You are on page 1of 16

1.

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kakao (Theobroma cacao) merupakan tumbuhan berwujud pohon yang berasal


dari Amerika Selatan. Dari biji tumbuhan ini dihasilkan produk olahan yang dikenal
sebagai cokelat.
Tanaman Kakao merupakan tanaman perkebunaan berprospek menjanjikan. Tetapi
jika faktor tanah yang semakin keras dan miskin unsur hara terutama unsur hara mikro
dan hormon alami, faktor iklim dan cuaca, faktor hama dan penyakit tanaman, serta faktor
pemeliharaan lainnya tidak diperhatikan maka tingkat produksi dan kualitas akan rendah.
Kakao merupakan salah satu komoditas andalan perkebunan yang peranannya cukup
penting bagi perekonomian nasional, khususnya sebagai penyedia lapangan kerja, sumber
pendapatan dan devisa negara. Disamping itu kakao juga berperan dalam mendorong
pengembangan wilayah dan pengembangan agroindustri.
Perkebunan kakao di Indonesia mengalami perkembangan pesat dalam kurun waktu
20 tahun terakhir dan pada tahun 2002 areal perkebunan kakao Indonesia tercatat seluas
914.051 ha. Perkebunan kakao tersebut sebagian besar (87,4%) dikelola oleh rakyat dan
selebihnya 6,0% dikelola perkebunan besar negara serta 6,7% perkebunan besar swasta.
Dari segi kualitas, kakao Indonesia tidak kalah dengan kakao dunia dimana bila
dilakukan fermentasi dengan baik dapat mencapai cita rasa setara dengan kakao yang
berasal dari Ghana dan kakao Indonesia mempunyai kelebihan yaitu tidak mudah meleleh
sehingga cocok bila dipakai untuk blending. Sejalan dengan keunggulan tersebut, peluang
pasar kakao Indonesia cukup terbuka baik ekspor maupun kebutuhan dalam negeri.
Dengan kata lain, potensi untuk menggunakan industri kakao sebagai salah satu
pendorong pertumbuhan dan distribusi pendapatan cukup terbuka. Meskipun demikian,
agribisnis kakao Indonesia masih menghadapi berbagai masalah kompleks antara lain
produktivitas kebun masih rendah akibat serangan hama penggerek buah kakao (PBK),
mutu produk masih rendah serta masih belum optimalnya pengembangan produk hilir
kakao. Hal ini menjadi suatu tantangan sekaligus peluang bagi para investor untuk
mengembangkan usaha dan meraih nilai tambah yang lebih besar dari agribisnis kakao.
Delapan negara penghasil kakao terbesar adalah : Pantai Gading (38%), Ghana (19%),
Indonesia (13%), Nigeria (5%), Brasil (5%), Kamerun (5%), Ekuador (4%),
Malaysia (1%), Negara-negara lain menghasilkan 9% sisanya.
Berdasarkan luas tanam dan produksi 10 komoditi utama perkebunan di Sumatera
Barat kakao merupakan komoditi utama ke enam utama. Namun demikian, pada 3
Agustus 2006, Wakil Presiden Republik Indonesia telah mencanangkan Sumatera Barat
sebagai sentra kakao Wilayah Barat Indonesia tahun 2010 dengan luas mencapai 108.000
Ha.
Percepatan pengembangan industri pengolahan biji kakao menjadi sangat strategis
untuk meraih nilai tambah dan meredam fluktuasi harga, sekaligus mengurangi
ketergantungan biji kakao terhadap pasar internasional. Tanpa upaya yang memadai,
terarah dan terprogram, maka perkebunan kakao akan menghadapi masa suram. Untuk
itu, perlu suatu penelitian yang mendalam dan komprehensif, mengkaji pengembangan
industri pengolahan kakao di Sumatera Barat.

1.2 Rumusan Masalah


Untuk mencapai Sumatera Barat sebagai sentra kakao Wilayah Barat Indonesia pada
tahun 2010, banyak usaha telah dilakukan, diantaranya adalah; realisasi bantuan bibit
kakao, sekolah lapang, dan bantuan alat fermentasi. Namun demikian, tercapainya luas
kakao 108.000 ha pada tahun 2010, belum tentu suatu keberhasilan, jika peningkatan
produksi kakao rakyat tidak diikuti oleh peningkatan pengetahuan budidaya dan
teknologi pasca panen oleh rakyat petani kakao untuk menghasilkan kakao fermentasi
kualitas baik. Upaya Pelatihan dan Bantuan alat fermentasi tidak dimanfaatkan secara
efektif oleh petani kakao. Untuk itu, pengembangan industri pengolahan kakao menjadi
penting dilakukan.

