You are on page 1of 49

PENEGAKAN HUKUM DAN MARAKNYA KASUS

MAFIA HUKUM DI NEGARA INDONESIA

BAB I
PENDAHULUAN

Di era globalisasi ini penting bagi kita untuk mengetahui lebih dalam
tentang penegakan suata negara, terutama yang berkaitan dengan keadaan dan
situasi penegakan hukum di negara kita yaitu negara Indonesia. Hal ini penting
bagi kita karena erat hubungannya dengan apa yang kita saksikan dalam realita
kehidupan masyarakat saat ini.

Terkadang masih banyak orang yang salah mengartikan dan belum banyak
mengerti tentang keadaan sisitem hukum di Indonesia, sehingga kita sebagai
masyarakat kadang pasrah saja menerima hukuman dari kesalahan, terkadang hal
tersebut dialami suatu perusahaan karena lemahnya pengetahuan sebagaian
masyarakat akan pengetahuan tentang proses hukum dan sanksi-sanksi yang
diberikan kepada para pelaku yang berlaku di negara Indonesia.

Banyak kasus hukum yang di selesaikan secara tak adil, dimana para
penegak hukum memiliki peran ganda sebagai mafia hukum secara tak kasat
mata.

Para mafia hukum inilah yang memporak-porandakan sistem hukum yang


berlaku di tanah air kita. Gencarnya aksi mafia hukum tersebut disambut kritik
dan protes yang tajam dari masyarakat sendiri, namun tak ayal, jarang yang
sanggup untuk menghentikan mereka.
“Sejak hukum itu dijarah oleh banjir rasionalisme dan rasionalisasi, maka
ia menjadi institusi yang terisolasi dan asing… maka menjadi tugas para
ilmuwannya untuk mengutuhkan kembali hukum dengan lingkungan, alam, dan
orde kehidupan yang lebih besar.”

( Satjipto Raharjo)

A. Latar Belakang

Perkembangan sosial dan budaya dalam penyelenggaraan negara dewasa


ini tampak ada yang sangat memprihatinkan dalam konteks ideologi. Betapa
manusia-manusia yang mengklaim sebagai “produk dari proses reformasi” telah
dengan lantang menafikan makna terdalam Pancasila.

Apa yang tidak tepat dengan nilai-nilai dasar Pancasila yang siapapun
secara sadar semestinya mengakui sebagai nilai-nilai keabadian. Nilai-nilai
Pancasila dengan Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Kerakyatan dan Keadilan
adalah agung dan menakjubkan. Banyak pakar dari belahan dunia Barat dan
Timur telah mengkaji Pancasila dengan kesimpulan yang senada “betapa
beruntungnya bangsa Indonesia yang telah mampu menggali dan berdiri di atas
Pancasila”.

Kita semua tahu bahwa berdasarkan UUD 1945 adalah bahwa Indonesia
merupakan Negara Hukum. Namun kini kita menyaksikan bahwa hukum di
Republik Indonesia sedang menapaki kisahnya di era reformasi yang tidak
berwibawa. Hukum disinyalir benar-benar ada dalam titik ketidakberdayaan
melawan keangkuhan sosial dan dominasi politik.

Salah satu fungsi hukum adalah alat penyelesaian sengketa atau konflik,
disamping fungsi yang lain sebagai alat pengendalian sosial dan alat rekayasa
sosial . Pembicaraan tentang hukum barulah dimulai jika terjadi suatu konflik
antara dua pihak yang kemudian diselesaikan dengan bantuan pihak ketiga. Dalam
hal ini munculnya hukum berkaitan dengan suatu bentuk penyelesaian konflik
yang bersifat netral dan tidak memihak .
Pelaksanaan hukum di Indonesia sering dilihat dalam kacamata yang
berbeda oleh masyarakat. Hukum sebagai dewa penolong bagi mereka yang
diuntungkan, dan hukum sebagai hantu bagi mereka yang dirugikan. Hukum yang
seharusnya bersifat netral bagi setiap pencari keadilan atau bagi setiap pihak yang
sedang mengalami konflik, seringkali bersifat diskriminatif , memihak kepada
yang kuat dan berkuasa.
Penegakan hukum merupakan masalah penting yang harus segera
ditangani. Masalah hukum ini paling dirasakan oleh masyarakat dan membawa
dampak yang sangat buruk bagi kehidupan bermasyarakat. Persepsi masyarakat
yang buruk mengenai penegakan hukum, menggiring masyarakat pada pola
kehidupan sosial yang tidak mempercayai hukum sebagai sarana penyelesaian
konflik, dan cenderung menyelesaikan konflik dan permasalahan mereka di luar
jalur. Cara ini membawa akibat buruk bagi masyarakat itu sendiri.
Pemanfaatan penegakan hukum oleh sekelompok orang demi
kepentingannya sendiri, selalu berakibat merugikan pihak yang tidak mempunyai
kemampuan yang setara. Akibatnya rasa ketidakadilan dan ketidakpuasan tumbuh
subur di masyarakat Indonesia. penegakan hukum yang konsisten harus terus
diupayakan untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap hukum di
Indonesia.
Perilaku publik menjadi sangat tidak merefleksikan nilai dasar Pancasila
secara tepat. Pancasila pun ditafsir secara serampangan dan jauh dari kaidah
awalnya untuk menata semua perikehidupan dan dimensi keilmuan untuk
berketuhanan, berkemanusiaan, berpersatuan, berkerakyatan dan berkeadilan.
Maka perilaku komunitas public sekarang ini yang cenderung adu kuat ala
gerombolan telah mengingatkan pada kisah historis yang dilansir oleh Thomas
Hobbes: ”homo homini lupus” yang arti sebenarnya adalah manusia menjadi
serigala (pemangsa) bagi sesamanya sendiri.
Semua itu (yang menistakan hidup ber-Pancasila) tidak akan terjadi dalam
kehidupan yang memiliki hukum atas jiwa terdalam Pancasila. Kenyataan
kekerasan (fisik maupun psikologis) yang terus mengemuka sekarang ini adalah
cerminan peradaban klasik (pra-sejarah) yang sepertinya belum tercerahkan.

Kita semua harusnya menyadari bahwa Pancasila merupakan produk


budaya dan pemikiran cerdas untuk melandasi semua dimensi kehidupan negara.
Ilmu hukum juga merupakan hasil dari proses keilmuan yang secara domestic
mestinya dapat menyerap prinsip-prinsp utama Pancasila. Hukum yang
berdasarkan Pancasila tetaplah ilmiah (“scientific-mind”) dan bukan kumpulan
dogma semata-mata.

Kita bangsa Indonesia sudah menghadapi banyak masalah: bagaimana


rakyat antri beras, antri minyak tanah, antri gas elpiji, antri sembako, dan lain
sebagainya. Dalam kondisi demikian sesungghnya kita tidak mempunyai
kesempatan lagi untuk mencibir ilmu hukum ataupun Pancasila. Bagaimana
mungkindalam sebuah negara yang memiliki Pancasila sedang antri penderitaan
sedangkan para ilmuwan hukum asyik dengan pasal-pasalnya. Di satu sisi orang
antri dan di sisi lain orang korupsi, sementara akademisi sibuk berargumentasi.
Maka masalah tersebut disikapi dengan pengembangan hukum yang mampu
mengatur distribusi kebutuhan secara Panccasilais agar manusia-manusia
Indonesia tidak egois seperti sekarang.

Maka Archie J. Bahm menjelaskan bahwa sikap ilmiah memiliki watak


dasar; keingintahuan, kespekulatifan, keobyektifan, keterbukaan, kesabaran, dan
kesementaraan. Dalam perjalanan waktu, meskipun seorang ilmuwan secara sadar
dalam menyelesaikan masalah hanya menggunakan sebagian saja komponen ilmu,
misalnya sikap dan metode saja, usahanya tersebut tetap ilmiah. Ada titik-titik
kebijaksanaan yang dapat ditempuh demi rakyat sebagai tujuan akhirnya.
Penggunaan dana publik untuk rakyat merupakan langkah utama dalam
menyelesaikan kekurangan kebutuhan publik.

Berbagai kasus yang berserakan sekarang ini merupakan cermin tidak


dihargainya hukum secara konsisten dalam sebuah kerangka sistem. Hukum
cenderung diputarfungsikan sesuai dengan selera masing-masing penggunanya,
termasuk Pancasila sedang mengalami nasib serupa. Kasus pemilihan Kepala
Daerah di banyak wilayah dengan banyak sentuhan politiknya amat sangat
membuktikan bahwa hukum dan Pancasila selalu dimain-mainkan sesuai
seleranya.

“Hukum adalah fakta dan kaidah sekaligus”, kata D.H.M. Meuwissen.


Untuk itulah hukum harus dipahami tanpa terlepas dari nuansa etis, sosiologis,
politis, ekonomis, historis, maupun kultural. Konsekuensinya adalah bahwa ilmu
hukumakan menarik perhatian publik dan penggunaan hukum nyaris mudah
dimanipulasi atas nama ambisi yang mengabaikan jiwa Pancasila yang
mengandung spirit: Tuhan, Manusia, Bangsa yang bersatu, Rakyat, dan Keadilan.

Hal tersebut senada dengan gagasan seorang Begawan ilmu hukum


Indonesia Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, SH. yang telah menggaagas tentang
“Hukum Progresif”, Pandangan ini menyatakan:

Progresivisme bertolak dari pandangan kemanusiaan, bahwa manusia pada


dasarnya adalah baik, memiliki sifat-sifat kasih saying serta kepedulian terhadap
sesama. Ini menjadi modal penting bagi membangun masyarakat. Dengan
demikian hukum menjadi alat untuk menjabarkan dasar kemanusiaan tersebut.
Hukum bukanlah raja, tetapi alat yang berfungsi memberikan kedamaian kepada
dunia dan manusia. Hukum mempunyai tujuan besar berupa kesejahteraan dan
kebahagiaan manusia, maka hukum itu selalu berada pada status law in making.

Memahami hukum sebagai suatu sistem yang berwatak Pancasila adalah


kebutuhan sebagaimana melihat hukum dengan mempergunakan System
Approach. Wacana ilmu Hukum menunjukkan rotasi historik watak hukum yang
“empiris” maupun “normatif” yang dalam perkembangannya mengikuti jejak
kemasyarakatan yang menurut Henry Maine bergerak secara evolusioner dari
tipe tradisional ke tipe modern.

Negara menciptakan hukum bermuatan norma, memerintah sesuatu,


pedoman perilaku, yang secara sosiologis acapkali didayagunakan sebagai
instrumen kontrol “law is governmental social control” model Donald Black.
Meski pemikiran ini banyak dicibir oleh pengagum aliran positifistik yang
legalistik tanpa tahu kegunaannya. M,aka sangat disayangkan apabila aliran atau
mazhab demikian masuk pada wilayah hukum tanpa filtter Pancasila. Hukum akan
terlihat kering dan seperti ada menara gading berdiri tanpa kegunaan bagi
publiknya.

Permasalahan hukum sangat beragam dan telah menjadi fokus sentral


kajian Ilmu Hukum dengan persepsi dan visi yang berbeda. Apa yang terjadi
sekarang perlu dihentikan apabila tidak ada titik keseimbangan pengajaran yang
mengedepankan Pancasila. Terjadi dominasi reduksi normatif terhadap hukum
yang mengakibatkan hukum lebih menonjolkan momentum positifnya ataupun
empirisnya melalui influensi tradisi cabang ilmu dalam mendefinisikan hukum
yang berkedilan. Pada akhirnya hukum menjadi terisolir dari elementasi non-
yuridis lainnya yang menentukan keberadaan hukum dalam masyarakat dan
kurang peduli terhadap kebutuhan rakyat.

