You are on page 1of 14

Sejarah DPR mulai jaman penjajahan s.d.

KNIP :

1. Volksraad
2. Masa perjuangan Kemerdekaan
3. Dibentuknya Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP)

Secara ringkas dapat dijelaskan sebagai berikut:

Pada masa penjajahan Belanda, terdapat lembaga semacam parlemen bentukan Penjajah
Belanda yang dinamakan Volksraad.Pada tanggal 8 Maret 1942 Belanda mengakhiri masa
penjajahan selama 350 tahun di Indonesia.Pergantian penjajahan dari Belanda kepada Jepang
mengakibatkan keberadaan Volksraad secara otomatis tidak diakui lagi, dan bangsa Indonesia
memasuki masa perjuangan Kemerdekaan.

Sejarah DPR RI dimulai sejak dibentuknya Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) oleh
Presiden pada tanggal 29 Agustus 1945 (12 hari setelah Proklamasi Kemerdekaan Republik
Indonesia) di Gedung Kesenian, Pasar Baru Jakarta. Tanggal peresmian KNIP (29 Agustus
1945) dijadikan sebagai TANGGAL dan HARI LAHIR DPR RI. Dalam Sidang KNIP yang pertama
telah menyusun pimpinan sebagai berikut:

Ketua Mr. Kasman Singodimedjo Wakil Ketua I Mr. Sutardjo Kartohadikusumo Wakil Ketua II
Mr. J. Latuharhary Wakil Ketua III Adam Malik

Periode Volksraad (Jaman Penjajahan Belanda)

Pasal 53 sampai dengan Pasal 80 Bagian Kedua Indische Staatsregeling, wet op de


Staatsinrichting van Nederlandsh-Indie (Indische Staatsrgeling) yang ditetapkan pada tanggal
16 Desember 1916 serta diumumkan dalam Staatsblat Hindia No. 114 Tahun 1916 dan berlaku
pada tangal 1 Agustus 1917 memuat hal-hal yang berkenaan dengan kekuasaan legislatif, yaitu
Volksraad (Dewan Rakyat).
Berdasarkan konstitusi Indische Staatsrgeling buatan Belanda itulah, pada tanggal 18 Mei 1918
Gubernur Jenderal Graaf van Limburg Stirum atas nama pemerintah penjajah Belanda
membentuk dan melantik Volksraad (Dewan Rakyat).

Keanggotaan Volksraad:

Tahun 1918:

Ketua 1 orang (diangkat oleh Raja) Anggota 38 orang (20 orang dari golongan Bumi Putra)

Tahun 1927:

Ketua 1 orang (diangkat oleh Raja) Anggota 55 orang (25 orang dari golongan Bumi Putra)

Tahun 1930:

Ketua 1 orang (diangkat oleh Raja) Anggota 60 orang (30 orang dari golongan Bumi Putra)

Volksraad mempunyai hak yang tidak sama dengan parlemen, karena volksraad tidak
mempunyai hak angket dan hak menentukan anggaran belanja negara.

Kaum Nasionalis moderat antara lain Hohammad Husni Thamrin, dll. menggunakan Volksraad
sebagai jalan untuk mencapai cita-cita Indonesia Merdeka memalui jalan Parlemen. Usul-usul
anggota seperti Petisi Sutardjo Tahun 1935 yang berisi "permohonan kepada Pemerintah
Belanda agar diadakan pembicaraan bersama antara Indonesia dan Berlanda dalam suatu
perundingan mengenai nasib Indonesia di masa yang akan datang", atau Gerakan Indonesia
Berparlemen dari Gabungan Politik Indonesia yang berisi keinginan adanya parlemen yang
sesungguhnya sebagai suatu tahap untuk menuju Indonesia Merdeka, ternyata ditolak
pemerintah Hindia Belanda.

Pada Awal perang Dunia II Anggota-anggota Volksraad mengusulkan dibentuknya milisi pribumi
untuk membantu Pemerintah menghadapi musuh dari luar, usul ini juga ditolak. Tanggal 8
Desember 1941 Jepang melancarkan serangan ke Asia.

Tanggal 11 Januari 1942 Tentara Jepang pertama kali menginjak bumi Indonesia yaitu
mendarat di Tarakan (kalimantan Timur). Hindia Belanda tidak mampu melawan dan menyerah
kepada Jepang pada tanggal 8 Maret 1942, dan Belanda mengakhiri masa penjajahan selama
350 tahun di Indonesia. Pergantian penjajahan dari Belanda kepada Jepang mengakibatkan
keberadaan Volksraad secara otomatis tidak diakui lagi.

Jaman Kemerdekaan

Rakyat Indonesia pada awalnya gembira menyambut tentara Dai Nippon (Jepang), yang
dianggap sebagai saudara tua yang membebaskan Indonesia dari belenggu penjajahan. Namun
pemerintah militer Jepang tidak berbeda dengan pemerintahan Hindia Belanda.

Semua kegiatan politik dilarang. Pemimpin-pemimpin yang bersedia bekerjasama, berusaha


menggunakan gerakan rakyat bentukan Jepang, seperti Tiga-A (Nippon cahaya Asia, Pelindung
Asia, dan Pemimpin Asia) atau PUTERA (Pusat Tenaga Rakyat), untuk membangunkan rakyat
dan menanamkan cita-cita kemerdekaan dibalik punggung pemerintah militer Jepang.

