Professional Documents
Culture Documents
ABSTRAK
Tuberkulosis merupakan penyakit infeksi yang masih menjadi masalah serius di berbagai
bagian dunia. Di Indonesia, tuberkulosis menjadi penyebab kematian ke tiga setelah
penyakit kardiovaskuler dan penyakit saluran pernafasan. Pengobatan pada tuberkulosis
merupakan paduan obat anti tuberkulosis (OAT) jangka pendek dengan pengawasan
langsung oleh pengawas menelan obat (PMO). Ketidakteraturan minum obat merupakan
salah satu penyebab kegagalan program penanggulangan TB Paru.
Jenis penelitian yang dilakukan adalah penelitian deskriptif korelasi dengan
menggunakan metode survei dengan pendekatan cross sectional. Data yang digunakan
adalah data primer dan data sekunder, dimana data primer menggunakan kuesioner dan
data sekunder dengan melihat catatan berobat dan melihat register di Puskesmas. Jumlah
sampel yang diteliti dalam penelitian ini adalah diambil seluruhnya dari jumlah populasi.
Menurut Arikunto (2006) apabila subjeknya kurang dari 100, lebih baik semua populasi
diambil sebagai sampel yaitu 48 orang.
Hasil penelitian menunjukan bahwa responden TB paru yang memiliki pengetahuan
kurang dari 23,42 sebanyak 43,8% dan dan lebih dari 23,42 sebanyak 56,3%. Responden
TB paru yang memiliki sikap negatif 45,8% dan bersikap positif 54,2%, responden TB
paru yang memiliki motivasi kurang dari 8,81 sebanyak 39,6% dan lebih dari 8,81
sebnayak 60,4%. Responden TB paru yang tidak teratur berobat 35,4% dan teratur
64,6%. Hasil uji statistik chi square menunjukan bahwa pengetahuan tentang TB paru
(OR = = 0,022),ρ = 0,033), sikap melakukan pengobatan (OR = 0,222, ρ 3,850, =
0,044), ada hubunganρ motivasi untuk berobat teratur (OR = 3,492, dengan keteraturan
berobat.
Kesimpulan dari penelitian ini bahwa pengetahuan tentang TB paru, sikap untuk
melakukan pengobatan dan motivasi untuk berobat teratur ada hubungan dengan
keteraturan berobat. Saran penulis kepada Puskesmas agar lebih memperhatikan dan
memberikan penyuluhan tentang penyakit TB paru kepada masyarakat sebagai upaya
preventif guna mengurangi penyakit TB paru.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Penyakit tuberkulosis (TBC) adalah penyakit infeksi menular yang masih tetap
merupakan masalah kesehatan masyarakat di dunia termasuk Indonesia. World Health
Organization (WHO) dalam Annual Report on Global TB Control 2003 menyatakan
terdapat 22 negara dikategorikan sebagai high-burden countries terhadap TB. Indonesia
termasuk peringkat ketiga setelah India dan China dalam menyumbang TB di dunia.
Menurut WHO estimasi insidence rate untuk pemeriksaan dahak didapatkan basil tahan
asam (BTA) positif adalah 115 per 100.000 (WHO, 2003).
Berdasarkan Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) 2001 estimasi prevalensi angka
kesakitan di Indonesia sebesar 8 per 1000 penduduk berdasarkan gejala tanpa
pemeriksaan laboratorium. Berdasarkan hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT)
tahun 2001 TB menduduki ranking ketiga sebagai penyebab kematian (9,4% dari total
kematian) setelah penyakit sistem sirkulasi dan sistem pernafasan. Hasil survei prevalensi
tuberkulosis di Indonesia tahun 2004 menunjukan bahwa angka prevalensi tuberkulosis
Basil Tahan Asam (BTA) positif secara nasional 110 per 100.000 penduduk (Depkes RI,
2007).
Sejak tahun 2000 Indonesia telah berhasil mencapai dan mempertahankan angka
kesembuhan sesuai dengan target global, yaitu minimal 85% penemuan kasus TB di
Indonesia pada tahun 2006 adalah 76%. Keberhasilan pengobatan TB dengan DOTS pada
tahun 2004 adalah 83% dan meningkat menjadi 91% pada tahun 2005 (Depkes RI, 2008).
Resiko penularan setiap tahun (Annual Risk of Tuberkulosis Infection = ARTI) di
Indonesia dianggap cukup tinggi dan bervariasi antara 1-2%. Pada daerah dengan ARTI
sebesar 1% berarti setiap tahun diantara 1000 penduduk, 10 orang akan terinfeksi.
Sebagian besar dari orang yang terinfeksi tidak akan terjadi penderita tuberkulosis, hanya
10% dari yang terinfeksi yang akan menjadi penderita tuberkulosis. Faktor yang
mempengaruhi kemungkinan seseorang menjadi penderita tuberkulosis adalah daya tahan
tubuh rendah, diantaranya karena gizi buruk atau HIV/AIDS disamping faktor pelayanan
kesehatan yang belum memadai (Sulianti, 2007)
Pasien dengan TB sering menjadi sangat lemah karena penyakit kronis yang
berkepanjangan dan kerusakan status nutrisi. Anoreksia, penurunan berat dan malnutrisi
umum terjadi pada pasien dengan TB. Keinginan pasien untuk makan mungkin terganggu
oleh keletihan akibat batuk berat, pembentukan sputum, nyeri dada atau status kelemahan
secara umum (Smeltzer, 2001).
Sejak tahun 1990-an WHO dan International Union Agains Tuberculosis and Lung
Disease (IUATLD) telah mengembangkan strategi penanggulangan TB yang dikenal
sebagai strategi Directly Observed Treatment Shortcourse chemotherapy (DOTS) dan
telah terbukti sebagai strategi penanggulangan yang secara ekonomis paling efektif (cost-
efective). Penerapan strategi DOTS secara baik, disamping secara cepat menekan
penularan, juga mencegah berkembangnya Multi Drugs Resistance Tuberculosis (MDR-
TB). Fokus utama DOTS adalah penemuan dan penyembuhan pasien, prioritas diberikan
kepada pasien menular. Menemukan dan menyembuhkan pasien merupakan cara terbaik
dalam upaya pencegahan penularan TB. WHO telah merekomendasikan strategi DOTS
sebagai strategi dalam penanggulangan TB sejak tahun 1995 (Depkes RI, 2007).
Tujuan program penanggulangan tuberkulosis adalah menggunakan sumber daya yang
terbatas untuk mencegah, mendiagnosis dan mengobati penyakit dengan cara yang paling
baik dan ekonomis. Alasan utama gagalnya pengobatan adalah pasien tidak minum
obatnya secara teratur dalam waktu yang diharuskan. Pasien dengan cermat
diinstruksikan tentang pentingnya tindakan higienis, termasuk perawatan mulut, menutup
mulut dan hidung ketika batuk dan bersin, membuang tisu basah dengan baik dan
mencuci tangan. Seluruh keberhasilan program tergantung dari supervisi yang baik atas
pengobatan. Idealnya pengobatan hendaknya diobservasi langsung (yaitu pasien diawasi
setiap kali minum obat), setidaknya penting selama 2 bulan pertama. Di beberapa daerah
pedesaan, pengobatan dengan pengawasan langsung mungkin perlu dilakukan oleh
seseorang setempat yang bertanggung jawab atau sukarelawan. Penderita hendaknya
kenal orang itu, ikatan demikian akan mengurangi kelalaian (Crofton, 2002).
Obat TBC diberikan dalam bentuk kombinasi dari beberapa jenis, dalam jumlah cukup
dan dosis tepat selama 6-8 bulan, supaya semua kuman (termasuk kuman persister) dapat
dibunuh. Dosis tahap intensif dan dosis tahap lanjutan ditelan sebagai dosis tunggal.
Apabila panduan obat yang digunakan tidak adekuat (jenis, dosis, dan jangka waktu
pengobatan), kuman TBC akan berkembang menjadi kuman tebal obat (resisten) (Depkes
RI, 2002).
Selanjutnya setiap penderita harus diawasi (observed) dalam meminum obatnya yaitu
obat diminum di depan seorang pengawas, dan inilah yang dikenal sebagai Directly
Observed Therapy (DOT). Penderita juga harus menerima pengobatan (treatment) dalam
sistem pengelolaan, penyediaan obat anti tuberkulosis yang tertata dengan baik, termasuk
pemberian regimen OAT yang adekuat, yakni melalui pengobatan jangka pendek (short
cource) sesuai dengan klasifikasi dan tipe masing-masing kasus (Taufan, 2007).
Faktor penunjang kelangsungan berobat adalah pengetahuan penderita mengenal bahaya
penyakit TB paru yang gampang menular kesisi rumah, terutama pada anak, motivasi
keluarga baik saran dan perilaku keluarga kepada penderita untuk menyelesaikan
pengobatannya dan penjelasan petugas kesehatan kalau pengobatan gagal akan diobati
dari awal lagi. Oleh karena itu pemahaman dan pengetahuan penderita memegang
peranan penting dalam keberhasilan pengobatan TB paru (Ainur, 2008).
Tabel 1.1
Jumlah Suspek yang Diperiksa di Unit Puskesmas Purbaratu
No Nama Kelurahan Jumlah Suspek Jumlah yang Diobati Hasil dari Pengobatan
Sembuh Lengkap DO Lalai Gagal Meninggal
1 Sukamenak 35 18 1 8 - - - -
2 Sukaasih 5 2 - - - - - -
3 Sukanagara 4 11 1 4 - - 1 1
4 Purbaratu 18 4 - 3 - - - -
5 Sukajaya 22 13 - 9 - - - 1
6 Singkup 13 6 - 2 2 1 - -
Jumlah 97 54 2 26 2 1 1 2
Sumber: Laporan Tahunan Puskesmas Purbaratu.
