You are on page 1of 5

Habitat makhluk hidup adalah tempat tinggal berbagai jenis organisme hidup melaksanakan

kehidupannya. Dalam ekosistem yang menjadi habitatnya dapat bermacam-macam, seperti perairan,
daratan, hutan atau sawah. Istilah habitat dapat berarti juga sebagai tempat tinggal atau tempat
menghuni seluruh populasi atau komunitas makhluk hidup dalam ekosistem. Bagi tumbuhan dan
makhluk hidup lainnya, sebagai habitat selain lokasi atau tempat yang bersifat fisik juga berbaga jenis
hubungan (asosiasi) yang terjadi dalam habitat tersebut. Pada umumnya tumbuhan dan makhluk hidup
lainnya mempunyai preferensi ekologi (persyaratan faktor ekologi yang dibutuhkan untuk hidupnya
yang sesuai) tertentu. Misalnya tumbuhan mangrove mempunyai preferensi ekologi habitat rawa payau
di tepi pantai yang berlumpur dengan salinitas bervariasi sesuai dengan frekuensi, kedalaman dan
lumpur, dan ketahanan jenis mangrove terhadap arus dan ombak (Anonim, ).

Berbagai jenis tumbuhan mempunyai habitat yang berbeda-beda, serupa atau sama sesuai
dengan preferensi ekologinya. Berdasarkan kondisi habitatnya dikenal 2 tipe habitat, yaitu habitat mikro
dan habitat makro. Habitat makro merupakan habitat bersifat global dengan kondisi lingkungan yang
bersifat umum dan luas, misalnya gurun pasir, pantai berbatu karang, hutan hujan tropika, dan
sebagainya. Sebaliknya habitat mikro merupakan habitat local dengan kondisi lingkungan yang bersifat
setempat yang tidak terlalu luas, misalnya, kolam, rawa payau berlumpur lembek dan dangkal, danau,
dan sebagainya (Anonim, ).

Relung atau niche merupakan tempat makhluk hidup berfungsi di habitatnya, bagaimana cara
hidup, atau peran ekologi makhluk hidup tersebut. Jadi pada dasarnya makhluk hidup secara alamiah
akan memilih habitat dan relung ekologinya sesuai dengan kebutuhannya, dalam arti bertempat tinggal,
tumbuh berkembang dan melaksanakan fungsi ekologi pada habitat yang sesuai dengan kondisi
lingkungan (misalnya iklim), nutrien, dan interaksi antara makhluk hidup yang ada. Dalam ekologi,
seluruh peranan dan fungsi makhluk hidup dalam komunitasnya dinamakan relung atau niche ekologi.
Jadi relung ekologi merupakan semua faktor atau unsur yang terdapat dalam habitatnya yang mencakup
jenis-jenis organisme yang berperanan, lingkungan, dan tempat tinggal yang sesuai dan spesialisasi
populasi organisme yang terdapat dalam komunitas (Anonim, ).

Habitat: Morrison (2002) mendefinisikan habitat sebagai sumberdaya dan kondisi yang ada di
suatu kawasan yang berdampak ditempati oleh suatu species. Habitat merupakan organism-specific: ini
menghubungkan kehadiran species, populasi, atau idndividu (satwa atau tumbuhan) dengan sebuah
kawasan fisik dan karakteristik biologi. Habitat terdiri lebih dari sekedar vegatasi atau struktur vegetasi;
merupakan jumlah kebutuhan sumberdaya khusus suatu species. Dimanapun suatu organisme diberi
sumberdaya yang berdampak pada kemampuan untuk bertahan hidup, itulah yang disebut dengan
habitat.

Tipe Habitat: Habitat tidak sama dengan tipe habitat. Tipe habitat merupakan sebuah istilah
yang dikemukakan oleh Doubenmire (1968:27-32) yang hanya berkenaan dengan tipe asosiasi vegetasi
dalam suatu kawasan atau potensi vegetasi yang mencapai suatu tingkat klimaks. Habitat lebih dari
sekedar sebuah kawasan vegetasi (seperti hutan pinus). Istilah tipe habitat tidak bisa digunakan ketika
mendiskusikan hubungan antara satwa liar dan habitatnya. Ketika kita ingin menunjukkan vegetasi yang
digunakan oleh satwa liar, kita dapat mengatakan asosiasi vegetasi atau tipe vegetasi didalamnya.

Penggunaan Habitat: Penggunaan habitat merupakan cara satwa menggunakan (atau


”mengkonsumsi” dalam suatu pandangan umum) suatu kumpulan komponen fisik dan biologi (sumber
daya) dalam suatu habitat. Hutto (1985:458) menyatakan bahwa penggunaan habitat merupakan
sebuah proses yang secara hierarkhi melibatkan suatu rangkaian perilaku alami dan belajar suatu satwa
dalam membuat keputusan habitat seperti apa yang akan digunakan dalam skala lingkungan yang
berbeda.

