tidak dimiliki oleh organisasi-organisasi lain. Ciri-ciri yang menempatkan sekolah
memiliki karakter tersendiri, di mana terjadi proses belajar mengajar, tempat terselengaranya
pembudayaan kehidupan umat manusia.

Dengan demikian secara sederhana kepala sekolah dapat diartikan sebagai “seorang tenaga
fungsional guru yang diberi tugas untuk memimpin suatu sekolah di mana diselenggarakan
proses belajar mengajar, atau tempat di mana terjadi interaksi antara guru yang memberi
pelajaran dan murid yang menerima pelajaran” (Wahjosumidjo, 1999)

Peran dan Fungsi Kepala Sekolah

1. Sebagai pejabat formal


Pendapat umum mengatakan bahwa kepala sekolah merupakan pejabat formal, sebab
pengangkatannya melalui suatu proses, prosedur serta persyaratan-persyaratan tertentu
seperti: latar belakang pendidikan, pengalaman, usia, pangkat, dan integritas.
2. Sebagai Manajer
Sebagai seorang manajer, kepala sekolah memiliki otoritas dalam kegiatan-kegiatan
manajemen, seperti : merencanakan, mengorganisasikan, memimpin, dan mengendalikan.
3. Sebagai seorang Pemimpin
Sebagai pemimpin, kepala sekolah harus mampu menggerakkan, mengarahkan serta
mendorong timbulnya kemauan yang kuat dari para guru, staf dan siswa dalam melaksanakan
tugas masing-masing
4. Sebagai pendidik
Sebagai pendidik, kepala sekolah harus mampu menanamkan dan meningkatkan paling tidak
empat macam nilai, yaitu :
a. mental (hal-hal yang berkaitan dengan sikap batin dan watak manusia)
b. moral (hal-hal yang berkaitan dengan ajaran baik buruk mengenai perbuatan atau sikap)
c. fisik (hal-hal yang berkaitan dengan kondisi jasmani atau badan, kesehatan dan penampilan
manusia secara lahiriah)
d. artistic (hal-hal yang berkaitan dengan kepekaan manusia terhadap seni dan keindahan)
5. Sebagai staf
Kepala sekolah juga berperan sebagai staf karena keberadaanya secara lebih luas, di luar
sekolah, ia berada di bawah kepemimpinan pejabat yang lain, yang berperan sebagai atasan
kepala sekolah.

Tanggung Jawab Kepala Sekolah

Kepala Sekolah bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan Pendidikan


Kewjibannya selalu mengadakan pembinaan dalam arti pengelolaan, penilaian, bimbingan,
pembiyayaan, pengawasan dan pengembangan pendidikan berjalan dengan baik.

1. pengelolaan
suatu proses pengadaan, pendayagunaan, dan pengembangan program pengajaran dan segala
sumberdaya kependidikan serta hubungan-hubungan kependidikan.
2. penilaian
suatu proses pengukuran untuk memperoleh keterangan tentang proses-proses pembelajaran
dan pendidikan dalam rangka pembinaan dan pengembangan serta penentuan akreditasi
pendidikan.
3. bimbingan
yaitu bantuan yang diberikan dalam rangka mengenal pribadi, lingkungan dan merencanakan
masa depan sekolah
4. pembiyayaan
a. pemberian insentif atau gaji guru, tenaga kependidikan lainnya maupun tenaga administratif
b. pembiyaan pengadaan dan pemeliharaan sarana dan prasarana
c. pembiyaan penyelenggaraan pendidikan (kurikulum dll)
d. biaya perluasan dan pengembangan (penelitaian dll)
5. pengawasan
monitoring penyelenggaraan pendidikan seccara holistik dalam rangka pengembangan,
pelayanan dan peningkatan mutu, serta perlindungan sekolah yang bersangkutan.
6. dan pengembangan pendidikan
upaya perbaikan, perluasan, pendalaman dan penyesuaian pendidikan melalui peningkatan
mutu baik penyelenggaraan pendidikan maupun peralatannya.

Pembinaan itu meliputi:


- program pengajaran
- sumberdaya manusia
- sumberdaya fisik lainnya
- hubungan kerjasama antara sekolah dan masyarakat

1. Program pengajaran

 Untuk itu kepala sekolah harus tahu tahap-tahap proses penyelenggaraan dan
perbaikanpengajaran guna mendapatkan informasi yang jelas untuk program pembinaan yang
akan dilakukannya.
 Ada 4 tahap proses pembinaan pengajaran

1. Penilaian sasaran program (dalam fase ini perlu diuji keadaan program pengajaran dengan
tuntutan masyarakat maupun semua stakeholder pendidikan;sperti industri dll) dan kebutuhan
mereka yang belajar (siswa)
2. Merencanakan perbaikan program (dalam tahap ini perlu dibentuk struktur yang tepat,
mengusahakan dan mendapatkan informasi serta mengadakan spesifikasi sumber-sumber yang
diperlukan
3. Melaksanakan perubahan program (termasuk memotivasi para guru, pustakawan, staf, laboran,
tenaga administratif, membantu program pengajaran dan melibatkan masyarakat
4. Evaluasi perubahan program (dalam fase ini perlu perhatian untuk merencanakan evaluasi dan
penggunaan alat ukur yang tepat untuk hasil pengajaran

2. Sumberdaya Manusia

 Pembinaan Kesiswaan
Usaha atau kegiatan memberikan bimbingan, arahan, pemantapan, peningkatan, dan arahan
terhadap pola pikir, sikap mental, perilaku serta minat, bakat dan keterampilan para siswa
melalui program kurikuler, intra kurikuler maupun ekstra kurikuler
 Pembinaan Guru, staf, karyawan, laboran, tenaga administratif
Tahap-tahapnya :
1. identifikasi mereka
2. penempatan mereka
3. penyesuaian diri mereka
4. evaluasi mereka
5. perbaikan peran mereka

3. Sumber daya fisik lainnya

 Anggaran belanja yang mencakup perencanaan, persiapan, pengelolaan dan evaluasi anggaran
sekolah.
 Fasilitas pendidikan meliputi perencanaan dan pengadaan gedung dan  peralatan serta
pemeliharaannya

4. Hubungan kerja sama sekolah dengan masyarakat

 Beberapa asumsi penting mengenai humas


i. Sekolah adalah bagian dari dinamika kehidupan masyarakat. Siswa sebagai kelompok manusia
yang paling penting di sekolah adalah sumber utama bagi orang tua mereka
ii. Efektifitas sekolah memerlukan kerjasama atau partisipasi aktif masyarakat karena merekalah
stakeholder utama pendidikan. Partisipasi itu dapat meliputi input kebutuhan mereka dan
penentuan keputusan
iii. Sekolah perlu mempergunakan sumber-sumber pendidikan yang ada di masyarakat maupun
industri guna memperluas program pengajaran, perbaikan mutu dan lainnya
iv. Masalah pendidikan tidak dapat dipisahkan dari kepentingan-kepentiang masyarakat
 Bentuk humas sekolah
i. Kunjungan keluarga
ii. Pertemuan dengan ortu siswa
iii. Sukarelawan masyarakat yang menaruh perhatian dalam dunia pendidikan
iv. Perwakilan masyarakat pada panitaia penasihat atau pertimbangan pendidikan

Beberapa Paradigma Kepemimpinan Sekolah Efektif

Kepemimpinan Transaksional

Kepemimpinan transaksional adalah kepemimpinan yang menekankan pada tugas yang diemban
bawahan. Pemimpin ini adalah seseorang yang mendesain pekerjaan beserta mekanismenya, dan 
staf adalah seseorang yang melaksanakan tugas sesuai dengan kemampuan dan keahlian.

Kepemimpinan transaksional lebih difokuskan pada peranannya sebagai manajer karena ia


sangat terlibat dalam aspek – aspek prosedural manajerial yang metodologis dan fisik.

Pola hubungan yang dikembangkan kepemimpinan transaksional adalah berdasarkan suatu


sistem timbal balik (transaksi) yang sangat menguntungkan (mutual system of reinforcement),
yaitu pemimpin memahami kebutuhan dasar para pengikutnya dan pemimpin menemukan
penyelesaian atas cara kerja dari para pengikutnya tersebut.

Kepemimpinan Transformasional

Kepemimpinan transformasional tidak saja didasarkan pada kebutuhan akan penghargaan diri,
tetapi menumbuhkan kesadaran pada pemimpin untuk berbuat yang terbaik sesuai dengan kajian
perkembangan manajemen dan kepemimpinan yang memandang manusia, kinerja, dan
pertumbuhan organisasi adalah sisi yang saling berpengaruh.

Pemimpin transformasional adalah pemimpin yang memiliki wawasan jauh ke depan dan
berupaya memperbaiki dan mengembangkan organisasi bukan untuk saat ini tapi di masa datang.
Oleh karena itu, pemimpin transformasional adalah pemimpin yang dapat dikatakan sebagai
pemimpin yang visioner.

Pemimpin transformasional adalah agen perubahan dan bertindak sebagai katalisator, yaitu yang
memberi peran mengubah sistem ke arah yang lebih baik. Berusaha memberikan reaksi yang
menimbulkan semangat dan daya kerja cepat semaksimal mungkin, selalu tampil sebagai pelopor
dan pembawa perubahan.

Seorang pemimpin transformasional memandang nilai – nilai organisasi sebagai nilai – nilai
luhur yang perlu dirancang dan ditetapkan oleh seluruh staf sehingga para staf mempunyai rasa
memiliki dan komitmen dalam pelaksanaannya.

Kepemimpinan Visioner (Visionary Leadership)

Kepemimpinan yang memiliki visi (visionary leadership), yaitu kepemimpinan yang kerja
pokoknya difokuskan pada rekayasa masa depan yang penuh tantangan. Menjadi agen perubahan
yang unggul dan menjadi penentu arah organisasi yang memahami prioritas, menjadi pelatih
yang profesional, serta dapat membimbing personel lainnya ke arah profesionalisme kerja yang
diharapkan.

Kepemimpinan visioner salah satunya ditandai oleh kemampuan dalam membuat perencanaan
yang jelas sehingga dari rumusan visinya tersebut akan tergambar sasaran apa yang hendak
dicapai dari pengembangan lembaga yang dipimpinnya.

Kepemimpinan visioner adalah kemampuan pemimpin dalam mencipta, merumuskan,


mengkomunikasikan dan mengimplementasikan pemikiran-pemikiran ideal yang berasal dari
dirinya atau sebagai hasil interaksi sosial di antara anggota organisasi.

Sumber :

(Aan Komariah dan Cepi Triatna, 2005)

KEPEMIMPINAN SEKOLAH EFEKTIF


Kepeminpinan adalah fungsi baik dari susunan kepribadian maupun situasional. Dilihat secara
fungsional, kepemimpinan itu diasosiasikan dengan perilaku yang memperkuat jaminan
kelompok, atau membantu pemaduan dari berbagai unsur suatu kelompok.

Kepemimpinan merupakan aspek pentung dalam sistem sekolah. Kepemimpinan merupakan


faktor penggerak organisasi melalui penanganan perubahan dan manajemen yang dilakukannya
sehingga keberadaan pemimpin bukan hanya sebagai simbol yang ada atau tidaknya tidak
menjadi masalah tetapi keberadaannya memberi dampak positif bagi perkembangan organisasi.
Terdapat tiga jenis kepemimpinan yang dipandang representatif bagi penyelenggaraan sekolah
efektif, yaitu:

1. Kepemimpinan Transaksional

Kepemimpinan transaksional adalah kepemimpinan yang menekankan pada tugas yang diemban
bawahan. Pemimpin adalah seseorang yang men-design pekerjaan besar beserta mekanismenya,
dan staf adalah seseorang yang melaksanakan tugas sesuai dengan kemampuan dan
keahlian.Kepemimpinan transaksional lebih difokuskan pada peranannya sebagai manajer karena
ia sangat terlibat dalam aspek - aspek prosedural manajerialyang metodologis dan fisik.
Kepemimpinan transaksional tidak mengembangka pola laissez fair. Pola hubungan yang
dikembangkan adalah berdasarkan suatu sistem timbal balik yang sangat menguntungkan, yaitu
pemimpin memahami kebutuhan dasar para pengikutnya dan pemimpin menemukan
penyelesaian atau cara kerja dari para pengikutnya tersebut.

