You are on page 1of 30

BAB I

PENDAHULUAN

Islam sebagai agama Rahmatan Lil Alamin, memiliki ciri khas tersendiri dari
agama-agama lainnya. Khususnya dalam perkembangan ilmu-ilmu keagamaannya, hal
ini dapat kita ketahui dari banyaknya ilmu yang dilahirkan dari tokoh Islam bahkan
dari luar Islam sendiri banyak sekali yang melakukan pengkajian terhadap Islam baik
itu Al Quran ataupun lainnya. Salah satu cabang ilmu yang dilahirkan oleh tokoh
Islam adalah tasawwuf yang lebih terkenal dengan tokoh-tokoh sufi, seperti Rabi’ah
Al Adawiyah, Al Ghazali, Syeikh Siti Jenar ataupun lainnya.
Dalam makalah ini kami ingin mengkaji salah satu tokoh tasawwuf yaitu imam
Al Ghazali beserta karakteristik pemikiran tasawwufnya dan pengaruh yang
ditimbulkan dari pemikirannya. Tapi sebelum melangkah lebih jauh ada baiknya untuk
lebih bisa memahami siapa Al Ghazali dan bagaimana karekteristik pemikiran
tasawwufnya terbentuk, ada baiknya kita mengenal apa yang dimaksudkan dengan
tasawwuf dan perkembangannya sebelum Al Ghazali dilahirkan. Karena
bagaimanapun seperti yang dikatakan oleh Hegel menguak sejarah berarti memahami
proses manusia menuju tujuan tertentu atau sejarah yang terarah, dan proses ke arah
tujuan itu berlangsung secara dialektis1.

A. Definisi Tasawwuf
Tasawwuf sebagai salah salah satu tipe mistisme, dalam bahasa Inggris
disebut dengan sufisme, dan Tasawwuf mulai dipercakapkan sekitar abad ke dua
hijriyah yang dikaitkan dengan salah satu jenis pakaian kasar yang disebut Shuff
atau wool kasar. Karena bentuknya yang kasar, kain ini digemari oleh para zahid
sebagai pakaian sehingga pada masa itu pakaian ini disimbolkan sebagai pakaian
kesederhanaan.
1 Proses dialektika memungkinkan hal-hal yang rasional dari masa-masa tertentu dikoreksi
Francis Fukuyama, The End Of History And The Last Man ; kemenangan kapitalisme dan demokrasi
liberal, hal Pendahuluan, Qalam, Jogjakarta, 2003. Cet ketiga.

1
Menghubungkan sufi atau Tasawwuf dengan shuff nampaknya cukup
beralasan. Sebab, antara keduanya ada hubungan korelasi yakni antara jenis
pakaian yang sederhana dengan kebersahajaan hidup para sufi. Kebiasaan
memakai wool kasar juga merupakan karakteristik kehidupan orang-orang shaleh
sebelum datangnya Islam,2 sehingga mereka dijiluki dengan sufi yaitu orang-orang
yang memakai shuff. Sekelompok muhajirin yang hidup dalam kesederhanaan di
madinah pun memakainya, mereka selalu berkumpul di serambi masjid nabi yang
disebutkan shuffah. Oleh karena mereka mengambil tempat di serambi masjid itu,
maka kelompok itu disebut dengan ahl as-shuffah. Cara hidup saleh yang
diperagakan oleh kelompok itu kemudian menjadi pola panutan bagi sebagian
umat Islam yang kemudian disebut dengan sufi dan ajarannya dinamai dengan
Tasawwuf.
Ada pula pendapat yang mengatakan bahwa kata tasawwuf berasal dari
bahasa yunani yakni sophos yang berarti hikmah atau keutamaan. Menurut
pendapat ini , para sufi itu adalah pencari hikmah atau penganut ilmu hakikat.3
Pendapat lain memperkirakan kata sufi berasal dari kata shafa atau shafwun yang
berarti bening. Sementara lainnya mengatakan kata sufi berasal dari kata shaff
yang berarti barisan, karena para sufi selalu berada pada barisan terdepan dalam
mencari keridloan Ilahi.4
Melihat beberapa pendapat diatas, nampaknya kata sufi adalah merupakan
gelar semata yang tidak terdapat dalam akar kata bahasa arab, merupakan suatu
panggilan kehormatan yang semisal dengan sebutan sahabat.5 Kalau dalam
pencarian akar kata Tasawwuf sebagai upaya awal untuk pendefinisian Tasawwuf,
ternyata sulit untuk menarik satu kesimpulan yang tepat, kesulitan serupa ternyata
dijumpai pula dalam pendefinisian Tasawwuf sebagai halnya dalam pendefinisian
Tasawwuf sebagaimana halnya dalam mendefinisikan filsafat atau mistisme.
2 R.A. Nilcholson, The Mystic Of Islam, Kegan Paul, London,1996; juga dapat dilihat dalam
Al-Thusi, Al-Luma’; Kairo,1960, hlm 40-41.
3 Qomar Khailani, Fi al-Tasawwuf al-Islam, Dar al-ma’arif, Kairo,1969, hlm 111-113.
4 Mohd. Musthafa Hilmi, al-Hayah al-Ruhiyah fi al-Islam, Kairo,1945, hlm 83-85.
5 Al- Qusyairi, Ar-Risalah al- Qusyairiyah, Kairo,1966, hlm 7-8.

2
Kesulitan itu nampaknya berpangkal kepada esensi Tasawwuf sebagai
pengalaman rohaniyah yang hampir tidak mungkin dijelaskan secara tepat melalui
bahasa lisan. Masing-masing orang yang mengalaminya mempunyai penghayatan
yang berbeda dari orang lain sehingga pengungkapannya juga melalui cara yang
berbeda. Maka muncullah definisi Tasawwuf sebanyak orang yang mencoba
menginformasikan pengalaman ruhaniyahnya itu. Kesulitan dalam
mendefinisikan Tasawwuf tersebut diatas, di samping karena faktor esensi dari
pada Tasawwuf, juga karena ciri Tasawwuf yang intuitif subjektif , juga oleh
pertumbuhan dan kesenjangan Tasawwuf yang melalui berbagai segmen dan
dalam kawasan kultur yang bervariasi.
Dalam setiap fase dan kawasan kultur, kemunculan Tasawwuf terlihat
hanya sebagian dari unsur-unsurnya saja sehingga penampilan tidak utuh dalam
satu ruang dan waktu yang disistematisir satu disiplin ilmu yang disebut dengan
Tasawwuf. Satu disiplin ilmu yang tumbuh dari pengalaman spiritual yang
mengacu pada kehidupan moralitas yang bersumber dari nilai-nilai Islam. Namun
begitu, dari serangkaian definisi yang ditawarkan oleh para ahli,6 ada satu asas
yang disepakati yakni Tasawwuf adalah moralitas-moralitas yang berasaskan
Islam. Artinya, pada prinsipnya Tasawwuf berarti moral dan semangat Islam,
karena seluruh ajaran Islam dari berbagai aspeknya adalah prinsip moral.7
Meskipun definisi Tasawwuf sangatlah sulit, akan tetapi Ibrahim al-
Basuni, salah satu dari sekian ahli yang merumuskan Tasawwuf, bisa dikatakan
yang paling tepat merumuskannya. Dari definisi yang banyak jumlahnya itu, ia
kelompokkan kepada tiga kategori yaitu :
1. Al-Bidayat. Yang dimaksud adalah bahwa prinsip awal tumbuhnya
Tasawwuf adalah sebagai manifestasi dari kesadaran spiritual
manusia tentang dirinya sebagai makhluk Tuhan. Kesadaran
tersebut mendorong manusia, dalam hal ini orang sufi, untuk
6 Menurut koleksi Ibrahim Basuni, ia telah mengumpulkan kurang lebih 40 definisi Tasawwuf
sampai ia menulis bukunya, Nas al-Tasawwuf al-Islam, tahun 1969.
7 Al-Qur’an surat Al-Qolam, ayat 4.

