You are on page 1of 38

Peter Kasenda

Kelas Menengah: Sebuah Persoalan

Sejarah masyarakat hingga kini


adalah sejarah pertentangan kelas

(Karl Marx)

Mundurnya Chalavit diawali dengan bangkitnya para pengusaha, karyawan, dan


kelompok kelas menengah Thailand untuk menuntut disahkannya konsitusi baru
antikorupsi. Mereka nenuntut PM Chavalit mundur, karena telah melakukan pembelian
suara dalam pemilu November 1997 dan melakukan korupsi dan melakukan korupsi serta
membiarkan sistim ekonomi yang buruk. Pihak oposisi menuntut pertanggungjawaban
terhadap praktik suap tender proyek-proyek pemerintah yang nilainya milyaran bath dan
berbagai skandal bank komersial yang memberi kontribusi terhadap jatuhnya
perekonomian Thailand Gejolak yang sama yang muncul di Korea Selatan sewaktu
pemerintah memutuskan secara sepihak UU perburuhan Para professional bergabung
bersama dengan para buruh dan mahasiswa mendemontrasi kebijakan pemerintah itu.

Kejadian yang serupa terjadi di Indonesia. pada tahun berikutnya. Soeharto dipaksa
mundur dari jabatannya sebagai presiden. Sebagaimana kita ketahui, sejak awal tahun
1998 terjadi gelombang aksi besar-besaran dengan tema yang kemudian dengan cepat
menguasai diskursus publik. Gerakan reformasi yang gegap gempita itu merupakan awal
dari sebuah peristiwa politik yang bersejarah, bukan hanya karena gelombang aksi itu
berhasil menurunkan Soeharto, tetapi sekaligus menjadi momentum dari apa yang bisa
disebut sebagai “aliansi kelas menengah“—sebuah koalisi antarkelompok sosial
terpelajar yang sebelumnya tidak pernah terbayangkan bisa bersatu melawan kekuasaan
rezim Orde Baru yang sebelumnya demikian kokoh. (Muhammad, 2001: 41)

Sejarah Perkembangan di Barat

Latar belakang sejarah timbulnya kelas menengah di Barat. Selama berabad-abad kaum
feodal dengan raja, pangeran, dan sebagainya, menguasai tanah-tanah luas. Dan kekayaan
serta kekuasaan mereka bertumpu pada penguasaan tanah-tanah luas ini. Di abad
pertengahan mulai timbul pergeseran dalam penguasan ekonomi sumber-sumber hidup
rakyat Hal ini erat sangkutannya dengan berkembangnya kota-kota, dan tumbuhnya
berbagai kegiatan ekonomi di dalam kota-kota, dalam bentuk berbagai kegiatan ekonomi
di dalam kota-kota, dalam bentuk berbagai kegiatan perdagangan, pembuatan barang-
barang (manufacturing industry) dalam skala kecil saja pada permulaannya. Kegiatan-
kegiatan niaga, keuangan dan industri baru ini menimbulkan kelompok sosial dan

1
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

fungsional kelas menengah yang kohesif pada permulaannya Kelompok ini juga
mengembangkan semangat mempertahankan kepentingan umum, dan membawa mereka
pada kesadaran diri sebagai warga masyarakat. Dan kesadaran ini juga mendorong
mereka untuk meneguhkan hak-hak khusus hukum dan hak-hak umum mereka yang lain.
Kesadaran ini juga mendorong mereka untuk sedia, jika diperlukan dengan memakai
kekerasan, untuk mengakhiri perbatasan-perbatasan terhadap berbagai hak penduduk
yang selama ini dipaksakan kepada rakyat oleh tuan-tuan feodal penguasa tanah-tanah.

Peralihan dari perekonomian abad pertengahan ke ekonomi modern mula-mula terjadi di


Italia, dan disusul di seluruh Eropa, dan adalah untuk sebagian besar upaya kaum borjuis
komersial dan industri yang hidup dan bekerja di kota-kota ini. Selama masa
pertumbuhan kapitalisme mereka tetap menduduki tempat yang dinamakan “status
menengah“ ini di antara keluarga-keluarga berhak istimewa yang lama (kaum
bangsawan, pemilik tanah) dan lapisan masyarakat yang disebut “serft “ (pekerja-pekerja
pertanian yang dikuasai oleh pemilik-pemilik tanah) dan rakyat petani yang terpaku pada
tanah mereka. Transformasi dari kedudukan di tengah ini perlahan-lahan terjadi sehingga
kelompok ini menjadi “kelas menengah“. Kelas menengah yang timbul terdiri dari
campuran unsur-unsur ekonomi dan kemasyarakatan yang heterogenous sifatnya, dan
sering saling bertentangan. Keadaan ini merupakan refleksi tidak saja dari kemuduran
pemilik tanah-tanah yang luas berhak istimewa selama ini, tetapi juga merupakan
kecenderungan struktur sosial yang tumbuh jadi bertambah kompleks yang menjelma di
tingkat-tingkat perkembangan kapitalisme kemudian.Setiap langkah transisi dan
merkantilisme ke liberalisme industrial ke neo-merkantilisme yang monopolistik disertai
persekutuan-persekutuan baru dan ketegangan baru di dalam “kelompok-kelompok
ekonomi menengah“ ini.

Kaum borjuis modern, meskipun berasal dari warga kota di abad pertengahan, dan
merupakan kelas menengah selama masa perantara adalah kelas menengah dalam arti
harfiah katanya itu. Hanya oleh teori sosial Marxis diartikan sebagai minoritas di atas
memegang hak-hak istimewa, dan menikmati nilai-nilai (surplus value) dan perlakuan
istimewa dari negara, dan secara yang tidak ditahan mendorong korban-korbannya ke
dalam barisan proletar.

Satu pandangan lain mengatakan bahwa ke dalam kelas menengah harus pula
dimasukkan pengusaha-pengusaha menengah di dalam industri dan perdagangan
penghasil barang-barang, seperti pengrajin dan petani, pemilik warung dan toko
pedagang kecil, pegawai negeri, dan pekerja-pekerja yang mendapat gaji, pengacara
berpraktek bebas, dokter dan kaum profesional lainnya.Sulit rasanya untuk membedakan
antara pengusaha kelas kakap dan kelas sedang. Keduanya harus dimasukkan ke dalam
kelas menengah.

Dalam proses mencapai usaha “laissez faire“ yang dilahirkan oleh Revolusi Perancis dan
Amerika, pengusaha-pengusaha kecil memegang peran yang menentukan. Suksesnya
revolusi-revolusi di akhir abad ke 18 dan di pertengahan abad ke 19 tidak saja berarti
kehancuran kekuasaan-kekuasaan feodalnya, kekuasaan gereja dari raja, tetapi juga
dibarengi oleh reorientasi kedudukan kelas menengah itu sendiri.

2
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

Mereka mau hak kebebasan berdagang dan menantang diteruskannya kedudukan-


kedudukan kuat “guilds“ (serikat kemahiran kerja) yang seakan memonopoli produksi
berbagai barang, dan susah sekali dimasuki orang luar. Mereka juga menentang hak-hak
istimewa kelompok-kelompok tertentu, memonopoli, subsidi, pengaturan harga dan
pembatasan-pembatasan lain terhadap perusahan dan pengusaha, yang diwariskan oleh
rezim otokratik di masa lampau.

Konsep perdagangan bebas juga menuntut dihapuskannya konvesi feodal mengenai


pemilikan tanah, karena secara tak wajar membatasi kapasitas konsumsi kelompok rakyat
terbanyak, dan akibatnya menghambat berkembangnya pasar bagi hasil industri
Terikatnya rakyat petani ke tanah juga mengurangi jumlah pekerja untuk sektor industri
dan menghambat pula perkembangan industri itu sendiri. Pengelolaan keuangan para
pengusaha juga mengharuskan adanya perundangan-undangan dan administrasi yang
sehat secara ekonomi dan komersial, dan terutama pula harus ditiadakan penyalahgunaan
keuangan negara. Janganlah negara menghambat pemupukan modal dengan mengenakan
pajak-pajak yang berat, harus dihalangi ekonomi pinjaman tanpa batas, pemborosan
penghasilan negara, dan jangan sampai memboroskan keuangan negara untuk
kemewahan istana-istana dan bantuan-bantuan keuangan dan sebagainya pada kaum
bangsawan yang sudah bangkrut.

Para pemilik pabrik, pedagang dan anggota kelas menengah yang lain punya sifat
individualistik dan anti-keotoriteran penguasa Sikap kelas menengah yang anti-
keotorieran ini juga terdapat di Inggris di pertengahan abad ke-19.

Mereka berpegang teguh pada prinsip-prinsip mengejar keuntungan dan persaingan


bebas. Jelaslah bahwa pengaruh kelas menengah yang berperan di bidang ekonomi dan
keuangan begini besar, tidak terbatas di dalam lingkungan kehidupan ekonomi
saja.Dengan bertambah besarnya pengaruh kelas menengah ini, maja seluruh kehidupan
sosial, intelektual, budaya juga tersedot ke dalam sistem harga kapitalis mereka; ilmu
pengetahuan, teklnologi, seni, pendidikan, politik, budaya ke dalam kerangka nilai-nilai
dan prinsip ekonomi yang berlaku. (Lubis, 1993: 108—111)

Ada beberapa hal penting mengenai esensi peran kelas menengah menurut sejarah timbul
di Barat. Pertama, kelas menengah merupakan kekuatan dalam masyarakat (negara) yang
diperlukan untuk mengontrol dan mengimbangi kekuasaan penguasa (raja dan kelas
ningrat tuan tanah) yang feodalistis. Dengan kekuatan ekonominya, kelompok menengah
ini berusaha mengendalikan kesewenang-wenangan kelas atas terhadap golongan bawah;
berusaha mengubah kebiasaan dan norma-norma yang terlalu menguntungkan kelompok
ningrat dan tuan tanah, menjadi norma yang lebih adil, manusiawi dan rasional; serta
berusaha agar peraturan-peraturan yang dibuat untuk anggota masyarakat mencerminkan
partisipasi masyarakat seluas mungkin. Dengan kata lain, tatanan sosial masyarakat
feodal (Stande) yang didasarkan atas pemilikan tanah melalui kelas menengah itu diubah
menjadi tatanan yang “demokratis“.

3
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

Kedua, kelas menengah timbul di Barat berkaitan erat dengan Reformasi dan Revolusi
Industri, yaitu berkaitan erat dengan nilai-nilai kewiraswastaan (entrepreneurship) yang
ada pada kelompok-kelompok agama tertentu. Kelompok ini merupakan basis kekuatan
timbulnya kelas menengah dan mesin pendorong utama bagi proses modernisasi di Barat

Ketiga, dan ini berkaitan langsung dengan yang kedua, bahwa inti dari kelas menengah
adalah kelompok pedagang dan pengusaha, yaitu mereka yang memiliki faktor-faktor
produksi, atau yang memproduksi barang-barang Kaum pedagang ini—paling tidak untuk
kepentingan analisis bisa – ditempatkan dalam satu kelompok dan “dilawankan“ dengan
kaum buruh, kaum tuan tanah serta aristokrat.

Dalam sejarah perkembangannya di Barat kelas menengah ini juga mencakup kelompok
petani, pegawai yang menerima gaji dari pemerintah atau lembaga swasta tertentu, dan
golongan professional seperti dokter, pengacara, artis filem dan lain-lain Namun unsur
esensial dalam kelas menengah ini, di samping mereka mempunyai penghasilan yang
relatif besar, mereka juga merupakan orang-orang yang terdidik, dinamis dan
partisipasinya dalam masyarakat disadari sebagai sesuatu yang amat penting.

Stereotipe pemikiran mengenai kelas menengah adalah bahwa golongan ini diperlukan
dalam masyarakat sebagai moderating factor dan guna ”menjembatani“ antara kelas atas
dengan kelas bawah. Dengan demikian, maka suatu tindakan yang radikal dan ekstrim
dapat dihindarkan dalam proses perubahan masyarakat. Namun apa yang terjadi di
berbagai negara berkembang menunjukan, bahwa kelas menengah merupakan golongan
yang paling radikal dan revolusioner, terutama di beberapa negara Amerika Latin.Di situ
golongan “kelas menengah“ terutama terdiri dari kaum cendikiawan, perwira-perwira
militer dan kaum professional. Namun sifat revolusioner mereka akan semakin berubah
setara dengan semakin bertambah besarnya jumlah mereka dalam masyarakat sehingga
akhirnya menjadi golongan konservatif, yang menikmati fasilitas-fasilitas dari lembaga-
lembaga birokrasi dan bisnis. Karena itu kelas menengah (di Amerika Latin dan beberapa
negara Asia) naik ke panggung politik bukan lewat kegiatannya sebagai entrepreuner
namun melalui perlindungan kelompok militer. Dari sini dapat disimpulkan bahwa posisi
dan peranan kelas menengah amat berbeda bila kita membandingkannya dengan
masyarakat Barat dan Amerika Latin.(Muhaimin, 1984: 63—64)

Kelas Menengah dalam Weberian dan Marxis

Dalam tradisi Weberian, kelas didefinisikan dalam bentuk posisi pasar yang berkaitan
dengan hak pemilikan, kesejahteraan dan “kesempatan-kesempatan hidup“ daripada
sebagai bentuk hubungan terhadap alat-alat produksi Karenanya, kesejahteraan,
pendapatan dan status menjadi faktor-faktor yang penting di dalam struktur kelas Namun
demikian, analisis Weber tentang masyarakat tidak terlalu memperhatikan masalah
konflik kelas, meskipun ia mengakui arti pentingnya, tetapi lebih tentang transformasi
masyarakat dan ororitas politik dari sistem yang tradisional, patrimonial dan sewenang-
wenang ke sistem yang modern, rasional dan teratur secara legal. Dalam masyarakat yang
baru ini hubungan-hubungan personal, politik dan ekonomi digantikan dengan hubungan
berdasarkan kontrak, aturan dan hukum. Ini adalah bagian dari fungsi gerakan jangka

4
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

panjang kearah rasionalitas dalam organisasi sosial; bergerak kearah maksimalisasi


efiensi, produktivitas dan keuntungan dalam lingkungan ekonomi dan politik kearah,
tujuan-tujuannya yang tertinggi dan abstrak dalam keterbatasan sumber-sumber yang
tersedia, daripada mempertahankan dalam keterbatasan sumber-sumber yang tersedia,
daripada mempertahankan pola-pola pra-modern di mana tindakan sosial ditentukan oleh
pencarian kearah tujuan-tujuan yang spesifik dan yang secara tradisional telah ditentukan.

Bagi Weber, perjuangan antara tradisi dengan rasionalitas secara umum merupakan suatu
perjuangan antara kelas-kelas sosial yang kepentingan tetapnya ada di dunia tradisional
dengan mereka yang kepentingannya tertanam dalam dunia kapitalis yang sedang tumbuh
Di satu sisi, sementara aristokrasi feodal dan birokrat patrimonial berjuang untuk
mempertahankan batasan-batasan privilese, kekuasaan yang sewenang-wenang dan
peraturan personal, kekuatan-kekuatan baru sebagai pemenang dari rasionalisasi
kehidupan sosial, ekonomi dan politik. Weber adalah orang pertama yang mengklaim
bahwa meluasnya kapitalisme, dan munculnya kapitalisme industrial secara khusus,
membutuhkan suatu sistem politik dan otoritas birokratik yang rasional dalam rangka
untuk memungkinkan terjadinya akumulasi kapital. Akumulasi kapital digerakkan oleh
penggunaan otoritas birokratik rasional baik melalui perubahan hambatan-hambatan
feodal maupun melalui pembangunan infrastuktur yang diperlukan seperti transpotasi,
komunikasi, pendidikan dan pelayanan administratif. Namun demikian, proses ini
berkaitan erat dengan revolusi nilai-nilai dan budaya. Dengan demikian bagi Weber,
munculnya kelompok-kelompok sosial sebagai pembawa budaya sekular, dan rasional
sangatlah penting.

Pengadopsian pemikiran Weber oleh para kaum liberal-pluralis Amerika Utara dan lebih
terutama oleh para struktural-fungsionalis telah menimbulkan beberapa perbedaan yang
penting dari tesis orsinal Weber. Pertama, penekanan yang berlebihan terhadap
keunggulkan budaya sebagai agen perubahan dan pengabaian fakltor-faktor material
sebagai kekuatan penggerak. Sejumlah tesis telah ditulis mengenai pentingnya kelas
wiraswasta dan tentara, khususnya sebagai pembawa nasionalisme baru dan budaya
sekuler yang mendorong sistem politik dan ekonomi yang baru. Kedua, sementara Weber
melihat rasionalisasi wewenang dan ekonomi mendorong kepada ramalan mengenai
korporasi dunia dan birokrasi serta persaingan individu, maka kaum liberal-pluralis
Amerika Utara memandang kekuatan-kekuatan ini sebagai membebaskan individu dan
memperkuat demokrasi.

