You are on page 1of 7

1

A. Sumber Pelengkap

Pada garis besarnya ayat – ayat Al-Qur’an dibedakan atas ayat Muhkamat
dan ayat – ayat mutasyabihat. Ayat muhkamat adalah ayat yang sudah jelas dan
terang maksudnya dan hokum yang dikandungya sehingga tidak memerlukan
penafsiran atau interpretasi atau interprestasi. Pada umumnya ayat muhkamat ini
bersifat perintah seperti perintah menegakkan salat, puasa, menunaikan zakat,
ibadah haji.
Ayat – ayat mutasyabihat adalah ayat yang memerlukan penafsiran lebih
lanjut walaupun dalam bunyinya sudah jelas mempunyai arti, seperti ayat – ayat
mengenai gejala – gejala alam yang terjadi setiap hari. Dengan ayat – ayat
mutasyabihat mengisyaratkan kepada kita bahwa Al – Qur’an mengajarkan
kepada manusia mempergunakan akalnya mengamati dengan benar, harus berfikir
dan bertanya secara tuntas tentang segala sesuatu yang diamatinya.
Demikian juga dalam Al – Qur’an dijumpai dalil-dalil yang bersifat Qot’i
dan dzoni dan Dalil-dalil yang dzoni ini dibutuhkan penjelasan dan penafsiran, hal
demikian bermuara untuk menggunakan aka untuk memecahkannya dan yang
tidak kalah penting mucunlnya peristiwa baru yang sebelumnya belum pernah
terjadi dan membutuhkan status hokum, seperti : - bagaimana hukunya bayi
tabung, cangkok mati, cloning manusia, donor darah, dll
Dasar menggunakan akal untuk menetapkan hukum adalah :
a. ketetapan Al – Qur’an mengenai landasan musyawarah dalam
menetapakan sesuatu :
firman Allah SWT :

Artinya : “…. Sedangkan urusan mereka ( diputuskan ) dengan musyawarah


antara mereka ( As – syura : 38 )

b. Allah memerintahkan dalam Al – Qur’an untuk mengembalikan segala


pertentangan dan silang pendapat kepada ulil amri, yaitu orang – orang
yang memiliki tingkat pemahaman syri’ah yang tinggi dan menguasai tata
cara menetapkan hukum.
2

Adanya ketegasannabi kepada para sahabatnya agar berijtihad dan merusmuskan


ketetapan hokum melalui pemikiran dalam masalah yang tidak terdpat hukumnya
dalam Al – qur’an maupun As-sunnah.
Seperti dalam hadist saat terjadi dialog antara Nabi dengan Mu’adz bin jabal
cukup memperkuat mengenai kedudukan akal itu..
B. ijma
1. Pengertian Ijma
Ijma menurut bahasa berarti sepakat, setuju atau sependapat. Sedangkan
menurut istilah para ahli ushul fiqih merumuskan pengertian ijma adalahsebagai
berikut.
Berdasarkan pengertian di atas, dapat diambil beberapa penjelasan sebagai
berikut.
a. kesepakatan adalah kesamaan pendapat atau kebulatan
pendapat para mujtahid pada suatu masa baik secara lisan maupun tertulis
atau dengan beramal sesuai dengan hukum yang disepakati itu. Ijma
(kesepakatan) dilihat dari segi caranya ada dua macam, yaitu :
1) ijma qauli ialah ijma dimana para muhtahid menetapakan
pendapatnya baik secara lisan maupun tulisan yang menerangkan
persetujuannya atas pendpat mujtahid lain di masanya. Ijma ini juga
disebutkan ijma qath’i
2) ijma sukuti ialah dimana para mujtahid berdiam diri tanpa mengeluarkan
pendpatnya atas mujtahid lain dan diamnyaitu bukan karena malu atau takut.
Sebab, iam atau tidak memberikan tanggapan itu dipandang telah menyetujui
terhadap hukum yang sudah ditetapkan.hal ini sesuai dengan pendapat ulama
ushul fiqih
ijma ini juga disebutkan ijma dzami
sedangkan dari segi waktu dan tempat ada beberapa macam ijma antara
lain :
1) ijma sahaby yaitu kesepakatan semua ulama sahabat
dalam suatu masalah pada masa tertentu
2) ijma ulama madinah yaitu kesepakatan ulama –
ulama madinah dalam suatu masalah
3) ijma ulama kufah yaitu kesepakatan ulama – ulama
kufah dalam suatu masalah
4) ijma khalifah yang empat yaitu kesepakatan empat
khalifah (Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali) dalam suatu
masalah.
3