Tabel di atas menunjukkan bahwa jumlah kasus TB paru di Puskesmas Purbaratu dengan
jumlah suspek sebanyak 97 orang dengan jumlah yang diobati 54 orang yang dinyatakan
sebagai pasien TB paru yang berobat jalan di Puskesmas Purbaratu. Data terakhir
diperoleh bahwa penderita yang melakukan pengobatan lengkap (teratur) sebanyak 28
orang, sembuh 3 orang dan penderita yang mengalami DO sebanyak 10 orang dan gagal
sebanyak 1 orang. Sementara yang meninggal sebanyak 4 orang dan pindah 2 orang
(Catatan Program Tb paru Puskesmas Purbaratu). Hal ini memberikan gambaran bahwa
angka kesembuhan penderita TB paru sangat rendah, masalah yang menjadi penyebabnya
yaitu masyarakat belum menyadari bahaya TB paru.
Berdasarkan latar belakang di atas, maka perlu dilakukan penelitian tentang “Hubungan
Pengetahuan, Sikap dan Motivasi Pasien Tuberkulosis Paru Dengan Keteraturan Berobat
di Puskesmas Purbaratu Kota Tasikmalaya”.
B. Rumusan Masalah
Apakah ada Hubungan antara Pengetahuan, Sikap dan Motivasi Pasien Tuberkulosis Paru
Dengan Keteraturan Berobat di Wilayah Kerja Puskesmas Purbaratu Kota Tasikmalaya.
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan umum
Diketahuinya hubungan antara pengetahuan, sikap dan motivasi pasien tuberkulosis paru
dengan keteraturan berobat di wilayah kerja Puskesmas Purbaratu Kota Tasikmalaya.
2. Tujuan khusus
a. Mengidentifikasi hubungan pengetahuan dengan keteraturan berobat pasien TB paru di
Puskesmas Purbaratu.
b. Mengidentifikasi hubungan sikap dengan keteraturan berobat pasien TB paru di
Puskesmas Purbaratu.
c. Mengidentifikasi hubungan motivasi dengan keteraturan berobat pasien TB paru di
Puskesmas Purbaratu.
D. Manfaat Penelitian
1. Bagi Puskesmas
Mendapatkan masukan tentang hubungan pengetahuan, sikap dan motivasi pasien Tb
paru dengan keteraturan berobat, berupa saran dan harapan yang luas untuk dijadikan
masukan bagi peningkatan dan pengobatan di Puskesmas Purbaratu kota Tasikmalaya.
2. Bagi STIKes Muhammadiyah Tasikmalaya
Hasil penelitian ini dapat menambah informasi, khususnya mengenai keteraturan berobat
TB paru dan menjadikan acuan penelitian selanjutnya.
3. Bagi peneliti
Hasil penelitian ini dapat berguna bagi peneliti untuk mendapatkan pengalaman dan
mengetahui hubungan pengetahuan, sikap dan motivasi pasien Tb paru tentang
keteraturan berobat.
4. Bagi peneliti selanjutnya
Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai landasan untuk meneliti aspek lain tentang
keteraturan berobat pada pasien TB paru.
5. Bagi profesi keperawatan
Hasil penelitian ini dapat menambah informasi khususnya mengenai Tb paru tentang
pentingnya pengetahuan, sikap dan motivasi pasien Tb paru tentang keteraturan berobat.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengetahuan
Adalah hasil penginderaan manusia atau hasil tahu seseorang terhadap objek melalui
indera yang dimilikinya (mata, hidung, telinga, dan sebagainya). Dengan sendirinya, pada
waktu penginderaan sampai menghasilkan pengetahuan tersebut sangat dipengaruhi oleh
intensitas perhatian dan persepsi terhadap objek. Sebagian besar pengetahuan seseorang
diperoleh melalui indera pendengaran (telinga) dan indera penglihatan (mata).
Pengetahuan seseorang terhadap objek mempunyai intensitas atau tingkat yang berbeda-
beda secara garis besarnya dibagi dalam tingkatan pengetahuan yaitu:
1. Tahu (Know)
Diartikan hanya sebagai recail (memanggil) memori yang telah ada sebelumnya setelah
mengamati sesuatu.
2. Memahami (Comprehension)
Memahami suatu objek bukan sekedar tahu terhadap objek tersebut. Tidak sekedar dapat
menyebutkan, tetapi orang tersebut harus dapat menginterprestasikan secara benar
tentang objek yang diketahui tersebut.
3. Aplikasi (Application)
Aplikasi diartikan apabila orang yang telah memahami objek yang dimaksud dapat
menggunakan atau mengaplikasikan prinsip yang diketahui tersebut pada situasi yang
lain.
4. Sintesis (Synthesis)
Sintesis menunjukkan suatu kemampuan seseorang untuk merangkum atau meletakkan
dalam satu hubungan yang logis dari komponen-komponen pengetahuan yang dimiliki.
5. Analisis (Analysis)
Analisis adalah kemampuan seseorang untuk menjabarkan dan atau memisahkan,
kemudian mencari hubungan antara komponen-komponen yang terdapat dalam suatu
masalah atau objek yang diketahui.
6. Evaluasi (Evaluation)
Evaluasi berkaitan dengan kemampuan seseorang untuk melakukan justifikasi atau
penilaian terhadap suatu objek tertentu (Notoatmodjo, 2007).
B. Sikap
Sikap adalah respon tertutup seseorang terhadap stimulus atau objek tertentu yang sudah
melibatkan faktor pendapat dan emosi yang bersangkutan (senang-tidak senang, setuju-
tidak setuju, baik-tidak baik, dan sebagainya) (Notoatmodjo, 2005).
D. Tuberkulosis Paru
1. Pengertian dan Penyebab TBC
a. Pengertian
Tuberkulosis paru adalah penyakit infeksi yang menyerang parenkim paru-paru yang
disebabkan oleh mycobacterium tuberculosis. Penyakit ini dapat juga menyebar ke
bagian tubuh lain seperti meningen, ginjal, tulang, dan nodus limfe (Somantri, 2008).
Pada hampir semua kasus, infeksi tuberkulosis didapat melalui inhalasi partikel kuman
yang cukup kecil (sekitar 1-5 mm). droplet dikeluarkan selama batuk, tertawa, atau
bersin. Nukleus yang terinfeksi kemudian terhirup oleh individu yang rentan (hospes).
Sebelum infeksi pulmonari dapat terjadi, organisme yang terhirup terlebih dahulu harus
melawan mekanisme pertahanan paru dan masuk jaringan paru (Asih, 2003).
b. Penyebab
Mycobacterium tuberculosis merupakan jenis kuman berbentuk batang berukuran
panjang 1-4 mm dengan tebal 0,3-0,6 mm. Sebagian besar komponen mycobacterium
tuberculosis adalah berupa lemak/lipid sehingga kuman mampu tahan terhadap asam
serta sangat tahan terhadap zat kimia dan faktor fisik. Mikroorganisme ini adalah bersifat
aerob yakni menyukai daerah yang banyak oksigen. Oleh karena itu, mycobacterium
tuberculosis senang tinggal di daerah apeks paru-paru yang kandungan oksigennya tinggi.
Daerah tersebut menjadi tempat yang kondusif untuk penyakit tuberkulosis (Somantri,
2008).
2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Tuberkulosis
Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian tuberkulosis diantaranya:
a. Faktor ekonomi, keadaan sosial yang rendah pada umumnya berkaitan erat dengan
berbagai masalah kesehatan karena ketidakmampuan dalam mengatasi masalah
kesehatan. Masalah kemiskinan akan sangat mengurangi kemampuan masyarakat untuk
memenuhi kebutuhan gizi, pemukiman dan lingkungan sehat, jelas semua ini akan mudah
menumbuhkan penyakit tuberkulosis.
b. Status gizi, ini merupakan faktor yang penting dalam timbulnya penyakit tuberkulosis.
Berdasarkan hasil penelitian kejadian tuberkulosis menunjukakan bahwa penyakit yang
bergizi normal ditemukan kasus lebih kecil daripada status gizi kurang dan buruk.
c. Status pendidikan, latar belakang pendidikan mempengaruhi penyebaran penyakit
menular khususnya tuberkulosis. Berdasarkan hasil penelitian mengatakan semakin
rendah latar belakang pendidikan kecenderungan terjadi kasus tuberkulosis, hal ini faktor
terpenting dari kejadian TBC.
Sedangkan menurut Departemen Kesehatan, TBC dapat dipengaruhi oleh:
a. Status sosial ekonomi
b. Kepadatan penduduk
c. Status gizi
d. Pendidikan
e. Pengetahuan
f. Jarak tempuh dengan pusat pelayanan kesehatan
g. Keteraturan berobat.
(Taufan, 2008)
3. Cara Penularan
Sumber penularan adalah pasien tuberkulosis Basil Tahan Asam (TBC BTA) positif.
Pada waktu batuk atau bersin, pasien menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk
percikan dahak (droplet nuclei). Sekali batuk dapat menghasilkan sekitar 3000 percikan
dahak. Umumnya penularan terjadi dalam ruangan dimana percikan dahak berada dalam
waktu yang lama. Ventilasi dapat mengurangi jumlah percikan, sementara sinar matahari
langsung dapat membunuh kuman. Percikan dapat bertahan selama beberapa jama dalam
keadaan yang gelap dan lembab.
Daya penularan seorang pasien ditentukan oleh banyaknya kuman yang dikeluarkan dari
parunya. Makin tinggi derajat kepositifan hasil pemeriksaan dahak, makin menular pasien
tersebut. Faktor yang memungkinkan seseorang terpajan kuman tuberkulosis ditentukan
oleh konsentrasi percikan dalam udara dan lamanya menghirup udara tersebut (Depkes
RI, 2007).
4. Resiko Penularan TBC
Resiko tertular tergantung dari tingkat pajanan dengan percikan dahak. Pasien TB paru
dengan BTA positif memberikan kemungkinan resiko penularan lebih besar dari pasien
TB paru dengan BTA negatif. Resiko penularan setiap tahunnya ditunjukkan dengan
Annual Risk of Tuberculosis Infection (ARTI) yaitu proporsi penduduk yang beresiko
terinfeksi TBC selama satu tahun. ARTI sebesar 1%, berarti 10 (sepuluh) orang diantara
1000 penduduk terinfeksi setiap tahun. Infeksi TB dibuktikan dengan perubahan reaksi
tuberkulin negatif menjadi positif (Depkes RI., 2007).
d. Nyeri dada
Nyeri dada pada tuberkulosis paru termasuk nyeri pleuritik yang ringan. Bila nyeri
bertambah berat berarti telah terjadi pleuritis luas (nyeri dikeluhkan di daerah aksila, di
ujung skapula atau di tempat-tempat lain).
e. Wheezing
Wheezing terjadi karena penyempitan lumen endobronkus yang disebabkan oleh sekret,
bronkostenosis, peradangan, jaringan granula, ulserasi dan lain-lain (pada tuberkulosis
lanjut).
f. Dispneu
Dispneu merupakan late symptom dari proses lanjut tuberkulosis paru akibat adanya
restriksi dan obstruksi saluran pernapasan serta loss of vascular bed / thrombosis yang
dapat mengakibatkan gangguan difusi, hipertensi pulmonal dan korpulmonal.
