You are on page 1of 43

Peter Kasenda

Menelusuri Bisnis Tionghoa

Ada krisis, ada kesempatan


(Pepatah Tionghoa)

Bisnis adalah suatu usaha rasional untuk mengejar keuntungan , dengan keberanian
menghadang resiko kerugian . Kiat berbisnis memang terletak pada keberanian
kemampuan seseorang untuk memikul calculated risk dari usahanya , dan hal itu sangat
bersifat individual . Individu yang mempunyai keberanian dan kemampuan tersebut
terdapat pada berbagai etnik . Keberanian dan kemampuan itu sendiri sampai pada taraf
tertentu dapat diajarkan dan dilatihkan kepada mereka yang benar-benar berminat untuk
itu . Salah satu program untuk itu adalah Achieving Society Training (AMT ) . David
McCelland pernah menulis tentang nAch virus dalam bukunya yang terkenal , The
Achieving Society . Dengan kata lain , pada dasarnya kemampuan berbisnis dapat
diajarkan kepada etnik mana pun juga , khususnya pada golongan-golongan yang telah
mempunyai kesedian mental untuk “bertualangan “ mengejar kepentingan sendiri , dalam
suasana yang sangat kompetetif , dengan pilihan untung atau rugi , menang atau kalah .
Dalam segi tuntutan afektivitas dalam berusaha , memang terdapat kesejajaran asntara
kiat bisnis dan perang .Mereka yang ingin bergerak dalam kedua bidang ini harus
mengenai sasarannya dengan jelas , mengenai mana kawan dan lawan . Bukankah suatu
hal yang kebetulan bahwa dalam buku Seni Perang karya Sun Tzu memperoleh perhatian
para ahli manajemen bisnis . Seperti halnya seni berperang dapat dipelajari , seni
berbisnis juga dapat dipelajari . Tidak ada yang rahasia mengenai kedua hal itu .

Tingkah laku kewiraswastaan

Para ahli perkembangan ekonomi mengakui akan pentingnya peranan tingkah laku
kewiraswastaan dalam melajukan perkembangan ekonomi suatu bangsa . Untuk
berlangsungnya tahap take –off dari teori perkembangan ekonominya , Walter W Rostow
mensyaratkan adanya keberhasilan kegiatan beberapa kelompok masyarakat yang
disebutnya kewiraswastaan Joseph A Schumpeter berpendapat bahwa wiraswasta adalah
kelompok yang menggerakan perekonomian masyarakat untuk maju ke depan . David C
McCelland yang menganalisa perkembangan ekonomi dan motivasi psikologis antar
bangsa menyimpulkan bahwa perkembangan ekonomi menghendaki adanya tingkahlaku
kewiraswastaan di kalangan bangsa itu . Menurut McCelland ramuan essensial untuk
terbentuknya tingkahlaku kewiraswastaan adalah motivasi berprestasi atau motivasi
pencapaian . Everett Hagen yang menganalisa perkembangan ekonomi dalam
hubungannya dengan tingkah laku manusia , menitikberatkan pada tumbuhnya
kepribadian kewiraswastaan ( terutama sekali innovational personality ) untuk melajukan
perkembangan bangsa-bangsa yang telah lebih daulu maju menunjukan bahwa semakin
maju menunjukkan bahwa semakin maju perekonomian sesuatu bangsa , semakin banyak
1
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

modal yang dimanfaatkan untuk menemukan teknik-teknik perbaikan cara berproduksi ,


untuk menemukan bentuk-bentuk barang baru , untuk mencari dan membuka pasaran dan
daerah pasar baru , untuk menemukan sumber-sumber baru dari faktor produksi , dan
untuk menemukan cara-cara yang lebih efisisen dalam berorganisasi dan menata-laksana
Usaha-usaha tersebut mengharuskan tidak saja terdapatnya “orang-orang baru “ , tetapi
juga harus adanya “tingkah laku baru “ dari manusia yang ada yang mampu menciptakan
ikhtiar-ikhtiar di atas itu . Perekonomian sesuatu masyarakat dapat menjadi mandeg ,
bukan karena tidak terdapat atau langkahnya modal atau kesempatan-kesempatan yang
menguntungkan tetapi justru karena tidak terdapat atau langkahnya tingkahlaku
kewiraswastaan yang dapat menjadi tenaga penggerak esensial untuk mewujudkan
keuntungan-keuntungan yang tadinya tidak kentara . Wiraswasta , karenanya , adalah
penggerak utama daripada ivestasi-investasi baru . Jika tingkah laku kewiraswastaan
tersebar agak merata dalam sesuatu masyarakat , pemimpin-pemimpin masyarakat dalam
banyak bidang kehidupan akan bertumbuh subur , dan sistem masyarakat tersebut akan
berkembang dengan baik dan sinambung .

Menurut Schumpeter , fungsi wiraswasta ( entrepreneur ) adalah melakukan tugas


gabungan dari tugas-tugas memperkenalkan barang atau hasil produksi baru,
memperkenalkan suatu cara berproduksi yang lebih maju , membuka pasaran atau daerah
pasar baru , merebut sumber-sumber bahan mentah atau bahan setengah jadi yang baru
dari perusahaan dan industri . Fritz Redlich melihat fungsi kewiraswastaan atas tiga
tumpuan yaitu pemodal , penatalaksanaan , dan wiraswataan . Pemodal adalah yang
melepaskan modal uang dan modal non-manusiawi lainnya untuk perusahaan ,
penatalaksana adalah pengkoordinir dan pengawas kegiatan-kegiatan produksi , dan
wiraswasta adalah perencana , penemu ide baru , dan pengambil keputusan akhir dari
usaha produksi . McCelland memberikan konsep tingkahlaku kewiraswastaan sebagai
pengambil resiko yang moderat , pengetahuan terhadap hasil dari keputusan-keputusan
yang diambil , mengetahui terlebih dahulu terhadap kemungkinan-kemungkinan yang
bakal terjadi , penuh semangat dan memiliki ketrampilan berorganisasi .

Perbedaan antara wiraswasta ( entrepreneur ) dengan tingkahlaku kewiraswastaan


( entrepreneurial behavior ) perlu dipertegas .Wiraswastaa adalah manusia yang
melakukan semua atau beberapa fungsi kewiraswastaan . Tingkahlaku kewuraswastaan
adalah kegiatan-kegiatan sosial yang polanya dicirikan oleh unsur-unsur kewiraswataan .
Misalnya, jika kita terima kriteria penuh semangat yang diberikan oleh McCelland
sebagai suatu ciri kewiraswastaan , tak dapat dibantah bahwa seorang wiraswasta tertetu
dapat tidak memiliki ciri penuh semangat yang sekaligus berarti tidak memiliki salah satu
cirri tingkahlaku kewiraswastaan . Sebaliknya , seorang tukang buang sampah, penyapu
jalan , seorang professor , ataupun seorang petugas partai politik dapat memiliki ciri
penuh semangat dalam tatakerjanya sehari-hari , berarti tukang buang sampah dan
semuanya itu dapat memiliki ciri tingkahlaku kewiraswastaan . Demikian pula dengan
petani dan pemegang profesi yang lain . Dan begitu pula untuk ciri-ciri yang lain dari
tingkahlaku kewiraswataan .

Dalam hal ini ciri-ciri apa sajakah yang membentuk tingkahlaku kewiraswastaan itu ?
Dengan bahasan-bahasan terhadap pemikiran-pemikiran terdahulu , saya mengkonsepkan

2
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

bahwa tingkahlaku kewiraswastaan dibina oleh lima ciri utama yaitu menerima atau
menemukan ide-ide (innovational ), pembinaan modal ( capital accumulation ),
kepemimpinan ( leadership behavior ), keinginan mengambil resiko ( risk-taking
behavior ) , dan menata-laksana ( managerial behavior ) .

Innovational adalah tingkahlaku menemukan dan menerima ide-ide baru dalam cara-cara
berproduksi dan melembagakan tatakerja . Pembinaan modal adalah ciri menginginkan
pemupukan modal yang dimanfaatkan untuk kelangsungan dan pengembangan proses
produksi selanjutnya . Kepemimpinan menunjukan ciri merangsang , melaksanakan , dan
mengarahkan kepada tujuan-tujuan proses produksi . Keinginan mengambil resiko
dicirikan oleh usaha untuk mempertimbangkan dan menerima resiko yang layak dalam
menghadapi ketidakpastian pengambilan keputusan . Menatalaksana adalah cara
merencanakan , mengkoordinir , melaknsakan , mengawasi dan mengevaluasi kegiatan-
kegiatan produksi .

Tingkahlaku kewiraswastaan dapat diamati pada dua tingkat yaitu pada tingkat
pemikiran, tingkahlaku kewiraswastaan merupakan pemikiran dan keinginan untuk
bertingkah-laku sebagai wiraswasta . Dapat digambarkan bahwa seorang petani dapat
memiliki pemikiran dan keinginan yang tinggi dalam menemukan dan menerima ide-ide
baru , pembinaan modal, kepemimpinan , pengambil resiko , dan menata-laksana . Tetapi,
pada tingkat senyatanya, yaitu dalam kenyataan sehari-hari pelaksanaan usaha taninya ,
petani yang sama mungkin menunjukkan tingkat kewiraswastaan yang rendah ,
dikarenakan batas-batasan tertentu . Yang menarik untuk dipersoalkan adalah mengapa
petani yang memiliki tingkahlaku kewiraswastaan rendah pada tingkat senyatanya . Atau
sebaliknya , mengapa petani yang memiliki tingkahlaku kewiraswataan rendah pada
tingkat pemikiran tapi menunjukkan tingkahlaku kewiraswastaan tinggi pada senyatanya .
Dengan kata lain, perubah-perubah apa yang menentukan tinggi rendahnya tingkahlaku
kewiraswastaan itu . ( Azis, 1978 : 58 – 61 )

Wiraswasta Tionghoa di Asia Tenggara

Orang Tionghoa di Asia Tenggara adalah minoritas yang kukuh dan berperan sebagai
kaum kapitalis dalam negeri . Karena itu , kapitalisme Asia Tenggara tidak terpengaruh
oleh suku bangsa kelas pengusahanya . Watak internasional dari penyebaran orang
Tionghoa perantauan jelas memberi keleluasaan kepada bentuk badan usaha dan
penempatan modal orang Tionghoa di Asia Tenggara , tetapi hal ini bukanlah perbedaan
yang mendasar dan dalam kebangkitan kapitalisme Asia akhir-akhir ini jelas sangat
menguntungkan perekonomian Asia Tenggara . Masalah-masalah yang dirasakan terkait
dengan dominasi kegiatan usaha oleh orang Tionghoa , sebagian bersumber pada
kecemasan akan kemungkinan munculnya reaksi politik golongan pribumi , dan sebagian
lagi implikasi , yang telah disinggung sebelumnya , dominasi itu bahwa itu berarti
penduduk asli Asia Tenggara tidak mampu bersaing dalam dunia kapitalis .

Argumen-argumen yang menjelaskan peranan penting orang Tionghoa yang terus


berlanjut dalam perekonomian kawasan ini , merski memang ada menyinggung faktor-

3
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

faktor sejarah dan ekonomi , cenderung menonjolkan faktor kebudayaan sebagai


penjelasan utama secara singkat , bahwa orang Tionghoa Asia Tenggara mempunyai
sustu sistem nilai yang menghargai sukses dalam dunia usaha dan memupuk perilaku
suka berusaha , sementara penduduk pribumi tidak memiliki sistem nilai semacam itu .
Kewirausahaan orang Tionghoa perantauan tampak jelas sekali , dan demikian pula
tiadanya peran serta orang pribumi dalam dunia usaha . Karena watak bangsa sesuatu
yang kita pandang boleh dikatakan tidak berubah-ubah , argumen dari segi kebudayaan
itu tampak sangat kuat .

Tetapi, meski argumen ini ada benarnya , kita cenderung lupa bahwa bahwa peran
ekonomi orang Tionghoa perantauan ini masih baru dan ditentukan oleh faktor-faktor
sejarah-politik yang tidak ada hubungnya dengan kebudayaan Tionghoa . Tidak ada
batu-batu kewiraswataan sama sekali di negeri Tiongkok tempat asal imigran ke Asia
Tenggara itu . Seperti kita ketahui , para imigran Tionghoa meninggalkan suatu
masyarakat yang tidak mampu mengadakan pembaruan dan ini menurut para pengamat
asing karena pengaruh mematikan “ tata nilai Konfusius “ . Namun ini tidak berarti kita
tidak perlu lagi memperhitungkan ciri-ciri budaya dengan sungguh-sungguh tata nilai itu
penting memang , tetapi tata nilai harus dilihat dalam kerangka latar belakang sosial dan
sejarah . . Bukan hanya bahwa pengamat dari luar terlalu tergesa-gesa menggunakan
perbedaan budaya untuk menjelaskan fenomena yang ternyata tidak demikian , tetapi
juga bahwa anggota masyarakat yang bersangkutan mungkin saja dengan berjalannya
waktu mempunyai penafsiran yang sangat berbeda mengenai cara hidup mereka.

Dengan kata lain , manusia berubah . Tradisi budaya manapun mempunyai banyak
untaian makna , yang mungkin diutamakan , dilupakan , dan ditafsirkan kembali untuk
dasar bagi perilaku yang sangat berbeda . Dalam tradisi Melayu hingga sekarang ,
falsafah mencari rejeki menunjukkan suatu kesedian tertentu untuk mengambil resiko
dan agak menyimpang dari garis nilai budaya itu, tetapi jika peran serta orang Melayu
dalam dunia usaha terus makin dalam , mungkin sekali kita akan menyaksikan falsafah
mencari rezeki itu dianggap ( oleh orang Melayu dan orang luar ) sebagai akar
kewiraswataan pribumi . Di masa lampau , penguasa Bali memberikan peran saudagar
kepada rakyat mereka yang beragama Islam karena berdagang dianggap kepandaian
khusus orang Islam ,. dan jelas himpunan-himpunan dagang dan berwatak kota orang
Islam akan lebih sering disebut-sebut bila kapitalisme mekar di negara-negara yang
berpenduduk orang Islam . Pengamatan-pengamatan baru mengenai peran sejarah raja-
raja Siam sebagai “ saudagar besar “ jelas , secara sadar atau tidak , dipengaruhi oleh
sikap baru bahwa tata nilai Thailand tidak bertentangan dengan kemampuan
berwiraswasta .

Meskipun kaum imigran Tionghoa telah lama memainkan peran penting dalam
perekonomian dan masyarakat Asia Tenggara . kehadiran mereka secara besar-besaran
baru mulai pada abad kesembilan belas , pada waktu kawasan itu , khususnya dibawah
pimpinan Eropa, dimasukkan ke dalam sistem kapitalis dunia yang sedang berkembang
pesat . Daripada mengerahkan penduduk petani setempat dan menjauhkan mereka dari
tanah mereka, para penguasa berpikir akan lebih mudah , dan tidak akan terlalu mengusik
hierarki lokal yang dianggap amat penting untuk menjaga ketertiban , untuk memasukkan

4
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

orang luar untuk bekerja sebagai kuli dan menempati lapisan-lapisan bawah dunia
industri dan perdagangan . Orang Tionghoa mudah diperoleh , karena ada kekacauan di
negeri mereka . Pada akhirnya , di berbagai kawasan Asia Tenggara berkembang sistem
tiga lapis, lapis atas dunia usaha ditempati orang Eropa , lapis tengah oleh Tionghoa ,
sedangkan penduduk pribumi dibatasi pada perdagangan kecil-kecilan . Orang pribumi
adalah petani atau pejabat ( kalau keturunan priyayi ) , dan setiap kecenderungan yang
mereka kembangkan untuk kemajuan yang bersifat usaha dipatahkan , kalau bukan
disengaja , oleh mekanisme sistem itu . Dengan beradaptasi pada lingkungan barunya ,
kaum imigran Tionghoa berakulturasi dengan gaya hidup kelompok berkuasa , sebagian
besar orang Barat , dan ini mengakibatkan jarak imigran Tionghoa dengan elite pribumi
makin renggang . Hanya di dua negeri saja hal ini tidak terjadi “ di Siam dan Filipina .
Dalam hal Siam , karena elite pribumi tetap memegang kekuasaan politik ( kalau bukan
ekonomi ) , sedangkan dalam hal Filipina , karena di bawah kekuasaan Spanyol , telah
muncul , secara berangsur-angsur , suatu elite pribumi pemilik tanah yang kuat dan dari
segi budaya menganut gaya hidup Spanyol ( Hispanicised ) ; golongan elite ini , terutama
karena terlibat dalam perkebunan tebu pada abad kesembilan belas , darti segi ekonomi
terlibat dalam , berhutang kepada , dan akhirnya kawin campur dengan pemilik pabrik
dan saudagar Tionghoa yang sukses . Tidak menherankan jika di kedua negeri Asia
Tenggara ini , Filipina dan Thailand : “ masalah Tionghoa “ tidak terlalu mengganggu
pada masa akhir-akhir ini .

Hubungan antara masyarakat Tionghoa dan masyarakat pribumi di Malaysia dan


Indonesia jauh lebih banyak diwarnai persoalan . Hal; ini sering dianggap mencerminkan
kurangnya keserasian antara budaya Tionghoa dan Budaya Islam , tetapi ini barangkali
satu lagi contoh bagi kebiasaan mengatakan sesuatu budaya kaku dan tidak berubah ,
padahal tidaklah demikian halnya . Perbedaan budaya , sebenarnya berperan memperjelas
dan melebih-lebihkan perbedaan-perbedaan besar yang timbul karena alasan kepentingan
Apa yang kita lihat di Malaysia dan Indonesia sejak berakhirnya zaman kolonialisme
adalah penyesuaian diri yang lambat dan sering sulit yang harus dilakukan orang
Tionghoa lokal , karena sekarang mereka harus mencari perlindungan dari orang pribumi
dan tidak lagi dari orang Eropa , dan yang harus dilakukan oleh golongan elite berkuasa
yang baru , karena mereka harus menciptakan suatu hubungan yang dapat berjalan lancar
antara kekuatan politik dan kekuatan ekonomi .

Bahkan , pada masyarakat Filipina dan Thailand yang relatif terintegrasi , ada masanya
para pemimpin politik menganggap keuntungan yang dapat diperoleh bila kepentingan
usaha Tionghoa dalam negeri diserang , dan – mengingat bergunanya kambing dan
tekanan dari penduduk pribumi pemberi suara dalam pemilihan umum – tidak ada alasan
untuk menganggap kampanye –kampanye anti-Tionghoa hal yang tidak akan terjadi lagi .
Pada waktu yang sama kita perlu ingat selalu bahwa di semua negara , kecuali di
Malaysia ( dan tentu saja di Singapura , dengan penduduk terbesar orang Tionghoa ) , “
masalah Tionghoa “ semakin lemahnya perannya sebagai faktor yang nyata , pertama
karena pembatasan imigrasi yang telah lama berlaku , dan kedua karena perekonomian
sudah meluas sehingga tidak mungkin suatu golongan minoritas mengisi lapisan-lapisan
menengah dunia usaha yang terbuka . Tekanan langsung akulturasi pada acuan yang
ditetapkan oleh elite berkuasa , dan kebutuhan dunia usaha akan hubungan yang erat

5
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

dengan negara , semuanya menyebabkan berkurangnya unsur Tionghoa ditonjolkan , dan


batas antara apa yang Tionghoa dan apa yang pribumi menjadi semakin kabur . Seperti
terjadi pada masa lalu di Filipina dan Thailand , kampanye anti-Tionghoa pada masa
mendatang boleh jadi akan menyaksikan bahwa suatu bagian terpenting dari kelompok
yang mengaku keturunan Tionghoa berada di sisi orang “pribumi “ , dan ciri-ciri khas
cara berusaha orang Tionghoa yang “ tak dapat diterima “ selama ini mungkin akan
makin tampak sebagai ciri-ciri sebuah elite kapitalis yang umum .