5) Ijma abu baker dan umar yaitu kesepakatan sahabat


Abu Bakar dan Umar bin Khathab dalam suatu masalah
6) Ijma ahli bait (keluarga Nabi) yaitu kesepakatan
keluarga Nabi dalam suatu masalah
b. seluruh mujtahid berarti masing – masing mujthid
menyatakan kesepakatannya. Jika ada orang saja yang tidak
menyetujuinya maka tidak terjadi ijma. Apabila pada sautu masa hanya
ada seorng mujtahid saja, maka tidak ada ijma, sebab tidak terjadi
kesepakatan.
c. Ijma hanya terjadi pada masalah yang berhubungan dengan
syara dan harus berdasar pada Al – Qur’an dan hadits mutawatir, tidak sah
didasarkan pada yang lainnya

2. kedudukan ijma dalam hukum islam


Jumhur ulama ushul fiqih berpendapat bahwa ijma dapat dijadikan hujjah yang
qath’I dan sumber hokum islam dalam menetapkan suatu hukum. Jika sudah
terjadi ijma (kesepakatan) para mujtahid terhadap ketetapan hokum suatu amsalah
atau peristiwa, maka umat islam waji menaatinya dan mengamalakannya.
Dasar jumhur ulama ushul fiqih yang mengatakan bahwa ijma merupakan
hujjah yang qath’I dan sebagai sumber hukum islam adalah :
a. firman Allah SWT :

Artinya : hai orang – orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasull-Nya
dan ulil amri di antara kamu” ( QS. An – nisa ‘ : 59 )
Yang di maksud “ ulil amri “ itu ada dua penafsiran yaitu ulil amri fid-dunya
adalah penguasa dan ulil amri fid – din adalah mujtahid atau para ulama”

b. Hadits Rasulullah SAW

Artinya : “ umatku tidak akan bersepakat atas kesesatan “ ( HR. Ibnu majah )
4

Ijma menepati tingkat ketiga sebagai hukum syar’I yaitu setelah Al – Qur’an dan
as sunnah. Dengan demikian, ijma dapat dijadikan sebuah alternative dalam
menetapkan hukum suatu peristiwa, jika tidak ditemukan hukumnya dalam Al –
Qur’an dan as sunnah.

3. sebab- sebab dilakukanya ijma


Sebab – sebab dilakukannya ijma adalah sebagai berikut
1) adanya berbagai persoalan yang harus dicarikan satatus hukumnya,
sementara di dalam nash Al – Qur’an dan as sunnah tidak ditemukan
hukumnya.
2) Karena nash Al – Qur’an atau as sunnah sudah tidak akan turun lagi
atau terhenti
3) Pada masa itum, lebih mudah mengkoordinasikan mujtahid, Karen
ajumlahnya tidak terlalu banyak dan wilayahnya belum begitu luas
4) Perpecahan dan persilisihan anatara para mujtahid sangat kecil,
sehingga masih mudah untuk mencapai untuk mencapai kesepakatan.