Ada dua persoalan utama dalam pandangan kelas menengah ini. Pertama, sementara
kelas menengah dilihat sebagai himpunan identitas yang koheren menurut status
sosialnya, posisi materialnya dan peranannya sebagai kelompok rasionalis, maka terdapat
keraguan yang serius akan peran mereka sebagai pembawa nilai-nilai individual,
kemerdekaan dan demikorasi. Memang benar bahwa perlawanan terhadap rezim
otoritarian. Penguasa-penguasa militer dan negara satu partai sering datang dari kaum
intelektual liberal. Ini merupakan kasus Indonesia. Namun juga tidak salah bahwa rezim
otoritarian sayap kanan memasukkan suatu proposisi dukungan yang sangat penting bagi
kelas menengah; kapitalis kecil, tuan tanah menengah, para manajer dan birokrat Rezim
juga memiliki “think-tank“, surat kabar, universitas dan sekolah-sekolah yang seluruh

5
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

pegawainya adalah kelas menengah. Hal ini bukan hanya merupakan kasus Nazi-Jerman,
Chile, Argentina, El Salvador dan Brazil, tetapi juga merupakan kasus Indonesia Dengan
demikian kelas menengah dapat dilihat sebagai apparatus rezim-rezim dan korporasi-
korporasi sebagai sumber perlawanan terhadap kekuasaan mereka. Dan ini banyak diakui
oleh teoritisi liberal seperti Emerson dan Liddle. Persoalannya adalah bagaimana
menjelaskan elemen-elemen mana dari kelas menengah yang bergerak kearah mana
dalam situasi apa. Apakah ada beberapa pembagian segmen yang fundamental dalam
kelas menengah atau adakah beberapa lingkungan tertentu yang bisa melahirkan orang-
orang seperti Poujardist atau Blackshirt atau Che Guevera, Washington dan Lenin?

Kedua, jika istilah “menengah” dan “kelas“ adalah untuk mengartikan suatu yang lain,
maka penguasa politik negara dan pemegang kekuasaan eskonomi dalam beberpa hal
harus dibedakan dari kelas menengah bahkan jika mereka mungkin dilihat sebagai
pembawa nilai-nilai budaya rasional dan sekuler yang sama sebagai pembawa nilai-nilai
budaya rasional dan sekuler yang sama sebagaimana kaum professional bergaji
menengah dan kelompok-kelompok wiraswasta Harus ada pembagian yang memisahkan
kelas menengah dari kelas yang berkuasa atau kelas yang memerintah yang didasarkan
pada kekuasaan ekonomi dan politik. Seseorang dapat selalu mengatakan mengenai kaum
elite tetapi ini akan menimbulkan problem real dalam penggunaan istilah kelas.

Tradisi Marxis pada dasarnya berurusan dengan proses-proses produksi yang, bagi
mereka, diartikan sebagai hakikat dari mereka, diartikan sebagai hakikat dari hubungan
sosial dan politik. Karenanya, unit dasar dari analisis sosial, kelas diterjemahkan dalam
arti suatu hubungan produkstif. Ditulis pada abad ke-19, Marx menaruh perhatian kepada
hancurnya feodalisme dan munculnya kelas kapitalis yang baru. Ia tidak pernah secara
sistematis menggunakan istilah “kelas menengah“ dan kelihatannya ini seringkali
menunjuk pada borjuis kecil, yang merupakan satu elemen kelas kapitalis yang
menurutnya, secara inheren bersifat reaksioner.

Ketika masyarakat kapitalis menjadi lebih kompleks, kelas penguasa (kelas kapitalis)
terbukti secara langsung semakin tidak mampu menjalankan kekuasaan politiknya atau
mengelola usaha-usaha dan aktivitas-aktivitas ekonomi mereka, atau untuk mengatur
apparatus ideologi masyarakat. Hari demi hari pengelolahan sistem politik, ekonomi dan
supra struktur: ideologi, semakin diambil alih oleh munculnya kelas para ahli yang
bergaji. Dengan berkembangnya, kelas bergaji, manager, pejabat, teknisi dan
professional, maka muncullah persoalan teoritis bagi kalangan Marxis.

Dalam analisis dua kelas yang ketat yang membagi kelas atas dasar hubungannya dengan
alat-alat produksi, maka “kelas menengah“ jatuh dalam posisi proletariat dan oposan
terhadap mereka yang pendapatan dan kekuasannya berasal dari pemilikan modal dan
alat-alat produksi. Namun dalam analisis politik sehari-hari kategorisasi ini tidaklah
berlalu berguna. Kelas menengah tidak hanya berfungsi sebagai manajer dari masyarakat
kapitalis tetapi juga terbukti merupakan kekuatan politik konservatif. Dalam sejumlah
kasus di mana terjadi pertentangan fundamental antara kekuatan-kekuatan politik
kapitalis dengan kekuatan-kekuatan revolusioner, kelas menengah mendukung yang
terdahulu, dan bahkan sampai tingkat tertentu, khususnya di Amerika Latin, mendukung

6
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

rezim otoritarian yang didominasi militer untuk menghadapi kekuatan revolusioner


rakyat.

Fenomena ini telah dijelaskan oleh beberapa teoritisi Marxis, terutama Marcuse, sebagai
hasil dari inkorporasi “kelas menengah“, sehingga bahkan kelas pekerja juga dimasukkan
dalam ideologi kelas penguasa, ideologi penguasa. (Robinson, 1993:142—146)

Perdagangan Zaman Feodal

Pada abad ke-14—17, kepulauan Indonesia berstruktur secara politis dan ekonomi di
sekitar kerajaan agraris (Jawa Tengah) seperti Pajang dan Mataram, dan kerajaan maritim
seperti Malaka, Aceh, Makasar, Tidore, Banten, Demak, Tuban, Surabaya dan pesisir
utara lainnya Ada anggapan pada masa itu bahwa perdagangan merupakan monopoli raja.
Jadi rajalah yang beruntung dari penjualan padi ke negara-negara maritim seperti Malaka,
Banten, Aceh dan lain-lain yakni negara yang tidak menghasilkan beras dan amat
tergantung pada impor beras dari Mataram atau Ayuthia di Muangthai kini. Minopoli ini
melahirkan persaingan dagang dan kekuasaan yang hebat antara pesisir utara dan
Mataram, khususnya daerah pesisir yang juga menghabiskan beras seperti Gresik dan
Surabaya. Mungkin persaingan akan memonopoli perdagangan beras ini yang
menyebabkan konflik hebat antara pedalaman dan pesisir.

Kalau negara agraria memonopoli perdagangan beras, maka negara-negara maritim


seperti Aceh, Malaka, Banten, dan lain-lain bertujuan menopoli perdagangan rempah-
rempah.Aceh misalnya memiliki kebun-kebun lada dan lain-lain di Sumatra Utara dan di
Semenanjung Malaya perkebunan-perkebunan ini akan dimusnahkan daripada hasil
produksi rempah-rempah itu jatuh ke tangan orang lain seperti terlihat dari langkah yang
diambil Iskandar Muda dari Aceh (1607—1636). Iskandar memusnakan daerah rempah-
rempah di Semenanjung Malaya ketika ia rupanya tidak dapat menguasai lagi. lalu
menawan penduduk daerah tersebut untuk dibawa ke Aceh

Banten menguasai produksi rempah-rempah di Sumatra Selatan (Lampung). Selama hal


itu berlangsung, maka Banten tidak menghasilkan padi baru. Kelas ketika monopoli
rempah-rempah guncang karena muncul kekuasaan VOC, maka Baten memproduksi
padi.

Golongan pedagang Indonesia pada zaman itu adalah para priyayi, para raja pedagang di
pesisir utara Jawa yang oleh seorang sejarawan Belanda, Schrieke, disebut havenvorsten,
raja pedagang psisir. Menurut penilaian Schrieke para pedagang pesisir ini bukan
merupakan suatu kelas pedagang yang mementingkan investasi modal. Penguasa pesisir
adalah kelas “feodal“ yang memakai keuntungan perdagangan bagi kekuasaan
politik,misalnya mencapai monopoli, dan untuk memperkuat kedudukan politis mereka.
Selain itu kelas raja pesisir sangat konsumtif dengan penghamburan uang untuk pesta-
pesta,pembangunan kehidupan kraton yang mewah, berburu seperti agama dan
seterusnya.

7
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

Menurut Schrieke para raja pedagang dan golongan orang kaya terlalu banyak
mengeluarkan uang untuk berfoya-foya, konsumtif demi status sosialnya, untuk perang
dan politik Kedudukan pedagang semacam ini tidak cocok dengan jiwa kalvinis yang
katanya memiliki nilai-nilai untuk memajukan kapitalisme, karena kesederhaan dan
penekanan agar tidak ada pemborosan. Kalau kita melihat keadaan kota-kota pelabuhan
pada zaman itu, sangat menarik. Bedanya dengan daerah agraris pedesaan sebenarnya
tidak besar. Pohon-pohon kelapa serta pohon lain;lain memenuhi perkarangan luas di
sekitar perkampungan yang dengan sebagian besar rumahnya mungkin sendiri dari bilik
atau kayu. Kota cukup luas, namun perbedaan antara kota dan daerah “agraris“ atau hutan
tidak besar, dan lambat laun daerah kota berubah menjadi rural. Mungkin hanya keraton
yang dibuat dari batu atau ada dinding yang mengelilinginya. Kota-kota pelabuhan
Indonesia pada zaman itu, sering tidak dikelilingi dinding bagi pertahanan atau saluran
air seperti di Eropa. Surabaya, Tuban dan mungkin ada lagi yang lain dikelilingi dinding
dan air seperti di Eropa, Cina dan India. Namun ini pengecualian. Pertahanan kota yang
utama adalah tentara berkuda dan gajah, serta penduduk, baik yang tinggal di kota
maupun di desa di sekeliling kota seperti dikatakan oleh Iskandar Muda, Sultan Aceh
(1607—1636). Tentara bukan tentara sewaan seperti di Eropa pada zaman tersebut akan
tetapi berdasarkan wajib militer umum yang berarti semua laki-laki pada umur tertentu
harus masuk tentara.

Perbedaan antara kota maritim Indonesia dan Barat sehingga menyebabkan kekurangan
jiwa kapitalisme di Indonesia dibandingkan dengan Barat bukan dari bentuk, tetapi
struktur sosialnya. Jumlah penduduk kota-kota Inbdonesia pada abad ke-14—17 sangat
besar. yakni antara 30 sampai lebih dari 100 ribu seperti Malaka. Pada zaman yang sama
kota-kota di Eropa umumnya berjumlah sekitar 10 ribu jiwa. Hanya beberapa kota Eropa
yang melebihi 50 ribu penduduk dan hanya sekitar satu dua seperti Paris dan Napoli yang
berjumlah 100 ribu. Dilihat dari jumlah penduduk kota-kota maritim Indonesia cukup
besar dibandingkan dengan Eropa biarpun pada zaman itu sudah ada Edo (Tokyo) dan
Beijing yang berjumlah satu juta penduduk. Banyaknya penduduk kota maritim Indonesia
sebagian besar karena masing-masing bangsawan (orang kaya) memiliki pengikut,
kekayaan serta kekuasaan sering dihitung menurut jumlah pengikut, bukan modal uang.
Pengikut harus dibiayai, konsumtif, tapi belum tentu produktif, sebab kebanyakan
pengikut merupakan pengawal atau tentara pribadi para orang kaya. Kecuali raja, maka
orang-orang kaya ini merupakan kekuatan politik yang tangguh dengan ratusan sampai
ribuan pengikut, dinding dan gerbang di sekitar kediaman yang diperlengkapi meriam.
Jelas pengeluaran para raja pedagang dan bangsawan pedagang ini mengeluarkan banyak
uang untuk mempertahankan status politik mereka ditambah dengan pengeluaran untuk
status sosial, yakni konsumsi yang besar.

Schrieke dan sejarawan lain mungkin agak terlalu negatif dalam memberikan ciri raja
pedagang atau bangsawan pedagang Indonesia, serta terlalu berlebihan menekankan akan
sikap aristokratis atau kebangsawan mereka, WF Wertheim antara lain menunjukkan
bahwa para kapitalis pertama pada abad-abad yang sama, baik di Indonesia maupun di
Barat berasal dari kelas yang sama, yakni para bangsawan yang berdagang atau berusaha.
Sebab, kelas inilah memiliki modal dan kedudukan untuk bergerak dalam bidang
ekonomi yang merupakan bagian yang demikian penting bagi kehidupan baik status

8
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

politik dan lain-lain.Wertheim mengatakan bahwa kelas pengusaha kelas kalvinis dengan
pandangan agama mereka yang demikian sempit, yang bersikap demikian intoleren
terhadap yang bukan beragama, kalvinis, kikir, sederhana dan seterusnya baru kemudian
berperan sebagai kapitalis kalau memerlukan investasi. Baru pada saat itu nilai-nilai
kalvinis atau puritan diperlukan.

Namun pada saat permulaan, yakni abad ke-14—17 dalam zaman awal kapitalisme dan
munculnya modal pedagang justru diperlukan semacam priyayi pedagang, Ndoro
Bakulan, kata orang Jawa. Raja pedagang ini sifatnya luwes, dapat berhubungan dengan
semua dan tidak memandang bulu, dan dapat bertindak dengan prinsip “bisnis adalah
bisnis“ tanpa menghiraukan dengan siapa dia berhubungan. “Pedagang yang berlayar ke
mereka pun kalau dia bisa dapat keuntungan satu sen,“ seperti dikatakan mengenai
pedagang VOC . Sikap demikian bukanlah dari para kalvinis dengan pronsip-prinsipnya
yang ketat, kata Wertheim, tapi sikap para bangsawan pedagang yang luwes atau
memakai segala macam kesempatan. Wertheim menunjukkan bahwa sikap dan ciri hidup
para patrician, orang kaya, atau aristokrat pedagang Belanda pada abad ke-17 adalah
sama seperti di Belgia, Perancis dan lain-lain pada permulaan abad ke-17 dipimpin juga
oleh bangsawan pengusaha. Meraka adalah semacam pengusaha birokrat, seperti juga
kebanyakan PN (Perusahaan Negara) kita kini dipimpin oleh mereka. Kami akan kembali
pada teori di atas ini kalau kita akan menguji sejarah VOC. (Onghokham, 1983: 7—9)

Keruntuhan Industrialisasi Pribumi

Orang Kebanyakan di Indonesia mengalami dampak kehadiran VOC secara tidak


langsung, yaitu melalui penguasa setempat, dan melalui para tengkulak dan pedagang
Cina. Ini karena tonggak kedua dari kapitalisme feodal adalah berupa pembangunan
jaringan dagang yang menyalurkan barang-barang impor dari VOC kepada penduduk
pribumi, dan sebaliknya menyalurkan hasil bumi penduduk kepada VOC. Dengan segera
VOC menyadari bahwa mereka takkan mungkin menyaingi orang Cina dalam
perdagangan Belanda, para pedagang dan produsen Cina sudah melakukan kegiatan yang
berhasil di berbagai daerah di Indonesia.

VOC memanfaatkan pengetahuan para pedagang Cina yang memiliki jaringan ekonomi
di semua desa di Indonesia, atau bersedia untuk membantu pembentukannya. Jadi
pengusaha pribumi dengan segera sudah harus menghadapi saingan-saingan yang
cekatan, dan yang di samping itu mapan dalam siatu sistem kewenangan bertindak yang
kelihatannya memberi peluang yang jauh lebih baik untuk menerapkan kombinasi-
kombinasi baru.

Tingkat kesulitan yang dihadapi para pengusaha pribumi oleh VOC, yang pertama adalah
bahwa impor barang-barang jadi dari Eropa mematikan awal usaha manufaktur kaum
pribumi sampai kira-kira tahun 1740. Usaha-usaha pertukangan dan manufaktir terutama
memproduksi barang-barang untuk kebutuhan dari desa-desa di sekitarnya dan untuk
kalangan bangsawan dan priyayi. Produsen pribumi Indonesia mengkhususkan diri
membuat tenunan katun kasar, sedang kain yang lebih halus tenunannya didatangkan dari

9
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

India. Sampai abad ke-18 tenunan hasil buatan mereka juga dikirimkan ke Eropa,
terutama ke Amsterdam. Teknik pembuatan tekstil Indonesia bahkan tersebar ke Eropa.
Voigt memberitakan bahwa metode produksi Indonesia “berpengaruh sebagai pendorong
perkembangan industri-industri Eropa; teknik cetak katun Indonesia, dengan melalui
Belanda, telah merangsang timbulnya industri-industri baru di Elberfeld, Galarus, dan
Appenzel.”

Dengan meluasnya wilayah pengaruh VOC dengan segera industrialisasi di Indonesia


yang berada pada tahap awal perkembangan, terhenti lagi. Bangsa Belanda tentu saja
tidak hanya berminat membawa hasil bumi dari Indonesia (rempah-rempah, gula kopi) ke
Eropa melainkan juga ingin memasarkan barang-barang produksi mereka sendiri di
Indonesia. Sampai pertengahan abad ke-19, transaksi ini berlangsung dengan corak
merkantilisme. Tidak berbeda dengan negara-negara penjajah yang lain. Belanda juga
memandang wilayah pengaruhnya sebagai pasar yang terlindung bagi hasil
perindustriannya yang baru mulai tumbuh. Walaupun Belanda berusaha menjauhkan
saingan-saingan Eropa lainnya dari daerah jajahannya, tetapi pengaruh terhadap para
produsen Indonesia yang ditimbulkan oleh barang impor jadi yang dibuat dengan mesin,
dapat dipandang sebagai pengaruh dari perdagangan internasional yang bebas antara
negara-negara yang berbeda kesanggupan.

