You are on page 1of 41

Peter Kasenda

Manusia , Ilmu Pengetahuan dan Tehnologi

Ilmu pengetahuan tanpa agama akan timpang,


Sedangkan agama tanpa pengetahuan akan buta

(Albert Einstein)

Keberadaan manusia telah berlangsung kira-kira sejuta tahun . Ia telah mengenal tulisan
kurang lebih selama 6.000 tahun , dan pertanian untuk waktu agak lebih lama lagi,
kendati mungkin tidak sangat jauh berbeda . Ilmu pengetahuan , sebagai faktor utama
yang menentukan keyakinan orang terdidik , telah ada kurang lebih 350 tahun ; dan
sebagai sumber teknik ekonomi kira-kira telah berlangsung selama 200 tahun . Dalam
waktu sesingkat ini ilmu pengetahuan membuktikan dirinya sebagai daya revolusioner
yang dashyat . Bila kita melihat betapa barunya ilmu pengetahuan mencapai kekuatan itu,
terpaksalah kita mengakui bahwa kita baru berada pada tahap yang sangat awal dari
karyanya dalam mengubah kehidupan manusia . Akibat-akibatnya di masa depan hanya
dapat kita duga , kendati begitu suatu penelitian mengenai akibat tersebut sampai
sekarang bisa membuat dugaan tersebut tidak begitu sembrono .

Akibat ilmu pengetahuan amat sangat beragam . Ada dampak intelektual langsung , yaitu
ditanggalkannya banyak kepercayaan tradisional dan dikenakannya cara-cara yang
ditawarkan oleh keberhasilan metode ilmiah . Selain itu, ada akibat pada teknik di bidang
industri dan perang . Selanjutnya , terutama sebagai akibat timbulnya berbagai teknik
baru, terjadi perubahan-perubahan mendalam pada organisasi sosial yang lambat laun
membawa perubahan politik . Akhirnya , sebagai akibat pengendalian baru atas
lingkungan yang diberikan oleh ilmu pengetahuan , timbullah suatu filsafat baru yang
menyangkut berubahnya pandangan tentang tempat manusia dalam alam semesta
( Russel, 1992 : 1 – 2 )

Suatu ciri khas pada manusia adalah bahwa ia selalu ingin tahu , dan setelah ia
memperoleh pengetahuan tentang sesuatu , maka segera kepuasannya disusul lagi dengan
kecenderungan untuk ingin lebih tahu lagi . Begitulah seterusnya , hingga tak sesaatpun
ia sampai pada kepuasan mutlak untuk menerima realitas yang dihadapinya sebagai titik
terminasi yang mantap . Ketidakmungkinan untuk merasa mantap pada suatu status
pengetahuan ini dapat diterangkan dari berbagai sudut . Salah satu sebab yang paling
dasar ialah bahwa apa yang menjelma kepada manusia sebagai realitas alamiah
ditanggapinya sebagai kenyataan yang dwirupa : di satu pihak ia mengamati alamnya
sebagai sesuatu yang mempunyai aspek statis , akan tetapi iapun mengamati terjadinya
perubahan-perubahan , perkembangan-perkembangan dan lain sebagainya , yang
menguatkan adanya aspek dinamis dari gejala-gejala alam itu sendiri . Aspek statis dan
dinamis itulah merupakan ketegangan pertama yang mendorong manusia untuk selalu
1
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

ingin lebih tahu . Jadi bukan saja fakta-fakta yang menggejala atau terlibat dalam suatu
proses yang berlarut .

Berdasarkan penghayatan dasar yang pertama-tama inilah , maka manusia tidak lagi
mampu melihat fakta sebagai kenyataan-kenyataan belaka , melainkan selalu menjangkau
lebih jauh di balik kenyataan-kenyataan yang diamatinya, yaitu pada kemungkinan-
kemungkinan yang dapat diperkirakannya melalui kenyataan-kenyataan itu .Dengan lain
perkataan : manusia melakukan transedensi terhadap realitas kongkret dan menuju kea
rah kemungkinan-kemungkinan yang terbayang melalui pengamatan terhadap realitas
itu. Inilah yang rupanya dimaksudkan oleh Immanuel Kant dengan menyatakan bahwa
kemampuan manusia untuk mengetahui adalah berupa ein der Bilder deburftigert
Verstand

Dengan sikap demikian itulah manusia mengalami pertemuannya dengan alam


sekitarnya. Dalam perkembangannya sejak lahir , anak manusia menemui dan bergaul
dengan dunianya sebagai kenyataan-kenyataan dengan kemungkinan-kemungkinan
sekaligus . Ia berangsur-angsur mengenal bahwa sendok yang dibuangnya ke lantai
membuat suara tertentu , dan perbuatan ini diulang-ulang tanpa hentinya ; suara
termaksud sebenarnya tidak harus merupakan bagian dari sifat-sifat sendok itu sendiri ;
dan sejumlah permainan serta khayalan anak segera menunjukkan betapa pengamatannya
itu lebih dari sekedar menerima realitas belaka .

Akhirnya , hal yang sama dalam bentuk yang lebih majemuk dapat kita saksikan pada
perkembangan kehidupan membudaya pada umat manusia. Jadi transendensi terhadap
kenyataan itu adalah suatu proses yang dapat kita saksikan baik dalam proses filogenetis
maupun ontogenetis . Namun demikian , semuanya itu belum memberi kedudukan
khusus pada apa yang disebut “pengamatan ilmiah “ ; paling jauh kita bisa
menganggapnya sebagai ciri “ingin tahu “ yang melekat pada kodrat manusiawi . Dari
sikap ini saja yang dicapai adalah pengetahuan , dan bukan (atau belum ) ilmu . ( Fuad
Hasan , 1977 : 8 – 9 )

Manusia dan Pengetahuan

Semua bentuk penyelidikan kearah pengetahuan mulai dengan pengalaman . Maka hak
pertama dan utama yang mendasari dan yang memungkinkan adanya pengetahuan adalah
pengalaman . Pengalaman adalah keseluruhan peristiwa perjumpaan dan apa yang terjadi
pada manusia dalam interaksinya dengan alam , diri sendiri , lingkungan sosial sekitarnya
dan dengan seluruh kenyataan . Ada dua macam pengalaman , yakni pengalaman primer
dan pengalaman sekunder. Pengalaman primer adalah pengalaman langsung akan
persentuhan inderawi dengan benda-benda konkret di luar manusia dan akan peristiwa
yang disaksikan sendiri . Pengalaman sekunder adalah pengalaman tak langsung atau
pengalaman reflektif mengenai pengalaman primer . Saya sadar akan apa yang saya lihat
dengan mata saya , apa yang saya dengan dengan telinga saya , dan apa yang saya
rasakan dengan indera peraba saya . Saya sadar akan adanya kenyataan lain di luar saya
yang merangsang organ-organ dalam tubuh saya dan saya juga sadar akan kesadaran saya

2
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

Selain pengalaman inderawi dan nirinderawi , pengetahuan juga didasarkan atas ingatan
Dalam kedudukannya sebagai dasar pengetahuan . baik pengalaman inderawi maupun
ingatan saling mengandaikan . Tanpa ingatan , pengalaman inderawi tidak akan dapat
berkembang menjadi pengetahuan . Di lain pihak , ingatan mengandaikan pengalaman
inderawi sebagai sumber dan dasar rujukannya . Kita hanya dapat mengingat apa yang
sebelumnya pernah kita alami secara inderawi , entah secara langsung atau tidak
langsung Kendati ingatan sering kali dapat menjadi kabur dan tidak tepat , atau dengan
kata lain dapat keliru , namun dalam hidup sehari-hari , baik secara teoritis maupun
praktis , pengetahuan kita dasarkan atas ingatan . Seandainya ingatan sama sekali tak bisa
diandalkan , maka kita tak dapat melakukan tugas sehari-hari . Misalnya kita tidak dapat
menemukan jalan yang pernah kita lalui . Tanpa ingatan , kegiatan penalaran pun menjadi
tidak mungkin . Karena untuk dapat bernalar dan menarik kesimpulan kita harus bisa
mengingat premis-premisnya .

Pengalaman inderawi langsung dan ingatan pribadi mengenai suatu peristiwa atau fakta
tertentu tidak selalu kita miliki . Akan tetapi , pengetahuan juga sering kali kita peroleh
dari kesaksian orang lain yang kita percayai .Dalam hidup sehari-hari kita banyak
mempercayakan diri pada kesaksian orang lain . Dalam mempercayai suatu kesaksian ,
kita tidak mempunyai cukup bukti instrinsik untuk kebenarannya. Yang kita miliki
hanyalah bukti ekstrinsik .Tentu saja untuk menerima suatu kesaksian sebagai suatu
kesaksian yang benar ,suatu bukti instrinsik tetap diperlukan .Kendati kesaksian tidak
dapat memberi kepastian mutlak mengenai kebenaran isi kesaksiannya , namun sebagai
dasar dan sumber pengetahuan cara ini banyak ditempuh .

Tidak semua pengalaman menjadi pengetahuan. Untuk dapat berkembang menjadi


pengetahuan , subyek yang mengalami sesuatu perlu memiliki minat dan rasa ingin tahu
tentang apa yang dialaminya . Maka, hal lain yang mendasari adanya pengetahuan adalah
adanya minat dan rasa ingin tahu manusia . Minat mengarahkan perhatian terhadap hal-
hal yang dialami dan dianggap penting untuk diperhatikan . Ini berarti bahwa dalam
kegiatan mengetahui sebenarnya selalu sudah termuat unsur penilaian . Orang akan
meminati apa yang ia pandang bernilai . Sedangkan rasa ingin tahu mendorong orang
untuk bertanya dan melakukan penyelidikan atau apa yang dialami dan menarik
minatnya. Seperti dinyatakan oleh Aristoteles dalam kalimat pembukaan dari bukunya
Metafisika , pada dasarnya “ semua manusia ingin mengetahui .” Kenyataan ini terungkap
dengan jelas misalnya dalam gejala manusia sebagai makhluk bertanya .

Rasa ingin tahu erat terkait dengan pengalaman kekaguman atau keheranan akan apa
yang dialami . Seperti sudah dikemukakan oleh Plato , kegiatan filsafat sendiri dimulai
dengan pengalaman kekaguman atau keheranan . Kenyataan ini berlaku untuk semua
kegiatan mencari pengetahuan . Dalam gejala manusia bertanya terungkap kenyataan
bahwa manusia di satu pihak sudah tahu sesuatu tetapi sekaligus juga belum tahu , dan ia
ingin tahu mengenai hal-hal yang belum ia ketahui . . Pertanyaan selalu menunjuk pada
kenyataan adanya kemungkinan pengetahuan yang lebih dari apa yang sampai sekarang
sudah diketahui , setiap jawaban atau suatu pertanyaan sering memunculkan pertanyaan
baru yang mengharapkan jawaban . Dapat mengajukan pertanyaan yang tepat

3
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

mengandaikan bahwa orang tahu di mana ia tahu dan di mana ia tidak tahu . Maka ,
mengajukan pertanyaan yang tepat merupakan langkah pertama memperoleh jawaban
yang benar . Hanya kalau orang menyadari akan ketidaktahuannya dan ingin tahu , maka
ia akan bertanya dan berusaha mencari jawaban atas apa yang ia tanyakan . Kesadaran
dan dorongan seperti itu merupakan hal yang mendasar bagi bertambahnya pengetahuan
Hanya kalau orang berusaha untuk dapat memahami dan menjelaskan apa yang dialami,
maka pengalaman dapat berkembang menjadi pengetahuan .

Untuk dapat memahami dan menjelaskan apa yang dialami , manusia perlu melakukan
kegiatan berpikir. Kegiatan berpikir mengandaikan adanya pikiran . Pengalaman dan rasa
ingin tahu manusia sendiri sebenarnya sudah mengandaikan pikiran . Terdorong oleh rasa
ingin tahu , pikiran mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang relevan dengan persoalan
yang dihadapi . Kegiatan berpikir memang lebih dari sekedar bernalar Tetapi kegiatan
pokok pikiran dalam mencari pengetahuan adalah penalaran . Maka, pikiran dan
penalaran merupakan hal yang mendasari dan memungkinkan pengetahuan Tanpa
pikiran dan penalaran tak mungkin ada pengetahuan . Penalaran sendiri merupakan
proses bagaimana pikiran manarik kesimpulan dari hal-hal yang sebelumnya telah
diketahui . Penalaran bisa berbentuk induksi , deduksi maupun abduksi . Induksi adalah
proses penalaran untuk menarik kesimpulan umum dari pelbagai situasi kejadian atau
khusus . Pembuatan perampatan biasanya didasarkan atas adanya pola yang terus
berulang . Sebaliknya deduksi adalah bentuk penalaran yang berangkat dari suatu
pernyataan atau hukum umum ke kejadian khusus yang secara niscaya dapat diturunkan
dari pertanyaan atau hukum tersebut . Abduksi adalah penalaran untuk merumuskan
sebuah hipotesis berupa pernyataan umum yang kemungkinan kebenarannya masih perlu
diuji coba .

Berkat kemampuannya menalar , manusia dapat mengembangkan pengetahuannya .Inilah


yang membedakan manusia dan binatang . Binatang dapat memperoleh pengetahuan ,
atau paling tidak memperoleh pengenalan akan lingkungannya , tetapi hanya hanya
berdasarkan kemampuan insingsif yang dimilikinya . Sebagai pengetahuan instingsif ,
pengetahuan binatang selalu terbatas pada apa yang secara alami telah terprogram dalam
struktur genetisnya . Pada manusia terbuka pelbagai kemungkinan Berkas pikiran dan
daya penalarannya , manusia tidak harus selalu menyesuaikan diri dengan lingkungan
alam dan sosial sekitarnya . Sebaliknya , manusia dapat mengubah lingkungan dan sosial
sekitarnya untuk disesuaikan dengan kepentingan dan kebutuhannya . Justru karena
kemampuan mengubah lingkungan alam dan sekitarnya ini , di antara makhluk hidup di
bumi ini , manusia dapat menjadi faktor paling menyebabkan kerusakan ekologis . Tetapi
berkat kemampuan berpikirnya manusia pulalah yang dapat memiliki kemungkinan lain
Seekor kera dapat makan pisang dengan mengupas kulitnya dan meniru gerak-gerik
manusia dalam memakannya , tetapi hanya manusia yang dapat mengerti pelbagai
kemungkinan yang bisa dilakukan dalam memakan pisang . Bisa langsung dimakan , bisa
digoreng , digodok , dibakar , bisa dalam bentuk bentuk bisa selesai , keripik pisang , roti
pisang , kolak pisang dan sebagainya ,

Kegiatan penalaran tidak dapat dilakukan lepas dari logika . Tidak sembarang kegiatan
berpikir dapat disebut penalaran . Penalaran adalah kegiatan berpikir seturut asas

4
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

kelurusan berpikir atau sesuai dengan hukum logika Penalaran adalah kegiatan berpikir
logis memang belum menjamin bahwa kesimpulan yang ditarik atau pengetahuan yang
dihasilkan pasti benar . Walaupun pengetahuan yang diperoleh dari penalaran yang
memenuhi hukum logika belum terjamin kebenarannya , namun logika tetap merupakan
suatu dasar yang amat perlu untuk memperoleh pengetahuan yang benar . Sebab tanpa
logika , penalaran tidak mungkin dilakukan , dan tanpa penalaran tidak akan ada
pengetahuan yang benar.

Selain logika , penalaran juga mengandalkan bahasa . Maka , bahasa juga merupakan
salah satu hal yang mendasari dan memungkinkan pengetahuan pada manusia . Seluruh
kegiatan berpikir manusia sendiri erat terkait dengan kemampuannya makhluk yang
berbahasa. Pengetahuan manusia diungkapkan dan dikomunikasikan dalam bentiuk
bahasa . Karena dia hubungan saling ketergantungan antara pikiran dan kata , jelaslah
bahwa bahasa bukan hanya suatu sarana mengungkapkan kebenaran yang sudah
dipastikan , tetapi lebih jauh lagi merupakan sarana menemukan suatu kebenaran yang
sebelumnya belum diketahui . Berkat kemampuannya berbahasa manusia mampu
mengembangkan pengetahuannya . Sebab berkat kemampuan tersebut manusia bukan
hanya dapat mengungkapkan dan mengkomunikasikan pikiran , perasaan dan sikap
batinnya , tetapi juga menyimpan, mengingat kembali , mengulas , dan memperluas apa
yang sampai sekarang telah diketahuinya . Penyimpanan dan pewarisan khazanah budaya
masa lalu serta pengembangannya di masa sekartang menuju masa depan , tidak dapat
dilakukan tanpa bahasa .( Sudarminta , 2002 : 32 – 42 )

Salah satu persoalan yang kita perlu singgung dalam kaitan dengan pengetahuan adalah
persoalan mengenai ; Apakah pengetahuan itu mungkin dicapai ? Apakah kita benar-
benar tahu ? Bagaimana kita bisa merasa yakin bahwa kita tahu ? Bukankah apa yang kita
anggap kita ketahui hanya tipuan belaka ? Singkatnya , bagaimana kita tahu bahwa kita
tahu ?

Secara tradisional , pernyataan-pertanyaan ini telah dikemukakan oleh orang-orang yang


bersikap skeptis terhadap adanya pengetahuan . Inilah yang dikenal sebagai skeptisme
Sikap dasar skeptisme adalah bahwa kita tidak pernah tahu tentang apa pun . Bagi mereka
yang menganut skeptisme adalah bahwa kita tidak pernah tahu tentang apa pun . Bagi
mereka yang menganut skeptisme , mustahil manusia mencapai pengetahuan tentang
sesuatu , atau paling kurang bahwa manusia tidak pernah merasa pasti dan yakin apakah
ia bisa mencapai pengetahuan tertentu .Dengan kata lain , skeptisme meragukan
kemungkinan bahwa manusia bisa mengetahui sesuatu karena tidak ada bukti yang cukup
untuk mempertahankan bahwa manusia benar-benar tahu tentang sesuatu .

Skeptisme sudah berkembang sejak zaman Yunani kuno pada kelompok filsuf yang
dikenal sebagai kaum Sofis . Kaum Sofis meragukan kemungkinan pengetahuan akan
alam karena menurut mereka manusia adalah ukuran dari segala-galanya . Maka , yang
disebut penelitian akan alam tidak mungkin karena kalaupun ada pengetahuan akan alam,
pengetahuan ini harus bersumber pada manusia . Dengan kata lain . bagi kaum Sofis , apa
yang dianggap sebagai pengetahuan sesungguhnya hanyalah kontruksi sosial manusia

5
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

Tidak ada realitas yang bisa diketahui secara nyata sebagaimana adanya Yang ada
hanyalah konstruksi manusia tentang realitas itu .

