You are on page 1of 7

Perempuan-Perempuan Perkasa

perempuan-perempuan yang membawa bakul di pagi buta


dari manakah mereka
ke stasiun kereta mereka datang dari bukit-bukit desa
sebelum peluit kereta pagi terjaga
sebelum hari bermula dalam pesta kerja
perempuan-perempuan yang membawa bakul dalam kereta ,
kemanakah mereka
di atas roda-roda baja mereka berkendara
mereka berlomba dengan surya menulu ke gerbang kota
merebut hidup di pasar-pasar kota
perempuan-perenpuan yang membawa bakul di pagi buta,
siapakah mereka
mereka ialah ibu-ibu berhati baja,
perempuan-perempuan perkasa
akar-akar yang melata dari tanah perbukitan turun ke kota
mereka cinta kasih yang bergerak menghidupi desa demi desa

Ba

Banyak unsur puitis yang terkandung di dalam puisi ini, misalnya rima. Menurut
KBBI edisi ketiga, rima adalah “pengulangan bunyi yang berselang, baik di larik
sajak atau pada akhir larik sajak yang berdekatan”. Rima yang terkandung dalam
puisi ini adalah rima terbuka, dimana akhir setiap kalimat ditandai dengan huruf
vokal. Hal ini membuat puisi ini enak dibaca karena iramanya teratur. Contohnya
seperti dalam bait berikut:

Perempuan-perempuan yang membawa bakul di pagi buta, dari


manakah mereka

Ke stasiun kereta mereka datang dari bukit-bukit desa

Sebelum peluit kereta pagi terjaga

Sebelum hari bermula dalam pesta kerja

 
Rima ada dua. Pertama adalah rima sempurna. Kedua adalah rima tidak sempurna.
Rima yang dipakai dalam puisi ini kebanyakan adalah rima tidak sempurna.
Perhatikan bait berikut ini:

 Perempuan-perempuan yang membawa bakul di pagi buta, dari


manakah mereka

Ke stasiun kereta mereka datang dari bukit-bukit desa

Lihat kata “mereka” dan “desa”. Dua kata itu diletakkan penyair di akhir kalimat
untuk menimbulkan kesan berirama ketika dibaca. Namun, dari kedua kata itu,
hanya satu huruf terakhir yang identik, yakni huruf “a”. Ini disebut rima tidak
sempurna.

Selain itu, puisi ini juga mengandung rima awal. Perhatikan awal bait pertama
berikut ini:

Perempuan-perempuan yang membawa bakul di pagi buta, dari


manakah mereka

Bandingkan dengan awal bait kedua dan ketiga:

Perempuan-perempuan yang membawa bakul dalam kereta, ke


manakah mereka

Perempuan-perempuan yang membawa bakul di pagi buta, siapakah


mereka
 

Perhatikan kata perempuan yang selalu diulang-ulang di setiap awal bait.


Pengulangan kata ini –yang kita sebut dengan rima awal- menimbulkan irama yang
harmonis dan penegasan. Seolah-olah penyair ingin para pembaca memusatkan
perhatian pada kata “perempuan-perempuan” karena esensi makna puisi ini
terkandung dalam kata itu. Maka dari itulah judulnya pun adalah “Perempuan-
Perempuan Perkasa”.

Pada dasarnya, puisi bebas dibuat dalam bentuk apa saja. Ada penyair yang
menuliskan dalam bentuk prosais, tapi ada juga yang menuliskannya dalam bentuk
umumnya puisi seperti bentuk puisi yang kita bicarakan ini. Ia berbentuk bait-bait
dan terdiri dari baris-baris dan pemenggalan katanya pun tidak terikat pada
peraturan bahasa tertentu. Ia bukan berbentuk seperti prosa yang membujur datar
dari kanan ke kiri. Fleksibilitasnya dan kebebasan bentuknya itulah yang membuat
puisi ini benar-benar tampak puitis.

2.      Kesan yang ditimbulkan ketika membaca puisi ini adalah terbitnya rasa kagum
terhadap “perempuan-perempuan perkasa”, yakni tokoh ibu-ibu yang berusaha
dimunculkan penyair di dalam puisi ini. Bisa jadi sang penyair mempunyai sosok
ibu yang perkasa seperti  “perempuan-perempuan” tokoh puisi ini. Atau malah
mungkin saja yang menjadi role model puisi ini sebenarnya adalah ibu sang
penyair sendiri. Karena berbeda dengan stereotipe masyarakat yang mengatakan
bahwa perempuan makhluk lemah dan sejenisnya, penyair malah melukiskan
makhuk yang bernama perempuan ini sebagai pejuang. Mereka adalah:

… ibu-ibu berhati baja, perempuan-perempuan perkasa

Akar-akar yang melata dari tanah perbukitan turun ke kota

Mereka: cinta kasih yang bergerak menghidupi desa demi desa.

 
Membaca puisi ini, seolah kita dilecut untuk mengingat, mengenang, dan
merenung kembali perjuangan seorang ibu. Dimana ia ikhlas bekerja, membanting
tulang, dan bisa jadi tidur hanya sebentar demi keluarganya. Membaca puisi ini,
seolah kita diingatkan akan tulus cintanya seorang ibu, murni kasihnya orang yang
melahirkan kita. Demi keluarganya, sang ibu rela

membawa bakul di pagi buta

Untuk anaknya, mereka rela berpeluh turun dari bukit desa mereka yang nyaman
menuju

ke stasiun kereta

berlomba dengan surya menuju gerbang kota.

