You are on page 1of 14

KEARIFAN LOKAL MASYARAKAT SUNDA

TERKAIT KEHIDUPAN BERKELANJUTAN


DAN PENGELOLAAN BENCANA

Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah


”Aspek Sosial Budaya Lokal dalam Pendidikan Luar Sekolah”

Kandi Sekarwulan
(0809210)

Program Studi Pendidikan Luar Sekolah


Sekolah Pasca Sarjana
Universitas Pendidikan Indonesia
2009
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kerusakan lingkungan akibat aktivitas manusia telah menjadi permasalahan sejak waktu
yang sangat lama. Keprihatinan mengenai kerusakan lingkungan diketahui telah ada di Timur
Tengah dalam tulisan-tulisan cendekiawan muslim seperti Ibnu Sina, Al Kindi, dan lain
sebagainya. Di dunia barat, berbagai permasalahan lingkungan tercatat telah ada sejak abad
ketujuh, sedangkan aturan hukum lingkungan modern pertama yang berskala besar adalah
British Alkali Act yang disahkan pada 1863 (wikipedia.org/wiki/environmentalism).
Berbagai permasalahan tersebut mendorong kemunculan gerakan-gerakan lingkungan di
seluruh dunia. Gerakan pro-lingkungan modern memperoleh pengaruh besar dari fabel
lingkungan “Silent Spring” yang ditulis oleh Rachel Carson pada 1962. Pada tahun 1972,
Persatuan Bangsa-bangsa mengesahkan Deklarasi Stockholm yang berisikan prinsip-prinsip
untuk menumbuhkan kesadaran lingkungan pada umat manusia di seluruh dunia.
Walaupun gerakan-gerakan lingkungan semakin banyak dan beragam bentuk gerakannya
(lihat wikipedia.org/wiki/list_of_environmental_organizations), permasalahan lingkungan
terus terjadi bahkan dalam tingkatan yang semakin kompleks serta mendunia. Isu lingkungan
terbesar yang menjadi perhatian seluruh dunia saat ini adalah global warming (pemanasan
global). Fenomena global warming telah diteliti dan dianalisis oleh ahli dari berbagai bidang
ilmu sejak 1970-an, dan hasil-hasil penelitian tersebut menunjukkan beberapa penemuan
mengejutkan yang disarikan oleh Al Gore dalam film The Inconvenient Truth (Guggenheim,
2006):
1. Global warming disebabkan oleh banyaknya gas rumah kaca yang memerangkap
panas matahari di atmosfer bumi, dan dalam beberapa dekade terakhir jumlah gas
rumah kaca di atmosfer bumi meningkat sangat tajam.
2. Salah satu penyebab utama tingginya jumlah gas rumah kaca di atmosfer adalah
aktivitas sosial-ekonomi manusia.
3. Dampak global warming terhadap berbagai aspek kehidupan dunia ternyata sangat
kompleks dan mengancam kelanjutan kehidupan sosial, ekonomi serta kesejahteraan
manusia.
Penemuan terkait global warming menggugah kesadaran dunia; segala hal ternyata saling
terhubung dalam sistem yang kompleks dan saling mempengaruhi, dan aktivitas manusia
tidak lepas dari pengaruhnya terhadap kelangsungan kehidupan di bumi (lihat Capra, 1997).
Capra menyatakan, untuk menyelesaikan permasalahan yang bersifat sistemik, penyelesaian
secara parsial tidak dapat lagi dilakukan. Manusia perlu mengarahkan usaha-usahanya untuk
mengembangkan sistem yang meliputi segala aspek kehidupan, untuk mencapai cara hidup
yang selaras dengan hukum alam serta terus lestari hingga waktu tak terbatas; dengan kata
lain “kehidupan yang berkelanjutan”.
Pengelolaan bencana merupakan bentuk respon yang penting dalam menghadapi
perubahan iklim, karena perubahan iklim menyebabkan frekuensi serta intensitas bencana
alam seperti banjir, puting beliung, angin topan, dan kebakaran hutan meningkat
(Miththapala, 2008). Bencana alam memiliki jangkauan dampak global yang mendalam
namun tidak seimbang, khususnya di Asia. Asia merupakan kawasan paling rawan terhadap
bencana, dengan separuh bencana dunia terjadi di Asia dalam 50 tahun terakhir, 67% korban
jiwa dan 28% kerugian ekonomi dunia (Reid & Simms, 2007, dalam Miththapala, 2008),
namun ironisnya sangat sedikit kerugian tersebut yang ditanggung oleh asuransi, karena
sebagian besar orang yang terkena dampak tersebut adalah kaum marginal serta miskin.
Dalam menemukan strategi yang efektif untuk mewujudkan kehidupan berkelanjutan dan
pengelolaan bencana, kita dapat menengok kembali kearifan lokal yang ada di masyarakat.
Komunitas-komunitas adat yang mampu mempertahankan cara hidupnya selama ribuan
tahun, merupakan bukti empirik yang kuat bahwa cara hidup berkelanjutan dapat dan telah
dipraktekkan. Bukti kearifan lokal mengenai pengelolaan bencana juga tampak pada berbagai
pemberitaan terkait gempa di Indonesia, seperti bangunan tradisional yang ternyata tahan
gempa (lihat artikel berita di http://berita.liputan6.com/daerah/200909).
Masyarakat Sunda termasuk masyarakat yang melestarikan kebudayaannya dengan cukup
baik, bahkan beberapa praktek kebudayaan paling awal pun masih dipertahankan hingga saat
ini dalam kampung-kampung adat. Sangatlah penting untuk menggali, mendokumentasikan
dan melestarikan berbagai kearifan lokal dari masyarakat Sunda sebelum punah tergilas
jaman. Makalah ini merupakan usaha untuk mendokumentasikan beberapa kearifan lokal
masyarakat Sunda, khususnya yang terkait dengan kehidupan berkelanjutan dan pengelolaan
bencana.
1.2 Rumusan Masalah
Permasalahan yang akan diselidiki dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Apa sajakah kearifan lokal masyarakat Sunda yang mendukung kehidupan
berkelanjutan?
2. Apa sajakah kearifan lokal masyarakat Sunda yang sesuai dengan prinsip-prinsip
pengelolaan bencana?

