You are on page 1of 52

Peter Kasenda

Mahasiswa: Dulu , Kini dan Esok

Hanya Satu Kata ... LAWAN

(Widji Thukul)

Pendapat dominan selama ini memandang bahwa mahasiswa merupakan kelompok


strategis yang berperan penting dalam perubahan sosial-politik . Bahkan sudah menjadi
truisme bahwa gerakan protes mahasiswa , terutama di Dunia Ketiga , memainkan
peranan sangat aktif dan berposisi sentral dalam percaturan politik . Tak ada satu pun
penguasa di negeri-negeri – yang dianggap berkembang ini – yang bisa mengabaikan
posisi sosial dan pentingnya representasi politik serta dampak aspirasi dari golongan
muda berpendidikan tinggi ini . Para ilmuwan sosial pun sibuk mengkaji dan meneliti
fungsi mereka dalam sistem sosial-politik , terutama setelah menaiknya gelombang aksi
protes mahasiswa di akhir dekade 1960-an hingga awal 1970-an , baik di negeri-negeri
maju maupun terbelakang , termasuk di Indonesia .( Anwar , 1981

Kajian tentang gerakan mahasiswa bukanlah suatu disiplin akademis , dan bahkan belum
menjadi keahlian khusus yang diakui , tetapi kepustakaan tentang bidang ini banyak
sekali dan cukup bervariasi untuk dipandang sebagai bidang studi . Kepustakaan tentang
gerakansebagian besar merupakan artefak gerakan mahasiswa yang meluas di seluruh
dunia dalam tahun-tahun 1960-an . Suatu bibliografi yang diterbitkan pada tahun 1970
dan yang belum termasuk kepustakaan di Amerika Serikat , mencatat 1.800 buku dan

artikel dengan topik gerakan mahasiswa . Kepustakaan ini terus berkembang cepat pada
awal 1970-an pada saat para cendikiawan memusatkan perhatian aktivitas gerakan pada
periode tersebut . Publikasi tentang gerakan mahasiswa secara mendadak berhenti pada
pertengahan tahun 1970-an ketika aktivitas mahasiswa gerakan mahasiswa itu sendiri
berhenti . Sementara itu , hanya beberapa kepustakaan yang meliput berbagai negara dan
wilayah , dan sejumlah besar mengkaji Amerika Serikat serta lebih sedikit daripadanya
mengkaji Eropa Barat . Sebuah daftar kepustakaan yang diterbitkan pada tahun 1973
memuat 9000 item hanya khusus tentang Amerika Serikat saja , dan kira-kira setengah
diantaranya merupakan kajian langsung terhadap gerakan mahasiswa . Bagian-bagian
dunia yang lain , terutama Dunia Ketiga , hanya memperoleh sedikit perhatian saja
meskipun gerakan-gerakan mahasiswa di negara-negara ini efektif sekali , dalam
pengertian pengaruhnya terhadap perubahan sosial atau politik .

Tampak jelas bahwa penelitian dan analisis tentang gerakan mahasiswa lebih dirangsang
oleh krisis tahun 1960-an dibanding minat akademis yang instrinsik terhadap topik itu
sendiri . Karena, ketika krisis itu telah lewat , segera saja tumpukan karya tentang hal
tersebut berhenti . Untuk suatu batas waktu tertentu , sejumlah besar dana dari
1
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

universitas, lembaga-lembaga pemerintah , dan yayasan-yayasan disediakan bagi


penelitian tentang mahasiswa dan terutama pada aspek-aspek politik dari kehidupan
mahasiswa , dana-dana ini merangsang banyak sekali penelitian dan penulisan Sejumlah
survey berskala besar di berbagai negara dijalankan sebagai bagian dari upaya penelitian
ini .

Selain tersedianya dana-dana penelitian , perhatian dari media massa , penerbit , dan
jurnal-jurnal ilmiah cukup tinggi selama akhir 1960-an . Minat ini merangsang para
cendikiawan dan orang-orang lain untuk menulis gerakan mahasiswa dan
mengembangkan pembaca tulisan-tulisan mereka di segala lapisan . Sejumlah besar buku
mengenai gerakan mahasiswa diterbitkan dalam periode ini , dan banyak diantaranya
saling tumpang tindih satu sama lain . Kejadian-kejadian dramatis seperti Revolusi
Mahasiswa Berkeley tahun 1964 . “ peristiwa “ Perancis tahun 1968 , kisah SDS
Amerika, dan pembunuhan di Kent State University, semuanya memperoleh perhatian di
dalam sejumlah buku , dan bahkan satu dua film. Tidak mengherankan bahwa perhatian
media terhadap topik tersebut tidak berumur panjang , dan sekarang ini sangat sulit sekali
menyelenggarakan diskusi tentang gerakan mahasiswa . Dana-dana penelitian juga sudah
tidak ada lagi .

Para penulis yang menaruh minat terhadap gerakan mahasiswa dan menyumbang bagi
penerbitan kepustakaan pada 1960-an , terdiri dari berbagai ragam . Sejumlah wartawan
dan “cendikiawan “ menulis mengenai gerakan mahasiswa dengan derajat persepsi yang
berbeda-beda . Buku James Michener (1971 )_ mengenai peristiwa Kent State merupakan
best-seller dan menaikkan minat umum terhadap topik tersebut . para intelektual
Perancis seperti Raymond Aron (1969) juga menulis tentang gerakan mahasiswa . Para
aktivitas mahasiswa itu sendiri menyumbang beberapa terbitan yang sangat berguna di
dalam kepustakaan mengenai masalah ini dan hal ini menumbuhkan suasana hangat bagi
diskusi . Mungkin buku seperti itu yang paling terkenal ialah tulisan Cohn-Bendit (1968 ,
Obsolete Communism , yang tidak hanya berpengaruh di Eropa , tetapi juga di Amerika
Serikat dan Dunia Ketiga . Judul-judul seperti The Strawberry Statement (1968) dan The
Whole World is Watching ( 1970) mencirikan jenis kepustakaan ini. Barangkali kelompok
terbesar yang menulis tentang gerakan mahasiswa adalah ilmuwan sosial dari berbagai
disiplin ilmu yang menaruh perhatian serta metodelogi bidang mereka masing-masing
untuk meneliti dan menulis . Para ahli sosiologi dan ilmuwan politik terutama yang aktif
dalam meneliti dan menulis gerakan mahasiswa.

Sulit untuk melakukan generalisasi mengenai sifat kepustakaan gerakan mahasiswa .


Banyak analisis yang dilakukan tidak menyukai gerakan dan kegiatan kemahasiswaan ,
terutama kalau para mahasiswa tersebut mengeritik pendidikan tinggi . Tulisan Lewis
Feuer , Conflict of Generations (1969) , merupakan contoh khas dari analisis kegiatan
kemahasiswaan dari perspektif yang kritis. Hanya sedikit saja dari kalangan ilmuwan
sosial yang menulis tentang kegiatan kemahasiswaan menelaah organisasi
kemahasiswaannya itu sendiri . Kebanyakan mengkaji sikap , motivasi , atau ideologi .
Banyak sekali tulisan tahun 1960-an yang hanya mempunyai relevansi sedikit saja karena
hanya berkaitan dengan peristiwa –peristiwa khusus dan ditulis dari perspektif krisis
sesaat .

2
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

Tidak adanya perspektif teoritik yang secara luas bisa diterima mengenai kegiatan
kemahasiswaan , muncul akibat dari melimpah ruahnya jumlah tulisan tentang
mahasiswa dalam tahun 1960-an . Banyak penulis yang merasa bahwa perbedaan-
perbedaan nasional , tradisi akademik , dan gerakan-gerakan mahasiswa begitu berbeda
sehingga tidak mungkin melakukan generalisasi yang memadai . Para penulis seperti
Feuer (1969) atau Miles ( 1971) , yang membuat generalisasi yang sangat umum , dikritik
sebagai tidak berhasil memperhitungkan sejumlah pengalaman nasional yang memadai .
Meskipun banyak sekali data tersedia yang menyangkut kegiatan kemahasiswaan di
berbagai tatanan nasional dan berbagai periode historis yang berbeda-beda , sekarang ini
tidak tersedia formulasi teoritik yang diterima secara luas oleh cendikiawan dalam bidang
tersebut . Pendekatan metodelogis yang berbeda serta kesukaan ideologis yang berbeda
pula membuat semakin sulit munculnya landasan teoritik ini telah menghambat penelitian
lebih lanjut, karena masing-masing cendikiwan atau penulis harus mengembangkan suatu
kerangka acuan sendiri atau mulai dengan tanpa memakai kerangka acuan yang jelas .
bagi buku-buku serta artikel-artikel dan ketika cukup tersedia dana untuk itu , kembali
kepada topik-topik penelitian yang lebih mapan dalam bidang mereka masing-masing .

Sekalipun banyak diabaikan dalam kepustakaan , perbedaan-perbedaan yang tajam antara


pengalaman para aktivis mahasiswa di negara-negara industri dan Dunia Ketiga mungkin
merupakan variabel analistik kunci dalam kajian tentang kegiatan kemahasiswaan .
Sesungguhnya , jika suatu kerangka teoritik mau dikembangkan maka kerangka tersebut
sekurangnya harus dibagi kedalam dua ketegori analitik , karena pengalaman-pengalaman
keduanya sangat berbeda . Kita bisa melihat banyak kemiripan di kalangan negara-negara
industri Eropa Barat dan Amerika Utara . Gerakan-gerakan tahun 1960-an berkembang
dalam waktu yang hampir bersamaan , sebagai respon terhadap rangsangan yang sama ,
dan gerakan-gerakan tersebut menurun pada periode yang hampir sama (dengan beberapa
variasi ) . Ada keserupaan dalam tradisi akademik , peran dan fungsi universitas dan
sebagainya .

Kepustakaan dalam bidang ini kesannya menjadi penting , karena periode aktif
produktivitasnya yang pendek dan tidak bisa , dan dalam keragamannya . Kepustakaan
tersebut , yang jumlahnya anjok sampai sedikit sekali , menyajikan sejumlah
pengetahuan faktual yang signifikan namun masih kekurangan teori . Para ilmuwan sosial
yang menulis mengenai kegiatan kemahasiswaan , ketika tersedia pasar yang jelas bagi
buku-buku serta artikel-artikel dan ketika cukup tersedia dana untuk itu , kembali kepada
topik-topik penelitian yang lebih mapan dalam bidang mereka masing-masing .

Sekalipun banyak diabaikan dalam kepustakaan , perbedaan-perbedaan yang tajam antara


pengalaman para aktivis mahasiswa di negara-negara industri dan Dunia Ketiga mungkin
merupakan variabel analitik kunci dalam kajian tentang kegiatan kemahasiswaan .
Sesungguhnyalah , jika suatu kerangka teoritik mau dikembangkan maka kerangka
tersebut sekurangnya harus dibagi ke dalam dua kategori analitik , karena pengalaman-
pengalaman keduanya sangat berbeda . Kita bisa melihat banyak kemiripan di kalangan
negara-negara industri Eropa Barat dan Amerika Utara . Gerakan-gerakan tahun 1960-an
berkembang dalam waktu yang hampir bersamaan , sebagai respon terhadap rangsangan

3
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

yang sama , dan gerakan-gerakan tersebut menurun pada periode yang hampir sama
(dengan beberapa variasi ) . Ada keserupaan dalam tradisi akademik , peran dan fungsi
universitas dan sebagainya .

Kegiatan mahasiswa di Dunia Ketiga lebih sulit dibuat kategorinya . Namun jelas bahwa
kendatipun mahasiswa di negara industri tidak pernah mampu menggulingkan suatu
pemerintahan ( meskipun di Jepang dan Perancis dalam tahun 1960-an mereka hampir
saja melakukan hal itu ) , di sejumlah negara Dunia Ketiga mahasiswa merupakan
penyebab huru-hara politik secara langsung . Dengan kata lain , dari waktu ke waktu para
mahasiswa Dunia Ketiga efektif dalam merangsang perubahan sosial dan , dalam
beberapa peristiwa seperti halnya reformasi Cordoba tahun 1918 di Amerika Latin ,
dalam merangsang perubahan besar di universitas . Selanjutnya , para mahasiswa di
Dunia Ketiga merupakan bagian dari persamaan politik yang konsisten , penting , dan
bahkan absah . Dalam berbagai kasus , mahasiswa adalah “ cabang keempat “ dari
pemerintahan dan kampus menduduki posisi kunci dalam sistem politik . Dengan
kedudukan sosial dan politik mereka yang penting , maka mengherankan bahwa gerakan
mahasiswa di Dunia Ketiga hanya sedikit sekali dianalisis oleh para cendikiawan .

Sebagaimana yang dinyatakan oleh Daniel Levy , kondisis-kondisi politik dalam negeri
di suatu negara Dunia Ketiga bisa mengubah lingkup dan dampak keterlibatan politik
mahasiswa . Misalnya , kediktaktoran militer yang sekarang ini ada di Amerika Latin
sebagian besar mencegah para mahasiswa untuk memainkan peran politik aktif dengan
cara aktif menekan gerakan mahasiswa. Namun demikian , kegiatan kemahasiswaan di
Dunia Ketiga tetap merupakan suatu faktor penting , dan ada sejumlah sebab yang bisa
dikemukakan di sini . Mahasiswa di Universitas di Dunia Ketiga membentuk suatu elit
yang baru mulai , dan di banyak negara membangun perasaan bahwa mereka mempunyai
akses bagi pendidikan pasca –SMTA dan kesempatan mereka untuk mendapatkan akses
bagi posisi-posisi kekuasaan dan kewenangan yang jauh lebih baik dibandingkan orang
biasa.. Perbedaan-perbedaan antara mereka yang memiliki latar belakang pendidikan
pasca SMTA dan mereka yang tidak memiliki latar belakang seperti ini sangat penting
artinya di Dunia Ketiga .Relatif sedikit negara di Dunia Ketiga yang secara efektif
menjalankan sistem politik yang demokratis . Akibat keadaan ini , dan meluasnya
persoalan buta huruf serta buruknya komunikasi , mahasiswa sering dianggap sebagai
orang-orang yang bisa menyuarakan populasi yang lebih luas. Sedikit banyak mereka
memiliki kewenangan yang melampui sejumlah mereka yang kecil, dan mereka yang
memegang kekuasaan sering memperlakukan demontrasi dan ketidakpuasan mahasiswa
secara serius karena alasan ini . Dalam berbagai kasus , demontrasi mahasiswa yang
nampaknya kecil ternyata efektif dalam memobilisasikan gerakan sosial yang lebih besar
secara cepat atau mengakibatkan dampak yang mengejutkan bagi penguasa . Sedikit
banyak mahasiswa di Dunia Ketiga bertindak sebagai “hati nurani “ masyarakat mereka .

Faktor-faktor ini merupakan penjelasan parsial atas efektifitas relatif gerakan-gerakan


aktivitas mahasiswa di Dunia Ketiga dalam dua puluh tahun terakhir ini. Namun semua
gerakan kemahasiswaan di Dunia Ketiga tidak efektif , dan sering dikenakan represi
yang efektif dalam menghancurkan gerakan-gerakan tersebut . Memang , kekerasan yang
dilakukan terhadap para mahasiswa serta kematian akibat kekerasan tersebut lebih

4
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

banyak terjadi di Dunia Ketiga dibanding negara-negara industri . Korea Selatan dan
Muangthai merupakan contoh-contoh terakhir tentang represi besar-besaran atas
mahasiswa. ( Altbach , 1988 : 3 – 10 )

Arkeologi Gerakan Mahasiswa

Pada bulan Januari 1901 Ratu Wilhelmina mengumumkan di depan Parlemen program
Pemerintah Belanda yang baru saja terpilih . Pemerintah mengikuti bahwa sementara di
masa lalu banyak perusahaan dan orang-orang Belanda telah memperoleh keuntungan
yang berlimpah-limpah dari Hindia Belanda , penduduk di tanah jajahan itu sendiri
semakin miskin . Tujuan utama pemerintah jajahan di masa mendatang ialah
memperbaiki kesejahteraan rakyat . Ratu Wilhelmina menambahkan bahwa bangsa
Belanda : telah berhutang budi : kepada rakyat Hindia Belanda . Dengan bernaung di
bawah apa yang kemudian dikenal sebagai politik etis , pemerintah Hindia Belanda
perlahan-lahan memperluas kesempatan bagi anak-anak Indonesia dari golongan atas
untuk mengikuti Sekolah-sekolah berbahasa Belanda tingkat dasar dan menengah .
Sampai akhir Perang Dunia I kebijaksanaan yang baru dalam pendididikan tersebut
menghasilkan beberapa lulusan yang jumlahnya semakin meningkat ( Ingelson ,1983 : 1 )

Pemerintah Hindia Belanda juga mendirikan sekolah kedokteran tingkat menengah pada
tahun 1902 dengan nama School Tot Opdeling van Inlandsche Arsten ( STOVIA ), yang
merupakan kelanjutan dari Sekolah Dokter Djawa ( 1851 ) . .Pada tahun 1914 STOVIA
ditingkatkan lagi karena calon-calonnya haruis diambil dari lulusan MULO . Pada tahun
itu pula di Surabaya didirikan sekolah sejenis dengan nama Nederlands Indiische Artsen
School ( NIAS). Baru pada tahun 1927 pemerintah mendirikan Sekolah Tinggi
Kedokteran ( Genneskudige Hoogeschool ) atau GH yang mengambil lulusan AMS dan
HBS .

Untuk tenaga-tenaga kejaksaan dan pengadilan , pada tahun 1909 didirikan Rechts
School.Pada tahun 1924 , ketika lulusan Sekolah Menengah sudah banyak , didirikan
Sekolah Hukum Tingkat Tinggi dengan nama Rechts Hoogeschool . .Pendidikan per
tukangan sudah dicoba dari masa ke masa sejak abab ke-19 . Sebagian besar sekolah-
sekolah itu tidak berlangsung lama, Dalam awal abad ke-20 dicoba lagi dan kali ini lebih
berhasil . Sebuah sekolah teknik tingkat tinggi baru didirikan pada tahun 1920 , dan
inipun oleh golongan swasta . Pada tahun 1924 sekolah yang bernama Technische
Hoogeschool ( TH ) itu diambil alih oleh pemerintah . .

Perlu disebutkan di sini bahwa sekolah-sekolah tinggi kehakiman , teknik dan kedokteran
tidak didirikan khusus untuk orang Indonesia seperti sekolah-sekolah kejuruan dasar dan
menengah . Pada mulanya malah golongan Belanda dan Cinalah yang lebih menonjol .
Ini disebabkan karena sekolah lanjutan atas bagi pendudukan kepulauan Indonesia belum
banyak . Calon-calon dari kalangan orang-orang Indonesia makin banyak memasuki
sekolah-sekolah tinggi setelah orang-orang Indonesia diperkenankan memasuki sekolah-
sekolah menengah atas yang khusus didirikan untuk golongan-golongan Belanda .
( Leiressa , 1985 : 27 – 29 )

5
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

Kemajuan nasional negeri-negeri Asia lainnya juga telah berperanan di dalam


membangkitkan hasrat maju di kalangan terpelajar Jawa . Kaum terpelajar ini sadar ,
bahwa persatuan sangat penting bukan sekedar untuk menjamin keberhasilan mereka
sendiri , tetapi juga meningkatkan kondisi kehidupan rakyat mereka sendiri . Kesadaran
ini , demikian juga kelambanan untuk bersatu, terdapat dan terdengar paling di kuat di
kalangan orang Jawa . Inspirasi dan bimbingan yang luar biasa diperoleh dari kampanye
menyala-nyala yang boleh dikatakan dilakukan seorang diri oleh dokter Wahidin ,
seorang lulusan STOVIA .

Tema perjuangan Wahidin adalah , bahwa perjuangan untuk tetap tegaknya budaya dan
bangsa merupakan kepentingan vital bagi orang Jawa . Cita-citanya semula terbatas
mendirikan organisasi beasiswa agar bisa membantu siswa-siswa yang miskin namun
pandai . Para siswa di STOVIA menggunakan usaha ini untuk sekaligus juga mendirikan
sebuah organisasi yang bersifat umum bagi penduduk pribumi . Perjuangan untuk
persatuan nasional itu dilancarkan pada sebuah rapat tanggal 20 Mei 1908 ; mereka
membangun sebuah basis dan dari basis inilah siswa-siswa itu menghubungi orang-orang
dari kalangan priyayi inilah siswa –siswa itu menghubungi orang-orang dari kalangan
priyayi atasan yang maju , dan juga siswa-siswea dari sekolah-sekolah lain di seluruh
Jawa . ( Nagazumi , 1989 : 251 – 253 )

Pada waktu didirikan , rapat yang diselenggarakan pada tanggal 20 Mei 1908 di
STOVIA , ternyata dihadiri tidak saja oleh mahasiswa sekolah kedokteran Jawa itu ,
melainkan juga dari sekolah pertanian dan kehewanan Bogor m sekolah pegawai negeri
pribumi atau pamong praja Magelang dan Probolinggo , sekolah-sekolah guru Bandung ,
Yigyakarta dan Probolinggo dan siswa-siswa dari Surabaya . Ini menunjukkan
kemampuan yang sudah dimiliki oleh para mahasiswa untuk menghimpun orang-orang
segenerasi pada waktu itu .yang sungguh-sungguh merupakan gejala baru di Indonesia
pada awal abad 20. Ia patut dicatat karena awal sejarah kedasaran nasional ternyata
adalah awal sejarah pergerakan mahasiswa dan golongan terpelajar juga .

Para mahasiswa STOVIA agaknya berperan memimpin , mengingat prestise tertinggi


yang dimiliki oleh mahasiswa kedokteran . Peranan mahasiswa ini ternyata menjadi
tradisi karena ternyata kemudian banyak mahasiswa kedokteran yang terlibat dalam
pergerakan dan bahkan menjadi pemimpin-pemimpin bangsa . Tidak berlebihan rasanya
untuk dikatakan bahwa berdirinya Budi Utomo ini merupakan kebangkitan kaum muda
Indonesia di awal abad ke 20 . Kebangkitan ini ini, sekalipun terbatas di kalangan suku
Jawa dan sangat kuat dilatar-belakangi oleh budaya Jawa , tapi kemudian diakui sebagai
awal kebangkitan nasional walaupun oleh majalah Jong Indie pada waktu itu hanya
disebut sebagai “ Kebangkitan Jawa .”

Peranan mahasiswa dan pelajar memang menonjol , tidak saja dalam proses
pembentukannya melainkan juga pada awal perkembangan organisasi Budi Utomo
tersebut , setidak-tidaknya hingga kongresnya yang pertama di Yogyakarta tanggal 3 – 5
Oktober 1908 . Peranan Sutomo, Suraji, Saleh, Suwarno dan Gunawan begitu
menonjolnya dan mampu mengangkat isu kebangkitan di pers nasional Hindia Belanda

6
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

pada waktu itu , sehingga menenggelamkan peranan Wahidin sendiri . Tak dapat
diingkari , bahwa gagasan yang menyebabkan berdirinya BU berasal dari Wahidin ,
seorang dokter senior yang disebut oleh kalangan muda sebagai “dokter tua “ itu .
Sesudah berdiri sebagai organisasi umum, dibentuk pula BU Cabang Yogyakarta yang
ketianya adalah dokter Wahidin yang kemudian terpilih sebagai ketua kongres BU yang
pertama itu . Kongres itulah yang merupakan titik-balik haluan BU kearah cita-cita
Wahidin yang asli .

Sebenarnya bahwa pada waktu mendirikan Budi Utomo , para siswa STOVIA di sekitar
Sutomo itu adalah anak-anak muda yang berumur antara 20 – 22 tahun . Mereka boleh
dikatakan belum berpengalaman , baik dalam berorganisasi maupun dalam mengeluarkan
pendapat BU itulah yang memberikan mereka forum untuk melatih dan mengembangkan
diri . Dalam situasi seperti itu mereka menoleh kepada para pemimpin yang lebih
senior .Ada dua orang tokoh yang berdiri melatarbelakangi terbentuknya Budi Utomo .
Pertama adalah dokter Wahidin sendiri . Kedua adalah seorang tokoh intelektual
terkemuka yang kurang disebut namanya dalam hubungannya dengan terbentuknya Budi
Utomo yakni seorang Indo-Eropa bernama Eduard Douwes Dekker yang kelak berubah
namanya menjadi Danudirdja Setiabudi . Keduanya sangat mempengaruhi pemikiran para
mahasiswa dan pelajar pada waktu itu . Pada mulanya , kalangan muda itu lebih terkesan
oleh pandangan Wahidin . Tapi kemudian beberapa diantaranya cenderung mengikuti
Dekker .

