You are on page 1of 2

Nilai Etika dan Estetika dalam Kebudayaan...

Secara historis perkembangan zaman boleh saja mengalami perubahan yang dahsyatmun, peran
kesenian tidak akan pernah berubah dalam tatanan kehidupan manusia. Sebab, melalui media
kesenian, makna harkat menjadi citra manusia berbudaya semakin jelas dan nyata.

Bagi manusia Indonesia telanjur memiliki meterai sebagai bangsa yang berbudaya.
Semua itu dikarenakan kekayaan dari keragaman kesenian daerah dari Sabang sampai
Merauke yang tidak banyak dimiliki bangsa lain. Namun, dalam sekejap, pandangan
terhadap bangsa kita menjadi ”aneh” di mata dunia. Apalagi dengan mencuatnya
berbagai peristiwa kerusuhan, dan terjadinya pelanggaran HAM yang menonjol makin
memojokkan nilai-nilai kemanusiaan dalam potret kepribadian bangsa.
Padahal, secara substansial bangsa kita dikenal sangat ramah, sopan, santun dan
sangat menghargai perbedaan sebagai aset kekayaan dalam dinamika hidup
keseharian. Transparansi potret perilaku ini adalah cermin yang tak bisa disangkal.
Bahkan, relung kehidupan terhadap nilai-nilai etika, moral dan budaya menjadi bagian
yang tak terpisahkan. Namun, kenyataannya kini semuanya telah tercerabut dan
”nyaris” terlupakan.
Barangkali ada benarnya, dalam potret kehidupan bangsa yang amburadul ini, kita
masih memiliki wadah BKKNI (Badan Koordinasi Kebudayaan Nasional Indonesia)
yang mengubah haluan dalam transformasi sosial, menjadi BKKI (Badan Kerja sama
Kesenian Indonesia) pada Februari lalu. Barangkali dengan baju dan bendera baru ini,
H. Soeparmo yang terpilih sebagai ”bidannya” dapat membawa reformasi struktural dan
sekaligus dapat memobilisasi aktivitas kesenian sebagaimana kebutuhan bangsa kita.
Sebab, salah satu tugas dalam peran berkesenian adalah membawa kemerdekaan dan
kebebasan kreativitas bagi umat manusia sebagai dasar utama.

Tulang Punggung
Suatu dimensi baru, jika dalam pola kebijakan untuk meraih citra sebagai manusia
Indonesia dapat diwujudkan. Untuk hal tersebut, kebijakan menjadi bagian yang
substansial sifatnya. Bukan memberi penekanan pada konsep keorganisasian, sebagai
bendera baru dalam praktik kebebasan. Melainkan, bercermin pada kebutuhan manusia
terhadap kebenaran, dan nilai-nilai keadilan. Sehingga, kesenian dapat menjadi tulang
punggung mempererat kehidupan yang lebih tenang, teduh dan harmonis.
Dalam koridor menjalin kesatuan dan persatuan bangsa, dan mengangkat citra
kehidupan manusia Indonesia di mata dunia, perlu adanya upaya yang tangguh dan
kokoh. Sebab, tanpa upaya tersebut niscaya kita hanya mengenang masa silam dan
mengubur masa depan dari lahirnya sebuah peradaban. Dalam hal ini kita sebagai
bangsa yang dikenal sangat menjunjung tinggi nilai-nilai budaya, tentu tidak akan rela.
Namun demikian, gradasi budaya itu menukik tajam, dan dapat dirasakan sejak
jatuhnya rezim Soeharto. Meskipun, pada rezim kekuasaan Orde Baru bukan berarti
tidak ada sama sekali pelanggaran terhadap nilai-nilai kemanusiaan, justru karena
terselubung dengan rapi maka ”borok” kemerosotan moral itu tidak begitu tampak.
Tetapi, kini semuanya menjadi serba terbuka dan menganga. Siapa pun punya hak dan
kewajiban untuk menjadi ”pelaku” reformasi, tidak sekadar jadi penonton. Itu sebabnya,
tidaklah salah jika dalam memperbaiki kondisi bangsa, kita juga proaktif dalam
menyikapinya.
Tak dapat disangkal, jika kesenian merupakan kebutuhan dasar manusia secara kodrati
dan unsur pokok dalam pembangunan manusia Indonesia. Tanpa kesenian, manusia
akan menjadi kehilangan jati diri dan akal sehat. Sebab, kebutuhan manusia itu bukan
hanya melangsungkan hajat hidup semata, tetapi juga harus mengedepankan nilai-nilai
etika dan estetika. Untuk wujudkan manusia dewasa yang sadar akan arti pentingnya
manusia berbudaya, obat penawar itu barangkali adalah kesenian.
Unsur penciptaan manusia sebagai proses adalah konteks budaya. Dalam hal ini, apa
yang diimpikan Konosuke Matsushita dalam bukunya Pikiran Tentang Manusia menjadi
dasar pijakan kita, jika ingin menjadi manusia seutuhnya. Sebab, pada dasarnya
manusia membawa kebahagiaan dan mengajarkan pergaulan yang baik dan jika perlu
memaafkan sesamanya. Karena, dari sinilah dapat berkembang kesenian,
kesusastraan, musik dan nilai-nilai moral. Sehingga, pikiran manusia menjadi cerah dan
jiwanya menjadi kaya.
Bertalian dengan konteks itu, Soeparmo dalam ceramahnya di depan pengurus daerah
juga mengatakan hal yang sama. Artinya, jika manusia sudah tidak mampu
menjalankan tugas kreativitasnya, maka manusia itu menjadi mandek dan
mengesampingkan nilai-nilai kemanusiaan.

You might also like