Kalau peran ekonomi orang Tionghoa di Asia Tenggara berkembang subur pada masa
hadirnya penjajah , peran itu lebih-lebih lagi berkembang sebagai akibat dari mundurnya
kolonialisme . Rezim-rezim nasionalis boleh mencerca kedudukan ekonomi orang
Tionghoa , tetapi biasanya rezim-rezim itu terlalu lemah sehingga tidak dapat benar-benar
mempengaruhi kegiatan usaha orang Tionghoa . Tekanan-tekanan dari pemerintah
terimbangi oleh banyaknya peluang usaha yang terbuka sesudah mundurnya orang Eropa
Setelah Perang Dunia II . Karena itu , meski orang Tionghoa menderita akibat langkah-
langkah ekonomi dan politik untuk membendung mereka pada awal masa Demokrasi
Terpimpin di Indonesia , peranan mereka di bidang ekonomi bertambah besar , karena ,
atau sebagaian kontraktor atau agen untuk perusahaan-perusahaan yang dijalankan
negara, orang Tionghoa bergerak masuk ke posisi-posisi yang sebelumnya dikuasai oeleh
kepentingan perusahaan Belanda dan Inggris ,dan menduduki posisi yang tinggi dalam
perekonomian . Di Thailand , hapusnya kehadiran kapitalis Barat selama Perang Dunia II
justru memberikan peluang besar bagi orang Thai dalam dunia perbankan yang
didominasi oleh orang Tionghoa .

Dua ciri warisan dari masa kolonial ikut memperkuat kedudukan orang Tionghoa di
kemudan hari . Pertama , meskipun peran pengusaha Tionghoa biasanya berkembang
karena dorongan dari para penguasa , mereka adalah “paria “ dalam arti bergantung dari
segi politik dan tidak banyak dapat mengandalkan negara untuk melindungi kepentingan
mereka. Akibatnya , jaringan keuangan dan hubungan usaha yang mereka kembangkan
tidak banyak tergantung pada negara untuk menegakkannya . Dan mereka memang
mencoba sejauh mungkin jangan sampai jatuh ke dalam kendali negara . Ini akan
memudahkan mereka menghindarkan diri dari pungutan-pungutan pemerintah , dan juga
membantu mengubah sektor-sektor perekonomian yang didominasi orang Tionghoa
menjadi sektor –sektor tertutup yang tidak dapat ditembus oleh pengusaha pribumi ( dan
juga oleh orang Tionghoa anggota kelompok dialek berbeda ) – bukan hanya karena
orang dalam menginginkan mereka tetap di luar , tetapi juga karena jaringan-jaringan ini
bertumpu pada hubungan kepercayaan dan keutuhannya yang bergantung pada identitas
kelompok .

Kedua, kegiatan usaha orang Tionghoa mendunia , dalam dua cara . Dari kedudukan yang
diberikan kepada mereka sebagai perantara antara perisahan besar Barat dan
perekonomian lokal , para pengusaha besar Tionghoa Asia Tenggara memperoleh
pengetahuan mengenai perdagangan modern dan teknik-teknik industri pengelolahan
serta ( yang jarang dilakukan perusahaan-perusahaan Barat ) mengenai pasar lokal .
Inilah faktor utama yang menyebabkan perusahan Jepang mencari orang Tionghoa
perantauan sebagai mitra dialog ketika membangun kembali kehadiran mereka di Asia

6
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

Tenggara setelah Perang Dunia II , dan sudah tentu pilihan sangat penting bagi kelanjutan
dominasi usaha Tionghoa di kawasan ini . Pengusaha Tionghoa Asia Tenggara juga
menfaatkan mata rantai hubungan dan kepercayaan yang diciptakan oleh orang Tionghoa
yang tinggal di perantauan guna mendirikan jaringan perdagangan dan keuangan yang
mencakup Asia Tenggara , Taiwan , Hongkong dan akhirnya daerah seputar Pasifik pada
umumnya . Ini menjadi sumber daya yang kuat untuk proteksi dan mengerahkan modal .
Rezim-rezim yang mempertimbangkan untuk mengurangi kedudukan Tionghoa lokal
harus memperhitungkan mudahnya modal Tionghoa angkat kaki, dan akibat-akibatnya
yang melumpuhkan . Selain itu , kapitalisme Taiwan dan Hongkong yang sedang mekar
menawarkan lahan baru untuk menanamkan modal yang menjadi lebih penting dalam
beberapa sektor dibandingkan dengan Jepang .

Bukan kecerdikan kewiraswastaan yang istimewa , melainkan keadaan inilah yang


menentukan peranan amat penting untuk dimainkan orang Tionghoa Asia Tenggara
dalam pembangunan ekonomi Asia Tenggara dewasa ini . Tentu saja, sebuah kelompok
penduduk yang diserahi peran berusaha dalam masyarakat akan juga menekankan nilai-
nilai usaha , kelompok ini juga cenderung mengumpulkan dan meneruskan kekayaan
serta koneksinya kepada generasi penggantinya . Tetapi ini tidak berarti generasi ketiga
dan keempat akan memperlihatkan motivasi kewiraswastaan yang sama seperti generasi
pertama . Selain itu , ciri-ciri yang dibutuhkan agar bisa berhasil baik dalam dunia usaha
pada zaman sekarang bertentangan dengan nilai-nilai dan praktek-praktek
kewiraswastaan Tionghoa yang lama , dan mereka yang masih berpegang erat pada cara-
cara itu makin tersisih . Dewasa ini , kebutuhan akan modal , koneksi politik , dan operasi
internasional yang luas mendorong terbuka lebarnya dunia keuangan , dunia usaha , dan
gaya pergaulan . Perusahaan keluarga berkembang menjadi perusahan besar yang
dikuasai keluarga dan perusahaan-perusahaan besar keluarga pada gilirannya makin
banyak menyerap orang luar ke dalam dewan direksi dan main bergerak menuju
perusahan yang menjual saham pada masyarakat .( McVey , 1998 : 22 – 29 )

Jaringan Bisnis Tionghoa

Kalau nasionalisme ekonomi mengakibatkan merosotnya modal asing dari kebangkitan


modal dalam negeri , dengan sendirinya timbul pertanyaan mengapa modal pribumi ,
unsur modal dalam negeri yang lebih didukung , tidak sesukses modal Tionghoa ? Tetapi,
tidak hanya dalam kapitalisme ; tetapi juga dalam perekonomian pasar modal Tionghoa
berjalan lebih baik , sehingga pertanyaan ini dapat dinyatakan dengan cara lain : mengapa
modal Tionghoa lebih berhasil dalam kompetisi ekonomi dengan pribamu ? Satu
jawabannya adalah modal Tionghoa telah lama mempunyai jaringan bisnis yang
ekstensif, yang baik strukturnya . Sebagai contoh , Perdana Menteri Malaysia terdahulu ,
Mahathir Mohamad , menghubungkan tidak adanya bumiputera dalam bisnis sebelum
New Economic Policy ( Kebijaksanaan Ekonomi Baru ) dengan tidak adanya jaringan
mereka . Dan Lance Castles, dalam mengkaji pengambilalihan industri rokok kretek , di
Kudus Jawa Tengah , yang pernah menjadi bidang yang dikuasai oleh pribumi ,
menyebutkan adanya jaringan bisnis yang lebih baik sebagai satu alasan pokoknya.

7
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

Tidak adanya jaringan bisnis , sampai tahun-tahun terakhir ini , merupakan rintangan
utama bahkan bagi pribumi yang memiliki sifat-sifat pribadi yang dibutuhkan untuk
berhasil di dalam bisnis . Dalam memulai bisnis misalnya , tak ada orang yang dapat
membantunya memperoleh pelatihan , karena ayah dan sanak saudaranya mungkin
petani. Kalau ia mendekati sebuah organisasi bisnis yang mapan dan sungguh-sungguh
memperoleh sebuah pekerjaan , maka pekerjaan itu adalah pekerjaan rendahan , yang
pengalamannya hampir tidak memadai untuk memulai sendiri bisnis yang berarti .

Modal juga merupakan masalah lain bagi orang pribumi , tidak seperti bagi orang
Tionghoa , yang mempunyai jaringan melalui mana ia akan mendapatkan orang yang
bersedia membantunya memulai bisnis . Di Malaysia dan Indonesia sebelum perang ,
misalnya , tak ada bank yang dapat didatangi pribumi untuk memperoleh bantuan . Ia tak
dapat mendatangi sebuah bank Tionghoa , karena bank Tionghoa hanya melakukan bisnis
di kalangan mereka sendiri . Kalaupun ia berhasil mendapatkan seseorang yang bersedia
meminjamkan uang , ia harus membayar suku bunga yang lebih tinggi . Pula, sulit bagi
orang pribumi untuk memperoleh suplai dengan kredit , karena orang Tionghoalah yang
memonopoli jaringan distribusi dan mereka tidak mempercayai pedagang pribumi .

Di beberapa bidang di mana orang Tionghoa tidak masuk , baik karena pilihannya
(terutama berlaku di Filipina di mana orang Tionghoa harus memusatkan diri pada
bidang-bidang yang menguntungkan sebab kecilnya jumlah mereka sebagai akibat
pembatasan imigrasi ) atau karena dikesampingkan oleh pemerintah kolonial , maka para
pedagang pribumi muncul dan mengembangkan jaringan mereka sendiri , tetapi jaringan
mereka lemah dibandingkan dengan jaringan Tionghoa . Alasannya , pertama , jaringan
pribumi cenderung terikat pada lokasi tertentu , karena ia tidak dapat melampui suatu
kelompok etnis dengan mudah . Sebaliknya , sebuah jaringan Tionghoa dapat dengan
jauh lebih mudah dihubungkan dengan suatu jaringan nasional atau bahkan dengan suatu
jaringan internasional . Sebuah jaringan Hokkian di sebuah kota di Jawa Timur ,
misalnya, dapat dihubungkan dengan suatu jaringan Hokkian di suatu kota di Sumatra ,
dan kalau perlu dengan jaringan di Singapura atau di tempat lainnya di mana terdapat
orang Hokkian .

Dalam memahami jaringan-jaringan orang Tionghoa , penting untuk diingat bahwa dalam
masa sebelum-perang , hal-hal itu tidak hanya menyisihkan pribumi tetap juga banyak
orang Tionghoa yang lain . Kelompok terbesar adalah kelompok bahasa ( Hokkian ,
Teociu , dan lain-lain ) . Di samping itu , ada kelompok-kelompok yang lebih sempit
yang berdasarkan pada ikatan-ikatan yang lain , seperti kampung halaman . Pada masa
sesudah- perang , ikatan-ikatan ini melonggar dan ikatan baru dibentuk di tempat
pemukiman yang baru , yang menghasilkan jaringan-jaringan yang mempunyai basis
yang lebih luas dari kelompok bahasa , meskipun biasanya tidak cukup luas untuk
mencakup orang bukan –Tionghoa

Pada masa sebelum perang , tidak setiap orang yang berbahasa , misalnya, Hokkian ,
dapat masuk ke dalam jaringan Hokkian . Sudah tentu , kemampuan berbahasa Hokkian
dan pemilikan “kepribadian Hokkian “ merupakan kondisi-kondisi yang perlu untuk
masuk ke dalam jaringan ini, tetapi sejumlah kondisi yang lain juga harus dipenuhi .

8
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

Yang paling menentukan di antaranya adalah apa yang disebutkan oleh orang Tionghoa
shinyung ( layak dipercaya ) Hal ini penting karena bisnis seringkali dilakukan dengan
suatu janji verbal dan karena sekalipun ada surat kontrak , penyelenggarannya tidak
efisisen dan mahal bila dilanggar ( paling tidak , inilah persepsi orang Tionghoa terhadap
keadilan administratif di negara-negara mereka bermukim ) . Seorang Tionghoa yang
memiliki shinyung tidak akan melanggar suatu janji atau kontrak, sehingga hanya orang
semacam inilah yang dipertahankan dalam jaringan itu .

Tak ada yang memiliki shinyung sedari awal . Mereka yang ingin memasuki bisnis harus
melalui suatu masa pelatihan , dan hanya mereka yang berhasil menyelesaikan dengan
baik dapat memasuki suatu jaringan atas persetujuan guru-guru mereka . Kemudian ,
dalam perjalanan karirnya , mereka dapat kehilangan shinyung itu dan keluar dari bisnis ,
atau memenangkan shinyung yang lebih besar dan memantapkan diri mereka sebagai
saudagar . Selalu ada kemungkinan bahwa seseorang yang memiliki sejumlah shinyung
dapat membohongi jaringan itu atau melalikannya secara tidak sengaja , tetap hal ini
diminimalkan oleh fakta bahwa orang Tionghoa merupakan sebuah kelompok minoritas
yang tertutup . Sebagai minoritas , kehidupan bisnis dan sosial sangat terjalin sehingga
sanksi –sanksi sosial yang keras dikenakan kepada mereka yang tidak jujur dalam bisnis.
Tetapi bersamaan dengan itu , gossip diedarkan dalam pertemuan –pertemuan sosial serta
pertemuan-peretemuan dagang dan perhimpunan bisnis yang lain , dan setiap informasi
yang berharga (seringkali negatif ) diumpan balik kepada jaringan sehingga ia dapat
menyesuaikan penilaian mengenai shinyung para anggotanya .

Seperti dikemuakan di atas , basis organisasi dari jaringan berubah seiring dengan waktu ,
dan apa yang benar pada masa sebelum perang tidak lagi berlaku . Tetapi jaringan bisnis
Tionghoa masih ada , dan mereka masih beroperasi berdasarkan shinyung . Pribumi ,
yang tak pernah diberikan kesempatan untuk membuktikan diri mereka, dikesampingkan
dari jaringan-jaringan ini dan tidak dapat bersaing dengan orang Tionghoa di atas basis
yang sama . Dalam masa sesudah perang , sebagian pemerintah Asia Tenggara
mendirikan bank , perusahan dagang , dan lembaga-lembaga lain untuk mematahkan
monopoli Tionghoa terhadap jaringan, tetapi usaha-usaha ini tidak cukup untuk
mengimbangi kelemahan pribumi dalam persaingan dengan orang Tionghoa .

Orang mungkin berpendapat bahwa kalau pribumi dilarang memasuki jaringan-jaringan


Tionghoa , mereka dapat memakai jaringan asing . Tetapi umumnya , hal ini sulit
sebelum pemerintah mengambil langkah-langkah untuk mempromosikan kewiraswastaan
pribumi , namun di Filipina , hal ini mungkin , sekalipun pada masa sebelum perang .
Situasi Filipina adalah unik dalam beberapa hal . Pertama , jumlah penduduk Tionghoa
kecil , karena Pemerintahan Amerika membatasi imigrasi orang Tionghoa guna
mencegah penggunaan Filipina sebagai pintu gerbang ke Amerika Serikat . Akibatnya
orang Tionghoa tidak dapat menembus semua sektor perekoniomian . Kedua , Amerika
Serikat , yang memiliki sedikit pengalaman dalam penjajahan , agak naïf dan juga idealis,
sehingga sebagai penjajah , ia banyak membantu orang-orang Filipino untuk menjadi
bangsa yang merdeka . Satu haslinya adalah sejumlah orang Filipina berpendidikan
universitas bekerja pada perusahaan-perusahan Amertika dan kemudian memulai bisnis
mereka sendiri .. Ketiga , kelompok pribumi meliputi orang-orang mestizo , yang lebih

9
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

siap menfaatkan peluang-peluang baru ( termasuk peluang komersial ) dibandingkan


kelompok pribumi bukan mestizo . Sebagian dari orang-orang ini bergaul dengan
kalangan bisnis asing dan mendapat bantuan dari kontak-kontak asing itu .( Kunio ,
1990 :76 – 80 )

Bisnis Keluarga

Keluarga memberikan penyekat bagi bisnis Tionghoa . Keluarga Tionghoa bersifat


patrilineal ( berdasarkan garis keturunan ayah ) , patrilokal ( kediaman pasangan menikah
bersama atau berdekatan dengan keluarga pihak pengantin laki-laki ) ,dan patriakal
( dengan ayah sebagai kepala keluarga ) yang mendua . Hubungan dilakukan berdasarkan
norma-norma kekerabatan terutama dengan anak-anak tetapi istri juga menjadi subyek
kewenangan patriakal dari ayah dan , lebih lanjut , berdasarkan garis keturunan secara
kesuluruhan . Kewenangan ini memiliki pewarisan ekonomi yang amat serius . Kepala
keluarga dapat mengklaim hak atas tenaga kerja dan upah dari anak-anaknya yang
diperkerjakan . Logika ideal yang mendasari ketentuan ini adalah bahwa anak-anak
membayar kembali utang kepada orangtuanya untuk pengasuhan yang mereka terima .
Dalam kasus anak-anak perempuan yang sudah menikah mengikuti suaminya , dari
perspektif kepala keluarga menekan “keluar “ dari garis keturunan ayah , dan akan
menerima sejumlah pembayaran upah kerja sampai mereka menikah .

Sungguh berbeda dengan rekan-rekan Tionghoanya , pemuda Melayu dan Jawa enggan
tunduk kepada otoritas patriakal , sekurang-kurangnya jika berkenan dengan persoalan
ekonomi . Bekerja di masa remaja tidak cukup menghimpun pendapatan mereka untuk
memenuhi kebutuhan-kebutuhan atau menyumbang tenaga tanpa upah di perusahan
keluarga . Bagi mereka , dan lagi-lagi berbeda dengan Tionghoa, perusahan keluarga
bukan sebuah kegiatan usaha dengan tanggung jawab penuh orang tua . Jarang sekali ada
pemikiran tentang suatu “harta warisan “ keluarga atau keluarga besar . Dalam sejumlah
kasus , seperti yang terjadi di kalangan para pedagang Jawa , bahkan para suami dan istri
memandang perusahan milik pasangannya sebagai perusahan yang tidak ada
hubungannya dengan mereka . Akibatnya adalah bahwa orang Melayu , Jawa , dan
banyak penduduk pribumi Asia Tenggara lainnya, tergantung pada keluarga dekat
sebagai sumber daya usaha . Dengan kata lain , dan sungguh berbeda dengan stereotip
tertentu keluarga Melayu dan Asia Tenggara lainnya , keluarga-keluarga Melayu dan
banyak keluarga Asia Tenggara lainnya tampak lebih individualistis daripada rekan-rekan
Tionghoa-nya . Seperti dapat kita lihat masalah ini bersifat kritis untuk memahami
perbedan-perbedaan kunci antara bisnis orang Tionghoa dan pribumi Asia Tenggara .

Jika keluarga adalah sumber kekuatan bisnis Tionghoa , hal itu juga sekaligus suatu
kelemahan . Mengingat kepala keluarga yang lebih tua dapat tergantung pada tenaga
kerja bawahanya yang setia dan gratis , wewenang patriakal tergantung pada seorang
ayah yang dengan tidak tercegah bertambah tua dan mati . Setelah membangun
perusahannya dengan mengandalkan tenaga kerja keluarga dan pinjaman modal dari dari
keluarga dan teman-teman , seorang pemilik berhasil melakukan kontrol ketat terhadap
semua keputusan penting . Namun secara bertahap ia membawa anak laki-lakinya

10
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

( bukan anak –anak perempuan ) ke bidang bisnis dan mempersiapkan mereka untuk
masa pensiun dan kematiannya yang bakal datang . Di sini logika aneh sistem keturunan
Tionghoa menggunakan pengaruhnya yang paling menentukan . Berdasarkan konvensi ,
anak-anak laki-laki diharapkan mendapat saham yang sama di perusahan ayahnya .
Meraih kesetaraan itu melalui pembagian bisnis yang ada ke dalam saham-saham yang
sama adalah satu pilihan . Beberapa keluarga melakukan hal ini , tetapi masalah
koordinasi muncul karena tidak seorang saudara laki-laki pun dapat mengklaim
wewenang yang pernah dinikmati ayah mereka . Hubungan di antara para saudara laki-
laki tidak secara bersama menanggung sifat tugas yang tidak mementingkan diri sendiri
dan hierarki yang disepakati bersama mengenai hubungan ayah dan anak-anaknya
sendiri. Saudara-saudara laki-laki dalam bisnis yang sama cenderung iri dan tidak
bersepakat yang membuat hubungan mereka rapuh .

