You are on page 1of 38

Peter Kasenda

Pancasila dan Tantangan

Saudara-saudara, dalam hubungan ini buat kesekian kalinya saya katakan, bahwa saya bukanlah
Pencipta Pancasila, saya bukanlah pembuat Pancasila. Apa yang yang saya kerjakan tempo hari
ialah sekedar menformulir perasaan-perasaan yang ada di dalam kalangan rakyat dengan beberapa
kata-kata yang saya namakan “ Pancasila “. Saya merasa tidak membuat Pancasila. Dan salah jika
ada orang yang mengatakan bahwa Pancasila itu buatan Soekarno …. Saya sekadar menggali di
dalam bumi Indonesia dan mendapatkan lima berlian dan lima berlian inilah saya anggap dapat
meinghiasi tanah air kita ini dengan cara yang seindah-indahnya ….Aku menggali di dalam
buminya rakyat Indonesia, dan aku melihat di dalam kalbunya bangsa Indonesia itu hidup lima
perasaan. Lima perasaan itu dapat dipakai sebagai mempersatukan bangsa Indonesia yang 80 juta
ini. (Subagya, 1959: 2)

Dari kutipan ini terlihat bahwa Soekarno menempatkan dirinya sebagai orang yang
menggali nilai dan norma yang hidup sebagai suatu tradisi di masyarakat bangsa
Indonesia sejak bangsa kita belum menerima pengaruh dari bangsa-bangsa lain.

Dalam proses penggalian ini, Soekarno selain membekali diri dengan pengetahuan yang
diperolehnya dari literatur yang ada dan pengalamannya selama pergerakan kebangsaan
juga melakukan perenungan-perenungan yang mendalam tentang semua segi kehidupan
masyarakat bangsa Indonesia. Hasil dari proses perenungan ini terlihat bahwa manusia
dalam memandang alam semesta, merenungi asal dan tujuan manusia, dan dalam
menghadapi berbagai macam tantangan hidup selalu menunjukkan sikap sebagai manusia
religius, kekeluargaan yang dan bangga akan tanah air tempat, menicintai dan bangga
akan tanah air tempat lahirnya, lebih mengutamakan musyawarah untuk mufakat dalam
memecahkan masalah yang dihadapi baik secara perseorangan maupun bersama-sama,
dan selalu berihktiar untuk hidup lebih baik sesuai dengan harkat dan martabat
kemanusiannya. Semua itu terlihat sebagai gagasan yang dominan dalam hidup
bermasyarakat di dalam bangsa kita. Dari semua itu terwujud dalam sikap dan perilaku
hidup sebagai satu keutuhan yang tidak dapat dipisah-pisahkan. (Babari, 1985, 733 -734)

Lahirnya Pancasila

Pidato Soekarno pada tanggal 1 Juni1945,dihadapan Panitia Persiapan Kemerdekaan


Indonesia adalah bertentangan dengan latar belakang kebangkitan ini dan perasan anti-
Jepang makin ditunjukkan secara terang-terangan. Dalam pidatonya, Soekarno
menggariskan lima dasar, Pancasila yang dirasanya akan membimbing dan memenuhi
syarat sebagai dasar filsafat suatu Indonesia yang merdeka. Pidato ini jelas mendekati
revolusi dan meskipun membangkitkan amarah para perwira angkatan darat Jepang,
mereka merasa tidak bijaksana untuk mengambil tindakan terhadapnya. Gagasan-gagsan
yang diutarakan Soekarno dalam pidato ini penting karena menyanjikan filsafat sosial
yang matang dan dari para pemimpin nasionalis Indonesia yang paling berpengaruh dan
1
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

dari seseorang yang kemudian menjadi seorang pemimpin politik Republik Indonesia
yang paling penting. Gagasan-gagasan itu juga sangat berarti dalam mempengaruhi jalan
pemikiran sosial orang Indonesia selama perjuangan revolusioner yang segera mulai,
suatu pengaruh yang sampai sekarang masih puinya makna yang sangat penting Banyak
dari pengaruh ini dikarenakan Soekarno dengan jelas mengungkapkan ide-ide dominan,
namun belum lengkap, yang ada dalam pikiran banyak orang Idnonesia terpelajar, dan
karena dia mengutarakannya dalam suatu bahasa dan dengan suatu simbolisme yang
kebanyakan bermakna dan tetap penuh arti bagi rakyat jelata yang tidak berpendidikan.

Menurut Soekarno, prinsip pertama yang harus menggarisbawahi dasar filsafat suatu
Indonesia merdeka adalah nasionalisme. Ia menekankan bahwa yang dimaksudkannya
bukanlah suatu nasionalisme dalam arti sempit. Katanya, syarat bangsa menurut Ernst
Renan yaitu: “ le desir d’etre ensemble “, dan menurut Otto Bauer yaitu “ eine aus
Schicksalgemenischaft Erwachsene Charaktergemeinscjhaft “ tidak memadai, karena
keduanya tidak mempertimbangkan syarat lain, yaitu “ persatuan antara manusia dan
tanah “. Menurut geopolitik,” lanjutnya,” Indonesia adalah negeri kita, Indonesia yang
bulat.” Dengan semangat ia mengatakan:

Pendek kata, bangsa Indonesia, Natie Indonesia, bukanlah sekedar satu golongan orang yang
hidup dengan “ le desir d”etre ensemble “ di atas daerah yang kecil seperti Minangkabau, atau
Madura, atau Yogya, atau Sunda, atau Bugis, tapi bangsa Indonesia ialah seluruh manusia yang
menurut geopolitik telah ditentukan oleh Allah SWT tinggal di kesatuannya semua pulau-pulau
Indonesia dari ujung Utara Sumatra sampai ke Irian! ….Kita hanya dua kali mengalami nationale
staat, yaitu di zaman Sriwijaya dan di zaman Majapahit.

Namun demikian, Soekarno menegaskan.” prinsip kebangsaan ini memang ada


bahayanya. Bahayanya ialah mungkin orang-orang meruncingkan nasionalisme menjadi
Chauvinisme …Tuan-tuan, jangan berkata, bahwa bangsa Indonesialah yang terbagus
dan termulia, serta meremehkan bangsa lain. Kita harus menuju persatuan dunia,
persaudaraan dunia.”. Dengan pendapat ini, dia terus mengutarakan prinsipnya yang
kedua, yaitu internasionalisme atau perikemanusian.

Kita bukan saja harus mendirikan Negara Indonesia Merdeka, tetapi kita harus menuju pula
kepada kekeluargaan bangsa-bangsa ….Inilah filosofisch principe nomor dua yang saya usulkan
kepada tuan-tuan, yang boleh saya namakan internasionalisme. Tetapi jikalau saya katakan
internasionalisme bukanlah saya bermaksud kosmospolistanisme, yang tidak menginginkan
adanya kebangsaan, yang mengatakan tidak ada Indonesia, tidak ada Nippon, tidak ada Birma,
tidak ada Inggris, tidak ada Amerika dan lain-lainnya. Internasionalisme tidak dapat hidup subur
kalau tidak berakar dalam buminya nasionalisme. Nasionalisme tidak dapat hidup subur kalau
tidak hidup dalam taman-sarinya internasionalisme. Jadi, dua hal ini, saudara-saudara, prinsip satu
dan prinsip dua, yang saya usulkan kepada tuan-tuan sekalian, adalah bergandengan erat satu sama
lain.