1.3 Tujuan
Tujuan dari penyusunan makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Mengetahui kearifan lokal masyarakat Sunda yang mendukung kehidupan
berkelanjutan.
2. Mengetahui kearifan lokal masyarakat Sunda yang sesuai dengan prinsip-prinsip
pengelolaan bencana.
BAB II
TEORI DASAR

2.1 Sunda: Masyarakat dan Kebudayaan


“Sunda” pada awalnya merupakan istilah dari India yang merujuk pada dataran di barat
laut India Timur yang terbentang dari India sampai Arakan Yoma. Bukti tertua dari
penggunaan kata tersebut adalah prasasti Kebon Kopi dari abad 9 M. Etimologi kata Sunda
kemungkinan berasal dari “Sudda”, bahasa Hindi yang berarti daerah mandala, daerah suci
(Ekadjati, 2005); atau dari bahasa Sansekerta yang berarti cahaya, air (id.wikipedia.or/sunda).
Istilah “orang Sunda” sendiri memiliki dua makna. Makna pertama merujuk pada
kelompok etnis yang merupakan keturunan orang-orang Sundapura, ibukota kerajaan
Tarumanegara (id.wikipedia.org/sunda). Makna kedua mewakili cara pikir dan spiritualitas
Sunda, di mana “orang Sunda” merujuk pada kelompok orang yang mengaku dirinya dan
diakui orang lain sebagai orang Sunda (Warnaen dkk, 1987, dalam Ekadjati, 2005). Ini
berarti, seseorang yang sangat memahami budaya Sunda serta bertingkah laku sesuai tata cara
Sunda dapat dianggap sebagai orang Sunda, walaupun ia tidak memiliki darah keturunan
Sunda—cerminan sikap inklusif dan terbuka dalam budaya Sunda.
Kebudayaan Sunda berkembang dari kondisi geografis dan pengaruh budaya luar.
Kondisi geografis tatar Sunda, yaitu daerah berbukit/bergunung-gunung dengan banyak
badan air berupa sungai dan danau, melahirkan kebudayaan Sunda Barat dalam bentuk
kebudayaan agraris (Ekadjati, 2005). Contoh cara hidup Sunda Barat yang masih lestari
hingga saat ini dapat dilihat pada masyarakat Kanekes, atau lebih dikenal sebagai Badui.
Mereka hidup dalam kelompok-kelompok kecil dan bercocok tanam dengan sistem huma
serta ladang berpindah.
Kerajaan-kerajaan Sunda tumbuh seiring makin luasnya penggunaan sistem sawah basah
dengan sistem irigasi, yang merupakan pengaruh dari budaya Jawa. Pada awalnya
penggunaan sistem sawah basah hanya berupa anjuran dari raja, bukti-buktinya tercatat dalam
Kitab Sanghiyang Siksa Kanda Ng Karesian (Ekadjati, 2005), dan semakin tampak nyata
pada jaman kerajaan Islam. Dari sistem sawah basah ini berkembanglah budaya Sunda
Priangan di daerah kerajaan Galuh dan Pajajaran, yaitu masyarakat daerah perairan dengan
kearifan tinggi dalam memanfaatkan dan melestarikan sumber air (Wittfogel, 1936, dalam
Kunto, 1986). Jejak kebudayaan Sunda Priangan tampak pada nama-nama tempat berawalan
Ci- yang berasal dari kata “cai” atau air, juga “situ” (danau), dan “balong” (kolam).
2.2 Pembangunan Berkelanjutan
Istilah Sustainable Development atau Pembangunan Berkelanjutan muncul pertama kali
dalam laporan World Commission on Environment and Development (1987), yang juga
dikenal sebagai Brundtland Commission, sebagai respon terhadap permasalahan lingkungan
yang semakin tampak nyata dan bersifat global, seperti pemanasan global, perubahan iklim,
penurunan kualitas lingkungan di seluruh dunia, serta penyusutan sumber daya alam.
Pembangunan berkelanjutan didefinisikan sebagai (WCED, 1987):
“Pembangunan yang memenuhi kebutuhan generasi saat ini tanpa mengorbankan
kehidupan generasi di masa depan.”

Inti dari pembangunan berkelanjutan adalah “manusia yang berkelanjutan” (Steele, 2007),
yaitu individu-individu berdaya dan sejahtera dengan etika yang mendukung keberlanjutan.
Sepanjang hasil riset yang telah dilakukan penulis, terdapat dua model yang
menggambarkan konsep pembangunan berkelanjutan, yaitu model ekonomi ekologis Daly
(dalam YPBB, 2008) dan model kompas keberlanjutan Atkisson (www.atkisson.com).
Model ekonomi ekologis Daly menyatakan bahwa alam adalah ultimate means atau dasar
utama bagi pembangunan, dan kualitas hidup manusia sebagai ultimate end atau tujuan utama
pembangunan. Sistem sosial dan ekonomi adalah intermediary, yaitu sarana/perantara untuk
mencapai tujuan utama, dan sistem-sistem tersebut haruslah berdasar pada alam sebagai
sumber satu-satunya kesejahteraan manusia. Konsekuensinya, semua sistem manusia harus
melestarikan alam, karena tanpa alam kehidupan manusia mustahil ada (Miththapala, 2008).
Model kompas keberlanjutan AtKisson merupakan alat untuk mengelola indikator dan
pengkajian untuk menuju pembangunan berkelanjutan. Kompas keberlanjutan AtKisson
menggunakan aspek-aspek serupa dengan Daly, yaitu alam, sistem sosial, sistem ekonomi
dan kualitas hidup, yang ditempatkan dalam empat arah mata angin dalam kompas
keberlanjutan. Dalam model AtKisson, pembangunan berkelanjutan berarti menjaga dan
memantau terus-menerus keseimbangan dalam perkembangan empat aspek tersebut. Kedua
model tersebut tampak pada gambar berikut.

