Professional Documents
Culture Documents
SISTEM RESPIRASI
Disusun Oleh :
Kelompok 7
Teguh Rachmanto (10609051)
Tria Widiasih (10609053)
Gita Dewi Kusumo (10609059)
Nabhilla Chairunnisa (10609061)
Karlina Febrianti (10609068)
Iin Nurindah Sari (10609077)
Asisten :
Fajar Mujadid (10606069)
1. 1 Latar Belakang
Respirasi merupakan ciri terpenting pada makhluk hidup. Pentingnya pengukuran jumlah
O2 yang dikonsumsi oleh hewan dalam selang waktu tertentu dengan menggunakan small
animal metabolism apparatus dan metode Winkler adalah untuk mengetahui bagaimana sistem
pernapasan pada hewan-hewan yang diteliti, seperti pada ikan, kadal, serta mencit. Melalui
percobaan ini, kita dapat melihat kemampuan respirasi ikan sehingga kita dapat mengetahui
kadar sistem akuatik di suatu tempat, apakah ekosistem tempat ikan tersebut bersih atau tidak itu
dapat dilihat dari kemampuan respirasinya. Pada kadal dan mencit, percobaan ini memberikan
hasil perbandingan kemampuan respirasi dilihat dari pengaruh jenis hewan tersebut, yaitu yang
berdarah dingin dan berdarah panas. Hasil perbandingan inilah yang nanti digunakan untuk
melihat pula bagaimana laju metabolisme dari masing-masing jenis hewan tersebut. Pada mencit
dapat diamati leih lanjut dari sistem respirasinya yang secara umum hamper menyerupai sistem
respirasi pada manusia sehingga melalui percobaan ini dapat membantu perkembangan dunia
medik dalam mempelajari sistem respirasi manusia.
1. 2 Tujuan
2. 1 Respirasi
Oksigen merupakan gas yang sangat penting bagi makhluk hidup. Sel-sel tubuh kita
memerlukan oksigen untuk melakukan pembakaran. Makanan dibakar di dalam tubuh agar
menghasilkan energi. Energi tersebut diperlukan sel untuk menjalankan fungsinya. Karbon
dioksida yang dihasilkan pada proses pembakaran ini bila terakumulasi dapat membahayakan
tubuh, karenanya harus segera dikeluarkan dari tubuh. Proses dalam uraian di atas disebut
respirasi sel. (Novida, 2008)
Oksigen yang dibutuhkan tubuh tersebut didapatkan dari proses respirasi, begitu pula
CO2 yang dikeluarkan oleh tubuh pun dilakukan oleh sistem respirasi. Respirasi adalah proses
pertukaran gas O2 (oksigen) dari udara oleh organisme hidup yang digunakan untuk serangkaian
metabolism yang akan menghasilkan CO2 (karbon dioksida) yang akan dikeluarkan oleh tubuh.
(Wiryadi, 2007)
Ditinjau dari bentuknya respirasi terbagi dua macam, yaitu respirasi eksternal (luar) dan
internal (dalam). Respirasi eksternal meliputi proses pengambilan oksigen dan pengeluaran
karbondioksida dan uap air antara makhluk hidup dengan lingkungannya, misalnya pada
tumbuhan, hewan, dan manusia. Respirasi internal disebut juga pernafasan seluler karena
pernafasan ini terjadi di dalam sel, yaitu di dalam sitoplasma dan mitokondria. (Siregar, 2010).