Dengan memahami hukum berikut dengan segenap komponennya, intristik


mengahargai hukum yang adikuat: hukum adalah fakta maupaun kaidah dengan
sumber ideologisnya: Pancasila. Pengertian demikian akan menjadikan hukum
memiliki sifat dialektis antara fakta dan kaidah, bentuk dan isi. Pengkajian
Hukum menjadi tidak akan berhenti pada anatomi sepihak: bentuk-isi, kaidah-
kaidah, melainkan berusaha untuk memikirkannya dalam suatu hubungan
sistematik.

Pancasila adalah motivasi dan pedoman sekaligus confirm and deepen the
identity of their people. Sebagaimana kita tahu bahwa Pancasila terdiri atas lima
sila yang membentuk suaru rangkaian siste ideologis dan filosofis yang logic
saintifik yang menjadi dasar hukum utama (yang dalam bahasa populernya
disebut “sumber dari segala sumber hukum”).

Rangkaian sila-sila Pancasila itu secara terang menginformasikan bahwa


kaidah dasar yang merupakan nilai fundamental Pancasila adalah: Ketuhanan,
Kemanusiaan, Persatuan, Kerakyatan, dan Keadilan. Nilai dasar ini
memberikan arah bagi semua warga negara Republik Indonesia untuk
menyelenggarakan kehidupan yang berbasis Ketuhanan, Kemanusiaan,
Persatuan, Kerakyatan, dan Keadilan. Dengan kata lain bahwa kita dalam
pengajaran Ilmu Hukum dilarang berbuat yang tidak berketuhanan,
berkemanusiaan, berpersatuan, berkerakyatan, dan berkeadilan.

Dari sisi demikianlah maka tidaklah patut dalam suatu penyelenggaraan


Pendidikan Tinggi yang berdasarkan Pancasila diketemukan adanya kolusi,
korupsi, dan nepotisme (KKN), atau pembunuhan karakter, karena hal itu
bertentangan dengan Pancasila yang memiliki nilai-nilai universal.

Hukum tak bisa dipisahkan dari keadilan masyarakat. Hukum untuk


manusia bukan “hukum untuk hukum” yang malah membuahkan berbagai praktik
penyimpangan hukum, seperti maraknya kasus mafia hukum kelas kakap yang
begitu melecehkan supremasi hukum di Indonesia.

Mafia hukum merujuk sekelompok orang, baik terorganisir atau tidak yang
bisa mencampuri dan mengatur persoalan hukum. Bentuk-bentuk praktik mafia
hukum meliputi: makelar kasus, suap-menyuap, pemerasan, jual-beli perkara,
mengancam saksi dan pihak tertentu, pungutan-pungutan gelap, dan sebagainya.
Bagaimana realitas mafia hukum harus diberantas?

Sudah saatnya kita merasakan keadilan yang seutuhnya. Pemberantasan


para mafia hukum harus direalisasikan demi tegaknya hukum dan keadilan di
negara Indonesia.

Oleh karena itu, makalah ini membahas tentang apa itu hukum dan segala
sesuatunya yang berakaitan dengan hukum dalam realita kehidupan masyarakat
terutama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara khususnya dalam negara
Indonesia yang erat kaitannya dengan permasalahan di atas dan diharapkan
dengan mempelajari materi di atas dengan lebih dalam, dapat menghindari hal-hal
yang tidak diinginkan, seperti masalah ketidak-adilan dalam proses hukum.
B. Tujuan

1) Mengetahui hukum di Indonesia.

2) Mengetahiu apa itu hukum progresif dan latar belakangnya.

3) Mengetahui apa yang disebut mafia hukum dan modus-modusnya di


peradilan Indonesia.

4) Mengetahui penanganan mafia hukum di indonesia.


BAB II
HUKUM DI INDONESIA

A. Pengertian Hukum
Arti kata hukum secara etimologi memiliki beberapa istilah,
diantaranya yaitu :
1) Hukum
Kata hukum berasal dari bahasa Arab, yang selanjutnya diambil
alih dalam bahasa Indonesia. Di dalam pengertian hukum
terkandung pengertian yang bertalian erat dengan pengertian yang
dapat melakukan paksaan.
2) Recht
Recht berasal dari “Rectum” (bahasa Latin) yang mempunyai arti
bimbingan atau tuntunan, atau pemerintahan. Bertalian dengan kata
‘Rectum” di kenal pula kata “Rex” yaitu orang yang pekerjaannya
memberikan bimbingan atau memerintah. “Rex” juga dapat
diartikan raja yang mempunyai kerajaan (regimen).
3) Ius
Kata “Ius” berasal dari bahasa Latin yang mengandung arti hukum.
“Ius” berasal dari kata “Iubere” artinya mengatur atau memerintah.
Kata “Ius” seringkali bertalian erat dengan kata “Iustitia” atau
keadilan. Pada zaman Yunani Kuno, Iustitia adalah dewi keadilan
yang dilambangkan sebagai seorang wanita dengan kedua matanya
tertutup dengan tangan kirinya memegang neraca dan tangan
kanannya memegang sebuah pedang.
4) Lex
Kata “Lex” berasal dari bahasa Latin yakni “Lesere”. Lesere
mengandung arti mengumpulkan orang-orang untuk diberi
perintah.
Sebenarnya para sarjana telah lama mencari suatu batasan tentang
hukum tetapi belum ada yang dapat meberikan suatu batasan atau definisi
yang tepat. Batasan-batasan yang diberikan adalah bermacam-macam,
berbeda satu sama lain dan tidak lengkap. Maka sangatlah tepat apa yang
telah dikatakan oleh Immanuel Kant pada tahun 1800 : “Noch suchen die
juristen eine definition zu ihren begriffe von recht”, yang artinya para
juris masih mencari suatu definisi mengenai pengertian tentang hukum.

Berdasarkan uraian tersebut, untuk membuat definisi hukum adalah


sulit. Seandainya ada yang mendefinisikan, maka definisinya akan
dipengaruhi oleh latar belakang mereka masing-masing. Diantara beberapa
definisi hukum yang dikemukakan oleh pakar hukum antara lain ialah :

a) Prof.Dr. P.Brost
Hukum ialah merupakan peraturan atau norma, yaitu petunjuk atau
pedoman hidup yang wajib ditaati oleh manusia. Dengan demikian
hukum bukanlah kebiasaan.
b) Prof.Dr.Van Kan
Dalam bukunya “Inleiding tot de rechtswetenschap”, hukum ialah
keseluruhan peraturan hidup yang bersifat memaksa untuk
melindungi kepentingan manusia di dalam masyarakat.
c) Prof.Mr.Dr.L.J.Van Apeldoorn
Hukum mengatur perhubungan antara manusia atau inter hukum.
d) Kantorowich
Dalam bukunya “The definition of law” beliau mengatakan hukum
adalah keseluruhan peraturan-peraturan social yang mewajibkan
perbuatan lahir yang mempunyai sifat keadilan serta dapat
dibenarkan.

 
B. Tujuan Hukum
Mengingat banyaknya perndapat yang berbeda-beda berkaitan dengan
tujuan hukum, maka untuk mengatakan secara tegas dan pasti adalah suatu
hal yang sulit. Ada yang beranggapan bahwa tujuan hukum itu kedamaian,
keadilan, kefaedahan, kepastian hukum dan sebaginya. Kesemuanya itu
menunjukan bahwa hukum itu merupakan gejala masyarakat.  Mengenai
pendapat dari beberapa pakar hukum, dapat diketengahkan sebagai berikut
:
o Dr.Wirjono Projodikoro,SH
Dalam bukunya “Perbuatan Melanggar Hukum”, beliau katakan
bahwa tujuan hukum adalah mengadakan keselamatan,
kebahagiaan, dan tata tertib dalam masyarakat.
o Prof. Subekti,SH
Dalam bukunya “Dasar-dasar Hukum dan Pengadilan”, beliau
katakan bahwa hukum itu mengabdi pada tujuan Negara yang
intinya ialah mendatangkan kemakmuran dan kebahagiaan
rakyatnya.
o Prof.Mr.Dr.L.J.Apeldoorn
Dalam bukunya “Inleiding tot de studie van het Nederlandse
recht”, beliau menyatakan bahwa tujuan hukum adalah mengatur
tata tertib dalam masyarakat secara damai dan adil.
o Aristoteles
Dalam bukunya “Rhetorica”, beliau cetuskan teorinya bahwa
tujuan hukum menghendaki keadilan semata-mata dan isi daripada
hukum ditentukan oleh kesadaran etis mengenai apa yang adil dan
apa yang tidak adil.
o Jeremy Bentham
Dalam bukunya “Introduction to the moral and legislation”, ia
mengatakan bahwa hukum bertujuan semata-mata apa yang
berfaedah bagi orang.
o Prof.Mr.J.Van Kan
Tujuan hukum adalah menjaga kepentingan tiap-tiap manusia
supaya kepentingan-kepentingan itu tidak dapat diganggu.

C. Fungsi Hukum
Secara umum fungsi hukum dapat dikatakan untuk menertibkan dan
mengatur pergaualan dalam masyarakat serta menyelesaikan masalah-masalah
yang timbul. Dalam perkembangan masyarakat saat ini, fungsi hukum dapat
terdiri dari :

 Sebagai alat pengetur tata tertib hubungan masyarakat.


 Sebagai sarana untuk mewujudkan keadilan social lahir dan batin.
 Sebagai sarana penggerak pembangunan.
 Sebagai fungsi kritis.

Agar fungsi-gungsi hukum dapat terlaksana dengan baik, maka bagi para
penegak hukum  dituntut kemampuannya untuk melaksanakan dan menerapkan
hukum dengan baik, dengan seni yang dimiliki masing-masing petugas,
misalnya :menafsirkan hukum sesuai dengan keadilan dan posisi masing-
masing, serta bila diperlukan melakukan penafsiran analogis penghalusan
hukum.

D. Permasalahan Hukum

Permasalahan hukum di Indonesia terjadi karena beberapa hal, baik dari


sistem peradilannya, perangkat hukumnya, inkonsistensi penegakan hukum,
intervensi kekuasaan, maupun perlindungan hukum . Diantara banyaknya
permasalahan tersebut, satu hal yang sering dilihat dan dirasakan oleh
masyarakat awam adalah adanya inkonsistensi penegakan hukum oleh aparat.

Inkonsistensi penegakan hukum ini kadang melibatkan masyarakat itu


sendiri, keluarga, maupun lingkungan terdekatnya yang lain (tetangga, teman,
dan sebagainya). Namun inkonsistensi penegakan hukum ini sering pula
mereka temui dalam media elektronik maupun cetak, yang menyangkut tokoh-
tokoh masyarakat (pejabat, orang kaya, dan sebagainya). Inkonsistensi
penegakan hukum ini berlangsung dari hari ke hari, baik dalam peristiwa yang
berskala kecil maupun besar.

Peristiwa kecil bisa terjadi pada saat berkendaraan di jalan raya.


Masyarakat dapat melihat bagaimana suatu peraturan lalu lintas (misalnya
aturan three-in-one di beberapa ruas jalan di Jakarta) tidak berlaku bagi
anggota TNI dan POLRI. Polisi yang bertugas membiarkan begitu saja mobil
dinas TNI yang melintas meski mobil tersebut berpenumpang kurang dari tiga
orang dan kadang malah disertai pemberian hormat apabila kebetulan
penumpangnya berpangkat lebih tinggi.

Contoh peristiwa klasik yang menjadi bacaan umum sehari-hari adalah :


koruptor kelas kakap dibebaskan dari dakwaan karena kurangnya bukti,
sementara pencuri ayam bisa terkena hukuman tiga bulan penjara karena
adanya bukti nyata.

E. Beberapa Akibat Inkonsistensi Penegakan Hukum di Indonesia

Inkonsistensi penegakan hukum di atas berlangsung terus menerus selama


puluhan tahun. Masyarakat sudah terbiasa melihat bagaimana law in action
berbeda dengan law in the book. Masyarakat bersikap apatis bila mereka tidak
tersangkut paut dengan satu masalah yang terjadi. Apabila melihat penodongan
di jalan umum, jarang terjadi masyarakat membantu korban atau melaporkan
pelaku kepada aparat. Namun bila mereka sendiri tersangkut dalam suatu
masalah, tidak jarang mereka memanfaatkan inkonsistensi penegakan hukum
ini.
Beberapa contoh kasus berikut ini menunjukkan bagaimana perilaku
masyarakat menyesuaikan diri dengan pola inkonsistensi penegakan hukum di
Indonesia.

