You are on page 1of 21

KONSERVASI LAHAN GAMBUT

DOSEN PEMBIMBING :
ANDY MIZWAR, S.T, M.Si

OLEH :
M. SYARIEF BUDIMAN H1E107028
M. SADIQUL IMAN H1E108059
RINANTI PRITA B. H1E107214
TALITHA FEBY H.S H1E107034
YULIARINI H1E107032

PROGAM STUDI S-1 TEKNIK LINGKUNGAN


FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT
BANJARBARU

2010
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena
berkat rahmat dan petunjuk yang dicurahkan-Nya kami dapat menyelesaikan
penulisan makalah ini.
Penulisan makalah Konservasi Lahan Gambut ini merupakan tugas yang
diberikan oleh Bapak Andy Mizwar, S.T, M.Si, yang mana tujuan yang kami
ambil dari kegiatan penulisan ini adalah untuk memberikan gambaran tentang
upaya-upaya konservasi lahan gambut serta mengembangkan daya kreativitas
remaja khususnya mahasiswa dalam mengembangkan daya cipta untuk
melakukan suatu perubahan dalam upaya sumbangan pikiran untuk pengetahuan
yang berguna dan bermanfaat bagi masyarakat.
Penulisan makalah ini dapat diselesaikan karena berkat bimbingan secara
terpadu oleh Bapak Andy Mizwar, S.T, M.Si, dan dukungan dari semua pihak.
Untuk itu dalam kesempatan kali ini kami mengucapkan terima kasih yang
sedalam-dalamnya. Dan akhirnya diharapkan agar penulisan makalah ini dapat
berguna bagi kita semua serta kemajuan ilmu pengetahuan. Penulisan ini tentunya
tidak lepas dari kritik dan saran yang besifat membangun.

Banjarbaru, Mei 2010

Penulis
DAFTAR ISI

Halaman
KATA PENGANTAR................................................................................. i
DAFTAR ISI................................................................................................ ii
BAB I PENDAHULUAN............................................................................ 1
1.1 Latar Belakang................................................................................. 1
1.2 Tujuan.............................................................................................. 2
1.3 Rumusan Masalah............................................................................ 2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA.................................................................. 3
2.1 Pengertian Konservasi...................................................................... 3
2.2 Pembentukan Gambut....................................................................... 3
2.3 Klasifikasi Gambut............................................................................ 5
2.4 Aspek Lingkungan Lahan Gambut.................................................... 7
BAB III ISI.................................................................................................... 11
BAB IV PENUTUP....................................................................................... 16
4.1 Kesimpulan....................................................................................... 16
4.2 Saran................................................................................................. 16
DAFTAR PUSTAKA................................................................................... 17
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Lahan rawa gambut di Indonesia cukup luas, mencapai 20,6 juta ha atau
10,8% dari luas daratan Indonesia. Makin terbatasnya lahan untuk mendukung
ketahanan pangan dan memenuhi kebutuhan areal perkebunan dalam rangka
pengembangan bioenergi mendorong pemerintah untuk memanfaatkan lahan rawa
gambut. Namun, lahan rawa gambut merupakan ekosistem yang rapuh (fragile),
sehingga pemanfaatannya harus secara bijak (a wise landuse) dan didasarkan pada
karakteristik lahan. Dalam kaitan ini, keberadaan lahan gambut, terutama gambut
sangat dalam (lebih dari 4 m), sangat penting untuk dipertahankan sebagai daerah
konservasi air. Jika tanah gambut dibuka dan mengalami pengeringan karena
drainase maka gambut akan ’kempes’ atau mengalami subsidence sehingga terjadi
penurunan permukaan tanah. Bila tanah gambut mengalami pengeringan yang
berlebihan, koloid gambut menjadi rusak dan terjadi gejala kering tak balik
(irreversible drying ) (Tim Sintesis, 2008).
Lahan gambut mengalami kerusakan akibat kegiatan manusia. Penyusutan
yang terjadi pada lahan gambut akibat penggunaan lahan secara eksploitatif
seperti untuk kegiatan perkebunan kelapa sawit tanpa adanya pengendalian, serta
pembuatan saluran (drainase) untuk menyalurkan kayu hasil tebangan yang
menyebabkan air keluar dari lahan gambut. Akibat dari drainase adalah konversi
dari komunitas lahan basah ke tanah pertanian, degradasi vegetasi lain secara
berangsur-angsur, terutama pada gambut, dan aksentuasi dari akibat kebakaran.
Pemanfaatan hutan rawa gambut untuk pengembangan pertanian tanaman
pangan dan perkebunan menghadapi kendala yang cukup berat, terutama dalam
mengelola dan mempertahankan produktivitas lahan. Keberhasilan pengembangan
lahan gambut di suatu wilayah tidak menjadi jaminan bahwa di tempat lain akan
berhasil pula. Pemanfaatan lahan yang tidak cermat dan tidak sesuai dengan
karakteristiknya dapat merusak keseimbangan ekologis wilayah.
Berkurang atau hilangnya kawasan hutan rawa gambut akan menurunkan
kualitas lingkungan, bahkan menyebabkan banjir pada musim hujan serta
kekeringan dan kebakaran pada musim kemarau. Upaya pendalaman saluran
untuk mengatasi banjir, dan pembuatan saluran baru untuk mempercepat
pengeluaran air justru menimbulkan dampak yang lebih buruk, yaitu lahan
pertanian di sekitarnya menjadi kering dan masam, tidak produktif, dan akhirnya
menjadi lahan tidur, bongkor, dan mudah terbakar.
Hutan rawa gambut mempunyai nilai konservasi yang sangat tinggi dan
fungsi-fungsi lainnya seperti fungsi hidrologi, cadangan karbon, dan biodiversitas
yang penting untuk kenyamanan lingkungan dan kehidupan satwa. Jika
ekosistemnya terganggu maka intensitas dan frekuensi bencana alam akan makin
sering terjadi; bahkan lahan gambut tidak hanya dapat menjadi sumber CO 2, tetapi
juga gas rumah kaca lainnya seperti metana (CH4) dan nitrousoksida (N2O).