Skeptisme terutama muncul karena anggapan bahwa pengetahuan menyangkut kepastian


Apa yang diklaim sebagai pengetahuan adalah kalau apa yang diklaim itu pasti benar
Tidak ada hal yang dapat diketahui kecuali kalau hal hal itu pasti benar . Kalau kita perlu
tahu sesuatu , hal itu pasti benar dan tidak bisa salah . Persoalannya , bagaimana kita
tidak bisa tahu bahwa hal itu pasti benar ? Dengan bukti ! Tetapi, bagaimana kita bisa
tahu bahwa bukti itu benar dan bukan hanya tipuan belaka ? Menurut paham skeptisme ,
kita sulit memberikan bukti proposisi apa pun yang diklaim sebagai pengetahuan . Para
skeptis mempertanyakan apakah kita bisa memperoleh informasi yang dapat diandalkan
tentang segala sesuatu . Ternyata kita tidak pernah tahu secara pasti tentang kebenaran
dari apa yang kita klaim sebagai sesuatu yang kita ketahui . Jadi , kita sesungguhnya
tidak tahu . Maka , tidak ada yang tahu pasti tentang dunia di sekitarnya . Singkatnya
tidak ada pengetahuan .( Sony Keraf , 2001 : 40 – 41 )

Skeptisme beranggapan bahwa pengetahuan musthasil dicapai . Dalam sejarah filsafat ,


persoalan ini dijawab secara berbeda oleh dua aliran pemikiran , yaitu rasionalisme dan
empirisme . Rasionalisme lebih dikenal sebagai filsafat Kontinental karena tokoh-
tokohnya terutama berasal dari Eropa Daratan , seperti Rene Descartes , W.G. Leibniz ,
dan Barukh Spinoza . Kaum rasionalis beranggapan bahwa kita dapat sampai pada
pengetahuan yang pasti hanya dengan mengandalkan akal budi . Sebaliknya , empirisme
lebih dikenal sebagai filsafat Inggris karena tokoh-tokohnya berasal dari Inggris , seperti
John Locke , David Hume dan Berkely .Bagi kaum empiris ini, kita bisa sampai pada
pengetahuan yang pasti dengan mengandalkan pencaindra kita yang memberi kita
informasi tentang obyek tertentu .

Revolusi Ilmu Pengetahuan

Revolusi Ilmu Pengetahuan muncul di Eropa sekitar abad ke – 17 , Revolusi itu menandai
bangkitnya kelompok intelektual bangsa Eropa mengenai cara berpikir keilmiahan . Pada
masa itu Eropa dilanda krisis kehidupan yang cukup berat .Banyaknya pengangguran ,
kehidupan perekonomian yang tidak menguntungkan sebagian rakyat jelata , dan
kehidupan kenegaraan feodalisme yang sangat materialistis-kapitalistis menumbuhkan
berbagai gejolak pada bangsa-bangsa Eropa. Berbagai revolusi terjadi dalam sejarah
perkembangan bangsa-bangsa Eropa , seperti revolusi pertanian, revolusi industri ,
revolusi Perancis serta revolusi ilmu pengetahuan .

Apakah yang dimaksud dengan revolusi ilmu pengetahuan itu ? Revolusi ilmu
pengetahuan adalah perubahan cara berpikir masyarakat intelektual Eropa dari cara
berpikir yang ontologism ke cara berpikir matematis mekanistis . Cara berpikir
ontologism merupakan warisan yang ditinggalkan bangsa-bangsa Eropa ketika kondisi
yang dialami manusia beserta pengetahuan yang dimilikinya menunjukkan cara berpikir
Abad Pertengahan . Pada masa itu diberlakukan hukum agama untuk segala-galanya ,
termasuk dalam dunia pengetahuan . Dunia harus dilihat secara apa adanya , yang secara

6
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

alamiah memang menjadi milik manusia dan muncul karena adanya penciptaan Sang
Kuasa. Keadaan itu berlangsung cukup lama hingga muncul Abad Renaisance yang
mengubah segalanya . Manusia tidak lagi sekedar menjadi citra Tuhan ( Imago Dei ) ,
tetapi memiliki rasio, kreativitas , dan keinginan untuk maju dan mampu memperbaiki
kebudayaan . Dunia manusia dan pengetahuannya adalah dunia antroposentris , dunia
yang terpusat pada kekuatan akal budi manusia . Pada Abad Renaisance , kejayaan
bangsa Eropa mulai terbangun , mulai tumbuh minat masyarakat mempelajari
pengetahuan yang berlandaskan rasionalitas dan empiristis Berbagai peninggalan
bangunan yang megah berikut karya seni yang mutu estetisnya sangat tinggi ( seni lukis ,
pahat , dan arsitektur ) di daratan Eropa menandai bangkitnya bangsa-bangsa Eropa untuk
menguasai dunia seni dan ilmu pengetahuan . Tokoh –tokoh pembaharu humanis
Renaisanmce , seperti Leonardo da Vinci , Michelangelo, N Copernicus , J Keppler , dan
Galileo Galilei sangat termashur dengan karya-karya dan penemuan dalam bidang seni
dan ilmu pengetahuan . Fenomena alam dan sosial budaya dipelajari serta diamati secara
cermat untuk kemudian dimanfaatkannya . Berkat upaya yang cukup lama dan tak kenal
lelah berkembanglah ilmu-ilmu pengetahuan alam , seperti fisika, kimia, dan kedokteran ,
dan itu terjadi pada Abad Aufklarung . Sir Isaac Newton , perintis ilmu fisika ,
mendasarkan fisika klasik dalam bukunya Philosophiae naturalies principia
mathematica
Ilmu Pengetahuan Alam berdasarkan prinsip-prinsip matematis . Sesuatu yang penting
muncul dalam pemikiran para ilmuwan pada revolusi ilmu pengetahuan : adanya
perubahan terhadap cara pandang dalam melihat materi . Materi dianggap sebagai sesuatu
yang dapat bersifat konstan atau pun mengalami perubahan karena adanya gerakan
tertentu . Materi dapat dikaji dengan menggunakan perhitungan matermatika dan sejak
saat itu mulailah diterapkan suatu bidang ilmu pengetahuan yang saat itu mulailah
diterapkan suatu bidang ilmu pengetahuan yang menggunakan percobaan sekaligus
disertai model dan pengukuran tertentu . Sejak itulah ilmu pengetahuan , khususnya ilmu
pengetahuan alam (fisika ) , berkembang pesat dengan pendekatan matematis yang
ditetapkan dalam penganalisasi .

Cara berpikir matematis mekanistis dalam revolusi ilmu pengetahuan yang dipelopori
oleh Newton menjadi semacam gaya para ilmuwan dalam mengkaji obyek permasalahan
dalam penelitian . Alam sekeliling dilihat sebagai sesuatu yang dapat diukur . Benda
dianggap memiliki kriteria tertentu ( berat, luas, isi dan sebagainya ) . Di samping itu
ada anggapan bahwa benda memiliki gerak tertentu apabila dijatuhkan dari ketinggian
tertentu . Dengan pengamatan semacam itulah maka berbagai pendekatan terhadap cara
kerja ilmu pengetahuan dikembangkan . Pendekatan yang bersifat kausilitas mewarnai
cara kerja ilmu pengetahuan . Benda atau segala sesuatu lantas dapat disimpulkan
memiliki sifat tertentu , terstruktur . alam semesta , misalnya , berdasarkan matematis
terlihat terstuktur , sehingga keteraturan hukum alam atau sifat mekanistis itu hingga
sekarang menjadi fokus dalam cara kerja ilmu pengetahuan . Cara kerja ilmiah didukung
dengan percobaan atau eksprimen yang selalu berusaha menyempurnakan hasil
percobaan melalui usaha uji coba . Dalam laboratorium , percobaan itu juga didukung
dengan sebuah model, suatu tiruan obyek yang sesungguhnya ( obyek yang dijadikan
sebagai obyek penelitian ) . Dengan model itu para ilmuwan dapat menganalisis bahkan
mengembangkan penelitiannya dengan lebih sempurna.

7
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

Akibat dari perjalanan dan proses revolusi ilmu pengetahuan . memunculkan nilai-nilai
dasar yang tampil pada perubahan cara berpikir manusia . Nilai pertama adalah alam
Alam semesta memiliki tata susun dan berada pada hukum alam, serta kosmos
merupakan sesuatu yang dianggap memiliki struktur tertentu . Adanya nilai alam
menyebabkan orang melihat bahwa alam merupakan bagian dari kehidupan manusia ,
sehingga keberadaan alam tidak untuk dirusak , tetapi diakrabi , dicintai , dan dapat
dimanfaatkan bagi kehidupan manusia .Kedua , Nilai Budaya . Kemajuan manusia
ditandai dengan penguasaan terhadap ilmu pengetahuan . Dengan kemajuan manusia ,
terutama dalam cara berpikir yang antroposentris , manusia mampu mengubah
kebudayaan dan teknologi menjadi sesuatu yang sangat berarti dan bermakna bagi
kehidupan manusia melalui proses belajar .Yang terakhir , Nilai Ekonomi . Ia tercipta
karena para pelaku revolusi ilmu pengetahuan memiliki semangat etos kerja atau etos
yang tinggi . Para ilmuwan mulai menciptakan teknologi yang tepat guna bagi kebutuhan
manusia , misalnya diciptakan mesin untuk mengisi – mula-mula kerja tahapan industri
rumahan hingga ke industri pabrikasi . Hasil atau benda kebutuhan hidup dapat
diciptakan berkat adanya mesin yang mampu menghasilkan produk hingga menembus
pasar dengan daya jual tinggi . Dengan demikian terciptalah nilai ekonomis yang
menuntut kemandirian dan tanggung jawab bagi para pelaku pasar agar nilai ekonomis
dapat dimanfaatkan bagi seluruh masyarakat . ( Budianto , 2002 : 30 – 33 )

Akal dan Pengalaman

Inti dari pandangan rasionalisme adalah bahwa hanya dengan menggunakan prosedur
tertentu dari akal saja kita bisa sampai pada pengetahuan yang sebenarnya , yaitu
pengetahuan yang tidak mungkin salah . Menurut kaum rasionalis, sumber pengetahuan ,
bahkan sumber satu-satunya adalah akal budi manusia . Akal budilah yang memberi kita
pengetahuan yang pasti benar tentang sesuatu . Konsekuensinya , kaum rasionalis
menolak anggapan bahwa bisa menemukan pengetahuan melalui pancaindera kita . Bagi
mereka , akal budi saja sudah cukup memberi pemahaman bagi kita , terlepas dari
pancaindera . Dengan demikian , akal budi saja bisa membuktikan bahwa ada dasar bagi
pengetahuan kita, bahwa kita boleh merasa pasti dan yakin akan pengetahuan yang kita
peroleh .

Rene Descartes adalah filsuf yang meneruskan sikap kaum skeptis . Ia menganggap
serius anjuran kaum skeptis supaya kita perlu meragukan semua keyakinan dan
pengetahuan kita, bahkan kita perlu meragukan apa saja. Bagi Descartes , inilah metode
filsafat yang paling tepat . Sasaran utama dari Descartes adalah bagaimana kita bisa
sampai pada pengetahuan yang pasti benar . Menurutnya , kita perlu meragukan segala
sesuatu sampai kita mempunyai ide yang jelas dan tepat ( clara et distincta ) . Dengan
kata lain , Descartes menghendaki agar kita tetap meragukan untuk sementara waktu apa
saja yang tidak bisa dilihat dengan terang akal budi sebagai yang pasti benar dan tak
diragukan lagi

8
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

Ini disebut sebagai keraguan metodis , yang berfungsi sebagai alat untuk menyingkirkan
semua prasangka , tebakan , dan dugaan yang menipu , dan karenanya menghalangi kita
untuk sampai pada pengetahuan yang benar-benar punya dasar yang kuat . Hanya dengan
cara ini , kita bisa merasa yakin bahwa kita punya pengetahuan . Atas dasar ini, Descartes
beranggapan bahwa hanya akal budi yang dapat membuktikan bahwa ada dasar bagi
pengetahuan manusia , ada dasar untuk merasa pasti dan yakin akan apa yang diketahui .

Descartes sesungguhnya terkesan dengan hasil yang dicapai oleh matematika pada
umumnya dan ilmu ukur khususnya . Menurut Descartes , kalau metode yang digunakan
dalam ilmu ukur , yang mengandalkan deduksi akal budi .bisa berhasil untuk sampai pada
kebenaran-kebenaran yang tak bisa diragukan , mengapa metode yang sama tidak bisa
digunakan dalam ilmu yang lain .Atas dasar inilah , Descartes berpendapat bahwa untuk
sampai pada pengetahuan yang pasti dan tak teragukan mengenai apa saja , kita perlu
mengandalkan akal budi kita sebagaimana halnya dalam ilmu ukur . Oleh karena itu kita
perlu meragukan apa saja , termasuk yang ditangkap oleh pancaindera kita . Yang perlu
kita lakukan adalah menggunakan alat yang sama yang memungkinkan ahli ilmu ukur
dan matematika sampai pada kebenaran yang pasti , yaitu akal budi , karena hanya akal
budi yang bisa memberi kepastian

Sesungguhnya metode Descartes sangat sederhana . Menurutnya , kita harus meragukan


segala sesuatu yang kita tangkap dengan pancaindera kita sampai pada akhirnya tidak
bisa meragukan hal itu . Semua yang diragukan disingkirkan dan terus-menerus begitu
sampai kita mengetahui sesuatu secara pasti tanpa bisa diragukan lagi . Itu adalah
kebenaran atau pengetahuan yang benar . Dengan kata lain, untuk bisa sampai pada
kebenaran kita perlu meragukan segala hal , termasuk pendapat dan pengalaman kita
sendiri . ini kita lakukan dengan mengandalkan akal budi , dengan berpikir .

Bagi Descartes , keraguan metodis bukanlah tujuan yang harus dicapai . Keraguan ini
hanya merupakan sarana untuk menemukan segala sesuatu yang biasa kita ketahui secara
pasti . Dengan cara ini kita bisa sampai pada kebenaran tertentu yang tidak bisa lagi
diragukan , dan ini memberi landasan yang kokoh bagi pengetahuan kita .

Seperti halnya rasionalisme dan para filsuf rasionalis , empirisme dan juga para filsuf
empiris , sesungguhnya ingin menanggapi persoalan yang diajukan skeptisme
Bagaimana kita bisa sampai pada pengetahuan yang pasti benar ? Seperti kaum rasional ,
kaum empiris pun ingin mencari dasar yang kokoh , dasar pembenaran bagi pengetahuan
sejati . Mereka juga ingin mencari bukti yang kuat bagi pengetahuan yang benar . Mereka
pun berusaha menemukan pembenaran , atau pembuktian yang kokoh bagi pengetahuan
manusia . Mereka pun menuntut kepastian akan kebenaran pengetahuan manusia dan
karena itu menolak pengetahuan yang tidak didasarkan pada bukti yang meyakinkan .

Hanya saja, berbeda dengan paham rasionalisme , empirisme adalah paham filosofis yang
mengatakan bahwa sumber satu-satunya bagi pengetahuan manusia adalah pengalaman
Yang paling pokok untuk bisa sampai pada pengetahuan yang benar , menurut kaum
empiris , adalah data dan fakta yang ditangkap oleh pancaindera kita . Dengan kata lain,
satu-satunya pengetahuan yang benar adalah yang diperoleh melalui pengalaman dan

9
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

pengamatan pancaindera tersebut yang memberi data dan fakta bagi pengetahuan kita
Semua konsep dan ide yang kita anggap benar sesungguhnya bersumber dari pengalaman
kita dengan objek yang kita tangkap melalui pancaindra .

Atas dasar ini, bagi kaum empiris , semua pengetahuan manusia bersifat empiris
Pengetahuan yang benar dan sejati , yaitu pengetahuan yang pasti benar adalah
pengetahuan inderawi , pengetahuan empiris.

Seperti halnya kaum rasionalis , John Locke ingin mencari hal yang asli atau kepastian
mengenai pengetahuan manusia . Menurut Locke, semua konsep atau ide yang
mengungkapkan pengetahuan manusia , sesungguhnya berasal dari pengalaman manusia
Konsep atau ide-ide ini diperoleh dari pancaindra atau dari refleksi atas apa yang
diberikan oleh pancaindera .

Locke menolak pendapat kaum rasionalis bahwa manusia telah dilahirkan dengan ide-ide
bawaan , dengan prinsip-prinsip pertama yang bersifat mutlak dan umum . Baginya ,
manusia dilahirkan ke dunia ini seperti sebuah kertas putih yang kosong , tanpa ada ide
atau konsep apa pun , Jiwa manusia adalah seperti taluba rasa . Maka , kalau kita punya
konsep atau ide tertentu tentang dunia ini, itu harus dianggap sebagai ide yang keliru .

Locke ingin menjawab dua pertanyaan pokok . Pertama , dari mana kita memperoleh ide-
ide kita tentang sesuatu . Kedua , apakah kita dapat mengandalkan apa yang ditangkap
oleh pancaindera kita untuk bisa sampai pada pengetahuan . Dalam menjawab kedua
pertanyaan ini, Locke beranggapan bahwa semua konsep , pemikiran , dan ide kita
bersumber dari apa yang ditangkap melalui dan dengan pancaindera kita . Sebelum kita
menangkap sesuatu dengan pancaindera kita, akal budi berada dalam keadaan kosong
tanpa isi apa pun . Akal budi kita hanya bisa mengetahui sesuatu karena mendapat
informasi yang diperoleh melalui pancaindera. Sebelum ada informasi dari pancaindra ,
akal budi kita mirip dengan kertas yang belum ditulis apa-apa .

Locke membedakan antara dua macam ide; ide-ide sederhana dan ide-ide kompleks . Ide-
ide sederhana adalah ide yang kita tangkap melalui penciuman , penglihatan , rabaan ,
dan semacamnya . Pada saat indera menangkap sesuatu objek secara langsung dan
spontan , muncul ide-ide sederhana tentang obyek itu ; manis, kasar, hitam, besar , kecil,
dan semacamnya. Tetapi, akal budi kita hanya hanya menerima secara pasif ide-ide itu
dari luar . Ia kemudian mengolah lebih lanjut ide-ide itu, dengan memikirkan ,
meragukan , mempertanyakan , menggolongkan , dan mengolah apa yang diberikan
pancaindera, dan seterusnya , dan dengan demikian lahirlah refleksi . Refleksi inilah yang
memungkinkan adanya ide-ide yang lebih kompleks dari ide-ide sederhana tadi .