3
memusatkan perhatiannya dalam beribadat kepada Khaliqnya yang
dibarengi dengan kehidupan asketisme atau zuhud, dengan tujuan
sebagai pembinaan moral. Kecenderungan kepada moralitas itu
mendorong mereka untuk mempercakapkan pengetahuan intuitif
berikut sarana dan metodenya. Dari aspek ini Tasawwuf
didefinisikan sebagai upaya memahami hakikat Allah seraya
melupakan segala sesuatu yang berkaitan dengan kesenangan
duniawi.
2. Al- Mujahadat adalah seperangkat amaliah dan latihan yang keras
dengan satu tujuan yaitu berjumpa dengan Allah. Berdasarkan
sudut tinjauan ini, Tasawwuf diartikan sebagai usaha yang
sungguh-sungguh agar berada sedekat mungkin dengan Allah.
3. Al-Madzaqot, diartikan sebagai apa dan bagaimana yang dialami
dan dirasakan seseorang di hadirat Allah, apakah dia melihat
Tuhan, ataukah dia merasakan kehadiran Tuhan dalam hatinya dan
atau dia merasa bersatu dengan Tuhan. Berdasarkan pendekatan ini
maka Tasawwuf dipahami sebagai al-ma’rifatul Haqq, yakni ilmu
tentang hakikat realitas-realitas intuitif yang terbuka bagi seorang
sufi.
Definisi lain mengatakan bahwa Tasawwuf adalah usaha mengisi hati
dengan hanya ingat kepada Allah, yang merupakan landasan lahirnya ajaran al-
hubb atau cinta ilahi.8 Dan selain yang telah disebutkan diatas, masih ada jalan lain
untuk memahami tentang Tasawwuf, yaitu melalui pemahaman terhadap
karakteristik Tasawwuf dan mistisme pada umumnya. Berdasarkan kajian terhadap
Tasawwuf dari berbagai alirannya, ternyata Tasawwuf memiliki lima ciri khas
atau karakteristik umum, yaitu :
1. Tasawwuf dari semua alirannya memiliki obsesi kedamaian dan
kebahagian spiritual yang abadi. Oleh karena itu, Tasawwuf

8 Ibrahim Basuni, Nas- ah al-Tasawwuf al-Islam, Dar al-Ma’arif, Kairo, 1969, hlm 17-25

4
difungsikan sebagai pengendali berbagai macam kekuatan yang
bersifat merusak keseimbangan daya dan getaran jiwa sehingga ia
bebas dari pengaruh yang datang dari luar hakekat dirinya. Rasa
kebebasan diri adalah inti dari kedamaian dan kebahagiaan jiwa.
2. Tasawwuf sebagai semacam pengetahuan langsung yang diperoleh
melalui tanggapan instuisi. Epistimologi sufisme mencari hakikat
kebenaran atau realitas melalui penyingkapan tabir penghalang
yang yang membatasi antara sufi dengan realitas. Dengan
terbukanya tabir penghalang tersebut, maka sufi dapat secara
langsung melihat dan merasakan realitas itu.
3. Pada setiap perjalanan sufi berangkat dari dan untuk peningkatan
kualitas moral yakni pemurnian jiwa melalui serial latihan yang
keras dan berkelanjutan.
4. Peleburan diri pada kehendak Tuhan melalui fana, baik dalam
pengertian simbolis atributis atau pengertian subtansial. Artinya,
peleburan diri dengan dengan sifat-sifat Tuhan dan atau
pernyataan diri dengan-Nya dalam realitas yang tunggal.
5. Penggunaan kata simbolis dalam pengungkapan pengalaman.
Setiap ucapan atau kata yang dipergunakan selalu memuat makna
ganda, tetapi yang dimaksudkan biasanya adalahmakna apa yang
ia rasa dan alami bukan arti harfiahnya.
Jadi, secara garis besar kita dapat mengetahui bahwasannya tasawwuf
adalah salah satu cabang ilmu yang lahir dari kegelisahan para kaum muslimin
untuk memperoleh bimbingan hidup menuju ma’rifat illahiyah baik itu dengan
jalan pengalaman pengamalan hidup yang menjauhi keduniawian melalui tirakat
atau menyepikan diri selama beberapa waktu yang lama.
B. Perkembangan Tasawwuf Pra Al Ghazali
Setelah kita mendefinisikan Tasawwuf yaitu sebagai usaha mengisi hati
dengan hanya ingat kepada Allah, dan Term Tasawwuf itu sendiri mulai dikenal

5
secara luas dikawasan Islam pada abad kedua hijriyah, berawal dari
pengkelompokan para zahid di serambi masjid madinah yang melakukan ibadah
dan mengembangkan kehidupan ruhaniah dengan mengabaikan kehidupan
duniawi, maka kita akan membahas tentang perkembangan Tasawwuf, khususnya
di dunia Islam dapat dikelompokan atas beberapa fase, yaitu : Pertama, Fase
Asketis yaitu kehidupan para zahid yang lebih mengkhususkan diri pada
peribadatan dan pengembangan kehidupan rohaniah dengan mengabaikan
kehidupan duniawi, yang ditandai dengan munculnya individu-individu yang lebih
mengejar kehidupan akhirat sehingga perhatiannya terpusat untuk beribadat saja
kepada Allah, fase ini berkembang mulai abad kedua hijriyah sampai awal abad
ketiga hijriyah. Kedua, Fase sufisme yaitu perkembangan Tasawwuf yang ditandai
antara lain dengan peralihan sebutan di kalangan zahid menjadi sufi. Fase ini
muncul pada awal abad ketiga hijriyah. Di sisi lain, pada kurun waktu ini
percakapan para zahid sudah sampai pada persoalan apa itu jiwa bersih, apa itu
moral dan bagaimana metode pembinaannya serta perbincangan tentang masalah
teoritis lainnya. Tindak lanjut dari perbincangan ini, maka bermunculanlah
berbagai teori tentang jenjang-jenjang yang harus ditempuh oleh seorang sufi (al-
maqomat), serta ciri-ciri yang dimiliki seorang sufi pada tingkat tertentu (al-hal).
Demikian juga pada periode ini sudah mulai berkembang pembahasan tentang
ma’rifat serta perangkat metodenya sampai pada tingkat fana dan ittihad.
Bersamaan dengan itu, tampil pula para penulis tentang Tasawwuf, seperti al-
Muhasibi, al- kharraj, dan al-Junaid, serta penulis lainnya. Fase ini ditandai dengan
muncul dan berkembangnya ilmu baru dalam khazanah budaya Islam, yakni ilmu
Tasawwuf yang tadinya hanya berupa pengetahuan praktis berkembang kepada
arah yang lebih spesifik seperti konsep instuisi, al-kasyf dan dzauq.9
Kepesatan perkembangan Tasawwuf sebagai salah satu kultur keIslaman,
nampaknya memperoleh infus atau motivasi dari tiga faktor, infus ini kemudian
memberikan gambaran tentang tipe gerakan yang muncul. Faktor tersebut yaitu:

9 Abu al-Wafa’ al-Ghanimi al-Taftazani, 80-82.

6
• Pertama, karena corak kehidupan yang profan dan hidup keplesiran
yang diperagakan oleh umat Islam terutama para pembesar negeri dan
para hartawan. Dari aspek ini, dorongan yang paling deras adalah
sebagai reaksi terhadap hidup yang sekuler dan glamour dari kelompok
elit penguasa istana. Protes tersamar dilakukan oleh kaum sufi
dilakukan dengan gaya murni etis, pendalaman kehidupan spiritual
dengan motivasi etikal, tindakan tersebut akhirnya menjadi aliran
Tasawwuf dan tindakan tersebut dipelopori oleh Hasan al-Basri yang
mempunyai pengaruh kuat dalam kesejarahan spiritual Islam melalui
doktrin al-zuhd dan khouf, dan ar-roja’. Selain hasan al-basri juga oleh
Rabi’ah al Adawiyah dengan ajaran al Hubb/mahabbah, serta oleh
Ma’ruf al-Kharki dengan konsepsi al-syauq sebagai ajarannya.10
Nampaknya, setidaknya pada awal munculnya aliran tersebut, gerakan
ini semacam gerakan sektarian yang introversioner, pemisahan dari
trend kehidupan, eksklusif dan tegas pendirian sebagai upaya
penyucian diri tanpa memperdulikan alam sekitar.
• Kedua, timbulnya sikap apatis sebagai reaksi maksimal kepada
radikalisme kaum Khawarij dan polarisasi politik yang
ditimbulkannya. Kekerasan pergulatan politik pada masa itu
menyebabkan orang-orang yang ingin mempertahankan kesalehan dan
ketenangan rohaniah terpaksa mengambil sikap menjauhi kehidupan
masyarakat ramai untuk menyepi dan sekaligus menghindarkan diri
dari keterlibatan langsung dalam pertentangan politik. Sikap demikian
itu melahirkan ajaran ‘Uzlah yang dipelopori oleh Surri al-Shaqathi.
Apabila diukur dari kriteria sosiologi, nampaknya kelompok ini dapat
dikategorikan sebagai gerakan “sempalan” , yaitu satu umat yang
sengaja mengambil sikap uzlah kolektif yang cenderung eksklusif dan
kritis terhadap penguasa. Dalam pandangan ini, kecenderungan
10 R.A Nicholin,Op.cit; 4