1.2 Tujuan
Tujuan penulisan makalah ini adalah :
1) Mengetahui dampak yang ditimbulkan akibat kegiatan-kegiatan di lahan
gambut terhadap lingkungan setempat dan sekitar lahan gambut.
2) Metode konservasi lahan gambut
3) Mengetahui kebijakan-kebijakan apa saja yang terkait dalam upaya
konservasi lahan gambut.

1.3 Rumusan Masalah


Batasan masalah yang diambil dalam penulisan makalah ini adalah upaya-
upaya apa saja yang dapat diambil dalam konservasi lahan gambut serta
kebijakan-kebijakan terkait dalam upaya perlindungan lahan gambut dari berbagai
macam aspek lingkungan yang berhubungan dengan lahan gambut seperti: lahan
gambut sebagai penambat dan penyimpan karbon, lahan gambut sebagai sumber
emisi gas rumah kaca, kebakaran lahan gambut, serta aspek hidrologi dan
subsiden.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Konservasi


Konservasi adalah upaya untuk menjaga apa yang telah ada, dalam hal ini
sumber daya alam hayati dan ekosistemnya. Menjaga dalam artian tidak
menambah atau mengurangi kecuali dalam upaya mengembalikan kembali
(rehabilitasi) kemampuan produktivitas sumber daya alam sehingga setidaknya
kembali ke keadaan semula.
Konservasi dalam arti sempit dapat diartikan sebagai pelestarian dan
pengawetan. Dalam hal ini pengawetan meliputi kegiatan pelestarian produksi,
pelestarian jenis dan perlindungan penunjang sistem kehidupan. Obyek
kegiatannya adalah hutan lindung, hutan pantai dan daerah aliran sungai.
Sedangkan bentuk kegiatan pengawetan keanekaragaman hayati terbagi dua, yaitu
konservasi eksitu dan konservasi insitu.
Konservasi insitu adalah konservasi ekosistem dan habitat alami serta
pemeliharaan dan pemulihan populasi makhluk hidup dalam lingkungan
alaminya. Apabila makhluk hidup tersebut merupakan jenis yang terdomestifikasi
atau terbudidaya, konservasi insitu dapat dikatakan terjadi di dalam lingkungan
tempat sifat-sifat khususnya berkembang. Jenis kegiatan konservasi insitu adalah
kebun binatang, taman safari, kebun botani dan museum. Sedangkan konservasi
eksitu adalah konservasi komponen-konponen keanekaragaman hayati di luar
habitat alaminya. Jenis kegatan konservasi eksitu adalah cagar alam dan suaka
margasatwa.