1. Ketidakpercayaan Masyarakat pada Hukum

Masyarakat meyakini bahwa hukum lebih banyak merugikan mereka,dan


sedapat mungkin dihindari. Bila seseorang melanggar peraturan lalu lintas
misalnya, maka sudah jamak dilakukan upaya “damai” dengan petugas polisi
yang bersangkutan agar tidak membawa kasusnya ke pengadilan . Memang
dalam hukum perdata, dikenal pilihan penyelesaian masalah dengan arbitrase
atau mediasi di luar jalur pengadilan untuk menghemat waktu dan biaya.
Namun tidak demikian hal nya dengan hukum pidana yang hanya
menyelesaikan masalah melalui pengadilan.

Di Indonesia, bahkan persoalan pidana pun masyarakat mempunyai pilihan


diluar pengadilan. Pendapat umum menempatkan hakim pada posisi “tertuduh”
dalam lemahnya penegakan hukum di Indonesia, namun demikian peranan
pengacara, jaksa penuntut dan polisi sebagai penyidik dalam hal ini juga
penting. Suatu dakwaan yang sangat lemah dan tidak cermat, didukung dengan
argumentasi asal-asalan, yang berasal dari hasil penyelidikan yang tidak akurat
dari pihak kepolisian, tentu saja akan mempersulit hakim dalam memutuskan
suatu perkara.

Kelemahan penyidikan dan penyusunan dakwaan ini kadang bukan


disebabkan rendahnya kemampuan aparat maupun ketiadaan sarana
pendukung, tapi lebih banyak disebabkan oleh lemahnya mental aparat itu
sendiri.

Beberapa kasus menunjukkan aparat memang tidak berniat untuk


melanjutkan perkara yang bersangkutan ke pengadilan atas persetujuan dengan
pihak pengacara dan terdakwa, oleh karena itu dakwaan disusun secara
sembarangan dan sengaja untuk mudah dipatahkan. Beberapa kasus pengadilan
yang memutus bebas terdakwa kasus korupsi yang menyangkut pengusaha
besar dan kroni mantan presiden Soeharto menunjukkan hal ini. Terdakwa
terbukti bebas karena dakwaan yang lemah.

2. Penyelesaian Konflik dengan Kekerasan

Penyelesaian konflik dengan kekerasan terjadi secara sporadis di beberapa


tempat di Indonesia. Suatu persoalan pelanggaran hukum kecil kadang
membawa akibat hukuman yang sangat berat bagi pelakunya yang diterima
tanpa melalui proses pengadilan. Pembakaran dan penganiayaan pencuri
sepeda motor, perampok, penodong yang dilakukan massa beberapa waktu
yang lalu merupakan contoh. Menurut Durkheim masyarakat ini menerapkan
hukum yang bersifat menekan (repressive). Masyarakat menerapkan sanksi
tersebut tidak atas pertimbangan rasional mengenai jumlah kerugian obyektif
yang menimpa masyarakat itu, melainkan atas dasar kemarahan kolektif yang
muncul karena tindakan yang menyimpang dari pelaku. Masyarakat ingin
memberi pelajaran kepada pelaku dan juga pada memberi peringatan anggota
masyarakat yang lain agar tidak melakukan tindakan pelanggaran yang sama.

Pada beberapa kasus yang lain, masyarakat menggunakan kelompoknya


untuk menyelesaikan konflik yang terjadi. Mulai dari skala “kecil” seperti
kasus Matraman yang melibatkan warga Palmeriam dan Berland, kasus
tawuran pelajar, sampai dengan kasus-kasus besar seperti Ambon, Sambas,
Sampit, dan sebagainya. Pada kasus Sampit, misalnya, konflik antara etnis
Dayak dan Madura yang terjadi karena ketidakadilan ekonomi tidak dibawa
dalam jalur hukum, melainkan iselesaikan melalui tindakan kelompok.

Dalam hal ini, kebenaran menurut hukum tidak dianut sama sekali,
masing-masing kelompok menggunakan norma dan hukumnya dalam
menentukan kebenaran serta sanksi bagi pelaku yangmelanggar hukum
menurut versinya tersebut. Tidak diperlukan adanya argumentasi dan
pembelaan bagi si terdakwa. Suatu kesalahan yang berdasarkan keputusan
kelompok tertentu, segera divonis menurut aturan kelompok tersebut.

3. Pemanfaatan Inkonsistensi Penegakan Hukum untuk Kepentingan


Pribadi

Dalam beberapa kasus yang berhasil ditemukan oleh media cetak, terbukti
adanya kasus korupsi dan kolusi yang melibatkan baik polisi, kejaksaan,
maupun hakim dalam suatu perkara. Kasus ini biasanya melibatkan pengacara
yang menjadi perantara antara terdakwa dan aparat penegak hukum. Fungsi
pengacara yang seharusnya berada di kutub memperjuangkan keadilan bagi
terdakwa , berubah menjadi pencari kebebasan dan keputusan seringan
mungkin dengan segala cara bagi kliennya.

Sementara posisi polisi dan jaksa yang seharusnya berada di kutub yang
menjaga adanya kepastian hukum, terbeli oleh kekayaan terdakwa. Demikian
pula hakim yang seharusnya berada ditengah-tengah dua kutub tersebut, kutub
keadilan dan kepastian hukum, bisa jadi condong membebaskan atau
memberikan putusan seringan-ringannya bagi terdakwa setelah melalui
kesepakatan tertentu.

Dengan skenario diatas, lengkaplah sandiwara pengadilan yang seharusnya


mencari kebenaran dan penyelesaian masalah menjadi suatu pertunjukan yang
telah diatur untuk membebaskan terdakwa. Dan karena menyangkut uang,
hanya orang kaya lah yang dapat menikmati keadaan inkonsistensi penegakan
hukum ini. Sementara orang miskin (atau yang relatif lebih miskin) akan
putusan pengadilan yang lebih tinggi.

4. Penggunaan Tekanan Asing dalam Proses Peradilan

Campur tangan asing bagaikan pisau bermata dua. Disatu pihak tekanan
asing dapat membawa berkah bagi pencari keadilan dengan dipercepatnya
penyidikan dan penegakan hukum oleh aparat. Lembaga asing non pemerintah
biasanya aktif melakukan tekanan-tekanan semaam ini, misalnya dalam
pengusutan kasus pembunuhan di Aceh, tragedi Ambon, Sambas, dan
sebagainya. Namun di lain pihak tekanan asing kadang juga memberi mimpi
buruk pula bagi masyarakat.

Beberapa perusahaan asing yang terkena kasus pencemaran lingkungan,


gugatan tanah oleh masyarakat adat setempat, serta sengketa perburuhan,
kadang menggunakan negara induknya untuk melakukan pendekatan dan
tekanan terhadap pemerintah Indonesia agar tercapai kesepakatan yang
menguntungkan kepentingan mereka, tanpa membiarkan hukum untuk
menyelesaikannnya secara mandiri. Tekanan tersebut dapat berupa ancaman
embargo, penggagalan penanaman modal, penghentian dukungan politik, dan
sebagainya.

Kesemuanya untuk meningkatkan posisi tawar mereka dalam proses


hukum yang sedang atau akan dijalaninya.

F. Paradigma Hukum Progresif

1. Pengertian Hukum Progresif

Hukum Progresif secara linguistik merupakan ungkapan sifat dan substansi


dan hukum. Dalam kamus bahasa Indonesia progresif diartikan sebagai ke
arah kemajuan, berhaluan ke arah perbaikan keadaan sekarang.

Sedangkan dari istilah Satjipto Rahardjo mengkristalisasi apa yang


dimaksud dengan hukum progresif dan paradigm yang menopangnya, yaitu:

Pertama, hukum adalah untuk manusia, bukan manusia untuk hukum.


Nilai ini menempatkan bahwa yang menjadi titik sentral dari hukum bukanlah
hukum itu sendiri, melainkan manusia. Bila manusia berpegang pada
keyakinan bahwa manusia ada untuk hukum, maka manusia itu akan selalu
diusahakan, mungkin juga dipaksakan, untuk bisa masuk ke dalam skema-
skema yang telah dibuat oleh hukum. Sebaliknya, pandangan yang menyatakan
bahwa hukum adalah untuk manusia senada dengan pandangan antroposentris
yang humanis dan membebaskan.

Kedua, Hukum Progresif menolak untuk mempertahankan status quo


dalam berhukum. Mempertahankan status quo berarti mempertahankan
segalanya, dan hukum adalah tolak ukur untuk semuanya. Pandangan status
quo itu sejalan dengan cara positifistik, normatif, dan legalistik. Sehingga
sekali undang-undang menyatakan atau merumuskan seperti itu, kita tidak bisa
berbuat banyak, kecuali hukumnya dirubah terlebih dahulu.

Ketiga, Hukum Progresif memberikan perhatian besar terhadap peranan


perilaku manusia dalam berhukum. Perilaku disini dipengaruhi oleh
pengembangan pendidikan hukum lebih menekankan penguasaan terhadap
perundang-undangan yang berakibat terpinggirnya manusia dari perbuatannya
di dalam hukum.

Secara ringkas beliau memberikan rumusan sederhana tentang hukum


progresif, yaitu melakukan pembebasan, baik dalam cara berpikir maupun
bertindak dalam hukum, sehingga mampu membiarkan hukum itu mengalir
saja untuk menuntaskan tugasnya mengabdi kepada manusia dan kemanusiaan.

2. Latar Belakang Munculnya Hukum Progresif

Hukum progresif muncul sebagai bentuk reaksi dari berhentinya aliran


positivisme hukum.

Ada beberapa kritik terhadap aliran positivis.; Pertama, bahwa tidak


semua hukum lahir dari keinginan pihak yang berdaulat. Kebiasaan-kebiasaan
yang diperkenalkan oleh pengadilan, sama sekali tidak merupakan ungkapan
keinginan pihak yang berdaulat.

Kedua, deskripsi Austin tentang hukum lebih mendekati hukum pidana


yang membebankan kewajiban-kewajiban.
Ketiga, rasa takut bukan satu-satunya motif sehingga orang menaati
hukum. Terdapat banyak motif lain sehingga orang menaati hukum, seperti
rasa respek terhadap hukum, simpati terhadap pemeliharaan tata tertib hukum,
atau alasan yang sifatnya manusiawi sehingga rasa takut hanya motif
tambahan.

Keempat, definisi hukum dari kaum positivis tidak dapat diterapkan


terhadap hukum tata negara, karena hukum tata negara tidak dapat digolongkan
dalam perintah dari yang berdaulat.

Aliran hukum positif memandang perlu untuk memisahkan secara tegas


antara hukum dan moral. Dalam kacamata positivis, tiada hukum kecuali
perintah peenguasa, bahkan aliran positivitas legalisme menganggap bahwa
hukum identik dengan undang-undang.

Pengaruh positivis modern telah memasuki segala sektor keilmuan.


Ditandai dengan kebangkitan semangat Eropa, melalui Renaisance, sebagai
abad pencerahan yang diyakini akan mampu membawa harapan melalui ilmu
pengetahuan pada orde peradaban yang dapat memecahkan segala persoalan
hidup manusia.

Di bidang hukum sejak lebih kurang 200 tahun, negara-negara di dunia


menggunakan konsep hukum modern. Praktis, hukum manghadapi pertanyaan
yang spesialitik, teknologis, bukan pertanyaan moral. Keadaan demikian itu
sangat kuat nampak pada hukum sebagai profesi.

