You are on page 1of 10

Ketentuan–ketentuan tentang pelaksanaan (eksekusi) putusan Arbitrase Asing (Internasional) di

Indonesia terdapat dalam Undang–Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa. Aturannya terdapat dalam Bab VI pasal 65 sampai dengan pasal 69.
Ketentuan–ketentuan tersebut pada dasarnya sejalan dengan ketentuan tentang pengakuan dan
pelaksanaan putusan arbitrase asing (internasional) seperti yang diatur dalam Konvensi New York
1958.

Pasal 65 UU No. 30 Tahun 1999 menetapkan bahwa yang berwenang menangani masalah
pengakuan dari pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional adalah Pengadilan Negeri Jakarta
Pusat.

Selanjutnya pasal 66 mengatur hal–hal sebagai berikut: Putusan arbitrase internasional hanya diakui
serta dapat dilaksanakan di wilayah hukum Republik Indonesia, apabila memenuhi syarat–syarat
sebagai berikut:

a. Putusan Arbitrase Internasional dijatuhkan oleh arbiter atau majelis arbitrase di suatu negara yang
dengan negara Indonesia terikat pada perjanjian, baik secara bilateral maupun multilateral,
mengenai pengakuan dan pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional.

b. Putusan arbitrase internasional sebagaimana dimaksud dalam huruf a terbatas pada putusan yang
menurut ketentuan hukum perdagangan.

c. Putusan arbitrase internasional sebagaimana dimaksud dalam huruf a hanya dapat dilaksanakan di
Indonesia terbatas pada putusan yang tidak bertentangan dengan ketertiban umum.

d. Putusan arbitrase internasional dapat dilaksanakan di Indonesia setelah memperoleh eksekuatur


dari Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat; dan

e. Putusan arbitrase internasional sebagaimana dimaksud dalam huruf a yagn menyangkut Negara
Republik Indonesia sebagai salah satu pihak dalam sengketa, hanya dapat dilaksanakan setelah
memperoleh eksekuatur dari Mahkamah Agung Republik Indonesia yang selanjutnya dilimpahkan
kepada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

Selanjutnya pasal 67 menetapkan bahwa permohonan pelaksanaan putusan arbitrase internasional


dilakukan setelah putusan tersebut diserahkan dan didaftarkan oleh arbiter atau kuasanya kepada
Panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

Walaupun telah terdapat pengaturan yang cukup jelas dan tegas mengenai pelaksanaan putusan
arbitrase asing (internasional) dalam UU No. 30 Tahun 1999, dibandingkan dengan masa ketika
belum adanya pengaturan yang jelas mengenai hal tersebut (yaitu sebelum adanya UU No. 30 Tahun
1999), Indonesia masih sering menuai kritik dari dunia internasional mengenai pelaksanaan putusan
arbtirase internasional.

Kesan umum di dunia internasional adalah bahwa Indonesia masih merupakan “an arbitration
unfriendly country”, dimana sulit untuk dapat melaksanakan putusan arbitrase internasional. Karena
mengantisipasi hal demikian itu, maka tidaklah heran jika Karahabodas sebagai pihak yang menang
perkara arbitrase internasional mengajukan pelaksanaan eksekusi putusan arbitrase internasional di
negara lain dimana terdapat kekayaan Pertamina.

Masalah utama yang sering dipersoalkan oleh dunia internasional bahwa pengadilan Indonesia
enggan untuk melaksanakan putusan arbitrase atau menolak pelaksanaan putusan arbitrase asing
(internasional) dengan alasan bahwa putusan yang bertentangan dengan public policy atau
ketertiban umum. Seperti diketahui, walaupun public policy dirumuskan sebagai ketentuan dan
sendi-sendi pokok hukum dan kepentingan nasional suatu bangsa, dalam hal ini Indonesia, namun
penerapan kriteria tersebut secara konkret tidak selalu jelas, sehingga keadaan demikian dilihat oleh
dunia internasional sebagai suatu ketidakpastian hukum.

