You are on page 1of 5

INTISARI TRADISI HINDU ADALAH WEDA

Idanim daharma pramaanaanyaa.


Vedo'khilo dharma mulam.
Smrtisile ca tadvidam.
Acarascaiva saadhuunaam
Aatmanastustireva ca.

Maksudnya:
Sruti (sabda Tuhan) sumber pertama dari Dharma (agama), kemudian Smrti (Sastra
Veda), Sila (pedoman tingkat laku) Acara (Veda yang telah ditradisikan oleh
masyarakat) dan akhirnya mencapai kepuasan Atman.

SLOKA kitab suci Manawa Dharmasastra yang dikutip ini menunjukkan bagaimana
cara melihat persamaan dan perbedaan penampilan tradisi Hindu dalam kehidupan
beragama baik di tingkat daerah, nasional maupun global. Bentuk luar dari agama
Hindu selalu berbeda-beda antara satu daerah dengan daerah yang lainnya. Apalagi,
tradisi Hindu di antara satu negara dengan tradisi Hindu di negara lain pasti berbeda-
beda. Ini disebabkan keberadaan struktur budaya dan sosial satu daerah dengan daerah
yang lain itu berbeda-beda.

Berdasarkan Sloka di atas, Hindu kalau dilihat dari Veda Sruti, Smrti dan Sila akan
selalu sama. Tetapi kalau sudah sampai di tingkat Acara (tradisi Hindu) dan
Atmanastusti (kepuasan rohani) masing-masing umat akan penuh dengan perbedaan.
Perbedaan itu berupa bentuk luarnya atau kemasan budayanya.

Bagi mereka yang kurang paham dengan sistem dan pengalaman, memandang agama
Hindu di satu daerah dengan daerah lainnya itu berbeda-beda secara total. Bahkan,
para ilmuwan empiris sering membeda-bedakannya secara mutlak bahkan perbedaan
itu dipertentangkan. Seolah-olah agama Hindu di Bali dan di Jawa atau di India
berbeda-beda. Sesungguhnya agama Hindu itu di mana-mana sama.

Persamaan Hindu itu hendaknya dilihat dari sudut esensinya. Semua tradisi Hindu
bersumber dari Weda. Mengapa Hindu itu bentuk luarnya selalu berbeda-beda antara
satu daerah dengan daerah lainnya? Karena sistem penerapannya itu mengajarkan
harus disesuaikan dengan Iksha, Sakti, Desa dan Kala. Dalam penerapannya, tidak
boleh bertentangan dengan Tattwa.

Tattwa itu adalah intisari kebenaran Weda. Pedoman penerapan agama Hindu ini
sudah sering diungkapkan dalam media ini. Karena keberadaan Iksha, Sakti, Desa dan
Kala itu selalu berbeda-beda, di mana pun Hindu selalu menampilkan tradisi yang
berbeda-beda juga.

