You are on page 1of 3

Hutan Adat

Hutan adat dan hutan desa merupakan pilihan hukum masyarakat untuk mengelola hutan di
dalam kawasan hutan negara. Hutan adat dikhususkan untuk diberikan kepada masyarakat
hukum adat. Sementara itu Hutan Desa adalah hutan negara yang belum dibebani izin/hak,
yang dikelola oleh desa dan dimanfaatkan untuk kesejahteraan desa. Sampai saat ini peraturan
pelaksana yang mengatur hutan adat dan hutan desa masih dalam taraf pembahasan.

UU 41 menjanjikan peluang bagi peran serta masyarakat dalam pengelolaan hutan dan
menetapkan dasar pengusahaan hutan dan sumber daya hutan yang lebih beragam demi
memberdayakan masyarakat. Tetapi pemberdayaan tidak bisa diberikan oleh pihak luar. Orang
hanya bisa berdaya jika memberdayakan diri sedangkan pemerintah hanya bisa menciptakan
lingkungan pendukung yang memungkinkan orang memberdayakan dirinya. Karena itu apa
yang sebenarnya perlu diatur dalam memberdayakan masyarakat melalui hutan adat dan hutan
desa?

Menurut kerangka hukum yang berlaku sekarang, hutan adat dan hutan desa adalah hutan
negara yang dibebani hak pengelolaan yang diberikan oleh negara pada masyarakat adat atau
masyarakat desa . Dalam pengertian masyarakat, hutan adat adalah hutan yang berada dalam
wilayah adat dan hutan desa berada di wilayah desa, tanpa membedakan apakah berada dalam
kawasan hutan negara atau tidak. Apakah hutan yang berada dalam wilayah adat atau wilayah
desa di luar kawasan hutan dapat dikatakan hutan adat atau hutan desa? Apakah hutan hanya
hutan jika ada penetapan resmi pemerintah? Kapan sebidang tanah bertumbuhkan pohon yang
dikelola sebagai hutan dapat disebut hutan?
Dan setelah ditetapkan, apa hak masyarakat adat dan masyarakat desa? Apa artinya hak
mengelola? Dalam penjabarannya, hak mengelola diterjemahkan menjadi tanggung jawab dan
kewajiban dan untuk memperolehnya dibutuhkan proses administrasi yang cukup rumit. Tetapi
di mana perlindungan atas hak-hak mereka, termasuk perlindungan terhadap penyerobotan
oleh pihak lain maupun salah satu anggota mereka sendiri? Dan bila hutan adat atau hutan
desa berada di luar kawasan hutan tetapi disepakati untuk dipertahankan sebagai hutan,
apakah ada jaminan bahwa pemerintah tidak meng-ijinkan pihak lain merambahnya?

Sementara itu, kehidupan modern telah merubah tatanan masyarakat. Sedikit sekali
masyarakat adat yang masih homogen dan tidak terintegrasi ekonomi pasar. Sumber daya alam
dinilai dalam uang yang dapat dihasilkan baik dari menjual atau uang kompensasi atau ‘fee’.
Hak-hak adat yang dapat berkisar dari hak pakai komunal sampai hak milik perorangan menjadi
sumber konflik baik di dalam masyarakat maupun antar masyarakat. Peraturan adatpun telah
berubah menurut jaman.

Karena otonomi daerah juga tidak secara berarti mengubah struktur administrasi
pemerintahan, dan desa (kampung) merupakan kesatuan masyarakat yang relatif stabil,
terbuka dan inklusif, hutan desa lebih mudah diatur daripada hutan adat.

Maka pemerintah hanya perlu menentukan kriteria dan standard pengelolaan hutan desa
(adat) menurut fungsinya, menentukan agar penunjukkan hutan desa (adat) tidak
bertentangan dengan kepentingan umum, menjamin kepastian hak yang diberikan atau diakui
dan memberi dukungan teknis dan melakukan pemantauan dan evaluasi. Masalah penunjukkan
badan pengelola, pembagian hak dan kewajiban dan cara pengelolaan seharusnya diserahkan
pada masyarakat pemegang hak.