Adalah menarik untuk mencatat bahwa UU No. 30 Tahun 1999 hanya mencantumkan public policy
sebagai alasan bagi penolakan putusan arbitrase asing (internasional), padahal Konvensi New York
dalam pasal 5 mencantumkan pula sejumlah ketentuan-ketentuan lainnya yang dapat merupakan
alasan bagi penolakan putusan arbitrase asing (internasional), yang menyangkut hal-hal yang
menyangkut due prosess of law dapat dipertanyakan walaupun ketentuan-ketentuan lainnya
tersebut tidak dicantumkan dalam peraturan perundang-undangan Indonesia (UU No. 30 Tahun
1999) apakah hakim pengadilan Indonesia tidak terikat pada ketentuan-ketentuan tersebut,
sedangkan Indonesia adalah anggota Konvensi New York.

Pelaksanaan eksekusi apabila eksekuatur telah diperoleh masih sering menyisakan berbagai
permasalahan dilapangan, apabila terjadi perlawanan terhadap pelaksanaan eksekusi yang
bersangkutan dengan alasan apapun. Seperti diketahui, prosedur pelaksanaan eksekusi menurut
hukum acara perdata diselenggarakan sesuai dengan proses pemeriksaan perkara di pengadilan hal
mana berarti dapat berlangsung dalam jangka waktu panjang. Tentu saja keadaan demikian
menimbulkan perasaan ketidakpastian hukum pada pihak-pihak yang bersangkutan.

Masalah lain yang juga menimbulkan ketidakjelasan dalam hukum arbitrase di Indonesia adalah
mengenai pengertian arbitrase internasional itu sendiri. Seperti diketahui, pasal 1 angka 9 UU No.
30/1999 merumuskan putusan arbitrase internasional adalah putusan yang dijatuhkan oleh suatu
lembaga arbtirase atau arbiter perorangan di luar wilayah hukum Republik Indonesia atau putusan
suatu lembaga arbitrase atau arbiter perorangan yang menurut ketentuan hukum Republik
Indonesia dianggap sebagai suatu putusan arbtirase internasional.

Dengan adanya rumusan seperti demikian dapat diartikan bahwa putusan arbitrase yang dijatuhkan
di dalam wilayah hukum Indonesai adalah bukan putusan arbitrase asing (internasional), atau
putusan arbitrase domestik (nasional).

Hal ini menjadi masalah mengingat Konvensi New York 1958 dalam kaitannya dengan masalah
pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase adalah menyangkut putusan arbitrase yang
dijatuhkan di negara yang berbeda daripada negara dimana dimintakan pengakuan dan
pelaksanannya mengenai sengketa secara fisik atau hukum yang timbul antara mereka yang
bersengketa.
Ditegaskan pula bahwa Konvensi New York juga berlaku atas putusan yang oleh Negara dimana
putusan tersebut diakui dan akan dilaksanakan tidak dianggap sebagai putusan arbitrase domestik.

Seperti diketahui UU No. 30 Tahun 1999 hanya mengatur tentang pengakuan dan pelaksanaan
putusan arbitrase International di Indonesia, tetapi tidak mengatur sama sekali tentang
penyelenggaraan arbitrase international di Indonesia. Dengan mudah orang menafsirkan bahwa
setiap arbitrase yang diselenggarakan dan diputus di dalam wilayah Indonesia adalah arbitrase
domestik (nasional). Seperti diketahui mengenai pelaksanaan putusan arbitrase yang
diselenggarakan di Indonesia dan pelaksanaan putusan arbitrase asing (internasional) terdapat
perbedaan dalam prosedur dan jangka waktu pendaftaran, dan sebagainya.

Sedangkan UNCITRAL Model Law dalam pasal 1 secara gamblang menegaskan bahwa arbitrase
adalah internasional apabila :

a. para pihak dalam perjanjian arbitrase pada saat membuat perjanjian yang bersangkutan,
mempunyai kedudukan bisnis di negara yang berbeda;

b. tempat berarbitrase, tempat pelaksanaan kontrak atau tempat objek yang dipersengketakan
terletak di negara yang berbeda dari tempat kedudukan bisnis para pihak yang bersengketa atau
apabila para pihak secara tegas bersepakat bahwa hal yang terkait dengan perjanjian arbitrase yang
bersangkutan menyangkut lebih dari suatu negara.