2. Kepemimpinan Transformasional

Kepemimpinan transformasional adalah suatu proses yang pada dasarnya “para pemimpin dan
pengikut saling menaikan diri ke tingkat moralitas dan motivasiyang lebih tinggi”( Burns,
1978 ).Para pemimpin adalah orang yang sadar akan prinsip perkembangan organisasi  dan
kinerja manusia sehingga ia berupaya mengembangkan segi kepemimpinannya secara utuh
melalui pemotivasian terhadap staf dan menyerukan cita - cita yang lebih tinggi. Pemimpin
transformasional adalah agen perubahan dan bertindak sebagai katalisator, yaitu yang memberi
peran mengubah sistem ke arah yang lebih baik.Berusaha memberikan reaksi yang menimbulkan
semangat dan daya kerja cepat semaksimal mungkin, selalu tampil sebagai pelopor dan pembawa
perubahan.

3. Kepemimpinan Visioner

Kepemimpinan visioner adalah kemampuan pemimpin dalam menciptakan, merumuskan,


mengkomunikasikan/mensosialisasikan/mentransformasikan, dan mengimplementasikan
pemikiran - pemikiran ideal yang berasal dari dirinya atau sebagai hasil interaksi sosial  diantara
organisasi dan stakeholder yang diyakini sebagai cita - cita organisasi di masa depan yang harus
diraih atau diwujudkan melalui komitmen semua personel. Kepemimpinan visioner salah satunya
ditandai dengan kemampuan dalam membuat perencanaan yang jelas sehingga dari rumusan
visinya tersebut akan tergambar sasaran apa yang hendak dicapai dari pengembangan lembaga
yang dipimpinnya. Kepemimpinan visioner akan menunjukkan cir - ciri kepemimpinannya yang
berkualitas yaitu:
a. Memiliki integritas pribadi.

b. Memiliki antusiasme terhadap perkembangan lembaga yang dipimpinnya.

c. Mengembangkan kehangatan, budaya dan iklim organisasi.

d. Memiliki ketenangan dalam manajemen organisasi.

e. Tegas dan adil dalam mengambil tindakan/kebijakan kelembagaan.

Visionary leadership melakukan langkah - langkah strategis mentransformasikan berbagai


inovasi kepada stakeholder melalui pemberdayaan staf dan menciptakan suatu sistem
kepemimpinan demokratis yang memiliki visi organisasi sebagai rumusan yang dimiliki bersama

ISLAM PERLU KEPEMIMPINAN VISIONER

akarta: Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengingatkan umat Islam untuk tidak membiarkan
diri terisolasi dan menjadi korban dari kekuatan globalisasi dan modernisasi. Untuk itu, perlu
kepemimpinan yang visiioner. Presiden SBY mengatakan hal ini dalam sambutannya pada acara
The First Conference of International Forum for Islamist Parliamentarian (IFIP) di Hotel
Millenium, Jakarta, Jumat (19/1) pagi.

“Kita tidak boleh membiarkan diri kita tertinggal dalam keraguan dan terisolasi, kita harus
berdiri di garis depan dari globalisasi. Kita harus mengikuti umat-umat sebelum kita yang
berpikir selangkah lebih maju. Dengan kekuatan satu miliar umat, dengan segala potensi dan
kekuatan untuk mendorong globalisasi, untuk melepaskan kekuatan yang membangun, untuk
membawa kedamaian dan kemakmuran," kata Presiden SBY.

Presiden mengatakan bahwa kita sudah tertinggal dalam revolusi industri dan transportasi, juga
tertinggal dalam revolusi militer modern dengan teknologi dan strategisnya. Begitupun dalam hal
teknologi komunikasi dan informasi, kita masih belum menjadi pemain utama. Tapi hal ini tidak
boleh menghalangi kita untuk mengambil peran aktif dan memimpin dalam revolusi informasi
yang sekarang sedang berjalan. “Kita tidak boleh tertinggal dalam revolusi yang sangat penting
ini," SBY menegaskan.

SBY mencontohkan Cina dan India yang telah melakukan transformasi dengan dramatis, dimana
mereka saat ini menjadi kekuatan global yang sedang tumbuh. “Dunia Islam juga bisa melakukan
hal itu, seperti Cina dan India. Tetapi seperti mereka, itu membutuhkan perencanaan, disiplin,
pemerintahaan, keterbukaan, reformasi, dan kerja keras," SBY menambahkan.

“Untuk melakukan itu semua, umat Islam membutuhkan kepemimpinan yang baik dan
visionaries. Umat Islam tidak bisa berjalan tanpa arah. Umat Islam membutuhkan panduan dari
para pemimpin formal dan informal, yang mengetahui bagaimana dunia bergerak, yang dapat
memimpin sejalan, dan melakukan keputusan-keputusan sulit yang dapat membawa pencerahan,
kebijaksanaan, dan bimbingan,“ ujar Presiden SBY.

Karena itu, lanjut Presiden, kualitas kepemimpinan dari dunia Islam menjadi sangat kritikal.
“Kita akan perlu untuk melihat kepemimpinan di pemerintahan, parlemen, komunitas bisnis,
media, LSM, dan komunitas sipil yang luas,“ katanya.

“Terakhir, untuk mewujudkan itu semua, adalah penting bagi umat Islam untuk merangkul
dengan konstruktif, pikiran yang terbuka, pandangan yang jauh ke depan, positif, dan perilaku
yang kreatif. Umat Islam harus melanjutkan usaha keras untuk sederhana dalam segala hal,
toleransi, dan harmonis. Ini adalah tiang-tiang utama untuk perdamaian yang berlangsung lama,
kemakmuran, modernisasi, dan demokrasi untuk umat Islam,“ kata Presiden.

Konferensi IFIP yang pertama ini dihadiri oleh seklitar 200 peserta dari 25 negara, dengan tema
“Peaceful Reform and Democracy Toward a Better Future”. Presiden hadir dengan didampingi
oleh Ketua MPR Hidayat Nurwahid, Ketua DPR Agung Laksono, dan Menteri Agama Maftuh
Basyuni. Usai memberikan pidato sambutan, Presiden membuka secara resmi konferensi tersebut
dengan memukul gong. (nnf)

Kepemimpinan yang Visioner

Asep Purnama Bahtiar


Kepala Pusat Studi Muhammadiyahi dan Perubahan Sosial Politik
- Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY)

Fakta sejarah telah menunjukkan bahwa kebudayaan dan peradaban umat manusia telah menempatkan masalah
kepemimpinan sebagai sentra yang determinan. Tanpa bermaksud menafikan keberadaan komponen lainnya dalam
kepemimpinan seperti wadah dan lembaga, sistem dan aturan, serta pengikut dan anggota, sang pemimpin dan
kepemimpinan tampaknya menjadi pusat perhatian dan sekaligus sasaran bidik dalam konstelasi social-politik dan budaya
suatu masyarakat.

Karena itu tidak heran jika posisi pemimpin selalu menjadi arena perebutan kekuasaan dan kompetisi politik, baik secara
legal maupun ilegal. Fenomena ini, sekali lagi, menandakan bahwa sejarah selalu atau lebih sering didominasi oleh
sirkulasi elite dan masalah kepemimpinan.

Dalam konteks kepemimpinan nasional, persoalan yang muncul dan dihadapi pemimpin bisa semakin kompleks. Karena
itu, sebetulnya tidak gampang untuk menjadi pemimpin yang sadar dengan tanggung jawab moril kepemimpinannya
dalam kondisi zaman yang tidak bersahabat. Di tengah-tengah hasrat berkuasa dan ambisi untuk menjadi pemimpin di
sebagian elite bangsa ini, sesungguhnya pemimpin dan kepemimpinan seperti apa yang harus diwujudkan di republik ini?

Moralitas Kepemimpinan

Bila dihubungkan dengan kehidupan nasional kita dewasa ini, Indonesia membutuhkan pemimpin yang cerdas, cergas,
tegas, dan betul-betul sadar dengan tanggung jawab kepemimpinannya dalam memahami kondisi bangsa serta konsekuen
dalam mewujudkan visi dan cita-cita bangsa. Dalam bahasanya Joseph S. Nye Jr. (2008), pemimpin adalah seseorang
yang membantu banyak orang (bangsanya-Pen.) untuk menciptakan dan mencapai tujuan yang dibagi. Karena itu,
kepemimpinan adalah bukan sekedar siapa Anda, tetapi kepemimpinan adalah apa yang Anda perbuat.

Proposisi itu sangat penting karena secara umum setidaknya ada dua masalah yang menjadi tantangan bagi
kepemimpinan nasional. Pertama, ketidakpercayaan publik terhadap elite karena suka merangkul rakyat ketika butuh
suaranya dan mengabaikannya lagi tatkala berkuasa. Kedua, potensi konflik di masyarakat yang majemuk yang masih
sering mencuat, sebagai akibat dari ketidakpuasan terhadap kebijakan pemimpin yang tidak memihak kepentingan rakyat.

Dalam konteks ini, kepemimpinan yang berkualitas merupakan kunci utama keberhasilan suatu organisasi, kelompok, atau
negara dalam praktik implementasi kebijakan sehari-hari menuju cita-cita bersama. Kualitas kepemimpinan yang
diharapkan tidak hanya kualitas fisik dan intelektual, tapi juga kualitas rohani. Keseimbangan ketiga aspek tersebut akan
membantu seorang pemimpin dalam menjalankan tugasnya. (Muladi dan Adi Sujatno, 2008).

Bagi Indonesia, moralitas kepemimpinan nasional yang visioner tersebut tidak bisa menafikan nilai-nilai Pancasila.
Aktualisasi moral kepemimpinan ini dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara kini menjadi tambah
penting lagi dengan tantangan dan komitmen bersama untuk menerapkan prinsip-prinsip good governance dalam
pembangunan nasional. Hal ini penting dan mendesak, karena eksistensi negara-bangsa juga akan dipengaruhi oleh
faktor-fator eksternal di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, dan sebagainya yang dikendalikan oleh negara-negara
maju.

Kepemimpinan Visioner

Perihal visi kepemimpinan menjadi urgen untuk disimak kembali, terlebih dalam momentum zaman yang semakin
kompleks, karena beberapa pertimbangan sebagai berikut. Pertama, visi perlu lebih ditonjolkan untuk meng-counter
kecenderungan politis dan penyalahgunaan kekuasaan yang selalu berorientasi pada rebutan jabatan, tetapi kerap
mengabaikan problem riil rakyat dan bangsa. Kedua, visi yang dimiliki dapat memberikan arah dan menentukan tujuan ke
mana biduk negara-bangsa ini akan dikayuh oleh sang pemimpin. Ketiga, visi dalam banyak hal juga bisa berperan untuk
memberikan pijakan dan platform yang kuat bagi pemimpin untuk merumuskan strategi dan perencanaan program.