Gejala-gejala umum:
a. Panas badan
Merupakan gejala paling sering dijumpai dan paling penting sering kali panas badan
sedikit meningkat pada siang maupun sore hari.
b. Menggigil
Dapat terjadi bila panas badan naik dengan cepat, tetapi tidak diikuti pengeluaran panas
dengan kecepatan yang sama atau dapat terjadi sebagai suatu reaksi umum yang lebih
hebat.
c. Keringat malam
Keringat malam bukanlah gejala yang patognomonis untuk penyakit tuberkulosis paru.
Keringat malam umumnya baru timbul bila proses telah lanjut, kecuali pada orang-orang
dengan vasomotor labil, keringat malam dapat timbul lebih dini. Nausea, takikardi dan
sakit kepala timbul bila ada panas.
d. Gangguan menstruasi
Gangguan menstruasi sering terjadi bila proses tuberkulosis paru sudah menjadi lanjut.
e. Anoreksia
Anoreksia dan penurunan berat badan merupakan manifestasi toksemia yang timbul
belakangan dan lebih sering dikeluhkan bila proses progresif.
f. Lemah badan
Gejala-gejala ini dapat disebabkan oleh kerja berlebihan, kurang tidur dan keadaan
sehari-hari yang kurang menyenangkan, karena itu harus dianalisa dengan baik dan harus
lebih berhati-hati apabila dijumpai perubahan sikap dan temperamen (misalnya penderita
yang mudah tersinggung), perhatian penderita berkurang atau menurun pada pekerjaan,
anak yang tidak suka bermain, atau penyakit yang kelihatan neurotik.
Gejala umum ini, seringkali baru disadari oleh penderita setelah ia memperoleh terapi
dan saat ini masih lebih baik dari sebelumnya (Retrospective Symptomatology)
(Alsagaff, 2005).
2. Penemuan Pasien TBC
Kegiatan penemuan pasien terdiri dari penjaringan suspek, diagnosis, penentuan
klasifikasi penyakit dan tipe pasien. Penemuan pasien merupakan langkah pertama dalam
kegiatan program penanggulangan TB. Penemuan dan penyembuhan pasien TB menular,
secara bermakna akan dapat menurunkan kesakitan dan kematian akibat TB, penularan
TB di masyarakat dan sekaligus merupakan kegiatan pencegahan penularan TB yang
paling efektif di masyarakat.
Adapun strategi penemuan pada tuberkulosis adalah:
a. Penemuan pasien TB dilakukan secara pasif dengan promosi aktif. Penjaringan
tersangka pasien dilakukan di unit pelayanan kesehatan; didukung dengan penyuluhan
secara aktif, baik oleh petugas kesehatan maupun masyarakat, untuk meningkatkan
cakupan penemuan tersangka pasien TB.
b. Pemeriksaan terhadap kontak pasien TB, terutama mereka yang BTA positif dan pada
keluarga anak yang menderita TB yang menunjukkan gejala sama, harus diperiksa
dahaknya.
c. Penemuan secara aktif dari rumah ke rumah, dianggap tidak cost efektif.
(Depkes RI, 2007)
3. Diagnosis TBC
a. Diagnosis TB paru
1) Semua suspek TB diperiksa 3 spesimen dahak dalam waktu 2 hari, yaitu sewaktu pagi
sewaktu (SPS).
2) Diagnosis TB paru pada orang dewasa ditegakkan dengan ditemukannya kuman TB
(BTA). Pada program TB nasional, penemuan BTA melalui pemeriksaan dahak
mikroskopis merupakan diagnosis utama. Pemeriksaan lain seperti foto toraks, biakan
dan uji kepekaan dapat digunakan sebagai penunjang diagnosis sepanjang sesuai dengan
indikasinya.
3) Tidak dibenarkan mendiagnosis TB hanya berdasarkan pemeriksaan foto toraks saja.
Foto toraks tidak selalu memberikan gambaran yang khas pada TB paru, sehingga sering
terjadi overdiagnosis.
4) Gambaran kelainan radiologik paru tidak selalu menunjukkan aktifitas penyakit.
b. Diagnosis TB ekstra paru
1) Gejala dan keluhan tergantung organ yang terkena, misalnya kaku kuduk pada
meningitis TB, nyeri dada pada TB pleura (pleuritis), pembesaran kelenjar limfe
superfisialis pada limfadenitis TB dan deformitas tulang belakang (gibbus) pada
spondilitis TB dan lain-lainnya.
2) Diagnosis pasti sering sulit ditegakkan sedangkan diagnosis kerja dapat ditegakkan
berdasarkan gejala klinis TB yang kuat (presumtif) dengan menyingkirkan kemungkinan
penyakit lain. Ketepatan diagnosis tergantung pada metode pengambilan bahan
pemeriksaan dan ketersediaan alat-alat diagnostik, misalnya uji mikrobiologi, patologi,
anatomi, serologi, foto toraks dan lain-lain.
c. Indikasi pemeriksaan foto toraks
Pada sebagian besar TB paru, diagnosis terutama ditegakkan dengan pemeriksaan dahak
secara mikroskopis dan tidak memerlukan foto toraks. Namun pada kondisi tertentu
pemeriksaan foto toraks perlu dilakukan sesuai dengan indikasi sebagai berikut:
1) Hanya 1 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif. Pada kasus ini pemeriksaan
foto toraks dada diperlukan untuk mendukung diagnosis TB paru BTA positif.
2) Ketiga spesimen dahak hasilnya tetap negatif setelah 3 spesimen dahak SPS pada
pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negatif dan tidak ada perbaikan setelah
pemberian antibiotika non OAT.
3) Pasien tersebut diduga mengalami komplikasi sesak nafas berat yang memerlukan
penanganan khusus (seperti: pneumotorak, pleuritis eksudativa, efusi perikarditis atau
efusi pleural) dan pasien yang mengalami hemoptisis berat (untuk menyingkirkan
bronkiektasis atau aspergiloma) (Depkes RI., 2007).
F. Klasifikasi Penyakit dan Tipe Pasien
Penentuan klasifikasi penyakit dan tipe pasien tuberkulosis memerlukan suatu “definisi
kasus” yang meliputi empat hal, yaitu:
1) Lokasi atau organ tubuh yang sakit: paru atau ekstra paru.
2) Bakteriologi (hasil pemeriksaan dahak secara mikroskopis): BTA positif atau BTA
negatif.
3) Tingkat keparahan penyakit: ringan atau berat.
4) Riwayat pengobatan TB sebelumnya: baru atau sudah pernah diobati.
1. Klasifikasi Berdasarkan Organ Tubuh yang Terkena
a. Tuberkulosis paru
Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan (parenkim) paru, tidak
termasuk pleura (selaput paru) dan kelenjar pada hilus.
b. Tuberkulosis ekstra paru
Tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain selain paru, misalnya pleura, selaput otak,
selaput jantung (pericardium), kelenjar lymfe, tulang, persendian, kulit, usus, ginjal,
saluran kencing, alat kelamin, dan lain-lain.
2. Klasifikasi Berdasarkan Hasil Pemeriksaan Dahak Mikroskopis
a. Tuberkulosis paru BTA positif
1) Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif.
2) 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan foto toraks dada menunjukkan
gambaran tuberkulosis.
3) 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan biakan kuman TB positif.
4) 1 atau lebih spesimen dahak hasilnya positif setelah 3 spesimen dahak SPS pada
pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negatif dan tidak ada perbaikan setelah
pemberian antibiotika non OAT.
b. Tuberkulosis paru BTA negatif
Kasus yang tidak memenuhi definisi pada TB paru dan BTA positif. Kriteria diagnostik
TB paru BTA negatif harus meliputi:
1) Paling tidak 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA negtif.
2) Foto toraks abnormal menunjukkan gambaran tuberkulosis.
3) Tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT.
4) Ditentukan (dipertimbangkan) oleh dokter untuk diberi pengobatan.
3. Klasifikasi Berdasarkan Tingkat Keparahan Penyakit
a. TB paru BTA negatif foto toraks positif, dibagi berdasarkan tingkat keparahan
penyakitnya, yaitu bentuk berat dan ringan. Bentuk berat bila gambaran foto toraks
memperlihatkan gambaran kerusakan paru yang luas (misalnya proses “far advanced),
dan atau keadaan umum pasien buruk.
b. TB ekstra paru, dibagi berdasarkan pada tingkat keparahan penyakitnya, yaitu:
1) TB ekstra-paru ringan, misalnya: TB kelenjar limfe, pleuritis eksudativa unilateral,
tulang (kecuali tulang belakang), sendi, dan kelenjar adrenal.
2) TB ekstra-paru berat, misalnya: meningitis, milier, perikarditis, peritonitis, pleuritis
eksudativa bilateral, TB tulang belakang, TB usus, TB saluran kemih dan alat kelamin.
4. Klasifikasi Berdasarkan Riwayat Pengobatan Sebelumnya
Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya dibagi menjadi beberapa tipe
pasien, yaitu:
a. Kasus baru
Adalah pasien yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah pernah menelan OAT
kurang dari satu bulan (4 minggu).
b. Kasus kambuh (Relaps)
Adalah pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan tuberkulosis
dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap, didiagnosis kembali dengan BTA
positif (apusan atau kultur).
c. Kasus setelah putus berobat (Default)
Adalah pasien yang telah berobat dan putus berobat 2 bulan atau lebih dengan BTA
positif.
d. Kasus setelah gagal (Failure)
Adalah pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali menjadi
positif pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan.
e. Kasus pindahan (Transfer In)
Adalah pasien yang dipindahkan dari UPK yang memiliki register TB lain untuk
melanjutkan pengobatannya.
f. Kasus lain
Adalah semua kasus yang tidak memenuhi ketentuan diatas. Dalam kelompok ini
termasuk kasus kronik, yaitu pasien dengan hasil pemeriksaan masih BTA positif setelah
selesai pengobatan ulangan.