Kesukaan Habitat: Johnson (1980) menyatakan bahwa seleksi merupakan proses satwa memilih
komponen habitat yang digunakan. Kesukaan habitat merupakan konsekuensi proses yang
menghasilkan adanya penggunaan yang tidak proporsional terhadap beberapa sumberdaya, yang mana
beberapa sumberdaya digunakan melebihi yang lain.

Ketersediaan Habitat: Ketersediaan habitat menunjuk pada aksesibiltas komponen fisik dan
biologi yang dibutuhkan oleh satwa, berlawanan dengan kelimpahan sumberdaya yang hanya
menunjukkan kuantitas habitat masing-masing organisme yang ada dalam habitat tersebut (Wiens
1984:402). Secara teori kita dapat menghitung jumlah dan jenis sumberdaya yang tersedia untuk satwa;
secara praktek, merupakan hal yang hampir tidak mungkin untuk menghitung ketersediaan sumberdaya
dari sudut pandang satwa (Litvaitis et al., 1993). Kita dapat menghitung kelimpahan species prey untuk
suatu predator tertentu, tetapi kita tidak bisa mengatakan bahwa semua prey yang ada di dalam habitat
dapat dimangsa karena adanya beberapa batasan, seperti ketersediaan cover yang banyak yang
membatasi aksesibilitas predator untuk memangsa prey. Hal yang sama juga terjadi pada vegetasi yang
berada di luar jangkauan suatu satwa sehingga susah untuk dikonsumsi, walaupun vegetasi itu
merupakan kesukaan satwa tersebut. Meskipun menghitung ketersediaan sumber daya aktual
merupakan hal yang penting untuk memahami hubungan antara satwa liar dan habitatnya, dalam
praktek jarang dilakukan karena sulitnya dalam menentukan apa yang sebenarnya tersedia dan apa yang
tidak tersedia (Wiens 1984:406). Sebagai konsekuensinya, mengkuantifikasi ketersediaan sumberdaya
biasanya lebih ditekankan pada penghitungan kelimpahan sumberdaya sebelum dan sesudah digunakan
oleh satwa dalam suatu kawasan, daripada ketersediaan aktual. Ketika aksesibilitas sumber daya dapat
ditentukan terhadap suatu satwa, analisis untuk menaksir kesukaan habitat dengan membandingkan
penggunan dan ketersediaan merupakan hal yang penting.

Kualitas Habitat: Istilah kualitas habitat menunjukkan kemampuan lingkungan untuk


memberikan kondisi khusus tepat untuk individu dan populasi secara terus menerus. Kualitas
merupakan sebuah variabel kontinyu yang berkisar dari rendah, menengah, hingga tinggi. Kualitas
habitat berdasarkan kemampuan untuk memberikan sumberdaya untuk bertahan hidup, reproduksi,
dan kelangsungan hidup populasi secara terus menerus. Para peneliti umumnya menyamakan kualitas
habitat yang tinggi dengan menonjolkan vegetasi yang memiliki kontribusi terhadap kehadiran (atau
ketidak hadiran) suatu spesies (seperti dalam Habitat Suitability Index Models dalam Laymon dan Barrett
1986 dan Morrison et al. 1991). Kualitas secara eksplisit harus dihubungkan dengan ciri-ciri demografi
jika diperlukan. Leopold (1933) dan Dasman et al. (1973) menyatakan bahwa suatu habitat dikatakan
memiliki kualitas yang tinggi apabila kepadatan satwa seimbang dengan sumberdaya yang tersedia, di
lapangan pada umumnya habitat yang memiliki kualitas ditunjukkan dengan besarnya kepadatan satwa
(Laymon dan Barrett 1986). Van Horne (1983) mengatakan bahwa kepadatan merupakan indikator yang
keliru untuk kulitas habitat. Oleh sebab itu daya dukung dapat disamakan dengan level kualitas habitat
tertentu, kualitasnya dapat berdasarkan tidak pada jumlah organisme tetapi pada demografi populasi
secara individual. Kualitas habitat merupakan kata kunci bagi para ahli restorasi.