Berdasarkan pengertian seperti itu, maka visi bukan sekedar kemampuan seorang pemimpin atau sebuah bangsa untuk
melihat secara inderawi dan kasat mata. Tetapi substansi dari visi tersebut terletak pada kualitas sikap mental, mutu
kecerdasan, dan kearifan seorang pemimpin serta policy pemerintah dalam memahami lingkungan dengan berbagai
problem dan kecenderungannya serta menjadi tanggap, bijak, dan waskita dalam menatap masa depan bangsa. Dengan
kata lain, visi bisa dipahami sebagai suatu tilikan (insight) yang bersifat ideal dan sekaligus real, strategis, berkesadaran
lingkungan, dan berwawasan ke depan (future oriented), serta berjangka panjang.

Berkaitan dengan pengertian itu pula maka kepemimpinan visioner adalah kepemimpinan yang mampu merumuskan visi
yang jelas, rasional, dan berorientasi ke masa depan sehingga sang pemimpin bisa mengantisipasi dan
mentransformasikan tuntutan zaman serta mampu mengarahkan bangsanya untuk mencapai tujuan nasional. Dalam
kesadaran seperti ini, para pemimpin menginspirasikan visi bersama. Mereka dapat melihat sesuatu melampaui batasan
waktu, membayangkan peluang menarik yang masih tersimpan ketika mereka dan para pengikutnya berada dalam jarak
yang jauh di belakang. (James M. Kouzes & Barry Z. Kousner, 2002)).

Dalam konteks kepemimpinan nasional di Indonesia yang serbaplural, kepemimpinan vsioner ini sangat penting dan akan
menjadi nilai tambah bagi seorang pemimpin. Selain akan membantu dalam perencanaan dan strategi kebijakan,
kepemimpinan visioner juga dibutuhkan untuk pengambilan keputusan dalam realitas yang bhinneka-lintas agama,
budaya, etnik, kelembagaan, partai politik, dan sebagainya.

Strategi dan orientasi yang membantu terbentuknya visi, pada akhirnya pula akan bersinergi dalam upaya untuk
menetapkan misi dan merumuskan kebijakan dan implemetasi program kerja pemerintah yang strategis dan feasible.
Dengan kata lain, misi yang diperjuangkan dan program kerja yang ditetapkan pemerintah itu berada dalam bingkai
strategi yang matang, orientasi yang jelas dan panduan visi yang jernih. Tanpa ini semua, maka biasanya misi hanya
menjadi ambisi dan program kerja akan berupa daftar keinginan belaka yang mengawang-awang.

Dengan kepemimpinan visioner dan strategis, maka sebuah organisasi atau negara-bangsa juga akan terbebas dari-
meminjam istilahnya Max Weber dan Alfred Schutz-routinization, yaitu repetisi kebijakan dan pengulangan program aksi
yang itu-itu saja, monoton, tidak ada inovasi, dan tidak ada kreativitas. Kesibukan dalam program kerja repetitif dan
kebijakan yang monoton-termasuk sibuk berebut jabatan--itu akan mengakibatkan kepemimpinan kehabisan energi, dan
kemudian mengalami stagnasi atau involusi.

  Dalam memotori sejarah kebangsaan di nusantara, agama Islam dan umat Islam punya saham
besar sebagai umat mayoritas, mulai dari Sabang sampai meraoke. Dalam era reformasi, sebagai
episode ketiga sejarah bangsa  setelah orla dan orba, agama  muncul sebagai etika kebangsaan.
Pada saat yang sama, dalam kehidupan masyarakat Indonesia, umat beragama mengharapkan
nilai-nilai agama akan muncul kembali dengan format gerakan baru keagamaan sebagai panduan
etika bangsa. Fokusnya mengarah pada pembentukan masyarakat madani ( civil society), dengan
gambaran manusia-manusianya dan rakyatnya ber-Tuhan dan beradab, sejahtera, adil dan
makmur dalam kemajuan kemanusiaan dan Iptek. Untuk itu, maka suatu kelaziman diperlukan
pemimpin yang bermoral, amanah dan visioner.

            Dalam kerangka ini, maka pemimpin agama (ulama) dalam kontek demokrasi Indonesia
memiliki daya tawar yang tinggi untuk ikut ambil bagian dalam rangka mengisi kepemimpinan
tertinggi negara ataupun sekedar menjadi dewan. Maka kehadiran pemimpin agama semakin
meramaikan pesta demokrasi melalui ajang pemilu langsung yang pertama kali di bumi pertiwi
ini. Seleksi kepemimpinan melalui ajang pemilu langsung seperti ini semakin meningkatkan
daya saing yang sangat kompetitip antara berbagai kalangan nasionalis,agamis, reformis dll.
   Dalam pandangan modern pada hakikatnya pemerintahan dibentuk untuk memberikan
pelayanan kepada masyarakat. Pemerintah tidaklah diadakan untuk melayani dirinya sendiri,
tetapi untuk melayani masyarakat, menciptakan iklim yang kondusif bagi setiap anggota
masyarakat dalam mengembangkan kemampuan dan kreativitasnya.

   Pemerintahan modern yang demokratis yaitu suatu bentuk pemerintahan yang oleh dari
dan untuk rakyat. Artinya, pemerintahan demokratis merupakan suatu pemerintahan yang
masyarakatnya memiliki hak dan kesempatan untuk berpartisipasi. Masyarakatlah sesungguhnya
yang memiliki otoritas atau kewenangan suatu pemerintahan.

    Mayoritas pemeluk suatu agama dalam suatu daerah bukan jaminan dalam menciptakan
iklim kondusif dalam pelaksanaan pembangunan. Maka Pendekatan yang dilakukan perlu
menekankan pada hubungan antara manusia dan alam atau hubungan manusia dengan
sesamanya, bukan hubungan antara penakluk dan yang ditaklukan atau antara tuan dengan
hambanya, tetapi hubungan kebersamaan dalam ketundukan kepada Allah SWT. Kemampuan
manusia dalam mengelola bukanlah akibat kekuatan yang dimilikinya, melainkan akibat
anugerah Allah SWT.

    Fokus garapan pemerintah  nanti adalah membangun sistem pemerintahan yang


amanah dalam kepemimpinan visioner.Membangun pemerintahan yang amanah dengan
kepemimpinan visioner dimaksud, diharapkan seluruh aparat pemerintah, lembaga-lembaga
sosial, organisasi politik, dan seluruh lapisan masyarakat (stakeholders) dapat berperan serta
dalam membangun kotanya dengan dilandasi nilai-nilai religi sesuai perilaku Rasulullah saw.
yaitu, siddiq yang artinya jujur atau benar, amanah artinya dapat dipercaya, tabligh, artinya
komunikatif, dan fathanah artinya cerdas, berpengetahuan.

   Oleh karena itu, konsep pembangunan dengan nuansa religi yang diimplementasikan
dalam manajemen pemerintahan, diharapkan agar masyarakat dapat menikmati hasil-hasil
pembangunan secara merata, dengan mendapat ridha dari Allah SWT. Dengan demikian, tidak
ada kelompok masyarakat yang menikmati hasil pembangunan secara berlebihan dan di sisi lain
tidak ada suatu kelompok masyarakat yang merasa kekurangan. Dengan kata lain dapat menekan
terjadinya kesenjangan sosial dan ekonomi.

            Tentu, pemerintahan yang amanah dengan konsep kepemimpinan visioner


diimplementasikan melalui strategi bidang pemerintahan dengan penyelenggaraan pemerintahan
yang responsif terhadap tuntutan masyarakat dan taat pada asas pertanggungjawaban publik.
Kemudian di bidang ekonomi, membuka peluang untuk mengembangkan dan mengoptimalkan
pendayagunaan potensi ekonomi, serta bidang sosial budaya dengan menciptakan dan
memelihara harmonisasi sosial, nilai-nilai budaya yang dapat merespons dinamika kehidupan
yang humanistis dan di bidang keagamaan melalui menumbuhkembangkan keyakinan,
pelayanan, dan toleransi umat beragama.

            Pemerintahan yang amanah, mengandung makna membawa pemerintahan yang dapat
dipercaya  untuk mengatasi krisis multi dimensi yang sedang dihadapi bangsa ini. Kata "amanah"
berasal dari bahasa Alquran dan Alhadis, pada tataran implementasi syariah bobot paling besar
terletak pada aspek muamalah, yaitu pengaturan tata hubungan manusia dengan manusia,
menyangkut kepercayaan atau memercayakan sesuatu kepada yang lain.

            Kemudian, konsep amanah memiliki pengertian setiap hal yang berkaitan dengan
masalah tugas dan tanggung jawab atau hak dan kewajiban dapat dirujukkan kepada prinsip
amanah sebagai nilai dasarnya. Amanah juga bisa dipakai prinsip kepemimpinan, dalam sejarah
Nabi Muhammad saw. antara lain bahwa Rasulullah saw. memiliki empat ciri kepemimpinan
sidiq, amanah, tabligh, dan fathanah.

            Makna amanah yang akan menjadi konsep dasar dalam pemerintahan bisa disebutkan
sebagai pertanggungjawaban dari seorang pemimimpin. Karena seorang yang diberi amanah
(kepercayaan), pada dasarnya orang yang dapat dan mampu mempertanggungjawabkan tindakan
atau perbuatannya.

            Dengan demikian, pemerintahan yang amanah adalah pemerintahan yang dapat dipercaya
dan bertanggung jawab atas masyarakatnya. Pada tataran implementasinya, diharapkan seluruh
unsur pemimpin, aparat, lembaga sosial, organisasi politik, dan masyarakat senantiasa dapat
mengamalkan nilai-nilai amanah dalam kehidupannya.

            Memimpin bukan hanya mepengaruhi agar orang lain mengikuti apa yang diinginkannya,
tetapi bagi seorang Muslim memimpin berarti meberikan arah dan pandangan jauh ke depan
(visioner). Kepemimpinan visioner menampilkan diri sebagai teladan sesuai dengan amanah
yang diterimanya.

            Kepemimpinan visioner mampu melihat sesuatu di balik yang tampak, seakan-akan
memiliki kacamata batin yang mampu melihat gambaran dirinya dan organisasi yang
dipimpinnya ke masa depan, penuh dengan daya imajinasi, bertindak atas dasar nilai-nilai
(value), dan terus membakar semangat dirinya (vitality), mencari informasi lebih banyak tentang
orang lain atau stafnya untuk mengetahui nilai-nilai dan norma yang menjadi pegangan mereka.
Pemimpin visioner akan memiliki kepribadian (character).

            Membangun citra diri sebagai seorang yang dapat dipercaya (credible), sebagaimana
Rasulullah saw. sebelum menerima amanah kerasulan-Nya, terlebih dahulu menempatkan
dirinya dalam masyarakat sebagai seorang yang dapat dipercaya (Al-Amin). Tanpa kepercayaan
atau credibility, niscaya seseorang tidak akan mampu memainkan perannya sebagai seorang
pemimipin yang visioner.

Falsafah kepemimpinan

Doktrin agama mempercayai bahwa eksistensi suatu pemerintah / bangasa  disangga oleh empat
level komunitas mayarakat, dimana harus terjalin hubungan yang harmonis dalam rangka
menjalankan fungsi, tugas dan tanggung jawabnya.

1.       Ilmu agama islam (ilmuululama)


Ilmu terbukti memajukan peradaban manusia, memudahkan kehidupan dan menjadi cirri
moderenisasi suatu bangsa. Namun kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi harus diberi
ruh kekuatan ilmu agama sebagai kode etik moral agar kemajuan itu tidak lepas dari agama.
Maka ilmu agama harus dijadikan motor / penggerak kemajuan bangsa dan menjadi tulang
punggung moderenisasi.