2.2 Pembentukan Gambut


Gambut terbentuk dari timbunan sisa-sisa tanaman yang telah mati, baik
yang sudah lapuk maupun belum. Timbunan terus bertambah karena proses
dekomposisi terhambat oleh kondisi anaerob dan/atau kondisi lingkungan lainnya
yang menyebabkan rendahnya tingkat perkembangan biota pengurai.
Pembentukan tanah gambut merupakan proses geogenik yaitu pembentukan tanah
yang disebabkan oleh proses deposisi dan transportasi, berbeda dengan proses
pembentukan tanah mineral yang pada umumnya merupakan proses pedogenik
(Hardjowigeno, 1986 dalam Agus dan Subiksa, 2008).
Sedangkan pengertian lainnya menyebutkan bahwa, gambut merupakan
tanah yang terbentuk dari bahan organik pada fisiografi cekungan atau rawa,
akumulasi bahan organik pada kondisi jenuh air, anaerob, menyebabkan proses
perombakan bahan organik berjalan sangat lambat, sehingga terjadi akumulasi
bahan organik yang membentuk tanah gambut (Tim Fakultas Pertanian IPB, 1986;
Harjowigeno, 1996; dan Noor, 2001 dalam Sagiman, 2007)
Lebih jelasnya, gambut terbentuk dari timbunan bahan organik yang
berasal dari tumbuhan purba yang berlapis-lapis hingga mencapai ketebalan >40
cm. Proses penimbunan bahan sisa tumbuhan ini merupakan proses geogenik
yang berlangsung dalam waktu yang sangat lama (Hardjowigeno, 1996 dalam
Sagiman, 2007). Pembentukan gambut diduga terjadi pada periode Holosin antara
10.000 – 5.000 tahun silam. Menurut Andrisse (1988) dalam Sagiman (2007),
gambut di daerah tropis terbentuk kurang dari 10.000 tahun lalu.
Pada saat gambut masih tipis akar tumbuh-tumbuhan yang tumbuh di
gambut dapat mengambil unsur hara dari tanah mineral dibawah gambut
selanjutnya gambut terbentuk diperkaya dengan unsur hara dari luapan air sungai.
Tumbuhan yang tumbuh cukup subur dan kaya mineral sehingga gambut yang
terbentuk juga subur (gambut topogen). Dalam perkembangan selanjutnya gambut
semakin tebal dan akar tumbuhan yang hidup digambut tidak mampu mencapai
tanah mineral di bawahnya, air sungai tidak mampu lagi menggenangi permukaan
gambut. Sumber hara utama pada gambut ini hanyalah dari air hujan sehingga
vegetasi yang tumbuh menjadi kurang subur dan menyebabkan gambut yang
terbentuk menjadi gambut miskin hara. Gambut ini disebut sebagai gambut
ombrogen (Sagiman, 2007).

A
B

Gambar 1. Proses pembentukan gambut di daerah cekungan lahan basah: a.


Pengisian danau dangkal oleh vegetasi lahan basah, b. Pembentukan
gambut topogen, dan c. pembentukan gambut ombrogen di atas
gambut topogen (Noor, 2001 dan van de Meene, 1982 dalam Agus
dan Subiksa, 2008).

2.3 Klasifikasi Gambut


Secara umum dalam klasifikasi tanah, tanah gambut dikenal sebagai
Organosol atau Histosols yaitu tanah yang memiliki lapisan bahan organik dengan
berat jenis (BD) dalam keadaan lembab < 0,1 g cm-3 dengan tebal > 60 cm atau
lapisan organik dengan BD > 0,1 g cm-3 dengan tebal > 40 cm (Soil Survey Staff,
2003 dalam Agus dan Subiksa, 2008).
Gambut diklasifikasikan lagi berdasarkan berbagai sudut pandang yang
berbeda; dari tingkat kematangan, kedalaman, kesuburan dan posisi
pembentukannya.
Berdasarkan tingkat kematangannya, gambut dibedakan menjadi:
• Gambut saprik (matang) adalah gambut yang sudah melapuk lanjut dan
bahan asalnya tidak dikenali, berwarna coklat tua sampai hitam, dan bila
diremas kandungan seratnya < 15%.

• Gambut hemik (setengah matang) adalah gambut setengah lapuk, sebagian


bahan asalnya masih bisa dikenali, berwarma coklat, dan bila diremas bahan
seratnya 15 – 75%.

• Gambut fibrik (mentah) adalah gambut yang belum melapuk, bahan


asalnya masih bisa dikenali, berwarna coklat, dan bila diremas >75% seratnya
masih tersisa.

Gambar 2. Contoh tanah gambut yang diambil menggunakan bor gambut (peat
sampler). Gambar atas memperlihatkan contoh gambut fibrik
(mentah) dan gambar bawah contoh gambut hemik (setengah matang)
(Agus dan Subiksa, 2008).
Berdasarkan tingkat kesuburannya, gambut dibedakan menjadi:
• Gambut eutrofik adalah gambut yang subur yang kaya akan bahan mineral dan
basa-basa serta unsur hara lainnya. Gambut yang relative subur biasanya
adalah gambut yang tipis dan dipengaruhi oleh sedimen sungai atau laut.
• Gambut mesotrofik adalah gambut yang agak subur karena memiliki
kandungan mineral dan basa-basa sedang.
• Gambut oligotrofik adalah gambut yang tidak subur karena miskin mineral
dan basa-basa. Bagian kubah gambut dan gambut tebal yang jauh dari
pengaruh lumpur sungai biasanya tergolong gambut oligotrofik.

Berdasarkan lingkungan pembentukannya, gambut dibedakan atas:


• Gambut ombrogen yaitu gambut yang terbentuk pada lingkungan yang hanya
dipengaruhi oleh air hujan
• Gambut topogen yaitu gambut yang terbentuk di lingkungan yang mendapat
pengayaan air pasang. Dengan demikian gambut topogen akan lebih kaya
mineral dan lebih subur dibandingkan dengan gambut ombrogen.

