You are on page 1of 6

RINGKASAN

TRIANA. Kajian Fungsi Konservasi dalam Sistem Pengelolaan Talun oleh Masyarakat
Kasepuhan di Desa Cisungsang, Kecamatan Cibeber, Kabupaten Lebak, Banten (Di bawah
bimbingan HARYANTO).
Penelitian ini bertujuan memahami sistem pengelolaan talun yang dilakukan oleh
masyarakat Kasepuhan di Desa Cisungsang, Kecamatan Cibeber, Kabupaten Lebak, Banten
secara menyeluruh dalam rangka memahami fungsi konservasinya. Lingkup penelitian
meliputi aspek-aspek pengelolaan talun, yaitu konsep dan sejarah pengelolaan, teknik
budidaya, organisasi pengelolaan, dan pemanfaatan produk talun; serta kondisi vegetasi
talunnya sendiri. Data dan informasi dikumpulkan melalui wawancara, observasi, survai dan
pengamatan reconnaisance sebagian besar lokasi talun, serta analisis vegetasi sebagai
contoh kasus.
Hasil penelitian menunjukkan konsep bentuk dan pengelolan talun telah lama dikenal
oleh masyarakat. Batasan konsep bentuk talun adalah: 1) ekosistemnya berupa vegetasi
berpohon yang terletak di bidang lahan yang kompak dengan kondisi tanah kurang atau tidak
mendapat pengairan (tanah darat); 2) lokasinya terletak di luar pemukiman (jauh maupun
dekat); 3) lahannya merupakan hak milik pribadi; 4) tumbuhan yang terdapat di dalamnya
dibudidayakan atau pernah dilakukan penanaman di lokasi tersebut; dan 5) komposisi jenis
tumbuhannya terdiri dari campuran beberapa jenis pohon dari jenis penghasil kayu dan/atau
buah-buahan. Konsep pengelolaan talun tidak diatur secara detail dalam adat Kasepuhan.
Namun, terdapat kelaziman untuk pengelolaan talun di lokasi khusus, yaitu 1) lahan di
kelerangan curam atau di daerah tebing (lamping) hampir selalu dialokasikan untuk talun;
dan 2) perlindungan mata air (sirah cai) dengan menetapkan lahan di sekitarnya sebagai
leuweung sirah cai (hutan lindung untuk mata air dengan status tanpa hak milik/milik desa)
atau sebagai talun (hak milik pribadi) yang hanya boleh dikelola secara minimal.
Berdasarkan survai reconnaisance yang meliputi sebagian besar wilayah Desa
Cisungsang tercatat 329 talun tersebar di 29 lokasi (blok pengukuran SPPT PBB) dari 35
lokasi yang ada. Karakteristik umum lokasi talun tersebut adalah: 1) kondisi tanahnya
(pengairan) berupa tanah kering yang kurang atau tidak mendapat pengairan; 2) ketinggian
lokasinya bervariasi mulai dari ketinggian rendah (480 mdpl) sampai tinggi (820 mdpl); 3)
letaknya bervariasi mulai dari pasir (puncak bukit), lamping, pematang, dan lembah, namun
daerah pasir merupakan letak paling umumnya, sedangkan daerah lamping hampir selalu
ditempati talun; 4) kelerengannya bervariasi mulai dari datar sampai sangat curam,
kebanyakan talun terletak di kelerengan curam (51,7%).
