You are on page 1of 19

PERAN USIA DAN JENDER DALAM REALISASI

KESANTUNAN BERBAHASA INDONESIA MAHASISWA:


SEBUAH STUDI PRAGMATIK

Parlindungan Pardede
Universitas Kristen Indonesia

Abstrak
As a social variable, age and gender play an essential role in determining the patterns,
flow, and contents of speech acts in any interpersonal communication. This paper reveals the role
of age and gender in Indonesian university students’ linguistic politeness. The subjects were 28
students of FKIP-UKI who were grouped into 18-23 years old group and 41-48 years old group.
The data was obtained by asking them to fill in a Discourse Completion Test questionnaire and
responding to an interview. The results of the analysis reveal some differences in the
realization of linguistic politeness among subjects with different age and gender. Younger
speakers were inclined to use straighter (more direct) refusal strategy, extensively use slangs, and
frequently use informal addresses. In relation to gender, women tended to use indirect refusal
strategy and were apt to utilize longer and more detailed explanations as a means to prevent their
addressees’ disappointment.

Key words: usia, jender, kesantunan, pertuturan, penutur, mitra tutur.

Pendahuluan
Usia adalah salah satu faktor penentu utama keanekaragaman bahasa. Berbagai
penelitian menunjukkan bahwa usia (sebagaimana halnya jender, kelas sosial, dan asal-usul
etnis) merupakan salah satu faktor penentu posisi seseorang dalam masyarakat, yang
secara otomatis menjadi faktor penting penyebab keanekaragaman berbahasa (Singh and
Peccei, 2004: 114). Dalam setiap masyarakat, setiap tingkatan umur biasanya
menggunakan tuturan dengan ‘cita-rasa’ yang khas. Ungkapan anak-anak biasanya berbeda
dengan tuturan remaja, orang dewasa, maupun orang tua.
Penelitian tentang hubungan antara usia dan bahasa, khususnya yang terkait dengan
keanekaragaman berbahasa, banyak yang diarahkan untuk melihat fenomena perilaku
berbahasa seseorang seiring dengan berubahnya usia sosial, bukan usia biologis, seseorang.
Dengan kata lain, kajian perilaku berbahasa seseorang berkaitan lebih erat dengan usia
sosialnya, yang tentu saja dipengaruhi oleh usia biologisnya. Sejumlah penelitian
longitudinal tentang hubungan antara perilaku berbahasa seseorang dengan perubahan
usia sosialnya mengungkapkan bahwa semakin tua seseorang maka dia akan semakin

1
konservatif (Aziz, 2003: 241). Hal ini terlihat dari semakin tingginya kepedulian seseorang
terhadap penggunaan ragam standar dan kosa kata formal seiring dengan bertambahnya
usianya, sebagai akibat dari tekanan atau tuntutan yang diperoleh di tempat kerja. Akan
tetapi ketika dia memasuki usia pensiun, perilaku berbahasanya kembali ke ragam santai
sehubungan dengan menurunnya hasrat untuk bersaing dalam untuk memperoleh
kekuasaan (Labov, dalam Aziz, 2003: 241). Sedangkan kelompok usia remaja cenderung
berada pada posisi selalu ingin memberontak terhadap aturan-aturan kebahasaan yang
‘dianjurkan’ atau digunakan orang tua.
Selain usia, jender juga merupakan faktor utama yang mengakibatkan
keanekaragaman bahasa. Malmkjær (2002: 302) menjelaskan bahwa kajian jender yang
terkait dengan kebahasaan sering terfokud pada perbedaan antara tuturan yang digunakan
perempuan dan laki-laki. Survey yang dilakukan Coates (dalam Malmkjær, 2002: 302)
terhadap berbagai kajian tentang pengaruh jender penutur terhadap variasi kebahasaan
memperlihatkan adanya tuturan yang secara ekslusif lebih disukai kaum perempuan dan
tuturan lain yang secara ekslusif lebih disukai laki-laki. Sebagai contoh, dalam interaksi
antar jender, perempuan secara umum mengajukan lebih banyak pertanyaan,
menggunakan tuturan yang lebih santun, dan lebih sedikit memotong pembicaraan
daripada laki-laki. Selain itu, bertolak belakang dengan mitos bahwa perempuan lebih
banyak berbicara daripada laki-laki, temuan beberapa penelitian menunjukkan bahwa laki-
laki mendengar lebih sedikit dan berbicara lebih banyak daripada perempuan (Catalan,
2003: 55).
Salah satu unsur pertuturan yang banyak dikaji selama hampir tiga dekade terakhir
adalah kesantunan berbahasa (linguistic politeness). Munculnya kajian-kajian kesantunan
ini tidak terlepas dari kenyataan bahwa tak satupun dari teori tentang pertuturan yang ada,
baik teori implikatur Grice maupun teori tidak tutur (speech act) mampu menjelaskan
aspek penggunaan bahasa secara menyeluruh (Jaszczolt, 2002: 312). Prinsip-prinsip
kerjasama yang ditawarkan Grice tidak mampu mencakup strategi pertuturan yang
digunakan dalam percakapan. Sedangkan teori tidak tutur tidak mampu menjelaskan
ungkapan tidak langsung. Untuk mengatasi keterbatasan kedua teori tersebut, dibutuhkan
satu dimensi lain dalam kajian penggunaan bahasa, yang dikenal dengan kesantunan, yang
oleh Lakoff (1990: 34) didefinisikan sebagai suatu sistem relasi interpersonal yang
dirancang untuk memfasilitasi interaksi dengan cara meminimalisir potensi konflik dan
konfrontasi yang secara alami terdapat dalam interaksi antar individu. Berbagai penelitian
empiris maupun kajian teoritis yang ada menunjukkan bahwa kesantunan berbahasa