7
memilih kehidupan rohaniah mistis, sepertinya merupakan pelarian,
atau mencari konpensasi untuk menang dalam medan perjuangan
duniawi. Ketika di dunia yang penuh tipu daya ini sudah kering dari
siraman cinta sesama, mereka bangun dunia baru, realitas baru yang
terbebas dari kekejaman dan keserakahan, dunia spiritual yang penuh
dengan salju cinta.
• Ketiga, karena corak kodifikasi hukum Islam dan perumusan ilmu
kalam yang rasional sehingga kurang bermotifasi etikal, yang
menyebabkan kehilangan moralitasnya, menjadi semacam wahana
tiada isi atau semacam bentuk jiwa. Formalitas paham keagamaan
dirasakan semakin kering dan menyesakkan ruhuddin yang
menyebabkan terputusnya komunikasi langsung suasana keakraban
personal antara hamba dengan penciptanya. Kondisi hukum dan
teologi yang kering tanpa jiwa itu, karena dominannya posisi moral
dalam agama, para zuhhad tergugah untuk mencurahkan perhatian
terhadap moralitas, sehingga memacu terhadap pergeseran asketisme
kesalehan terhadap Tasawwuf.
Sejak munculnya doktrin fana’ dan itihad, terjadilah pergeseran tujuan
akhir kehidupan spiritual. Kalau Tasawwuf bertujuan hanya untuk mencintai dan
dekat dengan Tuhan sehingga dapat berkomunikasi langsung, tujuan itu telah naik
lagi pada tingkat penyatuan diripada Tuhan. Konsep ini berangkat dari paradigma
bahwa manusia secara bilogis adalah mahluk yang mampu melakukan
transformasi atau transendensi melalui tangga spiritual ke alam ilahiyat.
Fase ketiga adalah Tasawwuf sebagai ilmu, ditandai dengan mulainya
unsur-unsur di luar Islam berakulturasi dengan Tasawwuf. Ciri penting lainnya
dari fase ini adalah pada fase ini timbul ketegangan antara kaum ortodoks dengan
kelompok sufi berpaham ittihad di pihak lain. Akibat lanjut dari pemikiran itu,
maka sekitar abad tiga hijriyah tampil al-Kharraj bersama al-Junaidi menawarkan
konsep-konsep Tasawwuf yang kompromistis antara sufisme dan ortodoks. Tujuan

8
gerakan ini adalah untuk menjembatani dan atau bila dapat untuk
mengintegrasikan antara kesadaran mistik dengan syari’at Islam. Jasa mereka yang
paling bernilai adalah lahirnya doktrin al-baqa atau subsistensi sebagai imbangan
dan legalitas al-fana
Hasil keseluruhan dari usaha pemaduan itu, doktrin sufi membuahkan
sejumlah besar pasangan-pasangan kategori dengan tujuan memadukan kesadaran
mistik dengan syari’at sebagai suatu lembaga. Upaya tajdid itu mendapatkan
sambutan luas dengan tampilnya penulis-penulis Tasawwuf tipologi sepeti al-
Sarraj dengan al-luma’ , al-khalabazi dengan al-ta’arruf li madzhab ahl al-
Tasawwuf, dan al-Qusayri dengan ar-risalah. Sesudah masanya ketiga tokoh sufi
ini, muncul jenis Tasawwuf yang berbeda yaitu Tasawwuf yang merupakan
perpaduan antara sufisme dan filsafat sebagai hasil buah fikiran Ibn Masarrah
dengan konsepsinya ma’rifat sejati, sebagai gabungan dari sufisme dan teori
emanasi neo-plotonis gagasan ini, sesudah masa Al Ghazali diembangkan oleh
suhrawardi al-maqtul dengan doktrin al-isyariqoh atau illuminasi.

BAB II
KEHIDUPAN AL GHAZALI

A. Biografi Al Ghazali

9
Nama lengkap Al Ghazali adalah abu hamid muhammad ibn muhammad
Al Ghazali at-thusi, seorang persia asli. Dia dilahirkan pada tahun 450 H/ 1058 M.
di thus (sekarang dekat mashed), sebuah kota kecil di Khurasan, Iran dan wafat di
sini juga dan dikuburkan tahun 505 H/1111 M.11 Ayahnya seorang pengrajin yang
bekerja memintal woll dan hasilnya dijual sendiri di tokonya di Thus. 12 Dengan
kehidupannya yang sederhana itu, ayahnya menggemari kehidupan sufi. Sehingga
ketika dia sudah merasa ajalnya segera tiba, dia berwasiat kepada seorang sufi,
teman karibnya, untuk memelihara dua orang anaknya yang masih kecil-kecil
yaitu muhammad dan ahmad, dengan berbekal sedikit warisan yang
ditinggalkannya. Sufi itupun menerima wasiatnya. Setelah harta tersebut habis,
sufi yang hidup faqir itu tak mampu memberinya tambahan. Maka Al Ghazali dan
adiknya diserahkan ke sebuah madrasah di Thus untuk bisa memperoleh makan
dan pendidikan. Disinilah awal mula perkembangan intelektual dan spiritual Al
Ghazali yang penuh arti sampai akhir hayatnya.13 Namun dalam perkembangan
tersebut situasi kultural dan struktural pada masa hidupnya juga berpengaruh
besar.14 Karena itu, situasi masa itu perlu disoroti terlebih dahulu.
B. Kondisi Sosio Historis Al Ghazali
Sebagai seorang tokoh pemikir Islam, Al Ghazali mempunyai suatu konsep
teologi Islam yang unik, karena pola struktur teologinya yang berbeda dari
konsep-konsep teolog lainnya. Salah satu keunikan teologi Islam yang dihasilkan
Al Ghazali adalah konsepsinya mengenai kalam, yang berbeda dari pandangan
para teolog (mutakallimun), yang menganggap kalam identik dengan teologi
dalam Islam. Menurut Abdul Qodir Mahmud, teologi Al Ghazali menyatu

11 Abd halim mahmud, Qodhiyat al thasawuf al-munqid min al-al dhalat (selanjutnya disebut
al qhadiyat), dar al maarif, kairo.
12 Karena kerja ayahnya itulah dia disebut dengan Al Ghazali (pemintal wol). Bandingkan
Mustafa jawwad “ ‘Ashr Al Ghazali”, dalam mahrajan Al Ghazali bi damsiq, abu hamid Al Ghazali fi
al dzikr al mi’awiyat al-thasiat li miladih (selanjutnya disebut abu hamid), al majlis al A’la li ri’yat al
funun wa al-adab wa al-ulum al ijtima’iyah, kairo.1962, hlm 495-46.
13 Lihat as-subki, thabaqat al syafi’iyat al kubra, Isa al babi’ al halabi, mesir, juz VI hlm191.
14 Pendapat Ahmad Fu’ad al-Ahwani dalam kata penantar kitab ‘Abd Al karim Al
Usman,hlm,8

