You are on page 1of 21

 English

 Home
 Kontak Kami
 Peta Situs

Lebih Adil dan Menenteramkan

Syariah Mandiri

 Layanan 24 Jam
o BSM Net Banking
o BSM Mobile Banking
o BSM ATM
o BSM SMS Banking
o BSM Call Center
o BSM Card
 Consumer Banking
o Pembiayaan
o Produk Dana
o Produk Jasa
o Layanan
 Small & Micro Business
o Fasilitas Pembiayaan Small Business
o Warung Mikro
o BSM Gadai Emas
 Corporate Banking
o Pembiayaan
o Cash Management
o Produk Dana
o Sindikasi
 Treasury & International
o Treasury
o International Banking
 Investor Relation
o Laporan Tahunan
o Laporan Triwulan
o Laporan Bulanan

 Download
 Edukasi Syariah
 GCG
 Info Perusahaan
 Berita
 Jaringan
 Human Capital
 CSR

Consumer Banking

Pembiayaan

 Syariah Mandiri Pembiayaan Konsumer


 BSM Implan
 Pembiayaan Peralatan Kedokteran
 Pembiayaan Edukasi BSM
 Pembiayaan Dana Berputar
 Pembiayaan Kepada Pensiunan
 Pembiayaan Umrah
 Pembiyaaan Kepada Koperasi Karyawan untuk Para Anggotanya
 Pembiayaan Griya BSM
 Pembiayaan Talangan Haji
 BSM Customer Network Financing
 Pembiayaan Griya BSM Optima
 Pembiayaan Griya BSM Bersubsidi
 Pembiayaan Griya BSM DP 0%
 Pembiayaan Kendaraan Bermotor

Produk Dana
Produk Jasa
Layanan

Search

Contoh Perhitungan

Jaringan    ATM Kantor BSM

Provinsi

Kota

Home > Consumer Banking > Produk Jasa


BSM Card

BSM Card merupakan sarana untuk melakukan transaksi penarikan, pembayaran, dan
pemindahbukuan dana pada ATM BSM, ATM Mandiri, jaringan ATM Prima-BCA dan
ATM Bersama, serta ATM Bankcard. BSM Card juga berfungsi sebagai kartu Debit yang
dapat digunakan untuk transaksi belanja di seluruh merchant yang menggunakan EDC Prima-
BCA.
&nbsp:

Ragam Layanan:

 Kemudahan tarik tunai di seluruh jaringan ATM BSM, ATM Mandiri, ATM Prima-BCA, ATM
Bersama dan ATM Bankcard
 Kemudahan berbelanja di lebih dari 20.000 merchant yang menggunakan EDC Prima-BCA
 Pemindahbukuan antar rekening BSM
 Transfer uang antar bank secara real time melalui jaringan ATM Bersama dan Prima-BCA
 Pembayaran tagihan ponsel, Telkom, PLN dan IM2 di ATM BSM
 Pembayaran zakat dan infaq di ATM BSM dan ATM Mandiri
 Layanan informasi saldo dan penggantian PIN.

Peruntukan: Perorangan

Syarat:

 Memiliki rekening Tabungan atau Giro di BSM


 Mengisi formulir kartu ATM.

Untuk proses yang lebih cepat nasabah dapat memperoleh Kartu ATM INSTANT.

Meskipun ATM ini merupakan produk kerjasama dengan bank konvensional, nasabah tidak
perlu cemas akan terkena pengaruh bunga (riba), karena PT Bank Syariah Mandiri telah
mengatur kerjasama dengan PT Bank Mandiri untuk menyediakan dana yang mencukupi dan
tidak mengambil bunga atau jasa giro dari penempatan cadangan dana di PT Bank Mandiri.

PT Bank Syariah Mandiri memberikan fasilitas kemudahan dalam membantu nasabah


mencari lokasi jaringan ATM yang terdekat. Sehingga nasabah dapat melihat lokasi jaringan
ATM yang tersedia di seluruh Indonesia.

 Home
 Layanan 24 Jam
 Consumer Banking
 Small & Micro Business

 Corporate Banking
 Treasury & International
 Investor Relation
 Download
 Edukasi Syariah
 GCG
 Info Perusahaan
 Berita
 Jaringan

Sejarah

Hadir dengan Cita-Cita Membangun Negeri

Nilai-nilai perusahaan yang menjunjung tinggi kemanusiaan dan integritas telah tertanam
kuat pada segenap insan Bank Syariah Mandiri (BSM) sejak awal pendiriannya.

Kehadiran BSM sejak tahun 1999, sesungguhnya merupakan hikmah  sekaligus berkah pasca
krisis ekonomi dan moneter 1997-1998. Sebagaimana diketahui, krisis ekonomi dan moneter
sejak Juli 1997, yang disusul dengan krisis multi-dimensi termasuk di panggung politik
nasional, telah menimbulkan beragam dampak negatif yang sangat hebat terhadap seluruh
sendi kehidupan masyarakat, tidak terkecuali dunia usaha. Dalam kondisi tersebut, industri
perbankan nasional yang didominasi oleh bank-bank konvensional mengalami krisis luar
biasa. Pemerintah akhirnya mengambil tindakan dengan merestrukturisasi dan
merekapitalisasi sebagian bank-bank di Indonesia.

Salah satu bank konvensional, PT Bank Susila Bakti (BSB) yang dimiliki oleh Yayasan
Kesejahteraan Pegawai (YKP) PT Bank Dagang Negara dan PT Mahkota Prestasi juga
terkena dampak krisis. BSB berusaha keluar dari situasi tersebut dengan melakukan upaya
merger dengan beberapa bank lain serta mengundang investor asing.

Pada saat bersamaan, pemerintah melakukan penggabungan (merger) empat bank (Bank
Dagang Negara, Bank Bumi Daya, Bank Exim, dan Bapindo) menjadi satu bank baru
bernama PT Bank Mandiri (Persero) pada tanggal 31 Juli 1999. Kebijakan penggabungan
tersebut juga menempatkan dan menetapkan PT Bank Mandiri (Persero) Tbk. sebagai pemilik
mayoritas baru BSB.

Sebagai tindak lanjut dari keputusan merger, Bank Mandiri melakukan konsolidasi serta
membentuk Tim Pengembangan Perbankan Syariah. Pembentukan tim ini bertujuan untuk
mengembangkan layanan perbankan syariah di  kelompok perusahaan Bank Mandiri, sebagai
respon atas diberlakukannya UU No. 10 tahun 1998, yang memberi peluang bank umum
untuk melayani transaksi syariah (dual banking system).

Tim Pengembangan Perbankan Syariah memandang bahwa pemberlakuan UU tersebut


merupakan momentum yang tepat untuk melakukan konversi PT Bank Susila Bakti dari bank
konvensional menjadi bank syariah. Oleh karenanya, Tim Pengembangan Perbankan Syariah
segera mempersiapkan sistem dan infrastrukturnya, sehingga kegiatan usaha BSB berubah
dari bank konvensional menjadi bank yang beroperasi berdasarkan prinsip syariah dengan
nama PT Bank Syariah Mandiri sebagaimana tercantum dalam Akta Notaris: Sutjipto, SH,
No. 23 tanggal 8 September 1999.

Perubahan kegiatan usaha BSB menjadi bank umum syariah dikukuhkan oleh Gubernur Bank
Indonesia  melalui SK Gubernur BI No. 1/24/ KEP.BI/1999, 25 Oktober 1999. Selanjutnya,
melalui Surat Keputusan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia No. 1/1/KEP.DGS/ 1999,
BI menyetujui perubahan nama menjadi PT Bank Syariah Mandiri. Menyusul pengukuhan
dan pengakuan legal tersebut, PT Bank Syariah Mandiri secara resmi mulai beroperasi sejak
Senin tanggal 25 Rajab 1420 H atau tanggal 1 November 1999.