2
digunakan sebagai sarana untuk mempertahankan keseimbangan sosial dan sekaligus
menjadi dukungan interpersonal dalam rangka mencegah konfrontasi.
Kesantunan berbahasa sering dikelompokkan ke dalam dua jenis. Pertama,
kesantunan tingkat pertama (first-order politeness), yang merujuk pada etiket atau azas
kepatutan dalam bertingkahlaku dalam suatu masyarakat. Kedua, kesantunan tingkat
kedua (second-order politeness), yang merujuk pada penggunaan bahasa untuk menjaga
hubungan interpersonal. Sebagai contoh, Janney and Arndt (dalam Watts, dkk., 1992: 24)
membedakan kesantunan sosial dan kesantunan interpersonal (yang juga disebut sebagai
tact). Bagi mereka, kesantunan sosial (first order) berfungsi untuk menyediakan strategi-
stragi rutin dalam rangka mengatur interaksi sosial. Sedangkan kesantunan interpersonal
(second-order) mengacu pada kesantunan dalam tingkatan pragmatik yang berfungsi
mendukung hubungan interpersonal dengan cara menjaga muka dan mengatur hubungan
interpersonal.
Makalah ini menyajikan temuan dari penelitian yang berhubungan dengan second-
order politeness, dengan fokus pada realisasi pertuturan berbahasa Indonesia di kalangan
mahasiswa Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Kristen Indonesia (FKIP-
UKI) Jakarta ditinjau dari sudut pandang kesantunan berbahasa yang selama ini ada,
seperti teori Grice (1973), Lakoff (1975), Leech (1983), dan Brown dan Levinson (1987).
Penelitian ini diarahkan untuk melihat peran jender dan usia dalam realisasi pertuturan,
khususnya dalam mengungkapkan penolakan (refusal). Untuk mencapai tujuan itu, para
responden dihadapkan pada beberapa situasi yang menuntut mereka melakukan
melakukan suatu perbuatan, padahal mereka sudah terlebih dahulu berkomitmen untuk
mengerjakan hal lain. Dalam situasi seperti itu, secara logis, para penutur seharusnya
menyampaikan penolakan. Namun, benarkah semua penutur secara otomatis
mengungkapkan penolakan? Jika ungkapan yang timbul bukan penolakan, melainkan
penerimaan, strategi kesantunan apa yang digunakan penutur agar dapat mereduksi
dampak pelanggaran prinsip-prinsip keharmonisan komunikasi?
Untuk memperoleh jawaban bagi pertanyaan-pertanyaan itu, data dikumpulkan
melalui pengisian angket berupa Discourse Completion Test (DCT) dan wawancara yang
dilaksanakan selama bulan Juni-Juli 2009. DCT yang digunakan dalam penelitian ini
diadopsi dan dimodifikasi dari angket yang dikembangkan dalam Cross-cultural Speech Acts
Realization Project (CCSARP) oleh Blum-Kulka, dkk. (1989). DCT hasil modifikasi itu
memuat 10 pertanyaan yang terbagi dalam dua tipe. Dalam tipe A, setiap nomor diawali
dengan paparan sebuah situasi yang harus direspon dengan memilih salah satu opsi yang
tersedia serta menuliskan ungkapan yang digunakan pada tempat yang tersedia. Dalam tipe

3
B, setiap nomor diawali dengan paparan sebuah situasi yang harus direspon dengan cara
yang dientukan sendiri oleh responden. Wawancara dilakukan untuk meminta klarifikasi
tentang jawaban yang diberikan para responden melalui angket. Karena keterbatasan
waktu, wawancara hanya dapat dilakukan terhadap sekitar 50% responden termuda dan
50% reponden tertua. Keputusan untuk mewawancarai hanya responden kelompok
termuda dan tertua diambil karena kelompok umur inilah yang dipilih jadi sampel
penelitian (lihat tabel 1).
Sampel dalam penelitian ini dipilih dengan menggunakan faktor jender dan usia
sebagai pertimbangan utama. Melalui penelusuran dokumen berupa biodata 450
mahasiswa FKIP-UKI yang aktif kuliah, penulis memilih secara acak 20 mahasiswa berusia
antara 18-23 tahun (10 perempuan dan 10 laki-laki) dan 20 mahasiswa berusia antara 40-
48 tahun (10 perempuan dan 10 laki-laki) sebagai sampel. Penentuan kedua kelompok itu
dilakukan untuk memperoleh dua kelompok dengan perbedaan umur yang cukup jauh. Hal
ini dapat dilakukan mengingat rentang usia para mahasiswa yang ada cukup variatif karena
adanya mahasiswa reguler (lulusan baru SMA yang langsung kuliah) dan mahasiswa
penyetaraan (lulusan D3 yang melanjutkan studi untuk menyelesaikan program strata satu
setelah bekerja beberapa tahun). Empat puluh mahasisa tersebut kemudian dihubungi,
diminta kesediaannya untuk mengisi angket dan menjawab beberapa pertanyaan sebagai
konfirmasi terhadap apa yang dituliskan dalam angket. Berdasarkan penjaringan data yang
dilakukan, a mahasiswa yang mengisi angket dengan baik dan berhasil diwawancarai hanya
7 laki-laki dan 8 perempuan pada kelompok umur 18-23 tahun serta 5 laki-laki dan 7
perempuan pada kelompok umur 41-48 tahun. Dengan demikian, sampel nyata penelitian
ini dapat digambarkan melalui tabel 1 berikut.

Tabel 1: Distribusi Responden Berdasarkan Umur dan Jender

18-23 tahun 41-48 tahun


Jumlah
Laki-laki Perempuan Laki-laki Perempuan
7 8 5 8 28

Kajian Teoretik

Peletak dasar kesantunan bahasa adalah Lakoff yang pada tahun 1973 menerbitkan
artikel berjudul “The Logic of Politeness; or Minding your P’s and Q’s” (Jaszczolt, 2002:
312). Sejak saat itu, sejumlah besar penelitian tentang kesantunan bahasa telah
dilaksanakan oleh berbagai bidang dan disiplin ilmu. Menurut Lakoff (1990), penelitian-