Di permukaan ketegangan-ketegangan ini strategi yang disukai di kalangan para pemilik


bisnis yang sukses adalah menugaskan setiap anak laki-lakinya pada bidang bisnis yang
berbeda pengaruh , lebih baik lagi ( jika luar biasa sukses ) , atau pada bisnis yang
sepenuhnya terpisah . Konsekuensi-konsekuensi dari strategi pewarisan ini bagi siklus
pertumbuhan bisnis Tionghoa banyak sekali .Sukses tidak ditandai oleh penciptaan suatu
perusahan yang amat besar dan terpadu secara vertikal , seperti di Korea Selatan dan
Jepang ,tetapi dengan pendirian sebuah perusahan induk untuk perusahan-perusahan
bebas yang terikat longgar dalam sebuah kelompok bisnis multiusaha . Meraka dapat
berspesialisasi di bidang pembuatan sebuah produk yang berhubungan dengan atau
bahkan sama dengan produk-produk perusahaan induk, atau mereka dapat menangani
sepenuhnya berbagai jenis produk bisnis . Kadang-kadang yang dihasilkan adalah
campuran dari dua pilihan ini : sejumlah penting perusahan yang mengkhususkan diri
dalam suatu jenis produk dan dicirikan oleh suatu ukuran integrasi vertikal dan ,
bersamaan dengan itu , sejumlah perusahaan lain dalam jaringan bisnis yang berkaitan
dengan jenis produk perusahaan induk . Dalam kata-kata Hamilton , “diversifikasi
opportunis :, bukan integrasi vertikal , adalah aturan mainnya yang ditentukan oleh logika
pewarisan menurut garis keturunan ayah .

Walaupun pemilik dan mitra-mitra usahanya di lingkungan bisnis melakukan kontrol


akhir terhadap aneka perusahaan berbentuk sebuah kelompok bisnis , manajemen sehari-
hari perusahan itu tetap terpisah , dan ini lagi-lagi berbeda dengan pola integrasi vertikal
perusahan-perusahan Jepang dan Korea Selatan . Hanya belakangan ini kepala keluarga
sejumlah kelompok bisnis besar mengambil langkah-langkah pengkoordinasian
manajemen perusahan-perusahan dalam kelompok bisnisnya . Meskipun terdapat suatu
hierarki manajemen yang terpisah , para pejabat penting perusahan dapat memegang
berbagai kedudukan di berbagai perusahan . Praktik ini jarang terlihat di Jepang dan
Korea Selatan , di mana personalia kunci hanya memegang satu posisi di satu perusahan
dalam sebuah kelompok bisnis .

Di sini kembali , bahkan di tengah sebagian besar perusahan modern , kita menyaksikan
pengaruh prototipe tradisional yang masih bertahan , yang diproyeksikan ke dalam
tugas-tugas ekonomi yang tidak tradisional . Dalam tahap ini , pemisahan urusan kontrol
dana manajemen dalam perusahan-perusahan keluarga pararel dengan kontrol dan

11
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

manajemen rumah tangga dan asset warisan . Kelompok bisnis keluarga merupakan
pola--pola organisasi yang sama yang dihubungkan dengan praktik-praktik dalam
keluarga Tionghoa tradisional . Perluasan struktur tradisional ini ke dalam tugas-tugas
sosial baru bukan karena komitmen orang Tionghoa yang tidak rasional kepada beberapa
“tradisi “ mistik yang kuat tetapi disebabkan oleh prototipe organisasional cukup cakap
mengambil tugas-tugas sosial baru . Tradisi telah berubah bahkan , ketika pada dasarnya
telah dihasilkan ulang .

Bagi para pakar Barat yang terlatih dalam sosiologi Weberian atau teori manajemen
konvensional , semua ini akan tampak seperti melakukan bisnis tradisional dan
:terprarasionalisasi “, ditakdirkan memberi jalan sepanjang waktu kepada sistem
manajemen yang lebih rasional dan birokratis . Harus diakui , sejumlah perusahaan
Tionghoa mulai menguji coba teknik-teknik manajemen Barat . Namun pada umumnya ,
harapan ini didasarkan pada pikiran dangkal mengenai berbagai variasi budaya yang
sesuai dengan kapitalisme modern . ( Hefner , 2000 : 19 – 23 )

Ekspliotasi dan Persaingan Ekonomi

Migrasi yang mendorong adanya pemukiman orang Tionghoa di Indonesia dimulai sejak
adanya perdagangan oleh pedagang-pedagang Tionghoa yang menggunakan perahu-
perahu jungnya dari bagian tenggara daratan Tiongkok , sedangkan pertumbuhan
penduduk Tionghoa di Indonesia selanjutnya sangat erat hubungannya dengan
peranannya dalam bidang ekonomi . Bebas dari akibat –akibat birokrasi kerajaan
Tiongkok yang membuat mereka terkekang , orang Tionghoa perantauan itu
membuktikan bahwa mereka paling cicok untuk perkembangan ekonomi . Mereka
menekan sistem nilai yang mementingkan kerajinan , kehematan , pengandalan pada diri
sendiri , semangat berusaha dan ketrampilan , ditambah pula prinsip-prinsip organisasi
sosial yang mudah sekali disesuaikan dan digunakan . Hal tersebut menyebabkan mereka
berhasil dalam bidang ekonomi di suatu negara yang kaya alamnya , dan yang penduduk
aslinya sama sekali berlainan orientasinya .

Dari abad ke 17 sampai abad ke -20 , yaitu pada waktu orang-orang Belanda maju pesat
dengan eksploitasi ekonomi Hindia Belanda yang makin sistimatis itu, orang-orang
Tionghoa makin banyak memperoleh peranan yang orang Belanda sendiri tidak mampu
melaksanakan . Mereka diperkenankan untuk mengikuti selera mereka terhadap
pekerjaan sebagai usahawan dan membina jaringan perdagangan dan finansial yang
menyeluruh , yang membentang dari pelabuhan-pelabuhan besar sampai ke pasar-pasar
desa . Orang Belanda menguasai bidang perkapalan dan usaha ekspor-impor yang
menghidupi dan dihidupi oleh jaringan ini , dan memungut pajak dan bea pada
beberapa tempat di dalam sistem tersebut . Kecuali mendapat dorongan untuk
menduduki posisi-posisi perdagangan di antara kaum penjajah Belanda dan pendudk asli ,
orang Tionghoa juga diperkerjakan sejak tahun 1860-an sampai 1930-an , sebagai buruh
di perkebunan dan pertambangan yang menghasilkan komoditi di pasaran Eropa . Pada
tahap-tahap mutakhir perkembangan kolonial ini , orang Tionghoa perantauan makin
banyak diperkerjakan sebagai mandor atau pegawai kantor di dalam perusahan-

12
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

perusahan orang Eropa itu . Inilah sebab ,mengapa pengunduran diri orang-orang
Belanda dari bisnis pada tahun 1950-an , menempatkan orang-orang Tionghoa pada
posisi untuk menguasai atau mengawasi bagian besar ekonomi yang bukan perhatian di
seluruh Indonesia : suatu posisi yang dibenarkan oleh sejarah yang panjang dan berbau
kolonialisme , dikekalkan oleh perbedaan budaya yang mendalam dan yang terbuka
untuk serangan nasionalisme . ( Skinner , 1981 : 1 – 3 )

Orang Tionghoa di Asia Tenggara telah dicap oleh WF Wertheim sebagai minoritas
dagang . Penulis-penulis lainnya memandang sebagai “ minoritas golongan tengah “
atau“ borjuasi dagang “ . Seperti ditunjukkan sendiri oleh Wertheim , ada bagian-bagian
wilayah di mana orang Tionghoa itu melakukan pekerjaan yang lebih luas lapangannya
daripada sekedar berdagang . Di Indonesia , pembedaan harus dilakukan antara kawasan-
kawasan seperti di Jawa , di mana mereka menetap di antara penduduk yang relatif padat
sehingga pada umumnya mereka itu tidak sanggup melibatkan diri dalam pekerjaan di
bidang pertanian yang paling menonjol itu daripada mereka yang menetap di Pantai
Timur Sumatra, Bangka dan Kalimantan Barat yang penduduknya masih jarang ketika
mereka itu datang .

Hendaklah dicatat bahwa kecenderungan yang lebih besar dari orang Tionghoa yang
terlibat dalam perdagangan dan industri tidaklah berarti bahwa sebagian terbesar dari
mereka yang bekerja di bidang ini adalah orang Tionghoa . . Dalam pengertian mutlak ,
orang Indonesia di bidang pekerjaan tersebut jumlahnya jauh melebih orang Tionghoa .

Data stastistik tahun 1930 telah ikut mendukung stereotip orang Tionghoa itu sebagai
minoritas pedagang yang kaya . Sebuah citra serumpun bahwa orang Tionghoa itu
mendominasi atau mengusai ekonomi Indonesia adalah lebih sulit , kalau tidak mungkin
untuk mendokumentasinya . Pijakan yang awal dan kukuh yang dicapai oleh Tiongghoa
itu di bidang perdagangan perantara dan peminjaman uang merupakan akibat langsung
dari kebijakan Belanda mengenai penyerahan sebagian dari bermacam-macam monopoli
kepada orang Tionghoa perorangan . Dalam sejumlah kasus , keuntungan besar telah
diraih oleh orang Tionghoa yang menjalankan monopoli perahu tambang , pemotongan
hewan , candu dan tempat-tempat perjudian berdasarkan linsensi yang dikeluarkan oleh
pemerintah dan menambah kegiatan ini yang sangat menguntungkan dengan
menjalankan perdagangan eceran dan peminjaman uang . Pada akhir abad le-19 ,
berkembanglah semacam keprihatinan yang lebih besar di kalangan Belanda yang
menyaksikan kesejahteraan hidup orang Jawa iu merosot terus . Inilah yang kemudian
mendorong diterimanya Politik Etis . Keprihatinan terhadap orang Jawa seringkali
digabungkan dengan perasaan benci terhadap orang Tionghoa , yang “ pengaruh jahat
mereka “ dipersalahkan karena telah memerosotkan kesejahteraan penduduk pribumi .
Oleh karena itu , penguasa kolonial mulai membongkar sistem monopoli penyerahan
pajak , mengurangi peranan lintah darat Tionghoa dengan mengadakan berlakunya
penyedian kredit oleh pemerintah dan memaksakan berlakunya sistem surat jalan dan
sistim pemukiman khusus bagi orang Tionghoa yang mendatangkan kesulitan besar bagi
mereka.

13
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

Tindakan pemerintah kolonial terhadap mereka itu ternyata telah memainkan peranan
penting dalam dalam pengembangan kesadaran nasional di kalangan orang Tionghoa .
Satu lambang dan sarana kesadaran nasional yang sedang tumbuh ini adalah didirikannya
Kamar Dagang Tionghoa ( Sianghwee ) yang dapat berperan sebagai perwakilan
kepentingan dagang orang Tionghoa . Mungkin benar bahwa Sianghwee ini menjadi
contoh bagi kalangan Islam yang merasa disaingi ketika mereka itu kemudian mendirikan
Sarekat Dagang Islam pada tahun 1911 . Tentu saja banyak sekali dorongan awal bagi
terbentuknya SDI itu datang dari keinginan pengusaha Islam untuk menandingi kekuatan
komersial orang Tionghoa . Sekalipun Sianghwee dan Sarekat Dagang Islam ( yang
kemudian menjadi Sarekat Islam ) mempunyai arti politik yang lebih besar ketimbang
ekonomi , pembentukannya melambangkan munculnya persaingan di pasaran
berdasarkan kelompok antara orang Tionghoa dan orang Indonesia sebagaimana halnya
dengan baru lahirnya nasionalisme dari kedua kelompok itu yang ditentukan oleh ukur
rasial . Wertheim menekankan persaingan ekonomi ini sebagai keradaan yang menjadi
akar ketegangan antara orang Tionghoa dan Indonesia . Ia pun menjelaskan bahwa
konflik terjadi ketika pedagang santri Islam mulai bercita-cita untuk berperan dalam
perdagangan yang semula dipandang rendah . Tetapi, mungkin juga bahwa asal-usul
konflik itu terletak pada semakin meluasnya perusahan Tionghoa yang memasuki apa
yang sampai sekarang diusahakan oleh pedagang Jawa dan Arab yang ekspansinya
dibiayai oleh modal yang tidak terpakai akibat dihapuskannya monoppoli candu dan
rumah gadai . Ketika agitasi politik orang Tionghoa itu mengakibatkan penghapusan
sistem surat jalan dan pemukiman khusus, pedagang Tionghoa dapat memasuki daerah
pedesaan dengan lebih leluasa lagi .

Hilangnya monopoli penarikan pajak tidak menghancurkan posisi perdagangan orang


Tionghoa , yang mungkin secara tidak langsung menyebabkan meluasnya perdagangan
mereka . Bersamaan dengan itu , persaingan ekonomi yang bersifat rasial telah
dipertajam dan kecenderungan mengkambinghitamkan orang Tionghoa karena adanya
kemiskinan , atau tidak adanya kelas wiraswasta pribumi yang mulai berkembang .
Namun begitu , tidaklah jelas apakah saham orang Tiuonghoa di dalam pasar itu
bertambah besar atau berkurang dalam dasawarsa terakhir kekuasaan kolonial . Di lain
pihak , kita tahu ada orang-orang seperti Cator yang menyatakan bahwa ada : suatu
kemerosotan yang tidak dapat disangkal dari saham perdagangan orang Tionghoa :
karena disaingi oleh orang Indonesia dan orang Jepang .Di lain pihak , kita mempunyai
bukti yang diajukan oleh Sommers mengenai jumlah orang dari ketiga golongan
penduduk yang membayar pajak atas pendapatan yang melebihi 1.000 guklden per tahun
selama kurun waktu tahun 1922 - 1939 . Hal ini memperkuat pendapat bahwa golongan
Timur Asing ( termasuk orang Tionghoa ) tidak begitu berat terkena pengaruh depresi
ketimbang golongan Indonesia .

Indiskasi lain memperlihatkan bahwa persaingan , apakah itu dari orang Indonesia atau
orang Jepang , adalah sedikit sekali , jika ada , pengaruhnya atas orang Tionghoa yang
menguasai perdagangan . Hal ini mungkin terdapat dalam jumlah-jumlah dari mereka
yang memiliki pendapatan yang tidak berasal dari upah/gaji dan melebihi 900 gulden per
tahun .

14
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

Walaupun bukti dari periode kolonial mengenai kedudukan ekonomis penduduk


Tionghoa di Hindia Be;landa hanya sedikit , namun ternyata masih lebih banyak
ketimbang yang tersedia pada periode setelah Indonesia merdeka . Bukti-bukti tidak
langsung mengenai pembagian pekerjaan dan perkiraan pajak pendapatan berdasarkan
kelompok atau golongan ras tidak tersedia , dan apa yang menyusul kebanyakan bersifat
kesan . Dengan hanya menentukan sampai di mana pembatasan itu telah dikenakan oleh
pemerintah terhadap kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh orang-asing ( dan juga oleh
warga negara Indonesia non pribumi ) , orang mungkin mendapatkan dari situ kenyataan
bahwa perusahan negara dan pengusaha pribumi Indonesia yang disukai telah banyak
sekali mempengaruhi kedudukan ekonomi orang Tionghoa . Namun dalam praktek
tidaklah demikian . Selain kebijakan Indonesianisasi pemerintah , baik kalangan asing
maupun warga negara Indonesia keturunan Tionghoa meneruskan peranan mereka yang
besar di dalam ekonomi Indonesia . Ada berbagai jalan yang terbuka bagi orang
Tionghoa untuk menghindari pembatasan-pembatasan itu . Jika kebijakan diskriminasi itu
hanya ditujukan terhadap orang asing , maka orang Tionghoa warga negara asing dapat
mengalihkan usaha mereka kepada pengusaha atau sanak saudara mereka yang menjadi
warga negara Indonesia . Dalam beberapa hal, di mana kegiatan bisnis itu hanya terbatas
untuk pengusaha “nasional “ ( misalnya dalam bidang impor ) , maka pengimpor itu
adalah sekedar bagian muka dari apa yang sebenarnya masih merupakan pokok dari
bisnis impor yang dilakukan orang Tionghoa . Dalam hal-hal lain , pembatasan tersebut
dapat dielakkan secara sah dengan jalan memasuki ikatan pemitraan yang bonafide
dengan pengusaha Indonesia . Jika diperlukan , sering terbuka kemungkinan bagi
seseorang pengusaha Tionghoa untuk melanjutkan keberhasilannya dengan jalan
mengalihkan modalnya ke sektor ekonomi lain yang tidak terkena pembatasan .
( Coppel , 1994 : 45 – 52 )

Program Benteng dan Ali Baba

Program Benteng itu sendiri untuk pertama kalinya diumumkan pada bulan April 1950 ,
empat bulan setelah Negeri Belanda mengakui Kemerdekaan Indonesia, oleh Ir Djuanda,
Menteri Kemakmuran Republik Indonesia Serikat . Gagasan utama Program Benteng itu
adalah untuk mendorong para importer nasional agar mampu bersang dengan perusahaan-
perusahaan impor asing . Selain membatasi impor barang-barang tertentu dan pemberian
lisensi impor hanya kepada para importir Indonesia , program itu juga memberi bantuan
dana bentuk kredit keuangan kepada para importir Indonesia , yang sebagian besar tidak
memiliki modal yang memadai untuk memulai impor dan tidak dapat memperoleh kredit
dari sumber-sumber keuangan swasta .

Untuk melaksanakan kebijaksanaan proteksinya , satu di antara beberapa keputusan yang


pertama-tama diambil oleh pemerintah Indonesia adalah menentukan dan memilih
importir –importir yang layak diberi bantuan pemerintah , yakni yang harus memenuhi
persyaratan-persyaratan tertentu sebelum dapat dipertimbangkan untuk memperoleh
bantuan pemerintah . Kementerian Perdagangan dan Perisndustrian – yang kemudian
bernama Kementerian Perekonomian – akan menentukan prasyaratan-prasyaratan itu .
Para pengusaha yang dapat melalui penyaringan itu dan berhak atas bantuan pemerintah,

15
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

biasanya dinamakan importir-importir Benteng . Untuk kepentingan tersebut Pemerintah


membuat satu daftar khusus mengenai barang-barang yang hanya boleh diimpor oleh
para importir itu , yang biasanya dinamakan barang-barang Benteng .

Satu ketentuan lain dari Program Benteng yang diumumkan pada tahun 1950 menyangkut
pemilikan yang berkaitan dengan soal etnis . Ditetapkan bahwa untuk bisa diakui sebagai
perusahaan Benteng , sebuah perusahaan impor harus memiliki modal sekurang-
kurangnya 70 % yang berasal dari bangsa Indonesia asli , yang untuk selanjutnya akan
disebut asli . Istilah “asli “ secara khusus digunakan untuk menunjuk warganegara
pribumi . Asli mengacu kepada warga negara Indonesia keturunan Melayu-Polinesia dan
juga kepada mereka yang hidup di Malaysia , bagian-bagian Muangthai dan Filipina .
Orang-orang asli digolongkan sebagai inlanders oleh Belanda , yang menggunakan
istilah-istilah untuk menunjuk “orang-orang yang dianggap rendah “. Istilah lain untuk
asli , yang juga lazim digunakan pada tahun 1950-an adalah bumi putera . Di kemudian
hari , di masa Orde Baru , istilah asli untuk kata asli adalah pribumi .Orang-orang non-
asli atau non-pribumi adalah orang-orang di kalangan penduduk Indonesia yang
merupakan keturunan Belanda, Tionghoa atau Arab . Akan tetapi dalam kenyataannya ,
di seluruh Indonesia sesudah proklamasi kemerdekaan , kata non-asli , atau non-pribumi
m secara luas digunakan oleh orang-orang Indonesia , hampir secara khusus untuk
menunjuk orang-orang Tionghoa saja , tak perduli apakah mereka itu Tionghoa totok atau
singkek ( orang Tionghoa yang lahir di luar negeri ) , atau Tinghoa peranakan ( orang
Tionghoa yang lahir di Indonesia ) ,( Muhaimin , 1991 : 28 – 33 )

Golongan minoritas Tionghoa bersikap kritis terhadap praktek itu . . Para warga negara
Indonesia keturunan Tionghoa mengajukan protes menentang peraturan yang
diskriminatif. Menanggapi keluhan orang Tionghoa itu. Djuanda membela program itu
dengan menunjuk sebuah ayat dalam Persetujuan tentang Ekonomi dan Keuangan dalam
Konperensi Medja Bundar yang memberikan hak kepada pemerintah Indonesia untuk
mengeluarkan peraturan yang melindungi kepentingan nasional dan “ golongan-
golongan lemah “. Ia membantah bahwa pemerintah melakukan diskrimanasi rasial .