1.3 Tujuan
Berdasarkan latar belakang dan rumusan diatas maka kajian ini bertujuan untuk:
1. Menganalisa potensi dan permasalahan pengembangan industri pengolahan biji
kakao pada beberapa kawasan sentra produksi kakao rakyat di Sumatera Barat.
2. Menyusun arah pengembangan industri pengolahan biji kakao pada beberapa kawasan
sentra produksi kakao rakyat di Sumatera Barat.
2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Prospek Kakao di Indonesia


Tanaman kakao bukan tanaman asli Indonesia. Tanaman tersebut diperkirakan berasal
dari lembah hulu sungai Amazon, Amerika Selatan yang dibawa masuk ke Indonesia
melalui Sulawesi Utara oleh Bangsa Spanyol sekitar tahun 1560. Namun sejak kapan
mulai dibudidayakan masih belum begitu jelas. Ada yang berpendapat
pembudidayaannya bersamaan dengan pembudidayaan kopi tahun 1820, tetapi pendapat
lain mengatakan lebih awal lagi yaitu tahun 1780 di Minahasa. Pembudidayaan kakao di
Daerah Minahasa tersebut tidak berlangsung lama karena sejak tahun 1845 terjadi
serangan hama penggerek buah kakao (PBK). Akibatnya kebun tidak terpelihara dan
menjadi rusak.
Pada waktu budidaya kakao di Minahasa mengalami kehancuran, tanaman kakao
mulai menarik perhatian petani di Jawa. Perkebunan kakao telah dikembangkan di Jawa
Tengah dan Jawa Timur meliputi daerah Ungaran, Salatiga, Surakarta, Kediri, Malang
dan Jember. Namun sebelum mencapai kejayaannya, perkebunan kakao di Jawa juga
mengalami kehancuran akibat serangan hama PBK sejak tahun 1886 dan setelah tahun
1900 praktis tidak ada lagi perkebunan kakao di Jawa.
Meskipun hama PBK terus mengancam, tetapi budidaya kakao tetap menarik
perhatian petani. Membaiknya harga kakao dunia sejak awal tahun 1970-an telah
membangkitkan kembali semangat petani untuk mengembangkan perkebunan kakao
secara besar-besaran. Hanya dalam waktu sekitar 20 tahun, perkebunan kakao Indonesia
berkembang pesat lebih dari 24 kali lipat dari 37 ribu ha tahun 1980 menjadi 914 ribu ha
tahun 2002, dan produksi meningkat lebih dari 57 kali lipat dari 10 ribu ton tahun 1980
menjadi 571 ribu ton tahun 2002.
Pada tahun 2002 tersebut komposisi tanaman perkebunan kakao Indonesia tercatat
seluas 224.411 ha (24,6%) tanaman belum menghasilkan (TBM), 618.089 ha (67,6%)
tanaman menghasilkan (TM), dan 71.551/ha (7,8%) tanaman tua/rusak. Produktivitas
rata-rata nasional tercatat 924 kg/ha, dimana produktivitas perkebunan rakyat (PR)
sebesar 963,3 kg/ha, produktivitas perkebunan besar negara (PBN) rata-rata 688,13 kg/ha
dan produktivitas perkebunan besar swasta (PBS) rata-rata 681,1 kg/ha.
2.2 Letak Geografis Sumatra Barat
Propinsi Sumatera Barat menurut kedudukan Geografis terletak antara 0°54’ Lintang
Utara sampai 3°30’ Lintang Selatan serta 98°36’ sampai 101°53’ Bujur Timur dengan
luas total Wilayah sekitar 42.297,30 Km2 ( 4.297.300 ha); termasuk 375 buah pulau besar
dan kecil.