(Depkes RI., 2007)
G. Pengobatan TB
1. Tujuan Pengobatan
Pengobatan TB bertujuan untuk menyembuhkan pasien, mencegah kematian, mencegah
kekambuhan, memutuskan rantai penularan dan mencegah terjadinya resistensi kuman
terhadap OAT (Obat Anti Tuberkulosis) (Depkes RI, 2007).
2. Jenis, Sifat, dan Dosis OAT
Tabel 2.1
Jenis, Sifat, dan Dosis OAT
Jenis OAT Sifat Dosis yang direkomendasikan
Harian 3 x seminggu
Isoniazid (H) Bakterisid 5
(4-6) 10
(18-20)
Rifampicin (R) Bakterisid 10
(8-12) 10
(8-12)
Pyrazinamide (Z) Bakterisid 25
(20-30) 35
(30-40)
b. Kategori 2 : 2HRZES/HRZE/5H3R3E3
Tahap intensif diberikan selama 3 bulan, yang terdiri dari 2 bulan dengan Isoniasid (H),
Rifampisin (R), Pirasinamid (Z) dan Etambutol (E) dan suntikan streptomisin setiap hari
di UPK. Dilanjutkan 1 bulan dengan Isoniasid (H), Rifampisin (R), Pirasinamid (Z) dan
Etambutol (E) setiap hari. Setelah itu diteruskan dengan tahap lanjutan selama 5 bulan
dengan HRE yang diberikan tiga kali dalam seminggu. Perlu diperhatikan bahwa
suntikan streptomisin diberikan setelah penderita selesai menelan obat.
Obat ini diberikan untuk:
1) Penderita kambuh (relaps)
2) Penderita gagal (failure)
3) Penderita dengan pengobatan setelah lalai (after default).
c. Kategori 3 : 2HRZ/4H3R3
Tahap intensif terdiri dari HRZ diberikan setiap hari selama 2 bulan (2HRZ), diteruskan
dengan tahap lanjutan terdiri dari HR selama 4 bulan diberikan 3 kali seminggu (4H3R3).
Obat ini diberikan untuk:
1) Penderita baru BTA positif dan rontgen positif sakit ringan
2) Penderita ekstra paru ringan, yaitu TBC kelenjar limfe (limfadenitis), pleuritis
eksudativa unilateral, TBC kulit, TBC tulang (kecuali tulang belakang), sendi dan
kelenjar adrenal.
Tabel 2.2
Efek samping ringan OAT
Efek Samping Penyebab Penatalaksanaan
Tidak ada nafsu makan, mual, sakit perut Rifampisin Semua OAT diminum malam
sebelum tidur
Nyeri sendi Pirasinamid Beri aspirin
Kesemutan s/d rasa terbakar di kaki INH Beri vitamin B6 (piridoxin) 100 mg per hari
Warna kemerahan pada air seni (urine) Rifampisin Tidak perlu diberi apa-apa tapi perlu
dijelaskan kepada pasien.
Tabel 2.3
Efek samping berat OAT
Penatalaksanaan pasien dengan efek samping “gatal dan kemerahan kulit”: jika seorang
pasien dalam pengobatan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) mulai mengeluh gatal-gatal,
singkirkan dulu kemungkinan penyebab lain. Berikan dulu anti-histamin, sambil
meneruskan OAT dengan pengawasan ketat. Gatal-gatal tersebut pada sebagian pasien
hilang, namun pada sebagian pasien malahan terjadi suatu kemerahan kulit tersebut
hilang. Jika gejala efek samping ini bertambah berat, pasien perlu dirujuk pada UPK
rujuan penanganan kasus-kasus efek samping obat dapat dilakukan dengan cara sebagai
berikut:
a. Bila jenis obat penyebab efek samping itu belum diketahui, maka pemberian kembali
OAT harus dengan cara “drug challenging” dengan menggunakan obat lepas. Hal ini
dimaksudkan untuk menentukan obat mana yang merupakan penyebab dari efek samping
tersebut.
b. Efek samping hepatotoksisitas bisa terjadi karena reaksi hipersensitivitas atau karena
kelebihan dosis. Untuk membedakannya, semua OAT dihentikan dulu kemudian diberi
kembali sesuai dengan prinsip dechallenge-rechalenge. Bila dalam proses rechallenge
yang dimulai dengan dosis rendah sudah timbul reaksi, berarti hepatotoksisitas karena
reaksi hipersensitivitas.
c. Bila jenis obat penyebab dari reaksi efek samping telah diketahui, misalnya
pirasinamid atau etambutol atau streptomisin, maka pengobatan TB dapat diberikan lagi
dengan tanpa obat tersebut. Bila mungkin, ganti obat tersebut dengan obat lain. Lamanya
pengobatan mungkin perlu diperpanjang, tapi hal ini akan menurunkan resiko terjadinya
kambuh.
d. Kadang-kadang, pada pasien timbul reaksi hipersensitivitas (kepekaan) terhadap
Isonasid atau Rifampisin. Kedua obat ini merupakan jenis OAT yang paling ampuh
sehingga merupakan obat utama (paling penting) dalam pengobatan jangka pendek. Bila
pasien dengan reaksi hipersensitivitas terhadap Isonasid atau Rifampisin tersebut HIV
negatif, mungkin dapat dilakukan desensitisasi. Namun, jangan lakukan desensitisasi
pada pasien TB dengan HIV positif sebab mempunyai resiko besar terjadi keracunan
yang berat (Depkes RI, 2007).
7. PMO (Pengawasan Menelan Obat)
Salah satu komponen DOTS adalah pengobatan paduan OAT jangka pendek dengan
pengawasan langsung. Untuk menjamin keteraturan pengobatan diperlukan seorang
PMO.
a. Persyaratan PMO
1) Seseorang yang dikenal, dipercaya, dan disetujui, baik oleh petugas kesehatan maupun
pasien, selain itu harus disegani dan dihormati oleh pasien.
2) Seseorang yang tinggal dekat dengan pasien.
3) Bersedia membantu pasien dengan sukarela.
4) Bersedia dilatih dan atau mendapat penyuluhan bersama-sama dengan pasien.
b. Siapa yang bisa jadi PMO
Sebaiknya PMO adalah petugas kesehatan, misalnya bidan di desa, perawat, pekarya,
sanitarian, juru imunisasi, dan lain-lain. Bila tidak ada petugas kesehatan yang
memungkinkan, PMO dapat berasal dari kader kesehatan, guru, anggota PPTI, PKK, atau
tokoh masyarakat lainnya atau anggota keluarga.
c. Tugas seorang PMO
1) Mengawasi pasien TB agar menelan obat secara teratur sampai selesai pengobatan.
2) Memberi dorongan kepada pasien agar mau berobat teratur.
3) Mengingkatkan pasien untuk periksa ulang dahak pada waktu yang telah ditentukan.
4) Memberi penyuluhan pada anggota keluarga pasien TB yang mempunyai gejala-gejala
mencurigakan TB untuk segera memeriksakan diri ke Unit Pelayanan Kesehatan. Tugas
seorang PMO bukanlah untuk mengganti kewajiban pasien mengambil obat dari unit
pelayanan kesehatan.
d. Informasi penting yang perlu dipahami PMO untuk disampaikan kepada pasien dan
keluarganya:
1) TB disebabkan kuman, bukan penyakit keturunan atau kutukan.
2) TB dapat disembuhkan dengan berobat teratur.
3) Cara penularan TB, gejala-gejala yang mencurigakan dan cara pencegahannya.
4) Cara pemberian pengobatan pasien (tahap intensif dan lanjutan).
5) Pentingnya pengawasan supaya pasien berobat secara teratur.
6) Kemungkinan terjadinya efek samping obat dan perlunya segera meminta pertolongan
ke UPK.
(Depkes RI., 2007)
J. Kerangka Penelitian
Berdasarkan latar belakang masalah dan tujuan penelitian ini, maka kerangka penelitian
ini adalah:
Keterangan:
= Variabel yang diteliti
= Variabel yang tidak diteliti
K. Hipotesa
1. Ha: Ada hubungan antara pengetahuan pasien tentang TB paru dengan keteraturan
berobat.
2. Ha: Ada hubungan antara sikap untuk melakukan pengobatan dengan keteraturan
berobat pasien TB paru.
3. Ha: Ada hubungan antara motivasi untuk melakukan pengobatan dengan keteraturan
berobat pasien TB paru.
L. Definisi Operasional
Tabel 2.4 Definisi Operasional
No Variabel Definisi Operasional Skala Alat Ukur Hasil Ukur
1 Pengetahuan Pengetahuan adalah hal-hal yang diketahui pasien seputar penyakit TB
paru.
Ordinal Kuesioner Kurang dari mean yaitu nilai skor kurang dari rata-rata
Lebih dari mean yaitu nilai skor lebih dari rata-rata
2 Sikap untuk melakukan pengobatan Sikap untuk melakukan pengobatan adalah
pendapat atau keyakinan untuk melakukan pengobatan secara teratur. Ordinal Kuesioner
Bersifat positif: SS=5, S=4, R=3, TS=2, STS=1
Bersifat negatif: SS=1, S=2,R=3,TS=4,STS=5
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang dilakukan adalah penelitian deskriptif korelasi dengan
menggunakan metode survei dengan pendekatan cross sectional adalah pencarian
hubungan antara satu keadaan lain yang terdapat dalam satu populasi yang sama (Azwar,
2003). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan pengetahuan, sikap dan
motivasi pasien Tb paru untuk melakukan pengobatan dengan keteraturan berobat setelah
pengobatan kategori I di Wilayah Kerja Puskesmas Purbaratu Kota Tasikmalaya.