Berdasarkan kebutuhan akan oksigen, respirasi internal dibagi menjadi respirasi aerob
(memerlukan oksigen) dan respirasi anaerob (tidak membutuhkan oksigen). Respirasi aerob
merupakan rangkaian reaksi enzimatis yang menggunakan oksigen bebas dari udara untuk
mengubah glukosa sempurna menjadi CO2, H2O, dan energi sebesar 38 ATP dalam 3 tahapan,
yaitu glikolisis, siklus Krebs, dan transpor elektron. (Siregar, 2010)
Respirasi anaerob atau yang biasa disebut fermentasi atau peragian merupakan
serangkaian reaksi enzimatis yang memecah glukosa secara tidak sempurna karena kekurangan
oksigen yang pada umumnya terjadi pada tumbuhan, fungi, dan bakteri. Pada manusia, respirasi
anaerob menghasilkan asam laktat sehingga menyebabkan rasa lelah, sedangkan pada tumbuhan,
ragi, reaksi ini menghasilkan CO2 dan alkohol. Respirasi anaerob hanya menghasilkan sedikit
energi, yaitu 2 ATP. Menurut hasil samping yang terbentuk, maka fermentasi dibedakan atas
fermentasi alkohol pada ragi (khamir) dan bakteri anaerobik, fermentasi asam laktat pada
umumnya di sel otot, dan fermentasi asam sitrat pada bakteri heterotrof. (Siregar, 2010)
Alat-alat respirasi tiap makhluk hidup tidak selalu sama, berbeda-beda tergantung tempat
tinggal, habitat, jenis, dan faktor-faktor penentu lainnya. Selain itu, kecepatan respirasi pada
berbagai hewan berbeda bergantung dari berbagai hal, antara lain, aktifitas, kesehatan, dan bobot
tubuh. (Wiryadi, 2007)
Prinsip Kerja
Pengukuran laju respirasi dengan metode Winkler digunakan untuk menentukan
tingkat oksigen terlarut dalam sampel air juga untuk memperkirakan aktivitas biologis
dalam sampel air. Kelebihan ion Mangan (II) garam, iodida (I -) dan hidroksida (OH-),
ditambahkan ke sampel air yang sudah kita dapat, yang akan menyebabkan terbentuknya
endapan putih Mn(OH)2. Endapan putih ini kemudian dioksidasi oleh oksigen yang
terlarut dalam sampel air, ke dalam endapan Mangan yang berwarna coklat. Pada langkah
selanjutnya, asam kuat (baik asam klorida atau asam sulfat) ditambahkan kedalam
larutan, yang bertujuan untuk mengasamkan larutan. Endapan coklat kemudian
mengubah ion iodida (I-) menjadi Iodin. Jumlah oksigen terlarut adalah berbanding lurus
dengan titrasi yodium dengan larutan tiosulfat.
Metode Kerja
Pertama-tama Mangan (II) sulfat ditambahkan ke sampel air lingkungan.
Selanjutnya, Kalium Iodida ditambahkan untuk menghasilkan endapan merah muda-
coklat di dalam larutan. Selanjutnya, oksigen terlarut akan mengoksidasi Mangan (II) ion
menjadi dalam keadaan tetravalent.
MnO(OH)2 muncul sebagai endapan coklat. Para ahli masih belum dapat
memastikan apakan mangan dioksidasi itu tetravalen atau trivalen. Beberapa sumber
menyatakan bahwa Mn(OH)3 adalah endapan coklat, tetapi MnO2 yang terhidrasi juga
dapat memberikan warna coklat.
4 Mn(OH)2(s) + O2(aq) + 2 H2O → 4 Mn(OH)3(s)
Tahap kedua dari uji Winkler adalah mengurangi keasaman solusi sampel. Terjadi
konversi, sehingga endapan coklat yang terbentuk akan larut kembali ke dalam larutan.
Asam memfasilitasi konversi endapan cokelat, larutan mangan yang masih mengandung
ion iodide, menjadi unsure Iodine. Mn(SO4)2 dibentuk oleh asam untuk mengkonversi
ion iodida menjadi Iodine, larutan itu sendirilah yang selanjutnya akan tereduksi dan
kembali menjadi ion Mangan (II) dalam media asam.
Larutan Tiosulfate di gunakan untuk menitrasi, dan juga ditambahkan 4-5 tetes
amilum sebagai indikator dan kemudian dititrasi.
Analisis
Berdasarkan reaksi kimia diatas, dapat kita tarik kesimpulan bahwa :
Oleh karena itu, setelah menentukan jumlah mol Iodine yang dihasilkan, kita dapat
bekerja di luar jumlah mol molekul oksigen yang hadir dalam sampel air asli. Kandungan
oksigen biasanya memiliki satuan mg dm-3.
Limitasi
Metode ini juga memiliki limit atau batasan tertentu. Keberhasilannya sangat
tergantung pada cara penanganan sampel saat sedang dimanipulasi. Pada semua tahap,
langkah-langkah harus dilaksanakan dengan tepat untuk memastikan oksigen yang
dibutuhkan untuk pengamatan tidak hilang dari sampel. Selanjutnya, sampel air harus
bebas dari zat terlarut yang akan dioksidasi atau Iodine yang tereduksi.