Beberapa istilah seperti makrohabitat dan mikrohabitat penggunaannya tergantung dan


merujuk pada skala apa studi yang akan dilakukan terhadap satwa menjadi pertanyaan. (Johnson, 1980).
Dengan demikian makrohabitat dan mikrohabitat harus ditentukan untuk masing-masing studi yang
berkenaan dengan spesies spesifik. Secara umum, macrohabitat merujuk pada ciri khas dengan skala
yang luas seperti zona asosiasi vegetasi (Block and Brennan, 1993) yang biasanya disamakan dengan
level pertama seleksi habitat menurut Johnson. Mikrohabitat biasanya menunjukkan kondisi habitat
yang sesuai, yang merupakan faktor penting pada level 2-4 dalam hierarkhi Johnson. Oleh sebab itu
merupakan hal yang tepat untuk menggunakan istilah mikrohabitat dan makrohabitat dalam sebuah
pandangan relatif, dan pada skala penerapan yang ditetapkan secara eksplisit.

Niche: Habitat suatu organisme adalah tempat organisme itu hidup, atau tempat ke mana
seseorang harus pergi untuk menemukannya. Sedangkan niche (relung) ekologi merupakan istilah yang
lebih luas lagi artinya tidak hanya ruang fisik yang diduduki organisme itu, tetapi juga peranan
fungsionalnya di dalam masyarakatnya (misal: posisi trofik) serta posisinya dalam kondisi lingkungan
tempat tinggalnya dan keadaan lain dari keberadaannya itu. Ketiga aspek relung ekologi itu dapat
dikatakan sebagai relung atau ruangan habitat, relung trofik dan relung multidimensi atau hypervolume.
Oleh karena itu relung ekologi sesuatu organisme tidak hanya tergantung pada dimana dia hidup tetapi
juga apa yang dia perbuat (bagaimana dia merubah energi, bersikap atau berkelakuan, tanggap
terhadap dan mengubah lingkungan fisik serta abiotiknya), dan bagaimana jenis lain menjadi kendala
baginya. Hutchinson (1957) telah membedakan antara niche pokok (fundamental niche) dengan niche
yang sesungguhnya (relized niche). Niche pokok didefinisikan sebagai sekelompok kondisi-kondisi fisik
yang memunkinkan populasi masih dapat hidup. Sedangkan niche sesungguhnya didefinisikan sebagai
sekelompok kondisi-kondisi fisik yang ditempati oleh organisme-organisme tertenu secara bersamaan.

Dimensi-dimensi pada niche pokok pada niche pokok menentukan kondisi-kondisi yang
menyababkan organisme-organisme dapat berinteraksi tetapi tidak menentukan bentuk, kekuatan tau
arah interaksi. Dua faktor utama yang menetukan bentuk interaksi dalam populasi adalah kebutuhan
fisiologis tiap-tiap individu dan ukuran relatifnya. Empat tipe pokok dari interaksi diantara populasi
sudah diketahui yaitu: kompetisi, predasi, parasitisme dan simbiosis.

Agar terjadi interaksi antar organisme yang meliputi kompetisi, predasi, parasitisme dan
simbiosis harusnya ada tumpang tidih dalam niche. Pada kasus simbion, satu atau semua partisipan
mengubah lingkungan dengan cara membuat kondisi dalam kisaran kritis dari kisaran-kisaran kritis
partisipan yang lain. Untuk kompetitor, predator dan mangsanya harus mempunyai kecocokan dengan
parameter niche agar terjadi interaksi antar organisme, sedikitnya selama waktu interaksi.

Pengertian umum habitat menurut Alikodra (1990), adalah sebuah kawasan yang terdiri dari
komponen fisik maupun abiotik yang merupakan satu kesatuan dan dipergunakan sebagai tempat hidup
serta berkembang biaknya satwa liar. Satwa liar menempati habitat yang sesuai dengan lingkungan yang
diperlukan untuk mendukung kehidupannya, karena habitat mempunyai fungsi menyediakan makanan, air
dan pelindung. Habitat yang sesuai untuk suatu jenis, belum tentu sesuai untuk jenis yang lain, karena
setiap satwa menghendaki kondisi habitat yang berbeda 􀂱 beda (Dasman, 1981). Habitat suatu jenis satwa
liar merupakan sistem yang terbentuk dari interaksi antar komponen fisik dan biotik serta dapat
mengendalikan kehidupan satwa liar yang hidup di dalamnya (Alikodra, 1990).