4. contoh ijma
Adapun caontoh mengenai ijma anatar lain ialah tentang upaya
pembukaan Al – Qur’an yang dilakukan pada masa khalifah Abu Bakar as
Shiddiq RA. Contoh yang lain adalah menjadikan as-sunnah sebagai sumber
hokum islam. Para mujtahid bahkan seluruh umat islam sepakat menetapkan as
sunnah sebagai salah satu sumber hokum islam.
C. Qiyas
Semua itu hukumnya haram, karena mempunyai illat yang sama dengan
khamr yaitu memabukkan.
1. Pengertian Qiyas
Qiyas menurut bahasa berarti mengukur,membandingkan atau
menyamakan sesuatu dengan yang lain.
Sementara itu, menurut istilah qiyas adalah menyamakan sesuatu yang
belum ada ketentuan hukumnya dengan yang telah ada status hukumnya
dalam nash karena ada kesamaan illat antara keduanya.
Berdasarkan uraian di atas dapat dijelaskan bahwa untuk menetapakan
sesuatu yang belum ada ketentuan hukumnya boleh menyamakan dengan
sesuatu yang sudah jelas satatus hukumnya dalam nash Al Qur’an atau as
sunnah.
2. Contoh Qiyas
5

Seorang mujtahid ingin mengetahui hukumnya bird an wisky. Dari hasil


pembahasan dan penelitiannya secara cermat, kedua minuman itu
mengandung zat yang memabukan dan dapat merusak akal, seperti zat
yang ada pada khamr. Zat yang memabukan inilah yang menjadi penyebab
diharamkannya khamr. Dengan demikian mujtahid tersebut telah
menemukan hokum untuk bird an wisky yaitu haram, sama dengan khamr
karena keduanya mempunyai illat yakni memabukan. Contoh lainnya
adalah harta anak – anak wajib dikeluarkan zakatnya. Harta ini disamakan
dengan harta orang dewasa, yatu wajib di zakati. Karena keduanya
memiliki kesamaan, yaitu bahwa kedua jenis harta (harta anak – anak dan
harta orang dewasa) tersebut dapat memberikan pertolongan kepada fakir
miskin.
3. Rukun Qiyas
Adapun rukun – rukun qiyas adalah sebagai berikut.
a. Ashal (pokok) yaitu suatu peristiwa yang sudah ada nashnya yang
dijadikan tempat menqiyaskan atau maqis alaih (tempat
menyerupakan). Mislanya, khamr yang di tetapkan hukumnya dalam
nash Al Qur’an
b. Far’un (cabang) yaitu obyek yang akan ditentukan hukunya atau
disebut maqis (yang dserupakan). Misalnya, wisky yang belum
ditetapkan hukumnya dalam nash
c. Illat yaitu sifat yang terdapat pada peristiwa yang ashal yang
menghubungkan dengan far’un, seperti khamr (ashal) illatnya
memambukkan, sama dengan wisky (far'un) yang juga dapat
memabukkan.
d. Hukum Ashal, yaitu hokum syara yang sudah ditetntukan nash dan
akan diberlakukan pada far’un (cabang) seperti haramnya
khamrditetapkan pada wisky karena sama dengan illatnya.
4. Kedudukan Qiyas dalam hukum islam
Menurut jumhur ulama ushul fiqih merupakan hujjah syar’iyah yang
keempat setelah Al Qur’an, as sunnah, dan ijma. Apabila ada suatu
peristiwa yang belum jelas ketentuan hukumnya berdasarkan nash, maka
peristiwa itu disamakan dengan peristiwa lain yang sudah tetap status
hukumnya dalam nash karena adanya kesamaan illat. Pendapat ini di
dasarkan atas firman Allah SWT :
6

“ hendaklah kamu mengambil I’tibar (pelajaran) hai orang – orang yang


berfikiran.” (QS. Al Hasyr : 2)