Akan halnya prinsip ketiga, Soekarno berdalih tentang dasar perwakilan atau
permusyawaratan. “ Saya yakin “, katanya, “ bahwa syarat yang mutlak untuk kuatnya
Negara Indonesia ialah permusyawaratan, perwakilan.” Menjawab argumentasi dari
mereka yang menginginkan suatu negara Indonesia diatur sebagai suatu negara Islam, ia
menjelaskan:

2
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

Untuk pihak Islam. inilah tempat yang terbaik untuk memelihara agama….Dengan cara mufakat,
kita perbaiki segala hal; kepentingan agama akan kita tingkatkan….Badan Perwakilan inilah
tempat kita untuk mengemukakan tuntutan-tuntutan Islam ….Jikalau memang kita rakyat Islam,
marilah kita bekerja sehebat-hebatnya, agar supaya sebagian yang terbesar kursi-kursi Badan
Perwakilan Rakyat yang kita adakan, diduduki oleh utusan-utusan Islam … Kita berkaya, 90
persen dari kita beragama Islam, tetapi lihatlah di dalam sidang ini berapa persen yang
memberikan suaranya kepada Islam? Maaf seribu maaf, saya tanya hal itu! Bagi saya hal itu
adalah suatu bukti, bahwa Islam belum hidup sehidup-hidupnya di dalam kalangan rakyat. Oleh
karena itu, saya minta kepada saudara-saudara sekalian, baik yang bukan Islam, maupun terutama
yang Islam, setujuilah prinsip nomor tiga ini, yaitu prinsip permusyawaratan, perwakilan,,Di
dalam perwakilan rakyat, saudara-saudara Islam dan saudara –saudara Kristen bekerjalah sehebat-
hebatnya. Kalau misalnya orang Kristen menginginkan bahwa tiap-tiap letter di dalam peraturan-
peraturan Negara Indonesia harus menunrut injil, bekerjalah mati-matian, agar supaya sebagian
besar utusan yang masuk Badan Perwakilan Indonesia ialah orang Kristen. Itu adil –fair play?
Tidak ada suatu negara boleh dikatakan negara hidup, kalau tidak ada perjuangan di dalamnya.

Soekarno menyatakan bahwa prinsipnya yang keempat, adalah prinsip keadilan sosial
dan kesejahteraan. Dikatakannya:

Apakah kita mau Indonesia Merdeka yang kaum kapitalnya merajalela, ataukah yang semua
rakyatnya sejahtera, semua orang cukup makan, cukup pakaian, hidup dalam kesejahteraan,
merasa dipangku oleh Ibu Pertiwi yang cukup memberi sandang pangan kepadanya? Jangan
saudara kira, bahwa kalau Badan Perwakilan Rakyat sudah ada, kita dengan sendirinya sudah
mencapai kesejahteraan ini. Kita sudah lihat di negara-negara Eropa ada badan-badan perwakilan,
ada parlementaire democratie. Tapi tidaklah di Eropa, justru kaum kapitalis merajalela ?

Di Amerika ada suatu badan Perwakilan Rakyat, dan tidaklah di seluruh benua Eropa Barat kaum
kapitalis merajalela? Tak lain tak bukan sebabnya ialah karena badan-badan perwakilan rakyat
yang diadakan di sana itu sekedar menurut resepnya Revolusi Perancis. Apa yang dinamakan
demokrasi di sana, hanyalah demokrasi politik saja tidak ada keadilan sosial dan demokrasi
ekonomi sama sekali.

Untuk menjelaskan bahwa demokrasi politik tidak menjamin demokrasi ekonomi,


Soekarno dengan menyolok menyitir pendapat seorang Sosialis Revisionis, Jean Jaures
dan bukan dari seorang Marxis ortodoks. Lalu ia melanjutkan:

Saudara-saudara, saya usulkan: Kalau kita mencari demokrasi, hendaknya bukan demokrasi Barat,
tetapi …. Demokrasi ekonomi politik yang mampu mendatangkan kesejahteraan sosial! Rakyat
Indonesia sudah lama bicara tentang hal ini. Apakah yang dimaksud dengan” Ratu Adil “? Ini
adalah keadilan sosial. Rakyat ingin sejahtera. Rakyat yang tadinya merasa dirinya kurang makan,
kurang pakaian, ingin menciptakan suatu dunia baru yang di dalamnya ada keadilan, di bawah
pimpinan Ratu Adil. Oleh karena itu, jikalau kita memang benar-benar mengerti, mengingat,
mencipta rakyat Indonesia, marilah kita terima prinsip keadilan sosial ini yang bukan hanya
persamaan politik, saudara-saudara. Juga dalam bidang ekonomi, kita harus mengadakan
persamaan, dan kesejahteraan bersama yang sebaik-baiknya.

Saudara-saudara, badan permusyawaratan yang kita akan buat, hendaknya bukan badan
permusyawaratan demokrasi politik saja, tetapi badan yang bersama dengan masyarakat dapat
mewujudkan dua prinsip: keadilan politik dan keadilan sosial.

Prinsip Soekarno yang kelima adalah bahwa organisasi Indonesia Merdeka harusnya
diterangi oleh suatu kepercayaan kepada Tuhan. Dalam uraiannya, ia menyatakan:
3
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

Bukan saja bangsa Indonesia berTuhan, tetapi masing-masing orang Indonesia hendaknya
berTuhan. Tuhanya sendiri. Yang Kristen menyembah Tuhan menurut petunjuk Isa Almasih, yang
Muslim menurut petunjuk Nabi Muhammad SAW, orang Budha menjalankan ibadahnya menurut
kitab-kitab yang ada padanya.

Tetapi marilah kita semua berTuhan. Hendaknya Negara Indonesia ialah negara yang tiap-tiap
orangnya menyebah Tuhannya dengan cara yang leluasa …tiada “egoisme agama “. Dan
hendaknya Negara Indonesia satu dengan negara yang BerTuhan.

Marilah kita amalkan, jalankan agama, baik Islam maupun Kristen, dengan cara-cara yang
berkeadaban …hormat menghormati satu sama lain.

Dalam kesesimpulan Soekarno terus menekankan saling kecocokan antara kelima prinsip
ini, dan kesamaan kepenuhannya dengan semangat masyarakat Indonesia asli. Dua
prinsip yang pertama, nasionalisme dan internasionalisme atau perikemanusian, menurut
Soekarno, dapat diperas menjadi satu prinsip tunggal- yaitu sosio-nasionalisme,
Demikian juga, lanjutnya, dua prinsip berikutnya, demokrasi (atau permusyawaratan) dan
keadilan sosial, dapat diperas menjadi satu prinsip, yaitu prinsip sosio-demokrasi. Jadi,
tiga prinsip yang tinggal adalah: sosio-nasionalisme, sosio-demokrasi, dan kepercayaan
kepada Tuhan. Namun demikian, katanya, ketiga prinsip tersebut masih dapat lagi diperas
menjadi satu prinsip, suatu prinsip yang dapat diungkapkan dalam satu istilah Indonesia
asli atau “ gotong royong “. Negara Indonesia yang kita dirikan haruslah negara gotong
royong. Alangkah benar-hebatnya “ Negara Gotong Royong “! Untuk menjelaskan istilah
ini, Soekarno melanjutkan:

“Gotong royong “ adalah paham yang dinamis, lebih dinamis dari “ kekeluargaan “, saudara-
saudara. Kekeluargaan adalah suatu paham yang statis, tetapi gotong royong menggambarkan
suatu usaha, suatu amal, satu pekerjaan,…Gotong royong adalah membanting tulang bersama,
memeras keringat bersama, perjuangan bantu-membantu bersama. Ho-lopis-kuntul-baris buat
kepentingan bersama? Inilah gotong royong!”

“Prinsip gotong royong di antara yang kaya dan yang miskin, antara Islam dan yang Kristen,
antara yang bukan Indonesia tulen dengan peranakan yang menjadi bangsa Indonesia. Inilah,
saudara-saudara, yang saya usulkan kepada saudara-saudra.”

Demikianlah rumusan yang semula dari Pancasila, kelima sokoguru negara yang hendak
dibangun. Ia merupakan satu upaya untuk memberikan kepada aliran politik yang
heterogen di Indonesia suatu landasan bersama di dalam negara baru itu, seperti halnya
upaya yang telah dilakukan oleh Soekarno, ketika untuk pertama kalinya terjun kedalam
pergerakan Indonesia hampir dua dasawrasa sebelumnya, untuk meletakkan suatu
landasan bersama bagi semua pergerakan politik dalam perjuangan mereka untuk
kemerdekaan.