Dengan kata lain pada arbitrase dalam praktek di Indonesia pun (antara lain di Badan Arbitrase
Nasional Indonesia/BANI) diselenggarakan arbitrase yang menyangkut unsur–unsur asing (para pihak
berbeda kebangsaan/negara), dimana persidangan putusan arbitrase yang bersangkutan dijatuhkan
sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku bagi penyelenggaraan arbitrase di Indonesia (pasal 59
dan pasal 4 dan pasal 5 UU No. 30 Tahun 1999). Namun apabila dilihat dari kacamata Konvensi New
York, putusan tersebut dapat dianggap sebagai putusan arbitrase internasional, sehingga dapat
dilaksanakan eksekusinya di negara-negara lain yang merupakan anngota Konvensi New York.

Kenyataan lain yang juga terjadi dan dapat menimbulkan masalah adalah apabila suatu lembaga
arbitrase asing (internasional), misalnya I.C.C menyelenggarakan sidang juga dan atau menjatuhkan
putusannya di Indonesia. Pertanyaan dapat timbul apakah putusan arbitrase lembaga tersebut oleh
pengadilan Indonesia dianggap sebagai putusan arbitrase domestik dengan segala akibat-akibatnya
yang menyangkut prosedur pelaksanaan.

Kasus seperti ini terjadi belum selang berapa lama ini, yang sampai sekarang menimbulkan masalah
yang berlarut-larut.

Masalah seperti dikemukakan di atas terjadi karena berbeda dengan negara- negara lain pada
umumnya (antara lain Singapura), peraturan perundang-undangan Indonesia yang menyangkut
arbitrase asing (internasional) tidak mengantisipasi ketentuan UNCITRAL Model Law. Sehingga
peraturan perundang-undangan arbitrase Indonesian dianggap terlalu bersifat nasional, yang
tercermin antara lain dalam ketentuan-ketentuan mengenai penggunaan bahasa Indonesia dalam
sidang dan putusan yang harus mencantumkan irah-irah ‘Demi Keadilan dan Ketuhanan Yang Maha
Esa’. Ini sulit untuk dipahami oleh pihak luar.

Untuk menyesuaikan dengan sifat internasional dan universal dari arbitrase sebagai suatu konsep
penyelesaian sengketa dan dalam rangka harmonisasi peraturan perundang-undangan Indonesia
dengan negara-negara lain yang ternyata memiliki kondisi lebih kondusif bagi penyelesaian
sengketa-sengketa hukum internasional, seyogianya peraturan perundang-undangan arbitrase
Indonesia, dalam hal ini UU No. 30 Tahun 1999, dikaji kembali untuk disesuaikan dengan ketentuan-
ketentuan yang berlaku di dunia internasional, termasuk UNCITRAL Model Law

Disamping itu diharapkan bahwa hakim-hakim pengadilan negeri Indonesia serta semua pihak–pihak
yang berkepentingan benar-benar memahami makna dan hakekat arbitrase sebab suatu konsep
penyelesaian sengketa di luar pengadilan yang bersifat praktis, non-konfrontatif, efisien dan efektif.

The UNCITRAL Model Law tentang Arbitrase Komersial Internasional diadopsi oleh
PBB Komisi Hukum Perdagangan Internasional pada tanggal 21 Juni 1985. Hukum
Model ini dirancang untuk memenuhi kekhawatiran yang berkaitan dengan keadaan
saat ini undang-undang nasional tentang arbitrase. Kebutuhan untuk perbaikan dan
harmonisasi didasarkan pada temuan bahwa undang-undang domestik sering kali
tidak sesuai untuk kasus-kasus internasional dan bahwa ada kesenjangan yang
cukup besar di antara mereka. Perbedaan adalah sumber sering kekhawatiran di
arbitrase internasional dimana pihak dihadapkan dengan ketentuan asing dan tidak
familiar dan prosedur. Sebagai pihak seperti ini mungkin mahal dan tidak praktis.
Artikel ini menguraikan kesesuaian Hukum Indonesia di arbitrase dengan UU Model
yang bersangkutan. Pada akhirnya penulis menyimpulkan bahwa Undang-undang
Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa
mendukung Undang-Undang Model dari segi substansi dan proses

Pada saat berlakunya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa, ketentuan-ketentuan mengenai arbitrase sebagaimana yang diatur dalam
Pasal 615 sampai dengan Pasal 651 Rv, Pasal 377 HIR, dan Pasal 705 Rbg, dinyatakan tidak berlaku
lagi.