Kaum pelajar dan mahasiswa itu , sebelum bertemu langsung dengan Wahidin , telah
lebih dahulu mendengar gagasannya yang mempropagandakan usaha pemberian beasiswa
kepada anak-anak pribumi yang pandai . Ia berpendapat bahwa pendidikan adalah kunci
kemajuan bangsa . Atas dasar itu ia menghimbau para priyayi dan golongan atas pamong
praja pribumi agar mendukung gagasan ini . Gagasan lainnya adalah penyebaran ilmu
pengetahuan dan informasi mengenai perkembangan dunia luar guna menambah
pengetahuan umum masyarakat . Di samping itu ia juga mencita-citakan untuk
melestarikan dan mengembangkan seni-budaya Jawa yang luhur .

Sikap dan langkah yang diambil oleh para mahasiswa dipengaruhi oleh lingkungan
tertentiu . Bagi para mahasiswa , langkah pembentukan Budi Utomo itu adalah suatu
keputusan politik tersendiri karena mereka harus dapat menilai situasi dan menimbang
segala pengaruh yang mereka peroleh dalam menghadapi situasi . Sebelum bertemu
dengan Wahidin , para mahasiswa sudah berkenalan terlebih dahulu dengan Douwes
Dekker yang rumahnya dapat dicapai dengan berjalan saja dari STOVIA . Rumah Dekker
adalah tempat persinggahan karena disitu tersedia perpustakaan dan ruang baca bagi para
peminat . Dekker , mempunyai pandangan lain . Ia bercita-cita mendirikan partai-politik
yang terbuka bagi kaum pribumi dan Indo-Belanda untuk memperjuangkan Indonesia
yang merdeka . Cita-citanya itu dan memikirannya yang progresif , tercermin dalam
artikel-srtikel dan berita-berita yang dimuat dalam Koran Bataviaasch Niewsblad ( BN)
dimana ia menjadi redakturnya .

Agaknya , para mahasiswa pada waktu itu menghadapi pilihan , apakah mengikuti haluan
Wahidin atau Dekker . Wahidin masih berfikir dalam pagar . Ia tidak menentang

7
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

pemerintahan kolonial Belanda , bahkan ingin menciptakan harmoni dengannya .


Sementara itu Dekker yang nota-bene keturunan Indo-Belanda itu , justru menentang
pemerintahan Belanda di Indonesia . Baginya pemerintah Belanda bukanlah
pemerintahannya . Ia menginginkan kolonialisme lenyap dari bumi Indonesia . Dengan
sikapnya ia berusaha mempengaruhi masyarakat . Korannya itu sudah tentu mendapat
perhatian dari para mahasiswa dan pemuda . Ada dua Koran yang diminati oleh kalangan
muda , yaitu Bataviaasch Niewsblad diatas dan De Lokomotief yang terbit di Semarang
( di bawah pimpinan JE Stokvis dan Anton Lievegud )

Tapi agaknya Sutomo lebih cenderung kepada Wahidin . Demikian pula teman-teman
lainnya walaupun beberapa diantaranya seperti Tjipto Mangunkusumo , Suwardi
Surjaningrat dan Suwarno merasa lebih dekat dan bersahabat dengan Douwes Dekker .
Yang jelas , berdirilah Budi Utomo . Dan dalam pendiriannya itu , ternyata Douwes
Dekker ikut juga membantu para mahasiswa . Jadi Wahidin yang memberi inspirasi ,
sedangkan yang membantu membentuknya adalah Douwes Dekker . Ia membantu bukan
karena tertarik pada cita-cita Wahidin , melainkan karena hubungan dekatnya dengan
para mahasiswa .

Nama organisasi Budi Utomo itu berasal dari kalangan mahasiswa sendiri . Ada yang
mengatakan bahwa istilah Budi Utomo itu berasal dari kata-kata Sutomo sendiri kepada
Wahidin yang memuji pikiran Wahidin dengan kata-kata ; “ Punika Satunggaling
pedamelan sae sarta nelakaken budi utamo “ yang artinya ,” Itu adalah adalah suatu
perbuatan yang baik dan menunjukkan budi yang utama . Tapi ada yang mengatakan
bahwa istilah itu adalah usul kawannya , Suraji . Pilihan atas nama itu mencerminkan
alam pikiran para mahasiswa pada waktu itu . Mereka tidak berpikir mengenai politik ,
melainkan partai , melainkan sebuah perkumpulan masyarakat . ( Rahardjo , 1990 : xii –
xxi )

Anak-anak muda Indonesia yang belajar di negeri Belanda setelah Perang Dunia I
semakin banyak jumlahnya dibandingkan sebelumnya .Banyak di antara mereka itu
memiliki lebih banyak kesadaran politik daripada angkatan sebelumnya. Ketika masih
berada di Indonesia mereka itu itu telah memegang pimpinan dalam organisasi-organisasi
pemuda dan telah dengan penuh semangat ikut serta dalam pergerakan kebangsaan . Oleh
karena itu tidak mengherankan bahwa setelah berada di negeri Belanda , mereka ingin
terus terlibat dalam politik pergerakan Indonesia dan bergabung dengan organisasi
mahasiswa Indonesia, yaitu Indische Vereeninging , untuk menyalurkan keinginan
tersebut . Organisasi ini didirikan pada tahun 1908 ; semula merupakan suatu pusat
kegiatan sosial dan kebudayaan di mana para mahasiswa Indonesia dapat melewatkan
waktu senggangnya dan paling bertukar berita dan tanah air . Pada tahun 1920-an peran
sosial dan kebudayaan memang tetap, tetapi berkat pengaruh generasi baru itu maka
kedua peran tersebut tidak lagi menjadi fungsi yang utama . Sejak bulan Februari 1925
mereka telah mengembangkan organisasi tersebut sebagai sebuah organisasi yang
mengutamakan masalah-masalah politik .Sebagai bagian daripada identitas nasional yang
baru, mereka memakai nama Perhimpunan Indonesia dan memberi nama baru Indonesia
Merdeka kepada majalah mereka.

8
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

Mereka yang menjadi anggota PI merupakan sekelompok kecil yang terjalin erat dan
hanya merupakan sebagian kecil dari seluruh mahasiswa Indonesia yang ada di negeri
Belanda. Tahun 1926 , misalnya pada saat memuncaknya aktivis politik PI, jumlah
seluruh anggota PI hanya 38 orang . Namun demikian , pengalaman hidup dan belajar
ditengah-tengah masyarakat Belanda telah memberikan suatu akibat yang mendalam .
Mereka yang lama tinggal di sana memperoleh pengalaman yang semakin luas , dan
mengalami suatu dampak tambahan sebagai akibat perpindahan mereka dari suatu
masyarakat kolonial yang restriktif dan paternalistis ke dalam masyarakat yang lebih
terbuka di mana mereka untuk pertama kalinya dianggap sederajat dengan bangsa Eropa
baik di depan hukum maupun dalam masyarakat . Sebagian dari mereka itu berasal dari
desa atau kota kecil dan yang pada waktu belajar di Bandung atau Batavia tercerabut dari
kebudayaan desa karena tertelan oleh kehidupan kota dan hiruk pikuk dunia Barat yang
baru saja mengalami guncangan mental perang dunia , kini, mempunyai kesempatan di
Eropa , untuk untuk mengatasi krisis identitas pribadi . Usaha penemuan kembali
identitas pribadi ini pada tingkat kelompok berjalan sejajar dengan usaha pencarian
identitas sebagai bangsa Indonesia . Keduanya tersalur kedalam aktivitas gerakan
kebangsaan .

Kebanyakan mahasiswa tersebut sewaktu tiba di negeri Belanda, berumur sekitar 20


tahun , di mana kesepian dan keterasingan budaya merupakan masalah utama yang harus
mereka atasi . Untuk mengatasi masalah ini mereka saling membina persaudaraan dan
saling membantu dan sedikit sekali bergaul dengan mahasiswa Belanda . Para mahasiswa
yang membawa serta istri dan anak-anaknya sering mengundang mahasiswa-mahasiswa
bujangan untuk makan bersama demi persahabatan . Karena bersama-sama terlempar ke
dalam suatu lingkungan asing , meningkatkan kebanggaan bersama terhadap tanah airnya
sendiri . Perbedaan kedaerahan , kesukuan dan kekhasaan masing-masing mereka yang
semula dibesar-besarkan unutk keuntungan orang Eropa kini ditempatkan dalam
perspektif baru . ( Ingelson , 1983 : 1 – 3 )

Sumbangan PI yang terbesar adalah usahanya mengembangkan ideologi sekulernya yang


menjadi dasar dari satu arus utama gerakan kebangsaan setelah tahun 1927 . Mungkin
tidak satu pun ideologi yang benar-benar orsinal . Unsur-unsurnya dapat ditelusuri
kembali dalam organisasi politik dan nonpolitik yang telah mendahuluinya bertahun-
tahun sebelumnya . Tetapi , yang belum pernah dikerjakan oleh organisasi sebelumnya PI
menyatukan unsur-unsur itu ke dalam organisasi yang secara keseluruhan berpadu . Inilah
organisasi Indonesia pertama yang namanya menggunakan kata“Indonesia “. Seandainya
dianggap tidak menghasilkan sesuatu yang lain lagi sekalipun , namun tekanan yang
diberikan PI pada bangsa Indonesia dan usahanya mengembangkan jati diri nasional ,
yang bukan bersifat kedaerahan , tetap mempunyai arti penting yang abadi . Anggotanya
sering kali tiba di negeri Belanda tanpa mendapat bayangan yang jelas tentang politik ,
tetapi hampir semuanya pulang ke tanah air dengan dikaruniai jati diri nasional dan
berketetapan hati untuk menciptakan bangsa yang merdeka dan bersatu .

PI tidak hanya mengembangkan ideologi . Anggota-anggotanya jadi terpikat oleh ide dan
semangat nasionalisme baru tersebut , dan ketika pulang ke tanah air mereka tetap aktif di
bidang politik . PNI hampir seluruhnya adalah ciptaan PI , demikian pula organisasi

9
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

penerusnya , Partindo dan PNI Baru . Ketiga partai ini bersama-sama mendominasi
gerakan kebangsaan setelah tahun 1927 . ( Ingelson , 1993 : 102 – 103 )

Sejak tahun 1926 mulai terlihat kecenderungan kearah penyatuan organisasi-organisasi


angkatan muda yang telah ada . Kalau menjelang dekade kedua tahun 1900-an sifat
organisasi angkatan muda diwarnai sifat kedaerahan dan keagamaan , setelah periode
tersebut mulai diwarnai oleh keterlibatan mereka dalam masalah politik nasional . Salah
satu sebabnya adalah makin menebalnya perasaan kebangsaan yang merasuki sebagian
besar tokoh-tokoh angkatan muda Indonesia . Dua organisasi pemuda yang baru muncul
dan langsung memasuki gelagang politik adalah Perhimpunan Pejalar-Pejalar
Indonesia dan Jong Indonesia . Kedua organisasi ini seperti terlihat kelak akan sangat
banyak berperan dalam mencetuskan Sumpah Pemuda di tahun 1928 .

PPPI berpendapat bahwa persatuan Indonesia adalah senjata yang kuat dalam perjuangan
melawan kaum penjajah Belanda . Untuk itu menurut PPPI perasaan kedaerahan harus
dihilangkan karena perasaan kedaerahan harus dihilangkan karena perasaan semacam itu
memperlemah persatuan . Caranya , menurut PPPI , adalah dengan menfusikan semua
organisasi pemuda . Sikap PPPI yang berusaha keras untuk mencapai persatuan itu berarti
memasuki gelagang politik . Sebaliknya PPPI selalu tidak lupa mendorong anggotanya
untuk rajin belajar . Demikianlah semboyan “ berjuang sambil belajar “ menjadi tekad
angkatan muda Indonesia .

Tujuan Jong Indonesia ialah memperluas dan memperkuat ide kesatuan nasional
Indonesia . Untuk maksud tersebut Jong Indonesia mendirikan organisasi kepanduan ,
mengadakan kerjasama dengan organisasi-organisasi angkatan muda lainnya ,
memajukan olahraga , menerbitkan majalah dan penerbitan lainnya , serta mentelenggara

kan rapat-rapat . Walaupun nama organisasi memakai bahasa Belanda namun mereka
memakai bahasa Melayu ( bahasa Indonesia ) sebagai bahasa pengantar .

Cita-cita Indonesia Merdeka barulah dapat menjadi milik bersama bagi organisasi kaum
pergerakan setelah melalui liku-liku yang sulit dan panjang . Proses berubahnya perasaan
kedaerahan menjadi persamaan nasional tidak diciptakan dalam waktu sekejap .Proses itu
telah melalui masa yang panjang . Proses berubahnya perasaan kedaerahan menjadi
persamaan nasional tidak diciptakan dalam waktu sekejap .

Tekanan yang diberikan pemerintah kolonial mempercepat cita-cita Indonesia Merdeka


itu . Tekanan ini semakin keras dirasakan setelah meletusnya pemberontakan komunis di
tahun 1926/1927 . Pemerintah Hindia Belanda , di samping memenjarakan dan
membuang mereka yang dianggap terlibat , juga makin mencurigai setiap usaha kaum
pergerakan sebagai hasutan pada rakyat untuk merongrong pemerintah . Akibatnya untuk
beberapa kaum pergerakan berada dalam situasi khawatir dan was-was karena pemerintah
bisa saja menghubungkan kegiatan mereka sebagai gerakan komunis . Situasi seperti itu
juga dialami sejumlah tokoh angkatan muda , baik di dalam maupun di luar negeri .

10
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

Pukulan pertama diberikan kepada Perhimpunan Indonesia di Negeri Belanda Tanggal 23


September 1927 empat mahasiswa anggota PI ditangkap dan dituduh menghasut massa
terhadap pemerintah , Penangkapan itu dihubungkan juga dengan kegiatan PI dalam Liga
Penentang Tindasan Penjajahan dan Pengejar Kemerdekaan Kebangsaan yang
mengadakan kongres di Brussel dari 10 – 15 Februari 1927 . Kongres ini , selain
menyokong gerakan kebangsaan Indonesia , juga menuntut kepada pemerintah kolonial
Belanda untuk memberikan kemerdekaan bekerja kepada kaum pergerakan Indonesia ,
dan menghentikan pemulangan . Karena kongres diadakan sesudah pemberontakan
komunis , maka pemerintah menghubungkan kuputusan kongres Liga itu dengan usaha
komunis .

Dalam Indonesia , orang-orang yang dicurigai terlibat dengan pemberontakan ditangkap


dan sebagian diasingkan ke Digul di Irian Jaya . Pada tanggal 16 Desember 1927
Pemerintah Hindia Belanda menangkap Dr. Tjipto Mangunkusumo dengan alasan yang
sama , yakni dituduh menghasut rakyat . Dr. Tjipto Mangunkusumo kemudian diasingkan
ke pulau Banda .

Situasi umum kaum pergerakan banyak membantu dan mendorong organisasi angkatan
muda untuk saling mendekati menentukan pilihan fusi atau federasi . Bantuan dan
dorongan itu terlihat dengan terbentuknya Permufakatan Perhimpunan Politik
Kebangsaan Indonesia (PPPKI ) pada tanggal 17 Desember 1927 . Dengan terbentuknya
PPPKI maka terlihat inter-aksi kearah persatuan antara organisasi orang dewasa dengan
angkatan muda . Suasana ini terus menjadi matang beberapa bulan kemudian , dan dalam
suasana seperti itulah para angkatan muda memasuki Kongres Pemuda II, 28 Oktober
1928 , yang kemudian menelorkan Sumpah Pemuda .

Sumpah Pemuda tidak hanya merumuskan aspirasi yang hidup di kalangan pemuda
tetapi, juga sekaligus menciptakan kearah angkatan muda . Bahkan sampai saat ini
Sumpah Pemuda tetap bermakna dalam kehidupan bangsa . Hal ini membuktikan bahwa
perumusan Sumpah Pemuda bukan hanya diperuntukan untuk kebutuhan seketika .
Sumpah Pemuda adalah tekad abadi yang mengikat setiap insan Indonesia akan fitrahnya
yang terikat dalam kesatuan bangsa yang utuh . ( Martha , 1985 : 111 – 124 )

Salah satu sebab mengapa angkatan muda 1908 dan 1928 dapat berperan dan
berpengaruh demikian besar dalam masyarakat Indonesia , sehingga tindakan mereka
masing-masing disebut awal dari Kebangkitan Nasional dan cikal bakal eksistensi bangsa
Indonesia itu sendiri , adalah struktur pendidikan . Struktur pendidikan dan alam
pendidikan Barat dalam kedudukan yang istimewa .Bayangkan , dalam suatu masyarakat
yang sebagian besar hidup dalam alam agraris-religius /spiritual , buta huruf dan
terisolasi , di mana koran belum tersebar , film belum ada dan hubungan-hubungan
dengan kota masih sedikit , muncul sejumlah orang Indonesia , yang belajar untuk
menyerap ide-ide baru . Angkatan muda ini adalah orang Indonesia yang pertama
mendapat pendidikan Barat , yang pertama kali berhubungan dengan dunia dan
menjelaskannya secara lain daripada yang lazim dilihat .

11
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

Mereka berwibawa sebab mereka mendapat ilmu Barat , ilmu penguasa kolonial.
Sebenarnya , para angkatan muda itu , karena kedudukannya yang istimewa dalam
masyarakat , juga tidak mengenal masa muda . Mereka dengan segera didorong masuk ke
dalam golongan intelgensia yang berpikir untuk masyarakatnya . Menurut umur , mereka
memang pemuda, tetapi fungsinya bukanlah demikian .

Angkatan 1908 dan 1928 adalah contoh klasik , bagaimana segolongan cendikiawan
muda dapat mendinamisasikan kehidupan politik . Ide-ide golongan ini diterima oleh
dunia dewasa , diperlunak dan dan menurut beberapa orang dijinakkan kearah
konservatisme . Ini jelas terjadi dengan ide-ide Angkatan 1908 pada Kongres Budi
Utomo pada tahun berikutnya yang dipimpin oleh para bupati dan priyayi tinggi lainnya .
Namun , gerakan kearah “ kebangkitan “ tetap berjalan . Demikian juga yang terjadi
dengan Angkatan 1928 . Kekuatan tersendiri tidak pernah timbul dari tindakan
cendikiawan muda ini , tetapi ide-ide mereka diserap ke dunia politik dewasa .

Tanggapan politisi tua terhadap ide-ide muda ini dimungkinkan karena sebenarnya
kedua-duanya merupakan oposisi terhadap pemerintah kolonial dan memang dunia
dewasa sudah berpikiran kearah demikian juga . Mengenai angkatan muda sebelum 1945
ini .harus dicatat bahwa mereka menunaikan tugasnya sebagai intelgensia dengan sangat
baik . Baik mereka yang belajar kedokteran , teknik, ilmu hukum atau ekonomi tidak
menyempitkan diri dalam bidang-bidang mereka , akan tetapi bacaan dan pendalaman
pengetahuan mereka yang luas menyebabkan sadar akan issue –issue besar zaman
mereka seperti kolonialisme, imperialisme , hubungan internasional dan lain-lain .
Generasi itu memang istimewa : berani menentang kolonialisme , menyodorkan suatu
keadaan lain dari yang ada , yakni suatu Indonesia merdeka . Dalam hal itu , sampai kini
belum ada yang menyamainya .( Onghokham , 1983 : 136 – 137 )

Kalau golongan pemuda pelajar sebelum 1945 dimasukkan kedalam kategori


cendikiawan karena pendidikan mereka , maka para pemuda pada tahun 1945 dijadikan
pejuang .Peranan pokok angkatan muda pada permulaan revolusi nasional Indonesia pada
tahun 1945 adalah kenyataan politik yang paling menonjol pada zaman itu Bagi Belanda
yang sedang berusaha datang kembali dari Inggris sekutu mereka , dan juga bagi
masyarakat –masyarakat Indo dan Tionghoa , kata pemuda , yang dulu “ biasa saja “
dengan cepat memperoleh pancar cahaya yang menakutkan dan kejam . Di pihak
Indonesia , terdapat suatu kepustakaan yang berisi pemujaan , yang memperlihatkan
kesadaran yang menggembirakan akan kebangkitan pemuda yang tiba-tiba sebagai
kekuatan revolusioner pada saat-saat yang gawat itu . Peneliti-peneliti tentang
perkembangan nasionalisme di Indonesia juga telah memberikan tekanan pada corak
yang relatif baru dari perwujudan ini dalam suatu masyarakat yang nilai-nilai
penghormatannya untuk, dan kepatuhan kepada , orang tua secara tradisional adalah
yang tertinggi .

Telah menjadi kebiasaan untuk menghubungkan kebangkitan angkatan muda itu


terutama dengan usaha-usaha yang dibuat oleh pejabat-pejabat pendudukan Jepang yang
mengerahkan pemuda . Jawa di belakang perjuangan melawan Sekutu yang semakin
maju kearah Nusantara . Tak usah diragukan bahwa dengan propaganda yang intensif

12
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

dan pembentukan sejumlah besar organisasi pemuda , apakah militer penuh , para
militer,politik , atau bahkan olahraga , Jepang benar-benar membantu mempertajam
kesadaran diri yang kuat di kalangan pemuda yang mereka kerahkan itu . Namun ,
janganlah dianggap bahwa politik Jepang itu akan memperoleh hasil yang bermanfaat
seperti itu jika sebelumnya tak ada segi-segi tertentu dari kehidupan Jawa yang sangat
berakar . Sebenarnya pemuda itu adalah suatu golongan penting dari masyarakat Jawa
tradisional , yang mendapat suatu corak dan arti tersendiri dari kebudayaan Jawa

Dalam suatu pengertian . “ pemuda “ ditentukan oleh masyarakat sebagai tahap tersendiri
dalam garis busur kehidupan antara masa kanak-kanak dan dewasa . Tetapi dalam
pengertian yang lain maka arti pemuda melebihi busur kehidupan itu, dan dengan corak
Kebudayaannya yang otonom ia membedakan dirinya dari masyarakat tradisional
melalui penentangan yang sistematis . Hanya dengan membayangkan golongan pemuda
itu sebagai bagian dari busur kehidupan dan sebagai sarana kebudayaan untuk melampui
busur itu , maka orang dapat mengerti peranan pemuda Jawa dalam zaman revolusi itu .
( Anderson , 1988 : 21 – 22 ) .

Dalam berbagai cara yang berbeda , pesantren dan asrama telah menawarkan cara hidup
yang berdisiplin dan rela mengorbankan kepentingan sendiri dalam upaya mencapai
tujuan tujuan yang luhur . Dari lembaga-lembaga ini gerakan pemuda ini banyak
memperoleh gaya khas dan simbolismenya . Tetapi gaya dan simbolisme dalam diri
mereka itu tidak cukup untuk menyalurkan air pasang pemuda itu menjadi suatu kekuatan
revolusioner politik yang terpadu . Orang dapat menganggap gerakan pemuda itu sebagai
mesin mobil yang dijalankan dengan kecepatan setinggi-tingginya , tetapi tanpa seorang
sopirpun yang bisa memasang pernellingnya .

Pemuda itu tidak menemukan sopir mereka . Selama waktu yang singkat , di berbagai
tempat yang berbeda , badan perjuangan dan militer sebagaian mengisi fungsi ini .
Partai-partai politik , karena sebagian besar terdiri dari anggota-anggota golongan atas
politik , tidak pernah dapat melakukan hal itu . Tetapi tentara dan badan perjuangan itu
sendiri tidak cukup ; dan dengan kegagalan untuk menempa mereka ke dalam suatu
struktur nasional yang terpadu , gerakan pemuda itu ditakdirkan untuk kecewa terus .