Sebenarnya Program ( Sistem ) Benteng tidak betul-betul bertujuan “ kerja sama yang
sehat antara sesama warga negara “ , sebagaimana yang dikemukakan . Dalam sejarah
Indonesia , Sistem Benteng dikenal sebagai suatu strategi yang digunakan untuk merebut
kembali daerah yang hilang karena diduduki musuh yang kuat . Menurut strtaegi itu ,
benteng dirikan secara melingkar di sekitar wilayah yang dikuasai musuh . Makin lama
lingkaran akan menjadi makin kecil dan akhirnya pasukan yang ada dalam benteng itu
akan membasmi musuh . Pemilihan istilah benteng bukan hal yang kebetulan . Orang
Indonesia asli ingin memperoleh kembali kendali perekonomian Indonesia yang pada
umumnya berada di tangan orang asing , dengan jalan membuat peraturan di bidang
impor , dan sedikit demi sedikit meluas ke bidang perekonomian lainnnya sampai
akhirnya irang pribumi dapat memegang kendali perekonomian Indonesia .

Program Benteng masih tetap dilanjutkan waktu Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo
dari Partai Nasional Indonesia . Ia juga menyetujui program itu untuk menciptakan “
pengusaha kelas menengah yang harmonis .” Tetapi protes –protes yang dilancarkan

16
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

terus-menerus oleh kaum minoritas Tionghoa , serta karena kegagalan program itu
sendiri, pemerintah Indonesia kemudian menghentikannya secara resmi pada tahun 1954 .

Program Benteng tidak mencapai tujuannya untuk menciptakan kelas wiraswasta pribumi
yang tangguh . Faktor yang mengakibatkan kegagalan tersebut terletak pada kekurangan
pengalaman orang pribumi Indonesia , kuatnya oposisi dari orang Tionghoa dan
berlangsungnya inflasi terus-menerus yang memaksa pemerintah mengadakan penilaian
kembali atas program tersebut . Program itu telah mengakibatkan timbulnya “ importir-
importir aktentas “ yang adalah orang Indonesia asli yang tidak punya harta benda lain
kecuali aksensitasnya sebagai kantor . Satu-satunya tujuan para importir itu adalah untuk
mendapatkan izin memiliki alat pembayaran luar negeri ( foreign exchange ) sedang
mitra Tionghoa mereka ( mitra diam ) lah yang menyelenggarakan perusahaan . Kerja
sama antara pemegang izin yang pribumi dan Tionghoa Indonesia yang terkenal dengan
sistem Ali Baba , dan hal itu oleh banyak orang pribumi Indonesia dianggap sebagai hal
yang tidak adil dan merugikan karena orang Tionghoa menerima bagian terbesar dari
labanya sedangkan orang Indonesia asli yang dikapai sebagai “maju ke depan “ tidak
mendapatkan apa-apa dalam hal pengalaman berusaha . ( Suryadinata , 1984 : 135 – 137 )

Pada umumnya , program Benteng telah menguntungkan para elit politik –birokrasi dan
memberikan kepada klien-klien mereka suatu kedudukan yang strategis dalam
perokonomian , namun kebanyakan gagal untuk melahirkan golongan pengusaha asli
dengan kekuatan yang riil berlandaskan pemilikan modal dan pengawasan atas
perusahan-perusahaan industri berukuran besar atau jaringan-jaringan kredit dan
distribusi , Program itu jelas telah menghasilkan satu golongan pengusaha klien yang
tidak mandiri , rapuh , dan makin hanya bisa bertahan untuk sementara saja tetapi
kemajuan itu tidak cukup untuk memungkinkan para saudagar , pedagang dan produsen
komoditi tradisional untuk berkembang melalui tingkat perdagangan dan produksi
komoditi kecil-kecilan . Pada periode “Benteng “ ini pencarian terhadap golongan
menengah asli dipusatkan pada golongan yang disebut belakangan yang diharapkan bisa
tumbuh dari pengusaha-pengusaha klasik , menurut teori Schumpeter , menjadi sektor
perusahan modern yang berukuran besar dan berbentuk badan melalui pembentukan
modal dan inovasi teknologis .

Perkembangan seperti itu tidak terjadi , sebagian besar disebabkan oleh hambatan sosio-
kultural politik . Disamping itu juga ada dimensi struktural , yaitu ketika para pengusaha
dan perusahaan-perusahaan asing dan Tionghoa menyisihkan pengusaha-pengusajha asli
terutama dalam industri-industri kretek , tekstil dan batik . Dalam periode terakhir dari
sistem parlementer telah dilakukan berbagai upaya untuk memanfaatkan modal dan
teknologi asing serta keahlian usaha Tionghoa . ( Muhamin , 1991 : 169 )

Peraturan Presiden 10 / 1959

Pada masa Demokrasi Terpimpin , keinginan “ pempribumian “ dalam bidang ekonomi


tumbuh lagi . Menteri Perdagangan Rachmat Mulyomiseono pada bulan Mei 1959
mengeluarkan peraturan yang melarang perdagangan eceran di daerah pedesaan dan

17
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

mewajibkan orang asing untuk mengalihkan usaha mereka kepada warga negara
Indonesia selambat-lambatnya pada tanggal 30 September 1956 . Kabinet Soekarno yang
baru terbentuk itu kemudian mengumumkan bahwa larangan berdagang oleh orang asing
di daerah pedesaan akan diberlakukan . Ternyata di luar Jawa beberapa panglima daerah
militer telah mengundangkan bahwa daerah pedesaan tertutup bagi orang asing ( baca “
Tionghoa asing ) sebelum batas waktu September tersebut Panglima Daerah Militer Jawa
Barat juga mengeluarkan larangan yang sama .

Pada tanggal 10 November 1959 kabinet Indonesia mengundangkan persaturan yang


terkenal dengan nama Peraturan Presiden No. 10 , yang menegaskan kembali larangan
yang berlaku pada kabinet sebelumnya . Peraturan tersebut memberikan batas tentang
perdagangan eceran sebagai perusahaan yang mencari keuntungan dari pembelian dan
penjualan tanpa mengadakan perubahan teknis pada barang itu …( perusahan yang )
melakukan penyeberan yaitu menjadi penghubung terakhir untuk menyampaikan barang-
barang langsung kepada konsumen …(dan melakukan perdagangan pengumpulan , yaitu
membeli barang-barang dari produsen-produsen kecil untuk diteruskan kepada alat-alat
perantara selanjutnya .

Orang asing tidak diperkenankan berusaha di bidang perdagangan eceran dan oleh hukum
diwajibkan untuk mengalihkan perusahan mereka kepada warga negara Indonesia
sebelum 1 Januari 1960 . Peraturan tersebut mengatakan bahwa orang asing itu masih
diperkenankan tinggal di daerah tersebut , kecuali jika komandan militer setempat
menetapkan lain dengan alasan keamaman . Penting dicatat pula bahwa ada ketentuan
yang mewajibkan orang Indonesia untuk membentuk koperasi pedesaan untuk
menampung para pengusaha Tionghoa tersebut . Mereka yang terkena peraturan tersebut
dapat bekerja untuk koperasi itu sebagai pegawai , kalau mereka mau . Juga
diperintahkan agar pengalihan dilakukan dengan pertimbangan kemanusian yang sebaik
mungkin untuk menghindarkan terciptanya suasana “keruh “ . Peraturan Presiden No 10
menandai suatu penyimpangan dari stategi Indonesia sebelumnya dalam usaha
mengurangi kekuatan ekonomi Tionghoa dalam arti bahwa larangan tersebut hanya
berlaku terbatas pada pedagang Tionghoa asing . Ini mungkin didasarkan pada
pertimbangan bahwa tujuan yang diinginkan mungkin akan tercapai bila dikenakan pada
semua orang Tionghoa .

Tidak ada angka yang dapat diperoleh berkenaan dengan jumlah yang tepat dari orang
Tionghoa asing yang terkena larangan tersebut Menteri Distribusi Leimena
memperkirakan ada 25.000 warung /toko berada dalam kategori “ perdagangan eceran “.
Beberapa penganut memperkirakjan bahwa kra-kira 400.000 sampai 500,000 orang
terkena peraturan tersebut .

Banyak orang Tionghoa setempat yang tidak mau menutup usaha mereka karena sedikit
saja orang Indonesia yang mempunyai modal yang cukup untuk mengambil alih usaha
mereka . Keenggan mereka itu boleh jadi juga didorong oleh harapan bahwa pemerintah
Indonesia miungkin tidak akan memaksa berlakunya undang-undang tersebut . Juga ada
kemungkinan bahwa para pejabat kedutaan RRC menyuruh orang Tionghoa itu
melanjutkan saja perusahan mereka seperti biasa . Meskipun demikian banyak juga warga

18
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

negara Indonesia keturunan Tionghoa , khususnya kaum peranakan yang mendukung


yang berlakunya PP-10 karena mereka tidak akan terkena oleh peraturan tersebut . Di
samping itu mungkin pula mereka didorong oleh prasangka terhadap kaum totok serta
melihat bahwa itu merupakan suatu sarana untuk menunjukan kesetian mereka kepada
bangsa Indonesia dan untuk menyelamatkan diri sendiri . Untuk memaksakan berlakunya
peraturan itu , pemerintah Indonesia ,khususnya penguasa militer setempat ,
menggunakan jalan kekerasan . Situasi sangat gawat terlihat di Jawa Barat karena
panglima militer setempat mengeluarkan peraturan bahwa orang asing tidak boleh tinggal
di daerah pedesaan . Hal itu mengakibatkan adanya serangkaian peristiwa yang
menyebabkan beberapa Tionghoa lokal meninggal. Hubungan antarsuku antara orang
Indonesia asli dan Tionghoa khususnya orang Tionghoa asing menjadi tegang .

Hubungan antar golongan Tionghoa dan bangsa Indonesia makin memburuk dengan
cepat sebagai akibat berlakunya PP-10 . RRC menuduh pemerintah Indonesia melanggar
perjanjian tentang kewarganegaraan rangkap yang menyebutkan bahwa pemerintah
Indonesia akan melindungi kepentingan warga negara Tionghoa . Sebagai jawabannya ,
pemerintah Indonesia melalui Subandrio menuduh bahwa para pedagang Tionghoa “
bersalah karena melakukan tindakan kapitalistis dan monopolistis , dibarengi dengan
berbagai macam manipulasi dan spekulasi .” Selain itu Indonesia juga menuduh RRC
mencampuri urusan dalam negeri Indonesia . RRC melakukan tekanan menentang
pemerintah Indonesia dengan memulangkan orang Tionghoa lokal ke RRC . Catratan
Direktorat Jendral Imigrasi , Departemen Kehakiman , memperkirakan bahwa dalam
tahiun 1960 sejumlah 102.196 Tionghoa ( sebagian besar totok ) meninggalkan Indonesia
dan yang terbesar menuju ke RRC . Akan tetapi pemulangan itu kemudian dihentikan
oleh RRC atas alasan ekonomi maupun politis . RRC tidak dapat menyerap
membanjirnya Tionghoa yang pulang dari perantauan itu ke dalam perekonomian
negaranya . Di samping itu RRC menyadari bahwa kepergian begitu banyak Tionghoa
secara tiba-tiba akan mengakibatkan memburuknya perekonomian . Selanjutnya hal itu
akan berakibat melemahnya kekuasaan Soekarno dan kuatnya kedudukan militer yang
sebagian besar anti-RRC .Dengan maksud memperbaiki kerja sama anti imperaialisme di
Asia , RRC menerima tindakan diskriminatif Indonesia dengan cara mengurangi
gencarnya kampanye melawan Indonesia . Soekarno yang menyadari bahayanya
melanjutkan kampanye anti-Tionghoa , baik bagi perekonomian negara maupun bagi
tegaknya kekuasaannya ,berhasil meredakan tindakan anti-Tionghoa .

Namun , PP-10 tidak dicabut , hanya implementasi selanjutnya ditangguhkan untuk


sementara . Peking yang sadar akan pekanya kedudukan Tionghoa asing di Indonesia ,
dan kesuliran mereka menyesuaikan diri di daratan RRC , lalu mendorong orang
Tionghoa untuk mengambil kewarganegaraan lokal ( Indonesia ) . Di tahun-tahun
berikutnya , untuk menanggapi kebijaksanaan ekonomi Soekarno yang “ sosialistis “ ,
Peking mengimbau orang Tionghoa asing untuk meninggalkan sektor perdagangan dan
memasuki sektor indisutri guna membantu pembangunan perekonomian nasional
Indonesia . ( Suryadinata , 1984 : 140 – 143 )

Modal Asing Domestik

19
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

Di bidang ekonomi pemerintah Orba memiliki keinginan untuk memobilisasi dan


menfaatkan modal etnis Tionghoa WNA dengan memasukkannya dalam kegiatan “
modal asing dalam negeri “ dan menyatakannya sebagai kekayaan nasional . Seperti apa
yang termaktub di dalam instruksi Soeharto : Berbeda dari modal asing yang mencantum
di dalam Undang-Undang No. 1/1967 , modal asing domestik – modal yang diperoleh
dan dikembangkan di dalam wilayah Indonesia – adalah kekayaan negara yang berada di
tangan orang asing ; oleh karenanya harus dimobilisasi , dipelihara , dan dipergunakan
untuk rehabilitasi dan pembangunan , dan dilarang untuk dipindahkan ke luar negeri .

Instruksi ini kemudian diklarifikasikan di dalam Undang-Undang Penanaman Modal


Negeri ( UU PMDN ) tahun 1968 yang menyatakan bahwa bahwa : modal asing dalam
negeri : memiliki status yang sama dengan modal nasional ( milik WNI ) dan modal
negara , dan disebut “ modal dalam negeri “ Oleh karena itu , etnis Tionghoa WNA
dapat menanamkan modalnya dan mendapat perlakuan yang sama dengan modal WNI
dan negara . Modal itu akan diberi keringanan dan pembebasan dari pajak . Dan yang
sangat penting adalah modal inventasi milik Tionghoa WNA akan diberikan legilasi
apabila diinvestasikan di sektor produksi di luar sektor perdagangan . Seperti apa yang
dicantumkan dalam pasal 9 UU PMDN yang menyatakan bahwa , modal investasi yang
dipergunakan untuk rehabilitasi , investasi , ekspansi dan investasi baru di bidang
pertanian , perkebunan , kehutanan , perikanan, perternakan , pertambangan , industri ,
transportasi , perumahan umum , turisme , infrastuktur , dan sektor produktif lainnya
sejalan dengan program pemerintah tidak akan dipertanyakan asal usulnya oleh instansi
pajak dan tidak dikenal pajak selama dua tahun .

Pemerintah juga menganjurkan Tionghoa WNA untuk melakukan kerja sama usaha
dengan perusahan swasta nasional ataupun pemerintah . Hal ini diklarifikasikan dalam
pasal 3 UU PMDN yang berisi penjelasan perbedaan antara “perusahan nasional “ dan “
perusahan asing .” Dalam pasal 3 , dikatakan bahwa “ perusahaan domestik nasional “
adalah perusahan yang paling sedikit 51 % dari modal domestiknya dimiliki negara
dan /atau swasta nasional , dan presentase kepemilikan modal itu harus ditingkatkan
menjadi 75 % pada bulan Januari 1974 . Semua perusahan yang tidak memenuhi
persyaratan tersebut dikategorikan sebagai perusahan asing domestik . Untuk jenis
perusahaan “asing domestik :” ini , memberikan batasan waktu beroperasi . Perusahan
yang bergerak di sektor perdagangan diberi waktu sampai tahun 1977 , di sektor industri
dibatasi sampai tahun 1997 dan untuk sektor lain dibatasi antara sepuluh sampai
tigapuluh tahun .

Sementara itu , bagi etnis Tionghoa WNA yang melakukan joint-venture dengan
pengusaha swasta nasional atau pemerintah , perusahannya dikategorikan sebagai
“perusahan nasional “ dan tidak akan dikenai ketentuan pembatasan waktu usaha . Di sisi
lain , apabila mereka memilih untuk tidak joint-venture , maka perusahan mereka
dikategorikan sebagai “perusahan asing “ dan dikenai batasan waktu usaha . Akan tetapi ,
pembatasan waktu usaha bisa diatasi apabila pengusaha etnis Tionghoa WNA
mengajukan proses naturalisasi .

20
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

Melalui UU PMDN ini , pengusaha etnis Tionghoa ( baik WNA maupun WNI ) diberikan
intensif oleh pemerintah . Adanya UU PMDN itu , pemerintah Orba memang
memberikan kesempatan dan memiliki harapan atas partisipasi etnis Tionghoa dalam
menunjang program pembangunan ekonomi . Bagi etnis Tionghoa sendiri , intensif dalam
UU PMDN itu memberikan landasan bagi kegiatan mereka di sektor usaha . Walaupun
dalam prakteknya , mereka harus berhadapan dengan birokrasi dan masalah bagaimana
mereka mengamankan usaha mereka .

Akibatnya , untuk menghindari kesulitan birokrasi dan untuk pengamanan , banyak


pengusaha etnis Tionghoa berkolaborasi dengan elit Indonesia , terutama dengan pihak
militer . Kolaborasi tidak resmi yang sangat umum pada waktu itu adalah pengusaha etnis
Tionghoa memberikan dukungan modal dan mengelola usaha , sedangkan , elite
Indonesia memberikan lisensi atau konsensi monopoli . Keduanya sangat diuntungkan
oleh “kerja sama “ semacam ini, yang dikenal waktu itu sebagai “cukongisme “.

Salah satu contohnya adalah didirkannya “ Indonesia Busniness Center (IBC ) dan “
National Development Coprporation “ ( NDO pada tahun 1968 . Pendirian kedua insitusi
ini disponsori oleh Opsus dan PT Berdikari sebagai bagian dari usaha mencari dana
(fund-raising ) . Anggota dari organisasi ini antara lain Aspri Soeharto , Sudjono
Humardani , dan jendral Suhardiman , pemimpin PT Berdikari , sebuah perusahan yang
kepemilikannya di dominasi militer . Sementara itu untuk etnis Tionghoanya kelihatan ,
Be Sulindro ( Ma Shih-Ling ) dan Suwandi Hamid ( Ong Ah Lok ) , keduanya pengusaha
yang dekat dengan Koumintang ( Taiwan ) , Sudono Salim ( Liem Soei Liong ) ,
pengusaha yang dekat dengan Soeharto dan Jusuf Wanandi ( Liem Bian Kie ) yang
waktu itu adalah sekretaris Ali Murtopo .

Tugas utama dari IBC adalah menggalang kerja sama antara publik dan sektor swasta ,
sedangkan tugas NDC adalah memobilisasi dan utilisasi “modal domestik Tionghoa “
untuk mendukung pembangunan ekonomi . Pada waktu itu IBC dan NDC berhasil
menggalang dana tersembunyi (hidden fund ) – modal yang sering dipakai untuk
spekulasi – sebesar Rp 15 milyar yang dapat dipergunakan untuk “menunjang “
pembangunan .

Akan tetapi , IBC dan NDC tidak pernah menjadi besar dan bahkan keberadannya
memang sangat singkat , hanya sampai akhir tahun 1968 , sehingga mengundang suatu
pertanyaan apakah dana tersebut benar-benar dipergunakan untuk menunjang
pembangunan ekonomi . Tidak tertutup kemungkinan didirikannya kedua insitusi ini
adalah bagian dari kegiatan “fund raising “ militer . Ini mengingat , bahwa pada saat itu
Soeharto masih dalam tahap konsolidasi kekuasannya dengan cara membiarkan perwira-
perwira militer untuk terlibat dalam bisnis guna mendapatkan janinan dukungan dan
loyalitas .

Akibatnya , keinginan pengusaha etnis Tionghoa dalam mencari jalan guna


mengamankan bisnis dan mempermudah utusan dengan birokrasi , sejalan dengan
kebutuhan Soeharto untuk mendanai militer . Dan , karena mendapatkan jaminan
keamanan pengusaha etnis Tionghoa tidak ragu untuk menginvestasi dananya . Memang

21
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

akhirnya , hubungan antara pengusaha etnis Tionghoa dan pihak militer itu
menguntungkan kedua belah pihak . Efektivitas intensif pemerintah dalam UU PMDN ,
koneksi dan alinasi-alinasi ekonomis dapat terlihat dari jumlah penanaman modal dalam
negeri antara tahun 1968 – 1973 dan keterkaitan pengusaha etnis Tionghoa dengan
investasi asing , terutama Jepang di awal tahun 1970-an .

Sepanjang tahun 1968 – 1973 , pemerintah menyetujui investasi domestik sejumlah Rp


1,25 triliun . Porsi terbesar investasi domestik itu ada di industri menufaktur sebesar Rp
755 miliar , sisanya , sektor kehutanan ( Rp 139,4 miliar ) , sektor perhotelan dan real
estat ( Rp 148,7 miliar ), sektor pertanian ( Rp 61,7 miliar ), sektor konstruksi (Rp 14,2
miliar ), sektor pertambangan (Rp 47,6 miliar ) dan sektor-sektor lain ( Rp 89,0 milliar ).

Dalam kaitannya dengan investasi asing , khususnya Jepang dan di sektor manufaktur ,
dalam satu tahun saja (1975 – 1974 ) terdapat peningkatan subtansial . Dari 26 proyek
dengan nilai 108, juta dollar menjadi 47 proyek senilai 250 juta dollar . Dan salah satu
karakteristik dari investasi Jepang di Indonesia adalah adanya aliansi ekonomi antara
investror Jepang , pejabat tinggi militer dan pengusaha etnis Tionghoa .

Akan tetapi keberadaan , aliansi ekonomi antara pengusaha etnis Tionghoa , pejabat dan
investor Jepang itu mengundang kecaman dari pengusaha pribumi dan pihak-pihak yang
mulai mengambil posisi oposisi terhadap kebijakan ekonomi Orba . Kritik dan kecaman
terhadap praktek pengusaha etnis Tionghoa sebenarnya sudah dimulai tahun 1970 .
Berbagai media masa memberitakan tentang Cukong dan praktek bisnisnya di mana para
Cukong dikritik karena mereka banyak mendapatkan kontrak-kontrak dan lisensi bisnis
dan kemudahan kredit sebagai imbalan atas dukungan dana atau pembagian keuntungan
kepada para pejabat . Misalnya , harian Nusantara , dalam salah satu artikelnya
mengungkapkan bahwa antara tahun 1868 – 1970 dua puluh Cukong karena relasinya
dengan pejabat Orba dengan mudah mendapatkan kredit sebesar 200 miliar rupiah .

Kritik terhadap praktek bisnis para Cukong itu kemudian berkembang ke dalam
perdebatan menyangkut kebijakan ekonimi Orba . Para pengeritik Orba menentang
pembukaan kesempatan yang diberikan kepada “investasi domestik asing “. Sementara
itu , pemerintah mempertahankan kebijakan itu karena menganggap pendayagunaan
“investasi domestik asing “ itu sangat menguntungkan di mencegah pelarian modal dan
penggunaan dana untuk hal-hal yang subversif . Di samping itu , kebijakan pemerintah
juga dikecam kalangan pengusaha pribumi yang menyatakan bahwa pemerintah tidak
melihat konsekuensi pemberian intensif pada “investasi domestik asing “ yaitu dominasi
mereka di sektor ekonomi . Salah satu suaranya diwakili oleh mantan perindustrian Orla
Rahmat Mulyomiseno , yang berpandangan bahwa keinginan kuat untuk mengatasi
kekurangan pengetahuan ,keahlian , pengalaman bisnis serta permodalan , hanya
mendorong pemerintah untuk mengikuti pola tertentu tanpa memperhatikan hasilnya di
masa depan yaitu dominasi etnis Tionghoa di sektor ekonomi .

Memasuki pertengahan tahun 1973 , kritik atas praktek bisnis dan perdebatan atas
kebijakan ekonomi itu berkembang menjadi protes terbuka oleh kaum intelektual dan
mahasiswa . Protes ini terbuka secara lugas mengecam praktek alinasi etnis Tionghoa-

22
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

militer-investor Jepang yang merupakan sumber korupsi . Ini diikuti dengan demontrasi
mahasiswa menentang Aspri (Asisten Pribadi Soeharto ) yang dituduh mengambil
keuntungan dari hubungan mereka dengan para Cukong dan juga investor Jepang .
Rangkaian demontrasi ini akhirnya meledak dalam peristiwa kerusuhan Malari pada 15
Januari 1974 . Dalam peristiwa ini , proses anti Aspri , anti Tionghoa dan anti Jepang
nerubah menjadi pengerusakan dan penghancuran took-toko etnis Tionghoa dan produk-
produk Jepang . ( Nuranto, 1999 : 55 – 65 )

Alasan kerja sama antara Tionghoa dan pemegang kekuasaan yang pribumi itu amat
kompleks . Lingkungan usaha di Indonesia ditambah dengan undang-undang dan
praktek-praktek yang diskriminatif terhadap Tionghoa , mengakibatkan orang Tionghoa
memandang kerja sama dengan orang pribumi yang berkuasa merupakan cara terbaik
untuk mendapatkan perusahanan yang bisa memperoleh keuntungan . Sebaliknya , para
pejabat Indonesia yang meiliki fasilitas , dan sering juga , tidak mempunyai pengalaman
berusaha , bersedia menggunakan Tionghoa untuk menjalan perusahannya untuk mereka.
Mereka tidak suka memakai pengusaha pribumi yang dengan status pribuminya
mempunyai posisi tawar ( bargain posisition ) yang kuat, lagi pula mereka juga sering
mempunyai hubungan dengan golongan politik , sehingga mereka dapat merupakan
ancaman bagi peberapa pejabat tertentu .Sebaliknya , kaum minoritas Tionghoa memiliki
landasan politis yang lemah dan posisinya rawan . Orang Indonesia yang duduk dalam
kekuasaan merasa lebih aman menggunakan orang Tionghoa daripada pengusaha
pribumi. Mitra Tionghoa mereka mendapatkan perlindungan ekonomis melalui kerja
sama itu , walaupun itu tidak berlaku bagi masyarakat pengusaha Tionghoa pada
umumnya . Kendatipun demikian ,, cukong-cukong itupun masih mengalami tekanan
sosial , dan politis yang sama dengan Tionghoa Indonesia yang lain .

Pemerintah Soeharto peka terhadap ketidaksenangan para pengusaha pribumi itu . Pada
beberapa kesempatan Presiden Soeharto sendiri mendesak pengusaha Tionghoa untuk
mencari mitra orang Indonesia asli sehingga dengan demikian kedudukan dari yang
tersebut terakhior itu menjadi lebih baik . Ia mengatakan bahwa semua perusahan
Tionghoa diwajibkan menjual 50 % sahamnya kepada pemerintah yang kemudian akan
menjualnnya kepada para pengusaha pribumi . Tetapi rupanya ini tidak dilaksanakan .

Setelah kunjungan Tanaka, pemisahan antara pribumi dan Tionghoa kembali mendapat
penekanan karena pemerintah mencoba menolak orang Tionghoa untuk memperoleh
pembiayaan jangka menengah dari bank-bank negara . Tanggal 22 Januari 1974 Presiden
Soeharto mengeluarkan pernyataan tentang kebijaksanaan pengarahan bagi penanaman
modal swasta . Presden menegaskan bahwa semua penanaman modal asing ( kecuali di
bidang pertambangan , perbankan dan asuransi ) hendaknya berbentuk patungan .

Tidak dikemukakan rencana waktu untuk melaksanakan “pempribumian : perusahan


yang disebut di muka . Orang dapat curiga bahwa pernyataan itu lebih bersifat retorik
daripada suatu kebijaksanaan yang penting isisnya . Walaupun begitu , kalau pada
akhirnya hal tersebut akan menjadi undang-undang , pelaksanaannya , akan menjadi sulit
karena dua hal : Pertama : pemerintah membutuhkan dana yang besar jumlahnya , dan
kedua , hal itu akan memberikan kesan bahwa pemerintah yang sekarang merlakukan

23
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

“diskriminasi rasial : terhadap warga negara keturunan Tionghoa .Mengingat situasi


perekonomian sangat bergantung pada bantuan luar negeri dan penamaman modal asing ,
menyisihkan orang Tionghoa akan berarti bahaya bagi kemampuan perekonomian
Indonesia. Kalaupun tindakan penyisihan hanya dikenakan pada orang Tionghoa , masih
juga akan timbul ketidakmantapan karena orang Tionghoa memainkan peranan kunci
dalam perusahaan Barat dan Jepang . Selain itu, tindakan tersebut mungkin akan
mendatangkan rasa takut kepada penanaman modal asing . Lagi pula para elite yang
berkuasa, yang mendapatkan keuntungan dari peraturan yang sekarang , akan menentang
tindakan dratis yang akan membahayakan kedudukannya . ( Suryadinata , 1982 : 148 –
150 )

Untuk mengurangi ketegangan semacam itu dan dengan bekal pendanaan dan penerimaan
minyak pemerintah Orba mengeluarkan kebijakan baru yang pada dasarnya untuk
memberdayakan pengusaha pribumi . Kebijakan itu antara lain , misalnya , di dalam
Repelita II dicantumkan bahwa kredit investasi dari bank negara , seperti Kredit Investasi
Kecil (KIK) ,Kredit Modal Kerja Permanen ( KMKP ) , Kredit Usaha Kecil (KUK) hanya
akan diberikan kepada pengusaha pribumi . Pada tahun 1976 juga dikeluarkan Daftar
Sekala Prioritas (DIP) dengan tujuan di samping untuk menyalurkan investasi dan
domestic di luar areal perkotaan , tepai juga untuk melindungi usaha-usaha pribumi . .
Begitu juga keluarnya peraturan No. 36 Tahun 1976 menyangkut pelaksanaan batas
waktu investasi “asing” diu sektor perdagangan dan pengalihan saham milik “asing “ ke
tangan pribumi atau WNI . Peraturan ini juga sekaligus menutup sektor perdagangan bagi
kalangan “asing “ sehingga secara tak langsung memaksa mereka mengalihkan usahanya
ke sektor industri Dua tahun kemudian , lewat Keprres No 14 tahun 1979 yang kemudian
disempurnakan oleh Keprres No 14 A/1980 , pemerintah Orba menyatakan bahwa
seluruh departemen dan instansi pemerintah harus memberikan kontrak proyek senilai
sampai dengan Rp 100 juta kepada “usaha golongan ekonomi lemah ’ Sementara usaha
golongan ekonomi lemah ini didefinisikan sebagai sebuah perusahaan yang 50 %
kepemilikannnya berada di tangan pribumi dan sebagian kepemimpinannya juga berada
di tangan pribumi .( Nuranto ,1999 : 65 – 66 )

Kepres 14 dan Kepres 14 A merupakan langkah paling langsung yang diambil oleh
pemerintah Soeharto ke arah Indonesianisasi dan yang paling diskriminatif terhadap
golongan Tionghoa . Akan tetapi frustasi yang dialami golongan pribumi dalam
kaiatannya dengan pelaksanaan Keppres 14 dan Keprres 14 A itu jelas jauh berkurang
dibandingkan dengan keadaan sebelumnya . Hal ini disebabkan karena mereka telah
dapat “ menyesuaikan diri : dengan korupsi birokrasi dan birokratisme ( red tape ) , satu
keadaan yang tidak begitu sehat . KIK-KMKP-KCK, Kepres 14 dan 14 A pun telah
menambahkan satu lapisan baru dalam sistem birokrasi .Tidak adanya koordinasi dan
kerjasama di kalangan badan-badan-badan pemerintah tidak hanya menambah
kebingunan di lapangan bisnis, tetapi juga telah menimbulkan lebih banyak korupsi ,
yang memadai dan tidak teraturnya tindakan-tindakan birokrasi , tidak adanya suatu
lapisan pengusaha pribumi , menimbulkan kesulitan-kesulitan yang sukar diatasi dalam
upaya mendorong perkembangan pengusaha pribumi .( Muhaimin , 1991 : 212 )

24
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

Kendati ada aturan seperti Kepres 14 , secara keseluruhan , pengusaha etnis Tionghoa
ternyata lebih banyak yang tumbuh dan menjadi besar . Salah sastu penyebabnya .
adalah, aturan itu hanya membantu sebagian pengusaha pribumi , terutama mereka yang
memiliki hubungan dengan kekuasaan atau memang sudah memiliki aliansi dengan
pengusaha etnis Tionghoa . Alhasil , porsi kepemilikan di sektor swasta memang masih
di tangan pengusaha etnis Tionghoa .

Di samping itu , perlindungan pemerintah setelah tahun 1974 terhadap “ infant industry “
ternyata juga membantu pengusaha etnis Tionghoa , karena mereka juga mulai berpindah
dari perdagangan ke industri , terutama manufaktir . seperti makanan dan minuman,
tekstil , kimia, produk-produk metal atau produk-produk konsumsi pengganti barang
impor yang menyarap banyak tenaga kerja. Ingga dapatlah dikatakan , bahwa di awal
tahun 1970-an mereka melalui aliansi dengan modal asing , terutama dengan produsen
barang yang telah lama mereka distribusikan , memang telah meletakkan dasar-dasar
usaha di bidang manufaktur yang kemudian tumbuh dan berkembang besar di awal 1980-
an . Potensi mereka untuk menanamkan modal lewat investasi dan penyedian lapangan
kerja memang diakui oleh pemerintah Orba . Sehingga tidaklah mengherankan apabila di
awal tahun 1980-an , ketika penerimaan dan minyak mengalami penurunan , pemerintah
Orba berpaling ke pada sektor swasta , yang umumnya di dominasi etnik Tionghoa, untuk
investasi dan menyediakan lapangan kerja . Ini tercermin dalam pidato Soeharto ketika
menyampaikan program Repelita IV ( 1984 – 1989 ) yang menyatakan bahwa
pemerintahn hanya dapat menyediakan 54.1 % dari keseluruhan biaya yang dibutuhkan
bagi pembangunan tahap IV . Sementara sisanya 45.9 % diharapkan datang dari sektor
swasta , terutama untuk menunjang pengadaan lapangan kerja dan memperoleh dana bagi
program pembangunan dari penerimaan ekspor non-migas . ( Nuranto , 1999 : 67 – 68 )

Deregulasi di bidang finansial yang muncul di tahun 1988 semakin membuka kesempatan
untuk memperkokoh usaha yang dimiliki etnis Tionghoa . Melalui deregulasi ini,
sebagian besar pengusaha Tionghoa dapat mengkonsentrasikan kekuatan finasialnya.
Misalnya, pendirian beberapa insitusi finasial dan kerja sama yang mereka jalin dengan
insitusi dana yang esensial bagi perkembangan usaha etnis Tionghoa . Insitusi finansial
tersebut berfungsi sebagai paying bagi insitusia finansial yang mereka memiliki ,
beberapa pengusaha besar secara tak langsung dapat memberikan suntikan dana ataupun
memberikan kredit bagi pengusaha etnis Tionghoa lainnya, terutama bagi mereka yang
baru menekuni duinia usaha . Di samping itu , mereka juga semakin mudah mendapat
pinjaman dari luar negeri .

Memasuki dekade 1990-an , kesempatan untuk membesarkan usaha juga terbuka dengan
aktifnya bursa saham . Mulai saat itu satu persatu perusahan besar besar milik pengusaha
etnik Tionghoa didaftarkan dan diperjualbelikan sahamnya di bursa saham . Ini juga
mengakibatkan mereka mengbah struktur perusahan , dari perusahaan keluarga ke
perusahaan-perusahan yang sebagai dimiliki oleh publik . Sampai pertengahan 1993 ,
misalnya , dari 162 perusahan yang terdaftar di bursa saham Jakarta , 80 % di antaranya
adalah milik pengusaha etnis Tionghoa . ( Nuranto, 1999 68 – 69 )

25
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

Kekuatan Politik Bisnis Tionghoa

Fakta bahwa etnis Tionghoa di Indonesia ( baik warga Indonesia , kebanyakan peranakan,
maupun warga negara asing , hampir semuanya adalah totok ) mengendalikan Kekayaan
dan kekuatan ekonomi di Indonesia pada periode 1970 – 1980 , namun pada saat yang
sama hampir sepenuhnya terkucil dari kesempatan untuk mengembangkan pengaruh
politik , telah menciptakan masalah analistis bagi para ilmuwan sosial yang berusaha
menafsirkan posisi mereka dalam masyarakat Indonesia . Tak ada keraguan bahwa
kebanyakan dari mereka , baik yang kurang mampu maupun yang kaya raya , telah
secara umum mengalami peningkatan dalam skala sosial sepanjang tiga puluh tahun
terakhir . Banyak dari mereka yang kini menempati posisi kunci atau berada di dekat
puncak piramida sosial yang sampai tahun 1950-an dikuasai sepenuhnya oleh orang-
orang Belanda . Adslah mudah , dengan demikian , untuk tiba pada kesimpulan bahwa
kaum “Tionghoa “ atau kalangan paling kaya dari mereka pada dasarnya telah
menggantikan kaum Belanda sebagai kaum “borjuasi “ Indonesia ( atau komponen
pengakumulasian modal di dalamnya ) bersama-sama dengan sejumlah “ kapitalis
birokratik “ dan perusahan-perusahan asing besar , yang mengendalikan puncak komando
ekonomi .

Namun demikian, kesimpulan itu sangat-sangat menyesatkan , dalam dua hal . Pertama .
perusahan-perusahan bisnis Tionghoa belum mampu mendominasi semua puncak
komando ekonomi Indonesia sampai derajat seperti yang dijalankan Belanda dulu
( kendatipun mereka memang mengontrol banyak dari bukit dan lerengnya yang tinggi ) ;
mengingat nereka masih dikucilkan dari banyak sektor kunci yang berada di bawah
kendali negara , seperti minyak, mineral , perkebunan ( hampir sepenuhnya ), sebagian
besar dari wilayah bank deposit dan bagian cukup besar dari industri kaya . Kedua,
mereka memiliki hanya sedikit pengaruh atau kekuatan politik , sementara perusahaan-
perusahaan perkebunan dan perdagangan Belanda memiliki peran politik yang luar biasa,.
Baik di Den Haag , di Batavia ataupun di berbagai kantor kabupaten . Kaum Tionghoa
berada di posisi rentan secara politik dan sosial yang sangat membatasi peluang mereka
untuk mengembangkan pengaruh politik di luar yang sepenuhnya berbasis personal .
Kendatipun begitu banyak kita mendengar cerita sejak awal Orde Baru mengenai
hubungan erat antara cukong-cukong Tionghoa Kaya , dan para jendral Indonesia yang
berkuasa, hanya terdapat sedikit bukti bahwa ada dari mereka yang mampu menanamkan
pengaruh cukup besar dalam proses pengambilan keputusan umum yang menentukan
garis-garis besar formulasi kebijakan sosial dan ekonomi nasional ( misalnya kebijakan
nilai tukar , alokasi anggaran , prioritas industri dan sebagainya ). Paling jauh mereka
dapat menerapkan sejumlah pengaruh terhadap keputusan-keputusan tertentu mengenai
pengalokasian kontrak, lisensi , kredit , dan semacamnya , Tak ada Tionghoa di Indonesia
yang dapat berharap untuk memainkan peran politik secara berjarak yang dapat
dibandingkan dengan yang dimainkan semasa tahun 1970-an di Muangthai oleh Bonchu
Rajanasathein , pimpinan Tionghoa-Thai dari Partai Aksi Sosial dari seorang tokoh
terkemuka di Bank Bangkok . Kelas bisnis Tionghoa-Thai dapat dikategorikan sebagai
“borjuasi “ di era 1980-an dengan kepercayaan yang sangat jauh lebih besar dari rekan
sejawatnya di Indonesia , baik karena pengaruh politik mereka yang jauh lebih luas

26
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

ataupun karena kekuatan ekonomi mereka yang secara relatif jauh lebih ekstensif di
dalam sektor ekonomi komersial .

Kecenderungan para ilmuwan sosial terdahulu dalam memperlakukan kaum Tionghoa “


terutama sebagai sebuah minoritas rasial ketimbang sebuah borjuasi komersial “ telah
dikritik oleh Ben Anderson dalam karyanya yang banyak dikutip orang . Tidak di
manapun , menurutnya , mereka yang diperlakukan seperti Barington Moore
memperlakukan borjuasi komersial Tionghoa, Jepang dan India ,” sebagai kelas-kelas,
yang konflik-konflik dan aliansi-aliansinya dengan kelas-kelas lain menentukan nasib
peradaban .” Itu memang merupakan gugatan yang menantang namun . sebagaimana
diargumentasikan orang Coppel secara meyakinkan , gagasan tersebut tak cukup kokok
ketika dikaji jauh lebih dalam . Tentu saja tak semua orang Tionghoa adalah kaya ; ada
banyak Tionghoa miskin sebagaimana juga Indonesia miskin . Namun mereka tetap
merupakan sebuah minoritas etnik yang cukup kohesif , yang berlaku sampai sekarang
baik karena kerentanan sosial mereka dan buah dari asoisasi komunitas dan jaringan
kekerabatan mereka ( yang masih tetap penting , meskipun sudah kurang krusial
dibandingkan lima puluh tahun yang lalu ) ; namun juga sebagian karena mereka telah
didorong ke dalam wilayah komresial dan industrial akibat keterkucilan mereka secara
hampir sempurna dari pertanian , dan pegawai negeri , dan dari beragam pekerjan lainnya
Saya siap mengakui bahwa kaum lebih kaya di antara mereka dapat dipandang sebagai
sesuatu seperti borjuasi , walau yang secara politik tidak memiliki daya penekan . Kecuali
kualifikasi yang dibutuhkan ditambahkan , adalah menyesatkan untuk menyematkan label
kasar pada mereka . Ungkapan buruh namun memperjelas yang diberikan Fred Riggs
pada kaum Muangthai duapuluh tahun yang lalu .”wiraswasta paria “ ( penamaan yang
tak lagi sangat memadai bagi pengusaha Tionghoa-Thai ) adalah tetap pantas diterapkan
bagi pengusaha Tionghoa di Indonesia . Dan perbedaan antara Tionghoa Indonesia dan
Tionghoa Muangthai tidaklah dapat diturunkan pada faktor-faktor “struktural” atau
ekonomi , namun secara mendasar berkaitan dengan faktor-faktor sosio-kultural yang
telah menentukan proses asimilasi yang jauh lebih pesat di Muangthai daripada di
Indonesia .

Pengusaha Tionghoa seperti Liem Sioe Lioing , William Suryajaya, dan Bob Hasan plus
lusian lainnya dari jenis yang sama tanpa diragukan telah merupakan aktor-aktor penting
Pada panggung ekonomi sejak tahun 1960-an , dalam persekongkolan dengan para
“politico-birokrat :, namun pengaruh politik mereka tidak tampak meluas melampui
persyaran-persyaratan kepentingan bisnis personal mereka . Mereka tidak bertindak
mempengaruhi kebijakan-kebijakan pemerintah atas nama komunitas Tionghoa sebagai
keseluruhan , atau atas nama sebuah “kelas “ pengusaha kaya yang dapat dikategorikan
sebagai “borjuasi “. . Tidak pula para pembuat kebijakan yang berpengaruh dalam
menentukan strategi ekonomi keseluruhan pada umumnya atau kebijakan industrial pada
khususnya ( wilayah yang paling memikat perhatian para pengusaha Tionghoa terkemuka
tersebut ) membentuk kebijakan-kebijakan pemerintah dengan memperhatikan
kepentingan-kepentingan mereka secara khusus .

Pada akhirnya , tiga butir lain penting diperhatikan mengenai Tionghoa sebagai “borjuasi
“ potensial di Indonesia , dalam perbandingan dengan rekan-rekan sejawat Tionghoa-

27
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

Thai mereka. Pertama , investasi mereka dalam cakrawala waktu hampir semua bersifat
jangka-pendek . Tujuan mereka hampir senantiasa adalah untuk memperoleh kembalian
modal tinggi secepat mungkin , mengingat mereka terlalu sadar pada tiap tahap bahwa
sebuah ayunan dalam pendulum politik dapat berdampak kehancuran bagi mereka ( itu
tak ;lagi berlaku di Muangthai , kendatipun dulu mungkin juga terjadi sekitar tahun 1950-
an )

Kedua, dalam ratusan kota yang tersebar di seluruh Indonesia , baik kota-kota kecamatan
atau kabupaten , di mana Tionghoa adalah lebih terkemuka sebagai “ kelas bisnis “
daripada di Jakarta , Medan atau Surabaya , mereka cenderung terkemuka dalam dua
corak aktivitas : pengembangan property dan bentuk-bentuk yang lebih mensyaratkan
keahlian dari industri kecil dan perdagangan ; di mana keunggulan mereka terhadap
pesaing pribumi dalam kemampuan organisasional , pelayanan purna jual dan
keterandalan , memberikan mereka daya saing yang sangat mendasar . Namun terdapat
derajat tinggi turnover di kalangan mereka dan heteroginitas yang sangat lebar dari yang
sangat kaya sampai pedagang kecil yang bergulat mati-matian , sepeerti yang juga kita
dapat amati dalam kelas komersial di negara-negara lain . Adalah sulit untuk menenukan
di mana kita dapat menarik garis antara “borjuasi “ dan yang lainnya di kalangan
Tionghoa Indonesia di tahap ini .

Ketiga, perfeseran umum ke atas dalam pola-pola pekerjaan mereka sejak 1930-an
membutuhkan pengamatan lebih dalam ketimbang selama ini dilakukan , karena
sementara kaum Tionghoa telah berhasil meninggalkan pekerjaan –pekerjaan dan bisnis-
bisnis berstatus-rendah yang harus mereka terima di masa-msa penjajahan , perubahan
peran-peran ekonomi mereka belum lagi membawa serta perubahan serupa dalam status
sosial mereka di Indonesia sebagaimana di Muangthai , atau bahkan di Malaysia . Kita
belum lagi menyaksikan perkembangan semacam “alinasi antara pedagang Tionghoa
dengan kelas penguasa : yang digambarkan oleh Skinner di Muangthai di akhir tahun
1950-an , yang dikokohkan oleh derajat tinggi pernikahan antar kedua kelompok dan
pola-pola kompleks pemilikan bersama dengan kelompok-kelompok perusahaan . Jauh
lebih rendahnya derajat asimilasi yang dicapai kaum Tionghoa di Indonesia dibandingkan
di Muangthai telah merupakan faktor krusial dalam perbedaan ini , dengan alasan-alasan
yang terlalu kompleks untuk dibahas di sini . Namun hanya terdapat sedikit keraguan
bahwa sampai garis-garis pemisahan etnik di Indonesia menjadi jauh lebih kabur ,
sebagaimana yang telah terjadi di Muangthai dewasa ini , pembelahan etnik akan tetap
menjadi penghambatan utama terhadap setiap bentuk solidaritas kelas , baik di kalangan
kelas menengah maupun “borjuis “ di Indonesia . ( Mackie , 1993 : 90 – 95 )

Kisah Tiga Pengusaha Tionghoa

NV Kian Gwan didirikan di kota Semarang pada 1 Maret 1863 oleh ayah Oei Tiong Ham
yang berma Oei Tjie Sioen , seorang pendatang dari porpinsi Fukien di Tiongkok Selatan.
Waktu mendarat di Indonesia pada tahun 1858 , ia baru berumur 23 tahun , sehingga
ketika mendirikan perusahannya berumur 28 tahun . Pada sat itu keadaan ekonomi Hindia
Belanda berada dalam keadaan tidak menentu karena masih dipengaruhi oleh akibat-

28
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

akibat Perang Diponogoro dan dihentikannya sistem Tanam Paksa ( Cultuur Stelsel ) ,
sedangkan bagi penduduk Tionghoa berlaku pembatasan bergerak dan bermukim .

Dalam keadaan tidak menentu Oei Tjie Sien memperlihatkan keunggulannya sebagai
wirausaha dengan keberaniannya menganbil tindakan-tindakan yang inovatif yang
bertentangan dengan tradisi orang-orang Tionghoa . Misalnya, ia memasukkan seorang
luar , bukan anggota keluarga, dalam manajemen usahanya . Keterbukaan ini merupakan
ciri khas dan unsur keberhasilan dari Kian Gwan selama ia beroperasi di Indonesia .
Untuk memperkecil resiko, sejak semula diusahakan diverifikasi dengan
memperdagangkan barang-barang dari Tiongkok dan mengekspor gula dan tembakau
serta menyan dan gambir .

Suatu keuntungan besar bagia Kian Gwan adalah terpeliharnya kontinuitas perusahan
tersebut dengan adanya seorang putra bernama Oei Tiong Ham yang ternyata mempunyai
sifat-sifat kewiraswastaan yang mungkin lebih unggul dari ayahnya . Dalam tangan
generasi kedua keluarga Oei ini , masa jaya Kian Gwan yang berlangsung dari kira-kira
tahun 1990-1930 terbentuk . NV Kian Gwan menjadi suatu perusahan besar, yang
mempunyai sifat-sifat suatu Multi-Nasional Corporation masa kini, yang bergerak dalam
bidang produksi , distribusi , impor dan ekspor , perbankan ,, perkapalann , veem dan
asuransi dan memperkerjakan ribuan orang .Cabang-cabang didirikan di Jakarta dan
Surabaya dan juga di luar negeri di Calcuta , Bombay , Karachi , Jongkong dan
Shanghai .Kebijaksanaan personalia yang dimulai dari ayahnya diteruskan dengan
mengirim anak-anak Tinghoa yang mempunyai potensi baik , ke luar negeri untuk
memperoleh pengetahuan universitas-universitas di sana . Kontinuitas pemilikan dan
pimpinan juga direncanakannya dengan seksama : karena istrinya tidak melahirkan anak
laki-laki , ia menikah lagi dan akhirnya mempunyai 8 istri dan 26 anak .

Dengan bantuan horoskop ia menentukan siapa dari putra-putranya akan menjadi


pewarisnya yang kemudian didirikannya untuk memimpin suatu perusahan besar dan
diajarkannya pentingnya bekerja keras . Menjelang Perang Dunia II , putranya yang
bernama Oei Tjong Hauw menjadi pemimpin utama yang berhasil mempertahankan
perusahannya melewati liku-liku ketidakpastian malaise dan permulaan Perang dalam
dekade 30-an . Namun zaman pendudukan Jepang dan gejolak revolusi Kemerdekan
merupakan tantangan yang berat bagi kelangsungan hidup perusahaan yang pada tahun
1850-an , mendekati umur satu abad . Peraturan-peraturan pemerintah menjurus ke
partisipasi yang lebih wajar dalam ekonomi dari golongan etnis Indonesia serta soal
kewarganegaraan beberapa anggota keluarga Oei yang pada dasarnya tetap merupakan
pemilik dan pemimpin utama dari perusahaan Kian Gwan , mengakibatkan terjadinya
perselisihan-perselishan dengan pemerintah yang berakhir dengan penyitaan seluruh
perusahan tersebut pada tahun 1961 . Perusahan ini kemudian direorganisir menjadi milik
pemerintah dengan nama PT Radjawali Indonesia . Kecuali seseorang , semua
direkturnya adalah orang-orang bekas Kian Gwan .

Jelaslah bahwa kisah Kian Gwan yang selama hampir 100 tahun merupakan perusahan
etnis Tionghoa yang terbesar di Indonesia , yang pimpinannya bertahan selama tiga
generasi dalam satu keluarga , merupakan kisah pribadi-pribadi dengan sifat-sifat

29
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

kewiraswastaan yang amat meyakinkan . ( Panglaykim , 1981 : 74 – 93 )Oei Tiong Ham


Concern adalah perusahan konglomerat Asia pertama yang memakai tenaga professional
dari berbagai bangsa, yaitu : Indonesia – Tionghoa , Belanda, Inggris dan lain-lain .
Akhirnya , lebih banyak tenaga professional yang memimpin perusahan keluarga ini..
Namun demikian tetap ada canmpur tangan keluarga-pemilik dan sebagai pimpinan
tertinggi adalah anggota keluarga ( anak Oei Tiong Ham ) sampai tahun 1950-an .
Mungkin untuk dapat mengikuti “business-hunch “, keputusan untuk memakai
kesempatan perlu adanya pemilik dengan naluri dagang . Oleh sebab itu , mungkin Kian
Gwan jadi usaha dagang Concern ini dipimpin oleh orang dengan “naluri judi “ yang
mengerti dan dapat menempatkan rasionalitas pada tempatnya .( Onghokham , 1996 :51 )

Kisah Oei Tiong Ham adalah suatu perkecualian yang luar biasa dalam sejarah
kewiraswastaan Indonesia . Karier bisnisnya secara relative lepas dari perlindungan
pemerintah . Ia tidak banyak terlibat dalam kontrak pemerintah atau milkiter seperti
pedagang kaya lain pada masanya . Berlainan dengan pengusaha sezamannya di Asia
Tenggara . Oei Tiong Ham adalah inovatif dalam mencari kesempatan baru untuk
menanam modal dan merasionalisasi organisasi bisnisnya . Akan tetapi berkenan dengan
itu perlu dijelaskan , bahwa tahun 1910-an , ketika bisnisnya berkembang dengan cepat ,
adalah suatu dasawarsa , ketika bisnisnya berkembang bergerak yang tidak terbatas
kepada orang Tionghoa yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah Indonesia .
Dengan tidak memerlukan perlindungan pemerintah dan birokrasi yang secara relatif
bebas korupsi , Oei Tiong Ham dapat memusatkan semua energinya pada perluasan dan
rasionalisasi bisnisnya .( Onghoham , 1991 : 111 )

Keluarga William Soeryadjaja selama ini dikenal sebagai salah satu keluarga pengusaha
didikan Barat dan sudah lama mengenal dan menerapkan manajemen bisnis
professional. Memang , kalau mau diklasifikasikan , keluarga konglomerat ini ini masuk
klasifikasi keluarga konglomerat Tionghoa peranakan . Yakni , keluarga keturunan
Tionghoa yang tidak lahir di Tiongkok , dan sudah tak lagi menggunakan bahasa
leluhurnya .

Pernah mengecap pendidikan di Negeri Belanda . William terbukti memang lebih mahor
bahasa Belanda ketimbang bahasa Tionghoa . Ia relatif moden dan mestinya akan lebih
rasional . lugas dan konservatif dalam berbisnis . Setidaknya dibandingkan dengan
kolomerat keturunan Tionghoa lain yang masuk klasifikasi Tionghoa totok – lahir di
Tiongkok dan merantau ke Indonesia – seperti Liem Sioe Liong .

William Soerjadjaja ( Tjia Kian Liong ) lahir tahun 1923 di Jawa Barat sebagai seorang
Peranaklan . Ia menjadi yatim pada usia muda . Ia memulai karier bisnisnya mulai tahun
1940-an dengan usaha perdagangan kulit yang tampaknya tidak begirtu sukses Aktivitas
bisnisnya di tahun 1950-an juga gagal antara lain karena program Benteng .

PT Astra Internasional , yang dikenal sebagai kerajaan bisnis William didirikan pada
tahun 1957 . Keberhasilan Astra mulai tampak ketika berhasil mendapat kontrak dari
pmerintah untuk pengadaan aspal dan material yang dipergunakan untuk membangun
Bendungan Jatiluhur .

30
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

Mulai tahun 1965 , rupanya kontak dengan pemerintah mrenjadi semakion intensif . Ini
memberikan landasan untuk memperbesar lahan bisnisnya . Sejak tahun 1970 , Asatra
miulai berkonsentrasi . Sejak tahun 1970, Astra mulai berkonsentrasi pada peralatan berat
dan kendaran bermotor , suatu bidang usaha yang sebetulnya enggan dimasuki oleh para
pengusaha Tionghoa lainnya . Sektor industri otomotif telah lama dikuasai oleh para
pengusaha birokrat yang sebagian besar diantaranya adalah orang-orang pribumi . Sistem
penjatahan impor kendaraan dikontrol dengan ketat oleh para pejabat dan diberikan
hanya kepada orang-orang yang dekat dengan mereka . Akan tetapi , tahun 1970 ,PT
Astra Internasional mendapatkan kontrak yang sangat besar , yaitu penngadaan
kendaraan untuk kepentingan Pemilihan Umum . Inilah yang merupakan sukses pertama
dari kiprah Astra di industri otomotif .

Sejak saat itu pula kepercayaan modal asing untuk bermitra dengan PTAstra
Internasional menjadi besar . Ia menjadi agen tunggal dari beberapa merk terklenal ,
seperti Toyota , Fuji Xerox , Westinghouse , Kodak, dan Allis Chalmers . Bisnis Astra
kemudian meambah ke mana-mana , tetapi tetap dengan basis bisnisnya yang utama
adalah di sektor otomotif . Keberhasilan bisnis ini juga ditopang oleh hubungan baik
antara Astra dengan “patron “ politiknya , yaitu Ibnu Sutowo yang saat itu menjadi Dirut
Pertamina .

Tahun berikutnya juga merupakan tahun yang tidak mengenakkan bagi Astra . Saat itu
Pertamina , mitra bisnis dan “patron “ PT Astra Internasional mengalami kejatuhan akibat
salah urus “ Pertamina jatiuh akibat “ kesalahan investasi “ . Kebangkrutan Pertamina
bahkan juga hampir membangkrutkan negara . Bangkrutnya Pertamina membawa akibat
terhadap Astra . Proyek real estate Kuningan , yang merupakan kerjasama Astra dengan
Pertamina, ikut terkena dampaknya . Astra harus menanggung kerugian senilai US $ 30
juta . Dua kejadian ini memberikan pelajaran kepada PT Astra Internasional . Sejak saat
itu , PT Astra Internasional mulai menjalankan kebijaksanaan perusahaan yang
memberikan dasar-dasar bagi sebuah korporasi modern . Restrukturisasi itu dijalankan
dengan integrasi vertikal , profesionalisasi , depolitisasi , dan pembentukan citra
dihadapan publik .

Yang terpenting adalah depolitisasi . Astra mulai mempertimbangkan kembali hubungan


dengan para pejabat sipil maupun militer . Depolitisasi bukan berarti memutuskan
hubungan sama sekali dengan negara . Yang dipertimbangkan kembali adalah patronase
kepada pejabat-pejabat tertentu sebagai perorangan . Hubungan ini lebih diarahkan
kepada negara sebagai insitusi .

Depolitisasi juga membawa dampak yang penting , yaitu memberikan dasar-dasar


manajemen modern kepada perusahaan . Ini sekaligus berarti bahwa perusahan ditatat
dengan dasar merit system , yang menggantikan sistem keluarga sebelumnya . Dibuat
pemisahan yang tegas antara kekayaan keluarga William Soerjadjaja dengan kekayaan
perusahaan . Hasilnya , adalah , PT Astra Internasioinal tampak lebih “nasionalis “ dalam
arti jumlah staf yang pribumi semakin besar . Penerapan manajemen modern juga
meletakkan dasar yang kokoh bagi Astra sebagai korporasi . Astra juga tampil dengan

31
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

image yang lebih baik di hadapan publik dengan yayasan karitatif yang dibentuk oleh
perusahaan ini, Yayasan Astra Dharma Bakti ( Supriatna , 1993 : 83 – 87 )

William pada kurun itu adalah sosok yang dikenal sebagai wiraswasta sukses . Astra
Group berkmbang pesat dan banyak orang percaya ia pengusaha terkaya kedua di
Indonesia setelah Liem Sioe Liong , William Soeryadjaja juga dipandang sukses
membina para perajin dan pengusaha kecil . Selain itu , ia memberikan peluang cukup
besar bagi para manajer pribumi untuk berkembang di lingkungan PT Astra Internasional
– suatu yang masih langka ketika itu .

Sosok William nyaris tanpa cecat . Anak sulungnya Edward Soeryadjaja yang belajar
bisnis di Manila membantu bisnis sang ayah . Seperti ayahnya ,Edward juga merangkul
banyak manajer pribumi dalam kelompok bisnis Summa Group . Bahkan ia melakukan
terobosan kerja samanya dengan Nahdahtul Ulama , untuk mendirikan bank-bank
perkreditan rakyat

Ambisi membesarkan Summa Group , yang sebagian besar sahamnya dimiliki keluarga
William Soeryadjaja , kalau bisa menyamai atau lebih besar dari Astra Group ternyata
kandas karena kelemahan manajemen dan situasi ekonomi yang memburuk . Edward
Soerjadjaya yang menggerakan bisnisnya secara ekspansif , ternyata tidak didukung
personalia dan manajemen yang tangguh . Ia salah hitung dan sialnya tak seprang pun
dengan cepat menahan dan mengoreksi kesalahan itu . Edward yang dalam banyak hal
sebenarnya memiliki semangat dagangh dan entrepreneurship yang sama dengan
ayahnya memang bergerak tanpa kontrol . Bahkan dari sang sang selaku presiden
komisaris di induk usaha kelompok Summa . Ia baru berhenti atau diberhentikan ayahnya
tatkala Group Summa sudah membuat utang besar kurang lebih Rp 800 miliar pada
pertengan tahun 1990 .