4
penelitian itu dilaksanakan untuk meningkatkan kewaspadaan dalam berkomunikasi dan
mengupayakan pemahaman yang lebih akurat mengenai isu-isu kesantunan dalam
pertuturan. Akibatnya, kesantunan, sebagai titik tolak penelitian kebahasaan, diberi definisi
dan interpretasi yang beraneka ragam. Padahal, tujuan utama kesantunan adalah untuk
membangun keharmonisan hubungan antara penutur dan mitra tutur dalam sebuah
interaksi sosial (Thomas, 1995: 158). Dan mengingat bahwa kesantunan mendorong sikap
kooperatif, hal itu merupakan sarana yang tepat untuk meneliti kerjasama dan persaingan
dalam interaksi antara para mitra tutur berbeda usia maupun jender.
Brown dan Levinson (1987) menggagas teori kesantunan yang lebih komprehensif.
Mereka menyatakan bahwa kesantunan berbahasa muncul sebagai sebuah penyimpangan
dari hakikat pertuturan yang rasional dan efisien. Melalui kajian menyeluruh terhadap
kesantunan berbahasa, mitra tutur akan memahami alasan bagi ketidakrasionalan dan
inefisiensi ungkapan penutur. Teori tersebut dilandaskan oleh Brown dan Levinson (1987:
62) pada konsep muka (face), yang didefinisikan sebagai gambaran diri dihadapan publik
yang dimiliki dan harus dipedomani oleh setiap individu dewasa yang rasional ketika dia
berinteraksi dalam pertuturan. Muka mencakup dua aspek yang saling berhubungan: muka
positif dan muka negatif. Muka positif adalah keinginan semua penutur agar wajah mereka
disenangi lawan bicara. Sedangkan muka negatif merupakan keinginan semua penutur
agar tindakan mereka tidak dihambat oleh lawan bicara.
Secara umum, dalam setiap interaksi para mitra tutur akan bekerjasama untuk saling
menjaga muka. Namun sebuah pertuturan tidak mungkin berlangsung tanpa adanya
desakan atau intrusi dari satu pihak kepada otonomi pihak lainnya. Sebuah tindakan,
seperti menyuruh seseorang duduk, merupakan sebuah potensi ancaman bagi mukanya.
Tindak tutur seperti ini oleh Brown dan Levinson disebut sebagai tindak tutur yang
berpotensi mengancam muka atau face-threatening acts (FTAs). Jika seorang penutur harus
melakukan sebuah FTA, dia harus menentukan bagaimana hal itu harus diujarkan. Menurut
Brown dan Levinson (1987: 69), pilihan pertama yang harus diambil adalah apakah FTA itu
harus dilakukan secara langsung (on record) atau tak langsung (off record). Jika yang
dipilih adalah strategi on record, penutur dapat melakukannya secara langsung tanpa
adanya tindakan yang berfungsi memperhalus atau mengurangi FTA. Tindak tutur seperti
ini bersifat langsung, jelas, dan tidak ambigu. Sebaliknya, tindak tutur off record disertai
dengan oleh tindakan penghalus sebagai upaya untuk memperlihatkan bahwa ancaman
terhadap muka tidak diinginkan akan menjaga muka mitra tutur. Hal ini dapat dicapai
dengan mengadopsi strategi kesantunan positif atau negatif.

5
Kesantunan positif adalah tindakan penyeimbang yang diarahkan untuk menjaga
muka positif mitra tutur, yang dilakukan penutur dengan cara menunjukkan bahwa
penutur menghargai keinginan dan kebutuhan mitra tutur. Sebaliknya, kesantunan negatif
adalah tindakan penyeimbang yang diarahkan untuk menjaga muka negatif mitra tutur,
yang dilakukan dengan cara menunjukkan niat penutur yang tidak bermaksud
memperdaya mitra tutur melalui pembatasan terhadap tindakan mitra tutur. Strategi off
record memampukan penutur menghindar dari tanggungjawab melakukan sebuah FTA. Hal
ini dapat dicapai dengan melakukan implikatur percakapan (Grice, 1975).
Menurut Brown and Levinson (1987) terdapat tiga variabel sosial yang memengaruhi
tingkat kesantunan antara penutur dan mitra tutur: tingkat kekuasaan relatif penutur
terhadap mitra tutur atau ‘power’ (P), jarak sosial penutur dengan mitra tutur atau ‘social
distance’ (D), and tingkat keabsolutan imposisi sebuah pertuturan (R). Peningkatan
kekuasaan mitra tutur (P), jarak sosial (D), dan tingkat keabsolutan imposisi sebuah
pertuturan (R) akan meningkatkan bobot sebuah FTA. Peningkatan bobot ini biasanya akan
menghasilkan penggunaan kesantunan yang lebih tinggi.
Selain itu, Brown dan Levinson (1987) juga menidentifikasi lima tingkatan strategi
kesantunan yang berpotensi mengancam muka pihak-pihak yang terlibat dalam suatu
interaksi. Kelima FTA itu disusun dalam tingkatan hirarkis yang berbeda-beda, dimulai dari
tindak tutur langsung hingga tidak tutur tidak langsung. FTA langsung, seperti pertuturan
yang tercatat secara terus terang (baldly on record) dipandang berpotensi paling tinggi
untuk mengancam muka para pihak yang terlibat, dan FTA tidak langsung, seperti
pertuturan yang tidak tercatat secara terus terang (off record) dipandang berpotensi paling
rendah sebagai ancaman dan sekaligus merupakan tindak tutur paling santun para pihak
yang terlibat (2) kesantunan positif; (3) kesantunan negatif; (4) tindak tutur tidak
langsung; dan (5) FTA. Dalam model Brown dan Levinson, kesantunan positif dan
kesantunan negatif bersifat ekslusif dan saling menguntungkan (mutual), dan kesantunan
negatif lebih mampu menjaga muka daripada kesantunan positif.
Meskipun teori Brown dan Levinson dianggap berlaku secara universal dalam
realisasi pertuturan, berbagai penelitian terkini memperlihatkan teori tunggal yang dapat
menjelaskan seluruh realisasi pertuturan tidak mungkin dibuat. Kajian-kajian di bidang
pragmatik lintas budaya dan pragmatik kontrastif mengungkapkan bahwa tindak tutur
memohon (requesting), meminta maaf (apologizing), mengeluh (complaining), berjanji
(promising), dan mengucapkan terima kasih (thanking) direalisasikan secara berbeda
dalam kebudayaan yang berbeda.