Hukum positif muncul bersamaan dengan berkembangnya tradisi keilmuan


yang mampu membuka cakrawala baru dalam sejarah umat manusia yang
semula terselubung cara-cara pemahaman tradisional.

Positivisme adalah aliran yang mulai menemui bentuknya dengan jelas


melalui karya Agust Comte (1798-1857) dengan judul Course de Philoshopie
Positive, yang hany mengakui fakta-fakta positif dan fenomena-fenomena yang
bisa diobservasi dengan hubungan obyektif fakta-fakta ini, danhukum-hukum
yang menentukannya, meninggalkan semua penyelidikan menjadi sebab-sebab
atau asal-usul tertinggi. Agust Comte membagi evolusi menjadi tiga tahap;

Pertama, tahap teologis dimana semua fenomena dijelaskan dengan


menunjukkan sebab-sebab supernatural dan intervensi yang bersifat
ilahi.
Kedua, tahap metafisika, pada tahp ini pemikiran diarahkan menuju
prinsip-prinsip dan ide-ide tertinggi.
Ketiga, tahap positif yang menolak semua konstruksi hipotesis
dalam filsafat dan membatasi diri pada observasi empirik dan
hubungan fakta-fakta di bawah bimbingan metode-metode yang
dipergunakan dalam ilmu-ilmu alam.

Garis besar ajaran positivisme berisi sebagai berikut: pertama, hanya ilmu
yang bebas nilai yang dapat memberikan pengetahuan yang sah; kedua, hanya
fakta (ikhwal/peristiwa empiris) yang dapat menjadi obyek ilmu; ketiga,
metode filsafat tidak berbeda dengan metode ilmu; keempat, tugas filsafat
adalah menemukan asas-asas umum yang berlaku bagi semua ilmu dan
menggunakan asas-asas tersebut sebagai pedoman bagi perilaku manusia dan
menjadikan landasan bagi semua organisasi sosial; keenam, mengacu pada
ilmu-ilmu alam dan ketujuh berupaya memperoleh suatu pandangan tunggal
tentang dunia fenomena, baik dunia fisik, maupun dunia manusia melalui
aplikasi metode-metode dan perluasan jangkauan hasil-hasil alam.

Positivisme oleh Hart diartikan sebagai berikut: pertama, hukum adalah


perintah; kedua, analis terhadap konsep-konsep hukum adalah suatu yang
berharga untuk dilakukan; ketiga, keputusan-keputusan dapat didedukasikan
secara logis dari peraturan-peraturan yang sudah ada terlebih dahulu tanpa
menunjukkan kepada tujuan-tujuan sosial, kebijaksanaan maupun moralitas;
keempat, penghukuman secara moral tidak dapat ditegakkan dan dipertahankan
oleh penalaran rasional, pembuktian atau pengujian, dan kelima, hukum
sebagaimana diundangkan, ditetapkan harus senantiasa dipisahkan dari hukum
yang seharusnya diciptakan yang diinginkan.

Dalam negara modern, hukum positif dibuat oleh penguasa yang berdaulat.
Penguasa digambarkan sebagai manusia superior yang bersifat menentukan.
Penguasa ini mungkin seorang individu. Menurut John Austin, karakteristik
hukum positif terletak pada karakteristik imperatifnya. Artinya, hukum
dipahami sebagai suatu perintah dari penguasa. Pemikiran semacam ini
kemudian dikembangkan oleh Rudolf van Hearinga dan George Jellinek yang
menekankan pandangan pada orientasi untuk mengubah teori-teori negara
berdaulat sebagai gudang dan sumber hukum.

Paham positivisme mempengaruhi kehidupan bernegara untuk


mengupayakan positivisasi norma-norma keadilan agar segera menjadi norma
perundang-undangan untuk mempercepat terwujudnya negara bangsa yang
diidealkan.

Hukum adalah perintah penguasaan negara. Hakikat hukum menurut John


Austin terletak pada unsur perintah. Hukum dipandang sebagai suatu sistem
yang tetap, logis, dan tertutup. Karena itu, pihak penguasalah yang menentukan
apa yang diperbolehkan dan yangtidak diperbolehkan. Kekuasaan dari
penguasa dapat memberlakukan hukum dengan cara menakuti dan
mengarahkan tingkah laku orang lain kea rah yang diinginkan.

John Austin, pada mulanya, membedakan hukum dalam dua jenis, yaitu
hukum dari Tuhan untuk manusia dan hukum yang dibuat oleh manusia dapat
dibedakan dengan hukum yang sebenarnya dan hukum yang tidak sebenarnya.
Hukum yang sebenarnya inilah yang disebut hukum positif yang meliputi
hukum yang dibuat oleh penguasa dan hukum yang disusun oleh manusia
secara individual untuk untuk melaksanakan hak-hak yang diberikan
kepadanya. Hukum yang tidak sebenarnya adalah hukum yang tidak dibuat
oleh penguasa sehingga tidak memenuhi persyaratan sebagai hukum. Hukum
yang sebenarnya memiliki empat unsure, yaitu perintah (Command), sangsi
(sanction), kewajiban (duty), dan kedaulatan (soveignty).

Sementara menurut Hans Kelsen, hukum harus dibersihkan dari anasir-


anasir non yuridis sperti unsure sosiologis, politis, historis, bahkan nnilai-nilai
etis. Pemikiran inilah yang dikenal sebagai teori hukum murni (reine
rechlehre). Jadi hukum adalah suatu kategori keharusan (sollens kategorie)
bukan kategori faktual (sains kategorie). Hukum baginya merupakan suatu
keharusan yang mengatur tingkah laku manusia sebagai makhluk rasional.

Dasar-dasar pokok pikiran teori hukum Hans Kelsen adalah sebagai


berikut: pertama, tujuan teori tentang hukum, seperti juga setiap ilmu adalah
untuk ,mengurangi kekalutan dan meningkatkan kesatuan (unity); kedua, teori
hukum adalah ilmu, bukan kehendak, keinginan. Ia adalah pengetahuan tentang
hukum yang ada bukan tentang hukum yang seharusnya ada; ketiga, ilmu
hukum adalah normatif bukan ilmu alam; keempat, sebagai teori tentang
hukum adalah formal, suatu teori tentang cara pengaturan dari sisi yang
berubah-ubah menurut jalan atau pikiran yang spesifik; kelima, hubungan
antara teori hukum dengan suatu sistem hukum positif tertentu adalah seperti
antara hukum yang mungkin dan hukum yang ada.

3. Teori-teori yang Menopang Hukum Progresif

a. Teori Hukum Responsif


Teori hukum responsive ini digagas oleh Nonet & Selznick. Teori
hukum responsive menghendaki agar hukum senantiasa peka terhadap
perkembangan masyarakat, dengan karakternya yang menonjol yaitu
menawarkan lebih dari sekedar procedural justice, berorientasi pada
keadilan, memperhatikan kepentingan publik, dan lebih dari pada itu
mengedepankan pada substancial justice.

b. Teori Realisme Hukum


Teori hukum realis atau legal realism (Oliver wendel Holmes)
terkenal dengan kredonya bahwa “The life of the law has not been logic: it
has been experience”. Dengan konsep bahwa hukum bukan lagi sebatas
logika tetapi experience, maka hukum tidak dilihat dari kacamata hukum
itu sendiri, melainkan dilihat dan dinilai dari tujuan sosial yang ingin
dicapai, serta akibat-akibat yang timbul dari bekerjanya hukum.
Menurut Bernard L. Tanya teori-teoei yang berada dalam paying
realisme hukum, sesungguhnya berinduk pada empirisme yang oleh David
Hume dipatrikan sebagai pengetahuan yang bertumpu pada kenyataan
empiris. Empirisme namun menolak pengetahuan spekulatif yang hanya
mengandalkan penalaran logis ala rasionalisme abad ke-18. Ide-ide
rasional, menurut empirisme, bukanlah segala-galanya. Ia tidak bisa
diandalkan sebagai sumber kebenaran tunggal. Ide-ide itu perlu dipastikan
kebenarannya dalam dunia empiris. Dari situlah kebenaran sejati bisa
terjadi.
Realisme sendiri bercabang dua, yakni Realisme Hukum Amerika
dan Realisme Hukum Skandinavia. Realisme Hukum Amerika
menempatkan empirisme dalam sentuhan pragmatis—sikap hidup yang
menekankan aspek manfaat dan kegunaaan berdasarkan pengalaman.
Maka Realisme Amerika beranjak dari sikap yang demikian itu. Holmes
dan Frank, dan Cardozo misalnya, tidak terlalu tergiur dengan gambaran-
gambaran ideal tentang hukum, dan juga tidak terbiuus dengan lukisan-
lukisan normatif yang apriori tentang hukum.
Realisme Hukum Skandinavia, berbeda lagi. Aliran ini
menempatkan empirisme dalam sentuhan psikologi. Aliran yang
berkembang di Uppsala, Swedia awal abad ke-20 ini, mencari kebenaran
suatu pengertian dalam situasi tertentu dengan menggunakan psikologi,
yang justru menaruh perhatian pada perilaku manusia ketika berada dalam
‘kontrol’ hukum. Dengan memanfaatkan psikologi, para eksponen aliran
ini mengkaji perilaku manusia (terhadap hukum) untuk menemukan arti
hukum yang sebenarnya.
c. Teori Hukum Sosiological Jurisprudence
Teori hukum lain yang lahir dari proses dialektika antara tesis
positivisme hukum dan antithesis aliran sejarah, yaitu sociological
jurisprudence yang berpendapat bahwa hukum yang baik haruslah hukum
yang sesuai dengan hukum yang hidup dalam masyarakat. Teori ini
memisahkan secara tegas antara hukum positif dengan hukum yang hidup.
Tokoh aliran ini terkenal di antaranya adalah Eugen Ehrlich yang
berpendapat bahwa hukum positif baru akan berlaku secara efektif apabila
berisikan atau selaras dengan hukum yang hidup dalam masyarakat. Tokoh
lain yaitu Roscoe Pound yang mengeluarkan teori hukum adalah alat
untuk merekayasa sosial (law of a tool of social engineering), juga
menganjurkan supaya ilmu sosial didayagunakan untuk kemajuan dan
pengembangan ilmu hukum.
Langkah progresif yang memfungsikan hukum untuk menata
perubahan. Dalam teori Pound tentang law as a tool of social engineering,
yaitu menata kepentingan-kepentingan yang ada dalam masyarakat. Pound
mengajukan tiga kategori kelompok kepentingan, yaitu kepentingan
umum, sosial, dan kepentingan pribadi.
Kepentingan-kepentingan yang tergolong kepentingan umum,
terdiri atas dua, yaitu:
 Kepentingan- kepentingan negara sebagai badan hukum dalam
mempertahankan kepribadian dan hakikatnya.
 Kepentingan- kepentingan negara sebagai penjaga kepentingan-
kepentingan sosial.

Sementara yang tergolong kepentingan pribadi/ perorangan adalah:

 Pribadi (Integritas fisik, kebebasan berkehendak,


kehormatan/nama baik, privacy, kebebasan kepercayaan, dan
kebebasan berpendapat).
 Kepentingan- kepentingan dalam hubungan rumah
tangga/domestic (Orang tua, anak, suami/istri).
 Kepentingan substansi meliputi perlindungan hak milik,
kebebasan menyelesaikan warisan, kebebasan berusaha dan
mengadakan kontrak, hak untuk mendapatkan keuntungan yang
sah, pekerjaan, dan hak untuk berhubungan dengan orang lain.

Sedangkan kepentingan sosial meliputi enam jenis kepentingan:

Pertama, kepentingan sosial dalam soal keamanan umum. Ini


meliputi kepentingan dalam melindungi kepentingan dan ketertiban,
kesehatan dan keselamatan, keamanan atau transaksi-transaksi dan
pendapatan.