Komponen habitat yang dapat mengendalikan kehidupan satwa liar (Shawn, 1985), terdiri dari:

1. Pakan (food), merupakan komponen habitat yang paling nyata dan setiap jenis satwa mempunyai
kesukaan yang berbeda dalam memilih pakannya. Sedangkan ketersediaan pakan erat hubungannya
dengan perubahan musim;

2. Pelindung (cover), adalah segala tempat dalam habitat yang mampu memberikan perlindungan bagi
satwa dari cuaca dan predator, ataupun menyediakan kondisi yang lebih baik dan menguntungkan bagi
kelangsungan kehidupan satwa;

3. Air (water), dibutuhkan oleh satwa dalam proses metabolisme dalam tubuh satwa.
Kebutuhan air bagi satwa bervariasi, tergantung air dan/atau tidak tergantung air. Ketersediaan air pada
habitat akan dapat mengubah kondisi habitat, yang secara langsung ataupun tidak langsung akan
berpengaruh pada kehidupan satwa;

4. Ruang (space), dibutuhkan oleh individu 􀂱 individu satwa untuk mendapatkan cukup pakan, pelindung,
air dan tempat untuk kawin. Besarnya ruang yang dibutuhkan tergantung ukuran populasi, sementara itu
populasi tergantung besarnya satwa, jenis pakan, produktivitas dan keragaman habitat. Tipe habitat
merupakan komponen-komponen sejenis pada suatu habitat yang mendukung sekumpulan jenis satwa liar
untuk beraktivitas. Tipe habitat yang diperlukan suatu satwa di identifikasi melalui pengamatan fungsi-
fungsinya, misalnya untuk makan atau bertelur. Satwa memilih habitat yang tersedia dan sesuai untuk
mempertahankan kelangsungan hidupnya. Sedangkan struktur vegetasi merupakan susunan vertikal dan
distribusi spasial tumbuh-tumbuhan (vegetasi) dalam suatu komunitas. Menurut Mueller, Dombois dan
Ellenberg, 1974, struktur vegetasi berfungsi sebagai pengaturan ruang hidup suatu individu dengan unsur
utama adalah: bentuk pertumbuhan, stratifikasi dan penutupan tajuk (UGM, 2007).

DAFTAR PUSTAKA

Alikodra, H. S. 1990. The Implementation of Forest Rsource Conservation in Sustainable Forest


Management in Indonesia (in) Indonesi’s effort to Achieve Sustainable Forestry. Forum of Indonesia
Forestry Scientists.

Anonim. 2002. Rangkuman Mata Kuliah Ekologi Tumbuhan.


http://pustaka.ut.ac.id/puslata/online.php?menu=bmpshort_detail2&ID=492 diakses pada tanggal 22
Oktober 2010 pukul 17.00 WIB

Block, W. M., and L. A. Brennan. 1993. The Habitat Concept in Ornithology: Theory and Applications in J.
Verner, M. L. Morrison, and C. J. Ralph, eds. Wildlife 1991: Modeling Habitat Relationships of
Terrestrial Vertebrate. Univ. Winconsin Press, Madison.

Dasmann, R. F., J. P. Milton and P.H. Freeman. 1973. Ecological principles for Economic Development.
John Wiley and Sons, London, U.K.

Daubenmire, R. 1968. Plant communities: a Textbook of Plant Synecology. Harper and Row, New York.

Hutchinson, G. E. 1957. Concluding remarks. Cold Spring Harbor Symp.

Hutto, R. L. 1985. Habitat selection by nonbreeding, Migratory Land Bird in J. Verner, M. L. Morrison,
and C. J. Ralph, eds. Wildlife 1991: Modeling Habitat Relationships of Terrestrial Vertebrate. Univ.
Winconsin Press, Madison.

Johnson. D. H. 1980. The comparison of Usage and Availability Measurements for Evaluating Resource
Preference.

Johnson, M.L., and M. S. Gaines. 1985. Selective Basis for Emigration of Praire Vole, Microtus
ochrogaster: an Open Field Experiment. Journal of Animal Ecology.
Laymon, S. A., and R. H. Barret. 1986. Developing and Testing Habitat-Capability Models: Pitfalls and
recommendations in J. Verner, M. L. Morrison, and C. J. Ralph, eds. Wildlife 1991: Modeling
Habitat Relationships of Terrestrial Vertebrate. Univ. Winconsin Press, Madison.

Leopold, A. 1933. Game Management. Charles Scribner’s Sons. New York.

Litvaitis, J.A. 1994. Measuring Vertebrate Use of Terrestrial Habitats and Foods in J. Verner, M. L.
Morrison, and C. J. Ralph, eds. Wildlife 1991: Modeling Habitat Relationships of Terrestrial
Vertebrate. Univ. Winconsin Press, Madison.

Morrison, M.L. 2002. Wildlife Restoration : Techniques for Habitat Analysis and Animal Monitoring.
Island Press : Washington DC.

UGM. 2007. Buku Petunjuk Praktikum Pengelolaan Satwa Liar. Fakultas Kehutaan Universitas

Gadjah Mada Yogjakarta.

Van Horne, B. 1983. Density as a Misleading Indicator of Habitat Quality. J. Wildl. Manage.

Wiens, J. A. 1984. Resource System, Population, and Communities.

Wiens, J.A. 1989. Spatial scaling in Ecology. Functional Ecol.

You might also like