Dengan demikian Revolusi itu tidak pernah menjadi lebih dari pada siatu “revolusi
nasiona; “ , ia berakhir dalam tahun 1949 , ketika Belanda menyerahkan kedaulatan sah
atas hampir seluruh kepulauan itu ke dalam tangan Indonesia , dan Soekarno pindah ke
dalam sebuah istana tempat para gubernur jendral telah begitu lama bertahta . Potensi-
potensi Revolusi itu hanya sepintas dapat dilihat dalam revolusi-revolusi sosial yang
berlangsung dengan singkat dan terpencil di daerah-daerah , dan dalam ingatan dari
beberapa orang yang telah mengalaminya .( Anderson , 1988 : 446 )

Angkatan 1966

Dari mana dan sejak kapan terbentuk identitas sosial mahasiswa sebagai kekuatan
politik? Persepsi dan konsepsi tentang peran sosial ini terbentuk dan menguat sejalan

13
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

dengan tegaknya hegemoni Negara Orde Baru . Sejak aksi-aksi unjuk rasa yang
diorganisasikan oleh KAMI ( terutama di pusatnya , Jakarta , sepanjang bulan-bulan
akhir 1965 dan awal 1966 ) untuk meretaskan jalan bagi pemberontakan PKI , kejatuhan
Soekarno dan kenaikan Jendral Soeharto ke puncak pemerintahan itu ; seakan-akan
meledak semacam praktek diskursif tentang arti gerakan mahasiswa dan peranan mereka
dalam perubahan politik . Tak usah heran , karena situasi umum di dunia pada saat itu
tengah dimeriahkan gelombang protes yang dipelopori dan digalang dari dalam kampus.
Walaupun kita tidak boleh membayangkan bahwa teknologi informasi dan komunikasi
saat itu sudah sedemikian canggih seperti sekarang , namun kita tidak boleh meremehkan
gema yang meluas dari gerakan-gerakan protes mahasiswa di luar negeri dalam
membentuk pendapat umum dunia , dan kemudian peranan mereka sebagai faktor kunci
dalam perubahan atau bahkan suksesi kekuasaan .

Selain faktor pengaruh gaung internasional , yang unik dalam pembentukan identitas
sosial mahasiswa di masyarakat Dunia Ketiga adalah pandangan historis-demografis
tentang posisi politik mereka . Dalam arti ini, mahasiswa dipandang sebagai bagian dari
politik kaum muda yang dipertentangkan dengan establishment yang diduduki orang tua
(dewasa ) . Namun , berbeda dengan konsepsi youth culture yang ada di Barat ,
pandangan tentang pemuda di Indonesia juga bermakna politik serta memiliki kaitan
masa lampau yang khas . Sumber legitimasi perannya pertama didapat dari Kebangkitan
Nasional 1908 lalu Sumpah Pemuda 1928 , dimana pemuda dipandang sebagai pelopor
dan pemersatu bangsa dan kemudian pada masa Perang Kemerdekaan dalam sebuah
revolusi yang dilakukan oleh pemuda .

Pada tiga titik penting dalam pembentukan nasionalisme Indonesia itulah mahasiswa lalu
menemukan makna politiknya dalam kisah sukses aksi-aksi Tritura yang kemudian
disebut sebagai “ Angkatan 1966 “ ; bukan sekedar sebagai pemuda tetapi juga sebagai
mahasiswa . Yang unik dibandingkan dengan pra-1966 di mana agen perubahan sosial
adalah pemuda, maka setelah tahun 1966 , dalam arti demografis yang sangat umum ,
peran tersebut dipegang oleh mahasiswa . Karena itu , acuan untuk mengindentifikasikan
peran mahasiswa dalam sejarah politik Indonesia kemudian juga ikut dipilah-pilah
menurut pembagian angkatan : “08,”28,”45 dan “66 Tetapi pembedaan nama angkatan
demi angkatan , pada akhirnya bukan hanya menunjukkan masa , masyarakat yang
melahirkannya , dan alam pikiran yang mereka bawa . . Pembedaan nama telah pula
menjadi penunjuk perbedaan “jejak sejarah “ yang dibuat , dan dijadikan :lawan “ dalam
perjuangan . Angkatan 1908, 1928 dan 1945 , yang lahir pada masa kolonial , yang
menempatkan dirinya pada medan yang berseberangan dengan penjajah . Hasrat
politiknya , mereka jejakan secara nyata dan dengan makna yang mendasar ,baik pemikir
an nasionalisme , yang harus direbut untuk sebuah bangsa .

Generasi sesudah mereka sama sekali tidak dalam kedudukan seperti itu. Angkatan 66
dan setiap gerakan anak muda yang muncul setelah itu tidak lagi berhadapan
dengan“orang lain “. Gerakan anak muda dalam masa merdeka , bermuka-muka dengan
sistem yang dibuah oleh generasi orangtuanya . .

14
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

Tentu saja kemunculan mahasiswa sebagai presentasi politik angkatan muda


berkesesuaian dengan kenyataan sosiologis dalam periode 50-an dan 60-an di mana
terjadi perluasan pendidikan tinggi dan proses politisasi masyarakat serta mobilisasi
massa yang menjangkau hingga ke kampus-kampus. Yang artinya , meluasnya golongan
terpelajar dan terdidik dengan kemungkinan munculnya tuntutan baru , seperti mobilitas
sosial , kesejahteraan hidup , serta pengintegrasian kembali kedalam kapitalisme
internasional .

Tetapi arti penting pembentukan Orde Baru di tingkat negara ialah terjadinya aliansi
segitiga antara perwira Angkatan Darat , teknokrat , dan mahasiswa . Ketiganya
merupakan bagian dari lapisan elite intelgensia yang bakal menyerap, melopori dan
menyebarkan gagasan modernisasi . Dengan kata lain, disamping militer dan teknokrat ,
mahasiswa juga dipercaya sebagai agen modernisasi atau pembangunan . Tetapi aliansi
segitiga itu pecah ketika terjadi disintegrasi dalam KAMI , dan mulai muncul persoalan
bagaimana mendefinisikan peran mahasiswa selanjutnya dalam sistem politik dan
bagaimana seharusnya tugas dan masa depan para eksponen angkatan 1966 . Akhirnya,
setelah isu back to campus muncul di akhir 60-an , mahasiswa tampaknya menentukan
peranannya yang cocok sebagai calon “intelektuial “ atau “ intelgensia .”( Rajab ,1991 :
68 – 49 )

Pandangan tersebut sebetulnya bertolak dari suatu diskursus yang menggunakan


konsep“moral” . Mahasiswa bukan kelompok politik yang berusaha mendapat kekuasaan,
melainkan suatu kekuatan moral (moral force ) yang secara aktif ingin ikut berperan
dalam mencapai cita-cita negara . Tugas mahasiswa ,dalam konsep ini melakukan kritik
terhadap keadaan sosial yang kacau . Dalam pandangan ini peran mahasiswa dimiripkan
dengan peran resi dalam konsepsi kuasa dalam budaya feudal-kolonial Jawa, ( Budiman ,
1976 ) Jika resi hidup di lereng-lereng gunung terpencil sebagai tempat pertapaannya ,
maka mahasiswa berada di kampus-kampus universitas . Mahasiswa dan kaum terpelajar
harus turun dari universitas jika terjadi ketidakberesan atau kekacauan di masyarakat ,
tentu saja dengan tugas melancarkan kritik sosial terhadap penguasa ( Radjab, 1991 : 68
– 69 )

Dengan penuh kenangan dan heroisme perjuangan kembali ke kampus membawa mitos
kemenangan , mengabdikan perjuangan mereka dalam berbagai monumen , seperti
Angkatan 66 dan sebagainya . Ini penting tidak hanya untuk kalim sejarah , tetapi yang
lebih penting adalah sebagai modal dan sarana untuk klaim representasi politik di
kemudian hari . Angkatan 66 dimunculkan sebagai mitos dan dijadikan rujukan sejarah
bagi gerakan mahasiswa yang berhasil memperjuangkan idealismenya . Yang terpenting
tidak hanya klaim sejarah sebagai sejarah , tetapi yang lebih penting lagi , sejarah sebagai
modal untuk menuntut representasi politik di kemudian hari . Selama Orde Baru
berkuasa, angkatan itu mendapatkan fasilitas dan peran yang cukup memadai sebab
sejarah Orde Baru sangat berhimpitan dengan sejarah gerakan mahasiswa Anmgkatan 66,
sehingga keduanya saling membutuhkan . ( DZ, 1999 : 37 )

Sebagian besar mitologi ini memang dibentuk dan ditentukan oleh negara , melalui
pewarisan cerita kepahlawanan dari Gerakan Mahasiswa di tahun 1966 dan dibumbui

15
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

dengan gagasan peranan sosial mahasiswa di sebuah negeri yang sedang membangun .
Kendati mitologi tentang peranan ini terus merasuk ke kepala sang mahasiswa ,
diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya , yang kemudian melahirkan
berbagai pertunjukan-pertunjukan baru dan tidak harus sesuai dengan “skenario 66 “ –
namun inti mitos-mitos tersebut terus lestari hingga saat ini . Walaupun demikian , dan
refleksi para bekas aktivis mahasiswa terhadap peristiwa 1966 sudah muncul upaya sadar
untuk melepaskan diri dari mitor-mitos tentang peranan sosial-politik yang membebani
mereka .

Salah satu upaya demitologisasi yang paling awal , misalnya , coba meluruskan persoalan
yang selalu membelenggu dan menjadi dilemma bagi etos gerakan protes mahasiswa ,
yakni antara pilihan gerakan politik atau moral. Dengan membongkar apa yang
sebenarnya terjadi pada bulan –bulan bersejarah di tahun 1966 , seorang eksponen
gerakan mahasiswa 1966 mengemukakan bahwa sesungguhnya peranan mahasiswa
dalam penggulingan Sukarno dan meretaskan jalan bagi Orde Baru , sangatlah kecil.
Bahkan dia mengatakan bahwa mahasiswa pada saat itu sebenarnya tak lebih hanyalah
alat legitimasi yang digunakan oleh “lawan-lawan “ Soekarno dan musuh-musuh kom
unisme untuk melanjutkan perpindahan kekuasaan ke tangan Soerharto . Karena itu
sangatlah tidak berdasar dan sama sekali tidak relevan untuk mengatakan bahwa gerakan
mahasiswa bebas dari penunggangan kepentingan politik tertentu . Per definisi, gerakan
mahasiswa merupakan sebuah kekuatan politik , entah atas nama dirinya atau atas nama
rakyat . Karena itu tidak ligis untuk melihat gerakan mahasiswa sebagai sebagai
kekuatan yang bebas politik . Lebih jauh lagi dia menyimpulkan bahwa tuduhan
ditunggangi sesungguhnya merupakan strategi ganda yang khas digunakan oleh penguasa
manapun untuk mendapat legitimasi atau sebaliknya untuk men”delegitimasi “ gerakan
perlawnan . Legitimasi diperlukan karena dalam batas0batas yang ditoleransi penguasa,
kritik dan protes mahasiswa jutsru diperlukan oleh penmguasa untuk menunjukkan
masih hadirnya “kelompok penekan “. Dengan demikian , mengesankan adanya
“demokrasi “ dan mungkin saja : opsisi . api jika kritik dan protes mahasiswa dipandang
mengganggu tata tertib serta tatanan yang ada dan delegitimasi tidak ampuh meredam
protes , maka represi dan koersi tak segan-segan digunakan . Strategi permenen “permen
“ dan “pentungan “ inilah yang digunakan negara untuk tetap mempertahankan tatanan
yang ada.

Dalam versi lain, upaya demitologi juga coba dilakukan oleh seorang mantan aktivis
mahasiuswa 1966 . Upaya ini dilakukan supaya kacama menjadi proporsial memandang
peranan mahasiswa, tanpa melebih-lebihkan dan juga tanpa isyarat apologetic jika
ternyata mahasiswa tidak memainkan peranan seperti yang diharapkan oleh identitas
sosialnya sendiri. Dipertanyakann anggapan yang melihat bahwa angkatan 66 telah
memainkan pperanan besar , bahkan peranan yang menentukan dalam Skenario 1966 .
Pertama , dipertanyakan sampai seberapa jauh sebenarnya kesadaran “sejarajh” dari para
demontran tersebut akan hadir nya momentuym perubahan . Menurutnya , kesadaran
mereka sebenarnya baru sampai pada seruan Tritura , sama sekali tidak menciptakan
platform kehidupan politik nasional yang baru .Karena diusulkan pihak dari taraf
ornament semata-mata . Kedua , untuk mewujudkan paradigma ini penggaris atas dasar
umur, status kemahasiswaan , danm : kekuatan moral dan kontrol.” Tidaklah memadai .

16
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

Artinya , dalam suatu rekayasa besar perubahan politik sangatlah berlebihan meletakkan
mahasiswa dalam peran yang menentukan . ( Radjab , 1991 : 73 – 74 )

Pecahnya Bulan Madu Mahasiswa – Militer

Mulai dasawarsa 1970-an dominasi ABRI dalam bidang sosial politik semakin kuat ,
hampir tidak ada wilayah yang tidak dijamah oleh kekuatan militer ,Setelah itu gerakan
mahasiswa sepenuhnya terserap dalam kekuasaan yang dibangun oleh militer di bwah
pimpinan Jendral Soeharto yang diberi nama orde baru dengan Golongan Karya sebagai
mesin politik untuk mobilisasi massa. Terbuai oleh program pembangunan dan
pembaruan politik yang dicanangkan oleh Orde Baru tidak ada lain lagi bagi gerakan
mahasiswa 1966 selain mengikutinya dengan penuh bangga dan penuh harapan . Di
dalam parlemen militer telah melakukan redressing , mencopot anggota parlemen yang
dianggap berbau orde Soekarno dan mengganti orang-orang yang sejalan dengan politik
rezim .Soeharto Disitulah awal dari penyimpangan gerakan demokrasi yang sebenarnya
dicita-citakan gerakan mahasiswa pada saat itu , tetapi ironisnya para eksponen aktivis
mahasiswa tidak terdengar protes .

Pada rezim yang dibangun militer di bawah kepemimpinan Jendral Soeharto ini
Angkatan 66, sebagaimana Angkatan 45 , memiliki klaim historis dan moral untuk
memperoleh kekuasaan , demikian juga kalangan aktivis mahasiswa akhirnya
memperoleh konsesi politik dari rezim yang berkuasa atas jasa mereka membantu militer
untuk menggulingkan kekuasaan sipil yang dipimpin oleh Soekarno . Sebagai aparat dari
rezim yang berkuasa yang bercita-cita melakukan modernisasi politik , dan kehidupan
politik secara menyeluruh bersama militer . Kelompok Angkatan 66 itu juga menjadi
pembela yang gigih terhadap rezim orde baru yang didirikan bersama militer , bersama
itu juga ia sama sekali tidak membawa pembaruan terhadap rezim yang dibelanya , justru
bersama rezim yang berkuasa ini melakukan retradisionalisasi politik dengan dalih untuk
mengeliminir bahaya komunisme . Pertama dilakukan dengan pembongkaran partai-
partai politik , kedua dengan membungkamkan pers, ketiga melakukan penguasaan pada
lembaga legislatif Tampilnya Jendral Nasution sebagai ketua MPRS tahun 1966 , bukan
suatu yang kebetulan melainkan bagian dari stategi militer untuk memuluskan ambisi
politiknya untuk memperoleh kekuasaan .

Secara ekstrem Parakitri menilai bahwa sejak awal Angkatan 66 memang tidak memiliki
kekuatan moral yang bisa diharapkan , karena itu setelah mereka masuk kekuasaan tidak
bisa berbuat lain kecuali menyesuaikan dengan logika kekuasaan militer , lelap disana ,
bahkan lebih dari itu menjadi pendukung yang fanatik walaupun perilaku rezim itu sangat
represif terhadap gerakan kritis dan kelompok pro demokrasi . Namun demikian
sebenarnya ada beberapa orang yang sadar akan penyimpangan gerakan 66 tersebut ,
sehingga orang yang selama ini terlihat pada partai yang berkuasa , Golkar seperti Adnan
Buyung Nasution dan Rahman Tolleng , keluar dari aliansi dengan rezim orde bariu , dan
mulai aktif melakukan kritik-kritik yang mendasar dan tajam , walaupun akhirnya mereka
disingkirkan .( DZ, 1999 : 40 – 41 )

17
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

Kehampaan Angkatan 66 akan ide pembaruan yang mendasar yang ditawarkan bagi
kehidupan masyarakat yang mereka perjuangkan , bagi generasi sesudah itu sangat
disadari . Strategi perjuangan anak-anak muda satu dasawarsa sesudahnya pun
diperhitungkan dengan mempelajari kelemahan serta kekurangan aksi 1966 . Permainan
politik yang dipandang membuat mahasiswa tidak lagi murni hendak dihindari , dan
gerakan yang dipilih berpijak pada dasar moral . Itu berarti mahasiswa bergerak dengan
gaya resi, suci dan murni .

Pandangan seperti ini , mulai terasa dalam gerakan pada hari-hari pertama ketika
mahasiswa sudah merasa “sendirian “ dalam usaha yang bernama menegakkan keadilan
dan kebenaran itu . Identitas diri harus ditentukan , dan pemikiran kembali ke kampus
yang sudah beredar sejak 1969 , serta semakin santer dalam tahun 1971 , menandahkan
bahwa moral sebagai dasar berpijak sudah dipilih . Pada saat itu pula harapan lebih
banyak digantungkan pada organisasi mahasiswa universitas .

Ada kesan bahwa terdapat pendewasaan pandangan dari kalangan angkatan muda waktu
itu . Tapi tidak pula dapat diingkari , bahwa pandangan seperti itu masih digerakan oleh
orang yang dalam aksi 1966 turut berperan . . Sebelum memasuki dasawarsa 1970-an
mereka memperdengarkan kritik serta koreksi terhadap orde yang baru beridiri, orde yang
mereka retaskan jalan dengan mengalahkan Soekarno serta PKI . Suara-suara itu
mengingatkan patner lama akan penyimpangan –penyimpangan yang ia lakukan . Aksi
yang berlangsung jauh lebih kecil, banyak pula yang hanya dilakukan beberapa eksponen
saja , sangat temporer dan setempat . Organisasi intra universiter dan ekstra universitas
tidak pernah lagi bergabung menjadi satu di dalamnya . Pemborosan, korupsi,
penyelewengan , masalah demokrasi dan sandiwara politik dijadikan tema gerakan . Ia
terjadi di Jakarta . Bandung , Yogyakarta, Surabaya dan Ujungpandang , Di dalamnya
terdapat keseragaman –kritis terhadap suasana – namun kepercayaan terhjadap rezim
tetap ada . Hanya saja, dukungan yang diberikan kelompok kekuatan yang berada di luar
mereka tidak pernah terdengar lagi . Karena itu getaran -getaran yang diperlihatkannya
bukanlah seperti getaran aksi 1966 yang ditopang oleh unsur ABRI .

Tahun 1969 , harga bensin naik dan lahirlah “ Gerakan Mahasiswa Mengugat “ . Korupsi,
penyakit lama yang baru mulai dibersihkan Operasi Tertib secara kecil-kecilan sejak
1967 , sudah menggelisahkan Komite Anti Korupsi ( KAK) pada tahun 1970 . Sebelum
memasuki pemilihan umum 1971 , terdapat kegelisahan dan pernyataan untuk tidak
percaya pada 9 partai politik dan Golongan Karya sebagai pembawa aspirasi rakyat . Ia
adalah kelanjutan pemikiran pertumbuhan struktur politik yang dimulai sejak akhir 1960-
an . Proyek Miniatur Indonesia Indah dengan biaya raksaksa , juga mengandung proses
angkatan muda. Tetapi , April 1874 , Taman Mini Indonesia Indah . proyek swasta yang
berhasil menghimpun dana dalam negeri sebanyak 2,5 juta dollar AS di saat Indonesia
haus akan bantuan luar negeri . selesai dibangun dan diresmikan . Sama dengan KAK ,
sederetan nama gerakan yang melancarkan kritik untuk ide mendirikan TMII berlalu
begitu saja . Nasib yang sama juga dialami oleh rangkaian gerakan yang memprotes
keteledoran strategi pengandaan beras sesudah kemarau panjang 1972 . Ia lewat dari
ingatan orang begitu Kepala Badan Urusan Logistik ( Bulog ) Ahmad Tirtosudiro
berangkat ke Bonn , Jerman Barat , untuk menduduki kursi dutabesar dan digantikan oleh

18
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

Bustanil Arifin .

Baru tahun 1973 terlihat perubahan yang nyata dalam suara protes mahasiswa.
Pemikiran untuk memeriksa kembali strategi pembangunan mulai terdengar dari kampus.
Tapi ide ini sebetulnya berasal dari kalangan ekonom yang membuat kritik terhadap
pembangunan yang terlalu berorientasi pada GNP , dan mempersoalkan faktor-faktor
non-ekonomi dalam pembangunan .

Koreksi yang dilancarkan sepanjang 1973 semakin keras ketika Ketua Inter-
Governmental Group on Indonesia (IGGI ) , J.P. Pronk , berkunjung ke Jakarta .
Pernyataan kegelisahan disampaikan sejak Pronk mendarat di Kemayoran . Dia disambut
dengan karangan bunga, poster dan surat pernyataan ketidakpuasaan terhadap
kebijaksanaan pembangunan . Di sini , kalkulasi politik mulai masuk kembali .

Dalam masa ini , selain mempersoalkan strategi pembangunan , tema perjuangan yang
bersifat kecil juga diperlihatkan . Beberapa peroalan yang dijadikan inti proses adalah
masalah Asisten Pribadi Presiden , kekayaan pejabat , persoalan Pertamina , dan korupsi
lainnya . Masalah hukum , keadilan dan hak asasi manusia juga masuk didalamnya .
Rancangan Undang-Undang Perkawinan yang juga mengundang kehebohan . tidak lagi
diributkan sebelum tahun 1973 berakhir..

Dengan peranan organisasi mahasiswa intra unicersitas secara penuh , dalam masa ini
terlihat kesatuan semangat di dalam tubuh mahasiswa . Gejolaknya tidak begitu cepat .
Walaupun sudah bersifat federatif - seperti yang diperbuat Angkatan 66 dengan
membentuk KAMI – tidak didirikan , masa akhir 1973 dan awal 1974 adalah saat di
mana mahasiswa memperlihatkan suara bulat . Tanggal 13 Januari 1974 , 85 orang
delegasi 35 dewan mahasiswa (dari poerguruan tinggi di Jakarta , Bandung , Bogor,
Yogyakarta , Denpasar , Banjarmasin , Medan , Aceh , Padang , Semarang ,
Ujungpandang , dan Purwokerto ) diterima berdialog hampir dua jam oleh Presiden
Soeharto di Bina Graha . Hasil pertemuan ini dipandang tidak memuaskan oleh
mahasiswa.