6
Penelitian Blum-Kulka, dkk. (1989) tentang perbedaan aspek-aspek realisasi
pertuturan dalam bahasa Spanyol di Argentina, bahasa Inggris di Australia, bahasa Prancis
di Kanada, bahasa Jerman di Jerman, dan bahasa Yahudi di Israel mengungkapkan adanya
variasi dalam merealisasikan tindak tutur permohonan (request). Penutur bahasa Yahudi
menggunakan ungkapan setara “can/could” lebih jarang dan menggunakan ungkapan
setara dengan “willingness/readiness” lebih sering dari penutur bahasa lain. Penutur
bahasa Spanyol di Argentina menggunakan ungkapan setara dengan “prediction” lebih
sering dari penutur bahasa lain. Penutur bahasa Inggris di Australia menggunakan tindak
tutur paling tidak langsung, yang diikuti oleh penutur bahasa Jerman, penutur bahasa
Prancis di Kanada, penutur bahasa Yahudi, dan penutur bahasa Spanyol di Argentina.
Kajian tentang pertuturan menolak masih sedikit sekali dilakukan baik dari sudut
pandang sosiolinguistik (Beebe, dkk, 1990), apalagi dari sudut pandang pragmatik. Berikut
ini adalah beberapa dari sedikit penelitian yang telah dilakukan di bidang ini.
Studi Beebe dan Takahashi (1989) diarahkan untuk mengungkap realisasi pertuturan
menolak yang dilakukan oleh penutur bahasa Jepang yang sedang belajar bahasa Inggris
sebagai bahasa asing dengan pembanding orang Amerika. Banyak orang yang percaya
bahwa orang Jepang adalah penutur bahasa yang memiliki ciri khas, misalnya seringkali
mengungkapkan maaf dalam berbagai kesempatan, tidak bisa berbicara lugas, tak pernah
mau mengkritik orang lain, lebih baik menghindarkan diri dari pertentangan, dan tidak
mau mengatakan sesuatu yang mereka tak akan mau mendengarnya. Sementara itu, orang
Amerika dipercaya sebagai penutur yang selalu lugas dan langsung ketika membuat
penolakan. Temuan penelitian tersebut menunjukkan bahwa keyakinan kebanyakan orang
tentang penutur bahasa Jepang tadi tidak selalu dapat dibuktikan, karena ternyata orang
Jepang dapat berbicara dan menolak secara lugas dan langsung seperti halnya orang
Amerika. Hal ini terutama mereka lakukan terhadap mitra tutur yang status sosialnya
relatif lebih rendah daripada penutur. Akan tetapi, studi itu menunjukkan bahwa semakin
mahir orang Jepang tadi dalam berbahasa Inggris, strategi penolakan yang mereka
tunjukkan akan semakin tak langsung.
Temuan dalam studi Beebe, Takahashi, dan Ullis-Weltz (1990) mengungkapkan hal
yang hampir mirip dengan temuan di atas. Tidak seperti orang Amerika, orang Jepang
sering kali tidak menggunakan ungkapan maaf atau penyesalan, misalnya ketika mereka
menolak sebuah undangan dari seorang mitra tutur. Selain itu, ketika membuat penolakan,
orang Jepang lebih memperhatikan status mitra tutur daripada memperhatikan unsur
keakraban, yang justru lebih diperhatikan oleh orang Amerika. Demikian pula studi yang
dilakukan oleh Ito (1989), yang menunjukkan adanya perbedaan realisasi pertuturan

7
menolak yang dlakukan oleh orang-orang Jepang bila dibandingkan dengan orang Amerika.
Dengan menggunakan pola pikir yang dikembangkan oleh Brown dan Levinson (1987), Ito
menemukan bahwa orang Jepang lebih suka menggunakan kesantunan negatif dengan
strategi yang samar-samar menunjukkan penolakan, sementara orang Amerika lebih suka
dengan cara langsung mengatakan tidak dengan kesantunan positif.
Penelitian Widjaja (1997) difokuskan pada perbedaan realisasi pertuturan dalam
menolak ajakan kencan di kalangan perempuan Taiwan dan perempuan Amerika. Hasil
penelitian ini menunjukkan bahwa kedua kelompok responden lebih suka menggunakan
strategi kesantunan negatif (penolakan langsung, penolakan tidak langsung, ungkapan
penyesalan, permohonan maaf, ungkapan keberatan, ungkapan menghindar, dan
pernyataan terima kasih). Selain itu, ternyata perempuan Taiwan lebih suka berterus
terang untuk menolak ajakan kencan.
Hasil penelitian yang dilakukan Aziz (2003) terhadap 107 responden di wilayah
Jabotabek, Bandung, dan Tasikmalaya menunjukkan bahwa ketika membuat penolakan,
responden cenderung untuk menggunakan strategi yang samar-samar disertai dengan
berbagai ungkapan pelembut dan permohonan maaf atas ketakbisaan mengabulkan
permohonan mitra tuturnya. Strategi lain yang juga cenderung mereka pakai adalah
mengambangkan jawaban, sehingga menunjukkan keragu-raguan penutur untuk
menerimanya. Ada juga kelompok responden yang nampaknya lebih memilih memberikan
alternatif lain kepada mitra tuturnya agar permintaannya tersebut dapat tetap dikabulkan.
Namun demikian, penutur bahasa Indonesia juga bisa membuat penolakan secara lugas dan
langsung, sebab pada kenyataannya mereka juga memilih strategi tersebut, terutama ketika
berhadapan dengan mitra tutur yang lebih muda, yang status sosialnya lebih rendah, dan
yang memiliki tingkat keakraban tinggi, seperti teman sejawat, misalnya.

Deskripsi Data
Berdasarkan data yang diperoleh dalam penelitian ini, ditemukan dua jenis jawaban
yang diberikan para responden terhadap berbagai situasi yang dihadapi dalam angket
isian, yaitu ungkapan menolak (refusal) dan ungkapan menerima (acceptance). Ungkapan
menolak, secara garis besar, dapat dibagi menjadi dua jenis, yaitu menolak secara langsung
(direct refusal) dan menolak secara tidak langsung (indirect refusal). Ungkapan menerima
juga dapat dibagi menjadi dua jenis, yaitu menerima secara langsung (direct acceptance)
dan menerima secara tidak langsung (indirect acceptance).
Ungkapan menolak secara langsung terdiri dari jawaban responden yang
mengandung kata TIDAK atau yang sejenisnya, seperti ndak, nggak, atau ogah. Sebaliknya,

8
ungkapan menolak secara tidak langsung merupakan jawaban responden yang tidak
mengandung kata yang menegasikan (yakni kata TIDAK atau yang sejenisnya), namun,
dilihat dari konteksnya jawaban tersebut pada hakikatnya menyampaikan penolakan.
Ungkapan menerima secara langsung merupakan jawaban responden yang mengandung
kata YA dan yang sejenisnya (OK, baik, baiklah, silahkan). Sedangkan jawaban yang pada
hakikatnya menyampaikan penerimaan namun tidak mengandung kata YA dan yang
sejenisnya dikategorikan sebagai ungkapan menerima secara tidak langsung. Secara
keseluruhan, strategi menolak dan menerima yang digunakan para responden terdiri dari
enam belas ungkapan. (Lihat tabel 2).
Tabel 2: Kategori Jawaban

Kategori Kategori
MENOLAK MENERIMA
Jawaban Jawaban
Langsung mengatakan
1
TIDAK
11 Langsung mengatakan YA
Ragu-ragu dan tidak
2
bersemangat
3 Menawarkan jalan keluar
12 Jawaban Retorik
4 Menunda Keputusan
5 Menyalahkan pihak ketiga 13 Ungkapan solidaritas
Seperti menerima tapi tidak 14 Menerima namun terlihat enggan
6
memberi kepastian 15 Menerima secara sembunyi
Menerima tapi dengan
7
penyesalan
Memberi alasan dan
8 16 Diam
penjelasan
9 Mengkritik dan marah
10 Menerima tapi bersyarat

Realisasi Ke(tak)santunan
Tingkat ke(tak)santunan tuturan yang digunakan para responden dalam penelitian
ini diukur dengan menggunakan empat kriteria sebagai parameter, yaitu: (1) tingkat
kelugasan (level of directness), (2) pemakaian kata sapaan (terms of address), (3) pemakaian
basa-basi (courtesy words) dan pemakaian kata-kata prokem (use of youth slang). Keempat
kriteria ini kemudian digunakan sebagai alat ukur dalam menentukan ke(tak)santunan
yang digunakan para responden ditinjau dari perbedaan usia dan jender, seperti yang akan
disajikan berikut ini.