Seperti yang dikatakan pada awal pidato-pidatonya, soalnya adalah untuk menemukan
suatu pandangan dunia bagi Indonesia yang dapat disetujui oleh semua golongan
penduduk – dan dalam hal ini tampaknya ia berhasil dengan konsep Pancasilanya,
sebagaimana terbukti dari tepuk tangan yang riuh rendah dan hadirin ketika ia mengakhir
pidatonya.

4
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

Setiap upaya untuk memandang Pancasila terlepas dari tujuan yang dimaksudkan itu –
umpamanya, untuk mengeritiknya atas dasar tradisi-tradisi kebudayaan tertentu di pulau-
pulau – akan meleset. Bagi negara yang sedang dalam proses pembentukan,Pancasila
lebih merupakan suatu program daripada filsafat, program bagi suatu pergerakan yang
tugas pertamanya adalah membentuk suatu “Indonesia “ dari kepulauan Nusantara dan
hal ini telah diabaikan dalam satu-satunya tinjauan terinci mengenai Pancasila yang telah
dilakukan hingga kini (Kahin, 1995:154 – 160).

Piagam Jakarta 22 Juni 1945

Setelah masa sidang pertama itu, apa yang dinamakan Panitia Kecil dari Panitia 62
melanjutkan tugasnya di Jakarta. Soekarno, Moh Hatta, Achmad Subardjo, Wahid
Hasjim, Ki Bagus Hadikusumo, Otto Iskandardinata, Muh Yamin dan Maramis adalah
anggota-anggota Panitia Kecil ini. Mereka ini membahas 32 buah usul yang diajukan
oleh 40 orang anggota yang telah disampaikan secara tertulis antara tanggal 1 dan 20 Juni
1945. Kira-kira 20 anggota mendesak agar Indonesia merdeka diproklamasikan secepat
mungkin.

Namun, yang lebih penting adalah adanya perdebatan yang berlanjut dan semakin
menghangat antara kaum nasionalis sekuler dan nasionalis Islam, yang dalam sumber-
sumber Indonesia sekarang ini selalu ditunjuk sebagai golongan kebangsaan dan
golongan Islam. Kebetulan Dewan Panasehat Pusat Pusat (Cuo Sangi-In) berapat di
Jakarta tangga; 18 Juni 1945. Sejumlah orang Indonesia yang menjadi anggota Panitia 62
juga menjadi anggota Dewan ini. Lagipula, sebagian anggota Panitia 62 berdiam di
Jakarta. Oleh karena itu, Soekarno, ketua Panitia Kecil ini, mengundang semua anggota
Panitia 62 yang dapat dihubungi, yang berjumlah 38 orang. Dari mereka inilah tampil
kelompok 9 anggota yang akan mencari pemecahan terhadap ketegangan yang semakin
meningkat antara kaum nasionalis “:sekuler “ dan nasionalis Islam.

Dalam sebuah rapat tanggal 22 Juni 1945, yang pasti merupakan rapat yang sangat sulit.,
akhirnya sembilan pemimpin ini dapat mencapai suatu jalan tengah. Mereka dapat
merumuskan suatu gentlement agreement “ kesepakatan kehormatan “ yang dimaksudkan
sebagai Pembukaan Undang-Undang Dasar, atau setidak-tidaknya sebagai suatu makalah
kerja untuk pembahasan masalah tersebut. Beberapa minggu kemudian Muh Yamin
menamakan dokumen politik ini Piagam Jakarta. Di luar Indonesia kelihatannya kecil
saja perhatian terhadap dokumen ini. Namun, jika kita meninjau ke belakang dapat
disimpulkan bahwa pembahasan lebih lanjut mengenai hubungan Negara dan Islam di
Indonesia sebagian besar akan ditentukan oleh beberapa perkataan yang tercantum dalam
Piagam Jakarta itu.

Teks Piagam Jakarta ini mencakup kata-kata penuntup rancangan Kemerdekaan (yang
akhirnya tidak pernah dipergunakan itu) yang digabungkan dengan kalimat penutup
Pembukaan pada rancangan Undang-Undang Dasar Muh Yamin. Dari pernyataan Moh
Hatta yang disampaikan kemudian dapat disimpulkan adanya urutan peristiwa yang
berlangsung terbalik, yaitu setelah Piagam Jakarta tanggal 22 Juni 1945, yang

5
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

dimaksudkan sebagai Rancangan Pembukaan Undang-Undang Dasar, lalu disusun


pernyataan kemerdekaan. Bagaimanapun keadaan yang sesungguhnya penting untuk
memberikan perhatian kita pada isi Piagam Jakarta itu.

Bahwa susungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa, dan oleh sebab itu maka
penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan peri kemanusian dan peri
keadilan.

Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampai (lah) kepada saat yang
berbahagia dengan selamat-sentosa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang
Negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.

Atas berkat Rahmat Allah Yang Mahakuasa, dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur,
supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini
kemerdekaannya.

Kemudian dari pada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia Merdeka yang
melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah-darah Indonesia, dan untuk
memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan
ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial, maka
disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu hukum dasar Negara Indonesia
yang terbentuk dalam suatu susunan negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat,
dengan berdasar kepada ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-
pemeluknya, menurut dasar kemanusian yang adil dan beradab, persatuan Indonesia,dan
kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan serta
dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia

Sembilan orang tokoh yang menandatangani Piagam Jakarta adalah sebagai berikut ini.
Pertama –tama di antara mereka ini terdapat Soekarno, Moh Hatta, Maramis dan Muh
Yamin, yang termasuk dalam apa yang disebut sebagai kaum nasionalis “sekuler “. Di
samping itu ada Abikusno Tjokrosujoso, Abdul Kahar Muzakkir, Agus Salim, Achmad
Subardjo dan Wahid Hasyim merupakan kaum nasionali Islam Indonesia yang paling
terkemuka dalam bagian akhir zaman Jepang.

Pada semua perdebatan dalam zaman ini (dapat disimpukan bahwa) dokumen ini
dipandang sebagai suatu jalan tengah antara “kelompok nasionalis sekuler “ dan “
kelompok nasionalis Islam “. Hanya dalam tahun-tahun belakangan ini dikatakan bahwa
golongan Kristen telah diwakili oleh Maramis, dan karena itu dianggap sebagai kelompok
perserta ketiga. Tetapi menurut keterangan lisan, hal ini tampaknya tidak benar. Maramis
mewakili kaum nasionalisme “sekuler “, dan dikatakan orang bahwa sebagai orang bukan
– Muslim ia juga berkeberatan terhadap terhadap jalan tengah ini, tetapi ia tidak ingin
membahayakan proklamasi kemerdekaan. Namun, Latuharhary yang kemudian
dipandang sebagai wakil orang-orang Kristen. Dan kelihatannya Latuharhary
menjauhkan dirinya dari upaya mencari jalan tengah tersebut,.

Kalimat yang paling penting dalam Piagam Jakarta, sudah tentu, adalah ketentuan bahwa
negara didasarkan kepada ketuhanan “ dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi
pemeluk-pemeluknya “. Di Indonesia masa kini kalimat ini disebut sebagai “tujuh kata “.
Apakah rumusan itu kurang lebih berarti suatu negara Islam? Apakah kalimat itu
mempunyai akibat hukum, sehingga pemerintah harus bekerja untuk mengawasi
6
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

pelaksanaan hukum Islam? Haruskah pemerintah mengundangkan hukum yang terpisah


untuk kaum Muslimin (misalmya yang berhubungan dengan perkawinan), atau bahkan
harus mengawasi terlaksananya ibadat keagamaan dalam artinya yang sempit? Ataukah
rumusan itu hanya mempunyi arti sebagai suatu dorongan kesalehan bagi kaum
Muslimin? Tetapi jika demikian, mengapa kalimat itu muncul dalam rancangan
Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945? Atau dengan perkataan lain, apakah
hubungannya dengan negara? Ataukah kalimat itu hanyalah merupakan kerangka kosong
sebagai hiburan bagi kaum ortodoks tradisional? Ringkasnya, apakah rumusan itu suatu
titik tolak menuju kearah suatu Negara Islam, ataukah ia merupakan sisa-sisa terakhir
dari perjuangan suatu Negara Islam yang telah gagal? Inilah berberapa di antara
persoalan yang muncul kemudian, dan menjadi penting dalam perdebatan tentang
kedudukan Islam dalam Indonesia baru itu.