D. Variabel Penelitian
Variabel penelitian adalah suatu atribut, sifat atau nilai dari orang, objek, kegiatan yang
mempunyai variasi tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian
ditarik kesimpulan (Sugiyono, 2006).
1. Variabel Bebas
Variabel bebas adalah merupakan variabel yang mempengaruhi atau yang menjadi sebab
perubahan atau timbulnya variabel terikat (Sugiyono, 2006).
Variabel bebas yang diteliti terdiri dari:
a. Pengetahuan tentang TB paru.
b. Sikap untuk melakukan pengobatan.
c. Motivasi untuk berobat teratur.
2. Variabel Terikat
Variabel terikat adalah variabel yang dipengaruhi atau yang menjadi akibat karena
adanya variabel bebas (Sugiyono, 2006).
Variabel terikat dalam penelitian ini adalah keteraturan pasien TB paru di Puskesmas
Purbaratu Kota Tasikmalaya.
E. Lokasi dan Waktu penelitian
Lokasi penelitian ini di wilayah kerja Puskesmas Purbaratu Kota Tasikmalaya yang
dilaksanakan pada bulan September 2008
G. Instrumen Penelitian
Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuesioner yang berbentuk
pertanyaan dan pernyataan tertutup, data dikumpulkan langsung oleh peneliti dengan cara
kunjungan ke rumah responden.
Keterangan:
rxy = Koefisien korelasi variabel X dan variabel Y
n = Banyaknya subjek
X = Skor jawaban masing-masing item
Y = Skor total
2. Uji Reliabilitas
Reliabilitas adalah tingkat konsistensi hasil yang dicapai oleh sebuah alat ukur, meskipun
digunakan secara berulang-ulang pada subjek yang sama atau berbeda (Danim, 2003).
Sebuah alat evaluasi dipandang reliabel (tahan uji), apabila memiliki konsistensi,
keajegan hasil. Uji reliabilitas digunakan hanya untuk menguji item valid saja. Pada
penelitian ini uji reliabilitas menggunakan rumus Alpha sebagai berikut:
Keterangan:
r11 = reliabilitas instrumen
k = banyaknya butir pertanyaan atau banyaknya soal
= Jumlah varian butir
= Varian total
Dalam penelitian ini digunakan uji validitas dan reliabilitas dengan menggunaknan
program SPSS for window. Langkah-langkah yang dilakukan untuk menguji validitas
dan reliabilitas dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Menentukan nilai r tabel
b. Dari r tabel Product moment dengan tingkat signifikan 5% didapat angka 0,444
c. Mencari r hasil
Disini r hasil tiap item bisa dilihat pada kolom correted item total correlation.
d. Mengambil keputusan
Dasar mengambil keputusan:
1) Jika r hasil positif, serta r hasil > r tabel butir tersebut valid.
2) Jika r hasil negatif, serta r hasil < r tabel maka butir tersebut tidak valid.
3) Jadi, jika r hasil > r tabel tapi berharga negatif butir tetap ditolak.
Keputusan : Dalam uji validitas ini terlihat dari 75 item pertanyaan semuanya valid.
Dimana variabel pengetahuan didapatkan nilai alpha (r hasil) sebesar 0,9301 > 0,444 (r
tabel), variabel sikap didapatkan nilai alpha (r hasil) sebesar 0,9429 > 0,444 (r tabel), dan
variabel motivasi didapatkan nilai alpha 0,8781 > 0,444 (r tabel), maka dalam hal ini
dapat disimpulkan bahwa kuesioner sudah reliabel.
a. Editing
Editing adalah menyeleksi data yang telah didapat dari hasil wawancara untuk
mendapatkan data yang akurat.
b. Koding
Koding adalah melakukan pengkodean data agar tidak terjadi kekeliruan dalam
melakukan tabulasi data.
1) Koding butir jawaban untuk pengetahuan dengan menggunakan penilaian :
Nilai 1 untuk jawaban yang benar dan
Nilai 0 untuk jawaban yang salah
2) Koding butir untuk jawaban pertanyaan sikap (skala likert)
Bersikap positif : (SS=5, S=4, R=3, TS=2, STS=1)
Bersikap negatif : (SS=1, S=2, R=3, TS=4, STS=5)
3) Koding butir untuk jawaban untuk motivasi menggunakan penilaian
Nilai 1 untuk jawaban ya dan
Nilai 0 untuk jawaban tidak
c. Tabulasi data
Tabulasi data adalah penyusunan data sedemikian rupa sehingga memudahkan dalam
penjumlahan data dan disajikan dalam bentuk tulisan.
d. Entri data
Entri data adalah memasukan data melalui pengolahan komputer.
2. Analisa Data
Analisa data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara:
a. Analisa Univariat
Dilakukan untuk mendiskripsikan tiap variabel independent dan variabel dependent
dalam bentuk distribusi frekuensi.
1) Pengetahuan tentang penyakit TB paru
Untuk mengukur variabel pengetahuan tentang penyakit TB paru dari jawaban responden
masing-masing item pertanyaan diberi skor. Untuk setiap item yang dijawab benar diberi
nilai satu (1), dan jika salah satu jawaban tidak diisi diberi nilai nol (0). Kemudian skor
pada setiap pertanyaan yang terdiri dari 30 pernyataan dijumlahkan sehingga didapatkan
skor total dari setiap responden. Sebelum membuat kategori terlebih dahulu dicari nilai
rata-rata (cut of point) dengan rumus :
Skor total jawaban
Mean =
Banyaknya responden
Setelah diperoleh hasil dengan cara penghitungan seperti diatas kemudian nilai tersebut
dimasukan kedalam kategori nilai sebagai berikut:
Kategori: a) Kurang dari mean yaitu nilai skor kurang dari rata-rata
b) Lebih dari mean yaitu nilai skor lebih dari rata-rata
Keterangan :
X = Skor responden
= Mean skor kelompok
s = Deviasi standar skor kelompok
Kategori: a) Jika T > rata-rata skor-T = Bersikap positif (favorable)
b) Jika T < rata-rata skor-T = Besikap negatif (unfavorable)
3) Motivasi untuk melakukan pengobatan
Untuk mengukur variabel motivasi untuk melakukan pengobatan dari jawaban responden
masing-masing item pertanyaan diberi skor. Untuk setiap item yang dijawab ya diberi
nilai satu (1), dan jika salah satu jawaban tidak diberi nilai nol (0).
Kategori: : a) Kurang dari mean yaitu nilai skor kurang dari rata-rata
b) Lebih dari mean yaitu nilai skor lebih dari rata-rata
4) Keteraturan berobat pasien TB paru
Untuk mengukur variabel keteraturan berobat pasien TB paru, menggunakan data
sekunder dari Puskesmas dengan melilihat daftar dari hasil kunjungan pasien dalam
pengambilan obat setelah obat itu habis, yang diaktegorikan sebagai berikut:
Kategori: a) Teratur, jika penderita telah menyelesaikan pengobatannya secara lengkap.
b) Tidak teratur, jika penderita kadang-kadang berhenti minum obat sebelum masa
pengobatan selesai.
3. Analisa Bivariat
Dilakukan untuk mencari hubungan antara data variabel yaitu variabel bebas dan variabel
terikat yang dilakukan dengan uji chi-square yaitu uji statistik yang digunakan untuk
menguji signifikasi dua variabel (Arikunto, 2006).
Keterangan :
x2 = Chi kuadrat
f0 = Frekuensi observasi
fh = Frekuensi harapan
Pengambilan keputusan didasarkan pada besarnya nilai yaitu bila ? value ? 0,05 maka Ho
ditolak, artinya ada hubungan antara pengetahuan, sikap dan motivasi pasien tuberkulosis
paru untuk melakukan pengobatan dengan keteraturan berobat pada ? : 5%,
sedangkan bila ? value > 0,05% maka Ho diterima, artinya tidak ada hubungan antara
pengetahuan, sikap dan motivasi pasien tuberkulosis paru untuk melakukan pengobatan
dengan keteraturan berobat.
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Tabel 4.1
Data Geograpi Kelurahan di Wilayah Kerja Puskesmas Purbaratu
No
Nama Kelurahan Jumlah
Luas Wilayah Jarak dari Kelurahan (KM) Kepadatan Penduduk
RT RW
1 Sukamenak 43 10 134,495 0.5 39 Ha
2 Sukaasih 37 8 155,3 3 30 Ha
3 Sukanagara 42 14 206 1 34 Ha
4 Purbaratu 26 6 167,33 1 30 Ha
5 Sukajaya 29 6 80 4 62 Ha
6 Singkup 35 8 347,655 5 16 Ha
c. Strategi
Strategi untuk mewujudkan Misi Puskesmas Purbaratu adalah sebagai berikut :
1) Audensi ke Dinas Kesehatan untuk mendukung pendirian rawat inap dengan hasil SK
Wali Kota dan terbitnya Perda sebagai payung hukum
2) Sosialisasi ke tokoh masyarakat untuk mendukung perkembangan Puskesmas
Purbaratu dengan tempat perawatan
3) Sosialisasi pada kepala kelurahan untuk merangkul masyarakat supaya mau
menggunakan fasilitas Puskesmas sebagai pilihan pertama
3. Tenaga Puskesmas Purbaratu
Tabel 4.2
Tenaga Kerja Puskesmas Purbaratu
B. Gambaran Khusus
1. Analisa Univariat
a. Pengetahuan
Tabel 4.3
Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Pengetahuan tentang TB Paru di Wilayah
Kerja Puskesmas Purbaratu Kota Tasikmalaya
No Pengetahuan f %
1 Kurang dari 23,42 21 43,8
2 Lebih dari Mean 23,42 27 56,3
Jumlah 48 100
Tabel 4.3 menunjukan responden TB paru yang memiliki pengetahuan kurang dari 23,42
sebanyak 21 responden (43,8%) dan yang memiliki pengetahuan lebih dari 23,42
sebanyak 27 responden (56,3%).
b. Sikap
Tabel 4.4
Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Sikap tentang TB Paru di Wilayah Kerja
Puskesmas Purbaratu Kota Tasikmalaya
No Sikap f %
1 Negatif 22 45,8
2 Positif 26 54,2
Jumlah 48 100
Tabel 4.4 menunjukan responden TB paru yang memiliki sikap negatif sebanyak 22
responden (45,8%) dan bersikap positif sebanyak 26 responden (54,2%).
c. Motivasi
Tabel 4.5
Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Motivasi tentang TB Paru di Wilayah Kerja
Puskesmas Purbaratu Kota Tasikmalaya
No Motivasi f %
1 Kurang dari 8,81 19 39,6
2 Lebih dari 8,81 29 60,4
Jumlah 48 100
Tabel 4.5 menunjukan responden TB paru yang memiliki motivasi kurang dari 8,81
sebanyak 19 responden (39,6%) dan motivasi lebih dari 8,81 sebanyak 29 responden
(60,4%).
d. Keteraturan Berobat
Tabel 4.6
Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Keteraturan Berobat tentang TB Paru di
Wilayah Kerja Puskesmas Purbaratu Kota Tasikmalaya
No Keteraturan Berobat f %
1 Tidak Teratur 17 35,4
2 Teratur 31 64,6
Jumlah 48 100
Berdasarkan tabel 4.6 diketahui bahwa berdasarkan kategori keteraturan pasien
melakukan pengobatan sebanyak 17 responden (35,4%) termasuk kategori melakukan
pengobatan secara tidak teratur dan 31 responden (64,6%) termasuk kategori melakukan
pengobatan secara teratur. Keteraturan pasien Tb paru lihat dengan melakukan obeservasi
pada data yang ada di Puskesmas.