Puncak gejolak terjadi ketika Perdana Menteri Jepang , Kakuei Tanaka, datang ke Jakarta
dalam rangkaian kunjungnya ke Asia Tenggara. Sekaligus pula ia hampir menjadi titik
kematian gerakan kaum muda Indonesia . Tanggal 15 Januari 1974 , ketika Tanaka dan
rombongan berunding dengan Presiden Soeharto dan beberapa menteri Kabinet
Pembangunan II di Istana , mahasiswa berpawai dari kampus UI , Salemba, ke kampus
Trisakti , Jl. Kyai Tapa , Jakarta Barat . Di luar route pawai ini, pada saat itu pula
berbagai penjuru Jakarta terjadi aksi massa yang merusak gedung serta membakar mobil
buatan Jepang . Keadaan menjadi lain . Gerakan mahasiswa yang untuk hari-hari
sebelumnya memperoleh nama keramat , karena huru-hara yang melanda Jakarta ini
memperoleh sebutan “malapetaka :. Peristiwa pembakaran mobil dan aksi pengerusakan
oleh massa 15 Januari 1974 kemudian dipopulerkan dengan akronim “Malari “
( Malapetaka 15 Januari )

19
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

Tanaka meninggalkan Jakarta setelah diterbangkan ke Halim Perdanakusuma dengan


helikopter dari atas Bina Graha , 16 Januari 1974 . Setelah itu perkembangan cenderung
jadi tenang . Halaman suratkabar pun sepi dari anak muda yang berkeluh-kesah . Rusak
dan terbakarnya beberapa gedung di Jakarta , serta bangunannya kendaran –kendaraan
buatan Jepang , disusul oleh serentetan penahanan dan interogasi – yang tidak hanya
dilakukan terhadap mahasiswa , tetapi juga terhadap ilmuwan, cendikiawan dan anggota
DPR – menghentikan semuanya . Beberapa suratkabar dan majalah diberangus .
Lembaga Asisten Pribadi Presiden bubar , terjadi pergeseran jabatan dalam lingkungan
pemerintahan , dan Menteri P dan K Sjarif Thajeb , pemberi inspirasi mendiirikan KAMI
tahun 1965 , mengeluarkan Surat Keputusan 028/1974 yang tidak disenangi mahasiswa.
Akhirnya vonis pengadilan dijatuhkan terhadap mereka yang dituduh terlibat dalam
Peristiwa 15 Januari 1974 . Sebagian lagi dilepas tanpa diproses perkaranya. Tak seorang
pun dapat menjawab apa sebetulnya yang terjadi tanggal 15 Januari 1974 .Tetapi ada
yang menduga bahwa peristiwa ini sudah dirancang sebelumnya untuk memukul mundur
mahasiswa, yang akan dijadikan “dosa keturunan “ gerakan protes angkatan muda .
( Mangiang , 1981 : 100 – 102 )

Terlepas dari semua distorsi mengenai gerakan kisah gerakan mahasiswa 1974 itu ,
bagaimana pun harus diakui bahwa perjuangan mereka telah menjadi sebuah episode
bersejarah dalam kisah gerakan mahasiswa di Indonesia . Gerakan mahasiswa 1974 telah
mencoba melakukan respon terhadap tantangan zamannya . Betapapun dari latar
belakang yang memicu peristiwa yang diwarnai malapetaka saat itu , namun jika
dihubungkan dengan praktek kekuasaan Orde Baru yang mereka protes , di balik itu ada
pemikiran kritis yang menandakan subtansi idealisme yang mendorong mahasiswa untuk
mengisi kekosongan yang justru mungkin telah dianggap remeh oleh kekuatan politik
lainnya . Hal ini mengingat kondisi Indonesia sejak rezim Orde Baru tampil berkuasa
mulai tahun 1966 hingga tahun 1974 , telah berlangsung praktek kekuasaan yang justru
mengabaikan nasib rakyat banyak , pemerataan , keadilan dan demokrasi , namun
kekuatan politik yang ada seolah menutup mata .

Perbedaan antara gerakan mahasiswa 1974 dengan 1966 , adalah jika dalam peristiwa
1966 organisasi ekstra universitas ( KAMI ) memainkan peranan yang amat menentukan ,
maka dalam peristiwa 1974 , gerakan mahasiswa semata mengandalkan basis organisasi
intra ( Dewan Mahasiswa ) . Ini menunjukkan adanya indepedensi yang sangat tinggi dari
gerakan mahasiswa , yang terkait dengan berkembangnya kultur demokratisasi yang
mereka praktekkan termasuk melalui sosialisasi pemilihan dewan-dewan mahasiswa .

Di lain pihak , hal ini mungkin tidak terlepas pula dari pemikiran yang berkembang pada
generasi 1974 yang menilai keberadaan eksistensial dan aktivitas protes mereka semata
sebagai bentuk kekuatan moral , sedangkan generasi 1966 dalam konteks yang berbeda
dilihat merupakan representasi wujud gerakan mahasiswa sebagai kekuatan politik .
Dengan kata lain , mahasiswa 1974 ingin menjadikan potret gerakan mereka berwajah
netral, yakni sebagai gerakan yang terpusat dari kampus dengan motif moral dan
intelektual yang murni , dan tidak memiliki ikatan organisatoris sama sekali apalagi
interes politik dengan kelompok tertentu atau kekuatan sosial politik di luar komunitas
mereka . Sesuatu yang jelas membedakan dengan gerakan mahasiswa 1974 dengan 1966 ,

20
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

adalah karena gerakan mahasiswa 1966 memiliki linking politis yang jelas dengan
kekuatan-kekuatan atau organisasi –organisasi luar kampus seperti misalnya militer dan
KAMI par exelence ( Magenda , 1977 : 13 – 14 )

Menyusul peristiwa Malari , sebagai reaksi terhadap gerakan mahasiswa 1974 ,


pemerintah pun memberlakukan SK No. 028/U/1974 yang pada intinya berisi petunjuk-
petunjuk pemerintah dalam rangka pembinaan kehidupan kampus perguruan tinggi .
Kebijakan ini pada hakekatnya merupakan sebuah usaha sistimatis yang hendak
dilakukan pemerintah dalam usasha pembatasan aktivitas politik mahasiswa . Melalui SK
ini ditegaskan antara lain mengenai apa yang disebut sebagai kegiatan bersifat politis di
mana hal itu , - menurut penguasa – harus dilaksanakan dengan bimbingan dan atas
tanggung jawab pimpinan perguruan tinggi dan berdasarkan penganalisaan secara ilmiah.
Selain itu , ditegaskan bahwa otonomi perhuruan tinggi dan kebebasan ilmiah
dilaksanmakan dengan mengingat segi hak dan tanggung jawab yang melekat pada tiap
kebebasan , sedangkan kebebasan dalam penerapannya adalah kongkrit , situasional dan
terikat pada ruang dan waktu . ( Juoro , 1981 : 52 – 68 )

Menuju depolitisasi kampus

Pada periode ini , gerakan mahasiswa sebetulnya bermain politik lebih terang-terangan
jika dibandingkan dengan gerakan yang yang terjadi akhir 1973 dan awal 1974 . Ia
hampir sama berterus-terang dengan yang dilakukan oleh Angkatan 66 ketika
menghadapi Soekarno dahulu . Tetapi ia berbeda satu dengan yang lain . Angkatan 66
mendapat dukungan jelas dari kalangan militer , sedangkan anak-anak muda yang
memprotes kekuasaan tahun 1977 , tidak punya pendukung nyata . Partai politik yang
baru saja menyaksikan kemenangan Golkar secara mutlak untuk kedua kalinya dalam
pemilihan umum 1977 tidak pernah membuat pernyataan jelas tentang ini . Garis keras
yang dibuat kekuasaan dalam mengahadapi gerakan protes di luar parlemen ini,
menumbuhkan beberapa hal lain yang harus dirasakan kalangan di luar kampus .
Beberapa suratkabar terkemuka di Jakarta ditutup selama dua minggu , dengan alasan
pemberitaan yang mereka sajikan dapat menghasut dan membangkitkan gejala yang
membahayakan negara ..

Dari pihak pemerintah sendiri ada usaha mengirim tujuh menteri bidang ekonomi ke
kampus-kampus untuk berdialog dengan mahasiswa mengenai pelaksanaan
pembangunan . Cara ini terbaca seperti” ingin menjinakkan kampus lewat teknokrat “
sebelum Majelis Permusyawaratan Rakyat bersidang tahun 1978 . Tetapi usaha ini gagal
di tiga kampus, Universitas Indonesia ( Jakarta ) , Insitut Teknologi Bandung ( Bandung),
dan Universitas Gadjah Mada ( Yogyakarta ) . Mereka ditolak mahasiswa . Ketika itu
banyak golongan menengah yang anti-politik khawatir akan berlanjutnya gelombang
protes menjadi huru-hara seperti waktu-waktu yang lalu .

Dari kalangan mahasiswa sendiri ada keinginan agar kekuatan politik di luar mereka
memanfaatkan suasana yan telah mereka ciptakan . Mereka tetap menamakan gerakan
tersebut sebagai gerakan moral yang menjadi perhitungan politik praktis . Tetapi

21
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

seandainya dari gerakan itu lahir perubahan , mereka tetap tetap tidak tahu , bagaimana
bentuk perubahan tersebut . Dalam hal ini , untuk urusan menciptakan perubahan , aksi
dalam tahun 1977 ini hampir sama dengan aksi 1966 . Siapa yang akan tampil sebagai
pemenang setelah gelombang protes berlangsung tetap diserahkan pada konstelasi politik
di luar lingkungan kampus . Dari mahasiswa sendiri tidak pernah ada harapan terhadap
partai politik .

Di balik ini semua, kecenderungan perjuangan yang bersifat kerakyatan , lebih mengeras
dibandingkan dengan aksi tahun 1966 . Bebarapa persoalan yang ragamnya lebih banyak
dibandingkan dengan masa akhir orde lama, di bawa ke permukaan . Namun , ada
keengganan untuk menimbulkan kesan bahwa perjuangan yang mereka lancarkan adalah
aksi yang mencoba membakar semangat massa untuk jadi anarkis . Dewan Mahasiswa
Universitas Indonesia , misalnya , mencetak T-shirt dengan tulisan join us for a clean
government yang tidak dapat dimengerti oleh kalangan luas , kelompok rakyat banyak
yang kepentingannya mereka suarakan . Salah satu alasan pencantuman istilah asing
yang jangkauan seruannya sangat terbatas itu, adalah mahasiswa memang hanya
menghimbau kalangan elite yang dengan kekuatan politiknya mampu melahirkan
perubahan . Membakar semangat massa bisa dituduh melaksanakan cara-cara komunis ,
yang pada saatnya nati dapat memukul perjuangan mahasiswa sendiri . Kejadian di awal
tahun 1974 telah mengajarkan suatu gaya aksi untuk anak-anak muda yang resah
menjelang masa pemilihan Presiden tahun 1978 .itu .

Ketidakpercayaan pada partai politik yang terdengar dari kelompok ini , sejalan dengan
tiadanya harapan terhadap wakil-wakil rakyat di lembaga legsilatif . Tetapi harapan yang
pudar dan kepercayaan yang merosot itu dinyatakan sebagai akibat sistem yang
diciptakan oleh pemegang kekuasaan . Dan ABRI sebagai pemegang dominasi kekuasaan
tidak pula dipandang sebagai “lawan “ yang berada di depan . Hal ini terlihat pada
suara–suara protes sepanjang 1977 itu, terutama sekitar bulan November , yang antara
lain menyatakan : “ Kembalikan ABRI kepada Rakyat “. Aksi sepanjang 1977 dan 1978
tampaknya melihat ABRI dalam dua muka : yang dikendalikan oleh kekuasaan yang ten
gah berjalan ; dan ABRI yang sadar akan makna perjuangan yang mereka lancarkan .
Harapan yang terakhir ini tidak pernah menjadi kenyataan . Kelompok yang mungkin dan
mampu menfaatkan suasana yang diciptakan oleh angkatan muda , pada akhirnya tak
pernah muncul . Yang terjadi hanyalah pergerakan beberapa jabatan pemerintahan di
kalangan atas . Tebak-menebak yang dibuat orang , yang sebetulnya sudah ada sejak
1971 , tentang :main mata “ yang dilakukan mahasiswa dengan kekuatan politik lain di
luarnya makin susah untuk diraba .

Adanya konflik intern dalam tubuh kekuasaan sendiri , sudah menjadi isu sejak tahun
1970-an dimasuki . Herbert Feith melihat konflik tersebut terjadi di kalangan militer
sendiri , yang dibaginya menjadi tiga kelompok : konservatif ( yang diberi kepercayaan
banyak dalam pemerintahan sekarang ) ; pembakang ( yang mengalami pergeseran
dalam kedudukannya ) ; dan kelompok tengah ( yang memperoleh kepercayaan dalam
pemerintah sekarang , tetapi terbuka pula untuk perubahan di pusat kekuasaan ) . Dari
dahulu hingga sekarang , orang hanya menduga-duga tentang harapan-harapan aksi
protes anak muda terhadap perbedaan pandangan di kalangan perwira-perwira tinggi itu .

22
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

Ketika gelombang protes muncul di dalam tahun 1977 sampai pertengahan 1978 ,
penangkapan dan pengadilan mahasiswa kembali terjadi seperti yang juga dialami
sesudah 1974 . Di luar mahasiswa , beberapa tokoh masyarakat , seniman dan ilmuwan ,
juga ditahan . Aksi-aksi dalam periode ini, mulai menyatakan secara terang-terangan
akan ketidak-setujuan pada pencalonan kembali Jendral Soeharto sebagai Presiden
untuk masa jabatan 1978 – 1983 . Herbert Feith menyebutkan bahwa gerakan mahasiswa
1977 memperoleh simpati terbuka dari kalangan perwira tinggi , gerakan 1977 tidak
mendapat dukungan ataupun simpati yang terbuka sama sekali ( Mangiang , 1981 : 103 –
105 ) .

Gerakan 1978 berkembang dari kritis dan protes mahasisewa yang mulai dirasakan
menjelang pemilihan umum 1977 . Sejumlah mahasiswa Bandung membentuk “ Gerakan
Anti Kebodohan “ ( GAK) dan sempat berdialog dengan beberapa Menteri . Setelah
pemilu berlalu banyak pengaduan kesulitan-kesulitan masyarakat dari desa kepada
mahasiswa . Situasi panggung yang terus memanas ini berkaitan dengan akan
dilangsungkan sidang umum untuk mengakat presiden . Aparat negara melihat
perkembangan ini dengan mengirim tujuh menteri bidang ekonomi ke kampus-kampus
untuk berdialog dengan mahasiswa tentang jalannya pembangunan . Usaha ini gagal di
tiga kampus , yaitu ITB , UI dan UGM , karena kehadiran kehadiran para pejabat ditolak
mahasiswa . Dengan tegas mahasiswa menamakan gerakannya sebagai gerakan moral
yang menjauhi perhitungan politik praktis . Mereka melihat ABRI telah dijauhi dari
rakyat , sehingga perlu menghimbau “ kembalikan ABRI kepada Rakyat .” Mereka juga
menunjukkan kemandulan partai-partai politik , yang memupus harapan mereka
terhadap“wakil-wakil rakyat “ di lembaga legislatif . Bahkan kemudian mereka sempat
mengambil lembaga DPR dengan membentuk DPR “tandingan “. Mereka
mempersoalkan pucuk pimpinan negara dan menggugat keabsahannya . Tapi karena
masih memakai gerakan moral, mereka muncul dan menemukan diri sebagai : pelopor
yang terkucil “ . Kekuatan mereka terbatas pada mahasiswa dan pelajar . Mereka dibekuk
justru dianggap “ merongrong kewibawaan pemerintah .” Di sini timbul sifat dilemmatis
dan ambivalen . Dilemmatis karena di satu sisi ia menyatakan diri sebagai gerakan moral
yang bebas kepentingan politik, sementara di sisi lain tuntutannya mengandung bobot
politis yang besar , berikut aksi massa yang dikerahkannya . Ambivalen karena ragu-ragu
memilih antara moral atau politik .

Meskipun “ Gerakan 15 Januari 1974 “ dan “ Gerakan 1978 “ tidak membawa sukses
dari apa yang jadi tuntutannya, namun sukses atau tidaknya dalam hal ini tidaklah
penting, yang penting justru pengisahan kembali peranan mahasiswa dalam kedua
gerakan ini, yang masih menunjukkan adanya penciptaan kenang-kenangan tentang
lakonnya sebagai “ kelompok intelektual pembaruan “ dan penyandang “ kontrol sosial “
Gema “ panggilan untuk berperan “ tetap muncul ke permukaan dengan
menaikkan“idealisme “ yang dulu pernah disuarakan mahasiswa , bahkan diselipkan
dengan kisah baru untuk berperan dalam pembangunan .Dalam kondisi depolitisasi yang
terus mengental, mahasiswa tetap dipanggil buat berperan dan setelah itu menjadi
kenangan dalam berbagai cerita sehingga “peran sosial “ yang dipersepsi mahasiswa tetap
hadir dalam dalam diskursus-diskursus politik . Jadi , singkatnya, yang terjadi adalah

23
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

pertarungan pada tingkat gagasan antara peranan yang dikehendaki oleh negara dengan
peranan yang dipersepsi mahasiswa secara berlebihan serta dijustifikasi sehingga
berubah menjadi legenda , yakni bahwa mahasiswa adalah agents of social change ,
kekuatan moral dan oposisi satu-satunya , walaupun demikian , di tingkat gagasan pun
pertarungan tersebut tidak pernah “dimenangkan “ oleh mahasiswa . Bahkan sebagian
besar gagasan yang membentuk persepsi tanpa peran sosial mahasiswa justru harus
datang dari negara . ( Radjab , 1991 :72 – 73 )

Setelah SK 028/1974 yang tidak disukai mahasiswa, sejak 1978 diterapkan konsep
Normalisasi Kampus . Mahasiswa kehilangan lembaga intra universitas yang berperan
banyak dalam membawa siara protes sejak memasuki dasawarasa 1970-an , yakni dewan
mahasiswa . Dewan Mahasiswa ini, sejak ide kembali kempus dilaksanakan , lebih
banyak menggantikan peran organisasi ekstra mahasiswa , yang dalam masa belakangan
ini berhimpun dalam Kelompok Cipayung ( HMI, PMKRI,GMKI, PMII, GMNI ) . Di
samping kursi Menteri P dan K yang menjadi alat penentu untuk memenangkan
kehidupan kampus, kedudukan seorang rektor perguruan tinggi pun menjadi amat
penting. Setelah pengerahan pasukan bersenjata , panser , dan helikopter untuk
menenangkan kampus pada awal 1974 dan 1978 , pemegang kekuasaan tampaknya lebih
banyak menyerahkan tindakan pengamanan terhadap anak-anak muda yang resah ini
pada Departemen P dan K serta lembaga pimpinan universitas .

Dalam menolak NKK , para mahasiswa antara lain menyatakan : kembalikan kampus
kepada kami “. Tetapi bagi pemerintah sendiri , kampus adalah milik pemerintah . Paling
tidak, demikianlah pandangan Menteri Muda Urusan Pemuda , Dr Abdul Gafur , yang
disampaikannya di depan para mahasiswa Nusa Tenggara Barat di Mataram, Lombok ,
akhir Januari 1979. Karena itu , kata bekas tokoh kesatuan aksi mahasiswa 1966 itu ,
selain menentukan kebijaksanaan atas kampus , pemerintah pun berhak
mengamankannya bila terdapat petunjuk yang kurang serasi dengan jalan pembangunan
nasional sekarang . Kebebasan mimbar dan kampus rupanya tak ada lagi . Satu tahun
sebelum Gafur berkata begitu , Panglima Kopkamtip , Laksamana Sudomo menyatakan
kepada wartawan bahwa kebebasan kampus itu tak ada karena tidak ada daerah yang
kebal hukum di Indonesia selain kedutaan asing .

Protes berganti protes terhadap NKK mewarnai hidup beberapa kampus di beberapa kota.
Di sini para mahasiswa , tidak pernah tergabung dalam kelompok besar . Kadang-kadang
bahkan hanya terdiri dari delegasi yang kurang dari sepuluh orang , datang ke DPR atau
pun ke Departemen P dan K .

Dari kalangan anggoita DPR sendiri ada dukungan terhadap mahasiswa . Dukungan itu
antara lain dinyatakan dengan mengatakan bahwa konsep NKK tidak konsitusional . Oleh
karena itu pula , 17 November 1979 , 25 anggota lembaga perwakilan itu – 21 dari Fraksi
Persatuan Pembangunan dari 4 dari Fraksi Demokrasi Indonesia - menyampaikan usul
interpelasi tentang NKK dan BKK itu . Namun usul dari 25 wakil takyat itu tak
bersambut . Lewat suatu voting yang sering dikatakan bukan:” cara Indonesia “ yang
suka akan musyawarah dan mufakat “ itu – ia kemudian dinyatakan ditolak dalam sidang

24
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

paripurna DPR 11 Februari 1980 . Penolakan memperoleh 279 suara yang berasal dari
220 anggota Fraksi Karya Pembangunan dan 59 dari Fraksi ABRI . Dari kedua fraksi ini
tak satu anggota pun yang setuju dan juga tak seorang pun yang abstain . Pesertujuan
hanya diberikan oleh 83 anggota Fraksi Persatuan Pembangunan dan 18 dari Fraksi
Demokrasi Indonesia . Akhirnya , lewat sebuah persetujuan legislatif , yang tak pernah
mengundang harapan gerakan mahasiswa selama ini , sebuah alat yang dapat dipakai buat
mematikan aksi protes , menjadi syah adanya . Pencipta seni menghidupkan aksi protes
anak muda satu setengah dasawarsa yang lalu kini melahirkan seni mematikan gerakan
ini . Dan mahasiswa pun terperangkap dalam kehebohan tentang lembaganya yang hilang
itu . ( Mangiang , 1981 :105 – 106 )

Perlawanan Mencari Arah Baru

Akibat kehancuran lembaga-lembaga dan organisasi kemahasiswaa dan represi yang


mengeras dari birokrasi universitas , tak ada pilihan lain bagi mahasiswa kecuali
merenungkan kembali peranan dan kedudukan mereka serta melakukan otokritik
terhadap gerakan mahasiswa sebelum-sebelumnya . Aktivis politik dan protes tidak
mampu lagi dilakukan , karena resiko terlampau besar yang harus ditanggung , yakni
dipecat dari universitas atau kehilangan status istimewanya sebagai mahasiswa . Karena
itu kita saksikan , aktivitas mahasiswa dalam periode awal 80-an lebih terkonsentrasi
pada kegiatan dikusi dan “kontemplasi “. Artinya , walaupun organisasi BKK berhasil
dihambat mahasiswa pada kampus-kampus utama di Jawa , tetapi sebagian tujuan dari
konsep NKK berhasil diterapkan , yaitu meletakkan mahasiswa bukan sebagai : agen
politik praktis “ tetapi sebagai “ man of analysis “. Roh tadi kemudian ditangkap dan
dijadikan semangat zaman yang membentuk subyektivitas mahasiswa dan dibenturkan
dalam kondisi obyektif sosial ekonomi yang sudah berubah . Hasil dari benturan ini
adalah hadirnya kesadaran subyektif yang baru tentang konsepsi “ kerakyatan : , yakni di
satu sisi mahasiswa menerima realitas dirinya sebagai bagian dari gerakan sosial yang
lebih besar dan di sisi lain menolak realitas kekuatan negara . Maka perumusan cita-cita
sosial mahasiswa adalah “ membangun kekuatan rakyat .”

Dalam konteksnya saat itu perumusan identitas sosial tersebut kelihatannya merupakan
upaya yang sungguh-sungguh untuk menemukan sintesa antara “ demitologisasi terhadap
gerakan moral termasuk kritisme terhadap peranan mahasiswa menjadi resi : dan “
panggilan untuk berperan yang masih tersisa dari mitologi gerakan 1966 “. Di satu pihak ,
permusan kesadaran subyektif tersebut juga bisa dilihat sebagai upaya untuk mencari
peran mahasiswa yang lebih strategis serta struktural , dan di lain pihak upaya itu
sekaligus dapat mengatasi dilemma atau ambivalensi naïf yang selama ini menguasai
kesadaran mahasiswa , yakni sikap mendua antara gerakan moral yang bebas politik dan
gerakan politik yang memihak . Walaupun penuh dengan slogan yang meledak-ledak ,
perumusan tersebut tampaknya menemukan ssluran praktisnya ke dalam organisasi non-
pemerintahan , yang kemudian lebih dikenal dengan sebutan lembaga swadaya atau
pengembangan swadaya masyarakat .( LSM/LSPM )

25
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

Dengan muatan yang sama tapi dalam versi yang luas , upaya mahasiswa untuk keluar
dari mitos gerakan –gerakan mahasiswa sebelumnya dan menemukan peranannya sendiri
yang lebih strategis sesuai dengan tuntutan zaman diharuskan oleh seorang mantan
aktivis mahasiswa 70-an dalam sebuah restrospeksi yang menarik , kurang lebih sebulan
sebelum mencuat kembali demontrasi mahasiswa di akhir 80-an . Tolok ukur lama
berupa peran mahasiswa yang tercermin dalam gerakan mahasiswa tahun 1966, 1974 ,
dan 1978 tampaknya seperti suatu beban sejarah . Dalam menimbang-nimbang
bagaimana menuntaskan hal ini , perlu dirumuskan cita-cita tentang demokrasi dan
keadilan sosial . Dari sini barangkali beban kesejarahan bisa dihilangkan dan
demitologisasi angkatan sekaligus terjadi . Sekarang angkatan muda belum terlambat
menolak kekalahan dan juga belum telat mengukur keberhasilan sebagai unsur yang
menegakkan demokrasi dan keadilan sosial . Dan ironinya, kunci keberhasilan peran
angkatan muda justru terjadi kalau mereka mampu meniadakan “ mitos kesinambungan “
yang menggelamkan mereka dalam immobilitas dan sikap curiga terhadap semua peran
dui luar mereka . Tentu saja dengan mendudukan mahasiswa atau angkatan muda sebagai
agent of democracy , maka lakon yang harus dimainkan oleh mahasiswa menjadi
lebih“politis “ dan struktural sifatnya dibandingkan lakon-lakon sebelumnya yang
berwatak kultural .

Dengan retorika “ demi rakyat “, demi demokrasi : dan dibarengi dengan pengalaman
belajar bersama LSM/LSPM , maka ruang gerak di pinggiran panggung , yang relatif
lebih leluasa untuk berimprovisasi , kini tidak lagi berada dalam kampus tetapi telah ber
geser ke luar kampus . Pengertian ini agak meleset dari dugaan semula , bahwa sebagai
akibat penghancuran organisasi intra kampus dan akibat kontrol birokrasi universitas
yang sangat ketat , aktivitas politik mahasiswa akan kembali ke organisasi ekstra
universitas . Kenyataannya tidak demikian . Di samping kelompok-kelompok kecil
indenpenden yang dibentuk di luar maupun di dalam kampus untuk untuk tujuan diskusi
maupun studi, mahasiswa mulai bersentuhan dengan organisasi sosial kemasyarakatan
( non-partai , non-ekstra ) yang langsung berhubungan dengan kelompok yang diklaim
akan diperjuangkan oleh mereka . Karena itu tak mengherankan jika beberapa tahun
kemudian , subyektivitas yang diteriakan itu bertemu dengan pesoalan kongkret yang
dihadapi kelompok masyarakat tertentu , yakni para petani yang kehilangan tanahnya ,
pedagang kaki lima yang tergusur , dan beberapa kalangan menengah dan menengah
bawah kota yang terkena penggusuran tanah . Mahasiswa akhir 80-an menemukan
penampilan atau perannya yang khas lewat komite-komite sebagai juru bicara “rakyat”
dalam memperjuangkan hak-hak “ rakyat “ dalam bentuk aksi dan advokat terhadap para
“korban pembangunan “ tersebut .

Pertunjukan pun , kembali berulang, dengan kisah yang sedikit berbeda tapi dengan plot
dan lakon yang sama ; parodi dan tragedi ; diskusi , demonstrasi , ditangkapi , interogasi ,
dihakimi , masuk bui . Namun , berbeda dengan kisah 1974 atau 1978 , para pemeran
tokoh mahasiswa dalam melodrama ini menempuh akhir yang terpengal tragis .; tidak
dapat menyelesaikan lakonnya sebagai mahasiswa . Panggung pun sempit dan sesak bagi
sebuah pertunjukan kecil di bawah bayang-bayang mitos agung tentang “ mahasiswa
sebagai pejuang rakyat . “ Cahaya lampu jutaan watt terang benderang menyoroti

26
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

panggung menampakkan hegemoninya , dan rakyat menonton di luar panggung . Lalu


lakon apa lagi yang akan ditampilkan ? ( Radjab , 1991 : 75 – 77 )

Pada akhir 1980-an , perubahan perspektif terhadap paradigma (mitos ) gerakan moral
mulai tampak di kalangan aktivis yang berkiprah di luar kampus . Pilihan untuk tema
kerakyatan sekaligus merupakan kritik dan penolakan terhadap kecenderungan elitis dan
ekslusif , yang dipandang inheren dengan Angkatan “66 . Kebutuhan untuk melakukan
aksi dengan KMK , buruh sebagai elemen –elemen rakyat yang termarjinalisasi oleh
model pembangunan rejim OB , sangat dirasakan okeh aktivis pada akhir 1980-an dan
awal 1990-an . Mereka menolak segala bentuk turunan produk OB, dengan
memfokuskan pada kegagalan OB menjalankan ideologis pembangunaisme . Gerakan
moral berintikan kemurnian mahasiswa , tulus , non partisan . Di sisi lain , hal itu berarti
menjauhkan mahasiswa dari rakyat . OB juga melakukan reduksi terhadap makna politik
sehingga berkonotasi negatif dan kotor . Ajang mahasiswa demikian umumnya seruan
pejabat di masa OB , bukanlah di bidang “politik praktis .”

Sebagai konsekuensi dari pilihan “bersama rakyat “ , maka sebagian aktivis mahasiswa
periode akhir 1980-an mulai berhadapan dengan watak OB yang totaliter dalam bentuk
penangkapan , pengadilan , tuduhan subversif . Tuduhan-tuduhan menunggangi ,
mengotori , mendalangi gerakan mahasiswa adalah wacana OB yang senantiasa
digunakan untuk menjauhkan mahasiswa dari politik praktis . Jadi dapat dikatakan bahwa
pemahaman aktivis era 1980-an dan 1990-an adalah counter vision terhadap ideologi
gerakan moral OB yang dipertahankan lewat pembunuhan Dewan Mahasiswa, melalui
NKK/BKK , dan SMPT .

Berbeda dengan gerakan mahasiswa sebelumnya , selama periode ini atktivis mahasiswa
tidak bergabung dalam lembaga atau organ formal . Pola ini merupakan implikasi
kebijakan NKK/BKK yang telah membekukan organisasi mahasiswa dan melarang
segala hal bentuk kegiatan politik di dalam kampus, sehingga mahasiswa kemudian
mencari alternatif baru . Pada periode ini mahasiswa mengorganisir aksi-aksi dalam
jumlah mahasiswa yang besar dan tidak mewakili satu organ tertentu , melainkan
direkatkan oleh isu yang mereka sepakati untuk diangkat .misalnya kasus tanah , aksi-
aksi menentang SDSB , serta isu-isu yang mengusung tema solidaritas , terhadap korban
represifitas rezim .

Dalam bahasan sebelumnya mengenai kemunculan kelompok-kelompok gerakan yang


lebih radikal menjelang akhir 1980-an , beberapa komite masih mempertahankan
keberadaannya untuk beberapa lama dan masih terlibat dalam pengorganisasian aksi-aksi
selanjutnya . Meraka akan membubarkan diri setelah satu isu , untuk kemudian
bergabung lagi dengan isu lain , Kelompok-kelompok yang muncul bersifat organisasi
“front” . Belum ada organ yang mempunyai manajemen serta keketatan infrastruktur
pada periode 1980-an . Tetapi di sisi lain , ini juga menimbulkan kritik tersendiri di
antara para aktivisnya . Kebanyakan mereka mengeritik ketiadaan koordinasi serta
kurangnya persatuan dalam gerakan mahasiswa .

27
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

Watak gerakan mahasiswa 1980an yang menonjol adalah rendahnya kesadaran akan
kebutuhan untuk memperkuat dan membangun jaringan serta bersatu dalam aksi .
Kebutuhan itu kemudian secara perlahan-lahan mulai mengemuka pada era 1990-an .
Menjelang akhir 1980-an dan memasuki awal 1990-an , terdapat kecenderungan baru
dalam format organ gerakan mahasiswa , yaitu pembentukan organisasi yang lebih rapi
dan tidak terbatas pada satu wilayah saja. Kecenderungan untuk melakukan aliansi atau
koalisi di akhir 1980 dan awal 1990. Di beberapa kota besar , terutama Yogyakarta ,
Bandung dan Jakarta , muncul organisasi yang lebih stabil dan tidak hanya dibentuk
berdasarkan pada satu isu .

Aktivis mahasiswa mulai melakukan evaluasi mengenai perlunya memikirkan alternative


membangun kekuatan gerakan melalui format alinasi . Didasari oleh pemahaman pada
konteks perjuangan untuk menegakkan demokrasi yang sudah menemukan momentum ,
tetapi perlu mempertimbangkan untuk membangun aliansi kekuatan dengan pilar
demokrasi lainnya , misalnya LSM,m ormas-ormas Islam, kelompok Petisi 50 , Forum
Demokrasi , dan lain-lain . Target yang hendak dicapai dengan melakukan aliansi adalah
bertambahnya kemampuan untuk melakukan tawar-menawar antara masyarakat dengan
pemerintah .

Bagi aktivis gerakan , serangkaian aksi yang dilakukan pada periode akhir 1980-an dan
awal 1990-an tidak hanya sebatas untuk test case , tapi sekaligus untuk mencari wacana
baru mengenai gerakan itu sendiri . Aktivis pasca periode kelompok diskusi menganggap
arena politik 1990-an merupakan tempat pergulatan langsung dan riil dari pelaksanaan
kata-kata ( busa-busa dari meja diskusi ) . Isu-isu populis ( advokasi persoalan tanah ,
kesenjangan sosial ekonomi ) sampai struktural ( tuntutan terhadap Soeharto di ujung
1993 ) menandai lembaran perjalanan gerakan prodemokrasi dalam kurun waktu ini .
Kegamangan yang seringkali muncul di kalangan mahasiswa untuk mulai bergerak ,
terjawab dengan bertambahnya jam terbang mereka . Pluralitas gerakan yang sporadis
dibekali dengan muatan teoritik untuk membantu pemahaman terhadap konteks politik ,
ekonomi , dan hukum rezim OB nenandakan perubahan itu sendiri , meskipun perbedaan-
perbedaan yang ada tidak dinaifkan begitu saja .

Sektor-sektor strategis sebagai sasaran yang digarap oleh aktivis gerakan 1990-an tidak
terlepas dari konteks politik yang melingkupinya . Gerakan Mahasiswa 1990-an
merupakan elemen yang memang tidak bisa dilepaskan dari konstelasi perubahan politik
Indonesia . Tema-tema populis itu dimanifestasikan dalam keinginan untuk berkolaborasi
dengan rakyat , lebih sekedar mengadvokasi permasalahan mereka , dengan lebih dahulu
memahami teks berupa permasalahan rakyat dan counter discourse dengan negara yang
tsgnan . Kesadaran mahasiswa untuk bergabung dengan elemen yang tertindas tidak
semata-mata terjadi begitu saja , apalagi sejarah gerakan mahasiswa terlanjur dipenuhi
oleh manipulasi dan rekayasa rejim untuk menyumbat aspirasi mereka .

Disamping segala atribut yang dilekatkan pada mahasiswa ( agent of change , change of
mission , dan lain-lain ) mahasiswa memang komunitas yang memiliki nilai lebih , dalam
arti kemampuan analisa yang dipunyainya . Mahasiswa harus menjadi katalisator ,
fasilitator , dan masuk ke dalam kelompok-kelompok buruh, tani, kemudian

28
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

menyebarkan benih sehingga akhirnya mereka membentuk kelompok-kelompok sendiri .


Setelah terbentuk kelompok-kelompok tersebut,peran mahasiswa beralih bukan lagi men
jadi hero , karena telah bergabung dengan rakyat . Di sisi lain , posisi mahasiswa yang
strategis tersebut menimbulkan pertanyaan tentang seberapa jauh Gerakan Mahasiswa
dalam konstelasi politik OB . Aktivis gerakan yang cukup lama berkutat dengan hitam-
putihnya gerakan berpendapat bahwa diperlukan suatu landasan yang kuat untuk memulai
apa yang disebut kesadaran kolektif

Gerakan Mahasiswa 1990-an mampu menjadi awal bagi tumbuhnya gerakan kerakyatan
yang mampu mendesakkan tuntutan politik sampai taraf tertentu . Menguatnya dominasi
sektor negara disadarai memperlemahkan jangan-jangan secara efektif, sehingga dikenal
massa mengambang yang tidak lain merupakan kamufalse dan partisipasi rakyat yang
hanya berupa mobilisasi mereka . Sekelompok mahasiswa kritis pada pertengahan 1990-
an mencoba membedah fenomena ini melalui diskusi dengan dengan tema utama “
Prakarsa Masyarakat dan Demokratisasi “. Edisi tersebut mefrefleksikan kegelisahan
pesertanya yang notabene aktivis gerakan mahasiswa , untuk mencari bentuk alternatif
kelompok-kelompok strategis di dalam masyarakat , atau political group di luar partai
politik yang mampu mengakumulasi , menyalurkan dan jika mungkin mewujudkan
aspirasii rakyat .

Ada kesinambungan secara tematis , demokratisasi dan keadilan sosial – antara gerakan
mahasiswa era 1990-an dengan 1980-an . Mengingat kebutuhan-kebutuhan yang tidak
tertampung lagi diperlukan formula baru , strategi , untuk menjamin kelangsungan
intesitas dan stamina gerakan , dan degradasi dan kemandekan . Kesadaran bahwa basis
massa gerakan mahasiswa adalah mahasiswa itu sendiri menimbulkan pemikiran untuk
tidak meninggalkan kampus agar gerakan mahasiswa tidak terisolir di lingkungannya
sendiri . Jadi , tugas gerakan mahasiswa malah semakin berat , karena selain melakukan
penyadaran di tingkat rakyat ia juga harus melakukan penyadaran di tingkat kampus . Di
luar kampus , karena scope gerakan yang mulai meluas sejak akhir 1980-an , kerjasama
dengan kelompok-kelompok lain yang berpotensi untuk membuat perubahan mulai
diintensifkan , terutama dengan wadah-wadah komunikasi antar kota .

Networking yang dilakukan aktivis pada era 1990-an merupakan cermin pluralistis
ideologi sekaligus menemukan format gerakan itu sendiri Yogyakarta merupakan
komunitas gerakan yang sangat kaya akan keragaman enggan dengan beragam ideologi .
Semisal yang terjadi pada organ Forum Komunikasi Mahasiswa Yogyakarta ( FKMY )
dimana perpecahan yang mengakibatkan polarisasi dalam dua kubu DMPY (192 )) dan
SMY ( 1993 ) tidak menjadikan gerakan macet , melainkan malah mendinamisir majunya
gerakan itu sendiri Perpecahan juga mendorong berkembangnya kommunitas gerakan di
beberapa kota . Dari perspektif pertumbuhan gerakan , kenapa terjadi perpecahan adalah
hal yang sangat umum . Daripada menyesesali perpecahan . lebih baik menanta ulang
konsep dasar gerakan sehingga efektifitasnya tercapai .

Gerakan Mahasiswa 1990-an diawali dengan kesadaran baru bahwa mahasiswa bukan
merupakan independent factor . Dalam percaturan politik , tidak ada satu faktor yang
secara mandiri mencapai hasil . Politik berintikan rumusan pertarungan antar kelompok

29
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

yang menghasilkan konfigurasi kekuasaan , yang menghasilkan kebijakan distribusi


yang ditujukan pada masyarakat berupa distribusi kesejahteraan , kekayaaan , dan
sebagainya . Rentetan aksi media massa sepanjang akhir 1980-an dan awal 1990-an
menunjukkan kenaikkan yang luar biasa oleh mahasiswa maupun unjuk rasa buruh .
Dengan demikiam , pada tataran ini, gerakan mahasiswa di tengah perdebatan wacana
maupun teknis sudah menmcapai konfigurasi tertentu Kesadaran untuk
mensosialisasikan bahwa perlawanan merupakan milik semua elemen rakyat yang
tertindas sudah mendapat tempat , meskipun masih diperlukan kesabaran .

Kembali ke persoalan jaringan yang dibangun oleh aktivis gerakan era 1990-an ,
meskipun terdapat pro dan kontra di antara para aktivis untuk mempersatukan elemen
gerakan dalam satu wadah , namun masing-masing pihak menyadari bahwa apa yang
dihadapi (negara ) telah memberlakukan suatu sistem yang secara halus dan efektif telah
mengikat mulai dari unsur terkecil hingga terbesar dalam maasyarakat . Melibatkan diri
dalam kerja-kerja berbasis kerakyatan dengan pendekatan yang berbeda otomatis harus
dilakukan . Selain itu , konteks geografis pun mendukung untuk melakukan kerja-kerja
politik lintas sektoral , sebagaimana FKMY , Bakor , BKMB , FKMS merupakan suatu
model . Percobaan untuk mengorganisir diri dalam bentuk kordinasi sektoral tersebut
kemudian meningkat dengan membentuk jaringan antar kota semacam pada 1993 yaitu
FAMI , bahkan SMID (1994 ) yang mempunyai perspektif nasional .

Perkembangan komite-komite aksi ini , demikian umumnya aktivis gerakan mahasiswa


menamakan komunitasnya , mengalami pertumbuhan yang luar biasa antara akhir 1980-
an dan awal 1990-an . Komite-komite aksi tersebut diberi nama sesuai dengan isu politik
yang diangkat . Hal ini pun menjadikan gerakan mahasiswa 1990-an mempunyai
karakteristik lain , yaitu bentuk kerjasama yang dilakukan merupakan alinasi dengan
kelompok-kelompok marjinal seperti buruh , petani , kaum miskin kota dan lain-lain .
Bagi aktivis yang setuju dengan aliansi dengan kelompok-kelompok marjinal , hal itu
merupakan refleksi dan re-evaluasi terahadap gerakan mahasiswa 1980-an , yang
dianggap masih elitis , tidak bersentuhan dengan kelompok-kelomppok rakyat .
Mahasiswa tidak sekedar mengakomodasi buruh , tetapi juga mencoba untuk terlibat
dalam problem yang dihadapi dengan persoalan pabrik , UMR , cuti hamil , dengan cara
live in atau tinggal bersama mereka .

Pluralisasi gerekan sementara itu tetap merupakan fenomena yang umum ditemui ,
meskipun untuk isu-isu tertentu terjadi koalisi . Konsep yang lebih praksis daripada
gerakan mahasiswa era 1990-an pun lebih baik dialami oleh pendahulunya . Sedangkan
periode sebelumnya pokoknya ide-ide yang transformatif , seringkali sulit untuk
dikembangkan di tingkat konsep .

Perdebatan mengenai tepat tidaknya suatu konsep diterapkan dalam konteks gerakan ,
dan kemana arah gerakan hendak menuju dapat dijumpai dalam diskusi yang membahas
persoalan format baru gerakan mahasiswa . Permusunan acuan dan sasaran gerakan harus
dibangun dengan jelas , agar tercipta kesinambungan yang konseptual . Dari upaya untuk
merumuskan acuan dan sasaran tersebut maka demontrasi harus diletakkan sebagai
alternatif terakhir , dengan tujuan mengefektifkan gerakan itu sendiri .

30
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

Platform gerakan mahasiswa periode 1990-an dapat dilepaskan dari kondisi obyektif
wacana yang berlangsung di masyarakat itu sendiri . Apakah ia menuju suatu bentuk
gerakan kultural, yang memilih untuk melakukan aksi-aksi pemberdayaan politik ataukah
sekaligus dengan melakukan pendidikan politik . Ada yang menempatkan dirinya sebagai
elemen yang jelas-jelas menemukan nasib serupa dengan apa yang dialami oleh rakyat ,
tertindas , atau menempatkan diri sebagai elemen yang berhutang pada rakyat karena
menempuh pendidikan tinggi dengan fasilitas yang harus dibiayai oleh pajak rakyat ;
sehingga sebagai elemen rakyat hutang tersebut harus dibayar .

George Aditjondro sempat menyoroti kelemahan gerakan mahasiswa dalam suatu forum
diskusi , dalam konteks gerakan mahasiswa 1980-an , mengapa mahasiswa menjadikan
masyarakat korban pembangunan sebagai obyek dan bukan sebagai subyek yang sama-
sama ikut memperjuangkan nasibnya dengan mahasiswa. Pergeseran peran mahasiswa
dan rakyat ini menjadi penting sebab mahasiswa sendiri faktanya adalah bagian dari
pelaku pendidikan politik untuk rakyat . Di sisi lain , karena kekuatan riil mahasiswa
hanya mahasiswa hanya sebagain kecil dibandingkan dengan kekuatan rakyat , maka
perubahan yang paling efektif adalah yang dilakukan oleh rakyat sendiri . Tugas
mahasiswa adalah menumbuhkan kesadaran mereka, kesadaran berpikir bahwa
sebenarnya : kita ditindas .

Relevan dengan kerangka pemikiran yang disodorkan oleh forum diskusi dalam edisi
khusus majalah Hayamwuruk tersebut , menarik untuk menyimak pendapat aktivis
KMPD yang menolak keharusan mahasiswa untuk beraliansi dengan rakyat , disebabkan
oleh redefinisi yang dilakukannya terhadap gerakan rakyat dalam peta politik OB
menghasilkan kesimpulan bahwa gerakan rakyat dalam peta politik PB menghasilkan
kesimpulan bahwa gerakan rakyat bukanlah gerakan yang kuat untuk perubahan struktur
di Indonesia . Represifitas OB terhadap apapun wujud aliansi dengan berbekal
pengalaman historis agaknya membuat alternatif untuk melakukan aliansi dengan militer
atau elite politik lainnya menjadi penting . Perdebatan soal harus melakukan aliansi
dengan siapa memang tidak terlepas dari platform gerakan mahasiswa .

Kegamangan aktivis mahasiswa untuk terjun ke sektor rakyat yang dicoba dijawab
dengan kasus yang dibawakan aktivis buruh sekaligus aktivis mahasiswa , bahwa buruh
di pabrik tekstil Batamtex awalnya tidak berani bergerak bahkan untuk melapor ke LBH .
Setelah didampingi mahasiswa harus berani . Ini terjadi pada awal 1990-an , dan aktivis
menyebutnya sebagai awal dari gerakan kultur yang ditransformasikan kepada mereka .
Parameter keberhasilan pendekatan kultural yang dilakukan mahadsiswa. Jelasnya , bisa
dilihat jika buruh Pabrik Batamtex kemudian turun ke jalan lagi tanpa harus disertai
mahasiswa.

Pemahaman terhadap tranformasi penyadaran politik nasional sebagai alternatif baru


yang sebaiknya ditempuh aktivis gerakan untuk membangun aliansi dengan rakyat di
tingkat pkrasis juga mengalami benturan-benturan . Hal ini dijelaskan oleh aktivis
gerakan mahasiswa pada pertengahan 1990-an , yang baru saja mengalami perlakuan

31
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

represif aparat terhadap komunitas gerakannya , bahwa gerakan mahasiswa 1990-an tidak
perlu lagi set back ke periode 1980-ann , sebab terlalu banyak menghabiskan energi . Apa
yang bisa disepakati dari generasi terdahulu adalah gerakan mahasiswa itiu gerakan
perubahan , gerakan bersama rakyat , sehingga ytang dibutuhkan adalah paradigma
transformasi yang akan mensosialisasikan kesadaran politik mahasiswa ke dalam segmen
masyarakat secara luas . Dalam paradigma baru ini, buruh , tani kaum miskin kota ,
bukan lagi kekuasaan tunggal , melainkan secara pasti semua lapisan masyarakat harus
diorganisir sebagai kekuatan pengubah .( Gayatri , 199 : 1103 – 113 )

Ketika pro-demokrasi ingin dibungkam

Kerusuhan 27 Juli 1996 digunakan oleh rejim Orde Baru untuk pembersihan gerakan
oposisi yang pro-demokrasi di Indonesia . Perburuan besar-besaran ini ditujukan untuk
mematikan seluruh elemen kelompok-kelompok yang terus menerus menyatakan kritik
dan melawan rejim OB secara terbuka . Dengan memberikan stigma “ neo-PKI “ ,
menguatkan kembali mitos “ bahaya merah :, rejim OB bermaksud melumpuhkan kekuat
an-kekuatan yang potensial untuk merongrong rejim staus quo .

Partai Rakyat Demokratik (PRD ) dan organisasi massa affiliasi politiknya – Solidaritas
Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi ( SMID ), Pusat Perjuangan Buruh Indonesia
(PPBI) , Jaringan Kerja Kesenian Rakyat ( Jakker ) , dan Serikat Tani Nasional (STN) –
adalah target utama . Selain tuduhan komunis pada kelompok ini , PRD dituduh sebagai
dalang kerusuhan 27 Juli 1996 – yang kemudian tidak pernah terbukti di pengadilan .
Tuduhan-tuduhan itu sudah menjadi lemah ketika Komnas HAM mengumumkan tiga
unsur penyebab kerusuhan 27 Juli 1996 , yakni : pertama , unsur yang bertikai
( kelompok Soerjadi dan Megawati ); kedua , unsur pemerintah dan aparat keamanan ;
dan ketiga ; unsur masyarakat .Perburuan , penangkapan dan “pembersihan “ dilakukan
terutama di Jakarta , di Yogyakarta , Semarang , Solo dan Surabaya . Menurut laporan
Human Rights Watch sebanyak 75 orang ditangkap dan diinterogasi . Sebagian besar
dilepaskan kembali kecuali 13 aktivis pimpinan dan kader PRD yang kemudian
dihadapkan ke pengadilan rekayasa OB . Pada bulan April 1997 , vonis sudah dijatuhkan
untuk ke 13 aktivis yang berkisar antara 1,5 hingga 13 tahun mendekam dalam penjara
sebagai ganjaran atas pikiran kiri, sikap kritis , dan tindakan mereka .