Akurasi
Keakuratan metode ini sangat dipengaruhi oleh:
a. Oksidasi udara terhadap Iodine
b. Kevolatilan Iodine
c. Oksigen yang disumbangkan oleh reagen
d. Kontaminasi Iodida dalam larutan
e. Konsumsi atau produksi Iodine oleh reagen
f. Perbedaan antara titik akhir titrasi dan titik ekivalen.
y = b + mx
keterangan :
y = luas permukaan cm2
b = 0.437 ("y" intercept)
m = 2.143 (kelandaian)
x = berat hewan
Dalam keadaan istirahat, seekor mencit memiliki laju konsumsi oksigen sebesar 2,5 mL
O2/gr/jam, sedangkan pada saat aktif sebesar 20mL O 2/gr/jam (Seeley,2003). Berdasarkan
Seeley (2003), laju konsumsi ikan mas adalah sebesar 0,14 ml/gr/jam saat tidak aktif dan
0,255ml/gr/jam saat aktif.
Menurut Dunson (1981), laju konsumsi oksigen kadal (Sphaerodactylus cinereus) adalah
sekitar 0,1 mL O2/gr/jam.
Pemakaian dalam kehidupan rumah tangga sehari-hari sudah tidak dapat disangsikan lagi
kegunaannya. Namun tidak banyak orang mengetahui komposisi dan efek di balik penggunaan
senyawa kimi ini. Detergen sebagai suatu senyawa penghilang noda pada pakaian tersusun atas 8
komponen utama, yaitu zat pembangun, flouresence dyes, enzim, zat penghambat korosi,
pemutih, fillers, zat pewangi, dan zat pewarna (John Toedt et all, 2005).
Fillers atau yang biasa disebut dengan reagen pemroses berperan penting dalam detergen
adalah sebagai suatu reagen yang akan menambahkan volume penggunaan dtergen sehingga
terlihat lebih banyak, dalam kasus sehari-hari busa merupakan hasil yang didapatkan dari
penambahan zat fillers ke dalam campuran senyawa kimia detergen. Sedangkan zat penghambat
korosi berfungsi dalam mencegah ion-ion perusak yang dapat menstimulasi timbulnya karat pada
mesin cuci. Adapun fungsi zat pembangun, enzim, dan pemutih berperan penting dalam
menghilangkan noda pada pakaian. Sedangkan flourescence dyes dan zat pewarna berperan aktif
dalam menjaga warna dari pakaian dan terdapat pula kandungan zat pewangi yang
menambahkan wangi pada pakaian (John Toedt et all, 2005).
Berdasarkan komponen penyusunnya, detergen terbagi atas detergen ABS dan LAS.
Kedua detergen ini juga sangat berbeda dalam tingkat kesulitan terurainya komponen-komponen
di alam oleh bakteria (John Toedt et all, 2005).
Pada tahun 1950 diketahui pertama kali bahwa detergen alkylbenzene sulfonate (ABS)
yang banyak digunakan pada masa itu memiliki efek samping yang begitu besar pada ekosistem.
Alkylbenzene merupakan senyawa hasil pengolahan petroleum dan dibuat dari pemadatan
dengan menggunakan α-olefin dengan benzene. Tingkat stabilitas ABS yang begitu tinggi
merupakan hasil dari pengelompokan sulfonat dan rantai panjang hidrokarbon yang berasal dari
petroleum. Akan tetapi tingkat stabilitasnya yang begitu tinggi menjadikan detergen ABS tidak
dapat diuraikan oleh bakteria di alam, sehingga lambat laun penumpukan detergen ABS yang
begitu tinggi dapat mencemari ekosistem (John Toedt et all, 2005).
Penggunaan detergen ABS kemudian dengan segera digantikan oleh detergen linear
alkylbenzene sulfonate (LAS) yang lebih mudah diuraikan oleh bakteria. Detergen ini tersusun
atas rantai hidrokarbon panjang yang menempel pada cincin benzen yang juga melekat pada
kelompok sulfonat bermuatan negatif (John Toedt et all, 2005).