Kedua, kepentingan sosial dalam hal keamanan institusi sosial


meliputi:

 Perlindungan huibungan-hubungan rumah tangga dan lembaga-


lembaga politik serta ekonomi yang sudah lama diakui dalam
ketentuan-ketentuan hukum yang menjamin lembaga perkawinan
atau melindungi keluarga sebagai lembaga sosial.
 Keseimbangan antara kesucian perkawinan dan hak untuk bercerai.
 Perbuatan-perbuatan yang tidak diinginkan antara suami dan istri
terhadap hak bersama untuk menuntut ganti rugi karena perbuatan
yang tidak patut.
 Keseimbangan antara perlindungan lembaga-lembaga keagamaan
dan tuntutan akan kemerdekaan beragama.
 Menyangkut kepentingan keamanan lembaga-lembaga politik,
maka perlu ada keseimbangan antara jaminan kebebasan berbicara
dan kepentingan.
Ketiga, kepentingan-kepentingan sosial menyangkut moral umum.
Meliputi perlindungan masyarakat terhadap merosotnya moral seperti
korupsi, judi, fitnah, transaksi-transaksi yang bertentangan dengan
kesusilaan, serta ketentuan-ketentuan yang ketat mengenai tingkah
laku.

Keempat, kepentingan sosial menyangkut pengamanan sumber


daya sosial. Ini diuraikan Pound sebagai tuntutan yang berkaitan
dengan kehidupan sosial dalam masyarakat beradab agar orang jangan
boros dengan apa yang ada. Penyalahgunaan hak atas barang yang
dapat merugikan orang termasuk dalam kategori ini.

Kelima, kepentingan sosial menyangkut kemajuan sosial. Ini


berkaitan dengan keterjaminan hak manusia memanfaatkan alam untuk
kebutuhannnya, tuntutan agar rekayasa sosial bertambah banyak dan
terus bertambah baik, dan lain sebagainya.

Keenam, kepentingan sosial menyangkut kehidupan individual


(pernyataan diri, kesempatan, kondisi kehidupan ). Ini berkaitan
dengan tuntutan agar kehidupannya sesuai dengan patokan-patokan
masyarakat. Kepentingan inilah yang oleh Pound dilukiskan sebagai
“hal yang paling penting dari semuanya”. Hal ini diakui dalam
perlindungan hukum atas kebebasan berbicara, kebebasan bekerja, dan
kebebasan berusaha sesuai patokan-patokan masyarakat.

d. Hukum Alam atau Natural Law

Teori hukum ini memberi penjelasan tentang hal-hal yang meta-


juridical. Hukum alam sesungguhnya merupakan suatu konsep yang
mencakup banyak teori. Berbagai anggapan dan pendapat yang
dikelompkkan dalam hukum alam ini bermunculan. Istilah hukum alam
dituangkan dalam berbagai arti oleh berbagai arti oleh barbagai arti oleh
kalangan pada masa yang berbeda.
Macam-macam anggapan tersebut diantaranya adalah: pertama,
merupakan ideal yang menuntun perkembangan hukum dan
pelaksanaannya; kedua, suatu dasar dalam berhukum yang bersifat moral
yang menjaga jangan sampai terjadi suatu pemisahan secara total antara
yang ada sekarang dan yang seharusnya; ketiga, suatu metode untuk
menuntun hukum yang sempurna; keempat, isi dari hukum yang sempurna
yang dapat didiskusikan secara akal, dan kelima, suatu kondisi yang harus
ada bagi kehadiran hukum.

Tokoh pendekatan ini diantaranya adalah Hugo de Graat atau


Grotius yang memunculkan pemahaman hukum alam bersifat sekuler.
Menurut paham ini,hukum berasal dari alam dan keberadaannya tidak
bergantung pada Tuhan.

Kelemahan hukum alam adalah karena ide atau konsep tentang apa
yang disebut hukum bersifat abstrak. Hal ini akan menimbulakan
perubahan orientasi berpikir dengan tidak lagi menekankan pada nilai-nilai
yang ideal dan abstrak, melainkan lebih mempertimbangkan persoalan
yang nyata dalam pergaulan masyarakat.

e. Studi Hukum Kritis Atau Critical Legal studies

Studi hukum kritis atau Critical Legal Studies (CLS) dipelopori


oleh Roberto M. Unger yang tidak puas dengan hukum modern yang
antara lain penuh dengan prosedur. CLS menawarkan analisis kritis
terhadap hukum dengan melihat relasi suatu doktrin hukum dengan
realitas dan mengungkapkan kritiknya.

Kalangan CLS ingin mengedepankan analisis hukum yang tidak


hanya bertumpu semata-mata pada segi-segi doktrinal (internal relation),
tetapi juga dengan mempertimbangkan berbagai faktor dari luar itu seperti
prefensi- prefensi ideologis, bahasa, kepercayaan, nilai-nilai, dan konteks
politik dalam proses pembentukan dan aplikasi hukum (external relation).
CLS menuntut pemahaman terhadap kepustakaan fenomenologi, post-
struktualisme, dekonstruksi, dan linguistik untuk membantu memahami
relasi eksternal tersebut.

BAB III

EKSISTENSI MAFIA HUKUM DI INDONESIA

Dibukanya rekaman pembicaraan hasil sadapan Komisi Pemberantasan


Korupsi (KPK) dari telepon milik pengusaha Anggodo Widjoyo dalam siding di
Mahkamah Konstitusi (MK) pada bulan November 2009 yang lalu seakan
membuka mata dan telinga seluruh masyarakat Indonesia mengenai keberadaan
mafia di system masyarakat Indonesia. Dari rekaman berdurasi 4,5 jam itu
terungkap adanya konspirasi antara pejabat di Kepolisian, Kejaksaan, pengacara
serta sejumlah orang di lingkaran dunia hukum dengan Anggodo untuk menjebak
pimpinan KPK Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah.

Walaupun belum terbukti kebenarannya, rekaman pembicaraan itu seakan


membeberkan dengan jelas bagaimana permainan para aparat hukum baik
Kepolisian, Kejaksaan, dan pengacara dalam merekayasa atau mengarahkan suatu
perkara mulai dari membuat keterangan palsu di BAP sampai menyuap para
penyidik di Kepolisian.

Terungkapnya rekayasa peradilan ini, juga menyadarkan semua pihak


bahwa kebobrokan sistem hukum yang selama ini seakan hanya bayangan,
ternyata benar-benar ada dan terbukti di depan mata.
1. Pengertian dan peristilahan

Apabila dilihat aspek bahasa, mafia hukum terdiri akar kata mafia dan
hukum. Mafia berasal dari bahasa Sisiliakuno, Mafiusu, yang diduga mengambil
kata Arab mahyusu yang artinya tempat perlindungan atau pertapaan. Setelah
revolusi pada 1848, keadaan pulau Sisilia kacau sehingga mereka perlu
membentuk ikatan suci yang melindungi mereka dari serangan bangsa lain dalam
hal ini bangsa Spanyol. Nama mafia mulai terkenal setelah sandiwara dimainkan
pada1863 dengan judul mafusi di la Vicaria “Cantiknya rakyat Vicaria”, yang
menceritakan tentang kehidupan padda gang penjahat di penjara Palermo.

Dari beberapa sumber ada dua bentuk pengertian dari mafia hukum ini,
yaitu penyebutan mafia hukum dan mafia peradilan . Pertama, Mafia Hukum di
sini lebih dimaksudkan pada proses pembentukan Undang-Undang oleh Pembuat
undang-undang yang lebih sarat dengan nuansa politis sempit yang lebih
berorientasi pada kepentingan kelompok-kelompok tertentu. Bahwa sekalipun
dalam politik hukum di Indonesia nuansa politis dalam pembuatan UU dapat saja
dibenarkan sebagai suatu ajaran keputusan politik yang menyangkut kebijakan
politik, namun nuansa politis di sini tidak mengacu pada kepentingan sesaat yang
sempit akan tetapi ‘politik hukukm” yang bertujuan mengakomodir pada
kepentingan kehidupan masyarakat luas dan berjangka panjang.

Sebagai contoh kecil lahirnya Undang-Undang Ketenagakerjaan No. 25


tahun 1997 yang mulai diberlakukan pada tanggal 1 oktober 2002 (berdasarkan
Perpu No.3 tahun2000 yang telah ditetapkan sebagai UU berdasarkan UU No. 28
tahun 2000), namun belum genap berumur 6 bulan UU tersebut berlaku UU
tersebut telah dicabut pada tanggal 25 Maret 2003 dengan diundangkan lagi UU
No.13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang mengganti UU No. 25 tahun
1997.

Kedua, Mafia Peradilan di sini dimaksudkan pada hukum dalam praktik


yang ada di tangan para Penegak Hukum dimana secara implicit “hukum dan
keadilan” telah berubah menjadi suatu komoditas yang dapat diperdagangkan.
Bentuk-bentuk mafia peradilan, misalnya makelar kasus, suap menyuap,
pemerasan, mengancam pihal-pihak lain, pungutan-pungutan yang tidak
semestinya, dan sebagainya.

Mafia Peradilan tidak bisa dibuktikan keberadaanya. Jika bisa dibuktikan


berarti bukan “mafia” namun kejahatan biasa. Menurut Ensiklopedi Nasional
Indonesia, mafia adalah suatu organisasi kriminal yang hampir menguasai seluruh
aspek kehidupan masyarakat. Istilah mafia merujuk pada kelompok rahasia
tertentu yang melakukan tindak kejahatan terorganisasi sehingga kegiatan mereka
sangat sulit dilacak secara hukum.

Ada pengertian lain dari mafia hukum ini. Istilah mafia disini menunjuk
pada adanya “suasana” yang sedemikian rupa sehingga perilaku, pelayanan,
kebijaksanaan maupun keputusan tertentu akan terlihat secara kasat mata sebagai
suatu yang berjalan sesuai dengan hukum padahal sebetulnya “tidak”. Dengan
kata lain mafia peradilan ini tidak akan terlihat karena mereka bisa berlindung
dibalik penegakan dan pelayanan hukum. Masyarakat menjadi sulit untuk
mengenali mana penegak hukum yang jujur dan tidak terpengaruh oleh mafia
dengan para penegak hukum yang sudah terkontaminasi.

2. Eksistensi Mafia Hukum di Lembaga Peradilan

Mafia Peradilan dalam perkara pidana mencakup semua proses pidana


sejak pemeriksaan di kepolisian, penututan di kejaksaan, pemeriksaan di semua
tingkat peradilan, sejak pengadilan tingkat pertama hingga Mahkamah Agung.
Misalnya perihal Surat Pemberitahuan Penghentian Penyidikan (SP3) di tingkat
kepolisian maupun kejaksaan. SP3 ini tidak mungkin bisa diterbitkan secara
gratis. Pasti ada harganya. Harganya bisa dalam rupiah maupun keuntungan
politis tertentu.

Hak penyidik, penuntut umum atau hakim untuk menahan atau tidak
menahan seseorang tersangka atau terdakwa adalah wilayah paling rawan
terjadinya transaksi yang sifatnya moniter. Hukum acara yang mendasari
wewenang untuk menahan memang lemah. Hanya atas dasar kekhawatiran maka
para penegak hukum ini dengan mudah dapat melakukan penahanan terhadap
tersangka.

3. Modus Operandi Beberapa Kasus Mafia Hukum

3.1. Modus Operandi Mafia Kasus

Rekaman yang diputar di Mahkamah Konstitusi merupakan sebuah bukti


bahwa ternyata mafia itu ada. Makelar itu punya akses VIP ke orang-orang VVIP
di puncak-puncak badan penegak hukum. Mafia itu kuatdan bisa bahkan
menjebloskan orang, memerangkap orang, dan mengatur berbagai kesaksian agar
bisa dipercepat dan dieksekusi badan penwgak hukum.

Rekaman selama beberapa jam itu membeberkan misteri yang selama ini
hanya diketahui sepotong-sepotong dan tidak ada bukti yang jelas. Jika
diungkapkan ke publik pun akan dikenai pasal pencemaran nama baik. Mereka
adalah korps tidak terlihat, tangan-tangan yang mengatur semua perkara apa yang
bisa diselesaikan sesuai permintaan.