PT Bank Syariah Mandiri hadir, tampil dan tumbuh  sebagai bank yang mampu memadukan
idealisme usaha dengan nilai-nilai rohani, yang melandasi kegiatan operasionalnya. Harmoni
antara idealisme usaha dan nilai-nilai rohani inilah yang menjadi salah satu keunggulan Bank
Syariah Mandiri dalam kiprahnya di perbankan Indonesia. BSM hadir untuk bersama
membangun Indonesia menuju Indonesia yang lebih ba

 Ar-Rahnu

Adalah menjadikan barang yang mempunyai nilai harta (nilai ekonomis) sebagai
jaminan hutang, hingga pemilik barang yang bersangkutan boleh mengambil hutang.
Ar-Rahn berarti juga pledge atau pawn (gadai), yaitu kontrak atau akad penjaminan
dan mengikat saat hak penguasaan atas barang jaminan berpindah tangan. Dalam
kontrak tersebut, tidak terjadi pemindahan kepemilikan atas barang jaminan. Atau
dengan kata lain, merupakan akad penyerahan barang dari nasabah kepada bank
sebagai jaminan sebagian atau seluruhnya atas hutang yang dimiliki nasabah. Dengan
demikian, pemindahan kepemilikan atas barang hanya terjadi dalam kondisi tertentu
sebagai efek atau akibat dari kontrak.

 Hawalah

Adalah akad pemindahan nasabah kepada bank untuk membantu nasabah


mendapatkan modal tunai agar dapat melanjutkan produksinya dan bank mendapat
imbalan atas jasa pemindahan piutang tersebut.

 Ijarah

Perjanjian sewa yang memberikan kepada penyewa untuk memanfaatkan barang yang
akan disewa dengan imbalan uang sewa sesuai dengan persetujuan dan setelah masa
sewa berakhir maka barang dikembalikan kepada pemilik, namun penyewa dapat juga
memiliki barang yang disewa dengan pilihan pemindahan kepemilikan atas barang
yang disewa dari pihak bank oleh pihak lain (ijarah wa iqtina).

 Istishna

Adalah pembiayaan jual beli yang dilakukan antara bank dan nasabah dimana penjual
(pihak bank) membuat barang yang dipesan oleh nasabah. Bank untuk memenuhi
pesanan nasabah dapat mensubkan pekerjaannya kepada pihak lain.
 Kafalah

Adalah akad pemberian garansi/jaminan oleh pihak bank kepada nasabah untuk
menjamin pelaksanaan proyek dan pemenuhan kewajiban tertentu oleh pihak yang
dijamin.

 Mudharabah

Adalah kerjasama antara dua pihak dimana shahibul maal menyediakan modal
sedangkan mudharib menjadi pengelola dana dimana keuntungan dan kerugian dibagi
menurut kesepakatan di muka.

 Mudharabah al-Mutlaqah

Adalah kerjasama antara dua pihak dimana shahibul maal menyediakan modal dan
memberikan kewenangan penuh kepada mudharib dalam menentukan jenis dan
tempat investasi, sedangkan keuntungan dan kerugian dibagi menurut kesepakatan
dimuka.

 Mudharabah Muqqayadah

Adalah kerjasama antara dua pihak dimana shahibul maal menyediakan modal dan
memberikan kewenangan terbatas kepada mudharib dalam menentukan jenis dan
tempat investasi, dimana keuntungan dan kerugian dibagi menurut kesepakatan di
muka.

 Mudharib

Adalah pihak kedua atau pihak lain selain pihak pertama.

 Murabahah

Adalah suatu perjanjian yang disepakati antara Bank Syariah dengan nasabah, dimana
Bank menyediakan pembiayaan untuk pembelian bahan baku atau modal kerja
lainnya yang dibutuhkan nasabah, yang akan dibayar kembali oleh nasabah sebesar
harga jual bank (harga beli bank + margin keuntungan) pada waktu yang ditetapkan.

 Musyarakah

Adalah perjanjian pembiayaan antara Bank Syariah dengan nasabah yang


membutuhkan pembiayaan, dimana Bank dan nasabah secara bersama membiayai
suatu usaha atau proyek yang juga dikelola secara bersama atas prinsip bagi hasil
sesuai dengan penyertaan dimana keuntungan dan kerugian dibagi sesuai kesepakatan
di muka.

 Nisbah
Adalah bagian keuntungan usaha bagi masing-masing pihak yang besarnya ditetapkan
berdasarkan kesepakatan.

 Salam

Adalah pembiayaan jual beli dimana pembeli memberikan uang terlebih dahulu
terhadap barang yang dibeli yang telah disebutkan spesifikasinya dengan pengantaran
kemudian.

 Shahibul Maal

Adalah pihak pertama.

 Wadiah

Adalah titipan dari suatu pihak ke pihak lain baik individu maupun golongan yang
harus dijaga dan dikembalikan setiap saat bila pemilik menghendakinya.
Adalah pihak pertama.

 Wadiah Yad adh-Dhamanah

Adalah wadiah dimana si penerima titipan dapat memanfaatkan barang titipan


tersebut dengan seizin pemiliknya dan menjamin untuk mengembalikan titipan
tersebut secara utuh setiap saat, saat si pemilik menghendakinya.

 Wadiah Yad al-Amanah

Adalah wadiah dimana si penerima titipan tidak bertanggungjawab atas kehilangan


dan kerusakan yang terjadi pada barang titipan selama hal ini bukan akibat dari
kelalaian atau kecerobohan penerima titipan dalam memelihara titipan tersebut.

 Wakalah

Adalah akad perwakilan antara kedua belah pihak (bank dan nasabah) dimana
nasabah memberikan kuasa kepada bank untuk mewakili dirinya melakukan
pekerjaan atau jasa tertentu.

 Layanan Priority Dalam Perspektif Syariah

Manusia diciptakan oleh Allah SWT dengan kondisi yang beraneka ragam: hitam,
putih, kaya, miskin, dan sebagainya. Termasuk di dalamnya perbedaan ras dan suku.
Setidaknya ada tiga tujuan utama dari diversifikasi manusia: (1) saling kenal; (2)
ajang perlombaan dalam hal kebaikan; dan (3) ujian bagi sebagian atas sebagian yang
lain

Allah SWT berfirman (yang artinya), “Hai manusia, sesungguhnya Kami


menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan
kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal.” (QS
al-Hujurāt/49: 13.) “Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu
umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu,
maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan.” (QS al-Māidah/5: 48.) “Dan Dia
menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi dan Dia meninggikan beberapa
derajat sebagian kamu atas sebagian (yang lain), untuk mengujimu tentang apa yang
telah diberikan-Nya kepadamu.” (QS al-An`ām/6: 165.)

Tidak ada korelasi antara perbedaan lahiriah yang terjadi di antara sesama manusia
dan tinggi-rendah derajat seseorang di sisi Allah. Pada dasarnya, seluruh manusia itu
sama dan sederajat. Kemuliaan seseorang di sisi-Nya tergantung dari ketakwaan yang
bersemayam dalam kalbu, yang kemudian melahirkan amal saleh.

Nabi SAW bersabda,

‫ص َو ِر ُك ْم َوأَ ْم َوالِ ُك ْم َول ِك ْن يَ ْنظُ ُر إِلَى قُلُوْ بِ ُك ْم َوأَ ْع َمالِ ُك ْم‬


ُ ‫إِ َّن هللاَ الَ يَ ْنظُ ُر إِلَى‬

“Sungguh, Allah sama sekali tidak memandang fisik dan tidak pula harta kalian.
Namun, Dia memandang hati dan perbuatan kalian.” (HR Muslim dalam Shahīh-nya
IV/1986/2564 dan lain-lain.)

Allah SWT berfirman (yang artinya): “Sesungguhnya orang yang paling mulia di
antara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling takwa di antara kamu.” (QS al-
Hujurāt/49: 13.)

Dengan demikian, selaras dengan ajaran agama di atas, pada prinsipnya setiap
nasabah bank syariah berhak untuk diperlakukan secara equal treatment (kesetaraan
perlakuan). Seluruh nasabah berhak mendapatkan layanan prima yang sejalan dengan
arahan Quran: “Dan berbuat baiklah (kepada sesama) sebagaimana Allah telah
berbuat baik kepadamu.” (QS al-Qashshash/28: 77.)

Namun demikian, ini tidak berarti bahwa bank syariah tidak diperkenankan
memberikan layanan ekstra terhadap nasabah yang memberikan kontribusi lebih,
khususnya dalam bentuk penempatan dana yang signifikan dengan jumlah nominal
tertentu. Nasabah yang demikian ini umumnya disebut sebagai Nasabah Priority.
Adanya layanan ekstra (yang kemudian umumnya juga disebut dengan Layanan
Priority) tidaklah bertentangan dengan prinsip keadilan yang diusung oleh syariah.
Sebab, keadilan tidak selalu identik dengan kesamaan. Definisi adil adalah wadh` al-
syai’ fi mahallih, menempatkan sesuatu sesuai dengan porsi dan posisinya.