Dibandingkan dengan pengaturan Ketentuan-ketentuan Arbitrase Komisi Perserikatan Bangsa-


bangsa (PBB) tentang Hukum Perdagangan Internasional (The United Nations Commission on
International Trade Law) atau lebih dikenal Arbitrase Model Law UNCITRAL 1985 yang terdiri dari 36
pasal, UU No. 30/1999 yang terdiri dari 82 pasal tersebut telah secara luas mengatur berbagai hal
terkait dengan arbitrase. Banyaknya pasal tersebut tampaknya agar UU No. 30/1999 mampu
mengakomodasikan banyak hal dengan mengaturnya secara mendetail (meskipun seharusnya hal itu
bukan muatan suatu undang-undang), misalnya, keharusan bagi sekretaris untuk membuat notulen
rapat sehubungan dengan kegiatan dalam pemeriksaan dan sidang arbitrase. (Lihat Pasal 51 UU No.
30/1999.)
Selain itu, UU No. 30/1999 berusaha mengatur semua aspek baik hukum acara maupun
substansinya, serta ruang lingkupnya yang meliputi aspek arbitrase nasional dan internasional.
Upaya memasukkan semua aspek arbitrase ke dalam satu undang-undang arbitrase nasional dapat
mendatangkan banyak persoalan dan membingungkan, baik mengenai letak pengaturannya maupun
materinya.

Tentang letak pengaturan, misalnya tentang “prinsip pembatasan intervensi pengadilan”


sebagaimana disebutkan dalam Pasal 11 ayat (2), yaitu: “Pengadilan Negeri wajib menolak dan tidak
akan campur tangan di dalam suatu penyelesaian sengketa yang telah ditetapkan melalui arbitrase,
kecuali dalam ha1-hal tertentu yang ditetapkan dalam Undang-undang ini.” Ayat (2) tersebut tidak
berhubungan dengan ayat lainnya, yaitu Pasal 11 ayat (1) yang mengatur mengenai “perjanjian
arbitrase”, serta diletakkan pada bab yang tidak ada kaitannya, yaitu Bab III tentang syarat arbitrase,
pengangkatan arbiter, dan hak ingkar. Dalam Model Law, prinsip ini (limited court involvement)
diletakkan pada bagian Ketentuan Umum (General Provisions).

Materi UU No. 30/1999 juga menimbulkan persoalan, misalnya tidak ada ketentuan mengenai
jangka waktu bagi pendaftaran putusan arbitrase internasional di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Pengaturan mengenai periode waktu itu sangat penting karena putusan arbitrase asing hanya dapat
dilaksanakan di Indonesia setelah didaftarkan. Di samping itu, masih banyak masalah lain yang
terkait dengan ketentuan-ketentuan dalam UU No. 30/1999, yang kesemuanya itu dapat dibaca
dalam buku Hukum Arbitrase dan Mediasi di Indonesia karangan Gatot Soemartono, Penerbit PT
Gramedia Pustaka Utama.

PENGERTIAN ARBITRASE

Menurut UU Nomor 30 tahun 1999, Arbitrase adalah suatu cara penyelesaian sengketa perdata di
luar lembaga peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis
oleh kedua belah pihak. Perjanjian arbitrase adalah suatu kesepakatan berupa klausul arbitrase yang
tecantum dalam perjanjian tertulis yang dibuat para pihak sebelum timbul sengketa atau suatu
perjanjian arbitrase tersendiri yang dibuat oleh para pihak setelah timbul sengketa.