Berdasarkan pengamatan reconnaisance terlihat adanya perbedaan fisiognomi
vegetasi talun di Desa Cisungsang yang disebabkan oleh adanya kombinasi pengelolaan
talun dengan bentuk budidaya/penggunaan lahan lain dan variasi struktur dan komposisi
vegetasinya. Tercatat 14 macam kombinasi pengelolaan talun (total 42,6%), dimana talun-
kebun merupakan kombinasi pengelolaan yang paling sering diterapkan (23,7%). Variasi
struktur dan komposisi vegetasi talun ditunjukkan dari: 1) keanekaragaman jenis tumbuhan
mulai dari rendah sampai sangat tinggi, namun kebanyakan talun memiliki keanekaragaman
jenis sedang (41,9%); 2) asosiasi/konsosiasi jenis tumbuhan (54 macam), dengan tipe
asosiasi/konsosiasi yang paling sering dijumpai adalah konsosiasi cengkeh (25,2%), asosiasi
campuran (18,5%), dan konsosiasi awi (14,3%); 3) stratifikasi tajuk pohon; dan 4) kehadiran
tumbuhan bawah. Variasi tersebut dapat dikategorikan menjadi 10 tipe vegetasi mulai dari
sangat sederhana sampai sangat kompleks, dimana tipe agak kompleks merupakan tipe
vegetasi yang paling sering dijumpai (27,7%). Beberapa temuan penting yang terkait dengan
karakteristik vegetasi talun di Desa Cisungsang adalah: 1) kelerengan lokasi talun tidak
terlalu membatasi intensitas pengelolaan dalam hal pemilihan kombinasi pengelolaan, jenis
tanaman utama, dan keanekaragaman jenis yang ditanam; 2) konsosiasi awi dijumpai di
setiap tipe vegetasi, sedangkan frekuensi kehadirannya meningkat seiring dengan
bertambahnya derajat kelerengan lokasi talun; dan 3) frekuensi kehadiran tipe vegetasi
sangat kompleks meningkat seiring dengan bertambahnya derajat kelerengan lokasi talun.
Hasil analisis vegetasi di satu contoh talun bertipe sangat kompleks menunjukkan
ukuran plot minimal yang cukup mewakili untuk mengetahui komposisi jenis tumbuhan
berkayu di talun (dbh > 5 cm) adalah 0,64 Ha. Pada plot tersebut tercatat 31 jenis tumbuhan
berkayu (dbh > 5 cm) dan 259 jenis semai/tumbuhan bawah (dijumpai dalam plot bersarang
ukuran 2 m x 2 m yang diletakkan secara sistematik di dalamnya dengan luas total 0,0256
Ha). Jenis tumbuhan berkayu yang cukup dominan adalah awi tali (Gigantochloa apus) (INP
87,4%), awi mayan (Gigantochloa robusta) (INP 49,8%), kawung (Arenga pinnata) (INP
44,9%), dan cengkeh (Syzygium aromaticum) (INP 34,5%). Sedangkan jenis semai/
tumbuhan bawah yang cukup dominan adalah ki bulu (Clidemia hirta) (INP 24%), rane kebo
(Selaginella plana) (INP 12,7%), kakawatan (INP 12,3%), dan jampang pait (Paspalum
conjugatum) (INP 10,9%). Stratifikasi dan penutupan tajuk pohon di talun tersebut bervariasi
karena terdapat alokasi lahan untuk pola tanam yang berbeda. Lapisan tajuk pohon di
bagian talun yang didominasi oleh jenis awi atau campuran lebih banyak dan rapat
dibandingkan dengan bagian lainnya. Sebaran jenis tumbuhan di talun tersebut tidak merata
karena terkait dengan tindakan pengelolaan yang disengaja (pola tanam) maupun tidak
disengaja serta peran agen penyebar benih.