2. Analisa Bivariat
a. Hubungan antara pengetahuan dengan keteraturan berobat
Tabel 4.7
Hubungan Antara Pengetahuan dengan Keteraturan Berobat di Wilayah Kerja Puskesmas
Purbaratu Kota Tasikmalaya
2. Keterbatasan Penelitian
Penelitian ini mengunakan deskriptif korelasi dengan menggunakan metode survei
dengan pendekatan cross sectional dengan melihat pencarian hubungan antara satu
keadaan lain yang terdapat dalam satu populasi yang sama. Studi cross sectional sulit
untuk menentukan sebab dan akibat karena pengambilan data risiko dan efek dilakukan
pada saat bersamaan (temporal relationship tidak jelas). Akibatnya sering tidak mungkin
ditentukan mana yang sebab dan mana akibat. Studi prevalens lebih banyak menjaring
subyek yang mempunyai masa sakit yang panjang daripada mereka yang mempunyai
masa sakit yang pendek. Hal ini disebabkan karena individu yang cepat sembuh atau
yang cepat meninggal akan mepunyai kesempatan yang lebih kecil untuk terjaring dalam
studi ini. Bias yang terdapat dalam penelitian adalah mungkin terjadi bias prevalens atau
bias insidens karena efek suatu faktor risiko selama selang waktu tertentu ditafsirkan
sebagai efek penyakit (Setiadi,2007).
Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuesioner terstruktur. Data
diperoleh dengan melakukan wawancara terhadap responden berdasarkan panduan
kuesioner. Dalam hal ini data yang diperoleh lebih banyak berdasarkan subyektifitas
responden. Peneliti tidak mampu menjamin kebenaran atas jawaban yang diberikan oleh
responden.
Responden yang dijadikan sampel dalam penelitian ini hanya responden yang masih
berada diwilayah kerja Puskesmas Purbaratu Kota Tasikmalaya dan masih mampu
berkomunikasi untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan peneliti, jika ada
responden yang sudah tidak mampu, wawancara dilakukan terhadap keluarga dekat
responden.
Peneliti juga mempunyai keterbatasan dalam jumlah variabel yang diteliti. Masih ada
variabel-variabel independen yang mepunyai hubungan dengan variabel dependen dalam
penelitian ini yang tidak diteliti karena adanya keterbatasan biaya maupun tenaga.
BAB V
SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka dapat diambil kesimpulan sebagai
berikut :
1. Pengetahuan pasien TB paru tentang Keteraturan Berobat di Puskesmas Purbaratu
Kota Tasikmalaya.
Hasil penelitian didapatkan bahwa pengatahuan pasien TB paru di Puskesmas Purbaratu
yang mempunyai pengetahuan kurang dari 23,42 yaitu sebanyak 43,8% dan lebih dari
23,42 sebanyak 56,3%.
2. Sikap pasien Tb paru tentang Keteraturan Berobat di Puskesmas Purbaratu Kota
Tasikmalaya
Hasil penelitian didapatkan bahwa responden TB paru yang memiliki sikap negatif
(unfavorable) sebanyak 45,8% dan bersikap positif (favorable) sebanyak 54,2%,
3. Motivasi pasien TB paru untuk Berobat di Puskesmas Purbaratu Kota Tasikmalaya
Hasil penelitian didapatkan bahwa responden TB paru yang memiliki motivasi kurang
dari 8,81 yaitu sebanyak 39,6% dan lebih dari 8,81 sebanyak 60,4%.
4. Responden TB paru yang melakukan pengobatan sebanyak 35,4% termasuk kategori
yang tidak teratur dan teratur 64,6%.
5. Ada hubungan antara judul Hubungan Pengetahuan, Sikap dan Motivasi pasien TB
paru dengan Keteraturan Berobat di Wilayah Kerja Puskesmas Purbaratu Kota
Tasikmalaya.
B. Saran
1. Bagi Puskesmas
a. Melihat dari permasalahan dilapangan maka tidak menutup kemungkinan semakin hari
jumlah penderita TB paru akan semakin meningkat. Hal ini perlu dicegah jangan sampai
sampai terjadi peningkatan yang terus-menerus. Maka dari itu sangat perlu sekali
diberikan penjelasan, penyuluhan dan peningkatan penegetahuan masayarakat terutama
masalah yang dapat menyebabkan terjadinya TB paru sebagai upaya preventif dan kuratif
kepada masyarakat sehingga masyarakat termotivasi untuk melakukan pengobatan secara
teratur untuk mencegah timbulnya masalah resistensi terhadap obat.
b. Kemampuan petugas pemegang program TB paru di Puskesmas dalam memberikan
pelayanan pengobatan pada penderita TBC paru akan lebih baik bila mengetahui
pengetahuan penderita TBC paru. Penjelasan tentang pengobatan, adanya penyuluhan,
serta bahasa yang digunakan akan bermanfaat terhadap keberhasilan pengobatan pada
penderita TBC paru.
2. Bagi Institusi Pendidikan
a. Diharapkan dapat memberikan manfaat serta masukan bagi perencanaan upaya
pembinaan masyarakat khususnya tentang penegetahuan ,sikap dan motivasi yang
berhubungan dengan keteraturan berobat.
b. Tingginya angka kejadian TB paru di masyarakat maka perguruan tinggi sebaiknya
memperhatikan masyarakat sebagai wujud pengabdian masyarakat agar dapat
mengurangai angka kejadian TB paru.
3. Bagi Peneliti
Peneliti harus dapat memanfaatkan ilmu yang telah diterima selama menjalankan
penelitian ini serta dapat mengaplikasikannya dengan kenyataan di lapangan.
4. Bagi Peneliti Selanjutnya
Untuk menambah wawasan dan pengetahuan mengenai permasalahan TB paru dengan
keteraturan berobat dan dapat dijadikan sebagai acuan sumber data mengenai keteraturan
berobat pada pasien TB paru.
5. Bagi Profesi Perawat
Dalam menjalankan tugasnya sebagai perawat, maka perawat harus dapat meningkatkan
pengetahuannya mengenai TB paru serta melaksanakan program pendidikan yang
berkelanjutan untuk memberikan pelayanan yang prima serta memberikan arahan atau
penyuluhan untuk memberdayakan dan mendorong masyarakat untuk hidup sehat.
SKRIPSI
RANI SUSANTI
NIM: 105.2004.00044
Ainur. (2008). Kejadian Putus Berobat Penderita Tuberkulosis Paru dengan Pendekatan
DOTS. www//http: Libang.depkes.go.id (diakses 22 Maret 2008).
Alsagaf, H dan Mukty H.A., . (2005). Dasar-Dasar Ilmu Penyakit Paru. Surabaya:
Airlangga University Press
Asih, N.G, dan Efendi, C.,. (2003). Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: EGC
Azwar, A. dan Prihartono, J.,. (2003). Metodologi Penelitian Kedokteran dan Kesehatan
Masyarakat. Jakarta: Binnarupa Aksara
Notoatmodjo, Soekidjo. (2007). Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku. Jakarta: Rineka
Cipta
Notoatmodjo, Soekidjo. (2005). Promosi Kesehatan Teori dan Aplikasi. Jakarta: Rineka
Cipta
Smeltzer, S.C., dan Bare, B.G.,. (2001). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah
Brunner& Suddarth. Jakarta: EGC
LAMPIRAN
Tasikmalaya, 2008
Yang menyatakan
(………………….)
Kepada Yth
Calon Responden Penelitian
Di Tempat
Dengan Hormat,
Saya yang bertandatangan dibawah ini:
Nama : Rani Susanti
NIM : 105.2004.00044
Alamat : Jl. Bebedahan Kp.Sirnasari RT02/RW10 Tasikmalaya
Akan melakukan penelitian dengan judul “ Hubungan Pengetahuan, Sikap dan Motivasi
Pasien Tuberkulosis Paru Dengan Keteraturan Berobat di Wilayah Kerja Puskesmas
Purbaratu Kota Tasikmalaya”. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui gambaran tentang
pengetahuan, sikap dan motivasi dengan keteraturan berobat.
Untuk keperluan diatas saya mohon kesediaan Bapak/Ibu/Saudara untuk mengisi
kuesioner yang telah saya siapkan dengan sejujur-jujurnya. Saya menjamin kerahasian
pendapat dan identitas Bapak/Ibu/Saudara.
Sebagai bukti kesediaannya menjadi responden dalam penelitian ini, saya mohon
kesediaan Bapak/Ibu/Saudara sekalian untuk menandatangani lembar persetujuan yang
telah saya siapkan. Partisipasi Bapak/Ibu/Saudara dalam mengisi kuesioner ini sangat
saya hargai.
Atas perhatian responden, saya ucapkan terimakasih.