Arbitrase biasa dilakukan oleh para pengusaha (nasional maupun internasional) sebagai suatu
cara perdamaian memecahkan ketidaksepahaman pihak-pihak di bidang komersial. Seperti yang
dicantumkan dalam “The United Nastions Commision on International Trade Law (UNCITRAL)
tanggal 28 April 1976 (UNCITRAL ARBITRATION RULES), bidang komersial itu meliputi: transaksi
untuk ekspor impor makanan, perjanjian distribusi, perbankan, asuransi, konsensi, perusahaan joint
venture, pengangkutan penumpang pesawat udara, laut, kereta api, maupun jalan raya.6 Dalam
perkembangan selanjutnya ternyata tata cara penyelesaian cara damai seperti arbitrase banyak
dimanfaatkan dalam bidang-bidang sengketa tentang franchising, penerbangan, telekomunikasi
internasional, dan penggunaan ruang angkasa komersial, bahkan ada yang menghendaki agar juga
ditetapkan dalam kartu kredit perbankan, dan pelanggaran terhadap keamanan lingkungan.

Berbagai peraturan Internasional tentang Arbitrase ada yang sudah diratifikasi oleh Indonesia.
Peraturan-peraturan ini menjadi pegangan dalam pembuatan undang-undang nomor 30 tahun 1999
dan juga pelaksanaan Arbitrase di Indonesia. Peraturan-peraturan internasional dibawah inilah yang
dalam Bab berikutnya akan kita bandingkan dengan UU Nomor 30 tahun 1999, apakah UU 30 tahun
1999 itu sudah memenuhi atau searah dengan peraturan Internasional tentang Arbitrase. Sebelum
kita membahas mengenai UU nomor 30 tahun 1999, ada baiknya kita mengenal tentang peraturan
Internasional tentang Arbitrase berikut ini.

UNCITRAL Model Law On International Commercial Arbitration (1985). UNCITRAL 1985 ini bisa dianggap
sebagai model arbitrase yang lahir karena kebiasaan internasional. Model ini dapat disimpangi
sesuai dengan kewenangan para Negara. Dalam chapter 1 article 1 ayat 3, Arbitrase Internasional
dalam arti sempit – seperti yang dimaksud dalam model hukum arbitrase UNCITRAL – baru termasuk
arbitrase internasional jika memenuhi syarat-syarat berikut:

a. Jika pada saat penandatanganan kontrak yang menjadi sengketa, para pihak mempunyai

tempat bisnis di Negara yang berbeda;

b. Jika tempat arbitrase sesuai dengan kontrak arbitrase berada di luar tempat bisnis para

pihak;

c. Jika pelaksanaan sebagian besar kewajiban dalam kontrak berada di luar bisnis para pihak, atau pokok
sengketa sangat terkait dengan tempat yang berada di luar tempat bisnisnya para pihak, atau;

d. Para pihak dengan tegas telah menyetujui bahwa pokok persoalan dalam kontrak

arbitrase berhubungan dengan lebih dari satu Negara.

Tentang Arbiter

a. Menurut UU Nomor 30 tahun 1999 pasal 12, pasal 13, pasal 15:

Arbiter yang dipilih haruslah arbiter yang kompeten, jujur, dan memiliki integritas bukan saja pada
pribadinya tetapi juga pada kemampuan dan keahlian yang dimilikinya. Untuk jumlah arbiter dipilih
tergantung dari keinginan para pihak, bisa satu (tunggal), bisa lebih (3 orang) dimana satu dipilih
oleh masing-masing pihak, dan yang ketiga dipilih bersama sehingga dicapai jumlah yang ganjil. Dan
andaikata para pihak tidak memilih dapat saja diserahkan kepada Lembaga Arbitrase atau dipilih
oleh Hakim.

UNCITRAL Model Law 1985:


Article 10: the Partie are free to determine the number of arbitrators.
Jadi dapat disimpulkan bahwa ketentuan tentang pemilihan arbiter dalam UU No. 30
tahun 1999, telah sesuai dengan peraturan arbitrase internasional.