Berdasarkan kedalamannya gambut dibedakan menjadi:


• Gambut dangkal (50 – 100 cm),
• Gambut sedang (100 – 200 cm),
• Gambut dalam (200 – 300 cm), dan
• Gambut sangat dalam (> 300 cm)

Berdasarkan proses dan lokasi pembentukannya, gambut dibagi menjadi:


• Gambut pantai adalah gambut yang terbentuk dekat pantai laut dan mendapat
pengayaan mineral dari air laut
• Gambut pedalaman adalah gambut yang terbentuk di daerah yang tidak
dipengaruhi oleh pasang surut air laut tetapi hanya oleh air hujan
• Gambut transisi adalah gambut yang terbentuk di antara kedua wilayah
tersebut, yang secara tidak langsung dipengaruhi oleh air pasang laut (Agus
dan Subiksa, 2008).
2.4 Aspek Lingkungan Lahan Gambut
Beberapa aspek lingkungan yang berhubungan dengan lahan gambut
adalah (i) lahan gambut sebagai penambat dan penyimpan karbon, (ii) lahan
gambut sebagai sumber emisi gas rumah kaca, (iii) kebakaran lahan gambut, (iv)
aspek hidrologi dan subsiden (Agus dan Subiksa, 2008).

2.4.1 Lahan Gambut sebagai Penambat dan Penyimpan Karbon


Lahan gambut hanya meliputi 3% dari luas daratan di seluruh dunia,
namun menyimpan 550 Gigaton C atau setara dengan 30% karbon tanah, 75%
dari seluruh karbon atmosfir, setara dengan seluruh karbon yang dikandung
biomassa (massa total makhluk hidup) daratan dan setara dengan dua kali
simpanan karbon semua hutan di seluruh dunia (Joosten, 2007 dalam Agus dan
Subiksa, 2008).
Lahan gambut menyimpan karbon pada biomassa tanaman, seresah di
bawah hutan gambut, lapisan gambut dan lapisan tanah mineral di bawah gambut
(substratum). Dari berbagai simpanan tersebut, lapisan gambut dan biomassa
tanaman menyimpan karbon dalam jumlah tertinggi (Agus dan Subiksa, 2008).

2.4.2 Emisi Gas Rumah Kaca


Emisi dan penambatan karbon pada lahan gambut berlangsung secara
simultan, namun besaran masing-masingnya tergantung keadaan alam dan campur
tangan manusia. Dalam keadaan hutan alam yang pada umumnya jenuh air
(suasana anaerob), penambatan (sekuestrasi) karbon berlangsung lebih cepat
dibandingkan dengan dekomposisi. Karena itu gambut tumbuh dengan kecepatan
antara 0-3 mm tahun-1 (Parish et al., 2007 dalam Agus dan Subiksa, 2008). Pada
tahun-tahun di mana terjadi kemarau panjang, misalnya tahun El-Niño,
kemungkinan besar gambut tumbuh negatif (menipis) disebabkan lapisan
permukaannya berada dalam keadaan tidak jenuh (aerob) dalam waktu yang
cukup lama sehingga emisi karbon lebih cepat dari penambatan.
Gas rumah kaca (GRK) utama yang keluar dari lahan gambut adalah CO2,
CH4 dan N2O. Emisi CO2 jauh lebih tinggi dibandingkan dengan emisi CH4
(walaupun dikalikan dengan global warming potentialnya setinggi 23 kali CO2)
dan emisi N2O. Dengan demikian data emisi CO2 sudah cukup kuat untuk
merepresentasikan emisi dari lahan gambut, apabila pengukuran GRK lainnya
seperti CH4 dan N2O sulit dilakukan.
Konversi hutan dan pengelolaan lahan gambut, terutama yang
berhubungan dengan drainase dan pembakaran, merubah fungsi lahan gambut dari
penambat karbon menjadi sumber emisi GRK. Lahan hutan yang terganggu (yang
kayunya baru ditebang secara selektif) dan terpengaruh drainase, emisinya
meningkat tajam, bahkan bisa lebih tinggi dibandingkan emisi dari lahan
pertanian yang juga didrainase. Hal ini disebabkan oleh banyaknya bahan organik
segar yang mudah terdekomposisi pada hutan terganggu.
Emisi CH4 cukup signifikan pada lahan hutan gambut yang tergenang atau
yang muka air tanahnya dangkal (<40 cm). Dengan bertambahnya kedalaman
muka air tanah, emisi CH4 menjadi tidak nyata. Emisi CH4 pada lahan pertanian
relatif kecil karena rendahnya pasokan bahan organik segar yang siap
terdekomposisi secara anaerob (Jauhiainen et al., 2004 dalam Agus dan Subiksa,
2008).
Bentuk intervensi manusia yang sangat mempengaruhi fungsi lingkungan
lahan gambut adalah penebangan hutan gambut, pembakaran hutan gambut dan
drainase untuk berbagai tujuan; baik untuk pertanian, kehutanan (hutan tanaman
industri), maupun untuk pemukiman (Agus dan Subiksa, 2008).