Detergen yang merupakan senyawa organik terdiri atas tiga tipe utama, yaitu detergen
anionik, non-ionik, dan kationik. Detergen anionik dan kationik memiliki muatan positif ataupun
negatif yang , melekat secara permanen pada rantai C-C yang hidrofobik dan bersifat non-polar.
Sedangkan dtergen non-ionik tidak memiliki muatan permanen, namun berbeda dengan detergen
anionik dan kationik, detergen non-ionik memiliki sejumlah atom dengan muatan elektronegatif
dan elektropositif yang lemah. Hal ini dikarenakan ole atom oksigen yang menarik elektron pada
detergen non-ionik tersebut (anonim 1, 2009).
Akan tetapi penggunaan detergen dapat berakibat buruk pada ekosistem. Tidak hanya
pada kasus penguraian oleh bakteria yang telah disebutkan sebelumnya, namun juga dikarenakan
oleh beberapa faktor lain yang tidak kalah merugikan (anonim 1, 2009).
Pengaruh detergen dalam siklus hidup ikan dapat berpengaruh secara langsung maupun tidak
langsung. Pengaruh secara langsung dapta ditunjukkan dengan kemampuan detergen dalam
merusak lapisan lendir pada permukaan tubuh ikan yang melindungi hewan tersebut dari bakteria
dan parasit pengganggu dan juga organ insang pada ikan. Hal ini disebabkan oleh muatan pada
detergen yang menjadikannya mudah diserap oleh ikan (anonim 1, 2009).
Kandungan fosfat di dalam detergen dapat membantu perkembangbiakan alga yang dapat
melepas racun ke dalam air dan mengikat kandungan oksigen dari dalam air. Hal ini dapat
menyebabkan ikan lambat laun akan mati karena kekurangan oksigen. Kontributor lainnya dalam
zat racun pada detergen ialah adanya kandungan larutan natrium silikat yang dapat mencemari
lingkungan akuatik (anonim 1, 2009).
Detergen sebanyak 15 ppm dapat dengan mudah membunuh seluruh ikan yang terdapat
dalam lingkungan akuatik tersebut. Sedangkan konsentrasi sebesar 5 ppm dapat membunuh
embrio pada telur-telur ikan. Kandungan detergen sebanyak 2 ppm dapat menyebabkan ikan
menyerap kandungan kimia sebanyak dua kali lebih banyak dibandingkan ikan pada lingkungan
akuatik yang bersih, menjadikan ikan akan mati karena keracunan walaupun kadar tersebut tidak
akan membunuh ikan secara langsung. Kadar maksimal dari pencemaran detergen pada
lingkungan akuatik ialah kurang dari 2 ppm agar ekosistem dan siklus hidup ikan dapat tetap
terjaga (anonim 1, 2009).
BAB III
METODOLOGI
3. 2 Cara Kerja
3. 2. 1 Metode Winkler (Ikan)
Erlenmeyer 2L diisi dengan 1 liter air. Seekor ikan dimasukkan kedalam tabung
Winkler. Erlenmeyer ditutup dengan penutup karet dengan 2 selang dan diolesi dengan
vaselin. Labu diisi air hingga penuh melalui selang 1. Air terus dimasukkan ke dalam
tabung sampai keluar air dari selang 2. Air yang keluar dari selang 2 ditampung sebanyak
250ml di botol Winkler. Selang 2 ditutup dengan penjepit dan setelah itu selang 1 juga
ditutup dengan penjepit. Erlenmeyer berisi ikan didiamkan selama 1 jam.
Botol 250ml berisi air ditambahkan 1mL MnSO4 dan 1mL KOH-KI. Botol
dikocok perlahan selama lebih kurang 4 menit. Botol didiamkan sekitar 20 menit hingga
semua endapan mengendap. Sekitar 2mL larutan dalam botol dibuang. Kemudian
ditambahkan 1mL H2SO4 pekat dengan pipet ukur. Botol ditutup dan dikocok lagi hingga
semua endapan larut. 100mL larutan tersebut dipindahkan ke Erlenmeyer 250mL dan
kemudian dititrasi dengan Na2S2O3 sampai berwarna kuning muda (tepat akan tidak
berwarna / bening). Kemudian ditambahkan 4 tetes amilum 1% sehingga larutan dalam
labu berwarna biru. Dititrasi kembali dengan Na2S2O3 hingga warnanya tepat bening.