Perbedaan sikap merupakan aksioma dalam kehidupan sehari-hari. Tentunya, sikap


kita kepada orang tua berbeda dengan sikap kita kepada anak; sikap kita kepada
pasangan hidup berbeda dengan sikap kita kepada kawan; dan seterusnya. Perbedaan
sikap dalam hal ini tentunya sesuai dengan tuntutan situasi dan kondisi, di mana hal
tersebut tidak identik dengan ketidakadilan atau kezaliman.

Di samping itu, Islam menghargai seseorang berdasarkan tingkat kontribusinya.


Kontribusi merupakan bagian dari amal, di mana amal merupakan faktor yang
menentukan kedudukan seseorang, sebagaimana disebutkan dalam hadits di atas.
Dalam perang Khaibar, saat membagikan hasil perang, Nabi SAW memberi tiga
saham kepada pasukan berkuda dan satu saham kepada pasukan pejalan kaki. Dua
dari tiga saham yang diberikan kepada pasukan berkuda tersebut dimaksudkan untuk
pemeliharaan kuda, dan satu saham lagi untuk pemiliknya. (HR Ibn Mājah dalam
Sunan-nya II/952/ 2854, Ibn Hibban dalam Shahīh-nya XI/142/4814, dan lain-lain
dengan sanad yang valid.) Pemberian hasil perang secara lebih kepada pasukan
berkuda dibandingkan pasukan pejalan kaki dikarenakan kontribusi pasukan berkuda
dalam memenangkan pertempuran melebihi kontribusi pasukan pejalan kaki. Ini adil.

Demikian pula halnya dengan Nasabah Priority. Kontribusi mereka dalam


pengembangan bank syariah tentu lebih tinggi dibandingkan nasabah deposan pada
umumnya, yaitu dalam bentuk penempatan dana yang lebih besar. Dengan demikian,
atas dasar kontribusi lebih tersebut, mereka sudah selayaknya mendapatkan benefit
yang lebih dibandingkan nasabah deposan pada umumnya. WaLlāhu a`lam bish-
shawāb.

 Persiapkan Bekal Masa Depan dengan Menabung

Apa yang akan terjadi di masa depan memang tidak dapat kita ketahui dengan pasti.
“Sesungguhnya (Dialah) Allah, hanya pada sisi-Nya sajalah pengetahuan tentang
Hari Kiamat; dan Dia-lah Yang menurunkan hujan, dan mengetahui apa yang ada
dalam rahim. Dan tiada seorang pun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa
yang akan dihasilkannya besok. Dan, tiada seorangpun yang dapat mengetahui di
bumi mana dia akan mati. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha
Mengenal.” (QS Luqmān/31: 34.) Namun demikian, kita diperintahkan untuk
membuat perencanaan yang baik guna mengantisipasi apa yang akan terjadi. “Hai
orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri
memperhatikan apa yang telah ia sajikan untuk hari esok; dan bertakwalah kepada
Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS al-
Hasyr/59: 18.)
Menabung adalah salah satu bentuk perencanaan dan tindakan antisipatif terhadap
kondisi yang tidak diharapkan di masa depan. Quran memberikan endorsement
terhadap tindakan menabung melalui kisah Nabi Yusuf AS: “Yusuf berkata: ‘Supaya
kamu bercocok tanam tujuh tahun (lamanya) sebagaimana biasa; maka apa yang
kamu tuai hendaklah kamu biarkan di bulirnya kecuali sedikit untuk kamu makan.
Kemudian sesudah itu akan datang tujuh tahun yang amat sulit, yang menghabiskan
apa yang kamu simpan untuk menghadapinya (tahun sulit), kecuali sedikit dari (bibit
gandum) yang kamu simpan.’” (QS Yūsuf/12: 47-48.)
Islam menganjurkan agar seseorang itu mempersiapkan bekal yang cukup bagi
keluarganya sebelum ia meninggal dunia. Ini mengandung pesan implisit tentang
urgensi menabung. Nabi SAW bersabda kepada Sa`d ibn Abī Waqqāsh,

‫اس فِي أَ ْي ِد ْي ِه ْم‬


َ َّ‫ك أَ ْغنِيَا َء َخ ْي ٌر ِم ْن أَ ْن تَ َد َعهُ ْم عَالةً يَتَ َكفَّفُوْ نَ الن‬
َ َ‫ع َو َرثَت‬ َ َّ‫إِن‬
ُ ‫ك إِ ْن تَ َد‬

“Sungguh, engkau meninggalkan ahli warismu dalam kondisi kaya itu lebih baik
dibandingkan engkau meninggalkan mereka dalam kondisi miskin yang
membutuhkan bantuan uluran tangan manusia.” (HR al-Bukhāri dalam Shahīh-nya
III/106/2591 dan Muslim dalam Shahīh-nya III/1250/1628.)
Menabung merupakan kutub yang berseberangan secara diametral sekaligus
penyeimbang terhadap sedekah. Tidak dipungkiri bahwa menabung merupakan
bagian dari tindakan menahan harta. Sedangkan, pada prinsipnya, tindakan menahan
harta merupakan hal yang dikecam oleh agama, berbeda dengan sedekah yang agama
menganjurkannya. Banyak sekali teks keagamaan yang berbicara mengenai hal
tersebut, di antaranya adalah sabda Nabi SAW:

‫َما ِم ْن يَوْ ٍم يُصْ بِ ُح ْال ِعبَا ُد فِي ِه إِالَّ َملَ َكا ِن يَ ْن ِزالَ ِن فَيَقُو ُل أَ َح ُدهُ َما اللَّهُ َّم أَ ْع ِط ُم ْنفِقًا خَ لَفًا َويَقُو ُل اآل َخ ُر اللَّهُ َّم أَ ْع ِط ُم ْم ِس ًكا‬
‫تَلَفًا‬

“Tidak ada satu hari pun yang dilalui oleh seorang hamba melainkan pada pagi
harinya dua malaikat turun kepadanya. Salah satunya berkata: ‘Ya Allah, berilah
ganti bagi orang yang bersedekah.’ Sementara yang lainnya berkata: “Ya Allah,
hancurkanlah harta orang yang menahan hartanya.’” (HR al-Bukhāri dalam Shahīh-
nya II/522/1374 dan Muslim dalam Shahīh-nya II/700/1010.)

Dengan demikian, teks-teks keagamaan yang berbicara tentang masalah sedekah dan
menabung—sebagaimana telah disebutkan sebagiannya di atas—harus didudukkan
secara komprehensif dan proporsional. Sedekah secara berlebihan dan dengan tanpa
skala prioritas juga tidak dianjurkan. Quran mengajarkan agar seseorang tidak kikir,
dan demikian juga sebaliknya, Quran juga mengajarkan agar seseorang tidak terlalu
pemurah. Allah SWT berfirman (yang artinya): “Dan janganlah kamu jadikan
tanganmu terbelenggu pada lehermu (kikir) dan janganlah kamu terlalu
mengulurkannya (terlalu pemurah), karena itu kamu menjadi tercela dan menyesal.”
(QS al-Isrā’/17: 29.)

Sebaik-baik perkara adalah yang pertengahan. Ini adalah prinsip universal (universal
value) yang berlaku secara umum. Karena itu, seorang yang beriman diminta untuk
mengambil posisi yang tepat dalam hal ini, yaitu berada di antara tindakan menabung
dan sedekah. Ia menabung sebagai bentuk perencanaan terhadap masa depan dirinya
dan keluarganya di satu sisi, namun ia juga bersedekah sebagai bentuk tanggung
jawabnya terhadap lingkungan sosial di sisi yang lain. Tidak ada yang kontradiktif.
Keduanya dapat dilakukan secara simultan. WaLlāhu a`lam bish shawāb.

 Peran Wanita dalam Keuangan Keluarga

Salah satu karakteristik sekaligus prinsip yang diusung oleh Islam adalah
egalitarianisme: kesetaraan sesama manusia di hadapan-Nya, tanpa memedulikan
gender, suku dan keturunan. Perbedaan yang meninggikan dan merendahkan
seseorang hanyalah dari tingkat ketakwaan dan amal saleh (QS al-Hujurāt/49: 13 dan
QS an-Nahl/16: 97.)