Kebijakan Hutan Adat (HA), Hutan Desa (HD), hutan kemasyarakatan (HKm) membuka peluang
lebih besar kepada masyarakat kampung/desa untuk akses pada dan memegang hak
pengelolaan atas sumberdaya hutan yang dikuasai Negara dengan suatu jaminan kepastian
(secara hukum) yang lebih kuat, meskipun masih mengandung pembatasan-pembatasan. Hak
masyarakat yang diperoleh adalah (jika mengacu pada Ostrom and Schlager, 1996: 133) hak
mengelola (management) dan eksklusi (exclusion), bukan hanya memungut atau hanya akses
(Access). Sumberdaya hutan yang dikuasai negara diharapkan benar-benar untuk kemakmuran
rakyat sesuai amanat rakyat yang tertuang dalam UUD Negara kita. Kemakmuran rakyat bukan
hanya dalam arti kehidupan ekonomi, melainkan mencakup kenyamanan, kesehatan,
keindahan, dan segala kebutuhan hidup manusia yang dapat dipenuhi oleh fungsi hutan.

Perwujudan peluang itu tergantung pada operasionalisasinya lebih lanjut. Suatu kenyataan
bahwa operasionalisasi kebijakan membutuhkan upaya-upaya yang terus menerus dan waktu
yang panjang. Sudah hampir 10 tahun sejak UU 41/99 (bahkan lebih lama lagi sejak kebijakan
HKm 1992) operasionalisasi HA, HD dan HKm dapat dikatakan mandeg. Apa yang menjadi
kendala?
Kendala-kendala yang dihadapi oleh masyarakat dalam mewujudkan peluang untuk mengelola
hutan negara berasal dari internal dan eksternal masyarakat. Kendala internal masyarakat
berupa kapasitas teknis dan manajemen. Meskipun cukup banyak kelompok masyarakat yang
telah menunjukkan bukti-bukti kemampuannya dalam hal mengelola hutan secara lestari,
namun kenyataan lain juga menunjukkan adanya proses- proses pemudaran kemampuan itu.
Proses itu berlangsung sejalan dengan intervensi-intervensi pasar dan politik yang tidak
mampu dibendung oleh masyarakat. Oleh karena itu upaya-upaya menguatkan kembali
kemampuan masyarakat (modal manusia, modal sosial, modal budaya, dan modal ekonomi)
sangat diperlukan. Hal itu berarti dukungan peran pemerintah (pusat dan daerah), lembaga
swadaya masyarakat, lembaga pendidikan dan penelitian, lembaga keuangan sangat penting.

Peran penting dari pemerintah itu justru menjadi kendala eksternal. Kesiapan pemerintah
(Dinas Kehutanan Provinsi dan Kabupaten, para penyuluh kehutanan lapangan, dan dinas-dinas
lainnya) untuk melayani dan memfasilitasi masyarakat belum memadai. Belum memadai
jumlahnya, pengetahuan dan keterampilannya, dan (yang lebih penting) pedoman norma
moralnya yang mendasari pandangan, sikap dan perilakunya. Sebagian dari kita masih sibuk
mempertanyakan apakah kelompok masyarakat itu mempunyai hak adat, atas dasar apa hak
adat itu, bagaimana asal usul masyarakat adat, apakah masyarakat mampu, apakah masyarakat
tidak akan menjual lahan, dan seterusnya.

Proses panjang menyusun peraturan perundang undangan (UU 41/99, PP 34/2002, PP 6/2007,
dan draf PP lainnya yang terkait) berkaitan dengan prasangka, kecurigaan, keraguan,
keengganan, dan ketakutan. Kelemahan-kelemahan masyarakat tidak boleh menghilangkan
atau mengurangi kewajiban dan tanggung jawab pemerintah, LSM, perguruan tinggi dan para
pihak lain untuk memberikan hak pengelolaan hutan Negara kepada masyarakat. Sebaliknya
adalah tanggung jawab moral kita bersama untuk meningkatkan dan menguatkan kapasitas
masyarakat. Kita lakukan perubahan mendasar pada diri kita, perubahan norma moral, untuk
dapat mendukung orientasi tanggung jawab kita kepada masyarakat.

Disadur dari : Kajian dan opini Dr. Moira Moeliono Peneliti, CIFOR

You might also like