2.4.3 Kebakaran Lahan Gambut


Apabila biomassa tanaman hutan gambut terbakar maka tidak hanya
biomassa tanaman saja yang akan terbakar, tetapi juga beberapa centimeter
lapisan gambut bagian atas yang berada dalam keadaan kering. Lapisan gambut
ini akan rentan kebakaran apabila muka air tanah lebih dalam dari 30 cm. Pada
tahun El Nino seperti tahun 1997, muka air tanah menjadi lebih dalam karena
penguapan sehingga lapisan atas gambut menjadi sangat kering. Dalam keadaan
demikian kebakaran gambut dapat mencapai ketebalan 50 cm. Dalam keadaan
ekstrim ini bara api pada tanah gambut dapat bertahan berminggu-minggu. Untuk
tahun normal Hatano (2004) dalam Agus dan Subiksa (2008), memperkirakan
kedalaman gambut yang terbakar sewaktu pembukaan hutan sedalam 15 cm.
Apabila kandungan karbon gambut ratarata adalah 50 kg m-3 (berkisar antara 30
sampai 60 kg m-3) maka dengan terbakarnya 15 cm lapisan gambut akan teremisi
sebanyak 75 t C ha-1 atau ekivalen dengan 275 t CO2 ha-1 (Agus dan Subiksa,
2008).

2.4.4 Hidrologi dan Subsiden


Penurunan permukaan lahan gambut (subsiden) terjadi segera sesudah
lahan gambut didrainase. Pada umumnya subsiden yang berlebihan bersifat tidak
dapat balik. Hanya melalui penjenuhan yang sempurna dan dalam waktu yang
lama masalah subsiden dapat diatasi secara perlahan. Kecepatan subsiden
tergantung pada banyak faktor, antara lain tingkat kematangan gambut, tipe
gambut, kecepatan dekomposisi, kepadatan dan ketebalan gambut, kedalaman
drainase, iklim, serta penggunaan lahan (Stewart, 1991; Salmah et al., 1994,
Wösten et al., 1997 dalam Agus dan Subiksa, 2008).
Proses subsiden gambut dapat dibagi menjadi empat komponen:
1. Konsolidasi yaitu pemadatan gambut karena pengaruh drainase. Dengan
menurunnya muka air tanah, maka terjadi peningkatan tekanan dari lapisan
gambut di atas permukaan air tanah terhadap gambut yang berada di bawah
muka air tanah sehingga gambut terkonsolidasi (menjadi padat).
2. Pengkerutan yaitu pengurangan volume gambut di atas muka air tanah karena
proses drainase/pengeringan.
3. Dekomposisi/oksidasi yaitu menyusutnya massa gambut akibat terjadinya
dekomposisi gambut yang berada dalam keadaan aerobik.
4. Kebakaran yang menyebabkan menurunnya volume gambut.
Kedalaman muka air tanah merupakan faktor utama penentu kecepatan
subsiden karena sangat mempengaruhi keempat proses di atas. Faktor lain yang
ikut mempengaruhi adalah penggunaan alat-alat berat. dan pemupukan. Proses
subsiden berlangsung sangat cepat; bisa mencapai 20-50 cm tahun-1 pada awal
dibangunnya saluran drainase (Welch dan Nor, 1989 dalam Agus dan Subiksa,
2008), terutama disebabkan besarnya komponen konsolidasi dan pengkerutan.
Dengan tingkat subsiden, misalnya 4 cm/tahun, maka dalam 25 tahun (satu
siklus tanaman tahunan) permukaan gambut akan turun sekitar 100 cm. Untuk
tanah gambut sulfat masam potensial (dengan lapisan pirit dangkal) maka
subsiden ini akan menyingkap lapisan pirit sehingga pirit teroksidasi membentuk
H2SO4 dan menjadikan tanah sangat masam dan tidak bisa ditanami lagi (Agus
dan Subiksa, 2008).
BAB III
ISI