2.       Pemimpin yang adil (adlulumara)

Keadilan pemimpin yang dalam hal ini pemerintah adalah kunci kesejahteraan masyarakat.
Pemerintah yang diskriminatip dalam menerapkan kebijakan dan keadilan, apalagi
menerapkan KKN atau minimal terindikasi melakukan praktek KKN pasti mengakibatkan
kesenjangan dengan masyarakat. Masyarakat telah dewasa, sehingga sangat peka dengan
prilaku pemerintah yang menindas, mendholimi, mengingkari janji, membodohi dll, sehingga
keadilan pemerintah ini perlu dicari melalui format pemilu yang jurdil dan pemimpin dengan
karakteristik integritas islam dan berwawasan kebangsaan yang kuat sebagai solusinya.

3.       Hartawan yang dermawan (sakhowatul aghniya)

perlunya jiwa sosialis yang tinggi bagi para hartawan, orang kaya, orang bermodal, dll. Jiwa
sosial itu ditunjukkan dengan memberikan perhatian yang tinggi terhadap nasip para rakyat
jelata atau kaum miskin. Betapa banyak masyarakta ini yang masih hidup dibawah
kemiskinan yang perlu mendapat santunan ataupun prioritas pembangunan sosial
ekonominya.

4.       Dukungan masyarakat bawah (du’aul fuqoro)

hubungan pemeritah dan masyarakat harus menggambarkan mitra keseimbangan. Artinya


mayoritas masyarakat yang tergolong masyarakat bawah ( miskin, pinggiran) memberikan
dukungan sepenuhnya terhadap program pemerintah.

Menimbang Karakteristik Pemimpin

            Selama ini masyarakat dalam konsep demokrasi memegang otoritas tertinggi sehingga
tidak berlebihan muncul ungkapan suara rakyat suara tuhan, kekuasaan rakyat kekuasaan tuhan.
Masyarakat dengan criteria ini memiliki sifat dasar diantaranya taat (loyal) dan dinamis. Seorang
pengikut  (masyarakat) haruslah patuh kepada pimpinannya. Setelah pemimpin dipilih lewat
jalan pemilu maka wajiblah bagi pengikutnya (yang menang dan yang kalah untuk taat
kepadanya, kecuali sang pemimpin telah melanggar ketentuan Allah dan membuat kerusakan).
Dinami; seorang pengikut haruslah dinamis dan kritis dalam mengikuti kepemimpinan
seseorang. Islam tidak mengajarkan suatu ketertundukan buta atau ikut-ikutan.

1. Jujur. Pemimpin haruslah jujur kepada dirinya sendiri dan pengikutnya. Seorang
pemimpin yang jujur akan menjadi contoh terbaik (sejalan perkataan dengan perbuatan).
2. Amanah. Seorang pemimpin yang menjadikan otoritas kepemimpinan sebagai amanat
maysarakat dan bukan atas kemenangan atau hadiah politik semata, sehingga berusaha
menjadikan pemerintahannya dapat diperacaya dan terbukti membawa kemajuan bangsa.
3. Komunikatip. Pemimpin menjunjung tradisi dialogis terhadap masyarakat dan
menghindari sikap elitis dengan mengembangkan budaya berkomunikasi dan
mendengarkan aspirasi rakyat.
4. Cerdas, secara intelektual dan emosional. Ada pikiran-pikiran brilian untuk modal
memerintah dan sekaligus kepekaan rasa dalam menghadapi kebutuhan masyarakat.
5. Kompeten. Seorang pemimpin  haruslah orang yang memiliki kompetensi dalam
bidangnya. Orang akan mengikuti seseorang jika ia benar-benar meyakini bahwa orang
yang diikutinya benar-benar tahu apa yang sedang diperbuatnya.
6. Inspiratif. Seorang pengikut akan merasakan ‘aman’ jika pemimpinnya membawanya
pada rasa nyaman dan menimbulkan rasa optismis seburuk apapun situasi yang sedang
dihadapi.
7. Sabar. Seorang pemimpin haruslah sabar dalam menghadapi segala macam persoalan dan
keterbatasan dan tidak bertindak tergesa-gesa dalam mengambil keputusan.
8. Rendah hati. Seorang pemimpin haruslah memiliki sikap rendah hati. Tidak suka
menampakkan kelebihannya (riya) dan menjaga agar tidak merendahkan orang lain.
9. Musyawarah. Seorang pemimpin haruslah mencari jalan musyawarah untuk setiap
persoalan

Indonesia Butuh Pemimpin Visioner


Jakarta, Kompas - Masyarakat Indonesia mempunyai daya tahan yang luar biasa dalam menghadapi
berbagai krisis kebangsaan. Tidak mengherankan jika prediksi para pengamat tentang kemungkinan
kolapsnya masyarakat dan negara Indonesia beberapa tahun sebelumnya menjadi tidak terbukti. Hanya
saja, untuk bisa menjadi bangsa yang besar, maju, dan mempertahankan peradaban, bangsa ini
membutuhkan pemimpin yang visioner.

Hal itu disampaikan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Din Syamsuddin kepada wartawan di
Jakarta, Sabtu (20/8), sebelum berangkat ke Jepang untuk menghadiri pertemuan Association for
Communication of Transcultural Studies. Pertemuan yang berlangsung tanggal 21-23 di Zao, Miayagi,
Jepang, ini merupakan pertemuan tahunan tokoh dari negara-negara Asia Pasifik.

Indonesia, menurut Din, mempunyai modal sosial dan kultur yang cukup baik. Hanya saja, modal itu
sekarang masih tercecer yang disebabkan oleh faktor kepemimpinan. Terutama sejak terjadinya
reformasi, pemimpin nasional kita itu tidak memimpin, ujarnya.

Itu sebabnya Din berharap, pemimpin yang dilahirkan dalam proses pemilihan umum langsung sekarang
ini betul-betul dapat memberikan arah. Saya kira di sinilah masalah bangsa ini, ujarnya.

Din melihat semangat untuk tetap bersatu masih terlihat jelas di tengah maraknya kasus-kasus konflik.
Yang paling mengharukan, aksi sejuta umat untuk solidaritas Irak, misalnya, mendapat tanggapan luas
dari berbagai elemen lintas agama, budaya, dan afiliasi politik, ujarnya.

Sebelumnya, kata Din, orang banyak yang pesimistis tentang semen-semen perekat bangsa karena
munculnya berbagai konflik vertikal dan horizontal. Bahkan, konflik itu dinilai sangat kejam, seperti
peristiwa Ambon, Poso, dan Sambas, ditambah berbagai kasus pemilihan kepala daerah langsung
sekarang ini. (MAM)

Pemilu 2009 dan Pelembagaan Proses Kepemimpinan yang Visioner


Oleh : KRA Johnny Sitohang Adinegoro

Tahapan pilkada langsung hampir semua selesai di Negara yang kita cintai ini.

Banyak pilkada yang berujung kepada Mahkamah Konstitusi karena ketidakpuasan dengan
berbagai dalih dan delik yang muncul. Kesemuanya itu harus kita bingkai dalam dataran positif,
yaitu menciptakan masyarakat yang sadar hokum.

Apapun keputusan mahkamah Konstitusi sebagai lembaga tertinggi penyelesaian pilkada di


Negara ini wajib kita hormati. Tinggal lagi, bagaimana menjadikan pilkada langsung, pemilu
legislative 9 April 2009, pilpres sebagai proses politik dalam mencari pemimpin yang betul –
betul punya visi, atau kepemimpinan yang visioner?

Janganlah kita hanya membuang energi hanya mengulangi kesalahan masa lampau. Mari kita
ciptakan proses politik yang baik melalui pemilu untuk mencari seorang pemimpin yang betul-
betul bisa jadi pemimpin.

Sebagai langkah penataan negeri, kepemimpinan nasional yang tegas dan visioner, harus segera
diwujudkan. Maka, masyarakat haruslah mau dan berani memilih para pemimpin yang bisa
melakukan perubahan dan perbaikan untuk Indonesia. 

Untuk mengetahui kualitas mereka, pertimbangan track record, kualitas moral, serta visi-misi
adalah salah satu tolok ukur utama sebelum menentukan pilihan. Dengan melihat track record-
nya,masyarakat akan mengetahui bagaimana kehidupan sehari-hari para calon pemimpin itu dan
bagaimana pula komitmen yang telah dilakukan untuk pengentasan krisis di Indonesia.
Kehidupan sehari-hari para pemimpin, tentu akan menjadi rujukan paling mudah terhadap apa
akan lebih cepat dilakukan ketika terpilih nanti. Moralitas para pemimpin pun harus juga harus
diteliti.

Harus diakui bahwa masih mengentalnya paradigma kekuasaan sebagai tujuan di kalangan
politisi kita itu menjadi sebab terbesar tidak pernah terjadinya perubahan sosial dan politik dalam
kehidupan kebangsaan. Penguasa datang silih berganti, pemilu dilakukan setiap kali, serta
anggota Dewan dilantik setiap waktu, tapi reformasi politik dan pemberdayaan politik rakyat
tidak pernah betul-betul terjadi.

  Pergantian kekuasaan hanya identik dengan pergantian orang dan penyingkiran lawan yang dulu
berkuasa. Kekuasaan baru juga hanya menjadi pundi-pundi pengeruk dana partai untuk
memakmurkan keluarga dan mengisi kas partai.

Sementara pemberantasan KKN, penegakan hukum, pem baharuan budaya politik dan birokrasi
semakin jauh dari agenda kebijakan pengelola negara. Padahal, kekuasaan pada dasarnya adalah
jalan untuk melakukan perubahan masyarakat dan meninggalkan tradisi lama yang dahulu
dikritiknya. Oleh karenanya, menurut Jakob Oetama (2004), dalam kekuasaan mutlak diciptakan
keseimbangan yang baik antara government (pemerintah) dan governance (pemerintahan). Untuk
menciptakan governance yang baik, maka government- nya harus juga baik.

Ibaratnya, good governance tidak akan ada tanpa hadirnya clean government. Pada paradigma
kekuasaan sebagai jalan untuk menyejahterakan rakyat itu, pemimpin dan kepemimpinan
mestinya mampu melahirkan sebuah motivasi baru dalam berbangsa dan bernegara.

Pemimpin yang baik memang bukanlah pemimpin yang hanya bisa memerintah, minta
dilayani,serta gemar menggunakan fasilitas negara.  Pemimpin yang baik adalah pemimpin yang
bisa membangkitkan inspirasi dan motivasi bagi rakyatnya guna bersama- sama mencari solusi
alternatif mengatasi krisis yang berkepanjangan ini.Oleh karenanya,visi partisipasi dan
kebersamaan untuk memberdayakan serta mengayomi rakyat harus juga menjadi dasar utama
dalam memilih para pemimpin kita nanti.

Penanganan Krisis

Penanganan krisis di negeri ini harus menjadi agenda utama dari para calon presiden yang akan
berlaga memperebutkan suara rakyat Pilpres 2009 nanti. Soalnya, dengan krisis yang sudah akut,
terutama krisis politik dan ekonomi, bangsa ini terseok- seok menatap masa depan.  Secara
nasional, krisis politik tentu membuat penataan negeri ini menjadi mundur ke belakang. Di mata
internasional, krisis politik juga banyak menghadirkan rasa enggan dan kekhawatiran negara lain
untuk bekerja sama dengan kita.

Maka, jangan sampai kampanye perubahan yang didengungkan beberapa kandidat presiden 2009
dan ketidaktahanan akan keadaan yang tidak menentu hanya menjadi retorika belaka.
Krisis ekonomi nasional dan ekonomi global yang sudah terbukti banyak melahirkan keresahan
sosial dan tindakan kriminal di mana-mana hendaknya juga dijadikan agenda prioritas oleh para
capres. Untuk menuntaskan krisis politik dan ekonomi yang melanda negara ini, akar-akar
penyebabnya haruslah segera dikikis habis.