Islam mengajarkan bahwa setiap manusia adalah pemimpin, hanya saja dengan skala
wilayah dan otoritas yang berbeda antara satu sama lain. Nabi SAW bersabda,

‫اع فِي أَ ْهلِ ِه َوهُ َو َم ْس ُؤوْ ٌل ع َْن‬ ٍ ‫ اإْل ِ َما ُم َر‬.‫اع َو ُكلُّ ُك ْم َم ْس ُؤوْ ٌل ع َْن َر ِعيَّتِ ِه‬
ٍ ‫ َوال َّر ُج ُل َر‬،‫اع َو َم ْس ُؤوْ ٌل ع َْن َر ِعيَّتِ ِه‬ ٍ ‫ُكلُّ ُك ْم َر‬
‫ت َزوْ ِجهَا َو َم ْس ُؤوْ لَةٌ ع َْن َر ِعيَّتِهَا‬
ِ ‫اعيَةٌ فِي بَ ْي‬ َ ْ
ِ ‫ َوال َمرْ أةُ َر‬،‫َر ِعيَّتِ ِه‬

“Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap kalian akan dimintai


pertanggungjawaban atas apa yang dipimpinnya. Seorang imam adalah pemimpin
dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas apa yang dipimpinnya; seorang pria
adalah pemimpin di keluarganya dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas apa
yang dipimpinnya; seorang wanita adalah pemimpin terhadap (urusan) rumah
suaminya dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas apa yang dipimpinnya.”
(HR al-Bukhāri dalam Shahīh-nya I/304/853 dan Muslim dalam dalam Shahīh-nya
III/1549/1829.)

Tidak dapat dipungkiri bahwa pada kenyataannya pria dan wanita itu memiliki
perbedaan, khususnya dalam hal struktur biologis dan karakter. Perbedaan ini
dimaksudkan agar masing-masing dapat berperan sesuai dengan kodratnya, sehingga
satu sama lain saling melengkapi. Jika tiap individu mengambil peran yang sama,
maka tentu akan terbentuk masyarakat yang ‘cacat’. Dalam struktur masyarakat atau
organisasi, misalnya, tidak mungkin seluruh partisipannya menjadi pemimpin; pasti
ada yang memimpin dan ada yang dipimpin. Ini adalah sunnatullāh.

Dalam hal keluarga, Islam memberikan otoritas kepada lelaki untuk menjadi kepala
keluarga, sebagaimana hadits di atas (dan juga QS al-Nisā’/4: 34). Kepemimpinan ini
mewajibkan lelaki untuk antara lain bertanggung jawab dalam hal pemenuhan nafkah
keluarga. Namun, kepemimpinan ini tidaklah mencabut hak-hak istri dalam berbagai
segi, khususnya dalam hak pemilikan harta pribadi dan hak pengelolaannya. Hadits di
atas menyebutkan bahwa salah satu tanggung jawab wanita adalah mengelola rumah
suaminya, termasuk pengelolaan keuangan keluarga.

Selanjutnya, jika kita menelaah keterlibatan perempuan dalam pekerjaan pada masa
awal Islam, maka tidak berlebihan untuk dikatakan bahwa Islam membenarkan
mereka aktif dalam berbagai aktivitas. Wanita diperkenankan bekerja dalam berbagai
bidang, di dalam ataupun di luar rumahnya, selama pekerjaan itu: (1) tidak
bertentangan dengan kodratnya; (2) tidak mengandung hal-hal yang dilarang oleh
agama; dan (3) tidak membuatnya lalai dari tugas utamanya dalam keluarga;

Secara singkat, dapat dikemukakan rumusan menyangkut pekerjaan perempuan yaitu


bahwa “perempuan mempunyai hak untuk bekerja, selama pekerjaan tersebut
membutuhkannya dan/atau selama mereka membutuhkan pekerjaan tersebut”.

Pekerjaan dan aktivitas yang dilakukan oleh perempuan pada masa Nabi SAW cukup
beraneka ragam, bahkan mereka sampai ikut berpartisipasi dalam peperangan. Ummu
Salamah (istri Nabi SAW), Shāfiyyah, Lailā al-Ghiffāriyyah, Ummu Sinām, dan lain-
lain, tercatat sebagai tokoh-tokoh yang terlibat dalam peperangan. Para ahli hadis,
misalnya al-Bukhāri, mencatat dalam kitab Shahīh-nya sejumlah bab yang
menginformasikan kegiatan-kegiatan kaum wanita, seperti Bab Keterlibatan
Perempuan dalam Jihad, Bab Peperangan Perempuan di Lautan, Bab Keterlibatan
Perempuan Merawat Korban, dan lain-lain.

Dalam bidang perdagangan, misalnya, nama istri Nabi SAW yang pertama, Khadijah
binti Khuwailid, tercatat sebagai seorang yang sangat sukses. Istri Nabi SAW yang
lain, Zainab binti Jahsy, juga bekerja menyamak kulit binatang, dan hasil usahanya itu
beliau sedekahkan. Rāithah, istri `Abdullāh ibn Mas’ūd, sahabat Nabi SAW, sangat
aktif bekerja, karena suami dan anaknya ketika itu tidak mampu mencukupi
kebutuhan keluarga. Selain itu, ada pula yang bekerja sebagai perias pengantin,
seperti Ummu Sālim binti Malhān. Khalīfah `Umar ibn al-Khaththāb RA pernah
menugaskan al-Syifā’, seorang perempuan yang pandai menulis, untuk menangani
pasar kota Madinah. Masih banyak contoh-contoh lain dalam sejarah Islam yang
menegaskan bahwa wanita pada masa awal Islam diberi keleluasaan untuk bekerja
dan mencari nafkah dengan syarat-syarat yang telah disebutkan di atas. Wallāhu
a`lam bish-shawāb.*

*) Dari berbagai sumber.

 Menikmati Proses

Tujuan dicapai melalui proses. Cita-cita diraih dengan perjuangan. Pelangi diawali
oleh tetesan hujan. Akibat lahir dari rahim sebab. Demikianlah ketentuan Allah yang
berlakukan di bumi tempat para hamba-Nya berpijak.

Banyak orang menilai bahwa kenikmatan itu adanya pada saat tercapainya tujuan,
sedangkan usaha dan perjuangan menuju tujuan merupakan fase kesulitan dan
kesengsaraan. Namun orang-orang terpilih justru menjadikan kenikmatan pada proses
perjuangan, dan tercapainya tujuan hanyalah merupakan kelanjutan dari kenikmatan
tersebut. It’s not about the destination it’s about the journey (ini bukan tentang
tujuannya, melainkan perjalanannya), demikian slogan yang diusung Harley
Davidson.

Dalam sebuah syair hikmah yang dinisbatkan kepada Imam asy-Syāfi’i disebutkan:

ِ َ‫َسافِرْ تَ ِج ْد ِع َوضا ً َع َّمن تُف‬


‫ارقه‬

ِ ‫ذ ْال َعي‬¤َ ‫صبْ فَإ ِ َّن لَ ِذ ْي‬


ِ ‫ْش فِي النَّص‬
‫ب‬ َ ‫َوا ْن‬

Pergilah niscaya kau akan dapatkan ganti dari yang kau tinggalkan,

dan berjuanglah keras sebab kelezatan hidup itu ada dalam kepayahan.

Dari Abū Hurairah, Nabi s.a.w. bersabda,

‫ت أَ ْن أَ ْغ ُز َو فِي َسبِ ْي ِل هللاِ فَأ ُ ْقت ََل ثُ َّم أَ ْغ ُز َو فَأ ُ ْقت ََل ثُ َّم أَ ْغ ُز َو فَأ ُ ْقت ََل‬
ُ ‫َوالَّ ِذيْ نَ ْفسُ ُم َح َّم ٍد بِيَ ِد ِه لَ َو َد ْد‬

“Demi Dzat yang jiwa Muhammad di Tangan-Nya. Sungguh, aku ingin berperang di
jalan Allah lantas terbunuh, kemudian aku berperang lantas terbunuh lagi, kemudian
aku berperang lantas terbunuh lagi.” [Riwayat Muslim III/1495/1876.]