KUESIONER PENELITIAN
HUBUNGAN PENGETAHUAN, SIKAP DAN MOTIVASI PASIEN TUBERKULOSIS
PARU UNTUK MELAKUKAN PENGOBATAN
DENGAN KETERATURAN BEROBAT DI WILAYAH KERJA
PUSKESMAS PURBARATU KOTA TASIKMALAYA
A. Identitas Responden
1. Nama :
2. Alamat :
3. Umur :
4. Pekerjaan :
5. Pendidikan :
B. Pengetahuan
Mohon dijawab pada kolom yang tersedia dengan cara memberi tanda “?” pada kotak
disebelah kiri jawaban yang anda pilih.
1. Apakah anda tahu tentang TB paru
Ya
Tidak
2. Apakah anda tahu tanda-tanda penyakit TBC
Ya (Batuk lebih dari tiga minggu, dahak bercampur darah, badan lemah, nafsu makan
menurun, berat badan terus menurun, berkeringat dingin pada malam hari)
Tidak tahu
3. Menurut anda apa penyebab TB paru
Kuman/ basil
Tidak tahu
4. Apakah Anda tahu tindakan yang pertama kali dilakukan setelah diketahui gejala
penyakit TBC
Ya
Tidak tahu
5. Jika ya, tindakan yang anda lakukan adalah
Pergi ke Puskesmas
Pergi ke pelayanan kesehatan lain (praktek dokter swasta)
6. Menurut anda apa tujuan imunisasi BCG (Bacillus Calmette et Guerin)
Mencegah penyakit TB paru
Tidak tahu
C. Sikap
Pilihlah salah satu jawaban di bawah ini dengan membubuhkan tanda cek (?) pada kotak:
Sangat Setuju (SS), Setuju (S), Ragu-Ragu (R), Tidak Setuju (TS), Sangat Tidak Setuju
(STS).
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
D. Motivasi
Mohon dijawab pada kolom yang tersedia dengan cara memberi tanda “?” pada kotak
disebelah kiri jawaban yang anda pilih (jawaban boleh lebih dari satu).
username [Famy] dengan skripsi yang berjudul [“Hubungan Pengetahuan, Sikap dan
Motivasi Pasien Tuberkulosis Paru Dengan Keteraturan Berobat di Puskesmas Purbaratu
Kota Tasikmalaya”] jurusan skripsi [Ilmu Keperawatan]
• click link
• 5575 clicks
Untuk dapat merequest file lengkap yang dilampirkan pada setiap judul, anda harus
menjadi special member, klik Register untuk menjadi free member di Indoskripsi.
Semua Special Member dapat mendownload data yang ada di download area.
NB: Ada kemungkinan data yang diposting di website ini belum ada filenya, karena
dikirim oleh member biasa dan masih menunggu konfirmasi dari member yang
bersangkutan. Untuk memastikan data ada atau tidak silahkan login di download area.
Jika tertarik untuk memasang iklan di website ini, silahkan klik menu contact
Silahkan baca syarat dan ketentuannya
Main Menu
• Home
• Profil
• Contact
• Donate
• Terms and Conditions
• Report Abuse
Data Menu
• Skripsi
• Tugas Kuliah
• Artikel
• Search Data
User login
Username: *
Password: *
Log in
New Member
• iyusmidar@ymail.com
• panjirangga
• eko_pirwanto
• ekaarissuhartanto
• jimmyone
Posting Rules
Member indoskripsi tidak boleh mengirim / mengupload skripsi milik orang lain tanpa
izin.
Laporkan pada kami! Jika karya anda dipublikasikan/dikirim tanpa izin di sini.
More...
hubungan tingkat pengetahuan, sikap, praktik merokok
dengan kesehatan gigi dan mulut
• View
• clicks
• Ilmu Keperawatan
abstraks:
Correlation Between Smoking Practice With Dental and Mouth Healthy In Students of
Pembangunan Nasional “Veteran”Jakarta University in 2008
ABSTRACT
Students today are leaders tomorrow, so they must be the agent of change and also as an
agent of innovation. Unhappily, smoking prevalence in Indonesian peoples is high, on the
young generation particularly. A research in Jakarta showing that in adolescent group,
64,8 % male and 8,8 % female are smoker. Smoking can causes any problems in human
body for an example is problem on dental and mouth healthy. Farida Soetiarto’s research
result is about 55,8 % of caries incidents caused by smoking behave. This research aimed
to identify relation of smoking practice with dental and mouth healthy in students of
Pembangunan Nasional “Veteran”Jakarta University in 2007/2008. This research type is
analytic descriptive by using cross sectional design. We use probability sampling method
by area sampling technique to collect the samples. This research involving 385
respondent students of Pembangunan Nasional “Veteran”Jakarta University in
2007/2008. The research have done on March to June 2008. The research using
independent and dependent variable. Independent variables including: characteristic,
knowledge, smoking attitude, and smoking practice and the dependent variable is dental
and mouth healthy. The study results showing that there are significant correlations
between characteristic (age, gender, faculty type, sibling’s smoking behavior, peer
group’s behavior) with smoking practice, knowledge, smoking attitude showing
significant correlations with smoking practice. There is significant correlation between
smoking practice with dental and mouth healthy (p value < 0,05).This research result
expected useful as a consideration for the students especially to increase their
understanding about smoking bad effect on dental and mouth healthy and also trying to
reduces their habits.
PENDAHULUAN
Merokok dapat menyebabkan berbagai penyakit dalam tubuh, seperti kanker paru,
penyakit kardiovaskuler, risiko terjadinya neoplasma larynx, esophagus, kanker mulut,
dan sebagainya (Danusantoso, Halim; 1995).(1) Menurut International Agency for
Research on Cancer lebih dari 90% penderita kanker mulut adalah perokok(3) dan
merupakan faktor resiko terjadinya kanker pangkal tenggorokan, saluran mulut dan
esofagus(1,2,3,4,5,6) Hasil penelitian pada Oral Cancer in England and Wales (Binnie
dkk; 1972) menunjukkan jumlah kematian dari kanker mukosa sebesar 60%.(2 p 11-12)
Merokok sebagai salah satu faktor yang dapat menyebabkan berbagai efek pada rongga
mulut, seperti kanker mulut, efek terhadap bakteri pada mulut, kesehatan gigi, lidah, dan
gusi.(7) Penelitian yang dilakukan oleh Farida Soetiarto (1992),(14) Keller (1967),(19)
melaporkan adanya insiden sebesar 55,8% yang menunjukkan adanya kerusakan yang
spesifik pada gigi yang diakibatkan oleh kebiasaan merokok.
Mahasiswa saat ini adalah pemimpin di masa datang (students today are leaders
tomorrow), sehingga seharusnya mereka menjadi agen perubahan (agent of change), dan
agen pembaharuan (agent of innovation).(8,9) Dalam konteks kesehatan masyarakat,
mahasiswa juga harus dapat menjadi salah satu pendorong perubahan dari masyarakat
yang beresiko tinggi terkena penyakit akibat merokok menjadi berisiko rendah.
Sayangnya prevalensi merokok penduduk Indonesia relatif tinggi.(10) Dari penelitian
WHO bahwa di seluruh dunia sekitar sepertiga dari penduduk dewasa dunia yang
merokok.(4) Untuk kasus merokok di Indonesia, data dari Depkes menyebutkan bahwa
sebanyak 70% penduduk Indonesia merupakan perokok aktif.(11) Penelitian di Jakarta
menunjukkan bahwa pada remaja sebesar 64,8% pelajar pria dan 8,8% pelajar wanita di
Jakarta sudah merokok.(11,24p93) Herper Manalu (1993), menemukan sebanyak 32,9%
pemuda di DKI Jakarta sudah merokok. Chairunnisa (1999), melaporkan perokok
terbesar pada usia 15-19 tahun, yakni 53,2%.
Pengamatan peneliti di Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jakarta
memperlihatkan kondisi yang sangat memprihatinkan yaitu kampus dibiarkan menjadi
ajang promosi yang tidak sehat oleh industri tembakau melalui berbagai kegiatan
berkedok pertunjukan musik atau olahraga.(12) Tercatat hampir setiap kegiatan
mahasiswa tiap tahun selalu disponsori oleh rokok. Komnas PA mencatat ada 1350
kegiatan yang diselenggarakan atau disponsori industri rokok mulai dari kegiatan musik,
olah raga, film layar lebar hingga keagamaan. Tak hanya itu, peneliti sering kali melihat
“sales promotion girl” (SPG) dilibatkan dalam memasarkan rokok di kampus.(13) Selain
itu, adanya kemudahan dalam mengakses rokok di dalam kampus yang dapat
meningkatkan prevalensi mahasiswa yang merokok. Melihat prevalensi pemuda atau
mahasiswa perokok seperti tersebut di atas, maka kesehatan sumber daya manusia untuk
pembangunan akan menurun kualitasnya dan pada gilirannya akan mengganggu jalannya
pembangunan itu sendiri. Oleh karena itu upaya penanggulangan melalui pendidikan
kesehatan terhadap bahaya merokok agar diarahkan pada sasaran generasi muda.(56)
“Apakah mahasiswa UPN “Veteran” Jakarta seperti mahasiswa Indonesia yang
berperilaku sehat?, berapa banyakkah yang yang sudah seperti diharapkan dan berapa
banyak yang belum, dan adakah keterkaitan antara merokok dengan kesehatan gigi dan
mulut pada mahasiswa?” pertanyaan ini yang mendorong peneliti melakukan penelitian
atau pengamatan terhadap mahasiswa di kampus UPN “Veteran” Jakarta.
KERANGKA KONSEP
PENELITIAN
HASIL PENELITIAN
Analisis univariat
1.Karakteristik responden
Sebanyak 50,6% responden berumur ? 21 tahun, 64,7% responden berjenis kelamin laki-
laki, berdasarkan asal fakultas, sebanyak 68,1% dari fakultas non-kesehatan dan sebagian
besar (990,6%) pendidikan orang tua responden tergolong menengah ke atas.
2.Pengetahuan mengenai rokok
Sebanyak 60% responden yang berpengetahuan baik mengenai rokok dan bahaya pada
kesehatan.
