You are on page 1of 23

BAB 26

PENGURANGAN KETIMPANGAN
PEMBANGUNAN WILAYAH

Pengurangan ketimpangan pembangunan wilayah


merupakan masalah penting yang harus diatasi secara
nasional karena (1) upaya pemerataan dan penciptaan
kemakmuran yang merata secara nasional adalah
menjadi tugas Pemerintah dan (2) ketimpangan atau
kesenjangan pembangunan antarwilayah dan kawasan
serta antarperkotaan dan perdesaan sangat berbahaya
bagi kelangsungan persatuan dan kesatuan Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
Pada bab ini akan diuraikan upaya pemerintah
dalam mengurangi ketimpangan pembangunan
antarwilayah, baik yang sudah dilaksanakan sampai
dengan pertengahan tahun 2005 maupun upaya tindak
lanjut yang diperlukan. Uraian difokuskan pada hasil
pelaksanaan pembangunan pada wilayah-wilayah
tertinggal, perbatasan, pesisir, dan pulau-pulau kecil.
Selain itu, diuraikan pula upaya mengurangi
kesenjangan pembangunan antarkota, dan
kesenjangan pembangunan antarwilayah perkotaan dan
wilayah perdesaan, termasuk masalah-masalah yang
terkait dengan aspek penataan ruang dan pertanahan.

I. Permasalahan yang Dihadapi


Meskipun pengurangan kesenjangan antarwilayah
sudah diadopsi menjadi salah satu agenda kebijakan
(policy agenda) oleh hampir semua departemen dan
instansi pemerintah pusat maupun daerah, pada
kenyataannya pengarusutamaan dan penargetan dana
pembangunan (anggaran) yang dilakukan oleh
departemen-departemen (pemerintah pusat) melalui
mekanisme dana dekonsentrasi dan perbantuan atau
oleh daerah melalui dana APBD provinsi dan
kabupaten/kota, sampai saat ini hasilnya belum mampu
mengurangi secara signifikan kesenjangan yang ada.
Namun, perlu juga disadari bahwa upaya mengatasi
ketertinggalan dan kesenjangan pembangunan
antarwilayah memang memerlukan waktu yang relatif
lama.
Di samping itu, juga harus dilaksanakan dengan
strategi dan program pembangunan yang didukung
komitmen untuk mengalokasikan dana yang memadai
oleh semua tingkat pemerintahan (pusat, provinsi, dan
kabupaten/kota) dengan melibatkan peran serta
masyarakat dan swasta dalam proses perencanaan dan
pelaksanaannya.
Pada tataran perencanaan, dokumen RPJMN 2004–
2009 dan RKP Tahun 2005 sudah memberikan arahan
yang cukup jelas kepada departemen dan instansi
pusat, terkait dengan program dan kegiatan yang

26 - 2
menjadi prioritas di daerah-daerah yang masih
tertinggal. Namun, karena mekanisme dana
dekonsentrasi masih berjalan secara parsial
berdasarkan prioritas sektor masing-masing, dan
ditambah dengan masih lemahnya koordinasi antara
departemen dan pemerintah daerah yang bersangkutan
akibatnya adalah lemahnya sinergitas dan keterpaduan
kegiatan dan program yang dibiayai oleh dana
dekonsentrasi dan perbantuan dengan yang didanai
dari APBD.
Selain itu, keterbatasan APBD pemerintah daerah
provinsi, terutama di daerah daerah yang relatif kurang
maju, justru menyebabkan pemerintah daerah yang
bersangkutan menempatkan skala prioritas yang
rendah terhadap pembangunan wilayah yang relatif
tertinggal, seperti wilayah perbatasan, wilayah
pedalaman, dan terisolasi, kepulauan terpencil, serta
pesisir dan laut. Mereka menganggap bahwa investasi
di daerah ini tidak akan membawa dampak yang cukup
besar bagi pertumbuhan ekonomi wilayah. Hal itu
diperburuk oleh adanya masalah penataan ruang, yang
masih belum ada dasar hukum bagi keterpaduan antar
lembaga dalam pengelolaan pulau-pulau kecil terluar di
kawasan perbatasan.
Di samping itu, belum tersedia peta rupabumi dan
peta wilayah pada skala yang memadai sebagaimana
diatur di dalam UU No. 24 Tahun 1992 tentang
Penataan Ruang, yang bermanfaat bagi penyusunan
rencana tata ruang.
Sementara itu, dalam melaksanakan
pembangunan di wilayah-wilayah yang potensial,
strategis, dan cepat tumbuh, keterkaitan dan integrasi
dengan wilayah-wilayah sekitarnya yang masih
tertinggal masih kurang diperhatikan oleh pemerintah
daerah. Akibatnya, kemajuan yang berlangsung di