Klimaks tragedi bisnis ini terjadi 13 Desember 1992 . Yakni tatkala pemerintah
melikuidasi Bank Summa , lembaga keuangan milik keluarga William Soeryadjaja . Ini
keputusan penting dan bersejarah . Sebab inilah pertama kali dalam sejarah , pemerintah
membredeil sebuah bak umum swasta . Keputusan ini dinilai amat mengejutkan dunia
perbankan dan masyarakat dunia usaha , terutama para konglomerat pemilik bank .
Jampir pasti tak satu pun di antara mereka menduga sebelumnya bahwa pemerintah akan
bertindak sedratis itu pada bak yang memiliki total asset sekitar Rp 1,3 triliun .

Kejatuhannya menyiratkan banyak penafsiran . Ada yang menyatakan bahwa manajemen


dan struktur perdomadalan lkmglomerat Indonesia sesungguhnya memang kropos Tetapi
ada pula yang menyatakan bahwa faktor-faktor nonbisnis yang ikut mendorongnya jatuh
lebih lagi keras . Kalangan penmerintah tentu saja menyangkal tuduhan ikut
mempercepat kerutuhan sanga taopan Kebangkutan Bank Summa yang berkaitan
demikian eratnya dengan Summa Group sebagai konglomerat , bukanlah kenangkurata
yang luar biasa , yang disebabkan oleh faktor-faktor diluar kendalinya . ( Daulay , 1993 :
13 – 38 ). .

32
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

Liem Sioe Liong adalah seorang Tionghoa totok . Ia lahir di Fukien tahun 1916 . Usia 22
tahun ia berimigrasi ke Jawa dan mula-mula bekerja di tokok milik pamannnya di Kudus,
Jawa Tengah . Sejak awal, boleh dikatakan bahwa bisnis Liem sangat terkait erat dengan
tentara . Konon, ia menjadi supplier makanan , obat-obatan , dan (diduga ) juga senjata
dalam perang revolusi . Tentu saja , hubungan mereka lebih pada hubungan dagang
ketimbang hubungan yang dilandasi patriotisme revolusioner . Oleh karena itu , ia
mendapat konsesi dagang yang tak terbatas dan semacam “lisensi penyelundupan “ dari
orang-orang militer .

Hubungan Liem dengan tentara terus berlanjut jauh setelah perang revolusi usai .Sejak
tahun 1950-an , ia sangat dekat dengan perwira-perwira Divisi Diponogoro yang saat itu
dikomandani oleh Kolonel Soeharto ( kemudian menjadi Presiden RO ) Secara khusus ia
berhubungan dengan Soedjono Hoermardani , Asisten Keuangan Divisi Diponogoro .

Ia menjadi pensuplai utama kebutuhan tentara sehingga ia berhasil tidak saja sekadar
berdagang , tetapi juga mulai membuat beberapa pabrik seperti tekstil , sabun, paku, dan
suku cadang sepeda . Tahun 1954 ia mendirikan Bank Windu Kencana . Tujuh Tahun
kemudian , ia mendirikan Bank Central Asia (BCA) yang saat Orde Baru merupakan
bank swasta terbesar di Indonesia .

Tampakanya Liem tidak begitu terkena pengaruh kebijaksaan Benteng karena bisnisnya
berada di bawah proteksi yang amat kuat . Selain itu. Liem Sioe Liong masih teramat
kecil dan sedikit sekali berhubungan dengan luar negeri , kecuali “barter “ beberapa
kebutuhan pokok .

Kajayaan bisnis Liem baru muncul setelah kekuasaan pemerintah Orde Baru . Ini adalah
akibat dari hubungan patronase yang kuat dari pemerintah , yang sebagian besar dikuasai
oleh militer , dengan siapa Liem sebelumnya telah menjalin hubungan baik . Hubungan
ini tetap terbiasa sampai saat ini . Awalnya , Liem juga membantu Angkatan Darat ,
khususnya di mana Kolonel Soeharto menjadi komandan , dalam hal mengorganisasikan
yayasan-yayasan kesejahteraan prajurit yang dikelola oleh organisasi tentara .

Setelah Orde Baru berkuasa, Liem dengan segera mendapat monopoli untuk komoditi
perang , yaitu terigu ( PT Bogasari ) dan cengkeh (PT Mega ) . Bisnis Liem melibatkan
jaringan yang luas . Seperti dikatakan oleh Richard Robinson bahwa kelompok Liem
bisa mengambil keuntungan dari kebijaksanaan protektif yang sebenarnya dirancang
untuk menumbuhkan kapitalis pribumi , khususnya dalam subsitusi impor, karena ia
memiliki kapasitas untuk menjaga monopoli dan akses terhadap lembaga keuangan
internasional .

Seperti halnya William , Liem pun memiliki patron-patron di kalangan pemerintahan .


Sebagian dari mereka adalah pejabat-pejabat militer . dengan siapa ia telah berhubungan
sebelumnya . Para pejabat ini memiliki akses untuk mengendalikan lembaga-lembaga
pemerintahan seperti Bulog dan Perttamina .

33
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

Satu keuntungan dari Liem adalah bahwa ia tidak pernah mengalami “ kecemburuan
massa-rakyat :, seperti yang dialami William tahun 1974 . Publikasi tentang Liem sangat
sedikit sebelum tahun 1980-an . Baru setelah sebuah majalah luar negeri ( Insight )
mengungkapkan kekayaannya dan hubungan bisnisnya , orang menjadi tahu betapa
besarnya kekayaan dan betapa luasnya bisnisnya jaringan kekuasaan yang dimiliki oleh
Liem . Akan tetapi , ini agak terlambat Liem sudah terlanjur sangat besar . Kekayaan
pribadinya ditaksir bernilai US $ 3 milliar . Saat akhir Orde Baru adalah taipan terkaya di
Asia tenggara . Jaringan usahanya sangat luas di dalam maupun di luar negeri .( Supriatna
, 1996 : 83 – 87 )

Menyadari bahwa usaha yng dirintisnya sudah menjadi gurita raksasa , sehingga
memerlukan organisasi dan manajemen professional yang sesuai dengan tuntutan zaman.
Liem Sieo Liong terutama dibantu oleh putra ketiga , Anthony Salim memperoleh
pengetahuan bisnis di London . Dengan begitu , Anthony punya bekal untuk memadukan
gaya manajemen Tionghoa dari sang ayah dengan praktek bisnis modern yang diadaptasi
dari Barat . Di samping itu , hari-hari Anthony juga diisi sang ayah dengan pengalaman –
pengalaman bisnis yang praktis ..

Di PT Salim Economic Development Corporation – semacam holding yang didirikan


pada 1973 untuk membawahkan seluruh kepentingan bisnis keluarga Liem – Anthony
bertindak sebagai direktur pelaksana . Tim eksekutif yang mengelola holding itu
umumnya dijumput dari kalangan Tionghoa yang tak bisa berbahasa Tionghoa . Mereka
oleh Liem dianggap lebih bisa dipercaya dan kurang menentang atasnya ketimbang para
totok yang segenerasi dengan Liem . Para pembantu muda inilah yang umumnya bekerja
di bawah pengawasan Anthony . Sedangkan mereka yang tua dan lancar berbahasa
Tionghoa ada di bawah kendali Liem Sioe Liong langsung .

Selain itu , berbeda dengan kedua kakaknya – Albert Salim , yang memegang PT Central
Sole Agency , perusahan yang mengageni mobol Volvo dan Andree Salim , yang banyak
memusatkan perhatiannya di kelompok BCA – Anthony lebih banyak dilibatkan dalam
kegiatan bisnis sang ayah . ( Soetriyono, 1989 : 114 – 116 )

Manajemen Dagang Tionghoa

Para pengusaha besar macam Liem Sioe Liong dan Eka Tjipta Wijaya, misalnya , tidak
memiliki pengetahuan akdemis apa pun ditinjau dari segi manajemen ilmiah . Akan
tetapi, toh kenyataannya merekalah yang meraja dalam dunia bisnis Indonesia .
Pertanyaan yang muncul , apakah sesungguhnya mengelola bisnis dengan manajer ilmiah
modern memiliki perbedaan mendasar dengan mengelola bisnis lewat pengaman semata
? Kesenjangan yang ada penting dan “mengganggu “ untuk beberapa alasan . Pertama ,
ini menimbulkan berbagai pertanyaan serius tentang sistem-sistem manajemen strategik ,
perencanan formal , dan berbagai perangkat manajerial canggih lainnya , yang mulai
biasa digunakan . Kedua kesenjangan tersebut “menggugat “ pendidikan manajemen
yang biasanya sarat dengan teori, dan memproduksi semakin banyak manajer bergelar

34
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

Magister Manajemen sekarang ini. Lebih lanjut lagi , kesenjangan ini mengakibatkan
peningkatan efektifitas manajer muda menjadi sulit .

Akan tetapi, bagaimanapun , menjadi keyakinan yang semakin besar bahwa dalam dunia
bisnis modern dituntut adanya manajemen yang professional . Definisi manajemen
professional ini menekankan bahwa para manajer akan semakin memerlukan konsep dan
perangkat manajerial sebagai pedoman praktek mereka dalam dekade mendatang . Akan
tetapi, sekalipun kalangan kalangan bisnis atau manajer belajar dan melaksanakan
praktek manajemen secara ilmiah , sesungguhnya mereka tidak lepas dari hal-hal yang
menyangkut nilai , kepercayaan dan keyakinan yang mereka anut . Ini terjadi karena
dunia bisnis adalah dunia yang sarat dengan dinamika . Dunia bisnis gampang sekali
berubah dan tidak mudah memperkirakan apa yang bakal terjadi dan bagaimana cara
mengendalikannya . Para manajer sering tidak berfungsi dalam lingkungan yang well-
defined , tidak bisa mengelola langsung berbagai aspirasi mereka melalui saluran-saluran
organisasional yang diatur secara formal , serta tidak bisa menetapkan dan mengikuti
rencana-rencana formal . Mereka sering tidak fit dengan stereotype manajer yang sering
digambarkan . Dengan kata lain , betapa rasionalnya dunia bisnis , unsur-unsur yang
bersifat spekulatif bisa sangat mewarnai pelaksanaannya di lapangan .

Paling tidak ada tiga nilai yang sering disebut sebagai penentu perilaku bisnis golongan
Tionghoa : yaitu hopeng, hiong sui , dan hoki . Ketiganya merupakan nilai, keperccayaan,
dan (mungkin ) yang juga mitos dipakai untuk menjalankan bisnis . Ketiga nilai inilah
yang biasanya mewarnai keberanian berspekulasi dalam menjalan bisnis .

Hopeng adalah cara untuk menjaga hubungan baik dengan relasi bisnis . Bagi orang
Tionghoa, bisnis tidaklah hal yang seluruhnya rasional sehingga hubungan dengan relasi
sangat penting . Sebagian besar dari perusahan keluarga atau teman-teman dekat . .
Karena itu bisa dimaklumi mengapa bisnis orang Tionghoa selalu berputar sekitar
keluarga , clan atau etnik Tionghoa sendiri . Bentuk-bentuk perkongsian ( hui ) tumbuh
subur di kalangan Tionghoa karena dianggap sebagai bentuk yang paling tepat untuk
mewadahi kepentingan ekonomi keluarga , clan , atau bahkan bangsa .Tujuan seorang
Tionghoa dalam mengepalai suatu kongsi atau persereon adalah untuk menggalang kerja
sama dengan sesame anggota keluarga , kawan dekat mereka . Hopeng dalam hal ini
berkisar seputar relasi keluarga , suku dan bangsa .

Berbeda dengan pola bisnis orang Eropa Barat , yang bertujuan memperkaya diri pribadi ,
orang Tionghoa lebih mengutamakan kaum kerabat ketimbang diri sendiri . Dengan
demikian , urusan perkongsian (hui) bukan semata-mata urusan pribadi menjadi tulang
punggung ekonomi, melainkan juga urusan emosional yang seringkali bahkan agak
berbau chauvinistis . Dalam hal ini , perkongsian juga menyangkut mertabat dan kejayaan
clan atau keluarga . Seorang kepala keluarga ( biasanya kakek atau tsu-kung ) , yang
memiliki pengaruh besar , pada umumnya sangat dihormati oleh seluruh keluarganya

Akan tetapi , dalam bisnis di kalangan Tionghoa modern . , khususnya yang bisa dilihat
di Indonesia , istilah hopeng tidak hanya menyangkut kalangan keluarga , clan atau
bangsa . Banyak bukti yang bisa dilihat bahwa hopeng juga memasukkan kalangan “

35
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

kenalan “ yang memudahkan urusan bisnis . Teman main, khususnya yang memiliki
pengaruh kekuasan politik, juga termasuk dalam lingkaran hopeng . Sebagai contoh
adalah kisah sukses seorang pengusaha Tionghoa , Mohammad “ Bob” Hasan ( The Kian
Seng ) , yang berhasil merajai pasaran kayu lapis dunia .

Kepercyaan terhadap hong sui adalah kepercayaan pada faktor-faktor alamiah yang
menunjang nasib baik dan nasib buruk manusia . Hong sui menunjukkan bidang-bidang
atau wilayah yang sesuai dengan keberuntungan baik dalam hidup sehari-hari maupun
dalam peruntungan perdagangan . Seperti, misalnya , peruntungan sebuah rumah
memerlukan perhitungan rumit dari para ahli hong sui tersebut membawa rejeki bagi
yang memakainya . Dengan teori geomancy yang rumit , keberhasilan sebuah tempat
bisa disesuaikan dengan waktu dan suasana .

Hal-hal seperti ini sangat berpengaruh pada praktek dagang orang Tionghoa , juga di
Indonesia . Contoh yang paling jelas adalah adanya anggapan beberapa pengusaha
Tionghoa bahwa belahan Jakarta sebelah barat dianggap membawa keberuntungan
dalam bidang real estate . Praktek-praktek hung sui seperti ini sesungguhnya dalam
sistem kultural mampu membuat perhitungan yang sangat hari-hati dalam dagang .
Setiap ramalan, yang tentu saja boleh dianggap tidak rasional , sesungguhnya tidak
pernah berakibat apa-apa terhadap dagang . Hanya saja, ramalam itu penting untuk
menambah kewaspadaan dalam menjalankan dagang .

Nilai yang satu ini memiliki kaitan dengan unsur sebelumnya (hong sui )) . Hokie
merupakan peruntungan dan nasib baik . Para pengusaha keturunan Tionghoa memegang
suatu konsep pengelolahan nasib atau takdir ( managing destiny ) melalui hing sui ,
sehingga terlibat bahwa hokie ini tidak terpaku pada nasib agar (selalu ) mendapat nasib
baik . Mengenai hal ini, bos Sinar Mas Group , Eka Tjipota Wijaya ( Oei Ek Tjong )
bagaimana ia jatuh bangun dalam dunia dagang . Berbagai macam usaha teklah ia geluti
sebelum menjadi besar . Sekalipun ia berusaha sangat keras , ia percaya bahwa jika bukan
karena hokie maka usahanya tidak akan banyak berhasil .

Ketahanan nilai yang dipraktekkan para pengusaha Tionghoa dalam menghadapi


berbagai perubahan lingkungan bisnis di Indonesia dan Asia Tenggara . Sepertinya nilai
jaringan (hopeng ) telah terbukti berabad-abad cukup ampuh dalam menunjang sukses
bisnis orang keturunan Tiongghoa , dan bahkan diramalkan oleh John Naisbitt akan
menjadi kekuatan yang semakin besar .( Handoko, 1996: 51 – 62 )

Penutup

Keberhasilan orang Tionghoa di Asia Tenggara seringkali dihubungkan dengan citra


perusahan yang legendaris , kerja keras , hemat , solidaritas , keluarga dan pendidikan ,
dan kebaikan-kebaikan neo-Konfusisius dan kewirausahaan lainnya . Raffles mencatat
kualitas itu di kalangan penambang Cina di Pulau Bangka pada 1915 , dan belakangan
ada yang menggambarkan mereka tidak hanya tekun dan hemat tetapi juga tahan
menderita , percaya akan kemampuan diri dan berani mengambil resiko , kualifikasi yang

36
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

seluruhnya baik untuk menjadi pengusaha modern dari masyarakat kecil yang sedang
berkembang dengan pasar yang tidak sempurna dan biaya transaksi yang tinggi Ada
sedikit keraguan Bahwa sebagian besar orang Tionghoa perantauan .sangat dikaruniai
dengan kualitas kondusif ini dan lainnya bagi keberhasilan kewirausahaan di dunia
moden daripada kelompok-kelompok etnis lainnya di Asia Tenggara . Tetapi mengapa
demikian halnya ? Adakah kualitas-kualitas ini berasal dari adapatasi mereka terhadap
pengalaman sulit sebagai minoritas dagang yang marginal di negeri-negeri tujuan
emigrasinya , dipaksa oleh tidak adanya peluang untuk bersandar bagi setiap usaha jual-
beli barang ? Atau apakah kualitas-kualitas itu bersumber dari dalam masyarakat
Tionghoa sendiri ? Atau akhirnya , semua hal itu telah tertanam berurat berakar oleh
banyaknya generasi yang bertarung menyelamatkan diri dari kemiskinan , bencana alam,
dan eksistensi penuh resiko dan marginal di Tiongkok yang penuh-sesak ?
.
Sebenarnya keberhasilan bisnis di kalangan orang Tionghoa Asia Tenggara bisa dikaitkan
dengan faktor-faktor budaya dan kelembagaan yang relevan . Marilah kita mulai dengan
kenyataan bahwa nilai-nilai dan praktik-praktik bisnis yang dibawa kaum imigran
Tionghoa ke Asia Tenggara lebih dari seabad yang lalu memberi mereka suatu segi
kompetitif terhadap pesaing pesaingnya ( termasuk orang Barat , dalam banyak keadaan )
dan memungkinkan mereka bergerak maju ke berbagai tahap dalam kondisi sosi-ekonomi
yang ditemui di sana . Dengan start awal yang menguntungkan berarti komunitas,-
komunitas , perusahaan-perusahan keluarga , dan lembaga-lembaga perdagangan lainnya
yang mereka dirikan terus berkembang maju melebihi bisnis orang pribumi , kecuali pada
tahun-tahun kacau 1830-1969-an . Mereka berada di tempat yang bagus untuk
memgambil keuntungan baik dengan penarikan LSE era kolonial Eropa dan Amerika
maupun masuknya peruisahan-perusahan mutinasional bartu yang mencari mitra
patungan yang mampu segera setelah itu . Terutama sekali , pertumbuhan cepat yang
dialami seluruh wilayah tersebut sejak 1960-an menciptakan peluang-peluang yang tidak
terduga sehingga mereka lebih mampu meraihnya yang lain-lain .

Kita tidak perlu berandai—andai bahwa semua orang Tionghoa mempunyai bakat
kewirausahaan yang istimewa , meskipun biasanya sejumlah besar kalangan mereka
memilikinya . Tetapi bakat-bakat mereka didorong oleh kondisi-kondisi yang mendukung
yang berasal dari perkumpulan-perkumpulan Tionghoa dan lembaga-lembaga dagangnya
Pendirian perkumpulan satu dalek bahasa dan jaringan-jaringan keluarga-nya, Siang
hwee ( kamar dagang ) , dan kegiatan komunitas lain untuk saling bantu berlangsung
untuk keuntungan mereka, menciptakan jalur-jalur kelembagaan yang memiliki daya
tahan sehingga kaum kapitalis lokal tidak mampu menandinginya . Apalagi, hampir
semua pengusaha Tionghoa memiliki motivasi yang kuat untuk mencetak keberhasilan
sejak tahun-tahun awal . ketika kemiskinan adalah pendorong , sampai saat-saat terakhir
ini, ketika ketidakamanan dan diskriminasi menambah deretan kesulitan . Sikap hemat
mereka disertai tingkat penabungan yang tinggi serta putaran (omzet ) yang tinggi ,
kegiatan-kegiatan bisnis dengan keuntungan yang tipis menjadikan mereka pesaing berat.
Pengetahuan mereka bahwa ketrampilan bisnis perlu ditingkatkan mengingat asal-usul
mereka yang papa untuk terjun ke dunia usaha besar dan rumit juga merupakan sebuah
asset yang luar biasa.