Busyro Muqoddas membeberkan modus operandi dari mafia hukum ini.


Menurutnya, ada empat modus operandi mfia peradilan di Indonesia.

Modus pertama, adalah penundaan pembacaan putusan oleh majelis


hakim. “Kalau ditanyakan ke panitera, akan dapat sinyal bahwa hakim minta
sesuatu”.

Modus kedua, adalah manipulasi fakta hukum. “Hakim sengaja tidak


memberi penilaian terhadap suatu fakta atau sutu bukti tertentu sehingga
putusannya ringan atau bebas”.

Modus ketiga, adalah manipulasi penerapan peraturan perundang-


undangan yang tidak sesuai dengan fakta hukum yang terungkap di persidangan.
Majelis hakim, mencariperaturan hukum sendiri sehingga fakkta-fakta hukum
ditafsirkan berbeda.
Modus keempat, adalah pencaria peraturan perundang-undangan oleh
majelis hakim agar dakwaan jaksa beralih ke pihak lain. Terutama pada kasus
korupsi. “ Dibuat agar terdakwamelakukan hal tersebut atas perintah atasan
sehingga terdakwa dibebaskan”.

Selain itu, terdapat bentuk-bentuk dan modus operansi dari mafia hukum
mulai dari kepolisian hingga di Lembaga pemasyarakatan;

 Kepolisian
a. Tahap Penyelidikan
 Permintaan uang jasa. Laporan ditindak lanjuti setelah
menyerahkan uang jasa.
 Penggelapan perkara. Penanganan perkara dihentikan setelah
ada kesepakatan membayar sejumlah uang pada polisi.
b. Tahap Penyidikan
Negosiasi perkara
 Tawar menawar pasal yang dikenakan terhadap tersangka
dengan uang yang berbeda-beda.
 Menunda surat pemberitahuan dimulainya penyidikan
kepada kejaksaan.
Pemerasan oleh Polisi
 Tersangka dianiaya lebih dulu agar mau kooperatif dan
menyerahkan uang.
 Mengarahkan kasus lalu menawarkan jalan damai.
Pengaturan ruang Tahanan
 Penempatan di ruang tahanan menjadi alat tawar menawar.

 Kejaksaan
a. Pemerasan
 Penyidikan diperpanjang untuk merundingkanuang damai
 Surat panggilan sengaja tanpa status “saksi” atau “tersangka”,
pada ujung agar statusnya tidak menjadi “tersangka”.
b. Negosiasi Status
 Perubahan status tahanan seorang tersangka juga jadi alat
tawar-menawar.
c. Pelepasan Tersangka
 Melalui surat perintah penghentian penyidikan (SP3) atau
sengaja membuat dakwaan ynga kabur (obscuur libel)
sehingga terdakwa di vonis bebas.
d. Penggelapan Perkara
 Berkas perkara dapat dihentikan jika memberikan sejumlah
uang.
e. Negosiasi Perkara
 Proses penyidikan yang diulur-ulur merupakan isyarat agar
keluarga tersangka menghubungi jaksa.
 Dapat melibatkan Calo, antara lain dari kejaksaan, anak
pejabat, pengacara rekanan jaksa.
 Berat atau kecilnya dakwaan menjadi alat tawar menawar.
f. Pengurangan tuntutan
 Tuntutan dapat dikurangi apabila tersangka memberikan
uang.
 Berita acara pemeriksaan dibocorkan saat penyidikan.
 Pasal yang disangkakan juga dapat diperdagangkan.

 Persidangan
♪ Permintaan uang jasa

→ Pengacara harus menyiapkan uang ekstra untuk bagian

registrasi pengadilan.
♪ Penentuan Majelis Hakim

→ Dapat dilakukan sendiri, atau menggunakan jasa panitera

pengadilan.
♪ Negosiasi Putusan

→ Sudah ada koordinasi sebelumnya mengenai tuntutan jaksa

yang berujung pada vonis hakim.


→ Tawar menawar antara hakim, jaksa dan pengacara mengenai

besarnya hukuman serta uang yang harus dibayarkan.

 Tahap Banding Perkara


 Negosiasi putusan
Pengacara menghubungi hakim yang mengadili, lalu tawar
menawar hukuman.
 Penundaan eksekusi
Pelaksanaan putusan dapat ditunda dengan membayar
sejumlah uang kepada jaksa melalui calo perkara atau
pelaksana eksekusi.

 Lembaga Pemasyarakatan
 Pungutan bagi pengunjung
 Uang cuti
 Menggunakan orang lain yang identitasnya disesuaikan
identitas terpidana
 Perlakuan istimewa

3.2. Contoh Kasus Mafia Hukum Di Indonesia

a. Kasus Jaksa urip Tri Gunawan


Seorang yang dikategorikan sebagai jaksa terbaik sehingga
dipercaya menjadi ketua Tim Penyelidikan Kasus BLBI-BDNI, Urip Tri
Gunawan, tertangkap tangan menerima uang yang diduga suap oleh
Komisi pemberantasan korupsi (KPK), 2 Maret 2008. Tak ttanggung-
tanggung, ia menerima suap sebanyak US$ 660.000 atau sekitar 6,1 milyar
dari artalyta Suryani teman baik Sjamsul Nursalim, pengusaha yang terkait
kasus BLBI.
Jaksa itu, oleh KPK, dijadikan sebagai tersangka penerima suap,
kendati ia membantah dan mengakuinya sebagai transaksi jual-beli
permata. Namun KPK berkeyakinan telah punya bukti kuat bahwa hal itu
adalah suap.

b. Kasus Anggodo Widjoyo


Dalam rekaman percakapan antara Anggodo Widjoyo dan
beberapa pejabat Polri, Kejaksaan agung, penyidik polisi/jaksa, makelar
kasus, pengacara, adalah pembuktian adanya mafia peradilan. Arek
Surabaya di Jalan Karet 12 Surabaya itu, si Anggodo, membuktikan diri
sebagai kepala mafia.
Anggodo, dengan uangnya yang nyaris tak terbatas, bisa dengan
enaknya mendikte siapa saja. Termasuk mendikte orang-orang penting di
jajaran penegak hukum negeri ini. Dan memang begitulah kerja mafia.
Sejak dulu ada, bahkan dipraktikkan setiap hari, tapi sulit dibuktikan. Baru
kali ini rakyat Indonesia mendengar langsung ulah mafia itu.
Anggodo ibarat dewa sakti bertangan seribu. Dia paham betul yang
namanya BAP, berita acara pemeriksaan. Bagaimana cara menjebloskan
orang KPK, Chandra Hamzah dan Bibit Samad Riyanto, ke dalam penjara.
Dalam perkembangannya, kasus Anggodo dilimpahkan ke KPK
oleh pihak kepolisian, dengan harapan Anggodo dapat disilidiki dan
dijadikan tersangka.

4. Faktor-faktor Ketidak-adilan Penegakan Hukum dan Munculnya Mafia


Hukum

Kasus-kasus ketidakadilan penegakan hukum di Indonesia terjadi karena


beberapa hal. Penulis mengelompokkannya berdasarkan beberapa alasan yang
banyak ditemui oleh masyarakat awam, baik melalui pengalaman pencari keadilan
itu sendiri, maupun peristiwa lain yang bisa diikuti melalui media cetak dan
elektronik.

1. Tingkat Kekayaan Seseorang


Salah satu keputusan kontroversial yang terjadi adalah jatuhnya putusan
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) terhadap terpidana kasus korupsi
proyek pemetaan dan pemotretan areal hutan antara Departemen Hutan dan PT
Mapindo Parama, Mohammad “Bob” Hasan . PN Jakpus menjatuhkan hukuman
dua tahun penjara potong masa tahanan dan menetapkan terpidana tetap dalam
status tahanan rumah.
Putusan ini menimbulkan rasa ketidakadilan masyarakat, karena untuk
kasus korupsi yang merugikan negara puluhan milyar rupiah, Bob Hasan yang
sudah berstatus terpidana hanya dijatuhi hukuman tahanan rumah. Proses
pengadilan pun relatif berjalan dengan cepat.
Demikian pula yang terjadi dengan kasus Bank Bali, BLBI (Bantuan
Likuiditas Bank Indonesia), kasus Texmaco, dan kasus-kasus korupsi milyaran
rupiah lainnya. Dibandingkan dengan kasus pencurian kecil, perampokan
bersenjata, korupsi yang merugikan negara “hanya” sekian puluh juta rupiah,
putusan kasus Bob Hasan sama sekali tidak sebanding.
Masyarakat dengan mudah melihat bahwa kekayaanlah yang
menyebabkan Bob Hasan lolos dari hukuman penjara. Kemampuannya menyewa
pengacara tangguh dengan tarif mahal yang dapat mementahkan dakwaan
kejaksaan, hanya dimiliki oleh orang-orang dengan tingkat kekayaan tinggi. Kita
bisa membandingkan dengan kasus Tasiran yang memperjuangkan tanah
garapannya sejak tahun 1985.
Tasiran, seorang petani sederhana, yang terlibat konflik tanah seluas 1000
meter persegi warisan ayahnya, dijatuhi hukuman kurungan tiga bulan dengan
masa percobaan enam bulan pada tanggal 2 April 1986, karena terbukti
mencangkuli tanah sengketa. Karena mengulang perbuatannya pada masa
percobaan, Tasiran kembali masuk penjara pada bulan Agustus 1986. Sekeluarnya
dari penjara, Tasiran berkelana mencari keadilan dengan mondar-mandir
BojonegoroJakarta lebih dari 100 kali dengan mendatangi Mahkamah Agung,
Mabes Polri, Kejaksaan Agung, Mabes Polri, DPR/MPR, Bina Graha, Istana
Merdeka, dan sebagainya. Pada tahun 1996 ia kembali memperoleh keputusan
yang mengalahkan dirinya.

2. Tingkat Jabatan Seseorang


Kasus Ancolgate berkaitan dengan studi banding ke luar negeri (Australia,
Jepang, dan Afrika Selatan) yang diikuti oleh sekitar 40 orang anggota DPRD
DKI Komisi D. Dalam studi banding tersebut anggota DPRD yang berangkat
memanfaatkan dua sumber keuangan yaitu SPJ anggaran yang diperoleh dari
anggaran DPRD DKI sebesar 5.2 milyar rupiah dan uang saku dari PT
Pembangunan Jaya Ancol sebesar 2,1 milyar rupiah. Dalam kasus ini, sembilan
orang staf Bapedal dan Sekwilda dikenai tindakan administratif, semenara Kepala
Bapedal DKI Bambang Sungkono dan Kepala Dinas Tata Kota DKI Ahmadin
Ahmad tidak dikenai tindakan apapun.
Dalam kasus ini, terlihat penyelesaian masalah dilakukan segera setelah
media cetak dan elektronik menemukan ketidakberesan dalam masalah pendanaan
studi banding tersebut. Penyelesaian secara administratif ini seakan dilakukan
agar dapat mencegah tindakan hukum yang mungkin bisa dilakukan. Rasa
ketidakadilan masyarakat terusik tatkala sanksi ini hanya dikenakan pada pegawai
rendahan. Pihak kejaksaan pun terkesan mengulur-ulur janji untuk mengusut
kasus ini sampai ke pejabat tertinggi di DKI, yaitu Gubernur Sutiyoso, yang
sebagai komisaris PT Pembangunan Jaya Ancol ikut bertanggungjawab.