Dari Anas ibn Mālik, Nabi s.a.w. juga bersabda,

‫ َحتَّى أُ ْقت ََل‬:ُ‫ يَقُوْ ل‬،‫َما ِم ْن أَ َح ٍد ِم ْن أَ ْه ِل ْال َجنَّ ِة يَسُرُّ هُ أَ ْن يَرْ ِج َع إِلَى ال ُّد ْنيَا َغيْر ال َّش ِه ْي ِد فَإِنَّهُ ي ُِحبُّ أَ ْن يَرْ ِج َع إِلَى ال ُّد ْنيَا‬
‫ ِم َّما يَ َرى ِم َّما أ ْعطَاهُ ِمنَ ْال َك َرا َم ِة‬،ِ‫ت فِي َسبِي ِْل هللا‬ ٍ ‫َع ْش َر َمرَّا‬

“Tidaklah seorang pun dari kalangan penduduk surga senang untuk kembali ke dunia
kecuali orang yang mati syahid. Ia ingin kembali ke dunia, seraya berkata, ‘Hingga
aku terbunuh sepuluh kali di jalan Allah!’ Ini karena ia melihat sebagian kemuliaan
yang diberikan kepadanya.” [Riwayat al-Bukhāri III/1037/2662, at-Tirmidzi
IV/187/1661, dan lain-lain. Redaksi di atas adalah dari riwayat at-Tirmidzi.]
Dengan demikian, kenikmatan itu bukan hanya didapat dari ganjaran setelah mati
syahid, namun pada proses menuju kesyahidan, berupa perang, luka dan kematian
juga terdapat kenikmatan yang tak terlukiskan.

Hal ini juga disinyalir oleh sebuah surah al-Qur’an yang sering dibaca dan dihapalkan
oleh kaum Muslim pada umumnya, yaitu firman Allah Ta`ālā:

ِ ‫ك * فَإ ِ َّن َم َع ْٱل ُعس‬


* ً‫ْر يُسْرا‬ َ ‫ك * َو َرفَ ْعنَا لَكَ ِذ ْك َر‬
َ ‫ظ ْه َر‬َ ‫ض‬ َ َ‫ك * ٱلَّ ِذ ۤي أَنق‬
َ ‫ك ِو ْز َر‬
َ ‫ض ْعنَا عَن‬ َ ‫ص ْد َر‬
َ ‫ك * َو َو‬ َ َ‫أَلَ ْم نَ ْش َرحْ ل‬
َ ‫ك‬
ْ‫ك فَٱرْ غَب‬َ ‫ٱنصبْ * َوإِلَ ٰى َرب‬ ً
َ َ‫ْر يُسْرا * فَإ ِ َذا فَ َر ْغتَ ف‬ ْ
ِ ‫إِ َّن َم َع ٱل ُعس‬

“Bukankah Kami telah melapangkan untukmu dadamu? Dan Kami telah


menghilangkan daripadamu bebanmu, yang memberatkan punggungmu? Dan Kami
tinggikan bagimu sebutanmu. Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada
kemudahan, sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan. Maka apabila
kamu telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh
(urusan) yang lain, dan hanya kepada Rabbmulah hendaknya kamu berharap.” [QS.
Asy-Syarh (94): 1 – 8.]

Surah tersebut dimulai dengan kondisi kelapangan dada, yang merupakan salah satu
kenikmatan terbesar, dan ditutup dengan perintah untuk senantiasa bekerja secara
optimal dengan dibarengi harapan kepada Allah. Dengan menggabungkan awal dan
akhir surah dimaksud, kiranya mungkin dapat ditarik suatu pemahaman bahwa
kelapangan dada atau kenikmatan itu terdapat pada perjuangan atau kerja keras secara
optimal.

Bagaimana pun cara pandang kita terhadap proses dan perjuangan, apakah sebagai
kenikmatan ataukah kesengsaraan, perjuangan tetaplah merupakan suatu keharusan
yang apabila ditunda atau diabaikan maka akan menimbulkan keharusan yang lebih
besar di kemudian hari. Seseorang yang mengabaikan kerja keras di masa muda harus
membayar dengan kerja lebih keras di masa tuanya. Siswa yang enggan belajar secara
rutin setiap hari harus belajar lebih keras di musim ujian atau ia tidak lulus.
Demikianlah rumus yang berlaku dalam kehidupan.

 SEMANGAT

Sesungguhnya bagi jiwa terdapat masa yang penuh dengan semangat dan gairah,
namun juga terdapat saat kelesuan dan keletihan. Kedua kutub berseberangan tersebut
secara fluktuatif berjalan saling membayangi satu sama lain bagaikan dua sisi jungkat
jungkit. Tidaklah salah satu naik, melainkan yang lain pasti turun. Tidaklah salah satu
timbul, melainkan yang lain tenggelam.

Semangat adalah air yang mengaliri akar kehidupan, sekaligus api yang
menggerakkan roda kompetisi. Ia juga laksana arakan awan yang apabila terkumpul
menurunkan butiran hujan, namun dapat berpendar hilang oleh sapuan angin.
Semangat bisa habis dan sirna, namun dapat dimunculkan kembali dengan
menghadirkan faktor-faktor pemicunya, yang dapat berupa benefit, ganjaran,
kedudukan dan lain-lain.

Seorang Mukmin seharusnya tetap menjaga semangat dalam hal-hal yang positif.
Nabi s.a.w. bersabda,
ِ ‫ْال ُم ْؤ ِمنُ ْالقَ ِويُّ َخ ْي ٌر َوأَ َحبُّ إِلَى هللاِ ِمنَ ْال ُم ْؤ ِم ِن الض َِّعي‬
َ‫ احْ ِرصْ َعلَى َما يَ ْنفَعُكَ َوا ْستَ ِع ْن بِاهللِ َوال‬،ٌ‫ْف َوفِ ْي ُك ٍّل خَ ْير‬
ْ‫ْجز‬ِ ‫تَع‬

“Seorang Mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai Allah daripada Mukmin
yang lemah. Meskipun pada keduanya terdapat kebaikan. Bersemangatlah terhadap
segala hal yang bermanfaat bagimu, mintalah pertolongan kepada Allah, dan jangan
bersikap lemah.” [Riwayat Muslim dalam Shahīh-nya IV/2052/2664.]

Setidaknya terdapat dua hal yang harus menyertai semangat seorang Mukmin, yaitu
ilmu yang benar dan tindakan yang nyata. Sekedar semangat tanpa direalisasikan oleh
tindakan nyata bagaikan tanaman yang tidak berbuah. Adapun ketiadaan ilmu adalah
ibarat kapal berlayar tanpa arah, bisa jadi sampai ke tujuan yang dimaui, namun bisa
jadi terhempas karang sehingga menjadi puing-puing di lautan. Disebabkan ketiadaan
ilmu, berapa banyak hal-hal yang disangka sebagai kebaikan padahal tidak demikian
adanya. Merasa memperbaiki, padahal sebenarnya merusak tanpa disadari. Ibn
Mas`ūd r.a. berkata, “Berapa banyak orang yang menginginkan kebaikan tapi tidak
mendapatinya.” [Riwayat ad-Dārimi dalam Sunan-nya I/79/204.]

Setiap orang besar pasti memiliki modal cita-cita dan semangat yang besar. Meskipun
secara realitas, tidak berlaku konsekuensi kebalikan dalam hal ini. Setiap Mukmin
diajarkan untuk memiliki semangat menjadi orang besar—tentunya yang sejalan
dengan perspektif Islam, dan bukan perspektif materialisme dan duniawi. Mereka juga
didorong untuk meraih terbaik yang mungkin dicapai. Karena itulah al-Qur’an
mengajari kita berdoa untuk dijadikan imam/pimpinan bagi orang-orang yang
bertaqwa [QS. Al-Furqān: 74]. Jadi, bukan sekedar orang yang bertaqwa, tapi
pimpinan kaum yang bertaqwa. Nabi s.a.w. juga mengajarkan agar kita meminta
Firdaus, yang merupakan surga tertinggi sekaligus pertengahannya, dan di atasnya
adalah `Arsy Allah [riwayat al-Bukhāri III/1028/2637 dan lain-lain]. Jadi, tidak
sebatas surga, namun surga yang paling baik.