2.3 Topografi Sumatra Barat


Menurut topografi, Propinsi Sumatera Barat dapat dibagi kedalam 3 (tiga) satuan
ruang morfologi yaitu :
1. Morfologi Dataran
Daerah dengan morfologi dataran terdapat pada wilayah bagian barat dengan ketinggian
antara 0 s/d 50 M diatas permukaan laut, meliputi; bagian dari Kabupaten Pasaman Barat,
Kabupaten Agam, Kabupaten Padang Pariaman, Kabupaten Pesisir Selatan, Kabupaten
Kepulauan Mentawai dan Kota Padang.
2. Morfologi Bergelombang
Daerah bagian tengah dengan ketinggian antara 50 – 100 M diatas permukaan laut,
meliputi; bagian dari Kabupaten Solok, Kabupaten Tanah Datar, Kota Padang Panjang,
Kabupaten Agam dan Kabupaten Pasaman Barat.
3. Morfologi Perbukitan.
Daerah bagian Timur dengan ketinggian antara 100 – 500 M diatas permukaan laut,
meliputi: bagian dari Kota Sawahlunto, Kabupaten Sawahlunto Sijunjung, Dharmasraya,
Kota Bukittinggi, Kabupaten Limapuluh Kota dan Kabupaten Tanah Datar, sebagian
Agam, sebahagian Pasaman, Kabupaten Solok Selatan.

2.4 Jenis Tanah Sumatra Barat


Menurut hasil penelitian/pemetaan lembaga Penelitian Tanah Bogor jenis tanah di
Sumatera Barat sebagian besar adalah jenis tanah Podsolik merah kuning seluas
1.228.783 Ha atau 29,05 %dari luas Sumatera Barat. Jenis tanah lainnya yang cukup luas
adalah Latosol yakni 893.117 Ha (21,11%).
Penyebaran jenis tanah di Sumatera Barat secara umum adalah sebagai berikut :
1. Tanah Organosol tersebar di Kabupaten Pasaman Barat, Pasaman, Agam, Padang
Pariaman dan Pesisir Selatan dengan luas 346.704 Ha atau 8,20 % dari luas Propinsi.
2. Tanah Latosol tersebar di Kabupaten Pesisir Selatan, Pasaman Barat, Solok Selatan,
Padang Pariaman, Limapuluh Kota dan Sawahlunto/Sijunjung , Dharmasraya
seluas 893.117 Ha (21,11 %).
3. Tanah Podsolik tersebar di Kabupaten Limapuluh Kota, Pasaman , Sawahlunto
Sijunjung, Dharmasraya dan Tanah Datar seluas 1.542.939 Ha (36,48 ); terdiri dari
podsolik merah 1.228.783 Ha dan podsolik kuning 1.228.783 Ha dan podsolik coklat
314.156 Ha.
4. Tanah Regosol tersebar di Kabupaten Pasaman Barat, Padang Pariaman, Agam dan
Kota Padang seluas 23.734 Ha (0,56 %).
5. Tanah Andosol, tersebar di Kabupaten Sawahlunto Sijunjung, Dharmasraya, Tanah
Datar, Solok, Solok Selatan, Pesisir Selatan dan Pasaman Barat seluas 37.426 Ha
(0,88 %).
6. Tanah Alluvial tersebar di Kabupaten Pesisir Selatan, Solok, Solok Selatan, Pasaman
Barat, Limapuluh Kota dan Kota Padang seluas 170.149 Ha (4,02 %)
7. Tanah Litosol dan Regosol tersebar di Kabupaten Agam, Pasaman Barat, Solok dan
Padang Pariaman seluas 47.360 Ha (1,12 %).Jenis tanah ini termasuk yang peka erosi.
8. Jenis tanah lainnya yang terdapat di Sumatera Barat antara lain:
- Latosol dan Andosol seluas 26.889 Ha (0,64 %)
- Andosol dan Regosol seluas 67.929 Ha (1,61 %)
- Regosol dan Latosol seluas 18.944 Ha (0,54 %)
9. Jenis tanah di Kabupaten Kepulauan Mentawai sebagian besar podsolik dan
organosol.