Angka yang terbaca pada skala buret dicatat. Dilakukan duplo dengan 100mL larutan
yang masih tersisa di botol Winkler.
Setelah 1 jam, tuang air dari dalam labu Erlenmeyer 2L ke botol Winkler 250mL
hingga penuh. Kemudian dilakukan langkah-langkah yang sama untuk mengetahui kadar
oksigen dalam air setelah 1 jam. Laju konsumsi oksigen didapat dengan cara menghitung
selisih antara jumlah kadar oksigen saat t0 (sebelum 1 jam) dan saat t1 (sesudah 1 jam).
Dalam percobaan kami memakai dua metode yang berbeda untuk setiap duplo. Metode
pertama kami memakai standar skala, sedangkan duplo kedua memakai standar waktu. Apabila
duplo 2 disamakan terhadap waktu duplo 1, skalanya menjadi:
Duplo 2 : Waktu : 128 s
Skala : 0,64 ml
Rata-rata skala = 0,37 ml
Laju respirasi mencit = 0,37 ml/128 s/45,9 gr
= 10,41/jam/45,9 gr
= 0,227 ml/jam/gr
Pada percobaan ini kami tidak sempat melakukan duplo pada kadal karena alat yang kami
pakai tidak bekerja dengan baik. Tidak bekerjanya alat ini dapat dilihat dari larutan Brodie yang
tidak bergerak walaupun sudah menunggu lama. Ini disebabkan karena vaseline yang sudah
habis sehingga tidak seluruh lubang tertutupi, larutan Brodie yang menyumbat di ujung pipa
kapiler, dan pipa kapiler yang tidak seimbang sehingga larutan tidak bergerak lurus dan tidak
akurat.
Berdasarkan percobaan yang telah dilakukan diketahui spesimen ikan yang diamati
memiliki berat sebesar 15,8 gr. Tidak hanya itu, didapatkan suatu pengembangan rumus yang
didasarkan pada reaksi kimia berupa pernyataan bahwa :
4 x Kadar O2 dalam air = Volume Na2S2O3
Pada to = 0 jam
Volume Na2S2O3 pada titrasi (ml) Total Volume
Percobaan
Larutan Amilum Na2S2O3 (ml)
1 4,2 0,7 4,9
2 4,3 0,5 4,8
Rata-rata 4,85
Pada t1 = 1 jam
Volume Na2S2O3 pada titrasi (ml) Total Volume
Percobaan
Larutan Amilum Na2S2O3 (ml)
1 2,1 0,3 2,4
2 1,7 0,3 2,0
Rata-rata 2,2
Laju Konsumsi
V t =volume O 2 padat 0−volume O 2 pada t 1
¿ 1,2125 mL−0,55 mL
¿ 0,6625 mL
Laju konsumsi = volume O2 (mL) / berat ikan (gr) / waktu (jam)
= 0,6625 mL /15,8 gr /1 jam
= 0,0419 mL /g /jam
4. 4 Data Kompilasi Respirasi Lab Instruktusional Timur
Dalam keadaan istirahat, seekor mencit memiliki laju konsumsi oksigen sebesar 2,5
ml/gr/jam, sedangkan pada saat aktif sebesar 20 ml/gr/jam. Hasil pengukuran beberapa
kelompok di instruk timur ini tidak menunjukkan hal tersebut. Hasil perhitungan dari berbagai
kelompok berbeda-beda, namun rata-rata masih berada pada kisaran 0-3 ml/jam/gr. Ini berarti
tikus-tikus sedang berada dalam keadaan istirahat.
Pada perhitungan mencit kelompok 2 terlihat perbedaan yang mencolok. Ini disebabkan
oleh mencit yang terlalu hiperaktif atau sedang berpenyakit. Dari hasil tabel di atas, terlihat
bahwa data jantan dan betina tidak beraturan, jadi tidak bisa disimpulkan laju pernapasan mana
yang lebih besar.