Pemberantasan KKN dan penegakan hukum tanpa pandang bulu adalah agenda utama dari
tahapan penyelesaian krisis itu. Maka, proses pengadilan terhadap konglomerat, pejabat, dan
mantan pejabat yang terbukti merugikan negara janganlah hanya dijadikan live service atau teater
politik untuk menarik simpati rakyat.

Kasus-kasus kejahatan HAM dan politik masa lalu yang cenderung ditutup-tutupi harus juga
berani diungkap secepatnya. Oleh karena itu, dalam keadaan dan masa yang tidak menentu
seperti sekarang ini, memilih pemimpin yang hanya biasa-biasa saja tentu bukan jalan yang tepat.
Memilih pemimpin yang kuat dan sekilas tampak tegas saja juga bukan bentuk penyelesaian yang
terbaik.  Pemimpin yang hanya menjadi solidarity maker juga bukanlah pemimpin yang efektif.
Apalagi pemimpin yang hanya terkenal sebagai tipe administrator yang berwatak birokratis.
Dalam keadaan yang tidak normal ini, pemimpin dengan kualitas primalah yang kita butuhkan.

Maka, kombinasi antara kepemimpinan yang tegas, kuat, visioner, solidarity maker, administratif,
dan intelektualis adalah yang mesti kita hadirkan. Visi dan misi para calon pemimpin haruslah
dilihat sebagai gambaran akan masa depan bangsa.

Dalam bahasa Ignas Kleden (2003), pemimpin yang visioner adalah orang yang mempunyai
desain masa depan Indonesia.  Maka, dia harus memiliki gambaran tentang bagaimana keadaan,
nasib, dan bentuk Indonesia ini 10–20 tahun mendatang.Visi ini tentu bukan hanya janji-janji
murahan yang gampang diobral dan dijual,tapi sulit dan tidak mungkin diwujudkan. Visi adalah
semacam bentuk utopia sosial yang harus diciptakan guna membangkitkan imajinasi dan kerja
keras para pengelola negara dan masyarakat untuk mewujudkannya. Maka, sebuah visi pada
dasarnya harus bisa diturunkan menjadi program-program aksi, baik dalam jangka pendek,
menengah maupun panjang.

Visi kebangsaan dan kerakyatan tentang negara Indonesia yang merdeka dan berdaulat mesti
diturunkan menjadi program berkelanjutan dan strategis. Kita berharap agar para calon Presiden
Indonesia 2009 segera menyosialisasikan visinya serta bisa mendapatkan simpati rakyat dan
memperoleh dukungan dari partai politik.Tentu agar tercipta banyak alternatif kepemimpinan
nasional yang mendatangkan kesejahteraan bagi rakyat banyak. ***

Penulis adalah: Bupati terpilih pada Pilkada Dairi 20

Visionary Leadership
Pemimpin Senior organisasi harus menetapkan arah organisasi dan menciptakan fokus pada
pelanggan, menciptakan tata nilai yang jelas serta nyata dan menciptakan ekspektasi yang tinggi.
Arah organisasi, tata nilai dan ekspektasi tersebut harus menyeimbangkan kebutuhan seluruh
pihak-pihak yang berkepentingan (stakeholder). Pemimpin perlu memastikan penciptaan strategi,
sistem dan metode untuk mencapai keunggulan, membangkitkan inovasi dan membina
pengetahuan dan kapabilitas, serta memastikan keberlanjutan organisasional. Tata nilai dan
strategi harus dapat menjadi tuntunan bagi seluruh aktivitas dan keputusan yang diambil
organisasi.

Pemimpin Senior harus mampu menginspirasi dan memotivasi seluruh tenaga kerja serta
mendorong seluruh tenaga kerja termasuk relawan untuk berkontribusi, berkembang dan belajar,
inovatif, serta kreatif. Pemimpin Senior harus bertanggungjawab kepada badan tata kelola atas
tindakan dan kinerjanya. Badan tata kelola pada ujungnya harus bertanggungjawab kepada
seluruh stakeholders atas etika, tindakan, dan kinerja organisasi dan para Pemimpin Seniornya.
Pemimpin Senior juga harus bertindak sebagai “role models” melalui perilakunya yang etis dan
keterlibatan secara pribadi dalam perencanaan, komunikasi, pembimbingan, pengembangan
calon-calon Pemimpin masa depan, meninjau kinerja organisasional, dan pengakuan terhadap
Tenaga kerja. Sebagai panutan, mereka dapat memperkuat etika, tata nilai, dan ekspektasi sambil
membangun kepemimpinan, komitmen dan inisiatif di seluruh organisasi.

Definition of Terms

Visionary Leadership increases efficiency by moving decision-making responsibility to


the frontline. Efficiency is achieved with limited supervision. To make frontline
responsibility effective, leadership must give workers opportunity to develop quality
decision-making skills and learn to trust them. Wal-Mart stores use visionary leadership.

Standard leadership assumes employees to be robots and do as they are told. This is
based on man’s natural instinct that only leadership is capable of making quality
decisions. This is known as command-and-control leadership. Low efficiency is caused
by the disconnect between management and the frontline. Management is busy dealing
with problems that affect them while ignoring problems that affect the frontline. Front
line problems are only dealt with when they explode into a major problem. K-Mart stores
use standard leadership.

Workplace education creates a workforce of quality decision makers. Employees at all


levels have the opportunity to discover and develop their unique skills, thereby, inspiring
them to become quality decision-makers. The key word is “opportunity.” Not everyone
will embrace this opportunity, but the few that do will inspire others with positive
attitudes. This can only be achieved with visionary leadership.

Primary Elements

Organization structure controls decision-making responsibility. Visionary leadership


allows decision-making responsibility all the way down to the frontline. Standard
leadership limits decision making to management.

Priorities – Organization priorities control leadership style.

When priority is responsibility at the frontline, leadership will seek talent, people he can
depend on to complete tasks with limited supervision. The policy will be “do it.” The frontline
develops quality decision-making skills that are also found in layers of management.

When the priority is control, leadership will be organized in a way that all decisions must have
approval. The policy will be “do not do anything until being told.” Layers of management slow
the final decision, while lowering efficiency.

Policies - Leadership style is controlled by workplace policies. Leaders will adapt their
style to the organization priorities and its goals.

High efficiency workplaces are based on visionary leadership, where workplace policies
authorize decision-making responsibility at the frontline. Limited supervision is needed with
worker responsibility.

Standard leadership is based on man’s instinctive desire for control, which is leadership by
default. A leader’s changing mood controls policy of the moment and no one knows what the
priorities are – mood-changing priorities reduce efficiency. Standard leadership requires a
high level of supervision.

Elementary problems - Leadership style controls the level of elementary problems,


which controls workplace efficiency. Level of elementary problems is controlled, in part,
by learning opportunities and leader’s personal priority.

Decision-making responsibility, at all levels, allows minor problems to be solved by those who
are first aware of them. Management can stay focused on problems related to the
organization goals. As a bonus, employee motivation is high when they feel what they are
doing makes a difference.

A leader’s desire for control prevents minor problems from being solved, because no one can
make a decision without approval. Leaders’ priorities are based on high visibility events. As
employees adjust work habits to minor problems, they become accepted as normal. The
volume of these problems slowly grows and the workforce slowly becomes less efficient.
Management blames workers for their lack of ability to get the job done. Assigning blame
without responsibility solves nothing.

Learning opportunity - Quality of worker decisions is controlled by workplace learning


opportunities.

Learning to make quality decisions is the result of worker responsibility, resulting in the
development of personal skills. An experienced workforce prevents elementary problems.
Continuous learning opportunity is highly motivating—it controls employee inspiration, skill
level and quality.

People, who only follow orders, do not have learning opportunity, do not develop personal
skills and do not learn quality decision making. A workforce that is indifferent to the needs of
the organization increases elementary problems. Workers learn no more than necessary to
their job.

Achievers – Everyone wants to be an achiever in and out of the workplace. With


workplace ambitions, leadership promotes or kills this desire.

People, who have a burning drive to be an achiever, seek opportunity in organizations that
have a reputation of supporting personal ambitions. Their presents inspire coworkers to do
the same or simply be proud of their surroundings. Leadership welcomes subordinates more
capable than themselves, because their first priority is to get the job done with limited
supervision.
Command-and-control leadership drives away visionary achievers. Should they become
employed, they will soon quit or be fired. Leaders do not want their status threatened by
ambitious subordinates or someone more capable than themselves, because their first
priority is control. As a result, the workforce waits for official decisions and waits for things to
happen. A high level of supervision in needed to keep things moving.

Natural talent - Leadership style controls the ability to recognize natural talent. No one
knows what their true capabilities are until they are given opportunity and responsibility.

Where workers have decision-making responsibility, unique skills and natural talent are soon
recognized by coworkers and leadership. An employee may discover talent he did not know
he had. With discovery, he can search for ways to develop it. Efficiency increases when
natural talent is in harmony with assigned tasks.

Where workers only follow orders—unique skills, natural talent and discovery of capabilities
are lost to the company and its employees.

Skill level – The ability and desire to share knowledge with coworkers influences the
continuing education level of the workforce, thereby, increasing skill level and the value
of their services. Workplace education is dead for people who only follow orders.

Technology – Today’s technology is reducing the time it takes to get jobs done.
Workplace education is the only way to stay on technology’s leading edge. Visionary
leadership, not standard, is the only way for the organization to be a leader in its field.

Getting the job done – Projects only have value when the job is completed, until then,
it is garbage. Competitive value depends on the efficiency of getting the job done, which
is based on keeping elementary problems to a minimum. Efficiency is also a byproduct
of employees’ attitude towards their job. Leadership, opportunity and responsibility
influence attitude.

Elements to Consider

Ethical policies – Ethical policies at the organization’s top filter down to the frontline. It
is not possible to have unethical policies at the top and enforce ethical policies at the
bottom. Leaders’ ethical policies become the mindset of the organization. A person with
high ethical standards will not stay long in an organization with low ethical standards,
they will quit or be fired. A potential whistle blower becomes a threat, yet, this type of
person makes an organization efficient. Success of workplace responsibility requires
high ethical policies from top to bottom.

Exception to the rule - The military uses command-and-control leadership, yet the
troops are highly skilled, motivated and morale is high. This is opposite the statements
stated above. The difference - military organizations are team orientated with
continuous training. Troops expanding their skills and experiencing capabilities they
never dreamed possible, produces a highly motivated and efficient organization.
Learning opportunity and responsibility is the key.

Hiring a visionary leader – Very often, an organization realizes it needs to upgrade its
leadership. Management can recognize quality in an applicant, but they do not know
how to manage them, should they be hired. The first thing current leadership does is tell
new leadership how to manage, using their policies. They are in the habit of giving
orders and expect them to do as they say while getting desired results. Current
leadership does not want to change, they want the new leader to change subordinates
attitudes. Attitudes are reflections of leadership. If leadership wants subordinates to
change their attitudes, current leaders must first change their attitudes and develop
quality leadership skills. Then they can adapt and benefit from the experiences of
visionary leadership.

Self-education – Man has the ability to educate himself without instructors – commonly
known as self-education. Employees, of organizations that stay on the leading edge of
technology, know how to educate themselves. This is the only way to adapt new
technology as it comes on the market. The education system waits for market demand
before it is offered in classrooms. Organizations that wait for classroom instruction are
on the trailing edge of technology.

Resources - Efficiency is as effective as available resources—tools, supplies, work


environment—to complete tasks. Employees will work hard to get jobs done, but they
need quality resources to be efficient. Resources influence pride, which affects
efficiency.