3. Nepotisme
Terdakwa Letda (Inf) Agus Isrok, anak mantan Kepala Staf Angkatan
Darat (KASAD), Jendral (TNI) Subagyo HS, diperingan hukumannya oleh
mahkamah militer dari empat tahun penjara menjadi dua tahun penjara.
Disamping itu, terdakwa juga dikembalikan ke kesatuannya selama dua minggu
sambil menunggu dan berpikir terhadap vonis mahkamah militer tinggi. Putusan
ini terasa tidak adil dibandingkan dengan vonis-vonis kasus narkoba lainnya yang
terjadi di Indonesia yang didasarkan atas pelaksanaan UU Psikotropika.
Disamping itu, proses pengadilan ini juga memperlihatkan eksklusivitas
hukum militer yang diterapkan pada kasus narkoba. Tommy Soeharto, anak
mantan presiden Soeharto, yang dihukum 18 bulan penjara karena kasus
manipulasi tukar gling tanah Bulog di Kelapa Gading dan merugikan negara
sebesar 96 milyar rupiah, sampai saat ini tidak berhasil ditangkap dan dimasukkan
ke LP Cipinang sesuai perintah pengadilan setelah permohonan grasinya ditolak
oleh presiden.
Masyarakat melihat bagaimana pihak pengacara, kejaksaan, dan kepolisian
saling berkomentar melalui media cetak dan elektronik, namun sampai saat
makalah ini dibuat Tommy Soeharto masih berkeliaran di udara bebas. Dua kasus
ini mengesankan adanya diskriminasi hukum bagi keluarga bekas pejabat.

4. Tekanan Internasional
Kasus Atambua, Nusa Tenggara Timur, yang terjadi pada tanggal 6
September 2000, yang menewaskan tiga orang staf NHCR mendapatkan perhatian
internasional dengan cepat. Dimulai dengan keluarnya Resolusi No. 1319 dari
Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa Bangsa (DK PBB), surat dari Direktur
Bank Dunia kepada Presiden Abdurrahman Wahid untuk segera menyelesaikan
permasalahan tersebut, permintaan DK PBB untuk mengirim misi penyelidik
kasus Atambua ke Indonesia, desakan CGI (Consultatif Group on Indonesia),
sampai dengan ancaman embargo oleh Amerika Serikat. Tekanan internasional ini
mengakibatkan cepatnya pemerintah bertindak, dengan segera melucuti
persenjataan milisi Timor Timur dan mengadili beberapa bekas anggota milisi
Timor Leste yang dianggap bertanggung jawab.
Apabila dibandingkan dengan kasus-kasus kekerasan yang terjadi di
bagian lain di Indonesia, misalnya : Ambon, Aceh, Sambas, Sampit, kasus
Atambua termasuk kasus yang mengalami penyelesaian secara cepat dan tanggap
dari aparat. Dalam enam bulan sejak kasus ini terjadi, kekerasan berhasil diatasi,
milisi berhasil dilucuti, dan situasi kembali aman dan normal. Meskipun ada
perhatian internasional dalam kasus-kasus kekerasan lain di Indonesia, namun
tekanan yang terjadi tidak sebesar pada kasus Atambua. Dalam pandangan
masyarakat, derajat tekanan internasional menentukan kecepatan aparat
melakukan penegakan hukum dalam mengatasi kasus kekerasan.

Sedangkan beberapa faktor yang mempengaruhi munculnya mafia hukum,


yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal ini lebih kepada faktor
yang berasal dari orang atau oknum itu sendiri, faktor tersebut antara lain;

Pertama, Adanya keakraban antara elit hukum dengan masyarakat yang


berperkara.

Kedua, aspek pertemanan.

Ketiga, budaya konsumerisme aparat hukum. Soehandojo menegaskan


bahwa justru aspek konsumerisme yang paling menonjol diantara ketiga aspek
yang ada.

Keempat, kualitas moral para aparat penegak hukum menjadi hal yang
utama dalam Mafia Peradilan ini. Ini menyebabkan tidak ada rasa takut dan
bersalah yang dirasakan oleh para penegak hukum kita meskipun dalam hal
melaksanakan hukum dengan hukum yang salah. Sehingga tidak heran ketika
melaksanakan tugas mulianya, para penegak hukum lebih memilih uang dari pada
memberikan putusan dengan benar. Mungkin pendidikan moral dan agama ini
menjadi salah satu titik tekan yang harus diperhatikan yang harus dimiliki oleh
setiap penegak hukum dimanapun. Karena agama manapun tidak pernah
menghalalkan perbuatan itu.

Kelima, kualitas keilmuan yang rendah juga menjadi hal yang penting
dalam menimbulkan mafia peradilan ini. Kualitas keilmuan dari orang-orang yang
terlibat dalam proses penegakan hukum sangat berpengaruh besar terhadap
kualitas/bobot proses peradilan dan kualitas/bobot putusan seorang hakim.
Sehingga mafia peradilan itupun menjadi hal yang tidak akan dilakukan dalam
penegakan hukum.

Sedangkan faktor Eksternal antara lain;

Pertama, kondisi peraturan perundang-undangan kita kebanyakan


memberikan celah bagi para penegak hukum untuk melakukan hal-hal yang
sebenarnya bertentangan dengan hukum. Para penegak hukum pada umumnya
mampu untuk menafsirkan dengan berbagai arti tentang aturan perundang-
undangan yang ada sehingga tafsiran itu bisa diterapkan dalam memenangkan
sebuah kasus.

Kedua, kurangnya kesadaran hukum dalam masyarakat sehingga dari


kalangan masyarakat pun kurang membudayakan taat hukum. Hal ini sebenarnya
juga dapat dipengaruhi kondisi penegak hukum dalam melaksanakan hukum.

Ketiga, kekuasaan dan kewenangan para penegak hukum terutama hakim


yang sangat kuat, terutama dalam melakukan sebuah putusan seorang hakim
mempunyai kekuatan yang tidak bisa diintervensi oleh pihak manapun. Namun,
putusan dari hakim justru banyak yang tidak sesuai dengan rasa keadilan di
masyarakat.

Praktik-praktik mafia peradilan yang selama ini terjadi sudah menjadi


bagian dari rekayasa para penegak hukum baik kasus kecil maupun besar.
Semakin besar kasus yang diperiksa semakin bessar pula”pendapatan “ yang
diperoleh para pelaku mafia peradilan ini. Mafia peradilan menjadi sebuah
momok yang sangat menakutkan dalam proses rekonstruksi hukum dan supremasi
hukum di negara kita sehingga harus dibasmi. Langkah yang harus ditempuh oleh
para petinggi negara kita pun harus mampu menjadikan peradilan kita membaik
dan mendapat kepercayaan dari masyarakat.
BAB IV

MAFIA HUKUM DALAM PERSPEKTIF HUKUM PROGRESIF

Siapapun yang memiliki semangat antikorupsi sepakat bahwa jual beli perkara,
tawar menawar pasal, pemerasan, penyauapan dan varian modus operandi mafia
hukum harus diberantas. Praktik haram mafia hukum saja melukai rasa keadilan
masyarakat. Lebih jauh, ia menjadi slah satu virus perusak sendi-sendi ekonomi
dan sosial masyarakat. Tak terhitung energy bangsa terbuang sia-sia hanya
karena praktik korupsi dan mafia hukum. (Denny Indrayana)

1. Mafia Hukum Bentuk Pergulatan Hukum Vis a Vis Realitas Sosial

Hukum adalah karya manusia yang berupa norma berisikan petunjuk-


petunjuk tingkah laku. Ia merupakan pencerminan dari kehendak manusia tentang
bagaimana seharusnya masyarakat itu dibina dan kemana harus diarahkan. Oleh
karena itu pertama-tama hukum itu mengandung ide-ide yang dipilih oleh
masyarakat tempat hukum itu diciptakan. Ide-ide ini adalah ide mengenai
keadilan.

Cita atau ide tetang keadilan ini jangan dikacaukan dengan cita atau ide oleh
kaum skolastik yang mengidealkan keadilan sebagai keadilan Tuhan saja.
Keadilan disini adalah keadilan dalam koridor hukum ciptaan manusia. Seiring
dengan perkembangan hukum modern untuk mengakomodasi kepentingan kaum
kapitalis yang merebak sejak munculnya Negara modern, masyarakat juga
menginginkan peraturan-peraturan yang dapat menjamin kepastian dan kegunaan
dalam hubungan mereka satu sama lain.

Pencarian untuk menemukan ketiga cita hukum tersebut sampai sekarang


terus dilakukan baik yang terwujud dalam ruang-ruang peradilan maupun di
dalam ruang lain yang memberikan kemungkinan muncul dan didapatkan cita
hukum-hukum itu.

Studi hukum dengan menguakkan pendekatan normatif-dogmatis tak dapat


uran yang lazim yngmenjangkau gambaran tersebut karena pendekatan normatif-
dogmatis pada hakikatnya menganggap apa yang tercantum dalam peraturan
hukum sebagai deskripsi dari keadaan yang sebenarnya.

Studi sosiologis terhadap fenomena-fenomena hukum yang spesifik dititik


beratkan pada masala-masalah yang berhubungan langsung dengan legal relations,
misalnya court room, solicitor`s office. Selain itu adalah studi terhadap proses
abolisi dan konstruksi sosial. Dengan demikian, hukum merupakan suatu proses,
lebih tepatnya lagi adalah proses sosial.

Salah satu proses sosial yang terlihat dalam dinamika hukum adalah apa uang
terjadi di pengadilan. Pengadilan tidak hanya terdiri dari gedung, Hakim,
peraturan yang lazim dikenal oleh ilmu hukum, melainkan merupakan suatu
interaksi antara system hukum dan masyarakat.

Jadi proses peradilan adalah jauh lebih kompleks daripada yang dikira banyak
orang, yaitu sekedar menerapkan ketentuan dalam perundang-undangan. Perilaku
para pejabat maupun para pengguna jasa pengadilan menentukan arsitektur
pengadilan. Proses peradilan juga tercermin dalam perilaku orang-orang yang
berperkara atau perilaku dari pejabat pengadilan. Mengadili tidak selalu
berkualitas full adjudication, melainkan sering juga berlangsung in the shadow of
law, dimana penyelesaian secara hokum hanya merupakan lambing di permukaan
saja, sedang yang aktif berbuat adalah interaksi para pihak dalam mencari
penyelesaian. Hukum dipakai untuk mengemas proses-proses sosiologis dan
kemudian memberinya legitimasi melalui ketukan palu hakim.

Hukum yang berintikan keadilan tidak lain berisi “janji-janji” kepada


masyarakat yang terwujudkan melalui keputusan birokkratis. Ini berarti lembaga
pengadilan mempunyai kewajiban untuk memberikan dan menjaga terwujudnya
janji-janji hokum dan keadilan melalui keputusan-keputusan yang meliputi segala
aspek kehidupan seperti bidang ekonomi, demokrasi, lingkungan hidup,
kesejahteraan dan hak-hak sipil lainnya.
Kenyataan menunjukkan bahwa pengadilan yang disebut sebagai benteng
terakhir keadilan hanyalah mitos belaka, karena banyak keputusan yang
dihasilkan ternyata justru tidak adil.

Citra pengadilan di masyarakat cukup banyak ditentukan oleh integritas,


sikap dan tindakan hakim. Persoalan yang berkaitan dengan lembaga peradilan,
citra pengadilan dan perilaku hakim dalam memberi keputusan suatu perkara
adalah berhubungsn dengan proses bekerjanya hukum.

Dari hal tesebut terlihat bahwa bekerjanya hukum itu merupakan suatu proses
sosial dan lebih khusus lagi adalah proses interaksi antara orang-orang yang
mengajukan permintaan dan penawaran. Lebih spesifik lagi orang-orang tersebut
adalah para aktor dalam ruang pengadilan serta masyarakat yang bertindak selaku
pengawas, pengontrol, dan juga korban.

2. Aparat Penegak hukum sebagai tonggak penegakan hukum

Sejak dicetuskan pada 2002, telah bermunculan banyak tulisan yang mencoba
mengeksplorasi gagasan hukum progresif dalam aspek keilmuan. Sekalipun ide
hukum progresif dalam bisa dipandang sebagai teori yang final (sesuai dengan
hakekatnya sebagai law in making atau going goon process), namun dari
sedemikian banyak tulisan dan kajian mengenai hukum progresif dapat ditarik
beberapa pokok gagasan.