26 - 3
wilayah strategis dan cepat tumbuh belum mampu
memberikan pengaruh positif kepada wilayah tertinggal
di sekitarnya.
Dalam kaitan dengan pembangunan perdesaan,
pemerintah daerah pada umumnya cenderung masih
belum memberikan perhatian yang besar. Sebaliknya,
mereka lebih mengutamakan dan memfokuskan
kepada pembangunan fisik di perkotaan.
Konsekuensinya, pembangunan kota-desa menjadi
makin tidak seimbang dan berakibat pada makin
tingginya kesenjangan antara perdesaan dan perkotaan
yang berimplikasi pada munculnya berbagai masalah
terkait dengan urbanisasi, eksternalitas negatif, dan
lain-lain.
Permasalahan lain terkait dengan masih lemahnya
peran pemerintah daerah di dalam mengendalikan
pertumbuhan dan pembangunan kota-kota besar dan
metropolitan, serta dalam menyediakan pelayanan
sarana dan prasarana permukiman perkotaan.
Pertumbuhan kota yang kurang terkendali sangat
terkait, antara lain, dengan masih lemahnya sistem
pengendalian pemanfaatan ruang serta belum
terwujudnya kelembagaan penataan ruang dan
pertanahan yang efektif dan efisien.
Terwujudnya kelembagaan yang efektif dan efisien
diperlukan untuk meminimalisasi konflik pemanfaatan
ruang dan sengketa pertanahan yang terjadi di
masyarakat, baik di pusat maupun di daerah. Hal ini
dipengaruhi oleh belum maksimalnya kejelasan hak
atas tanah dan pendaftaran tanah bagi masyarakat. Isu
pertanahan yang strategis dan terkini adalah adanya
pro dan kontra terhadap terbitnya Perpres No. 36
Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah bagi
Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum.
Oleh karena itu, pemerintah akan menjamin

26 - 4
pelaksanaan kebijakan itu sesuai dengan aturan dan
menjamin hak rakyat atas tanah.

II. Langkah-Langkah Kebijakan dan Hasil-


Hasil yang Dicapai
Terdapat beberapa langkah kebijakan utama yang
telah disusun dan sedang dilaksanakan oleh Pemerintah
dalam rangka mengurangi kesenjangan pembangunan
antar wilayah. Langkah-langkah kebijakan utama
tersebut adalah sebagai berikut.
1) meningkatkan keberpihakan
pemerintah untuk mengembangkan wilayah-
wilayah tertinggal dan terpencil sehingga wilayah-
wilayah tersebut dapat tumbuh dan berkembang
secara lebih cepat dan dapat mengatasi
ketertinggalan pembangunan dengan daerah lain;
2) mendorong percepatan
pembangunan di wilayah-wilayah yang strategis
yang mempunyai potensi untuk cepat tumbuh,
terutama di luar Pulau Jawa, dengan membuka
peluang dan kerja sama dengan pihak swasta
sehingga diharapkan dapat mengembangkan
wilayah-wilayah tertinggal di sekitarnya;
3) mempercepat pembangunan wilayah
perbatasan, kawasan pesisir, dan pulau-pulau kecil
melalui upaya percepatan penyediaan infrasruktur
dan mendorong masyarakat dalam rangka
pengembangan ekonomi lokal dan kegiatan usaha
kecil dan menengah lainnya;
4) menyediakan prasarana dan sarana
sosial dasar seperti pendidikan dan sarana
kesehatan dalam rangka meningkatkan kualitas
sumber daya manusia di wilayah tertinggal serta

26 - 5
melaksanakan kebijakan pemberdayaan
masyarakat miskin, melalui skema public service
obligation (PSO), universal service obligation
(USO), dan keperintisan khususnya untuk
penyediaan dan pelayanan transportasi di wilayah-
wilayah tertinggal;
5) mendorong dan membantu
pemerintah daerah untuk mengembangkan kota-
kota menengah dan kecil, terutama di luar Pulau
Jawa melalui pemenuhan fasilitas pelayanan dasar
perkotaan yang dibutuhkan sesuai dengan tipologi
kota masing-masing, serta mendorong
peningkatan keterkaitan kegiatan ekonomi di
wilayah perkotaan dan perdesaan. Di samping itu,
perlu pula upaya mengendalikan pertumbuhan
kota-kota besar dan metropolitan yang padat,
nyaman, dan efisien dalam pengelolaan
pembangunan;
6) terkait dengan masalah penataan
ruang, langkah kebijakan utama yang diambil
adalah:
a) melengkapi dan menyerasikan peraturan
penataan ruang dengan peraturan lain yang
terkait;
b) meningkatkan partisipasi masyarakat
dalam pengendalian pemanfaatan ruang;
c) melengkapi dan menyerasikan berbagai
peraturan penataan ruang dengan peraturan
lain yang terkait guna pemantapan
kelembagaan penataan ruang dan penguatan
sistem pengendalian pemanfaatan ruang;