Dari tanggal 10 Juli sampai 16 Juli 1945. Panitia 62 (yang ditambah dengan 4 anggota
baru) mengadakan rapat kembali. dan terbagi dalam tiga subpanitia. Panitia Undang-
undang Dasar berapat pada tanggal 11 Juli di bawah pimpinan Soekarno untuk
mengadakan pembahasan pendahuluan tentang persoalan–persoalan pokok yang
berkenan dengan undang-undang dasar, seperti bentuk negara (kesatuan atau federal?),
sifat undang-undang dasar (sederhana atau sementara?) dan rancangan Pembukaan yang
telah ada di hadapan mereka dalam bentuk Piagam Jakarta tanggal 22 Juni1945.

Dari kalangan Protestan, Latuharhary menyatakan keberatan terhadap perkataan “ dengan


kewajiban menjalankan syari”at Islam bagi pemeluknya:. Karena hal ini dapat
menimbulkan akibat-akibat besar yang berkenaan dengan agama-agama lain, serta dapat
menimbulkan kesukaran sehubungan denga adat-istiadat. Agus Salim menjawab bahwa
persoalan hukum adat dan hukum Islam sudah merupakan masalah lama, dan pada
umumnya tidak dapat diselesaikan. Para penganut agama lainnya tidak usah merasa
khawatir karena “ Ketentraman mereka tidaklah bergantung pada kekuasaan negara,
tetapi dari adat (dalam hal ini toleransi tradisional?) dan umat Islam, yang merupakan 90
% dari penduduk.

Sebagai ketua, Soekarno mengingatkan mereka bahwa Pembukaan tersebut telah disusun
dengan susah payah dan merupakan hasil kesepakatan antara apa yang dinamakan
kelompok Islam dan kelompok nasionalis. Hilangnya kalimat yang satu ini tidak akan
dapat diterima oleh kaum Muslimin Wongsonegoro dan Hoesein Djajadiningrat (orang
Indonesia pertama yang menjadi kepala Kantor Urusan Agama) juga berkeberatan
dengan kata-kata tersebut dan mengatakan, “Kalimat itu mungkin sekali menimbulkan
fanatisme, karena kehilahatannya kaum Muslimin akan dipaksa mematuhi syari”at “.
Wahid Hasyim membantah kemungkinan adanya paksaan ini dengan menunjuk kepada
adanya asas permusyawaratan, sambil menambahkan bahwa menurut pendapat sebagian
besar orang kalimat itu mungkin telah menjangkau terlalu jauh, tetapi menurut pendapat
sebagiannya lagi, justru kurang jauh cakupannya. Soekarno mengulangi bahwa kalimat
ini adalah suatu jalan tengah yang dicapai dengan susah payah dan setelah melihat bahwa
tidak ada lahi keberatan yang diajukan, ia menyimpulkan bahwa Pembukaan ini
dipandang sudah diterima sidang.

7
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

Setelah itu Soekarno membentuk sebuah kelompok kerja yang akan berapat pada tanggal
12 Juli untuk menyiapkan rancangan undang-undang dasar. Sampai di mana Soekarno
melibatkan dirinya dalam penyusunan rancangan undang-undang dasar ini tidak jelas.
Ketua kelompok kerja ini adalah Supomo anggota-anggota lainnya adalah
Wongsonegoro. Subardjo, Maramis, Singgih, Agus Salim, dan Sukiman. Baik Wahid
Hasyim, yang dapat dipandang sebagai orang Islam yang paling radikal, mapun
Latuharhary yang bisa dianggap sebagai mewakili orang-orang Kristen tidak diikutkan
dalam kelompok kerja ini

Rancangan yang diajukan kelompok kerja ini pada tanggal 13 Juli 1945, setelah adanya
usul Pembukaan tersebut (yaitu Piagam Jakarta), kelihatannya dipandang telah
mencukupi untuk mencatumkan.” Negara menjamin kemerdekaan setiap penduduk
untuk menganut agamanya dan beribadat sesuai dengan agamanya itu.”

Dalam rapat-rapat Panitia Undang-Undang Dasar ini telah jelas terlihat adanya suatu
ancaman krisis. Ternyata bahwa Wahid Hasjim memang memanfaatkan rancangan
Pembukaan yang diusulkan tersebut sebagai suatu titik tolak untuk pengaturan lebih
lanjut menuju suatu negara Islam. Ia menyarankan agar diadakan ketentuan bahwa hanya
orang Islam yang boleh dipilih sebagai presiden dan wakil presiden Repiblik, dan bahwa
pasal mengenai agama harus berbunyi sebagai berikut: Agama negara adalah Islam,
dengan jaminan kemerdekaan bagi penganut agama lainnya untuk menganut agama
mereka …” dan seterusnya. Ia memberikan alasan sebagai berikut: Kalau presiden adalah
seorang Muslim, maka peraturan-peraturan akan mempunyai ciri Islam dan hal itu akan
besar pengaruhnya:. Tentang Islam sebagai agama negara, hal ini akan penting artinya
bagi pertahanan negara: “ Umumnya pertahanan yang didasarkan kepada keyakinan
agama akan sangat kuat, karena menurut ajaran Islam orang hanya boleh mengorbankan
jiwanya untuk idelogi agama.:”

Agus Salim menentang usul-usul dari saudaranya seagama itu, karena hal tersebut akan
merusakkan jalan tengah yang telah tercapai antara kelompok nasionalissekuler dan
kelompok nasionalis Islam., dan “ jika presiden harus seorang Islam, lalu bagaimana
dengan wakil persiden, para duta, dan sebagainya, dan lalu bagaimana duduknya janji
kita untuk melindungi agama-agama lain?”. Namun, Sukiman (Masyumi) mendukung
usul-usul Wahid Hasjim dengan mengatakan bahwa “ hal itu akan menyenangkan rakyat
dan nyatanya tidak akan ada akibatnya lebih lanjut ” Djajadiningrat dan Wongsonegoro
sekali lagi menyatakan keberatan terhadap usul-usul ini, seperti yang telah disampaikan
mereka sebelumnya berkenan dengan “ tujuh kata “. Wongsonegoro sekali lagi
menyatakan keberatan terhadap usul-usul ini, seperti yang telah disampaikan mereka
sebelumnya berkenan dengan “ tujuh kata.” Wongsonegoro sekali lagi menyatakan
kekhwatirannya terhadap tafsiran yang memungkinkan negara memaksa orang-orang
Islam melaksanakan hukum Islam. Otto Iskandardinata memberikan suatu usul penengah
yaitu bahwa di satu pihak tidak ada pengaturan mengenai presiden, tetapi di pihak lain
agar diulangi “tujuh kata “ dari pembukaan di dalam pasal undang-undang dasarnya
sendiri tentang hal agama Sebagai ketua kelompok kerja, Supomo menyatakan bahwa
panitia akan menerima saran ini, dan akan mengubah rancangannya untuk menampung

8
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

hal tersebut. Kelihatannya Latuharhary merasa tidak lagi perlu atau tidak tepat saatnya
untuk mengulangi keberatannya.

Dalam sidang pleno tanggal 14 Juli 1945 itu, Soekarno segera berbicara sebagai ketua
Panitia Undang-Undang Dasar. Setelah menyampaikan laporannya bahwa sudah selesai
disusun suatu rancangan untuk pernyataan kemerdekaan, sebiuah pembukaan dan sebuah
undang-undang dasar, maka perdebatan segera dibuka untuk membahas pembukaan
(yaitu Piagam Jakarta).