Mereka yang memiliki semangat dan cita-cita yang besar tidak akan rela dengan hal-
hal yang rendah dan fana. Mereka concern dengan hal-hal yang besar dan lebih kekal.
Semakin tinggi kondisi kejiwaan yang dimiliki seseorang, maka ia akan mencari hal
yang lebih tinggi. `Umar ibn `Abd al-`Aziz, seorang khalīfah (jabatan tertinggi dalam
sistem pemerintahan Islam) yang shalih dari Banī Umayyah, bertutur tentang dirinya,
“Saya memiliki jiwa yang penuh hasrat dan ambisi (nafs tawwāqah). Tidaklah saya
mendapatkan apa yang saya inginkan, melainkan saya berambisi untuk mendapatkan
yang lebih baik darinya. Saya dahulu berhasrat pada kekuasaan, dan saya pun
kemudian berhasil jadi gubernur Madinah. Lalu saya berhasrat menjadi khalīfah, dan
ketika hal itu terealisasikan, pada akhirnya saya berhasrat pada yang jauh lebih baik
dari semua itu, yaitu surga.” [Lihat Hilyah al-Auliyā’ V/331-332 dan al-Mudhisy hlm.
228.]

Semangat yang tinggi akan menumbuhkan kerja keras yang luar biasa dan
melelahkan. Seorang penyair Arab, al-Mutanabbi, berkata dalam syairnya,

‫َوإِ َذا َكانَت النُّفُوْ سُ ِكبَارًا‬

‫ت فِي ُم َرا ِدهَا اأْل َجْ َسا ُم‬


ْ َ‫تَ ِعب‬
Dan sekiranya jiwa itu besar,

niscaya tubuh itu lelah dalam mencapai maksudnya. [Khizānah al-Adab, I/251.]

Semangat, ilmu dan kerja keras untuk mencapai tujuan yang paling besar, yaitu
keridhaan-Nya (termasuk di dalamnya surga dengan segala kenikmatannya), tentu
bukan semata-mata termanifestasikan dalam ibadah ritual semata. Namun yang tidak
kalah pentingnya adalah ibadah sosial kemasyarakatan, dalam rangka menjalankan
fungsi manusia sebagai pemakmur bumi Allah (khalīfah fi’l ardh). Sebagaimana
disebutkan dalam hadits yang populer, bahwa Nabi s.a.w. bersabda, “Sebaik-baik
manusia adalah yang paling bermanfaat bagi sesamanya.” [Riwayat ath-Thabrani
dalam al-Ausath VI/58 dan lain-lain, dengan sanad yang valid.]

 Usia dan Karya

Apalah artinya usia. Ia tidak lebih dari sekedar bilangan, dan bukan representasi dari
suatu keistimewaan. Ia hanyalah penunjuk jumlah hari yang dilewati seorang manusia
dalam menemani bumi mengitari matahari.

Islam tidak mengajarkan pengkultusan usia. Kecuali perintah bagi yang muda untuk
menghormati yang lebih tua, selaras dengan tradisi etika yang pada umumnya
berlaku. Usia yang dihargai dalam Islam hanyalah yang diproduktifkan serta menjadi
wadah bagi kinerja dan karya. Sebab Islam menghargai prestasi dan bukan prestise.
Singkatnya, ajaran Islam memposisikan parameter profesionalitas jauh di atas
senioritas semata. Inilah yang Nabi s.a.w. contohkan dalam membina generasi awal
kaum Muslim.

Pada tahun ke-11 Hijriah, setelah haji wadā` (perpisahan), Nabi s.a.w. mengangkat
Usāmah ibn Zaid, yang ketika itu usianya belum genap 20 tahun untuk memimpin
pasukan kaum Muslim melakukan ekspansi ke wilayah Syām yang berada di bawah
cengkraman imperium Romawi. Padahal di kalangan kaum Muslim terdapat banyak
sahabat utama Nabi s.a.w. yang jauh lebih senior ketimbang Usāmah.

Namun, ketika pasukan melakukan persiapan keberangkatan, Nabi s.a.w. mengalami


sakit keras yang berujung kepada kematian beliau. Keberangkatan pasukan pun
tertunda.

Tak lama setelah wafatnya Nabi s.a.w., Abu Bakr ash-Shiddīq r.a. didaulat menjadi
Khalīfah, dan beliau pun meneruskan apa yang telah dimulai oleh Nabi s.a.w., yaitu
memberangkatkan Usamāh dan pasukannya menghadapi Romawi.

Masih dalam suasana duka dan penurunan stabilitas karena wafatnya Nabi s.a.w.,
sebagian kalangan Anshār menilai bahwa saat itu bukanlah momen yang tepat untuk
keberangkatan pasukan. Mereka lalu meminta `Umar  r.a. untuk membicarakan hal
tersebut kepada Abū Bakr. Mereka mengajukan dua usulan, yaitu penundaan
keberangkatan pasukan, atau jika tidak, maka mereka meminta agar pimpinan
pasukan digantikan oleh sahabat yang lebih senior daripada Usāmah, dengan alasan
bahwa usianya terlalu muda dan pengalamannya belum banyak.
`Umar lalu menyampaikan usulan dimaksud kepada Abū Bakr. Mendengar hal itu,
Abū Bakr marah dan berkata, “Celaka engkau wahai Ibn al-Khaththāb! Adalah Nabi
s.a.w. yang mengangkatnya sebagai pimpinan pasukan, lantas engkau meminta
kepadaku agar mencopotnya?! Demi Allah, aku tidak akan menyelisihi pesan dan
perintah Nabi s.a.w.” `Umar pun menyesali usulan tersebut.

Tentu Nabi s.a.w. tidak menunjuk Usāmah ibn Zaid dengan tanpa alasan. Disebabkan
potensi Usāmah, berupa integritas dan kompetensi, maka Nabi s.a.w. memilihnya
sebagai komandan pasukan di usianya yang masih sangat muda. Pilihan Nabi s.a.w.
ternyata sangatlah tepat. Terbukti bahwa Usāmah dan pasukannya memperoleh
kemenangan yang gemilang dalam peperangan melawan imperium adidaya Romawi.
Sampai-sampai dikatakan bahwa tidak ada pasukan yang lebih selamat dan lebih
banyak mendapatkan ghanīmah (harta perang) dibandingkan pasukan Usāmah. [Lihat
Shuwar min Hayah ash-Shahābah, hlm. 226-228.]

Penggalan sejarah di atas menunjukkan bahwa Islam mengeleminir sistem senioritas


yang berbasiskan usia semata, dan menggantinya dengan profesionalitas yang
berbasiskan integritas dan kompetensi untuk berkarya serta menyelesaikan amanah
dengan baik. Masih banyak contoh serupa yang menghiasai lembaran sejarah
peradaban Islam, namun kiranya bukan di sini tempat untuk memaparkan hal tersebut.

Namun demikian, bukan berarti usia dan senioritas sama sekali dinihilkan dalam
ajaran Islam, hanya saja parameter tersebut jauh dibelakangkan dibandingkan
profesionalitas. Untuk menjadi imam shalat, misalnya, apabila terdapat beberapa
kandidat imam yang memiliki kompetensi dan integritas yang setara, maka yang
berhak diangkat menjadi imam adalah yang paling senior, yaitu dari sisi hijrah dan
selanjutnya dari sisi usia, sebagaimana disebutkan dalam hadits yang valid.

Jika ada orang yang panjang usianya, sehingga banyak karya dan kebaikannya, maka
inilah kebaikan di atas kebaikan. Dan apabila ada orang yang panjang usianya tetapi
panjang juga daftar keburukannya, maka itulah kejelekan yang berlipat ganda.

Nabi s.a.w. bersabda,

ُ‫طا َل ُع ْم ُرهُ َو َسا َء َع َملُه‬ ِ َّ‫اس َم ْن طَا َل ُع ْم ُرهُ َو َحسُنَ َع َملُهُ َو َشرُّ الن‬
َ ‫اس َم ْن‬ ِ َّ‫خَ ْي ُر الن‬

”Sebaik-baik manusia adalah yang panjang umurnya serta baik amalnya. Dan
seburuk-buruk manusia adalah yang panjang umurnya namun buruk amalnya.”
[Riwayat at-Tirmidzi IV/556/2330 dan lain-lain, dengan sanad yang valid.]