26 - 6
d) menyelesaikan cakupan peta rupabumi
Indonesia sebagai dasar penyusunan rencana
tata ruang wilayah;
7) terkait dengan masalah pertanahan,
langkah kebijakan yang diambil adalah:
a) mengkaji, menyempurnakan, dan
menyusun berbagai peraturan perundang-
undangan yang berkaitan dengan agraria
dalam rangka sinkronisasi kebijakan
antarsektor dan penyelesaian konflik dan
sengketa sumber daya agraria yang terjadi;
b) menata kembali penguasaan, pemilikan,
penggunaan, dan pemanfaatan tanah (land
reform) yang berkeadilan dengan
memperhatikan kepemilikan tanah untuk
rakyat;
c) menguatkan kelembagaan pertanahan
dan kewenangannya melalui kerja sama yang
intensif dengan instansi dan lembaga
pemerintah yang lain.
Dengan berbagai langkah kebijakan tersebut, hasil
yang telah dicapai antara lain adalah sebagai berikut.
1) dalam rangka mengembangkan
wilayah tertinggal, perbatasan, dan pulau-pulau
kecil, hasil yang diperoleh adalah (a) tersusunnya
konsep kebijakan, strategi nasional pembangunan
daerah tertinggal yang berisi uraian definisi,
konsep kebijakan, dan program prioritas bagi
percepatan pembangunan di daerah tertinggal; (b)
teridentifikasinya 199 kabupaten tertinggal untuk
jangka perencanaan 2006–2009; (c) terbentuknya
kerja sama antara Kementerian Pembangunan
Daerah Tertinggal (PDT), Bappenas, kementerian

26 - 7
dan lembaga terkait dalam pengembangan
program percepatan pembangunan di daerah
tertinggal; (d) tersusunnya kebijakan PKPS BBM
bidang infrastruktur perdesaan yang lebih berpihak
kepada daerah tertinggal; (e) tersusunnya
kebijakan penyerasian pembangunan wilayah
pesisir, laut, dan pulau-pulau kecil; (f)
pelaksanaan pemberdayan Komunitas Adat
Terpencil (KAT) dalam hal peningkatan SDM,
penataan permukiman, kerja sama
pengembangan; (g) tertanganinya jalan pada
kawasan perbatasan di provinsi Kalimantan Barat,
Kalimantan Timur, Nusa Tenggara Timur, dan
Papua, dengan panjang efektif sekitar 200 km
jalan dan 560 m jembatan; (h) tertanganinya jalan
di pulau-pulau kecil dan kawasan yang relatif
masih tertinggal dengan panjang efektif sekitar
100 km dan 400 m jembatan, penanganan
sebagian jalan di lintas tengah dan lintas barat
Sumatra, lintas Kalimantan, lintas selatan Jawa,
lintas Sulawesi, serta ruas-ruas strategis di Papua
dan lintas Flores; dan (i) pendataan dan
penyediaan data spasial melalui pemotretan udara
untuk mengetahui potensi sumber daya alam di
pulau-pulau kecil terluar.
2) dalam rangka pengembangan
wilayah perbatasan, hasil yang diperoleh adalah
antara lain (a) tersusunnya konsep naskah
akademik RUU tentang Batas Wilayah RI dan
konsep kebijakan strategi pengelolaan kawasan
perbatasan; (b) tersusunnya rancangan Keppres
tentang Rencana Induk Pengembangan Kawasan
Perbatasan; (c) tersusunnya kebijakan, strategi,
dan rencana tata ruang wilayah kawasan
perbatasan negara termasuk rencana aksi
pembangunan tujuh wilayah perbatasan (Sanggau,

26 - 8
Sambas, Kapuas Hulu, Nunukan, Talaud, Merauke,
dan Belu); (d) finalisasi MoU lintas batas RI-
Malaysia; (e) terlaksananya pembinaan pos lintas
batas dan kelembagaan di propinsi Kalimantan
Barat, Sulawesi Utara, Papua, dan Nusa Tenggara
Timur; (f) terlaksananya kerja sama ekonomi
melalui penanaman modal dalam pengembangan
kawasan khusus di beberapa kabupaten di
Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur dalam
kerangka Sosek Malindo; (g) tersusunnya
pangkalan data wilayah perbatasan antarnegara;
(h) tersusunnya informasi dan peta garis batas
dan pulau-pulau terluar di wilayah perbatasan; (i)
Rencana Tata Ruang Perbatasan KASABA yang
sedang diproses legalisasinya di Sekretariat
Negara untuk ditetapkan menjadi Peraturan
Presiden.
3) hasil-hasil yang telah dicapai
dalam pelaksanaan program pengembangan
wilayah strategis dan cepat tumbuh adalah (a)
tersusunnya panduan kebijakan, pedoman,
mekanisme perencanaan, serta indikator
pembangunan terpadu pengembangan kawasan;
(b) tersusunnya revitalisasi manajemen
pengembangan kawasan pengembangan ekonomi
terpadu (Kapet); (c) peningkatan investasi dan
kerja sama pada kawasan cepat tumbuh dan
Kapet. Pada tahun 2004 telah disiapkan
masuknya investasi di Kapet Pare-pare sebesar US
$7,110,320 dan US$ 1 miliar di Kapet Bima dan 39
MoU yang menunggu tindak lanjut; (d)
terlaksananya fasilitas kepada pemerintah daerah
dalam penyusunan Rencana Pengembangan
Kawasan Andalan dan Rencana Pengembangan
Kawasan Industri di beberapa Kapet, antara lain
Semparuk (Kapet Sanggau), Blang Ulam (Kapet