Talun dipilih sebagai bentuk budidaya berdasarkan alasan keterbatasan fisik lahan
(kondisi tanah kurang mendapat pengairan), tujuan konservasi tanah (mencegah longsor),
keuntungan ekonomi (kompensasi pembayaran pajak tanah), dan/atau melanjutkan bentuk
budidaya sebelumnya (huma atau kebun). Teknik budidaya talun secara umum meliputi
tahap penyiapan lahan, penanaman, pemeliharaan, dan pemanenan. Tahap penyiapan
lahan talun biasanya sekaligus sebagai lahan huma, meliputi seluruh atau sebagian tahapan
detail berikut: 1) menebang pohon (nuar); 2) membersihkan semak-semak (nyacar); 3)
membakar seluruh sisa-sisa tebangan (ngahuru); dan 4) membakar sisa-sisa pembakaran
pertama atau semak-semak (ngaduruk). Bentuk penanaman talun secara umum adalah: 1)
penanaman awal; 2) regenerasi secara langsung atau diselang dengan penggarapan lahan
menjadi huma atau kebun; dan 3) penyulaman di tempat kosong. Tahap penanaman secara
umum meliputi penyiapan bibit (tergantung bentuknya) dan penanaman. Kebiasaan
menanam di talun secara umum dilakukan secara teratur atau kurang teratur (tergantung
kerajinan pemilik). Tahap pemeliharaan meliputi seluruh atau sebagian kegiatan berikut: 1)
pemupukan (ngaberak); 2) menyiangi/membersihkan tumbuhan bawah (ngored); 3)
menebas/membersihkan semak-semak (nyacar); dan 4) penjarangan (nyaangan). Kegiatan
pemeliharaan minimal yang dilakukan pemilik talun adalah ngored/nyacar menjelang musim
berbuah untuk mempermudah pemanenan. Bentuk umum pemanenan berdasarkan hasil
tanamannya adalah: 1) pemetikan buah atau bunga cengkeh; 2) penebangan kayu, batang
awi, atau batang sagu; dan 3) penyadapan nira (lahang) kawung. Penerapan teknik
budidaya memberi pengaruh ekologis tertentu terhadap ekosistem talun tergantung pilihan
teknik tersebut dan ekosistem terakhir lahan sebelum digarap menjadi talun. Teknik
budidaya dengan kebutuhan input sedikit – baik berupa tenaga kerja atau konversinya dalam
satuan waktu, maupun material yang dimanfaatkan – biasanya diterapkan oleh pemilik talun
yang mengalami keterbatasan tenaga kerja atau waktu untuk mengelola talun; atau
diterapkan pada talun yang terletak di kelerengan curam atau sangat curam. Teknik tersebut
umumnya menghasilkan talun bertipe vegetasi kompleks.
Sedikitnya 154 jenis (38,6%) dari 399 jenis tumbuhan talun yang tercatat selama
pengamatan (reconnaisance dan analisis vegetasi menggunakan plot contoh) bagian-
bagiannya biasa dimanfaatkan (manfaat minor belum diperhitungkan). Bagian yang paling
banyak dimanfaatkan adalah kayu (15%) dan buah (14,5%). Namun, tumbuhan talun yang
sering dimanfaatkan untuk kebutuhan sehari-hari atau diperdagangkan (lokal maupun antar
daerah) hanya sekitar 41 jenis. Sebagian besar produk talun bersifat memenuhi kebutuhan
primer, yaitu pangan, bahan bangunan, bahan bakar (suluh), dan peralatan rumah tangga.
Produk talun yang umumnya diolah lebih dahulu sebelum dimanfaatkan berasal dari jenis
penghasil kayu, awi, dan kawung. Adapun produk tanpa olahan biasanya berasal dari jenis
penghasil buah dan suluh. Sifat pemungutan produk talun bervariasi mulai dari harian
sampai tahunan, sedangkan frekuensinya mulai dari jarang sampai sering. Pada produk
olahan, sifat produksinya bervariasi mulai dari tidak teratur, teratur, atau berdasarkan
pesanan; sedangkan frekuensinya mulai dari jarang sampai sering. Pemungutan dan
produksi yang kurang sesuai dengan pertumbuhan tanaman terjadi pada tanaman kawung
yang diambil batang sagunya untuk bahan baku pembuatan tepung sagu (aci) kawung.
Selain talun, lokasi penting untuk pemungutan beberapa jenis tumbuhan yang sering
dimanfaatkan produknya (antara lain: cengkeh, buah-buahan, kayu, kiray, jambe, pisang,
singkong, terubuk, hiris, rasamala, dan howe omas) adalah pekarangan, kebun, galengan
(pematang) sawah, dan leuweung (baik hutan alam maupun tanaman). Fungsi produksi
talun ditentukan oleh penerapan tindakan pengelolaan sesuai dengan tujuan pemiliknya,
yang diputuskan berdasarkan pertimbangan satu atau beberapa faktor: ekonomi, budaya,
fisik, atau ekologi. Pemilik talun umumnya mengkombinasikan sifat subsisten dan komersial
dalam produksi talunnya. Berdasarkan pemanfaatan produknya, fungsi produksi talun di
Desa Cisungsang dapat digolongkan menjadi: 1) talun yang belum menghasilkan produk; 2)
talun yang sudah menghasilkan dan dimanfaatkan produknya secara kontinu; dan 3) talun
yang sudah menghasilkan produk namun belum atau jarang dimanfaatkan (berfungsi sebagai
cadangan pendapatan).