Keruntuhan awal industrialisasi pribumi disebabkan oleh faktor-fakltor yang dapat


digolongkan sebagai “tingkat kesulitan yang terlalu tinggi“ atau tuntutan yang terlalu
berat. Para produsen pribumi tidak mampu menyaingi produk Eropa yang dibuat dengan
mesin, dan nampaknya juga tidak sanggup meniru metode produksi Eropa yang modern.
Bagi satu-satunya golongan masyarakat pribumi yang memiliki sumber daya kebendaan
untuk memperoleh informasi tentang perkembangan teknologi di Eropa menjelang
Revolusi Perancis (dengan mengadakan perlawatan, memperkerjakan tenaga ahli dari
Eropa, mencari ilmu seperti dilakukan bangsa Jepang 150 tahun kemudian), yaitu
golongan bangsawan, kegiatan-kegiatan serupa itu sama sekali berada di luar jangkauan
pengalaman. Mereka itu malahan mempercepat keruntuhan industri dalam negeri dengan
perbuatan yang mencoba meniru pola kebutuhan dan selera kaum penjajah, hal mana
menyebabkan permintaan akan barang-barang impor dari Eropa menjadi semakin
meningkat.

Hambatan terlalu tinggi kedua bagi para pengusaha pribumi yang diciptakan oleh VOC
adalah dibangunnya atau dikokohkannya sistem distribusi nonpribumi yang dikelola oleh
orang-orang yang memiliki kesanggupan wirausaha dan yang taraf kebebasan
berusahanya jauh lebih tinggi daripada pengusaha pribumi yang potensial. Meskipun
VOC hampir dua ratus tahun lamnya berkecimpung dalam dunia usaha di Indonesia,
terutama di sektor produk pertanian tetapi rangsangan yang ditimbulkan terhadap
perkembangan tetap kecil.

VOC senantiasa berusaha menghalangi kedatangan para pemukum dan pengusaha kebun
berkulit putih, sehingga sejumlah kecil usaha pertanian swasta yang berada di tangan
orang Eropa tidak berhasil memperoleh makna ekonomis. Meskipun pembatasan-
pembatasan terhadap para pengusaha perkebunan berbangsa Eropa lambat laun

10
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

diperlonggar sejak pemerintah Belanda mengambil alih harta milik VOC pada tahun
1798, tetapi sampai lewat pertengahan abad ke-19 politik resmi pemerintahan kolonial
nmasih tetap sedapat mungkin menghindarkan masuknya badan-badan usaha swasta
secara bebas, dan diterapkannya hubungan perjanjian dengan ciri-ciri ekonomi
perdagangan; tetap mempertahankan atau mengatur ulang struktur sosial penduduk
pribumi sehingga modal perdagangan monopoli yang mempunyai pertalian erat dengan
negara dan dapat mengeksploitasikan tenaga kerja petani dan hasil bumi. (Ropke, 1988:
163—167)

Kaum Santri dalam Konteks Sosial

Pada awal abad XX kita menyaksikan suatu perkembangan penting dalam perjalanan
sejarah masyarakat Indonesia, ketika daerah perkotaan menggeser peranan komunitas
pedesaan sebagai tempat berlangsungnya perubahan. Jika tuntutan akan akan lahan dan
tenaga kerja dari kaum penjajah telah mengubah tatanan masyarakat di abad XIX, maka
pertumbuhan usaha perdagangan di abad XX telah merangsang pembangunan di bidang
kehidupan sosial di pusat-pusat kegiatan tersebut Penduduk kota di Jawa, terutama di
kota-kota dengan penduduk di atas 100.000, bertambah dengan pesat.

Di kota-kota ini, terjadi kebangkitan golongan borjuis pribumi. Kelas baru ini terdiri atas
kaum pengusaha dan cendikiawan yang menguasai cakrawala kehidupan kota. Kaum
bangsawan dan pangreh praja yang disebut sebagai golongan priyayi, tersisih Hanya di
kota-kota yang kuat sifat kejawennya—seperti di Surakarta dan Yogyakarta—kaum
bangsawan tua masih menikmati kedudukan tinggi dalam pandangan masyarakat Tapi
hanya mereka yang siap memainkan peranan baru yang didiktekan oleh kelas menengah
baru, bertahan dalam kedudukan itu, selebihnya yang tak siap, kehilangan pamor dan
hilang dari peredaran. Walhasil, banyak ningrat yang bergabung dengan golongan
menengah memprakarsai dan ikut berkecimpung dalam banyak usaha bersama yang
tumbuh selama dasawarsa pertama dan kedua abad XX.

Peranan perdagangan dan industri dalam menggerakkan mobilitas sosial, terutama sangat
menonjol di sektor pertekstilan dan batik di beberapa kota di Jawa, juga industri rokok di
Jawa Tengah dan Jawa Timur. Meskipun kegiatan usaha golongan menengah pribumi ini
selalu terancam oleh barang impor dan persaingan dari modal Cina, sebegitu jauh mereka
mampu menghadapi tantangan tersebut. Pabrik-pabrik tekstil pribumi terletak di
kapubaten Bandung, di kota-kota sepanjang pantai utara Jawa Tengah antara Tegal dan
Semarang, Surakarta, Yogyakarta, Surabaya, dan di daerah Kediri serta Tulungagung
Industri tekstil di Jawa pada dasarnya masih bersifat industri rumah tangga dengan sistem
mbakul, sedangkan sistem manufaktur dan pabrik kebanyakan adalah milik modal asing.
Industri rokok pribumi berpusat di Kudus yang mendapat saingan keras dari pengusaha
Cina, baik di kota itu sendiri maupun dari daerah Kediri, Jawa Timur. Dalam suatu
kerangka yang disebut ekonomi dualistik kegiatan perdagangan dan industri pribumi itu
timbul terhadap modal asing raksasa.

11
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

Di samping perdagangan dan industri, peranan pendidikan dalam mobilitas sosial juga tak
dapat dikesempingkan. Sartono Kartodirdjo mengemukakan bahwa kebijaksanaan
pengangkatan pegawai negeri didasarkan pada pendidikan, dan pendidikan ala Barat
lebih didahulukan. Meskipun untuk jabatan-jabatan tinggi dalam pemerintahan dituntut
adanya “trah“ bangsawan, namun pendidikan umum telah menghasilkan mobilitas
vertikal dari banyak orang tanpa memandang asal-usul ketururunan. Lulusan sekolah
menduduki jabatan kerani di badan-badan pemerintahan, perusahan swasta, dan
selebihnya berwiraswasta. Sementara itu, pelayanan pendidikan untuk kaum pribumi
makin luas, demikian juga usaha penerbitan dan media massa di kalangan penduduk asli.

Kepada para pedagang, cendikiawan dan pegawai pemerintah yang merupakan golongan
menengah kota dapat kita tambahkan pemilik tanah di daerah pedalaman yang
merupakan golongan menengah pedesaan. Kedua jenis golongan menengah ini berbeda
satu dengan lainnya karena yang satu sangat dipengaruhi pemikiran Barat tentang
masyarakat bebas, sedangkan golongan kedua hidup dalam masyarakat yang relatif
tertutup Tetapi kendati kekuatan produktif kolonial telah menembus daerah pedalaman
dan menjadikannya bagian dari perekonomian dunia, banyak dari sifat asli kaum petani
masih tetap utuh selama bagian pertama abad XX.

Dengan latar belakang sosial ekonomi ini, kita alihkan perhatian kepada pembahasan
tentang golongan menengah Muslim.Terlebih dahulu perlu kita bedakan antara golongan
Muslim berorientasi kebudayaan Islam yang disebut kaum santri dengan golongan
Muslim tradisi, dan dari golongan Muslim yang berorientasi pemikiran sekular
Barat.Golongan menengah santri memiliki sejarah yang panjang. Orang percaya bahwa
pengajur dan penyebar Islam pertama adalah kaum pedagang di kota-kota sepnjang
pantai. Walhasil, pusat pusat kaum santri di bagian-bagian kota yang disebut kauman di
kota kota di Jawa, juga merupakan pusat perdagangan dan industri. Pusat pusat kaum
santri ini memperoleh pujian dalam dokumen tahun 1909 karena memiliki semangat
dagang bangsa pertengahan atau kelas menengah yang menggeluti bidang perniagaan
Tempat-tempat tersebut adalah Kotagede di Yogyakarta, Laweyan di Surakarta, dan
Kauman di Kudus.

Kasus banyaknya kaum Kauman menarik perhatian dan pantas dicatat. Kauman adalah
suatu pemukiman yang ditunjuk bagi para pejabat keagamaan dalam pemerintahan
pribumi. Penduduknya adalah para abdi dalem santri yang mengabdikan diri dalam
pemerintahan, dan karenanya termasuk golongan priyayi. Dari segi status sosialnya
mereka termasuk golongan priyayi tetapi dari kelas sosial mereka termasuk kelas
menengah. Abdi dalem santri berbeda dengan santrti lainnya, oleh karena mereka lebih
memiliki etika santri ketimbang etika priyayi, sehingga mereka tak canggung
berkecimpung dalam kegiatan komersial dan perdagangan seperti golongan priyayi
lainnya. Kisah tentang kampung kauman di Yogyakarta, merupakan salah satu contoh
Laki-lakinya bekerja sebagai pemetahan (petugas keagamaan), namun mereka, bersama
dengan istri-istri mereka, biasa melakukan kegiatan dagang. Ahmad Dahlan, pendiri
gerakan Muhammadiyah adalah contoh terkemuka dari seorang santri merangkap
pedagang dari Kauman. Ia adalah seorang khatib di Mesjid Agung keraton Yogyakarta,
namun ia juga terkenal sebagai pedagang batik yang berhasil yang memiliki jaringan

12
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

dagang di banyak kota. Di antara abdi dalem santri, hanya mereka yang dianugerahi
jabatan sebagai penghulu yang menganut etika priyayi.

Para santri mungkin merupakan kelompok yang paling dinamis dalam sejarah Indonesia
Di abad XIX, kebangkitan agama dalam bentuk pembenahan lembaga pendidikan
pesantren dan gerakan tarekat Isalam, dipimpin oleh para pemuka agama di pedesaan dan
gerakan rakyat, yakni para kiai. Pemerintah kolonial selalu mencurigai kaum santri,
sampai-sampai melakukan beberapa usaha dan tindakan untuk membatasi pengaruh
kebangkitan agama tersebut. Kebangkitan agama sebagai gerakan juga telah mendorong
gerakan menentang kekuasaan kolonial, bersamaan dengan berbagai gerakan protes di
daerah pedesaan Jawa. Berlainan dengan kebangkitan di abad XIX ini yang bersifat
kekotaan, reformis dan dinamis. Harry J Benda menyatakan bahwa kebangkitan kaum
santri kota berjuang melawan empat seteru: formalisme kolot, kebudayaan adapt dan
priyayi, sikap kebarat-baratan, dan status quo penjajahan.

Di awal abad XX, di tengah-tengah kemerosotan tingkat kesejahteraan penduduk


pribumi, kaum santri berhasil menghimpun kembali kekuatan dalam masyarakat untuk
melancarkan gerakan baru. Kelahiran Sarekat Islam (SI) merupakan peristiwa yang luar
biasa dan tidak ada duanya, ia mendahului reformasi keagamaan. Tetapi Benda juga
menulis bahwa SI menyajikan perubahan yang hanya bersifat kuantitatif, bukan
perubahan kualitatif terhadap desa-desa di Jawa, dalam arti bahwa paham radikalisme di
bidang pertanian ala SI bukanlah hal baru. Bagaimanapun juga bagi rakyat desa dan kota,
Sarekat Islam merupakan gerakan yang sudah lama ditunggu-tunggu bagi suatu
perubahan. Bersama-sama dengan gerakan santri lainnya, SI menanggapi perubahan yang
disebabkan prorses penguiangan, pemiskinan dan integrasi masyarakat pribumi ke dalam
perekonomian dunia. Perubahan ini telah mengubah sifat tatanan ekonomi, hubungan
sosial, kehidupan agama, dan politik. (Kuntowijoyo, 1991: 78—82)

Lahirnya Kelompok Menengah Pribumi

Di bawah pimpinan kaum intelektual, pemimpin agama dan pedagang, organisasi


nasionalis pertama yang didasarkan pada dukungan massa adalah Sarekat Islam, yang
dibentuk pada tahun 1912. Organisasi ini berakar dari masyarakat dagang pribumi,
Sarekat Dagang Islam, yang dibentuk pada tahun 1908 oleh Raden Mas Tirto Adisoerjo,
seorang aristokrat dan pedagang Jawa, juga manajer suatu usaha dagang yang berada
dalam proses likuisdasi. Lahirnya Sarekat Islam menggambarkan beberapa elemen
penting dalam proses politisasi dari kaum pribumi dan munculnya kelompok kecil dari
golongan menengah pribumi. Pertama, Sarekat Islam adalah gerakan politik dari
kelompok atas golongan pribumi yang merupakan campuran dari kaum bangsawan,
intelektual pendidikan Barat, pemimpin-pemimpin agama dan anggota dari kelompok
pedagang dan komersial. Kelompok ini mewakili embrio borjuis pribumi, pemimpin
sosial dan politik dan juga metode baru dalam mengorganisasikan pengetahuan dan
pemikiran dalam hubungannya dengan dunia modern. Mereka mulai mampu menangkap
arti—dalam perspektif yang lebih luas—dari praktek-praktek diskiriminasi dan
eksploitasii dalam pendidikan, kesempatan ekonomi, profesi, administrasi hukum dan

13
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

perundang-undangan. Ini juga berarti bahwa bisa mulai melihat kemungkinan-


kemungkinan tindakan di luar orde kolonial, terutama wilayah legitimasi yang sempirr
dan ekonomi kolonial.

Karena tidak puas, terjepit dan frustasi akibat terbatasnya kesempatan bagi mobilitas ke
atas mereka, dan pada saat yang sama dipaksa untuk menambah kekuatan politik mereka
sebagai syarat pergerakan politik, maka kelompok ini menyusun bermacam-macam
organisasi dengan hubungan-hubungan ke daerah urban dan rural. Mereka mulai
meninmbang spektrum yang luas dari ideologi politik, taktik dan metode perjuangan
politik, serta prospek dari kemerdekaan politik dan ekonomi. Inilah pada umum dari
tumbuhnya bermacam-macam organisasi sosial dan politik dalam dasawarsa kedua dan
ketiga abad ke-20.

Proses ini juga dibarengi dengan proses ideologisasi dan pemikiran Islam modern,
demokrasi liberal, sosialisme dan juga Marxisme-Leninisme, dan yang yang lebih penting
lagi, nasionalisme. Fakta bahwa Sarekat Dagang Islam (SDI), suatu asosiasi koperasi dari
pedagang-pedagang batik Jawa, dibentuk dalam usaha untuk menghadapi persaingan
dengan golongan Cina dan kemudian muncul kembali organisasi politik berdasarkan
massa, maka Sareklat Islam (SI), yang juga didukung oleh banyak tokoh-tokoh dagang
lahir dan menunjukkan borjuis pribumi, walaupun amat kecil. Posisi monopolistis dari
korporasi-korporasi Eropa dan kedudukan perantara yang startegis dari golongan Cina
dalam bisnis, telah membuka politik sebagai satu-satunya jalan bagi kaum borjuis
pribumi untuk mempertahankan posisinya dan juga dalam mengejar kepentingan-
kepentingan komersial mereka.

Pesatnya kemajuan Sarekat Islam dan dukungan luas yang diperolehnya pada tingkat
tertentu merupakan hasil dari pelaksanaan politik etis yang memajukan pendidikan Barat
bagi elite pribumi, dan ketidakmampuan birokrasi negara dan perusahan swasta untuk
menampung mereka yang terdidik yang cocok dengan latihan dan pendidikan mereka.
Karena merasa inferior dan tidak memiliki pekerjaan, tetapi pada waktu yang sama
tercerabut akar-akarnya dari kehidupan tradisional, dengan sendirinya mereka
membentuk kelompok marginal (terbuang) yang selalu gelisah, yang terpaksa mencari
pekerjaan bebas seperti saudagar, pedagang, wartawan dan jenis-jenis profesi lain Inilah
pula sebabnya, dengan masuknya pedagang-pedagang Cina ke dalam satu industri batik-
benteng kaum saudagar—bangsawan Solo—mengundang reaksi cepat dalam bentuk
organisasi pelindung, Sarikat Dagang Islam.

Kelompok ini merupakan produk nyata dan proses yang cepat, di mana golongan
bangsawan, kaum elite pendidikan Barat, pedagang, kaum profesional dan pemimpin-
pemimpin agama mentransformasikan diri mereka menjadi pemimpin-pemimpin politik
dan ideologi. Mereka menandai lahirnya golongan menengah seperti yang didefinsikan
tulisan ini Kelahiran mereka yang menampilkan diri dalam berbagai gerakan politik
kaum pribumi bersama dengan perubahan yang terjadi pada kekuasaan kolonial, telah
membentuk politik Hindia Belanda sampai datangnya pasukan politik Hindia Belanda
sampai datangnya pasukan Jepang.