Dengan ini Locke mau mengatakan bahwa yang kita tangkap secara langsung dari
pancaindra hanyalah ide-ide sederhana . Baru setelah sekian kali menangkap obyek yang
sama lalu merenungkan , membandingkan , atau merefleksikan , terbentuklah ide yang
lebih kompleks tentang obyek itu . Ide-ide sederhana adalah ide yang muncul dan
disebabkan oleh benda-benda yang kita tangkap dengan pancaindra . Dengan demikian
ide-ide ini tidak bisa keliru . Sedangkan ide-ide kompleks adalah hasil dari refleksi , hasil

10
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

dari olah pikir akal budi . Jadi , tidak diberikan langsung oleh obyek itu . Oleh karena itu
ide-ide kompleks inilah yang bisa keliru . ( Sony Keraf , 2001 : 43 – 60 )

Immanuel Kant telah melakukan usaha untuk menjembatani pandangan-pandangan yang


saling bertentangan , yaitu antara rasionalisme dan empirisme. Kekurangan-kekurangan
yang ditunjukkan oleh masing-masing pandangan tersebut di atas hendak digantinya
dengan pandangan yang memberi keleluasaan bagi adanya bahan-bahan yang bersifat
pengalaman inderawi dan juga bagi adanya bahan-bahan yang bersifat pengalaman
inderawi dan juga bagi adanya subyek yang mengetahui yang secara aktif mengelola
bahan-bahan yang bersifat pengalaman inderawi tersebut . Sebagaimana telah disebutkan
paham empirisme secara berat sebelah memberikan titik berat pada pengalaman inderawi
yang bersifat langsung sedangkan paham rasionalisme memberikan peranan yang terlalu
besar kepada pikiran manusia , artinya memberikan titik berat atau pengutamaan pada
penglihatan yang bersifat akali dan penjabaran yang bersifat logik.

Filsafat Immanuel Kant , yang disebut dengan aliran filsafat kritisme . Kritisme adalah
sebuah teori pengetahuan yang berusaha untuk mempersatukan kedua macam unsur
dalam filsafat rasionalisme dan empirisme dalam suatu hubungan yang seimbang , yang
satu tidak terpisahkan dari yang lain . Menurut Kant pengetahuan merupakan hasil
terakhir yang diperoleh dengan adanya kerja sama di antara dua komponen , yaitu di satu
pihak berupa bahan-bahan yang bersifat pengalaman inderawi , dan di lain pihak cara
mengelolah kesan-kesan yang bersangkutan sedemikian rupa sehingga terdapat suatu
hubungan antara sebab dan akibatnya . Sesungguhnya relasi-relasi antara sebab dan
akibat tidaklah terdapat di dalam dunia seperti yang terhampar di depan kita yang adanya
tidak tergantung pada kita , melainkan merupakan bentuk –bentuk penafsiran manusia
yang gunanya ialah agar gejala-gejala yang begitu beraneka ragam yang kita hadapi,
dapatlah dijadikan sesuatu yang dapat kita pahami dan kalau dapat kita pergunakan
untuk kepentingan kita .

Kant yang mencoba untuk mempersatukan rasionalisme dan empirisme , mengatakan


bahwa dengan hanya mementingkan salah satu dari kedua aspek sumber pengetahuan
( rasio dan empiris ) tidak akan diperoleh pengetahuan yang kebenarannya bersifat
universal sekalgus dapat memberikan informasi baru . Pengetahuan yang rasional adalah
pengetahuan yang analistis a priori di sini predikat sudah termuat dalam subyek
Sedangkan pengetahuan yang empiris adalah pengetahuan yang sintesis a posteriori, di
sini predikat dihubungan dengan subyek yang berdasarkan pengalaman inderawi
Masing-masing mempunyai kekuatan dan kelemahan . Pengetahuan rasional ( analistis a
priori ) adalah pengetahuan yang bersifat universal , tapi tidak memberikan informasi
baru . Sebaliknya pengetahuan empiris ( sintesis a posteriori ) dapat memberikan
informasi baru , tetapi kebenarannya tidak universal .

Untuk menyelesaikan perbedaan pandangan antara rasionalisme dan empirisme ini . Kant
mengemukakan bahwa pengetahuan itu seharusnya sintesis a priori . Yang dimaksud
dengan pengetahuan yang sintesis a priori . Yang dimaksud dengan pengetahuan yang
sistesis a priori ini ialah ; pengetahuan bersumber dari rasio dan empiris yang sekaligus
bersifat a priori dan a posteori . Di sini akal budi dan pengalaman inderawi dibutuhkan

11
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

serentak . Selanjutnya Kant mengatakan bahwa pengetahuan selalu bersifat sintesis


Pengetahuan inderawi misalnya merupakan sintesis hal-hal dari luar dan dari bentuk-
bentuk ruang dan waktu di dalam saya . Sedangkan pengetahuan dari akal merupakan
sintesis dari data inderawi dan sumbangan kategori-kategori .

Dengan filsafat kritisnya Immanuel Kant telah menunjukkan jasanya yang besar , karena
berdasarkan atas penglihatannya yang begitu jelas mengenai keadaan yang saling
mempengaruhi di antara subyek pengetahuan dan obyek pengetahuan . Ia telah
memberikan pembetulan terhadap sikap berat sebelah yang dikemukakan oleh penganut
rasionalisme dan empirisme. Sehingga ia telah membuka jalan bagi perkembangan
filsafat di kemudian hari . ( Mustansyir , 2001 : 81 – 84 )

Cara Kerja Ilmu Empiris dan Deduktif

Ilmu empiris adalah ilmu yang bertitik tolak pada pengalaman inderawi. Pengalaman
inderawi diartikan sebagai sentuhan , penglihatan , penciuman , dan pengecapan terhadap
sesuatu yang diamatinya . Biologi , kedokteran , ilmu kimia , botani , dan geologi
merupakan contoh ilmu empiris . Pengalaman inderawi seorang ilmuwan berkaitan
dengan obyek penelitian yang sifatnya sangat kongkret dan faktual . Dalam pengamatan
atau observasi terhadap obyek , seorang ilmuwan , dan atau mahasiswa dapat
menggunakan sarana tertentu untuk pengamatannya . Sarana itu dapat berupa alat-alat
seperti mikroskop , teleskop , thermometer , neraca , atau pun alat-alat pengukur
lainnya.Tujuan pengamatan adalah untuk memperoleh atau menangkap semua gejala dari
obyek penelitian serta untuk menjelaskannya dengan benar . Hasil pengamatan itu berupa
data awal yang harus dicatat dengan cermat , yang kelak akan sangat berguna bagi
analisis sebuah penelitian .

Ilmu empiris memiliki obyek yang dapat dibedakan dari dua aspek , yaitu obyek materi
yang berupa alam semesta dan obyek forma yang berupa sasaran khusus atau pokok
perhatian seseorang terhadap sesuatu yang menjadi minatnya . Obyek forma dapat berupa
minat yang sangat tinggi tentang kesehatan manusia , tentang pertumbuhan dan
perkembangan tumbuh-tumbuhan dan /atau hewan, adat istiadat suatu bangsa
/masyarakat tertentu . Dari hasil pengamatan terhadap obyek forma yang beraneka ragam
itu muncul ilmu-ilmu tertentu yang bersifat empiris , misalnya ilmu kedokteran, biologi ,
ilmu teknik , botani , zoology , antropologi dan ilmu sosial .

Pendekatan atau metode merupakan ciri mendapatkan data saat ilmuwan sedang
melakukan pengamatan atau observasi . Tujuan pengamatan atau observasi adalah
memperoleh data yang berasal dari obyek penelitian . Ketika observasi berlangsung ,
seorang ilmuwan harus memiliki ketajaman berpikir serta penalaran yang logis . Untuk
itulah dalam pengamatan pun diperlukan suatu metode atau pendekatan teknik tertentu
Ilmuwan ilmu empiris lazimnya menggunakan pendekatan atau metode induktif . Metode
induktif adalah metode yang digunakan untuk menarik kesimpulan yang bersifat umum
dari penalaran yang bersifat khusus . Pada penalaran yang sifatnya khusus itu seorang
pengamat akan mengamati beberapa hal atau sesuatu yang memiliki ciri-ciri khusus

12
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

Selain itu , metode eksplanasi ( metode eklaren ) – yakni metode yang bersifat
menerangkan hubungan antara gejala satu dan gejala lainnya juga dapat menjadi metode
dasar ilmu empiris. Hubungan antargejala dapat diamati berdasarkan sebab-akibat
( kausalitas ) , fungsionalitas , atau pun sistemik ( Budianto, 2002 : 63 – 64 ) .

Untuk memperoleh pemahaman cara kerja ilmu empiris (induksi) ada baiknya kita
melihat pengamatan dan penemuan dalam bidang ilmu falak . Sejak masa purba di dunia
Barat kebanyakan ahli ilmu falak mengembangkan ilmu ini sampai mencapai suatu
bentuk klasik dalam sistem Ptolemaios (sekitar 130 M ) , ahli ukur yang ulung dan amat
teliti . Pandangan yang dulu pernah dikemukakan Aristarkhos dari Samos ( sekitar 310 –
230sM ), bahwa bumi mengitari matahari , sudah dilupakan dan ditinggalkan dalam
sistem ciptaan Ptolemaios , yang kalau dilihat dari sudut matematika , mendekati
kesempurnaan . Cirinya geosentris , yaitu menganggap bumi sebagai pusat semesta , dan
semua benda angkasa mengitarinya . Selama seribu tahun lebih , ahli ilmu falak Mesir
( Iskandaria ) itu tak tergoyahkan , meskipun melalui ahli-ahli dunia Islam – umpamanya
al-Battani , 850 – 929 – karyanya diperkaya dengan hasil bumi falak India . Kendati dari
sudut matematika hampir sempurna , dan mampu menerangkan serta meramalkan hampir
semua gejala yang diamati , namun ada banyak unsur dalam sistem itu yang agak
berbelit-belit dan dibuat-buat . Di samping dan “ di dalam “ langit dengan bintang-
bintang tetap yang berupa suatu bola raksasa dengan bumi sebagai pusatnya , yang
ukurannya disamakan dengan satu titik saja jika dibandingkan bola angkasa mahabesar
itu , ada sejumlah bola hablur yang lebih dekat dengan bumi . Masing-masing bola hablur
itu merupakan tempat peredaran matahari , bulan (keduanya dengan peredaran tetap dan
teratur ) dan planet-planet . Peredaran planet itulah yang menjadi tantangan utama bagi
Ptolemaios , para ahli ilmu falak dan matematika , karena dalam pandangan geosentris ,
peredaran itu kurang teratur ; kadang-kadang maju, maju lebih cepat daripada benda
angkasa lainnya , mengurangi kecepatan , berhenti , bahkan juga mundur . Pandangan
geosentris berhasil ,menerangkan kejadian-kejadian itu secara matematis dengan
mengandaikan adanya epicyli. Epicycli adalah lingkaran peredaran untuk setiap planet
yang mengitari salah satu titik bola hablurnya masing-masing , yang secara teratur
berpindah tempat menurut lingkaran , umpamanya matahari atau bulan , tetapi titik pusat
peredaran epicyclus planetnya tidak dapat diamati , yang dapat diamati hanyalah planet
yang tersangkut saja .

Tingkah laku planet-planet sedemikian itu mengakibatkan dirasakan perlunya


mengadakan perubahan dalam sistem Ptolemaios . Perubahan itu dirintis oleh Nicolaus
Copernicus ( 1473 – 1543 Seakan-akan melakukan percobaan teoritis ia mengemukakan
hipotesa bahwa matahari merupakan sustu sistem tersendiri dengan planet-planetnya dan
bahwa salah satu planet itu adalah bumi, sedangkan bintang-bintang tetap mengikuti
sistem yang lama. Keuntungannya ialah bahwa peredaran planet-planet lebih mudah
diterangkan dan diperhitungkan menurut matematika. Sedang kesulitannya ialah bahwa
dalam bidang ilmu falak tak mungkin diadakan percobaan . Sementara itu pengamatan
tidak membenarkan bahwa peredaran planet-planet dan bumi itu terjadi dalam bentuk
lingkaran seperti dikemukakan Copernicus . Ternyata di sini masih diperlukan hasil karya
Tycho Brahe ( 1546 – 1601 ) dengan pengamatannya yang amat teliti , Johanes Kepler
(1571 – 1630 ) yang mengubah hipotesa Copernicus mengenai peredaran dalam bentuk

13
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

lingkaran menjadi peredaran dalam bentuk elipsa., dan juga Galileo Galilei yang dengan
penemuan teropong bintang (teleskop ) antara lain memungkinkan pengamatan terhadap
bulan dan terutama planet-planet dengan bulannya masing-masing , yang belum pernah
dilihat mata manusia . Harus diakui bahwa perlawanan paling lama yang membantah
anggapan-anggapan Copernicus sampai dengan Galilei berasal dari sudut gereja, karena
anggapan-anggapan itu diperkirakan melawan ajaran Kitab Suci dan ajaran iman
mengenai manusia sebagai makhluk paling luhur yang bertempat tinggal di bumi Di
samping itu paling luhur yang bertempat tinggal di bumi . Di samping itu memang tak
satu pengamatan atau deretan pengamatan pun membuktikan kebenaran sistem yang
direncanakan Copernicus , yaitu suatu sistem heliosentris.

Tahap berikutnya dalam perkembangan ilmu falak berkaitan dengan nama Isaac Newton
(1642 – 1727 ) yang menjadi ahli dalam ilmu alam . Anggapan-anggapannya tentang
gravitasi – ukuran kecil maupun ukuran sebesar sistem matahari - mengakibatkan sistem
Copernicus –Kepler – Galilei disempurnakan lagi dan ditempatkan dalam keseluruhan
yang lebih luas . Perkembangan mutakhir terjadi sejak akhir abad lalu dan permulaan
abad ini dengan perkembangan baru tentang ciri khas cahaya serta teori relativitas ,
sedang matematika modern maupun fisika mikro dan makro ikut berperan dalam
kemajuan itu . ( Verhaak , 1989 : 29 – 32 )

Ilmu deduktif adalah ilmu pengetahuan yang membuktikan kebenaran ilmiahnya melalui
penjabaran-penjabaran (deduksi ) . Berbeda dengan ilmu empiris yang mendasarkan pada
pengalaman inderawi , penjabaran-penjabaran dalam ilmu deduktif dilakukan melalui
penalaran berdasarkan hukum-hukum atau norma-norma yang bersifat logis . Dari
norma-norma tersebut muncul suatu penalaran atas dasar perhitungan secara pasti
Dengan demikian , dalam ilmu deduktif terdapat suatu penalaran bersifat khusus yang
diperoleh dari kesimpulan bersifat umum .

Ilmu-ilmu deduktif dikenal pula sebagai ilmu matematis , artinya suatu pengetahuan yang
menjelaskan atau menjabarkan sesuatu atas dasar perhitungan yang pasti . Penalaran
deduktif diperoleh dari penjabaran dalil-dalil , atau rumus-rumus , yang kebenarannya
tidak dibuktikan melalui penyelidikan empiris melainkan melalui penjabaran dalil-dalil
yang telah ada sebelumnya . Suatu dalil atau rumus matematika dibuktikan kebenarannya
berdasarkan dalil-dalil yang telah ada atau dalil lain berdasarkan suatu hitungan , ukuran ,
dan timbangan , bukan atas dasar observasi . Dalam membuktikan kebenaran tersebut
digunakan perangkat tertentu , seperti aritmatika , matematika, goniometri dan ilmu ukur.
Asas matematika hanya mengenal two value logic “ logika dua nilai “ , yaitu benar atau
tidak benar (salah ) ,

Obyek ilmu deduktif adalah angka atau bilangan yang jumlahnya satu atau lebih dari satu
yang kemudian dikenal dengan himpunan.. Obyek tersebut merupakan lambang atau
simbol yang digunakan sebagai relasi antar objek . Pemakaian simbol-simbol dalam ilmu
deduktif dimaksudkan agar validitas atau keabsahan pembuktian penjabaran-penjabaran
dalil atau aksioma atau pun rumus terbukti tidak salah dan benar .

14
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

Pendekatan yang tepat untuk ilmu-ilmu deduktif adalah pendekatan yang bersifat pasti
dan logis . Dalam ilmu-ilmu pasti Dalam ilmu-ilmu pasti , pendekatan yang digunakan
adalah cara kerja deduktif yang menggunakan simbol-simbol dengan mendasarkan pada
keruntutan penalaran yang pasti . Dalam matematika , penalaran diarahkan pada
bagaimana sebuah rumus suatu perhitungan atau aritmatika ( dari rumus sederhana
hingga rumus mutakhir ) dapat diterapkan secara deduktif ke dalam suatu problem .

Pendekatan lain dalam cara kerja deduktif adalah asas logika . Logika diartikan sebagai
teknik berpikir dan diciptakan untuk meneliti ketepatan penalaran . Untuk memahaminya
orang harus memiliki pengertian yang jelas tentang penalaran . Penalaran adalah proses
berpikir manusia yang runtut yang hasilnya adalah pemikiran . Dalam logika , deduksi
diberi batasan sebagai penalaran dengan kesimpulan yang wilayahnya lebih sempit
daripada wilayah premisnya . Beberapa asas dan hukum logika sederhana selalu berkisar
tentang penyimpulan berdasarkan putusan yang bersyarat atau hipotesis ( Budianto,
2002 : 65 – 67 ) .

Untuk memperoleh pemahaman mengenai ilmu deduktif ada baiknya mengetahui cara
kerja ilmu pasti . Awal mula ilmu pasti berhubungan erat dengan kebutuhan praktis , dan
pengamatan empiris . Dengan kebutuhan praktis dimaksudkan kebutuhan pengukuran ,
yang memang tidak dapat dipisahkan dari upaya manusia mengatasi kendala-kendala
hidupnya . Umpamanya keperluan mengukur kembali dengan tepat tanah yang secara
berkala digenangi air entah itu di Mesir , Mesopotamia , India , Cina ( pusat-pusat
kebudayaan dan perkembangan ilmu kuno ) maupun dalam rangka pembangunan
piramida di Mesir . Sedang dengan pengamatan empiris dimaksudkan , umpamanya
dalam kaitan dengan ilmu falak , penanggalan , dan perhitungan tahun sehubungan
dengan agama , dan juga dalam rangka upaya mengarungi samudra .