9
Kelompok Usia 18-23 Tahun
Responden kelompok usia 18-23 tahun terdiri dari 15 orang (7 laki-laki dan 8
perempuan). Jawaban-jawaban yang diberikan kelompok ini tersebar hampir pada seluruh
jawaban, walaupun sebaran itu tidak merata. Terdapat hanya tiga respon yang sama sekali
tidak dipilih oleh responden kelompok usia ini, yakni (1) menyalahkan pihak ketiga; (2)
langsung mengatakan YA ; dan (3) menerima secara sembunyi (lihat tabel 3).

Tabel 3: Sebaran Jawaban Kelompok Usia 18-23 Tahun

% dari % dari
Kategori Jawaban N
150 1 2802
1. Langsung mengatakan TIDAK 48 32 17
2. Ragu-ragu dan tidak bersemangat 2 1.3 0.7
3. Menawarkan jalan keluar 24 16 8.6
4. Menunda Keputusan 5 3.3 1.7
5. Menyalahkan pihak ketiga 0 0 0
6. Seperti menerima tapi tidak memberi 2 1.3 0.7
kepastian
7. Menerima tapi dengan penyesalan 15 10 5.3
8. Memberi alasan dan penjelasan 32 21.4 11.4
9. Mengkritik dan marah 4 2.7 1.7
10. Menerima tapi bersyarat 7 4,7 2.5
11. Langsung mengatakan YA 0 0 0
12. Jawaban Retorik 3 2 0.7
13. Ungkapan solidaritas 2 1.3 0.7
14. Menerima namun terlihat enggan 4 2.7 1.4
15. Menerima secara sembunyi 0 0 0
16. Diam 2 1.3 0.7
Jumlah 150 100%

Dilihat dari seluruh jawaban yang mereka berikan, dapat dikatakan bahwa
responden kelompok usia muda (18-23 tahun) cenderung sangat lugas dan terang-

1
Angka 150 ini merupakan jumlah jawaban yang diperoleh oleh DCT kelompok usia 18-23
tahun, yang berasal dari hasil perkalian antara jumlah responden kelompok usia 18-23 tahun
dengan 10 situasi. Jadi, 15 X 10= 150.
2
Angka 280 ini merupakan jumlah jawaban yang diperoleh oleh seluruh DCT, yang berasal dari
hasil perkalian antara jumlah seluruh responden dengan 10 situasi. Jadi, 28 X 10= 280

10
terangan ketika menolak permintaan dari mitra tutur yang lebih muda. Respon yang
mereka berikan ketika menghadapi situasi A#1, misalnya, adalah strategi pertama
(langsung mengatakan TIDAK). Meskipun sebagian respon itu diiringi ungkapan penyerta,
hal itu hanya berfungsi sebagai basa-basi yang sebenarnya tidak bermakna, seperti terlihat
dari tiga contoh berikut:
[1] Sorry. Gue sibuk banget, nih.
[2] Jangan ganggu dulu, dong. Gue lagi sibuk.
[3] Aku sedang sibuk nih, besok saja kita ke toko buku.

Alasan pendek sibuk banget atau sedang sibuk dalam setiap respon tersebut nampaknya
ditujukan hanya untuk memperlunak nada penolakan penutur saja, dan dapat dipandang
sebagai ketidakkooperatifan penutur terhadap mitra tuturnya. Dengan demikian, ungkapan
itu menimbulkan kesan tak santun bagi mitra tutur.
Respon yang diberikan ketika menolak permintaan dari mitra tutur yang sebaya juga
terlihat lugas, walaupun kelugasan itu cenderung lebih diperlunak dengan menggunakan
ungkapan penyerta yang lebih panjang atau terkesan ‘rasional’, seperti terlihat dari
beberapa jawaban yang dibuat sewaktu menghadapi situasi A#2 dan B#4 berikut.
[3] Gimana, ya? Aku sedang pake, nih, menyelesaikan tugas. Bisa, kan, m
injam ke yang lain.
[4] Kalau tugas saya tinggal sedikit, boleh saja kamu pakai. Tapi saya masih
harus memakainya sampai pagi. Maaf, ya.
[5] Maaf, ya Rosa. Aku sedang membaca dan merangkum buku. dan tugas itu
harus diserahkan besok.
[6] Maaf, ya, saya tidak bisa ikut karena harus merangkum buku.

Melalui ungkapan-ungkapan di atas, terlihat adanya ketegasan penutur untuk menolak


permintaan mitra tuturnya. Namun ketegasan itu “dibungkus” dengan pertanyaan retoris
Gimana, ya? atau rasionalisasi penolakan agar terkesan lebih santun.
Jawaban para responden kelompok usia muda ini terkesan jauh lebih santun dan
hati-hati ketika mereka menolak permintaan mitra tutur yang lebih tua. Strategi yang
banyak digunakan untuk menolak permintaan mitra tutur yang lebih tua itu adalah strategi
ketiga (menawarkan jalan keluar), ketujuh (menerima tapi dengan penyesalan), atau
kedelapan (memberi alasan dan penjelasan). Sebagian responden memang ada yang
menggunakan strategi pertama (langsung mengatakan TIDAK), namun hal itu selalu
disertai basa-basi, alasan, dan permohonan maaf sebagai pelembut. Berikut ini adalah

11
beberapa ungkapan penolakan yang digunakan para responden terhadap ibu, dosen,
paman dan tante.

[7] Maaf, Ma. Saya tidak bisa ikut karena besok ada ujian. Mama nggak mau
nilai saya jelek, kan.
[8] Maaf ya, Bu. Saya tidak bisa membantu Ibu karena harus menjaga ibu saya
di R.S.
[9] Maaf, Paman, Tante. Saya harus mengerjakan tugas kelompok. Bagaimana
kalau besok saja jalan-jalannya?
[10] Baik, Pak, Saya akan ikut ke Bogor kalau ada teman yang bisa menggantikan
dalam panitia lomba 17-an di kelurahan saya.