3.Sikap mengenai merokok
Sebanyak 50,6% yang memiliki sikap positif, dalam artian tidak menyetujui praktik
merokok
4.Lingkungan yang mempengaruhi praktik merokok
Sebagian besar responden mempunyai teman yang merokok (93%), saudara (67,5%), dan
orang tua (54,8%).
5.Pengalaman melihat kematian karena rokok
Sebagian besar responden belum pernah melihat kematian karena rokok (75,1%)
6.Praktik merokok responden
Sebanyak 41,6% responden yang merokok, dengan 56,2% sudah merokok < 3 tahun yang
lalu, 68,1% yang mennghisap 1-10 batang rokok per hari, dan 88,8% responden yang
menghisap rokok tipe mild.
7.Kesehatan gigi dan mulut responden
Sebanyak 82,9% responden yang kesehatan gigi dan mulutnya kurang sehat. Berdasarkan
berbagai masalah kesehatan gigi dan mulut yang secara umum yaitu mengenai frekuensi
kejadian sakit gigi, karang gigi, gigi berlubang, bau mulut, dan perubahan warna gigi.
Analisis bivariat
Analisis bivariat
Derajat kemaknaan 95%
Hubungan antara umur dengan praktik merokok
PEMBAHASAN
Menurut Perry, dkk, 1998 dalam Smet 1994,(46) mengatakan jika seseorang sudah mulai
merokok pada saat remaja, maka secara bertahap dalam kurun waktu tertentu merokok
akan menjadi sebuah kebiasaan. Menurut Suhardi (1997),(54) dominannya perokok pada
laki-laki dan sedikitnya perokok pada perempuan dapat dikaitkan dengan kultur yang
kurang menerima perilaku perempuan yang merokok.
Faktor sosial yang berpengaruh terhadap perilaku merokok remaja adalah faktor keluarga
(orang tua, saudara), dan teman yang merokok. Menurut Wahc Robert, dkk (1982), salah
satu faktor yang menyebabkan seseorang yang bukan perokok menjadi seorang perokok
adalah perilaku teman sebaya. Menurut penelitian yang dilakukan Chassin, Presson,
Sherman, dan Edwards (1991); Murray, Swan, Johnson, dan Bewley (1983) dalam
Sarafino (1994), menunjukkan bahwa remaja merokok dipengaruhi oleh saudara kandung
yang merokok. Menurut DeGruy (2002); Santrock (2004) orang tua dan saudara kandung
yang perokok menjadi model bagi remaja untuk belajar merokok. Adanya model dan
dukungan inilah yang membuat remaja terdorong untuk merokok. selain faktor keluarga,
teman yang merokok cenderung meningkatkan perilaku merokok responden. Penelitian
yang dilakukan Antonuccio & Lichestein (1980); Biglan, dkk (1984) dalam Sarafino
(1994), menyatakan bahwa remaja biasanya merokok bersama orang lain terutama
bersama teman. Pengaruh kelompok sebaya terhadap perilaku berisiko kesehatan pada
remaja dapat terjadi melalui mekanisme peer sosialization, dengan arah pengaruh berasal
dari kelompok sebaya (Wills & Cleary). Hurlock (1991) yang dikutip dari Mu’tadin
mengatakan bahwa melalui hubungan dengan teman sebaya, remaja berpikir secara
mandiri, mengambil keputusan sendiri, menerima atau menolak pandangan dan nilai yang
berasal dari keluarga dan mempelajari pola perilaku yang diterima dari kelompoknya.
Pengetahuan dan sikap mengenai rokok dan dampaknya pada kesehatan juga
mempengaruhi praktik merokok responden. Pengetahuan yang kurang baik dan sikap
yang negatif cenderung membuat seseorang berperilaku merokok. Menurut Notoatmodjo
(1993), pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting untuk
terbentuknya tindakan seseorang. Menurut Teori Green (1980), salah satu pendorong
seseorang untuk berperilaku selain pengetahuan adalah sikapnya terdapat suatu objek.
David. O, Sears.(58)menyatakan bahwa sikap seseorang terhadap suatu objek ditentukan
oleh seseorang tersebut untuk berperilaku.
Praktik merokok ternyata memiliki hubungan yang bermakna terhadap kesehatan gigi dan
mulut responden (p = 0,000, OR = 4,382). Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil
percobaan yang dilakukan oleh Macgregor, I.D.M dan Edgar, W.M bahwa pada perokok
bertambah pembentukan plak, dan kalkulus. (dikutip dari Farida Soetiarto,1992).(14)
Kerusakan yang terjadi dapat diterangkan sebagai berikut:
Proses kimiawi yang terjadi yaitu prinsip kerusakan gigi adalah dekalsifikasi yaitu
kalsium keluar dari struktur gigi, dan bahan yang terdapat pada asap rokok kretek yang
tidak ada pada asap rokok putih adalah eugenol dan derivatnya yang berasal dari
cengkeh, selama orang merokok asap meliputi rongga mulut dan reaksi antara gigi
sebagai house dan agent berupa asap rokok kretek yang mengandung eugenol, dengan
jumlah yang dipengaruhi oleh faktor lama merokok kretek dalam tahun dan jumlah
batanng rokok kretek yang dihisap setiap hari. Landasan teoritis proses yang terjadi
mungkin adalah proses kelasi, sesuai teori Kelasi oleh Schatz dan Martin (1955), yang
masih perlu dibuktikan secara laboratorik.
Proses kelasi merupakan proses kimia yang tidak melibatkan bakteri rongga mulut.
Kalsium membentuk struktur heterosiklik ring dengan atom pengikat ion (ligands berupa
oksigen yang seperti dikatakan oleh Ernest Newburn). Oksigen tersebut ada pada gugus
OH dan OCH3 dari eugenol. Oleh karena proses kelasi berdasarkan pembentukan ring
struktur dengan ion kalsium maka email yang mengandung kalsium terbesar akan
terkelupas terlebih dahulu sampai habis, dimulai dari daerah leher gigi yang tipis lapisan
emailnya pada permukaan gigi yang letaknya relatif jauh dari muara kelenjar liur
diperberat oleh berkurangnya produksi kelenjar liur pada perokok akibat efek kronik
nikotin terhadap fungsi maupun morfologi kelenjar liur seperti yang dikatakan oleh
Maier, H, Born, A dan Mall, G (1988) sehingga menghambat proses remineralisasi yang
akan terjadi bila gigi mengalami dekalsifikasi.(14)
Akan tetapi, antara lama merokok, jumlah rokok yang dikonsumsi, dan jenis rokok
terlihat tidak adanya hubungan yang bermakna dengan kerusakan gigi dan mulut. berbeda
dengan penelitian Farida Soetiarto (1992),(14) Kerusakan gigi yang terbentuk tergantung
pada frekuensi merokok dan jumlah rokok yang dihisap setiap hari. Semakin lama
seseorang menghisap rokok kretek, semakin besar peluang menderita karies spesifik.
Mereka yang merokok lebih dari 18 batang per hari, lebih besar risikonya terkena karies
spesifik. Bukan hanya karena sudah lama mengkonsumsi rokok kretek saja yang
berpeluang terkena karies spesifik. Mereka yang belum terlalu lama merokok tetapi
menghabiskan jumlah rokok lebih banyak per harinya juga berpeluang besar menderita
karies tersebut. Menurut Farida (2003), kandungan eugenol dalam asap rokok akan
mengendap pada gigi bagian depan yang selama ini dianggap paling mudah dibersihkan.
Justru karena asap rokok selalu melewati bagian tersebut maka memungkinkan terjadinya
penumpukan eugenol pada gigi. Akibatnya, karies gigi spesifik akan lebih sering terlihat
pada gigi bagian depan. Tingkat kejadian karies spesifik karena euganol dalam asap
rokok kretek di Indonesia mencapai 57,7%.(59)
Studi laboratorik, asap rokok putih tidak mengandung eugenol seperti asap rokok kretek
dan eugenol murni menurunkan kekerasan mikro email dan dentil sesuai dosis, tetapi
rokok putih tidak mempengaruhinya. Asap rokok dapat mencapai dentino-enamel
junction melewati bagian organik gigi yang mengandung protein dan kolagen. Efek
kronis eugenol menyebabkan denaturasi protein dan kolagen (bagian organik) tersebut
sehingga kristal hidroksi apatid terurai tidak ada pengikatnya, gigi menjadi rapuh.
Disebutkan juga oksigen sangat berperan mengikat kristal hidroksi apatit agar tetap stabil,
sehingga tetap mempertahankan kekerasan email. Gambaran mikroskopis dengan SEM
(Scanning Electron Microskope), kerusakan tidak terjadi pada bagian kristal hidroksi
apatid (zat anorganik) seperti pada karies umumnya, tetapi kerusakan pada bagian
organik. Pemeriksaan dengan EDX (Electron Dispersion X-ray), menunjukan kadar
kalsium pada permukaan karies khas meningkat, sementara pada karies biasa terjadi
penurunan kalsium.(59)
Perbedaan hasil yang diperoleh dalam penelitian ini, mungkin karena penelitian ini hanya
menggunakan desain cross sectional yaitu hanya dengan melihat secara sekilas, sehingga
tidak bisa menentukan faktor resiko maupun outcomes yang sudah terjadi. Selain itu
dalam penelitian ini tidak dilakukan pemeriksaan gigi oleh tenaga medis dan berbagai
pemeriksaan penunjang. tidak bisa dilakukan analisis secara lebih spesifik, tidak
mengetahui derajat/kualitas kerusakan, serta tidak melakukan studi laboratorik
eksperimental untuk mempelajari proses kerusakan gigi in vitro.
DAFTAR PUSTAKA
• click link
• 3287 clicks
Untuk dapat merequest file lengkap yang dilampirkan pada setiap judul, anda harus
menjadi special member, klik Register untuk menjadi free member di Indoskripsi.
Semua Special Member dapat mendownload data yang ada di download area.
NB: Ada kemungkinan data yang diposting di website ini belum ada filenya, karena
dikirim oleh member biasa dan masih menunggu konfirmasi dari member yang
bersangkutan. Untuk memastikan data ada atau tidak silahkan login di download area.