Para aktivis dari berbagai kelompok gerakan mahasiswa semacam DMPY ( Dewan
Mahasiswa dan Pemuda Yogyakarta ) , Kelompok Studi Rode ( Yogyakarta ) , PIJAR
( Jakarta ) , Aliansi Rakyat Sumatra untuk Demokrasi ( Medan ) yang semuanya bukan
aktivis PRD , juga mendapat tekanan dalam bentuk intimidasi , penjemputan , interogasi.
Beberapa di antaranya mengaku dipaksa mengaku sebagai anggota PRD . Interogasi dan
intimidasi politik dilakukan pula terhadap sejumlah tokoh politik Megawati
Soekarnoputri dan pemimpin PDI lainnya , serta tokoh-tokoh lain seperti paranormal
Permadi SH , Sri Bintang Pamungkas ( Partai Uni Demokrasi Indonesia ) , Muchtar
Pakpakhan ( Serikat Buruh Sejahtera Indonesia ) , Ridwan Saidi ( Ketua Majelis Amanat
Rakyat Indonesia ) dan lain-lain .

32
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

Tindakan respresif, stigma komunisme dan wacana anti gerakan demokrasi oleh rejim
OB dan organisasi korporatis yang mendukungnya memberikan pukulan telak bagi
kalangan pro-demokrasi pada umumnya . Majalah Detektif dan Romantika , Edisi 2
Agustus 1997 melaporkan bahwa pada bulan –bulan pertama setelah insiden itu sebagian
besar aktivis nersembunyi atau setidaknya menghindar dari penampakan umum . Apalagi
ketika perburuan terhadap Budiman Sudjatmiko , dkk , masih berlangsung . Akibatnya
kegiatan LSM kritis umunya terhenti . Markas mereka itutup . Demontrasi-demontrasi
yang beberapa tahun belakangan ini marak kini hampir tidak ada . Yang masih
melakukannya hanya buruh beberapa pabrik yang menuntut kenaikan upah .

Apakah manuver rejim OB pasca 27 Juli itu berhasil mematikan gerakan mahasiswa pro-
demokrasi ? Sebenarnya para aktivius tak sekedar “tiarap” , mereka juga
melakukan“konsolidasi “ PRD sendiri tidak mati . Aktivis PRD yang tidak terungkap
tetap menjalankan organisasi di bawah tanah . Di tingkat pusat organisasi PRD tetap
mengaktifkan KPP ( Komite Pimpinan Pusat ) untuk menjalankan operasional sehari-
harrti partai . Di tingkat daerah , diaktifkan Komite Pimpinan Kota . Kepemimpinan
Budiman dan Garda masih diakui Andi Arief , Ketua Umum SMID , menegaskan , “
kami siap dipimpin Budiman dari dalam penjara .”

Meskipun KPP PRD sudah berusaha mempertahankan kegiatan operasional organisasi


dan para kader PRD di daerah-daerah sudah mengusahakan terbentuknya komite-momite
baru . PRD belum bisa pulih sebelum 27 Juli 1996 . Banyak simpul-simpul massa non-
mahasiswa seperti buruh dan kaum miskin kota, yang berantakan . Kader-kadernya sulit
dilacak untuk sementara waktu . Namun dari upaya-upaya itu terlihat bahwa disiplin ,
kemampuan survival politik PRD terbukti tinggi , setidaknya di kalangan kader
mahasiswa . Prinsip unity of command dan unity of action tetap bisa dijalankan secara
konsisten .

Penumpasan barisan pro-demokrasi , khususnya elemen mahasiswa yang sebagian


dimotori oleh PRD , oleh rejim Soeharto hanya efektif untuk menyebarkan ketakutan
dalam jangka waktu yang pendek . Selama semester kedua 1966 , masih muncul
sedikitnya 36 aksi demontrasi di 11 kota – tidak termasuk demontrasi yang direkayasa
oleh rejim untuk menyudutkan PRD . Sebagian besar terjadi di Jakarta, Bandung , dan
Yogyakarta . Di Semarang aksi solidaritas dan menentang pemberitaan sepihak oleh pers
mengenai peristiwa 27 Juli 1996 dilakukan oleh AMS ( Aliansi Mahasiswa Semarang )
pada 2 Agustus 1996 - hanya 6 hari setelah peristiwa “ Sabtu Kelabu “ . Beberapa aksi
yang menyangkut isu 27 Juli 1996 dan isu politik sensitif lainnya mendapatkan represi
yang keras , baik yang langsung dilakukan oleh aparat keamanan maupun oleh preman-
preman binaan OB .

Kelompok gerakan mahasiswa di luar garis politik PRD yang juga militan , kritis dan
memiliki jaringan nasional ( terutama jaringan Jawa dan Bali yang pada akhir 1998
menjadi FPPI ) masih terus aktif pula dalam kerja-kerja politik dan konsolidasi ,
meskipun aksi demonya banyak berkurang sejak peristiwa 27 Juli 1996 . Kelompok ini
terutama yang berbasis di Yogyakarta – terus berhubungan satu sama lain , membuat

33
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

pendidikan politik bagi aktivis barunya, melakukan kajian-kajian atau situasi nasional
mutkhir , dan sesekali memanfaatkan momentum untuk melakukan aksi-kasi demontrasi .
Aksi-aksi ini diperlukan oleh kelompok-kelompok gerakan untuk political exercise dan
tetap menjaga solidaritas kelompok serta menjaga agar api lilin pergerakan tetap
menyala dan siap membesar ketika momentum yang diperlukan sudah datang .

Memasuki 1997 , frekuensi demontrasi di berbagai kota ternyata semakin meingkat .


Tercatat setidaknya terjadi 154 demontrasi mahasiswa . Demonstrasi terbanyak dan
terbesar dalam kurun waktu itu terjadi di Yogyakarta 67 kali demonmtrasi . Di Jakarta
hanya terjadi 19 kali . Isu terbanyak yang diangkat oleh para mahasiswa adalah isu politik
nasional sebanyak 48 kali dan isu-insu internal kampus 30 kali . Isu politik nasional yang
mengemuka pada tahun itu adalah penolakan mahadsiswa terhadap Pemilihan Umum
1977 . Untuk isu keadilan sosial (31) kali yang menonjol adalah solidaritas untuk korban
kelaparan di Irian Jaya, dan untuk isu hak asasi manusias (26 kali ) adalah [enegakkan
hak asasi manusia dan anti kekerasan . Aktivis mahasiswa Yogyakarta tampak menonjol
dalam mengangkat isu-isu sensitive yang strategis dan berskala nasional . Tampaknya
kota-kota lain sesekali muncul dan kelihatan masih menahan diri akibat trauma 27 Juli
1996

Tahun 1997 ditutup dengan aksi peringatan HAM semesta 10 Desember secara serentak
stidaknya di 7 kota : Jakarta , Yogyakarta , Bandung , Purwokerto , Solo , Seamarang ,
dan Surabaya . Tema anti kekerasan militer terhadap rakyat menjadi isu focus, sedangkan
Komite yang merupakan mantel PRD , selain mengangkat isu HAM , tetap konsisten
mencantumkan tuntutan penghapusan dwifungsi ABRI dan paket 5 UU politik . Hingga
akhir 1997 kelompok mahasiswa yang bergerak hanya berkisar pada kelompok-kelompok
aktivis mahasiswa di kota-kota “tradisional “ Munculnya FKSMIB dalam isu “goltus “
dan FAMU ( Forum Aktivis Mahasiswa Uninsba ) dalam mengangkat isu HAM belum
bisa menunjukkan adanya kemajuan yang berarti dalam perluasan arena dan pelaku
gerakan . Gerakan Mahasiswa masih menjalani proses yang melingkar karena belum ada
suatu momentum ekonomi maupun politik yang menyuburkan upaya :intensifikasi “ dan
“ ekstenfikasi “ perlawanan :.

Memasuki tahun baru 1998 , aksi-aksi demo milai marak lagi –tercatat 31 aksi selama
Januari – di Solo , Jakarta . Bandarlampung , Bandung , dan Yogyakarta , dengan
membawa tiga isu penting : penolakan pencalonan kembali Soeharto (16 kasus ) ,
turunkan harga ( 7 kasus ) , dan Megawati for President ( 3 kasus ) , cabut paket 5 UU
politik dan dwifungsi ABRI masing-masing 2 kasus . . Pada bulan ini aksi yang dimotori
oleh komite mahasiswa hanya ada 7 kelompok . Selebihnya aksi-aksi dimotori oleh LSM-
LSM , ormas mahasiswa ( kelompok Cipayung ) ,, kelompok professional , serikat buruh
(SBSI) , keluarga Fatmawati , pendukung Megawati dan lain-lain .

Selain isu tolak Soeharto , kelompok aktivis mahasiswa GAOB ( Gerakan Anti Orde
Baru ) di Lampung dan di Solo masih konsisten menyoal dwifungsi ABRI dan paket 5
UU politik , selain menuntut turunnya harga-harga , Di Jakarta demo ratusan mahasiswa
IKIP Negeri Jakarta di kampus pada 19 Januari 1998 juga menolak Soeharto . Kelompok
kampus lainnya , mahasiswa IPB misalnya, sibuk dengan isu lokal di kotanya . Demo dan

34
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

pernyataan anti Soeharto juga diangkat oleh kelompok non-mahasiswa . Kelompok


Cipayung ( munus HMI Dipo ) . HMI MPO , dan aliansi LSM . Dari kalangan ilmuwan
dan Pegawai Negeri Sipil , 19 peneliti LIPI membuat pernyataan politik menolak
Soeharto .

Isu anti Soeharto pada awal 1998 ini sudah mengemuka namun belum merata secara
nasional . Aksi menolak Soeharto belum melibatkan masa yang besar . Aksi di Solo
memang mampu mengerahkan masasa dua ribuan namun isnya lokal dan lokasinya
bukan di Jakarta sehingga tidak mendapatkan liuputan secara nasional dan tidak
menimbulkan efek politik yang signifikan . Kelompok pelaku anti Soeharto pun masih
berasal dari kelompok yang memang dikenal secara politis kritis , seperti kelompok
LSM , Cipayung (min HMI ) , dan MPO HMI sehingga dianggap “biasa “ . Sementara itu
pihak media massa pun masih berhati-hati dalam menganngkat “ RI satu “ ini di –blow
up dan belum meluas ( Widjojo , 1999 : 143 – 155 )

Keruntuhan Orde Baru

Keresahan masyarakat atas melangitnya harga-harga sembilan bahan kebutuhan pokok


( sembako ) dan ancaman putus kuliah serta masa depan yang suram di kalangan
mayoritas mahasiswa, menjadi faktor pengerak tersendiri bagi kalangan kampus –
mahasiswa dan civitas academica untuk menyatakan keprhatinannya . Aksi mimbar bebas
dan keprihatinan di kampus menyeruhkan tuntutan penurunan harga-harga barang ,
terutama sembako , diikuti oleh tuntutan yang berkaitan dengan krisis ekonomi lainnya
yakni agar penimbnan barang ditindak , agar masalah penggangguran yang semakin luas
ditangani , dan tuntutan agar kebijakan ekonomi lebih berpihak pada kepentingan
mayoritas .rakyat .

Peran kelompok mahasiswa bersama dengan civitas academica ditandai oleh aksi mimbar
bebas yang terjadi di kampus UI Salemba Jakarta pada 25 Februari 1998. Mahasiswa UI
bergabung dengan Ikatan Alumni UI (ILUNI UI ) yang dipimpin oleh Irjen Kehutanan
Mayjen (Purn) Hardiadi Darmawan , didukung oleh mantan Rektor UI Prof Dr Mahar
Mardjono , guru besar UI termasuk Prof. Dr.Selp Soemardjan dan Prof Dr. Emil Salim ,
membuat aksi keprihatinan menuntut pemerintah mengatasi berbagai krisis yang sedang
melanda bangsa Indonesia . Mimbar kampus ini ditutup dengan tindakan simbolis
mahasiswa UI menutup tulisan “ kampus perjuangan Orde Bari “ yang terpampang pada
balibo besar yang dipajang di depan kampus UI . “ Salemba Datang di Kampus
Perjuangan Orde Baru .” Peristiwa ini secara simbolis menandai mahasiswa dan civitas
academika UI yang mengurangi dukungnya terhadap rejim OB .

Gejala baru yang menarik adalah meluasnya keterlibatan kalangan civitas academica atau
pun birokrat kampus dalam aksi-aksi mahasiswa . Peristiwa mimbar bebas UI tersebut
menandai suatu era baru hubungan politik antara mahasiswa dan civitas academica .
Keterlibatan warga kampus dalam aksi-aksi demo mahasiswa tidak pernah terjadi dalam
kurun waktu sebelumnya . Dukungan para pimpinan perguruan tinggi yang besar
misalnya dari Rektor Unibraw , Unair , UI dan Purek III Unhas terhadap aksi mahasiswa

35
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

bahkan diungkapkan secara terbuka . Keterlibatan para alumni , staf pengajar , dan guru
besar UI dalam mimbar mahasiswa mengakhiri suatu ketegangan mahasiswa –birokrat
kampus yang selama OB memang selalu dipertahankan .

Para birokrat kampus pada jaman OB lebih bersikap sebagai aparat respresif
perpanjangan tangan rejim . Pimpinan kampus di era OB , terutama pimpinan perguruan
–perguruan tinggi negeri , lebih berperan sebagai pelayan kepentingan rejim OB dalam
menjaga kontrol dan kelanggengan kebijakan depolitasasi mahasiswa . Tidak sedikit
aktivis mahasiswa , melalui para pimpinan kampus, mendapatkan sanksi akademis atas
keterlibatannya dalam aksi politik menentang OB . Pada tingkat yang ekstrem , pimpinan
kampus tidak segan-segan memecat mahasiswa yang dinilai terlalu “politik “ . Jangankan
hadir dalam aksi unjuk rasa mahasiswa , memberikan ijin untuk penggunaan sarana
kampus pun tidak akan dilakukan . Hanya satu dua rektor di negeri ini yang dulu toleran
terhadap perilaku kritis mahasiswa terhadap rejim OB .

Model aliansi mahasiswa dan civitas academica ini menular ke berbagai kampus
terkemuka di Indonesia . Pada 3 Maret 1998 mahasiswa dan civitas academica
Universitas Udayana , Denpasar , melibatkan lima ratusan massa mahasiswa ,
menyelenggarakan mimbar mambas keprihantinan dan aksi anti kekerasan . Setelah itu
berturut-turut aksi mimbar bebas mahasiswa civitas academica muncul di kampus-
kampus seperti pada 5 Maret 1998 di Unair Surabaya , pada 6 Maret 1998 di Universitas
Yarsi Jakarta, pada 7 Maret 1998 Universitas Padjajaran Bandung dan pada 9 Maret 1998
di Universitas Pasundan , pada 9 Maret 1998 di Undip Semarang , di UNS Solo , pada 10
Maret 1998 di Unila Lampung dan di Universitas Islam Indonesia Yogyakarta dan pada
11 Maret 1998 di UGM . Aksi unjuk rasa di beberapa kampus , misalnya di Unibraw ( 11
Maret 1998 ) dan di Universitas Pancasila ( 17 Maret 1998 ) , bahkan dipimpin oleh
rektornya sendiri . Pada kurun Maret 1998 terdapat setidaknya 15 aksi yang terjadi di 10
kota melibatkan dosen , guru besar , dan pejabat dekanat serta pejabat rektorat .

Terdapat kesan umum , baik yang muncul di media massa maupun di kalangan aktivis “
resmi “ , bahwa tampilnya mahasiswa dan civitas academica UI berpengaruh besar
hingga menulari mahasiswa dan civitas academica perguruan tinggi lain untuk ikut ambil
bagian dalam aksi keprihatinan krisis ekonomi dan politik serta menuntut reformasi .
Data lapangan memang menunjukkan bahwa kemunculan aksi mahasiswa dan civitas
academica UI pada akhir Februari , diikuti dengan aksi dengan pola serupa di kampus –
kampus lain . Di sini terlihat bahwa mitos “angkatan 66 “ yang diantaranya menempatkan
UI sebagai pelopor masih dianut oleh terutama kalangan kampus dan media massa .
Terdapat pameo yang sering diucapkan ,” kalau UI bergerak berarti negara dalam
keadaan genting .” Cara pandang mitis ini pula yang menjelaskan mengapa gejala baru
demo mahasiswa di kalangan kampus inilah yang dilihat oleh Forum Keadilan sebagai
tanda kebangkitan gerakan mahasiswa setelah lelap “tertidur “ selama 20 tahun . Forum
mengatakan bahwa ,” Unjuk rasa terakhir yang masih teringiang dalam catatan sejarah
dilakukan oleh para mahasiswa pada 1978 .”

Jadi oleh Forum Keadilan munculnya kelompok studi mahasiswa , pers mahasiswa
alternatif , lalu kelompok “ parlemen jalanan “ di era 80-an dan disusul oleh bangkitnya

36
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

mahasiswa dalam gerakan politik yang lebih solid dan terorganisir serta jelas dalam
ideologi dan program-program politiknya yang termanifestasi dalam SMID dan PRD
dianggap “ nukan “ atau “ belum “ merupakan gerakan mahasiswa . Padahal format
gerakan mahasiswa baik dalam struktur komite , isu-isu politik , pola aksi , slogan-
slogan perlawanan yang muncul selama 1998 , adalah hasil dari proses penjang sejak
1980-an hingga akhir 1990-an . Kemunculan aktivis-aktivis handal dalam APR
( Surabaya ), Forkot ( Jakarta ) , Famred ( Jakarta ) , SMPR ( Solo ) , PPY dan KPRP
( Yogyakarta ) , FAMPR ( Purwokertyo ) , atau KMPPRI ( Lampung ) adalah hasil
dilaktika dari gerakan mahasiswa sebelumnya . Format dan isi perlawanan aktivis
mahasiswa terhadap rejim OB sejak 1989 pada era FKMY ( Yogya karta ) , BKMJ
( Jakarta ) , atau FKMS ( Surabaya ) hingga PPY , FIMB , KPMB , dan PRD-lah menjadi
subtansi gerakan mahasiswa yang muncul pada 1998 . Tampak di sini Forum masih
mendefinisikan gerakan mahasiswa sebagai gerakan moral .( Widjojo, 1999 : 159 – 162 )

Di saat Sidang Umum MPR 1998 , terjadi aksi demo mahasiswa diwarnai oleh sikap dan
teriakan-teriakan yang menolak pidato pertanggungjawaban Soeharto di ITS sejak 6
Maret , di Jakarta pada 9 Maret yang diadakan di kampus masing-masing : UI Depok ,
ISTN , Univ. Atmajaya , UKI , Universitas Gunadarma , Univ. Jayaabaya, IISIP , Unas
dan Universitas Islam Jakarta . Alasan penolakannya dikarenakan Presiden Soeharto di
dalam pidato pertanggung jawabannya di MPR tidak menyinggung apa yang menjadi
penyebab krisis moneter dan bagimana upaya –upaya kongkrit untuk mengatasinya .

Setelah usai Sidang Umum , bermunculan isu dengan tidak kredibelnya kabinet
Pembangunan VII karena dinilai sarat dengan nepotiosme dan koncoisme . Penunjukkan
menteri-menttri yang diikenal sebagai orang-orang dekat dengan Siti Hardiyanti
Rukmana ( Tutut ) seperti R . Hartono , Subiyakto Cakrawerdaya , dan sebagainya makin
menunjukkan ketidakprofesionalan kabinet ini . Apalagi kehadiran Bob Hasan dan Tiutut
sendiri termasuk di dalamnya . Ketidakprofesionalan kabinet ini makin terlihat dari
tindakan-tindakan dan pernyataan yang dikemukakan seperti : Proyek Nasi Bungkus
( Tutut ) , “ Monopoli iti boleh saja “ ( Bob Hasan ) , “ Kita reformasi sejak 1945 “
( Hartono ) . Hal yang paling menyakitkan mahasiswa adalah ditunjuknya mantan rektor
ITB Wiranto Arismunandar – yang dikenal bertangan besi dalam menghadapi gerakan
mahasiswa ITB dulu sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan .

Ada kejenuhan mahasiswa dalam aksi dalam kampus . Keinginan untuk berdemontrasi di
luar kampus sudah tentu memicu bentrokan dengan aparat keamanan . Ini terjadi di
banyak kampus yang diawali di Universitas Sebelas Maret Solo pada tanggal 3 Maret
yang mengakibatkan 25 orang mahasiswa luka parah . Di kalangan orang Jawa ada yang
percaya bila sesuatu kekerasan dimulai di Solo , diramalkan akan terjadi tragedi yang
dahsyat “. Kemudian diikuti antara lain di ITB, di Semarang , Denpasar , IAIN Bandung ,
IKIP Jakarta , Unisma Malang , Universitas Brawijaya , Institut Teknologi Medan dan
Universitas Sahid , Jakarta . Sementara di kampus-kampus di luar Jawa seperti di Ujung
Pandang kegiatan demontrasi dan long march di Jakarta yang diikuti sekitar 10.000
massa yang terdiri dari mahasiswa , pelajar dan warga masyarakat yang diawali dari
kampus ISRN , diikuti oleh mahasiswa APP , IISIP , UPN Veteran , Univ Pancasila
melintasi stasiun Lenteng Agung hingga melewati kampus IISIP. Aksi-aksi ini pada

37
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

gilirannya menimbulkan hal yang lebih jauh yaitu mengenai pelanggaran HAM dan sikap
represif ABRI terhadap gerakan mahasiswa seperti dalam peristiwa Solo dan Lampung
Berdarah .

Salah satu demontrasi mahasiswa terbesar terjadi di kampus Universitas Sumatra Utara
(USU) Medan yang menyebabkan diliburkannya kampus dari kegiatan akademik sejak 29
April hingga 7 Mei 1998 . Aksi ini sempat disebut sebagai aksi yang paling bringas yang
melibatkan aksi saling melempar batu antara mahasiswa dan aparat , penembakan gas air
mata , pembakaran 2 motor aparat keamanan dan sebagainya . Meninggalnya Moses
Gatotkaca mahasiswa Universitas Sanata Dharma Yogyakarta pada tanggal 8 Mei 1998
semakin meningkatkan militansi mahasiswa di berbagai perguruan tinggi khususnya di
Yogyakarta dan Jawa Tengah .

Isu-isu yang muncul adalah mengenai dialog yang diprakarsai oleh ABRI dan peristiwa
penculikan para aktivis . Sebagian besar mahasiswa dari perguruan tinggi yang telah
mapan seperti UGM ,UI,IKIP Bandung , IAIN dan Unpad tidak hadir pada dialog antara
mahasiswa dengan ABRI pada tanggal 18 April di PRJ Kemayoran Jakarta . Pengalaman
sebelumnya memperlihatkan bahwa dialog dengan ABRI tidak akan menylesaikan
masalah seperti telah terjadi di Bengkulu yang ditandai dengan aksi walk out para
mahasiswa . Beberapa alasan penting kepa mahasiswa menolak : pertama , ABRI selama
ini adalah alat dari kekuasaan Orde Baru sementara sebagian besar mahasiswa di
Indonesia telah menolak dan menganggap bahwa Orde Baru telah kehilangan
kredibilitasnya untuk memimpin negara . Jika mereka melakukan dialog berarti mereka
masih mengakui adanya Orde Baru . Sehingga dialog yang mereka inginkan hanya
dengan pemimpin Orde Baru ( Soeharto ) untuk disuruh ,mengundurkan diri .

Alasan kedua lebih moderat yakni ABRI adalah instrumen negara di mana selama ini
selalu tunduk dan patuh kepada atasannya – presiden Soeharto selaku panglima tertinggi
ABRI .Mahasiswa berkeyakinan bahwa ABRI tidak akan mungkin dapat menindak
lanjuti keinginan masyakat yang disuarakan oleh mahasiswa jika hasil dari dialog
tersebut akan menyinggung perasaan majikannya . Kesimpulannya mereka menganggap
dialog itu tidak akan obyektif . Sehingga tidak ada gunanya berbicara dengan pembantu .