Pertama, paradigma hukum progresif adalah hukum untuk manusia yang


mengandung makna bahwa manusia merupakan sentral dalam cara berhukum.

Kedua, prinsip-prinsip hukum progresif adalah tidak ingin mempertahankan


status quo dalam berhukum mengutamakan factor dan peran manusia di atas
hukum; membaca peraturan adalah membaca maknanya bukan teksnya;
membebaskan dari kelaziman yang keliru dan menghambat pencapaian tujuan
hukum. Selain itu, mengutamakan modal empati, rasa-perasaan, dedikasi,
kesungguhan, kejujuran dan keberanian; dan hukum bukan mesin namun lebih
merupakan jerih payah manusia yang bernurani.
Dengan demikian hukum progresif merubah cara berhukum dari sekedar
menerapkan hukum positif secara tekstual menjadi cara berhukum dengan
mendayagunakan hukum dengan tujuan, misi dan dimensi spiritual.

Sedangkan dalam doktrin hukum progresif, aparat penegak hukum menjadi


tonggak utama dalam penegakkan hukum. Sehingga di tangan aparatlah bisa-
tidaknya hukum ditegakkan.

Dalam tipe penegakan hukum progresif, komponen psikologis mendapat


temapat yang paling penting. Penegakan hukum tidak dikonsepkan sebagai
menajalankan peraturan begitu saja, tetapi menjalakannya dengan semangat
tinggi, seperti dengan empati, dedikasi dan determinasi. Itulah sebabnya
keberanian menjadi salah satu faktor.

Cara luar biasa lain yang tidak mudah untuk dilakukan adalah keberanian
untuk melakukan pembebasan terhadap praktik konvensional yang selama ini
dijalankan, termasuk membari makna kepada undang-undang, asas, prosedur dan
sebabagainya. Hakim dan jaksa membutuhkan pencerahan, sehingga berani
mengatakan, bahwa “hukum adalah untuk manusia”, bukan sebaliknya. Sikap ini
akan membawa konsekuensi besar dalam memberi makna kepada hukum, dan
itulah sikap dasar yang diinginkan oleh hukum progresif.

Pemberantasan mafia hukum secara progresif tidak dapat hanya diserahkan


kepada para jaksa, hakim, advokat dan polisi. Seluruh bagian masyarakat perlu
dilibatkan dan terlibat. Adalah tidak adil untuk hanya”menghakimi” jaksa dan
hakim karena tidak menunjukkkan prestasi yang memuaskan masyarakat.
Advokatpun diminta untuk berpikir dan bertindak progresif.

Para akademisi, ilmuwan, teoritisi juga tidak bisa mengelak dari tanggung
jawab membantu dan mendorong pemberantasan mafia hukum yang progresif.
Peran mereka adalah memberikan pencerahan kepada para penegak hukum agar
berani melakukan pembebasan dari praktik dan konvensi yang lebih banyak
membelenggu dan mengahambat pemberantasan mafia hukum. Untuk itu, maka
para akademisi perlu mengajukan konsep-konsep alternatif yang progresif, agar
dengan demikian langkah-langkah progresif para penegak hukum bisa
memperoleh dukungan legitimasi ilmiah.

Selama ini mafia hukum masihh lebih banyak dipersepsikan sebagai “kejahatan
hukum” dan belum menjadi “kejahatan sosial”. Perbuatan korupsi masih lebih
difahami sebagai “perbuatan hukum”, belum “perbuatan sosial”. Disini para
rohaniwan, para kiai, dan ulama dapat turut berperan besar dalam menjadikan
korupsi sebagai “kaidah sosial” dan bukan hanya “kaidah hukum”.

Dalam pemberantasan mafia yang progresif diperlukan pula rakyat yang


progresif. Ini menarik, karena biasanya rakyat ditempatkan pada posisi yang pasif.
Mereka hanya menjadi penonton yang “terkena getahnya” saja.

3. Mengembalikan kepercayaan Masyarakat terhadap Institusi Hukum

Lembaga peradilan sudah lama relative tidak bisa diandalkan sebagai benteng
wong tertindas, teraniaya, tersiksa, miskin/melarat, cilik, dan lemah. Ketika terjadi
penyerangan skelompok orang anti-Ahmadiyah di empat Kabupaten Cianjur, tak
seorangpun pelaku tindakan anarkhis yang diadili atau ditindak secara hukum.

Ketika rakyat memrotes keberadaan Tempat Pengelolaan sampah Terpadu


Bojong, Jawa Barat, aparat penegak hukum tanpa piker panjang juga tanpa
pandang bulu menembaki mereka.

Hukum sebagai tempat jaminan atas apa yang benar dan adil bukan
diperuntukkan bagi mereka. Apakah negeri ini menjadi tempat yang baik bagi
mereka untuk hidup, itulah yang selalu menjadi pertanyaan mereka.

Satjipto rahardjo, Seorang Guru Besar Sosiologi Universitas Diponegoro


mengategorikan ribuan aparat hakim di negeri ini menjadi dua kategori. Kategori
pertama hakim yang berpikir dengan hati nurani. Hakim yang kedua hakim yang
bertanya dulu keapa perut baru kemudia mencari pasal-pasalnya. (Kompas,21/09)
Menurut Henny Mono, menyatakan bahwa untuk memulihkan kembali
kepercayaan masyarakat terhadap hukum dalam rangka mewujudkan good
governance, diperlukan langkah-langkah kongkret dan sistematis. Langkah –
langkah kongkret dan sistimatis langkah – langkah tersebut adalah:

Pertama, Reformasi Konstitusi merupakan sumber hukum bagi seluruh tata


penyelenggaran negara.Untuk menata kembali sistim hukum yang benar perlu
diawali dari penataan konstitusi yang oleh banyak kalangan masih banyak
mengandung celah kelemahan.

Kedua, Penegakan hukum syarat mutlak pemulihan pepercahan rakyat


terhadap hukum adalah penegakan hukum.Reformasi di bidang penegakkan
hukum yang bersifat strategasi dan mendesak untuk dilakukan adalah; Pertama
,reformasi Mahkamah Agung dengan memperbaiki sistim rekrutmen
{Pengangkatan}, pemberhentian, pengawasan dan penindakan yang lebih
menekankan aspek transparansi dan partisipasi masyarakat. Perbaikan
sebagaimana tersebut di atas harus dilakukan oleh Komisi Yudisial Independen
yang anggotanya terdiri dari mantan hakim agung, kalangan praktisi hukum,
akademisi/cendekiawan hukum dan tokoh masyarakat.

Ketiga, Reformasi Kejaksaan. Untuk memulihkan kinerja kejaksaan saat ini


khususnya dalam menangani kasus KKN dan pelanggaran HAM, perlu dilakukan
fit and proper test terhadap Jaksa Agung dan pembantunya sampai eselon II untuk
menjamin integritas pribadi yang bersangkutan. Selain itu untuk mengawasi
kinerja kejaksaan perlu dibentuk sebuah komisi Independent Pengawas
Kejaksaan.

Keempat, Pemberantasan KKN. KKN merupakan penyebab utama dari tidak


berfungsinya hukum di Indonesia. Untuk memberantas KKN diperlukan
setidaknya dua cara; Pertama, dengan cara mencegah (preventif) dan Kedua,
upaya penaggulangan (represif). Upaya pencegahan dilakukan dengan cara
memberi jaminan hukum bagi perwujudan pemerintahan terbuka (open
government) dengan memberikan jaminan kepada hak publik seperti hak
mengamati perilaku pejabat, hak ,emperoleh akses informasi, hak berpartisipasi
dalam pengambilan keputusan dan hak mengajukan keberatan bila ketiga hak di
atas tidak dipenuhi secara memadai. Sedangkan upaya penaggulangan (setelah
korupsi muncul) dapat diatasi dengan mempercepat pembentukan Badan
Independent Anti Korupsi yang berfungsi melakukan penyelidikan dan
penuntutan kasus-kasus korupsi , memperkenalkan hakim-hakim khusus diangkat
khusus untuk kasus korupsi (hakim ad hock) dan memperlakukan atas pembuktian
terbalik secara penuh.

Kelima, Sumbangan Hukum dalam Mencegah dan Menaggulangi Disintegrasi


Bangsa Pengakuan identitas terhadap nilai-nilai lokal, pemberian kewenangan dan
representasi yang lebih luas kepada daerah, pemberdayaan
kemampuan masyarakat dan akses pengelolaann terhadap sumbar daya alam local
menjadi isu penting yang sangat strategis di dalam menciptakan integritas sosial,
karena selama lebih dari tiga dekade masyarakat selalu ditempatkan sebagai
obyek, tidak diakui berbagai eksistensinya dan diperlakukan tidak adil. Akumulasi
dari permasalahan tersebut akhirnya menciptakan potensi yang sangat signifikan
bagi proses disintegrasi.

Keenam, Pengakuan terhadap Hukum Adat dan Hak Ekonomi Masyarakat.


Untuk menjamin hak-hak masyarakat hukum adat, maka diperlukan proses
percepatan di dalam menentukan wilayah hak ulayat adat secara parsitipatif.
Dengan begitu rakyat akan mendapatkan jaminan di dalam menguasai tanah
ulayat adat mereka dan juga akses untuk mengelola sumber daya alam di
lingkungan dan milik mereka sendiri.

Ketujuh, Pemberdayaan Eksekutif, Legislatif, dan Peradilan untuk lebih


meningkatkan representasi kepentingan daerah di tingkat nasional, perlu
dilakukan rekomposisi keanggotaaan utusan daerah, di mna keterwakilan rakyat di
daerah secara kongkret diakomodasi melalui pemilihan anggota utusan daerah
secara langgsung oleh rakyat. Sistem pemilihan langsung juga dilakukan untuk
para pejabat publik di daerah khususnya gubernur, bupati/walikota.
PENUTUP

Melihat penyebab ketidakadilan penegakan hukum di Indonesia, maka


prioritas perbaikan harus dilakukan pada aparat, baik polisi, jaksa, hakim, maupun
pemerintah (eksekutif) yang ada dalam wilayah peradilan yang bersangkutan.
Tanpa perbaikan kinerja dan moral aparat, maka segala bentuk kolusi, korupsi,
dan nepotisme akan terus berpengaruh dalam proses penegakan hukum di
Indonesia.
Selain perbaikan kinerja aparat, materi hukum sendiri juga harus terus
menerus diperbaiki. Kasus tidak adanya perundangan yang dapat menjerat para
terdakwa kasus korupsi, diharapkan tidak akan muncul lagi dengan adanya
undang-undang yang lebih tegas. Selain mengharapkan peran DPR sebagai
lembaga legistatif untuk lebih aktif dalam memperbaiki dan menciptakan
perundangundang yang lebih sesuai dengan perkembangan jaman, diharapkan
pula peran dan kontrol publik baik melalui perorangan, media massa, maupun
lembaga swadaya masyarakat.
Peningkatan kesadaran hukum masyarakat juga menjadi faktor kunci
dalam penegakan hukum secara konsisten. Semoga dengan dimuatnya artikel ini
pengunjung dapat lebih memahami kondisi penagakan hukum di Indonesia dan
dapat ikut serta memikirkan langkah-langkah strategis dalam menegakkan hukum
dan keadilan.
DAFTAR PUSTAKA
Efendi, S.H.I., Jonaedi, Mafia Hukum, Prestasi pustaka Publisher, Jakarta,
2010.
Ali, Achmad. Pengadilan dan Masyarakat, Hasanudin University Press,
Ujung Pandang, 1999.
Doyle, Paul Johnson, Teori Sosiologi Klasik dan Modern, terj. Robert
M.Z. Lawang, Gramedia, Jakarta, 1986.
Soemardi, Dedi, Pengantar Hukum Indonesia, Ind-Hill-Co, Jakarta, 1997.

You might also like