26 - 9
Banda Aceh), Lappade (Kapet Pare-pare),
Kariangau dan Pendingin (Kapet Sasamba),
Kawasan Industri Pulang Pisau (Kapet DAS
Kakab), (e) terlaksanakannya pengembangan
kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas
Sabang; (f) ditingkatkannya status kawasan
berikat Otorita Batam menjadi kawasan
perdagangan bebas (free trade zone); (g)
berkembangnya konsep dan terlaksananya
fasilitasi pengembangan kawasan cepat tumbuh
melalui kerja sama terpadu dan kemitraan antara
pemerintah daerah, pihak swasta, dan masyarakat
pelaku lain di daerah; (h) terbentuknya dan
terlaksananya forum-forum lintas pelaku dan kerja
sama ekonomi subregional, baik dalam
pengelolaan potensi daerah maupun
pengembangan ekonomi wilayah; (i)
terlaksananya fasilitasi pelaksanaan kewenangan
daerah di Kawasan Otorita, dan fasilitasi
penanganan masalah kewenangan daerah di
wilayah kawasan pelabuhan, bandar udara,
perumahan, industri, perkebunan, pertambangan,
kehutanan, pariwisata, dan kawasan lain sejenis.
4) untuk meningkatkan aksesibilitas
dan membuka keterisolasian wilayah terpencil,
pulau-pulau terpencil, dan perbatasan
antarnegara, telah dilakukan penyerahan
operasional kapal perintis kepada beberapa
pemerintah daerah serta penyelesaian
pembangunan fasilitas pelabuhan laut dan sarana
bantu navigasi pelayaran di wilayah perbatasan.
Pada saat ini telah dilakukan serah operasi 14 unit
kapal laut perintis kepada Pemerintah Provinsi
Papua (4 kapal), Nusa Tenggara Timur (2 kapal),
Jawa Timur (1 kapal), Sulawesi Utara (2 kapal),
Maluku (2 kapal), dan Maluku Utara (3 kapal).

26 - 10
Selain itu, dalam rangka meningkatkan
aksesibilitas kawasan terisolasi dan perbatasan
pada pertengahan Tahun Anggaran 2005 ini, telah
direalisasikan pengadaan bus perintis dan kapal
penyeberangan perintis di beberapa daerah
tertinggal.
5) dalam rangka memberdayakan
masyarakat, terutama di wilayah-wilayah
tertinggal, telah dilaksanakan skim pemberian
bantuan langsung kepada masyarakat di
kecamatan dan desa untuk membangun prasarana
dan sarana lokal (jalan, irigasi, sanitasi, air
minum, dan pasar), termasuk pemberian modal
awal (capital seed) langsung kepada masyarakat
dengan menggunakan mekanisme dana bergulir.
Kegiatan-kegiatan yang telah dilakukan, antara
lain (a) Program Pengembangan Kecamatan
(PPK); (b) Program Pengembangan Prasarana
Pedesaan (P2D); (c) Kemitraan Bagi
Pengembangan Ekonomi Lokal (KPEL); dan (d)
Program Pengembangan Masyarakat (Community
Empowerment Program/(CEP). Selain itu, khusus
di Provinsi Bengkulu terdapat program serupa,
yaitu Proyek Pengembangan Regional Terpadu
Bengkulu (Bengkulu Regional Integrated
Development Project). Khusus untuk PPK, hasil-
hasil penting yang telah dicapai, antara lain,
adalah (a) terbangunnya prasarana perekonomian
untuk mendukung pengembangan usaha ekonomi
produktif penduduk miskin, yakni jalan desa
(835,48 km), jembatan desa (4.439 unit),
dermaga desa (26 unit), sarana air bersih (4.072
unit), prasarana sanitasi (1.670 unit), prasarana
irigasi (6.1438 unit), pasar desa (629) unit), listrik
desa (308 unit), tempat pelelangan ikan (6 unit);
dan (b) terbangunnya prasarana lain yang

26 - 11
mendukung aktivitas penduduk miskin di
perdesaan, yakni balai desa (166 unit), posyandu
(774 unit), gedung sekolah dasar (pembangunan
baru 573 unit dan rehabilitasi 573 unit), serta
bantuan sarana pendidikan bagi siswa sekolah
dasar.
6) dalam rangka pengembangan
wilayah, terutama di wilayah-wilayah yang
potensial untuk dikembangkan di luar Pulau Jawa,
pada Tahun Anggaran 2005 ini telah dan sedang
diselesaikan upaya pemberdayaan masyarakat
yang dilakukan dengan menggunakan program
transmigrasi yang meliputi (a) fasilitasi penyiapan
sarana dan prasarana di Unit Pemukiman
Transmigrasi baru melalui kegiatan pembukaan
lahan, pembangunan jalan dan jembatan,
pembangunan drainase, pembangunan rumah
transmigran, dan pembangunan fasilitas umum;
(b) terlaksananya fasilitasi perpindahan dan
penempatan transmigran sejumlah 9.134 kepala
keluarga (KK) dan penataan penduduk sejumlah
1.682 KK; dan (c) terlaksananya fasilitasi
pembinaan dan pemberdayaan masyarakat
transmigrasi sejumlah 82.006 KK di 368 UPT; (d)
terlaksananya fasilitasi penyelesaian masalah
pengungsi transmigran di Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam, Maluku, dan Maluku Utara melalui
skim pemulangan pengungsi sejumlah 1.322 KK,
sisipan perdesaan sejumlah 1.983 KK dan
pemberdayaan pengungsi sejumlah 1.767 KK.
7) untuk mempercepat dan
mendorong kerjasama pembangunan ekonomi
sub-regional dengan negara-negara tetangga,
hasil yang dicapai adalah (a) terbentuknya
sekretariat bersama Kerja Sama Ekonomi Sub