Dasar hujjah yang lain adalah hadist Rasulullah SAW. Bahwa ketika
Rasulullah SAW. Mengutus Mu’az bin jabbal menyetujui mengambil
keputusan dengan menggunakan ar ra’yu, jika tidak ditemukan status
hukumnya dalam nash Al Qur’an maupun as sunnah. Ijtihad bi-al-ra’yi
termasuk di dalamnya menggunakan qiyas.
Pada zaman modern ini sering muncul masalah – masalah yang belum ada
ketentuan hukumnya dalam nash Al Qur’an dan as sunnah, sehingga para
ulama dapat menggunakan qiyas sebagai altrenatif dalam menetapkan
hukum suatu peristiwa. Karena qiyas telah disepakati sebagai salah satu
sumber hukum islam.
Selain itu qiyas bias dilakukan secara individu oleh mujtahid, berbeda
dengan ijma dimana harus dilakukan secara bersama – sama oleh
mujtahid.
5. Sebab – sebab Dilakukan Qiyas
Di antara sebab – sebab dilakukannya qiyas adalah sebagai berikut.
1) Munculnya persoalan – persoalan yang tidak ditemukan status
hukumnya dalam Al Qur’an dan as sunnah, sementara para mujtahid
belum melakukan kesepakatan (ijma)
2) Karena adanya kesamaan illat antara masalah yang belum ada
hukumnya dengan masalah yang hukumnya telah ditetntukan oleh nash
3) Nash Al Qur’an dan as sunnah tidak turun lagi atau terhenti.
Macam – macam Qiyas
Qiyas mempunyai tingakatan yang berbeda – beda. Perbedaan
tersebut di dasarkan pada tingkat kekuatan hukum karena adanya illah
yang ada pada asal dan furu’, adapun tingkatan tersebut pada umumnya
dibagi menjadi tiga yaitu :
a. Qiyas aula, yaitu qiyas yang apabila illahnya mewajibkan adanya
hukum yang disamakan (furu) dan hukum cabang memiliki hukum
yang lebih utama dari pada hukum yang ada paa al asal. Misalnya
berkata kepada kedua orang tua dengan mengatakan “uh”,”eh”
“busyet” atau kata – kata lain yang semakna dan menyakitkan itu
hukumnya haram,sesuai dengan firman Allah QS. Al-Isra (17): 23
7

Artinya :” maka sekali – kali janganlah kamu mengatakan kepada


keduanya perkataan “ah”

Lalu diqiyaskan memukul dengan perkataan “ah”, “busyet” dan


sebagainya hukumnya lebih utama. Rasionalnya, berkata “uh” saja di
larang, apalagi memukulnya. Memukul tentu lebih menyakitkan
disbanding berkata “uh” bukan ?
b. Qiyas musawi, yaitu qiyas yang apabila illahnya mewajibkan
adanya hukum dan sama antara hukum yang ada pada al ashlu maupun
hukum yang ada pada al far’u (cabang). Contohnya, keharaman memakan
harta anak yatim berdasarkan firman Allah surah an Nisa (4): 10

Artinya :” sebenarnya orang – orang yang memakan harta anak yatim


secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan apai dalam perutnya dan
mereka itu menelan api dalam perutnya dan mereka akan masuk ke dalam
api yang menyala – nyala (neraka)

Dari ayat di atas, kita dapat mengqiyaskan bahwa segala bentuk


kerusakan atau kesalahan pengelolahan atau salah menejemen yang
menyebalkan hilangnya harta tersebut juga dilarang seperti memakan harta
anak yatim tersebut.

c. Qiyas adna, yang dimaksud dengan qiyas ini yaitu adanya hukum
al far’u lebih lemah bila dirujuk dengan hukum as ashlu. Sebagai
contoh, mengqiyaskan hukum apel kepada gandum dalam hal riba fadl
(riba yang terjadi karena adanya kelebihan dalam tukar – menukar
antara dua bahan kebutuhan pokok atau makanan). Dalam masalah
kasus ini, illah hukumnya adalah baik apel maupun gandum
merupakan jenis makanan yang bisa dimakan dan ditakar. Namun ada
segi yag lain dari illah gandum yang tidak terdapat pada apel, apa itu ?
apel tidak makanan pokok. Oleh Karennya, illahi yang ada pada apel
lebih lemah dibandingkan dengan illat yang ada pada gandum yang
menjadi makanan pokok.

You might also like