 Perenungan (Muhāsabah)

Perenungan menjadi hal mewah di zaman serba instan ini. Cyberspace, jarak yang
dilipat dan dunia yang berkejaran kencang, tampaknya menyudutkan perenungan pada
kotak waktu yang besarnya hampir ternihilkan.

Renungan beda dengan lamunan. Merenung adalah hal produktif, yaitu


menginvestasikan waktu dengan berpikir mendalam (deep thinking) untuk tercapainya
perbaikan berkesinambungan (continous improvement) di masa mendatang. Dari
renungan, lahirlah breakthrough dan solusi dari berbagai permasalahan. Adapun
melamun bersifat konsumtif, yaitu membelanjakan dan memboroskan waktu untuk
hal-hal yang tidak bermanfaat. Dalam hadits nabawi, melamun diistilahkan dengan
thūlu’l amal (panjang angan-angan).

Islam menganjurkan perenungan. Dalam teks-teks keagamaan didapati anjuran untuk


merenungkan dan memikirkan ayat-ayat-Nya, baik qauliyyah, yang tertuang Kitab
Suci dan hadits nabawi, maupun kauniyyah, yang terhampar dalam bentangan semesta
raya. Bahkan, mungkin dapat dikatakan bahwa salah satu hikmah dianjurkannya
bangun malam untuk beribadah (di antaranya shalat Tahajjud) adalah karena waktu
tersebut juga merupakan momen yang tepat untuk merenung dan berpikir. Hal
sebaliknya, terdapat kecaman bagi mereka yang tidak mau merenung dan berpikir.

Dalam dimensi yang lebih sempit, renungan kadang diistilahkan dengan muhāsabah.
Secara etimologis, muhāsabah berasal dari huruf h s b yang berasosiasi dengan
perhitungan atau memperhitungkan. Jadi, makna muhāsabah kurang lebih adalah
membuat perhitungan terhadap diri sendiri atas kondisi dan kekurangan di masa
lampau untuk koreksi, peningkatan dan perbaikan di masa mendatang, sebelum
datangnya perhitungan hakiki dari Allah pada hari Kiamat. Dalam bahasa Indonesia,
muhāsabah sering diterjemahkan dengan introspeksi.

Diriwayatkan bahwa `Umar ibn al-Khaththab r.a. berkata,

‫َحا ِسبُوْ ا أَ ْنفُ َس ُك ْم قَ ْب َل أَ ْن تُ َحا َسبُوْ ا‬

“Buatlah perhitungan atas diri-diri kalian, sebelum kalian diperhitungkan (oleh


Allah).” [Riwayat Ibn Abī Syaibah dalam al-Mushannaf VII/96/34459. Secara sanad,
sebagian ahli hadits mencacat validitas riwayat tersebut. Namun tidak diragukan
bahwa maknanya benar.]

Memperhitungkan kesalahan dan kekurangan diri sendiri secara jujur dan benar
umumnya merupakan hal yang sulit, karena manusia sering dikalahkan oleh hawa
nafsu dan subyektivitas pribadi. Kecuali mereka yang merendahkan dirinya di
hadapan keagungan dan kemahasempurnaan Rabbnya.

Setidaknya ada lima hal yang harus diperhitungkan, yaitu sebagaimana disebutkan
dalam hadits Nabi s.a.w. berikut:

،‫ َوع َْن َشبَابِ ِه فِ ْي َم أَ ْبالَه‬،‫ ع َْن ُع ْم ِر ِه فِ ْي َم أَ ْفنَاه‬:‫س‬


ٍ ‫الَ تَ ُزوْ ُل قَ َد َما ابْنُ آ َد َم يَوْ َم ْالقِيَا َم ِة ِم ْن ِع ْن ِد َربِّ ِه َحتَّى يُسْأ َ ُل ع َْن َخ ْم‬
َ ْ َ ْ َ
‫ َو َماذا َع ِم َل فِ ْي َما َعلِ َم‬،ُ‫َوع َْن َمالِ ِه ِم ْن أ ْينَ اكتَ َسبَهُ َوفِ ْي َم أنفَقَه‬

“Tidaklah kedua kaki seorang hamba itu bergerak dari sisi Rabbnya pada hari Kiamat,
hingga ia ditanya tentang lima hal: (1) tentang umurnya, untuk apa ia gunakan; (2)
tentang masa mudanya, untuk apa ia habiskan; (3) tentang hartanya, dari mana ia
dapatkan, dan (4) kemana ia belanjakan harta tersebut; serta (5) apa yang ia amalkan
atas hal-hal yang sudah diketahuinya.” [Riwayat at-Tirmidzi IV/612/2416 dan lain-
lain.]

Tentunya kita pun tidak dilarang untuk merenung dan memperhitungkan hal-hal yang
bersifat duniawi, sebagaimana firman Allah:
َ‫صيبَكَ ِمنَ ال ُّد ْنيَا َوأَحْ ِسن َك َما أَحْ َسنَ هَّللا ُ إِلَ ْيك‬ َ ‫ك هَّللا ُ ال َّدا َر اآْل ِخ َرةَ َواَل ت‬
ِ َ‫َنس ن‬ َ ‫َوا ْبت َِغ فِي َما آتَا‬

“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan)
negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari dunia, serta berbuat
baiklah sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu.” [QS. Al-Qashash (28): 77.]

Zaman berlari, bulan berganti, tahun berlalu. Masa lalu adalah partikel-partikel
anggota tubuh manusia yang tertinggalkan di belakang. Imam al-Hasan al-Bashri
berkata,

َ ‫ ُكلَّ َما َذه‬،‫ا ْبنَ آ َد َم إِنَّ َما أَ ْنتَ أَيَّا ٌم‬


َ ‫َب يَوْ ُم َذه‬
َ‫َب بَ ْعضُك‬

“Hai anak Adam, sesungguhnya engkau adalah hari-hari berbilang. Jika satu hari
pergi, maka hilang pula sebagian dirimu.” [Hilyah al-Auliyā' II/148.]

Akhirnya, semoga kita dapat memperhitungkan dan merenungkan jejak waktu yang
telah kita lewatkan guna memperbaiki kondisi diri ke depan.

 SEDEKAH, ASET DI DUNIA DAN AKHIRAT

Allah `Azza wa Jalla berfirman:

‫اعفُ لِ َمن يَ َشا ُء‬ َ ‫َت َس ْب َع َسنَابِ َل فِي ُكلِّ سُنبُلَ ٍة ِّمئَةُ َحبَّ ٍة َوهّللا ُ ي‬
ِ ‫ُض‬ ْ ‫َّمثَ ُل الَّ ِذينَ يُنفِقُونَ أَ ْم َوالَهُ ْم فِي َسبِي ِل هّللا ِ َك َمثَ ِل َحبَّ ٍة أَنبَت‬
‫َوهّللا ُ َوا ِس ٌع َعلِي ٌم‬

“Permisalan orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa


dengan benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir terdapat seratus
biji. Dan Allah melipatgandakan (ganjaran) bagi siapa saja yang Dia kehendaki.
Dan Allah maha luas (karunia-Nya) lagi maha mengetahui.” (QS. Al-Baqarah [2]:
261.)

Demikianlah Allah memotivasi para hamba-Nya untuk menafkahkan atau


memberikan harta di jalan-Nya, yakni dalam segala hal yang diridhai-Nya. Firman
Allah tersebut mencakup pengeluaran harta yang sifatnya wajib, seperti zakat,
maupun yang sifatnya sunnah, seperti infaq dan sedekah sunnah. Satu dibalas tujuh
ratus kali lipat.

Dari Abu Hurairah, Nabi s.a.w. bersabda,

ٍ ‫ص َدقَةٌ ِم ْن َم‬
‫ال‬ ْ ‫ص‬
َ ‫ت‬ َ َ‫َما نَق‬

“Sedekah itu tidak mengurangi harta.” [Riwayat Muslim dalam Shahīh-nya


IV/2001/2588, dan lain-lain.]