WEDA, kitab suci agama Hindu, adalah sabda Tuhan yang bersifat supra empiris.
Artinya, diluar pengalaman manusia. Sabda Tuhan tersebut diamalkan manusia secara
individual maupun dalam kehidupan sosial dalam masyarakat. Sabda Tuhan itu
mahasempurna, sedangkan manusia yang mengamalkannya penuh dengan berbagai
keterbatasan atau tidak sempurna. Pengalaman agama dalam kehidupan empiris itu
tentu tidak sesempurna sebagaimana yang disabdakan Tuhan.
Pengamalan Weda tersebut dinyatakan dalam Manawa Dharmasastra II.12 dan 18
dengan istilah Sadacara. Kala Sadacara berasal dari bahasa Sansekerta, dari kata sat
yang artinya kebenaran Weda. Dari kata sat inilah muncul kata satya yang artinya
kebenaran Weda. Sedangkan kata acara artinya kebiasaan yang telah menguat dalam
masyarakat sampai menjadi adat istiadat. Dengan demikian, Satacara dalam bentuk
sandi menjadi Sadacara, artinya tradisi atau adat istiadat berdasarkan Weda.
Umumnya, istilah acara ini artinya adat kebiasaan. Adat istiadat itu adalah kegiatan
serta karya manusia yang telah melembaga dalam masyarakat. Pengamalan kebenaran
Weda sampai mentradisi dalam kehidupan individual maupun dalam kehidupan sosial
dalam suatu masyarakat. Ajaran Weda yang sudah mentradisi inilah yang disebut
dengan Acara dan Manawa Dharmasastra. Inilah sesungguhnya sebagai suatu
kebudayaan. Oleh karena ia berasal dari ajaran Weda, dapatlah disebut kebudayaan
Hindu atau kebudayaan Weda.
Van Peursen dalam bukunya "Strategi Kebudayaan" (1976) menyatakan bahwa
"Kebudayaan itu adalah endapan dari kegiatan dan karya manusia". Berdasarkan
konsep kebudayaan Van Peursen ini, ajaran Weda yang telah mentradisi atau sebagai
suatu endapan karya dan kegiatan manusia penganut Weda ini dapat disebut
kebudayaan Hindu.
Akan Berbeda-beda
Sarasamuscaya 260 juga menyatakan agar ajaran Weda ditradisikan. Proses
mentradisikan ajaran Weda ini dinyatakan dengan istilah Wedabyasa. Maksudnya
agar ajaran Weda itu diwujudkan menjadi tradisi atau kebiasaan hidup dalam
masyarakat. Sarasamuscaya 275 menyatakan dengan istilah "mangabiasa
dharmasadhana". Artinya mentradisikan pengamalan Dharma.
Dari pentradisian pengamalan Dharma atau inti ajaran Weda itulah akan terbentuk
kebudayaan Weda atau kebudayaan Hindu dalam kehidupan empiris untuk Hindu.
Weda sebagai sabda Tuhan yang supra empiris itu tentunya akan berbeda dalam
kehidupan kebudayaan Hindu yang empiris. Artinya, idealisme Weda akan
mengalami lebih dan kurang dalam realita kehidupan penganut Weda (Hindu).
Perbedaan antara idealisme Weda dan realitanya yang ditradisikan oleh umat
penganut Weda akan berbeda-beda antara satu kelompok masyarakat dengan
kelompok masyarakat yang lainnya sesama penganut Weda. Perbedaan itu juga akan
terjadi antara satu zaman dengan zaman yang lainnya. Kebenaran Weda itu adalah
Sanatana Dharma atau kebenaran yang kekal abadi. Sedangkan dalam penerapannya,
Weda itu bersifat nutana, artinya selalu dapat diremajakan sesuai dengan
perkembangan dan kebutuhan zaman dalam artinya yang luas.
Hal ini terjadi karena alam dan manusia ciptaan Tuhan tidak kekal, sedangkan
kebenaran Weda itu kekal. Intisari Weda sebagai jiwa dari tradisi Weda. Demikian
halnya dengan keberadaan kebudayaan Bali sebagai wujud pengalaman ajaran agama
Hindu di Bali. Kebenaran Weda yang kekal abadi itu diterapkan sesuai dengan