26 - 12
Regional (KESR) BIMP-EAGA; dan (b)
terselenggaranya forum pertemuan antara
investor dan negara-negara yang tergabung dalam
Kerja Sama Ekonomi Subregional.
8) dalam rangka pengembangan
keterkaitan pembangunan antarkota, telah
dilaksanakan (a) fasilitasi pengembangan pola-
pola kerja sama antarkota; (b) pengembangan
prasarana dan sarana perhubungan antarkota.
Selain itu, dalam rangka pengembangan kota-kota
menengah dan kecil telah dilaksanakan (a)
revitalisasi kawasan perkotaan/permukiman; (b)
penanganan air limbah melalui pengembangan
sistem terpusat di kota menengah, meskipun
jumlahnya masih sangat terbatas; (c) pemberian
bantuan rintisan penanganan persampahan dan
drainase di kota-kota menengah. Selanjutnya,
telah dilakukan pula upaya untuk mengendalikan
pembangunan kota-kota besar dan metropolitan
melalui: (a) revitalisasi kawasan perkotaan; (b)
penanganan air limbah; (c) pemberian bantuan
rintisan penanganan persampahan dan drainase
pada beberapa kota besar; (d) pemberian bantuan
teknis berupa Penyusunan Rencana Induk Sistem
Prasarana Perkotaan Metropolitan dan Penyusunan
Strategi Pengembangan Perkotaan Metropolitan.
9) dalam rangka pelaksanaan
program penataan ruang nasional, telah dilakukan
beberapa kegiatan sebagai berikut.
a) untuk memantapkan kelembagaan
penataan ruang, mendayagunakan rencana
tata ruang dan memperkuat sistem
pengendalian pemanfaatan ruang, telah
dilaksanakan (1) penyelesaian Rancangan
Peraturan Presiden (Perpres) tentang

26 - 13
Rencana Tata Ruang Pulau, Rencana Tata
Ruang Kawasan Jabodetabek Punjur, Rencana
Tata Ruang Kawasan Perbatasan di Pulau
Kalimantan; (2) penyelesaian RUU
Pengelolaan Wilayah Pesisir, RUU Pengelolaan
Pulau-Pulau Kecil dan Terluar; (3)
penyusunan rencana tata ruang di kawasan
strategis nasional, seperti RTR Koridor Pantai
Barat Sumatra, Pantai Timur Kalimantan
Timur, dan Pantai Selatan Jawa, serta
kebijakan dan strategi penataan ruang
kawasan cekungan Bandung; (4) pemantapan
kelembagaan penataan ruang dan
penyelenggaraan pembinaan teknis kepada
daerah untuk perkuatan kelembagaan dan
kapasitas aparat legislatif dan eksekutif
penataan ruang di daerah; (5) revisi PP No.
10/2000 tentang ketelitian peta untuk
mendukung pelaksanaan UU No. 32/2004.
Selain itu, juga telah dihasilkan spesifikasi
teknis pemetaan rupa bumi 1:1.000, 1:2.500,
1:5.000, 1:10.000, 1:25.000, 1:50.000, dan
1:250.000, panduan teknis penyusunan basis
data tata ruang, pedoman transformasi peta
antarsistem proyeksi.
b) memantapkan kelembagaan penataan
ruang di tingkat nasional, daerah, dan
masyarakat dalam operasionalisasi penataan
ruang wilayah nasional, provinsi,
kabupaten/kota, dan kawasan. Hasil yang
telah dicapai adalah (1) koordinasi penataan
ruang nasional melalui Rakernas Badan
Koordinasi Tata Ruang Nasional (BKTRN)
pada Maret 2005; (2) terselenggaranya
koordinasi penataan ruang antara Ditjen
Penataan Ruang dan Dinas Tata Ruang

26 - 14
Provinsi dan Kabupaten/Kota; dan (3)
terbentuknya jejaring kelembagaan
Pemerintah, swasta dan masyarakat di bidang
penataan ruang.
c) meningkatkan upaya-upaya
pengendalian dan penegakan hukum dalam
pemanfaatan ruang baik di tingkat nasional,
provinsi, kabupaten/kota, maupun kawasan
melalui penerapan sanksi dan SPM
implementasi yang dituangkan dalam
peraturan perundangan dan perkuatan sistem
informasi. Adapun hasil yang telah dicapai
adalah (1) pemantapan portal sistem
informasi; (2) penataan ruang berbasis web;
(3) penyiapan iklan layanan masyarakat
tentang penataan ruang; dan (4) peningkatan
pemahaman dan peran serta masyarakat
dalam penyelenggaraan penataan ruang,
antara lain melalui kegiatan sosialisasi
peraturan perundangan dan produk-produk
penataan ruang kepada masyarakat serta
pembentukan dan pembinaan kelompok
masyarakat peduli tata ruang;
10) untuk pertanahan, hasil-hasil
yang telah dicapai sampai dengan pertengahan
Tahun Anggaran 2005 adalah:
a) dalam rangka pembaruan agraria telah
dilakukan penyempurnaan dan sosialisasi
peraturan perundang-undangan di bidang
pertanahan, antara lain, penyusunan RUU
Penyempurnaan Undang-Undang No. 5 Tahun
1960 tentang Sumber Daya Agraria, RUU
tentang Hak Tanah, RUU tentang
Pengambilalihan Tanah untuk Kepentingan
Pembangunan, dan RPP tentang Pembagian

26 - 15
Tanah dan Pemberian Ganti Kerugian sebagai
penyempurnaan PP No. 224 Tahun 1961. Di
samping itu, telah diselesaikan PP No. 16
Tahun 2004 tentang Penatagunaan Tanah.
b) pengaturan penguasaan untuk
mewujudkan pemerataan dan keadilan dalam
penguasaan/pemilikan tanah guna
meminimalisasi konflik dan sengketa agraria
salah satunya melalui kegiatan redistribusi
tanah obyek land reform.
c) pemberian jaminan kepastian hukum hak
atas tanah bagi masyarakat dengan
penetapan pedoman baku berupa standar
prosedur operasi pengaturan dan pelayanan
(SPOPP) pertanahan, penerbitan surat
keputusan hak atas tanah yang
memperhatikan kepastian hukum dan fungsi
sosial hak atas tanah, batas pemilikan tanah
pertanian dan perkotaan serta pencegahan
penelantaran tanah, serta penerbitan
sertifikat tanah melalui kegiatan Proyek
Operasi Nasional Agraria (PRONA), P3HT
(Proyek Penertiban dan Peningkatan
Pengurusan Hak atas Tanah), redistribusi
tanah, konsolidasi tanah, ajudikasi dan
program transmigrasi.
d) inventarisasi dan registrasi pertanahan
melalui kegiatan inventarisasi penguasaan,
pemilikan penggunaan, dan pemanfaatan
tanah serta sertifikasi tanah yang
dilaksanakan secara terpadu.
e) pengembangan kelembagaan pertanahan
menuju terwujudnya sistem pengelolaan
pertanahan, inventarisasi, dan pengolahan

26 - 16
data-data pertanahan serta sistem informasi
pertanahan yang terpadu, serasi, efektif, dan
efisien dalam rangka mewujudkan tertib
administrasi, tertib hukum, tertib penggunaan
tanah serta tertib pemeliharaan tanah dan
lingkungan hidup.
f) penyediaan peta rupa bumi untuk wilayah
Kalimantan 1:25.000 sebanyak 100 Nomor
Lembar Peta (NLP) dan skala 1:250.000
sebanyak 10 NLP; Papua 1:250.000 sebanyak
30 NLP, wilayah Sulawesi, Sumatera, Jawa,
dan Bali skala 1:500.000 sebanyak 25 NLP,
Peta Lingkungan Pantai Indonesia (LPI)
Gorontalo dan Kalimantan 1:50.000 dan
1:250.000 sebanyak 21 NLP; Peta Batas RI-
RDTL skala 1:1.000 sebanyak 66 NLP; Peta
Batas RI-Malaysia skala 1:2.000 sebanyak 20
NLP, Peta Batas Maritim skala 1:200.000
sebanyak 61 NLP dan peta rancangan batas
wilayah sebanyak 2 NLP.
g) penyediaan peta tematik yang terdiri
atas: peta liputan lahan nasional 1:1.000.000
sebanyak 36 NLP; peta liputan lahan provinsi
skala 1:250.000 Sumatra, Jawa, Maluku, Bali,
Nusa Tenggara sebanyak 103 NLP; Peta
tematik SDA dan LH skala 1:250.000
Kalimantan dan Sulawesi sebanyak 444 NLP;
peta tematik sumber daya laut nasional skala
1:1.000.000 sebanyak 252 NLP; peta tematik
sumber daya laut wilayah ALKI I dan III
1:250.000 sebanyak 268 NLP; peta integrasi
Pulau Kalimantan, Sumatera, Jawa, Bali, Nusa
Tenggara dan Maluku 32 NLP untuk 4 (empat)
tema (lahan, hutan, air, mineral); Peta neraca
SDA laut nasional 1: 1 juta sebanyak 4 NLP,

26 - 17
skala 1:250.000 sebanyak 16 NLP dan skala
1:50.000 sebanyak 16 NLP.

III. Tindak Lanjut yang Diperlukan


Berdasarkan hasil pelaksanaan kebijakan yang
diuraikan di atas, di samping adanya kebijakan yang
sudah terlaksana dengan baik, masih ada kebijakan
yang belum secara efektif dapat dilaksanakan. Oleh
karena itu, diperlukan tindakan lebih lanjut agar
kebijakan yang sudah ditentukan dapat dijalankan
secara konsisten dan berkesinambungan. Tindak lanjut
dimaksud meliputi hal-hal sebagai berikut.
1) dalam rangka percepatan
pembangunan wilayah-wilayah tertinggal, perlu (a)
meningkatkan kesepahaman dan komitmen dalam
penanganan wilayah tertinggal antara berbagai
pihak terkait di pusat dan daerah dan di semua
tingkat pemerintahan; (b) meningkatkan upaya
koordinasi dan sinkronisasi program pengembangan
wilayah tertinggal secara terpadu di pusat dan
daerah; (c) mendorong penyusunan kebijakan yang
memprioritaskan penanganan wilayah tertinggal
secara terpadu di pusat dan daerah; (d) mendorong
penanganan wilayah tertinggal kepada pemerintah
daerah dan masyarakat sehingga menjadi prioritas
pembangunan daerah dan pengalokasian anggaran
program dalam APBD; (e) menangani lanjutan
pemberdayan KAT secara lebih terkoordinasi dan
terpadu antarsektor mencakup aspek sosial budaya,
ekonomi dan politik serta mengembangkan
kemandirian agar mereka mampu melakukan
perubahan sosial dengan membudidayakan sumber
dan potensi lingkungan, (g) dipertimbangkan
adanya kebijakan Dana Alokasi Khusus wilayah

26 - 18
tertinggal (DAK Wilayah tertinggal); (8) melengkapi
pembangunan permukiman transmigrasi dengan
prasarana dan sarana permukiman di wilayah
tertinggal (9) melanjutkan kebijakan pemberian
dana subsidi di wilayah-wilayah tertinggal, melalui
skema public service obligation (PSO), universal
service obligation (USO) dan keperintisan khususnya
untuk penyediaan dan pelayanan transportasi di
wilayah-wilayah tertinggal.
2) memperkuat peran Pemerintah
Provinsi dalam memfasilitasi kegiatan lintas daerah
melalui kerjasama antardaerah dan antarwilayah;
3) dalam rangka meningkatkan
aksesibilitas wilayah-wilayah tertinggal, terisolasi,
dan perbatasan, pembangunan transportasi sangat
diperlukan, terutama untuk membuka peluang
kegiatan perdagangan antar wilayah dan
mengurangi perbedaan harga antarwilayah, serta
meningkatkan mobilitas sumber daya terutama
tenaga kerja;
4) dalam rangka pengembangan
wilayah perbatasan perlu: (1) menetapkan tapal
batas antarnegara secara jelas dan sah secara
hukum internasional; (2) meningkatkan upaya
pengawasan dan pengamanan wilayah perbatasan
melalui pembangunan sarana dan prasarana garis
perbatasan darat dan laut; (3) menyusun kebijakan
nasional yang dapat dijadikan sebagai acuan bagi
pengembangan kawasan perbatasan secara terpadu
dan ditetapkan melalui UU, Keppres, dan peraturan
perundangan lain; (4) merumuskan lembaga
koordinasi kawasan perbatasan antarnegara yang
terpadu dan menyeluruh untuk meningkatkan upaya
pengelolaan pembangunan kawasan perbatasan; (5)
menyusun kebijakan penggunaan dan pengelolaan

26 - 19
sumber daya alam di sepanjang perbatasan dengan
meningkatkan keterlibatan masyarakat kawasan
perbatasan, termasuk perlunya kebijakan
kompensasi bagi wilayah konservasi di perbatasan;
(6) menyusun rencana induk pengelolaan pulau
kecil terluar melalui pelibatan masyarakat (7)
melanjutkan pembangunan infrastruktur di
kawasan-kawasan perbatasan dan pulau-pulau kecil,
yang mencakupi: penyediaan prasarana dan sarana
air bersih, jalan kota dan poros desa, sanitasi,
drainase dan perumahan di kawasan perbatasan di
7 provinsi perbatasan Riau, Kalimantan Barat,
Kalimantan Timur, Sulawesi Utara, Nusa Tenggara
Timur, Maluku, dan Papua, terutama di
kabupaten/kota Sanggau, Sintang, Sambas, Kapuas
Hulu, Nunukan, Bulungan, Maluku Tenggara Barat,
Kepulauan Talaud, Sangihe, Belu, Kupang,
Jayapura, Bovendigoel, Merauke, Peg. Bintang,
Keerom, Tanjungpinang, Natuna, Karimun, dan lain-
lain serta penanganan PS perdesaan termasuk air
minum, dan perumahan pulau-pulau kecil/terpencil,
pengembangan perumahan di 26 provinsi pada 40
kawasan;
5) dalam rangka mendorong
percepatan pembangunan kawasan cepat tumbuh
dan strategis diperlukan (1) fasilitasi dalam rangka
peningkatan daya saing wilayah, khususnya
pengarahan investasi publik dan swasta melalui
koordinasi dan sinkronisasi program-program
pengembangan lintas sektor/institusi pada wilayah
strategis dan cepat tumbuh, termasuk kawasan
andalan cepat tumbuh, Kapet, dan kawasan
strategis lain; (2) pengembangan produktivitas
kawasan dengan orientasi pada sistem pengolahan
dan pemasaran komoditas unggulan pertanian,
industri, dan pariwisata pada sentra-sentra produksi