14
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

Ketidakseimbangan dan distorsi dalam struktur sosial serta ketegangan antara streata-
strata sosial sebagai akibat dari majunya kapitalisme pinggiran—yang telah membangun
kesadaran politik dan ideologi golongan menengah yang kecil itu—pada saatnya juga
telah mempolitikkan (politicalized) negara kolonial. Pemerintah kolonial kini semakin
mendasarkan diri pada mesin-mesin politik sepereti P.I.D (Politieke Indlichtingen
Diesnt), sensor koran, pelarangan pada organisasi dan pertemuan yang bersifat politik,
kooptasi (merangkul menjadi anggota), penangkapan dan pembuangan politik untuk
mempertahankan eksistensinya.(Bulkin, 1984: 15—16)

Program Benteng

Pada masa-masa pertama sesudah kedaulatan Indonesia diakui oleh dunia internasional
dan Belanda, pemerintah Indonesia menyadari, bahwa struktur perekonomiannya tidak
menguntungkan bagi pembangunan nasional. Artinya bahwa kelas menengah yang ada
merupakan warisan dari zaman kolonial yang sepenuhnya dikuasai oleh para penguasa
dan pedagang Belanda, serta beberapa bangsa Eropa lainnya di tingkat atas dan golongan
Cina di tingkat bawah. Struktur perekonomian itu oleh pemerintah Indonesia dengan
penuh ambisi dan antusias ingin diubah guna menumbuhkan kelas menengah dari
golongan asli. Usaha tersebut terutama jelas sekali terlihat sewaktu pemerintah
melancarkan kebijaksanaan ekonomi yang terkenal dengan sebutan “Program Benteng”
sebagai bagian terpenting dari “Rencana Urgensi Perkonomian“ pemerintah yang secara
resmi dilaksanakan sejak Maret 1981.

Dalam kerangka Program Benteng, pemerintah Indonesia mengharapkan tumbuh dan


berkembangnya kelas menengah dari golongan penduduk asli yang harus menguasai
cabang-cabang industri berat, dan modal asing diberi kesempatan “membantu“ kegiatan
golongan asli pada sektor industri yang tidak “tidak penting“, Namun sampai pertengahan
kedua tahun 1950-an, ternyata yang tumbuh dan berkembang bukanlah kelas pengusaha
asli yang kuat sebagaimana dikonsepsikan oleh Program Benteng, dan akhirnya rencana
pemerinmtah tersebut gagal total.

Pertama, karena faktor party politics dan sifat patrimonilaisme masyarakat, sehingga
pemerintah tidak selektif dalam memberikan kredit dan hak-hak istimewa kepada
golongan asli. Hampir seluruh “pengusaha“ yang mendapatkan kredit dan keistimewaan
usaha perdagangan bukanlah yang memiliki keahlian berwiraswasta serta mempunyai
jiwa entrepreneurship, tetapi hanya yang dekat atau mempunyai hubungan tertentu
dengan penguasa. Ini berarti bahwa “Penguasa Benteng“ itu sebenarnya tidak
mempergunakan kredit dari pemerintah sebagai modal pokoknya namun akses ke
kekuasaan merupakan modalnya. Akibatnya para pengusaha dan pedagang dalam arti
kata sebenarnya terpental dan tidak mendapatkan bantuan kredit dari pemerintah, hanya
karena tidak mempunyai hubungan atau akses kepada kekuasaan politik, baik mungkin
lewat partai politik, aparat birokrasi, maupun hubungan famili.

Kedua, kegagalan pemerintah diperhebat dengan tumbuhnya pengusaha dan perusahaan


yang disebut “Ali-Baba”. Dalam jaringan kegiatan ekonomi seperti ini, “pengusaha“ asli

15
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

yang telah mendapatkan hak dan kredit dari pemerintah berusaha menjualnya kepada
golongan Cina. Di sini, orang asli yang dikonsepsikan oleh Program Benteng akan
tumbuh menjadi kelas menengah yang kuat, ternyata hanya menjadikan dirinya sebagai
“tameng“ belaka, sedangkan yang menjalankan kegiatan usaha ekonominya adalah usaha
orang Cina tersebut; orang Indonesia asli tersebut berperan hanya sebagai strawman atau
front-man. Dari sinilah timbul istilah buruk dalam dunia bisnis di Indonesia yang disebut
dengan Dummy Industries atau Dummy Company pada pengusaha asli. Kemudian pada
masa Orde Baru, Dummy Company itu digunakan bukan hanya pada perusahan yang di
permukaannya atas nama orang Indonesia asli dan di belakangnya orang Cina, tetapi juga
yang di belakangnya adalah kekuatan modal asing oleh kelompok multinasional (MNC).

Dari pembicaraan di atas, kita bisa mengetahui bahwa sejak masa sesudah kemerdekaan,
pemerintah telah gagal membina, apalagi mengembangkan kelas pengusaha yang kuat,
dinamis, dan otonom dalam bidang politik. Yang terjadi hanyalah terbentuknya suatu
kelas yang merupakan aliansi dari pemegang kekuasaan politik atas kalangan birokrat
dengan “pengusaha swasta“. Kelas ini timbul dan berkembang berkat proses
penyalagunaan kekuasaan politik atau komersialisasi jabatan politik dan birokrasi yang
kemudian tumbuh di Indonesia dengan sebutan kelas menengah, yang pada awal-awal
pertumbuhannya terdiri dari orang-orang kaya baru. Istilah “orang kaya baru“ itu identik
dengan istilah neuer Mittestland (kelas menengah baru) di Jerman yang terdiri dari para
pejabat birokrat dan pegawai –pegawai pada perusahaan swasta yang kaya.

Kelompok neur Mittelstand di Jerman pada hakekatnya bukannya kelas menengah, tetapi
“proletariat“, dan kedudukan sosialnya bergantung pada kemampuannya “menjual“
tenaga-tenaga serta kekuasaan birokratisnya. Namun sebenarnya mereka merupakan
golongan professional, dan dalam kerangka konsep Marxis kegiatan mereka dalam
birokrasi tidak menghasilkan surplus value (nilai lebih) – satu elemen “pemerasan“ yang
selalu dilakukan oleh “kaum borjuis“ terhadap “kaum proletar“ Karena itu kelompok di
Jerman tersebut berbeda prinsip dengan kelas “orang kaya baru“ di Indonesia, sebab
kelas menengah baru di Indonesia terlibat dalam kegiatan penyalahgunaan wewenang
politik – satu hal yang amat diametral dengan pertumbuhan masyarakat dalam bidang
sosial, ekonomi, politik yang sehat.

Di sini, dalam konteks sistem patrimonial, masing-masing mendapatkan keuntungan


secara tidak wajar, tidak rasional serta tidak legal. Akibat, partai-partai politik atau
kekuatan politik serta aparat birokrasi di Indonesia sama sekali tidak bisa melakukan
fungsi sebagai penyalur kepentingan umum serta alat yang melayani urusan serta
kepenmtingan secara lancar. Pemimpin dan penguasa partai serta pejabat birokrasi di sini
bertindak sebagai patron yang secara otomotis diterima oleh anggota masyarakat sebagai
pihak “atasan“ yang merasa mempunyai hak untuk membagi-bagikan rezim-politik dan
ekonomi kepada client atau bawahannya.

Birokrasi dan Pengusaha

16
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

Pada sistem Demokrasi Terpimpin, kekuasaan atas jabatan birokrasi dan konsesi-konsesi
yang mendekat padanya, tidak seluruhnya beralih dari tangan sipil ke militer. Beberapa
tokoh yang mempunyai ikatan dengan partai-partai yang tetap dekat dengan Presiden
Soekarno dan dengan Istana Presiden, mempunyai otoritas untuk menentukan distribusi
lisensi, kredit dan pengaruh, melalui kekuasaan mereka atas masuk Presiden /PM
Soekarno sendiri dan tokoh-tokoh seperti wakil PM Bidang Luar Negeri Hubungan
Ekonomi Luar Negeri dan Perdagangan Luar Negeri, Dr Soebandrio, Wakil PM
Kordinator Kompartemen Pembangunan, Menteri Perminyakan dan Gas Alam, Chaerul
Saleh, dan Menteri /Gubernur Bank Indonesia Teuku Jusuf Muda Dalam.

Kekuasaan para pejabat birokrasi untuk membagi-bagikan konsesi, dimanifestasikan


melalui beberapa cara. Satu di antaranya adalah seringnya para pengusaha swasta
memerlukan “surat istimewa“, yang secara populer dikenal sebagai “kattabeletje“, yang
mereka peroleh atau beli dari orang-orang yang berpengaruh besar, agar bisa mendapat
suplai bahan baku dari perusahan seperti yang dilukiskan Panglaykim. Cara lain adalah
sistem Baba-Ali, di mana pengusaha Cina (Baba) bekerja dengan modal yang ditanam
oleh elit-elit asli (Ali). Situasi ini merupakan kebalikannya dari hubungan Ali Baba yang
selalu cenderung, pada waktu yang lalu, mendominasi program Benteng Walaupun
demikian, pembagian konsesi kepada para pengusaha “calo” asli dengan pemberian
imbalan berupa “sumbangan-sumbangan“ tetap merupakan untuk konyak utama antara
aparat birokrasi dengan para pengusaha mereka.Apa yang dinamakan “sumbangan“ itu
diberikan oleh para pengusaha sebagai “dana revolusi“ sebagai imbalan atas pemberian
kedudukan monopoli disektor impor. Namun fenomena ini sebetulnya muncul sebagai
kebangkitan kembali tradisi Jawa.

Sektor impor tetap merupakan sektor bisnis yang paling menguntungkan. Ini disebabkan
oleh semakin meningkatnya inflasi dan kurs Rupiah terhadap mata tuang asing yang
tinggi yang ditetapkan secara artifisial, melonjaknya harga-harga, adanya kemacetan-
kemacetan pengangkutan-pengangkutan fluktuasi musiman dan buruknya pelayanan
informasi, yang diperparah lagi oleh perubahan-perubahan besar dari waktu ke waktu
yang diadakan di bidang pengawasan harga dan pemberian subsidi, Semua itu berarti
keberhasilan bagi orang-orang yang punya koneksi. Karena mereka bisa memperoleh
kredit, lisensi dan devisa untuk mendapatkan keuntungan yang besar, sementara bagi
mereka yang tidak punyai koneksi, sukar untuk bisa bertahan.

Banyak di antara importir yang berhasil pada periode Benteng (yakni mereka yang telah
menggunakan lisensi untuk dapat mendirikan perusahaan) juga dapat bertahan dan hidup
makmur pada periode Demokrasi terpimpin, Mereka telah mampu bertahan karena
membina hubungan patron-klien dengan penguasa-penguasa baru dan terus memelihara
koneksi dengan mereka: itulah terjadi terutama dalam kasus pengusaha-pengusaha seperti
Muhammad Hasjim Ning dan Agus Muchsin Dassad serta Radem Kusmuljono Hasyim
Ning telah mengalihkan dukungan dari PSI kepada PNI dan membina hubungan yang
erat dengan para elite birokrasi (yang militer). Dassad memlihara hubungan-hubungan
eratnya dengan Presiden Soekarno melalui kawan-kawan usahanya yang bersama-sama
dengan dia, sudah sejak lama diasosiasikan dan mempunyai koneksi dengan tokoh-tokoh
PNI. Seperti Ning, ia pun berhasil memelihara saluran untuk memperoleh lisensi.

17
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

Satu kekecualian adalah Soedarpo yang mempunyai hubungan dekat dengan tokoh-tokoh
berpengaruh dengan PSI. Akan tetapi sebelum PSI kehilangan pengaruhnya ia sudah
mulai mengurangi ketergantungannya kepada konsesi dan lisensi. Seperti beberapa
pengusaha lainnya, ia mengatakan bahwa kemampuan untuk bertahan terus dalam
periode Demokrasi Terpimpin adalah berkat tindakannya untuk menyimpan asset
(kekayaan perusahan) dalam bentuk komoditi, terutama suku cadang, karena mereka
yang assetnya berbentuk uang tunai, menderita kerugian besar.

Beberapa pengusaha seperti Pardede dan Aminuddin menjadi terkemuka dalam periode
Demokrasi Terpimpin. Mereka hampir sepenuhnya menggantungkan diri kepada saluran
untuk memperoleh lisensi impor, karena bagian terbesar impor harus secara resmi
disalurkan melalui pelbagai perusahaan dagang negara. Sesorang pengusaha yang boleh
dikatakan luar biasa adalah A Rachman Tamin yang sudah sejak awal 1940-an
berkecimpung dalam dunia bisnis dan dengan cepat menjadi pengusaha terkenal pada
tingkat nasional pada periode Demokrasi Terpimpin.Ia dianggap mempunyai hubungan
yang sangat besar dengan Presiden Soekarno melalui istri Presiden, Ny Fatmawati, yang
berasal dari kota yang sama. Namun kebanyakan pengusaha klien yang menjadi makmur
pada Demokrasi Terpimpin jatuh lagi dengan berakhirnya sistem itu. Hal itu sebagaian
disebabkan oleh kekosongan modal tetapi sebagian besar mereka gagal karena tidak
dapat menjalin hubungan baik dengan elite politik yang memegang kekuasaan pada masa
Orde Baru. Dan itu disebabkan karena ketergantungan mereka selama itu kepada patron-
patron individual dalam birokrasi yang tentu sangat rawan oleh setiap perubahan politik.
Hal ini jelas kelihatan pada kasus pengusaha seperti Aslam Markam yang kemudian hari
dipenjarakan karena terbukti melakukan korupsi. Dan juga Mardanus (seorang
purnawirawan perwira ALRI) yang mengalami nasib yang sama.

Dari uraian diatas kita tahu bahwa satu faktor yang sifatnya menentukan muncul,
kemampuan bertahan dan kemunduran seorang pengusaha asli adalah kemampuan untuk
memperoleh konsesi yang lokasinya dikontrol oleh pejabat. Yang memperoleh
keuntungan dari keadaan itu adalah kelompok politik yang berhasil menguasai jabatan
dalam birokrasi. Dan juga para pengusaha asli yang mampu menfaatkan hubungan baik
dengan birokrasi. Namun demikian, ada juga golongan-golongan pengusaha Cina yang
merupakan mitra (patner) utama elite birokrasi dan makelar –makelar di bidang impor –
seperti halnya dengan “pengusaha aktentas“ sewaktu periode Benteng. Sebagian besar
dari pembentukan modal yang dapat dihimpun oleh negara melalui perusahaan-perusahan
negara tidak dapat diinvestasikan karena lebih banyak digunakan untuk tujuan-tujuan
politik, kepentingan pribadi dan kelompok-kelompok politik tertentu. (Muhaimin, 1990:
176 – 180)

Orde Baru dan Pengusaha Klien

Sudah jelas bahwa setelah berakhirnya Demokrasi Terpimpin, sebagai akibat gagalnya
kudeta pada bulan Oktober 1965, ekonomi Indonesia harus memikul beban inflasi yang
mencapai 20–30 % per bulan, kelumpuhan infrastuktur yang mengakibatkan kemacetan

18
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

dan kekacauan dalam bidang komunikasi dan distribusi, kapasitas produksi yang sangat
merosot pada sektor-sektor indisutri dan ekspor, lumpuhnya aparat pengumpul pajak dan
pengawasan, anggaran dan hutang luar negeri sebesar $ 2.400 juta. Perusahaan-
perusahaan negara juga gagal mendorong tumbuhnya kekuatan ekonomi golongan asli
yang cukup besar untuk bersaing dengan perusahan perusahan asing dan Cina di bidang
investasi dan produksi besar.Akan tetapi pengusaha-pengusaha klien terus berkembang,
disertai terus mundurnya pedagang-pedagang dan produsen –produsen asli.

Periode setelah tahun 1966 ditandai oleh suatu perubahan besar dalam stuktur kekuasaan
politik sementara pihak militer dengan cepat tampil ke depan untuk menguasai situasi,
kekuasaan Presiden Soekarno dan PNI yang mempunyai banyak sekali klien, merosot
dengan cepat. Efek yang segera timbul dari perubahan ini bagi golongan pengusaha asli
tampak jelas dengan jatuhnya pengusaha-pengusaha klien seperti Aslam, Markam atau
Panggabean dan cepat munculnya pengusaha-pengusaha yang diasosiakan dengan elite
Orde Baru.

Seperti pada perode-periode sebelumnya, kali inipun kegiatan-kegiatan pengusaha klien


Orde Baru tergantung kepada kekuatan politik golongan asli dan wewenang birokrasi
untuk mengontrol lokasi monopoli, kredit negara, kontrak dari pemerintah dan konsesi-
konsesi lainnya. Ini pada dasarnya, merupakan suatu kontrol politik atas akses menuju
pasar, suatu bentuk kekuasaan ekonomi yang khas merkantilis. Akan tetapi mereka juga
didukung oleh modal dan jaringan dagang Cina dan oleh suatu persekutuan dengan modal
asing yang sering mengambil bentuk usaha patungan. Sebagai imbalan saham
pperusahan, mitra (patner) asli memberikan konsesi dan lisensi, artinya akses menuju
pasar. Berdasarkan ketentuan-ketentuan UU PMA dan PMDN kerjasama dengan modal
asing dalam bentuk usaha patungan diberi dorongan oleh pemerintah sebagai upaya untuk
memudahkan alih teknologi.

Pengusaha di masa Orde Baru yang berbagai operasi dan kegiatannya tergantung pada
patronase politik dan birokrasi, lebih hanya ragamnya. Berbeda dengan pemerintah di
zxaman Benteng, pemerintah Orde Baru mengundang sampai tingkat tertentu berusaha
keras untuk melindungi kepentingan dan perusahan asing. Pemerintah juga tidak secara
formal melakukan diskriminasi terhadap golongan Cina perantauan. Berbeda pula dengan
pada zaman Demokrasi Terpimpin, pemerintahan Orde Baru – walaupun bertujuan
hendak menciptakan “masyarakat Indonesia yang adil dan makmur“ – bertekad untuk
mendorong dan memajukan sektor-sektor swasta. Dengan demikian seperti misalnya
perusahan-perusahan negara yang sebagian berada di bawah pengawasan militer.

Sejumlah pengusaha klien yang terkemuka, yang telah muncul pada periode Benteng dan
dapat bertahan pada perode-periode berikutnya, terus bertahan di bawah pemerintahan
Soeharto. Akan tetapi kemampuan mereka untuk terus beroperasi, hampir seluruh nya
berkat keberhasilan,mereka membina hubungan dengan elit-elit Orde Baru atau karena
mereka masuki bidang usaha patungan dengan modal asing. Demikian pula halnya
dengan klien-klien yang telah muncul sebagai pengusaha terkemuka pada tingkat
nasional dalam periode Demokrasi Terpimpin. Perkembangan itu tidak mencerminkan
suatu keberhasilan untuk membentuk modal pada perkembangan sebelumnya, tidak pula

19
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

menimbulkan suatu tantangan bagi kekuasaan birokrasi yang patrimonial atau bagi modal
asing. Sebagian klien-klien itu mengawali usaha sebagai pejabat yang menfaatkan
kekuasaan politik mereka untuk mendirikan perusahan, seperti yang telah dilakukan oleh
RM Koesmoeljono; sebagian lagi adalah klien golongan-golongan politik atau orang-
orang yang berpengaruh, seperti Soedarpo atau Hasyim Ning dan ada pula di antara
mereka yang mengawali usahanya sebagai pedagang asli yang independent, yang
menggunakan kemahiran mereka sebagai pengusaha untuk menghimpun dan
menanamkan modal serta kecerdikan politik mereka untuk mengadakan persekutuan
dengan patron birokrasi, seperti yang telah dilakukan oleh Dassad.

Pengusaha-pengusaha klien yang muncul pada periode Orde Baru pada umumnya berasal
dari kalangan yang mempunyai hubungan dekat dengan jendral-jendral militer, karena
yang paling menentukan bagi keberhasilan dalam dunia bisnis masih tetap patronase
politik. Di pihak lain, karena pengusaha harus mampu beroperasi di pasar bebas
sebagaimana yang dimaksudkan oleh UU mengenai PMA dan PMDN, maka pada tingkat
terakhir faktor yang menentukan apakah seorang akan dapat menanamkan modal dan
mengorganisasikan produksi dengan bijaksana.

Faktor yang paling menentukan dalam hal ini adalah faktor klasik: kurangnya modal.
Sementara keuangan semakin dikuasai oleh militer, pengusaha beranggapan bahwa
sumber itu harus ditimba oleh golongan asli dan bukan oleh orang-orang Cina. Oleh
sebab itu, maka setiap pengusaha yang memerlukan sumber keuangan harus berurusan
dengan orang-orang itu atau dengan golongan mereka dalam birokrasi. Di gelanggang
inilah berlangsung suatu pertarungan tersembunyi yang besar antara kelompok-kelompok
klien asli tertentu dengan para pengusaha Cina peranakan yang mendasarkan strategi
mereka pada pandangan bahwa keberhasilan setiap kegiatan bisnis tergantung pada
kemampuan untuk memperoleh konsesi, kredit dan lisensi Di sini, pembinaan hubungan
pribadi dengan para pejabat sangat menentukan.Dalam pandangan banyak pengusaha
asli, keberhasilan sebagian besar pengusaha-pengusaha (klien) Cina yang terkemuka
adalah berkat kemahiran mereka dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan para pejabat dan
golongan asli harus mengeluarkan lebih banyak dan menyediakan lebih banyak waktu
untuk mencari patron.

Sikap kebanyakan pengusaha yang bisa bertahan terus sebagai klien dari periode Benteng
maupun Demokrasi Terpimpin adalah bahwa perekonomian Indonesia didominasi oleh
modal Cina dan asing yang pada umumnya, merugikan golongan pengusaha asli dan
kepentingan nasional Indonesia. Oleh sebab itu mereka berpendapat bahwa modal itu
harus dikontrol dan pengusaha-pengusaha asli harus dilindungi dampaknya. Sementara
pengusaha-pengusaha HIPMI juga menganut pandangan ini, menarik untuk dicatat bahwa
mereka tidak menekankan perlunya diadakan perubahan-perubahan yang fundamental
dalam strategi ekonomi – seperti yang telah disarankan oleh kebanyakan pengusaha pada
zaman Demokrasi Terpimpin yang masih bisa bertahan – melainkan memusatkan
kegiatan mereka pada upaya untuk membina suatu pesekutuan antara pejabat-pejabat
(militer) dan pengusaha asli. Barangkali yang bisa dijadikan contoh dari pandangan ini
adalah modal jaringan yang canggih yang telah terjalin antara Abdul Latif dan Siswono
Judo Husodo dengan Ibnu Sutowo dari Pertamina.

20
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

Jenis klien lainnya berasal dari birokrasi. Pada periode tahun 1958-1965, orang-orang
militer giat dalam berbagai perusahan negara dan sejak tahun 1967 mereka memasuki
sektor usaha swasta melalui penguasaan mereka atas pusat kekuasaan politik-birokrasi,
yang sebagian besar terdiri dari komando-komando militer Secara resmi, tujuannya
adalah untuk mengumpukan dana bagi “kesejahteran militer“, dan meliputi antara lain
perusahan-perusahan (yang resminya) swasta, seperti Tri Usaha Bakti (TUB), PT Garuda
Mataram, dan banyak perusahan lainnya. Akan tetapi jabatan birokrasi itu sifatnya hanya
untuk sementara, atau lebih jelas lagi, tidak bersifat turun menurun. Oleh sebab itu,
kecuali jika seorang anggota elite birokrasi dapat mempertahankan wibawanya atau
mempunyai sumber-sumber kekuasaan ekonomi sebagai milik pribadi yang bisa
dihimpun selama ia memegang jabatan, maka begitu ia kehilangan jabatannya ia pun
akan kehilangan kekuasaan dan wibawanya untuk menggerakkan dukungan politik dan
dana-dana melalui distribusi patronase dan konsesi. Dan pada periode Orde Baru terdapat
banyak juga orang yang berhasil mengumpulkan kekayaan pribadi. Ini tampak jelas
sekali dalam gaya hidup para elite. Akan tetapi aspek dari fenomen ini yang paling
penting di sini adalah kenyataan bahwa banyak pejabat yang dapat bertindak secara
bergiliran sebagai patron bagi pengusaha pribumi dan kelompok-kelompok perusahannya
Yang sangat penting adalah apakah mereka dalam birokrasi dan dengan demikian
meletakkan suatu landasan kekuatan sosial ekonomi yang stabil bagi pembangunan. Di
pihak lain agak sulit untuk membedakan antara perusahan-perusahan bisnis yang dikelola
oleh perorangan-perorangan atas nama suatu pusat kekuasaan,seperti Kostrad dan
perusahan-perusahan yang dijalankan oleh perorangan-perorangan atas nama keluarga.

Pada tahun 1964, Kostrad membentuk sebuah yayasan, yakni Yayasan Dharnma Putra,
untuk mengumpulkan dana bagi kesejahteraan para perwira dan personil Kostrad. Ketika
Soeharto menjabat Panglima Kostrad maka di anatara tokoh-tokoh terkemuka Dharma
Putra terdapat perwira AD seperti Jendral Soedjono Humardani, Jendral Ali Moertopo,
Jendral Ibnu Sutowo, Jendral Sofjar, dan perwira-perwira lainnya dari Dibvisi
Diponogoro, Jawa Tengah. Setelah 1967 yayasan itu dengan cepat mendirikan berbagai
perusahan, dan yang terpenting di antaranya adalah ban Windhu Kentjana (bersama –
sama dengan seorang pengusaha-pengusaha Cina) dan Mandala Airlines.

Yang penting dalam perkembangan pengusaha klien itu – tak peduli apakah mereka
mulai menonjol sejak periode Benteng dan periode Demokrasi Terpimpin atau baru
muncul dalam periode sekarang – adalah kenyataan bahwa para pengusaha dan para
pejabat militer telah aktif dalam perusahan real estate, perhotelan, pusat-pusat
perbelanjaan, gedung-gedung perkantoran, dan bahwa perternakan (ranch) serta sawah di
pedesaan. Pertama-tama, milik tak bergerak itu merupakan bentuk investasi yang lebih
tahan lama bagi para pejabat dan klien-klien mereka, karena tidak tergantung kepada
hubungan dengan kekuasaan birokrasi. Dan, kedua, perkembangan pengusaha klien
penting bagi landasan bisnis yang lebih stabil.

Di pihak lain, pemilikan semacam itu tampaknya telah cenderung membawa mereka
kepada gaya hidup yang rupanya dianggap berlebihan dan pola konsumsi yang mungkin
dapat menjurus pada timbulnya keresahan sosial dalam masyarakat seperti Indonesia

21
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

Yang lebih penting ialah apa yang dikemukakan di atas menunjukkan masih
diperlukannya waktu untuk eksistensinya suatu kelas menengah asli yang modern,
rasional dan mandiri. Hanya apabila para pengusaha klien itu mampu melakukan usaha-
usaha patungan dengan perusahan-perusahan asing dengan tujuan ahli teknologi
manajemen dan keahlian, mereka dapat memulai pembangunan dengan bai. (Muhaimin,
1990: 187 – 194)

Oligarki Bisnis dan Politik

Selama kekuasaan otoriter Soeharto, kekuasaan negara secara perlahan berkembang


menjadi instrumen dari suatu kekuasan oligarki kapitalis baru. Oligarki ini
menggabungkan serangkaian bisnis, kepentingan-kepentingan politik dan birokratik, dan
berpusat pada jabatan presiden itu sendiri. Ia tergambarkan dengan sangat baik oleh
munculnya keluarga-keluarga kapiatlis-birokratis utama termasuk keluarga Soeharto
-serta suatu borjuasi klien yang terutama terdiri dari konglomerat-konglomerat besar
milik warga Cina, dan juga sejumlah korporasi pribumi yang pengaruh dan kekuasannya
terkait erat dengan penggunaan kekuasaan negara. Saat oligarki ini terkonsilidasikan di
dipertengahan dan akhir tahun 1980-an – dengan dasar patronase negara dan akses ke
sumber daya negara – ia dengan perlahan merampas kekuasaan negara itu sendiri dan
mengubah aparatur negara menjadi suatu “komite” yang mengelola perlindungan
terhadap berbagai kepentingannya. Berbeda dari negera-negara di negeri-negeri industri
maju sekarang ini, kecenderungan di Indonesia dewasa ini telah menggemakan kembali
rumusan Marx dan Engles yang terkenal tentang “eksekutif negara modern“ yang
bertindak sebagai suatu “komite yang mengelola urusan bersama “kaum borjuis” dengan
menfaatkan kekuasaan dan lembaga-lembaga negara untuk tujuan-tujuan mereka sendiri,
keluarga-keluarga birokratis dan korporatis yang memiliki posisi kuat mampu
mengendalikan kebijakan ekonomi, bahkan saat Indonesia secara internasional dipuji
karena suatu reorientasi kearah serangkaian kebijakan yang propasar.

Dominasi oligarki ini bersamaan munculnya dengan tekanan yang semakin kuat terhadap
deregulasi ekonomi yang disebabkan jatuhnya harga minyak di pasar internasional di
tahun 1980-an – yang akibatnya justru tidak memunculkan suatu bentuk negara yang
lebih liberal dan transparan sebagaimana yang mungkin dibayangkan oleh oragnisasi-
organisasi pembangunan ekonomi seperti Bank Dunia,. Lembaga-lembaga seperti
parlemen, partai negara (Golkar), militer, dan birokrasi sipil secara instrumental
dimanfaatkan untuk melindungi dan memantapkan kekuasan oligarkis. Dengan demikian,
mereka yang telah menikmati hak-hak istimewa perlindungan negara selama periode
“boom minyak” yang terjadi sebelumnya di tahun 1970-an, sekali lagi, menjadi para ahli
waris utama dari suatu proses privatisasi selektif yang memindahkan monopoli-monopoli
negara ke tangan-tangan swasta besar serta menyediakan lahan yang subur bagi perluasan
kekuasaan korporasi.

Mulai dari paruh kedua 1980-an, “deregulasi“ dan “debirokratisasi“ hampir merupakan
mantra dalam setiap diskusi tentang masa depan ekonomi Indonesia. Memang, khayalan
neoliberal tentang sebuah Indonesia yang secara rekonomi terregulasi dan digerakkan

22
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

oleh pasar tampak didukung oleh langkah-langkah yang diambil oleh pemerintah seperti
menurunkan berbagai hambatan nontarif, menyediakan berbagai rangsangan bagi ekspor,
mempermudah prosedur-prosedur penanaman modal, serta meliberalkan berbagai atiuran
tentang pendirian bank dan pengawasan modal. Ironisnya, liberalisasi besar-besaran atas
sekadar perbankan memiliki andil yang sangat besar bagi kebangkrutan ekonomi
Indonesia sekitar satu dekade kemudian. Liberalisasi ini telah memungkinkan sejumlah
konglomerat bisnis untuk membangun bank-bank yang hanya bertugas menyediakan
kredit untuk membiayai ekspansi bisnis mereka sendiri.

Deregulasi ekonomi juga membuka berbagai kesempatan baru untuk menggalang dana
bagi ekspansi perusahan secara internasional, yang mengakibatkan munculnya
keprihatinan menyangkut larinya modal ke luar negeri (capital flight). Konglomerat
terbesar, Salim Group yang dimiliki Liem Sioe Liong yang juga mitra bisnis lama
Soeharto, misalnya, telah membangun kepentingan-kepentingan bisnis yang sangat besar
dalam bidang properti, manufaktur, dan keuangan mulai dari Cina hingga Amerika
Serikat sejak tahun 1970-an dan 1980-an.Pemain utama yang lain, Eka Tjipta Widjaja,
konglomerat pemilik Sinar Mas Groip, telah membangun kepentingan-kepentingan bisnis
di Cina, sebagaimana keluarga Ryadi, konglomerat pemilik Lippo. Para hartawan ini
terlibat dalam semua hal, mulai dari perbankan, kawasan industri hingga pabrik bubur
kayu dan kertas. terdapat berbagai laporan yang tersebar di sana-sini tentang berbagai
kepentingan di luar negeri dari beragam konglomerat bisnis utama sebelum krisis Sangat
mungkin bahwa konglomerat-konglomerat yang terinternasionalisasi itu selamat dari
krisis Asia baru-baru ini, meski mereka mengalami pukulan di Indonesia (kelompok
Salim, misalnya, dipaksa untuk melepaskan Bank Central Asia-nya yang begitu bernilai),
sebagian besar karena kemampuan yang telah dimiliki sebelumnya untuk menyalurkan
asset-asset mereka dan memperluas kepentingan-kepentingan mereka ke luar negeri.

Munculnya keprihatinan publik yang begitu nyata menyangkut pengaruh yang semakin
kuat dari konglomerat-konglomerat itu sebagian sangat berkaitan dengan kenyataan
bahwa kebanyakan mereka yang paling kuat tersebut dimiliki oleh warga Cina Dengan
demikian menjadi penting bahwa sentimen rasial anti-Cina seringkali diperkuat oleh
keprihatinan populis akan distribusi kekayan nasional yang lebih adil;, yang berasal dari
sebagian intelektual Muslim negeri ini pengusaha-pengusaha yang lebih kecil, serta darei
para pengeritik Orde Baru yang lebih radikal, khususnya gerakan mahasiswa dan ornop
Apa yang menarik, bagaimanapun juga. Bambang Triatmodjo pernah mengungkapkan
gagasan bahwa privatisasi perusahan-perusahan milik negara hendaknya dilakukan demi
kepentingan pengusaha pribumi, untuk mengurangi jurang pemisah kekayaan antara
pengusaha pribumi dan pengusaha Cina. Tentu saja, dia dan anggota-anggota lain
keluarga Soeharto merupkan ahli waris utama dari privatisasi dalam beragam industri,
dan dengan demikian, perlu menemukan cara untuk melegitimasi keberhasilan mereka
yang begitu cepat.

Dalam kenyatannya, para kapitalis utama pribumi juga jelas-jelas muncul. Selain
keluarga Soeharto, kaum borjuis pribumi mencakup mereka yang telah dimatangkan di
bawah perlindungan Sekretariat Negara, pusat administratif Orde Baru, melalui
kontrolnya atas pemberian proyek-proyek pemerintahan di tahun 1980-an. Namun

23
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

kelompok lain telah muncul lebih awal dengan cara bertindak sebagai sebagai kontraktor
bagi Pertamina, perusahan minyak raksasa milik negara. Di kemudian hari, sebagian dari
kaum borjuis pribumi ini mendukung sebuah organisasi yang disebut ICMI (Ikatan
Cendikiawan Muslim Indonesia), yang didirikan untuk menyokong kedudukan Soeharto
bersamaan dengan munculnya kelas menengah Muslim.

Berulangkali ditunjukkan bahwa kepentingan-kepentingan oligarkis dapat secara


instrumental memanfaatkan kekuasaan negara untuk melindungi diri mereka sendiri
Fakta semacam ini terjadi bahkan di puncak krisis ekonomi, saat kepentingan –
kepentingan ini oleh organisasi-organisasi pembangunan internasional dianggap sebagai
rintangan utama reformasi ekonomi. Sebagai contoh, saat enambelas bank – yang
beberapa diantaranya dimiliki oleh famili dan kroni Soeharto – dinyatakan pailit di bulan
November 1997, sebuah bank milik Bambang Triatmodjo diiznkan untuk muncul
kembali dengan bermetamorfosis menjadi bank dengan nama bank lain. (Hadiz, 2005:169
– 189)

Kebebasan dan Kesanggupan Berusaha

Secara negatif, kebebasan berarti tak adanya paksaan. Secara positif. kebebasan ekonomi
berarti suatu keadaan di mana seseorang boleh mempergunakan kemampuannya
(pengetahuan, pengalaman, kreativitas dan sebagainya) bagi tujuan-tujuannya sendiri,
jika (dan ini penting sekali) dengan memakai kebebasannya ia tidak memperkosa
kebebasan ekonomi para individu lain. Kebebasan, dalam permusan filsuf Jerman,
Wilhelm von Humbold, adalah “kemungkinan bagi varian kegiatan yang terbatas”.

Norma-norma pemerintah dan norma-norma sosial-budaya dapat membatasi terbukanya


kemungkinan-kemungkinan ini bagi seorang individu. Semakin terbatas kemungkinan –
kemungkinan ini, semakin kecil kesempatan yang dapat digunakan oleh seorang individu
untuk memakai pengetahuan dan kemampuannya bagi kegiatan-kegiatan wiraswasta.Jika
seseorang dipaksa untuk harus melakukan ini dan itu, maka dengan itu hilanglah pola
kebebasannya dan – inilah argumen teori perkembangan bagi kemerdekaan ekonomi –
kemudian lenyaplah kemungkinan bagi individu ini untuk memakai pengetahuan,
pengalaman, kreativitas dan motivasi-motivasinya untuk tindakan-tindakan, yang oleh
individu ini dianggap memberi hanjaran dan hasil menurut pengetahuan dan pengalaman
yang hanya dipunyai olehnya. Karena itu, mengekang kebebasan ekonomi niscaya
mengakibatkan menurunnya penggunaan pengetahuan, serta pengalaman dalam
masyarakat, membekukan kreativitas dan terhalangnya seorang individu atau
kelompoknya untuk beradaptasi terhadap perubahan-perubahan situasi seperti kurang
efisiennya total produksi, terhamburnya sumber-sumber, matinya inovasi dan
melambatnya perkembangan ekonomi.

Adapun argumen kebebasan individual ini tak boleh disamakan dengan egoisme dan
semangat ingat diri. Seorang altruis pun harus mempunyai kebebasan untuk mengejar
tujuan-tujuannya, jika dalam tindakannya dia harus menyerah kepada kehendak seorang

24
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

lain, yang berarti jika kebebasannya dibatasi. Karena itu tak harus terdapat hubungan
yang niscaya antara egoisme dan tindakan atau kebebasan perseorangan.

Argumen ini kadangkala dilupakan jikalau di Indonesia ada sementara orang yang
menyamakan “liberalisme“ dengan “kanibalisme ekonomi“ atau dengan kapitalisme
“pertarungan bebas“. Bahkan masyarakat yang paling altruistis pun di mana setiap orang
sedia berichtiar untuk membantu atau melayani sesamanya, tidak akan ada tanpa suatu
tingkat kebebasan yang cukup tinggi bagi para individunya, karena kebebasan perorangan
atau rule of law haruslah menjaga agar jangan sampai ada seseorang yang memaksakan
kehendaknya kepada orang lain, maka suatu “rule of law“ haruslah melindungi yang
melemah, dan harus tidak memungkinkan “kanibalisme ekonomi“.

Manajer dari sebuah koperasi memerlukan kebebasan untuk mencapai tujuan-tujuannya


dan tujuan anggota-anggota koperasi sama halnya seperti petani yang memperkenalkan
bibit baru dan pupuk atau wiraswasta “kapitalis“ yang nampaknya hanya tertarik kepada
peningkatan keuntungan-keuntungannya atas cara yang amat egoistis. Jika suatu
wewenang, pemerintah atau swasta (misalnya perusahan yang berkekuatan pasar yang
mendesak wiraswasta yang lebih kecil membatasi atau menekan kemerdekaan ekonomi,
maka hal ini hanya berarti bahwa para individu itu – apa pun tujuan mereka – tidak dapat
memakai pengetahuan, pengalaman, dan kekuatan-kekuatan kreatif dan daya motivasi
mereka dalam memecahkan masalah-masalah atas cara yang masuk akal dan membawa
kepuasan bagi mereka. Itu sebabnya, daerah yang memungkinkan inovasi-inovasi ini,
menjadi terbatas, dan hal ini mengakibatkan semakin lambatnya laju perkembangan
ekonomi.

Kemerdekaan ekonomi tidak saja ditekankan oleh kaum liberal liberal kalsik, tetapi juga
oleh para ekonom nasionalis dan kaum merkantilis sebagai suatu kondisi yang tak
terelakkan bagi perkembangan ekonomi. Beberapa nasionalis yang amat keras seperti
para pelopor reformasi Meiji di Jepang, telah menjalankan salah satu revolusi yang paling
radikal dan revolusi borjuis yang paling meluas dalam sejarah umat manusia (yaitu apa
yang dikenal sebagai “restorasi Meiji“ dan dengan cara ini menciptakan kondisi bagi
lahirnya salah satu prestasi ekonomi yang paling menyolok.

Dipandang dari segi kebebasan individual pemerintahan kolonial Belanda di Indonesia,


telah menyebabkan dua akibat mendasar yang amat merugikan.Indonesia belum pulih
juga sampai saat ini. Pertama, orang Belanda telah memperkuat orde tradisional yang
feodal atau membekukan struktur sosial yang bersifat hirarkis dan otoriter, khususnya
dengan cara mengontrol orang Indonesia secara tidak langsung melalui kaum ningrat
mereka sendiri (pemerintah tak langsung). Kedua, sebagian besar dari kegiatan
inovatif,khususnya dari para wiraswasta pribumi, dianggap tidak syah oleh orang
Belanda.

Baru pada dasawarsa –dasawarsa terakhir pemerintahan kolonialnya, pemerintah Belanda


mulai meringankan banyak pembatasan, akan tetapi pada tahap ini keadaan telah
rusak.Tradisi kewiraswastaan Indonesia sudah mati terbunuh. modal asing mengontrol
perdagangan dalam negeri di Indonesia dan industri tingkat menengah Dalam kondisi

25
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

seperti itu maka bahkan dengan menghapuskan semua pembatasan terhadap, atau dengan
memulihkan kemerdekaan ekonomi bagi para wiraswasta pribumi yang potensial, tak
akan tercipta lagi kondisi yang yang elok bagi lahirnya kembali suatu kelas wiraswasta
yang didorong kearah yang pengambil-keputusan yang inovatif sifatnya.

Semenjak kemerdekaan, tentu saja banyak yang telah berubah, juga dalam pengaturan
kegiatan bisnis. Akan tetapi, warisan kolonial dalam pemikiran ekonomis dan struktur
kolonial dari ekonomi Indonesia nampaknya masih dominan. Tiga puluh tahun merdeka
ternyata tidak cukup untuk membentuk suatu kelas wiraswasta pribumi yang penuh
kepercayaan kepada diri sendiri; atas berbagai cara, kebijaksaan pemerintah baik dalam
pemerintahan Soekarno, maupun dalam masa orde baru, bertanggung jawab bagi situasi
ini.

Kita pun melihat bahwa politik ekonomi orde baru dan dengan berbagai cara lebih
tertarik kepasda terciptanya suatu lingkungan ekonomi dan lingkungan politik yang
“sehat“ untuk menarik modal asing, daripada merangsang prakarsa-prakarsa ekonomis
dari kalangan pribumi. Semua kegiatan ekonomi di Indonesia diatur dengan cara yang
terperinci dan amat birokratis Pembatasan-pembatasan terhadap kegiatan kewiraswastaan
amat banyaknya. Banyak serikat dagang Indonesia bekerja dengan melanggar “hukum“,
menjalankan bisnis, merusak undang-undang dengan berbagai cara Semuanya di lakukan
semata-mata dapat membayar hutang dan dengan demikian – justru dengan bisnis yang
“illegal“.

Berbagai pembatasan terhadap kemerdekaan ekonomi tentu saja tidak menambah


kesempatan para wiraswasta pribumi untuk mengadakan akumulasi modal atau
memperbesar usaha mereka dengan ide-ide yang cemerlang dan kerja keras. Akan tetapi
sukses bisnis mereka lebih banyak akibat kemampuan mengambil keuntungan dari
koneksi sosial atau relasi sosial, yang menghasilkan apa yang oleh Dr Suparman
Sumahamidjaya dinamakan: “ jutawan pungli.” (Roepke, 1978: 68—70)

Kiranya tidak sukar menyebutkan serentetan nama penulis dan ahli-ahli,baik orang
Indonesia maupun bukan, yang semuanya memberikan penilaian bahwa “orang
Indonesia“ rata-rata kurang memiliki kesanggupan wirausaha. Dengan merangkumkan
berbagai argumen itu diperoleh gambaran tentang pengusaha “orang Indonesia“ sebagai
berikut: motivasinya untuk berprestasi lemah; cenderung menghindari kerja keras; laba,
dan sering juga kredit yang diperoleh, cenderung dipakai untuk membiayai gaya hidup
mewah; perspektif waktunya tidak diarahkan pada masa depan; tidak punya kepercayaan
terhadap diri sendiri; berperasaan rendah diri; lingkungan dipandangnya sebagai sesuatu
yang takkan bisa dikendalikan oleh tindakannya, cenderung bersikap fatalistis (mentalitas
“tidak ada“). Tentu saja penguraian tabiat yang menggeneralisasikan seperti ini
mengandung berbagai kekurangan. Untuk memperoleh suatu gambaran yang lebih
terinci, kita coba saja memilah-milah wujud pengusaha “Indonesia“ sebagai berikut: (1)
Pedagang beragama Islam yang tergolong lapisan menengah dalam masyarakat
tradisional dan merupakan kelompok pengusaha ekonomi lemah; (2) Kelompok yang
mewakili state-capitalism legal; (3) Golongan kapitalis birokrasi, termasuk pula di sini
mereka dari kalangan militer yang terutama mengadakan persekutuan dengan pengusaha

26
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

luar negeri dan pengusaha Cina; (4) Pengusaha pribumi bukan Islam di luar aparat
birokrasi tetapi sangat tergantung daripadanya dan (5) Pengusaha Cina.

Dugaan bahwa taraf kesanggupan wirausaha di Indonesia masih rendah memang masuk
akal. Selama masa penjajahan, terutama di Jawa terdapat kondisi lingkungan yang sangat
tidak menguntungkan bagi perkembangan atau pertumbuhan suatu sistem kepribadian
wirausaha. Seperti diketahui, berbagai penulis seperti misalnya Geertz bahkan sampai
beranggapan bahwa mentalitas yang bersifat menolak kemajuan dan merupakan hasil
negatif dari tekanan dan penindasan oleh kekuasaan kolonial. Kiranya tidak dapat
disangkal, bahwa kekuasaan kolonial kecuali telah mengokohkan kebudayaan priyayi
dengan pola pikiran mereka yang mementingkan kedudukan dan martabat, lebih
menginginkan jabatan yang aman dalam tata birokrasi dan cenderung menganut pola
konsumsi mewah, di lain pihak juga sedikit sekali memberikan peluang bagi
penyimpangan dari etos kebersamaan masyarakat desa yang kehidupan ekonominya tidak
mengenal kemajuan. Nilai-nilai kehidupan yang berkaitan erat dengan kebudayan priyayi
dipelihara terus dan ditampilkan secara menyolok, sementara bagi masyarakat luas
daerah pedesaan dan di kota-kota, keadaan penghidupan masih tetap tidak
memungkinkan berkembangnya prakarsa wirausaha, karena itu akan merupakan perilaku
yang tidak fungsional.

Memang masuk akal bahwa kristalisasi atau pengambilan peran wiraswasta di Indonesia
sangat dipersulit oleh adanya fakta bahwa tokoh-tokoh pimpinan dalam bidang politik,
pemerintahan, dan militer memanfaatkan kedudukan dan jabatan mereka untuk
menimbun kekayaan, yang selanjutnya ditonjol-tonjolkan sedemikian rupa sehingga
sehingga di kalangan masyarakat timbul kesan bahwa jalan yang paling mudah dan dapat
diandalkan untuk memperoleh pengaruh, martabat dan kekayaan bukanlah dengan usaha
sendiri, kerja keras, melalui kegiatan wirausaha, melainkan dengan memasuki kehidupan
politik atau sistem birokrasi dan mengembangkan karir di situ.

Di Indonesia pun, peran wirausaha merupakan hasil dari suatu proses perkembangan
sejarah. Tetapi berhubung berabad-abad lamanya politik perekonomian di Indonesia
bersifat menghambat atau melesukan semangat wirausaha, dan saat ini pun masih belum
berubah keadaannya, maka kecilnya kegiatan inovatif golongan pribumi tidak hanya
merupakan akibat kurangnya kesanggupan, melainkan juga oleh kurang adanya peluang
(kebebasan), ditambah dengan struktur lingkungan yang bersifat menghambat inovasi
Karena itu suatu kebijaksanaan yang bertujuan membina perkembangan pengusaha, atau
kebijaksanaan pembaruan harus mengarahkan sasarannya pada kenyataan ini.
(Ropke,1988: 286 – 303)

Hilangnya Kelas Menengah

Mengapa kelas menengah atau Independent burgoise itu tidak muncul? Harlod Crouch
mengemukakan empat pendekatan teoritis untuk menjawab pertanyaan itu. Pertama,
pendekatan psikologi – kultural dalam tradisi paradigma modernisasi yang melihat bahwa
transformasi kultural diperlukan untuk menciptakan kualitas psikologis dan motivasional

27
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

yang dibutuhkan bagi proses modernisasi. Budaya tradisional dianggap menjadi


penghambat pembangunan ekonomi modern, karena dalam masyarakat tardisional orang
bersifat pasif, ”nrimo”, tanpa ambisi, dan cenderung percaya pada kekuatan supranatural.
Pada pihak lain modernisasi menuntut orang mempunyai sifat dinamis, percaya diri, dan
inovatif yang siap untuk mengambil resiko atas cara-cara hidup baru. Secara khusus
pembangunan ekonomi memerlukan munculnya kelas entrepreneur baru yang memiliki
“the spirit of Protestan Ethic “. Hagen Hagen and McCelland mengemukakan teori
tentang perubahan kultural dan psikologi yang diperlukan untuk mengubah pedagang
menjadi entrepreuner pribumi. Boeke menyatakan bahwa mentalitas masyaralat pribumi
tidak reponsif terhadap rangsangan ekonomi yang mendorong pembangunan ekonomi.
Geertz menyebutkan bahwa pedagang Muslim di Jawa Timur dan entrepreuner aristokrat
di Bali mempunyai potensi menjadi “kelas menengah“, akan tetapi “kolektivisme
majemuk“ pada masyarakat Bali dan kelemahan organisasi pedagang Muslim itu
kemungkinan menjadi penghambat. Sedangkan Sievers melihat bahwa mistik yang
irrasional menjadi penghalang besar bagi pembangunan.

Kedua, pendekatan struktural-domestik. Dalam pandangan ini peran dominan dari


birokrasi di banyak masyarakat Dunia Ketiga menjadi hambatan mendasar yang harus
diatasi. Pandangan ini berakar pada cara bagaimana masyarakat diorganisasikan Konsep
“patrimonialism“ Weber kembali dihidupkan untuk menggambarkan negara Dunia
Ketiga modern dimana penguasa melestarikan kekuasaannya melalui satu kombinasi dari
distribusi patronase dalam elite dan represi oposisi yang berada di luarnya. Dalam negara
patrimonial pemerintah memperoleh dukungan dari elite aristokrasi dan birokrasi dengan
mengalokasikan peluang untuk memperoleh kekayaan di antara berbagai klik merasa
memperoleh ganjaran dan oleh sebab itu tetap mendukung rezim. Situasi seperti itu
sangat tidak favorable bagi munculnya kegiatan ekonomi swasta karena penguasa sendiri
atau pejabat-pejabatnya memonopoli berbagai peluang seraya menghalangi pembentukan
modal ekonomi swasta. Konsep Riggs tentang bureaucratic polity juga digunakan, di
mana birokrat memerintah di atas satui sistem yang banyak mempunyai ciri patrimonial,
tanpa diimbangi oleh kekuatan sosial-politik yang lain. Di dalam sistem politik semacam
ini peluang dan keuntungan ekonomi didistribusikan di dalam jarinan “patron client“
yang berada dalam birokrasi yang berkuasa. Peluang-peluang ekonomi dimonopoli oleh
elite birokrasi politik sehingga kelompok entrepreneur –bebas tidak dapat tumbuh.
Muhaminin dalam membahas “Bisnis dan Politik“ mencoba mempergunakan konsep
birokrai patrimonial, yang bukan mendorong tumbuhnya kelas menengah bebas akan
tetapi justru melahirkan pengusaha klien, yang menggantungkan pada fasilitas yang
diberikan oleh “patron politik” (pada masa demokrasi parlementer), atau oleh “patron
birokrat dan militer“ pada masa-masa sesudahnya, sehingga muncul istilah sindiran
“pengusaha aksentas“ dan “perusahan Ali Baba“.

Ketiga, pendekatan dependensi yang dipopulerkan dan dikembangkan oleh Baran dan
Frank pada akhir tahun 1960-an, yang melihat struktur ketergantungan Dunia Ketiga,
Birokrat yang korup mampu bertahan memerintah oleh karena memperoleh dukungan
internasional dan berperan sebagai agen dari modal internasional yang melanjutkan
eksplotasi dunia “neo-kolonial“ dituduh sebagai penyebab utama dari keterbelakangan
dan yang dominasi perekonomian tergantung hanya sedikit menyisahkan menyisahkan

28
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

ruang bagi entrepreneur lokal. Singkatnya keterbelakangan adalah hasil dari impreialisme
Barat. Elite Dunia Ketiga yang memperoleh keuntungan dan kekayaan selama masa
penjajahan tetap memelihara kaitan dengan bekas negara penjajahan tetap memelihara
kaitan dengan bekas negara penjajahnya dan modal asing sebagai “komprador“ karena
tidak mau kehilangan keuntungan yang sudah diperolehnya. Selain elite Dunia Ketiga,
perusahan multinasional Dunia Pertama juga memperoleh keuntungan dari hubungan
semacam itu, sehingga juga mempunyai kepentingan untuk mempertahankan corak
hubungan itu. Dalam perspektif radikal, bukanlah bukanlah hanya kualitas patrimonial
saja yang menghalangi pertumbuhan entrepreneur domestik akan tetapi persekutuan elite
neo-patrimonial dengan perusahan asing yang mendominasi lewat sumber daya modal
dan teknologi tinggi yang mereka kuasai. Robinson dan Muhaimin secara terpisah kurang
lebih mempunyai pendapat yang sama,.demikian juga Mortimer dan Mackie, bahwa
kaum birokrat kapitalis yang mendominasi kehidupan politik dan ekonomi di Indonesia
tidak bersifat mandiri dan oleh karena itu tidak bisa diharapkan menjadi penggerak
perubahan sosial, karena mereka lebih suka menanamkan modalnya ke dalam “real
estate“ demi jaminan sosial setelah pensiun, bukannya dalam perdagangan dan industri
yang berisfat jangka panjang.

Keempat, adalah pendekatan pembangunan –tergantung yang menyatakan bahwa pada


kenyataannya kapitalisme internasional membawa efek pada “pembangunan“ di Dunia
Ketiga dan pada munculnya pengusaha yang secara nisbi bersifat bebas. Di Indonesia
terjadi perubahan sebagai akibat adanya penanaman modal asing, bantuan luar negeri,
dan “boom minyak bumi“ pada dasawarsa 1970-an, yang berakibat makin kuatnya posisi
kelas kapitalis negara dan kelas kapitalis domestik. Konglomerat besar yang lahir pada
tahun 1970-an tetap memperoleh keuntungan dari patronase, tetapi mereka kemudian
berkembang karena menanamkan modalnya di bidang perdagangan dan industri sehingga
semkain mendekati satu titik dimana mereka dapat bertahan hidup dan tetap makmur
tanpa tergantung lagi pada sang patron dan tanpa sepenuhnya mengandalkan diri pada
jaringan dan persekutuan dengan kapitalis birokrat dan militer Tujuan utama dari ”borjuis
pribumi“ saat ini telah terjadi peningkatan internasionalisasi modal, menurut Robinson,
bukan lagi ingin mendominasi kepemilikan modal dan keputusan investasi melainkan
mendapatkan kedudukan yang terjamin di dalam dunia kapitalis di Indonesia.

Tiga pendekatan pertama telah kita bahas di atas mengenai perkembangan borjuis
Indonesia di antara kelas pedagang pribumi, namun tak satu pun yang dapat
dikategorikan sebagai kelas menengah. Eksponen penjelasan kultural menemukan bahwa
sejumlah kecil pedagang pribumi, tidak seperti pengusaha Cina, agak sulit berubah
menjadi pengusaha besar, dan apa sebabnya, mungkin gejala kultural dapat
menjawabnya.

Pendukung pendekatan struktural domestik menyimpulkan bahwa pengusaha pribumi


mengalami kegagalan disebabkan karena mereka tidak mampu bersaing dengan
pengusaha Cina, yang mempunyai hubungan khusus dengan birokrat pribumi yang
menyediakan bagi mereka segala keuntungan serta fasilitas, sedangkan pengikut mazhab
ketergantungan berpendapat bahwa pengusaha lokal tidak dapat bersaing dengan modal
kuat, teknologi dan sumber sumber lain yang dimiliki pengusaha asing.

29
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

Dalam konteks ini, Robinson menganggap bahwa para pendahulunya telah melihat
dengan cara yang salah. Para birokrat dianggap kekurangan budaya kewiraswastaan,
merasa puas dengan perolehan yang tidak sah dari kepolitikan birokratik, hadiah yang
berlimpah yang mereka terima karena peranan mereka sebagai komprador dan oleh
karena itu tidak merasa tertarik untuk menjadi kelas kapitalis, sementara itu pengusaha
Cina selalu dianggap sebagai minoritas dar luar, tetapi secara politik terlampau lemah
untuk berdiri secara mandiri. Robinson menyimpulkan bahwa hal ini berasal dari jenjang
politiko-birokrat, sedangkan orang Cina hanya menjadi borjuis ekonomi di Indonesia. Ia
memandang bahwa gerakan dari arah ini telah mulai, tapi nampaknya gerakannya lambat
sedangkan tujuan akhir belum jelas. (Crouch, 1993: 80 – 102)

Kelas Menengah atau Borjuasi?

Definisi-definisi adalah penting untuk beberapa maksud dalam menjawab pertanyaan ini,
tetapi definisi dapat pula menjadi exercise yang terlalu njelimet jika kita terlampau kaku
bertahan pada satu rumusan. Untuk tujuan-tujuan kita di sini, cukuplah kita mengikuti
terminologi yang dipergunakan Crouch dalam studi perbandingannya atas lima negeri
ASEAN, ketika merujuk “kelas menengah makmur“ perkotaan, yang pada dasarnya
didefinisikan dengan referensi pada pekerjaan dan gaya hidup (pemilikan mobil, sepeda
motor, televisi, dan lain-lain). “Borjuasi“ merupakan konsep yang cukup terbatas,
mengacu hanya kepada kelas kapitalis, kelas pemilik kekayaan yang agaknya merupakan
sub-kelompok dari kelas menengah sampai seseorang mempunyai keinginan
mendefinisikannya sebagai bagian dari “kelas penguasa“ yang memang terpisah di atas
kelas menengah, yang bagi saya merupakan prosedur sangat meragukan untuk kasus
Indonesia.

Dengan jelas Indonesia mulai menyaksikan bangkitnya suatu kelas menengah, sekalipun
belumlah begitu kuat. Tetapi, apakah pertumbuhan yang sedang berkembang ini benar-
benar berciri “borjuis“ yaitu kelas pemilik pribadi kapitalis dengan kekuatan ekonomi
dan/atau politik yang signifikan? Jawaban kita sebagian besar tergantung pada cara kita
mendefinisikannya, tentu saja dan lagi-lagi apakah kita memilih memakainya begitu saja
secara ketat atau longgar. Jika kita mengikuti diskurus konvensional Eropa, berlandaskan
pemakaian orsinal oleh kaum Marxis pada istilah ini, kita boleh berharap untuk
menemukan bahwa “borjuasi“ memiliki karakteristik-karakteristik tertentu yang sudah
diakui secara umum dan dirumuskan dengan baik.

Ia adalah kelas yang dalam terminologi Marxis, mengandung definsi yang tepat sebagai
sekelompok kohesif orang yang diikat secara bersama oleh hubungan yang sama dan
distingtif dengan alat-alat produksi (dalam hal borjuasi, sebagai pemilik modal), atau
setidak-tidaknya memasukkan beberapa ikatan bersama kesadaran dan solidaritas kelas,
belum memiliki ciri yang sangat menyolok dari kelas menengah maupun kelas pemilik di
Indonesia. Keberadaan sejumlah kelas pemilik modal dalam masyarakat kiranya
bukanlah alasan yang memadai untuk menunjuk mereka sebagai ”borjuasi“ sampai

30
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

mereka dihadapkan juga dengan kriteria lain untuk mengkategorikan mereka sebagai
sebuah kelas.

Ia adalah kelompok yang memiliki atau mengontrol cadangan modal atau pemilikan lain
yang besar (tetapi bukan tanah desa), atau kelas yang menjalankan kekuasaan kontrol
terhadap modal tersebut dalam sektor ekonomi modern:kapitalis (komersial maupun
keuangan perbankan, seperti pula modal industri) melalui kombinasi kepemilikan dan
pengelolaan.

Ia adalah kelompok yang berpengaruh secara politik dalam banyak hal, mampu
melakukan daya ungkit yang efektif terhadap kebijaksanan-kebijaksanaan pemerintah
yang relevan dengan kepentingan investasi mereka. Definisi seperti ini akan sulit
menolak penjelasan bahwa Indonesia telah menumbuhkan “borjuasi“ yang signifikan,
bagi sekelompok kexil kaum kapitalis yang kaya, terutama Cina, yang muncul sejak
tahun 1960-an yang hampir tidak dapat dikategorikan sebagai sebuah “kelas” dalam
pengertian yang ketat manapun; mereka tidak melakukan kepemilikan atau kontrol
terhadap lebih dari bagian kecil cadangan modal dasar bangsa, dan mereka tidak
mempunyai banyak pengaruh politik sebagai sebuah kelas, atau bahkan, saya akan
membantah, dalam kapasitas individual mereka, sekalipun Liem Sioe Liong mempiunyai
hubungan rapat dengan Presiden Soeharto Mereka semua lebih mendekati pengumpul
rente (rent-taker) ketimbang pencipta kemakmuran (wealth-creators) dalam bentuk
kapitalis model lama. Penguasaan pemilikan kekayaan di Indonesia pada kenyataannya
secara luas biasa menyebar, khususnya kepemilikan atas tanah, yang tetap merupakan
bentuk pokok pemilikan, di mana pemilikan-pemilikan tanah yang luas tetap sangat
jarang. Kontrol monopoli (atau, lebih sering, kekuasaan oligopolistik) terhadap arus
barang dan keuangan tentunya merupakan persoalan lain dan bisa saja dijelaskan bahwa
inilah yang merupakan basis pokok kekuasaan kaum kapitalis kaya yang telah muncul di
Indonesia. Tetapi, apakah dengan sendirinya mencukupi pembenaran kegunaan istilah
“borjuis“ untuk mengkategorikan orang-orang itu? Hanya, menurut pandangan saya,jika
kita menggunakan istilah dalam pengertian yang lebih longgar maka setidaknya ia
mengandung persamaan dengan konsep asli seperti yang dipikirkan oleh Marx.

Bahkan di Korea Selatan, Taiwan, Hongkong dan Singapira, seseorang akan mengalami
kesulitan untuk mengidentifikasikan masyarakat ini telah memulai lebih awal dalam
menempuh jalan kapitalis ketimbang Indonesia. Tentu saja, kelompok-kelompok bisnis
pribumi di sana tidak menggunakan semacam pengaruh terhadap kebijaksanaan
pemeriontah (atau “negara“ ) sebagaimana yang dilakukan rekanan mereka di Barat pada
tahap-tahap awal perkembangan kapitalisme. Jadi, saya pikir kita harus mengakui bahwa
proses-proses pertumbuhan ekonomi, industrialisasi tahap awal, perkembangan
kapitalisme atau apapun yang mau kita sebut modernisasi dapat berlangsung tanpa
dirintis oleh borjuasi. Pemerintahan yang kuat, didukung oleh Angkatan Darat yang peka
dan birokrasi yang efisien dapat memulai proses pertumbuhan, khususnya bila ia
mempunyai akses pada bantuan luar negeri dan penanaman modal asing atau minoritas
penting pedagang non-pribumi (yaitu Cina). Hal ini sudah dapat dilakukan jauh sebelum
munculnya kelas “kapitalis“ pedagang, walaupun mungkin hal tersebut tidak dilakukan
secara efisisen dan cukup berhati-hati, dan kemungkinan dengan banyak sekali korupsi

31
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

serta pembuatan kebijakan ekonomi yang “irasional“. Demikianlah, kata kuncinya adalah
bahwa “borjuasi“ tidak esensial, bukan merupakan syarat yang diperlukan.

Karena jalan perkembangan sebagian besar negeri-negeri Asia Timur (dan beberapa
negeri lainnya) yang pertumbuhannya pesat pada dasarnya adalah kapitalis, orang yang
berada di Barat cenderung berpikir tentang kapitalisme dari sudut pandang bahwa kelas
menengah atau borjuasi yang mendominasi kehidupan sosial ekonomi, dan mengubah
masyarakat menuruit bayangan mereka, dan membangun semacam keharusan ataupun
kondisi yang mencukupi bagi pembangunan ekonomi. Secara umum diasumsikan bahwa
borjuasi adalah kelas pemupuk dan penanaman modal. Tentu saja asmusi ini bisa
dipertahankan secara etnosentris – berlandaskan pada khayalan bahwa setiap bangsa
harus mengikuti jalan pertumbuhan seperti di Barat – sehingga itu banyak dari kita
mencoba mengelak dari setiap penghubungan yang jelas dengan doktrin yang meragukan
seperti itu, lebih daripada untuk mencari model –model pembangunan yang lain.

Tidak ada yang kurang dari model-model pembangunan sosial ekonomi yang dipromosi-
negara di Asia dan Afrika sejak perang dunia kedua, di mana peran pembangkit modal
tradisional borjuasi dan bahkan fungsi-fungsi kewirausahawannya telah diambil alih oleh
pemerintah. Kendati demikian, tidak banyak hal-hal ini yang secara khusuk berhasil,
terutama dalam aspek-aspek kewirausahawan mereka. Upaya-upaya yang dibuat di
Indonesia selama zaman Soekarno untuk membangkitkan perkembangan ekonomi
pertama-tama melalui dominasi sektor publik atas perekonomian membuktikan kegagalan
yang tak alang kepalang. Di pihak lain, menjadi jelas dari kasus Taiwan dan Korea
Selatan bahwa kecocokan tipe-tipe strategi pertumbuhan yang diarahkan oleh pemerintah
dapat merangsang tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi, tanpa banyak dibantu oleh
kehadiran kelas-kelas pedagang yang ada, dan dalam prosesnya secara besar
menyumbang pada penciptaan kelas seperti itu. Mungkin dapat diperdebatkan bahwa
sesuatu yang agak mirip juga berlangsung dalam perjalanan industrialisasi Jerman,
walaupun borjuasi komersial yang lemah telah tersedia di sana. Namun dengan jelas
panah-panah adalah akibat dalam persamaan ini harus mengggambarkan interkasi antara
kelas menengah dan kapitalisme, ketimbang perkembangan determinan yang satu arah
Pertumbuhan dapat menyumbang kan terciptanya borjuasi dan kelas menengah secara
besar-besaran, begitu pula sebaliknya, Di banyak negara Asia Tenggara dan Asia Timur,
setidaknya pada tahap-tahap awal, peran pemerintah merupakan elemen kausal yang
menentuiklan di samping pertumbuhan yang sedang berkembang. Dalam kasus Indonesia
percepatan pertumbuhan yang berlangsung pesat sejak tahun 1965 secara jelas bukan
dibawa oleh kelas menengah dan borjuasi yang ada, apakah pribumi atau Cina, melainkan
oleh kombinasi keterlibatan Negara dalam ekonomi, investasii yang besar pada sektor
publik dalam rangka mencipratkan pendapatan-pendapatan yang dipeoleh dari minyak,
sebagaimana pula pada penanaman modal asing dan bantuan luar negeri Pertumbuhan
ekonomilah yang memberi peningkatan bagi pertumbuhan kelas menengah, bukan
sebaliknya. yang menentuikan di samping pertumbuhan yang sedang berkembang. Dalam
kasus Indonesia percepatan pertumbuhan yang berlangsung pesat sejak tahun1965 secara
jelas bukan dibawa oleh kelas menengah dan borjuasi yang ada, apakah pribumi atau
Cina, melainkan oleh kombinasi keterlibatan Negara dalam ekonomi, investasii yang
besar pada sektor publik dalam ranghka mencipratkan pendapatan-pendapatan yang

32
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

diperoleh dari minyak, sebagaimana pula pada penanaman modal asing dan bantuan luar
negeri Pertumbuhan ekonomilah yang memberi peningkatan bagi pertumbuhan kelas
menengah, bukan sebaliknya.Peran pemerintah jauh lebih penting.(Mackie, 1993: 109 –
151)

Penutup

Bagi sebagian besar kelompok perusahan besar dalam negeri pada masa Orde Baru, batu
loncatan untuk mencapai sukses dalam dunia usaha adalah monopoli yang dibagikan
negara, yang membuka peluang bagi kelompok perusahan besar untuk masuk ke dalam
sektor-sektor kegiatan ekonomi yang sangat penting. Negara memberikan konsesi
hutan,lisensi impor, hak distribusi barang kebutuhan pokok, dan kontrak untuk
membangun dan memasok, dan kelompok kapitalis yang paling sukses adalah kelompok
yang mampu mendapat peluang untuk memasuki bidang-bidang ini. Kelompok-
kelompok besar dalam negeri warisan dari zaman pemerintahan Soekarno juga muncul
atas dasar monopoli, dengan mengandalkan koneksi mereka dengan istana presiden.Kini
banyak di antara kelompok-kelompok perusahan besar ini – termasuk Aslam, Suwarma,
Markam, Dassad dan Panggabean – yang disita atau lenyap karena kehilangan hak
istimwa yang menjadi urat nadi mereka. Segelintir dari mereka berhasil bertahan dalam
pergolakan ini, karena berhasil dengan kelihaian politik yang besar, memelihara koneksi
dengan pelindung politiknya, atau karena memiliki mitra dalam negeri dan luar negeri
yang luas yang mendukung mereka di kala perlu, atau karena mempunyai kegiatan usaha
yang luas dan bermacam ragam. Di antara mereka ini termasuk Hasyim Ning, Sudarpo,
dan Sultan Hamengku Buwono IX.