Self-fulfilling prophecy - If leaders want to control workers, they will lead in such a
way that self-fulfilling prophecy will condition workers to do nothing unless closely
supervised. If leaders want workers to assume responsibility, they must lead in such a
way that self-fulfilling prophecy will condition workers to assume responsibility.
Employee turnover sorts personalities, attracting people who fit the leader’s image and
rejecting those who do not, thus fulfilling the self-fulfilling prophecy.

Social prejudice believes other people are less capable than we are. If we are
managers and we think other people are less capable, then we will establish a
management policy that reflects that belief. Through employee turnover and self-
fulfilling prophecy, our opinion will be proven right.

KEPEMIMPINAN

Pendahuluan.
Salah satu alasan berdirinya organisasi mahasiswa atau pemuda adalah sebagai sarana
pengembangan kader-kader pemimpin bangsa yang tangguh untuk menyongsong masa depan.
Karena itu masalah pemimpin (leader) dan kepemimpinan (leadership) selalu mendapat porsi
yang strategis dalam setiap gerak dan dinamika organisasi-organisasi tersebut.
Menilik dari catatan sosio-historis perkembangan organisasi mahasiswa/pemuda di Indonesia,
setiap fase sejak era kolonialisme, awal kemerdekaan hingga pasca kemerdekaan telah banyak
melahirkan kader-kader pemimpin bangsa, terlepas dari pasang surut yang dialami pada setiap
fase sebagai respon terhadap perubahan social yang terjadi di masyarakat. Fenomena
kepemimpinan secara alamiah memang akan menjadi semakin kompleks kalau dihadapkan pada
realitas sosial kehidupan masyarakat yang semakin diwarnai oleh kompetisi dan konflik.
Kondisi obyektif masyarakat Indonesia yang sangat plural dan memiliki tingkat pemilahan sosial
(social cleavage) yang tinggi serta relatif masih rendahnya mobilitas sosial menuntut kualifikasi
kepemimpinan yang cukup tinggi sebagai syarat bagi seseorang untuk menjadi pemimpin
(Gaffar,1990). Mempersiapkan calon pemimpinan bangsa di masa depan (kasus Sekolah Taman
Madya Taruna Nusantara) yang mencoba mengkombinasikan konsep pendidikan Ki Hajar
Dewantara dan semi militer. Pro dan kontra terhadap efektifitas lembaga semacam ini terus
bermunculan. Tetapi secara rasional dalam realitas pola rekruitment kepemimpinan yang relatif
tertutup selama beberapa fase akhirnya melahirkan pemimpin yang diragukan kemampuannya
dalam pencapaian tujuan.
Saat ini bangsa Indonesia masih menyisakan multi krisis yang demikian kompleks. Padahal
beberapa negara yang juga mengalami krisis pada beberapa tahun yang lalu telah mampu keluar
dari lingkaran. Hal ini tentu saja dikarenakan adanya kebijakan dan kekompakan dari elit politik
yang berperan dalam mengambil kebijakan. Sedangkan di Indonesia, krisis tidak kunjung selesai
dan bahkan ada kecenderungan meningkat serta mengarah pada disintregasi bangsa yang
merupakan imbas betapa tidak mampunya pemimpin kita saat ini. Maka tidak salah jika forum
“45 mengidentifikasi bahwa krisis bangsa Indonesia adalah akibat krisis kepemimpinan, baik
yang di eksekutif maupun legislatif.
Definisi Kepemimpinan.
Kepemimpinan menurut Mac Gregor (Gaffar,1990) tidak lain adalah, “Kemampuan untuk
memobilisasi dan mengelola sejumlah sumber daya dalam rangka mencapai tujuan yang sudah
ditentukan”. George R Terry mendefinisikan kepemimpinan sebagai aktivitas mempengaruhi
orang-orang untuk mencapai tujuan kelompok secara suka rela. Dari berbagai definisi tentang
kepemimpinan yang berkembang saat ini, disepakati bahwa kepemimpinan adalah proses
mempengaruhi aktifitas seseorang atau kelompok orang untuk mencapai tujuan dalam situasi
tertentu. Sehingga dapat disimpulkan bahwa proses kepemimpinan adalah fungsi pemimpin,
pengikut dan variable situsional lainnya (Hersey and Blanchard,1986).
Definisi tersebut tidak menekankan pada suatu jenis organisasi tertentu. Dalam situasi apapun
dimana seseorang berusaha mempengaruhi perilaku orang lain atau kelompok, maka sedang
berlangsung proses kepemimpinan. Dengan demikian, setiap orang melakukan proses
kepemimpinan dari waktu ke waktu, apakah aktifitasnya dipusatkan pada dunia usaha, lembaga
pendidikan, organisasi, atau keluarga.
Apabila di dalamnya disebutkan ada pemimpin dan pengikut, bukan berarti bahwa hubungan
hirarkis antara atasan dan bawahan akan menjadi titik tekan dalam pembahasan ini. Setiap saat
seseorang berusaha mempengaruhi perilaku orang lain, maka orang itu adalah pemimpin
potensial, dan orang yang dipengaruhi adalah pengikut potensial, tidak jadi soal apakah itu
atasan, rekan sejawat, bawahan, kawan maupun sanak keluarga. Pemimpin dalam konteks ini
adalah orang yang mampu mempengaruhi orang lain dan yang memiliki otoritas manajerial. Ia
dapat ditunjuk atau muncul dari suatu kelompok dan kemampuannya dalam mempengaruhi
orang lain.
Karena kekuasaan (power) adalah inti dari kepemimpinan, maka sumber-sumber kekuasaan juga
menjadi penting. Amitai Etzioni membagi sumber kekuasaan menjadi kekuasaan posisi (position
power) dan kuasa pribadi (personal power). Perbedaan ini berkembang dan konsep tentang
kekuasaan sebagai kemampuan untuk menimbulkan atau mempengaruhi perilaku (Hersey and
Blanchard, 1986). Sumber-sumber kekuasaan dibagi menjadi lima dimensi sebagai berikut:
a) Kekuasaan karena kedudukan/jabatan (kekuasaan legitimasi)
b) Kekuasaan karena kualitas pribadi yang menimbulkan rasa hormat/segan (kekuasaan pribadi).
c) Kekuasaan karena kemampuan memberi atau mencabut anugerah yang bernilai tinggi
(kekuasaan berlian).
d) Kekuasaan karena kemampuan menjatuhkan hukuman atau menimbulkan keadaan yang tidak
disenangi (kekuasaan paksaan).
e) Kekuasaan karena kemampuan intelektual/keahlian/ketrampilan atau memiliki sesuatu yang
berharga (kekuasaan pengetahuan).
Adapun unsur pengikut juga mendapat perhatian dalam kepemimpinan. Secara formal pemimpin
dan pengikut dapat dibedakan, namun belum tentu dalam praktek pemimpin formal yang
berpengaruh, bisa saja pemimpin informal justru dipengaruhi pengikut. Adapun empat golongan
pengikut sebagi berikut:
1) Pengikut konstruktif, yaitu pengikut yang patuh kepada pemimpin tetapi kritis dalam memberi
saran-saran apabila dirasa perlu untuk pencapaian tujuan.
2) Pengikut subversif, yaitu pengikut yang egois, tidak loyal, musuh dalam selimut, dimana
kepatuhannya hanya untuk tujuan-tujuan tertentu pribadinya.
3) Pengikut rutin, yaitu pengikut yang asal patuh saja, pasif dan tanpa berfikir.
4) Pengikut fanatik, yaitu pengikut yang cenderung memuja serta membangun kultus individu
terhadap pemimpin.
Pendekatan dan Model-Model Kepemimpinan
Jika kita mengamati perilaku kepemimpinan, maka kita dapat membaginya menjadi tiga bagian
pendekatan (adair,1994). Yaitu:
a. Pendekatan Situasional terhadap Kepemimpinan
Pendekatan ini merupakan pendekatan tradisionalis. Dalam pendekatan ini disebutkan bahwa
orang dapat tampil menjadi pemimpin dalam sebuah kelompok karena memiliki cirri-ciri
tertentu, tetapi tidak memfokuskan pada kemampuan atau potensi kepemimpinan yang dimiliki.
Walaupun banyak ditolak oleh kebanyakan ilmuwan karena berdasarkan penelitian melanggar
demokrasi, namun tetap disepakati bahwa pemimpin memang memiliki kualitas tertentu yang
diharapkan oleh kelompoknya. Sehingga ia sekaligus sebagai cermin kelompoknya.
b. Pendekatan Kelompok
Pendekatan ini memandang kepemimpinan menurut fungsi yang memenuhi kebutuhan
kelompok, yaitu apa yang harus dilakukan. Di sini terjadi interaksi antara tiga variable penting,
yakni: pemimpin yang berkaitan dengan kualitas, kepribadian dan watak, kemudian situasi
penunjang, dan berkaitan dengan pengikut dan kebutuhannya.
c. Pendekatan fungsional.
Pada bagian ini pendekatan mempertimbangkan fungsi-fungsi kepemimpinan sebagai variable
yang penting. Misalnya keikutsertaannya dalam pengambilan keputusan, konsistensi dan
fleksibilitas (kualitas), level kepemimpinan, dan nilai-nilai yang dianut sebagai indikator kualitas
kepemimpinan dan penerapannya.
Berbagai pendekatan yang telah diuraikan diatas dapat dikonfirmasi secara teoritik dengan teori
perilaku kepemimpinan yang berkembang sampai saat ini, diantaranya:
a) Model Fiedler, menyatakan bahwa kelompok-kelompok yang efektif tergantung pada
kecoccokan antara gaya interaksi seorang pemimpin dengan anak buah serta sejauh mana situasi
memberi kendali dan pengaruh pada pemimpin itu. Menurut model ini, ada tiga factor yang
menentukan efektifitas kepemimpinan, yaitu:
1. Hubungan Pemimpin-Anggota, yaitu tingkat kepercayaan, keyakinan dan rasa hormat anak
buah terhadap pemimpin mereka (baik atau buruk).
2. Struktur tugas, sejauh mana formalitas tugas-tugas yang dipandang secara prosedural (tinggi
atau rendah).
3. Kekuasaan posisi, tingkat pengaruh yang dimiliki pemimpin berdasar kekuasaannya seperti
memerintah, memecat, menertibkan, mengangkat dan sebagainya (kuat atau lemah)
b) Model Alur Tujuan, Bahwa tingkah laku pimpinan itu dapat diterima bawahan sejauh mereka
menganggap sebagai sumber kepuasan, entah langsung atau masa depan. Pada model ini ada
empat perilaku pemimpin, yaitu:
• Pemimpin yang direktif, membiarkan bawahannya mengetahui apa yang diharapkan dari diri
mereka, menjadwal pekerjaan sebagai mana mestinya dilakukan, memberi bimbingan spesifik
dalam menyelesaikan tugas.
• Pemimpin yang suportif, bersikap bersahabat dan menunjukkan perhatian terhadap kebutuhan
bawahan.
• Pemimpin yang partisipatif, memberikan kesempatan bawahan dalam memberikan saran dan
kritik (berunding) sebelum membuat keputusan.
• Pemimpin yang berorientasi prestasi, mematok tujuan-tujuan mendatang dan mengharapkan
bawahan bekerja pada tingkat tinggi (maksimal).
c) Model Partisipasi Pemimpin, menurut Victor Vroom dan Phillip Yetton model ini
menggambarkan hubungan perilaku pemimpin dan pembuat keputusan.
Beberapa model kepemimpinan diatas dapat dikelompokkan sebagai bagian dari teori
kontingensi. Sedangkan beberapa pandangan kepemimpinan yang lebih dapat diterapkan,
meliputi:
1. Teori Atribusi Kepemimpinan, dalam konsep ini kepemimpinan sekedar atribut yang dibuat
orang mengenai individu dan lain. Misalnya, kecenderungan orang mencirikan pemimpin
memiliki karakterristik, kecerdasan, keterampilan, dan lain-lain.
2. Teori Kepemimpinan Karismatik, pengikut cenderung membuat atribusi-atribusi
kepemimpinan yang heroik atau luar biasa. Karakteristiknya meliputi keyakinan, visi, dan
ideology. Mengartikulasikan keyakinan kuat terhadap visi, perilaku yang lain dari biasa,
penampilan terhadap kepekaan lingkungan.
3. Teori Kepemimpinan Visioner, yaitu kemampuan untuk mencandra, menciptakan dan
menegaskan suatu visi yang realistis, dapat dipercaya dan menarik menangani masa depan
sebuah organisasi yang ada sekarang. Kepemimpinan model ini sekarang ini banyak
diperbincangkan sebagai syarat yang harus dimiliki pemimpin organisasi demi menjawab
tantangan masa depan. Tiga sifat yang harus dimiliki pemimpin Visioner adalah :(1) emampuan
untuk menjelaskan visi kepada oprang lain (komunikator yang baik); (2) Kampuan-kemampuan
untuk menafsirkan visi dalam perilaku (mengaktualisaikan); (3) Kemampuan untuk memperluas
atau menerapkan visi pada berbagi konteks kepemimpinan.
4. Teori Kepemimpinan Transaksional, adalah kepemimpinan yang membimbing dan
memotivasi pengikut-pengikut mereka dalam arah tujuan yang sudah ditetapkan dengan cara
menjelaskan persyaratan peran dan tugas. Model Fiedler, Alur-tujuan, dan partisipasi pemimpin
termasuk dalam tipe ini.
5. Teori Kepemimpinan Transformasional, adalah kepemimpinan yang memberikan
pertimbangan yang tersendiri, rangsangan intelektual dan memiliki kharisma. Kepemimpinan
yang memperhatikan perkembangan masing-masing pengikut dan selalu memandu menuju
perbaikan.
Kepemimpinan dapat juga diklasifikasikan berdasarkan atas kecenderungan dalam memimpin.
Dari kecenderungan dalam memimpin tersebut, kemudian dibagi lima tipe kepemimpinan, yaitu:
a) Teori Otokratik, yakni pemimpin yang bersifat egois sehingga parameter yang dipakai dalam
mengukur organisasi sangat subyektif. Selain itu, secara metode jenis-jenis perilaku loyalitas
bawahan adalah kesetiaan pada dirinya. Dan dominasi peribadi terhadap kebijakan sangat
kentara\menonjol.
b) Tipe Paternalistik, yakni pemimpin yang dimunculkan karena sifat keteladanan sehingga
difigurkan.
c) Tipe Kharismatik, yakni kepemimpinan yang dimunculkan oleh seseorang yang diangap
memiliki kemampuan yang tidak bisa dimiliki oleh masyrakat biasa dan terkadang orang yang
dipimpin tidak mengetahui alasan secara logis mengapa demikian.
d) Tipe Laised Faire, yakni pemimpin yang mengangap bahwa organisasi dapat berjalan dengan
sendirinya walau tanpa melalui bentuk manajemen yang baik. Dan biasanya tingkat intervensi
pemimpin kepada bawahan sangat rendah.
e) Tipe Demokratik, yakni kepemimpinan yang menempatkan pemimpin dalam organisasi
sebagai seorang koordinator, tetapi juga menempatkan diri sebagi mediator/fasilitator sehingga
gerak dan langkah organisasi menggunakan pendekatan holistik dan intregralistik.
Kualitas Kepemimpinan.
Ukuran kualitas dari kepemimpinan adalah sejauh mana efektifitas seorang manajer menjalankan
fungsi-fungsi kepemimpinannya. Efektifitas kepemimpinan itu tidak diukur dari sekedar
mencapai keberhasilan tertentu. Faktor keberhasilan kepemimpinan biasanya mengutamakan
kuasa posisi dan supervisi yang ketat. Pra syarat yang harus dipunyai dari kepemimpinan yang
berkualitas adalah: Kecerdasan, pendidikan, keterampilan, dan daya andal dalam melakukan
tanggung jawab, stabilitas emosi, ketegasan, obyektivitas dan kerja sama yang sinergis sebagai
kekuatan progresif. Namun yang tidak kalah pentingnya adalah kepribadian yang tersirat dalam
kepemimpinan karena menyangkut watak dan integritas moral yang dimiliki. Hal tersebut
merupakan modal dalam membangun budaya kepercayaan & kredibilitas. Dan keberadaan
kepercayaan ini harus didukung oleh:
• Integritas : Keterampilan dan kelugasan.
• Kompetensi : Keterampilan dan pengetahuan teknis antar pribadi.
• Loyalitas : Kesetiaan dan kesediaan melindungi/menyelamatkan.
• Keterbukaan : Kesediaan berbagi ide secara bebas dan terbuka.
Dari berbagai uraian tentang aspek-aspek kepemimpinan diatas sangat memberikan suatu
pelajaran yang penting. Apalagi bila kita lihat situasi dan arah perkembangan masalah
kepemimpinan di Indonesia di masa mendatang. Kompleksitas persoalan yang kita hadapi
dengan kepemimpinan yang mempunyai visi kedepan sekaligus mempunyai kemampuan
transformasi yang progresif sehingga diharapkan terwujud kepemimpinan yang terbuka dan
demokratis.