Tahun 1943, dibentuk Tjuo Sangi-in, sebuah badan perwakilan yang hanya bertugas menjawab
pertanyaan Saiko Sikikan, penguasa militer tertinggi, mengenai hal-hal yang menyangkut usaha
memenangkan perang Asia Timur Raya. Jelas bahwa Tjuo Sangi-in bukan Badan Perwakilan
apalagi Parlemen yang mewakili bangsa Indonesia.

Tanggal 14 Agustus 1945 Jepang dibom atom oleh "Serikat" dan Uni Soviet menyatakan perang
terhadap Jepang. Dengan demikian Jepang akan kalah dalam waktu singkat, sehingga
Proklamasi harus segera dilaksanakan.

Tanggal 16 Agustus 1945, tokoh-tokoh pemuda bersepakat menjauhkan Sukarno-Hatta ke luar


kota (Rengasdengklok Krawang) dengan tujuan menjauhkan dari pengaruh Jepang yang
berkedok menjanjikan kemerdekaan, dan didesak Sukarno-Hatta agar segera
memproklamasikan kemerdekaan Indonesia.

Setelah berunding selama satu malam di rumah Laksamana Maeda,maka pada tanggal 17
Agustus 1945 Soekarno-Hatta atas nama Bangsa Indonesia membacakan Proklamasi
Kemerdekaan di halaman rumahnya Pengangsaan Timur 56, Jakarta.

Periode KNIP (29 Agustus 1945 s/d Pebruari 1950)

Sehari setelah Proklamasi Kemerdekaan, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia menetapkan


Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia, yang kita kenal sebagai Undang-undang
Dasar 1945. Maka mulai saat ini, penyelenggara negara didasarkan pada ketentuan-ketentuan
menurut Undang-undang Dasar 1945.

Sesuai dengan ketentuan dalam Aturan Peralihan, tanggal 29 Agustus 1945, dibentuk Komite
Nasional Indonesia Pusat atau KNIP beranggotakan 137 orang. Komite Nasional Pusat ini diakui
sebagai cikal bakal badan Legislatif di Indonesia, dan tanggal pembentukan KNIP yaitu 29
Agustus 1945 diresmikan sebagai hari jadi DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK
INDONESIA.

Pimpinan KNIP:
Ketua Mr. Kasman Singodimedjo Wakil Ketua I Mr. Sutardjo Kartohadikusumo Wakil Ketua II
Mr. J. Latuharhary Wakil Ketua III Adam Malik

Tanggal 10 Nopember 1945 terjadi pertempuran di Surabaya yang menimbulkan banyak korban
di pihak bangsa Indonesia. Sehubungan dengan itu KNIP dalam Sidang Pleno ke-3 tanggal 27
Nopember 1945 mengeluarkan resolusi yang menyatakan protes yang sekeras-kerasnya kepada
Pucuk Pimpinan Tentara Inggris di Indonesia atas penyerangan Angkatan Laut, Darat dan
Udara atas rakyat dan daerah-daerah Indonesia.

KNIP telah mengadakan sidang di Kota Solo pada tahun 1946, di Malang pada tahun 1947, dan
Yogyakarta tahun 1949.

Perjuangan mempertahankan kemerdekaan dilaksanakan serentak di medan-perang dan di


meja perundingan. Dinamika revolusi ini juga dicerminkan dalam sidang-sidang KNIP, antara
pendukung pemerintah dan golongan keras yang menentang perundingan.

Republik Indonesia dan Kerajaan Belanda telah dua kali menandatangani perjanjian, yaitu
Linggarjati dan Renville. Tetapi semua persetujuan itu dilanggar oleh Belanda, dengan
melancarkan agresi militer ke daerah Republik.

 Periode DPR

1. Komite Nasional Indonesia Pusat 29Aug 1945 - 15 Feb 1950

2.  DPR dan Senat  RIS 15 Feb 1950 - 16 Aug 1950

3.  DPRS    16 Aug 1950 - 26 Mar 1956

4.  DPR hasil Pemilu I 26 Mar 1956 - 22 Jul 1959

5.  DPR setelah Dekrit Presiden  22 Jul 1959 - 26 Jun 1960

6.  DPR GR  26 Jun 1960 - 15 Nov 1965

7.  DPR GR minus PKI 15 Nov 1965 - 19 Nov 1966

8.  DPR GR Orde Baru  19 Nov 1966 - 28 Oct 1971

9.  DPR hasil pemilu 2     28 Oct 1971 - 01 Oct 1977

10. DPR hasil pemilu 3     01 Oct 1977 - 01 Oct 1982

11. DPR hasil pemilu 4     01 Oct 1982 - 01 Oct 1987

12. DPR hasil pemilu 5     01 Oct 1987 - 01 Oct 1992


13. DPR hasil pemilu 6     01 Oct 1992 - 01 Oct 1997

14. DPR hasil pemilu7     01 Oct 1997 - 01 Oct 1999

15. DPR hasil pemilu 8     01 Oct 1999 - 01 Oct 2004

16. DPR hasil pemilu 9     01 Oct 2004 - 01 Oct 2009

17. DPR hasil pemilu 10     01 Oct 2009 - 01 Oct 2014

Dewan Perwakilan Rakyat (disingkat DPR) adalah lembaga tinggi negara dalam sistem
ketatanegaraan Indonesia yang merupakan lembaga perwakilan rakyat dan memegang
kekuasaan membentuk Undang-Undang. DPR memiliki fungsi legislasi, anggaran, dan
pengawasan.