Para kapitalis swasta yang muncul dan tumbuh dalam zaman pemerintahan Soeharto
sebagian besar adalah pengusaha yang tidak pernah menonjol sebelumnuya, tetapi
mereka telah memiliki hubungan usaha yang telah berlangsung lama dengan para perwira
militer, atau, mereka muncul langsung dari jajaran birokrasi. Yang paling terkemuka di
antara mereka yang memiliki koneksi militer adalah Liem Sioe Liong. Ia berhasil
memperoleh monopoli cengkeh yang sangat menguntungkan, lisensi pabrik tepung
terbesar, dan kemudahan sangat besar untuk memperoleh devisa negara. Yap Swie Kie
berhasil karena konsensi hutan yang luas yang diperolehnya, sementara perusahan Go
Swie Kie dibangun di atas lisensi dari Bulog untuk mengimpor dan menyalurkan barang-
barang kebutuhan pokok. William Soerjadjaja mengadakan usaha patungan dengan
perakit mobil negara Gaya Motors dan dengan Ibnu Sutowo, direktur Pertamina, dan
menjadi agen tunggal untuk mengimpor dan merakit mobil Toyota dan Daihatsu yang
sangat mengurungkan. Bob Hasan memperoleh konsesi hutan dan bantuan negara untuk
mendirikan perusahan pelayaran.

Di samping itu, banyak di antara para pemegang kekuasan birokrasi-politik baru dan
keluarga mereka terjun langsung ke dunia usaha. Menjelang tahun 1975 Ibnu Sutowo -
seorang jendral yang pengangkatannya sebagai direktur utama perusahaan minyak negara
membuatnya sangat berpengaruh dalam perekonomian Indonesia – membangun
kelompok pengusaha pribumi terbesar di Indonesia. Perusahan ini aktif dalam impor dan

33
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

perakitan mobil, perdagangan, serta pembangunan dan reparasi kapal.Kelurga Soeharto


juga memasuki dunia usaha, melalui pemilikan saham, pabrik terigu, perbankan, mobil,
perdagangan, eksportir minyak, industri olahan, pertanian, dan tanah dan bangunan.
Pejabat-pejabat lain yang menjadi terkemuka dalam dunia usaha antara lain Jendral
Baramuli, Jendral Soemitro, dan Jendral Ali Sadikin. Di sekitar taipan-taipan birokrasi ini
terdapat sekelompok pengusaha yang kurang menonjol yang menikmati kontrak dan
konsesi pada tingkat yang lebih rendah.

Dalam periode ini, usaha patungan amat penting bagi pembentukan kelompok
perusahaan. Di bidang tekstil, eletronika, pabrik kaca, farmasi dan keuangan. modal
dalam negeri berkembang pesat hingga memperoleh kemudahan bukan hanya untuk
mendapat dana tetapi juga teknologi, jaringan perusahaan, dan ketrampilan mengelola
perusahan yang dibutuhklan untuk kegiatan industri modern. Hubungan antara modal dan
pusat kekuasaan birokratik-politik juga dilembagakan, dalam bentuk perusahan patungan.
Karena itu, hampir semua saham milik keluarga Soeharto adalah saham minoritas dalam
kelompok-kelompok perusahaan besar yang pada dasarnya milik orang Cina, khususnya
kelompok Liem Sioe Liong, dan juga milik kapitalis-kapitalis terkemuka Cina lainnya
termasuk William Soerjawidjaja, Agus Nursalim dan Mukmin Ali. (Robinson, 1998: 111
-114)

Tidak diragukan lagi, peritiwa-peristiwa yang menyertai krisis 1997 secara telak telah
merusak oligarki bisnis-politik. Tidak lagi mampu untuk berlindung kepada negara
otoritarian yang sangat sentralistik untuk mendukung kepentingan-kepentingannya,
mereka mendapati bahwa lebih sukar untuk beroperasi di dalam arena pemilihan umum,
partai-partai politik dan parlemen yang tidak dapat diprediksi dengan mudah.Bersamaan
dengan itu pula, perimbangan kekuatan segera berayun secara signifikan kepada
kekuatan-kekuatan yang tidak sekadar bermaksud menreformasi lembaga-lembaga politik
dan ekonomi, melainkan juga menyerukan untuk menuntut pertanggungjawaban
keluarga-keluarga bisnis –politik dan para konglomerat lama. Dengan pengaruh yang
begitu besar, IMF kini secara efektif menjadi bagian dari perubahan politik di Indonesia
Sejumlah pengeritik yang berani terhadap rezim dan terhadap para konglomerat,
menduduki posisi-posisi kementerian strategis dan dengan antusias mendorong berbagai
reformasi pasar dan kelembagaan yang disusun bersama IMF. Badan-badan audit negara
direvalitasi dan diberi otoritas baru untuk memeriksa perusahan-perusahaan, bank-bank,
dan kementerian-kementerian negara. Badan-badan swasta yang didirikan untuk
mengawasi aktivis politik dan bisnis juga didirikan, sementara itu media massa yang
vokal aktivitas tokoh-tokoh politik dan kesepakatan-kesepakatan bisnis.

Namun aliansi-aliansi reformis periode pasca-Soeharto secara politik terbukti tidak kokoh
dan secara ideologis tidak koheren. Tersebar di anrara sederet partai-partai politik,
mereka digerakkan oleh campuran agenda populis, nasionalis, dan bahkan sosial
demokrat dan makin terbelah oleh ambisi-ambisi politik yang bersaing dari para
pemimpin yang berbeda. Tidak ada komitmen yang mendasar kepada agenda liberal.
Sementara otoritas pemerintahan terhadap aparat negara terbukti goyah,.posisi parlemen
sendiri lebih tidak jelas lagi, apakah akan berperan untuk mengeliminasi rezim lama atau
untuk memanfaatkannya.

34
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

Oligarki-oligarki politik dan bisnis yang dulu dominan dipaksa untuk beroperasi dalam
suatu arena di mana tarik menarik politik dimediasi melalui partai-partai dan parlemen, di
mana saluran kekuasaannya adalah para pialang dan Bandar politik, bukannya para
jednral dan appratchik negara.Kelangsungan hidup mereka pun kini tergantung kepada
pembentukan aliansi-aliansi politik baru yang lebih luas. Namun demikian, posisi mereka
tidak terlalu buruk. Sistem hubungan predatoris antara para pejabat, kalangan bisnis, dan
pialang politik masih terus mewarnai perpolitikan Indonesia, mulai dari Jakarta hingga ke
daerah-daerah dan kota-kota lokal. Dengan demikian, meruntuhkan struktur kekuasaan
lama jelas merupakan seluruh upaya yang sulit. Dalam bidang ekonomi, konglomerat-
konglomerat lama telah menjadi satu-satunya pemain di kota Tidak ada aliran investasi
asing yang masuk menggantikan konglomerat –konglomerat lama. Tidak ada ada borjuis
domestik yang muncul untuk mendorong suatu revolusi neoliberal atau untuk merangkul
sistem pasar yang ditata atas dasar transportasi dan akuntabilitas publik melalui berbagai
peraturan. (Hadiz, 2005: 147 – 148)

Orang tak perlu menjadi seorang Marxis untuk menerima proposisi umum bahwa secara
keseluruhan uang membeli kekuasaan, sementara di Indonesia kita lebih sering dijumpai
sejak tahun 1945 bahwa kekuasaan yang membeli kekayaan, sementara kekayaan jarang
sekali menandakan kekuasaan atau pengaruh politik – atau, untuk membalikan proposisi
tersebut, bahwa seseorang kemungkinan besar tak akan bisa mengeruk kekayaan luas
secara idenpenden tanpa berbagai “koneksi“ erat dengan mereka yang memegang
kekuasaan kekuasaan politik. Perusahan-perusahan besar swasta memiliki daya dorong
politik yang sangat lenah di sini, dibandingkan dengan rekan-rekan sejawat mereka di
negara-negara lain. Kelompok-kelompok kepentingan ekonomi tak terstuktur secara
memadai dan hampir-hampir tak memiliki pengaruh politik sama sekali. Kita tak dapat
membandingkan KADIN, sebagai organisasi lobbying dan kelompok kepentingan dengan
badan-badan kepentingan bertaraf lebih rendah seperti aosiasi pengusaha tekstil atau
asosiasi penggilingan remah karet memiliki kekuatan yang jauh lebih tidak segnifikan.

Penyebab-penyebab dari kelembekan dari kelompok-kelomppok kepentingan tersebut


harus dilacak dalam domain politik dan ideologi –kultural, ketimbang pada sisi ekonomi
atau struktural.Para pengelolah karet, penghasil gula, produsen tekstil memang
memainkan peran ekonomi penting dalam ekonomi nasional secara keseluruhan,
sehingga kita mungkin menduga bahwa mereka dapat mengorganisir untuk bertindak
secara politis sebagai kelompok-kelompok lobbyis; namun nyatanya mereka telah
menjalankan hanya untuk derajat yang kecil. Penjelasan terhadap anomali ini dapat
diketemukan, dalam dua pertimbangan. Pertama dalah karakter rezim yang secara
esensial patrimonialis Yang lain berkaitan dengan fakta bahwa banyak dari ajaran
principal ideologi kapitalis tetap belum diterima secara luas sebagai absah atau memadai
bagi masyarakat Indonesia; baik keserakan maupun kepentingan-pribadi dipandang
secara luas sebagai kualitas-kualitas yang patut dicela dalam nilai-nilai tradisional
Indonesia dan belum lagi terlebur ke dalam ideologi nasional sebagai hal yang
dibutuhkan untuk mencapai pembangunan.

35
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

Tidak adanya borjuasi (menurut definisi yang sudah baku dan beku) yang cukup kokoh di
Indonesia sering dijadikan dasar kesimpulan tidak adanya kelas menengah. Atau
dikatakan tidak ada kelas menengah yang “sejati “, seperti halnya kapitalisme Indonesia
dianggap kurang “sejati “. Kalaupun borjuasi sebagai kelas menengah itu dianggap ada,
banyak pengamat akan kerepotan mencari kelas atasnya karena mereka mengabaikan
kemajemukan rara-produksi.Mereka mungkin juga mengabaikan sejarah sosial Indonesia
mutakhir di tengah gelombang sistem dunia yang telah mengubah kedudukan dan wajah
kelas kaum borjuis maupun pranata kapitalisme secara keseluruhan.

36
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

Bibliografi

Atmosudirdjo, Prajudi.1962 Sejarah Ekonomi Indonesia. Dari Segi Sosiologi Sampai


Akhir Abad XIX.Jakarta: PT Pradnya Paramata.

Billah, MM. “Perspektif Kelas Menengah di Indonesia,” dalam Happy Bone Zulkarnain
et al. 1993.Kelas Menengah Digugat?. Jakarta. PT Fikahati Aneska. Hlm. 27 –
52.

Bulkin, Farchan.” Kapitalisme, Golongan Menengah dan Negara: Sebuah Catatan


Penelitian,” Prisma, No. 2, Tahun XIII, Februari 1984. Hlm. 3 – 22.

Castles. Lance. 1982. Tingkah Laku Agama, Politik dan Ekonomi di Jawa. Industri
Rokok Kudus. Jakarta: Sinar Harapan.

Crouch, Harlod. “Hilangnya Kelas Menengah di Masa Orde Baru,” dalam Happy Bone
Zulkarnain et. al. Kelas Menengah Digugat?. Jakarta: PT Fikahati Aneska,Hlm.
75 - 104

Evers. Hans –Dieter dan Tilman Schiel.1990 . Kelompok-Kelompok Strategis. Studi


Perbandingan tentang Negara, Birokrasi dan Pembentukan Kelas di Dunia Ketiga.
Jakarta: Yayan Obor Indonesia.

Hadisumarto, Djunaedi.”Menelusuri Pembinaan dan Pengembangan Wiraswasta


Nasional”, Prisma, No. 9, Tahun VII, Oktober 1978, Hlm. 66 – 82.

Hadiz, Vedi R. 2005.Dinamika Kekuasaan. Ekonomi Politik Indonesia Pasca –Soeharto


Jakarta: LP3ES.

Hefner, Robert W.2000. Budaya Pasar. Masyarakat dan Moralitas dalam Kapitalisme
Asia Baru. Jakarta: LP3ES.

Higgins, Benyamin.”Prakarta“, dalam Clifford Geertz.1983.Involui Pertanian.Proses


Perubahan Ekologi di Indonesia. Jakarta: Bhratara Karya Aksara.Hlm. xi – xx.

Iswandi. 1998.Bisnis Militer Orde Baru. Keterlibatan ABRI Dalam Bidang Ekonomi
dan Pengaruhnya Terhadap Pembentukan Rezim Otoriter. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya

Kunio, Yoshihara. Kapitalisme Semua Asia Tenggara. Jakarta: LP3ES. 1990.

Kuntowijoyo.1991. Paradigma Islam. Interprestasi Untuk Aksi.Bandung: Mizan.

Lubis, Mochtar.“Kesemuan Kelas Menengah Indonesia”, dalam Happy Bone Zulkarnain


et al. Kelas Menengah Digugat?, Jakarta: PT Fikahati Aneska. Hlm. 105 - 126

37
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

Muhaimin, Yahya A.”Politik, Pengusaha Nasional dan Kelas Menengah Indonesia”,


Prisma, No. 3. Tahun XIII, Maret 1984, Hlm. 63 – 72.

Muhaimin,Yahya A.1990.Bisnis dan Politik.Kebijaksanaan Ekonomi Indonesia 1950


- 1980. Jakarta: LP3ES.

Mackie, JAC. ”Uang dan Kelas Menengah”, dalam Richard Tanter dan Kenneth Young.
1885. Politik Kelas Menengah Indonesia. Jakarta: LP3ES, Hlm. 105 – 135/

Onghokham.” Merosotnya Peranan Pribumi dalam Perdagangan Komoditi”. Prisma,


No 8, Tahun XII, Agustus 1983, Hlm. 3 – 19.

Robinson, Richard “Pengembangan Industri dan Ekonomi Politik Pengembangan Modal


Indonesia”, dalam Ruth McVey (ed).1998 Kaum Kapitalis Asia Tenggara.Jakarta
: Yayasan Obor Indonesia, Hlm. 102 – 145.

Robinson, Richard. Buku Hitam Rezim Soeharto (Satu analisis kelas tentang Negara
Birokrasi Militer di Indonesia.). Tangerang; Totalitas.

Roepke, Jochen, ”Kewiraswasraan dan Perkembangan Ekonomi Indonesia”, Prisma,


Tahun VII, Oktober 1978,Hlm. 66 – 82.

Roepke,Jochen.1988 Kebebasan Yang Terhambat Perkembangan Ekonomi dan Perilaku


Kegiatan Utama di Indonesia. Jakarta: PT Gramedia.

Soetrisno, Loekman, ”Pergeseran dalam Golongan Menengah di Indonesia”, Prisma,


No. 2, Tahun XIII, Februari 1984, Hlm. 23 – 29.

Wertheim, WF.1999 Masyarakat Indonesia Dalam Transisi. Studi Perubahan Sosial.


Yogyakarta: PT Tiara Wacana.

Wibisono, Christianto. ”Anatomi Konglomerat Indonesia”, dalam Kwik Kian Gie dan
BN Marbun (ed).1990 Konglomerat Indonesia. Permasalahan dan Sepak Terjang
nya Jakarta: Sinar Harapan.Hlm. 11 – 30

38
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com

You might also like