Pemimpin Muhammadiyah Ki Bagus Hadikusumo ingin meniadakan kata-kata “ bagi


pemeluk-pemeluk Islam “ dalam “ tujuh kata “ dalam Pembukaan, sehingga rumusan
tersebut akan berbunyi: “ Negara didasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa, dengan
kewajiban menjalankan hukum Islam “. Semula beliau hanya mengemukakan
pertimbangan-pertimbangan gaya bahasa, tapi kemudian beliau menyebutkan alasan
lainnya, yaitu bahwa tidak dapat diterima adanya suatu perundang-undangan ganda, yaitu
satu untuk kaum Muslimin dan satu lagi untuk umat lainnya. Soekarno menjawab bahwa
dihilangkannya kata-kata ini dapat menimbulkan kesan “ bahwa tidak ada masalah umat
Islam, dan karena itu tidak ada kewahiban untuk melaksanakan hukum Islam.” Pada saat
itu Hadikusumo menjawab bahwa kalimat seperti yang tertera dalam Pembukaan (yaitu
“tujuh kata “) tidak dapat ditegakkan karena pemerintah tidak dapat melaksanakan
hukum Islam, “ pemerintah tidak dapat campur tangan dalam cara penduduk
mengamalkan agamanya.”

Dari catatan notulen tidak begitu jelas apa niat Hadikusumo yang sesungguhnya, dan
sampai berapa jauh peranan salah paham dalam hal ini. Apakah para perancang Piagam
Jakarta hanya berniat menekankan bahwa kaum Muslimin sendiri mempunyai suatu
kewajiban agama dan kewajiban moral untuk melaksanakan hukum Islam, ataukah
pemerintah harus ikut campur? Apakah Hadikusumo memperoleh kesan membaca kata-
kata tersebut bahwa pemerintah harus menegakkan hukum Islam bagi kaum Muslimin?
Apakah rumusan tersebut dapat mempunyai berbagai macam arti, khususnya kata kerja
yang amat besar itu yaitu kata “ menjalankan “, yang dapat berarti memelihara,
mengurus, melaksanakan, menyelenggareakan, menerapkan, atau mewujudkan? Ataukah
memang secara sengaja dirumuskan agar mempunyai banyak tafsiran, sebagai suatu jalan
tengah yang akan memungkinkan berbagai pihak dan berbagai pribadi mempunyai
tafsiran sendiri?

Pada rapat tanggal 15 Juli1945, Supomo menjelaskan sekali lagi tafsirannya tentang
“tujuh kata “ yang dipermasalahkan itu. Kata-kata tersebut tidak berarti bahwa negara
Indonesia akan didirikan hanya suatu golongan saja ( yaitu kaum Muslimin), tetapi hanya
berarti bahwa negara akan memperhatikan kepribadian khusus dari bagian terbesar
penduduk. Beliau mengulang bahwa “ tujuh kata “. Pembukaan dan pasal Undang-
undang Dasar mengenai agama merupakan suatu jalan tengah, dan beliau memberi kesan
bahwa Panitia Undang-Undang Dasar (Panitia 19) telah menerima jalan tengah ini secara
aklamasi. Dalam hubungan ini di satu pihak ia menyebut nama-nama Wahid Hasyim dan
Agus Salim, di pihak lain nama-nama Latuharhary dan Maramis yang bukan Muslim itu,
sehingga secara sadar ataupun tidak sadar mengalihkan pertentangan itu dari golongan

9
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

nasionalis Islam dan nasionalis sekuler menjadi pertentangan antara golongan Islam dan
Kristen.

Setelah berbagai pidato dari perdebatan mengenai persoalan-persoalan lain, perdebatan


mengenai agama berkobar sekali lagi da;lam rapat malam hari tanggal 15 Juli. Hal ini
terjadi karena Hadikusumo mengulangi pertanyaannya yang agak merupakan teka-
tekinya itu mengenai “tujuh kata “ yang mengelitik tersebut. KH Masjkur memperburuk
masalahnya, dengan mengatakan hukum Islam, dalam kenyataan hal itu hanya akan dapat
dilaksanakan jika presiden adalah seorang Muslim dan Islam diakui sebagai agama resmi
dari negara Republik Indonesia.

Soekarno berusaha menenangkan keadaan dengan mengatakan bahwa nyatanya nanti hal
itu akan selesai sendiri, presiden pasti seseorang yang beragama Islam. Tetapi Masjkur
terus menghendaki kelejasan, bukan hanya untuk diri ia sendiri, tetapi untuk seluruh
rakyat, katanya. Akhirnya perasaan, menjadi demikian tegang sehingga Kahar Muzakkir,
sambil menghantam meja dengan tinjunya, mengusulkan suatu jalan tengah baru, seperti
yang disebutnya sendiri. Berbicara atas nama golongan Islam, ia menuntut agar
seluruhnya itu dicoret tanpa repot-repot lagi, mulai dari kata-kata pertama dari
Pernyataan Kemerdekan sampai kepada dan termasuk pasal Undang-Undang Dasar yang
dipersoalkan itu, yang mencantumkan kata Tuhan atau Islam, sehingga tidak satu pun
tertinggal.

Saran ketua agar Pembukaan yang diusulkan itu diputuskan melalui pemungutan dijawab
dengan tajam. “ Tidak mungkin, hal itu tidak dapat diselesaikan dengan pemungutan
suara. Tuan tidak dapat melakukan pungutan suara mengenai agama!” Kahar Muzakkir
bahkan lebih terang-terangan mengulang usulnya agar segala hal yang berhubungan
dengan nama Tuhan dan dengan agama dihilangkan. Ketegangan menjadi semakin terasa
bahkan juga terasa sewaktu kita membaca notulen rapat tersebut – sewaktu Hadikusumo
memperoleh kesempatan berbicara dan memulai pidatonya dengan rumusan doa yang
terkenal itu. A’u dzubillahi minas syaitonir rajim. “ Aku berlindung kepada Allah dari
syaitan yang membawa kerusakan.” Beliau melanjutkannya sebagai berikut: “ Lebih dari
sekali telah dijelaskan bahwa Islam juga mencakup suatu ideologi negara. Karena itu,
negara tidak dapat dipisahkan dari Islam ….Sekiranya usul (Islam) ini ditolak ….maka
saya setuju dengan usul Abdul Kahar Muzakkir. Jika ideologi Islam ditolak, baiklah!
Karena itu jelas bahwa negara ini tidak didasarkan kepada Islam dan karena itu ia harus
netral. Setidak-tidaknya hal itu jelas. Janganlah kita menerima jalan tengah, seperti
disebutkan Tuan Soekarno. Sepanjang mengenai keadilan dan ibadat, tidak ada jalan
tengah, tidak ada hal itu. Marilah kita berterus terang mengenai hal ini – jika ada
keberatan terhadap ideologi Islam, maka artinya adalah begini: mereka yang setuju
dengan dasar Islam menghendaki suatu negara Islam; tetapi kalau hal itu tidak diterima,
maka harus ada kenetralan sepanjang mengenai masalah agama itu.”