Wellbeing Ultimate ends


Society Intermediary
ends
Intermediary means
Economy
Natur Ultimate means
e
Model ekonomi ekologis (kiri), model kompas keberlanjutan (kanan)
2.4 Pengelolaan Bencana
Dalam pengelolaan bencana, perlu dibedakan antara “fenomena alam” dan “bencana
alam”. Fenomena alam adalah kondisi alamiah yang membahayakan manusia dan berpotensi
menyebabkan kerusakan. Contoh dari fenomena alam adalah kekeringan, kebakaran hutan,
puting beling, topan, gempa bumi dan tsunami. Fenomena alam seperti ini tidak bisa dicegah
tapi dapat diperkirakan (Miththapala, 2008). “Bencana alam” terjadi ketika fenomena alam
tersebut menyebabkan kematian dalam jumlah besar, bergeser atau rusaknya kehidupan
manusia dan ekosistem. Penerapan berbagai langkah perlindungan dapat mencegah atau
mengurangi dampak dari bencana, karena itu bencana dapat dikurangi atau dicegah.
Bahaya atau resiko adalah potensi suatu fenomena alam untuk menyebabkan kerusakan.
Resiko tidak sama di antara masyarakat atau individu; sebagian orang memiliki resiko yang
lebih tinggi terhadap bencana dibandingkan dengan yang lainnya. Dampaknya juga berbeda
bagi setiap orang, karena sebagian dapat menanggulanginya lebih baik dari pada yang
lainnya. Perbedaan dalam kemampuan menanggulangi ini disebut kerawanan/kerentanan.
Berbagai elemen seperti faktor sosial, lingkungan, ekonomi dan infrastruktur mempengaruhi
kemampuan masyarakat dalam menanggulangi bencana (Kasperson & Kasperson, 2001,
dalam Miththapala, 2007). Sebagai contoh, sebuah rumah dibangun pada lereng bukit. Resiko
kerusakanya adalah dari tanah longsor. Orang miskin dan terpinggirkan lebih rentan terhadap
musibah alam karena kekurangan akan kebutuhan dasar hidupnya, mereka ini rentan secara
sosial. Masyarakat yang menentang perubahan dan negatif dalam pendekatan hidupnya
rentan secara perilaku. Orang yang tinggal dekat dengan ekosistem yang rusak dan
kekurangan fungsi dasar ekisostem rentan secara lingkungan. Diagram di bawah ini
menggambarkan aspek-aspek yang mempengaruhi resiko. Kekuatan merusak dari suatu
fenomena alam adalah tetap, artinya manusia tidak dapat mengontrol fenomena alam. Karena
itu, pengurangan resiko hanya dapat dilakukan dengan mengurangi komponen kerentanan.
Siklus pengelolaan bencana memiliki beberapa tahap yaitu (Teknik Geofisika ITB, 2009):
1. Pencegahan, yaitu usaha-usaha yang dilakukan untuk mengurangi atau meniadakan
bahaya. Pencegahan meliputi pelestarian hutan, pengerukan sungai untuk mencegah
banjir, dan lain sebagainya.
2. Mitigasi, yaitu semua usaha untuk mengurangi resiko melalui pengurangan kerentanan.
Mitigasi dapat dilakukan secara infrastruktur, misalnya membuat bangunan tahan gempa
dan tanggul penahan banjir, maupun secara non-infrastruktur misalnya dengan
mengedukasi masyarakat atau memindahkan penduduk yang tinggal di daerah rawan.
3. Persiapan atau kesiapsiagaan, meliputi pengorganisasian dan pembuatan sistem yang
cepat merespon ketika bencana terjadi. Contoh kesiapsiagaan adalah membuat
mekanisme alarm/peringatan dan mekanisme kordinasi tanggap darurat, seperti Bakornas.
4. Respon atau tanggap darurat, yaitu tindakan cepat yang dilakukan segera setelah terjadi
bencana. Kegiatan tanggap darurat meliputi evakuasi dan perawatan korban,
penggalangan dan pendistribusian bantuan, serta pencegahan dampak sampingan bencana
seperti trafficking.
5. Pemulihan yang mencakup penyembuhan mental dan pembangunan kembali
infrastruktur.
Semua tahap ini saling terkait dalam sebuah siklus sehingga satu tahap tidak akan efektif
tanpa kehadiaran yang lainnya (Miththapala, 2008). Dengan kata lain, tahapan sebelum
terjadi bencana yaitu pencegahan, mitigasi dan kesiapsiagaan sama pentingnya dengan respon
dan pemulihan.
BAB III
HASIL TEMUAN

3.1 Kearifan Lokal Masyarakat Sunda Terkait Kehidupan Berkelanjutan


Sisa-sisa kebudayaan masyarakat Sunda tradisional masih dapat dilihat pada kampung-
kampung adat yang tersebar di berbagai pelosok Jawa Barat. Kampung-kampung tersebut
melestarikan cara hidup yang telah berlanjut secara turun-temurun dan hampir tidak berubah
selama ribuan tahun, seperti kampung Naga, kampung Dukuh dan masyarakat Kanekes. Cara
hidup yang telah berhasil bertahan hingga ribuan tahun mengisyaratkan adanya praktek-
praktek kehidupan berkelanjutan dalam komunitas kampung adat tersebut.
Salah satu praktek hidup berkelanjutan yang tampak paling signifikan terdapat pada pola
dan pendekatan yang diterapkan dalam usaha-usaha untuk menghasilkan pangan. Pada
masyarakat Kanekes, produksi pangan dilakukan dengan cara berhuma dengan sistem ladang
berpindah yang berpola “dua taon katilu cul”, atau menggarap suatu petak lahan selama dua
tahun kemudian meninggalkannya pada tahun ketiga untuk berpindah ke lahan lain (Ekadjati,
2005). Siklus perpindahan lahan yang berulang setiap 7-9 tahun ini menunjukkan kesadaran
masyarakat Kanekes mengenai siklus pemulihan alam. Dalam ilmu ekologi, diketahui bahwa
sistem pertanian monokultur akan menghabiskan zat-zat hara dalam tanah sehingga jika
dilakukan terus-menerus, hasil pertanian akan menurun baik secara kualitas maupun
kuantitas. Meninggalkan lahan yang telah dipakai berarti bahwa tanah akan memulihkan
kesuburannya melalui proses suksesi ekologi (lihat gambar), sehingga praktek ladang
berpindah ini melestarikan kesuburan tanah sekaligus keanekaragaman hayati pada lahan
mereka.

Proses suksesi ekologi


Dalam praktek penggarapan lahan untuk tanaman pangan, pelestarian alam juga menjadi
pusat perhatian dan diatur secata ketat. Sebagai contoh, dalam adat masyarakat Kanekes
pembukaan ladang harus dilakukan dengan kujang (golok yang kecil), ketika membuka lahan
tidak diperbolehkan menebang pohon, dan ladang tidak dicangkul sehingga mencegah erosi.
Pembasmian hama dilakukan secara alami dan ramah lingkungan, yaitu dengan
menggunakan pestisida alami campuran empat macam daun. Diketahui pula bahwa salah satu
alat musik khas Sunda, yaitu karinding, memiliki frekuensi suara yang dapat mengusir hama
padi. Fakta tersebut menunjukkan bahwa kebudayaan Sunda tradisional sebenarnya sangatlah
maju dengan adanya teknologi yang ramah lingkungan.
Selain berhuma, produksi pangan pada masyarakat Sunda tradisional juga meliputi
berburu dan menangkap ikan. Dalam berburu dan menangkap ikan, masyarakat Sunda
memiliki aturan ketat yang dikaitkan dengan segi mistis/spiritualitas, misalnya masa berburu
hanya diperbolehkan tiga kali dalam setahun, juga ada pembatasan jenis serta jumlah buruan
yang boleh ditangkap (Ekadjati, 2005).
Konsekuensi dari pengelolaan produksi pangan adalah: jumlah pangan yang dihasilkan
tidak dapat menyokong populasi besar. Karena itu beberapa kampung adat memiliki aturan
pembatasan jumlah penduduk seperti 40 umpi (keluarga) pada suku Baduy Dalam atau 108
rumah di kampung Naga. Pengaturan ini menunjukkan pemahaman yang mendalam
mengenai keterbatasan carrying capacity (daya dukung) alam; cara ini juga memastikan
setiap individu dalam komunitas dapat memperoleh kesejahteraan secara merata, karena tidak
perlu ada kompetisi atas sumber daya. Dengan demikian praktek kehidupan berkelanjutan
tidak hanya mencakup aspek kelestarian alam, tetapi juga berdampak positif pada aspek
sosial-ekonomi penduduk kampung adat.

Daya dukung alam yang terbatas


Etika lingkungan pada masyarakat Sunda serupa dengan masyarakat tradisional pada
umumnya, yaitu terintegrasi dalam bentuk kontrol sosial dan praktek spiritual. Sebagai
contoh, beberapa kampung adat (Kanekes, Dukuh) memiliki wilayah suci atau terlarang
berupa hutan atau sumber air. Pada dasarnya, tabu terhadap wilayah hutan adalah bentuk
konservasi intuitif terhadap sumber daya yang bernilai ekologi tinggi, karena umumnya hutan
yang dilindungi merupakan hutan inti yang berfungsi menyerap air serta memiliki
keanekaragaman hayati paling tinggi. Bentuk kontrol sosial lain misalnya “pacaduan” atau
larangan yang dikatakan sebagai “amanat karuhun” atau nasihat dari nenek moyang
(Kampung Dukuh). Selain itu ada pula ajaran Sunda Wiwitan yang menganjurkan untuk
“jaga rang hees tamba tunduh, nginum twak tamba hanaang, nyatu tamba ponyo, ulah urang
kajongjonan” (tidur sekadar tidak mengantuk, minum sekadar tidak haus, makan sekadar
tidak lapar, jangan berlebihan) yang tercantum dalam kitab Kanjeng Siksa Kanda Ng
Karesian.
Dalam kehidupan sehari-hari, praktek kehidupan berkelanjutan yang penting untuk dicatat
adalah pengoptimalan bahan-bahan lokal sebagai sumber sandang, pangan dan papan. Pada
masyarakat Sunda dikenal istilah “dari lahir sampai tua hidup dengan bambu", yang
mencerminkan nilai penting bahan lokal ini dalam kehidupan masyarakat Sunda. Dalam
kehidupan sehari-hari orang Sunda tradisional, kegunaan bambu sangat beraneka ragam
mulai dari pemotong ari-ari bayi, alat permainan, alat masak dan makan, bahan pembangun
rumah, perabotan, pembungkus makanan, bahkan untuk dimakan (Adhi, 2009). Demikian
pula bahan-bahan alami lokal digunakan dalam pengobatan, kesenian, serta ritual-ritual yang
terkait dengan kepercayaan masyarakat Sunda.
Selain tercermin pada kehidupan sehari-hari, produk-produk budaya dan seni masyarakat
Sunda tradisional juga menunjukkan jejak pola pikir yang berkelanjutan. Pemahaman tentang
siklus alam serta penghormatan yang tinggi terhadap alam tampak pada legenda Sangkuriang
(salah satu tafsir legenda ini adalah cerita tentang siklus air seperti dalam Kunto, 1981),
pantun Sulanjana (kisah tentang asal-usul padi), juga berbagai ritual untuk memuja padi dan
merawat ladang seperti upacara Kawalu di Kanekes yang tampak pada gambar di bawah ini.
3.2 Kearifan Lokal Masyarakat Sunda Terkait Pengelolaan Bencana
Kearifan lokal masyarakat Sunda terkait pengelolaan bencana mulai mendapatkan
perhatian pada peristiwa gempa Jawa Barat pada tanggal 2 September 2009 (lihat
http://www.iwanfals.co.id/news, http://berita.liputan6.com/daerah/200909/), karena dalam
gempa tersebut kerusakan pada rumah-rumah modern sangat besar dan parah, sedangkan
rumah di kampung-kampung adat (Kanekes, Kampung Naga, Kampung Dukuh) relatif tidak
terkena dampak. Hal tersebut dikarenakan konstruksi rumah adat pada umumnya berbahan
kayu/bambu yang lebih lentur dan ringan daripada bata/beton, sambungan antar kolomnya
hanya diikat/dipasak (sistem paseuk), begitu pula antara fondasi dan bagian atas rumah
terpisah, atau rumah dibangun sebagai rumah panggung. Karakteristik struktur semacam ini