Pada masa klasik sudah tersusunlah suatu sistem yang konsekuen , cukup sederhana , dan
yang luasnya meliputi banyak bidang pengetahuan lainnya serta penerapan teknis
Susunannya ketat , kepastiannya mutlak , cara kerjanya apriori deduktif . Dalam rangka
sejarah penemuan dalil-dalil ilmu pasti , seakan-akan berdasarkan suatu ilham sang
ilmuwan tahu bahwa kebenaran atau keberlakuan salah satu rumus atau gagasannya dapat
dibuktikan Dia mencari-cari jalan untuk menurunkan rumus atau calon dalil itu dari
suatu dalil yang telah berhasil dibuktikan berdasarkan satu atau beberapa aksioma induk ,
atau bahkan langsung dari aksioma induk itu . Kemudian rumus-rumus yang sudah
berhasil dijadikan dalil diberi tempat dalam urutan sistematis-deduktif atau dalam contex
of justification seluruh ilmu pasti bersangkutan . Namun bisa juga terjadi bahwa seorang
ahli ilmu pasti yang sedang meninjau beberapa paham dasar , aksioma , dan patokan-
patokan salah satu ilmu pasti dan juga sejumlah dalil yang sudah berhasil dibuktikan tiba-
tiba melihat bahwa dalam sistem ilmu aksiomatis itu termuat salah satu dalil lagi yang
langsung diturunkannya secara deduktif tanpa perlu ada gagasan atau ilham lebih dahulu
bahwa suatu rumus atau calon dalil dapat dibuktikan menjadi dalil .

Jadi, pentahapan dalam terbentuknya ilmu-ilmu pasti secara berturut-turut ditandai oleh
adanya sejumlah paham dasar , aksioma , patokan kerja. Tahap kedua , dengan memakai
ketiga unsur induk itu si ilmuwan secara deduktif menurunkan sejumlah dalil yang tak

15
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

terbatas banyaknya . Dengan begitu suatu sistem ilmu pasti dapat diteruskan secara tak
terhingga . Kepastian deduksi berlaku mutlak .

Ciri lain yang sudah pasti tetapi belum dijelaskan ialah bahwa berbeda dari ilmu –ilmu
empiris yang bersifat kongkret , ilmu-ilmu pasti bersifat abstrak , justru karena tidak
berdasarkan pengalaman empiris yang kongkret itu .

Semenjak abad ke-19 ketenangan masa klasik mengalami goncangan dan perubahan
besar . Berawal dari diketemukan dan dikembangkannya ilmu ukur yang menyimpang
dari sistem Euklides , yaitu dengan tidak menerima dan mengubah salah satu aksioma
sistim Euklides mengenai ada tidaknya titik potong antara dua garis yang sejajar serta
antara dua garis yang tidak sejajar . Dengan demikian dipertanyakanlah anggapan
Euklides , apakah benar bahwa jumlah ketiga sudut segitiga 180 derajat , atau justru
kurang atau malah lebih daripada 180 derajat . Ternyata , sebagai hasil penyelidikan
Girolami Saccheri ( 1887 – 1733 ) mengenai sistem Euklides , dan gagasan Karl
Friederich Gauss ( 1777 – 1855 ) , berhasillah dibangun dua bentuk ilmu ukur lain selain
ilmu ukur Euklides . Masing-masing oleh Nicolai Iwanowitsj ( 1793 – 1856 ), dan
Bernhard Riemann ( 1826 – 1866 ) . Bentuk pertama berdasarkan aksioma bahwa jumlah
ketiga sudut tiga adalah kurang dari 180 derajat . Sedang bentuk kedua berdasarkan
aksioma bahwa lebih dari 180 derajat . Ternyata keduanya berhasil mengembangkan
suatu ilmu ukur tanpa kontradiksi intern . Dengan begitu , berhasillah dikembangkan dua
bentuk ilmu ukur yang berlainan dengan ilmu ukur ciptaan Euklides . Selain itu , dua
bentuk ilmu ukur tersebut dapat dilihat juga sebagai dua cara yang tidak menerima
pengandaian ilmu ukur Euklides bahwa ruang bermatra tiga sedemikian rupa sehingga
ketiga matra itu tegak lurus satu sama lain . Pengandaian itu digantikan dengan
pengandaian mengenai ruang yang bersifat lengkung . Yang menarik di kemudian hari
ialah bahwa beberapa gejala ilmu falak dapat diterangkan berdasarkan ilmu-ilmu ukur
yang menyimpang dari pengandaian dan aksioma Euklides itu .

Hal serupa terjadi dalam perkembangan logika hingga permulaan abad ke-20 ini. Dalam
karya George Boole (1815 – 1864 ) , Agustus de Morgan ( 1806 – 1870 ) , Gottloh Frege
( 1846 – 1925 ) , dan akhirnya dalam karya besar Principia Mathematica karangan
Betrand Russel ( 1872 – 1970) dan Alfred North Whitehead (1861 – 1947 ) , telah
dikembangkan sistem-sistem logika apriori secara murni . Lagi pula terbukalah pintu
untuk logika trinilai sampai n-nilai yang menyimpang dari logika dwinilai tradisional.

Dalam perkembangan mutakhir matematika dan logika itu , makin menyoloklah


perkembangan aksiomatisasi dan formalisasi . Aksiomatisasi dimaksudkan sebagai
perumusan –permusan aksioma-aksioma lepas dari data-data empiris . Sejak masa kuno,
aksiomatisasi itu lebih berhasil dan lebih tampak dalam matematika ciptaan Euklides
daripada dalam logika ciptaan Aristoteles . Dengan istilah formalisasi dimaksudkan
bahwa dalam perkembangan sistem aksiomatis bersangkutan bahwa dalam
perkembangan sistem aksiomatis bersangkutan tidak lagi bisa dipakai bahasa sehari-hari,
melainkan hanya tanda-tanda operator saja , yang dalam rangka logika diberi nama
konstan logis . Bahkan arti yang kiranya dapat diberikan pada aksioma-aksioma maupun
operator dan konstan logis itu tidak diperdulikan para ahli matematika dan logika itu .

16
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

Ketika ciri khas aksiomatisasi dan formalisasi itu makin disadari dan diterapkan oleh para
matematikus dan logika , maka makin terbukalah pintu untuk menggulingkan matematika
Euklides dan logika Aristoteles sebagai matematika dan logika yang bersifat tunggal.
Makin disadari bahwa keduanya hanyalah salah satu saja dari antar sekian banyak sistem
matematika dan logika yang pada dasarnya tak terbatas jumlahnya . Jadi, kenisbian
matematika dan logika klasik semakin diakui .( Verhaak 1989 ; 82 – 89 )

Paradigma Ilmu Pengetahuan

Paradigma ilmu haruslah dilihat sebagai sebuah model penyelidikan ilmiah yang
digunakan sebagai pola dasar untuk berpikir , merencanakan usulan penelitian , atau
berbagai kasus penelitian seperti studi kasus pada ilmu-ilmu empiris , ilmu filsafat , dan
ilmu pengetahuan alam . Tujuan paradigma ilmu adalah menemukan kebenaran
Kebenaran ilmu pengetahuan pada hakekatnya tidak memiliki kemutlakan , tidak absolut.
Setiap kebenaran yang dimunculkan oleh paradigma tertentu terbuka untuk difalsifikasi
atau dikaji apabila kebenaran itu mulai digoyahkan oleh pendapat-pendapat baru .

Paradigma dianggap sebagai model atau pola berpikir bagi seorang ilmuwan memiliki
kriteria dasar , seperti nilai kualitas , nilai kuantitas , dan nilai kebenaran . Nilai-nilai
yang dimiliki paradigma akan membentuk sebuah model paradigma Ada enam paradigma
dalam ilmu pengetahuan . Yang pertama adalah paradigma kuantitatif , sebuah model
penyelidikan ilmiah yang bertitik tolak pada perhitungan matematis . Obyek penelitian
yang menampilkan berbagai gejala atau fenomena empiris harus dilihat sebagai elemen
yang dapat dihitung dengan perhitungan (besaran) tertentu dan untuk itu digunakan alat
bantu perhitungan matematis . Gejala-gejala medis pada si pasien seperti suhu tubuh
dapat diukur dengan alat pengukur . Gejala gempa bumi dapat diukur besar tekanannya
dengan skala Richter .

Paradigma kualitatif adalah model penyelidikan ilmiah yang melihat kualitas-kualitas


obyek penelitiannya seperti perasaan (emosi ) manusia , pengalaman menghayati hal-hal
religius (sakral ) , keindahan suatu karya seni , peristiwa sejarah , dan simbol-simbol
ritual atau artefak tertentu . Kualitas-kualitas itu haruslah dinilai atau diukur berdasarkan
pendekatan tertentu ( misalnya menggunakan metode semiotik , metode hermeneutik
teori sistem ) yang sesuai dengan objek kajiannya . Paradigma kualitatif menghindari
perhitungan matematis , karena yang dicari adalah nilai yang muncul dari obyek kajian
yang bersifat khusus , bahkan sangat spesifik , unik , dan selalu mengandung meaning
full action .

Paradigma induktif-deduksi adalah model penyelidikan ilmiah yang digunakan sebagai


pola berpikir tentang ilmuwan untuk memiliki penalaran yang induktif ( mengambil
kesimpulan dari hal-hal yang khusus untuk sampai pada hal yang umum ) dan deduktif
( mengambil kesimpulan dari penalaran yang bersifat umum untuk sampai pada hal-hal
yang khusus ). Paradigma induktif-deduktif dapat digunakan seseorang secara
bersamaan, artinya ia dapat berpikir induktif dahulu untuk kemudian berpikir secara

17
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

deduktif , tetapi seseorang dalam proses kerja ilmiah dapat pula menggunakan penalaran
induktif dan deduktif saja. Tujuan paradigma induktif-deduktif lebih bersifat aplikatif
dalam penalaran dan di digunakan dalam suatu penelitian ilmiah agar seseorang dapat
memiliki penalaran yang logis dan konsep berpikir yang runtut .

Paradigma piramida adalah model penyelidikan ilmiah dengan menggunakan konsep


yang bertujuan mengkonstruksi tahapan-tahapan kegiatan ilmiah secara berlapis-lapis
seperti bentuk piramida. Bagian bawah piramida merupakan bagian yang paling dasar
dan paling luas ., sedangkan makin ke atas luas lapisan piramida makin berkurang
Lapisan teratas merupakan kerucut piramida. Lapisan-lapisan itu dimaksudkan sebagai
gambaran proses penelitian yang mengacu tahapan-tahapan observasi , data , hipotesis ,
pengujjian hipotesis , dan hasil penelitian yang berupa teori baru . Pola pikir seorang
ilmuwan dibentuk seperti model piramida berlapis: semakin ke atas tujuan penelitian
makin tercapai , dan pada puncak kerucut merupakan gambaran diketemukannya sebuah
teori baru . Bentuk atau model piramida lain adalah piramida ganda. Piramida ganda atau
bahkan menjadi piramida –piramida lain akan muncul apabila seorang mampu membuat
piramida lain atas dasar landasan piramida yang telah ada .

Piramida terbalik adalah suatu kerangka berpikir atau model piramida yang berlandaskan
sebuah teori . Kegiatan penelitian yang menggunakan model piramida terbalik memulai
proses kerjanya dari sebuah teori ( teori yang telah dianggap baku ) . Melalui teori ,
seorang peneliti akan memulai kegiatannya dengan observasi terhadap teori tersebut
Observasi menentukan langkah berikutnya , yaitu tahap-tahap penelitian atau lapisan
piramida seperti data, permasalahan ( hipotesis ) , pembuktian-pengujian hipotesis , dan
hasil penelitian yang berupa teori baru .

Paradigma siklus empiris sangat diakrabi ilmu-ilmu empiris . Paradigma tersebut


membutuhkan langkah awal , yaitu observasi yang bersifat induktif . Beberapa tokoh
seperti de Groot dan Walter Wallace menampilkan siklus empiris yang beranjak pada
pengamatan faktual . Pada umumnya , paradigma siklus empiris memiliki komponen-
komponen yang saling berkaitan dan hubungan-hubungan yang sedemikian rupa tersebut
dapat dievaluasi secara siklus ( periodik , berkala ) . Tahapan-tahapan dalam siklus
empiris akan membentuk pola berpikir lagi subjek ( ilmuwan ) dalam melakukan
paradigma siklus empiris secara rinci dengan memperhatikan unsur metodologis
Paradigma siklus empiris adalah model penyelidikan ilmiah yang sifatnya berkala,
memiliki beberapa elemen yang terdiri dari komponen informasi ( data , konsep , kategori
) dan komponen kontrol metodologis ( evaluasi , pengujian , teori ) . Setiap komponen
dapat terdiri dari beberapa komponen dan disusun sedemikian rupa sehingga membentuk
hubungan yang nantinya digunakan dalam proses kegiatan ilmiah . Kemampuan
seseorang dalam mengelolah data dan pengujian hipotesis sangat menentukan hasil
penelitiannya .

Paradigma rekontruksi teori adalah model penyelidikan ilmiah yang berusaha


membangun (rekontruksi) beberapa teori atau metode yang digunakan dalam sebuah
penelitian . Tujuan digunakannya paradigma rekontruksi teori adalah untuk menunjang
proses penelitian agar berjalan lebih sempurna sehingga kebenaran ilmiahnya pun dapat

18
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

berjalan lebih sempurna sehingga kebenaran ilmiahnya pun dapat terjaga sesuai dengan
proses metodologis yang berlaku. Untuk itu , apabila seseorang ingin menggunakan
paradigma rekontruksi teori harus memahami dengan benar teori-teori yang akan
digunakannya dan memastikan dengan benar bahwa teori-teori itu saling menunjang dan
berguna ( dapat diterapkan ) dalam penelitiannya . Berbagai pertimbangan yang sifatnya
rasional, misalnya penguasaan teori dan kemampuan menerjemahkannya secara aplikatif,
harus menjadi pertimbangan utama apabila seorang akan menggunakan paradigma
rekontruksi teori .

Semua paradigma yang ada dapat digunakan oleh seorang ilmuwan dalam penelitiannya
Sebagai konsep berpikir model penyelidikan ilmiah sangatlah abstrak . Paradigma
digunakan untuk menuntun pola pikir seseorang kearah norma metodologis sehingga
secara de jure dapat dipertahankan secara benar dan sahih . Paradigma ilmu dapat
diperkaya apabila ilmuwan mampu merekontruksi berbagai teori yang telah ada
Rekontrukasi tersebut harus disertai dengan sebuah catatan bahwa berbagai teori yang
akan direkontruksi harus saling menunjang dan sesuai dengan tujuan penelitian
Kemampuan ilmuwan mengabstraksi sangat diperlukan agar rekontruksi terhadap sebuah
paradigma menjadi lebih sahih dan menunjang kebenaran ilmiah ( Budianto , 2002 : 80 –
84 )

Dinamika Revolusi Industri

Revolusi Industri abad ke -18 adalah periode penciptaan mesin yang digunakan untuk
industri . Pada dasarnya industri adalah pengelolahan bahan mentah yang dikerjakan
dalam pabrik –pabrik dimulai dengan pabrik tekstil . Peranan pertanian dan sumber bahan
mentah mulai berkurang , karena perhatian utama sekarang ialah bukan nilai bahan
mentah itu sendiri, melainkan tenaga yang dibutuhkan dalam proses pengelolahan
Dalam periode ini terjadilah perkembangan industri baja karena ada kebutuhan akan
mesin-mesin yang lebih baik diikuti oleh perkembangan industri mesin itu sendiri, antara
lain mesin uap yang digunakan untuk alat transportasi .

Kalau kita melihat kehidupan manusia dan dunia , menurut konsep pemikiran
eksistensialisme, manusia adalah in-der-Welt-Sein . Istilah ini menunjukkan adanya
hubungan manusia dengan dunianya .Manusia mempunyai potensi dan kebutuhan-
kebutuhan , dan dunia mempunyai materi, mempunyai sumber daya yang bisa memenuhi
kebutuhan manusia itu. Dengan demikian terjadilah hubungan antara manusia dengan
dunianya . Hubungan ini , katakan saja hubungan dialogis , terjadi lewat kerja manusia
Hubungan antara manusia dengan dunia ini direalisir dengan kerja . Cara kerja ini pada
awal abad ke-19 atau pada akhir abad ke-18 mulai dilengkapi dengan alat-alat teknologis.
Maka kerja yang semula itu dilakukan secara primitif sekarang dengan alat-alat baru ini ,
kerja itu bisa mengakibatkan hasil yang lebih besar . Jadi unsur pertama adalah
penemuan alat-alat teknologis yang dimanfaatkan dalam kehidupan , dan dalam cara
kerja manusia .

19
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

Sekarang kita menuju unsur yang kedua . Dengan dimanfaatkannya alat-alat teknologi di
dalam cara kerja manusia , maka berubahlah hubungan-hubungan ekonomi di dalam
masyarakat . Hubungan-hubungan ekonomi inilah yang akhirnya nanti mampu
mengubah struktur ekonomi masyarakat . Pada abad ke-18 struktur ekonomi di dalam
masyarakat disusun sesuai dengan kelas-kelas sosial , yang terdiri dari kaum bangsawan ,
kaum rochaniawan dan rakyat jelata . Bagaimana hubungan ekonomi di dalam
masyarakat yang belum mempergunakan alat-alat teknologi maju ini ? Para bangsawan
dan rochaniawan mempunyai banyak tanah ; mereka adalah penguasa tanah . Karena
mereka sendiri tidak bisa mengerjakan tanahnya , mereka menggantungkan kerja kepada
rakyat . Maka rakyat mengerjakan tanah milik bangsawan dan rochaniawan , tetapi
sejumlah hasil panennya, misalnya 50 % atau 60 % , atu bahkan sampai 90 % harus
diserahkan kepada pemilik tanah Dengan demikian,hubungan ekonomi dalam masyarakat
yang masih feudal ini yaitu rakyat yang tidak memiliki tanah bekerja pada bangsawan
yang memiliki tanah . Tetapi dengan timbulnya alat-alat teknologi ini, berubahlah
hubungan ekonomi . Sebab mulai timbul suatu kelompok baru , yaitu kelompok
pedagang. Seperti telah kita katakan , sejak abad ke-16 terjadilah penemuan-penemuan
baru seperti misalnya penemuan kompas , alat cetak-mencetak , dan alat peledak
Penemuan-penemuan ini juga mendorong orang untuk berani belayar jauh dari negaranya
dan dalam pelayaran ini mereka bisa berkomunikasi dengan dunia lain , seperti misalnya
penemuan Amerika oleh Columbus . Berkomunikasi dengan bangsa lain berarti bisa
menjalin suatu hubungan ekonomi dan perdagangan dengan mereka . Dengan adanya
hubungan perdagangan dengan bangsa-bangsa di luar Eropa ini , mulai timbul suatu kelas
baru , kelas ekonomi pedagang . Kelompok dagang merupakan unsur kalau dibandingkan
dengan sistem feudal sebelumnya . Menjadi jelas bahwa pemanfaatan alat teknologi
mengubah hubungan ekonomi . Kelompok pedagang ini akan hidup berdasarkan prinsip-
prinsip ekonominuya . Kelompok pedagang inilah yang sebetulnya mempunyai peranan
di dalam hidup kehidupan ekonomi masyarakat yang dahulu di pegang oleh bangsawan .

Unsur ketiga dari revolusi industri adalah perubahan sosial. Perubahan-perubahan sosial
ini terjadi karena kekuasan ekonomi sekarang beralih atau mulai berangsur kepada
kelompok-kelompok pedagang yang mempunyai pengaruh dan kedudukan sosial penting
Dengan demikian hubungan sosial pun berubah . Feodalisme mulai berubah dengan
struktur merkantilisme . Perdagangan itu berkembang , tetapi memang masih dalam
merkantilisme , yaitu bahwa masing-masing negara berusaha untuk melindungi
pedagangnya . Dengan demikian timbulah suatu sistem baru, sistem kapitalisme di dalam
bentuk yang pertama..

Faktor keempat dalam revolusi industri adalah perubahan kesadaran dan cara hidup
Perubahan baik di dalam kehidupan ekonomi maupun kehidupan sosialnya
mempengaruhi perubahan pemikiran . Kesadaran-kesadaran baru ini terungkap di dalam
filsafat , sastra , dan lain-lainnya . Dengan perubahan unsur-unsur masyarakat ini atau
kalau kita pakai istilah lain, dengan perubahan unsur-unsur infrastuktural ini, berubahlah
juga cara berpikir orang . Dengan demikian dalam uraian ini pemikiran itu ditetapkan
oleh adanya atau berubahnya infrastuktur . Tapi ini tidak berarti bahwa dengan demikian
tidak mungkin terjadi sebaliknya .

20
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

Inilah empat unsur yang memberikan orientasi dan perubahan di dalam masyarakat .
Dengan dipergunakannya alat-alat produksi baru , berubahlah hubungan-hubungan sosial
ekonomi dan kehidupan mentalnya termasuk orientasi moral. Jadi reorientasi moral ini
juga dipengaruhi oleh perubahan infrastuktur . Ini merupakan latar belakang dari
timbulnya kapitalisme di satu pihak , dan kemudian sosialisme sebagai reaksi terhadap
kapitalisme ini. Jadi kalau kita bicara mengenai liberalisme dan kapitalisme kemudian
sosialisme dan komunisme , sebetulnya semua didahului oleh revolusi industri , yang
melatarbelakangi terjadinya kedua ideologi besar ini. Liberalisme-kapitalisme bisa timbul
di dalam masyarakat Eropa . Oleh karena struktur masyarakat pada akhir abad ke -18 itu
sudah berubah , baik dalam kehidupan sosial-budaya , maupun dalam kehidupan
ekonomi. ( Poespowardoyo , 1986 : 20 – 24 )

Revolusi Industri yang memakan waktu beberapa abad itu telah mendatangkan kemajuan,
tetapi juga membawa serta berbagai kekalutan dalam kehidupan masyarakat. Penciptaan
mesin sering mendorong perkembangan industri yang pesat dan membuka kemungkinan
timbulnya usaha pabrik secara besar-besaran . Dalam kehidupan ekonomi , perusahaan
besar berarti mendatangkan keuntungan besar . Keinginan mendapatkan keuntungan
sebesar-besarnya inilah yang mendorong para pengusaha mengumpulkan modal sebesar-
besarnya . Dengan demikian dilakukan usaha-usaha memperluas dan menguasai wilayah
pasaran baru . Di mana kapitalisme hidup tanpa kendali , di situ terjadi persaingan keras,
pertentangan para industrialis untuk menguasai dan bahkan memonopoli pasaran dunia.
Ini berarti pergeseran mendasar dalam motivasi usaha , motivasi kerja berubah menjadi
motivasi perjuangan untuk memperoleh keuntungan sebesar-besarnya . Dengan demikian,
tenaga kerja dihargai bukan berdasarkan maratbat kemanusiannya , melainkan atas nilai
tukar yang diperoleh dari padanya . tenaga buruh dilihat semata-mata sebagai barang
dagangan yang diukur oleh hukum permintaan dan penawaran . Akibatnya tentu
meluasnya pengangguran di kalangan masyarakat , karena buruh tidak mampu menyaingi
kekuatan mesin yang berjalan secara otomatis dan berproduksi secara massal.
Pamanfatan mesin dalam kehidupan ekonomi memang mendapatkan keuntungan yang
luar biasa bagi para industrialis , tetapi sebaliknya mendatangkan malapetaka di kalangan
rakyat banyak dengan kemiskinan dan kesengsaraan .(Poespowardoyo, 1993 : 159 – 160 )

Tujuan-tujuan Ilmu Pengetahuan

Ilmu Pengetahuan bukan saja sekedar sarana untuk mencapai perkembangan manusia
yang lebih utuh . Ilmu pengetahuan merupakan juga sebagian dari perkembangan
manusia itu . Ilmu pengetahuan bukan saja sarana tapi juga tujuan . Ilmu pengetahuan
bukan saja sarana agar manusia dapat mengembangkan dirinya . Ilmu pengetahuan juga
merupakan juga hasil perkembangan manusia. . Dalam pada itu pentingnya dan
jangkauan kesimpulan itu tidak tergantung dari situasi ideal dari mana kesimpulan kita
diturunkan . Kita hanya menampilkan kesimpulan ini untuk menjelaskan bahwa ilmu
pengetahuan tidak kehilangan nilainya, bila fungsinya sebagai sarana sudah selesai
Sekalipun situasi ideal serupa itu tidak pernah akan dicapai , namun dari argumentasi kita
di atas harus disimpulkan bahwa fungsi aktual ilmu pengetahuan tidak boleh disamakan
dengan fungsinya sebagai sarana. Sekarang ini juga fungsinya sebagai tujuan harus dapat

21
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

dilihat, setidak-tidaknya sedikit . Sebab, kegiatan ilmiah merupakan suatu unsur penting
dari perkembangan manusia seutuhnya dan karena itu harus sudah dihayati sekarang juga,
walaupun fungsinya sebagai sarana yang paling menyolok . Maka itu makna ilmu
pengetahuan tidak pernah disamakan dengan kegunaannya bagi praksis , betapapun
pentingnya kegunaan itu . Kesimpulan terakhir ini tidak mempunyai arti teoritis saja.
Kesimpulan ini sangat penting untuk menentukan prioritas-prioritas sekarang dengan cara
praktis dan efektif .

Untuk itu dapat diajukan dua argumen . Argumen pertama ialah bahwa manusia tidak
pernah dapat dianggap sebagai sarana untuk suatu tujuan . Bagi kita berarti bahwa
manusia sekarang ini tidak dapat dianggap sebagai sarana untuk manusia di masa
mendatang , bilamana barangkali akan dicapai suatu perkmbangan diri yang lebih
sempurna . Setiap manusia dan setiap generasi adalah lebih daripada sekedar mata rantai
dalam evolusi historis . Sejauh bisa, setiap generasi harus berusaha mengembangkan diri
sebaik mungkin , demi masa depan . Dan dengan itu kita sampai pada argumen kedua
yang memperkuat argumet pertama. Menjadi tugas generasi sekarang ini bukan saja
memajukan ilmu pengetahuan , tapi juga memajukannya dengan visi yang tepat . Supaya
manusia jangan menjadi budak teknologi dan budak tata susunan teknologis yang
diciptakannya , perlulah bahwa dalam tata susunan ini menjadi jelas tujuannya . Artinya
itu sudah harus kelihatan dalam cara kita sekarang ini hidup dengan teknologi .

Tata susunan ilmiah-eknologis pertama-tama tertuju pada pertolongan satu sama lain di
antara manusia . Maka itu sangat mendesak agar kemungkinan-kemungkinan yang
disajikan tata susunan ilmiah-teknologis itu dimanfaatkan sepenuhnya untuk membantu
manusia yang membutuhkan . Tetapi itu tidak cukup. Dalam seluruh pelayanan ini, yaitu
memungkinkan manusia untuk berkembang seutuhnya . Karena itu setiap bantuan pada
taraf nasional atau internasional yang membiarkan manusia tetap tak berdaya dalam
ketergantungannya , melewati tujuan terdalam bantuan , yaitu menciptakan peluang bagi
orang lain untuk berkembang seutuhnya . Dalam hal yang terakhir ini meliputi juga
kemungkinan untuk membantu dirinya sendiri dan memungkinkan orang lain lagi untuk
berkembang seutuhnya .

Tetapi kalau tujuannya adalah berkembang seutuhnya dan kalau kegiatan ilmiah
merupakan salah satu pengungkapannya yang istimewa , maka aspek ilmu pengetahuan
ini selalu harus kelihatan dalam segala kegiatan ilmiah . Gagasan menjalani ilmu
pengetahuan demi ilmu pengetahuan itu sendiri merupakan gagasan yang terbatas pada
orang Yunani kuno yang mulai dengan ilmu pengetahuan . Visi orang Yunani itu pada
dasarnya benar dan hanya terikat dengan waktu , sejauh tidak semua implikasi disadari
Hal yang terakhir ini tentu berlaku juga bagi visi-visi kita sekarang . Kita harapkan
saja.semoga ide-ide dasar kita pun mempunyai juga aktualitas tak terikat dengan waktu
seperti pada mereka, sehingga menjadi subur bagi perkembangan kita sendiri dan juga
bagi masa depan .

Menurut kodratnya sendiri teknologi bertujuan membebaskan manusia dari urusan-urusan


materialnya dan dalam hal ini ia memang semakin berhasil . Bukan saja karena dengan
menerapkan metode-metode teknologis produksi dapat ditingkatkan terus, tapi juga

22
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

karena berkat perkembangan teknologi semakin banyak fungsi yang dulu dijalankan oleh
manusia kini diambil alih oleh mesin . Karena itu andil manusia dalam proses produksi
semakin bergeser kearah fungsi-fungsi yang khas manusiawi , yaitu kreativitas dan
penguasaan . Fungsi-fungsi khas manusiawi itu sekarang mendapat peluang sepenuhnya
Karena teknologi telah membebaskan manusia dari pekerjaan rutin , manusia sendiri
semakin bebas untuk pekerjaan kreatif yang memungkinkan dia mengembangkan dirinya
dengan lebih baik . Dan hal itu berlaku baik bagi andilnya dalam proses produksi maupun
bagi andil kehidupannya yang disita oleh proses produksi

Tidak dapat disangkal , manusia selama ini kurang belajar bagaimana hidup dengan
teknologi . Karena itu penampilannya lebih sebagai hamba teknologi daripada sebagai
tuannya . Untuk sebagian hal itu disebabkan karena keadaan teknologi masih kurang
sempurna, sehingga manusia belum sempat mengenal hakekat sebenarnya teknologi itu.
Untuk sebagian lain hal itu disebabkan juga , karena teknologi – kendatipun keadaannya
masih serba tidak sempurna - menimbulkan bentuk-bentuk praktis lain yang
mengharuskan kita belajar hidup dalam hubungan-hubungan sosial yang baru . Untuk
sebagian lagi hal itu disebabkan juga karena keterbelakangan refleksi filosofis dan etis
atas bentuk-bentuk baru di bidang ilmu pengetahuan dan praksis beserta segala
implikasinya . Tapi apa pun yang menjadi sebabnya , teknologi baru sedikit sekali
menjalankan pengaruh yang membebaskan . Dan hal itu antara lain menjadi alasan,
mengapa tedensi instrinsik teknologi tersebut tidak diadakan juga . Apalagi , bahwa
manusia tidak dapat hidup dengan teknologi , tidak merupakan suatu gejala yang terisolir
Hal itu merupakan salah satu cara bagaimana kurangnya kedewasaan sampai sekarang ini
Barangkali salah satu ciri yang paling menyolok adalah cara cukup naïf konsumsi mulai
nampak sebagai semacam tujuan , pada konsumen maupun produsen . Memproduksi
dengan cara besar-besaran dan efisisen memang termasuk hakekat produksi teknologis ,
tapi jelas merupakan sekedar sarana dan bukan tujuan terakhir .

Dalam pada itu , situasi tata susunan teknologis masih kacau , sejauh beberapa tempat
mengalami kelimpahan teknologis yang cukup besar , sedang di begitu banyak tempat
lain orang hidup dalam kemiskinan dan karena itu produksi pada taraf dunia sekali-kali
belum cukup ,baik di bidang pertanian maupun di bidang perindustrian . Karena itu juga
hidup dengan teknologi untuk sementara masih merupakan sesuatu hal yang ambigu .
Untuk satu orang yang penting ialah belajar hidup dengan kelimpahan : bagi dia aksesis
kemiskinan yang klasik tidak berlaku lagi. Untuk orang lain teknologi adalah sarana
untuk menanggulangi kemiskinan . Bagi dia pun aksesis kemiskinan sudah tidak
mempunyai nilai lagi , sedang – sayangnya – aksesis kekayaan bagi dia belum aktual .

Walaupun situasi teknologis masih kacau , namun perlu kita berusaha menentukan sebaik
mungkin etos instrinsik teknologi . Dalam hal ini dapat dikatakan sebagai berikut . Bila
praksis teknologis yang dituntun ilmu pengetahuan tampak pertama-tama sebagai sarana
untuk membebaskan manusia dari keterikatannya dengan dunia material , maka tidak
mungkin pembebasan inilah yang paling penting dalam perkembangan ilmu pengetahuan
dan praksis . Kedewasaan teknologis-ilmiah itu diminta suatu kedewasaan lain lagi , yaitu
keadaan di mana manusia sendiri sungguh-sungguh dewasa . Apalagi , hanya dalam
keadaan itu ia sanggup untuk menguasai teknologi dan menggunakannya pertama-tama

23
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

untuk membantu mereka yang masih membutuhkan pertolongan . Tapi sesudah itu
manusia akan memakai teknologi dalam suatu perspektif jauh lebih luas yang dibuka oleh
perkembangan kemungkinan-kemungkinan manusiawi , yaitu manusia akan mengejar
suatu kedewasaan dalam arti yang sebenarnya , suatu keadaan di mana ia telah menjadi
manusia seutuhnya . Dan praksis yang diilhami oleh cinta yang ikhlas kepada sesama,
akan berusaha membantu satu sama lain dalam hal itu . Jadi , bila kita secara konsekuen
berpikir tentang tujuan-tujuan praksis , kita sampai pada satu gambaran ideal tentang
manusia . ( Van Melsen , 1985 : 110 – 115 )

Ilmu Pengetahuan dan Moral

Merupakan kenyataan yang tidak bisa dipungkiri bahwa peradaban manusia sangat
berhutang budi kepada ilmu pengetahuan dan teknologi . Berkat kemajuan dalam bidang
ini maka pemenuhan kebutuhan manusia bisa dilakukan secara lebih cepat dan lebih
mudah di samping penciptaan berbagai kemudahan dalam bidang-bidang seperti
kesehatan, pengangkutan , pemukiman , pendidikan dan komunikasi . Namun dalam
kenyataannya apakah ilmu selalu merupakan berkah , terbebas dari kutuk , yang
membawa malapetaka dan kesengsaraan ?

Sejak dalam tahap-tahap pertama pertumbuhannya ilmu sudah dikaitkan dengan tujuan
perang . Ilmu bukan saja digunakan untuk menguasai alam melainkan juga untuk
memerangi sesama manusia dan menguasai mereka. Bukan saja bermacam-macam
senjata pembunuh berhasil dikembangkan namun juga berbagai teknik penyiksaan dan
memperbudak massa. Di pihak lain, perkembangan ilmu sering melupakan faktor
manusia , di mana bukan lagi teknologi yang berkembang seiring dengan perkembangan
dan kebutuhan manusia , namun justru sebaliknya : manusialah akhirnya yang harus
menyesuaikan diri dengan teknologi . . Teknologi tidak lagi berfungsi sebagai sarana
yang memberikan kemudahan bagi kehidupan manusia melainkan dia berada untuk
tujuan eksistensinya sendiri . Sesuatu yang kadang-kadang harus dibayar mahal oleh
manusia yang kehilangan sebagian arti dari kemanusiannya . Manusia sering dihadapkan
dengan situasi yang tidak bersifat manusia, terpenjara dalam kisi-kisi teknologi, yang
merampas kemanusian dan kebahagiannya .

Dewasa ini ilmu bahkan sudah berada di ambang kemajuan yang mempengaruhi
reproduksi dan penciptaan manusia itu sendiri . Jadi ilmu bukan saja menimbulkan gejala
dehuminisasi namun bahkan kemungkinan mengubah hakikat kemanusian itu sendiri ,
atau dengan perkataan lain , ilmu bukan lagi merupakan sarana yang membantu manusia
mencapai tujuan hidupnya, namun bahkan kemungkinan mengurangi hakikat kemanusian
itu sendiri , atau dengan perkataan lain , ilmu bukan lagi merupakan sarana yang
membantu manusia untuk mencapai tujuan hidupnya , namun juga meciptakan tujuan
hidup itu sendiri .

Menghadapi kenyataan seperti ini . ilmu yang pada hakekatnya mempelajari alam
sebagaimana adanya mulai mempertanyakan hal-hal yang bersifat seharusnya : Untuk
apa sebenarnya ilmu itu harus dipergunakan ? Di mana batas wewenang penjelajahan

24
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

keilmuan ? Kearah mana perkembangan keilmuan harus diarahkan ? Pertanyaan


semacam ini jelas tidak merupakan urgensi bagi ilmuwan seperti Copernicus , Galileo
dan ilmuwan seangkatannya ; namun bagi ilmuwan yang hidup dalam abad kedua puluh
yang telah mengalami dua kali perang dan hidup dalam bayangan kekwatiran perang
dunia ketiga , pertanyaan-pertanyaan ini tak dapat dielakkan . Dan untuk menjawab
pertanyaan ini maka ilmuwan berpaling kepada hakikat moral .

Sebenarnya sejak saat pertumbuhannya ilmu sudah terkait dengan masalah-masalah


moral namun dalam perspektif yang berbeda . Ketika Copernicus (1473 – 1543 )
mengajukan teorinya tentang kesemestaan alam dan menemukan bahwa “ bumi yang
berputar mengelilingi matahari :, dan bukan sebaliknya seperti apa yang dinyatakan oleh
ajaran agama , maka timbullah interaksi antara ilmu dan moral ( yang bersumber pada
ajaran agama ) yang berkonotasi metafisik . Secara metafisik ilmu ingin mempelajari
alam sebagaimana adanya , sedangkan di pihak lain , terdapat keinginan agar ilmu
mendasarkan kepada pernyataan-pernyataan (nilai-nilai) yang terdapat dalam ajaran--
ajaran di luar bidang keilmuan di antaranya agama. . Timbullah konflik yang bersumber
pada penafsiran metafisik ini yang berkulminasi pada pengadilan inkuisisi Galileo pada
tahun 1633 . Galileo ( 1564 – 1642 ) oleh pengadilan agama tersebut , dipaksa untuk
mencabut pernyataannya bahwa bumi berputar mengelilingi matahari .

Pengadilan inkuisisi Galileo ini selama kurang lebih dua setengah abad mempengaruhi
proses perkembangan berpikir di Eropa , yang pada dasarnya mencerminkan pertarungan
antara ilmu yang ingin terbebas dari nilai-nilai di luar bidang keilmuan dan ajaran-ajaran
di luat bidang keilmuan yang ingin menjadikan nilai-nilainya sebagai penafsiran
metafisik keilmuan . Dalam kurun ini para ilmuwan berjuang untuk menegakkan ilmu
yang berdasarkan penafsiran alam sebagaimana adanya dengan semboyan : Ilmu yang
Bebas Nila Setelah pertarungan kurang lebih dua ratus lima puluh tahun maka
memperoleh otonomi dalam melakukan penelitian dalam rangka mempelajari alam
sebagaimana adanya .

Mendapatkan otonomi yang terbebas dari segenap nilai yang bersifat dogmatik ini maka
dengan leluasa ilmu dapat mengembangkan dirinya. Pengembangan konsepsional yang
bersifat kontemplarif kemudian disusul dengan penerapan konsep-konsep ilmiah kepada
masalah-masalah praktis. Konsep ilmiah yang bersifat abstrak menjelma dalam bentuk
kongkret yang berupa teknologi . Teknologi di sini diartikan sebagai penerapan konsep
inilah dalam memecahkan masalah–masalah praktis baik yang berupa perangkat keras
maupun perangkat lunak . Dalam tahap ini ilmu tidak saja bertujuan menjelaskan
gejala-gejala alam untuk tujuan pengertian dan pemahaman, namun lebih jauh lagi,
bertujuan memanipulasi faktor-faktor yang terkait dalam gejala tersebut untuk
mengontrol dan mengarahkan proses yang terjadi . Berbekal konsep mengenai kaitan
antara hutan gundul dan banjir , umpamanya ilmu mengembangkan teknologi untuk
mencegah banjir . Betrand Russel menyebut perkembangan ini sebagai peralihan ilmu
dari tahap kontemplasi ke manipulasi .

Dalam tahap manipulasi inilah maka masalah moral muncul kembali namun dalam kaitan
dengan faktor lain . Kalau dalam tahap kontemplasi masalah moral berkaitan dengan cara

25
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

penggunaan pengetahuan ilmiah . Atau secara filsafati dapat dikatakan, dalam tahap
pengembangan konsep terdapat masalah moral yang ditinjau dari segi ontologi keilmuan ,
sedangkan dalam tahap penerapan konsep terdapat masalah moral ditinjau dari segi
aksiologi keilmuan . Ontologi diartikan sebagai pengkajian mengenai hakikat realitas dari
obyek yang ditelaah dalam membuahkan pengetahuan , aksiologi diartikan sebagai teori
nilai yang yang berkaitan dengan kegunaan dari pengetahuan yang diperoleh . Seperti
diketahui setiap pengetahuan , termasuk pengetahuan ilmiah , mempunyai tiga dasar
yakni ontologi , epistomologi dan aksiologi . Epistomologi membahas cara untuk
mendapatkan pengetahuan ; yang dalam kegiatan keilmuan disebut metode ilmiah .

Seorang ilmuwan secara moral tidak akan membiarkan hasil penemuannya dipergunakan
secara sewenang-wenang . Sejarah telah mencatat bahwa para ilmuwan bangkit dan
bersikap terhadap politik pemerintahannya yang menurut anggapan mereka melanggar
asas-asas kemanusian . Ternyata dalam soal-soal yang menyangkut kemanusiaan para
ilmuwan tidak pernah bersifat netral . Mereka tegak dan bersuara sekiranya kemanusiaan
memerlukan mereka. Suara mereka bersifat universal mengatasi golongan, ras, sistem
kekuasaan , agama , dan rintangan-rintangan lain yang bersifat sosial .

Albert Einsten memberi saran kepada Presiden Franklin D Roosevelt untuk membikin
bom atom ketika waktu itu Jerman memperlihatkan tanda-tanda untuk membuat bom
atom . Pemihakan Einstein kepada Sekutu karena menurut anggapannya Sekutu mewakili
aspirasi kemanusian . Sekiranya Sekutu kalah maka yang akan muncul di muka bumi
adalah rezim Nazi yang tidak berprikemanusian . Untuk itu seorang ilmuwan tidak boleh
berpangku tangan . Dia harus memilih sikap : berpihak kepada kemanusian atau tetap
bungkam ?

Pilihan moral ini kadang-kadang memamg getir sebab tidak bersifat hitam atas putih
Akibat bom atom di Hirohshima dan Nagasaki masih berbebas dalam lembar sejarah
kemanusian kita . Kengerian pengalaman Hiroshima dan Nagasaki memperlihatkan
kepada kita wajah lain dari pengetahuan . Seperti Dr Jekyll dan Mr Hyde yang bermuka
dan berpribadi belah maka ilmu pengetahuan bagaikan pisau yang bermata dua
Diperlukan landasan moral yang kukuh untuk mempergunakan ilmu pengetahuan secara
konstruktif ?

Salah satu musuh kemanusian yang besar adalah peperangan . Perang menyebabkan
kehancuran , pembunuhan dan kesengsaraan . Tugas ilmuwanlah untuk menghilangkan
atau mengecilkan terjadinya peperangan ini meskipun hal ini merupakan sesuatu yang
hampir musthil terjadi . Salah satu musuh kemanusian yang besar adalah peperangan .
Perang menyebabkan kehancuran , pembunuhan dan kesengsaraan . Tugas ilmuwanlah
untuk menghilangkan atau mengecilkan terjadinya peperangan ini meskipun hal ini
merupakan sesuatu yang hampir musthail terjadi . yang merupakan fakta dari sejarah
kemanusian fitrah dari manusia dan masyarakat kemanusian yang sudah mendarah
daging . Walaupun demikian Einstein sampai akhir hayatnya tak jemu-jemunya
menyeruhkan agar manusia menghentikan peperangan dan perlombaan persenjataan .

26
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

Pengetahuan merupakan kekuasaan , kekuasaan yang dapat dipakai untuk kemaslahatan


kemanusian , atau sebaliknya dapat pula disalahgunakan . Pengetahuan pada dasarnya
ditujukan untuk kemaslahatan kemanusian . Masalahnya adalah sekiranya seorang
ilmuwan menemukan sesuatu yang menurut dia berbahaya bagi kemanusiaan maka
apakah yang dia lakukan ? Apakah menyembunyikan penemuan tersebut sebab dia
merasa bahwa penemuan itu lebih banyak menimbulkan kejahatan dibandingkan dengan
kebaikan ? Ataukah dia akan bersifat netral dan menyerahkannya kepada moral
kemanusian untuk menentukan penggunaannya ?

Jawabannya adalah seorang ilmuwan tidak boleh menyembunyikan hasil penemuan-


penemuan apa pun bentuknya dari masyarakat luas serta apa pun juga yang akan menjadi
konsekuensinya . Kenetralan seorang ilmuwan dalam hal ini disebabkan anggapannya
bahwa ilmu pengetahuan merupakan rangkaian penemuan yang mengarah kepada
penemuan selanjutnya . Kemajuan ilmu pengetahuan tidak melalui loncatan-loncatan
yang tidak berketentuan melainkan melalui proses akumulatif secara teratur
Penyembuhan penyakit kanker harus didahului oleh penemuan dasar di bidang biologi
molekuler . Penemuan laser memungkinkan penggunannya sebagai terapi medis dalam
berbagai penyangkit . Demikian selanjutnya di mana usaha menyembunyikan kebenaran
dalam proses kegiatan ilmiah merupakan kerugian bagi kemajuan ilmu pengetahuan
seterusnya . Dalam penemuan ini maka ilmu pengetahuan itu bersifat netral .

Saya berkeyakinan bahwa dalam aspek inilah ilmu pengetahuan terbebas dari nilai-nilai
yang mengikat . Dalam aspek-aspek lain seperti apa yang telah ditelaah oleh ilmu
pengetahuan dan bagaimana pengetahuan itu dipergunakan mau tidak mau seorang
ilmuwan terikat secara moral dalam artian mempunyai preferensi dan memilih pihak
Dalam menentukan masalah apa yang akan akan ditelaahnya maka seorang ilmuwan
secara sadar atau tidak sudah menentukan pilihan moral . Hal ini bahkan menjorok
sampai penyusunan hipotesis . Walaupun begitu maka dalam hasil penemuan akhirnya
seorang ilmuwan tidak boleh menyembunyikan sesuatu . Bagaimana pahitnya hasil
penemuan itu bagi obyek yang kita junjung dalam sistem preferensi moral kita Kebenaran
tak boleh disembunyikan .

Masalah moral tak bisa dilepaskan dengan tekad manusia untuk menemukan keberanan ,
sebab untuk menemukan kebenaran dan terlebih-lebih lagi untuk mempertahankan
kebenaran , diperlukan keberanian moral. Sejarah kemanusian dihiasi dengan semangat
para martir yang rela mengorbankan nyawanya dalam mempertahankan apa yang mereka
anggap benar . Peradaban telah menyaksikan Sokrates dipaksa meminum racun dan John
Huss dibakar . Dan sejarah tidak berhenti di sini : kemanusian tak pernah urung dihalangi
untuk menemukan kebenaran . Tanpa landasan moral maka ilmuwan mudah sekali
tergelincir dalam melakukan prostitusi intelektual . Penalaran secara rasional yang telah
membawa manusia mencapai harkatnya seperti sekarang ini berganti dengan proses
rasionalisasi yang bersifat mendustakan kebenaran . ( Suriasumantri , 1996 : 229 – 252 )

Perkembangan ilmu pengetahuan mau tak mau pada akhirnya berhadapan dengan matra
etis . Pertama, dalam diri para ilmuwan yang sedang mengembangkan ilmu pengetahuan
modern dan sibuk merancang cara-cara penerapan hasil ilmu-ilmu itu. Kedua, dalam diri

27
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

kebanyakan orang yang hidup dalam dunia modern , yang mau tak mau secara
mendalam dipengaruhi dan dikuasai oleh hasil perkembangan ilmu pengetahuan alam
dan teknologi modern tersebut .

Kerap kali para ilmuwan mengalami konflik batin sehubungan dengan dampak dan
penerapan hasil-hasil penelitian mereka. Konflik batin semacam ini mungkin sekali
paling menekan para ahli genetika dan bio-medika . Di sini, prinsip ilmu pengetahuan “
lakukan apa saja mungkin dilakukan “ berhadapan dengan prinsip lain “ lakukan sesuatu
asalkan semakin meningkatkan kemanusian “. Padahal apa yang mungkin untuk
dilaksanakan belum tentu dengan sendirinya meningkatkan kemanusian

Yang kiranya paling perlu dalam diri para perencana ilmu dan penerapan maupun dalam
diri mereka yang berkuasa untuk menentukan pemakaian hasil ilmu pengetahuan alam
ialah sikap etis yang tepat sedemikian mendalam sehingga tidak mencari keuntungan
semata-mata mendalam sehingga tidak mencari keuntungan semata-mata bagi diri sendiri
atau bagi kelompok maupun negara yang mereka pentingkan . Hal ini tidak bisa
diundangkan secara efektif , karena pertama-tama menyangkut seluruh bangsa manusia,
maka tak ada satu instansi pun yang berwenang , dan kedua karena melalui undang-
undang yak bisa dijamin bahwa pastilah penyelewengang dan egoisme masing-masing
orang maupun kelompok dapat dicegah atau dihalangi . Satu-satunya cara ialah
menghidupkan dan mengembangkan rasa tanggung jawab bersama berdasarkan suara
batin . Demikianlah salah satu tugas luhur dan luas bagi para filsuf dari segala bangsa.
( Verhaak, 1989 : 183 – 184 )

Obyektivitas dan Kepentingan

Konflik antara ilmu yang ingin terbebas dari nilai-nilai di luar bidang keilmuan dan
ajaran-ajaran diluar bidang keilmuan dan ajaran-ajaran di luar bidang keilmuan yang
ingin menjadikan nilai-nilainya sebagai penafsiran metafisik keilmuan bukan saja terjadi
dalam ilmu-ilmu alam namun juga dalam ilmu –ilmu sosial di mana berbagai ideologi
mencoba mempengaruh metafisik keilmuan . Kejadian ini sering terulang kembali di
mana sebagian metafisik keilmuan dipergunakan das Sollen dari ajaran moral yang
terkandung dalam ideologi tertentu , dan bukan das Sein sebagaimana dituntut oleh
hakekat keilmuan .

Max Weber mendefinsikan sosiologi sebagai sebuah ilmu yang mengusahakan


pemahaman interpretatif mengenai tindakan sosial agar dengan cara itu dapat
menghasilkan sebuah penjelasan kausal mengenai pelaksanaan dan akibat-akibatnya.
Definisi ini merupakan sebuah kompromi antara pusat perhatian positivis ketat terhadap
generalisasi-generalisasi kausal dan penolakan total sejarawan humanistis atas relevansi
analisa kausal terhadap tingkah laku manusia .

Sebagai sebuah ilmu pengetahuan , sosiologi haruslah , dalam istilah Max Weber .” bebas
nilai “. Yang dimaksud pertama-tama adalah bahwa mereka berada dalam posisi
akademis seharusnya memisahkan evaluasi-evaluasi pribadi mereka dari pernyataan-

28
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

pernyataan ilmiah mereka , karena putusan-putusan nilai macam itu tidak bisa secara
logis dideduksikan dari fakta-fakta yang teramati secara empiris.

Sosiolog Jerman itu tidak melihat netralitas ilmiah yang ia bela sebagai sebuah kompromi
di antara pendapat-pendapat yang bertentangan pada zamannya , karena dia menganggap
kompromi-kompromi macam itu pada dirinya adalah evaluasi-evaluasi . Atau juga dia
menuntut ilmuwan sosial untuk mengelak dari komitmen-komitmen moral dan politis di
luar karya akademisnya . Tetapi mahasiswa yang belajar tentang masyarakat harus
menginginkan netralitas evaluasi ketat dalam penafsiran dan penjelasan tentang
fenomena sosial.

Ia mengakui bahwa kebebasan nilai ini sulit dicapai di dalam sosiologi . Dia memberi
tiga alasan untuk ini. Pertama-tama , nilai-nilai berada di antara objek-objek studi
sehingga menjelaskan , sebagaimana ia lakukan , kaitan antara Protestanisme dan
Kapitalisme segera berbalik menjadi sebuah evaluasi atas sistem-sistem kepercayaan dan
tindakan yang bermuatan nilai ini. Akan tetapi , dia berpikir bahwa kesulitan ini bisa
diatasi kalau sikap cemas diambil untuk menangkal godaan-godaan kearah dosa ilmiah
itu .

Tidaklah begitu gambanglah menghapuskan kendala kedua yang merintangi sosiolog di


jalan netralitas ilmiah . Karena berbagai fakta yang tidak kunjung akhir yang harus
dipelajari , seorang teoritikus harus mempergunakan penilaian-penilaian moralnya sendiri
untuk menyeleksi fenomena sosial yang ia pikir bermanfaat untuk risetnya . Fenomena
yang dipelajari dibatasi pada pilihan untuk” relevansi-nilai “ fenomena itu , yaitu untuk
makna yang dimiliki fenomena ini dalam terang putusan-putusan nilai dari ilmuwan yang
mengamatinya . Weber , misalnya tertarik akan ciri rasionalitas yang ia kira menjadi ciri
penting kapitalisme modern dia juga ingin menemukan bagaimana stabilitas masyarakat
modern dapat dipelihara . Dia mengakui bahwa putusan-putusan nilai tercakup dalam
keputusan untuk memusatkan diri lebih pada fenomena sosial ini daripada fenomena
sosial lain . Akan tetapi Weber percaya bahwa tak ada masalah real di sini karena
evaluasi-evaluasi semacam itu harus dibuat sebelum mulainya penyelidikan ilmiah dan
karena itu sangat terpisah dari penyelidikan ilmiah itu. Tetapi pentinglah , pikiran nya,
bahwa evaluasi-evaluasi yang mendahului ini dibukakan dan dengan tegas dipisahkan
dari studi itu sendiri .

Kesulitan ketiga dalam gagasan tentang sebuah ilmu sosial yang bebas-nilai adalah
bahwa , menurut Weber , menjelaskan tingkah-laku adalah memahaminya , dan
memahami menuntut kita masuk ke dalam pikiran dan perasaan-perasaan para pelaku
sosial. Ini berarti bahwa untuk menjelaskan masyarakat kita harus berempati dengan
tingkah-laku . Empati bisa diperoleh dengan metode simpati imajinantif yang dianalisis
oleh Adam Smith dalam pandangannya tentang penilaian moral . Untuk melakukan ini
perlulah menempatkan diri kita secara imajinatif di tempat pelaku dan dengan demikian
secara simpatis berpartisipasi di dalam pengalaman–pengalaman . Masalah dengan
metode ini adalah bahwa metode ini tampaknya mengakibatkan keterlibatan dalam nilai-
nilai orang yang tindakan-tindakannya disimpatikan dan karenanya dimengerti itu .

29
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

Sekaligi lagi Weber menganggap ini lebih sebagai sebuah bahaya untuk netralitas nilai
sosiologi daripada sebuah pernyataan tentang mustahilnya bebas-nilai. Ia berpendapat ,
mungkinlah masuk ke dalam pikiran-pikiran dan perasaan-perasaan orang lain tanpa
mendukungnya . Bagaimanapun tidak selalu perlu bergerak sedemikian jauh di sepanjang
arah identifikasi imajinatif untuk sungguh-sungguh masuk ke dalam motif-motif dan
intensi-intensi sebenarnya dari orang lain . Oleh karena itu seorang ilmuwan sosial
mampu mencocokan lebih pada pembuktian daripada pada perekomendasian tujuan-
tujuan pembaruan sosial . ( Campell , 1994 : 201 – 203 )

Max Weber merupakan pembela ulung bagi sifat bebas nilai dalam ilmu pengetahuan
Dalam pendirian yang dibelanya dengan gigih ini , soalnya bagi Weber bukanlah
terutama untuk tetap membebaskan ilmu pengetahuan dari nilai-nilai , melainkan lebih
untuk melindungi nilai-nilai terhadap ilmu pengetahuan . Latar belakangnya ialah bahwa
Weber mempunyai keyakinan yang suci terhadap tanggung jawab pribadi yang tidak
boleh dirampas dari seseorang dengan argumentasi ilmiah . Maka ia pun melawan apa
yang di Jerman tidak jarang menjadi kebiasan , yaitu untuk dari atas mimbar universitas
mengemukakan pendirian-pendirian tentang nilai yang menyatu sebagai ilmu
pengetahuan . Tetapi ia memang setuju bahwa pendirian-pendirian tentang nilai yang
dimiliki oleh seseorang itu sendiri dinyatakan secara eksplisit , dan bahwa ditunjukkan di
mana peneliti yang berpikir itu berhenti , dan orang yang berkemauan itu mulai Ia
melawan pencampuradukan , dan bukannya melawan pembelaan ideal-ideal seseorang itu
sendiri . Sebab tidak ada hubungan apa pun antara tiadanya keyakinan dan obyektivitas
ilmiah . Ia sendiri juga tidak pernah tinggal diam mengenai nilai-nilainya sendiri , dan ia
pun bukannya seorang ilmuwan yang asing terhadap dunia .( Laeyendecker , 1991 : 323 –
324 )

Sejak semula terdapat juga banyak ilmuwan sosial yang berpendapat bahwa ilmu-ilmu
sosial serta analisa sosial yang ilmiah pun selalu mengandung nilai-nilai tertentu sehinga
mustahil bersifat bebas nilai . Dalam buku termashur yang berjudul The Sociogical
Imagination , C Wright Mills mengutarakan dengan cermat bagaimana baik teori sosial
maupun penyelidikan sosial yang empiris selalu dipengaruhi dan diresapi oleh
pengandaian-pengandaian etis politis tertentu . Ia bahkan berpendapat bahwa ilmu-ilmu
dan analisa sosial yang hendaknya sungguh relevan dan tidak mengawang perlu
mengambil sikap, terutama dengan memperhatikan penggunannya dalam kebijaksanaan
politik dan tindakan praktis kemudian .

Realitas sosial berupa pengetahuan yang bersifat keseharian , seperti konsep , kesadaran
umun dan wacana publik , menurut Peter L Berger dan Thomas Luckman merupakan
hasil dari kontruksi sosial . Realitas sosial itu dikonstruksikan melalui proses
eksternalisasi , obyektivasi dan internalisasi . Konstruksi sosial tidak berlangsung dalam
ruang hampa tetapi penuh dengan berbagai kepentingan Realitas sosial itu bersifat
intersubyektif , sehingga metodologi itu memberi tempat yang wajar pada subyektif,
karena apa yang dinamakan kenyataan sosial itu , selain menampilkan dimensi obyektif
juga sekaligus mempunyai dimensi subyektif - karena , apa yang kita namakan
masyarakat itu adalah buat kultural dari masyarakat tertentu ; manusia sekaligus pencipta

30
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

dari dunia tersendiri Diakui pula bahwa tidak semua realitas sosial mampu diamati
leluasa.( Berger , 1990 : 28 – 65 )

Seluruh masalah ini diperbincangkan dengan kiranya paling sengit dalam perdebatan
yang terkenal sebagai Pertengkaran Positivisme dalam Sosiologi Jerman :. Perbedaan itu
terjadi antara aliran Kritischer Rationalismus yang dicap neopositivistis dan dilepori oleh
Karl R Popper di satu pihak dan aliran Kristicher Theorie yang dicap neomarxistis dan
dipelopori oleh Theodore W Ardono dan mazhab Frankfurt di lain pihak .Terhadap sifat
bebas nilai ilmu, bukan ilmuwan, demikian Karl Popper , neomarxisme menekakan sifat
taut nilai bagi semua ilmu . Jurgen Habermas berbicara tentang kepentingan yang
menggiring pengetahuan . Sains digiring oleh kepentingan teknologi , ilmu-ilmu sejarah
oleh kepentingan praktis , dan ilmu-ilmu sosial oleh kepentingan emansipatoris . Suatu
perdebatan yang sampai sekarang belum kunjung habisnya .( Van Peursen , 1989 : 73 )

Bagamana masalah yang berbelit-belit dan rumit ini bisa dipecahkan ? Kalau tidak salah ,
maka bisa ditempuh semacam jalan tengah . Kiranya sangat tepatlah tuntutan Max Weber
agar dibedakan dengan sejelas mungkin antara fakta yang obyketif dan penilaian yang
subyektif . Tuntutan itu paling tidak merupakan cita-cita yang selalu perlu diperjuangkan
mengingat bahaya bahwa si ilmuwan sosial begitu terjerat oleh nilai-nilai kesayangannya
atau bahkan suatu pendirian ideologis yang apriori sehingga tidak mampu lagi untuk
melihat dan menyelediki kenyataan sebagaimana adanya . Dalam hal ini, seluruh
“ilmu”nya akan semata-mata bertujuan untuk membenarkan pendiriannya . Suatu
legitimasi semu yang mengorbankan cita-cita kebenaran yang seharusnya mendasari
segala usaha ilmiah .

Namun demikian, tetap perlu ditanyakan sejauh mana cita-cita “bebas nilai “ dalam ilmu-
ilmu sosial , yaitu pembedaan yang tajam antara fakta dan penilaian , sungguh-sungguh
bisa dicapai dalam kenyatannya . Sungguhpun cita-cita itu selalu harus dikejar , akan
tetapi perlu diinsyafi dan diperhitungkan pula adanya batas-batas obyektivitas dalam
ilmu-ilmu sosial , sebagaimana dikemukakan dengan tepat oleh para kritisi pendekatan
tersebut .

Dari sosiologi ilmu pengetahuan diketahui bahwa karya ilmiah setiap ilmuwan mau tak
mau diwarnai oleh riwayat hidup , lingkungan sosial, dan lingkaran kebudayaannya
Minat pribadi , kepentingan politis , pendirian dari fihak yang menyediakan dana, semua
faktor serupa itu pun ikut berpengaruh dan mustahil dielakkan sama sekali, sekalipun
sering kurang disadari atau bahkan disangkal . Sudah barang tentu dalam pemilihan
obyek telaahan ilmiah . Begitu pula berkenan dengan penggunaan hasil karya ilmiah itu
Si ilmuwan paling tidak kurang bertanggung jawab kalau bersikap acuh tak acuh
terhadap akibat-akibat karyanya . Namun , bukan itu . Teori sosial yang diandaikan ,
metode ilmiah yang diandalkan , peristilahan yang dipakai , semua itu pun tak pernah
bisa “ bebas nilai “ sepenuhnya . Pendek kata , cara pendekatan ilmiah , apa yang dilihat
dan juga tidak dilihat , bagaimana kenyataan didefinsikan dan ditafsirkan , kesimpulan-
kesimpulan apa yang ditarik, semua itu dipengaruhi dan diwarnai oleh premis-premis
nilai si ilmuwan .

31
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

Batas-batas obyektivitas ilmu-ilmu sosial itu barangkali paling nampak dan menyolok
sehubungan dengan penelitian dan analisa sosial di negara-negara berkembang . Kiranya
sulit untuk membantah tuduhan yang semakin tenar sebagian besar karya ilmiah tentang
Dunia Ketiga terlalu diwarnai oleh cara penglihatan dan kepentingan-kepentingan
negara-negara industri , sehingga kurang sesuai dengan kenyataan di negara-negara
berkembang sendiri dan oleh karena itu kurang obyektif . Orang yang sangat berjasa
dalam menunjuk dan membongkar ketimpangan metodologis yang sering terselubung itu
adalah Gunnar Myrdal , seorang ekonom kawakan , yang dalam seluruh karyanya selama
hampir lima puluh tahun senantiasa menaruh perhatian istimewa pada masalah-masalah
premis-premis nilai dalam ilmu-ilmu sosial itu .

Lantas , bagaimana dengan cita-cita obyektivitas dalam ilmu-ilmu sosial yang diutarakan
tadi ? Kiranya perlu suatu modifikasi dalam pengertian tentang ukuran “obyektif “ .
Sebagaimana ditunjukkan dengan sangat jelas oleh Myrdal, maka obyektivitas dalam
ilmu-ilmu sosial tidak berarti tidak adanya premis-premis nilai yang diandalkan , tetapi
bahwa premis-premis nilai tersebut yang harus bersifat relevan, signifikan, logis , dan
realistis , dirumuskan secara eksplisit dan dipertanggungjawabkan secara rasional.
Dengan demikian, premis-premis nilai itu terbuka untuk umum sehingga bisa dikupas
secara ilmiah-kritis dan dikoreksi seperlunya . Alternatif lain, menurut Mydral , tidak ada
lantaran alasan logis . Malah sebaliknya , justru sikap yang menganggap diri “bebas nilai
“ sangat berbahaya karena mengelabui pendiriannya , sehingga lebih mudah diperalatkan
oleh bermacam-macam kepentingan yang tak jarang sangat timpang . Jadi , semacam
penipuan diri sendiri . Keunggulan Mydral dalam hubungan ini terletak pada penalaran
metodologinya dan bukan pada premis-premis nilai yang ia andalkan sendiri yang tentu
saja bisa dipertanyakan secara kritis , justru berdasarkan metodologisnya sendiri
Perbedaan ini sering diabaikan oleh para kritisinya. . ( Muller , 1982 : x – xii )

Krisis Kehidupan Modern

Tidak asing lagi bahwa untuk mendapatkan kemajuan dewasa ini , perlu adanya
pemanfaatan teknologi . Namun , perlu disadari bahwa teknologi tidaklah indentik
dengan kemajuan . Harus diakui bahwa kemampuan ilmu dan teknologi banyak
menolong kehidupan manusia , seperti mengurangi kemiskinan dan penderitaan serta
memberikan kemudahan untuk meningkatkan ketrampilan kerja , tetapi menganggap
teknologi sama dengan kemajuan , berarti telah memberikan penilaian tertentu yang
mempersulit penjabaran problematika sebenarnya.

Teknologi tidak lagi merupakan sesuatu di luar manusia melainkan menjadi substansinya.
Teknologi tidak lagi berhadapan dengan manusia , melainkan terintegrasi dengannya, dan
bahkan bertahap menelannya . Tranformasi yang terjadi dalam masyarakat modern ini
merupakan konsekuensi dari kenyataan, bahwa teknologi telah memperoleh otonominya
Bukan masyarakat manusiawi yang kita hadapi , melainkan masyarakat teknologis.

Hal ini tercermin dalam cara hidup masyarakat yang teknologis pula, di mana pola-pola
hidup ditentukan oleh motif mengejar produktivitas baik dalam bentuk barang maupun

32
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

tenaga kerja , mengutamakan efisiensi kerja , agar target dapat tercapai dan mengatur peri
kehidupan dalam tatanan yang serba rasional mekanistis . Masyarakat tidak lain adalah
organisme yang dapat direkayasa sesuai dengan pesan dan kehendak yang ditentukan
secara deterministis , sedangkan lembaga pendidikan adalah pabrik yang mencetak
tenaga kerja yang ahli dan trampil untuk memenuhi kebutuhan pasaran . Dengan
demikian , hidup masyarakat adalah sejumlah fungsi mekanisme modern .

Di samping itu , hubungan-hubungan sosial banyak ditentukan oleh motif utilitaristis


Sikap eksploitaif tidak hanya diarahkan terhadap alam dan kekayaannya , tetapi juga
terhadap tenaga kerja . Suasana hidup menjadi zakelijk , karena intersubyektivitas
diwarnai oleh perlakuan zakenman . Sesuai dengan pola dan hubungan sosial demikian
itu , gaya hidup masyarakat menjadi konsumtif , dengan pengertian bahwa masyarakat
memang punya kemampuan untuk hidup mewah dengan tuntutan tinggi . Cara dan gaya
hidup demikian itu sekaligus merupakan pencerminan dan dorongan menuju
berkembangnya orientasi materialisme dan pragmatisme. ( Poespowardoyo, 1993 : 88 –
89 )

Eksistensi ilmu pengetahuan dan perkembangannya yang pesat disertai hasil-hasil


teknologinya benar-benar merupakan raksasa yang kuat dan kuasa. Bukan hanya kerena
ia berfungsi sebagai alat untuk kehidupan manusia , tetapi ia berfungsi sebagai alat untuk
kehidupan manusia , tetapi lambat laun berubah menjadi tujuan manusia . Ia bukan saja
mempengaruhi proses pertumbuhan sosial-budaya , tetapi bahkan menciptakan
kebudayaan teknologi , sebagaimana diungkapkan oleh Herbert Marcuse . Dalam
menghadapi situasi demikian itulah , orang mulai bicara tentang datangnya krisis
kehidupan dewasa ini .

Menurut Jurgen Habermas , suatu krisis terjadi apabila struktur kehidupan sosial tidak
mampu lagi memberikan pemecahan seperti yang diharapkan untuk menjamin kelestarian
sistem kehidupan itu sendiri . Ini berarti, bahwa krisis diartikan sebagai adanya gangguan
dalam integrasi sistem itu. Krisis tidak ditimbulkan karena adanya perubahan-perubahan
kecil dan sampingan , tetapi karena desakan dan tuntutan yang secara struktural terjadi
dari dalam sistem itu sendiri, namun yang tidak bersamaan dan tidak dapat diintegrasikan
dalam sistem kehidupan ini. Dengan demikian hilanglah legitimasi struktur sosial .

Gejala-gejala datangnya krisis ini nampak dalam proses sosial yang terjadi dalam
masyarakat modern dewasa ini , seperti diucapkan oleh beberapa pemikir. Proses
perkembangan masyarakat industri dewasa ini sangat ditentukan oleh peranan teknologi
Masyarakat modern ditandai oleh teknik . Begitu besar pengaruhnya sehingga teknik
memisahkan manusia dari tujuan karyanya , dan dengan demikian menimbulkan alienasi
terhadap masyarakat tempat ia hidup. Teknik memperbudak ilmu pengetahuan
Pendidikan menjadi teknik paksaan atas manusia untuk menyesuaikan diri dengan
lingkungan , olahraga menjadi teknik untuk membuat manusia menjadi tenang , dan
politik menjadi teknik untuk menghindarkan revolusi . Mengapa teknik dianggap sebagai
tanda kehancuran dan bukan rahmat yang harus disambut baik . Ellul berpendapat bahwa
teknik dan humanisme adalah dua kenyataan yang tidak sesuai satu sama lain . Yang

33
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

dialami bukan lagi masyarakat manusia, melainkan masyarakat teknologi , demikian


Luypen , karena teknik telah berkuasa dalam bidang-bidang kehidupan masyarakat .

Di samping itu , pernyataan-pernyataan Herbert Marcuse dalam bukunya One


Dimensional Man mengandung protes terhadap keadaan masyarakat industri modern
dewasa ini ., yang ia sebut bermatra satu . Kehidupan manusia yang digambarkan secara
cerah dalam zaman Aufklarung dengan ragam orientasi dan insipirasinya , kini secara
totaliter dan represif diarahkan pada satu tujuan , yaitu kelestarian dan peningkatan
sistem kapitalisme modern . Dimensi-dimensi lain ditekan karena tidak sesuai dengan
tujuan utama tersebut . Hal itu dapat dilaksanakan dengan lancar , karena kebutuhan-
kebutuhan masyarakat dengan memasukan motivasi serta pengaturan yang nampaknya
rasional. Dalam situasi demikian itulah, manusia bersikap pasif dan represif serta tak
mampu lagi menuntut perubahan sosial . Dalam kehidupan yang bermatra satu ini
manusia kehilangan kebebasan ,. kreativitas , dan semangat kritisnya .

Dalam kehidupan yang serba teknologis ini, manusia mengalami keterasingan Manusia
tidak lagi hidup langsung secara bebas dengan alam lingkungannya , tetapi secara
berangsur-angsur hidup dikelilingi oleh teknik , organisasi , dan sistem yang dia ciptakan
sendiri. Memang , berkat ilmu pengetahuan dan teknologi ,manusia .bangkit
membebaskan diri dari tekanan berat dari alam yang selalu menganggunya . Akan tetapi ,
secara sistematis manusia mulai tergantung pada hasil ciptaan dan organisasinya
Dominasi alam sudah dilepaskan , tetapi teknologi dan birokrasi bangkit dengan
kekuatannya yang dahsyat untuk menguasai manusia yang menjadi tergantung dan
lemah . Manusia tidak lagi merupakan Selbst ( yaitu subyek yang mandiri ) , tetapi
mengalami detotalisasi dan bahkan dehumanisasi .( Poespowardoyo, 1993 : 81 – 83 )

Krisis membuat orang berusaha mencari pemecahan dan jalan ke luar . Bagi Marcuse
masalahnya ialah bagaimana masyarakat dapat dibebaskan dari cengkraman industri
modern yang irrasional . Sebagai jalan ke luar ia sampai pada gagasan The Great Refusal,
yaitu sikap yang menolak establishment bersama pola budaya , moral dan organisasi
dengan meningkatkan kepekaan dan kesadaran baru yang mampu membuat hidup lebih
sensouns, calm and beautiful .. Dalam mencari alternatif lain, Roszak sampai pada
pemikiran Counter Culture . . Ia kembali pada alam pikiran mitis , bahwa seharusnya
manusia merupakan bagian dari alam, dan karena itu harus terbuka dan menaruh simpati
pada alamnya . Bukan maksudnya menolak teknologi dalam kehidupan manusia dengan
mencari nilai-nilai dasar dalam pola hidup mitis yang masih mempertahankan kesatuan
ekologis manusia dengan alamnya dengan solidaritas emosionalnya Kehidupan rasional
yang kaku ini pun dilihat oleh EF Schumacher , dan karena itu, dalam bukunya Small is
beautiful , ia berpaling pada budhisme untuk menemukan pola kehidupan yang lebih
komprehensif .

Penutup

Makin lama kita berfleksi tentang ilmu pengetahuan makin sadarlah kita tentang tempat
ilmu pengetahuan dalam kehidupan manusia dan tentang tanggung jawab besar yang

34
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

berkaitan dengannya . Kesadaran dan tanggung jawab itu bertambah besar , bila kita
melihat dengan cara jelas dan seringkali pedih betapa tak berdaya ilmu pengetahuan
terhadap problem-problem kongkret , karena dengan itu kita dianjurkan meningkatkan
perkembangan ilmu pengetahuan sekuat tenaga . Dalam pada itu perlu kita tetap teringat
bahwa ilmu pengetahuan bagi manusia bukan saja sekedar jalan menuju perkembangan
diri itu, tapi juga sebagian integral dari perkembangan diri itu Dan ilmu pengetahuan
menyatakan keterbatasannya menurut kedua segi itu . Sebagaimana ilmu pengetahuan
belum membawa pemecahan untuk banyak penderitaan kongkrit , demikian juga ilmu
pengetahuan yang sama sekali tidak membawa kesatuan di bidang agama dan padangan
hidup . Ada ilmuwan beriman dan ada yang tak beriman . Ada yang yakin bahwa
bilamana ilmu pengetahuan cukup berkembang dengan itu segala kepercayaan akan Allah
akan dihancurkan . Ada yang berpendapat bahwa ilmu pengetahuan akan memurnikan
kepercayaan akan Allah . Dan tak ada lagi yang berpikir bahwa ilmu pengetahuan tidak
berkaitan langsung dengan kepercayaan akan Allah . Untuk semua pandangan ini dapat
diajukan argumen-argumen yang patut dipertimbangkan dengan cermat .

Salah satu ciri khas ilmu pengetahuan ialah bahwa sebelumnya kita tidak pernah
mengetahui semua kemungkinan yang terpendam di dalamnya . Dan di sini juga tidak
perlu kita ketahui dulu bagaimana persisnya kemungkinan-kemungkinan kita, supaya kita
menyelidikinya dengan segala energi yang kita punya.. Maka hal itu berlaku juga , bila
kita yakin bahwa dalam hal-hal serupa itu ilmu pengetahuan tidak pernah dapat memberi
penyelesaian terakhir dan menentukan , karena tidak ada ilmu yang mendasarkan dirinya
sendiri secara absolut . Sebab , setiap ilmu bertumpu pada kepercayaan dasar akan
metode-metode , strategi-strategi atau pengandaian-pengandaian yang dianggap terpecaya
atau setidaknya pantas untuk diketahui .

Kiranya sudah nyata, kegiatan ilmiah yang konkrit itu sendiri sekali-kali tidak bebas dari
apa yang sebenarnya harus disingkirkannya, yaitu praanggapan teoritis , prasangka
emosional , fanatisme dan intoleransi agresif . Dapat dipahami bahwa faktor-faktor ini
paling menonjol bila penelitian ilmiah langsung menyangkut manusia sendiri dan
khususnya keyakinan-keyakinannya yang paling mendalam . Setiap ilmu seharusnya
obyektif , artinya terpimpin oleh obyek atau tidak didistorsi oleh prasangka –prasangka
subyektif . Agar obyektivitas terjamin sebaik mungkin , ilmu pengetahuan harus
memenuhi tuntutan intersubyektivitas ilmu pengetahuan harus dapat diverifikasi oleh
semua penelitian ilmiah yang bersangkutan , biarpun verifikasi akan bersifat lain sejauh
tipe ilmu pengetahuan yang berbeda

Dapat dimengerti pula bahwa setiap ilmuwan ingin menempatkan ilmunya dalam
kerangka .ilmu pengetahun seluruhnya dan dalam kerangka seluruh aktivitas manusiawi
Hampir selalu juga ia mempunyai salah visi tentang hal itu . Tapi perlu diakui , visi
seperti itu jarang memperlihatkan semacam kecenderungan “imperialistis “ dengan
menganggap ilmunya sendiri sebagai satu-satunya bentuk ilmu pengetahuan yang
mungkin . Kegagahan seperti itu tentu tidak mungkin seandainya tidak berdasar . Dan,
sebagaimana sudah kita lihat , dasar itu adalah bahwa setiap ilmu memang mempelajari
seluruh kenyataan , biarpun hanya dari suatu sudut pandangan tertentu . Seandainya ilmu-
ilmu berbeda satu sama lain hanya dari segi material , maka kecenderungan imperialistis

35
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

serupa itu akan tampak gila-gilaan . Tapi sekarang ada dasarnya . Dan karena itu
kecenderungan tersebut pada prinsipnya barangkali lebih baik daripada suatu mentalitas
yang hanya melihat detail ilmiah , tanpa disadari apakah artinya detail ini atau
penyelidikan spesialistis ini dalam suatu kerangka lebih luas Kegiatan ilmiah dalam
bentuk yang dispesialisir meminta kebijaksanaan yang tahu mengaitkan keinsafan akan
keterbatasan metodenya sendiri dengan keinsafatan yang tepat akan kedudukannya dalam
keseluruhan .( Van Melsen , 1985 : 141 – 148 )

Setelah kita melihat perkembangan ilmu-ilmu pengetahuan dan dampaknya pada


perkembangan manusia dan dunianya, semakin jelaslah bahwa ada semacam
kecenderungan yang khas dan tak bisa dipisahkan dari suatu ilmu yang sedang maju
Kecenderungan pertama ialah kecenderungan yang terjalin pada jantung setiap ilmi
pengetahuan – dan para ilmuwan juga – untuk maju dan maju terus tanpa henti dan tanpa
batas . Setelah suatu penemuan atau suatu perumusan tercapai, ketika itu juga tampaklah
kemauan dan kemungkinan untuk maju selangkah lagi, entah itu menuju dasar yang lebih
dalam ataupun kearah cakrawala yang lebih luas. Setiap langkah merupakan suatu
tantangan baru lagi – menurut irama : pengamatan – hipotesa – hukum – teori – dengan
tak ada hentinya, , disusul oleh perbaikan , pembaharuan serta pengetatan tahap-tahap
yang sudah ditempuh .

Yang kedua ialah kecenderungan atau hasrat untuk selalu menerapkan apa yang
dihasilkan ilmu pengetahuan , baik dalam dunia teknik mikro maupun makro . Apabila
kita membuka mata dan kepala kita , tak sulit kita melihat bahwa semakin suatu ilmu
pengetahuan maju, semakin keinginan meningkat sampai memaksa, merajalela , dan
bahkan membabi buta . Ilmu pengetahuan dan hasilnya menjadi tidak menusiawi lagi ,
namun justru memperbudak manusia sendiri yang telah merencanakan dan
menghasilkannya . Ilmu pengetahuan lalu seakan-akan berubah dari kawan menjadi
pemangsa . Kecenderungan kedua ini lebih mengerikan daripada yang pertama , namun
tak dapat dilepaskan dari kecenderungan pertama. Jika kita mempelajari sejarah ilmu
pengetahuan alam, kiranya jelaslah apabila tidak ada suatu rangsangan kearah
penerapannya . Dan lebih mengesankan lagi bahwa banyak penemuan dalam ilmu
pengetahuan , umpamanya dalam bidang teknik persenjataan dan pertahanan ataupun
dalam kedokteran , tercapai dalam keadaan mendesak , seperti ancaman perang ,
penyakit menular , kelaparan , dan lain sebagainya .

Kedua kecenderungan ini secara nyata paling menampakkan diri dan paling mengancam
kehidupan dan keamanan bangsa manusia dewasa ini dalam bidang lomba persenjataan ,
kemajuan dalam memakai serta menghabiskan banyak kekayaan bumi yang tak dapat
batas-batas paling pribadi dalam hidup manusia , dan perkembangan ekonomi yang
mengakibatkan melebarnya jurang kaya dan miskin . Kecenderungan yang ternyata
condong menjadi lingkaran setan ini perlu dibelokkan manusia sendiri sehingga tidak
menimbulkan ancaman lagi . Kesadaran akan hal ini sudah muncul dalam banyak
lingkungan ilmuwan yang prihatin akan perkembangan teknik , industri , dan
persenjataan yang membahayakan masa depan umat manusia da bumi kita ini .(Verhaak ,
1989 : 184 – 185 )

36
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

Dalam kegairahan yang dibangkitkan oleh berkembangnya kekuatan ilmu dan teknik,
manusia modern telah menciptakan sistem produksi yang memperkosa alam dan
membangun jenis masyarakat yang merusak manusia. Kalau saja kekayaan kita makin
besar – demikianlah pikir orang – maka segala sesuatu akan beres dengan sendirinya
Uang dianggap mahakuasa ; uang kalau tidak dapat digunakan untuk membeli nilai-nilai
bukan-benda , seperti keadilan, kerukunan , keindahan , atau kesehatan , sekurang-
kurangnya dapat digunakan untuk menghindari kebutuhan akan nilai-nilai itu , atau
menggantinya kalau nilai-nilai itu hilang . Demikianlah , pengembangan produksi dan
mengejar kekayaan menjadi tujuan tertinggi dalam dunia modern , sedangkan tujuan-
tujuan lain – walaupun orang masih berpura-pura mengejarnya menduduki tempat yang
kedua . Tujuan tertinggi tidak perlu dibuktikan kebenarannya ; sedang semua tujuan
kedua harus tidak perlu dibuktikan kebenarannya ; sedang semua tujuan kedua harus
terlebih dahulu dipertimbangkan dari segi faedahnya untuk mencapai tujuan yang
tertinggi tersebut .

Inilah filsafat materialisme , dan filsafat – atau metafisika – inilah yang sekarang
mrndapat tantangan . Di sepanjang masa, di semua masyarakat di segenap pelosok dunia ,
senantiasa ada ahli pikir yang menentang materialisme dan menganjurkan susunan
prioritas berbeda . Bahasa yang mereka pakai berlainan , lambang yang mereka
pergunakan berbeda-beda , namun pesan yang mereka sampaikan senantiasa serupa : “
Carilah kerajaan Tuhan terlebih dahulu , dan segala sesuatunya ini ( barang-barang
kebendaan yang juga kau butuhkan ) akan kau peroleh sebagai tambahan “ Barang-
barang kebendaan itu akan kita peroleh sebagai tambahan , katanya , di bumi ini , di
mana kita membutuhkannya , bukan hanya di surga , yang ada di luar daya khayal kita
Tetapi pesan itu sekarang sampai pada kita bukan hanya dari para ahli pikir dan orang
suci , tetapi juga dari peristiwa yang terjadi di sekeliling kita . Pesan itu menampakkan
dirinya dalam bentuk terorisme , pembunuhan massal, kerusakan , pencemaran ,
kelesuan. Kelihatannya kita hidup dalam batas massa yang unik Nyatalah bahwa bukan
hanya janji-janji saja yang terkandung dalam kata-kata yang menakjubkan mengenai
kerajaan Tuhan tersebut , melainkan juga ancaman – bahwa “ jika engkau tidak mencari
kerajaan Tuhan terlebih dahulu , barang-barang lain yang kau butuhkan itu tidak akan kau
peroleh “

Kita menjauhkan diri dari kebenaran jika kita percaya bahwa kekuatan merusak dunia
modern ini dapat “dikendalikan “ semata-mata dengan mengerahkan sumberdaya yang
lebih besar lagi – kekayaan , pendidikan, dan penelitian – untuk memerangi pencemaran ,
untuk melindungi kehidupan liar , untuk menemukan sumber tenaga baru , dan untuk
mencapai persetujuan yang lebih efektif untuk hidup berdampingan secara damai. Tak
usah dikatakan lagi bahwa kekayaan, pendidikan , penelitian , dan banyak hal yang lain
lagi memang perlu untuk peradaban ; tetapi yang sungguh-sungguh kita butuhkan
sekarang adalah meninjau kembali tujuan yang akan kita capai dengan alat-alat tersebut .
Dan ini berarti bahwa kita harus mengembangkan gaya hidup yang menempatkan barang-
barang kebendaan pada tempatnya yang tepat dan benar , yaitu tempat yang kedua ,
bukannya yang pertama – dan inilah tugas yang lebih penting dari segala-galanya .
( Schumacher , 1981 : 275 – 276 )

37
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

Jelaslah kiranya bahwa seseorang ilmuwan mempunyai tanggung jawab sosial yang
terpikul di bahunya . Bukan saja karena dia adalah warga masyarakat yang
kepentingannya terlibat secara langsung di masyarakat namun yang lebih penting adalah
karena dia mempunyai fungsi tertentu dalam kelangsungan hidup bermasyarakat
Fungsinya selaku ilmuwan tidak berhenti pada penelaahan dan keilmuwan secara
individual namun juga ikut bertanggung jawab agar produk keilmuan sampai dan dapat
dimanfaatkan oleh masyarakat .

Untuk membahas ruang lingkup yang menjadi tanggung jawab seorang ilmuwan maka
hal ini dapat dikembalikan kepada hakikat ilmu itu sendiri . Sikap sosial seorang ilmuwan
adalah konsisten dengan proses penelahaan keilmuan yang dilakukan . Sering dikatakan
orang bahwa ilmu itu terbebas dari sistim nilai . Ilmu itu sendiri netral dan para
ilmuwanlah yang memberinya nilai . Dalam hal ini maka masalah apakah ilmu itu terikat
atau bebas dari nilai –nilai tertentu , semua itu tergantung kepada langkah-langkah
keilmuan yang bersangkutan dan bukan kepada proses keilmuan secara keseluruhan .

Proses menemukan kebenaran secara ilmiah mempunyai implikasi etis bagi seorang
ilmuwan . Karakteristik proses tersebut merupakan kategori moral yang melandasi sikap
etis seorang ilmuwan . Kegiatan intelektual yang meninggikan kebenaran sebagai tujuan
akhirnya mau tidak mau akan mempengaruhi pandangan moral . Kebenaran berfungsi
bukan saja sebagai jalan pikirannya namun seluruh jalan hidupnya . Dalam usaha
masyarakat untuk menegakkan kebenaran inilah maka seorang ilmuwan terpanggil
kewajiban sosialnya , bukan saja sebagai penganalisis misteri kebenaran tersebut namiun
juga sebagai prototipe moral yang baik .

38
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

Bibilografi

Adian, Donny Gahral .2002 Menyoal Objektivisme Ilmu Pengetahuan . Dari David
Hume
sampai Thomas Kuhn . Jakarta : Teraju .

Awuy , Tommy F .1993 Problem Filsafat Modern dan Dekontruksi . Jakarta :; Lembaga
Studi Filsafat .

Berger , Peter L dan Thomas Luckman . Tafsir Sosial atas Kenyataan . Risalah tentang
Sosiologi Pengetahuan . Jakarta : LP3ES .

Bertens, K. 2001. Perspektif Etika . Esai-Esai tentang Masalah Aktual . Yogyakarta :


Kanisius.

Budianta, Irmayanti M 2001.Realitas dan Obyektivitas .Refleksi Kritis Atas Cara Kerja
Ilmiah . Jakarta : Wedatama Widya Sastra . .

Campbell,Tom. 1994. Tujuh Teori Sosial . Sketsa , Panilaian , Perbadingan


.Yogyakarta : Kanisius .

Habermas , Jurgen . 1990 . Ilmu dan Teknologi Sebagai Ideologi . Jakarta : LP3ES

Hardiman,Francisco Budi 1990-Kritik Ideologi .Pertautan Pengetahuan dan


Kepentingan
Yogyakarta : Kanisius .

Hasan, Fuad dan Kontjaraningrat ,”Beberapa Azas Metodologi ,” dalam Koetjaraningrat .


1977 Metode-Metode Penelitian Masyarakat .Jakarta :PT Gramedia ,Hlm.8 – 23

Horgan ,John .2005 The End of Science .Senjakala Ilmu Pengetahuan. Jakarta :Teraju

Keraf , A Sony dan Mikhael Dua .2001 Ilmu Pengetahuan . Sebuah Tinjauan Filosofis .
Yogyakarta : Kanisius .

Laeyendecker, L. 1991. Tata, Perubahan dan Ketimpangan . Suatu Pengantar Sejarah


Sosiologi . Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama .

Leahy , Louis. 2006. Jika Sains Mencari Makna . Yogyakarta : Kanisius .

Mangunwijaya , YB (ed) 1983 . Teknologi dan Dampak Kebudayaannya . Jakrta : Yaya


san Obor Indonesia .

Mannheim, Karl.1991 Ideologi dan Utopia .Menyingkap Kaitan Pikiran Politik . Yogya
Karta : Kanisius .

39
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

Menezes , J. Inocencio .1986 Manusia dan Teknologi . Telaah Filosofis J. Ellul .Yogya
Karta : Kanisius .

Muller, Johannes , “ Pembebasan Manusia Dari Penderitaan ,”dalam Peter L.Berger 1982
Piramida Kurban Manusia . Etika Politik dan Perubahan Sosial. Jakarta : LP3ES.

Mustansyir, Rizal dan Minnal Murnir. 2001. Filsafat Ilmu . Yogyakarta : Pustaka Pelajar

Myrdal, Gunnar .1988 . Obyektivitas Penelitian Sosial . Jakarta : LP3ES .

Poedjawijata I.R.1991 Tahu dan Pengatahuan . Pengantar Ke Ilmu dan Filsafat . Jakarta
PT Rineka Cipta .

Polanyi, Michael. 1996 Segi Tak Terungkap Ilmu Pengetahuan . Jakarta : PT Gramedia
Pustaka Utama .

Poespowardoyo,Soeryanto. “ Unsur-unsur Pokok Ideologi Besar ”dalam M Sastrapratedja


et al. Menguak Mitos-Mitis Pembangunan . Telaah Etis dan Kristis , Jakarta : PT
Gramedia , 1986 ,Hl,. 18 – 32.

Poespowardoyo, Soerjanto 1993 Strategi Kebudayaan Suatu Pendekatan Filosofis


.Suatu
Pendekatan Filosofis . Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama .

Russel, Betrand .1992 .Dampak Ilmu Pengetahuan Atas Masyarakat . Jakarta : PT Grame
dia Pustaka Utama .

Santoso, R Slamet Iman 1977. Sejarah Perkembangan Ilmu Pengetahuan . Jakarta :Sastra
Hudaya .

Suchmacher , EF. 1981 .Kecil Itu Indah .Ilmu Ekonomi Yang Memetingkan Rakyat Kecil
Jakarta : LP3ES .

Sudarminta, J.2002. Epistomologi Dasar . Pengantar Filsafat Pengetahuan .Yogyakarta :


Kanisius .

Suriasumantri, Jujun S . 1982 . Ilmu Dalam Perspektif . Jakarta : 1982 .

Suriasumantri , Jujun S. 1996 . Filsafat Ilmu . Sebuah Pengantar Populer . Jakarta : Sinar
Harapan .

Van Melsen , A.G.M. 1985 . Ilmu Pengetahuan dan Tanggung Jawab Kita . Jakarta : PT
Gramedia.

Van Peursen , C.A. 1989 . Susunan Ilmu Pengetahuan . Sebuah Pengantar Filsafat Ilmu .
Jakarta : PT Gramedia .

40
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

Verhaak . C dan R Haryono Imam .1989 Filsafat Ilmu Pengetahuan . Telaah Atas Cara
Kerja Ilmu-Ilmu . Jakarta : PT Gramedia .

41
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com

You might also like