10
seutuhnya dengan pribadinya, yaitu dengan perkembangan intelektual dan spiritual
sejak muda sampai akhir hayatnya.15
Setengah abad dari masa Al Ghazali dilaluinya dalam abad ke 5 M. hanya
lebih kurang lima tahun dia sempat mereguk abad berikutnya. Itulah masa
hidupnya Al Ghazali, yang dihabiskannya beberapa lama di Khurasan, Iran
(tempat kelahiran dan pendidikannya), di Baghdad, Irak (tempat puncak karir
intelektualnya), dan di Damaskus, Al Quds, Mekkah, Madinah, dan kota-kota lain
(tempat persinggahan dalam pengembaraannya yang panjang untuk memenuhi
tuntutan spiritualnya). Situasi kultural dan struktural di daerah-daerah tersebut
ketika itu dapat diuraikan secara singkat sebagai berikut:
Dari segi politik, di Dunia Islam bagian timur, eksistensi Dinasti
Abbasiyyah, yang beribukota di Baghdad, masih diakui. Hanya saja kekuasaan
efektifnya berada ditangan para Sultan yang membagi wilayah tersebut menjadi
beberapa daerah kesultanan yang independen. Dinasti Saljuq, yang didirikan oleh
Sultan Togrel Bek (1037 – 1063 M.), sempat berkuasa di daerah-daerah :
Khurasan, Rayy, Jabal, Irak, Al Jazirah, Parsi dan Ahwaz selama 90 tahun lebih
(429 -522 H/1037 – 1127 M.). Kota Baghdad dikuasainya pada tahun 1055 M. tiga
tahun sebelum Al Ghazali lahir. Dinasti Saljuq mencapai kejayaan pada masa
pemerintahan Sultan Alp Arslan (1063 – 1072 M.) dan Sultan Malik Syah (1072 –
1092 M.), dengan wazirnya yang terkenal Nizam Al Mulk (1063 – 1092 M.) 16.
Sesudah itu dinasti saljuq mengalami kemunduran, karena terjadinya perebutan
tahta dan gangguan stabilitas keamanan dalam negeri yang dilancarkan golongan
bathiniyah. Al Ghazali hidup dan berprestasi pada kedua frase tersebut, baik pada
masa kejayaan ataupun pada masa kemundurannya.17 Cabang lain dari dinasti
saljuk juga berkuasa di wilayah siria, wilayah yang direbutnya dari dinasti

15 Abd Qodir Mahmud menganggap Al Ghazali sama dengan Aurelius Augustinus (354-430
M). SEORANG TEOLOG DAN FILSUF KRISTEN TERBESAR MASA SKOLASTIK, lihat : Abd
qodir mahmud, Al-Falsaft al-sfiyah al Islam, dar al fikr-al ‘arabi, kairo1967, hlm,151.
16 pendapat ahmad fu’ad al-ahwani dalam kata pengantar kitab al kariem al-usman,hlm,8
17 selain dua sultan tersebut, Al Ghazali mengalami pula masa pemerintahan empat sultan
yang lain. Lihat abd karim al usman, hlm,25-26

11
fatimiyah di mesir. Karena letak geografisnya yang strategis, wilayah ini selalu
menjadi rebutan para penguasa penguasa. Saljuk berkuasa di daerah ini sejak
tahun 468 H/1075 M. waktu Al Ghazali datang kesini , pemerintahan ini dipegang
oleh Daqqaq Abu Nashr alias Syams Al Muluk, yang memulai memerintah pada
tahun 488 M pada masa pemerintahannya pula mulai terjadi perang salib, yang
berhasil mendirikan beberapa kerajaan kristen di wilayah ini, seperti Kerajaan
Ruha pada tahun 490 H/1097 M dan kerajaan Antiochia pada tahun 491 H/1099 M
ke tangan kaum salib dan pada tahun 491 H menyusul kota tripolis.18
Pada waktu itu, di mesir masih tetap berdiri khalifah fatimiyah. Wilayah
kekuasaannya tidak terbatas di mesir saja, tetapi sampai ke daerah afrika utara dan
siria. Bahkan menjelang munculnya dinasti saljuk, pernah beberapa
bulanmenguasai baghdad, ibukota abbasiyah. Dinasti saljuklah yang merobek-
robek wilayah fathimiyyah di Iraq dan Siria, sebagaimana telah dikemukakan.
Pada tahun 472 H/1079 M, fathimiyah sempat berusaha merebut kembali wilayah
siria dari tangan saljuq, tetapi gagal. Mungkin karena kegagalan inilah, Fathimiyah
bersikap dia tatkala dinasti saljuq berjuang mati-matian dalam menghadapi
gelombang tentara salib yang menjadi ancaman dunia Islam waktu itu.
Situasi politik dan keamanan dalam negeri dinasti saljuq tidak stabil,
karena adanya gangguan dari gerakan politik bawah tanah yang berbajukan agama,
yakni gerakan bathiniyah. Gerakan ini yang semula merupakan pecahan sekte
syi’ah Isma’illiyah yang terjadi dalam istana dinasti fathimiyah di mesir dalam
pimpinan hasan Al-shabah mulai tahun 483 H/ 1090 M yang bersentral di alamut (
sebelah utara Quzwin), gerakan ini tidak segan-segan melakukan serangkaian
pembunuhan terhadap tokoh-tokoh penguasa dan ulama yang dianggap
penghalang mereka. Diantara korbannya yang paling besar adalah Nizham al-
Mulk, Wazir saljuq terbesar dan sangat berjasa bagi karir intelektual Al Ghazali,
yang terbunuh pada tahun 485 H/1092 M. Usaha bani saljuk untuk
menghancurkan gerakan ini dengan serangkaian serangan kepusat gerakan di

18 Lihat,Ibid,hlm126 dan khalid muaz, Dimasyiq ayyam Al Ghazali, abu hamid hlm,485-486.

12
alamut selalu gagal. Bahkan, pada tahun 490 H, bathiniyah berhasil menguasai
sebelas benteng di seluruh iran, yang terbentang dari Qahistan di timur sampai
sampai dailam di barat laut. Gerakan ini baru dapat dihancurkan –setelah 177
tahun berdiri dengan delapan orang pimpinan- oleh tentara tartar dibawah Hulaku
pada tahun 654 H/1256 M.
Pada masa Al Ghazali, bukan saja telah terjadi disintegrasi dibidang politik
umat Islam, tetapi juga dibidang sosial keagamaan. Umat Islam ketika itu terpilah-
pilah dalam beberapa golongan mazhab fiqih dan aliran kalam, masing-masing
dengan ulama’nya yang dengan sadar menanam fanatisme golongan kepada umat.
Sebenarnya tindakan serupa juga diperankan oleh pihak penguasa . setiap
penguasa cenderung untuk berusaha menanamkan pahamnya kepada rakyat
dengan segala upaya, bahkan dengan cara kekerasan.
Akibat dari fanatisme yang berlebihan pada masa itu sering menimbulkan
konflik antar golongan madzhab dan aliran, malah sampai meningkat menjadi
konflik fisik yang meminta korban jiwa. Konflik tersebut terjadi antar berbagai
madzhab dan aliran. Masing-masing madzhab memang mempunyai wilayah
penganutnya. Penanaman fanatisme madzhab dan aliran dalam masyarakat
tersebut banyak melibatkan para ulama. Hal ini erat kaitannya dengan status ulama
yang menempati strata tertinggi dalam stratifikasi sosial waktu itu, dibawah status
para penguasa. Hal ini karena adanya interdependensi antara penguasa dan ulama.
Dengan peran ulama, para penguasa memperoleh semacam legitimasi terhadap
kekuasaannya di mata umat, sebaliknya, dengan peran penguasa, para ulama bisa
memperoleh jabatan dan kemuliaan berikut dengan kemuliaan hidup. Karena itu,
para ulama berlomba-lomba mendekati para penguasa, para ulama bisa
memperoleh jabatan dan kemuliaan berikut dengan kemewahan hidup.19
Disamping itu ada pula golongan sufi yang hidup secara ekslusif di khahkan-
khahkan (semacam asrama) dengan kehidupan mereka yang khas. Di daerah syria,