ternyata memberikan kelenturan pada seluruh bangunan sehingga dapat bertahan pada saat
gempa. Kearifan tersebut merupakan kontribusi penting untuk pengelolaan bencana,
khususnya dalam hal mitigasi infrastruktur atau pembangunan rumah tahan gempa yang
berbiaya rendah.
Analisis terhadap tata ruang kampung adat menunjukkan, bentuk pengaturan rumah dan
jalan mempermudah proses evakuasi ketika terjadi bencana. Sebagai contoh di kampung
Naga, rumah-rumah dibangun berjejer searah menghadap jalan utama, yang salah satu
ujungnya menuju ke lapangan balai desa dan ujung lainnya menuju keluar desa. Dengan tata
ruang seperti ini, jika terjadi bencana seperti kebakaran atau gempa, evakuasi penduduk dapat
dilakukan dengan cepat dan tempat yang aman lebih mudah dicapai. Bentuk tata ruang ini
pun merupakan kearifan yang dapat diadaptasi dalam mitigasi untuk merancang tata ruang
tanggap bencana.
Dalam hal kesiapsiagaan bencana, dunia modern juga dapat belajar dari kearifan
masyarakat Sunda tradisional. Dalam komunitas-komunitas masyarakat Sunda dikenal
mekanisme alarm yang sederhana namun efektif dalam bentuk bunyi-bunyian. Berbagai jenis
sumber bunyi dan kode suara mewakili pesan-pesan yang berbeda, misalnya bunyi alat musik
“bareng” dan “goong” merupakan pertanda untuk berkumpul. Sedangkan bunyi kentongan
memiliki berbagai makna dari pemberitahuan kematian, memanggil pamong desa, hingga
peringatan tentang adanya musibah, tergantung cara memukul kentongan tersebut (Ekadjati,
2005). Dengan demikian ketika terjadi bencana, proses pengorganisasian penduduk dapat
segera dilakukan. Dalam komunitas-komunitas modern, sistem komunikasi semacam ini
semakin berkurang, atau digantikan dengan peralatan elektronik yang tak berfungsi di saat
bencana. Mekanisme komunikasi tradisional ini dapat kembali diperkenalkan di dunia
modern untuk peningkatan kesiapsiagaan terhadap bencana.
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan teori dan hasil temuan, diperoleh kesimpulan dan saran sebagai berikut:
1. Praktek kehidupan berkelanjutan pada masyarakat Sunda merupakan suatu tata cara
hidup holistik yang meliputi aspek kognitif (pemahaman mengenai sistem dan cara
kerja alam), afektif (rasa hormat dan apresiasi yang tinggi terhadap alam), dan
psikomotorik (keterampilan untuk hidup selaras dengan alam).
2. Kehidupan berkelanjutan juga menjadi bagian dari spiritualitas masyarakat, tergambar
dalam bentuk kepercayaan serta ritual adat.
3. Aspek-aspek kehidupan berkelanjutan pada masyarakat Sunda telah terintegrasi dalam
pola pengelolaan sumber daya alam, gaya hidup, etika sosial dan berbagai produk
budaya mereka. Kearifan ini dapat menjadi acuan penting bagi dunia modern untuk
mengembangkan strategi hidup yang lebih berkelanjutan.
4. Praktek pengelolaan bencana telah dilakukan oleh masyarakat Sunda secara intuitif,
mencakup segi pencegahan, mitigasi dan kesiapsiagaan dalam tingkatan komunitas.
5. Mekanisme alarm, tata ruang dan infrastruktur bangunan tradisional Sunda
merupakan masukan penting untuk dipelajari serta dikembangkan dalam pengelolaan
bencana di dunia modern.
DAFTAR PUSTAKA ACUAN