Pada hari berikutnya, tanggal 16 Juli 1945, segera setelah pembukaan rapat, Soekarno
mendapat kesempatan berbicara. Ia berkata bahwa ia yakin, banyak di antara hadirin,
seperti ia juga sendiri, tidak dapat tidur pada malam harinya itu. Tetapi barang siapa yang
sungguh-sungguh meminta petunjuk kepada Tuhan akan memperolehnya. Dan malam

10
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

tadi petunjuk-petunjuk tersebut telah mulai diturunkan Tuhan. Setelah rapat tersebut
beberapa orang pemimpin dari kedua golongan – yang dinamakan golongan nasionalis
dan yang disebut golongan Islam – bertemu untuk mencari suatu penyelesaian Sebagai
hasil pembahasan ini Soekarno ingin menghimbau setiap anggota, khususnya yang
disebut golongan nasionalis, untuk berkorban, sambil mengingatkan dalam bahasa
Belanda bahwa “ kebenaran itu terletak dalam pengorbanan.” Pengorbanan ini akan
berbentuk tercantumnya dalam undang-undang dasar pasal-pasal mengenai “ Presiden
Republik Indonesia haruslah seorang Indonesia asli dan beragam Islam ‘, dan bahwa “
Negara berdasar atas Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syari”at Islam bagi
pemeluk-pemeluknya.” Soekarno berkata, ia menyadari bahwa meminta pengorbanan
yang sangat besar dan para patriot seperti Latuharhary dan Maramis yang bukan Muslim
itu. Tetapi seakan-akan berurai air mata – sekali lagi seakan-akan berurai mata – beliau
memohon mereka untuk memberikan pengorbanan untuk negara dan bangsa.

Setelah Supomo mengajukan sejumlah usul mengenai perubahan redaksi kecil-kecilan


dalam rancangan undang-undang dasar, rapat ini berakhir dengan suasana antiklimaks.
Barangkali tidak seorang pun yang merasa puas, tetapi setia orang terdiam. Atas
permintaan ketua, setiap anggota berdiri untuk menunjukkan bahwa mereka menerima
rancangan undang-undang dasar tersebut. Hanya Muh. Yamin yang kelihatan
memerlukan dorongan khusus untuk ikut berdiri.(Boland,1985: 26 – 36)

Pancasila sebagai Dasar Negara

Tanggal 14 Agustus 1945 bom atom jatuh di Nagasaki dan Hiroshima. Tanggal 17
Agustus 1945, jam 04.WIB, yakni sehari setelah Jepang menyerah kepada Kekuatan
Sekutu, naskah baru Pernyataan Kemerdekaan dirumuskan dalam satu pertemuan yang
berlangsung di rumah Laksamana Maeda, perwira Angkatan Laut Jepang, Jalan Imam
Bonjol No. 2 Jakarta. Pada pukul 10.00 WIB pada hari yang sama, di jalan Pegangsaan
Timur 56 (tempat kediaman Soekarno ketika itu), Proklamasi ini, ditanda-tangani oleh
Soekarno dan Mohammad Hatta atas nama bangsa Indonesia, dengan resmi dibacakan
oleh Soekarno.
Proklamasi

Kami Bangsa Indonesia dengan ini menyatakan Kemerdekaan Indoneisa.


Hal-hal yang mengenai pemindahan kekuasaan dan lain-lain diselenggarakan
dengan cara seksama dan dalam tempo sesingkat-singkatnya.

Keesokan harinya Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia dibentuk, dipimpin oleh


Soekarno sebagai Ketua dan Mohammad Hatta sebagai Wakil Ketua. Pertemuan pertama
Panitia Persiapan ini direncanakan dalam agenda pada pukul 09.30 WIB, akan tetapi
ternyata belum juga dimulai sampai pukul 11.30 WIB

Apa yang terjadi dalam dua jam tersebut itu ternyata suatu-yang teramat penting bagi
sejarah Indonesia umumnya, dan bagi sejarah konsitusi Indonesia khususnya.Semula,
Panitia Persiapan ini beranggotakan duapuluhsatu orang, termasuk Ketua dan Wakil
11
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

Ketua. Atas saran Soekarno enam orang anggota ditambahkan. Dalam pidato
pembukaannya Soekarno menekankan arti historik saat ini, dan mendesak agar Panitia
Persiapan bertindak “ dengan kecepatan kilat “, dan mengingatkan para anggota agar
tidak bertele-tele dalam masalah detail, tetapi memusatkan perhatian mereka hanya pada
garis-besar saja … Agenda pagi itu terbatas hanya untuk membicarakan beberapa
perubahan penting dalam Pembukaan dan batang tubuh Undang-Undang Dasar, M. Hatta
dipersilahkan untuk menyampaikan empat usul perubahan.

1 Kata “ Mukadimmah “ diganti dengan kata “ Pembukaan “


2 Dalam preambule (Piagam Jakarta), anak kalimat “ Berdasarkan kepada
Ke-Tuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya “diubah
menjadi “ berdasar atas Ke-Tuhanan Yang Maha Esa. “
3 Pasal 6 ayat 1. “ Presiden ialah orang Indonesia asli dan beragama Islam,”
kata-kata “ dan beragama Islam: dicoret.
4 Sejalan dengan perubahan yang kedua di atas, maka Pasal 29 ayat menjadi “
Negara berdasarkan atas Ke-Tuhanan, dengan kemwajiban menjalankan syari’at Islam bagi
pemeluk-pemeluknya.

Setelah membacakan perubahan-perubahan tersebut, Muh. Hatta menyatakan


keyakinannya “ Inilah perubahan yang maha penting menyatuhkan segala bangsa.”
Setelah mengambil alih pimpinan, Soekarno menambahkan bahwa Undang-Undang
Dasar yang dibuat ini Undang-Undang Dasar Sementara, Undang-Undang Dasar Kilat,
Revolutiegronwet.

Nanti kalau kita telah bernegara di dalam suasana yang lebih tentram, kita tentu akan
mengumpulkan kembali Majelis Perwakilan Rakyat yang dapat membuat Undang-undang yang lebih
lengkap dan sempurna.

Hanya beberapa jam kemudian, yakni pukul 13.45, Panitia Persiapan menerima dengan
bulat teks perubahan Preambule dan batang-tubuh Undang-Undang Dasar ini. Preambule
dan batang tubuh Undang-Undang Dasar dengan beberapa perubahan ini dikenal luas
sebagai “ Undang-Undang Dasar 1945.”

Persetujuan yang terburu-buru mengenai beberapa perubahan yang amat penting dan –
sebagaimana kita ketahui bahwa kejadian itu sangat kontroversial dan sunguh-sungguh
menimbulkan, menurut istilah Prawoto Mangunsasmito, satu “ historische vraag,” atau “
pertanyaan sejarah.” Tetapi Moh. Hatta mempunyai jawaban atas terjadinya perubahan
tersebut. Menurut Moh. Hatta, bahwa pada petang hari 17 Agustus 1945 itu, seortang
opsir Kaigun (Angkatan Laut Jepang) datang ke Moh Hatta, dan mengatakan bahwa
wakil-wakil Protestan dan Katolik dalam kawasan Kaigun berkeberatan sangat atas anak
kalimat dalam Pembukaan UUD yang berbunyi: “ Ke-Tuhanan dengan kewajiban
menjalankan syari”at Islam bagi pemeluk-pemeluknya.” Walaupun mereka mengakui,
bahwa anak-kalimat tersebut tidak mengikat mereka, dan hanya mengingkat rakyat yang
beragam Islam, namun mereka memandangnya sebagai diskriminasi terhadap mereka
golongan minoritas.Moh Hatta menjawab kepada opsir itu (yang namanya tidak
diingatnya), bahwa hal tersebut bukanlah diskriminasi, karena penetapan tersebuh hanya
mengikat rakyat yang beragama Islam. Ketika Pembukaan UUD tersebut dirumuskan

12
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

Maramis – seorang Kristen – yang menjadi salah seorang anggota Panitia Sembilan, tidak
berkeberatan apa-apa dan pada tanggal 22 Juni 1945 turut membubuhkan tanda-
tangannya. Opsir tersebut menjawab, bahwa pada waktu itu mungkin Maramis tidak
merasakan bahwa penetapan tersebut suatu diskriminasi. Kalau Pembukaan diteruskan
juga apa adanya, maka golongan Protestan dan Katolik lebih suka berdiri di luar
Republik. Opsir tersebut, yang sungguh-sungguh menyukai Indonesia Merdeka,
mengingatkan Moh. Hatta pada semboyan yang selama itu didengang-dengungkan “
bersatu kita teguh dan berpecah kita jatuh:. Moh. Hatta mengakui bahwa kata-kata Opsir
tersebut mempengaruhi pendiriannya. Setelah terdiam sejenak, Moh Hatta menjanjikan
pada Opsir itu, bahwa esok harinya dia akan menyampaikan masalah yang sangat penting
itu dalam sidang panitia Perseiapan Kemerdekaan Indonesia. Selanjutnya Moh Hatta
melaporkan.