26 - 20
dan kawasan potensial lain, secara
berkesinambungan; (3) fasilitasi dalam
menterpadukan dan mengembangkan program-
program pengembangan sumber daya manusia
dalam kerangka kewirausahaan dan ketrampilan
teknis, melalui kegiatan yang berkesinambungan;
(4) penelitian dan pengembangan teknologi untuk
pengembangan produk unggulan; (5)
pengembangan jaringan informasi dan komunikasi
modern antara pusat-daerah-internasional,
khususnya terkait dengan informasi dan jaringan
pasar dan pemasaran; (6) promosi dan publikasi
secara agresif dengan mengembangkan kerjasama
dengan perwakilan bangsa di luar negeri, dalam
mempromosikan potensi-potensi unggulan daerah;
6) mengembangkan daerah untuk
mendukung perkembangan kota metropolitan dan
besar yang berkembang pesat melalui
pengembangan kota-kota baru/pengembangan kota
satelit maupun permukiman berskala besar guna
mengurangi urban sprawl (pembangunan perkotaan
yang tidak terkendali);
7) melaksanakan program
Pemberdayaan Komunitas meliputi: (a) penataan
dan rehabilitasi lingkungan permukiman kumuh
seluas 2.268 ha, melalui perbaikan rumah dan
prasarana dan sarana permukiman sebanyak 42.000
unit PSD; (b) perbaikan dan penataan kembali
lingkungan permukiman tradisional pada 79
kawasan; (c) penanggulangan kemiskinan di
perkotaan (P2KP) pada 2.058 kelurahan; (d)
peningkatan kapasitas Pemda dan masyarakat
dalam penataan permukiman (NUSSP) di 16
provinsi;
8) menggunakan rencana tata

26 - 21
ruang sebagai pedoman perencanaan pembangunan
baik di tingkat nasional dan daerah untuk menjamin
keterpaduan pemanfaatan ruang antarwilayah,
antarsektor dan antarpelaku dalam mendukung
upaya pengurangan ketimpangan wilayah;
9) mempercepat penyelesaian
Rancangan Perpres Rencana Tata Ruang Kawasan
Perbatasan Negara di Pulau Kalimantan dan
Rancangan Perpres Rencana Tata Ruang Kawasan
Jabodetabek Punjur;
10) mendorong Kerja Sama Ekonomi
Subregional (KESR) untuk mewujudkan kawasan
yang atraktif bagi investasi dan mendorong
pengembangan wilayah;
11) upaya yang perlu dilakukan
dalam pelaksanaan kebijakan pertanahan,
memerlukan tindak lanjut sebagai berikut:
a) memantapkan jaminan kepastian hukum
melalui penyempurnaan peraturan
perundang-undangan, penyelesaian
sengketa pertanahan, dan
penyelenggaraan pendaftaran hak atas
tanah;
b) mengurangi ketimpangan penguasaan,
pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan
tanah (P4T), melalui pelaksanaan land
reform, pengaturan keseimbangan dan
keserasian antara ketersediaan dan
kebutuhan atas tanah, serta
pengendalian pertanahan dan
pemberdayaan masyarakat;
c) membangun dan mengembangkan
pengelolaan data dan informasi

26 - 22
pertanahan, melalui penyusunan data
tanah-tanah aset negara, inventarisasi
lokasi pulau-pulau kecil, peningkatan
penggunaan, dan pemanfaatan bersama
data dan informasi bidang-bidang tanah,
percepatan pendataan pertanahan
melalui pemetaan dasar bidang-bidang
tanah dengan menggunakan rektifikasi,
citra satelit, penyusunan sistem
informasi pertanahan, inventarisasi dan
evaluasi potensi dan mutasi sawah irigasi
teknis di seluruh Indonesia sehubungan
dengan kebijakan ketahanan pangan
nasional, inventarisasi dan pemetaan
penggunaan dan kemampuan tanah
detail, dan penyusunan neraca
penatagunaan tanah;
d) menguatkan kelembagaan pertanahan
melalui:
(1) pembentukan Kantor Wilayah
BPN dan Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota
pemekaran dalam rangka meningkatkan dan
mendekatkan pelayanan pertanahan di
daerah;
(2) kerja sama yang intensif
antarinstansi dan lembaga pemerintah serta
pengembangan sumber daya manusia
melalui pendidikan dan pelatihan tenaga
pertanahan serta penyediaan sarana dan
prasarana kerja teknis pertanahan.

26 - 23

You might also like