Kata sapaan yang dipakai para responden kelompok usia muda (18-23 tahun) ini
cenderung terpolarisasi dalam dua kelompok. Kelompok pertama adalah kata gue, gua, aku,
lu, lo, elu, dan kamu, yang digunakan ketika berinteraksi dengan mitra tutur yang lebih
muda atau sebaya. Kelompok kedua terdiri dari kata Saya, Pak, Bu, Ma(ma), Paman, dan
Tante, yang digunakan ketika berinteraksi dengan mitra tutur yang lebih tua atau yang
status sosialnya lebih tinggi (seperti terhadap dosen).
Karakteristik lain dari pertuturan para responden kelompok usia 18-23 tahun ini
adalah penggunaan bahasa slang sewaktu berinteraksi dengan mitra tutur yang lebih muda
atau sebaya. Ungkapan seperti Sorry, Mack, sibuk banget, Sorry Guy, bokap, dan nyokap
merupakan slang yang lazim digunakan terhadap mitra tutur yang lebih muda atau sebaya.
Namun ungkapan-ungkapan itu tidak pernah digunakan terhadap mitra tutur yang lebih
tua atau berstatus lebih tinggi.
Temuan tentang penggunaan kata sapaan dan slang ini menunjukkan adanya
kesadaran para penutur akan pentingnya menggunakan kata sapaan yang lebih santun
terhadap mitra tutur yang lebih tua atau berstatus lebih tinggi. Sehubungan dengan itu,
dapat dikatakan bahwa faktor senioritas dan status sosial merupakan faktor penentu dalam
pemilihan tingkat kesantunan tindak tutur.

Kelompok Usia 41-48 tahun


Responden kelompok usia 41-48 tahun terdiri dari 13 orang (46% dari seluruh
responden). Terdapat 130 jawaban yang diberikan kelompok usia senior ini, yang tersebar
hampir dalam semua kategori, namun penyebarannya tidak merata (lihat tabel 4).

12
Tabel 4: Sebaran Jawaban Kelompok Usia 41-48 Tahun

Kategori Jawaban N % dari 1301 % dari 2802


1) Langsung mengatakan TIDAK 16 12.3 5.7
2) Ragu-ragu dan tidak bersemangat 3 2.3 1.1
3) Menawarkan jalan keluar 20 15.4 7.1
4) Menunda Keputusan 4 3.1 1.4
5) Menyalahkan pihak ketiga 1 0.7 0.36
6) Seperti menerima tapi tidak memberi 24 18.5 8.6
kepastian
7) Menerima tapi dengan penyesalan 15 11.5 5.4
8) Memberi alasan dan penjelasan 32 24.6 11.4
9) Mengkritik dan marah 2 1.5 0.7
10) Menerima tapi bersyarat 2 1.5 0.7
11) Langsung mengatakan YA 3 2.3 1.1
12) Jawaban Retorik 3 2.3 1.1
13) Ungkapan solidaritas 0 0 0
14) Menerima namun terlihat enggan 5 3.8 1.7
15) Menerima secara sembunyi 0 0
16) Diam 0 0 0
Jumlah 130 100%

Jika strategi penolakan langsung yang digunakan para responden kelompok usia
muda (18-23 tahun) mencapai 32%, maka persentase penolakan langsung yang digunakan
para responden kelompok usia senior hanya mencapai 12.3%. Temuan ini selaras dengan
temuan bahwa strategi penolakan tidak langsung (termasuk strategi menawarkan jalan
keluar, ragu-ragu dan tidak bersemangat, menunda keputusan, seperti menerima tapi tidak
memberi kepastian, dan memberikan alasan atau penjelasan) yang digunakan para
responden kelompok usia senior mencapai 64.6%, sedangkan penolakan tidak langsung
yang digunakan para responden kelompok usia muda hanya 43.3%. Data-data tersebut
mengungkapkan bahwa strategi penolakan yang dipakai responden kelompok usia senior

1
Angka 130 ini merupakan jumlah jawaban yang diperoleh oleh DCT kelompok usia 41-48 tahun, yang
berasal dari hasil perkalian antara ke 13 responden kelompok usia 41-48 tahun dengan 10 situasi. Jadi,
13 X 10= 130.
2
Angka 280 ini merupakan jumlah jawaban yang diperoleh oleh seluruh DCT, yang berasal dari hasil
perkalian antara jumlah seluruh responden dengan 10 situasi. Jadi, 28 X 10= 280

13
cenderung berbentuk tak langsung, tanpa melihat apakah mitra tutur mereka lebih muda
sebaya, atau lebih tua. Meskipun terdapat beberapa penolakan dengan strategi langsung,
hal itu selalu diikuti sejumlah ungkapan pelembut. Berikut ini adalah dua contoh penolakan
yang mereka buat ketika menghadapi situasi A#1 dan A#3.

[11] Maaf, ya dek. Kakak tidak bisa menemani kamu ke toko buku. Makalah ini
harus diserahkan pada dosen besok pagi, jadi kakak harus
menyelesaikannya sekarang.
[12] Wah asyik juga tuh, konsernya. Tapi sayang saya tidak bisa ikut kalian
nonton, karena saya harus menjaga adik-adik saya. Mungkin lain kali saja,
ya.
Cara ini kelihatannya dimaksudkan para penutur untuk mencegah agar mitra tuturnya
tidak kecewa.
Dibandingkan dengan responden kelompok sebelumnya, para responden kelompok
usia senior ini cenderung menggunakan kata sapaan yang formal. Meskipun kepada mitra
tutur yang lebih muda dan sebaya mereka masih menggunakan kata sapaan yang akrab
(informal), seperti Dek, Kamu dan Kalian, namun kepada mitra tutur yang lebih tua atau
yang status sosialnya lebih tinggi (seperti terhadap dosen) mereka selalu menggunakan
kata sapaan yang formal, seperti Saya, Pak, Bu, Paman, dan Tante.
Karakteristik lain dari pertuturan para responden kelompok usia senior ini adalah
kecenderungan mereka mencegah penggunaan bahasa prokem (slang). Berbeda dengan
para responden kelompok usia 18-23 tahun yang sering menggunakan ungkapan Sorry,
Mack, sibuk banget, Sorry Guy, bokap, dan nyokap, para responden kelompok usia senior
sama sekali tidak pernah menggunakannya. Temuan ini menunjukkan bahwa secara umum
para penutur senior ini menganggap ragam bahasa prokem hanya pantas digunakan oleh
kaum muda. Tidak tertutup kemungkinan bahwa dalam diri mereka terdapat prinsip
bahwa bahasa prokem akan mengurangi kesantunan dalam interaksi dengan orang lain.
Paling tidak, temuan ini mengungkapkan bahwa semakin tinggi usia seseorang, semakin
tinggi pula kepeduliannya terhadap penggunaan ragam standar dan kosa kata yang formal.