2.5 Iklim Sumatra Barat


Suhu rata-rata di Pantai Barat Propinsi Sumatera Barat berkisar antara 21°C - 38°C,
pada daerah perbukitan berkisar antara 15°C – 34°C, sedangkan pada daerah daratan
disebelah timur Bukit Barisan mempunyai suhu antara 19°C - 34°C.
Meskipun umumnya musim kemarau jatuh pada bulan April – Agustus dan musim
hujan jatuh pada bulan Maret dan Desember namun di Pantai Barat masih sering terjadi
hujan pada bulan-bulan dimusim kemarau.
Hampir setiap tahun di wilayah Sumatera Barat terjadi 2 (dua) puncak curah hujan
maksimum yaitu pada bulan Maret dan Desember. Curah hujan paling rendah terjadi pada
bulan Juni/Juli. Jumlah curah hujan rata-rata maksimum mencapai 4000 mm/tahun
terutama di wilayah pantai Barat, sedangkan beberapa tempat dibagian timur Sumatera
Barat curah hujannya relatif kecil antara 1500 – 2000 mm/tahun

2.6 Potensi Produksi Pertanian Sumatra Barat


Potensi hasil pertanian di Sumatra barat, sebagaimana daerah lain di Indonesia,
meliputi padi, jagung, ubi kayu, ubi jalar, kedelai, kacang tanah, kacang hijau, bawang
merah, bawang putih, kentang, kubis, cabe, dan buah-buahan seperti tomat, pisang,
durian, jeruk, sawo, 6apaya, dan sebagainya. Hasil komoditas utama hasil pertanian di
Sumbar tahun 1997 antara lain luas panen padi sawah dan 6apaya seluas 395.726 ha,
produksinya 1.787.719 ton; luas panen jagung 20.765 ha, produksinya 47.001 ton; luas
panen ubi kayu 8.109 ha, produksinya 100.714 ton; luas panen ubi jalar 3.243 ha,
produksinya 33.350 ton; dan luas panen kedelai 8.420 ha, produksinya 10.094 ton.
Hasil produksi pertanian tahun 1998 mengalami sedikit peningkatan dibandingkan
hasil tahun 1997. Hal ini disebabkan karena curah hujan yang lebih banyak dibandingkan
sebelumnya. Produksi pertanian tahun 1998 menunjukkan hasil seperti berikut; padi
sawah dan 6apaya 1.777.424 ton; jagung 65.701 ton; ubi kayu 92.084 ton; ubi jalar
36.172 ton; kacang tanah 8.804 ton; kedelai 8.874 ton; kacang hijau 1.321 ton.
Hasil panen sayuran tahun 1998 menunjukkan data berikut; bawang merah 9.723 ton;
bawang putih 1.474 ton; bawang daun 5.282 ton; kentang 20.319 ton; kubis 108.477 ton;
sawi 4.282 ton; kacang panjang 4.724 ton; cabe 29.323 ton; tomat 14.148 ton; dan buncis
4.132 ton.
Sementera hasil buah-buahan di Sumbar tahun 1998 adalah sebagai berikut; pisang
5.131 ton; jeruk 2.792 ton; durian 1.976 ton; duku 397 ton; savvo 677 ton; nenas 102 ton;
6apaya 133 ton; rambutan 3.143 ton; alpukat 1.003 ton; dan mangga 313 ton. Data
tersebut menunjukkan bahwa daerah Sumbar sangat potensial untuk pengembangan
pertanian, terutama tanaman pangan.
Potensi perkebunan yang tersebar di wilayah Sumatra barat meliputi komoditas
utamanya, yaitu kopi, kelapa sawit, karet, kayu manis, cengkeh, kakao, tebu, pala, mrica,
kapuk, enau dan gambir. Hasil produksi perkebunan tahun 1998 adalah sebagai berikut;
karet 42.470 ton; kelapa 46.518 ton; kulit kayu manis 18.307 ton; cengkeh 205 ton; tebu
14.281 ton; tembakau 394 ton; kopi 55.433 ton; pala 361 ton; merica 7.390; gambir 6.271
ton; dan kelapa sawit 992.638 ton. Dari hasil perkebunan ini, kelapa sawit dan karet dan
kelapa adalah yang paling potensial menghasilkan keuntungan ekonomis bagi daerah
Sumatra Barat. Berikutnya adalah kopi dan kayu manis.
3. UPAYA PENANGGULANGAN MASALAH

3.1 Potensi Produksi Kakao di Sumatra Barat


Sumatera Barat merupakan salah satu daerah yang terletak pada garis khatulistiwa
yang mempunyai daya dukung lahan yang tinggi dan cocok untuk pengembangan
kemoditi kakao. Hasil produksi kakao Sumatera Barat dewasa ini baru diperdagangan
dalam bentuk biji kakao kering dan selanjutnya diekspor ke berbagai negara tujuan di
dunia. Produk olahan kakao berupa mentega dan tepung coklat memiliki pasar yang
cukup besar sebagai bahan baku bagi industri hilir dibeberapa negara maju yang tingkat
konsumsi / kapitanya tinggi. Potensi kesedian bahan baku untuk pendirian industri
pengolahan kakao di Provinsi Sumatera Barat cukup besar dengan daya dukung lahan
perkebunan rakyat yang cukup luas.

Legenda :

Propinsi Kabupaten

Kakao

Tabel 1. Luas lahan dan produksi kakao di Sumatra Barat


tahun 2006 dan 2008

No. Kabupaten / Kota Luas Lahan (Ha) Produksi (ton)


2006 2008
1. Kabupaten Agam 4.477 3256 3780
2. Kabupaten Dharmasraya 1.203 43 348
3. Kab. Kepulauan Mentawai 1.668 323 534
4. Kabupaten Limapuluh Kuto 2.980 563 1006
5. Kab. Padang Pariaman 1.569 1920 4874
6. Kabupaten Pasaman 15.831 7577 13461
7. Kabupaten Pasaman Barat 8.737 3705 4786
8. Kabupaten Pesisir Selatan 1.663 328 510
9. Kab.Sawahlunto/Sinjunjung 1.097 218 1659
10. Kabupaten Solok 2.573 420 858
11. Kabupaten Solok Selatan 629 - 108
12. Kabupaten Tanah Datar 1.343 93 110
13. Kota Bukit Tinggi 13 1 9
14. Kota Padang 610 47 153
15. Kota Pariaman 167 20 88
16. Kota Sawah lunto 2.412 544 769
17. Kota Payah kumbuh 287 37 172
18. Kota Solok 99 18 24

Sumber: Dinas Perkebunan Provinsi Sumatra Barat

3.2. Potensi Pengembangan Pengolahan Kakao Rakyat Sumatra Barat

Kekuatan dan peluang dikelompokan menjadi aspek potensi. Potensi merupakan


kekuatan yang ada dalam kawasan pada kondisi sekarang dan peluang pengembangan kakao
dikawasan sentra produksi pada masa mendatang.
3.2.1. Aspek Sumber Daya Manusia
1. Tingginya minat masyarakat untuk bertani kakao,
2. Adanya kegiatan Sekolah Lapang Kakao mencakup hampir seluruh kecamatan
3. Adanya kegiatan studi banding baik di dalam maupun ke luar Sumatera Barat
3.2.2. Aspek Sumber Daya Alam dan Bahan Baku
1. Peningkatan luas kakao yang tinggi
2. Adanya lahan yang potensil untuk ekstensifikasi kakao
3. Permintaan akan kakao terfermentasi dalam jumlah dan kontinuitas yang tinggi
3.2.3.Aspek Budidaya
1. Adanya peluang pengembangan usaha pembibitan kakao
2. Penggunaan bibit unggul oleh sebagian petani berpotensi untuk meningkatkan
produksi dan produktifitas kakao
3.2.4. Pasca Panen
1. Adanya bantuan alat fermenatsi
2. Adanya industri mini pengolahan kakao
3. Adanya SL pascapanen
3.2.5. Permodalan
1. Adanya kredit revitalisasi yang belum dinikmati petani kakao, dan berbagai fasilitas
kredit yg dp digunakan petani kakao
2. Adanya program lintas instansi bisa menunjang pengembangan kakao, seperti PNPM
Mandiri, LKMA, dll.
3.2.6. Kelembagaan atau Penyuluhan
1. Sudah melakuan kemitraan dengan politieknik pertanian dan Teknik Pertanian Unand,
AFTA, LSM terkait, dan masih berpeluang untuk dilanjutkan.
2. Sudah ada melakukan upaya kerjasama dengan KADIN (Kamar Dagang
Indonesia)Sumbar, menjadi peluang untuk masa datang.

3.3. Permasalahan Pengembangan Pengolahan Kakao Rakyat Sumatra Barat

Kelemahan dan ancaman dikelompokan menjadi aspek permasalahan.. Permasalahan


merupakan halangan yang harus di minimalisir dalam pengembangan kakao dikawasan sentra
produksi pada masa mendatang.
3.3.1. Aspek Sumber Daya Manusia
1. Kurangnya ketersediaan tenaga penyuluh, baik kuantitas maupun kualitas.
2. Belum adanya revitalisasi penyuluhan perkebunan umumnya kakao khususnya
3.3.2. Aspek Sumber Daya Alam dan Bahan Baku
1. Tidak tersedianya bibit, pupuk dan pestisida dalam jumlah dan waktu yang
tepat serta harga terjangkau
2. Lahan belum bersertifikat
3. Produksi dan produktifitas kakao rakyat masih rendah
3.3.3. Aspek Budidaya
1. Usahatani kakao rakyat kurang optimal secara teknis maupun ekonomis.
2. Sebagain petani tidak menggunakan bibit unggul (mutu benih rendah),
melakukan pemupukan belum sesuai rekomendasi, pemangkasan dan pemeliharaan
kebun tidak optimal, dan pemisahan biji berdasarkan mutu belum dilakukan.
3. Serangan hama Hellopeltis, PBK, dan Jamur phytoptora yang belum dikendalikan
secara optimal.
3.3.4 Pasca Panen
1 Produk kakao Indonesia sebagian besar dihasilkan oleh perkebunan rakyat dan
umumnya tidak diolah secara baik (tidak difermentasi), sehinga kakao Indonesia
dikenal bermutu rendah. Akibatnya harga kakao Indonesia dikenakan diskon
(automatic detention) yang besarnya antara US $ 90-150/ton khususnya untuk pasar
Amerika Serikat. Diskon harga tersebut cukup memberatkan petani kakao dan sangat
merugikan karena mengurangi nilai devisa yang diperoleh. Akibatnya ekspor kakao
sebagian besar dalam bentuk produk primer, sehingga nilai tambah tidak diterima
oleh petani, tetapi dinikmati oleh pengusaha di negara pengimpor biji kakao.
2 Bantuan alat fermentasi dari Dinas Propinsi masih terbatas untuk beberapa
kelompok
tani, dan tidak sesuai dengan kebutuhan petani.
3. Penerapan teknologi pascapanen dan pengolahan kakao di sentra produksi masih
dilakukan dengan alat-alat yang sederhana.

3.3.5 Permodalan
1. Petani belum mampu mengakses fasilitas kredit revitalisasi yang disediakan
pemerintah
2. Masih terbatasnya modal kelompok tani sehingga untuk pembelian hasil produk
petani masih skala kecil yaitu kelompok dan belum menjangkau sentra atau
kecamatan/kabupaten
3.3.6 Kelembagaan atau Penyuluhan
1. Untuk kawasan sentra kakao, penguatan kelompok tani masih terkonsentrasi
pada satu-dua kelompok tani, sehingga terdapat ketimpangan kekuatan kelembagaan
petani di kawasan sentra produksi
2. Belum kuatnya kelembagaan kelompok tani terutama kerja sama intern dan lintas
kelompok tani.

3.4 Pengembangan atau Inovasi yang Perlu dilakukan


Berdasarkan potensi dan permasalahan dalam pengembangan industri pengolahan
kakao fermentasi seperti yang diuraikan di atas maka arah pengembangan yang dapat
dijadikan pedoman bagi segenap pelaku komoditi kakao, terutama Pemerintah dan Pemda
melalui upaya pemamfaatan potensi yang ada secara maksimal adalah:
a. Intensifikasi Tanaman
• Kegiatan intensifikasi tanaman pada sentra produksi kakao rakyat
• Kegiatan pengendalian Hama Penggerek Buah Kakao (PBK) diwilayah yang sudah
terserang dan melakukan tindakan preventif (sarungisasi buah kakao) dan kuratif bagi
daerah yang belum terserang dengan memanfaatkan sistem peraturan karantina serta
penerapan Pengendalian Hama Terpadu (PHT) secara maksimal serta meningkatkan
kegiatan Sekolah Lapang Pengendalian Hama Terpadu (SL-PHT).
• Pengembangan pembenihan dan pembibitan kakao bersertifikasi.
Hal ini untuk mencapai produksi kakao optimal yang akan mendukung
ketersediaan bahan baku untuk pengembangan suatu unit industri pengolahan
kakao di kawasan sentra produksi di Sumatera Barat.
b. Pengembangan peningkatan luas areal dan produktifitas.
• Hal ini untuk mendukung ketersediaan bahan baku untuk pengembangan industri
pengolahan kakao di kawasan sentra produksi di Sumatera Barat.
• Pengembangan areal tetap dilanjutkan dan diutamakan untuk mengutuhkan areal
mencapai skala ekonomi pada lokasi yang secara agroekologi cocok untuk
pengembangan kakao baik secara tumpang sari di antara kakao maupun pada areal
tanaman baru. Bibit menggunakan jenis-jenis klon unggul yang dihasilkan oleh
Lembaga Penelitian dan digunakan cara vegetatif dengan memanfaatkan sumber
bahan tanaman dari kebun-kebun entres yang ada.
c. Program rehabilitasi dan peremajaan tanaman
• Rehabilitasi dan peremajaan tanaman dilakukan pada tanaman rusak atau
tanaman tua dengan cara sambung samping menggunakan klon-klon unggul
disertai dengan pemeliharaan yang intensif dan efisien.
d. Program diversifikasi usaha
• Kegiatan diversifikasi horizontal yaitu dengan pengembangan ternak (mixed
cropping) maupun intercropping tanaman lain, seperti kelapa, jati dan
mahoni.
• Kegiatan diversifikasi vertikal yaitu dengan pengembangan produk turunan
maupun pemanfaatan hasil samping.
e. Pengembangan kelembagaan petani pekebun kakao.
• Hal ini dalam bentuk pendampingan petani pekebun kakao secara
melembaga untuk pembentukan peran dan fungsi, penguatan kelembagaan
dalam pengembangan usaha penangkar benih dan inovasi teknologi kakao;
budidaya, panen dan pasca panen serta akses ke lembaga ekonomi, sejalan
dengan pengembangan peran pemerintah sebagai fasilitator. Untuk itu perlu
penataan kelompok tani kakao dalam suatu kawasan sentra produksi,
penataan kelembagaan penyuluhan dan pelatihan yang sesuai dengan
kebutuhan petani.
f. Kebijakan penataan kelembagaan
• Kebijakan penataan kelembagaan ini diimplementasikan lewat serangkaian
program sebagai berikut:
• Program fasilitasi lembaga keuangan pedesaan, sehingga dapat terjangkau
oleh petani pekebun.
• Program pengembangan dan pemantapan networking and sharing,
khususnya CCDC (Cooperative Commodity Development Center).
• Program restrukturisasi dan pemantapan pola pengembangan

g. Pengembangan permodalan usaha


• Pengembangan permodalan diarahkan pada kredit revitalisasi perkebunan kakao
yang belum bisa dinikmati rakyat petani kakao serta kredit usahatani lainnya,
disamping bantuan lepas pada petani kakao, peningkatan keswadayaan petani dan
kelompok tani dalam memperkuat permodalan usaha serta mengembangkan usaha
kemitraan dengan swasta.
h. Kebijakan pengolahan dan pemasaran hasil
Kebijakan pengolahan dan pemasaran hasil diimplementasikan lewat serangkaian
program sebagai berikut:
• Program pengembangan dan desiminasi teknologi pengolahan hasil kakao
• Program fasilitasi penyediaan sarana pengolahan hasil khususnya yang dapat
dioperasikan di tingkat petani.
• Program peningkatan mutu hasil baik hasil utama maupun hasil lanjutan.
• Program penerapan SNI wajib segera dilaksanakan setelah fasilitas pendukungnya
terpenuhi dan diterapkan secara disiplin baik kakao yang dipasarkan didalam
negeri maupun untuk ekspor
• Program pemanfaatan limbah kakao sebagai pakan ternak
• Program pengembangan pemasaran dalam negeri, melalui kegiatan
pengembangan sistem informasi pemasaran, pengembangan system jaringan dan
mekanisme serta usaha-usaha pemasaran. Peningkatan dan pemantapan sistim
informasi pasar khususnya yang dapat diakses oleh petani kakao.
i. Pembangunan industri pengolahan kakao terfermentasi
• Permasalahan pasca panen lebih bersumber dari petani sebagai pelaku usaha
dan jaminan harga kakao fermentasi dibanding bersumber dari faktor lainnya.
Enggannya petani melakukan fermentasi karena (1) Biji kakao yang
difermentasikan akan mengalami penyusutan berat dibandingkan dengan kakao
yang tidak difermentasi, (2) Belum adanya realisasi jaminan harga, untuk kakao
fermentasi.
j. Kebijakan pemantapan infrastruktur
Kebijakan pemantapan infrastruktur diimplementasikan lewat serangkaian program
sebagai berikut:
• Program peningkatan infrastruktur jalan dan jembatan khususnya untuk
menjangkau sentra-sentra produksi kakao.
• Program peningkatan sarana gudang dan pelabuhan yang menjangkau sentra
produksi kakao.
• Program peningkatan sarana listrik dan komunikasi yang dapat diakses oleh
petani perkebunan.
• Program pengembangan sentra-sentra pemasaran kakao (terminal agribisnis)
di wilayah pengembangan kakao.
Untuk mengatasi hal ini, percepatan pengembangan industri pengolahan biji kakao
menjadi sangat strategis untuk meraih nilai tambah dan meredam fluktuasi harga, sekaligus
mengurangi ketergantungan biji kakao terhadap pasar internasional. Tanpa upaya yang
memadai, terarah dan terprogram, maka perkebunan kakao menghadapi masa suram.
Dalam jangka pendek, Industri pengolahan kakao yang dimaksud adalah
pengembangan industri pengolahan kakao terfermentasi berdasarkan perkiraan ketersediaan
bahan baku, modal investasi dan biaya produksi. Dalam jangka panjang bisa berupa industri
pengolahan kakao sekunder.

4. KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 Kesimpulan
1. Sumatra Barat memiliki potensi untuk pengembangan centra Kakao Indonesia. Hal
ini terlihat dari banyaknya prospek yang didapat dari wilayah tersebut, disamping
terdapat lahan potensial untuk pengembangan usahatani kakao, Permasalahan untuk
pengembangan industri pengolahan kakao adalah produktivitas dan kualitas kakao
rakyat masih rendah. Penyebab rendahnya produksi kakao adalah mutu benih
rendah, serangan hama Hellopeltis, PBK, dan jamur phytoptora yang belum
dikendalikan secara optimal. Dan program pasca panen yang belum optimal
2. Dari prospek dan permasalahan yang ada kita dapat memulai memperbaiki kualitas
dari kakao dengan beberapa macam cara, seperti intensifikasi, perluasan wilayah,
rehabilitasi dan peremajaan, diversifikasi, perbaikan kelembagaan, modal, perbaikan
pasca panan, pemasaran, dan penerapan kebijakan
4.2 Saran
Kita dapat mengembangkan Sumatra Barat menjadi centra kakao di Indonesia
asalkan kita dapat memanage dengan baik faktor pembatas yang ada pada petani dan
lingkungan sekitarnya.

DAFTAR ISI

1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang……………………………………………………………………1
1.2 Rumusan Masalah…………………………………………………………………2
1.3 Tujuan……………………………………………………………………………..2
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Prospek Kakao di Indonesia………………………………………………………3
2.2 Letak Geografis Sumatra Barat…………………………………………………...4
2.3 Topografi Sumatra Barat………………………………………………………….4
2.4 Jenis Tanah Sumatra Barat……………………………………………………….4
2.5 Iklim Sumatra Barat………………………………………………………………5
2.6 Potensi Produksi Pertanian Sumatra Barat……………………………………….6
3. UPAYA PENANGGULANGAN MASALAH
3.1 Potensi Produksi Kakao di Sumatra Barat……………………………………….7
3.2 Potensi Pengembangan Pengolahan Kakao Rakyat Sumatra Barat………………8
3.3 Permasalahan Pengembangan Pengolahan Kakao Rakyat Sumatra Barat……….9
3.4 Pengembangan atau Inovasi yang Perlu dilakukan………………………………11
4. KESIMPULAN DAN SARAN
4.1 Kesimpulan………………………………………………………………………15
4.2 Saran……………………………………………………………………………..15

DAFTAR PUSTAKA

You might also like