Secara umum ada dua bentuk kepemilikan talun yaitu talun pribadi dan talun
keluarga. Kepemilikan talun keluarga terjadi karena lahan talun tidak diwariskan dengan
cara dibagi-bagi kepada keturunan pemiliknya, melainkan diperlakukan sebagai milik
bersama (lumbung) bagi seluruh anggota keluarga. Kepemilikan tanaman oleh bukan
pemilik talun dimungkinkan karena adanya pemindahan kepemilikan lahan atau pohon
melalui jual beli (kepemilikan lahan dan pohon dibedakan). Akses pemanfaatan lahan talun
bagi warga lain yang bukan pemilik talun biasanya bersifat tidak resmi, yaitu dimanfaatkan
sebagai tempat penggembalaan kerbau (sampalan). Adapun akses pemanfaatan tanaman
bagi warga lain yang bukan pemilik talun/tanaman dapat berupa pembelian dan bagi hasil
(maro) untuk pemanfaatan komersial; maupun pemberian dengan atau tanpa izin pemilik
untuk pemanfaatan non komersial. Pemanfaatan tanpa izin diperbolehkan dalam bentuk
pemungutan ranting kering untuk suluh dan buah untuk dimakan sendiri/langsung di lokasi.
Sistem kerja dan pengorganisasian tenaga kerja di talun terkait dengan penggunaan tenaga
kerja luar keluarga dan umumnya diterapkan pada tahap pemanenan hasil serta proses
lanjutannya (pengolahan hasil dan pengangkutan/perdagangan). Ada tiga bentuk sistem
kerja yang diterapkan di talun yaitu buruhan, borongan, dan maro. Pembagian kerja dalam
keluarga untuk pengelolaan talun diterapkan secara bervariasi antar keluarga berdasarkan
jenis kelamin dan umur. Namun, umumnya laki-laki dewasa lebih sering terlibat dalam
seluruh tahap pengelolaan talun. Beberapa aturan yang terkait dengan pengelolaan talun
meliputi kategori: 1) pemilikan dan pemanfaatan lahan; 2) pemilikan dan pemanfaatan
tanaman; 3) teknik pengelolaan; dan 4) sistem kerja. Masing-masing aturan tersebut
memiliki kekuatan atau sifat mengikat yang bervariasi mulai dari paling kuat sampai paling
lemah, yaitu hukum, tata kelakuan (mores), kebiasaan (folkways), dan cara (usage). Selain
aturan yang berkekuatan hukum, sebagian besar aturan didasari oleh sistem nilai yang telah
dianut oleh masyarakat Kasepuhan. Aturan penting yang berpengaruh nyata terhadap
ekosistem talun adalah aturan tentang pengelolaan talun yang terletak di atau sekitar sirah
cai, yaitu tidak boleh ditanami oleh jenis komersial, tidak boleh ditebang kayunya, namun
boleh menanam dan memanfaatkan jenis awi dan kawung. Secara umum terdapat tujuh
kategori pihak yang terkait dalam sistem pengelolaan talun, yaitu pemilik sekaligus pengelola
talun; pekerja (buruh); pengrajin (pengolah produk talun); tengkulak (penyiar); warga lain;
masyarakat; dan pemerintah desa. Kepentingan peran masing-masing pihak terlihat dari
bentuk interaksi yang dilakukan dengan pihak lain. Interaksi yang bersifat ekonomi paling
banyak bentuknya dan sering dilakukan; melibatkan berbagai pihak; serta umumnya
dijumpai pada tahap pemanenan dan proses lanjutannya. Interaksi yang bersifat sosial lebih
sedikit bentuknya, namun peranannya cukup penting menjaga keselarasan hubungan pemilik
talun dengan pihak lain dan memberikan kesempatan pada orang-orang yang tidak memiliki
talun memanfaatkan sebagian produk talun (tergolong fungsi sosial talun). Sifat hukum
menonjol pada bentuk interaksi dengan pemerintah desa yang umumnya terkait dengan
penguatan beberapa hak pemilik talun.