keberadaan alam dan manusia Bali. Penerapan ajaran Weda (agama Hindu)
disesuaikan dengan keberadaan alam, manusia dan perubahan zaman atau waktu.
Lima Pertimbangan
Dalam Manawa Dharmasastra VII.10 ada dinyatakan bahwa untuk mensukseskan
pengamalan Dharma (agama Hindu), hendaknya diterapkan berdasarkan lima
pertimbangan yakni Iksha (pandangan masyarakat penganut Weda), Sakti
(kemampuan), Desa (aturan rokhani yang sudah ada), Kala (waktu) dan Tattwa
(kebenaran Weda).
Maksud sloka Manawa Dharmasastra tersebut adalah memberikan konsep untuk
mensukseskan tujuan Dharma (agama Hindu). Artinya, penerapan Dharma itu akan
sukses jika diterapkan berdasarkan pertimbangan seperti yang dinyatakan dalam
Sloka Manawa Dharmasastra. Penerapan Dharma agar sukses jika diterapkan sesuai
dengan pandangan masyarakat (Iksha), kemampuan umat (Sakti), aturan rokhani yang
sudah berlaku (Desa), disesuaikan dengan waktu (Kala).
Yang penting tidak bertentangan dengan kebenaran Weda itu sendiri (Tattwa). Ini
artinya Tattwa kebenaran itu harus diterapkan dengan disesuaikan dengan Iksha,
Sakti, Desa dan Kala. Tujuannya sebagai media mengkemas pengamalan Tattwa.
Demikianlah halnya dengan kebudayaan Bali sebagai wujud penerapan Tattwa agama
Hindu yang didasarkan pada pertimbangan keberadaan Iksha, Sakti, Desa dan Kala-
nya daerah Bali. Dengan kata lain, kebudayaan Bali itu sebagai badan wadagnya
agama Hindu. Sedangkan Tattwa atau kebenaran Weda itu sebagai jiwanya agama
Hindu di Bali.
Dengan adanya lima dasar pengamalan Weda itulah bentuk luar agama Hindu
berbeda-beda di setiap daerah. Itu karena keberadaan Iksha, Sakti, Desa dan Kala dari
daerah satu dengan daerah lainnya berbeda-beda. Hal itulah menyebabkan bentuk luar
kebudayaan Hindu berbeda-beda antara satu daerah dengan daerah lainnya.
Meskipun demikian, intinya tetap sama yaitu kebenaran Weda yang kekal abadi.
Dengan demikian tidaklah tepat mempertentangkan perbedaan kemasan budaya
Hindu yang berbeda-beda antara satu daerah dengan daerah lainnya. Adanya saling
pengaruh mempengaruhi antara budaya Hindu yang berbeda-beda itu tentunya sah-
sah saja. Sepanjang pengaruh-mempengaruhi itu berjalan secara harmonis, wajar dan
berdasarkan kebenaran.
Demikianlah proses terbentuknya kebudayaan Bali yang dijiwai oleh agama Hindu.
Budaya Bali akan ajeg apabila dinamika budaya Bali itu tidak meninggalkan jiwanya
yaitu agama Hindu. Perubahan budaya Bali tidak sampai meninggalkan jiwanya yang
disebut Tattwa.
Kebenaran Weda adalah sesuatu yang menuntun umat manusia semakin dekat dengan
kehendak Tuhan. Bentuk tuntutan menuju jalan Tuhan itu bermacam-macam. Tuhan
menciptakan banyak jalan karena keberadaan umat manusia itu penuh dengan
keanekaragaman. Manusia sangat beraneka ragam, baik kadar intelektualnya, kadar
emosinya maupun kadar spiritualnya. Karena itu tidak mungkin manusia diajak
menempuh hanya satu jalan. Lebih-lebih menyangkut masyarakat keyakinan sebagai
aspek hidup manusia yang terdalam. Keberanekaragaman umat manusia ini
disebabkan oleh keberadaan ruang dan waktu yang terus berputar. Manusia lahir dan
hidup diruang dan waktu yang berbeda-beda. Hal ini menyebabkan manusia hidup di
lingkungan yang berbeda-beda. Berbeda lingkungan alamnya, lingkungan sosialnya
maupun lingkungan rokaninya. Hal itulah menyebabkan terciptanya jalan yang sangat
beraneka ragam menuju jalan Tuhan.

Banyaknya jalan menuju jalan Tuhan itu sudah diajarkan dalam kitab suci Weda.
Tidakkah tepat kalau ada pihak yang mengklaim bahwa bentuk tuntunan ke jalan
Tuhan yang diyakininyalah yang paling benar dan yang lainnya salah. Demikian
jugalah kitab suci Weda yang memuat kebenaran yang kekal dan abadi diwujudkan
dalam berbagai jalan dan tradisi. Umat boleh bebas memilih jalan yang mana pun
yang dipilih asalkan itu jalan menuju jalan Tuhan. Mencela orang lain yang memilih
jalan berbeda dengan diri itu sama dengan mencela jalan Weda. Jangankan mencela
Weda melupakan Weda saja sudah dinyatakan sebagai jalan yang sesat.

Dalam kitab Manawa Dharmasastra V.4 dinyatakan bahwa Sang Hyang Mrtyu (Dewa
Kematian) berhak memperpendek umur para Brahmana kalau melupakan Weda
(anabhyaasena wedanam). Demikian juga kalau menyeleweng dari tradisi Weda
(aacaarasya), teledor melakukan tugas-tugas, memakan makanan yang terlarang.
Semua perbuatan itu akan dapat memperpendek umur para Brahmana.

Bhagawad Gita IV.11 sudah menetapkan petunjuk bahwa jalan yang manapun yang
ditempuh oleh umat manusia sepanjang jalan itu jalan menuju Tuhan, Tuhan pun akan
menerima lewat jalan itu juga. Tuhan berada di mana-mana termasuk di semua jalan
Weda yang ditempuh oleh umat manusia menuju-Nya.

Orang yang mencela jalan yang berbeda dengan jalan yang ditempuhnya disebabkan
oleh kesombongan dan membangga - banggakan jalan yang ditempuhnya dengan
menganggap remeh jalan yang dipilih oleh orang lain. Sombong dan membanggakan
diri disebutkan sebagai sifat dari Asura atau raksasa dalam Bhagawad Gita XVI.4.
Karena itu marilah kita hormati perbedaan cara menempuh jalan menuju jalan Tuhan.
Lebih-lebih pada zaman yang disebut oleh para ilmuwan sebagai zaman post modern.
Ciri utama dari zaman post modern ini adalah keadaan yang serba pluralistis di
berbagai kehidupan. Kita akan stres berat kalau tidak bersikap loyal dan toleran pada
perbedaan cara yang ditempuh oleh sesama manusia dalam melakukan kehidupan ini.
Apalagi dalam memilih cara beragama yang memang sudah dijamin oleh norma
hukum dan norma Agama itu sendiri. Karena banyak pihak yang menginginkan agar
cara yang dipilihnyalah juga dipilih oleh semua orang. Sedangkan pada kenyataannya
hal itu tidak mungkin terjadi. Apalagi pada era post modern ini. Hal tersebutlah yang
akan menimbulkan stress yang dapat memerpendek umur.

Marilah kita bahagia hidup dalam keaneka ragaman budaya. Yang penting harus
dijaga keanekaragaman tersebut membawa pada kemajuan hidup lahir dan batin
berdasarkan kebenaran kitab suci sabda Tuhan.

Sikap inilah yang mungkin dianut oleh leluhur umat Hindu di Jawa dan Bali di masa
lampau. Dari sikap yang bijaksana seperti itulah melahirkan budaya Hindu di Jawa
dan Bali menjadi budaya Hindu yang adi luhung seperti yang kita warisi dewasa ini.
Sikap loyal dan toleran itu menyebabkan Ramayana dan Mahabharata yang asalnya
dari India diterima di Jawa. Demikian juga saat Bali diperintah oleh Raja Udayana
bersama dengan permaisurinya, susastra Jawa Kuna masuk ke Bali. Seperti karya
sastra Ramayana dan Mahabharata yang sudah berbahasa Jawa Kuna dan karya sastra
Jawa kuno lainnya. Demikian juga pengaruh dari Cina, Mesir, Eropa, dan lain-lain
memperkuat dinamika budaya Hindu di Bali. Yang penting tattwa atau kebenaran
Hindu menurut Weda teraplikasikan dalam kehidupan masyarakat luas.

Namun proses keterbukaan dalam menjaga dinamika budaya Hindu di Bali sepertinya
mendapat tantangan dari pihak-pihak yang tidak ingin melanjutkannya. Syukurlah
sikap demikian itu banyak mendapat tantangan dari pihak-pihak yang menginginkan
dinamika budaya Hindu tetap ajeg menjadi wadah pengamalan tattwa agama Hindu
dalam kehidupan sesuai dengan kebutuhan zaman.
SUMBER

WWW.LOVEBLUE.COM
WWW.PARISADA.ORG

You might also like