Telah disampaikan diatas bahwa beberapa permasalahan lingkungan yang


yang ada pada daerah lahan gambut adalah penyimpan karbon, penghasil emeisi
gas rumah kaca, kebakaran lahan serta masalah hidrologi dan penurunan muka
lahan gambut (subsiden). Untuk itu upaya konservasi sangat dibutuhkan sekarang
ini untuk mempertahankan keberadaan lahan gambut.
Konservasi gambut ditujukan untuk mempertahankan keberadaan gambut
agar jangan cepat punah dan mempertahankan kemampuan gambut dalam
menyimpan air, kedua kegiatan ini sangat erat satu sama lain. Dalam
mempertahankan sumber daya gambut untuk pertanian pengendalian tata air
gambut sangat penting, ketinggian muka air tanah harus disesuaikan dengan
kebutuhan dari rhizospher tanaman. Semakin dalam jangkauan perakaran tanaman
maka permukaan air tanah semakin dalam pula, namun acapkali dilapangan kita
lihat bahwa untuk tanaman palawija yang berakar dangkal petani membiarkan
permukaan air gambut sangat dalam, dengan demikian dekomposisi gambut yang
dapat menyebabkan hilangnya gambut akan semakin cepat. Berubahnya sifat
gambut dari lembab menjadi kering tidak balik (irreversible) menyebabkan
ketersediaan air bagi tanaman semakin rendah dan pada musim kemarau gambut
mudah terbakar (Sagiman, 2007).
Menurut Keppres No.32/1990 tentang Kawasan Lindung dan Undang-
undang No. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang (UUTR), serta petunjuk
penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional - RTRWN, kawasan tanah
gambut dengan ketebalan 3 m atau lebih, yang terdapat di bagian hulu sungai dan
rawa, ditetapkan sebagai kawasan lindung bergambut.
Perlindungan terhadap kawasan ini dilakukan untuk mengendalikan
hidrologi wilayah, berfungsi sebagai penambat air dan pencegah banjir, serta
melindungi ekosistem yang khas di kawasan tersebut. Kubah gambut dengan
ketebalan lebih dari 3 m merupakan satu kesatuan dengan bagian tepinya yang
dangkal (ketebalan kurang dari 3 m). Oleh karena itu, pembukaan lahan gambut di
bagian tepi, meskipun tidak melanggar Keppres No 32/ 1990, akan berdampak
buruk bagi kubah gambut karena kegiatan di lahan gambut dangkal, misalnya
pertanian, sulit untuk tidak melakukan pembakaran dalam penyiapan lahan.
Kesadaran bahwa gambut merupakan media tanam yang harus dilestarikan
perlu disampaikan kepada masyarakat, pembakaran yang berlebihan pada waktu
penyiapan lahan sedapat mungkin dihindari, teknologi pembuatan abu bakar
melalui pembakaran sampah kebun dan gulma dapat dilakukan secara terkendali
dalam pondok bakar seperti yang dilakukan oleh petani sayur di Sungai Selamat
dan Sungai Rasau. Pembakaran semak dan gulma langsung di kebun akan
menyebabkan terbakarnya gambut. Pembakaran tidak terkendali akan
menyebabkan hilangnya gambut secara cepat, selain itu menimbulkan polusi asap
yang merugikan banyak pihak (Sagiman, 2007).
Pembakaran untuk penyiapan lahan sering kali lepas kendali sehingga api
menjalar ke wilayah kubah gambut dan menimbulkan kebakaran hebat. Di
samping itu, drainase yang berlebihan juga menyebabkan gambut menjadi
kekeringan dan mudah terbakar pada musim kemarau. Pengelolaan lahan rawa
gambut perlu menerapkan pendekatan konservasi, yang meliputi perlindungan,
pengawetan, dan peningkatan fungsi dan manfaat.
Oleh karena itu, berdasarkan fungsinya wilayah gambut dibedakan ke
dalam: (1) kawasan lindung, (2) kawasan pengawetan, dan (3) kawasan reklamasi
untuk peningkatan fungsi dan manfaat. Kawasan lindung dan pengawetan disebut
juga kawasan nonbudi daya, sedangkan kawasan reklamasi disebut kawasan budi
daya. Wilayah rawa (gambut) yang termasuk sebagai kawasan lindung adalah: (1)
kawasan gambut sangat dalam, lebih dari 3 m; (2) sempadan pantai; (3) sempadan
sungai; (4) kawasan sekitar danau rawa; dan (5) kawasan pantai berhutan bakau.
Kawasan pengawetan atau kawasan suaka alam adalah kawasan yang
memiliki ekosistem yang khas dan merupakan habitat alami bagi fauna dan/atau
flora tertentu yang langka serta untuk melindungi keanekaragaman hayati.
Kawasan ini diusulkan untuk dipertahankan tetap seperti aslinya atau dipreservasi
dengan status sebagai kawasan non-budi daya.
Lahan gambut, terutama gambut sangat dalam di sekitar suatu hutan suaka
alam mendapat prioritas untuk dijadikan kawasan preservasi. Demi pengamanan
kawasan preservasi ditetapkan antara dua sungai dengan batas-batas alami yang
lahan non gambut dan ketebalan gambut kurang dari 3 m. Peraturan Pemerintah
No.27 tahun 1991 bertujuan mengatur ekosistem lahan rawa gambut sebagai
kawasan tampung hujan dan sumber air. Sebagai sumber air, rawa (gambut)
pedalaman sangat menentukan keadaan air daerah pinggiran atau hilirnya.
Oleh karena itu, rawa di hulu sungai rawa atau rawa pedalaman perlu
dipertahankan sebagai kawasan non-budi daya, yang berfungsi sebagai kawasan
penampung hujan dan merupakan “danau” sumber air bagi daerah pertanian di
sekitarnya. Kawasan penampung hujan sebaiknya berada pada lahan gambut.
Gambut memiliki daya menahan air yang tinggi, 300- 800% bobotnya, sehingga
daya lepas airnya juga besar. Gambut dalam (lebih dari 3m), telah dinyatakan
sebagai kawasan non-budi daya dengan luas minimal 1/3 dari luas total lahan
gambut di wilayah daerah aliran sungai tersebut. Banjir merupakan kendala yang
perlu diatasi, terutama dalam pengelolaan rawa lebak. Rawa lebak dalam dapat
dimanfaatkan sebagai penampung luapan banjir.
Ketika lahan gambut digunakan sebagai lahan pertanian ataupun
perkebunan, maka masalah yang sering muncul adalah volume gambut akan
menyusut bila lahan gambut didrainase, sehingga terjadi penurunan permukaan
tanah (subsiden). Selain karena penyusutan volume, subsiden juga terjadi karena
adanya proses dekomposisi dan erosi. Dalam 2 tahun pertama setelah lahan
gambut didrainase, laju subsiden bisa mencapai 50 cm. Pada tahun berikutnya laju
subsiden sekitar 2 – 6 cm tahun-1 tergantung kematangan gambut dan kedalaman
saluran drainase. Adanya subsiden bisa dilihat dari akar tanaman yang
menggantung.
Rendahnya BD gambut menyebabkan daya menahan atau menyangga
beban (bearing capacity) menjadi sangat rendah. Hal ini menyulitkan
beroperasinya peralatan mekanisasi karena tanahnya yang empuk. Gambut juga
tidak bisa menahan pokok tanaman tahunan untuk berdiri tegak.
Meningkatnya drainase dan runoff berpotensi meningkatkan sedimen.
Sedimen ini berdampak minimal pada komunitas air rawa. Restorasi vegetasi
marginal dapat mengurangi sedimentasi jika itu berlebihan. Melalui beberapa
tahapan meliputi :
1. Manajemen pemeliharaan langsung
Proteksi secara langsung menguntungkan untuk regenerasi dan harus di
pelihara.
2. Area dengan nilai konservasi yang tinggi
Identifikasi area tertentu dengan nilai konservasi yang tinggi, dan
menganjurkan pemilik lahan dari keuntungan-keuntungan memegang,
memperluas, dan melindungi ini, akan menuntun untuk peningkatan area
ketika area lain kehilangan komponen konservasi. Implikasi dari ini adalah
pemilik lahan itu mampu menukar area nilai tinggi ke area nilai rendah yang
kemudian mereka dapat kembangkan
3. Strategi untuk area besar tanpa tergantung dengan dari nilai konservasi
Keuntungan strategi ini adalah akan ada kemungkinan peningkatan semua
area di lahan basah, dan kemampuan untuk memperoleh keseimbangan antara
produktifitas perkebunan dan perlindungan lahan basah.