DPR terdiri atas anggota partai politik peserta pemilihan umum, yang dipilih berdasarkan hasil
Pemilihan Umum. Anggota DPR periode 2009–2014 berjumlah 560 orang. Masa jabatan
anggota DPR adalah 5 tahun, dan berakhir bersamaan pada saat anggota DPR yang baru
mengucapkan sumpah/janji.

Tugas dan wewenang

Tugas dan wewenang DPR antara lain:

 Membentuk Undang-Undang yang dibahas dengan Presiden untuk mendapat


persetujuan bersama
 Membahas dan memberikan persetujuan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang
 Menerima dan membahas usulan RUU yang diajukan DPD yang berkaitan dengan
bidang tertentu dan mengikutsertakannya dalam pembahasan
 Menetapkan APBN bersama Presiden dengan memperhatikan pertimbangan DPD
 Melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan UU, APBN, serta kebijakan
pemerintah
 Memilih anggota Badan Pemeriksa Keuangan dengan memperhatikan pertimbangan
DPD
 Membahas dan menindaklanjuti hasil pemeriksaan atas pertanggungjawaban keuangan
negara yang disampaikan oleh Badan Pemeriksa Keuangan;
 Memberikan persetujuan kepada Presiden atas pengangkatan dan pemberhentian
anggota Komisi Yudisial
 Memberikan persetujuan calon hakim agung yang diusulkan Komisi Yudisial untuk
ditetapkan sebagai hakim agung oleh Presiden
 Memilih tiga orang calon anggota hakim konstitusi dan mengajukannya kepada Presiden
untuk ditetapkan;
 Memberikan pertimbangan kepada Presiden untuk mengangkat duta, menerima
penempatan duta negara lain, dan memberikan pertimbangan dalam pemberian amnesti
dan abolisi
 Memberikan persetujuan kepada Presiden untuk menyatakan perang, membuat
perdamaian, dan perjanjian dengan negara lain
 Menyerap, menghimpun, menampung dan menindaklanjuti aspirasi masyarakat
 Memperhatikan pertimbangan DPD atas rancangan undang-undang APBN dan
rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama;
 Membahas dan menindaklanjuti hasil pengawasan yang diajukan oleh DPD terhadap
pelaksanaan undang-undang mengenai otonomi daerah, pembentukan, pemekaran dan
penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah, sumber daya alam dan sumber
daya ekonomi lainnya, pelaksanaan APBN, pajak, pendidikan, dan agama.

Alat kelengkapan

Alat kelengkapan DPR terdiri atas: Pimpinan, Komisi, Badan Musyawarah, Badan Legislasi,
Badan Anggaran, Badan Urusan Rumah Tangga, Badan Kerjasama Antar-Parlemen, Panitia
Anggaran, dan alat kelengkapan lain yang diperlukan.

Pimpinan

Kedudukan Pimpinan dalam DPR dapat dikatakan sebagai Juru Bicara Parlemen. Fungsi
pokoknya secara umum adalah mewakili DPR secara simbolis dalam berhubungan dengan
lembaga eksekutif, lembaga-lembaga tinggi negara lain, dan lembaga-lembaga internasional,
serta memimpin jalannya administratif kelembagaan secara umum, termasuk memimpin rapat-
rapat paripurna dan menetapkan sanksi atau rehabilitasi.

Pimpinan DPR bersifat kolektif kolegial, terdiri dari seorang ketua dan 4 orang wakil ketua yang
dipilih dari dan oleh Anggota DPR dalam Sidang Paripurna DPR.

Komisi

Komisi adalah unit kerja utama di dalam DPR. Hampir seluruh aktivitas yang berkaitan dengan
fungsi-fungsi DPR, substansinya dikerjakan di dalam komisi. Setiap anggota DPR (kecuali
pimpinan) harus menjadi anggota salah satu komisi. Pada umumnya, pengisian keanggotan
komisi terkait erat dengan latar belakang keilmuan atau penguasaan anggota terhadap masalah
dan substansi pokok yang digeluti oleh komisi.

Pada periode 2009-2014, DPR mempunyai 11 komisi dengan ruang lingkup tugas dan pasangan
kerja masing-masing:

 Komisi I, membidangi pertahanan, luar negeri, dan informasi.


 Komisi II, membidangi pemerintahan dalam negeri, otonomi daerah, aparatur negara,
dan agraria.
 Komisi III, membidangi hukum dan perundang-undangan, hak asasi manusia, dan
keamanan.
 Komisi IV, membidangi pertanian, perkebunan, kehutanan, kelautan, perikanan, dan
pangan.
 Komisi V, membidangi perhubungan, telekomunikasi, pekerjaan umum, perumahan
rakyat, pembangunan pedesaan dan kawasan tertinggal.
 Komisi VI, membidangi perdagangan, perindustrian, investasi, koperasi, usaha kecil dan
menengah), dan badan usaha milik negara.
 Komisi VII, membidangi energi, sumber daya mineral, riset dan teknologi, dan
lingkungan.
 Komisi VIII, membidangi agama, sosial dan pemberdayaan perempuan.
 Komisi IX, membidangi kependudukan, kesehatan, tenaga kerja dan transmigrasi.
 Komisi X, membidangi pendidikan, pemuda, olahraga, pariwisata, kesenian, dan
kebudayaan.

Komisi XI, membidangi keuangan, perencanaan pembangunan nasional, perbankan, dan


lembaga keuangan bukan bank.

Badan Musyawarah

Bamus merupakan miniatur DPR. Sebagian besar keputusan penting DPR digodok terlebih
dahulu di Bamus, sebelum dibahas dalam Rapat Paripurna sebagai forum tertinggi di DPR yang
dapat mengubah putusan Bamus. Bamus antara lain memiliki tugas menetapkan acara DPR,
termasuk mengenai perkiraan waktu penyelesaian suatu masalah, serta jangka waktu
penyelesaian dan prioritas RUU).

Pembentukan Bamus sendiri dilakukan oleh DPR melalui Rapat Paripurna pada permulaan masa
keanggotaan DPR. Anggota Bamus berjumlah sebanyak-banyaknya sepersepuluh dari anggota
DPR, berdasarkan perimbangan jumlah anggota tiap-tiap Fraksi. Pimpinan Bamus langsung
dipegang oleh Pimpinan DPR.

Badan Anggaran

Badan Anggaran DPR dibentuk oleh DPR dan merupakan alat kelengkapan DPR yang bersifat
tetap yang memiliki tugas pokok melakukan pembahasan Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara. Susunan keanggotaan Badan Anggaran ditetapkan pada permulaan masa keanggotaan
DPR. Susunan keanggotaan Badan Anggaran terdiri atas anggota-anggota seluruh unsur Komisi
dengan memperhatikan perimbangan jumlah anggota Fraksi.

Badan Kehormatan

Badan Kehormatan (BK) DPR merupakan alat kelengkapan paling muda saat ini di DPR. BK
merupakan salah satu alat kelengkapan yang bersifat sementara. Pembentukan DK di DPR
merupakan respon atas sorotan publik terhadap kinerja sebagian anggota dewan yang buruk,
misalnya dalam hal rendahnya tingkat kehadiran dan konflik kepentingan.

BK DPR melakukan penelitian dan pemeriksaan terhadap dugaan pelanggaran yang dilakukan
oleh Anggota DPR, dan pada akhirnya memberikan laporan akhir berupa rekomendasi kepada
Pimpinan DPR sebagai bahan pertimbangan untuk menjatuhkan sanksi atau merehabilitasi
nama baik Anggota. Rapat-rapat Dewan Kehormatan bersifat tertutup. Tugas Dewan
Kehormatan dianggap selesai setelah menyampaikan rekomendasi kepada Pimpinan DPR.

Badan Legislasi

Badan Legislasi (Baleg) merupakan alat kelengkapan DPR yang lahir pasca Perubahan Pertama
UUD 1945, dan dibentuk pada tahun 2000. Tugas pokok Baleg antara lain: merencanakan dan
menyusun program serta urutan prioritas pembahasan RUU untuk satu masa keanggotaan DPR
dan setiap tahun anggaran. Baleg juga melakukan evaluasi dan penyempurnaan tata tertib DPR
dan kode etik anggota DPR.

Badan Legislasi dibentuk DPR dalam Rapat paripurna, dan susunan keanggotaannya ditetapkan
pada permulaan masa keanggotaan DPR berdasarkan perimbangan jumlah anggota tiap-tiap
Fraksi. Keanggotaan Badan Legislasi tidak dapat dirangkap dengan keanggotaan Pimpinan
Komisi, keanggotaan Badan Urusan Rumah Tangga (BURT), dan keanggotaan Badan Kerjasama
Antar Parlemen (BKSAP).

Badan Urusan Rumah Tangga

Badan Urusan Rumah Tangga (BURT) DPR bertugas menentukan kebijakan kerumahtanggaan
DPR. Salah satu tugasnya yang berkaitan bidang keuangan/administratif anggota dewan adalah
membantu pimpinan DPR dalam menentukan kebijakan kerumahtanggaan DPR, termasuk
kesejahteraan Anggota dan Pegawai Sekretariat Jenderal DPR berdasarkan hasil rapat Badan
Musyawarah.

Badan Kerja Sama Antar-Parlemen

Badan Kerja Sama Antar-Parlemen, yang selanjutnya disingkat BKSAP, dibentuk oleh DPR dan
merupakan alat kelengkapan DPR yang bersifat tetap. DPR menetapkan susunan dan
keanggotaan BKSAP pada permulaan masa keanggotaan DPR dan permulaan tahun sidang.
Jumlah anggota BKSAP ditetapkan dalam rapat paripurna menurut perimbangan dan
pemerataan jumlah anggota tiap-tiap fraksi pada permulaan masa keanggotaan DPR dan pada
permulaan tahun sidang. Pimpinan BKSAP merupakan satu kesatuan pimpinan yang bersifat
kolektif dan kolegial, yang terdiri atas 1 (satu) orang ketua dan paling banyak 3 (tiga) orang
wakil ketua, yang dipilih dari dan oleh anggota BKSAP berdasarkan prinsip musyawarah untuk
mufakat dan proporsional dengan memperhatikan keterwakilan perempuan menurut
perimbangan jumlah anggota tiap-tiap fraksi.

BKSAP bertugas:

1. membina, mengembangkan, dan meningkatkan hubungan persahabatan dan kerja sama


antara DPR dan parlemen negara lain, baik secara bilateral maupun multilateral, termasuk
organisasi internasional yang menghimpun parlemen dan/atau anggota parlemen negara lain;

2. menerima kunjungan delegasi parlemen negara lain yang menjadi tamu DPR;

3. mengoordinasikan kunjungan kerja alat kelengkapan DPR ke luar negeri; dan

4. memberikan saran atau usul kepada pimpinan DPR tentang masalah kerja sama antar
parlemen

Panitia Khusus

Jika dipandang perlu, DPR (atau alat kelengkapan DPR) dapat membentuk panitia yang bersifat
sementara yang disebut Panitia Khusus (Pansus).
Komposisi keanggotaan Pansus ditetapkan oleh rapat paripurna berdasarkan perimbangan
jumlah anggota tiap-tiap fraksi. Pansus bertugas melaksanakan tugas tertentu yang ditetapkan
oleh rapat paripurna, dan dibubarkan setelah jangka waktu penugasannya berakhir atau karena
tugasnya dinyatakan selesai. Pansus mempertanggungjawabkan kinerjanya untuk selanjutnya
dibahas dalam rapat paripurna.

Badan Akuntabilitas Keuangan Negara

DPR dalam permulaan masa keanggotaan dan permulaan tahun sidang DPR membuat susunan
dan keanggotaan Badan Akuntabilitas Keuangan Negara (BAKN) yang beranggotakan paling
sedikit tujuh orang dan paling banyak sembilan orang atas usul dari fraksi-fraksi DPR yang
selanjutnya akan ditetapkan dalam rapat paripurna dengan tugas untuk penelaahan setiap
temuan hasil pemeriksaan Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK).

Anggota

Kekebalan hukum

Anggota DPR tidak dapat dituntut di hadapan pengadilan karena pernyataan,


pertanyaan/pendapat yang dikemukakan secara lisan ataupun tertulis dalam rapat-rapat DPR,
sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan Tata Tertib dan kode etik masing-masing
lembaga. Ketentuan tersebut tidak berlaku jika anggota yang bersangkutan mengumumkan
materi yang telah disepakati dalam rapat tertutup untuk dirahasiakan atau hal-hal mengenai
pengumuman rahasia negara.

Larangan

Anggota DPR tidak boleh merangkap jabatan sebagai pejabat negara lainnya, hakim pada
badan peradilan, pegawai negeri sipil, anggota TNI/Polri, pegawai pada BUMN/BUMD atau
badan lain yang anggarannya bersumber dari APBN/APBD.

Anggota DPR juga tidak boleh melakukan pekerjaan sebagai pejabat struktural pada lembaga
pendidikan swasta, akuntan publik, konsultan, advokat/pengacara, notaris, dokter praktek dan
pekerjaan lain yang ada hubungannya dengan tugas, wewenang, dan hak sebagai anggota
DPR.

Penyidikan

Jika anggota DPR diduga melakukan perbuatan pidana, pemanggilan, permintaan keterangan,
dan penyidikannya harus mendapat persetujuan tertulis dari Presiden. Ketentuan ini tidak
berlaku apabila anggota DPR melakukan tindak pidana korupsi dan terorisme serta tertangkap
tangan.

Komposisi anggota

Komposisi DPR saat ini adalah komposisi yang berdasarkan Pemilu 2009. Anggota-anggota DPR
yang terpilih berdasarkan Pemilu tersebut mengelompokkan diri kedalam fraksi-fraksi.
Sekretariat Jenderal

Untuk mendukung kelancaran pelaksanaan tugas DPR, dibentuk Sekretariat Jenderal DPR yang
ditetapkan dengan Keputusan Presiden, dan personelnya terdiri atas Pegawai Negeri Sipil.
Sekretariat Jenderal DPR dipimpin seorang Sekretaris Jenderal yang diangkat dan diberhentikan
dengan Keputusan Presiden atas usul Pimpinan DPR.

Untuk meningkatkan kinerja lembaga dan membantu pelaksanaan fungsi dan tugas DPR secara
profesional, dapat diangkat sejumlah pakar/ahli sesuai dengan kebutuhan. Para pakar/ahli
tersebut berada di bawah koordinasi Sekretariat Jenderal DPR.

Sejarah Awal Pembentukan DPD


1. Gagasan Awal pada Sejarah Pembentukan DPD

Dewan Perwakilan Daerah (DPD) lahir pada tanggal 1 Oktober 2004, ketika 128 anggota DPD
yang terpilih untuk pertama kalinya dilantik dan diambil sumpahnya. Pada awal
pembentukannya, masih banyak tantangan yang dihadapi oleh DPD. Tantangan tersebut mulai
dari wewenangnya yang dianggap jauh dari memadai untuk menjadi kamar kedua yang efektif
dalam sebuah parlemen bikameral, sampai dengan persoalan kelembagaannya yang juga jauh
dari memadai. Tantangan-tantangan tersebut timbul terutama karena tidak banyak dukungan
politik yang diberikan kepada lembaga baru ini.

Bila dibandingkan dari segi kelahiran lembaganya, DPD memang jauh lebih muda dari DPR,
karena DPR lahir sejak tahun 1918 (dulu bernama Volksraad). Namun, apabila dilihat dari segi
gagasannya,  keberadaan lembaga seperti DPD, yang mewakili daerah di parlemen nasional,
sesungguhnya sudah terpikirkan dan dapat dilacak sejak sebelum masa kemerdekaan. Dicatat
oleh Indra J. Piliang dalam sebuah buku yang diterbitkan DPD, bahwa pemikiran ini lahir
pertama kali dalam konferensi GAPI pada 31 Januari 1941 (Kelompok DPD di MPR RI, 2006:
15).

Gagasan tersebut terus bergulir, sampai pada masa pendirian Republik ini pun, gagasan untuk
membentuk lembaga perwakilan daerah di parlemen nasional ikut dibahas. Gagsan tersebut
dikemukakan oleh Moh. Yamin dalam rapat perumusan UUD 1945 oleh Badan Penyelidik Usaha-
usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Dikatakannya:

2. Pengaturan Perwakilan Daerah dalam Konstitusi Indonesia

Gagasan-gagasan akan pentingnya keberadaan perwakilan daerah di parlemen, pada awalnya


diakomodasi dalam konstitusi pertama Indonesia, UUD 1945, dengan konsep “utusan daerah” di
dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), yang bersanding dengan “utusan golongan” dan
anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Hal tersebut diatur dalam Pasal 2 UUD 1945, yang
menyatakan bahwa “MPR terdiri atas anggota DPR ditambah dengan utusan-utusan dari
daerah-daerah dan golongan-golongan, menurut aturan yang ditetapkan dengan undang-
undang.” Pengaturan yang longgar dalam UUD 1945 tersebut kemudian diatur lebih lanjut
dalam berbagai peraturan perundang-undangan.
Dalam periode konstitusi berikutnya, UUD Republik Indonesia Serikat (RIS), gagsan tersebut
diwujudkan dalam bentuk Senat Republik Indonesia Serikat yang mewakili negara bagian dan
bekerja bersisian dengan DPR-RIS.

Selanjutnya, dalam UUD Sementara (UUDS) 1950 (Undang-Undang No. 7 Tahun 1950) tetap
mengakomodasi Senat yang sudah ada sebelumnya, selama masa transisi berlangsung. Masa
transisi ini ada karena UUDS 1950, yang dibuat untuk menghentikan federalisme ini, secara
khusus mengamanatkan adanya pemilihan umum (Pemilu) dan pemilihan anggota Konstituante
untuk membuat UUD yang definitif yang akan menjadi landasan bentuk dan pola baru
pemerintahan Indonesia. Karena itulah, penting untuk dicatat, adanya Senat dalam UUDS 1950
hanya diberlakukan selagi Pemilu yang direncanakan belum terlaksana (kemudian terlaksana
pada tahun 1955). Dalam sistem perwakilan UUDS itu sendiri, Senat ditiadakan karena bentuk
negara tidak lagi federal.

Setelah UUD RIS 1949 dan UUDS 1950, Indonesia kembali ke UUD 1945 melalui Dekrit Presiden
5 Juli 1959. Konsekuensinya, “utusan daerah” kembali hadir. Dekrit ini lantas diikuti dengan
dikeluarkannya Penetapan Presiden No. 2 Tahun 1959 tentang Pembentukan MPR Sementara
(MPRS) dan Penetapan Presiden No. 12 Tahun 1959 tentang Susunan MPRS. Penetapan
Presiden No. 12/1959 ini menetapkan bahwa MPRS terdiri dari anggota DPRS (hasil Pemilu
1955) ditambah utusan daerah dan golongan karya. Anggota MPRS tidak dipilih melalui Pemilu,
melainkan melalui penunjukan oleh Soekarno (Jaweng, 2005). Kemudian Soekarno memangkas
fungsi, kedudukan, dan wewenang MPRS melalui Ketetapan MPRS No. 1 Tahun 1960 sehingga
MPRS hanya bisa menetapkan GBHN, tanpa bisa mengubah UUD.

Pada masa pemerintahan Soeharto, skema ini tidak berubah. Utusan daerah sebagai anggota
MPR hanya bekerja sekali dalam lima tahun, untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden, serta
menetapkan GBHN. Tidak ada hal lainnya yang dapat dilakukan oleh utusan daerah selama lima
tahun masa jabatannya. Akibatnya, efektivitasnya sebagai wakil daerah dalam pengambilan
keputusan tingkat nasional dapat dipertanyakan. Bila dibandingkan dengan konsep parlemen
dua kamar (bikameral) yang menjadi rujukan perwakilan daerah, keberadaan utusan daerah ini
berada di luar konteks.

Perkembangan pemikiran yang signifikan kemudian muncul pada pembahasan amandemen


UUD 1945 pada 1999-2002. Perubahan pertama UUD 1945 disahkan pada Sidang Umum MPR
tahun 1999 yang berlangsung pada tanggal 14-21 Oktober 1999 dan perubahan kedua
dilakukan pada Sidang Tahunan MPR yang berlangsung pada tanggal 7-18 Agustus 2000.
Setelah perubahan kedua tersebut, MPR masih memandang perlu untuk melanjutkan ke
perubahan ketiga UUD 1945. Dalam perubahan ketiga inilah muncul gagasan untuk membentuk
parlemen yang menganut sistem bikameral, yang kemudian melahirkan secara legal formal DPD
yang ada sekarang.

3. Proses Lahirnya DPD dalam Pembahasan Amandemen Ketiga UUD 1945

Munculnya gagasan bikameral bermula dari pernyataan resmi Fraksi Utusan Golongan (F-UG)
dalam rapat Badan Pekerja MPR (BP MPR) yang ditugaskan mempersiapkan materi Sidang MPR.
Fraksi UG mengemukakan bahwa keberadaannya tidak diperlukan lagi di MPR karena
merupakan hasil pengangkatan dan bukan pemilihan. Hal ini bertentangan dengan semangat
demokrasi yang menghendaki bekerjanya prinsip perwakilan berdasarkan pemilihan.  Anggota
UG memaparkan dua pilihan yang tersedia. Pertama, konsep awal UUD 1945 yaitu MPR yang
mempersatukan kelompok yang ada dalam masyarakat. Kedua, menerapkan sistem perwakilan
dua kamar dengan memperhatikan prinsip bahwa semua wakil rakyat harus dipilih melalui
Pemilu.

Lalu muncul gagasan untuk lebih meningkatkan peran UD yang perannya terbatas pada
penyusunan GBHN yang hanya dilakukan lima tahun sekali. Dalam suasana inilah, lahir gagasan
untuk melembagakan UD yang lebih mencerminkan representasi wilayah dan bekerja secara
efektif. Tidak hanya sekali dalam lima tahun.

MPR lantas menugaskan Badan Pekerja (BP) MPR untuk melanjutkan proses perubahan
tersebut melalui Ketetapan MPR No. IX/MPR/2000. Persiapan rancangan perubahan UUD 1945
dilakukan dengan menggunakan materi-materi dalam lampiran ketetapan yang merupakan hasil
BP MPR periode 1999-2000. Ketetapan itu juga memberikan batas waktu pembahasan dan
pengesahan perubahan UUD 1945 oleh MPR selambat-lambatnya pada Sidang Tahunan MPR
tahun 2002.

4. DPD dan Sejarah Konsep Bikameral a la Indonesia

Gagasan mengenai sistem perwakilan bikameral di Indonesia yang mengemuka pada


amandemen UUD 1945, tahun 1999-2002, berangkat dari kritik terhadap struktur
ketatanegaraan yang dianut di Indonesia, terutama hubungan antara MPR, DPR, dan Presiden.
Pemikiran mengenai hal ini telah digulirkan jauh sebelum amandemen terhadap pasal mengenai
MPR dilakukan pada tahun 2001, salah satunya dikemukakan oleh PSHK (Pusat Studi Hukum &
Kebijakan Indonesia) pada tahun 2000.

PSHK melakukan penelitian mengenai sistem ketatanegaraan, yang dituangkan dalam bukunya
yang bertajuk “Semua Harus Terwakili: Studi Mengenai Reposisi MPR, DPR dan Lembaga
Kepresidenan di Indonesia” (Jakarta: PSHK, 2000). Studi ini menunjukkan adanya beberapa
persoalan mendasar dalam struktur MPR.

Adapun permasalahan-permasalahan tersebut adalah, Pertama, permasalahan representasi.


Total keanggotaan MPR sebelum amandemen UUD 1945 ditetapkan sebanyak 1000 orang
(sebelumnya 900 orang). Dari jumlah tersebut, terdapat 425 orang (sebelumnya 400 orang)
anggota DPR yang merangkap sebagai anggota MPR (anggota MPR/DPR) dan sisanya
merupakan anggota MPR yang bukan merupakan anggota DPR, yaitu Utusan Daerah (UD) dan
Utusan Golongan (UG). Dengan demikian, ada dua jenis keanggotaan MPR, yaitu: anggota
MPR/DPR dan anggota MPR yang bukan anggota DPR. Belum ada penjelasan yang memadai
tentang struktur MPR tersebut serta alasan mengapa ada lembaga MPR dan DPR yang terpisah.
Alasan yang bisa diperkirakan, menurut Bagir Manan, adalah keanggotaan MPR diperluas
dengan hadirnya utusan daerah dan utusan golongan, di samping anggota DPR itu sendiri.

Lebih jauh lagi, Utusan Golongan dan Utusan Daerah tidak merepresentasikan kelompok
masyarakat yang diwakilinya secara nyata. Utusan Golongan dimaksudkan mewakili kelompok-
kelompok masyarakat yang tidak partisan partai politik. Namun, mekanisme penentuan
“golongan” tidak jelas. Pada kenyataannya, anggota Utusan Golongan berasal dari golongan
cendekiawan hingga bintang film. Pertanyaan retorik muncul: apakah “golongan” yang
dimaksud dirasa belum cukup terwakilkan dalam partai politik?

Masalah representasi juga menyangkut intervensi dan dominasi politik Presiden terhadap
penentuan anggota MPR yang dipilih melalui pengangkatan. Hal ini terefleksikan dalam UU No.
2 Tahun 1985 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD. Proses pengangkatan ini
dilakukan melalui Keputusan Presiden. Anggota utusan daerah pada prakteknya merupakan
hasil pemilihan eksklusif anggota DPRD Provinsi.

Kedua, ada ketidakjelasan sistem perwakilan yang dianut yang menyebabkan tidak berjalannya
mekanisme checks and balances. Peran lembaga legislatif praktis hanya dilaksanakan oleh DPR,
sementara anggota MPR dari utusan daerah dan utusan golongan tidak bisa dikategorikan
sebagai legislatif karena kerjanya yang terbatas setiap lima tahun. Sehingga, berangkat dari
keinginan untuk mengefektifkan utusan daerah, gagasan bikameral kembali dilirik.
Penjelasan sederhananya, dalam sistem perwakilan satu kamar (unikameral), hanya ada satu
dewan yang menjalankan kekuasaan legislatif secara penuh. Sementara dalam sistem
bikameral, ada dua “kamar” dalam parlemen yang bekerja berdampingan. Biasanya, kamar
pertama merepresentasikan jumlah penduduk, seperti yang dapat dilihat pada DPR. Sedangkan
kamar kedua merepresentasikan konstituensi yang berbeda. Pada model Westminster (Inggris),
yang diwakilkan adalah orang-orang terpilih (bangsawan atau golongan tertentu) dan pada
model Amerika Serikat, yang diwakilkan adalah wilayah di dalam negara itu. Dua model inilah
yang dikenal luas, tentu dengan berbagai variannya

Dua model ini lahir dari situasi politik yang berbeda. Model Westminster lahir karena “evolusi”
sistem pemerintahan di Inggris selama berabad-abad. Sehingga pada suatu saat tradisi feodal
yang dimoderenkan membuat para bangsawan dikelompokkan dalam kamar tersendiri dalam
parlemen. Maka anggota kamar kedua biasanya hasil penunjukan, bukan pemilihan. Negara-
negara lain pun, yang umumnya bekas jajahan Inggris (misalnya Kanada), kemudian mengikuti
model ini. Karena sifat feodalistiknya ini, keberadaan House of Lords di Inggris sendiri mulai
dipertanyakan dan sudah ada kampanye agar anggota House of Lords dipilih oleh rakyat. Di sisi
lainnya, model Amerika Serikat lahir karena kebutuhan mengelola -secara ekonomi dan politik-
wilayah yang demikian besar dan masyarakat yang plural dalam suatu negara. Oleh sebab
itulah, model kedua ini menjadi terlihat lebih dekat dengan konsep negara federal. Meski
sebenarnya persoalan “fakta” geopolitik mestinya dipisahkan dengan “disain bentuk negara”
(federal atau kesatuan). 

Terlihat dari uraian di atas, dalam konteks Indonesia, model kedua dianggap lebih relevan,
yaitu suatu parlemen bikameral dengan kamar kedua yang dipilih oleh wilayah-wilayah yang
perlu diwakilkan dalam parlemen. Namun masalahnya, karena seakan identik dengan negara
federal, konsep ini menjadi tidak diterima secara utuh sewaktu proses amandemen konstitusi
berlangsung. “Hantu” federalisme dianggap bisa membawa perpecahan dan pemisahan diri.
Apalagi, seperti dikemukakan pada bagian awal tulisan ini, referensi bikameral dalam konteks
sejarah Indonesia hanyalah Senat RIS pada masa penerapan federalisme, yang dipaksakan
Belanda untuk memecah dan mengokupasi kembali wilayah-wilayah nusantara.

Sehingga menjadi suatu pertanyaan besar dalam konteks ini, yaitu akankah bikameralisme
mendorong federalisme dan kemudian perpecahan (balkanisasi)? Politik, tentu saja bukan
seperti ramalan cuaca yang bisa diperkirakan dengan akurat. Namun satu faktor penting yang
perlu dilihat adalah berubahnya pola hubungan pusat dan daerah sendiri sejak 1999. Perubahan
ini diawali dengan lahirnya Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah.
Lalu Amandemen kedua UUD 1945 pada tahun 2000 mempertegas perubahan ini dengan
menyatakan dalam Pasal 18 UUD NRI 1945 bahwa “Pemerintahan daerah menjalankan otonomi
seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai
urusan Pemerintah Pusat.”

5. Lemahnya DPD dalam Konteks Perbandingan UU Susduk dan UU 27/2009

Kritik yang sering ditujukan kepada perubahan ketiga UUD adalah lemahnya wewenang DPD.
Sehingga, konsep bikameral tersebut sering dibahasakan sebagai “ weak bicameral” atau “soft
bicameral”. Istilah ini muncul dalam sistem parlemen di Indonesia, karena DPD mempunyai
wewenang yang sangat terbatas dan hanya terkait dengan soal-soal kedaerahan.
Dalam konstitusi ditentukan bahwa DPD hanya “dapat” mengajukan RUU, “ikut membahas”
RUU dan “dapat” melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang-undang, dengan catatan
bahwa kewenangan tersebut hanya terbatas pada undang-undang yang berkaitan dengan
otonomi daerah (Pasal 22D UUD NRI 1945). Wewenang ini kemudian dirinci lebih lanjut dalam
UU No.27 tahun 2009, sebagai pengganti dari UU Susduk.

You might also like