Dr. Yudi Latif, M.A.


Memimpin Muhammadiyah
Sama Terhormatnya Dengan Memimpin Negara
Pergantian kepemimpinan nasional yang dilakukan secara kontinyu melalui pelaksanaan
pemilu, belum berbanding lurus dengan pencapaian terhadap kualitas kehidupan berbangsa.
Pemimpin boleh saja berganti, akan tetapi nasib 220 juta lebih rakyat yang berpenduduk muslim
ini masih saja berada pada taraf kualitas  yang memrihatinkan. Di tengah kondisi yang
demikian, para pemimpinya justru sibuk dengan kepentingan individu dan kelompoknya masing-
masing. Alam bawah sadar mereka seakan-akan hanya disesaki dengan nafsu kekuasaan.

Padahal, bangsa ke depan membutuhkan Pemimpin yang mampu  berkorban demi kemakmuran
rakyatnya, pemimpin yang lebih mengutamakan dan mendahulukan kepentingan rakyat dari pada
kepentingan kelompoknya. Pemimpin yang bersikap arif, bijak, prihatin dan mampu memadukan
antara aspek rasio dan moralnya dalam membangun bangsa ini. Akan tetapi yang terjadi justru
sebaliknya. Bangsa ini betul-betul mengalami Krisis kepemimpinan. Di tengah kondisi yang
demikian, lantas bagaimana bagaimana Muhammadiyah menjawab krisis kepemimpinan
nasional yang terjadi saat ini ? langkah serta strategi apa yang harus dilakukan oleh
Muhammadiyah dalam menyelesaikan persoalan kepemimpinan nasional tersebut? Berikut
petikan wawancara Deni al Asy’ari dari SM dengan DR. Yudi Latif, M.A. Direktur eksekutif
Reform Institute, kepala Pusat Studi Islam dan Kenegaraan (PSIK-Indonesia).

Apakah krisis kebangsaan kita saat ini memiliki korelasi dengan krisis kepemimpinan
nasional ?
Menurut saya jelas ada kaitannya, sebab krisis kebangsaan yang kita hadapi saat sekarang ini
sangat bersifat krisis multidimensional. Krisis ekonomi, krisis ekologi, krisis tata ruang, krisis
keamanaan dan lain-lain. Semua ini tentunya bermula dari krisis managemen atau pengelolaan
negara yang berujung pada krisis kepemimpinan. Jadi alam telah memberi kita karunia yang
begitu banyak, seandainya kita mampu mengelolanya dengan baik, tentunya akan bisa
memberikan aspek yang baik bagi kehidupan masyarakat. Memang selama ini yang diajarkan
dalam kurikulum kita selalu menceritakan tentang negeri ini yang memiliki kekayaan yang
melimpah, sumber daya dan keanekaragaman budaya yang luar biasa, akan tapi kita tidak pernah
menekankan akan pentingnya sumber daya kepemimpinan Indonesia. Dimana-mana kita
dapatkan alam yang melimpah itu nyatanya tidak membawa berkah, melainkan justru menjadi
kutukan. Ini yang kita sebut sebagai “kutukan dari alam”.

Lantas problem apa sebenarnya yang anda lihat terhadap kepemimpinan nasional kita hari
ini ?
Kepemimpinan saat ini menurut saya tidak menunjukkan adanya watak bangsa kita yang bersifat
plural dan beragam. Melainkan yang muncul adalah watak kenegaraan yang sangat bersifat
sentralistik. Kalau  model kepemimpinan yang sentralistik ini dibiarkan, maka
kecenderungannya akan memunculkan proses personalisasi pada figur-figur tertentu. Bentuk
kepemimpinan yang mengarah pada personalisasi ini betul-betul menunjukkan tradisi politik
yang bersifat patrimonial. Tradisi politik patrimonial ini biasanya identik dengan “aku” atau
dengan penguasanya. Kepemimpinan politik yang seperti ini, terus berlanjut dengan ekpektasi
politik hari ini. Salah seorang pemikir Iran pernah mengatakan, bahwa hal yang terburuk dari
rezim-rezim otoriter, bukanlah pada aspek seberapa banyak orang-orang yang tersiksa, dan
seberapa banyak barang-barang yang dikorup. Akan tetapi, model kepemimpinan yang
personalisasi tersebut berbahaya ketika dia mewarisi budaya dari praktik kekuasaan yang seperti
itu dan menyebar ke dalam tradisi kepemimpinan. Sehingga walaupun praktek kepemimpinan
personalisasi tradisi sudah tidak ada, namun budayanya yang diwarisi tersebut akan masih ada
dan menyebar secara terus menerus.

Anda menyebutkan kita membutuhkan kepemimpinan yang visioner dan berkarakter, apa
yang dimaksud dengan kepemimpinan yang demikian?
Kepemimpinan yang visioner itu adalah kepemimpinan yang berpijak pada tradisi, kemudian visi
yang dimiliki tersebut bisa memertimbangkan realitas hari ini, dan visi tersebut memiliki sikap
antisipasi yang jauh ke depan. Kalau dikaitkan dengan Indonesia, maka kita harus
mempertimbangkan seluruh pemikiran yang diendapkan atau dituangkan oleh para pemimpin
bangsa terdahulu. Modal sejarah atau historical capital  ini sangat penting, sebab salah satu yang
membuat desain institusi politik termasuk amandamen UUD 1945, karena para perancang
institusi politik maupun amandemen UUD tersebut kurang memiliki pemahaman warisan-
warisan pengetahuan ke belakang. Misalnya saja, para pemimpin kita yang terdahulu sudah
mempertimbangkan sistem perwakilan seperti apa yang cocok untuk merepresentasikan
masyarakat yang multikultur seperti Indonesia, dengan kesenjangan pendidikan dan ekonomi
yang luar biasa.
Namun, karena pemimpin kita sekarang kurang bisa menangkap pesan sejarah tersebut, oleh
mereka kemudian sistem representasi dibuat dengan sistem kepartaian, padahal menurut saya
sebenarnya tidak bisa mengandalkan sistem partai politik, minimal untuk waktu tertentu, sebab
sistem kepartaian tersebut lebih memperjuangkan kepentingan-kepentingan sendiri, tidak pada
kepentingan kolektif. Dan sekarang terbukti, kita tidak bisa mengandalkan kerja-kerja partai
politik tersebut, karena sifatnya yang sangat pragmatis, memerjuangkan kepentingan sempit
kepartaian masing-masing, tidak ada yang menjaga bangunan moralitas publik yang kuat.