Penarikan kembali wewenang arbiter:

a. UU Nomor 30 tahun 1999:

Penarikan kembali wewenang arbiter dapat saja dilakukan jika memang wajar dan
telah terbukti terjadi situasi tertentu (pasal 22), yaitu:

1) Bilamana arbiter terbukti melakukan pelanggaran pidana. Arbiter yang telah dipilih dan mulai
melakukan tugasnya tidak dapat dibebaskan dari wewenangnya bila salah satu pihak meninggal
dunia. Jadi wewenang arbiter dapat dibatalkan bilamana terbukti atau dibuktikan bahwa ia:

2) Mempunyai kepentingan financial atau terbukti tidak independen

3) Penyelewengan

b. UNCITRAL Model Law 1985, article 14, ayat;

(1) If an arbitrators becomes de jure or de facto unable to perform his functions or for other reasons fails
to act without undue delay, his mandate terminates if he withdraws from his office or if the parties
agree on termination.

Dalam hal pembatalan wewenang arbiter, UU 30 tahun 1999 telah memenuhi unsur

yang diatur dalam Arbitrase Internasional

3. Peran Serta Pengadilan

a. UU Nomor 30 tahun 1999;

Dalam pasal 3 disebutkan bahwa Pengadilan Negeri tidak berwenang untuk mengadili sengketa para
pihak yang telah terikat dalam perjanjian arbitrase. Pasal 11 (2): Pengadilan tidak akan campur
tangan ke dalam suatu penyelesaian sengketa yang sudah ditetapkan kecuali yang telah ditetapkan
oleh UU ini, misalnya dalam hal pengangkatan arbiter (pasal 13), memaksa para pihak untuk
melaksanakan putusan Arbitrase (pasal 61), membatalkan putusan arbitrase jika putusan itu
bertentangan dengan kesusilaan dan kepentingan umum (pasal 62).

b. UNCITRAL Model Law 1985;

Article 5: In matters governed by the Law, no court shall intervene except where so

provided in this Law;

Article 6 menyatakan bahwa pengadilan hanya melakukan fungsinya membantu proses arbitrase dan
pengawasan seputar yang diatur dalam Article 11(3), 11(4), 13(3), 14, 16(3), dan 34(2), yaitu:
membantu seputar penunjukkan arbitrase jika tidak ada

kesepakatan para pihak atau diminta oleh para pihak, adanya pengalihan atas putusan

arbitrase.

Tentang kewenangan Pengadilan dalam hal adanya perjanjian arbitrase, sepakat bahwa
Pengadilan tidak memiliki wewenang kecuali wewenang tentang yang diatur oleh Undang-undang.

4. Persiapan Untuk Seorang Arbiter


a. Menurut UU No. 30 tahun 1999, pasal 18, seorang calon arbiter yang diminta oleh salah satu pihak
untuk duduk dalam majelis arbitrase wajib memberitahukan kepada pihak tentang hal yang mungkin
akan mempengaruhi kebebasannya atau menimbulkan keberpihakan putusan yang akan diberikan.

b. UNCITRAL Model Law 1985:

Article 12: when a person is approached in connection with his possible appointment as an
arbitrator, he shall disclose any circumstances likely to give rise to justifiable doubts as to his
impartially or independency.

5. Hak-hak para pihak selama proses arbitral

a. UU No.30 tahun 1999:

1) Para pihak dalam suatu perjanjian tertulis bebas untuk menentukan acara yang

digunakan (pasal 31).

2) Arbiter atau majelis arbitrase dapat memerintahkan agar setiap dokumen atau bukti disertai
dengan dokumen atau bukti disertai terjemahan ke dalam bahasa yang ditetapkan oleh arbiter /
majelis arbitrase (pasal 35).

3) Tempat arbitrase dapat ditentukan oleh arbiter atau para pihak (pasal 37).

4) Dalam jangka waktu yang ditentukan, pemohon harus segera menyampaikan surat tuntutannya
kepada arbiter (pasal 38); termohon juga diberikan mengajukan tanggapan (pasal 39).

b. UNCITRAL Model Law 1985:


1) Para pihak diberikan kesempatan yang sama (article 18).
2) Para bebas untuk menentukan prosedur acara arbitrase (article 19).

3) Para pihak bebas untuk memilih tempat dilaksanakannya arbitrase (article 20), dan majelis
arbitrase atas persetujuan para pihak, bebas memilih tempat yang nyaman dalam proses
mendengarkan kesaksian saksi, saksi ahli, atau pemeriksaann dokumen atau benda-benda property
yang berkaitan.