Acuan Buku dan Artikel


Capra, F. (1997) Jaring-jaring Kehidupan. Yogyakarta: Penerbit Bentang.
Ekadjati, E.S. (2005) Kebudayaan Sunda: Suatu Pendekatan Sejarah. Jakarta: Pustaka Jaya.
Kunto, H. (1986) Semerbak Bunga di Bandung Raya. Bandung: PT Granesia.
Miththapala, S. (2008) Pengintegrasian Perlindungan Lingkungan dalam Pengelolaan
Bencana. Colombo: International Union for Conservation of Nature and Natural
Resources.
WCED – World Commission of Environment and Development (1987) Our Common
Future: Report of World Commission in Environment and Development.

Acuan Lain-lain
Film: An Inconvenient Truth (Guggenheim, 2006)
Slide: ESD Brief Overview (Steele, 2007)
Slide: Kompas Keberlanjutan (YPBB, 2008)
Slide: Pengelolaan Bencana (Teknik Geofisika ITB, 2009)
Website: berita.liputan6.com/daerah/200909
Website: id.wikipedia.org/sunda
Website: wikipedia.org/wiki/environmentalism
Website: wikipedia.org/wiki/list_of_environmental_organizations
Website: www.atkisson.com
Website: http://www.iwanfals.co.id/news

You might also like