19 Sulayman Dunya, Al-Haqiqat fi Nazhr Al Ghazali, Dar al-Ma’arif, Mesir, 1971,cet


III.hlm.15

13
dinasti saljuk mendirikan dua buah khankahyang megah yaitu al Qasr dan Al
Tawawis sebagai tambahan khahkan yang sudah ada yaitu Al samisatiyyah yang
dibangun oleh penguasa sebelumnya. Di damaskus pada masa itu, golongan sufi
yang di khankah-khankah yang megah seperti mahligai taman firdausnya dianggap
kelompok istimewa. KebuTuhannya dicukupi oleh masyarakat dan penguasa.
Mereka dianggap sebagai orang-orang ynag tak menghiraukan kehidupan dunia
yang penuh noda dan mampu mendoakan kepada Tuhan apa-apa yang diharapkan
dengan mudah bisa terkabul20 status ini, oleh sebagian sufi, digunakan untuk
kemudahan hidup dan kemuliaan dengan sarana kehidupan sufi yang mereka
tojolkan.21
Konflik sosial yang terjadi di kalangan umat Islam pada masa Al Ghazali
yang bersumber dari perbedaan persepsi terhadap ajaran agama, sebenarnya
berpangkal dari adanya pelbagai pengaruh kultural terhadap Islam yang sudah ada
sejak beberapa abad sebelumnya. Diantara tokoh yang paling berpengaruh pada
masa Al Ghazali ialah filsafat yunani, maupun flsafat india dan persia. Filsafat
yunani banyak diserap oleh para teolog, filsafat india diadaptasi oleh kaum sufi,
dan filsafat Persia banyak mempengaruhi doktrin Syi’ah dalam konsep Imamah.22
Tetapi yang lebih penting lagi, pada masa itu dalam mempropagandakan
pahamnya, masing-masing aliran menggunakan filsafat (terutama filsafat logika)
sebagai alatnya, sehingga semua intelektual, baiok yang menerima maupun yang
menolak unsur-unsur filsafat dalam agama, harus mempelajari filsafat lebih
dahulu.23 Interdependensi antara para penguasa dan para ulama pada masa itu juga
membawa dampak positif bagi perkembangan ilmu pengetahuan. Para ulama
berkompetisi dalam mempelajari berbagai ilmu, meskipun bukan hanya bermotif
untuk pengembangan ilmu, tetapio juga untuk mendapatkan simpati dari para

20 Khalid Mu’adz,ibid, hlm,473-474.


21 Lihat Zaki Mubarak, op.cit. hlm, 19. (selanjutnya disebut dengan al-ihya’), dar al- fikr,
beirut,1980,cet,II juz.XI, hlm 122-123.
22 Ibrahim Madkur, “Al Ghazali Al Failasuf”, dalam Abu Hamid. Op. Cit. Hal 213
23 Lihat : ‘Abd Al Karim Al Ustman, Op. Cit. Hal 29 dan Victor Sa’id Basil, Manhaj Al
Bahts’An AlMa’rifat ‘ind Al Ghazali, Dar Al Kutub Al Lubnani, Bairut Hal 8

14
penguasa, yang selalu memantau kemajuan mereka guna direkrut untuk jabatan-
jabatan intelektual yang menggiurkan. Dalam situasi dan masa seperti itulah Al
Ghazali lahir dan berkembang menjadi seorang pemikir yang terkemuka dalam
sejarah.24

BAB III
PEMIKIRAN TASAWWUF AL GHAZALI

A. Tasawwuf Menurut Al Ghazali


Sebagai seorang sufi sejati yang terkonstruk dari sosio historis

24 Dr. HM Zurkani Jahja, Teologi Al Ghazali : Pendekatan Metodologi, (Yogyakarta :


Pustaka Pelajar) 1996 . Hal 70

15
kehidupannya, ia telah mempunyai pengalaman iluminasi yang mempengaruhi
karya dan akhlaknya. Nilai pengalaman mistik Al Ghazali telah meninggalkan
warisan yang nyata tentang pengalaman ini dalam bentuk pengetahuan riil yang
objektif berdasarkan penelitian dan pencariannya.
Pemikirannya mengenai persoalan keagamaan dan etika yang berakar pada
Tasawwuf sebagaimana pada tulisan-tulisannya yang sangat sarat muatan
Tasawwuf, ini menjadi bukti tentang peranan Al Ghazali sebagai seorang sufi.
Oleh karena itu, sebagaimana yang dikatakan Al Ghazali bahwa agama adalah hak
individu dan segala sesuatu yang ada dalam diri seseorang utamanya semua
kekuatan istimewa, sama sekali tidak berdasarkan pada hakikat kemanusiaan
melainkan hanya dari allah semata. Jadi, wajar jika kemudian muncul pengakuan
bahwasanya kontribusi terbesar dari Al Ghazali adalah terletak pada
kecanggihannya mengkolaborasikan sinergi antara syari’ah (eksoteris) dengan
Tasawwuf (esoteris). Hal ini dapat dibuktikan dengan pernyataannya “bahwa
pokok ajaran dari kaum sufi terletak pada pengendalian hawa nafsu, membuang
watak dan sifat yang jelek, sehingga hati mereka benar-benar bersih dari segala hal
dan hanya dipenuhi oleh allah semata.25
Pokok pikiran Al Ghazali berasal dan bermuara pada keikhlasan. Hal ini
sesuai dengan upaya mendidik dirinya agar supaya berlaku ikhlas sekaligus
mengajarkan kepada umat Islam bahwa perbuatan ikhlas adalah laku yang paling
penting dipegangi. Hal ini penting menurutnya karena keberhasilan generasi awal
umat Islam dalam memenangkan peperangan dan mencapai kemajuan ilmu
pengetahuan didasarkan atas keikhlasan. Sesuai dengan metode yang digunakan
Al Ghazali dalam mencapai kebenaran, menurutnya pertama metode iluminasi
(pancaran Tuhan). Ia mendapatkannya dengan cara membebaskan diri dari
skeptisisme. Kedua dengan metode pengembaraan dalam selang waktu yang relatif
lama. Dalam metode ini, ia sudah berjalan dengan cahaya keyakinan tanpa ada

25Al Ghazali , Samudra Pemikiran Al Ghazali, Alih Bahasa Kamran As’ad Irsyadi,
Yogyakarta, Pustaka Sufi, 2002, halaman Pendahuluan

16
keragu-raguan walaupun sebagai seorang penempuh jalan sufi yang membutuhkan
pembimbing untuk mampu mendapatkan ridla allah tetap ia butuhkan. Oleh karena
itu, ia tetap melakukan diskusi dengan wujud ujian kepada para teolog sekolastik,
filosof, para guru dan imam-imam di kalangan para sufi.
Di kala itu keadaan yang dihadapi oleh Al Ghazali sangat komplek, disaat
itu ia harus berhadapan dengan golongan penganut filsafat, teologi, syariat yang
mempertahankan alasan-alasan rasional disamping ayat-ayyat Al Quran, serta
golongan sufi yang pada dasarnya bersikap ekstrim, emosional dan rohaniah. Dari
hasil diskusi dan pemahaman terhadap realita kehidupannya ia menyadari betul
bahwa ada beberapa hal positif di dalam ajaran Tasawwuf. Bahkan menurut dia
melalui ajaran Tasawwuf orang akan menemukan kemantapan keyakinan ajaran
agama sebagai sarana untuk pembinaan keagamaan kearah budi luhur.26

B. Karekteristik Tasawwuf Al Ghazali


Bagi Al Ghazali Tasawwuf adalah penemuan jati diri manusia terhadap
Tuhannya dengan disertai rasa ikhlas untuk mencapai kehidupan yang budi luhur
di dunia dan kehidupan suci di akhirat. Sehingga ia mencoba mempertemukan
Syariat dan Teologi karena menurutnya orang yang hanya baru mengenal ajaran-
ajaran yang benar dan lurus sesuai tuntunan Sunnah. Artinya dengan tuntunan
teologi, orang baru mengenal akidah yang benar dan lurus. Akan tetapi terkait
dengan proses memperoleh keyakinan yang benar-benar mantap serta
menumbuhkan perasaan beragama yang menyala-nyala, teologi yang bersendi
dengan rumusan rasional tidaklah mampu memenuhi tuntutan itu. Bagi Al Ghazali
hanya dengan Tasawwuflah sebagai pelengkap tuntutan itu.
Karena bagaimanapun ilmu-ilmu agama yang berkembang sangat
pesat dengan memanfaatkan metode berfikir rasional hakikatnya merupakan
bangunan yang sangat indah dan kokoh, namun belum memiliki dasar-dasar