Kemudian selain persoalan warisan sejarah, apa lagi yang berkaitan dengan kepemimpinan
visioner ini?
Kemudian selain itu, visi realitas hari ini seperti apa, pembacaan realitas hari ini sangat penting
untuk melakukan investigasi terhadap realitas pembangunan masa depan. Sebab, setelah perang
dingin selesai, kemudian korporat-korporat bermunculan, dan musuh dalam arti sesungguhnya
memang tidak ada, tapi resiko yang harus kita tanggung tiap harinya begitu banyak akibat
kemunculan korporat ini, seperti resiko ikan-ikan yang diculik, hasil laut kita yang dicuri dan
sebagainya. Jadi ironis, bahwa negara kita yang begitu luas dengan sistem kepulauan yang begitu
besar, namun sistem pertahanan kita berbasis daratan.
Hal ini menunjukkan jika kita tidak mampu untuk membaca realitas hari ini dengan kondisi yang
ada. Makanya, ke depan untuk mengantisipasi semua itu, perlu adanya visi yang mampu
membaca dan menjawab persoalan yang ada sekarang dan untuk mengantisipasi berbagai
perubahan di masa yang akan datang. Jadi dari keseluruhan ini mengandaikan pada dua hal,
pertama, visi yang mengharuskan ke dalam pikiran dan kecerdasan menagkap pesan di belakang
dan hari ini serta masa depan, serta visi yang mampu diaktualisasikan ke dalam satu
kepemimpinan yang baik. Jadi, besok itu harus ada kepemimpinan yang berbasis visi, dan ini
yang kita perlukan.
Untuk membangun kepemimpinan yang visioner dan berkarakter tadi, agenda dan strategi apa
yang perlu dilakukan?
Tentu saja strategi kita untuk mengubah itu adalah strategi tingkat atasnya dengan strategi
politik, dan strategi tingkat bawahnya adalah dengan strategi bawahan, yaitu kebudayaan. Karena
perubahan reformasi yang ada hanya mengandalkan perubahan-perubahan politik saja. Padahal,
reformasi politik itu tidak akan pernah berhasil jika hanya mengandalkan perubahan-perubahan
politik. Reformasi politik bagaimanapun harus didukung dengan perubahan pada reformasi
kebudayaan.

Kalau begitu perubahan apa yang perlu dilakukan pada tingkat kebudayaan?
Pada tingkat kebudayaan kita harus menyadari bagaimana mengembangkan potensi bangsa ini.
Karena dimasa depan dalam era pertarungan global, di mana harus ada homogenisasi atau
penyeragaman. Dan di tengah homegenisasi tadi justru yang membuat bangsa itu bisa bersaing
adalah mereka yang mampu menghadirkan perbedaan di antara penyeragaman itu. Bentuk
perbedaan itu di tengah globalisasi, kita harus bisa menguatkan yang lokal-lokal, ini yang disebut
dengan glokalisasi. Kemampuan kita untuk think globali berpikir global, sekaligus juga
bertindak atas kapasitas-kapasitas lokal ini juga amat penting dilakukan. Sebab, kebudayaan kita
ini hanya bisa dikembangkan jika kita bisa memahami perbedaan.
Dimensi kedua dari kebudayaan yaitu, aspek-aspek dari segi moralitas. Bagaimana pendidikan
akhlak itu dihidupkan kembali, tapi akhlak di sini bukan sekedar dalam bentuk verbal.
Pendidikan moral kita selama ini seakan-akan cenderung bersifat verbal, sehingga ketika mereka
berada di luar sekolah dan berhadapan dengan berbagai macam realitas, maka langsung
bangunan moralitas mereka hancur. Jadi, harus ada pendidikan moralitas secara integral antara
aspek verbal dengan aktualisasi di lapangan.

Muhammadiyah memiliki peran yang besar dalam melahirkan kepemimpinan nasional


selama ini, lantas apa yang terlupakan oleh Muhammadiyah dalam agendanya?
Kalau Muhammadiayah secara umum saya pikir sudah banyak memberikan kontribusi yang
sangat beragam, seperti adanya pelayanan sosial dan lembaga pendidikan, bahkan menurut saya
Muhammadiyah juga mampu menjadi organisasi yang baik. Hal ini terbentuk karena memang
sebagaimana diketahui bahwa, Muhammadiyah pada awalnya dibangun atas inisiatif
kemandirian. Akan tetapi, dalam proses pendidikan sering kali sejauh penglihatan saya
kekayaan-kekayaan yang dimiliki oleh Muhammadiyah ini, kurang mampu diterjemahkan dalam
satu kurikulum pembelajaran. Mestinya seluruh kerja amal sosial Muhammadiyah itu, harus
mampu ditransformasikan dalam satu kurikulum sistem pembelajaran. Namun yang terjadi justru
tidak demikian, pelayanan sosial dengan pendidikannya cenderung berjalan sendiri-sendiri yang
tidak masuk dalam satu kurikulum sistem pembelajaran. Akibatnya, orang yang keluar dari
pendidikan Muhammadiyah, belum tentu mengamalkan apa yang diajarkan dalam pendidikan
Muhammadiyah. Banyak orang yang keluar dari pendidikan Muhammadiyah, namun sama sekali
tidak punya nilai-nilai ke-Muhammadiyahan. Itulah persoalan yang mendasar menurut saya yang
terlupakan oleh Muhammadiyah.

Apakah Muhammadiyah perlu untuk membawa dirinya pada ruang politik untuk melahirkan
kepemimpinan nasional yang visioner dan berkarakter?
Politik itu dalam arti luas paling tidak bertujuan untuk membentuk tatanan kehidupan publik
yang sehat. Tatanan kehidupan publik yang sehat itu mengandalkan perkembangnya pada tiga
pilar yang dominan, pilar pertama itu adalah negara, pilar kedua adalah pasar atau ekonomi, pilar
ketiga adalah kekuatan civil society. Kalau ketiga pilar ini bekerja, maka politik untuk
menciptakan kehidupan public yang sehat itu bisa terjamin. Dalam konteks ini peran
Muhammadiyah, berada pada pilar ketiga, untuk menegakkan kepemimpinan civil society
sebagai topangan moral. Jadi, politik Muhammadiyah sebagaimana yang disebut oleh Amien
Rais adalah high politic  yaitu sebagai penjaga moral public.

Lantas Bagaimana Jika warga Muhammadiyah Terjun Pada ranah Politik Praktis?
Jadi, pandangan di atas  bukan berarti orang Muhammadiyah tidak boleh mengambil peran
dalam kepemimpinan Negara atau berpolitik praktis, namun harus dipisahkan dan harus
dibedakan antara Muhammadiyah sebagai institusi, dengan warga Muhammadiyah secara
individu dalam pilihan politiknya. Sekali lagi, kehormatan memimpin Muhammadiyah itu sama
dengan terhormatnya memimpin negara. Misalnya kita lihat di India, antara  figur Mahatma
Gandhi dengan Nehru, mana yang lebih kuat? Nyatanya yang kuat itu adalah Gandhi dan dia
selalu diingat dalam sejarah. Padahal, Gandhi tidak pernah mau untuk menjadi presiden, begitu
juga seharusnya pemimpin Muhammadiyah, kalau memimpin dengan moralitas yang tinggi,
maka itu akan menjadi rujukan moral bagi para politisi, dan itu kewibannya jauh lebih tinggi dari
pada memimpin Negara.
Jangan pernah menganggap bahwa menjadi pemimpin Muhammadiyah itu lebih rendah dari-
pada presiden, itu tidak benar. Masing-masing ada wilayahnya. Kalau presiden menjadi
pemimpin bagi sektor negara, sedangkan Muhammadiyah menjadi pemimpin pada sektor civil
society. Justru dalam Islam itu, para umara itu yang harus datang pada ulama, bukan ulama yang
datang kepada umara.(Dn)

KEPEMIMPINAN AGUNG

dak ada paradigma yang menawarkan solusi kepemimpinan yang sempurna untuk semua situasi.
Masing-masing memiliki keterbatasan yang membuat setiap paradigma tidak selalu sesuai dengan
situasi yang dihadapi. Mungkin, paradigma kepemimpinan situasional dan paradigma kepemimpinan
visioner paling cocok untuk kepemimpinan di kantor anda. Struktur, figur, dan kultur masyarakat sangat
penting dipertimbangkan dalam memilih paradigma.
Dengan ketiga hal tersebut, kepemimpinan di masa depan dapat dihipotesiskan †kepemimpinan yang
agung adalah kepemimpinan situasional dan visioner yang mempertimbangkan secara simultan
struktur/sistem, figur dan kultur yang ada†. Hal tersebut disampaikan Prof. Slamet PH, MA, M.Ed.,
MA, MLHR, Ph.D., Guru Besar UNY saat memberikan materi pada Pelatihan Manajemen Kepemimpinan
di UNY, Jumat, (28/12) di Ruang Sidang Rektorat UNY. Pelatihan diikuti pejabat di lingkungan UNY.
Dikatakan Slamet, Seorang pemimpin agung selalu menciptakan tantangan, yaitu selisih antara apa yang
diharapkan dimasa depan dengan apa yang dicapai saat ini. Tantangan ini digunakan sebagai penggerak
untuk memajukan SDM di tempat kerjanya. Selain itu, pemimpin agung selalu menciptakan kesempatan
yang konstruktif, kreatif, dan inovatif bagi pengembangan SDM di tempat kerjanya. Dia akan selalu
menciptakan kesempatan yang akan membawa pendidikan vokasi sedekat mungkin dengan pencapaian
visi dan misinya.
Pemimpin selalu membangun SDM dikantornya sebagai sistem dan menggerakkan warganya untuk
membangun teamwork yang kompak, cerdas, harmonis, dinamis, lincah, saling terkait seperti layaknya
orkestra atau gamelan yang diatur oleh pengendang/dalangnya. Dia juga selalu mendorong bawahannya
untuk nyaman mengambil resiko. Menciptakan kondisi yang mendorong bawahannya merasa enak 
untuk melakukan inovasi, prakarsa, inisiasi, dan eksperimentasi, meskipun hasilnya salah dan diharapkan
mereka belajar dari kesalahannya. Tempat kerja merupakan universitas terbaik kedua setelah perguruan
tinggi.
Prinsip-prinsip tut wuri handayani, ing madyo mangun karso, ing ngarso sung tulodo diterapkan oleh
pemimpin agung. Dia memimpin melalui layanan yang baik dari pada melalui
jabatan/kekuasaan/posisinya.  Dia juga selalu menggunakan informasi yang akurat untuk melakukan
perubahan.
Pemimpin agung mengarahkan dan membimbing pengikutnya untuk mencapai tujuan jangka panjang
melalui penyusunan rencana induk pengembangan sekolah (RIPS) yang digunakan sebagai pemandu
bagi penyusunan rencana strategis dan rencana operasionalnya.
Dia harus mampu memobilisasi sumberdaya atau aset yang ada di lingkungannya, baik aset intelektuan,
moral, finansial, maupun material. Juga menerapkan prinsip-prinsip negosiasi, menang-menang, dan
egaliter dengan stakeholders dalam membangun SDM di kantornya.
Pemimpin agung selalu menjadikan bawahannya sebagai †learning person” dan menjadikan
tempat kerjanya sebagai ”learning organization” seraya tujuan tempat kerjanya dicapai dengan
sukses.(wit)

You might also like