Beberapa mekanisme yang mungkin dipertimbangkan untuk area yang


layak untuk restorasi adalah:

1. Manajemen lahan : untuk restorasi area, kombinasi kontrol rumput,


membentuk kembali tanah, meningkatkan tingkat/ kualitas air, menanam
beberapa spesies tanaman lahan basah akan dibutuhkan.
2. Interaksi : Ko-operasi dengan pemilik lahan disekeliling area yang di restorasi
akan bernilai dalam perlindungannya misalnya tidak terbakar.
3. Pembelian area tertentu dengan nilai yang tinggi akan dibutuhkan untuk
mencegahnya menjadi lahan pertanian
4. Seperti dicatat di awal, peraturan biasanya berlawanan dengan konservasi
lahan basah, kecuali jika dibarengi dengan ganti rugi untuk pemilik lahan.
Pembukaan lahan gambut untuk pertanian tidak ayal lagi akan memiliki
dampak bagi lingkungan disekitarnya. Menurut Andriesse(1988), Hardjowigeno
(1996) dan Radjaguguk (2004) dampak pada lingkungan disebabkan oleh
rendahnya kualitas pengelolaan drainase sehingga air yang keluar dari lahan
gambut terjadi secara berlebihan dan menyebabkan keringnya lahan sekitar lokasi
pertanian. Pintu air dari bahan beton yang dibangun dibeberapa lokasi gambut
(Kalimantan dan Sumatera) umumnya tidak berfungsi mengatur aliran air, pada
waktu subsiden terdapat celah yang besar antara gambut dan pintu air sehingga air
mengalir keluar lahan pertanian. Banyak saluran drainase, saluran primer dan
sekunder dibangun sangat dalam sehingga air keluar dari lahan gambut tanpa
dapat dikendalikan (Sagiman, 2007).