26 Simuh Dr. Sufiisme Jawa : Tranformasi Tasawwuf Islam ke Mistik Jawa, (Yogyakarta :
Bentang) ,1996, Cet II Hal 100

17
keyakinan agama serta jiwa yang benar-benar hidup. Maka ia harus dihidupkan
dengan memanfaatkan ajaran-ajaran tasawwuf. Akhirnya Al Ghazali menulis
karyanya yang terbesar yaitu Ihya’ Ulumuddin (menghidupkan ilmu-ilmu agama)
dan melalui karya ini ia juga mengkritik habis serta menunjukkan kelemahan dasar
pemikiran rasional dalam filsafat dan ilmu kalam.
Dengan hasil karyanya, ia menyadari betul bahwasanya ia tidak
bisa mengelak dan tunduk pada kejiwaan yang bersifat mistik dalam tasawwuf.
Kebenaran mistik itulah yang menjadi awal membawa dia kepada dunia yang
bersifat Illahiah. Dalam kitabnya, Al Ghazali memegangi penghayatan yang
bersifat mistis atau penghayatan jiwa sebagai kebenaran yang bersifat mutlak.
Dimana Al Ghazali membagi tingkat keimanan manusia menjadi tiga level. Level
yang paling rendah adalah keimanan orang-orang awam, yakni iman yang semata-
mata dengan taklid27. Kedua adalah keimanan para ahli kalam yakni keimanan
yang dibina di atas dalil-dalil. Ketiga adalah keimanan para arifin (orang yang
telah mencapai ma’rifat kepada Tuhan) yakani keimanan orang yang menghayati
Tuhan dengan cahaya keyakinan (nurul Yaqin).28
Dari konsep di atas menjadi dasar konsepsi metafisis Al Ghazali yaitu :
1. Konsepsi metafisika Al Ghazali.
Didasari penghayatan ma’rifat kepada allah. Al Ghazali mencoba
membina ajaran metafisika, bahwasanya Tuhan menciptakan alam semesta
seperti halnya seorang arsitek. Sebagaimana arsitek pada awalnya menyusun
naskah gambar gedung kemudian membuatnya sesuai gambar, begitu pula
Tuhan awalnya membuat naskah alam semesta beserta isinya sampai akhir di
dalam laukhul mahfudz, baru mewujudkan secara lahiriah dalam bentuk dunia.
Dari pandangan di atas, ia membagi alam menjadi empat derajat, antara lain :
• Wujud hakiki yang berada di lauhul mahfudz. Melalui pandangan
ini, Al Ghazali membagi ilmu yang diserap oleh indera disebut
27 Taklid adalah mengikuti atau percaya kepada orang lain tanpa mengetahui dasar dan
landasannya.
28 Al Ghazali, Ihya’ Ulumuddin, Juz III, Mesir 1907, Hal 15

18
ilmu Ta’limiyah dan ilmu yang diperoleh tanpa perantara disebut
ilmu Ladunniyah atau Ilhamiyah.
• Wujud jasmani yang bisa tertangkap oleh panca indera
• Wujud khayali yang tergambar dalam khayal manusia
• Wujud akali yang tergambar dalam hati
Dari pemetaan wujud hakiki yang melahirkan ilmu ladunniyah hanya
dapat diperoleh melalui jalan tasawwuf. Dalam hal ini Al Ghazali mengatakan
:
“Ketahuilah bahwa kecenderungan para ahli tasawwuf kepada ilmu
ilhaimiyah dan bukan pada ta’limiyah. Oleh karena itu mereka tidak
tertarik untuk mempelajari ilmu dan menghasilkan apa yang telah
disusun oleh para pengarang dan tiada tertarik pada pendapat-
pendapat serta dalil-dalil yang tersebut di dalamnya. Bagi para sufi,
jalan untuk mencapai ilmu sejati adalah mendahulukan latihan rohani,
melenyapkan sifat-sifat tercela dan memutuskan tali ikatan duniawi dari
hati mereka, memusatkan seluruh kesadaran hanya kepada allah.
Apabila berhasil, allah akan menganugerahkan cahaya ilmu dalam
lubuk hati hamba-Nya, hati mereka terbuka baginya alam malakut
(alam ghaib) tersingkaplah dinding-dinding kealpaan dari hati
sanubari, dengan rahmat allah, nampak gemerlapan segala hakikat
yang bersifat Illahi.”

Dari uraian di atas, Al Ghazali telah menunjukkan kecenderungan yang


merupakan ciri dari ajaran Tasawwufnya.

2. Konsepsi Tentang Manusia


Al Ghazali memandang bahwa hakikat manusia adalah kalbu (hati).
Keistimewaan dan kelebihan manusia yang mengatasi makhluk-makhluk
lainnya, memiliki potensi ma’rifat kepada allah. Tangga untuk mencapai
ma’rifat kepada allah adalah kalbu. Dengan mengetahui ma’rifat kepada allah
adalah sebuah keagungan dan kesempurnaan bagi kehidupan akherat, serta
merupakan perbendaharaan dan kemuliaannya.
Bagi Al Ghazali, dengan hatilah manusia mampu menangkap alam

19
kebendaan ataupun alam kerohanian dan bahkan alam ma’rifat pada dzat
Tuhan itu sendiri. Hati dalam kejasmanian adalah segumpal daging yang
berada dalam dada sebelah kiri, sedangkan ruh bersumber dari dalam hati
jasmani mengalir ke seluruh anggota badan melalui aliran darah dan urat-urat
yang menghidupi seluruh tubuh manusia. Nafsu adalah kekuatan syahwat
ghodob (nafsu ego sentros dan polemos) yang menjadi sumber bagi timbulnya
watak-watak yang tercela dan akal adalah kekuatan yang merupakan sifat ilmu
yang terdapat dalam hati. Nafsu bagi Al Ghazali ada dua, pertama nafsu
lawamah yang mengarah kepada keduniawian dan bersumber dari kekuatan
syahwat, orang yang dikuasainya akan menjadi abdul hawa (budak hawa
nafsu). Kedua nafsu amarah yang bersumber dari kekuatan ghodob.
Perjuangan pokok hidup manusia bagi Al Ghazali adalah dngan
menampakkan sifat-sifat keTuhanan yang terpendam dalam lubuk hatinya,
dengan jalan mengnal, menguasai, dan membasmi watak-watak hewani yang
memperbudak jiwanya. Perjuangan ini disebut jihad akbar yaitu perang
melawan musuh dalam selimutnya sendiri. Al Ghazali juga tidak memungkiri
bahwasanya dalam diri manusia memiliki bakat untuk menjadi penjahat atau
bijaksana. Dengan kata lain, mansia sangat potensial untuk menjadi insan
kamil atau menjadi penjahat yang paling buas yang lebih buas dari binatang.
Konsep Insan Kamil atau sering disebut waliyuallah oleh Al Ghazali
adalah orang yang dianugerahi penghayatan ma’rifat kepada allah dan menjadi
rang suci yang dikasihi oleh allah. Menurutnya wali dianugerahi berbagai
macam ilmu gaib (malaikat, ruh para nabi, mengetahui suratan nasib yang
tercantum di lauhul mahfudz) sehingga bisa mengetahui hal-hal yang terjadi di
dunia. Waliyullah adlah gambaran insan kamil yang dapat dicapai melalui
jalan tasawwuf. ilmu ladunni adalah ilmu yang didapat langsung melalui
terbukanya tabir alam gaib – adalah suatu kemampuan dimana dalam ajaran
tasawwuf adalah disebut keramat. Al Ghazali meyakini bahwasanya ilmu
ladunni yang telah disucikan dan diletakkan di atas tingkatan para ulama.

20
Konsep insan kamil yang berada dibawah level kenabian membuktikan baha
Al Ghazali berpaham moderat dalam hal tasawwuf, karena Al Ghazali
mengusahakan agar tetap menghormati batas-batas syari’ah. Bahkan untuk
menghidupkan kembali jiwa agama dengan kemantapan dan pendalaman
keyakinan kepada Tuhan melalui tasawwuf.29

3. Konsepsi tentang tarekat


Uraian tentang Tuhan dan kemampuan manusia mencapai ma’rifat
kepada Tuhan adalah tujuan hidup untuk mencapai kesempurnaan (insan
kamil). Ma’rifat kepada allah bukan merupakan ilmu yang dapat ditangkap
dengan panca indera dan akal pikiran tetapi merupakan sebuah penghayatan
dan pengalaman yang bersifat langsung karena bagi Al Ghazali, teramat terang
bagi mata manusia untuk menangkap cahaya di hati sebab dzat allah dan alam
ghaib adalah suatu yang objektif dan jelas. Dalam hal ini Al Ghazali
mengatakan :
“Itulah hati, apabila manusia mengetahui hatinya, maka sungguh dia
akan mengenal diri pribadinya sendiri. Dan apabila dia megenal diri
pribadinya, maka sungguh dia akan mengenal Tuhannya. Sebaliknya,
jika manusia jahil dengan hatinya, sungguh dia jahil dengan dirinya,
apabila dia jahil terhadap hatinya maka sungguh dia akan jahil
terhadap Tuhannya. Dan barangsiapa jahil terhadap hatinya maka
terhadap lainnya lebih jahil lagi.”