37
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

Karakeristik istimewa perusahan keluarga Tionghioa juga merupakan kepentingan sentral


dalam seluruh hal ini . Kita terdorong kembali ke belakang ke pertanyaan-pertanyaan
tentang sifat dasar keluarga , hubungan kekeluargaan , dan sosialisasi di Tiongkok
maupun di seluruh Asia Tenggara . Proses sosialisasii itu bertanggung jawab
menanamkan kebiasaan tekun , pantang mundur , dan determinasi dalam meningkatkan
karakteristik warusan keluarga pihak ayah dari begitu banyak perilaku kewirausahaan
orang Tionghoa . Keluarga-lkeluarga Tionghoa sangat patrieneal , yang berakar pada
prinsip belas kasih pada anak laki-laki , penghormatan nenek moyang , dan pemeliharaan
garis keturunan keluarga , dan dalam semua hal ini penghargaan yang mereka miliki
merupakan keunggulan besar atas ( sebagian besar ) para pesaing pribumi mereka dengan
struktur sosial yang lebih longgar dan sistem keturunan keluarga kognatis ( bilateral ) .
Dalam merintis fase-fase pembangunan Asia Tenggara , perusahan-perusahan keluarga
Tionghoa juga diuntungkan oleh kontrol ketat sang ayah terhadap pekerja dari anggota
keluarga dan terhadap kekayaan yang teridiri dari warisan keluarga keturunan ayah ,
suatu disiplin yang dikukuhkan oleh otoritas ekonomi sang ayah .

Mengingat pertimbangan-pertimbangan ini, maka barangkali tidak mengejutkan jika


begitu banyak pedagang Tionghoa berprestasi baik di Asia Tenggara dalam masa-masa
sebelum dan sesudah Perang Dunia II , dan bebarapa di antara mereka menjadi kaya raya
dalam periode-periode ledakan ekonomi . ( Mackie , 2000 : 198 – 200 )

Dalam dasawarsa-dasarwaesa belakangan koneksi-koneksi politik memainkan peranan


yang begitu besar di dalam keberhasilan para cukong yang paling kata di Asia Tenggara
sehingga sejumlah perhatian khusus diberikan kepada mereka . Beberapa individu sangat
mengandalkan kontak-kontak politik untuk kepentingan dagang , dengan Liem Sioe
Liong dari Indonesia menjadi kasus yang terkenal ; sedang yang lain-lain lebih kurang
memanfaatkan ( misalny William Soeryadjaja dan Tan Kah Hee ) .Namun di luar
Singapura , Orang Tionghoa yang paling kaya di Asia Tenggara pun jarang terkenal
dalam kehidupan politik wilayah itu, apalagi ini “ borjuasi “ penting di dalam paham
Marxis konvensional karena margenilitas politik dan kerawanan sosial orang Tionghoa .
Kemampuan mereka memanipulasikan koneski-kpneksi politik dalam berbagai keadaan
tergantung lebih pada keadaan ekonomi dan sosial daripada berdasarkan watak politik
navitis mana pun .

Sebaliknya , adalah perlu untuk mempertanyakan argumen yang diberikan oleh


Yoshihara bahwa kaum kapitalis Asia Tenggara , baik Tionghoa maupun pribumi , tidak
lebih dari kapitalis semu ( ersatz ) , atau pencari keuntungan ( rent seeker ) , sangat
tergantung pada koneksi-koneksi politik , privilese khusus , dan langkanya lesensi
maupun teknologi yang diimpor sehingga mereka sama sekali bukan kapitalis sejati .
( Kunio , 1990 ) Meskipun terdapat bukti untuk mendukung generasi seperti itu terhadap
sejumlah kapitalis Tionghoa , barangkali bahkan banyak , Yoshihara telah memperlemah
kasusnya dengan membesar-besarkannya . Jika wilayah tersebut benar-benar langkah
kapitalis sejati 1960-an , adalah sukar untuk menjelaskan bagaimana wilayah itu
mempertahnkan tingkat pertumbuhannya yang begitu tinggi . Kaum kapitalis dan politisi
seluruh dunia menggaet kesempatan mencari keuntungan ketika dimungkinkan bagi
mereka memperolehnya koneksi-koneksi politik . Gambaran khusus tentang Assia

38
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

Tenggara bukan kelemahan kapitalisme semu , tetapi posisi unik orang Tionghoa yang
secara ekonomi kuat dan sangat dibutuhkan , tetapi secara politik lemah dan rawan , suatu
situasi dengan akar-akar politik dan sejarah yang rumit .

Sebenarnya secara obyektif Yohishara Kunio tidak bisa menolak fakta bahwa Indonesia
mempunyai kapitalis sejati ( genuine capitalist ) , yang bisa kerja keras dan besar . bukan
karena tuyul lisensi maupun agen MNC . Bahkan mereka ini mampu menyaingi dan
menggusur MNC dalam medan persaingan pasaran bebas . Rokok Gudang Garam , Teh
Sosro dan Batere ABC adalah sebuah keajaiban ekonomi . Satu-satunya produk nasional
yang mampu mengalahkan multinasional di tiga sektor itu di seluruh dunia . Jepang dan
Korea Selatan membendung MNC rokok kretek dengan susah payah melalui monopoli
BUMN dan proteksi tariff tinggi . Di Indonesia , Coca Cola masuk , tetapi toh bisa
dibendung oleh Teh Botol dan Aqua . Batere ABC adalah merk yang bisa memojokan
baik Eveready (AS) maupun National Jepang dalam perang bater di Indonesia . Ini berarti
dalam tiga jenis produk ini Indonesia malahan lebih unggul dari Korea Selatan maupun
Jepang sendiri ditinjau dari kemampuan produk lokal mengalahkan produk MNC ..
( Wibisono , 1990 : 14 )

Ada segelintir mereka yang memperoleh “sukses “ ekonomi berkat hubungan baik
dengan penguasa . Akan tetapi , sekalgi lagi , kemudian ini pun sangat tergantung kepada
siapa yang berkuasa . Memberikan konsensi dan monopoli ekonomi tertentu ( tentu saja
lewat kekuasaan membuat peraturan ) sering kali juga disertai keharusan untuk membagi
hasil usaha ekonomi tersebut kepada yang berkuasa.

Paling tidak , kita bisa melihat dua model yang melandasi hubungan antara ekonomi
minoritas Tionghoa dengan penguasa politik . Model pertama adalah suatu usaha yang
paling tidak berusaha untuk menerapkan suatu prinsip usaha yang rasional . Adapun
model kedua adalah suatu usaha untuk menfaatkan hubungan patronase dengan elite-elite
Yang berkuasa . Akan tetapi , tidak berarti model pertama tidak memakai jalur-jalur
kekuasaan . Mereka tetap memakai kekuasaan sebagai pelindung bisnis , tetapi berusaha
untuk tidak terikat dalam bentuk ikatan-ikatan personal .

Perkembangan kapitalisme mutakhir mengindikasikan bahwa kapitalisme cenderung


untuk lepas dari pemilikan pribadi . Lembaga-lembaga keungan memegang peranan
dalam membuat perusahan menjadi milik publik . Suatu korporasi tidak lagi ditentukan
oleh siapa yang memiliki modal , tetapi siapa yang mengelola modal . Dalam hal ini ,
peranan sebuah kelas, yakni kelas manajerial yang mengelola sebuah korporasi menjadi
sangat penting . Kapitalisme pasca –industrial membuat pemisahan antara para pemilik
modal dan pengelola modal .

Dalam perkembangan kapitalisme Indonesia , kecenderungan perkembangan yang


menerapkan suatu prinsip usaha yang rasional dan tidak menggantungkan pada iklim
politik mendekati perkembangan kapitalisme pasca-indistrial . Kelas manajer selama
beberapa tahun terakhir ini semakin berperan walaupun belum berhasil menggeser
sepenuhnya pemilik modal . Ini mengisyaratkan bahwa kemahiran bisnis yang berasal
dari proses belajar semakin gari semakin dipentingkan . Kelas manajerial , yang

39
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

dihasilkan lewat berbagai lembaga pendidikan , memang sedang tumbuh dan merupakan
golongan yang paling diuntungkan dalam pertumbuhan dan merupakan golongan yang
paling diuntungkan dalam pertumbuhan ekonomi Indonesia . Hanya saja, sebagian besar
kelas manajerial ini kembali didominasi oleh etnik Tionghoa .

Kelompok perusahan seperti Astra Internasional , yang secara formal sudah menjadi
milik publik , memang sangat didominasi oleh kelas manajerial . Akan tetapi , model ini
pun cenderung terlalu menyederhanakan fenomena bisnis dan politik yang
sesudangguhnya sangat rumit . Seringkali yang terjadi adalah tumpang tindih antara relasi
pribadi dengan tumbuhnya bisnis sebagai langkah-langkah yang rasional . Begitu banyak
pola bisnis yang terjalin dengan kepentingan politis yang masih bertahan . Jika kita mau
membandingkan agaknya sejarah terus berulang , seperti misalnya , adakah perbedaan
antara bisnis dan politik candu dari abad ke-19 dengan bisnis dan politik cengkeh pada
tahun 1990-an ?

Yang patut diperhatikan di sini adalah , apakah bisnis ini dimungkinkan berkat gabungan
kemahiran kewiraswastaan , hidup hemat , kerja keras dan professional sebagaimana
yang disering disebut dalam etos Kapiotalisme ? Sangat sulit untuk menjawabnya .
Menurut Onghokham , kisah klasik tentang migrant miskin, yang dengan membanting
tulang dan mengetatkan ikat pinggang berhasil menjadi jutawan tujuh turunan “ hanyalah
mitos yang diperalat oleh golongan usahawan untuk membujuk orang lain bekerja keras
dan hidup hemat . Kalau hidup hemat dan kerja keras menimbulkan kapitalisme ,
mengapa kalangan petani sering kali harus hidup sangat keras dan sangat hemat tidak
muncul sebagai jutawan ?

Yang jelas adalah bisnis yang dikembangkan oleh para ussahawan keturunan Tionghoa
ini lebih menampilkan kepandaian strategi bisnis . Daya bertahan mereka untuk tetap
hidup sebagai manusia dan komunitas memaksa mereka untuk mencari jalur-jalur - yang
paling sempit sekalipun - yang bisa dipakai untuk mempertahankan hidup . Ekonomi
adalah lahan yang direkayasa oleh para penguasa untuk golongan Tionghoa dan ini
dimanfatkan secara maksimal . Tidak terlalu mengherankan ini yang membuat
kecenderungan untuk mempertahankan terus-menerus “supremasi ekonomi “ dengan
membuatnya berputar hanya di sekitar lingkaran etnik Tinghoa saja .

Generasi-generasi berikutnya pun turut dalam dinamika sama . Anak-anak muda


keturunan Tionghoa , khususnya yang berasal dari kota-kota besar , berlomba-lomba
untuk mendapatkan pendidikan di luar negeri . Sesudah selesai , mereka kembali untuk
mengembangkan bisnis keluarga atau menciptakan bisnis baru . Akan tetapi , fenomena
ini juga berjalan berdampingan dengan banyaknya “ kapitalis muda pribumi “ yang
sebagian besar adalah anak-anak pejabat . Patner bisnis anak-anak muda pribumi ini pun
dengan perlindungan dan meniru usaha orangtua mereka ,aadalah pegusaha-pengusaha
golongan Tionghoa . Akankah sejarah yang terus menerus berulang ini bisa diputus ?
( Suprianta , 1996 : 88 – 91 )

Dekade 1990-an menyaksikan munculnya generasi muda etnis Tionghoa, khususnya


kelas menengah ke atas , yang hampir seluruhnya berpendidikan barat dan cenderung

40
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

berorientasi karier . Mereka tidak lagi bisa melihat diri mereka sebagai pedagang atau
pemilik took seperti generasi pendahulu mereka – kebanyakan berasalan gengsi karena
pendidikan mereka yang tinggi . Mereka cenderung melihat diri mereka sebagai orang
yang mengutamakan profesionalisme . Ada sebagian generasi kedua atau ketiga dari
perusahan-perusahan keluarga yang mengambil alih manajemen perusahan , namun
mereka pun cenderung menerapkan manajemen yang mereka pelajari di luar negeri .
Mereka juga melihat diri mereka sebagai seorang professional daripada pemilik
perusahan keluarga , terutama apabila perusahan mereka telah sedemikian majunya dan /
atau go public . Ini dikarenakan mereka telah menyadari bahwa kemajuan perusahan
adalah hasil kerja teamwork daripada sekdar keputusan mereka sendirisebagai pemilik
perusahan .(Lan , 2000 : 182 )

Proses pengambilan keputusan ekonomi di sebagian besar negara kapitalis , umumnya


melibatkan interaksi dalam sejumlah bentuk atau corak tertentu antara para pemilik atau
pengendali pemilikan dan sumber-sumber daya produktif di satu pihak dan pemegang
kekuasaan politik di lain pihak . Ciri menganggumkan dari situasi Indonesia adalah
bahwa dewasa ini , sesudah dua puluh tahun perkembangan pesat kearah masyarakat
yang sepenuhnya kapitalis, terkomersialisasi dan beroirentasi –pasar , kekuasaan negara
adalah sangat kuat vis a vis pemilik dan pengendali pemilikan atau apakah yang terakhir
ini masih tetap terlalu lemah ? Atau keduanya ? Bank-bank dan perusahan-perisahan
besar swasta memiliki daya dorong politik sangat lemah di sini, dibandingkan dengan
rekan-rekan sejawat mereka di negara-negara lain. Kelompok-kelompok kepentingan
ekonomi tak terstuktur secara memadai dan hampir-hampir tak memiliki pengaruh politik
sama sekali . Hal itu disebabkan karena karakter rezim yang secara esensial
patrimonialis, sebuah corak di dalam mana baik kekuasaan maupun dalam akses terhadap
banyak sumber financial dan ekonomi mendasar terkonsentrasi di puncak piramida
sosail--politik .( Mackie , 1993 : 95 – 96 )

Dalam memilih harus menanggung berbagai resiko , kaum totok membawa sifat-sifat
baik yang diperlukan , karena mereka pada umumnya tidak memiliki ketrampilan dan
pendidikan yang diperlukan untuk menginginkan pekerjaan-perkerjaan yang bergaji atau
berkarier di ddalam jabatan-jabatan professional . Namun terdapat banyak bukti bahwa
sebagian besar mereka memilih karier bisnis karena nilai-nilai dan sejumlah pengalaman
menggiring mereka ke sana – dan karena imbalannya lebih besar . Bahkan dewasa ini ,
hampir seluruh pengusaha terkemuka di Indonesia berasal dari keluarga totok amat
sedikit kaum peranakan mencapai puncak 20 atau bahkan 2000 kelaurga terkaya . Adalah
orang Tionghoa totok yang dikatakan suka bekerja keras , paling berani mengambil
resiko dan berhasil .

41
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

Bibliografi

Azis , M Amin .” Tingkahlaku Kewiraswasyaan di Kalangan etani Aceh ,” Prisma . No.3


Tahun VII , Oktober 1978, hlm. 39 – 45 .

Bloomfield , Frena .1986. Dibalik Sukses Bisnis Orang-Orang Cina . Jakarta : Sang
Saka Gotra .

Coppel , Charles A . 1994 . Tionghoa Indonesia Dalam Krisis . Jakarta : Sinar Harapan .

Cushman , Jennifer & Wang Gungwu .1991 ., Perubahan Identitas Orang Cina di Asia
Tenggara . Jakarta : Pustaka Utama Grafiti .

Daulay , Amir Hussein et al . 1993 . William Soeryadjaya . Kejayaan dan Kejatuhannya .


Studi Kasus Eksistensi Konglomerasi Bisnis di Indonesia . Jakarta : Bina Rena
Pariwara .

Hefner Robert W (ed) 2000 Budaya Pasar Masyarakat dan Moralitas dalam Kapitalisme
Asia Baru . Jakarta : LP3ES .

Handoko , T Hani ..” Tradisi ( Manajemen ) Dagang ala Tionghoa ,” dalam Lembaga
Studi Realino . 1996 . Penguasa Ekonomi dan Siasat Pengusaha Tionghoa . Yogya
karta : Kanisus , hlm. 51 – 62.

Kunio , Yoshihara . 1990 . Kapitalisme Semua Asia Tenggara . Jakarta : LP3ES .

Lan , Thung Ju , “ Susahnya Jadi Orang Cina : Ke-Cina-an sebagai Kontruksi Sosial ,”
Dalam I Wibow (ed) (2000) Harga Yang Harus Dibayar . Sketsa Pergulatan Etnis
Cina di Indonesia .Jakarta : Gramedia Pustaka Utama , hlm. 169 – 190 .

Mackie , JAC ,” Pemilikan dan Kekuasaan di Indonesia ,” dalam Richard Tanter dan
Kenneth Young (ed) . 1993 Politik Kelas Menengah Indonesia . Jakarta : LP3ES .

Mackie , Jamie .” Keberhasilan Bisnis di Kalangan Orang Cina Asia Tenggara .” dalam
Robert W Hefner (ed) 2000. Budaya Pasar , Masyarakat dan Moralitas dalam
Kapitalisme Asia Baru . Jakarta : LP3ES .

McVey , Ruth ,” Wujud Wirausaha Asia Tenggara ,” dalam Ruth McVey(ed) . 1998 .
Kaum Kapitalis Asia Tenggara . Jakarta : Yayasan Obor Indonesia , hlm. 1 – 52 .

Muhaimin, Yahya A .1991 . Bisnis dan Politik . Kebijaksanaan Ekonomi Indonesia 1950
- 1980 . Jakarta : LP3ES .

42
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

Nuranto,N. ” Kebijakan terhadap Bisnis Etnis Cina di Masa Orde Baru .”dalam I Wibowo
(ed) Retrospeksi dan Rekontekstualisasi Masalah Cina . Jakarta :PT Gramedia ,
hlm. 50 – 74 .

Onghokham ,” Kapitalisme Cina di Hindia – Belanda . “ dalam Yoshihara Kunio.(ed)


1991 Konglomerat Oei Tiong Ham .Kerajaan Bisnis Pertama di Asia Tenggara
Hlm. 80 - - 116 .

Onghoham , “ Pengaruh Sistem Budaya terhadap Bisnis Cina ,” dalam Wastu Pragantha
Zong . 1996 .Etika Bisnis Cina . Suatu Kajian Terhadap Perekonomian Indonesia
Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama

Panglaykim, J dan I Palmer ,” Studi mengenai Kewiraswataan di Negara-negara Sedang


Berkembang : Kisah Sebuah Perusahan Tionghoa di Indonesia ,” dalam Mely G
Tan (ed).1981Golongan Etnis Tionghoa di Indonesia . Suatu Masalah Pembinaan
Kesatuan Bangsa , Jakarta : PT Gramedia . hlm. 74 – 93

Panglaykim , J. 1984 .Bisnis Keluarga . Perkembangan dan Dampaknya .Yogyakarta “


Andi Offset .

Ropke , Jochen . 1988 . Kebebasan Yang Terhambat . Perkambangan Ekonomi dan Peri
laku Kegiatan Usaha di Indonesia . Jakarta : PT Gramedia.

Skinner , G. William .” Golongan Miroritas Tionghoa ,”dalam Mely G Tan (ed) 1981
Golongan Etnis Tionghoa di Indonesia . Suatu Masalah Pembinaan Kesatuan
Bangsa . Jakarta : PT Gramedia .

Soetrisyono , Eddy .1989 Kisah Sukses Liem Sieo Liong .. Jakarta : Indomedia .

Suryadinata , Leo .1982 . Dilemma Minoritas Tionghoa . Jakarta : Grafitipers.

Supriatna , A Made Tony ,” Bisnis dan Politik : Kapitalisme dan Golongan Tionghoa
Indonesia di Indonesia, dalam Lembaga Studi Realino . 1996. Penguasa Ekonomi
dan Siasat Pengusaha Tionghoa . Yogyakarta : Lembaga Studi Realino .

Vleming Jr , JL. 1988 . Kongsi dan Spekulasi . Jaringan Kerja Bisnis Cina . Jakarta :
PT Pustaka Utama Grafiti

Wibisono, Christianto ,” Anatomi Konglomerat Indonesia ,” dalam Kwik Kian Gie


dan BN Marbun (ed) .1990 . Konglomerat Indonesia . Permasalhan dan Sepak
Terjangnya . Jakarta : Sinar Harapan , hlm. 11 – 30 .

43
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com

You might also like