Dan mereka melakukan itu semua demi “merebut hidup di pasar-pasar kota” buat
menghidupi anak-anaknya. Tepatlah seperti kata sang penyair bahwa ibu-ibu
pejuang itu, perempuan-perempuan perkasa itu adalah

cinta kasih yang bergerak menghidupi desa demi desa

Apalagi sang penyair selalu mengulang-ulang kata “perempuan-perempuan” setiap


awal bait. Perhatikan kalimat berikut:

Perempuan-perempuan yang membawa bakul di pagi buta, dari


manakah mereka
 

Perempuan-perempuan yang membawa bakul dalam kereta, ke


manakah mereka

Perempuan-perempuan yang membawa bakul di pagi buta, siapakah


mereka

Pengulangan adalah tanda penegasan. Sejenak melihat ke masa lalu, ketika


berpidato tentang kemerdekaan Indonesia, Bung Karno selalu mengulang-
ulang kata yang dia anggap penting, misalnya kata “merdeka”. Begitu pula
dengan sang penyair. Dengan mengulang-ulang kata “perempuan-
perempuan”, apalagi dengan gaya bahasa bertanya (seperti yang terlihat
dalam kata “dari manakah mereka, ke manakah mereka, siapakah mereka”),
penyair ingin kita tertarik dan memusatkan perhatian kita sepenuhnya, tidak
terpecah-pecah, kepada kata-kata yang diulang itu, lalu merenungkan
maknanya.

3.      Puisi ini mengandung majas simile. Menurut KBBI edisi ketiga, simile adalah
“membandingkan dua hal yang secara hakiki berbeda, tetapi mengandung segi-segi
yang serupa”. Simile biasanya ditandai dengan kata “bagaikan”, “laksana”, dan
lainnya. Perhatikan baris berikut ini:

Mereka ialah ibu-ibu berhati baja

Di kalimat itu ada pelesapan. Sebenarnya, kata itu bisa ditulis begini:

Mereka ialah ibu-ibu berhati (bagaikan) baja

 
Fungsi dari majas simile adalah “tidak hanya menegaskan makna yang hendak
disampaikan, tetapi juga memberikan efek tertentu”[1]

Selain simile, puisi ini mengandung majas personifikasi. Menurut KBBI,


personifikasi adalah mengumpamakan benda mati sebagai orang atau manusia.
Perhatikan baris berikut ini:

Akar-akar yang melata dari tanah perbukitan turun ke kota

Tujuan sang penyair mengumpamakan benda mati sebagai makhluk hidup yaitu
untuk menegaskan dan membandingkan. Hasil yang kita rasakan dengan majas
personifikasi tentu saja membuat kita semakin paham esensi dari subjek
perbandingan (baca: ibu) dan posisinya dalam puisi itu.

Di puisi ini, sang penyair mengumpamakan “ibu-ibu”/ “perempuan-perempuan”


dengan “akar”. Seperti yang kita ketahui, kata “akar” terkait dengan kata “pohon”.
Kita pun tahu, kata “ibu” terkait dengan kata “keluarga”. Maka, kita akan mencoba
membandingkan antara “akar” dengan “ibu” serta “pohon” dengan “keluarga”.

Posisi akar dalam pohon sangat penting. Ia bertugas menyerap sari-sari makanan
dari tanah lalu menyalurkannya ke seluruh batang pohon, bahkan hingga ke ujung
ranting-rantingnya. Dalam proses fotosintesis, akar menjadi salah satu pilar penting
untuk penyaluran pertama bahan baku. Ketika ada angin kencang, yang menahan
supaya pohon tidak tumbang adalah kekuatan akarnya. Semakin kuat akar pohon
itu, semakin kokoh pula lah pohon yang bersangkutan. Jika pohon ditebang
batangnya, ia bisa tumbuh kembali. Akan tetapi jika dicerabut sampai ke akar-
akarnya, pohon itu akan mati. Bisa dibilang, akar adalah hidup matinya pohon.

 
Begitu pula dengan ibu. Posisi ibu bagi keluarga sangatlah vital. Ibu mempunyai
kewajiban “ menyerap pelajaran tentang kebijaksanaan” dan mendidik keluarganya
di atas nilai-nilai dan prinsip hidup yang baik. Seorang anak yang kehilangan ibu
akan jauh lebih kolaps dibandingkan ketika ia kehilangan ayah. Ini terjadi karena
hati seorang ibu sangat dekat dengan anaknya. Bahkan dari ialah sang anak
berasal, seperti pohon yang berasal dari akar. Jika sebuah keluarga diterpa badai,
yang menaungi seluruh anggota dengan kekuatan memang sang ayah, tapi yang
menjaga agar keluarga itu tidak hancur adalah sang ibu. Ibu adalah hidup matinya
keluarga.

Dengan majas personifikasi ini, penyair ingin membandingkan eksistensi ibu


dengan eksistensi akar. Dan berkat perbandingan itulah, kita bisa semakin
memahami agungnya kedudukan “perempuan-perempuan” (baca: ibu) dalam puisi
ini.

You might also like