Kelompok Perempuan
Responden perempuan berjumlah 16 orang, atau 57% dari seluruh reponden.
Terdapat 160 jawaban yang diberikan kelompok perempuan ini, yang tersebar hampir
dalam semua kategori, namun penyebarannya tidak merata (lihat tabel 5).

14
Tabel 5: Sebaran Jawaban Kelompok Perempuan

Kategori Jawaban N % dari 1601 % dari 2802


[1] Langsung mengatakan TIDAK 27 16.9 5
[2] Ragu-ragu dan tidak bersemangat 2 1.25 0.7
[3] Menawarkan jalan keluar 28 17.5 11
[4] Menunda Keputusan 5 3.1 1.8
[5] Menyalahkan pihak ketiga 1 0.6 0.36
[6] Seperti menerima tapi tidak 19 11.9 7.8
memberi kepastian
[7] Menerima tapi dengan penyesalan 16 10 6.4
[8] Memberi alasan dan penjelasan 44 27.5 15.7
[9] Mengkritik dan marah 1 0.6 0.36
[10] Menerima tapi bersyarat 5 3.1 1.8
[11] Langsung mengatakan YA 2 1.25 0.7
[12] Jawaban Retorik 4 2.5 3.2
[13] Ungkapan solidaritas 0 0 0
[14] Menerima namun terlihat enggan 4 2.5 1.4
[15] Menerima secara sembunyi 0 0 0
[16] Diam 2 1.25 0.7
Jumlah 160 100%

Berdasarkan jawaban yang mereka berikan, ditemukan bahwa penolakan langsung


yang mereka gunakan hanya mencapai 16.9%, sedangkan strategi penolakan tidak
langsung (termasuk strategi menawarkan jalan keluar, ragu-ragu dan tidak bersemangat,
menunda keputusan, seperti menerima tapi tidak memberi kepastian, dan memberikan
alasan atau penjelasan) mencapai 71.85%. Temuan ini mengindikasikan bahwa responden
perempuan cenderung menggunakan strategi penolakan tak langsung dibandingkan
dengan penolakan langsung.
Temuan lain yang menonjol dari jawaban yang diberikan para responden perempuan
adalah frekuensi yang cukup tinggi (27.5%) dalam menggunakan strategi memberikan
alasan atau penjelasan yang cukup panjang sebagai pelembut. Hal ini kelihatannya

1
Angka 160 ini merupakan jumlah jawaban yang diperoleh oleh DCT kelompok perempun, yang berasal
dari hasil perkalian antara ke 16 responden perempuan dengan 10 situasi. Jadi, 16 X 10= 160.
2
Angka 280 ini merupakan jumlah jawaban yang diperoleh oleh seluruh DCT, yang berasal dari hasil
perkalian antara jumlah seluruh responden dengan 10 situasi. Jadi, 28 X 10= 280

15
dimaksudkan agar mitra tutur mereka tidak kecewa. Berikut ini adalah dua contoh
penolakan dibuat responden perempuan.

[13] Maaf ya, Bu. Saya tidak bisa membantu Ibu karena saya mendapat giliran
menjaga ibu saya di R.S. Kalau saja saya tidak harus jaga di RS, saya akan
sangat senang dapat membantu ibu.
[14] Aduh, bagaimana, ya. Aku sedang membaca dan merangkum buku. dan
tugas itu harus diserahkan besok. Mungkin lain kali aja, ya, saya ikut nonton.

Kelompok Laki-laki
Responden laki-laki terdiri dari 12 orang, atau 43% dari seluruh reponden. Terdapat
120 jawaban yang diberikan kelompok laki-laki ini, yang tersebar hampir dalam semua
kategori, namun penyebarannya tidak merata (lihat tabel 6).

Tabel 6: Sebaran Jawaban Kelompok Laki-Laki

Kategori Jawaban N % dari 1201 % dari 280


[1] Langsung mengatakan TIDAK 37 30.8 13.2
[2] Ragu-ragu dan tidak bersemangat 3 2.5 1.07
[3] Menawarkan jalan keluar 20 17 7.1
[4] Menunda Keputusan 4 3.3 1.4
[5] Menyalahkan pihak ketiga 0 0 0
[6] Seperti menerima tapi tidak memberi 7 5.8 2.5
kepastian
[7] Menerima tapi dengan penyesalan 14 11.7 5
[8] Memberi alasan dan penjelasan 20 17 7.1
[9] Mengkritik dan marah 5 4.17 1.8
[10] Menerima tapi bersyarat 4 3.3 1.4
[11] Langsung mengatakan YA 1 0.8 0.35
[12] Jawaban Retorik 2 1.7 0.7
[13] Ungkapan solidaritas 2 1.7 0.7
[14] Menerima namun terlihat enggan 5 4.17 1.8
[15] Menerima secara sembunyi 0 0 0
[16] Diam 0 0 0
Jumlah 120 100%

1
Angka 130 ini merupakan jumlah jawaban yang diperoleh oleh DCT kelompok usia 41-48 tahun, yang
berasal dari hasil perkalian antara ke 13 responden kelompok usia 41-48 tahun dengan 10 situasi. Jadi,
13 X 10= 130.

16
Berdasarkan jawaban yang mereka berikan, ditemukan bahwa penolakan
langsung yang kelompok laki-laki mencapai 30.8%, sedangkan strategi penolakan tidak
langsung (termasuk strategi menawarkan jalan keluar, ragu-ragu dan tidak
bersemangat, menunda keputusan, seperti menerima tapi tidak memberi kepastian, dan
memberikan alasan atau penjelasan) mencapai 57.3%. Temuan ini memperlihatkan
bahwa responden laki-laki sering menggunakan strategi penolakan langsung
dibandingkan dengan responden perempuan, meskipun kedua kelompok itu memiliki
kecenderungan yang sama-sama tinggi untuk menggunakan strategi penolakan tak
langsung.
Dibandingkan dengan proporsi penggunaan strategi memberikan alasan atau
penjelasan yang cukup panjang sebagai pelembut oleh para responden perempuan
yang cukup tinggi (27.5%), proporsi penggunaan strategi tersebut oleh oleh para
responden laki-laki hanya mencapai 17%. Kalaupun responden laki-laki menggunakan
strategi memberikan alasan atau penjelasan yang cukup panjang sebagai pelembut,
penjelasan mereka relatif lebih singkat. Temuan ini mengindikasikan bahwa responden
laki-laki lebih cenderung menggunakan ungkapan yang lebih singkat . Berikut ini adalah
dua contoh penolakan dibuat responden laki-laki sewaktu menghadapi situasi yang
sama dengan yang dihadapi oleh responden perempuan pada contoh [13] dan [14].