Sementara mahasiswa yang melakukan dialog seperti HMI , memandang dialog dengan
ABRI melalui kacamata yang berbaik sangka dan beranggapan bahwa dialog merupakan
salah satu bentuk dari demokrasi . HMI mencoba dialog sendiri dengan ABRI yang
diselenggarakan di Taman Mini Indonesia Indah (TMII ) pada 21 April 1998 . Acara
dibuka oleh Wakil Presiden Habibie dan diwarnai pula oleh aksi walk out . Karena
pemerintah yang diwaliki saat ini oleh Mendagri R Hartono mengecewakan para
mahasiswa .

Mendekati insiden Trisakti 12 Mei 1998 mahasiswa melontarkan isu lebih jauh kagi
yaitu pembubaran Kabinet karena dianggap tidak dapat menyelesaikan Krisis Moneter
serta menuntut dilakukannya . Sidang Istimewa MPR . Hal ini dkarenakan pemerintah ke

38
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

lihatannya belum serius untuk menangani krisis yang berkepanjangan ini. Tindakan
represif yang dilakukan pemerintah malah hanya memperburuk situasi dan memperteguh
perlawanan .

Peristiwa Insiden Trisakti tangga; 12 Mei 1998 di mana aparat pemerintah menembak
mati 4 mahasiswa yang sedang berada di halaman kampus . Peristiwa ini
membangkitkan kesadaran dariu semua tipe mahasiswa . Peristiwa ini diyakini sebagai
katalisator gerakan mahasiswa . Keberagaman isu penting yang diteriakkan selama ini
mengkristal ke satu arah yaitu pada figure Presiden Soeharto . Tema utama adalah
tuntutan agar Soeharto turun dari jabatan presiden disertai meminta
pertanggungjawabannya mengenai bencana yang menimpa bangsa Indonesia dalam
Sidang Umum Istimewa MPR , dan pelaksanaan pemilu untuk memilih anggota MPR ,
kemudian meminta MPR untuk membentuk pemerintahan transisi .( Adnan , 1999: 143 –
149 )

Dalam menjawab tututan reformasi , pada 16 Mei , pimpinan DPR bertemu Presiden
Soeharto . Dan dinyatakan mengenai rencana Soeharto me-reshuflle kabinet sebagai
jawaban atas aspirasi mahasiswa , dan untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat .
Soeharto berencana membentuk kabinet yang bersih dari penyakit KKN ( Korupsi ,
Kolusi dan Nepotisme ).

Mahasiswa menolak rencana tersebut . Tidak puas dengan rencana presiden tersebut ,
pada 18 Mei , mahasiswa dari berbagai penjuru mengerahkan kekuatan menduduki
gedung DPR/MPR . Sementara gelombang mahasiswa kian membesar , sebagian dari
wakil mereka melakukan dialog dengan fraksi-fraksi di DPR . Dalam dialog itu ,
pimpinan mahasiswa menyampaikan tuntutan segera dilakukan Sidang Istimewa MPR
dan pencabutan mandat MPR kepada Presiden Soeharto . Kesimpulan dialog ini
dievaluasi dan kemudian menjadi pegangan pimpinan DPR .

Pimpinan DPR memutuskan untuk mengambil sikap tegak. Maka , di bawah tekanan
yang kian tumpah ruah di gedung lembaga perwakilan tersebut , akhirnya pada 18 Mei
itu, keluarlah pernyataan pimpinan DPR yang meminta Soeharto secara arif
mengundurkan diri . Pernyataan pimpinan DPR/MPR disampaikan oleh Ketuanya,
Harmoko , disamping wakil-wakil ketuanya yaitu Syarwan Hamid (F-ABRI ) , Ismail
Hasan Metarum (F-PP ), Fatimah Achmad (F-PDI) dan Abdul Gafur ( F-KP) .

Empat setengah jam kemudian terhadap pernyataan pimpinan DPR di atas , di tengah
suasana yang mencekam ,melalui konferensi pers justru Panglima ABRI Jendral Wiranto
mengeluarkan tanggapan yang bernada kontra-produktif . Wiranto mengemuakan sikap
ABRI antara lain bahwa pernyataan pimpinan DPR agar Presiden Soeharto
mengundurkan diri , merupakan sikap dan pendapat individual , meskipun disampaikan
secara kolektif . Sesuai dengan konsitusi, menurut ABRI , pendapat pimpinan DPR tidak
memiliki ketetapan hukum karena seharusnya terlebih dahulu mendapat dukungan
seluruh anggota dewan melalui Sidang Paripurna DPR .

39
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

ABRI justru berpendapat , menurut Wiranto , tugas dan keawajiban mendesak


pemerintah yang menjadi tanggung jawab mendesak Presiden adalah reshuffle kabinet ,
melaksanakan reformasi secara menyeluruh , dan mengenai krisis . Ini penting dilakukan,
agar bangsa Indonesia segera dapat keluar dari krisis ini . Agar reformasi yang dilakukan
dapat berjalan dengan baik , ABRI, karena itu menyarankan agar dibentuk Dewan
Reformasi yang beranggotakan unsur pemerintah dan masyarakat , terutama kampus dan
tokoh-tokoh kritis . Dewan ini akan berdampingan dengan DPR dan bekerja sama secara
internal . Kesimpulannya , ABRI menolak tuntutan pengunduran diri Presiden Soeharto .

Pernyatan Panglima ABRI Jendral Wiranto itu, dikeluarkan , setelah ia mengikuti rapat
bersama sejumlah menteri lainnya dengan Presiden Soeharto . Berdasarkan pernyataan
Panglima ABRI tersebut , bukan saja menunjukkan posisi ABRI telah berbenturan
dengan sikap DPR sebagai wakil rakyat , tetapi khususnya juga mengisyaratkan adanya
perbedaan sikap antara Panglima ABRI dengan pimpinan Fraksi ABRI sendiri di DPR .

Seruan pimpinan DPR agar Presiden Soeharto mengundurkan diri itu , merupakan
jawaban atas aspirasi mahasiswa dan kelompok –kelompok masyarakat , Dan , salah satu
unsur pimpinan DPR , Fraksi ABRI , adalah komponen yang juga ikut dalam pencapaian
kata sepakat tersebut . Syarwan Hamid , Ketua Fraksi ABRI sekaligus Wakil Ketua MPR
yang mewakili suara ABRI saat itu , mengungkapkan bahwa keputusan pimpinan DPR
itu dicapai tanpa konsultasi yang dilakukannya dengan Panglima ABRI . Dan Panglima
ABRI pun memang membantah bahwa hal itu merupakan hasil konsultasi dengannya .
Syarwan bahkan dengan jelas mengatakan bahwa keputusan itu memang bukan
merupakan sikap ABRI , tetapi sikap pribadi dan tanggung jawab dirinya sebagai Wakil
Ketua DPR .

Gambaran diatas menunjukkan bahwa posisi ABRI sebagai sebuah insitusi yang
diharapkan berdiri pada posisi yang tegas bersama mahasiswa , dan memihak rakyat ,
tidak berperan besar dalam mendesak pengunduran diri Presiden Soeharto . Bahkan
ABRI dengan jelas mengungkapkan pendiriannya bahwa ABRI tidak sependapat jika
reformasi harus dibaca atau diartikan pimpinan nasional harus turun .Dengan sikap ABRI
yang sebegitu rupa ini mungkin juga disebabkan kartena ABRI menghindari konflik
terbuka dengan Presiden yang sekaligus . Panglima Tertinggi ABRI . Disamping itu ,
ABRI kemungkinan menganggap bahwa keputusan pimpinan MPR/DPR ini merupakan
tindakan yang inkonsitusional sebagaimana tersirat pada anggapan bahwa suara pimpinan
DPR merupakan keputusan individual .

Namun demikian , dampak dari sikap ABRI yang kontra-produktif terhadap seruan
pimpinan DPR agar Presiden mengundurkan diri , dilihat di sisi lai itulah yang
mendorong mahasiswa mengerahkan kekuatan ke gedung DPR . Ribuan mahasiswa
kemudian membanjiri gedung lembaga perwakilan itu dengan isu utama terus mendesak
Sidang Istimewa MPR dan pengunduran diri di Presiden Soeharto . Dan anehnya , dalam
proses pendudukan mahasiswa tersebut , ABRI malahan melonggarkan barisan
penjagaannya sehingga massa mahasiswa dengan leluasa menambah pengerahan
kontingen mereka ke gedung MPR/DPR . Mahasiswa terus berdatangan dengan bus-bus
carteran maupun resmi dari universitas masing-masing .

40
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

Dengan mengusung isu yang sama beserta sasaran tembak wakil rakyat guna memaksa
Soeharto mundur dari jabatannya , mahasiswa memutuskan untuk tetap bertahan dan
terus menambah jumlah massa mereka, dalam peristiwa pendudukan atas gedung
MPR/DPR tersebut . Di areal gedung lembaga gedung tertinggi negara itu , puluhan ribu
mahasiswa yang telah berkumpul berteriak dengan suara yang sama menyuarakan
tuntutan agar MPR segera menggelar Sidang Istimewa . Mahasiswa mengajukan tuntutan
SI MPR , untuk menyeret Soeharto mempertanggung jawabkan kekuasannya , kemudian
diturunkan secara konsitusional . Itulah tekad mahasiswa.

Menurut sebuah versi pendapat , tampaknya ABRI menyadari mengenai dampak dari
pendudukan mahasiswa terhadap gedung DPR/MPR. Artinya ABRI memahami bahwa
dengan pendudukan mahasiswa itu , jika mahasiswa berhasil memaksa penggelaran SI
MPR , maka hal itu merupakan perubahan secara konsitusional . ABRI pada titik ini juga
seakan memahami bahwa reformasi politik , yang salah satu syarat utamanya Soeharto
harus turun , sudah tidak terelakkan lagi . Gerakan mahasiswa pun tidak dapat dibendung;
namun m disebabkan ABRI tidak mungkin mengambl langkah menempatkan diri dalam
posisi yang berhadapan secara terbuka dengan Soeharto , maka :dukungan : tidak
langsung yang dapat diberikan hanya sebatas “ memberikan jalan “ bagi perjuangan
mahasiswa menuju koridor prosedural konsitusi , yakni mekanisme DPR/MPR . Dampak
dari penyataan Menhankam/Pangab Wiranto rupanya mempercepat proses kejatuhan
Soeharto Sikap ABRI itu ,oleh sebagian orang dipandang sebagai sebuah manuver politik
untuk memancing mahasiswa agar membanjiri areal gedung wakil rakyat di Senayan .

Dari sisi lain juga haris digarisbawahi bahwa proses pendudukan gedung DPR/MPR
merupakan agenda mahasiswa yang memang sudah direncanakan jauh-jauh hari ,
setidaknya sebagai manuver untuk melakukan tekanan . Namun , bagaimana metode
gerakan yang diperlukan sebagai follow up secara strtaegis dan taktis , tak sampai
menuju kearah jangkauan pencapaian kompromi di antara kelompok –kelompok
mahasiswa . Prinsipnya, mereka disatukan oleh satu isu yang sama . Hingga momentum
itu menjadi terbuka , setelah dipicu pernyataan Menhankam.Pangab Jendral Wiranto yang
kontra produktif terhadap himbauan pimpinan DPR tadi .

Pendudukan gedung DPR/MPR adalah jalan yang dipilih sebagai solusi terbaik yang
harus ditempuh mahasiswa , terutama karena aksi jalanan tidak memungkinkan akibat
memperhitungkan bentrok dengan aparat keamanan , dan kekhawatiran aksi demo di
jalan raya itu dapat juga berdampak anarkis dan kerusuhan yang justru merupakan
perjuangan mahasiswa sendiri . Di mata mahasiswa , DPR adalah kunci untuk menuju
pencapaian tuntutan reformasi , khususnya untuk meruntuhkan Soeharto dari kekuasaan .
Situasi massa mahasiswa yang terus membanjiri areal gedung DPR/MPR ,
mengakibatkan pimpinan DPR akhirnya dipaksa untuk mengambil sikap yang lebih tegas
terhadap tuntutan reformasi . Setelah mengeluarkan himbauan agar presiden
mengundurkan diri di hari sebelumnya , selnajutnya pada 24 Mei , pimpinan DPR atas
kesepakatan hasil dialog dengan delegasi mahasiswa yang memadati Senayan –
mengeluarkan ancaman pamungkas . Pimpinan DPR menyatakan akan segera menggelar

41
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

Sidang Istimewa MPR jika presiden Soeharto tidak mengundurkan diri . Pernyataan
ancaman tersebut disampaikan pimpinan DPR .

Melalui pernyataan ancaman itu , Harmoko sekaligus mengumumkan pada deadline


bahwa kalau sampai waktu batas hari Jum’at , 22 Mei , dua hari kemudian sesudah
pernyataan ancaman tersebut dikeluarkan , Presiden Soeharto tidak mengundurkan diri ,
maka pimpinan DPR/MPR akan melakukan rapat dengan seluruh fraksi yang dijadwalkan
pada hari Senin, 25 Mei untuk membahas agenda pelaksanaan Sidang Istimewa MPR .
Untuk itu , pimpinan DPR hari itu juga , mengirimkan surat peringatan tersebut kepada
presiden ( Culla , 1999 : 179 – 186 )

Sementara itu , Soeharto masih mencoba mencari jalan untuk mempertahankan


kekuasannya . Pada hari yang sama dengan keluarnya ancaman pimpinan DPR , Soeharto
mengundang ulama dan tokoh masyarakat , yakni Ketua Umum PBNU Abdurrachman
Wahid, Emha Ainum Nadjib , Nurcholis Madjid , Ketua MUI Ali Ya”fie , Malik Fadjar ,
Yusril Ihza Mahendra , KH Cholil Baidowi , Sumarsono , Achmad Bagja dan Ma’ruf
Amin di Credential Room . Soeharto berjanji akan mengadakan pemilu secepatnya ,
mengadakan reshuffle Kabinet Pembangunan VII sekaligus mengganti namanya
menjadi Kabinet Reformasi , serta membentuk Komite Reformasi . Menjawab tuntutan
agar ia segera mengundurkan diri , Soeharto menyatakan bahwa di tengah kesulitan
akibat krisis , tindakan mengundurkan diri baginya merupakan sikap “ tinggal gelanggang
colong playu “ ( lari dari tanggung jawab ) .

Gagasan tentang Kabinet Reformasi dan Komite Reformasi Soeharto akhirnya gagal
karena sebagian besar orang atau tokoh yang ditunjukkanya tidak bersedia . Sekjen ICMI
Adi Sasono , Rektor IPB Soleh Salahudin , Rektor UGM Ichlasul Amal , Megawati
Soekarnoputri, Adnan Buyung Nasution dan Ali Sadikin adalah beberapa tokoh yang
ditawari oleh Soeharto untuk duduk di Kabinet Reformasi dan Komite Reformasi . Para
tokoh ini menyadari benar bahwa pemerintahan Soeharto sudah benar-benar kehilangan
legitimasi dari rakyat dan tidak mungkin lagi dipertahankan . Oleh karena itu tawaran
yang semasa kejayaan Soeharto diimpikan oleh para tokoh , pakar maupun politisi , kini
menjadi posisi yang menakutkan .

Pada 20 Mei 1998 pukul 14.30 WIB 14 menteri Kabinet Pembangunan VII Bidang
Ekuin- minus Mohammad Hasan dan Fuad Bawazier – mengadakan pertemuan di
Gedung Bappenas yang menghasilkan kesepakatan untuk menolak duduk dalam Komite
Reformasi ataupun Kabinet Reformasi . Kesepakatan tersebut dituangkan dalam surat dan
diberikan kepada Soeharto melalui Ajudan Presiden Kolonel Sumardjono . Soeharto
menerima surat itu pukul 20.00 WIB merasa benar-benar terpukul dan merasa
ditinggalkan sendirian oleh kroni-kroninya dalam situasi yang sangat sulit ini . Menurut
inteprestasi Kompas, alinea pertama surat ini secara implisit juga meminta Soeharto
mundur dari jabatannya . Padahal di antara 14 orang ini ada orang-orang yang dianggap
pernah “ diselamatkan “ . Sebelum menerima surat dari 14 menteri , datang pula dua
mantan Wapres Sudharmono dan Try Sutrisno yang selama ini dikenal sangat kompak
dan loyal pada Soeharto . Meraka pun menyarankan pengunduran diri . Ketua Umum

42
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

PBNU Abdurrachman Wahid pun mendesak Siti Hardiyanto Rukmana agar meyakinkan
bapaknya untuk mengundurkan diri .

Soeharto semakin yakin bahwa ia hanya punya satu pilihan yakni melepaskan jabatan dan
kekuasannya yang direbut dan dipertahankannya selama 32 tahun . Gelombang raksasa
gerakan mahasiswa yang didukung oleh berbagai elemen masyarakat tidak lagi
menghendakinya . Sementara itu elit-elit politik dan birokrasi yang selama ini loyal dan
melindungi dan dilindungi oleh kekuasannya berbalik arah dan mendorongnya untuk
lengser . Pukul 23.00 WIB , ketika Soeharto memerintahkan ajudannya utnuk memanggil
penasehat Presiden Yusril Ihza Mahendra dan Pangab Jendral TNI Wiranto , sang
penguasa RI selama 32 tahun itu sudah berbulat hati untuk mengundurkan diri .

Pada 21 Mei 1998 , pukul 09.00 WIB , di Istana Merdeka Soeharto mengumumkan
pengunduran dirinmya. ‘ Saya memutuskan untuk menyatakan berhenti dari jabatan saya
sebagai Presiden TI , terhitung sejak saya bacakan pernyataan ini pada hari ini, Kamis 21
Mei 1998 “ Saat-saat bersejarah ini disiarkan ssecara langsung oleh seluruh stasiun
televisi baik milik pemerintah maupun swasta . Pidato pendek itu serta merta disambut
dengan suka cita oleh masyarakat . Massa mahasiswa yang sudah tiga hari menduduki
Gedung DPR/MPR RI melonjak kegiarangan . Ekspresi itu ditunjukkan dengan
bernyanyi , menceburkan diri ke dalam kolam , dan berbagai kecerian lainnya . Di
berbagai kota pengunduran diri disambut dengan aksi syukur bahwa era baru akan
mewarnai kehidupan politik di Indonesia . ( Widjojo , 1999 : 174 – 176 )

Penutup

Jauh sebelum gerakan reformasi dimulai , kesangsian terhadap sejarah Orde Baru yang
dibangun tahun 1966 itu mulai timbul , sehingga banyak disoroti , timbul banyak
kecurigaan , karena banyak sisi-sisi gelap dan berbagai peristiwa janggal yang
mengganggu ketenangan akal sehat masyarakat . Tetapi munculnya interprestasi lain
sejarah politik tahun 1960-an khususnya peristiwa Gerakan 30 September 1065 , di .luar
sejarah resmi versi rezim Orde Baru yang sedang berkuasa saat ini cenderung dilarang ,
karena dianggap memutar balikkan fakta , menyesatkan dan memojokan pemerintah .
Eksistensi Orde Baru yang sedang berkuasa memang dibangun di atas puing sejarah
1965 , mengungkit sejarah dasawarsa itu berarti mengungkit keberadaan Orde Baru ,
sehingga selalu dianggap subversi . Di sini tidak hanya pemerintah dan militer yang
punya klaim tetapi gerakan mahasiswa Angkatan 1966 itu punya klaim besar atas sejarah
itu , dengan dalih menyelematkan republik dari cengkraman PKI.

Interprestasi sejarah resmi , sejarah yang diciptakan rezim ,. Mulai banyak diragukan
dengan munculnya informasi tandingan dari orang yang selama ini diam , baru setelah
zaman reformasi mulai berani bicara sebagai saksi dari peristiwa tersebut . Data,
kesaksian dan informasi baru tersebut memaksa kita untuk mengkaji ulang interprestasi ,
bahkan asumsi kita tentang sejarah Indonesia tahun 1960-an dengan penuh kehati-hatian .
Termasuk saat menulis tentang gerakan mahasiswa dasawrasa 1966 , agar kita tidak
terjebak dan terlibat pemalsuan atau penggelapan sejarah sebagaimana yang dilakukan

43
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

Orde Baru , maupun apologi yang berlebihan dari kalangan yang menjadi victim politik
Orde Baru , yang bermunculan sejak menjelang keruntuhan rezim itu hingga saat ini ,
baik dipublikasikan melalui media massa atau buku-buku . Tetapi penulisan sejarah mesti
berpijak pada asumsi agar memiliki perspektif atau sudut pandang yang jelas agar bisa
dikoreksi , dikritik , dan diorevisi , karena itu harus menentukan pilihan sudut pandang
mana yang akan dipakai .

Orang memang tidak bisa lagi menerima sejarah Orde Baru versi resmi sebagaimana
yang telah ditulis oleh rezim yang berkuasa , yang bersifat tunggal linier , bahwa pelaku
G-30-S adalah PKI sendirian, dan ini dianggap sudah selesai , kemudian
dipropagandakan agar diterima secara umum diajarakan di sekolah sebagai sejarah yang
benar . Bila diperhatikan berbagai data dan informasi yang muncul belakangan , pendapat
tersebut menjadi tidak meyakinkan , sebab kenyatannya sangat kompleks , tidak lagi
terlalu jelas siapa yang menjebak siapa yang terjebak , siapa yang mengkudeta siapa,
tidak jelas , sehingga perlu klarifikasi baru . Bagaimana Soekarno dituduh terlibat dalam
penggulingan dirinya sendiri . Bagaimana Soeharto sebagai penguasa militer yang
strategis tidak masuk dalam daftar jendral yang harus dilubangbuayakan , belum lagi soal
Kontroversi Supersemar , yang sampai sekarang sejarahnya juga sudah lama diragukan
dengan munculnya informasi baru yang semakin menunjukkan bahwa peristiwa itu
merupakan kudeta terselubung . Pandangan itu juga memaksa seseorang untuk
membongkar asumsinya tentang gerakan mahasiswa 1966 yang kemudian dimitoskan
sebagai Angkatan 66 yang dianggap heroik dan idealis itu ke dalam analisis sejarah baru
yang barangkali tidak hanya memusatkan perhatian pada gerakan itu sendiri , tetapi pada
kekuatan politik diluarnya , apakah itu Soekarno , partai-partai politik atau militer , sebab
di tengah pertarungan kekuasaan di antara kekuatan-kekuatan politik tersebut gerakan
mahasiswa Angkatan 1966 mengambil bagian , sehingga peran-peran mereka tidak llagi
spontan dan murni , sebaliknya secara sadar atau tidak telah menjadi alat salah satunya .
Dalam titik ini demitologisasi Angkatan 66 sebagaimana yang dilakukan oleh Parakitri T
Simbolon dan Marsillam Simandjuntak memang tidak bisa dihindarkan . Apalagi bila
dilihat perilaku angaklatan tersebut di panggung politik belakangan ini, niat baik dan
kepahlawanan yang mereka klaim itu perlu dikaji kembali . ( DZ, 1999 : 17 – 19 )

Tetapi secara umum angkatan 66 memang menjadi pendukung rezim Orde Baru hingga
rezim tersebut runtuh karena keropos akibat dirongrong oleh korupsi yang dilakukan
secara sistimatis oleh para aparat rezim tersebut . Angkatan 66 mengklaim telah berjasa
menyelamatkan negara dari bahaua komunisme tersebut , kemudian berperan sebagai
pemegang kebenaran sejarah , ini bisa dilihat semua sejarah yang tidak sejalan dengan
sejarah resmi yang ditulis oleh rezim militer Orde Baru akan dihadapi oleh eksponen
angkatan tersebut , setiap pemuda atau mahasiswa yang mencoba bersimpati atau
sekedar toleran terhadap rezim Soeharno atau para korban politik rezim Soekarno
dianggap tidak mengerti sejarah , tidak memiliki kewaspadaan , dan mengganggap
mereka itu telah termakan oleh hasutan dan fitnah sisa sisa komunis . . Karena itu isu
indoktrinasi Pancasila model penataran P4 digunakan rezim dengan didukung eksponen
Angkatan 66 , sebagai sarana yang ampuh untuk membendung kesalahpahaman sejarah
di kalangan generasi muda .