Untuk itu penerapan beberapa kebijakan sangat diperlukan dalam upaya


konservasi lahan gambut, meliputi :
1. Keppres No. 32/1990 perlu direvisi, terutama yang menyangkut kawasan
konservasi dan kelestarian lahan. Khusus pengembangan kelapa sawit pada
lahan gambut harus mengacu Permentan No.14/2009.
2. Kawasan konservasi bukan hanya berada pada wilayah gambut dengan
ketebalan > 3 m, tetapi juga di kawasan yang mempunyai keanekaragaman
hayati (flora dan fauna), dan lapisan substratum di bawah gambut lapisan
sulfidik dan atau pasir kuarsa.
3. Pada dasarnya pemanfaatan lahan gambut harus merupakan prioritas terakhir,
dan bersifat selektif selain harus memenuhi kriteria Permentan No. 14/2009.
Pemanfaatan lahan gambut diprioritaskan pada lahan yang terlantar atau
terlanjur dibuka, dengan tujuan utama untuk meningkatkan kesejahteraan
masyarakat setempat.
4. Agar pengelolaan dan pemanfaatan kawasan gambut berjalan lancar, perlu
penerapan Inpres No. 2/2007 secara konsisten (Suriadikarta, 2009).
Jika semua aspek tersebut kita pertimbangkan, mulai dari dampak yang
timbul pada lahan gambut serta bagaimana upaya konservasi dilakukan dalam
menjaga keberadaan lahan gambut, maka kesemuanya tentunya dapat berjalan
dengan baik jika kita juga dapat mengimplementasikan beberapa kebijakan yang
berhubungan dengan pengelolaan dan perlingungan lahan gambut, sehingga
keberadaan gambut dapat dipergunakan sebagaimana mestinya untuk keejahteraan
masyarakat tanpa harus merusaknya.
BAB IV
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Kesimpulan yang didapat dari penulisan makalah ini adalah :
1. Konservasi adalah upaya untuk menjaga apa yang telah ada, dalam hal ini
sumber daya alam hayati dan ekosistemnya. Menjaga dalam artian tidak
menambah atau mengurangi kecuali dalam upaya mengembalikan kembali
(rehabilitasi) kemampuan produktivitas sumber daya alam sehingga
setidaknya kembali ke keadaan semula.
2. Gambut merupakan tanah yang terbentuk dari bahan organik pada fisiografi
cekungan atau rawa, akumulasi bahan organik pada kondisi jenuh air,
anaerob, menyebabkan proses perombakan bahan organik berjalan sangat
lambat, sehingga terjadi akumulasi bahan organik yang membentuk tanah
gambut.
3. Beberapa aspek lingkungan yang berhubungan dengan lahan gambut adalah
(i) lahan gambut sebagai penambat dan penyimpan karbon, (ii) lahan gambut
sebagai sumber emisi gas rumah kaca, (iii) kebakaran lahan gambut, (iv)
aspek hidrologi dan subsiden.
4. Konservasi gambut ditujukan untuk mempertahankan keberadaan gambut
agar jangan cepat punah dan mempertahankan kemampuan gambut dalam
menyimpan air, kedua kegiatan ini sangat erat satu sama lain.
5. Beberapa kebijakan dapat digunakan dalam upaya mendukung konservasi
lahan gambut.

4.2 Saran
Upaya konservasi harus cepat dilaksanakan pada lahan gambut, agar
keberadaan gambut sebagai kawasan penyangga air dapat terjaga keutuhannya.
Sehingga kerusakan lingkungan yang semakin parah dewasa ini dapat berkurang.
DAFTAR PUSTAKA

Agus, Fahmuddin dan Subiksa, I.G. Made. 2008. Lahan Gambut: Potensi untuk
Pertanian dan Aspek Lingkungan.

Sagiman, Saeri. 2007. Pemanfaatan Lahan Gambut dengan Perspektif Pertanian


Berkelanjutan.

Sorrell, Brian. 2000. Conservation values and management of the Kongahu


Swamp, Buller District.

Suriadikarta, Didi Ardi. 2009. Pembelajaran Dari Kegagalan Penanganan


Kawasan Plg Sejuta Hektar Menuju Pengelolaan Lahan Gambutberkelanjutan
http://124.81.86.180/publikasi/ip024091.pdf
Diakses pada tanggal 3 Maret 2010

Tim Sintesis Kebijakan, Balai Besar Penelitian Dan Pengembangan Sumberdaya


Lahan Pertanian. 2008. Pemanfaatan Dan Konservasi Ekosistem Lahan
Rawa Gambut Di Kalimantan.

You might also like