[15] Maaf ya, Bu. Saya tidak bisa membantu karena harus menjaga Ibu saya
yang sakit.
[16] Maaf, Rosa. Lain kali saja Aku ikut. Sekarang Aku harus menyelesaikan
tugas

Kesimpulan
Berdasarkan paparan dan analisis di atas, dapat ditarik beberapa kesimpulan
berikut:
1. Dibandingkan dengan penutur berusia senior, para penutur berusia muda lebih
cenderung menggunakan ungkapan yang lugas dan terang-terangan (dengan
menggunakan strategi penolakan langsung) ketika menolak permintaan dari mitra
tutur yang lebih muda dan sebaya. Akan tetapi ketika menolak permintaan dari mitra
tutur yang lebih tua, sama dengan penutur berusia senior, para penutur berusia muda
cenderung menggunakan strategi tak langsung, seperti menawarkan jalan keluar,
menerima tapi dengan penyesalan, atau memberi alasan dan penjelasan. Kalaupun
mereka menggunakan strategi penolakan langsung, hal itu selalu disertai basa-basi,
alasan, dan permohonan maaf sebagai pelembut.

17
2. Para penutur berusia muda juga banyak menggunakan ragam bahasa slang serta kata
sapaan tak formal ketika berinteraksi dengan mitra tutur yang lebih muda dan sebaya.
Akan tetapi ketika berinteraksi dengan mitra tutur yang lebih tua, ragam bahasa dan
kata sapaan formal menjadi pilihan utama.
3. Dilihat dari segi jender, penutur laki-laki lebih sering menggunakan strategi penolakan
langsung.
4. Bila strategi penolakan tak langsung yang digunakan penutur perempuan dan laki-laki
dibandingkan,. Terlihat bahwa tuturan kelompok perempuan cenderung disertai
penjelasan atau alasan yang lebih panjang dibandingkan penutur laki-laki. Hal ini
dilandasi oleh keinginan penutur perempuan yang lebih tinggi dalam hal mencegah
kekecewaan mitra tutur mereka.
5. Perbedaan-perbedaan karakteristik penuturan yang ditemukan diantara kelompok-
kelompok tersebut menyiratkan adanya perbedaan pandangan tentang fenomena
kesantunan berbahasa antara generasi yang berbeda dan antara perempuan dan laki-
laki.

Daftar Pustaka

Aziz, E. Aminudin. 2003. “Usia dan Realisasi Kesantunan Berbahasa: Sebuah Studi
Pragmatik pada Para Penutur Bahasa Indonesia”. Dipublikasikan dalam PELBBA 16
(Kumpulan Makalah Pertemuan Linguistik Pusat Kajian Bahasa Atma Jaya: Keenam
Belas). Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Beebe, L.M. dan T. Takahashi. 1989. “Do you have a bag? Social status and patterned
variation in second language acquisition”. Dalam S.M. Gass, C. Madden, D. Preston,
dan L. Selinker (ed). Variation in second language acquisition vol I: sociolinguistic
issues. Clevedon: Multilingual Matters.
Beebe, L.M., T. Takahashi and R. Ullis-Weltz. 1990. “Pragmatic Transfer in ESL Refusals”.
Dalam R.C. Scarcella, E.S. Anderson, dan S.D. Krashen (ed). Developing communicative
competence in a second language. NY: Newbury House.
Blum-Kulka et al. 1989. Cross-Cultural Pragmatics: Request and Apologies. Norwood. Ablex
Publishing Corporation.
Brown, P. and S. C. Levinson. 1987. Politeness: Some universals in Language usage.
Cambridge: Cambridge University Press.
Catalan, Rosa María Jiménez. 2003. “Sex differences in L2 vocabulary learning strategies”.
Published in International Journal Of Applied Linguistics, Vol. 13, No. 1, 2003. Oxford:
Blackwell Publishing Ltd.
Crystal, David. 2008. A Dictionary of Linguistics and Phonetics (6th ed.). Malden: Blackwell
Publishing.
Grice, H.P. 1975. Logic and Conversation. In Peter Cole and J.L. Morgan (eds.) Syntax and
Semantics, Vol. 3: Speech Acts, New York: Academic Press. pp. 41 – 58.
Ito, Y. 1989. Strategies of disagreement: a comparison of Japanese and American usage.
Sophia Linguistica, 27, 193-203.

18
Jaszczolt, K.M. 2002. Semantics and Pragmatics: Meaning in Language and Discourse.
London: Pearson Education Ltd.
Lakoff, R. T. 1990. Talking Power: The Politics of Language in Our Lives. Glasgow: Harper
Collins.
Leech, G. 1983. Principles of Pragmatics. London: Longman.
Llamas, Louise Mullany and Peter Stockwell (eds.). 2007. The Routledge Companion to
Sociolinguistics. New York: Routledge.
Malmkjær, Kirsten. 2002. The Linguistics Encyclopedia Second Edition. New York: Routledge.
Nelson, G. L., Carson, J., Al Batal, M., & El Bakary, W. 2002. “Cross-cultural pragmatics:
Strategy use in Egyptian Arabic and American English refusals”. Published in Applied
Linguistics, 23 (2), 163-189.
Singh, Ishtla and Jean Stilwell Peccei (eds.). 2004. Language, Society, and Power. New York:
Routledge.
Thomas, J. (1995). Meaning in Interaction. New York: Longman.
Watts, R. J., S. Ide & K. Ehlich (Eds.).1992. Politeness in Language. Berlin: Mouton de Gruyter.
Widjaja, C. S. 1997. “A study of date refusals: Taiwanese females vs. American females”.
University of Hawai'i Working Papers in ESL, 15 (2), 1-43.

Makalah ini dipresentasikan dalam Forum Ilmiah Dwi-Bulanan FKIP-UKI, 9 Oktober 2009

19

You might also like