Karena begitu seruis rupanya, esok paginya tanggal 18 Agustus 1945, sebelum sidang Panitia
Persiapan Kemerdekaan bermula, saya ajak Ki Bagus Hadikusumo, Wahid Hasjim, Kasman
Singodimedjo dan Teuku Hassan dari Sumatra mengadakan suatu rapat pendahuluan untuk
membicarakan masalah itu. Supaya kita jangan pecah sebagai bangsa, kami mufakat untuk
menghilangkan bagian kalimat yang menusuk hati kaum Krsiten itu dan menggantinya dengan “
Ketuhanan Yang Maha Esa /”

Moh. Hatta menerangkan bahwa pertemuan tersebut berlangsung kurang dari 15 menit,
dan nampak jelas bahwa itu berlangsung antara 09.30 dan 11.30 tanggal 18 Agustus
1945, momentum yang amat menentukan itu seperti di singgung diatas.

Beberapa hal pokok dalam keterangan Moh. Hatta ini layak mendapat perhatian dan
pembahasan. konsensus nasional yang salah dicapai dengan susah –payah dalam Badan
Penyelidik melalui diskusi dalam perdebatan sengit itu, dicairkan oleh usul orang asing,
seorang opsir Kaigun Jepang (yang namanya tidak lagi diingat oleh Moh Hatta), dan
kedua, dari keterangan Moh. Hatta dengan jelas dapat mengetahui. bahwa keberatan opsir
Kaigun Jepang yang datang mengatas namakan orang-orang Katolik dan Protestan di
Indonesia bagian Timur itu ialah terhadap “klausula Islami “ dalam Pembukaan, dan
sama sekali tidak menyinggung batang-tubuh Undang-undang Dasar. Namun
kenyataannya, yang telah dicoret oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia itu,
bukan hanya “ anak-kalimat Islami “ yang terdapat dalam Pembukaan saja, melainkan
juga seluruh “ kalimat –kalimat Islami “ yang tercantum dalam batang-tubuh Undang-
undang Dasar, supaya tidak “menusuk hati kaum Kristen “ dan untuk menjaga supaya “
jangan pecah sebagai bangsa “, menarik sekali kata-kata Parwoto Mangunsasmito
bahwa“ perpecahan yang dikwatirkan akan timbul, jika rancangan tidak diubah, dianggap
dapat dihindarkan dengan mengorbankan modus (vivendi) atau gentlement”s agreement
antara tidak antara pihak Islam dan pihak kebangsaan. Bahaya pertama dianggap lebih
berat dari pada dikecewakannya golongan Islam.”

Mengenai tidak adanya kesinambungan antara tindakan kesembilan orang


penandatangan Preambule “yang asli “, yakni Piagam Jakarta, dan putusan Panitia
Persiapan Kemerdekaan Indonesia, sangat penting untuk di catat di sini, bahwa hanya
empat orang panda-tangan Piagam Jakarta yang ditunjuk atau dipilih sebagai anggota
Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia, yaitu Soekarno, Moh Hatta, Achmad Subardjo
dan A Wahid Hasjim. Ini berati bahwa Muhammad Yamin, AA Maramis, Haji Agus
13
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

Salim, Abikoesno Tjokrosoejoso dan A Kahar Mauzakkir semuanya tidak diundang


mengikuti persidangan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia. Jadi dari kesembilan
orang penandatangan Piagam Jakarta itu, hanya tiga orang saja – yakni Soekarno, Hatta
dan Soebardjo yang terlibat dalam proses pengubahan Pembukaan dan batang-tubuh
Undang-undang Dasar pada tanggal 18 Agustius 1945, sedangkan enam orang selebihnya
tidak.

Sementara hasil pertemuan yang menentukan pada 18 Agustus 1945 itu diterima dengan
sepenuh hati oleh para nasionalis “sekuler “ sebagai “ gentlemen”s agrement’ yang
kedua, namun dalam waktu yang tang sama para nasionalis Islami merasa telah
dikhianati. Segera setelah para nasionalis Islam mengetahui bahwa Indonesia Merdeka,
yang turut mereka perjuangan dengan sepenuh pengorbanan itu, bahkan beradasarkan
Piagam Jakarta pun tidak, maka mayoritas kaum Muslimin merasa kecewa.(Anshari,
1981: 41 – 52)

Perubahan di atas dipandang oleh sebagian orang sebagai kekalahan politik wakil-wakil
umat Islam. Tetapi pada tahun 1978, Alamsjah Ratu Prawiranegara (Menteri Agama
waktu itu) menafsirkan peristiwa tanggal 18 Agustus itu sebagai hadiah umat Islam
kepada bangsa dan kemerdekaan Indonesia, demi menjaga persatuan.

Pernyataan Alamsjah tersebut bila dibaca dalam konteks politik kontemporer Indonesia
barangkali dapat diartikan sebagai usaha untuk meyakinkan pihak-pihak tertentu. bahwa
loyalitas umat Islam kepada Pancasila tidak perlu dipertanyakan lagi. Dengan demikian
tuduhan-tuduhan yang biasa dialamatkan kepada umat Islam sebagai anti Pancasila
adalah lagu usang yang tidak perlu diputar lagi. Bukankah Sila Ketuhanan Yang Maha
Esa diilhami sepenuhnya oleh tauhid, urat tunggang iman dalam sistem kepercayaan
Islam? Dengan demikian setiap usaha dari manapun, yang memisahkan Pancasila dari
intervensi wahyu adalah ahistoris, sebab Pancasila yang dirumuskan pada tanggal 18
Agustus 1945 itu tidak sama dengan formula Pancasila yang disampaikan pada tanggal 1
Juni 1945. Artibut “ Yang Maha Esa “ sesudah “ Ketuhanan “ dalam sila pertama jelas
sekali menunjukkan konsep Ketuhanan dalam Pancasila bukanlah fenomena sosiologis,
melainkan refleksi dari ajaran tauhid. Hal ini dapat diperkuat lagi misalnya dengan suatu
pengandaian, yaitu: sekiranya mayoritas rakyat Indonesia bukan pengandaian, yaitu:
sekiranya mayoritas rakyat Indonesia bukan pengandaian, yaitu: sekiranya mayoritas
rakyat Indonesia bukan pemeluk Islam, maka dapatlah dipastikan bahwa Pancasila tidak
akan mengenal sila Ketuhanan, apalagi sila Ketuhanan Yang Maha Esa.

Pokok soal utama lainnya yang menjadi bahan bahasan dalam Panitia Persiapan ialah
mengenai pembentukan Departemen Agama. Ketika pembentukan satu departemen
tersendiri yang mengurus soal-asoal agama diajukan dalam sidang Panitia Persiapan pada
tanggal 19 Agustus 1945, Latuharhary menolaknya dan didukung oleh umumnya para
Nasionalis Sekuler ‘. Karena hanya didukung oleh enam suara, usul tersebut ditolak.
Sebaliknya, usul Abdul Abbas agar “ urusan-urusan agama merupakan bagian daripada
Depertemen Pendidikan “ telah diterima.

14
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

Kemudian Komite Nasional Indonesia Pusat mengadakan sidang pada 25, 26, dan 27
November 1945. Di sana antara lain membahas usul agar dalam Indonesia Merdeka ini
soal-soal keagamaan digarap oleh satu kementerian atau departemen tersendiri, dan tidak
lagi diperlakukan sebagai bagian tanggungjawab Kementerian Pendidikan. Usul ini
didukung oleh beberapa anggota KNIP, seperti Mohammad Natsir, Muwardi Mahdi, M.
Kartosudarmo dan lain-lain, dan diterima setelah Wakil Presiden Moh. Hatta, setelah
mendapat persetujuan Presiden Soekarno, berkata: “ Pemerintah menaruh perhatian
penuh tentang persoalan ini. “ Pada tanggal 3 Januari 1946, Kementerian Agama
dibentuk dan HM Rasjidi mendapat kepercayaan sebagai orang pertama memegang
jabatan menteri baru ini.