Ungkapan di atas menunjukkan betapa pentingnya kalbu dalam


tasawwuf. Kalbu atau hati adalah hakikat manusia, mengenal kalbu berarti
mengenal diri pribadinya atau sebaliknya. Mengenai hati sebagai sumber ilmu
Al Ghazali mengatakan :
“ Hati itu mempunyai dua pintu. Satu pintu terbuka kearah alam
malakut, yaitu lauhul mahfudz dan alam malaikat dan satu pintu lagi

29 Demi hal tersebut, Al Ghazali dengan tegas menolak paham ittihad (paham yang cenderung
ke arah keTuhanan yang bersifat pantheistik dan immanenies), hulul (ajaran tentang adanya roh Tuhan
yang menempat dalam diri manusia), dan paham wusul (sampai kepada Tuhan). Paham-paham itu
hanyalah hayalan belaka. Simuh, ibid, hal 91

21
terbuka ke arah panca indera yang berhubungan dengan dunia dan
segala yang yang bersifat empirik.”

Kegiatan tasawwuf untuk membuka pintu hati yang ke alam dalam,


oleh Al Ghazali di sebut alam malakut, hanya bisa dibuka dan dimanfaatkan
apabila pintu hati yang megarah keluar ditutupnya. Jalan untuk membuka
pintu hati yang menghadap kedalam ini di sebut tarekat (thariqoh).
Tarekat dibagi dalam dua bagian, Pertama penyucian hati terhadap apa
saja selain allah dan menenggelamkan hati dalam berdzikir kepada allah.
a. Penyucian Hati
Al Ghazali menggambarkan hati seperti cermin, apabila permukaan
cermin itu bersih dari kotoran keduniawian dan kemudian diarahkan
ke hadirat allah dengan perantaraan dzikir, maka hati manusia aka
menerima cahaya dzat allah. Hal ini meliputi upaya mawas diri untuk
mengenal sifat-sifat nafsu dan keudian menemukan hakikat dari
pribadinya lalu dengan upaya meninggalkan sifat-sifat tercela,
menghias diri dengan sifat-sifat yang terpuji. Puncaknya adalah Tajrid
(membelakangi atau membatasi segala ikatan dengan dunia dari
hatinya). Untuk mencapai ini dengan melakukan Uzlah
(mengasingkan diri) seperti yang dilakukan Al Ghazali selama
sepuluh tahun.
Dalam Tasawwuf upaya ini dilaksanakan secara bertahap yakni
latihan rohani yang cukup lama dan berat sebagai langkah untuk
mencapai maqom,30 antara lain maqom tobat, waro’, zuhud, faqir,
sabar, tawakal dan ridha.
b. Berdzikir Kepada Allah
Dalam tasawwuf, dzikir merupakan saka guru tarekat. Dalam hal ini
Al Ghazali mengatakan “dzikir adalah rukun yang paling kokoh bagi

30 maqom adalah taraf-taraf atau suasana batin yang berkaitan dngan pembinaan akhlak.
Simuh, ibid, hal 94

22
jalan menuju allah yang maha tinggi. Bahkan dzikir merupakan saka
guru bagi tarekat. Seseorang tiada akan sampai kepada allah kecuali
dengan dzikir yang terus menerus kepada allah.”31 Dzikir adalah
menyebut nama allah dan menyaksikan keindahan wajah Tuhan yang
menjadi kekasihnya. Dzikir merupakan awal dari tarekat serta menjadi
wasilah untuk mengonsentrasikan seluruh pikiran dan kesadaran
semata hanya kepada allah. Hal ini harus dilakukan dengan cara
khusus sesuai petunjuk guru yang telah berpengalaman.

4. Konsepsi Tasawwuf Dan Syariah Pemikiran Al Ghazali


Al Ghazali membagi derajat manusia menjadi empat tingkatan, yaitu :
a. Para Nabi, merupakan tingkat tertinggi, paling dekat dengan allah
dan mendapat ilmu dengan jalan wahyu.
b. Para wali, yakni para ahli tasawwuf yang telah ma’rifat kepada
allah, sebagai insan kamil selapis dibawah tingkat nabi mendapat
ilmu melalui penghayatan mistik (ladunniyah).
c. Para ulama yakni ahli ilmu yang memperolehnya melalui belajar.
d. Tingkat terendah adalah orang awam yang mendapat ilmu dengan
jalan taqlid.
Dari pembagian tersebut dapat kita ketahui, Al Ghazali menempatkan
kedudukan para wali dibawah para nabi dan di atas para ulama dan orang awam,
ini mengindikasikan bahwasanya wali mempunyai tingkat kepaTuhan
menjalankan syari’at dengan ketaatan lahir dan batin.
Tasawwuf bagi Al Ghazali demikian penting untuk menghidupkan
pemahaman-pemahaman syari’ah. Paham ini tercermin dalam kitabnya yakni
Ihya’ Ulumuddin yang tersusun atas empat juz. Juz pertama dan kedua berisi
ajaran syariat dan akidah disertai dasar-dasar ayat-ayat al-qur’an serta hadist dan
penafsirannya. Dan dibahas pula tingkatan-tigkatan pengamalan syariah yang

31 Qusyairi, Abu al-Qosim, Abd al-Karim, ar-Risalah, Mesir, 1959, hal 110

23
sempurna lahir batin. Pada juz ketiga dan keempat, membahas tasawwuf dan
tuntunan budi luhur bagi kesempurnaan pengamalan syariat.
Dari uraian sistematik ajaran ihya’ ulumudin, dapat dikonklusikan sebagai
berikut, sebelum orang mempelajari dan mengamalkan ajaran Tasawwuf harus
lebih terdahulu mempelajari serta memiliki pengertian yang cukup tentang pokok-
pokok ajaran syariat serta menjalankan dengan penuh kesadaran dan ketaatan. Ide
yang terkandung Dalam konsepsi tasawwuf Al Ghazali dapat digambarkan secara
skematis sebagai berikut :

Pengetahuan syariat yang Melaksanakan Syariat dengan


memadai disertai dasar syariat dan keyakinan mantap dan
ayat suci al-qur’an tasawwuf budi luhur di tambah
ilmu ladunniyah

I II III

C. Pengaruh Tasawwuf Al Ghazali


Pemikiran Al Ghazali dapat berpengaruh sekali di dalam membentuk
konstruk pemikiran pokok para filosofis daan teologis sesudahnya dalam
merumuskan yang memudahkan pemahaman bagi masyarakat awam, ajaran-
ajaranya selalu dirujukkan pada al-qur’an dan hadist, baik ajaran syari’at maupun
ajaran tasawwuf diuraikan dengan gamblang sehingga membentuk konstruksi
ajaran yang bulat dan utuh, bebas dari rumusan yang bersifat samar dan magis.
Dari sinilah akhirnya konsepsi pemikiran Al Ghazali mendapat perhatian terbesar
dari umat Islam sehingga disebut hujjatul Islam.
Selain itu, konversi spiritual Al Ghazali telah memperlihatkan kegagalan
fisafat untuk sampai pada ilmu, yakni tentang hakikat keTuhanan dan nurbuah.
Dengan menyakinkan bahwa segala ilmu pengetahuan tanpa diiringi oleh ajaran-
ajaran agama hanya akan membawa pada pembebasan jiwa tanpa kontrol. Sebagai
akibatnya perkembangan filsafat Islam pasca Al Ghazali mandeg, dan di atas