4) Para pihak bebas untuk memilih bahasa yang akan digunakan dalam proses arbitrase (article 22),
dan majelis arbitrase berhak mendapatkan dokumen- dokumen terjemahannya.

5) Dalam jangka waktu yang ditentukan, pemohon harus menyampaikan surat tuntutannya kepada
arbiter dan termohon dapat mengajukan pembelaan – claim and defence - (article 23).

6. Putusan Arbitrase

a. Menurut UU No.30 tahun 1999:

Pasal 56, keputusan yang diambil oleh arbiter adalah keputusan yang berdasarkan ketentuan
hukum, atau berdasarkan keadilan dan kepatutan, tidak boleh melebihi cakupan perjanjian. Putusan
boleh dikoreksi oleh arbiter bilamana ada kesalahan administrative redaksional berdasarkan
kewenangan yang diberikan kepadanya (pasal 58).
b. UNCITRAL Model Law 1985, article 28 jo article 34, the arbitral tribunal shall decide the dispute in
accordance with such rules as law as are chosen by the parties as applicable to the substance of the
dispute, the arbitral tribunal shall decide ex aequo et bono; the subject matter in award are not
under the law of arbitration tribunal, and also the awards shall not conflict with the public policy of
the State.

7. Kekuatan hukum putusan Arbitrase

a. Pasal 60 UU Nomor 30 tahun 1999 : putusan arbitrase bersifat final dan mempunyai

kekuatan hukum tetap dan mengikat bagi para pihak;

b. Article 35 UNCITRAL Model Law 1985: An arbitral award, irrespective of the

country in which it was made shall be recognized as binding.

8.Tidak dapat diterimanya Putusan Arbitrase

a. Menurut UU No.30 tahun 1999, pengadilan dapat membatalkan putusan (annulment) arbitrase, dalam
hal putusan dengan kewenangan yang berlebihan dan sebagian yurisdiksi yang berlebihan. Pasal 70
juga menyatakan bahwa putusan arbitrase ini dapat dibatalkan apabila dapat dibuktikan adanya
dokumen-dokumen yang palsu, atau

dokumen disembunyikan oleh pihak lawan dan adanya tipu muslihat dalam

pemeriksaan sengketa.

b. Dalam UNCITRAL Model Law 1985, tidak dikenal istilah pembatalan putusan. Tapi dikenal istilah
setting aside (mengesampingkan). Article 34, putusan arbitrase dapat dikesampingkan oleh
pengadilan jika tidak ada perjanjian arbitrase atau perjanjian tersebut tidak tertulis; atau
penunjukkan arbiter dan komposisi arbitor tidak sesuai dengan peraturan ini; atau putusan arbitrase
diluar yang diperjanjikan atau melanggar kebijakan public suatu Negara.

Kesimpulan :

Pada dasarnya ciri-ciri Arbitrase dalam UU No. 30 tahun 1999 dengan peraturan arbitrase
internasional secara garis besar memiliki kemiripan. Yang terdapat dalam beberapa pearturan
internasional tentang arbitrase sudah terdapat dalam UU No. 30 tahun 1999, misalnya beberapa ciri
sebagai berikut:

1.para pihak menyerahkan kewenangan kepada pihak ketiga untuk memutuskan;

2.di dalam arbitrase, para pihak harus meyakinkan arbiter sehingga mengabulkan

tuntutan;

3.proses arbitrase sering merujuk kepada peraturan dari lembaga arbitrase yang dipilih

dan undang-undang mengenai arbitrase sehingga proses beracaranya lebih formal;

4.persidangan arbitrase bersifat tertutup;


5.tuntutan perkara ke arbitrase hanya bisa dilangsungkan jika para pihak yang

bersengketa terikat dengan perjanjian arbitrase;

6.arbiter dipilih berdasarkan keahliannya dan para pihak bebas memilih arbiternya;

7.putusan arbitrase adalah final dan mengikat, tidak dapat diajukan banding atau upaya

hukum apapun.

You might also like