44
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

Walaupun asumsi sejarah telah berbalik namun hingga sat ini angkatan tersebut masih
mengkalim prevelise di bidang politik dan masih merasa bahwa peran mereka besar
dalam menyelamatkan negara ini , dan mereka sama sekali merasa tidak ikut bertanggung
jawab atas merosotnya kesadaran politik bangsa ini akibat tekanan rezim yang mereka
ciptakan yang akhirnya membuahkan korupsi dan penyelewengan konsitusi yang
menghancurkan negeri ini . Baru belakangan kelompok ini menunjukkan sikapnya yang
reformis dan tidak lagi membawa penyelewengan konsitusi yang menghancurkan negeri
ini . Baru belakangan kelompok ini menunjukkan sikapnya yang reformis dan tidak lagi
membawa slogan-slogan baru . akan mahasiswa Angkatan 66 memang monumental
dalam hal m,obilisasi massa , tetapi kemurnian gerakan mereka telah masuk ke dalam
setting politik yang dibangun oleh militer . Kalau dalam logika ada dalil ponens , barang
siapa mengetahui presmis maka akan mengetahui konsekwensinya , maka dalam
kehidupan politik dalil itu berbunyi karena militer yang menciptakan sebab , maka
militerlah yang telah menguasai akibatnya , militer memperoleh kekuasaan , sementara
mahasiswa hanya diberi jatah dan itupun tidak mereka gunakan untuk pembaruan sistem
kehidupan , mereka hanya mengikuti kehendak militer yang lebih berkuasa. ( DZ , 1999 :
41 – 42 )

Dalam tahun 1974 , gerakan mahasiswa telah menciptakan kondisi kritis sebagai warning
bagi rezim , meskipun hal itu dimanfaatkan pihak tertentu untuk mengkambing-hitamkan
kemurnian gerakan mereka. Gerakan mahasiswa tahun 1974 yang merupakan bagian
sejarah mahasiswa untuk menggugat kekuasaan yang mapan itu, yang lebih dikenal
kemudian sebagai peristiwa Malari , merupakan reaksi protes terhadap kebijakan
pembangunan Orde Baru .

Gerakan 1978 yang muncul sesudahnya , bukan lagi semata mengugat kebijakan
pembangunan Orde Baru yang menyengsarakan dan menidas rakyat yang lemah . Namun
, lebih dari itu , untuk pertama kali mahasiswa mengangkat isu yang diarahkan kepada
pucuk pimpinan nasional . Salah satu yang membedakan mahasiswa 1978 dengan 1974
adalah bahwa isu yang dianggap gerakan mahasiswa 1978 secara berani menolak Soe
harto kembali sebagai prresiden .

Gerakan mahasiswa 1978 mulai menyentuh soal yang serupa dengan yang pernah
dilakukan oleh pendahuklunya , generasi mahasiswa 1966 . Generasi mahasiswa 1966
secara nyata berhasil meruntuhkan kekuasaan Orde Lama dengan bantuan militer . Tetapi
gerakan mahasiswa 1978 belum cukup mendapat dukungan dari kawan-kawan se
angkatannya sehingga mereka tidak berdaya berhadapan dengan tekanan politik rezim
Soeharto yang mendapat dukungan dari militer . Mereka tidak berhasil mengu;lang kisah
sukses generasi 1966.

Meskipun demikian dengan gerakan mahasiswa 1966, 1974 , 1978 , sejarah Indonesia
membuktikan bahwa mahasiswa selalu hadir sebagai kekuatan moral untuk memenuhi
panggilan nurani masyarakatnya , kapan situasi jamannya membutuhkan segera aks
mereka dalam skala massif . Bahkan rezim Orde Bari pun , karena pengalaman gerakan
mahasiswa yang pernah mengguncangkan itu , lalu mencoba untuk menahan gelombang
yang mungkin dilancarkan mahasiswa kembali dengan upaya pemasungan yang

45
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

dilakukannya melalui konsep NKK/BKK , mungkin tidak memperkirakan bahwa


gelombang itu juga sulit dibendung pada sautu saat .

Dan . akhirnya tibalah masanya Orde Baru menghadapi terpaan gerakan mahasiswa yang
tidak terbendung itu . Sebagaimana yang dialami Soekarno di tahiun 1966 , rezim
Soeharto harus menyerah pada nasib sejarah yang dikondisikan oleh mahasiswa . Tahun
1998 , mahasiswa bangkit bagai arus air yang semakin deras dan akhirnya menjebol
tembok kekuasaan yang selama 32 tahun berdiri kokoh , meruntuhkan kepongahan
kekuasan rezim Soeharto .

Lebih dari kiprah sejarah pendahulu mereka, generasi 1966 , 1974 . dan 1978 , generasi
mahasiswa 1998 dalam skala menyeluruh , nasional, suara dan aksi mereka bagia siaran
radio yang bertemu dalam satu gelombang yang memancarkan dirinya, bergerak
meruntuhkan kekuasaan Soeharto . Tidak hanya di Jawa , di daerah Jakarta, Bandung ,
Yogyakarta , dan Surabaya , hampir di seluruh daerah di Indonesia bergerak .

Isu yang diangkat generasi mahasiswa 1988 pun merupakan sebuah paradigma gerakan
yang secara principal sesuai dengan jamannya , dan hal itu sekaligus membedakan
mereka dengan geran mahasiswa sebelumnya . Mereka menuntut reformasi yang
menyeluruh di segala bidang ekonomi , politik , dan hukum . Tatanan rezim Orde Baru
harus segera ditinggalkan , dan diganti dengan sistem yang lebih demokratis , berkeadilan
sosial , dan menghargai harkat kemanusian, kebebasan , serta kemandirian di dalam
masyarakat ( Culla,1999 : 236 – 237 )

Banyak sejarawan percaya l”histoire se repete . Dibawah paradigma ini, kronologi


disusun sebagai siklus , yang berputar secara periodik . Namum ,.banyak pula sarjana
yang tak percaya siklus ini . Mereka lebih percaya , bahwa rentetan peristiwa sejarah
menurut garis linier , yang tak pernah berulang . Apapun kerangka kronologi yang
digunakan untuk melihat gerakan mahasiswa pasca turunnya Soeharto , terdapat pola-
pola kesinambungan dan keterputusan yang bisa membenarkan kedua mazhab berpikir
tersebut . Pola kesinambungan , misalnya , muncul dalam karakteristik gerakan
mahasiswa serupa yang didapati pada pasca –segera Soeharto dan pasca –segera Sidang
Umum MPR November 1998 . Pola kesinambungan juga tampak dari regenerasi
kepemimpinan kolektif , yang merupakan pewarisan langsung dari generasi “ pemimpin “
yang bergerak pada masa menjelang keruntuhan Soeharto , kepada generasi berikutnya
yang mengalami periode aktivitas puncak pada seputar SU-MPR 1998 dan bahkan
setelahnya , ketika berlangsung liberalisasi politik .

Dalam periode pasca-segera kejatuhan Soeharto pada tanggal 21 Mei 1998 , gerakan
mahasiswa mengalami disorientasi . Sebagian mahasiswa langsung menolak “penyerahan
“ jabatan kepresidenan dari Soeharto ke Habibie . Sebagian lagi menerima penyerahan
tersebut secara bersyarat dan memberi waktu pada bagi Habibie untuk menjalankan
proses reformasi . Sebagian lagi langsung mendukung naiknya Habibie ke kursi
kepresidenan . Konvergensi ketiga sikap ini justru membuat mahasiswa “kagok “ dan
berakibat pada redanya gerakan mahasiswa secara keseluruhan . Mahasiswa disoriented ,
mengalami disorientasi . Pemerintahan “baru “ yang legitimasinya dipertanyakan terus

46
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

dan menjadi bahan perdebatan , segera mencuri gagasan reformasi . Kabinet dinamakan
Kabinet Reformasi , sekalipun sebagian besar kursinya masih diduduki oleh menteri-
menteri lama yang bertugas pada masa kabinet sebelumnya di bawah Soeharto , dan
watak rejimnya pun masih sama. . Sebagian agenda reformasi mahasiswa juga diambil-
alih oleh pemerintahan Habibie , sejauh agenda tersebut tidak membahayakan
kelangsungan rezim – isu “adili Soeharto “, misalnya, adalah “agenda” yang dapat
membahayakan rejim . Di dalam proses ini , manipulasi simbol agama (Islam ) yang
dilekatkan pada rezim Habibie secara langsung ikut mempengaruhi meredanya gerakan
mahasiswa pasca Mei 1998 .

Situasi gerakan mahasiswa dengan periode pasca jatuhnya Soeharto muncul kembali
pasca SU-MPR bulan November 1998 . Jatuhnya tujuh korban mahasiswa – dari
semuanya 15 orang - meninggal akibat tembakan aparat keamanan daripada persitiwa
Semanggi hanya memunculkan eskalasi cepat sesaat setelahnya . Namun , berbagai
peristiwa politik nasional terutama pernyataan kontra-produktif Deklarasi Ciganjur dan
tuduhan maker oleh pemerintah terhadap sejumlah tokoh Barisan Nasional , dengan cepat
menggelamkan gerakan mahasiswa . Jika pada aras elite kedua peristiwa tersebut
meredam , atau setidaknya mengurangi ruang gerakan gerakan mahasiswa , maka pada
aras massa munculnya Pam Swakarsa telah memaksa gerakan mahasiswa untuk
menghadi isu-isu horizontal . Forum Kota di Jakarta , yang menjadi ujung tombak
demontrasi berskala besar , dituduh komunis , sehingga menyurutkan aktivitas mereka .
Sifat ketegangan dan konflik bergeser , bahkan berubah , dari vertikal menjadi horizontal,
dari resistensi masyarakat terhadap negara serta sebaliknya , represi negara atas
masyarakat – menjadi konflik antar komponen masyarakat . Kisah akhir konflik
horixontal dalam periode ini tampak jelas , yaitu kesalahan “pembacaan “ situasi oleh
penguasa , terutama aparat keamanan . Pam Swakarsa dilawan justru oleh masyarakat
sendiri , yang berusaha melindungi ,mahasiswa aktivis gerakan mahasiswa.

Perkembangan situasi politik nasional sejak awal tahun 1999 juga mengalihkan gerakan
mahasiswa dari teater utama mereka di jalanan . Berbagai faktor nermain dalam
pergeseran ini. Pertama , kerangka hukum baru ditetapkan bagi penangan unjuk rasa
melalui UU No. 9 /1998 . Undang-undang ini mempersempit ruang gerak gerakan
mahasiswa dan memberikan legitimasi hukum bagi aparat keamanan untuk dapat
bertindak keras dan lebih represif , dengan menghindari isu-isu pelanggaran HAM ,
dibandingkan peluang mereka untuk besikap serupa pada situasi pasca-segera SU-MPR
1998 . Sementara itu , tidak adanya penyelesaian hukum bagi para pelanggar HAM bagi
peraku-pelaku penembakan mahasiswa di kampus Universitas Trisakti 12 Mei 1998 dan
dalam Tragedi Semanggi Nobember 1998 memberi “pelajaran “ kepada aparat , nahewa
mereka tetap bisa melepaskan diri dari jerat hukum jika melakukan tindakan represif
serupa. Kasus bentrokan berdarah demontrasi di Jl. Diponogoro , Jakarta Pusat , secara
gamblang menunjukkan efektivitas represi tersebut .

Kedua, liberalisasi pers telah membuka koridor baru bagi penyaluran kepentingan publik,
sehingga gerakan mahasiswa –terutama melalui “teater jalanan “ mereka – tidak akan lagi
menjadi satu-satunya sarana penyaluran aspirasi masyarakat . Tumbuhnya pers bebas –
hingga dihentikannya pemberian ijin oleh Departemen Penerangan RI pada bulan Juni

47
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

1999 , sudah dikeluarkan lebih dari 1700 SIUPP bagi penerbitan lama maupun baru –
menjadi wacana alternatif bagi penyampaian pendapat secara efektif , selain “ teater
jalanan “ atau bentuk-bentuk lain gerakan mahasiswa seperti pers bawah tanah ( pers
alternative ) . Penerbitan media alternatif gerakan mahasiswa seperti X-pose , yang
sebelumnya sangat efektif sebagai media gerakan mahasiswa , tidak lagi menarik publik
politik, termasuk kalangan mahasiswa sendiri . Meraka kini bisa menemukan dan
menemukan public discourse secara hampir tidak terbatas di berbagai media massa baru .
Sebagian kalangan gerakan mahasiswa bahkan ikut di dalam ruang kesempatan baru ini
dengan menerbitkan sendiri media mereka , yang umumnya dilakukan dengan
menerapkan konsep penertbitan “jalan tengah “ yang berusaha memadukan prinsip-
prinsip gerakan dengan komersial .

Ketiga, intensitas dan skala besar gerakan mahasiswa sebelumnya , khususnya pada
seputar Tragedi Semanggi dan SU-MPR 1998 akhirnya mengantarkan gerakan
mahasiswa pada semacam titik jenuh . Suatu situasi yang bagi penganut paradigma siklus
sejarah akan memberi pembenaran bagi terulangnya situasi pasca lengsernya Soeharto ;
di sini hadir pola kontinuitas siklikal . Kondisi semacam titik jenuh ini juga diperparah
oleh berlarutnya krisis ekonomi , yang mengakibatkan banyak mahasiswa yang
mengalami kesulitan dalam bertahan hidup dan kuliah . Ribuan mahasiswa terancam
drop-out di UGM misalnya lebih dari 2500 mahasiswa terancam DO karena tidak mampu
membayar uang kuliah . Salah satunya karena tekanan ekonomi keluarga ,
banyak“generasi pertama “ para pemimpin demontran “angkatan 98 “ yang kembali ke
bangku kuliah untuk menyelesaikan studi mereka yang telah terbengkalai sejak awal
1998 . Bahkan banyak di antara generasi pemimpin pertama mereka telah mengambil
peran di belakang saat terjadinya Tragedi Semanggi November 1998 . Sekalipun terdapat
kesadaran penuh bahwa lulus dari perguruan tinggi dalam maasa krisis ekonomi yang
belum terlibat ujung penyelesaiannya berarti memasuki rimba lapangan kerja yang
semakin menyempit , mereka justru terdesak oleh tekanan ekonomi untuk menyelesaikan
studi secepatnya . Lapisan baru pemimpin gerakan mahasiswa – di berbagai perguruan
tinmggi lapisan pemimpin ini bahkan sudah sampai generasi ketiga dan keempat –
dengan “kikuk “ menerima tongkat estafet kepemimpinan gerakan mahaiswa dari para
senioren mereka . Di lapangan , simpul-simpul gerakan mahasiswa di berbagai kampus
tidak jarang mengalami perubahan tongkat estafet kepemimpinan setelah setiap 2 – 3
bulan . Tentu saja , koordinator lapangan ( korlap ) dan pegang simpul dari generasi lama
yang masih bertahan di kampus koneksitas lainnya terpaksa harus menyesuikan diri
langgam lama dengan pemain-pemain yang relatif baru tersebut . Kondisi demikian
terutama ditemui pada format gerakan mahasiswa yang memiliki struktur longgar ,
seperti Forum .

Keempat , lebih terbukanya koridor politik melalui liberalisasi pembentukan partai--


partai politik dan agenda pemilihan umum beserta rentetan persitiwa dalam agenda resmi
pemerintah setelah pemilu , tidak hanya sekedar menggeser , melainkan mengalihkan ,
perhatian publikasi , sebelumnya gerakan mahasiswa ke format aktivitas politik “resmi“.
Segera setelah partai politik bebas dibentuk , tumbuh sekitar 159 parpol baru . Publik pun
antusias menyambut , sekalipun akhirnya hanya 48 parpol yang diperbolehkan ikut
pemilu . Sebagian kalangan mahasiswa , sebagai bagian yang tak terpisahkan dari

48
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

masyarakat , ikut tersedot ke dalam euphoria politik formal ini . Sebagian lagi, yang
jumlahnya semakin mengecil , tetap meneruskan agenda gerakan mahasiswa “lama” ,
yaitu menuntut pembentukan pemerintahan transisional – di Jakarta , suara yang paling
jelas diungkapkan melalui tnututan pembentukan Komite Rakyat Indonesia , atau KRI ,
oleh Forum Kota – dan penyelenggaran pemilu yang demokratis . Namun , harus diakui
bahwa di dalam seluruh perkembangan baru kepolitikan nasional yang secara langsung
menyurutkan gerakan mahasiswa ini, sebagain besar mahasiswa masih bersikap
menunggu .

Fragmentasi isu dan peristiwa dalam kepolitakan “resmi “ , ditambah berbagai persoalan
yang menerpa jaringan oragan-organ gerakan mahasiswa telah menyebabkan rapuhnya
pertalian antar elemen gerakan mahasiswa. Muncul dan tumbuh organ-organ dan elemen
baru dalam jumlah yang hampir-hampir tak terdeteksi . Sebagian aktivis gerakan
mahasiswa memisahkan diri dari induk organ atau elemen asal mereka karena perbedaan
prinsipal , tetap sebagian besar lagi mengalami proses demikian hanya karena perbedaan
yang sama sekali tidak signifikan . Dalam beberapa kasus perpecahan organ dan elemen
hanya karena sebab yang sangat sepele , seperti pertentangan unsur pimpinan. Sifat
kepeminmpinan kolektif yang diterapkan membawa konsekuensi tingginya indepedensi
setiap unsur pimpinan, yang umumnya sendiri dari simpul-simpul kampus .. Tidak
seluruh frahmentasi itu bersifat negative . Sebagian organ atau lemen baru , yang
merupakan sempalan suatu :”forum “ tetap membangun hubungan dengan elemen
induknya . Pola perpecahan Forum Kota (Forkot ) menjadi Famred kadangkala secara
disasadari “dirujuk : sebagai pola hubungan yang ideal antar organ baru dan elemen
induk , jika terjadi “perpisahan “ . Sebagian kelompok yang memisahkan diri ini mampu
menarik aktivis dalam jumlah banyak , dan mereka meneruskan atau mengembangkan
ide-ide dasar yang dianut elemen asal. bagian lain , yang dalam jumlah kelompok jauh
lebih banyak namun di dalam jumlah “pengikut “ per kelompok umumnya kurang
siginifikan , lebih suka untuk mengangkat tema-tema dan ide-ide yang lebih sempit dan
spesifik .( Sulistyo , 1999 : 377 – 386 )

49
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

Bibliografi

Adnan , Ricardi S dan Arvan Paradiansyah . “ Gerakan Mahasiswa Untuk Reformasi ,”


dalam Selo Soemadarjan (Ed) 1999. Kisah Perjuangan Reformasi . Jakarta : Sinar
Harapan , hlm. 133 – 196 .

Anderson , Ben. 1988 . Revolusi Pemuda . Pendudukan Jepang dan Perlawnan di Jawa
1944 – 1946 . Jakarta : Sinar Harapan .

Anwar , Yozar .1981 Angkatan 66 . Sebuah Catatan Harian Mahasiswa .Jakarta : Siunar
Harapan .

Anwar, Yozar . 1981 .Pergolakan Mahasiswa Abab Ke-20. Kisah Perjuangan Anak-
Anak
Muda Pemberang . Jakarta : Sinar Harapan

Altbatch,PhilipG (Ed) 1988 Politik dan Mahasiswa .Perspektif dan Kecenderungan


Masa
Kini . Jakarta : PT Gramedia

Budiman , Arief . “ Peranan Mahasiswa sebagai Intelgensia,” Prisma, No. 11 , Tahun V.


November 1976 . hlm. 55 – 65 .

Culla, Adi Suryadi .1999 Patah Tumbang Hilang Berganti Sketsa Pergolakan
Mahasiswa
Dalam Politik dan Sejarah Indonesia ( 1908 – 1998 ) Jakarta :RajaGrafindo Persada

Dhakidae , Daniel, “ Generasi, Karakter dan Perubahan Sosial-Politik .” Prisma, No. 2 ,


Tahun IX , Februari 1980, hlm. 3 – 14 .

DZ,Abdul Mun”im ,” Gerakan Mahasiswa 1966 di Tengah Pertarungan Politik Elite ,”


dalam Muridan S Widjojo 1999. Penakluk Rezim Orde Baru Gerakan Mahasiswa
“ 98 . Jakarta : Sinar Harapan .hlm . 17 – 44 .

Gayatri , Irene H.” Arah Baru Perlawanan : Gerakan Mahasiswa ,” dalam Muridan S
Widjojo . 1999 . Penakluk Rezim Orde Baru . Gerakan Mahasiswa “98 . Jakarta
Sinar Harapan .

Ingelson, John. 1988 . Jalan Ke Pengasingan . Pergerakan Nasionalis Indonesia Tahun


1927 – 1934 . Jakartta : LP3ES .

Ingelson , John . 1993. Perhimpunan Indonesia dan Pergerakan Kebangsaan . Jakarta :


PT Pustaka Utama Grafiti .

JA, Denny .1984 Mahasiswa Dalam Sorotan . Jakarta : Kelompok Studi Proklamasi.

50
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

JA , Denny . 1990 . Gerakan Mahasiswa dan Politik Kaum Muda Era 80-an . Jakarta ;
Miswar .
Leirissa, R.Z 1985. Terwujudnya Susuatu Gagasan Sejarah Masyarakat Indonesia 1900
. – 1950 . Jakarta : Akademika Pressindo .

Magenda , Burhan D :” Gerakan Mahasiswa dan Hubungan dengan Sistem Politik : Suatu
Tinjauan ,” Prisma, No. 12 , Tahun VI . Desember 1977 , hlm. 3 – 14 .

Martha, Ahmaddani G . 1985 . Pemuda Indonesia Dalam Dimensi Sejarah Perjuangan


Indonesia . Jakarta . Kurnia Esa .

Mangiang , Masmimar ,” Mahasiswa , Ilusi tentang Sebuah Kekuatan ,” Prisma No 12.


Tahun X ,Desember 1981, hlm. 96 – 107 .

Nagazumi, Akira .1989 . Bangkitnya Nasionalisme Indonesia . Budi Utomo 1908 -1918
Jakarta : Pustaka Utama Grafiti .

Onghoham .1983 . Rakyat dan Negara . Jakarta : Sinar Harapan

Pabotinggi ,Mochtar .“Strategi Kultur dan Generasi Muda,” Prisma, No 12 . Tahun 1977
Tahun VI , Desember 1977 , hlm. 57 – 69 .

Radjab . Suryadi A . , “ Panggung Panggung Mitolpgi dalam Hegemoni Negara . Gerakan


Mahasiswa di Bawah Orde Baru,” Prisma, No. 10 Tahun XX , Oktober 1991 .hlm.
67 – 79 .

Sanit , Arbi 1989 Mahasiswa, Kekuasaan dan Bangsa . Refleksi dan Gagasan Atlernatif
Jakarta : Lingkaran Studi Indonesia .

Simbolon , Parakitri Tahi . “ Di Balik Mitos Angkatan 66 ,” Prisma No. 12 , Tahun VI ,


Desember 1977 , hlm. 48 – 56 .

Sjahrir ,” Dilemma Pembangunan dan Kebebasan Mahasiswa : Mahasiswa di Masa


Klimaterik ,” Prisma No. 2 , Tahun VII , Maret 1978 , hlm. 31 – 38 .

Sjahrir . “ Pilihan Angkatan Muda : Menunda atau Mernolak Kekalahan .” Prisma ,


Nomor 6, Tahun XVI , Juni 1987 , hlm. 3 – 10 .

Sulistyo . Hermawan.” Gerakan Mahasiswa Di Persimpangan Jalan ,” dalam Muridan S


Widjojo . 1999 . Penakluk Rezim Orde Baru . Gerakan Mahasiswa “ 98 .Jakarta
Sinar Harapan .

Wibisono, Christianto .1970 .Aksi-aksi Tritura . Kisah Sebuah Partership . 10 Januari –


Maret 1966 . Jakarta : Pusat Sejarah Angkatan Bersenjata Departemen - Keamanan

51
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

Widjojo ,Muridan S et al .1999 . Penakluk Rezim Orde Baru . Gerakan Mahasiswa “98 .
Jakarta : Sinar Harapan .

Makalah revisi ini pernah dipresentasikan pada Latihan Dasar Kepemimpinan FISIP
Universitas Bung Karno di Graha Pemuda Cibodas , 26 Oktober 2000 .

52
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com

You might also like