24
panggung pemikiran timur yang muncul hanyalah para peringkas, komentator,
pembuat catatan pinggir dan ulasan-ulasan yang tidak melampui para filosof
klasik. Dalam ilmu kalam, Al Ghazali juga telah merubah orietasi dan menyusun
jalan baru bagi ilmu kalam yang disandarkan pada akal dan kasyaf (pencerahan
spiritual).
Al Ghazali yang mencetuskan konversi spritualnya sebagai uapaya
menghidupkan kembali dan kebangkitan baru bagi dirinya dengan
menghembuskan gerakan ruh dan kebangkitan dalam segala aspek, terbukti dalam
karyanya terangkum segala sikap dan ilmu keagamaan sebagai upaya
membangkitkan kembali orientasi barunya di berbagai aspek kehidupan. Cita-cita
Al Ghazali adalah mengembalikan kehidupan dan pemikiran Islam kepada masa
sebelumnya (salaf) ; maka dia menuntut agar kwehidupan dari pemikiran Islam
dibimbing oleh ruh yang sama yang telah membimbing Islam dan nilai-nilainya
pada periode pertama.
Letak orisinalitas revivalisme Al Ghazali adalah dimasukkanya
pengalaman-pengalaman sufistiknya yang mendalam terhadap ilmu-ilmu
keagamaan Islam, serta pemahaman barunya terhadap agama di atas dasar
tasawwuf. Perubahan lain adalah di masa lain ternyata apa yang dicetuskan oleh
Al Ghazali memiliki peran yang sangat penting dalam menghidupkan dan
menyebarkan tasawwuf di tengah-tengah kaum muslimin.dengannya ia telah
menempatkan kedamaian dan persatuan diantara para sufi dan fuqoha,
menggantikan tempat permusuhan yang berabad-abad. Dia mencampurkan ajaran-
ajaran Islam dan menafsirkannya dalam sinaran makna-makna tasawwuf. dari
pencampuran ini dia menghasilkan asuatu agama sufi, atau tasawwuf agamis,
maka spiritualitas dalam bidang akidah, ibadah dan muamalah lebih mendalam
setelah sebelumnya Islam di tangan fuqoha, ahli kalam dan filosof nyaris menjadi
“kuil” (haikail) yang kosong dari ruh.32
32 Al Ghazali, Menuju Labuhan akhirat: mengungkap Problematika keberagaman Ummat.
Dalam pengantarnya Dr. Abu Al-‘Ula Afifi, Pengaruh Al Ghazali dalam memberikan Orientasi
kehidu[pan Intelektual dan Spritual dalam Islam, surabaya, Pustaka Progresiff, 2002, cet Kedua.

25
BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Tasawwuf adalah salah satu cabang ilmu yang lahir dari kegelisahan para kaum
muslimin untuk memperoleh bimbingan hidup menuju ma’rifat illahiyah baik
itu dengan jalan pengalaman pengamalan hidup yang menjauhi keduniawian
melalui tirakat atau menyepikan diri selama beberapa waktu yang lama.
2. Perkembangan Tasawwuf terjadi pada awal abad pertama dan ketiga Hijriyah
yang mengalami perkembangan cepat yang dipengaruhi oleh kondisi sosio

26
historis politik satt itu.
3. Al Ghozali mendasarkan tasawwuf pada keikhlasan sebagai jalan untuk
mencapai ma’rifat kepada Tuhan. Dengan metode pentucian diri dan
pengembaraan yang cukup lama.
4. Al Ghozali membagi fase pencapaian ma’rifat kepada Tuhan sesuai dengan
konsepsinya, konsepsi tentang metafisika, konsepsi tentang manusia, konsepsi
tentang tarekat, ketiga konsepsi ini yang menjadikan manusia bertingkat bagi
Al Ghozali, dan terakhir konsepsi syari’ah dan tasawwuf.
5. Pengaruh pemikirannya sangatlah besar sekali, dengan tidak lahirnya lagi ahli
tasawwuf pasca dirinya selama beberapa dekade. Tapi ia juga berhasil
mempersatukan ahli tasawwuf kala itu.

B. Penutup
Demikian yang dapat kami uraikan secara bertahap, untuk memperoleh
pemahaman yang sistematis dalam menulusuri kehidupan Al Ghozali dan
pemikirannya terkait dengan tasawwuf.
Sebagai tugas kelompok dari mata kuliah Akhlak Tasawwuf yang
disajikan untuk bahan diskusi, akan lengkap rasanya jika kita bersama-sama
melakukan tela’ah untuk mendapatkan penjelasan yang terinci lagi. Karena
bagaimanapun kami merasakan sekali sebagai manusia yang diliputi salah dan
lupa, kekurangan di dalam penyusunan makalah ini. Saran dan kritik yang
konstruktif kami harapkan. Wassalam

27
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an karim
Al Ghazali , Samudra Pemikiran Al Ghazali, Alih Bahasa Kamran As’ad
Irsyadi, Yogyakarta, Pustaka Sufi, 2002

Al Ghazali, Ihya’ Ulumuddin, Juz III, Mesir 1907

Al Ghazali, Menuju Labuhan akhirat: mengungkap Problematika


keberagaman Ummat. Dalam pengantarnya Dr. Abu Al-‘Ula Afifi, Pengaruh Al
Ghazali dalam memberikan Orientasi kehidu[pan Intelektual dan Spritual dalam
Islam, surabaya, Pustaka Progresiff, 2002, cet Kedua.

Abdullah, Amin, Filsafat Etika Islam : Antara Al Ghazali Dan Emannuel kant,
Bandung, Mizan, 2002

28
Fukuyama, Francis, The End Of History And The Last Man ; kemenangan
kapitalisme dan demokrasi liberal, Jogjakarta, Qalam, 2003. Cet ketiga.

Hamid, Abu Al Ghazali Jawahirul Qur’an, Dar Ihya’ Beirut, 1904/1985

Hakim, Lukman, Muhammad, Permata Ayat Suci, Surabaya, Risalah Gusti,


2001

Hamid, Abu, Al Ghazali, Menuju Labuhan Akhirat : mengungkap


Problematika Keberagaman Umat, Judul asli : Al Ajwibat Al Ghazaliyah wa al-
mas’alat al Ukhrawiyah ad-Durrat al-Fakhirat fi kasyfi Ulumi al Akhirah Risalah al-
Ladunniyah, Penerjemah Drs. Mashur abadi, Drs. Husain, Surabay Pustaka Progresif,
2002

Imam Al Ghazali : Mengatasi Rintangan Beribadah, Alih Bahasa : Kholilah


Marjijanto, Surabaya, Tiga Dua, 1995

Irsyadi, As’ad, Kamran, Samudera Pemikiran Al Ghazali, Yogyakarta, Pustaka


Sufi, 2002

Jahja, H.M Zurkani, Teologi Al Ghazali: Pendekatan Metodologi,


Yogyakarta : Pustaka Pelajar 1996 .

Jahja, Zurkani, H.M, Teologi Al Ghazali: Pendekatan metodologi, Yogyakarta,


Pustaka Pelajar, 1996

Majid, Nur Cholish, Islam Doktrin Dan Peradaban : Sebuah Telaah Kritis
Tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan, Dan Kemodernan, Jakarta, Yayasan
Wakaf Paramadina, 2000

Majid, Nur Cholish, Islam Dan peradaban : membangun makna Dan


Relevansi Doktrin Islam Dalam Sejarah, Jakarta, Paramadina, 2000

Robinson, Neal, Pengantar Islam Komprohensi, judul asli : Islam Al Ghazali


Concise Introduction, Penerjemah Anam Sucipto Dkk, Yogyakarta Fajar Pustaka
Baru, 2001

Simuh, Sufiisme Jawa : Tranformasi Tasawwuf Islam ke Mistik Jawa,


Yogyakarta, Bentang,1996, Cet II

Syatha, Ibn Muhammad, Abi Bakar, Kafayatul Athiqo’ Wa Manhajul Asyifa’ :


Misi Suci Para Sufi, Penerjemah Djalaluddin Al-Buny, yogyakarta, Mitra

29
Pustaka,2000

Simuh, Tasawwuf Dan Perkembangan Dalam Islam, Jakarta, PT Raja


Grafindo Persada, 1997

Simuh, Sufisme Jawa : Transformasi Tasawwuf Islam ke Mistik Jawa,


Yogyakarta, Yayasan Bentang Budaya, 1996

Siregar, Rivay, Tasawwuf dari Sufisme Ke Neo Sufisme, Jakarta, PT. rja
Grafindo Persada, 2000, Cet. Kedua

30

You might also like