Nabi s.a.w. juga bersabda,

‫َما ِم ْن يَوْ ٍم يُصْ بِ ُح ْال ِعبَا ُد فِي ِه ِإالَّ َملَ َكا ِن يَ ْن ِزالَ ِن فَيَقُو ُل أَ َح ُدهُ َما اللَّهُ َّم أَ ْع ِط ُم ْنفِقًا خَ لَفًا َويَقُو ُل اآل َخ ُر اللَّهُ َّم أَ ْع ِط ُم ْم ِس ًكا‬
ً‫تَلَفا‬
“Tidak ada satu hari pun yang dilalui oleh seorang hamba melainkan pada pagi
harinya dua malaikat turun kepadanya. Salah satunya berkata: ‘Ya Allah, berilah
ganti bagi orang yang berinfaq.’ Sementara yang lainnya berkata: “Ya Allah,
hancurkanlah harta orang yang pelit.’” [Riwayat al-Bukhari dalam Shahīh-nya
II/522/1374 dan Muslim dalam Shahīh-nya II/700/1010.]

Dalam konsep Islam, pengeluaran harta untuk berbagai macam bentuk kebaikan di
jalan-Nya merupakan aset dan investasi yang pasti menguntungkan baik secara materi
maupun immateri, di dunia maupun di akhirat; dan bukan liability atau biaya yang
akan mengurangi harta. Justru tindakan menahan harta yang akan menimbulkan
kerugian. Pada umumnya kaum Muslim telah mengetahui konsep di atas, hanya saja
permasalahannya terletak pada kelemahan aqidah, sehingga pengetahuan tersebut
hanya menjadi sebatas pengetahuan, tidak membuahkan keyakinan yang akhirnya
melahirkan tindakan nyata.

Konsep Islam tersebut mungkin sulit diterima —apalagi diyakini dan terlebih
diamalkan— oleh mereka yang menganut paham materialisme, mendewakan materi
dan berpikir matematis secara short time. Permasalahannya, paham materialisme
tersebut terus-menerus menginfeksi dan menjangkiti kaum Muslim seiring derasnya
arus budaya syahwat.

Allah tidak butuh harta dari hamba-Nya, karena Dialah yang Maha Kaya, bahkan
Dialah yang Maha Memberi. Manusialah yang membutuhkan harta dan bantuan dari
sesamanya, sesuai karakternya sebagai makhluk sosial (homo homini socious). Orang-
orang miskin membutuhkan uluran tangan dari orang-orang yang memiliki harta
berlebih.

Di negara ini, golongan fakir dan miskin bertebaran di mana-mana. Menteri


Keuangan Menko perekonomian, Sri Mulyani, dalam Rapat Paripurna di Gedung
DPR, pada hari Selasa, 26 Agustus 2008 melaporkan bahwa jumlah penduduk miskin
di Indonesia yang berada di bawah garis kemiskinan pada Maret 2008 adalah sebesar
34,96 juta atau 15,42%. Masih tingginya tingkat kemiskinan di negeri ini merupakan
peluang yang sangat besar bagi mereka yang memiliki harta berlebih untuk berinfaq,
dan meraup keuntungan darinya di dunia maupun akhirat.

Dari Ibn `Abbas, beliau berkata, “Rasulullah s.a.w. merupakan manusia yang paling
dermawan dalam kebaikan, dan beliau paling dermawan pada bulan Ramadhan.”
[Riwayat al-Bukhari dalam Shahīh-nya II/672/1803 dan Muslim dalam Shahīh-nya
IV/1803/2308.]

 Tawakkal

Dalam mengarungi roda kehidupan yang dinamis, penuh ketidakpastian dan kesulitan,
manusia sebagai makhluk yang lemah dan penuh kekurangan membutuhkan sandaran
kepada Dzat yang Maha Sempurna, Maha Kuasa, Maha Kuat dan Maha Hadir
(omnipresent). Bagi seorang Muslim, penyandaran diri tersebut hanya ditujukan
kepada Allah Ta`ālā melalui mekanisme yang disebut tawakkal.

Secara etimologis, tawakkal berasal dari huruf w k l yang berasosiasi dengan


penyandaran atau pelimpahan suatu urusan kepada pihak lain. Secara terminologis,
makna tawakkal adalah penyandaran diri sepenuhnya kepada Allah Ta`ālā dalam hal
pencapaian maslahat dan/atau penolakan mudharat terkait urusan dunia maupun
akhirat. Al-Jurjāni, seorang linguis, berpendapat bahwa tawakkal adalah kepercayaan
penuh (tsiqah) dengan apa yang ada di sisi Allah dan berputus asa terhadap apa yang
ada di tangan-tangan manusia. [Lihat Mausū`ah Nadhrah an-Na`īm, vol. IV, hlm.
1377.]

Tawakkal merupakan kebutuhan para hamba-Nya sekaligus perintah-Nya. Allah


Ta`ālā berfirman,

ً‫َوتَ َو َّكلْ َعلَى هَّللا ِ َو َكفَى بِاهَّلل ِ َو ِكيال‬

“Dan bertawakkallah kalian kepada Allah, dan cukuplah Allah sebagai Sang Wakil.”
[QS. Al-Ahzāb (33): 3.]

Salah satu al-asmā’ al-husnā (nama-nama indah) yang dimiliki Allah Ta`ālā adalah
al-Wakīl (Sang Wakil), sebagaimana disebutkan dalam ayat di atas, yaitu Dzat yang
berhak untuk disandarkan dan dilimpahkan segala urusan, karena Dialah yang
menguasai segalanya.

Tawakkal merupakan kunci rizki sekaligus solusi dari berbagai problematika. Dari
`Umar ibn al-Khaththāb r.a., Nabi s.a.w. bersabda,

ً ‫ق الطَّ ْي ُر تَ ْغدُو خماَصًا َوتَرُوْ ُح بطَانا‬


ُ َ‫ُز ْقتُ ْم َك َما يُرْ ز‬ َّ ‫لَوْ أَنَّ ُك ْم ُك ْنتُ ْم تَ َو َّكلُوْ نَ َعلَى هللاِ َح‬
ِ ‫ق تَ َو ُّكلِ ِه لَر‬

“Sungguh, seandainya kalian bertawakkal kepada Allah dengan sebenarnya, niscaya


kalian akan diberi rizki sebagaimana burung-burung. Mereka berangkat pagi-pagi
dalam keadaan lapar, dan pulang sore hari dalam keadaan kenyang.” [Riwayat at-
Tirmidzi IV/573/2344, Ibn Mājah II/1394/4164, Ahmad I/30/205 dan lain-lain.]

Allah Ta`ālā berfirman,

ُ‫َو َمن يَتَ َو َّكلْ َعلَى هَّللا ِ فَه َُو َح ْسبُه‬

“Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Dia akan mencukupi
(keperluan)nya.” [QS. Ath-Thalāq (65): 3.]

Karena itu, doa yang sering dibaca Nabi s.a.w. khususnya pada saat mengalami
kesulitan serta dibaca oleh Nabi Ibrāhīm a.s. ketika dilemparkan ke dalam kobaran api
adalah: “Hasbunā’Llāhu wa ni`ma’l wakīl” (cukuplah Allah bagi kami dan Dialah
sebaik-baik wakil). [Riwayat al-Bukhari ]

Merealisasikan tawakkal bukan berarti menihilkan usaha. Tawakkal adalah amalan


qalbu yang menyokong upaya lahiriah anggota badan. Imam Ahmad berkata, “Dalam
hadits di atas tidak ada indikasi pembolehan untuk meninggalkan usaha. Sebaliknya,
justru padanya terdapat isyarat tentang perlunya mencari rizki. Jadi, maksud hadits
tersebut, sekiranya mereka bertawakkal kepada Allah dalam bepergian, kedatangan
dan usaha mereka, dan mereka mengetahui bahwa kebaikan (rizki) itu di Tangan-Nya,
tentu mereka tidak akan pulang kecuali dalam keadaan mendapatkan harta dengan
selamat, sebagaimana halnya burung-burung.” [Tuhfah al-Ahwadzi, vol. VII, hlm. 8.]
Dari Anas ibn Mālik r.a., beliau menceritakan bahwa seseorang pernah bertanya
kepada Nabi s.a.w., “Ya Rasulullah, apakah aku mengikat hewan tungganganku dan
aku bertawakkal, ataukah aku lepaskan saja dan aku bertawakkal?” Nabi s.a.w.
berjawab,

ْ‫ا ْعقِ ْلهَا َوت ََو َّكل‬

“Ikatlah hewan tungganganmu dan bertawakkallah.” [Riwayat at-Tirmidzi


IV/668/2517 dan di-hasan-kan oleh al-Albāni dalam Shahīh al-Jāmi` no. 1068.]

You might also like