Menurut literatur, mencit jantan laju respirasinya lebih tinggi dibandingkan mencit
betina. Ini dikarenakan jantan memiliki volume darah dan jantung yang lebih besar dibandingkan
betina. Berat badan betina yang relatif lebih besar daripada jantan tidak berpengaruh terhadap
laju respirasi (Kingsley,Richard.1999).
Untuk kadal, kelompok lain tidak mengamati jenis kelamin kadalnya. Oleh karena itu
kami tidak bisa membandingkan laju respirasi antara jantan dan betina. Namun rata-rata lajunya
berada di antara 0-1, walaupun ada satu data yang berbeda.
Menurut literatur, jantan lebih tinggi laju respirasinya dari betina. Apabila dilihat dari
tabel dapat dilihat bahwa jantan memiliki laju yang mendekati 2, sedangkan kelompok 3,5 dan 6
mendekati 0,5. Oleh karena itu diprediksi bahwa kadal kelompok 3,5, dan 6 adalah kadal betina,
sedangkan kadal 4 adalah jantan. Ini bisa dilihat dari laju respirasinya yang sangat tinggi
dibanding yang lain.
Perbedaan laju respirasi juga disebabkan oleh usia mencit yang berbeda-beda di antara
kelompok. Respirasi usia muda lebih kecil daripada dewasa. Ini dikarenakan jantung yang belum
sempurna dan aliran darah yang kecil. Temperatur juga mempengaruhi laju respirasi. Temperatur
saat melakukan percobaan ini adalah 30o
Sebagai respon terhadap panas, pembuluh darah perifer akan berdilatasi, sehingga darah
akan mengalir ke kulit. Meningkatnya jumlah panas yang hilang dari permukaan tubuh akan
mengakibatkan curah jantung meningkat sehingga kebutuhan oksigen juga akan meningkat. Pada
lingkungan yang dingin sebaliknya terjadi kontriksi pembuluh darah perifer, akibatnya
meningkatkan tekanan darah yang akan menurunkan kegiatan-kegiatan jantung sehingga
mengurangi kebutuhan akan oksigen. Namun karena dalam percobaan ini semuanya dalam
keadaan suhu yang sama, maka suhu tidak berpengaruh terhadap laju respirasinya
(Kingsley,Richard.1999)
Dalam termoregulasi dikenal adanya hewan berdarah dingin dan hewan berdarah panas.
Namun lebih dikenal dengan istilah endoterm atau ekosterm, bergantung dari sumber utama
panas tubuh hewan tersebut.
Endoterm adalah hewan yang sumber panasnya berasal dari hasil metabolisme. Suhu
tubuh hewan ini cenderung lebih konstan. Endoterm umum di jumpai pada kelompok burung
(aves), dan mamalia. Hewan endoterm disebut juga homoiterm karena suhu tubuh hewan ini
konstan. Hal ini dikarenakan adanya reseptor dalam otaknya sehingga dapat mengatur suhu
tubuh.
Eksoterm adalah hewan yang sumber panas tubuhnya berasal dari lingkungan sekitar
(menyerap panas lingkungan). Suhu tubuh hewan eksoterm cenderung fluktuatif. Hewan dalam
kelompok ini adalah amfibi, reptilia, ikan, dan invertebrata.
Mencit merupakan hewan endoterm. Berbeda dengan hewan eksoterm yang laju
metabolismenya berubah-ubah sesuai suhu lingkungan, hewan endoterm cenderung menjaga
suhu tubuh yang konstan. Akan tetapi, secara umum mereka akan membutuhkan lebih banyak
energi untuk menjaga kekonstanan suhu tubuhnya yang cukup tinggi tersebut. (Biofagri,2006)
Menurut studi dari literatur, karena hewan endoterm memperoleh panas tubuh melalui
metabolisme, seharusnya laju respirasi mencit lebih tinggi daripada kadal dan ikan. Namun yang
terjadi malahan sebaliknya. Hal ini kemungkinan besar terjadi karena suhu pada small animal
metabolism aparatus memiliki suhu yang cukup tinggi / diatas suhu ruang rata – rata yaitu 30 oC.
Karena suhu lingkungan cukup panas, maka yang dilakukan mencit adalah mendinginkan suhu
tubuhnya, sedangkan kadal memanfaatkan lingkungan hangat itu untuk menghangatkan
tubuhnya sehingga kadal bernafas lebih banyak.
BAB V
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA