You are on page 1of 56

Peter Kasenda

Mencari Model Pembangunan

Bagi mereka yang kebebasan merupakan cita


cita yang masih samar-samar dan bagi
mereka
yang cukup beruntung memilikinya,perubahan
besar ini menghadirkan masalah baru dan
juga
peluang baru serta harapan baru

(Soedjatmoko)

Mengapa kita mengacaukan pembangunan dengan pertumbuhan ekonomi? Tentu saja


orang akan sukar mengatakan bahwa situasi yang dilukiskan oleh seperangkat proyeksi-
proyeksi itu lebih disukai daripada yang diperlihatkan oleh seperangkat lainnya, hanya
karena yang pertama mencakup pendapatan per kapita yang lebih tinggi. Bagaimanapun,
dalam pengertian apa Afrika Selatan lebih maju daripada Ghana, atau Kuwait daripada
Republik Emirat Arab, atau Amerika Serikat daripada Swedia?

Salah satu penjelasan adalah pendapat nasional adalah suatu indikator yang paling mudah
dan enak dipergunakan. Para politisi menemukan sebuah ukuran komprehensif itu
berguna, khususnya yang paling sedikit satu tahun terlambat. Para ekonom dilengkapi
dengan sebuah variabel yang dapat dikuantifikasi dan gerakan-gerakan di dalamnya dapat
dianalisis menjadi perubahan-perubahan dalam output sektoral, besarnya faktor atau
kategori-kategori pengeluaran, membuat konstruksi model menjadi mungkin.

Kita dapat, tentunya, kembali pada dalam dugaan dalam peningkatan pendapatan
nasional, bila cukup cepat, cepat atau lambat mengarah pada pemecahan masalah-
masalah sosial dan politik. Tetapi pengalaman pada dekade terakhir ini membuat
kepercayaan ini tampak agak naïf. Krisis sosial dan pergolakan-pergolakan politik
muncul di negara-negara dalam setiap tahapan pembangunan. Lebih daripada itu, kita
dapat melihat bahwa hal ini menimpa negara-negara yang memiliki peningkatan
pendapatan per kapita yang cepat, juga negara-negara dengan ekonomi yang mandek.
Pada kenyatannya, terlihat seakan-akan pertumbuhan ekonomi tidak hanya bisa gagal
memecahkan kesulitan-kesulitan sosial dan politik; tipe-tipe tertentu pertumbuhan dapat
menyebabkan kesulitan-kesulitan itu terjadi.

Sekarang ketika kompleksitas masalah-masalah pembangunan menjadi semakin jelas,


terus berkeras hanya menggunakan sebuah indikator agregatif saja, walaupun bukti
menunjukkan lain, menunjukkan adanya kekeliruan. Yaitu tampak sebagai sikap yang
lebih suka menghindari masalah-masalah riil dalam pembangunan.

1
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

Definisi Pembangunan

Dalam mendiskusikan tantangan yang kita hadapi sekarang, kita harus melenyapkan
kabut yang mengelilingi kata “pembangunan” dan menentukan secara lebih tepat, apa
yang kita maksud dengan pembangunan tersebut. Hanya dengan demikian kita dapat
menemukan target-target atau indikator-indikator yang berarti, sehingga memperbaiki
kebijaksanaan nasional dan internasional.

Titik nilainya adalah bahwa kita tidak dapat menghindari apa yang diremehkan para
positivis sebutan pertimbangan nilai. Pembangunan pasti merupakan suatu konsep
normatif, hampir merupakan suatu sinonim dengan peningkatan. Pandangan sebaliknya
justru menyembunyikan suatu pertimbangan nilai seseorang.

Tetapi dari mana pertimbangan-pertimbangan ini diambil? Jawaban konvensional, yang


oleh Tingerben diterima untuk sistem perencanan ekonominya adalah dengan memakai
nilai-nilai yang dipakai oleh pemerintah. Pemerintah sudah semestinya mempunyai suatu
pandangan yang agak berjangka pendek, dalam beberapa hal yang sangat sering sekali
tidak memperhitungkan masa depan. Lebih serius lagi, beberapa pemerintah itu sendiri
adalah hambatan utama bagi pembangunan, menurut berbagai definisi yang masuk akal,
dan bila hal ini diakui, di mana seseorang memperoleh tolok ukur yang dengannya
sasaran dan tujuan pemerintah dinilai? Meskipun misalnya pemerintahan tersebut
mewakili secara memadai. Dalam beberapa segi, sikap-sikap kerakyatan, pemerintah ini
endogen (berada di dalam) bagi proses pembangunan dan karena itu dapat memberikan
sebuah alat untuk menilai pembangunan tersebut.

Suatu pendekatan lain adalah meniru langkah-langkah pembangunan negara-negara lain,


yang secara implisit berarti menetapkan kondisi-kondisi negara-negara tersebut dewasa
ini sebagai tujuan. Inilah yang sedang dilakukan para pembangunan model ketika
mengambil koefisien–koefisien dari sebuah analisis silang internasional, atau dari fungsi-
fungsi yang cocok dengan pengalaman sebuah negara industri. Namun hanya sedikit, bila
memang ada, negara–negara kaya yang nampak pada dunia luar sebagai model-model
yang diinginkan. Beberapa aspek seperti tingkat konsumsi mereka, tampaknya membuat
iri, tetapi hal ini berhubungan, mungkin tidak dapat dipisahkan, dengan keburukan-
keburukan seperti permukiman kumuh di kota-kota, tekanan perikanan, pencemaran dan
ketegangan kronik. Di samping itu, sama sekali tidak jelas atau bahkan tidak mungkin
bagian sisa dunia lainnnya dapat mengikuti jalan sejarah negara-negara industri,
meskipun mereka menginginkannya.
Bila nilai-nilai tidak dapat ditemukan dalam politik dan sejarah, apakah ini berarti bahwa
masing-masing kita dibiarkan untuk mengadopsi seperangkat nilai kita sendiri? Untung
cara demikian tidak perlu. Tentu saja nilai-nilai yang kita butuhkan terbentang di depan
kita, segera setelah kita bertanya pada diri kita, syarat-syarat apa yang diperlukan bagi
suatu tujuan yang bisa diterima secara universal, yaitu realisasi potensi kepribadian
manusia.

Bila kita bertanya apa kebutuhan yang absolut untuk ini, satu jawaban yang jelas adalah
cukupnya makanan. Di bawah tingkat tertentu nutrisi (gizi), seorang manusia kekurangan

2
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

tidak hanya energi yang diperlukan badan dan kesehatan yang baik, tetapi juga minimal
pada hal-hal lainnya di samping makanan. Dia tidak dapat meningkatkan eksistensinya
secara berarti di atas eksistensi seekor binatang. Bila seseorang mempunyai keraguan
pada keutamaan makanan, mereka sebaiknya bercermin pada implikasi-implikasi
penelitian baru-baru ini, yang memperlihatkan bahwa bila anak-anak tidak memperoleh
gizi yang cukup, akibatnya yang menyebabkan kerusakan permanen tidak hanya pada
tubuh, tetapi juga pada otak.

Sejak bahan-bahan makanan mempunyai harga, di negara mana pun, kriteria itu dapat
dinyatakan dalam bentuk tingkat-tingkat pendapatan. Hal ini memungkinkan negara itu
juga memperhitungkan beberapa persyaratan minimum lainnya. Masyarakat tidak pernah
mengeluarkan seluruh uangnya (atau energinya) untuk makanan, bagaimanapun
miskinnya mereka Untuk mencukupi makanan seseorang, pendapatannya harus juga
melebihi kebutuhan dasar pakaian, sepatu, dan perumahan.

Tetapi saya tidak berbicara tentang kebutuhan konsumsi dalam arti umum; saya berbicara
tentang kemampuan untuk membeli kebutuhan fisik.

Ada yang mendukung suatu konsep kemiskinan relatif, yang menyatakan bahwa pada
masyarakat mana pun, orang dikatakan miskin bila mereka tidak dapat berpartisipasi
dalam kegiatan-kegiatan terbiasa dalam masyarakat tersebut. Kegiatan-kegiatan dan
kebiasaan-kebisaan itu harus diuraikan secara empiris. Selain makanan dan kebiasaan
pakaian, kondisi itu termasuk, misalnya di Inggris, seperti pesta ulang tahun untuk anak-
anak, liburan musim semi, jalan-jalan di senja hari. Konsep kemiskinan sebagai
keterampasan sosial ini mengandung arti bahwa standar kemiskinan akan meningkat
dengan kesamaan dengan membaiknya kondisi kehidupan, dan bahwa tentu saja
kemiskinan tidak akan pernah lenyap, kecuali barangkali melalui distribusi pendapatan
secara sangat merata. Tetapi memiliki seseorang anak yang kekurangan gizi yang
ditakdirkan untuk menderita secara fisik dan mental selama hidupnya atau tidak mampu
membiayai tranfusi darah untuk menyelamatkan kehidupan seorang istri adalah tentu saja
sebuah kemiskinan yang berbeda dengan ketidakmampuan untuk membelikan kue-kue
untuk sebuah pesta anak-anak atau membawa istri menonton film.

Apa yang saya tegaskan bahwa di bawah tingkatan yang seseorang manusia dalam arti
tertentu mampu menyediakan cukup makanan untuk keluarganya, batas kemanfataan
pendapat adalah jauh lebih besar daripada batas kemanfaatan pendapatan yang berada di
atas tingkat tersebut. Tentu saja hal ini merupakan bentuk pandangan kuno dan hal ini
memunculkan beberapa masalah konsep serta ukuran yang akan saya bahas lagi nanti.
Tetapi di mana saja terdapat kemiskinan serius, suatu pendekatan yang normatif terhadap
pembangunan, yang telah saya tekankan sebagai sesuatu yang tidak dapat dihindari,
mengisyaratkan adanya fungsi kemanfaatan bentuk umum ini.

Suatu kebutuhan dasar lain, dalam pengertian sesuatu yang tanpa itu kepribadian tidak
dapat berkembang adalah pekerjaan. Ini tidak harus berarti suatu pekerjaan yang
memperoleh bayaran bisa termasuk belajar, bekerja pada masa tanah pertanian keluarga,
atau merawat rumah. Tetapi tidak melakukan satupun dari peranan yang diterima ini,

3
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

sebagai misal, tergantung secara kronis pada kemampuan produksi orang lain, bahkan
untuk makanan, adalah tidak cocok dengan harga diri seseorang dewasa yang tidak pikun,
terutama seseorang yang lebih menghabiskan waktu bertahun-tahun di sekolah, mungkin
juga di universitas, mempersiapkan diri untuk hidup aktif secara ekonomis.

Adalah benar bahwa kemiskinan dan pengangguran adalah berhubungan dalam berbagai
hal dengan pendapatan. Tetapi bahkan suatu peningkatan cepat dalam pendapatan per
kapita saja jauh dari cukup sebagai terlihat dalam pengalaman berbagai perekonomian,
guna mengurangi kemiskinan atau pengangguran. Dalam kenyataannya, beberapa proses
tertentu pertumbuhan dapat secara mudah diikuti oleh, dalam arti tertentu malahan
menyebabkan, bertambahnya pengangguran.

Hubungan langsung antara pendapatan per kapita dan jumlah orang yang berada dalam
kemiskinan adalah distribusi pendapatan. Suatu kebenaran yang tidak dapat dibantah
bahwa kemiskinan akan lenyap jauh lebih cepat bila setiap tingkat pertumbuhan ekonomi
diikuti dengan usaha penurunan konsentrasi pendapatan. Pemerataan harus,
bagaimanapun, menurut hemat saya, dianggap sebagai suatu tujuan itu sendiri, yaitu
unsur ketiga dalam pembangunan. Ketimpangan yang ada sekarang, terutama di Dunia
Ketiga dengan kemiskinan rakyatnya, bertentangan dengan standar etis dan religi apa
pun. Hambatan-hambatan dan halangan-halangan sosial dalam masyarakat yang timpang
merusak kepribadian mereka yang berpendapatan tinggi, seperti juga pada mereka yang
miskin. Perbedaan-perbedaan sepele dalam aksen, bahasa, pakaian, kebiasaan, dan
lainnya. Memperoleh suatu arti penting yang tidak masuk akal dan penghinaan
ditimpakan pada mereka yang kurang memiliki santun sosial, terutama penduduk
pedesaan. Karena ras bisanya berkorelasi sangat tinggi dengan pendapatan, ketimpangan
ekonomi merupakan sebab utama ketegangan-ketegangan rasial. Lebih serius lagi,
ketimpangan pendapatan berhubungan dengan ketimpangan lain, terutama di bidang
pendidikan dan kekuasaan politik yang memperkuat ketimpangan itu.

Pertanyaan yang layak dilakukan tentang pembangunan suatu negara dengan demikian
adalah apa yang terjadi pada kemiskinan? Apa yang terjadi pada pengangguran? Apa
yang terjadi pada ketimpangan? Bila ketiganya ini telah menjadi berkurang sekali, maka
tidak dapat dibantah bahwa negara tersebut telah mengalami periode pembangunan. Bila
satu atau dua dari masalah utama ini menjadi lebih buruk, adalah aneh jika disebut
sebagai hasil pembangunan, meskipun pendapatan per kapita telah membumbung tinggi.
Hal ini, tentu saja berlaku juga bagi masa depan. Suatu rencana yang tidak mencakup
target untuk mengurangi kemiskinan, pengangguran, dan ketimpangan sangat sulit untuk
dianggap sebagai suatu perencanaan pembangunan.

Tentu saja, pemenuhan potensi manusia yang sebenarnya menuntut banyak hal yang tidak
dapat dirinci dalam kerangka-kerangka ini. Saya tidak dapat menjelaskan semua
pertanyaan lainnya, tetapi uraian ini akan sangat tidak seimbang bila saya sama sekali
tidak menyebut semua hal itu. Hal-hal ini termasuk tingkat-tingkat pendidikan yang
cukup (terutama tingkat melek huruf), partisipasi dalam pemerintahan menjadi warga
suatu bangsa yang betul-betul merdeka, baik secara ekonomi maupun dalam arti bahwa

4
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

pandangan-padangan dari pemerintahan lainnya tidak banyak menentukan keputusan-


keputusan pemerintahan sendiri.

Selagi kekurangan makanan, pengangguran, dan ketimpangan berkurang, maka tujuan-


tujuan pendidikan dan politik menjadi sasaran–sasaran yang makin penting dari
pembangunan. Akhirnya, bahkan kebebasan dari undang-undang seksual yang represif,
dari kebisingan dan polusi, menjadi tujuan-tujuan utama. Tetapi ini tidak
mengesampingkan prioritas-prioritas dasar ekonomi, paling sedikit buat negara-negara
yang benar-benar miskin, dengan jumlah besar anak-anak yang kekurangan makanan.
Suatu pemerintahan sangat sukar untuk mengklaim bahwa negara sedang membangun
hanya karena sistem pendidikannya sedang diperluas atau tatanan politiknya sedang
dibangun, atau batasan ditetapkan untuk kebisingan mesin, bila kelaparan, pengangguran
dan ketimpangan masih cukup besar dan bertambah, atau meskipun masalah-masalah itu
tidak berkurang. Bahkan orang akan menyangsikan kelayakan tatanan politik dalam
keadaan ini, bila kita tidak menganggap pernyataan bahwa yang utama (prima facie)
mendahulukan masalah-masalah pendidikan, politik, dan polusi sebagai jawaban yang
agak mencurigakan, sebaliknya pola-pola politik tertentu mungkin tidak cocok dengan
pembangunan.

Sebelum meninggalkan isu ini, saya harus menegaskan bahwa pendapatan nasional
bukannya sama sekali kurang berarti, hanya karena ia mempunyai suatu indikator yang
tidak cocok bagi pembangunan. Ia mempunyai beberapa arti penting sebagai suatu
ukuran potensi pembangunan. Katakanlah dua buah negara memulai suatu dasawarsa
dengan pendapatan per kapita sama, dan yang satu berkembang lebih cepat dari yang lain
setelah sepuluh tahun, tetapi peningkatan pendapatan bagi yang tersebut pertama
semuanya lari kepada yang kaya dan karena pertumbuhan terjadi melalui teknik-teknik
yang sangat padat modal, maka tingkat pengangguran tetap tidak berubah. Sementara itu,
pertumbuhan negara yang satunya lagi berjalan lambat, tetapi telah menghasilkan
pengangguran yang lebih rendah dan dengan demikian menguntungkan kelas yang
termiskin. Dengan demikian, meskipun negara dengan pertumbuhan yang lebih cepat,
menurut kriteria saya, membangun lebih sedikit, dalam kenyataannya tidak berkembang
sama sekali–ia telah mencapai potensi yang lebih besar untuk pembangunan nantinya—.

Pertama-tama, sistem fiskal dapat mendorong pembangunan lebih cepat bila semakin
besar pendapatan yang tersedia untuk diteruskan kepada yang miskin. Lebih dari itu,
suatu pertumbuhan cepat mengandung suatu kemampuan menambung yang lebih besar,
yang dengan mudah dapat berarti pembangunan sesungguhnya di masa datang. Bahkan
negara yang berkembang cepat mungkin sudah mempunyai tingkat investasi per kapita
yang lebih tinggi, bila investasi ini diperuntukan proyek-proyek pertanian yang akan
meningkatkan produksi pangan dan menyediakan lebih banyak kesempatan kerja untuk
pekerja pedesaan, atau diperuntukkan sekolah-sekolah pedesaan, maka pembangunan
sejati telah terbayang untuk masa depan.

Dalam titik pandangan jangka panjang, pertumbuhan ekonomi bagi sebuah sebuah negara
miskin merupakan suatu syarat yang penting untuk mengurangi kemiskinan. Tetapi syarat
ini saja belum cukup. Melancarkan potensi pembangunan agar dapat mencapai tingkat

5
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

pertumbuhan ekonomi yang tinggi tergantung pada kebijaksanaan. Sebuah negara yang
pertumbuhan ekonominya lambat atau kecil mungkin sedang sibuk dengan pembentukan
kembali lembaga-lembaga politik sehingga, ketika pertumbuhan datang, ini akan berarti
pembangunan, negara seperti itu dapat berkembang lebih cepat dalam jangka panjang
daripada negara yang sekarang menikmati pertumbuhan cepat, tetapi dengan kekuasaan
politik yang sepenuhnya tetap berada pada tangan-tangan minoritas orang kaya. Adalah
sangat menarik, membandingkan sebagai contoh, apa yang terjadi di Kuba dengan Brazil
dalam bagian akhir abad ini. (Seers, 1999: 108–113)

Manusia dalam Pembangunan

Perkembangan selalu terkait pada dan berhubungan dengan manusia. Peningkatan


kemakmuran dapat diartikan sebagai tersedianya perlengkapan dan peralatan yang
dibutuhkan untuk memperbaiki kehidupan masyarakat, adanya mesin-mesin pabrik, serta
sarana komunikasi yang membuat hidup mereka lebih produktif dan baik. Namun dalam
konteks keseluruhan, itu semua bersifat intermedier, artinya hanya bernilai sepanjang
merupakan fungsi bagi manusia. Pembangunan selalu menunjukan pada manusia; ia
adalah subjek pembangunan. Hal itu berarti bahwa di satu pihak manusia adalah
pelaksana, di lain pihak ia adalah tujuan pembangunan. Suatu pembangunan akhirnya
tidak akan berhasil kalau tidak memperhatikan para manusia pelakunya. Sebab pada
merekalah pembangunan benar-benar mempunyai akar yang kuat. Produksi hanya dapat
dihasilkan dan dapat diberikan secara kontinu, sepanjang manusia sanggup
melaksanakannya. Sebab itu, pembangunan secara struktural melaksanakannya.
Pembangunan secara struktural berarti membangun manusia pembangunan.

Sebagai pelaksana, manusia harus disesuaikan dengan perencanaan pembangunan. Ini


berarti, harus ada sinkronisasi dalam penyediaan tenaga kerja dan tenaga ahli berdasarkan
perhitungan kedudukan; diadakan penyesuaian pendidikan kejuruan serta lokasinya
secara efisien dan optimal. Dengan demikian, terlihatlah serta diletakkan dalam peta
pembangunan. Di sinilah terlihat aspek determinasi yang mau tak mau harus diterima
sebagai komitmen. Namun suatu keterkaitan yang tidak beku. Manusia bukanlah mesin
yang berjalan secara mekanistis, melainkan pribadi yang bekerja berdasar orientasi dan
motivasi. Orinetasi memberikan pengertian global tentang masalah yang sedang dihadapi.
Dengan orientasi, orang dapat membedakan yang mana alat, sarana, dan tujuan
pembangunan, selanjutnya membuat perencanaan pembangunan serta melaksanakannya.
Sebab itu, untuk keperluan-keperluan tersebut, harus diusahakan agar para pelaksana
benar-benar mempunyai kemampuan ilmiah untuk menjalan tugas mereka dengan baik
dan tepat. Sebab mereka bukanlah sekedar manusia-manusia consumers, tetapi terutama
produsen yang harus memberikan pemikiran-pemikiran ilmiah serta konsep-konsep
pembaharuan mereka untuk kepentingan pembangunan. Membentuk dan mendidik
pelaksana-pelaksana menjadi manusia pembangunan yang cakap adalah suatu modal
besar, human investment yang dapat menjamin kesinambungan pembangunan untuk masa
depan. Kecuali itu, dalam pembangunan, orang harus realistis untuk menyusun suatu
perencanaan, dan untuk itu orang harus realistis pula melihat dalam problematika yang
ada. Adalah syarat mutlak bagi masyarakat yang ingin membangun untuk berani melihat

6
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

dan menerima kenyataan seperti apa adanya, biar pahit sekali pun. Menutupi atau
menyangkal kenyataan sebagai masalah berarti menghambat proses pembangunan itu
sendiri. Demikian pula, pelaksana hanya akan melaksanakan pembangunan, apabila ia
melihat nilai-nilai yang dijadikan motif perbuatannya. Sebab motivasilah yang dapat
memberikan semangat dan arti pada suatu perbuatan. Oleh karena itulah, perlulah diteliti
manakah nilai-nilai yang harus dihidupkan serta digalakkan dalam masyarakat untuk
dijadikan motivasi pembangunan. Kalau alat hanya menjadi sarana, modal asing tidak
lain hanya pelengkap, manakah nilai-nilai pembangunan yang dituju serta dilengkapi itu?
Kekurangan partisipasi dalam lapisan masyarakat tidak hanya disebabkan karena tidak
adanya orientasi, tetapi terutama karena mereka merasa tidak didorong untuk diajak
membangun. Sikap masa bodoh terhadap pembangiunan bisa timbul dalam masyarakat,
karena mereka justru melihat motivasi-motivasi yang menyimpang dalam inti
pembangunan. Hal ini bisa terjadi karena motivasi individual tidak diintegrasikan dalam
sistem kemasyarakatan yang ada.

Jadi, supaya pembangunan dapat berhasil, harus diberikan perhatian khusus pada
pelaksana-pelaksananya sebagai human investement. Memperhatikan pelaksana-
pelaksana pembangunan berarti memberikan orientasi dan menghidupkan motivasi yang
tepat dan benar untuk pembangunan. Orientasi dan motivasi menjamin berlangsungnya
pembangunan. Walaupun pelaksanannya meliputi beberapa generasi alih berganti, namun
motivasi tetap memberikan semangat, dorongan, serta daya pembaruannya. Ketekunan
untuk membangun hanya dimiliki apabila pelaksanannya benar-benar sadar akan arti
serta manfaat pembangunan, dan berdasarkan kesadaran itu menentukan sikap yang
positif terhadapnya. Jadi, pembangunan secara langsung berarti juga memumpuk dan
membina mentalitas dan sikap bangsa ke arah pembangunan.

Manusia bukan hanya pelaksana, melainkan terutama tujuan pembangunan. Justru di


sinilah letak perbedaan orientasi kita dengan pandangan komunis yang totaliter. Manusia
bukan sekedar sejumlah relasi sosial, dan karena itu tidak dapat dinilai semata-mata
sebagai faktor dalam masyarakat. Manusia hidup dalam historitas, namun itu tidak berarti
bahwa eksistensinya ditentukan dan tergantung sama sekali pada sejarah. Manusia adalah
pribadi. Oleh karena itu, ia merupakan panggilan, Aufgabe, yang harus membangun
untuk menentukan sejarah. Oleh karena itu, pembangunan sebagai usaha untuk
meningkatkan taraf hidup masyarakat harus membuka jalan bagi masing-masing
warganya dan membantunya untuk dapat berkembang sebagai manusia sesuai dengan
bakat yang dimiliki dan berdasarkan keputusan yang diambilnya secara bebas. Manusia
tidak hanya harus berkembang menjadi seorang yang trampil, menjadi seorang dokter,
ekonom dan usahawan, melainkan menjadi seseorang, yaitu manusia yang dewasa. Setiap
profesi tidak lain adalah bentuk realisasi kemanusian dan oleh karena itu tidak boleh
dilepaskan dari kemanusian sebagai dasarnya. Manusia disebut juga sebagai zoon
politicon, ia adalah homo economicus, dan sering disebut juga sebagai homo faber,
namun itu semuanya adalah perwujudan manusia sebagai manusia. Kewajiban dalam
rangka kemanusian, yaitu menjadi seorang pribadi yang paripurna, disebut kewajiban
etis. Nilai etis menunjukkan martabat manusia qua talis. Sebab itu, nilai etis atau moral
tidak boleh dipersempit dalam seks, yaitu dalam lingkungan night club atau dunia
perfilman saja, tetapi mencakup semua dan setiap perbuatan manusia, baik secara

7
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

individual maupun sosial pada umumnya. Etika bukanlah etiket, karena tidak sekadar
merupakan tata karma yang menyangkut perbuatan-perbuatan lahiriah semata, melainkan
menurut keselarasan antara perbuatan lahiriah dengan hidup batinnya. Etika
menunjukkan nilai-nilai kemanusian itu sendiri. Sebab itu, jelaslah bahwa dengan
demikian suara hati, conscience, sebagai aplikasi norma-norma etis dan ungkapan
kepribadian seseorang dalam kehidupan sehari-hari, mempunyai arti yang penting dan
harus dikembangkan baik dalam kehidupan pribadi-individual maupun dalam kehidupan
masyarakat melalui pendidikan yang sehat.

Maka, dilihat dari segi etis dan prinsip kemanusian perlu diperhatikan dan dihidupkan
kesadaran akan keadilan sosial, tanggung jawab, dan kebebasan.

Keadilan sosial tidak hanya diartikan sebagai pengakuan hak asasi dari masing-masing
warga negara untuk berkembang dan menggunakan sarana-sarana yang diperlukan, tetapi
harus juga efektif, yaitu diberinya kesempatan riil untuk membangun dan ikut menikmati
hasil pembangunan itu. Ini berarti bahwa kesempatan kerja bagi para warga masyarakat
sendiri dan pemerataan pendapatan adalah tujuan utama dan fundamental dalam
pembangunan. Sebab, itu adalah melawan keadilan sosial, apabila pengaturan dan
pelaksanaan penanaman modal asing yang, pada hakikatnya, merupakan sarana
pelengkap, menimbulkan akibat yang sedemikian rupa, sehingga akhirnya merusak dan
bahkan mematikan usaha dalam negeri, yang dapat menimbulkan bencana besar dalam
masyarakat. Maka, wajar bahwa dalam hal ini pemerintah turun tangan untuk
memberikan perlindungan bagi yang lemah. Persaingan dapat merupakan cara yang sehat
sepanjang diterapkan bagi mereka yang mampu bersaing, tetapi melawan keadilan
apabila dikenakan pada mereka yang lemah. Ini perlu diperhatikan baik di bidang
ekonomi maupun di bidang pendidikan. Harus ada perlindungan yang efisien bagi modal
dalam negeri terhadap modal asing, perlindungan bagi golongan lemah terhadap
golongan kaya. Demikian pula dalam pendidikan sebagai lembaga untuk membentuk
pelaksana-pelaksana pembangunan dan calon pemimpin bangsa harus ada penyaluran
yang adil. Adalah hak setiap warga untuk mengenyam pendidikan, dan prinsip ini secara
kongkret harus berarti perlindungan pula bagi mereka yang lemah tetapi punya bakat
yang cukup, agar secara riil mendapat kesempatan untuk menerima pendidikan.

Kesadaran akan tanggung jawab adalah nilai yang fundamental dalam pembangunan,
tetapi kini menunjukan gejala-gejala kemerosotan. Adalah tragis mendengar ucapan
bahwa pegawai negeri bukan lagi merupakan public servant. Kurang dedikasi dalam
tugas yang dibebankan, dan bahkan tidak ada rasa terlibat di dalamnya. Keengganan
untuk memikul sendiri tanggung jawab tercermin dalam sikap dan kebiasaan untuk
melemparkan tanggung jawab itu kepada orang atau golongan lain. Demikian pula di
kalangan masyarakat, sering terjadi perbuatan-perbuatan yang tidak dapat
dipertanggungjawabkan dan tidak didasari oleh motivasi yang masuk akal. Perusakan
tanaman atau gedung umum adalah salah satu contoh dari berbagai kejadian. Rasa
memiliki belum dihayati secara merata. Adanya krisis tanggung jawab ini kiranya tidak
hanya disebabkan karena adanya motivasi pribadi yang menyimpang dari tujuan
pembangunan, tetapi juga berakar pada sistem sosial kultural itu sendiri. Bahkan dapat

8
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

terjadi, tindakan tak bertanggung jawab itu diakibatkan oleh sistem yang ada.
Dengan kata lain, harus ada integrasi motivasi pribadi dan sistem yang ada.

Kebebasan adalah ciri khas manusia dan sekaligus menjadi tujuannya. Sebab itu, harus
juga diintegrasikan dalam pembangunan. Artinya pembangunan harus diarahkan
sedemikian rupa, sehingga merupakan pembebasan bagi seluruh masyarakat dari macam-
macam kesulitan. Segala perbuatan manusia harus dilaksanakan untuk memperoleh
identitasnya sendiri, menjadi Selbst, yang mandiri dan bebas. Namun, seperti yang
diuraikan di atas, sikap yang mendasari perbuatan itu bukanlah Weltvermeinung,
melainkan justru mengolah dunia dan menguasainya dengan memberikan nilai
manusiawi. Manusia adalah zu sein, yaitu terarah pada dunia untuk
mentransformasikannya melalui kerja menjadi manusiawi. Sebab itu, kebebasan tidak
hanya diartikan sebagai bebas dari ini atau itu, tetapi adalah bebas untuk mengambil
suatu prakarsa. Jadi, kebebasan menunjukkan suatu komitmen yang sadar terhadap dunia
sekitarnya (ekologi); bukan untuk tenggelam di dalamnya (Materialisme Praktis),
melainkan untuk mengatasi dan menfaatkannya. Jadi, kebebasan harus juga diartikan
sebagai kesanggupan riil manusia untuk mengadakan transendensi terhadap dunia
alamnya dengan menentukan keputusan dan sikapnya sesuai dengan pilihannya.
Kesanggupan ini merupakan perkayaan, bukan hanya secara materiel melainkan secara
intelektual dan mental. Dengan demikian, ini berarti bukan hanya bahwa manusia
mempunyai alat sebagai hasil ciptaan untuk membuat dirinya lebih efisisen, tetapi juga
bahwa dengan kesanggupannya itu manusia tidak dicengkram dan diombang-ambingkan
oleh dunia luarnya, tetapi melalui dunia objeknya ia dapat menemukan dan menjadi
dirinya sendiri. Dalam rangka inilah, setiap pembangunan pada umumnya harus diartikan
sebagai usaha untuk melenyapkan setiap bentuk alienasi sebagai pencerminan
disintegrasi serta disfungsionalisasi antara dunia yang diciptakan manusia melalui
kerjanya dan manusia penciptanya. (Poespowardojo, 1993: 54-59)

Pembangunan sebagai Pertumbuhan

Tatkala Perang Dunia II berakhir, terdapat suatu konsensus yang mantap sekali di
kalangan pejabat dan pendapat umum yang beredar di negeri-negeri Barat tentang
perlunya untuk melakukan sesuatu mengenai permasalahan mendesak pembangunan
ekonomi negeri-negeri terbelakang. Sebagian bahkan bersedia memaklumkan bahwa
pembangunan di negeri-negeri kurang maju mungkin dapat dipandang sebagai kebutuhan
utama pada dasawarsa-dasawarsa sesudah perang.

Para ahli ekonomi mempertajam dan mempersempit penafsiran mengenai makna dan
tujuan pembangunan ekonomi. Dari sebuah pernyataan bahwa tujuan akhir pembangunan
ekonomi adalah meningkatkan kesejahteraan nasional keseluruhan penduduk dan
penjelasan bahwa pada hakekatnya masalah pembangunan ekonomi adalah masalah
meningkatkan taraf pendapat nasional meningkatkan output per kapita, sehingga setiap
individu akan mampu untuk mengonsumsikan lebih banyak. Ini hanyalah satu atau dua
langkah lagi untuk mengatakan bahwa definisi pembangunan ekonomi sebagai kenaikan
taraf hidup orang kebanyakan atau untuk secara, lebih tepat, bahwa pembangunan

9
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

ekonomi mungkin dapat didefinisikan sebagai suatu perbaikan sekuler yang


berkelanjutan dalam kesejahteraan materiel yang tercermin dalam arus barang-barang dan
jasa-jasa yang meningkat atau lebih teknis lagi, untuk mendefinisikan pembangunan
ekonomi sebagai proses dengan mana suatu ekonomi ditransformasikan dari
perekonomian yang tingkat pertumbuhan per kapitanya kecil atau negatif menjadi
perekonomian yang peningkatan pendapatan per kapita yang berkelanjutan merupakan
sifatnya yang permanen jangka panjang. Dan sekitar tahun 1950 sampai bagian terbesar
dan dasawarsa berikutnya, penafsiran ini mendominasi literatur, sehingga pembangunan
ekonomi boleh dikatakan sering disamakan dengan pertumbuhan ekonomi. Walaupun
demikian, istilah pembangunan ekonomi cenderung digunakan bagi negara-negara yang
miskin, sedangkan istilah pertumbuhan ekonomi bagi negara-negara kaya.

Di negeri-negeri Barat, kecenderungan pemikiran mengenai pembangunan ekonomi


terutama sebagai pertumbuhan ekonomi, tak pelak lagi diperkuat oleh fakta bahwa dalam
dasawarsa pasca perang pertumbuhan ekonomi menjadi sasaran utama kebijaksanaan
ekonomi. Oleh karena itu, ada kecenderungan untuk mendekati kajian permasalahan
pembangunan ekonomi dengan kotak perkakas yang dirancang oleh para ahli ekonomi
guna menganalisis pertumbuhan ekonomi di negeri-negeri maju. Kenyataan bahwa para
ahli ekonomi mempunyai suatu teori atau teori-teori tentang pertumbuhan ekonomi
tampaknya memberi mereka keunggulan atas para ahli ilmu sosial lainnya sebagai pakar-
pakar pembangunan ekonomi.

Bahkan dengan sedemikian banyak banyak alasan untuk berpikir mengenai


pembangunan ekonomi sebagai terutama masalah pertumbuhan ekonomi, tidak ada
seorang ahli ekonomi menulis mengenai pembangunan ekonomi. Mereka tidak
menyempatkan diri memperingatkan para pembacanya bahwa pembangunan ekonomi
berarti lebih daripada pertumbuhan dalam produk nasional. Sebagian menekankan
perubahan dalam struktur ekonomi, khususnya penyusutan relatif dari sektor pertanian,
atau perubahan dalam struktur sosial sebagai bahan-bahan esensial dari proses
pembanguinan ekonomi. Sebagian lagi menekankan bahwa pertumbuhan, jika dikaitkan
dengan meningkatnya ketimpangan dalam distribusi pendapatan adalah konsisten dengan
peningkatan baik dalam jumlah absolut maupun dalam persentase lokal penduduk yang
hidup dalam kemiskinan yang jorok dan penyakitan. Meningkatkan pendapatan per
kapita yang lebih tinggi itu berarti suatu taraf kehidupan yang lebih tinggi bagi mayoritas
rakyat, hasilnya hanyalah akan memperlebar kesenjangan antara minoritas kaya yang
bertumbuh makin kaya dari mayoritas miskin. Dewan Ekonomi dan Sosial Perserikatan
Bangsa-Bangsa pada sidangnya yang pertama menyatakan, perlunya program
pembangunan jangka panjang yang berimbang, yang harus menyertakan bukan hanya
aspek-aspek ekonomi, tetapi juga aspek-aspek sosial, ilmu pengetahuan, kesehatan,
pendidikan dan kebudayaan dari kehidupan masyarakat

Banyak yang menegaskan bahwa sebagai ahli-ahli ekonomi mereka memusatkan


perhatian hanya pada satu aspek dari suatu proses yang kompleks yang dengan nama
modernisasi, mencakup perubahan yang mendalam dalam sikap-sikap sosial di antara
kondisi-kondisi dan sasaran-sasaran yang diperlukannya. Menurut Arthur Lewis,
kemajuan terjadi hanya bila rakyat percaya bahwa manusia dapat, dengan segenap upaya,

10
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

menguasai alam. Bahkan bila rakyat tahu bahwa suatu kelimpahan barang-barang dan
jasa-jasa yang lebih besar adalah mungkin, mereka tidak memandang perlu untuk
mengusahakannya. Kurangnya minat pada hal-hal material mungkin sebagai akibat dari
berkuasanya filsafat dunia lain yang mencela keinginan-keinginan material. Sasarannya,
kata Gunnar Mydral, adalah jauh lebih daripada taraf kehidupan material yang lebih
tinggi; sasarannya adalah manusia baru alias manusia modern.

Meskipun demikian, hingga seklitar tahun 1960, hal tersebut cenderung untuk menjadi
syarat dari tema sentral dalam literatur pembangunan ekonomi. Yang dianggap sebagai
batu ujian, kalau tidak dapat dikatakan esensinya, dari pembangunan ekonomi adalah
pertumbuhan output dan pendapatan per kepala di dalam negeri-negeri kurang maju.
Terdapat, bahkan di kalangan para ahli ekonomi Barat, mereka yang sejak dari awalnya
sangat skeptis mengenai keseluruhan pendekatan ini terhadap pembangunan ekonomi.

Bagian terbesar lileratur, tentu saja, adalah mengenai cara, bukannya mengenai tujuan,
mengenai ekonomi pembangunan dan itu bukan yang saya bahas di sini. Tetapi
pemisahaan antara cara dan tujuan tidaklah pernah jelas. Tujuan menentukan cara dan
cara-cara mewarnai tujuan tidaklah pernah jelas. Corak utama dalam pemikiran mengenai
ekonomi pembangunan karena itu mempunyai relevansi. Disini selebihnya, saya akan
menggambarkan tiga corak utama yang dapat dikenali selama periode ketika
pembangunan ekonom terutama sekali disamakan dengan pertumbuhan ekonomi. Yang
pertama menekankan pembentukan modal sebagai faktor paling penting, yang kedua
berusaha mengoreksi penekanan ini dengan menekankan pentingnya modal manusia,
yang ketiga menghidupkan lagi minat perdagangan sebagai mesin pendorong
pertumbuhan.

Batu sendi pembangunan ekonomi modern dalam fasenya yang pertama adalah
pembentukan modal. Nurkse mengungkapkan suatu pandangan yang diterima secara
sangat umum ketika dia mengatakan dalam tahun 1952 bahwa masalah ini terletak di
jantung permasalahan pembangunan di negeri-negeri yang terbelakang secara ekonomi.
Dia, seperti yang lainnya, hati-hati untuk menambahkan bahwa pembentukan modal
bukan keseluruhan cerita Pembangunan ekonomi banyak berhubungan dengan usaha-
usaha manusia, sikap-sikap sosial, kondisi politik–dan peristiwa-peristiwa sejarah—.
Modal sendiri tidaklah cukup. Tetapi ia adalah prasyarat yang diperlukan untuk
kemajuan. Arthur Lewis, dalam sebuah kalimatnya yang terkenal, mengatakan mengenai
tingkat bunga sebagai perbedaan kunci antara negara-negara maju dan sedang
berkembang.

Tidak ada yang mengejutkan mengenai perihal ini. Jika pembangunan ekonomi terutama
adalah menyangkut masalah pertumbuhan ekonomi, jelas ia memerlukan diversi atas
sebagian sumber daya masyarakat yang ada sekarang ke arah tujuan untuk meningkatkan
stok modal sebegitu rupa untuk memungkinkan ekspansi output yang bisa dikonsumsi di
masa depan. Inilah yang menjadi pusat perhatian ilmu ekonomi klasik. Dari The Wealth
of Nation sampai das Kapital, dan hal itu pula yang kini kembali menjadi pusat perhatian
teori pertumbuhan ekonomi, yang telah dipikirkan Harrod dan Domar, seperti Keynes,
semula tertarik pada problem mengenai pegawai tetap dan baru kemudian melampui

11
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

Keynes ketika meluaskan analisisnya mengenai pengembangan ekonomi. Tetapi


karikatur mereka mengenai perekonomian yang dinamis di mana tingkat pembentukan
modal merupakan satu-satunya determinan pertumbuhan ekonomi, menjadi sangat
berpengaruh dalam ilmu ekonomi pembangunan pascaperang. Dari perspektif ini, fakta
paling elementer mengenai negara-negara terbelakang adalah bahwa mereka itu lepas
modal. Ketiadaan modal, per definsi, hampir merupakan karakteristik negara-negara
terbelakang.

Tahun 1959, edisi pertama dari salah satu buku teks yang amat terkenal tentang ilmu
ekonomi pembangunan, tetap menekankan bahwa akumulasi modal adalah inti dari
pembangunan ekonomi. Dua tahun kemudian, HW Singer dalam suatu konferensi pers di
Addis Ababa mengatakan bahwa telah terjadi pergeseran dalam keseluruhan pemikiran
kita mengenai masalah pertumbuhan dan pembangunan–dari modal fisik ke modal
manusia. Masalah mendasarnya bukan lagi penciptaan kesejahteraan, melainkan
kapasitas untuk menciptakan kesejahteraan, dan kapasitas ini terletak pada rakyat suatu
negeri. Yaitu kekuatan otak.

Pergeseran pemikiran kepada modal manusia yang terjadi dalam dua atau tiga tahun
sekitar tahun 1960, berasal dari yang waktu itu merupakan kesibukan menelaah
pertumbuhan ekonomi dan penyebabnya di negara-negara maju. Tetapi ia segera diambil
alih oleh mereka yang menulis mengenai pembangunan ekonomi. Salah satu akibatnya
adalah dihidupkannya lagi minat terhadap bantuan teknis, bukannya bantuan modal bagi
negeri-negeri berkembang, yang lain adalah memperkenalkan tema-tema baru–investasi
dalam pendidikan, perencanaan ketenagakerjaan, ”brain drain” (larinya tenaga-tenaga
ahli ke luar negeri)—ke dalam literatur pembangunan.

Munculnya selama tahun 1950-an gagasan bahwa perdagangan internasional bisa


memainkan peranan yang lebih positif dalam pembangunan ekonomi daripada yang
semula diasumsikan oleh generasi pertama para ahli ekonomi pembangunan pasca
perang. Bukan sebagai akibat munculnya pendukung-pendukung kebijaksaaan-
kebijaksanaan perdagangan liberal Barat tersebut. Gagasan berasal dari tiga pengaruh
lain. Keprihatinan pada kesenjangan devisa negeri-negeri berkembang, tumbuhnya
kekecewaan pada strategi subsitusi impor di Amerika Latin dan kawasan lainnya, dan
upaya-upaya Soviet untuk mentralisasi peranan GATT, yang diperkuat oleh kemunculan
kekuatan politik dunia ketiga. Sebagian karena tiga pengaruh yang berbarengan ini yang
menyebabkan keluarnya resolusi Majelis Perserikatan Bangsa-Bangsa tahun 1961 dan
memacu diadakannya Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Perdagangan dan
Pembangunan (UNCTAD I) tahun 1964. Ini sebuah peristiwa yang tidak banyak orang
dapat meramalkan sepuluh tahun sebelumnya dan tetap mengejutkan bila ditinjau
kembali. Bagaimana setelah satu dasawarsa lebih ketika pembentukan modal, baik fisik
maupun manusia menduduki posisi itu. (Arndt, 1992: 56-91)

Paradigma Modernisasi dan Teori Pembangunan

12
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

Sekalipun teori pembangunan menjadi semakin rumit ketika teori ini berkembang
menjadi lebih interdisipliner, adalah mungkin untuk membedakan dalam pendekatan-
pendekatan baru kerangka dasar evolusioner sebagaimana ciri khas kosmologi Barat.
Sebagian besar sumbangan–baik ekonomi, politik, sosial, atau psikologi—berakar pada
paradigma dasar, yang sekarang paling biasa dikenal sebagai paradigma modernisasi.
Pembangunan dipandang sebagai suatu perspektif evolusioner, dan keadaan
keterbelakangan didefinisikan sebagai perbedaan-perbedaan antara negara kaya dan
miskin yang dapat diamati. Pembangunan secara tersirat berarti menjembatai jurang-
jurang perbedaan itu dengan cara proses peniruan, di mana negara-negara kurang
berkembang lambat laun memiliki sifat-sifat negara industri. Tugas menganalisis sifat
yang akan ditiru dibagi bersama antara ahli-ahli ekonomi, sosial dan politik, sehingga
beberapa ilmuwan mengkhususkan diri pada struktur ekonomi, yang lain dalam tingkah
laku manusia, lembaga-lembaga masyarakat dan pembangunan politik.

Modernisasi berarti hal-hal yang berbeda bagi orang-orang yang berbeda-beda, pada
kesempatan yang berlainan pula. Oleh karena itu, pandangan besar ini dihantui oleh suatu
kekacauan tertentu. Konsepsi ini telah digunakan dalam sekurang-kurangnya tiga makna:
sebagai suatu kelengkapan sejarah, sebagai proses peralihan bersejarah yang khusus, dan
sebagai suatu kebijaksanaan pembangunan tertentu di negara-negara Dunia Ketiga. Arti
ketigalah yang paling relevan dalam konteks teori pembangunan, tetapi masalahnya ialah
(dan hal itu barangkali yang bertanggung jawab atas daya tarik perspektif modernisasi)
bahwa ketiga arti itu kabur. Kebijaksanaan-kebijaksanaan modernisasi (yang berarti
rasionalisasi dan pendayagunaan struktur-struktur ekonomi dan sosial) tidak hanya
dipandang sebagai unsur-unsur yang strategi pembangunan (yang mungkin berhasil atau
gagal), tetapi sebagai bekerjanya kekuatan-kekuatan bersejarah yang universal (arti
pertama) yang sangat mirip dengan peralihan dari feodalisme ke kapitalisme di dalam
sejarah ekonomi Barat (arti kedua). Jadi, di kalangan penganut modernisasi terdapat
kaum fundamentalis yang percaya bahwa pembangunan pada dasarnya merupakan proses
pengulangan, dan para pendukung yang tidak terlalu kaku memandang modernisasi
sebagai satu aspek dari perubahan sosial. Adanya pendekatan terdahulu, di mana
pembangunan merupakan proses dari dalam, yang menyadari potensi yang tumbuh dari
dalam setiap, masyarakat kurang lebih dalam bentuk embrio, tergantung pada tingkat
perkembangan masyarakat, memungkinkan pendekatan itu berbicara mengenai
paradigma.

Kita akan mendiskusikan beberapa teori terkenal dari berbagai ilmu-ilmu sosial di dalam
rangka paradigma modernisasi. Teori-teori itu dipilih untuk menyoroti baik inti pusat
maupun garis pembatas dari paradigma itu.
Karena sumbangan-sumbangan pokok kepada teori modernisasi berasal dari sosiologi,
maka layaklah untuk mulai dengan disiplin ilmu ini. Ada banyak ahli teori besar dalam
tradisi ini, tetapi tokoh pusatnya adalah Emile Durkheim yang melihat bahwa pembagian
kerja dan dalil diferensiasi struktural adalah kekuataan penggerak dan masyarakat-
masyarakat modern. Namun demikian, harus dicatat bahwa para ahli teori klasik terutama
berkepentingan dengan peralihan dari tradisi ke modernitas di Eropa Barat, sekalipun
relevansi umum dari rancangan ini kadang-kadang dikemukakan secara tersirat. Adalah
juga penting bahwa pandangan-pandangan klasik biasanya agak bersikap ambivalen

13
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

terhadap proses modernisasi, sebagaimana diperlihatkan oleh konsepsi Durkheim


mengenai anomie dan keasyikan Karl Marx dengan alienasi. Pengamatan ketiga yang
relevan adalah bahwa teori modernisasi sebagai bagian dari tradisi evolusioner yang lebih
besar, dari mana teori itu membentuk tradisi yang paling baru, memahami perubahan
sosial sebagai suatu proses yang pada dasarnya berasal dari dalam. Kami menekankan
kata pada dasarnya karena variabel luar sering kali digunakan untuk menerangkan
bagaimana proses modernisasi itu dicetuskan, seperti dalam pernyataan-pernyataan Marx
dan Engels yang terkenal mengenai fungsi kolonialisme untuk menyeret masyarakat-
masyarakat yang macet ke dalam sejarah. Namun dengan demikian, potensi untuk
modernisasi terletak diam di dalam masyarakat yang bersangkutan. Bagi mereka yang
paling setia kepada paradigma itu, modernisasi adalah suatu proses sejarah kongkret yang
berlangsung dalam masyarakat tertentu selama jangka waktu tertentu.

Kerangka klasik itu muncul dalam bentuk modern dalam variabel pola Talcott Parson,
paham kekhususan—paham universalis, asal mula pencapaian, dan penyebaran—
pengkhususan. Untuk melengkapi rantai pengaruh ini, Bert Hoselitz lah yang pertama-
tama menerapkan variabel-variabel pola Parson terhadap masalah pembangunan dan
keterbelakangan. Masyarakat bergerak melalui pembangunan atau modernisasi sebagai
paham kekhususan, asal mula dan penyebaran, dan diganti oleh paham universalis,
pencapaian dan pengkhususan. Dalam kenyataan modernisasi sangat mirip dengan
pengbaratan, yaitu bahwa negara belum berkembang harus memicu lembaga-lembaga
yang menjadi ciri negara-negara kaya di Barat. Dengan demikian maka ramalan Marx
bahwa negara kurang berkembang melihat cermin masa depannya pada negara-negara
maju, menjadi kenyataan.

Untuk memberikan contoh yang menyimpang dari sosiologi, kita dapat menilik sejenak
pada karya Barington Moore, The Social Orogin of Democracy and Dictatorship (1966),
di mana bagian unilinier yang begitu khas dari paradigma modernisasi sama sekali
ditinggalkan, dan sebaliknya tiga jalur yang relevan menurut sejarah ke arah modernisasi
diidentifikasi sebagai revolusi borjuis klasik (Inggris), revolusi dari atas (Jerman), dan
dari revolusi bawah (Rusia). Di sini kita tidak menjumpai determinisme dalam analisis
peralihan serta tidak ada praanggapan mengenai pemusatan setelah peralihan, tetapi
menurut paradigma modernisasi, teori Moore tentang perkembangan hanya
mempertimbangkan faktor-faktor dari dalam saja. Hal ini tentu saja lebih realistis bagi
negara-negara besar, seperti India dan Cina, daripada bagi negara-negara kecil, seperti
Tanzania dan Jamaica (yang tidak masuk pertimbangan), tetapi dalam kasus-kasus yang
dipilih oleh Moore itu sekalipun, sistem internasional seharusnya diberi peran yang lebih
penting di dalam analisis. Mungkin yang yang paling terkenal dari sumbangan ekonomi
di dalam tradisi teori modernisasi adalah sumbangan yang diberikan oleh Walt Rostow,
yang memahami pembangunan sebagai sejumlah tahap yang menghubungkan keadaan
tradisional dengan apa yang disebut Rostow ”kematangan”. Perkembangan ini dianalisis
terutama sebagai suatu proses dari dalam.

Doktrin Walt Rostow yang memainkan peranan penting selama akhir tahun 1950-an dan
1960-an merupakan ungkapan khas dari paradigma perkembangan Barat. Ada lima tahap
yang harus dilalui oleh semua masyarakat, yaitu (1) masyarakat tradisional; (2) tahap

14
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

pratinggal landas; (3) lepas landas; (4) jalan ke arah kematangan; dan (5) masyarakat
konsumsi massal.

Persyaratan ekonomi untuk tinggal landas diciptakan selama tahap kedua, dan banyak
ciri-ciri masyarakat tradisional kemudian dihapuskan. Produktivitas pertanian meningkat
dengan cepat dan prasarana yang lebih berdaya-guna dibangun. Masyarakat juga
mengembangkan suatu mentalitas baru, dan juga suatu kelas baru –kaum usahawan—.
Tahap ketiga, tahap tinggal landas, adalah paling penting bagi perkembangan
selanjutnya. Dalam jangka waktu inilah, yang meliputi beberapa dasawarsa, hambatan-
hambatan terakhir pada pembangunan ekonomi dihapuskan. Pertanda yang paling khas
dari tahap tinggal landas ialah bahwa sumbangan investasi dan simpanan netto pada
pendapatan nasional naik dari lima persen menjadi sepuluh persen atau lebih, yang
membawa akibat pada proses industrialisasi, di mana sektor-sektor tertentu yang
mengambil peran pemimpin. Teknologi modern disebarluaskan dari sektor–sektor yang
memimpin, dalam pada itu perekonomian bergerak ke arah tahap-tahap kematangan dan
konsumsi misal. Menurut Rostow, hubungan-hubungan internasional dalam
kenyataannya memang mempercepat proses perkembangan, tetapi mempunyai pengaruh
sedikit saja dengan keterbelakangan Rostow berbeda dengan para ahli teori pembangunan
terdahulu karena pendekatannya yang jauh lebih luas (ia memandang teorinya sebagai
suatu alternatif bagi teori Marxis), namun unsur kunci dalam pemikirannya
bagaimanapun juga adalah proyek pembentukan modal.

Adalah menarik untuk membandingkan analisis ini dengan analisis Alaxander


Gerschenkron, yang berbeda dengan analisis Rostow dalam tiga hal. Menurut pandangan
kami, perbedaan-perbedaan ini mendemonstrasikan sampai tingkatan mana seseorang
dapat beranjak dari pemikiran-pemikiran pokok suatu paradigma tanpa merusaknya.
Pertama-tama analisis Gerschenkron (mengenai proses industrialisasi berbagai negara di
Eropa) berkenan dengan suatu proses sejarah khusus, sedangkan tahap-tahap yang
dikemukakan Rostow dianggap berlaku secara universal. Kedua, apa yang tampak
sebagai prasyarat dalam analisis Rostow di sini timbul sebagai hasil dari proses
perkembangan. Proses ini dapat mulai sekalipun kekurangan prasyarat lewat apa yang
disebut oleh Gerschenkron sebagai ”proses subsitusi“. Faktor paling penting adalah
negara yang kegiatan-kegiatannya dapat menambal pengusahaan, pasaran modal, dan
sebagainya. Ketiga, konteks internasional memasuki analisis Gerschenkron sebagai suatu
faktor penyebab yang penting, yang lewat kemungkinan subsitusi, memungkinkan bagi
suatu negara untuk mengambil manfaat dari terknologi negara-negara lain dan dengan
demikian melompati tahapan-tahapan. Sekalipun ada perbedaan-perbedaan ini, yang
dengan jelas menunjuk pada kelemahan paradigma modernisasi, kita mungkin dapat
menganggap sumbangan Gerschhenkron sebagai ”ilmu pengetahuan biasa”
(menunjukkan penyimpangan-penyimpangan berbahaya) di dalam rangka paradigma
modernisasi.

Masalah keterbelakangan, sebagaimana kita mengenalnya dewasa ini, tidak mendapat


tempat dalam paradigma ini. Hanya ada satu tahap keterbelakangan yang murni, yang di
atasnya harus mengikuti suatu proses yang membebaskan kekuatan-kekuatan
modernisasi. Kekuatan-kekuatan ini dilihat sebagai tumbuh dari dalam di semua

15
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

masyarakat dan sejauh ada kebutuhan akan satu teori mengenai keterbelakangan,
fungsinya adalah untuk menganalisis ”hambatan-hambatan ke arah
modernisasi”dan”perlawanan terhadap perubahan”. Gerschenkron secara realistis
menunjukkan aspek multinier dan proses ini tetapi bahkan di dalam analisisnya pun orang
mempunyai pandangan normatif di negara-negara itu, setelah mencapai tahap tinggal
landasnya (yang oleh Gerschenron disebutkan sebagai ”Semprotan Besar”), harus
kembali ke jalur pembangunan yang biasa.

Tahap-tahap Rostow pada dasarnya berasal dari pembedaan antara ”tradisi” dan
”modernitas” yang sudah dikenal baik dari sosiologi klasik dan analisis Weber mengenai
model-model ideel. Maine melukiskan peralihan di antara kedua keadaan itu dengan
istilah status lawan kontrak. Durkheim berbicara mengenai solidaritas mekanis lawan
solidaritas organis. Tonnies berbicara mengenai Gemeinschaft lawan Gesselschaft. Tak
dapat diingkari bahwa ada versi-versi paradigma ini yang lebih atau kurang njlimet, tetapi
dalam bentuknya yang lebih bersahaja paradigma modernisasi berlaku sebagai suatu
ideologi pembangunan yang secara sederhana merasionalkan kolonialisme kultural.
Mengenai hal ini tidak ada yang lebih jelas lagi daripada di bidang ilmu pengetahuan
politik, di mana tradisi untuk mengkaji perubahan adalah jauh lebih lama daripada di
dalam sosiologi.

Modernisasi politik, yang harus dicapai oleh ”pembangunan politik” tersusun sesuai
dengan model demokrasi parlementer dari Inggris atau (bilamana ahli teori Amerika
Utara terlihat di dalamnya) suatu demokrasi presidental dari tipe Amerika Serikat. Dalam
kenyataannya aliran ini dikuasai oleh para ilmuwan Amerika Utara. Kerangka gagasan
mereka untuk sebagian berasal dari variabel-variabel pola tersebut di atas.

Gabriel A. Almond adalah pemimpin intelektual gerakan baru itu dan karya utama yang
menunjukkan jalannya adalah The Politics of the Developing Areas (1961) yang
disunting oleh Almond dan James S Coleman. Sebagaimana ditunjukkan oleh
Huntington, karya ini lebih banyak membicarakan perbandingan politik daripada
pembangunan politik. ”Pendekatan pembangunan” menyusul enam tahun kemudian
dalam suatu karya yang ditulis oleh Almond bersama-sama dengan CB Powell
(Comparative Politics: a development Approach). Di sini, pembangunan politik
dipandang sebagai satu aspek dari modernisasi yang lebih luas, yang mempunyai tiga
kriteria: diferensiasi struktural, otonomi subsistem, dan sekulerisasi kebudayaan. Penulis-
penulis lainnya menekankan kriteria yang berbeda tetapi kebanyakan dari mereka
memandang pembangunan politik sebagai suatu konsepsi yang rumit (yaitu konsepsi
yang mencakup beberapa dimensi) dan sebagai satu unsur modernisasi. Oleh karena itu,
mereka terjebak dalam ilusi teknologi yang sama seperti halnya teori modernisasi
sosiologi. Kadar pembangunan politik atau modernisasi politik secara tersirat
diidentifikasikan dengan perbedaan-perbedaan kelembagaan antara sistem demokrasi
Barat dan berbagai sistem politik tradisional. Para ilmuwan politik yang pergi luar negeri
untuk mempelajari ”wilayah-wilayah yang sedang berkembang” pada tahun 1960-an
dengan demikian meminjam dengan bebas dari sanaknya yang lebih berpengalaman; ilmu
ekonomi (pembangunan politik) dan sosiologi (modernisasi politik). Tentu saja,
pengalaman-pengalaman lapangan ini mempunyai pengaruh yang sewajarnya atas teori.

16
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

Suatu studi yang dapat dikatakan termasuk dalam paradigma modernisasi, sedangkan
dalam hal itu untuk sebagian menentangnya, adalah karya David Apter, The Politics of
Modernization (1965). Di sini diadakan pembedaan antara suatu sistem perujukan
kembali” dan suatu ”sistem mobilisasi”. Yang tersebut terdahulu berkaitan dengan suatu
sistem politik yang modern, pluralistik, sedang yang belakangan merupakan tahap
peralihan antara tradisional dan modern. Setelah bekerja di Afrika, Apter menyadari
bahwa peralihan ini mengandung makna ketegangan-ketegangan sosial yang besar. Oleh
karena itu, diperlukan suatu organisasi politik yang kurang lebih bersifat diktaktor. Ini
dapat diperbandingkan dengan proses subsitusi dari Gerschenkron selama ”Semprotan
Besar“. Sistem mobilisasi dan ”Semprotan Besar” dengan demikian harus dipandang
sebagai penyimpangan sementara dari jalur normal yang bersifat evolusioner, dan
gagasan mengenai ”kembali ke dalam normal”tersirat dalam kedua teori. Gagasan ini
mengungkapkan, dampak paradigma modernisasi tetapi dalam pada itu pengakuan
mengenai ketidaknormalan menunjukkan penyimpangan dari paradigma tersebut.

Dari optimisme liberal yang tersirat dalam pendekatan modernisasi politik, tidak banyak
yang tertinggal dewasa ini. Almond sendiri menujuk kepada ”Semangat Pengabar Injil
dan Korps Perdamaian” yang meliputi tahun-tahun 1950-an dan 1960-an. Dalam suatu
kritik menyeluruh Donald Cruise O. Brien menunjukkan bahwa suatu situasi
internasional dan dalam negeri yang semakin lama semakin tegang telah menimbulkan
perhatian akademis akan tertib politik dan bukan perubahan politik. Kadang-kadang
konsepsi abstrak mengenai ”ketertiban” itu digantikan untuk suatu bahasa yang lebih
kasar namun lebih tepat. Tetapi ini jatuh di luar kepentingan kita sekarang namun lebih
tepat. Tetapi ini jatuh di luar kepentingan kita sekarang dengan teori modernisasi,
sekalipun hal itu memberi contoh betapa perhatian akademis yang berubah
mencerminkan zamannya. (Hettne, 1985: 37-43)

Modernisasi, Westernisasi, dan Ketergantungan

Modernisasi merupakan satu di antara konsep-konsep yang paling kabur definisinya di


dalam kepustakaan ilmu sosial. Fenomena itu tidak diperinci bagaimana mestinya dan
mengandung banyak hal yang tidak jelas apa yang dimaksudkan. Di dalam definisi-
definisi yang ada tentang modernisasi, orang dengan mudah dapat melihat lima hal yang
menyolok yang tidak jelas pengertiannya, yakni:

(1) Modernisasi disinonimkan dengan perubahan sosial padahal dalam keadaan yang
sebenarnya sebagian dari perubahan-perubahan itu merupakan kondisi, atau konsekuensi
dari proses modernisasi itu sendiri; (2) Ia juga digunakan sebagai sinonim dari
westernisasi, indikator-indikatornya mencakup pula unsur-unsur dari kehidupan Barat
kontemporer; (3) Ia diasosiasikan dengan sistem pemerintahan yang dijunjung tinggi di
Barat (yakni demokrasi); (4) Ia sangat diidentifikasikan dengan kaptalisme dan
industrialisme, kedua hal itu dianggap baik sekali bagi masyarakat –masyarakat yang
sedang membangun; dan (5) Ia dikacaukan dengan modernitas.

17
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

Kecenderungan untuk menyatukan pelbagi fenomena di bawah satu nama telah


mengakibatkan kita tidak dapat mengandakan pembedaan konsepsional yang tegas-tegas
antara proses modernisasi yang universal dan umum dan salah satu variannya dalam
bentuknya yang kita lihat di dalam peradaban Barat. Dengan demikian, maka modernisasi
disinonimkan dengan westernisasi. Orang lalu lupa bahwa sejak abad ke-18, kita telah
menyaksikan bentuk-bentuk modernisasi yang berbeda di Eropa, Amerika, Jepang, dan
Cina, belum lagi negeri-negeri lainnya di Asia, Afrika, dan Amerika Latin dengan
pelbagai pengalaman mereka yang berbeda-beda dalam proses situ. Seorang cendikiawan
Jepang telah mengadakan pembedaan sebagai berikut: Westernisasi berarti menggantikan
satu unsur kebudayaan asli dengan unsur dari Barat, termasuk unsur kebudayaan asli
dengan unsur dari Barat, termasuk peranan fungsionalnya. Salah satu contoh adalah
digantikannya bahasa Jepang dengan bahasa Inggris sebagai bahasa komunikasi dalam
kalangan-kalangan tertentu. Modernisasi berarti memberi bentuk baru kepada suatu
sistem kebudayaan tanpa harus menggantikannya dengan kebudayaan Barat. Ciri-ciri
modernisasi menurut Kishimoto adalah pemberian tekanan yang kuat kepada rasionalitas,
penggunaan tenaga mekanis secara melimpah, urbanisasi yang semakin meningkat dari
kehidupan sosial, dan penghargaan yang lebih mendalam terhadap nilai-nilai manusiawi
yang mendorong semangat demokrasi.

Pemberian ini adalah vital bagi masyarakat-masyarakat bukan-Barat yang ingin


melaksanakan modernisasi sambil tetapi mempertahankan identitas kebudayaan
individual mereka.

Untuk mengatasi kekurangan-kekurangan dan kekaburan di dalam pengunaan istilah


modernisasi seperti yang disebut di atas itu, maka Hussain Alatas memberi definisi
modernisasi adalah proses di mana pengetahuan ilmiah modern yang meliputi segala
aspek kehidupan manusia dimasukkan, dalam kadar yang berbeda-beda, mula-mula ke
dalam peradaban Barat, dan kemudian disebarkan ke dunia bukan-Barat, dengan pelbagai
cara dan oleh pelbagai kelompok, dengan tujuan terakhir mencapai taraf hidup yang lebih
memuaskan dalam arti yang seluas-luasnya menurut mayoritas yang bersangkutan.

Di dalam dua penerbitan yang terdahulu, Alatas telah membahas secara panjang lebar
perbedaan konsepsial antara proses modernisasi dan proses westernisasi. Kita harus
membedakan, di satu pihak, antara modernisasi dan westernisasi, dan di lain pihak, antara
modernisasi dan non-modernisasi. Tidak semua hal di dalam kehidupan kita ini dapat
dimodernisasikan. Dapatkah kita umpamanya, memodernisasikan serdawa? Memang
benar kita dapat menyiarkan serdawa melalui televisi dan radio, akan tetapi dalam hal itu
yang dimodernisasikan hanyalah cara penyampainnya dan bukan perbuatan berserdawa
itu sendiri. Begitu pula, kita tidak dapat berbicara tentang suatu senyuman yang modern.
Senyuman seorang perempuan Romawi yang cantik berabad-abad sebelum Kristus
adalah sama jenisnya dengan senyuman seorang jelita zaman sekarang. Bagaimanapun,
Anda tidak dapat membubuhkan kata sifat seperti ”tradisional” dan ”modern” kepada
kelakuan seperti serdawa dan tersenyum. Juga di bidang etika terdapat nilai-nilai yang
tidak dapat diberi arti tradisional atau modern. Konsep kejujuran menyertai kita
sepanjang sejarah dan ia berfungsi di bidang di mana perubahan tidak diinginkan oleh
karena kita tidak menghargai kebalikan dari konsep itu.

18
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

Dalam kaitannya dengan masalah inilah ingin saya ajukan pedoman-pedoman tertentu
bagi pemikiran mengenai modernisasi masyarakat-masyarakat yang sedang berkembang.
Terlebih dahulu perkenankan saya menunjukkan validitas konsep modernisasi yang pada
hakikatnya merupakan pendahuluan bagi ilmu pengetahuan dan teknologi modern.
Sekarang ini, modernisasi telah diasosiasikan dengan sejumlah ciri dari masyarakat-
masyarakat yang sudah maju, seperti sekularisasi, industrialisasi, komersialisasi,
mobilitas sosial yang meningkat, taraf hidup, material yang meningkat, taraf pendidikan,
dan melek huruf yang meningkat. Daftar ciri-ciri itu dapat ditambah sehingga mencakup
hal-hal seperti konsumsi yang tinggi dari energi yang tak bernyawa, populasi pertanian
yang lebih kecil bila dibandingkan dengan populasi industri, dan jaringan jaminan-
jaminan sosial yang meluas.

Ciri-ciri dari satu masyarakat maju yang modern seperti yang disebutkan di atas itu harus
dilihat sebagai hasil-hasil yang dicapai oleh modernisasi. Proses modernisasi itu sendiri
harus disolasi dari hasil-hasilnya.

Bentuk masyarakat yang sekarang, yang secara struktural berbeda dari bentuk masyarakat
di zaman lampau (katakanlah, satu abad yang lalu), merupakan hasil dari transformasi
yang berlangsung di bawah pengaruh proses modernisasi.

Akan tetapi, bukanlah maksud saya untuk memberi sugesti bahwa efek-efek yang
dihasilkan oleh modernisasi itu tidak penting atau tidak perlu terlalu diperhatikan. Yang
ingin saya sarankan adalah agar kita membedakan proses modernisasi dari efek-efek yang
dihasilkannya. Yang absah secara secara universal hendaknya diisolasi dari hal-hal
kultural yang bersifat relatif. Satu masalah yang analog telah dirasakan oleh Mao Ze
Dong dalam hubungannya dengan marxisme dan modernisasi Cina. Di tahun 1949, ia
berkata, untuk membina kebudayaannya sendiri, Cina harus mengasimilasikan banyak
hal dari kebudayaan asing yang progresif, dan dalam hal ini kita cukup berusaha di masa
lalu. Kita harus mengasimilasikan apa saja yang berguna bagi kita sekarang, tidak hanya
dari kebudayaan-kebudayaan sosialis dan demokrasi-baru zaman kini, melainkan juga
dari kebudayaan-kebudayaan yang terdahulu dari bangsa-bangsa lain. Begitu pula, dalam
menerapkan marxisme di Cina. Kebenaran marxisme yang universal harus
dikombinasikan dengan ciri-ciri nasional yang khas dan diberi bentuk nasional yang jelas
agar dapat berguna, dalam keadaan yang bagaimanapun ia tidak dapat diterapkan secara
subyektif sebagai satu rumus semata-mata. Orang-orang Marxis yang memperlakukan
rumus-rumus sebagai azimat sesungguhnya hanya mempermainkan marxisme dan
revolusi Cina. Kebudayaan Cina harus memiliki bentuknya sendiri.

Kita harus menganggap penting pembedaan ini dan alasannya adalah posisi historis kita
sendiri di atas jalan pembangunan. Pada saat ini kita sedang terus-menerus dibombardir
dengan berita-berita tentang hasil-hasil yang dicapai oleh masyarakat-masyarakat yang
sudah maju, sedangkan yang tidak kurang relevannya bagi kita adalah proses awal untuk
mencapai hasil-hasil itu. Proses awal dari prestasi itu di Dunia Barat, Uni Soviet, dan
Jepang di sekitar pergantian abad yang lalu, adalah diperkenalkannya ilmu pengetahuan
dan teknologi modern dalam sektor produksi dan sektor-sektor penting lainnya dari

19
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

kehidupan sosial. Apabila ada sesuatu yang dipengaruhi oleh pemikiran ilmiah modern,
yang diarahkan kepada tujuan meningkatkan pemahaman tentang kehidupan dan alam
semesta, menghapuskan rasa sakit dan penderitaan, memajukan keadilan dan
kesejahteraan pribadi, dan merencanakan masa depan ke arah itu, maka dapatlah kita
katakan bahwa telah terjadi modernisasi. Akan tetapi, masalahnya adalah tetap mengenai
macam masyarakat yang kita angan-angankan. Dari segi historis, tidak ada satu jenis
tunggal masyarakat modern. Hal itu berarti bahwa meskipun terdapat banyak ciri yang
sama pada masyarakat-masyarakat modern, tidak harus dengan sendirinya masyarakat-
masyarakat itu termasuk dalam jenis yang sama.

Bagi masyarakat-masyarakat yang sedang berkembang di Asia adalah perlu untuk


memikirkan kembali tujuan-tujuan dan makna, apabila negeri-negeri yang bersangkutan
ingin tetap mempertahankan identitas kebudayaan dan religio-filosofis mereka. Pada
hakekatnya, apa yang kita perlukan di Asia adalah satu pandangan yang mendasar
tentang modernisasi dan cara-caranya. Pandangan ini harus didasarkan atas ilmu
pengetahuan dan pengetahuan yang rasional dan harus mudah dikombinasikan dengan
tradisi-tradisi keagamaan dan kebudayaan yang sudah ada di Asia, seperti Hinduisme,
Kristen, dan Islam. Di Barat pun pernah terdapat pandangan yang mendasar yang serupa,
yang mengkombinasikan agama Kristen dengan humanisme yang tidak bersifat
keagamaan. Masalah pertama yang harus kita garap adalah apakah apa yang diperlihatkan
oleh negeri-negeri yang industrinya lebih maju kepada negeri-negeri yang industrinya
lebih maju itu memang gambaran masa depan dari yang disebut belakangan ini. Akan
tetapi, ini baru merupakan sebagian kebenaran, sejauh gambaran itu mengekspresikan
ciri-ciri yang umum dan universal dari industrialisasi. Uni Soviet, umpamanya, tidak
mencontoh Amerika Serikat, padahal Karl Marx yang telah berkata, ”Negeri yang lebih
maju industrinya hanya menunjukkan, kepada negeri-negeri yang kurang berkembang,
gambaran dari masa depan mereka sendiri”. Uni Soviet malah tidak melalui tahap-tahap
historis yang sama dalam perkembangannya.

Mengingat apa yang disebut di atas itu, maka sekarang timbul masalah tentang
bagaimana membayangkan jalan yang menuju pembangunan dan modernisasi yang
berlainan itu. Hal ini, saya ulangi, merupakan masalah falsafati yang telah menuju
pembangunan dan modernisasi yang berlainan itu. Hal ini, saya ulangi, merupakan
masalah falsafi yang telah di singgung di muka. Yang saya maksudkan bukan kebutuhan–
kebutuhan manusia yang sudah jelas seperti pangan dan air yang cukup, obat-obatan,
tempat tinggal dan pakaian. Dalam hubungan ini, tak perlu kita menekankan soal filsafat.
Akan tetapi mengenai soal-soal seperti pengertian tentang hak milik, tentang laba,
tentang kehidupan yang baik, filsafat harus diikutsertakan. Apakah perlu bagi
masyarakat-masyarakat Asia untuk menghapuskan hak milik pribadi yang melampui
kebutuhan individual, untuk menghapuskan kapitalisme liberal? Apabila itu perlu. apakah
alternatifnya harus komunisme? Apakah mungkin dan perlu untuk berusaha mencapai
suatu tata sosial yang berlainan dari kedua-keduanya?

Sayangnya, pada saat ini tidak ada sedikit pun pemikiran yang mendalam ke arah itu.
Satu masalah yang lebih nampak adalah usaha untuk menciptakan satu semangat ilmiah.
Di bagian terbesar negeri-negeri Asia kentara sekali tidak adanya kegiatan ilmiah. Dalam

20
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

jangka panjang modernisasi, suatu negeri tak akan berhasil apabila semangat ilmiahnya
lemah atau tidak ada sama sekali. Ini merupakan satu contoh dari suatu masalah yang
vital bagi modernisasi Asia dan yang yang harus diperhatikan oleh cendikiawan-
cendikiwan Asia sendiri, oleh karena cendikiawan-cendikiawan Barat pada umumnya
mempunyai perangkat hirarki yang berlainan dalam menyusun masalah-masalah yang
berkaitan dengan studi mengenai Asia dan bagian-bagian lainnya dari Dunia Ketiga.

Selama masyarakat-masyarakat yang sedang berkembang tergantung kepada masyarakat-


masyarakat yang sudah maju dalam hal ilmu pengetahuan dan tehnologi mereka, maka
selama itu pula kepentingan-kepentingan masyarakat-masyarakat yang sedang
berkembang akan tergantung kepada kepentingan-kepentingan masyarakat yang sudah
maju. Ada dua macam ketergantungan, yaitu ketergantungan sementara dan
ketergantungan yang terus–menerus. Umpamanya, suatu negeri mungkin pada
permulaannya harus mengimpor pupuk. Dalam jangka panjang, mungkin lebih baik bagi
negeri itu untuk membuat pupuk sendiri. Hal ini tergantung kepada soal penting-tidaknya
produksi pupuk bagi perekonomian negeri itu untuk membuat pupuk sendiri. Hal ini
tergantung kepada sioal penting-tidaknya produksi pupuk bagi perekonomian negeri itu.
Meskipun benar bahwa negara yang manapun hendaknya jangan berusaha untuk
menghasilkan sendiri segala-sesuatu yang diperlukannya, namun ketergantungan kepada
negara-negara lain dalam hal barang-barang yang esensial haruslah diatur agar tidak
membahayakan kehidupan ekonomi negara yang bersangkutan. Suatu ketergantungan
yang terus-menerus kepada negeri-negeri yang sudah maju mengenai sejumlah besar
barang produksi dan komoditi-komoditi esensil lainnya akan menghambat modernisasi
negeri-negeri yang sedang berkembang.

Usaha untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dan tehnologi di negeri-negeri yang


sedang berkembang harus ditopang dengan pertumbuhan semangat ilmiah. Sejumlah
pemikir dari abad 19 telah menyadari masalah ini. Herzen, umpamanya, telah mengeluh
tentang dilettantisme dalam ilmu pengetahuan di Uni Soviet di zamanya. Penggemar-
penggemar bukan ahli itu hanya mencintai buah ilmu pengetahuan tapi tidak berminat
untuk memahaminya. Sikap rakyat Rusia ketika itu yang digambarkan oleh Herzen juga
tercermin dalam situasi di masyarakat-masyarakat yang sedang berkembang dewasa ini.

Sebenarnya sudah sejak lama sejumlah pemikir dan penulis Asia menyadari nilai dari
sikap keilmuan. Sudah sejak tahun 1882, seorang tokoh revoluioner dan pembaruan
Muslim, Syed Jamaluddin Afghani dari Kalkuta menandaskan perlunya kita
menciptakan semangat ilmiah dan ia menekankan peranan pandangan dasar yang rasional
dan ilmiah secara menyeluruh dalam mendorong pertumbuhan dan pengaruh ilmu-ilmu
pengetahuan. Pernyataan Afghani itu sangat penting artinya dan sangat relevan bagi
masyarakat-masyarakat yang sedang berkembang dewasa ini. Ia mengatakan bahwa
pengajaran sejumlah ilmu pengetahuan di sekolah-sekolah tidak akan melahirkan suatu
semangat ilmiah kolektif terkecuali jika dikaitkan dengan pandangan dasar yang rasional
dan ilmiah secara menyeluruh yang adalah semangat ”filsafat”.

Oleh karena modernisasi pada dasarnya adalah mengintroduksi ilmu pengetahuan dan
teknologi modern, maka cara pendekatan yang rasional. Nilai-nilai perikemanusian, dan

21
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

lahirnya suatu pandangan ilmiah yang menyeluruh merupakan satu sasaran utama.
Modernisasi bukan sekedar penggunaan ilmu terapan secara sepotong-sepotong dan sana-
sini. Cara ini saja tidak akan memungkinkan golongan masyarakat yang berkuasa untuk
melihat seluruh permasalahan dengan kedalaman penganamatan yang merupakan
permasalahan dengan kedalaman pengamatan yang merupakan ciri dari akal-budi yang
sudah diresapi energi ilmiah. Apabila mereka sudah dapat berpikir secara ilmiah, maka
golongan yang berkuasa di Dunia Ketiga tentu akan memberikan prioritas utama kepada
usaha-usaha untuk membangun sektor-sektor yang paling diperlukan.

Yang merupakan ciri-ciri semangat ilmiah adalah (a) harta untuk mengetahui jaringan
penyebab yang mencakup satu persoalan, (b) menghargai metoda-metoda ilmiah, (c)
menggunakan intelgensia seluas mungkin, (d) menyadari saling-ketergantungan antara
peristiwa, usaha, dan masalah-masalah komunitas atau alam semesta, (e) memiliki
keyakinan yang jelas dan progresif, (f) memiliki kemampuan untuk berfikir atas dasar
jangka pendek maupun jangka panjang, (g) memiliki kemampuan untuk meninjau suatu
persoalan dari seluruh perspektifnya, (f) memiliki kemampuan untuk terus berusaha
dengan gigih apabila menghadapi suatu masalah. Merencanakan atas dasar prioritas-
prioritas yang keliru, mengabaikan berbagai kondisi yang perlu untuk kemajuan,
didominasi oleh pemikiran yang keliru dari luar negeri, itu semua menunjukkan ketiadaan
semangat tersebut di atas. Di Asia, unsur-unsur yang esensial dalam pengalaman Barat
mengenai modernisasi dan yang paling relevan bagi kondisi-kondisi masa kini kita telah
diabaikan.

Satu peristiwa yang tiada taranya dalam sejarah, yang telah terjadi di Barat selama kira-
kira dua ratus tahun terakhir adalah peningkatan kuantitatif yang hebat dalam produksi
barang dan jasa. Ada sejumlah sebab dan peningkatan ini. Di antara sebab-sebab yang
utama adalah mekanisme industri, eksplotasi besar-besaran sumber-sumber mineral, dan
metoda-metoda pengangkutan yang sudah sangat diperbaiki. Prestasi itu telah diperkuat
lagi oleh kemajuan fenomenal yang serupa dalam bidang pertanian.

Peristiwa yang paling berarti dalam sejarah modernisasi Barat adalah revolusi pertanian.
Revolusi inilah yang telah memungkinkan berhasilnya revolusi industri hingga melampui
suatu sektor yang terbatas. Saya akan menggunakan hal ini sebagai ilustrasi mengenai
kekacauan di Dunia Ketiga tentang konsepsi modernisasi, ketiadaan kemandirian berfikir,
gangguan dari luar terhadap cara berfikir kita, dan tentang kenyataan bahwa hal-hal
tersebut merupakan akibat dari ketiadaan semangat yang rasional ilmiah dan falsafati dari
jenis yang seharusnya merupakan pandangan dasar kita mengenai modernisasi
Pengetahuan baru tentang cara menanam tanaman baru dan berternak telah
mengakibatkan terjadinya peningkatan yang fenomenal dari hasil pertanian di atas tanah
yang telah digarap selama berabad-abad. Konsekuensi dari revolusi pertanian adalah luar
biasa besarnya. Dalam tempo satu generasi saja, berjuta-juta buruh tani telah digeser ke
pekerjaan-pekerjaan lain. Kondisi-kondisi di Eropa dalam abad ke-18 sebelum terjadinya
revolusi pertanian dalam banyak hal menyerupai kondisi-kondisi dalam masyarakat-
masyarakat yang sedang berkembang, khususnya dalam hal ketiadaan kepastian
mengenai persediaan pangan.

22
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

Dengan demikian jelas bahwa keberhasilan dalam menanggulangi masalah panganlah


yang telah memungkinkan Barat untuk meneruskan usaha-usahanya untuk mencapai
kemajuan-kemajuan dalam bidang-bidang lainnya. Andaikata Barat tidak mencurahkan
perhatian yang begitu besar kepada masalah pengadaan pangannya, maka masyarakatnya
tidak akan berhasil dalam usaha-usaha lainnya di bidang modernisasi dan industrialisasi.
Persyaratan pertama untuk dapat hidup dengan nyaman adalah makan yang cukup.
Pelajaran yang penting ini terlupakan oleh bagian terbesar masyarakat-masyarakat yang
sedang berkembang zaman sekarang. Banyak di antara mereka tergantung kepada pihak
lain dalam hal pangan. Mereka lebih suka membeli pangan daripada menghasilkannya
sendiri secukupnya. Negara-negara seperti India, Pakistan, Bangladesh, dan banyak
negara Arab dan Afrika belum dapat memecahkan masalah pangan mereka.

Pertumbuhan pendudiuk merupakan dalih favorit untuk menjelaskan apa sebabnya


mereka belum dapat berswasembada dalam hal pangan. Kehampaan argumen sedemikian
akan terlihat apabila diingat bahwa masalah-masalah yang sama juga telah dialami oleh
Kanada dan Amerika Serikat pada waktu mereka sedang melaksanakan industrialisasi
mereka. Oleh karena pangan merupakan masalah vital dan paling mendesak di
masyarakat–masyarakat yang sedang berkembang, maka diperkirakan bahwa prioritas
utama akan diberikan kepada usaha-usaha untuk meningkatkan modernisasi dan untuk
meningkatkan partisipasi industri dalam sektor pangan. Anggaran belanja yang
disediakan oleh suatu pemerintah untuk perencanaan produksi pangan, serta besarnya
perhatian yang diberikan kepada masalah ini dalam perencanaan penggunaan tenaga
kerja, merupakan petunjuk tentang tingginya prioritas yang diberikan kepada soal ini.
Diabaikannya industri pangan juga merupakan cara berpikir tentang pembangunan yang
lebih mengutamakan indutsrialisasi daripada produksi pangan.

Prioritas yang tidak memadai yang diberikan kepada produksi pangan hanya merupakan
satu dari sekian banyak contoh tentang adanya kekurangan di dalam pandangan dasar
mengenai modernisasi. Ini merupakan satu contoh tentang apa yang saya ingin namakan
modernisasi yang sesat.

Masalah-masalah yang dihadapi dalam usaha modernisasi masyarakat-masyarakat yang


sedang berkembang adalah banyak dan rumit. Yang sifatnya paling berkembang adalah
sifat elit yang berkuasa. Ada sejumlah faktor yang paling menentukan bagi modernisasi
dan pembangunan masyarakat. Yang sudah jelas adalah: (1) sifat elit yang berkuasa, (2)
tingkat pendidikan rakyat, (3) taraf hidup mereka, (4) keadaan administrasinya, (5)
sumber-sumber kekayaan negeri, (6) tradisi kebudayaan dan keagamaan, dan (7) corak
dan tingkat dominasi ekonomi dan politik dari luar. Sifat elit-elit yang berkuasa adalah
yang paling menentukan oleh karena hal itu dapat menentukan pemecahan semua
masalah-masalah lainnya.

Satu studi mengenai modernisasi yang dipusatkan kepada semua masalah yang beraneka-
ragam kecuali kepada masalah elit-elit yang berkuasa tidak akan mengenai sasarannya.
Pada saat kita mengajukan pertanyaan-pertanyaan mengenai apa sebabnya suatu
masyarakat tetap terbelakang dan bagaimana caranya ia dapat dimodernisasi dan
dibangun, kita harus mencurahkan sebagian besar dari perhatian kita kepada elite-elite

23
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

yang berkuasa. Tidak cukup apabila kita hanya elite-elite yang berkuasa. Tidak cukup
apabila kita hanya menyinggungnya sambil lalu. Elite yang berkuasa dari jenis manakah
yang kita perlukan? Apakah mereka sudah berada di tengah-tengah kita? Ini merupakan
pertanyaan-pertanyaan pokok yang harus dijawab apabila kita ingin memahami
modernisasi masyarakat-masyarakat yang sedang berkembang. Menyebutkan satu-
persatu masalah-masalah yang ada, menganalisa masalah-masalah itu seolah-olah yang
satu disebabkan oleh yang lainnya tanpa menghubungkannya dengan elite yang berkuasa,
adalah ibarat meneliti respons-respons manusia tanpa menghubungkannya dengan otak.
Perubahan sosial yang paling menentukan adalah perubahan jenis elite yang berkuasa.
Apabila elite-elite yang berkuasa bersikap negatif, apabila mereka korup, dekaden,
bersikap masa bodoh, dan tidak efisisen. Bagaimana caranya agar kita dapat mengganti
mereka dengan elite yang punya sifat-sifat positif? Ini merupakan masalah yang paling
menantang dan paling penting dalam modernisasi masyarakat-masyarakat yang sedang
berkembang. Modernisasi yang sesat yang terjadi karena dominasi elite yang berkuasa,
yang kualitas-kualitas moral dan intelektualnya tidak memenuhi syarat. Pemberian
tekanan pada kaum elite yang berkuasa dimaksudkan untuk memperluas pemahaman kita

Dalam proses untuk memahami kompleksitas yang lebih besar dari modernisasi, jalur-
jalur riset baru harus dibuka. Konsep-konsep dan metoda-metoda baru harus dirancang
berdasarkan kondisi-kondisi empiris di masyarakat-masyarakat sedang berkembang. Kita
harus menghindari apa yang oleh Mao Ze Dong dilukiskan ssebagai kerja keras secara
dangkal, mengumpulkan fakta-fakta tanpa teori. Kita harus mengembangkan segala
kondisi yang diperlukan untuk memperoleh pemahaman yang mendalam, satu tujuan
yang didambakan di mana-mana meskipun ada perbedaan-perbedaan dalam sistem
filsafatnya.

Pemikiran kembali mengenai modernisasi harus mempertimbangkan semua pengetahuan


yang relevan baik dari negeri-negeri Barat maupun dari negeri-negeri komunis. Ada
sumbangan-sumbangan tertentu yang lebih relevan dari Barat dan sumbangan-sumbangan
tertentu yang lebih penting dari negeri-negeri komunis. Seperti dikemukakan di atas,
seleksinya harus dilakukan secara konstruktif dan kritis. Kita terlebih dahulu harus
mengubah sikap kita. Satu sikap yang umum dari ilmuwan-ilmuwan sosial, fisika, dan
alam kita adalah bahwa mereka hanya menaruh perhatian terhadap pengetahuan yang
berasal dari Barat. Mengingat latar belakang insitusional mereka, hal itu untuk sebagian
padat dipahami. Akan tetapi orang tidak dapat membebaskan diri dari orang yang
mengondisikannya di masa lampau dapat menjadi seorang pemikir yang mandiri. Ia tidak
akan dapat menyumbangkan secara efektif, melainkan hanya sebagai pengecer dari
pengetahuan yang diimpor. Dalam sejarah belum pernah ada modernisasi yang berhasil
yang dicapai oleh suatu pimpinan intelektual, yang fungsinya hanya sekedar menjula ide-
ide yang diimpor tanpa mempertimbangan kodratnya dan perlu–tidaknya bagi umum.
(Alatas, 1980: 27-79)

Kritik terhadap Teori Pertumbuhan dan Modernisasi

24
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

Selain keberhasilan menaikkan pertumbuhan GNP, semua strategi pembangunan


ekonomi setelah Perang Dunia II selalu dikritik karena ternyata semua pendekatan
pembangunan dalam kenyatannya telah gagal memenuhi janji mereka menyejahterahkan
rakyat di Dunia Ketiga. Yang terjadi sebaliknya, pembangunan telah membawa dampak
negatif, diantaranya: pembangunan telah melanggengkan pengangguran, menumbuhkan
ketidakmerataan dan menaikkan kemiskinan absolut, dan lain sebagainya. Satu tema dari
kritik ini, manfaat dari pembangunan setelah perang tidak mampu menjangkau orang
miskin di dunia, dan hal itu dianggap tidak adil karena orang miskin yang menghadapi
masalah hidup-mati itu justru tak terjangkau.

Sebagai respon, telah muncul strategi alternatif dalam mencapai pembangunan ekonomi
di Dunia Ketiga, yang dinamakan ”pertumbuhan dan pemerataan”. Seluruh
pendekatan”pertumbuhan dan pemerataan ”mempunyai aspek umum, yakni semuanya
berkembang dari kepercayaan bahwa model pembangunan tradisional yang
mempercayakan pada pertumbuhan GNP tidak akan memberi keuntungan kepada kaum
miskin di negara berkembang dan juga tidak memberi keuntungan negara kepada mereka.
Mereka sependapat bahwa dalam waktu dekat revolusi sosial tidak terjadi di sebagian
negara miskin, tetapi mereka mencari cara untuk mencapai tingkat keadilan seperti
revolusi sosial. Taiwan, Korea, Hongkong, Israel, Jepang, Singapura dan Srilangka
disebutkan sebagai nergara-negara yang berhasil.

Pendekatan tersebut juga memiliki kesamaan asumsi bahwa petani di negara kurang
berkembang adalah reponsif terhadap kesempatan ekonomi. Dengan demikian, masalah
di negara miskin bukanlah terletak pada petani tetapi justru terletak pada elit yang
berkuasa di ibu kota. Akhirnya, semuanya memberi tekanan pada dimensi sosial dan
politik terhadap pertumbuhan dan pemerataan. Mereka berpendapat bahwa salah satu
hambatan pendekatan yang telah lewat adalah terlalu sempit fokus mereka pada faktor
ekonomi sederhana–tanah, buruh, dan modal–dan mengabaikan faktor politik, sosial, dan
budaya. Sekarang kita tinjau masing-masing pendekatan pertumbuhan dan pemerataan
mendapat pelbagai kritik, baik dari yang mempertahankan pendekatan model tradisional,
maupun dari penganut pendekatan revolusioner.

Kritik-kritik tersebut adalah sebagai berikut: Pertama, kritik dari dalam atau kritik
tradisional. Ada tiga komponen utama yang mempertahankan pendekatan tradisional.
Pertama mereka yang menentang karena menganggap data yang menyerang model
tradisional kurang valid. Datanya tidak memadai dan karenanya kesimpulan tidak bisa
dicapai. Tidak ada satu data-data pun yang dapat dipercaya yang menunjukkan secara
absolut semakin memburuknya kehidupan orang miskin. Demikian halnya data
pengangguran di dunia ketiga tidak bermakna karena banyak yang mempunyai pekerjaan
tetapi tidak bisa dikategorikan menganggur menurut ukuran umum, tetapi toh bisa hidup.
Akhirnya, observasi terhadap negara yang relatif tidak adil seperti Brazil, juga tidaklah
jelas.

Komponen kedua adalah penganut pendekatan tradisional yang berpendapat bahwa


membangun pedesaan dan menahan agar orang desa tetap hidup di desa adalah suatu
tindakan reaksioner. Sejarah membuktikan kepada kita bahwa sumber dinamika dan

25
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

harapan bagi orang miskin untuk meningkatkan taraf hidup mereka adalah urbanisasi dan
industrialisasi. Juga terbukti bahwa petani dengan lahan sempit tidak cukup efisien untuk
meningkatkan hasil pertanian. Mungkin petani yang lebih yang lebih efisisen adalah
mereka yang yang memiliki tanah yang lebih dari satu hektar, apalagi kita
memperhitungkan biaya sosial pada waktu penyediaan input dan distribusi fasilitas pada
mereka. Jelas lebih mahal untuk pendistribusian pupuk kepada 100 petani kecil daripada
satu petani besar. Dan juga dari pandangan perkotaan, studi migrasi perkotaan
menunjukkan bahwa mereka merasa mendapat kesejahteraan tinggal di kota daripada
tinggal di desa. Di kota, mereka mendapat akses pelayanan kesehatan dan pendidikan.
Masyarakat tidak akan tinggal di desa, kecuali dipaksa dan selalu melihat kekuasaan.

Ketiga dari yang terpenting adalah bahwa pendekatan pembangunan tradisional toh jalan,
tetapi hanya karena terlalu cepat diadili. Masalah pembangunan di Eropa Barat dulu
identik dengan masalah yang dihadapi Brazil yang dikritik saat ini–tingginya
pengangguran–karena memang tidak banyak orang yang terserap akibat mekanisasi dan
memburuknya distribusi pendapatan yang bersifat sementara. Akan tetapi, dalam jangka
panjang, industrialisasi akan membawa keuntungan bagi seluruh rakyat melalui kerja dan
naiknya penghasilan.

Brazil adalah negara yang paling banyak dikutip sebagai contoh keberhasilan bagi
pendekatan tradisional. Selama tujuh tahun, dari 1868 sampai 1974, tingkat pertumbuhan
Brazil mencapai 10 persen per tahun sehingga GNP-nya lipat dua. Naiknya angka ini
disebabkan oleh perluasan industrialisasi, dan dibarengi dengan program promosi ekspor
secara aktif. Perubahan ini selain memberi manfaat bagi pemilik modal, mereka yang
mempunyai keahlian dan mungkin pihak militer, orang miskin pun juga mendapatkan
manfaat karena tersedianya pekerjaan. Sesungguhnya upah buruh tak pernah naik, bahkan
mengalami penurunan pada saat tahun ”keajaiban” ini, tetapi penyerapan tenaga kerja
sangat memadai. Impact manfaat itu juga terhadap keluarga orang yang menjual tenaga
kerja mereka.

Keberhasilan penganut paham pembangunan model pertumbuhan terjadi di banyak


negara Dunia Ketiga secara lebih umum, dan tidak hanya di Brazil, di mana pertumbuhan
telah membawa manfaat dan dampak karena adanya ”penetesan ke bawah” terjadi di
mana-mana. Misalnya, keuntungan bagi layanan kesehatan. Program pencegahan malaria
dan cacar menjadi efektif di pedesaan di banyak negara berkembang. Menurutnya angka
kematian bayi di negara-negara berkembang juga dianggap sebagai sesuatu yang
membuktikan bahwa peogram kesehatan mencapai sasarannya. Misalnya, di Amerika
Latin angka kematian bayi turun dari 120 per seribu menjadi 60 per seribu selama 30
tahun. Hal ini adalah bukti bahwa sesungguhnya proses pembangunan berhasil. Bahkan,
argumen tambahan juga dilakukan untuk menunjukkan bahwa model pembangunan
berhasil, dengan membandingkan antara Costa Rica yang menempuh jalan pembangunan
dan Kuba yang menempuh jalan pemerataan. Antara tahun 1960-1974, Costa Rica
mampu menurunkan angka kematian bayi secara dratis, lebih rendah daripada Kuba.
Demikian pula dalam bidang pendidikan ada kenaikan murid yang masuk sekolah di
tingkat sekolah dasar, juga terjadi kenaikan di tingkat menengah bahkan lipat dua di
tingkat menengah atas. Selain itu, GNP perkapita di Kuba, hampir konstan dari waktu ke

26
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

waktu, dan Costa Rica dulunya GNPnya 150% di bawah Kuba tahun 1960, namun pada
tahun 1974, 110% di atas Kuba.

Apakah jawaban masalah kemiskinan dan pengguran bagi kaum tradisionalis ini?
Jawabannya adalah percepat lagi pertumbuhan GNP, datangkan multinasional dan
agribisnis, perbanyak promosi ekspor, dan yang penting dapatkan harga yang tepat.
Termasuk di dalamnya adalah tekan upah buruh, naikkan biaya modal, serahkan nilai
tukar kepada pasar, naikkan harga pertanian. Golongan tradisional mengutip Taiwan dan
Korea sebagai contoh negara yang mengadopsi kebijakan campuran dan mendapatkan
pertumbuhan yang adil dengan penggunaan teknologi tepat menyerahkan pada pasar
(Fakih, 2003: 70-74).

Teori Strukturalis

Model pembangunan strukturalis muncul sebagai tantangan terhadap ekonomi neo-klasik,


karena jelas model konservatif yang mengemuka ini tidak menjelaskan ketidakmampuan
negara-negara Amerika Latin berkembang sendiri. Walaupun Economic Commission of
Latin Amerika bersifat regional dan menganjurkan integrasi ekonomi Amerika Latin dan
pembentukan pasar bersama di Amerika Latin, model pembagunan strukturalis
mengambil negara-bangsa sebagai unit analisis utama.

Raul Presbisch dan kaum strukturalis lainnya memusatkan perhatian pada berbagai ragam
hambatan structural yang menghambat pertumbuhan negara negara-negara Amerika Latin

Berbeda dengan neo-klasik yang mengecilkan dampak negatif faktor-faktor eksternal dan
menekan segi positif dari perdagangan internasionalis. Strukturalis telah sejak awal lebih
pesismis menanggapi keuntungan yang mengalir dari perdagangan bebas seperti
dinyatakan oleh neo-klasik. Pada kenyataannya, salah satu prinsip pokok pandangan
strukturalis mengenai pembangunan adalah bahwa di Amerika Latin dan di negara-negara
Dunia Ketiga lainnya, hubungan ekonomi dan politik menjadi hambatan besar bagi
pembangunan industri lokal. Sebagai misal, strukturalis menganggap industri yang
berorientasi ekspor sebagai halangan besar terhadap pembangunan nasional, karena
kebijaksanaan tersebut menumbuhkan kantong-kantong asing dengan kepentingan-
kepentingan yang tidak sejalan dengan kepentingan-kepentingan penduduk asli.
Keprihatinan ini timbul dari akibat kepentingan global kolonialisme di negara-negara
Amerika Latin tertentu. Walaupun menyatakan bahwa beberapa halangan pembangunan
yang menentukan terdapat pada sistem ekonomi dan politik internasional, teoritisi
strukturalis menekankan pemecahan masalah pada tingkat lokal masing-masing negara.

Ini menjadi suatu sikap yang dengan jelas membedakan model strukturalis dari
pandangan marxis dan neo-marxis mengenai pembangunan yang tergantung, karena
teori-teori marxis menyatakan bahwa pembangunan nasional menjadi sulit terlaksana
selama ekonomi dunia tidak berubah, karena sistem perekonomian dunia yang ada
sekarang ini membiarkan negara-negara belum maju didikte oleh negara-negara industri
maju.

27
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

Bagi sebagian besar teoritisi strukturalis, ketergantungan pada negara luar merupakan
hambatan-hambatan yang, sampai pada tingkat tertentu, bisa diatasi dengan usaha
masing-masing negara melalui penerapan teknologi modern. Dalam analisa semacam ini,
teori strukturalis memiliki ciri-ciri khusus.

Strukturalis cenderung menggunakan pandangan tentang pembangunan yang stagnasionis


untuk menjelaskan keprihatinan mereka mengindentifikasi hambatan-hambatan struktural
yang menghambat faktor-faktor dinamis atau kekuatan-kekuatan yang mampu
mentransformasikan negara-negara tertentu.

Seperti teori pembangunan neo-klasik, teori strukturalis mengakui pentingnya akumulasi


modal atau pertumbuhan yang cepat sebagai motor pembangunan. Sebagai konsekuensi
perhatian besar terhadap hambatan eksternal, teori struktural sangat menyoroti
keterbatasan neraca pembayaran dan akibat negatif dari nilai tukar perdagangan yang
merugikan.

Seperti telah disebutkan di atas, kekuatan teknologi dianggap sebagai faktor pendorong
yang utama dari setiap pertumbuhan pesat yang terjadi di negara berkembang. Seperti
ditunjukkan oleh Prebisch, teknologi memiliki kualitas dinamis yang mendorong maju
elemen-elemen lain yang kurang dinamis. Sebagai akibatnya teoritisi strukturalis
memperhatikan keseimbangan pertumbuhan sektor pedesaan dan perkotaan, pola-pola
pemanfaatan tenaga kerja yang seimbang, dan identifikasi semua jenis faktor internal dan
eksternal yang menghambat teknologi berperan sebagai agen yang progresif.

Salah satu hambatan besar terhadap pembangunan, menurut teori strukturalis, adalah
ketimpangan distribusi pendapatan dan kekayaan. Oleh karena itu, teori strukturalis
mengetengahkan pengaruh positif redistribusi pendapatan terhadap pembangunan.
Strukturalis melihat redistribusi pendapatan sebagai cara untuk memberantas terpusatnya
kekayaan yang bersifat oligarkis dan sikap reaksioner kelompok-kelompok yang
diuntungkan baik di daerah pedesaan maupun urban. Sebagai akibat logis, teori
strukturalis yakin bahwa restribusi pendapatan akan membebaskan elemen-elemen sosial
dinamis dengan cara merombak beberapa basis keuangan dan sikap-sikap frustasi dan
masa bodoh perorangan. Sejalan dengan itu, teori strukturalis beranggapan bahwa
restribusi pendapatan melalui penyediaan fasilitas-fasilitas kolektif seperti pendidikan,
akan menjamin bahwa sejumlah besar penduduk akan mampu menguasai ketrampilan
teknik, administrasi dan usaha sehingga alih teknologi ekonomi secara keseluruhan
dimanfaatkan sebaik-baiknya.

Walaupun strukturalis memperdebatkan apakah pertumbuhan akan berlangsung tanpa


terlebih dahulu melaksanakan restribusi pendapatan, para teoritisi strukturalis sepakat
bahwa pertumbuhan atau distribusi pendapatan tidak akan berhasil tanpa kemauan politik
untuk mentransformasikan struktur sosial tradisional. Transformasi ini akan
menyingkirkan hambatan-hambatan struktural yang merintangi inovasi teknologi dan
industrialisasi. Di pihak lain, teortisi strukturalis beranggapan bahwa perubahan, baik
sektor pedesaan maupun urban, dapat dipacu dengan penerapan teknologi modern,

28
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

sehingga teknologi menjadi faktor utama. Namun, teknologi hanya akan membawa
pertumbuhan jika dimanfaatkan seproduktif dan seefisien mungkin. Dalam hal ini, negara
memiliki peranan yang sangat menentukan, lebih-lebih bila perubahan terjadi pada
bidang-bidang pendidikan, kesehatan, kesejahteraan dan bila pola pemanfaaatan tenaga
kerja berubah menuju arah yang progresif.

Dibandingkan dengan teori neo-klasik, teori strukturalis lebih konsisten pada ekonomi
politik tradisional. Selain menuntut redistribusi pendapatan, dan berharap bahwa strategi
ini akan mengurangi ketidakpuasan dan menyalurkan energi ke usaha-usaha yang lebih
produktif, teori strukturalis masih melihat perubahan dan pembangunan yang terjadi
dalam kerangka konseptual kapitalisme yang longgar. Oleh karena itu, teori strukturalis
melihat struktur sosial yang menghambat pembangunan sebagai konsekuensi cara kerja
sistem ekonomi yang cacat dan bukan merupakan penyimpangan instrinsik dari sistem itu
sendiri.

Teori strukturalis dan teori neo-klasik sama-sama meyakini prinsip-prinsip usaha bebas
dan persaingan bebas. Perbedaan menyolok dari keduanya adalah bahwa teori strukturalis
memiliki pengertian yang lebih rinci dan secara empiris lebih mendasar mengenai,
mengapa suatu pembangunan berhasil atau gagal. Teori strukturalis juga meyakini bahwa
menjalankan perubahan pasar secara mendasar bisa dilaksanakan dan memang diperlukan
untuk mencapai tujuan-tujuan yang mendasar seperti redistribusi pendapatan dan untuk
mempertahankan perekonomian yang padat karya. Dalam keadaan yang sama, jika
memungkinkan, teori neo-klasik juga menyarankan intrvensi semacam itu.

Seperti telah disebutkan dalam pertaliannya dengan nilai tukar perdagangan,


dibandingkan dengan teori strukturalis, teori neo-klasik jauh lebih optimis melihat
keuntungan bersama yang didapat dari perdagangan internasional. Sebaliknya, teoritisi
strukturalis mendapat sifat yang sangat asimetris pada perdagangan antara negara-negara
pusat dengan negara-negara pinggiran.

Teori strukturalis menjelaskan ketidakmampuan negara bangsa mengembangkan industri


yang mandiri dalam konteks cara kerja sistem intrenasional dan nasional yang cacat.
Cacat semacam ini harus diatasi dengan tindakan yang tegas pada tingkat nasional.

Tindakan tegas pada tingkat nasional lebih banyak tergantung pada faktor-faktor seperti
pertumbuhan penduduk, peningkatan tabungan nasional, penerapan teknologi yang tepat,
pengurangan kantong-kantong modal asing yang tidak sejalan dengan pembangunan
nasional tanpa menghentikan modal asing yang dinamis. (Clements, 1997: 37-48)

Teori Ketergantungan

Studi hambatan-hambatan internal terhadap pembangunan dengan pengabaianya yang


paradoks terhadap imperialisme, semakin diserang oleh teoritisi aliran ketergantungan.
Para ahli makin terpaksa mengakui bahwa teori-teori yang memandang proses perubahan
sosial di masyarakat Dunia Ketiga berasal dari dalam, sepenuhnya bersifat ahistoris.

29
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

Justru sebaliknya yang dianggap benar; perubahan sosial di masyarakat Dunia Ketiga
pada pokoknya adalah konsekuensi eksternalisasi kapitalisme Eropa Barat lewat
pembentukan pasar dunia dan lewat pelbagai bentuk imperialisme dan kapitalisme. Salah
satu usaha menangani masalah ini terdapat dalam pelbagai teori ketergantungan, yang
sebagian dalam kaitan dengan gagalnya program Industrialisasi. Subsitusi Impor untuk
memecahkan persoalan keterbelakangan. Munculnya teori-teori ini merupakan gejala
yang relatif baru pada tahun 1969, dimana setelah itu, berkembangnya karya yang
mempelajari persoalan ketergantungan atau melakukan analisa dalam kerangka kerja
”teori ketergantungan” begitu impresif.

Pokok pandangan teoritisi ketergantungan adalah bahwa sedikit gunanya mempelajari


masyarakat Dunia Ketiga terpisah dari perkembangan masyarakat maju. Dari titik
pandangan teori-teori ketergantungan ini, adalah perlu memandang dunia sebagai sistem
tunggal. Dengan bertitik tolak dari pandangan ini, teori ini berusaha mengungkapkan
bagaimana negara-negara terbelakang ditempatkan ke dalam sistem dunia, dan
bagaimana hal ini membedakan pola-pola perkembangan negara-negara terbelakang
dengan pola perkembangan historis negara-negara maju.

Pandangan ini tentu tidak sepenuhnya orsinil. Marx misalnya, menekankan pentingnya
perkembangan sistem ekonomi kapitalis dunia sebagai suatu kekuatan yang
menghubungkan masyarakat maju dengan masyarakat terbelakang. Marx percaya,
meluasnya kapitalis di dunia ini akan menciptakan suatu kondisi yang akan
mengakibatkan proses akumulasi modal dan pertumbuhan di Dunia Ketiga yang pada
pokoknya sama dengan yang terjadi di Barat. Negara yang secara industrial maju
hanyalah memperlihatkan kepada negara yang kurang maju, gambaran masa depannya.
Sebagaima kita kenal, Marx salah dalam hal ini. Dinamika ekspansi imperialisme pada
bagian terakhir abad XIX tidak menghasilkan perkembangan ekonomi di negara-negara
koloni.

Ketergantungan didefinisikan sebagai sisi lain dari teori imperialisme. Bila suatu analisa
tentang hubungan masyarakat yang maju dengan masyarakat yang terbelakang
menekankan pada proses yang terjadi di masyarakat maju maka akan menghasilkan teori
imperialisme. Dan bila perhatian secara sistematis dipusatkan pada masyarakat
terbelakang, maka akan menghasilkan teori ketergantungan. Dalam artian ini, teori
ketergantungan berusaha menjelaskan proses-proses sosial ekonomi yang terjadi di
negara-negara yang tergantung pada negara lain atau diimperialikan.

Tersirat dalam rumusan ketergantungan sebagai sisi lain dari imperialisme. Ini suatu
kesimpulan bahwa karena ada beberapa teori tentang imperialisme yang satu sama lain
tidak selaras, demikian juga terdapat berbagai teori ketergantungan. Implikasi dari
kenyataan itu nampaknya hanya diraba-raba selama bertahun-tahun, hingga mungkin
saja kita sekarang menemukan tulisan-tulisan yang ”mengacu pada teori ketergantungan”
seolah-olah hanya ada satu teori ketergantungan. Tetapi seperti yang telah di bahas di
atas, pengertian ketergantungan lebih mengacu pada paradigma daripada suatu teori yang
khas. Kegagalan untuk mencatat bahwa terminologi ketergantungan digunakan dengan
berbagai cara telah mengakibatkan kekacauan yang besar pada saat para ahli ”menolak”

30
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

atau ”menerima” penggunaan perspektif ketergantungan. Di dalam paradigma


ketergantungan ini, ada sejumlah teori atau penjelasan yang saling bersaing untuk
memahami hakikat ketergantungan. Bermacam-macam penggunaan terminologi
”ketergantungan” ini dapat dikelompokkan ke dalam pendekatan pokok. Pertama, suatu
pendekatan yang berusaha mengonseptualisasikan ketergantungan sebagai bentuk saling
ketergantungan antarsistem. Ini mungkin dapat disebut sebagai ketergantungan
”eksternal” atau ”ketergantungan sebagai suatu hubungan”. Di pihak lain, terdapat
kelompok yang memandang ketergantungan sebagai faktor yang mengondisikan, yang
mengubah fungsi internal dan hubungan antarelemen dalam formasi sosial yang
tergantung. Perbedaan penting antar kedua pendekatan tersebut adalah bahwa dalam
pendekatan kedua, dinamika internal formasi sosial yang bergantung secara mendasar
berbeda dengan dinamika internal formasi sosial kapitalisme maju.

Dalam rumusan awal para ahli ekonomi Economic Commission fot Latin America,
ketergantungan dipandang sebagai hubungan yang sepenuhnya murni antara dua ekonomi
nasional (atau antara dua kelompok sosial dalam ekonomi nasional), di mana
perkembangan ekonomi negara-negara yang tergantung (terbelakang) dikondisikan oleh
perkembangan ekonomi negara-negara metropolitan. Ketergantungan di sini berarti
”kurang adanya otonomi”. Pelbagai mekanisme yang memungkinkan hubungan-
hubungan ketergantungan ini diketengahkan. Salah salah mekanisme yang menonjol
adalah kecenderungan jangka panjang terhadap dasar tukar perdagangan yang
menguntungkan negara industri.

Tetapi dengan memandang gejala ketergantungan sebagai hubungan antar ekonomi,


istilah ketergantungan memang hanya berarti sebagai tidak adanya otonomi.
Sebagaimana Donald Cruise O. Brien kemukakan, ketergantungan semacam ini memiliki
kecenderungan untuk sampai pada argumen melingkar; negara-negara bergantung
adalah negara-negara yang tidak memiliki kapasitas tumbuh secara otonomi dan ini
disebabkan karena strukturnya bergantung terhadap struktur-struktur negara maju–tetap
tak terpecahkan–. Selanjutnya apa yang dikerjakan oleh para ahli ekonomi ECLA adalah
melompat tingkat yang mengantarai struktur sosial. Mereka mengabaikan kepentingan
kelas yang khusus dan hubungan antarkelas yang mendorong kesinambungan reproduksi
struktur-struktur ketergantungan.

Satu usaha awal dan berpengaruh dalam mempelajari masalah ini dilakukan oleh Andre
Gunder Frank. Ia menggunakan kiasan tentang rantai hubungan yang bersifat eksploitatif;
perampasan dan pemindahan surplus lewat rentetan hubungan metropolis–satelit.
Sementara dalam skala global, kita dapat menggambarkan hubungan antar-negara
industri Barat dengan Dunia Ketiga non-industri sebagai hubungan antara metropolis dan
satelitnya, ikatan metropolitan dan satelit juga mencirikan hubungan di dalam negara
terbelakang antara ibu kota yang relatif maju dengan pedalaman yang tertindas dan
terbelakang. Tidak pula rantai ini terbatas hanya pada hubungan antar wilayah. Salah satu
dan ciri-ciri penting teori sosial yang dirumuskan oleh Frank adalah pencampuran antara
kesatuan-kesatuan wilayah dan kelas-kelas sosial, sehingga hubungan antara tuan tanah
dan petani juga dicirikan sebagai bentuk hubungan metropolis-satelit yang jelas dapat
dibandingkan dengan hubungan antar wilayah.

31
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

Pemisahan ini dan penggunan konsep surplus yang mengganti konsep Marxis mengenai
nilai lebih, memungkinkan Frank mencakup dua gejala yang nampaknya berbeda
(hubungan eksploitasi antara kelas-kelas sosial dan hubungan pemindahan nilai antara
wilayah-wilayah ekonomi) dengan kiasan serangkaian hubungan metropolis-satelit, yang
terentang dari kaum tani Bolivia dalam suatu rangkaian yang tak terputus-putus sampai
ke kaum kapitalis kaya di New York. (Roxbourgh, 1986: 46-49)

Kalau Prebisch terutama bicara tentang aspek ekonomi dari persoalan metropolis dan
satelit, yakni ketimpangan nilai tukar, Frank lebih bicara tentang aspek politik dari
hubungan ini, yakni hubungan politis (dan ekonomi) antara modal asing dengan kelas-
kelas yang berkuasa di negara-negara satelit.

Dalam rangka mencari keuntungan yang sebesar-besarnnya kaum borjuasi di negara-


negara metropolis bekerjasama dengan pejabat pemerintah di negara-negara satelit dan
kaum borjuasi yang dominan di sana. Sebagai akibat kerjasama antara modal asing dan
pemerintah setempat ini, munculah kebijakan-kebijakan pemerintah yang mengutungkan
modal asing dan borjuasi lokal. Dengan mengorbankan kepentingan rakyat banyak
negara tersebut, kegiatan ekonomi praktis merupakan kegiatan ekonomi modal asing
yang berlokasi di negara satelit. Fungsi kaum borjuasi lokal adalah sebagai mitra junior
yang dipakai sebagai payung politik, serta pemberi kemudahan bagi beroperasinya
kepentingan modal asing tersebut, melalui kebijakan pemerintah yang dikeluarkan.
Kebijakan pemerintah yang didukung oleh borjuasi lokal ini adalah kebijakan yang
menghasilkan keterbelakangan, karena kemakmuran bagi rakyat jelata dinomor-duakan.

Pada teori Frank jelas ada tiga komponen utama, yaitu: (1) modal asing, (2) pemerintah
lokal di negara-negara satelit, dan (3) kaum borjuasinya. Pembangunan hanya terjadi di
kalangan mereka. Sedangkan rakyat banyak, yang menjadi tenaga upahan, dirugikan.

Maka, ciri-ciri dari perkembangan kapitalisme satelit adalah: (1) kehidupan ekonomi
yang tergantung, (2) terjadinya kerjasama antara modal asing dengan kelas-kelas yang
berkuasa di negara-negara satelit, yakni para penjabat pemeririntah, kelas tuan tanah dan
kelas pedagang, dan (3) terjadinya ketimpangan antara yang kaya (kelas yang dominan
yang melakukan eksploitasi) dan yang miskin (rakyat jelata yang dieksploitisir) di
negara-negara satelit.

Dalam keadaan seperti ini, menggalakkan pembangunan dengan memperkuat borjuasi di


negara-negara satelit merupakan usaha yang sia-sia, karena borjuasi tersebut merupakan
borjuasi yang tergantung pada modal asing. Akumulasi modal yang terjadi akan diserap
oleh kekuaan asing keluar, tidak dikonsumsikan atau diinvestasikan di dalam negeri itu
sendiri. Dengan demikian, pertumbuhan ekonomi yang terjadi di negara-negara satelit
hanya akan mengutungkan kepentingan modal asing dan kepentingan pribadi dari kaum
borjuasi lokal. Keuntungan ini tidak akan menetes ke bawah, seperti yang diperkirakan
oleh teori trickle down effect, atau teori penetesan ke bawah. (Budiman, 1996: 66-67)

32
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

Kritik terhadap Teori-teori Ketergantungan

Kendati kesuksesan yang populer dari generasi teori keterbelakangan ini (atau mungkin
karenanya), suatu kritik dengan bidang yang luas muncul pada pertengahan tahun 1970-
an. Lingkupnya terbatas pada empat pokok yang saling berhubungan yang muncul dari
kepustakaan yang berorientasi Marxis. Titik awal kritik ini memusatkan pada asal-
usulnya. Meskipun secara tepat dilihat sebagai bagian dari tradisi panjang kajian Marxis
mengenai imperialisme, teori ketergantungan –paling tidak sebagaimana diutarakan oleh
Frank– pertama-tama dan terutama disajikan sebagai kritik terhadap dualisme dan
pemisahan suatu yang ”modern” dari ”yang tradisional”, kapitalis dari yang non-kapitalis.
Di satu pihak, hal ini menjadi kontribusi Frank yang terpenting dan permanent kepada
studi keterbelakangan. Di pihak lain, para kritikus mengakui nilai kritiknya terhadap teori
pembangunan ekonomi yang difusionis konvensional, meskipun pada umumnya mereka
berpendapat bahwa karyanya gagal melebihi karya asal-usul ini dan berakhir dalam
ikatan batasan bayangan dari problematika difusionis. Sebagai akibatnya, banyak asumi
pokok teori ketergantungan dan teori difusionis bergerak dalam daerah yang sama
meskipun dalam bentuk bayangan yang berlawanan. Jadi, misalkan yang satu membahas
penyebaran kamajuan, yang lain membicarakan penyebaranan keterbelakangan; yang
satu satu mengenai kebutuhan akan saling ketergantungan dunia yang lebih besar, yang
lain tentang kebutuhan bagi pembangunan mandiri yang lebih besar. Bentuk ini telah
diberi tanda sebagai suatu bentuk strukturalisme radikal yang lebih cocok bagi sebagai
ideologi ketimbang suatu metode analisa.

Kelemahan yang paling serius adalah bahwa teori ketergantungan mengadaikan


bekerjanya kekuatan-kekuatan yang sama, yang berasal dari pasar, yang merupakan inti
konsepsi dari Adam Smith mengenai pembangunan kapitalis. Apabila Smith melihat
kekuatan-kekuatan pasar meningkatkan spesialisasi dan dengan demikian, perkembangan
ekonomi kapitalis, para teoritisi ketergantungan berpendapat bahwa spesialisasi melalui
pembagian kerja internasional yang meningkat hanya membawa kamajuan di pusat, dan
keterbelakangan berada di pinggiran. Kritik terhadap teori difusionis ditujukan kepada
usaha usaha untuk menjelaskan kesatuan kamajuan dan keterbelakangan dalam suatu
sistem dunia kapitalis. Teori ini gagal karena tidak menangani isu-isu ini berupa
pentingnya kekuatan-kekuatan pasar. Dengan menerima pernyataan Smith, maka
perkembangannya sesudah itu terletak sebagian besar dalam problematika yang sama
seperti pendahulunya.

Akibatnya, dan pokok kedua yang akan disoroti, adalah bahwa teori-teori ketergantungan
tidak mampu menjelaskan secara memadai penyebab keterbelakangan. Ensensi
penjelasan mereka adalah bahwa integrasi sistem dunia menimbulkan pengalihan surplus
ekonomi dari daerah koloni dan kemudian dari kawasan–kawasan terbelakang kepada
penjajah atau kawasan-kawasan pusat dari negara-negara kebangsaan. Tambahan pula,
dinyatakan bahwa pengalihan surplus ini merupakan bagian yang dibutuhkan oleh
pembangunan ekonomi kapitalis di pusat. Dengan demikian, ketika proses itu– kemajuan
dan keterbelakangan–merupakan dua sisi yang bulat dari satu mata uang. Dengan kata
lain, teori ini mengandung juga suatu proses ”zero-zum” yang membentuk kemajuan-
kemajuan satu bangsa dan hanya dapat terjadi atas pengorbanan yang lain. Hubungan-

33
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

hubungan pertukaran yang menghubungkan negara-negara –dianalisa baik dalam


pengertian ”akumulasi primitif” maupun ”pertukaran yang timpang“–dalam analisa
Frank, mendominasi hubungan-hubungan produksi. Bagian argumen ini diserang dari
beberapa arah. Misalnya, adalah implisit dalam pengertian ini bahwa formasi-formasi
sosial yang bergantung, sampai tingkat tertentu, merupakan ”korban-korban yang pasti”
dari kedudukan mereka dalam perekonomian kapitalis dunia yang merupakan satu-
satunya determinan dari struktur ekonomi dan kelas internal mereka. Kegagalan untuk
mengakui pentingnya proses pembentukan kelas, atau menonjolkan perlawanan terhadap
kolonialisme, merupakan suatu penjelajahan ke dalam Eurosentrisme yang gagal sama
sekali memahami sifat dua arah hubungan di antara formasi-formasi sosial.

Lagipula, keterbelakangan mekanis bangsa-bangsa sebagai akibat kedudukan mereka


dalam sistem dunia, dapat menjelaskan secara memuaskan mengapa kolonialisme, dan
penciptaan perekonomian yang bergantung yang didasarkan pada ekspor produk primer,
mengakibatkan keterbelakangan sebagian negara (Indonesia), tetapi memajukan negara
lain (Australia). Garis kritik yang lain telah dikembangkan oleh Brenner yang
berpendapat bahwa perkembangan ekonomi kapitalis tidak begitu timbul sebagai akibat
akumulasi surplus ekonomi yang dialihkan ke tempat lain. Asal mula kapitalisme tidak
dapat diasumsikan mengikuti spesialisasi dan perdagangan, dan juga kemajuan serta
keterbelakangan tidak begitu saja timbul dari perluasan sistem itu. Pokok persoalannya
ialah bahwa perkembangan ekonomi kapitalistis merupakan sebuah proses kualitatif dan
bukan suatu proses kuantitatif yang kasar. Bagi Brenner, esensi kualitatif kapitalisme
adalah ekspansi surplus tenaga kerja yang relatif. Hal ini, demikian ditekankan oleh
Brenner, sudah tentu merupakan suatu masalah kelas, baik dalam pengertian pencitaan
borjuasi dan proletariat, maupun dalam pengertian struktur kekuatan ekonomi dan non-
ekonomi yang menentukan hubungan-hubungan di antara kelas-kelas. Dengan demikian,
ia memperlihatkan pentingnya, misalnya inovasi, dalam negara-negara kapitalis inti yang
telah memungkinkan kelas kapitalis untuk secara sistematis memperbesar surplusnya
melalui peningkatan produktivitas buruh (jadi tingkat eksploitasi yang lebih tinggi), yang
mengakibatkan barang-barang lebih murah dan lebih banyak.

Tidak seperti para teoritisi ketergantungan, Brenner menempatkan asal-mula


perkembangan kapitalis dalam pasang–surutnya konflik-konflik kelas yang bersejarah,
yaitu, pembebasan kaum tani, pemilikan tanah oleh kaum tuan tanah, dan kekuatan-
kekuatan ekonomi–khususnya, syarat-syarat penyedotan surplus yang sedang mengalami
perubahan dan perkembangan tenaga produksi. Sama halnya, dalam zaman modern,
proses kemajuan atau keterbelakangan ekonomi tidak semata-mata ditentukan oleh
permintaan perekonomian dunia, tetapi pada akhirnya pada produktivitas tenaga kerja
yang pada gilirannya merupakan hasil struktur kelas dan konflik serta sarana-sarana
untuk mengeduk surplus itu. Kekuatan-kekuatan inilah, menurut Brenner, yang
menentukan kecilnya investasi di wilayah asal, dan apa yang akan dipusatkan di
metropolis dan dicurahkan terutama untuk produksi barang mewah. Jadi, perkembangan
keterbelakangan berakar dalam perjuangan kelas untuk produksi yang didasarkan pada
perluasan surplus tenaga kerja yang absolut, yang menentukan perkembangan kekuatan-
kekuatan produksi (produktivitas tenaga kerja) dan struktur tingkat keuntungan
perekonomian sebagai suatu keseluruhan.

34
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

Hal ini membawa saya kepada kritik ketiga yang merupakan akibat wajar dari yang di
atas. Kegagalan teori-teori ketergantungan untuk mempertimbangkan secara tepat
formasi kelas lebih daripada sekedar suatu kelalaian. Hal ini merupakan akibat
ketidakmampuan mereka untuk menjelaskan secara memadai tingkat-tingkat
perkembangan dan keterbelakangan yang berbeda–atau lebih tepatnya, tingkat-tingkat
eksploitasi–di antara bangsa-bangsa, yang menurut Leys, adalah pencerminan sifat
ekonomis dan mekanistis yang berlebihan dari teori-teori ketergantungan. Dikatakan
bersifat ekonomistis karena ciri sosio-ekonomi yang utama dari formasi-formasi sosial di
Dunia Ketiga–kelas-kelas sosial negara, politik, ideologi, dan reproduksi sosial–
diperlakukan secara dangkal, kalau pun dipertimbangkan, dan diandaikan sebagai produk
dari proses ekonomi yang sempit, khususnya pengaruh pasar dunia terhadap penciptaan
surplus dan perkembangan produksi. Selanjutnya, proses-proses yang dibahas oleh teori-
teori ketergantungan bersifat mekanistis karena secara tidak terelakkan mereka
menghasilkan keterbelakangan dan tidak menawarkan jalan keluarnya. Leys
menamakannya sebagai sebuah sistem yang terdiri dari lingkaran-lingkaran setan yang
saling memperkuat satu sama lain. Akibatnya adalah bahwa negara-negara itu dianggap
terkunci di dalam sistem dunia, dan setiap penyesuaian struktural (misalnya,
industrialisasi) pasti gagal. Sekali ada keengganan untuk menghargai kekuatan gerakan-
gerakan sosial, terutama perjuangan kelas, untuk mengubah jalannya perkembangan
sosio-ekonomi.

Akhirnya, sejumlah penulis telah menunju kepada keterbelakangan teori ketergantungan


sebagai sebuah pedoman aksi. Alasan pokok adalah bahwa keterbelakangan merupakan
suatu produk dari hilangnya surplus ekonomi sebagai akibat hubungan pertukaran. Hal ini
menjurus kepada kesimpulan bahwa pemutusan hubungan antara kawasan-kawasan
geografi ini – penutupan kawasan tertentu, atau secara rasional, kebijaksanaan
pembangunan sendiri – dapat diharapkan menimbulkan akumulasi dan perkembangan di
dalam negeri. Dalam bentuk ini, dengan cepat ia diterima oleh para cendikiawan maupun
perencana yang pada pokoknya tetap berpegang teguh pada reformisme. Bekas Presiden
Bank Dunia bahkan telah mengizinkan banyak di antara ide-ide utama teori
ketergantungan menyampaikan gagasannya ”meskipun biasanya dalam versi yang
keradikalannya dihilangkan secara jitu. Teori-teori ketergantungan dapat diterima dengan
alasan yang tepat yaitu bahwa mereka memberikan suatu kerangka teoritis yang dangkal
tentang peralihan menuju sosialisme yang begitu lantang dinyatakan oleh Frank. Dengan
meletakkan argumen dalam hubungan pertukaran dan bukan dalam formasi kelas dan
perjuangan kelas, teori ketergantungan di satu pihak membuat dirinya sendiri matang
untuk diterima oleh kaum reformis, yang seyogyanya akan menolak keras suatu teori
dalam mana konflik kelas dan eksplotasi merupakan hal sentral, dan di pihak lain
memberikan sedikit atau tidak sama sekali pedoman bagi mereka yang ingin memahami
potensinya bagi perjuangan kelas.

Hal ini barangkali paling menjelaskan mengapa implikasi praktis teori-teori


ketergantungan secara relatif diabaikan. Satu hasil logis dari jenis pemikiran seperti ini
adalah visi mengenai pembangunan sosialis yang mandiri. Pandangan sempit ini dikritik
dengan keras. Bagaimana masa depan jangka panjang dunia jika bergerak ke dalam suatu

35
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

masa pembangunan sosialis yang semi autarki?”Pada tingkat yang lebih praktis kita dapat
mempertanyakan secara serius kelangsungan hidup setiap usaha untuk menyembunyikan
batas-batas nasional dalam usaha menanamkan usaha mandiri, terutama dalam suatu
kepulauan yang sangat luas seperti Indonesia, dimana rintangan –rintangan fisik yang
bersifat isolasionis tak dapat diatasi.

Singkatnya, adalah keliru untuk menerima bahwa kritik yang memuncak yang
diungkapkan di atas menyatakan berakhirnya kontribusi teori-teori ketergantungan
terhadap teori keterbelakangan. Gelobang kritik dewasa ini tidak seharusnya juga
dibiarkan menyembunyikan kontribusi yang nyata dan penting yang diberikan dan yang
masih terus diberikan oleh masalah-masalah ini bagi perkembangan teori
keterbelakangan. Yang terpenting dalam hal ini adalah kritik terhadap modernisasi dan
dualisme, dan populeritas luar biasa yang diperoleh mazhab-mazhab ini, yang dalam
gilirannya telah merangsang perkembangan lebih lanjut dalam teori keterbelakangan.
Apakah pertumbuhan yang cepat dari bahan-bahan mengenai imperialisme dan
keterbelakangan selama tahun 1960-an dan 1970-an merupakan produk perdebatan yang
hidup yang ditimbulkan oleh teori-teori ketergantungan ataukah tidak, atau apakah
merupakan hasil perubahan sosial yang mendasar yang berkaitan dengan perubahan
dalam perkonomian dunia, tidak mudah dijawab. Namun tidak diragukan bahwa dampak
mereka pada teori-teori keterbelakangan adalah mendalam.

Pada umumnya kritik-kritik itu mencerminkan ketidakpuasan pada dua tingkat yang
berbeda. Banyak yang menaruh perhatian pada masalah skala, dengan mengemukakan
bahwa penjelasan yang hanya digambarkan pafda tingkat makro terlalu
menyederhanakan masalah keterbelakangan. Khususnya, pemakaian istilah yang tidak
seksama yang ditimbulkannya, teorisasi yang terlalu abstrak yang didorongnya, dan
kesan dasar yang diberikan bahwa kapitalisme menuliskan polanya pada suatu tabula rasa
Hingga tingkat tertentu kritik-kritik ini telah ditanggapi oleh kepustakaan yang sedang
tumbuh di sekitar konsep artikulasi cara-cara produksi. Ada juga kritik bahwa teori-teori
ketergantungan tidak sepenuhnya menjelaskan keterbelakangan, demikian juga mereka
tidak mengambil suatu pendirian teoritis dan praktis yang konsisten. Alasannya adalah
bahwa mereka tidak berhasil mecurahkan cukup usaha pada sejarah dan dinamika
formasi kelas, pada berbagai bentuk pengambilan surplus dalam formasi-formasi sosial
pinggiran, dan pada perjuangan kelas yang telah dan terus menjadi ciri tempat-tempat ini.
Tanpa sengaja menyimpang ke dalam determinisme ekonomi, penjelasan mereka
mekanistis dan nilai praktis teori-teori itu terbatas. Argumen seperti itu mungkin terbukti
terlalu kasar. Dilihat sebagai suatu usaha kontemporer untuk mentransformasikan
konsep-konsep imperialism ke dalam suatu teori keterbelakangan, jelaslah bahwa
masalah kunci mazhab-mazhab ketergantungan adalah bahwa mereka hanyalah sebagian
penjelasan dari perubahan sosio-ekonomis di dalam formasi-formasi sosial kapitalis
pinggiran (Forbes, 1986: 83 – 92).

Teori Sistem Ekonomi Kapitalis Dunia

36
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

Lahirnya teori sistem ekonomi kapitalis dunia di Amerika Serikat pada pertengahan tahun
1970-an, merupakan lanjutan dari perdebatan antara penganut teori modernisasi dan
pembangunan pertumbuhan yang mendapat kritik dari teori ketergantungan Amerika
Latin. Meskipun teori modernisasi mendapat kritik luar biasa dari ilmu sosial di tempat
kelahirannya di Amerika Serikat, bahkan dikatakan sebagai teori yang gagal, teori
modernisasi justru mendapat tempat yang istimewa pada masyarakat di Dunia Ketiga m
khususnya kalangan birokrat atau aparat pembangunan dan akademisi. Sementara itu, di
Amerika sendiri, selain teori ketergantungan, juga lahir teori yang disebut sebagai teori
alternatif antara keduanya, yakni fokus analisisnya tertuju pada tata ekonomi kapitalis
dunia. Alasan yang kuat untuk memunculkan teori ini adalah bahwa fenomena tata
ekonomi kapitalis dunia tidak dapat dijelaskan, baik oleh teori modernisasi maupun teori
ketergantungan secara memuaskan. Misalnya saja, fenomena pertumbuhan ekonomi
negara-negara Asia Timur seperti Jepang, Taiwan, Hongkong, Korea Selatan dan
Singapura, membuat penganut itu berpikir bahwa persoalannya sulit dijelskan melalui
kacamata ketergantungan karena negara Asia Timur tersebut, terutama Jepang mulai
memberikan perlawanan ekonomi kepada centre. Fenomena lain adalah, di satu pihak,
terjadinya krisis di negara-negara sosialis, perpecahan USSR dan Cina, dan semakin
terbukanya negara-negara sosial terhadap ekonomi pasar dan ivenstasi kapitalis dunia
sehingga melahirkan sistem ekonomi campuran yang tidak murni mengatur paham
marxis revolusioner. Di lain pihak,, krisis juga terjadi di Amerika Serikat, seperti krisis
Perang Vietnam dan sejumlah krisis ekonomi yang kesemuanya menunjukkan runtuhnya
hegemoni politik dan ekonomi Amerika Serikat.

Berkenan dengan fenomena tersebut, Immanuel Wallerstain dan pengikutnya merasa


perlu merumuskan teori dan perspektif alternatif perubahan sosial yang disebut sebagai
sistem ekonomi kapitalis dunia. Kalau ditelaah secara seksama, sesungguhnya apa yang
dikembangkan oleh Immanuel Wallerstain merupakan lanjutan dari teori kritik terhadap
kapitalisme. Bahkan, pada awalnya teori sistem ekonomi kapitalis dunia ini banyak
meminjam analisa teori ketergantungan, misalnya, dalam studinya mengenai
ketimpangan nilai tukar eksplotasi negara pinggiran oleh negara pusat. Bahkan, mereka
mengembangkan apa yang tidak dibahas oleh teori ketergantungan dengan
memperkenalkan sistem dunia yang mensejarah, yakni sistem dengan segala isisnya lahir,
berkembang, dan mati, serta timbul kembali sebagai akibat dari proses pembagian kerja
yang terus-menerus dan canggih.

Uraian Wallerstain tentang sistem ekonomi-kapitalis dunia melatarbelakangi pikirannya


tentang teori perubahan sosial. Ia mulai membahas teorinya dengan mengajukan kritik
terhadap model dua kutub center-periphery yang umumnya dianut oleh teori
ketergantungan. Sistem ekonomi dunia sangat rumit dan terlalu sederhana jika hanya
dijelaskan dengan model tersebut. Oleh karena itu, ia mengajukan tiga kutub model
negara pusat, semi pinggiran dan pinggiran. Kategori semi pinggiran diajukan mengingat
diperlukannya model tengah bagi negara-negara pinggiran untuk menghindari krisis.
Selain itu, negara semi pinggiran juga diperlukan untuk memungkinkan reinvestasi
ataupun realokasi modal bagi pemilik modal dan negara center untuk akumulasi lebih
lanjut. Tempat baru untuk incestasi inilah oleh Wallerstain sebagai negara semi-
pinggiran. Negara-negara semi pinggiran ini menjadi pengamat krisis bagi negara center.

37
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

Mereka memiliki posisi tawar perdagangan yang berbeda dibandingkan negara pinggiran,
baik dalam bidang upah buruh, keuntungan, maupun perdagangan. Negara semi-
pinggiran juga memiliki kepentingan langsung untuk mengatur pertumbuhan mereka
sendiri.

Bagi Wallerstain perubahan sosial pada dasarnya terletak pada bagaimana perjuangan
antara negara pinggiran dan semi pinggiran di masa datang. Oleh karena itu persoalannya
terletak pada bagaimana negara pinggiran melaksanakan strategi permbangunan alternatif
yang memenangkan dan memanfaatkan kesempatan, strategi mengundang investasi data
ataupun strategi berdikari. Perjuangan dan negara pinggiran menjadi negara semi
pinggiran bagi Wallerstain adalah hakikat dari perubahan sosial. Negara pinggiran yang
menghendaki perubahan ini dapat menggunakan berbagai strategi, seperti melakukan
substitusi impor yakni usaha menangkap kesempatan. Startegi lainnya adalah
mengundang modal asing dengan menyediakan segala bentuk kemudahan dan daya tarik
yang yang mengundang minat perusahaan multi nasional untuk melakukan investasi di
negaranya. Straregi ini memerlukan hubungan yang baik dengan multi nasional termasuk
upah tenaga kerja yang murah. Strategi terakhir adalah strategi berdikari berdiri di atas
kaki sendiri. Namun hanya sedikit negara yang mampu melaksanakan strategi ini.

Perubahan juga terjadi dari semi pinggiran ke negeri sentral. Strategi ini dilaksanakan
dengan menggunakan kesempatan pasar dan memperluas jaringan pasar. Usaha ini
dilakukan dengan berbagai cara, mulai dari aneksasi wilayah lain, menaikkan harga
impor,dengan menaikkan kuota dan tarif pada barang impor ataupun dengan melakukan
subsidi, menekan upah buruh, menaikkan daya beli masyarakat, serta memanipulasi
selera konsumen dengan promosi dan bahkan ideologi
.
Melalui pembahasan tata ekonomi kapitalis dunia ini, Wallerstain dan pengikutnya pada
dasarnya mencita-citakan suatu tata ekonomi dunia yang berkeadilan ekonomi dan
politik, atau dunia yang demokratis dan egaliter. Untuk mencapai hal itu ke sana.
Wallerstain berharap pada tumbuhnya gerakan sosial atau gerakan populis dari yang
berskala nasional menuju gerakan populis berskala global. Asumsi ini berangkat dari
analisisnya bahwa tidak mungkin untuk mengembangkan suatu dunia yang adil dan
demokratis jika stratergi yang ditempuh oleh masing-masing negara adalah dengan
melakukan pembangunan dan pertumbuhan nasional yang dilakukan oleh masing-masing
negara. Selain tidak sehat dan merusak, model pembangunan nasional juga mustahil,
melahirkan tata ekonomi dunia yang adil. Pada dasarnya maju dan berhasilnya
pembangunan dan pertumbuhan suatu negara selalu dibayar dengan keringat,
penderitaan, negara lain, dan bahkan tersingkirnya negara lain. Sehingga model
kompetisi pembangunan dan pertumbuhan ini cepat atau lambat akan membawa konflik
secara global.

Untuk itu, gerakan sosial maupun perjuangan kelas yang ada umumnya bertujuan
melakukan demokratisasi dan keadilan ekonomi berskala nasional dalam dalam jangka
waktu panjang tanpa memecahkan masalah ketimpangan dunia. Apalagi jika perjuangan
kelasnya berskala lebih kecil, seperti pada tingkat pabrik dan kota industri. Gerakan
sosial ataupun perjuangan kelas yang bertujuan untuk merebut suatu negara, jika berhasil,

38
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

lambar-laun harus berjuang demu mengejar ketinggalan ekonomi, lambat-laun akan


mengorbankan tujuan perjuangan kelas semula, dan bahkan akan menjadi semakin
represif. Oleh karena itu baginya, perjuangan kelas skala nasional harus ditinggalkan dan
menggalang gerakan anti sistem dengan perjuangan kelas berskala global. Salah satu
yang diajukan adalah strategi untuk mengarahkan energi gerakan pada sumber surplus
ekonomi, penyedotan surplus ekonomi global dengan jalan mengurangi laba, dan secara
global memperhatikan persoalan pemerataan.(Fakih, 2003: 138-142)

Kritik terhadap Teori Sistem Dunia

Sejak pertengahan tahun 1970-an, para pemberi kritik telah menuduh bahwa perspektif
sistem dunia telah menyajikan gemerlapnya konsep sistem dunia, seakan-akan
merupakan sesuatu yang sangat riil dan meteril; sementara di sisi lain perspektif ini telah
hampir secara sempurna meninggalkan spesifikasi sejarah perkembangan pada tingkat
nasional. Di samping itu para pemberi kritik ini juga menuduh bahwa perspektif sistem
dunia terlalu condong untuk mengunggulkan analis stratifikasi, sementara di sisi lain
perspektif ini telah meninggalkan analisa kelas.

Zeitlin menunjukkan bahwa Wallerstein telah memberi wujud (reifikasi) apa yang disebut
sistem kapitalis dunia dan telah membalik proses sejarah yang riil, yang di dalam
kandungannya hubungan global ini sesungguhnya tercipta. Sistem ekonomi dunia
sepertinya telah membebani tugas ekonomi tertentu pada dirinya sendiri dan pada bagian-
bagian wilayahnya, dan kemudian bagian wilayah-wilayah itu terlihat memiliki mode
produksi yang berbeda satu sama lain, dan demikian seterusnya. Apa yang sesungguhnya
terjadi di sini,justru, teori yang seakan-akan bebas ruang dan waktu ini telah diberi satu
wujud dan wajah kehidupan atas dirinya sendiri, dan kemudian mampu memaksa agar
segala realitas sosial dapat dipahami oleh bangun teorinya. Jika demikian halnya, maka
kini kategori teroritis yang telah disusun dan dimiliki akan sselalu memaksa realitas
sosial untuk selalu sesuai atau tunduk dengan tesis yang sebelumnya telah dibangun.

Lebih dari itu, Zeitlin telah menuduh Wallerstein, yang seakan-akan tanpa
sepengtahuannya, telah menyiapkan perangkap penjelasan sejarah yang teleologis. Dalam
hal ini peristiwa sejarah sepertinya digunakan untuk menjelaskan asal-usul sistem
ekonomi dunia, tetapi di sisi lain, seluruh peristiwa sejarah yang digunakan untuk
penjelasan ini nampak seperti dipaksakan untuk harus terjadi dan mengada karena sistem
ekonomi dunia memerlukan keberadaannnya. Sebagai contoh, Zeitlin, mengutip
Wallerstain ketika mengatakan bahwa ada tiga wilayah yang senyatanya memiliki mode
produksi yang berbeda. Jika misalnya ini tidak ada, maka tidak akan mungkin untuk
memberikan jaminan akan adanya aliran surplus yang akan membuat sistem kapitalis
mewujud. Bagi Zeitlin, formulasi yang seperti ini merupakan penjelasan teleologis,
karena lahirnya sistem ekonomi dunia disebabkan oleh akibat yang ditimbulkannya
karena maksud yang sesungguhnya hanya terealisir dengan lahirnya kapitalisme.

Karena dua hal ini, reifikasi dan teleologi, teori sistem dunia kemudian juga dikritik telah
melupakan spesifikasi sejarah perkembangan yang dipunyai oleh masing-masing negara.

39
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

Menurut Zeitlin, pokok perhatian Wallerstain yang selalui dicurahkan pada ”totalitas”
telah menghalanginya untuk terlihat dalam ”analisa sejarah yang kongkrit dan spesifik
dari suatu masyarakat tertentu”. Dengan selalu menegaskan bahwa hanya sistem dunia
sendiri yang riil, teori sistem dunia telah mengaburkan, bukan memperjelas, hubungan
sosial yang kongkrit, yang mendasari apa yang disebut sistem dunia ekonomi kapitalis
dan menggerakkan dan menumbuhkan pemahaman perkembangan sejarah yang
sebaliknya.

Didalam besaran teori sistem dunia, Zeitlin berpendapat bahwa para peneliti yang
mengikuti perspektif sistem dunia tidak akan mampu menjawab pertanyaan kritis
tertentu. Mereka akan gagal, misalnya, memberikan jawaban yang memuaskan tentang
bagaimana satu konfigurasi sejarah tertentu atau hubungan kelas sosial dari satu formasi
sosial tertentu berpengaruh terhadap perkembangan internal masyarakat tersebut.
Demikian pula terhadap perkembanghan internal masyarakat tersebut. Demikian pula
mereka akan tidak mampu memberikan penjelasan tentang asal usul lahirnya konfigurasi
kelas sosial, bentuk gerakan yang dipilih oleh kelas sosial, dan apa akibat lanjutnya.
Pertanyaan tentang apa dinamika akumulasi modal yang khas dari satu modal kelas osisal
tertentu? Bagaimana pengaruh dinamika pasar dunia terhadap perkembangan dan
pembangunan masyarakat tertentu akan tak memperoleh penjelasan yang berarti bagi
peneliti yang menggunakan pendekatan sistem dunia. Pertanyaan yang juga akan mereka
tinggalkan misalnya tentang apa dan bagaimana akibat relatif pembangunan yang timbul
dari interaksi yang spesifik dari pasar dunia dengan jenis penetrasi dan ekspansi yang
dikembangkan oleh berbagai macam pemilik modal?

Bagi para pengeritik, teori sistem dianggap lebih memperhatikan hubungan pertukaran
dan distribusi barang di pasar ketimbang analisa kelas dan konflik kelas di arena produksi
Oleh karena itu, Wallerstain sering dijuluki sebagai ”sirkulasionis”.

Menurut Zeitlin, ketika Wallerstain berbicara tentang ”kelas”, sesungguhnya apa yang ia
maksud adalah stratifikasi, yang ukurannya ditentukan oleh tempat berdasarkan urutan
perjenjangan pekerjaan di dalam tatanan kapitalis dunia. Perjenjangan ini akan menerima
penghargaan yang berbeda berdasarkan tingkat produktivitasnya, tingkat pengetahuan
yang diperlukan, dan sumbangannya terhadap utuh dan terjaganya sistem ekonomi dunia
Dengan kata lain perbedaan posisi dalam tatanan pembagian kerja internasional
berpengaruh tergadap pola stratifikasi dan bangun politik masyarakat.

Namun demikian, Zeitlin, model stratifikasi yang demikian bukan tanpa masalah.Zeitlin
menunjuk dengan jelas bahwa model mengaburkan asal usul sejarah pembentukannya,
dan jika demikian bahlnya, ini hanya akan merubah keterkaitan riil antara pembagian
kerja dengan hubungan kelas menjadi kacau balau (terjungkil balik). Dalam model
abstrak ini tidak akan dijumpai adanya hubungan yang saling mengikat dari berbagai
macam strata yang terlihat. Pada bangunan model ini juga tidak akan diketemukan makna
riil dari adanya elemen keterkaitan antara produser dan pengambil nilai lebih, penindas
dan tertindas, serta eksistensi kelas yang tertindas.Budak, gundik, petani-penyewa,

40
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

pegawai-pegawau rendah, pengrajin dan buruh barubah arti hanya sekedar menjadi
”kategori pekerjaan.”

Tidak hanya itu, Zeitlin juga mencatat bahwa dalam model abstrak dan tidak menyejarah
ini.”pasar kapitalis dunia (pembagian kerja internasionl) menampakkan muka palsunya”.
Pasar dunia lebih terlihat sebagai penyebab timbulnya hubungan kelas dari satu
masyarakat tertentu, daripada sebagai, yang senyatanya, produk akhir sejarah dari proses
pembiasan hubungan kelas. Dengan kata lain, pasar dunia dilihatnya sebagai penyebab
lainnya struktur kelas, bukan sebagai akibat dan adanya hubungan kelas. Oleh karena itu,
Zeitlin menuduh teori sistem dunia tidak pernah menguji secara historis dan spesifik
hubungan kelas dalam berbagai negara yang mungkin memiliki pengaruh terhadap
hubungan global di antara mereka, dan menentukan bagimana hubungan global di antara
mereka, dan menentukan bagaimana hubungan global ini berpengaruh balik terhadap
pembangunan internal negara-negara tersebut. (Suwarsono, 1991: 233 – 226)

Usaha Mencari Teori Pembangunan Pribumi

Adalah jelas bahwa ilmu sosial gaya Barat pada umumnya dan teori pembangunan
Eropa-sentris khususnya, sudah dan masih merupakan tantangan bagi banyak pusat-pusat
akademi di Dunia Ketiga. Persoalannya jelas didiskusikan paling intensif pada bagian
pertama tahun 1970-an. Karena alasan-alasan yang wajar, diskusinya kebetulan terjadi
bersamaan dengan perubahan tentang kemandirian, karena apa yang disebut usaha
mempribumisasikan pemikiran pembangunan merupakan bagian persoalan umum
perkembangan kemandirian, sebagai komponen intelektual dari proses ini. Kini
perdebatan ini mungkin kelihatan agak usang, tetapi persoalannya sama sekali tidak
hilang.

Pendekatan radikal terhadap persoalan ini adalah membuang konsepsi-konsepsi Barat


sama sekali dan mendirikan ”ajaran nasional”. Hal ini oleh banyak ahli dipahami sebagai
suatu ancaman kepada ilmu pengetahuan sosial secara langsung, karena akibatnya adalah
suatu keadaan yang terpecah-belah, tidak hanya di antara disiplin-disiplin ilmu sosial
yang merupakan suatu persoalan tersendiri, tetapi juga antara tradisi-tradisi nasional yang
bersifat khusus dan yang bersifat gerejani. Tetapi dalam suatu perspektif yang lebih
panjang, usaha-usaha mempribumikan pemikiran-pemikiran pembangunan bisa dilihat,
dan ini merupakan pandangan yang disajikan di sini sebagai suatu tahap yang diperlukan
dalam suatu konsepsi pembangunan yang lebih menyeluruh dan relevan, yang tidak
harus menghilangkan konsepsi-konsepsi Barat, tetapi yang mengisyaratkan suatu
pandangan yang lebih realistis terhadap ilmu sosial Barat sebagai berlaku dalam suatu
konteks geografi dan historis yang khusus. Yang menyusul kemudian adalah suatu
diskusi pendahuluan mengenai berbagai usaha untuk merumuskan pendekatan-
pendekatan yang pebih pribumi pada persoalan-persoalan di Amerika Latin, Asia dan
Afrika.

Di Amerika Latin ada suatu persamaan budaya yang kuat dengan Barat dari suatu tingkat
pelembagaan akademis yang tinggi, sekurang-kurangnya di negara-negara seperti

41
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

Meksiko, Argentina, Brasilia dan Chili. Nilai-nilai Barat dengan demikian tidak
dipertanyakan dalam taraf yang sama seperti halnya di Asia dan Afrika. Apa yang
dipertanyakan adalah kemampuan ilmu sosial mutakhir untuk melukiskan dengan benar
realitas sosial dan untuk menggerakkan strategi –strategi yang layak, bagi perubahan.
Sikap kritis ini sangat mirip dengan sikap yang diambil oleh negara-negara kuat yang
sedang muncul pada abad ke-19 yaitu Jerman dan Amerika Serikat Satu kasus seperti
yang dimaksud adalah tradisi ketergantungan yang sampai tingkat tertentu berfungsi
sebagai suatu ideologi nasional.

Namun demikian, yang sangat besar arrtinya adalah analisis mengenai kondisi-kondisi
subnasional yang lebih khusus, tetapi sedikit sekali karya yang dilakukan menurut garis-
garis ini. Sampai setingkat mana usaha-usaha demikian memerlukan konsepsi-konsepsi
dan perspektif-perspektif Amerika Latin.

Kenyataan bahwa pemikiran pembangunan Barat sebagai suatu keseluruhan kelihatan


terintegrasi dengan gagasan Amerika Latin tidaklah berarti bahwa usaha-usaha untuk
mencari suatu identitas historis yang khas Amerika Latin, pada taraf yang lebih bersifat
filsafat, sama sekali tidak ada.

Marxisme di Amerika Latin jelas merupakan suatu kasus pencangkokan intelektual


dengan sedikit hasil bumi, sampai kepada terbentuknya perspektif ketergantungan pada
tahun 1960-an.

Karena diskusi mengenai ketergantungan di Amerika Latin bisa dipandang sebagai


contoh besar dari empansipasi intelektual, maka satu titik tolak yang relevan ialah untuk
mencari apakah ada suatu perdebatan yang serupa di Asia. Di bagian-bagian Dunia
Ketiga di mana teori ketergantungan telah berakar penafsiran kembali yang sedang
berkembang. Tetapi di India, di mana Marxisme dari jenis yang agak ortodoks berakar
kuat, orang cenderung mengira bahwa kritik Marxis itu secara keseluruhan telah
mempunyai dasar sendiri. Hal itu banyak diungkapkan dalam perdebatan penuh semangat
tentang perkembangan kapitalisme dalam pertanian di India, yang dimuat dalam
Economic and Political Weekly (Bombay) dan Social Scientist (Trivandrum).

Satu titik referensi yang jelas kepribumian ilmu sosial India adalah Gandhi. Hal itu diakui
secara luas di antara para ilmuwan India Dalam banyak hal Gandhi tampak modern
secara menyolok. Pendekatannya bisa digambarkan sebagai berorientasikan tindakan
(lingkungan tertekan merupakan laboratoriumnya) normatif (titik pandangannya adalah
yang termiskin dari yang miskin) dan global (sasaran akhirnya adalah suatu tata dunia
tanpa kekerasaan). Prinsip-prinsip semacam itu bisa diketemukan dalam penelitian ilmu
sosial yang berorientasikan persoalan masa kini.

Kalau Gandhi setidak-setidaknya sudah merupakan suatu lambang pempribumian ilmu-


ilmu sosial di India. Mao Ze Dong memainkan suatu peranan yang lebih langsung di
Cina. Di negara yang tersebut belakang itu motivasi dalam proses intelektual itu adalah
kontradiksi antara ilmiahisme universalis (dikaitkan dengan Marxism Soviet) dan
aktivisme kongkret (duhubungkan dengan filsafat Maois). Sebagai bagian dari tujuan

42
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

Mao untuk menghapus ”tiga perbedaan besar”, salah satu diantaranya mengenai kerja
keras lawan kerja intelektual, watak akademis ilmu-ilmu sosial tidak memberi penekanan
pada suatu soal sampai ke tingkat meniadakannya sama sekali. Namun demikian, Mao
senantiasa menganggap studi-studi sosial sehingga teramat penting bagi pekerjaan politik.
Afrika, seperti negara-negara bekas jajahan lainnya, merupakan suatu contoh penetrasi
intelektual akhir-akhir ini, dengan suatu prasarana akademis yang dalam perbandingan
lemah, dan sesuai dengan hal tersebut, tak ada pemikiran pribumi yang dapat dilihat
sebagai suatu jawaban langsung terhadap penetrasi intelektual. Proses-proses penetrasi
intelektual dan emansipasi intelektual telah berlangsung sekaligus, sekalipun dalam
konteks sosial yang berbeda-beda. Dari sudut pandangan pribumian, zaman keemasan
ilmu sosial di Afrika ialah selama perjuangan kemerdekaan dan dalam masa segera
sesudah penjajahan berakhir. Selama periode ini, telah muncul sejumlah gagasan sosial
dan politik yang orsinal, yang kebanyakan memiliki suatu kadar ilmu sosial yang kuat.
Apa yang mereka hasilkan adalah ilmu sosial di luar kelembagaan, yang bisa disejajarkan
dengan pensadores Amerika Latin dan sosiologis Marxis.

Pada tahun 1970-an kecenderungan–kecenderungan ke arah emansipasi intelektual tidak


hanya dalam arti kebudayaan yang luas tetapi juga di dalam ilmu-ilmu sosial telah
menjadi nyata. Hal ini mungkin ini dapat dilihat sebagai diilhami oleh pendekatan
mengenai ketergantungan yang meliputi seluruh dunia. Kritik mengenai status quo,
bagaimanapun secara khas telah mengambil bentuk Afrikanisasi, tetapi lebih menurut arti
personalia daripada dalam konsep-konsep dan teori-teori. Hal ini bisa ditunjukkan oleh
perkembangan-perkembangan dalam Institute of Development Studies yang pada
mulanya didirikan sebagai suatu lembaga ”neocolonial”, tetapi kemudian berangsur-
angsur diafrikanisasikan. Proses ini pertama-tama tidak menyangkut kritik terhadap
aliran-aliran dan tradisi-tradisi penelitian yang lazim. Adapun mengenai proses
Afrikanisasi yang berkenaan dengan isi penelitian, perubahan-perubahan terbatas pada
suatu penekanan yang kuat tentang sasaran-sasaran penelitian pragmatis yang merupakan
bantuan dari sudut pandangan pemerintahan, daripada merupakan perspektif alternatif.
Ketidakpuasaan terhadap prasangka Barat dalam pelajaran-pelajaran dan program-
program penelitian di universitas tersebar luas, tetapi pada umumnya para pengajar
menganggap sangat sukar untuk menemukan pengganti-pengganti yang baik yang lebih
relevan dalam konteks Afrika.

Tahap pembribumian akhir-akhir ini mengambil sebagai titik tolaknya krisis


pembangunan di Afrika dan sutu kritik terhadap paradigma pembangunan konvensional.
Benarlah bahwa radikalisme yang kritis sekarang ini lebih bergerak ke arah semacam
Marxisme daripada membangkitkan pola-pola pemikiran pribumi yang murni, tetapi hal
itu tidak utuh mengandung arti ketidakserasian antara Marxisme dan pendekatan-
pendekatan yang sedikit banyak bersifat pribumi

Unsur-unsur kepribumian dalam sosialisme Afrika dan konsepsi-konsepsi pembangunan


lainnya, seluruhnya merupakan bangunan-bangunan intelektual yang diciptakan oleh
golongan elite modern supaya misi modernisasi mereka dapat dimengerti dan diterima
oleh rakyat pedesaan. Kepentingan dalam pempribumian pada umumnya lebih besar di

43
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

Amerika Latin dan Asia, tetapi perdebatan itu telah mengungkapkan persoalan –
persoalan mendalam yang terlibat.

Kalau pempribumian berkaitan dengan proses di mana gagasan-gagasan dan lembaga-


lembaga yang dicangkokkan sedikit-banyak telah dimasukkan secara radikal oleh para
penerimanya agar sesuai dengan situasi khus mereka sendiri, tidaklah selalu jelas sejauh
mana hal ini mensyaratkan emansipasi intelektual atau bentuk-bentuk dominasi baru.
Kami telah menunjukkan kepada kenyataan bahwa beberapa badan pemberi dana
memang benar-benar mendorong emansipasi intelektual. Tetapi sering kali pihak
penerima bantuan tidak mewakili suatu budaya homogen yang bisa dipakai sebagai dasar
guna menegakkan asas pribumian. Di India, misalnya, modernisasi menurut garis-garis
Barat akan dapat digantikan dengan sanskritisasi, yang menurut kelompok-kelompok
non –Brahma adalah bentuk intern dari penetrasi intelektual. Di Afrika, di mana negara-
negara kebangsaan di banyak negara belum akan menjadi suatu kenyataan sosial dan di
mana rakyat memihak kepada komunitas-komunitas subnasional, tidaklah begitu jelas
macam apa jalan pembangunan nasional pribumi ini nantinya. Di lain pihak, dalam
banyak negara Amerika Latin, proses integrasi nasional telah berjalan lebih jauh. Karena
itu fungsi nasionalistis dari perspektif ketergantungan dan strategi kemandirian misalnya,
adalah lebih jelas. Di Meksiko, di bawah Presiden Luis Echeverrria, perspektif
ketergantungan bahkan dimasukkan ke dalam buku-buku pelajaran di sekolah-sekolah.

Tetapi, di Amerika Latin pun proses pempribumian menjadi ruwet dengan adanya suatu
perpecahan Latin-Indian. Kebudayaan India pribumi (indegenismo) telah memberi ilham
kepada penulis-penulis dan seniman-seniman, tetapi sejauh ini hal tersebut tidak
mempunyai dampak terhadap ilmu-ilmu sosial. Sebagai kesimpulan, kita harus mengakui
bahwa perdebatan mengenai pempribumian pada tahun 1970-an adalah sautu permulaan
yang mengandung harapan, tetapi sebelum tinggal landas perdebatan itu entah bagaimana
telah terhenti pada permulaannya.(Hettne, 1985: 148 – 168)

Demokrasi dan Pembangunan

Runtuhnya Tembok Berlin pada tahun 1989 mengungkapkan kegagalan total komunisme
sebagai teladan pembangunan berkelanjutan, namun ini tidak memberikan bukti yang
tidak dapat dibantah dari pernyataan yang populer pada masa itu bahwa pembangunan
tidak mungkin tanpa demokrasi. Dokumen kebijakan A World of difference menggariskan
perbedaan dalam hal ini antara apa yang secara moral diminanti dan apa yang sebenarnya
dapat diamati. Walaupun ada dasar yang kuat bagi asumsi bahwa pembangunan
berkelanjutan hanya mungkin dalam konteks tatanan politik berdasarkan kebebasan
perorangan, tidak dapat dipungkiri bahwa tahap pertama proses industrialisasi dan
pemupukan modal tentunya dapat berhasil dengan rezim otorioter atau bahkan totaliter.
Namun demikian, ini sama sekali bukan hukum alam: banyak rezim deposit yang telah
gagal dalam proses lepas landas industri. Dan ada pula beberapa contoh pembangunan
yang berhasil di bawah kondisi pemerintahan yang demokratis.

Dalam hal rezim non-demokratis, stagnasi atau bahkan kemerosotan seringkali terjadi
setelah tahap pertama ini karena tatanan politik yang demikian menjadi hambatan bagi

44
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

pembangunan selanjutnya. A world of difference mencatat bahwa hal ini kini telah terjadi
di sebagian besar negara komunis, karena mereka ingin menguasai seluru proses
pengambilan keputusan ekonomi dari pusat. Namun stagnasi ini dapat juga diperkirakan
terjadi cepat atau lambat di negara-negara dengan rezim otoriter sayap kanan, di mana
himbauan akan hak asasi manusia dan demokratisasi akan menjadi semakin nyaring.
Sementara pengambilan keputusan ekonomi tidak dapat disangkal tidak dipusatkan di
bawah rezim macan ini (meskipun dapat terjadi karena penunjuk dari atas), kurangnya
kebebasan politik pasti akan membuktikan semakin banyak kekurangnya dalam proses
pembangunan yang semakin rumit dan memerlukan otonomi tersendiri yang lebih besar.
Cepat atau lambat kebebasan politik menjadi prasyarat bagi pembangunan ekonomi; tidak
cukup dalam pembangunan ekonomi itu sendiri tetapi merupakan unsur penting. Terlepas
dari itu, nilai kebebasan politik itu sendiri bukan yang terpenting dalam konteks
pembangunan manusia

Bagaimana dengan demokratisasi di seluruh dunia? Pertama-tama perlu dicatat bahwa


gelombang demokratisasi yang dimulai pada tahun 1980-an masih berlangsung.
Akibatnya setidak-tidaknya di Tumur Tengah dan dunia Arab atau Islam pada umumnya.
Namun bahkan di sini terasa adanya pergerakan. Misalnya terjadi liberalisasi politik
yang berhati-hati di Yaman (sejak persatuan kembali) dan Kuwait (sejak Perang Teluk).
Yordania sebagai negara demokrasi Arab yang paling maju berhak disebut dalam hal ini.
Di tempat lain legitimasi sejumlah rezim sekuler Arab-sosialis jelas telah melemah.
Faktor-faktor yang turut menyebabkan melemahnya legitimasi tersebut bukan saja
pembangunan ekonomi yang lamban dan tidak seimbang melainkan juga kejadian-
kejadian di Eropa Timur. Di beberapa tempat, gerakan-gerakan fundamentalis telah
berhasil menarik dukungan rakyat. Namun demikian, dengan pengecualian Iran dan
Sudan, tidak ada negara di kawasan itu yang didasarkan pada prinsip Islam secara
eksklusif. Proses demokratisasi yang dimulai di Aljazair terhenti ketika tampak bahwa
kaum fundamentalis berhasil dalam mengambil-alih kekuasaan melalui pemilihan.

Di Amerika Tengah dan Amerika Selatan sejumlah diktaktor dan rezim militer telah
menurun dratis dan jumlah fungsi demokrasi telah meningkat secara proporsional.
Namun demikian, terlalu jauh untuk menggambarkannya sebagai bentuk pemerintahan
yang stabil. Baik sistem maupun transisi kekuasaan, sungguh-sungguh terlalu dini untuk
membenarkan hal ini. Begitu pula belum ada pemerintahan yang hebat dan efektif di
mana-mana dan masih banyak kekeliruan dalam partisipasi politiuk dari kelompok besar
rakyat miskin dan tersisih. Namun demikian, keseluruhan gambaran demokrasi di benua
ini telah membaik walaupun masih ada pelanggaran hak asasi manusia di sejumlah
negara.

Masih pula terlalu dini berbicara mengenai demokrasi yang stabil di Eriopa Timur.
Transisi dari rezim totaliter ke demokrasi belum cukup terlembaga, dan keseluruhan
transformasi dari satu sistem ke sistem lain masih pada taraf dini. Namun demikian,
kenyataan bahwa demokrasi belum dideskreditkan merupakan tanda penuh harapan
walaupun banyak masalah yang telah menyertai transformasi ini. Kebebasan politik baru
dipergunakan dengan menyenangkan dan hasil pemilu tinggi – tenrtu saja pada mulanya.
Lagi pula perubahan pemerintahan setelah pemilu telah dilakukan secara damai di

45
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

sebagian besar negara Eropa Tengah. Walaupun ada tanda-tanda apati politik yang
meingkat, belum ada alternatif demokrasi yang muncul. Bekas partai-partai komunis
telah menyesuaikan diri pada situasi baru tersebut dan bahkan telah mendapatkan suara
pada pemilihan umum di beberapa tempat dengan kemampuan menampilkan diri
sebagai peserta yang dapat dipercaya dalam proses demokrasi ini. Bahkan di Rusia,
negara yang sistem politik lamanya telah dibuang namun penggantinya masih
merupakan persoalan perjuangan kekuasaan yang sengit, sebagian besar penduduknya
telah menyatakan diri setuju dengan pembaruan demokrasi lebih lanjut dan juga,
mungkin bahkan lebih baik lagi, yakni meneruskan reformasi ekonomi.Walaupun tidak
adanya perbaikan dalam situasi ekonomi dalam jangka panjang dapat,membuat rakyat
negara-negara Eropa Timur lebih rentan terhadap bentuk pemerintahan non-demokratis,
otoriter, hal ini sekarang kurang begitu mengancam terjhadap demokrasi Eropa Timur
yang baru dibandingkan dengan konflik yang diakibatkan oleh nasionalisme dan
etnosentrisme yang membinasakan.

Dengan pengecualian Eropa Timur, tidak ada bagian dunia ini yang telah begitu
terpengaruh oleh revolusi demokrasi tahun 1989, seperti halnya Afrika. Akhir konflik
Timur-Barat mengangkat baisis dukungan internasional bagi rezim otoriter di negara--
negara berkembang. Dari sana Afrika sampai kemudian mendapat banyak contoh.
Pemerintah Afrika tiba-tiba dihadapkan para permintaan dan keinginan yang menekan
secara politis dari rakyatnya sendiri. Penurunan ekonomi yang dimulai pada awal tahun
1980-an serta pengaruh sosial dari program penyesesuaian struktural telah menyebabkan
ketidakpuasan yang menyebar di banyak negara Afrika. Mereka menjadi semakin sulit
untuk menyembunyikan korupsi dan manajemen buruk, yang merupakan ciri
pemerintahan begitu banyak pemimpin Afrika. Sekitar tahun 1990 angin perubahan
politik, liberalisasi politik dan bahkan demokratisasi mulai berhembus di seluruh benua
itu. Tidak banyak negara yang dibiarkan tidak terpengaruh dan bahkan rezim apartheid di
Afrika Selatan terperangkap dalam suasana perubanan umum tersebut. Di banyak negara,
penguasa otokratik menjadi sasaran protes rakyat. Di beberapa negara Frankofon protes
ini mengambil bentuk khas Afrika terdiri atas konferensi nasional dengan para wakil
”masyarakat sipil”, biasanya diketuai oleh seorang pemimpin gereja, menerima keluhan
dan memberikan usulan bagi perubahan politik. Walaupun serangan-serangan terhadap
kedudukan pemimpin nasional itu ada kalanya ditaklukkan dengan kekerasaan, kenyataan
bahwa protes diperbolehkan sejak semula menandakan kebebasan yang meningkat di
negara-negara Afrika. Hal ini juga tercermin dalam peretumbuhan baik kebebasan
berhimpun maupun kebebasan pers di benua ini.

Selain itu semakin banyak negara Afrika yang telah mengalami demokratisasi. Dengan
kata lain, kini telah diperbolehkan adanya lebih dari satu partai politik dan telah
dilaksanakan pemilihan anggota parlemen dan atau presiden yang mengikutsertakan lebih
dari satu partai atau calon indepeden. Dalam tiga tahun terakhir ini pemilihan presiden
semacam itu telah diselenggarakan di 22 negara Afrika semuanya di daerah Sub-Sahara.
Jumlah ini juga mencakup pemilihan anggota parlemen di Kerajaan Lesotho. Sekitar 16
di antaranya dinyatakan ”bebas” dan ”adil”, walaupun hal ini tidak berarti bahwa
pemilihan atau pun proses pemilihan tersebut secara keseluruhan bebas dari
ketidakberesan.

46
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

Kriteria demokrasi penting lainnya, yakni transisi kekuasaan yang damai setelah
seseorang prseiden sedang menjabat dikalahkan, telah dipenuhi dalam sepuluh pemilihan
itu. Hasil pemilihan menyebabkan masalah politik di dua negara – Angola dan Nigeria.
Di kedua negara ini proses pemilihan umum belum memberikan penyelesaian yang
memuaskan.

Pada hakikatnya, setidak-tidaknya 13 negara Sub-Sahara baru-baru ini telah membuat


kemajuan pesat terhadap demokrasi parlementer atau presidensial. Negara-negara
tersebut adalah Benin, Burundi, Tanjung Verde, Kongo, Sao Tome dan Principe,
Seychelles dan Zambia. Ditambah dengan keenam negara demokrasi yang sudah ada,
Botswana, Gambia, Mauritius, Nambia, Senegal dan Zimbahwe, semuanya menjadi 19
negara demokrasi.

Dengan keseluruhan negara Sub-Sahara yang berjumlah 48, tentunya demokrasi masih
merupakan minoritas di belahan dunia ini. Memang dalam hal andil penduduk angka ini
tidak lebih dari 20%. Mayoritas pemimpin Afrika, termasuk dari negara yang terbesar
dan terbanyak jumlah penduduknya, masih belum menyelenggarakan pemilihan umum
yang bebas. Ada yang menyelenggarakan pemilu dan kemudian memanipulasinya untuk
mempertahankan kedudukannya. Hal ini terjadi di Kamerun dan Kenya. Di negara-negara
lain seperti Togo dan Zaire, demokratisasi tertutup sama sekali. Dalam konteks Afrika
Utara yang khas dengan perebutan antara modernisasi sekuler dan fundamentalisme
agama, Aljazair memberikan contoh mengenai demokrasi yang tertunda. Akhirnya, ada
kasus seperti Angola di mana demokratisasi telah dihabisi oleh kembalinya perselisihan
dalam negeri.

Bahkan di negara-negara tempat demokrasi telah dapat memantapkan diri, demokrasi


Afrika yang masih muda ini mungkin dapat berguling dalam menghadapi situasi ekonomi
yang sulit di bagian benua (hal ini digambarkan dengan baik oleh kejadian di Zambia).
Mereka cenderung lemah secara insitusi, baik ekskutif maupun legislatif sering kurang
memiliki otoritas yang efektif, dan masih kurang pengalaman dalam memajukan
partisipasi politik penduduk dalam proses pembangunan. Kompilasi lainnya adalah
kesadaran etnis, yang muncul di berbagai bidang dan mungkin menghasilkan upaya
melepaskan diri dari keadaan sekarang. Perubahan ke sistem multi-partai kemungkinan
besar menggelincirkan proses demokratisasi di Afrika dibandingkan di kawasan lain, jika
saja sistem multi-partai didasarkan pada perbedaan etnis daripada mempertandingkan
program politik.

Namun, suatu faktor penting adalah kesadaran yang meningkat mengenai demokrasi di di
negara-negara yang belum demokratis. Meningkatnya urbanisasi yang meningkat di
Afrika telah menaikkan kesadaran politik rakyat, kemudian memperkuat ”basis” sosial
bagi demokratisasi. Oleh karena itu, dapat dipastikan bahwa seluruh benua dan
liberalisasi politik yang juga muncul di negara-negara yang belum demokratis.
Meningkatnya urbanisasi yang meningkat di Afrika telah menaikkan kesadaran politik
rakyat, kemudian memperkuat basis sosial bagi demokratisasi. Oleh karena itu, dapat
dipastikan bahwa proses demokratisasi di Afrika tidak akan terhenti. Apa yang terjadi di

47
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

negara-negara yang begitu genting seperti Nigeria dan terutama Afrika Selatan, ternyata
sangat penting bagi pembangunan demokrasi Afrika secara keseluruhan dan tentunya
Afrika Sub-Sahara.

Bagian dunia yang masih tidak terkena secara relatif oleh semangat tahun 1989
pembebasan adalah Asia. Hal ini benar paling tidak dalam dua hal. Pertama, Asia
mengbanggakan rezim komunis terakhir masih berjaya (selain Kuba), yakni Cina, Laos,
Korea Utara dan Vietnam. Namun, sebenarnya perlu dicatat bahwa komunisme ini sangat
khusus, terutama di Cina, yakni Lenin tanpa Marx. Dengan kata lain, komunisme dengan
ekonomi berorientasi pasar yang semakin besar di negara berpartai tunggal ini
berdasarkan prinsip-prinsip Lenin. Tentu saja, karena itulah sulit untuk membandingkan
Cina dengan rezim otoriter non-komunisme di wilayah ini.

Namun demikian tampaknya ada kesejajaran. Perkembangan lainnya yang tampak cukup
khas bagi Asia Timur dan Asia Tenggara (dengan pengecualian Jepang, Filipina dan
akhir-akhir ini juga Korea Selatan), adalah baris paksa di bawah pengarahan otoriter
menuju modernisasi ekonomi. Model ini tidak saja terbukti cukup berhasil (walaupun
model ini tidak akan terjadi tanpa kekurangan sosial dan ekologinya), namun telah pula
didukung oleh kesadaran diri yang meningkat. Hal ini antara lain didasarkan pada apa
yang disebut hubungan khusus yang ditentukan secara budaya antara perorangan dan
masyarakat, antara warga dan negara. Unsur kolektif mendapat mendapat tempat penting
dalam model ini daripada seperti yang terdapat dalam konsep Barat mengenai demokrasi
dan hak asasi manusia. Asianisme, sebagaimana yang disebut oleh beberapa media,
belum mengarah misalnya pada pengingkaran sifat universal dari hak asasi manusia.
Namun, dinyatakan bahwa hak –hak tersebut bagaimanapun harus ditentukan dalam
konteks nasional. Karena itu, pembangunan ekonomi mendapat prioritas di atas
demokratisasi dan ”dunia luar” tidak berhak mengatakan pendapatnya mengenai
bagaimana negara-negara tersebut menghormati hak asasi manusia. Walaupun dituliskan
dalam istilah yang agak berbeda, Asianisme ini merupakan pemegang standar gerakan
yang jauh lebih tua, yang sebelumnya merangkul negara-negara komunis dan banyak
negara berkembang lainnya, namun tampaknya gerakan tersebut banyak mengalami
kegagalan setelah tahun 1989. Oleh karena itu, Asianisme akan mendapatkan
kekuatannya kembali tergantung dari keadaan sekitarnya. Asianisme adalah gerakan
pemerintah yang menganggap bahwa ”pangan” harus didahulukan dari “kebebasan” dan
yang juga percaya bahwa dalam hal ini mereka bebas untuk bertindak sesukanya.
Keberhasilan model pembangunan Asia Timur dapat memberikan selubung bagi segala
macam bentuk negara lain yang kurang berhasil dari segi ekonomi tetapi tidak begitu
memperhatikan hak asasi manusia dan tidak menyukai adanya campur tangan dari luar.

Ini merupakan tantangan, dan tanggapan masyarakat internasional terhadap masalah ini
harus berprinsip dan hati-hati. Ini memang terjadi pada Koferensi Hak Asasi Manusia
Dunia yang belum lama ini diselenggarakan di Wina. Ini adalah masalah prinsip
mengenai sifat universal hak-hak asasi manusia dan batas yang seharusnya dikenakan
pada kedaulatan nasional. Dan penerimaannya haruslah hati-hati agar tidak
membuangnya secara gegabah. Sistem demokratis tidak dapat dipaksakan dari luar.
Perbedaan budaya tentunya memainkan peranan dalam membentuk demokrasi walaupun

48
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

daslam Shintoisme, Buddhisme, Konfusionisme, dan Islam Asia Timur memperlihatkan


gambaran budaya yang begitu beragam sehingga bukanlah hal yang sederhana mencari
sari doktrin konsitusional yang seragam dari semuanya itu. Hal ini mengesampingkan
fakta bahwa di bagian lain Asia, masyarakat multi-budaya besar seperti India, telah
bertahun-tahun menjalankan demokrasi dengan cukup baik. Hal berikutnya bahwa
prioritas yang seharusnya, menurut Asianisme, diberikan kepada kolektivitas daripada
perorangan sama sekali tidak mengesampingkan kemungkinan keputusan mengenai ini
diambil oleh mayoritas, dan dengan menghormati hak politik perorangan. Sebaliknya,
banyak budaya, tidak hanya di Barat namun juga di Afrika dan Asia telah lama memiliki
jalan untuk mamaduhkan keinginan pribadi dan kepentingan masyarakat dengan cara
yang menguntungkan, tidak saja pandangan dari mereka yang memerintah, tetapi juga
keinginan dari yang diperintahnya.

Selanjutnya, karena ekonomi pasar dan ekonomi konsumen yang diperkenalkan dengan
cara otoriter di kawasan ini mempunyai daya tarik terutama sekali bagi keinginan dan
pilihan individual, khususnya, dan mendorong keputusan individual hasrat akan
kebebasan dihembuskan secara tidak langsung. Oleh karena itu, perlu menunggu dan
melihat apakah Asianisme terbukti; lebih dari sekedar ideologi pemerintah otokratis dan
apakah, misalnya Asianisme ini mendapat dukungan penduduk Asia Timur sebagai suatu
kesatuan dengan menjadi sadar secara politis. Untuk menaikkan peluang akan kebebasan
berpendapat, masyarakat internasional harus terus menentang cara-cara penindasan
seperti pembunuhan dan penyiksaan dan menjamin agar kemajuan ekonomi tidak
merupakan bagian dari kerja paksa, sebagaimana yang masih tampak di Cina.

Hubungan antara demokrasi dan pembangunan merupakan topik yang sedang banyak
mendapat perhatian dalam kebijakan-kebijakan negara-negara dan organisasi yang
memberikan bantuan. Biasanya mereka menerapkan kriteria pemerintahan yang baik:
cara bagaimana negara menggunakan wewenang politiknya dan kekuasaaan
administratifnya untuk menyalurkan pembangunan sosial dan mengarahkan pengunaan
berbagai sumber daya yang sangat penting bagi proses keberhasilan proses
pembangunan Sampai taraf tertentu ini adalah masalah administratif dan merupakan
perluasan dari manajemen sektor publik, misalnya, sebagai bagian yang diperlukan bagi
program penyesuaian struktural untuk mendukung ekonomi pasar di negara-negara
berkembang. Namun pada taraf yang lebih luas. hal ini secara politis merupakan masalah
yang jauh lebih sensitif, karena melibatkan manajemen yang baik dalam arti memerintah
dengan cara yang bertanggung jawab dan jelas. Dengan meningkatnya perhatian pada
pembangunan manusia, pada nilai yang penting sekali dari individual dalam proses
pembangunan berkelanjutan, ada peningkatan realisasi kebutuhan akan gaya pemerintah
yang tidak menjangkau rakyat tetapi yang memenuhi kebutuhan mereka,dapat diperoleh
dan dapat diramalkan bagi mereka. dan yang dapat mereka pengaruhi. Pada umumnya
pemerintahan semacam ini didukung oleh sistem politik berdasarkan pemisahan
kekuasaan dan transisi kekuasan demokratis, dengan jaminan pengadilan independen dan
norma hukum, dan dengan penghormatan pada hak-hak sipil atau kebebasan. Selain itu,
pemerintahan yang baik berarti tidak adanya koruipsi dan pengeluaran militer yang
berlebihan, yang merugikan proses pembangunan.

49
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

Walaupun realisasi dari nilai pemerintahan yang baik bukan merupakan yang baru, hal ini
sudah lama tumbuh menjadi kepentingan politik, terutama sejak akhir Perang Dingin.
Keengganan yang sebelumnya ada untuk memulai pembicaraan mengenai masalah ini
karena alasan politik, kini sudah hilang. Masalah-masalah demikian juga perlu
dikemukakan jika dukungan masyarakat umum untuk upaya bantuan hendak
dipertahankan. Namun demikian, minat yang tiba-tiba pada pemerintahan yang baik
dipandang dengan kecurigaan oleh banyak negara berkembang Ini bukan saja karena
mereka khawatir akan adanya pembebasan gelombang baru persyaratan untuk mendapat
bantuan, dalam hal ini persyaratan politik, sesudah mengikuti jumlah persyaratan yang
semakin banyak mengenai kebijakan ekonomi mereka. Ini juga karena pemberi bantuan
yang sama sampai belum lama ini siap memanfaatkan pemerintahan yang buruk atau
bahkan mendukungnya dengan alasan kepentingan politik internasional. Dan kecurigaan
telah meningkat dengan cara para pemberi bantuan bilateral dan multilateral dalam
menangani bantuan itu yang ada kalanya tidak dipikirkan terlebih dahulu. Salah satu
contoh adalah kecepatan yang diharapkan dari pemerintah negara-negara berkembang
untuk memasukkan pembaruan. Contoh lain adalah kecenderungan para donator untuk
mensyaratkan supa model pemerintahan Barat diterapkan tanpa perubahan di belahan
dunia lainnya. Dan apabila keinginan yang beralasan dari negara-negara berkembang
untuk mendapat akses pada ekonomi internasional dipertimbangkan, para donator kerap
meredupkan pendapat mereka dengan pandangannya atas kebijakan dalam negeri
negara-negara tersebut, selalu dianggapnya bahwa mereka tidak hanya mengabaikan
keinginan-keinginan itu. Dan negara donator tersebut juga bersedia menggunakan tidak
adanya pemerintahan yang baik sebagai alibi untuk mengurangi upaya bantuannya,
misalnya, apabila motivasi sebenarnya adalah uang.

Namun demikian, perubahan politik di banyak negara berkembang, misalnya di Afrika,


telah menjadikan mereka lebih terbuka pada gagasan-gagasan tentang pentingnya
pemerintahan yang baik. Konsultasi internasional telah dibentuk baik di antara para
donatur dan antara mereka maupun negara-negara berkembang, misalnya, dalam Global
Coalition for Africa (Koalisi Dunia bagi Afrika), dengan maksud untuk meningkatkan
kepaduan kebijakan di kedua pihak. Terdapat konsensus yang semakin besar bahwa
langkah –langkah positif (bantuan untuk meningkatkan pemerintahan yang baik)
hendaknya menjadi peraturan, sedangkan langkah-langkah negatif (dengan syarat)
menjadi pengecualian. Contoh-contoh dari yang pertama adalah bantuan untuk
membantu mendirikan pemerintahan dan lembaga-lembaga peradilan yang efisisen,
untuk membentuk budaya demokratis baik dari bawah (partisipasi) dan dari atas
(pemerintah yang bertanggung jawab), untuk mengawasi proses pemilihan umum, untuk
melawan korupsi dan untuk mendemobilisasi masyarakat yang bersenjata.

Dengan banyaknya negara berkembang yang kurang berpengalaman dalam manajemen


sektor publik yang modern, maka untuk mencapai pemerintahan yang baik sebagian besar
merupakan masalah ketekunan dan keinginan untuk belajar dari kesalahan yang biasanya
selalu banyak. Namun demikian, para donatur hendaknya tidak mempunyai gagasan yang
berlebihan mengenai apa yang mungkin dilakukan dalam jangka pendek, selalu ada
alasan untuk mendukung jasa pemerintah dan lembaga-lembaga swasta di negara-negara
berkembang berusaha keras mencapai peningkatan abadi dalam administrasi peradilan

50
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

dan dalam kebebasan sipil dan politik. Selain itu, para donatur dibenarkan karena alasan
kebijakan pembangunan dalam mengurangi atau bahkan menghentikan cadangan bantuan
apabila terdapat pelanggaran hak asasi manusia secara nyata maupun sistematis,
demokrasi yang gawat serta pengeluaran militer yang berlarut-larut dan berlebihan dari
negara penerima bantuan. (Pronk, 1994: 26 – 39)

Penutup

Lebih dari empat dekade, bidang studi pembangunan telah didominasi oleh tiga aliran
pemikiran, yakni modernisasi, teori ketergantungan, dan teori sistem dunia. Tiga aliran
pemikiran ini lahir dan tumbuh dalam konteks sejarah yang berbeda. Ketiga persepektif
ini dipengaruhi oleh tradisi teori yang berbeda, karya kajiannya dilandasi oleh asumsi
yang berbeda. dan oleh karena itu implikasi kebijaksanaan pembangunan yang
ditawarkannya pun berbeda.

Setelah mendapat kritik, masing-masing teori ini melakukan modifikasi terhadap asumsi
dan penjelasan pokoknya, dan kemudian melakukan seperangkat penelitian baru untuk
menjawab kritik yang telah diterima.

Teori modernisasi muncul di tahun 1950-an, ketika Amerika Serikat menjadi negara
adikuasa dunia. Ilmuwan sosial Amerika Serikat kemudian mendapat tugas baru untuk
merumuskan program diperlukan untuk melakukan modernisasi negara Dunia Ketiga
yang baru merdeka. Dengan hampir sepenuhnya dipengaruhi oleh teori evolusi, ilmuwan
sosial ini merumuskan modernisasi sebagai satu proses yang bertahap, tidak berbalik,
maju dan berjangka panjang menuju ke arah seperti yang telah dicapai oleh Amerika
Serikat. Dengan dipengaruhi oleh teori fungsionalisme, ilmuwan sosial ini melihat
modernisasi sebagai hal yang berlawanan dengan tradisi. Oleh karena itu, mereka
mengajukan gagasan agar negara Dunia Ketoiga melakukan transformasi nilai-nilai
tradisioonalnya, mengikuti dan meniru nilai-nilai budaya Amerika serta menggantungkan
bantuan dan hutang dari Amerika. Namun demikian ketika teori modernisasi berada
dalam serangan kritik di akhir tahun 1960-an. para pemerhatinya mulai merubah
beberapa asumsi dasarnya. Tema terakhir yang muncul kepermukaan dari teori ini terlihat
misalnya pada pengakuan peran nilai tradisional terhadap pembangunan. Perubahan yang
cukup mendasar ini telah mengakibatkan terbukanya jendela baru masalah-masalah
penelitian yang kemudian nampaknya telah dilakukan oleh pemerhati teori modernisasi
dengan cukup baik.

Jika teori modernisasi lebih merupakan produk Amertika Serikat, maka akar teori
ketergantungan tertanan di negara Dunia Ketiga. Tepatnya, teori ketergantungan lahir
sebagai tanggapan atas gagalnya program KEPBBAL dan merupakan kritik terhadap
Marxisme ortodoks di negara-negara Amerika Latin pada awal tahun 1960-an. Dengan
hampir sepenuhnya mendasarkan diri pada rumusan radikal KEPPBAL dan teori neo-
Marxist, teori ketergantungan merumuskan hubungan antara negara Barat dengan negara
Dunia Ketiga sebagai hubungan yang dipaksakan, eksploitatif, ketergantungan.
Hubungan ekonomi yang terjadi bukan merupakan jenis keterkaitan yang menyebabkan

51
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

terjadinya pembangunan negara Dunia Ketiga. Oleh karena itu, teori ketergantungan
mengajukan sarannya kepada negara Dunia Ketiga untuk melepaskan hubungan dan
keterkaitannya dengan negara Barat, jika negara Dunia Ketiga hendak mencapai
pembangunan yang independen dan otonom. Namun demikian ketika teori
ketergantungan mendapat serangan kritik pada awal tahun 1970-an, para pemerhatinya
negara melakukan modifikasi asumsi dan penjelasan teoritis pokoknya. Perubahan yang
terakhir yang terjadi terlihat pada pernyataannya bahwa situasi ketergantungan bukan
hanya merupakan ketergantungan ekonomis, tetapi juga merupakan ketergantungan sosial
politik. Ketergantungan bukan hanya merupakan persoalan eksternal tetapi juga sekaligus
terkait dengan struktur sosial internal. Lebih dari itu, teori ketergantungan kini tidak
dapat lagi melihat bahwa ketergantungan dan pembangunan merupakan dua hal yang
selalu dan harus bertolak belakang. Baginya, ketergantungan dan pembangunan dapat
dengan damai hidup berdampingan satu sama lain. Perkembangan baru ini telah
menjelaskan munculnya serangkaian karya penelitian baru

Teori lainnya adalah teori sistem dunia. Teori ini merupakan aliran pemikiran yang
paling belakang studi pembangunan. Teori ini menawarkan orientasi panafsiran baru
terhadap berbagai peristiwa penting di tahun 1970-an, seperti misalnya industrialisasi
Asia Timur. krisis negara sosialis dan hadirnya gelombang bariu kolonialisme.
Dipengaruhi oleh teori ketergantungan dan ajaran Annales Perancis, teori sistem dunia
ini menekankan akan pentingnya analisas totalitas dan berjangka panjang. Oleh karena
itu unit analisa yang tepat, menurut perspektif ini, adalah keseluruhan dunia, yang
merupakan salah satu sistem yang menyejarah yang terdiri dari tiga strata, yaitu sentral,
semi-pingggiran dan pinggiran. Teori sistem dunia ini menyatakan bahwa pada akhir
abad ke-20 tata ekonomi kapitalis dunia ini akan mencapai satu tahap transisi yang
daripadanya satu pilihan sejarah harus dilakukan untuk merubah keseluruhan proses dan
arah sejarah umat manusia. Seperti pada kedua teori pembangunan yang lain, ketika teori
sistem dunia ini dengan gencar mendapat kritik, pemerhatinya tidak segan-segan untuk
melakukan modifikasi terhadap asumsi dan penjelasan teoritis pokoknya. Pada versi
yang telah diperbarui ini, konsep sistem dunia tidak dilihat sebagai satu kekuatan yang
materiil, tetapi lebih sebagai alat analisa penelitian. Hasil kajiannya tidak lagi
sepenuhnya berorientasi pada skala dunia, tetapi juga telah memperhatikan skala
nasional. Lebih dari itu, analisa kelas juga telah dipraktekkan untuk membantu analisa
stratifikasi yang sejak awal memang telah diperhatikan. Modifikasi ini telah
menghasilkan satu rangkaian hasil karya penelitian. (Suwarsono, 1991: 257 – 259)

Dewasa itu kita menyaksikan suatu peristiwa krisis pembangunan. Kapitalism di Asia
Timur yang selama ini dijadikan teladan keberhasilan pembangunan dan keberhasilann
kapiatlisme Dunia Ketiga tengah mengalami kebangkrutan. Banyak orang orang mulai
meramalkan bahwa era saat ini sebagai dari era pembangunaisme, suatu proses perubahan
sosial pasca Perang Dunia II yang dibangun di atas landasan paham modernisasi menuju
babak-babak akhir. Namun, di negara-negara pusat kapitalisme, muncul jawaban untuk
mempercepat laju kapitalisme, bahkan jawaban itu telah lama disiapkan bahwa sejak
krisis kapitalisme memasuki tahun 1930-an. Jawaban itu adalah globalisasi kapitalisme.

52
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

Krisis terhadap pembangunan yang terjadi saat ini pada dasarnya merupakan bagian dari
krisis sejarah dominasi dan eksploitasi manusia atas manusia yang lain, yang
diperkirakan telah berusia lebih lima ratus tahun. Proses sejarah dominasi itu pada
dasarnya melalui tiga periode formasi sosial. Diawali dengan periode kolonialisme yakni
fase perkembangan kapitalisme di Eropa yang mengharuskan ekspansi secara fisik untuk
memastikan perolehan bahan baku mentah. Melalui fase inilah proses dominasi dengan
segenap teori perubahan sosial yang mendukungnya telah terjadi dalam bentuk
penjajahan secara langsung selama ratusan tahun. Meskipun banyak negara Afrika baru
merdeka tahun 1970-an, yang secara resmi umumnya dianggap zaman berakhirnya
kolonialisme adalah pada saat terjadinya revolusi banyak negara jajahan segera setelah
terjadinya revolusi banyak negara segera setelah beakhirnya Perang Dunia II.

Kemudian memasuki periode neo kolonialisme dengan modus yang berbeda. Ia melalui
penjajahan teori dan ideologi. Periode yang sering disebut era developomentalisme ini
didominasi negara-negara bekas penjajah terhadap bekas koloni mereka tetap
dipertahankan melalui kontrol terhadap teori dan perubahan sosial mereka. Dalam kaitan
itulah sesungguhnya teori pembangunan menjadi bagian dari media diominasi karena
teori tersebut direkayasa untuk menjadi paradigma dominan untuk perubahan sosial
Dunia Ketiga oleh negara Utara. Dengan kata lain, pada fase jedua ini kolonisasi tidak
terjadi secara fisik, melainkan melalui hegemoni yakni dominasi cara pandang dan
ideologi serta diskursus yang dominan melalui produksi pengetahuan. Pembangunan
memainkan peranan penting dalam fase kedua ini, yang akhirnya juga mengalami krisis.

Krisis terhadap pembangunan belum berakhir, tetapi suatu mode of domination telah
disiapkan, dunia memasuki era baru yakni era globalisasi. Periode yang terjadi menjelang
abad duapuluh satu, ditandai dengan liberalisasi di segala bidang yang dilakukan melalui
structural adjustment program oleh lembaga finasialglobal, danm disepakati oleh rezim
GATT dan WTO. Sejak itu era neo kolonialisme telah tergantikan oleh periode
globalisasi.Proses globalisasi ditandai dengan pesatnya perkembangan paham
kapitalisme. yakni kian terbuka dan mengglobal peran pasar, investasi dan proses
produksi dari perusahaan-perusahaan tranasional, yang kemudian dikuatkan oleh ideologi
dan tata dunia perdagangan baru di bawah suatu aturan yang ditetapkan oleh organisasi
perdagangan besar secara global. Namun, globalisasi muncul bersamaan dan menjadi
bagian dari fenmomena runtiuhnya pembangunan di Asia Timur. Era baru yang dikenal
dengan globalisasi tersebut mencoba meyakinkan rakyat miskin di Dunia Ketiga seolah-
olah merupakan arah baru yang menjanjikan harapan kebaikan bagi umat manusia dan
menjadi keharusan sejarah manusia di masa depan. Namun globalisasi juga melahirkan
kecemasan bagi mereka yang memikirkan permasalahan sekitar pemiskinan rakyat dan
marjinalisasi rakyat, serta persoalan keadilan.

Secara teoritis sebenarnya tidak ada perubahan ideologi dari ketiga periode zaman
tersebut, bahkan semakin bertumbuh canggih pendekatan, mekanisme dan sistem yang
secara ekonomis berwatak eksploitatif, secara politik berwatak represif, dan secara
budaya berwatak hegemonik dan diskursif, dan sebagaian kecil elit masyarakat yang
dominan terhadap rakyat kecil.(Fakih, 2003: 200 – 211)

53
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

Akhir-akhir ini, diakui secara luas bahwa ketimpangan internasional telah memburuk
selama 30 tahun terakhir. Kenyataan ni sebagian besar dapat dikaitkan dengan sifat
ekonomi dunia kapitalis yang eksploitatif. Wajah dunia kita hari ini, bukan semakin
damai dan adil, ia malah terus dijejali bertumpuk problem sosial-ekonomi-politik yang
semakin pelik. Hans Kung melukiskan nestapa ini secara cukup dramatis.

Situasi dunia semakin suram. Manusia tak henti-hentinya didera pelbagai krisis fundamental dan
mondial; krisis ekonomi dan ekologi global akibat paralisis kepemimpinan politik yang miskin visi besar.
Ratusan juta manusia menderita kemiskinan, pengangguran dan kelaparan. Planet bumi terancam
kepunahan ekosistem. Ketegangan antarnegara, antargenerasi, dan bahkan antar jenis kelamin semakin
memanas Anak-anak bergelimpangan, terbunuh atau terpaksa membunuh. Pemerintah di banyak negara
semakin bobrok akibat menjamurnya birokrasi dan pebisnis semakin yang korup. Konflik sosial, rasial dan
etnik semakin menjadi-jadi. Penyalahgunaan obat, kejahatan semakin menjadi-jadi. Pengunaan obat,
kejahatan semakin terorganisir dan anarkis. Perdamaian tidak kunjung tiba akibat tingkah-pola para
penguasa politik dan agama yang m akin suka saling menghasut, membenci, xenophobia dan sikap dengan
menggunakan standard ganda. Perilaku semakin menjijikan, cabul, dan memuakan. Sempurnalah, kebejatan
zaman. Seolah-olah, apa yang masih tersisa di banyak batok kepala manusia modern hanyalah utopis gelap
dengan kerisauan akan nasib masa depan yang semakin menakutkan dan benar-benar menyeramkan.(Hans
Kung, 1999: xxxi – xxxxii)

54
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

Bibliografi

Alatas, Syed Hussein.”Modernisasi yang sesat: Dilemma Masyarakat sedang berkem


bang,”dalam Atai dan Pieris. 1980. Kritik Asia terhadap Pembangunan. Jakarta:
Yayasan Ilmu –ilmu Sosial.

Arndt, HW.1992. Pembangunan Ekonomi. Studi tentang Sejarah Pemikiran Jakarta:


LP3ES.

Budiman, Arief. 1996. Teori Pembangunan Dunia Ketiga. Jakarta Gramedia Pustaka
Utama.

Clements, Kevin P. 1997. Teori Pembangunan. Dari Kiri Ke Kanan. Yogyakarta:


Pustaka Pelajar.

Dopler, Kurt. 1985 Ilmu Ekonomi Masa Depan. Menuju Paradigma Baru. Jakarta:
LP3ES.

Drucker, Peter F.”Ekonomi Dunia yang Telah Berubah.”Analisa CSIS, Tahun XVI,
No. 3, Maret 1987, hlm. 253 – 276.

Evers,Hans Dieter (ed) 1988.Teori Masyarakat; Proses Peradaban Dalam Sistem Dunia
Modern. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Fakih, Mansour.2001. Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi. Yogyakarta:


Insist Press dan Pustaka Pelajar.

Forbes, Dean K.1986 Geografi Keterbelakangan. Sebuah Studi Kritis Jakarta: LP3ES.
Goldthorpe, JE. 1992. Sosiologi Dunia Ketiga. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama

Hette, Bjorn. 1985. Ironi Permbangunan di Negara Berkembang. Jakarta: Sinar Hara
pan.

Kung, Hans dan Karl-Josef Kuschel.1999 Etika Global. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Moeljarto.1995 Politik Pembangunan. Sebuah Analisis Konsep, Arah dan Strategi.


Yogyakarta: Tiara Wacana.

Poespowardojo, Soerjanto 1993. Strategi Kebudayaan. Suatu Pendekatan Fisolofis.


Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

55
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

Pronk, Jan P.1994 Pertikaian Merebak Dunia. Survei tentang Batas-Batas Kerja Sama
Pembangunan Survei tentang Batas-batas Kerja Same Pembangunan. Jakarta: Yayasan
Obor Indonesia.

Roxborough, Ian. 1986. Teori-Teori Keterbelakangan. Jakarta: LLP3ES.

Seers, Dudley.”Arti Pembangunan.”dalam Amir Effendi Siregar. 1999. Arus Pemikir


an Ekonomi Politik.Esai-Esai Terpilih. Yogyakarta: Tiara Wacana.hlm. 107 – 130

Setiawan, Bonnie. 1999. Peralihan Ke Kapitalisme Di Dunia Ketiga. Teori-Teori Radi


dal Dari Klassik sampai Kontemporer. Yogyakarta: Insist Pres dan Pustaka Pelajar

Simandjuntak, Djisman S,”Model-Model Pembangunan dan Kenyataan Kebijakan Eono


mi”Analisa CSIS, Tahun XIV, NO. 12, Desember 1985.Hlm. 1025 – 1040.

Soedjatmoko. 1984 Pembangunan dan Kebebasan. Jakarta: LP3ES.

Stiglitz, Joseph E. 2005. Dekade Keserakahan. Era”90-an dan awal mula petaka Eko
nomi Dunia. Tangerang. Marjin Kiri.

Suseno, Frans Magnis.”Perspektif Etis Pembangunan,”dalam M Sastrapratedja et al.


Menguak Mitos-Mitos Pembangunan. Telaah Etis dan Kritis. Jakarta: LP3ES.
Hlm. 352 – 369.

Suwarsono dan Alvin Y So. 1991. Perubahan Sosial dan Pembangunan di Indonesia.
Jakarta: LP3ES.

Yayasan SPES. 1992. Pembangunan Berkelanjutan, Mencari Format Politik. Jakarta:


LP3ES .

56
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com

You might also like