Di tingkat unit pengelolaan, kemampuan talun menampung pohon/tumbuhan berkayu
(maksimal sekitar 30-an jenis) lebih rendah dibandingkan dengan hutan alam pada luasan
yang sama. Namun, fungsi konservasi keanekaragaman jenis tumbuhan dari talun bernilai
penting di lingkup desa, yaitu: 1) menampung kurang lebih 399 jenis tumbuhan yang
beragam secara taksonomis (106 suku dan 244 marga dari 359 jenis tumbuhan talun yang
dapat diidentifikasi), habitus (pohon, bambu, palem, semak, semak pemanjat, herba, rumput,
epifit, dan liana), maupun manfaatnya; 2) menjadi tempat berlangsungnya proses
domestikasi awal beberapa jenis tumbuhan hutan; dan 3) menampung keanekaragaman
kultivar atau varietas beberapa jenis tanaman budidaya. Fungsi konservasi tanah dan air
dari talun ditunjukkan secara tidak langsung dari: 1) tujuan pengelolaan talun; 2) alokasi
lahan untuk talun (78,1% dari total talun terletak mulai kelas kelerengan curam); 3)
stratifikasi tajuk pohon dan penutupan permukaan tanah (68,1% dari total talun terdiri dari 2 –
3 lapisan tajuk sehingga diperkirakan cukup efektif mencegah erosi); dan 4) kehadiran
tanaman awi – yang dikenal cukup efektif untuk konservasi tanah dan air – sebagai tanaman
umum di talun (hadir di sekitar 55% dari total talun). Fungsi konservasi hidupan liar dari talun
ditunjukkan secara langsung dari kehadiran beberapa jenis satwa liar di talun, yang
umumnya adalah jenis-jenis burung, bajing, dan careuh/musang (Paradoxurus
hermaproditus). Talun bertipe vegetasi kompleks bernilai penting bagi konservasi hidupan
liar karena: 1) ragam jenis tumbuhannya (terutama jenis tumbuhan hutan) menjadi sumber
pakan yang disukai satwa liar; 2) stratifikasi tajuk pohonnya menciptakan struktur habitat
yang sesuai (khususnya untuk jenis burung). Sikap pemilik talun terhadap satwa liar –
dianggap hama atau tidak, diburu atau dibiarkan – mempengaruhi fungsi tersebut.
Dinamika pengelolaan talun secara umum dipengaruhi oleh faktor ekonomi
(subsisten maupun komersial) dan/atau faktor demografi (pertambahan penduduk), baik yang
berasal dari luar maupun dalam masyarakat. Proses dinamika tersebut mempengaruhi
keberadaan talun dan/atau kelangsungan fungsi konservasinya melalui adanya pengalihan
bentuk talun ke bentuk budidaya/penggunaan lahan lain, atau sebaliknya, serta perubahan
struktur dan komposisi vegetasi talun. Pengalihan bentuk talun menjadi pemukiman
(lembur), sawah irigasi, dan kebun cengkeh mengurangi keberadaan talun di Desa
Cisungsang. Namun, penanaman lahan terlantar dengan tanaman cengkeh atau jengjeng
secara polikultur mendorong pembentukan talun baru. Perubahan struktur dan komposisi
vegetasi talun umumnya berupa penyederhaan dan terkait dengan kehadiran jenis komersial
yang dikelola lebih intensif. Perubahan tersebut dicerminkan secara implisit dari frekuensi
penggunaan beberapa istilah dalam percakapan umum untuk menyebut bentuk budidaya
talun. Beberapa faktor yang dapat menyebabkan bentuk talun bertahan dengan funsgi
konservasi yang optimal adalah: 1) kepemilikan talun keluarga; 2) sikap konservatif dalam
pengelolaan talun (terutama dalam merespon perkembangan ekonomi pasar); dan 3)
keterbatasan fisik lahan talun berupa daerah lamping dan sirah cai.

You might also like