Bahkan putusan (mendirikan Kementerian Agama tersendiri) in pun sedikit banyak


terbukti sebagai “ a consesssion to the Muslims.”, yang bersifat kompromi. Sekretaris
Jendral Kementerian Agama, RM Kafrawi. berpendapat bahwa Kementerian Agama itu
timbul dari formula Indonesia asli yang mengandung kompromi antara dua konsep yang
berhadapan muka sistem Islami dan sistem sekuler.Menteri Agama HM Rasjidi mencoba
menjelaskan sebab-sebab dan kepentingan Pemerintah Republik mendirikan Kementerian
Agama.”

Ialah untuk memenuhi kewajiban Pemerintah terhadap UUD Bab IX pasal 29,yang
menerangkan bahwa “ Negara berdasar atas Ke-Tuhanan Yang Maha Esa “ dan “
Menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-
masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu “(ayat 1dan
2)

Jadi lapangan pekerjaan Kementerian Agama ialah mengurus segala hal yang ber
sangkut –paut dengan agama dalam arti seluas-luasnya.

Dari sudut pandangan para nasionalis sekuler pembentukan Kemnterian Agama itu
sebagai konsesi mereka kepada orang-orang Islam, sedang para nasionalis Islam itu
sendiri tberpandangan, bahwa itu merupakan hasil yang ingin dicapai oleh umat Islam
Indonesia dalam perjuangan kemerdekan bangsanya. Jadi negara Indonesia baru ini lahir
bukan sebagai Negara Islam menurut konsepsi Islam yang ortodoks, juga bukan sebagai
negara sekular yang memandang agama semata-mata masalah pribadi. Oleh karena itu,
pembentukan dan eksistensi Kementerian Agama itu tidak dapat dipisahkan dari jiwa dan
semangat Piagam Jakarta khususnya, dan dari perjuangan konsitusional para Nasionalis
Islami dalam bidang konsitusi dan pemerintahan umumnya. (Anshary, 1981: 53 – 56)

Pancasila diperbatkan lagi

Perkataan majemuk Pancasila berasal dari bahasa Sansekerta yang berarti lima prinsip
moral. Dalam sejarah Indonesia kuno, perkataan Pancasila terdapat dalam buku
Negarakertagama, suatu catatan sejarah tentang kerajaan Hindu Majapahit (1296 –
1478), yang ditulis oleh Empu Prapanca, pujangga istana. Soekarno memgambil alih
terma ini, tetapi memberinya isi dan makna baru. Soekarno telah mengatakan bahwa ia
telah menggalinya dari masa jauh sebelum Islam. Menurut jalan pikirannya, Pancasila
adalah refleksi kontemplatif dari warisan sosiohistoris Indonesia yang kemudian
15
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

Soekarno merumuskannya dalam lima prinsip. Juga menurut jalan pikiran ini, prinsip
Ketuhanan, misalnya, tidak mempunyai kaitan organic dengan doktrin sentral agama
yang mana pun. Dengan ungkapan lain, Tuhan dalam konsep Soekarno bersifat
sosiologis, sehingga konsep Ketuhanan Soekarno sepenuhnya bersifat relatif; ia dapat
diperas menjadi konsep gotong royong sebagaimana telah dikemukakan.

Tetapi kemudian atas usul dari wakil-wakil Islam dalam BPUPKI, sila Ketuhanan
berubah menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa, dan ditempatkan sebagai sila pertama.
Dalam Jelis Konsituante, Pancasila yang sudah mengalami modifikasi ini dipertanyakan
kembali oleh wakil-wakil Islam karena mereka belum merasa puas dengan perumusan
itu. Kali Pancasila oleh seorang pembicara dikategorikan sebagai konsep murni, netral
dan sekuler. “ Pancasila ingin terus netral tanpa warna.” Natsir menegaskan dalam
pidatonya. Karena itu penafsiran seseorang terhadap Pancasila bisa bermacam-macam,
tergantung pada pandangan filosofis seorang itu. Jadi masih belum jelas, sila yang mana
yang menjadi sumber sila yang lain.” Atau “ kata Natsir,” apakah sila-sila yang lima itu
mempunyai lima sumber pula? “

Dalam menolak Pancasila dan mempertahankan Islam sebagai dasar negara, parttai-partai
Islam bersatu. Dalam pada itu, di pihak pembela Pancasila tampaknya juga tidak mampu
meyakinkan kelompok pendukung dasar Islam bahwa Pancasila bukan sekuler, suatu
atribut yang sangat ditentang oleh kelompok Islam. Pada umumnya, argumen yang biasa
diajukan ialah bahwa Pancasila merupakan “ suatu perjanjian moral yang luhur: antara
kaum nasionalis sekuler dan kelompok Islam. Pendapat yang paling banyak dikutip
tentang Pancasila oleh pendukungnya ialah gurubesar hukum Notonagoro dari
Universitas Gadjah Mada. Sebagai seorang muslim bukan santri, Notonagoro tampaknya
tidak tertartik pada issu tentang sumber Pancasila, apakah itu sosiologi, sekuler atau yang
lain. Baginya, yang terpenting adalah bahwa kelahiran Pancasila dan perkembangannya
pada periode awal tidak dapat dipisahkan dari proses kelahiran Indonesia sebagai sebuah
negara baru. Secara implisit ini berarti bahwa kelahiran Indonesia merdeka adalah identik
dengan kelahiran Pancasila. Argumen inilah yang ditentang oleh wakil-wakil Islam
sebagai sesautu yang tidak punya dasar kuat. Dan bila mau diturutkan dengan juga jalan
pikiran ini, maka pada waktu proklamasi kemerdekaan, UUD kita adalah UUD yang
dirumuskan pada 22 Huni 1945 yang dikenal dengan nama Pigam Jakarta.

Bahwa Pancasila adalah hasil kompromi, tidak seorang pun yang dapat memungkirinya.
Kenyataan inilah yang mendorong Professor Soeripto, seorang pembela Pancasila,
mengunci pidatonya dengan seruan: “ Oleh karena itu tepatilah terus perjanjian moral
yang sangat luhur, “ Pancasila.” Dengan pernyataan ini Soeripto ingin mengingatkan
majelis akan kenyataan bahwa kelompok Islam telah memungkiri perjanjian moral ini.
Sebaliknya kelompok Islam menuduh golongan nasionalis sebagai yang merusak
perjanjian luhur itu, yaitu dengan mencoret anak kalimat tentang “ kewajiban
menjalankan syari”at Islam bagi pemeluk-pemeluknya “ dari Pembukaan UUD 1945 dan
dari batang tubuhnya.

Mengenai apakah Pancasila suatu falsafah negara atau hanya suatu persetujuan politik,
para pendukungnya berbeda pendapat. Sutan Takdir Alisjabana (PSI) menyatakan bahwa

16
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

adalah berlebih-lebihan untuk menganggap Pancasila sebagai suatu falsafah negara


karena bukan saja sila-silanya bersifat heterogen, tetapi juga Pancasila itu sendiri tidak
bebas dalam kontradiksi dirinya sendiri. Semua prinsip-prinsip bukan merupakan suatu
kebulatan dan kesatuan yang logis,” tetapi tinggal terletak berderai-derai.” Sebelum
Pemilihan 1955, Takdir bahkan mengatakan “ …bahwa Pancasila hanyalah kumpulan
paham-paham yang berbeda-beda untuk menentramkan semua golongan pada rapat –
rapat.” Tetapi pembicara ini memilih Pancasila sebagai dasar negara adalah karena ia
merupakan suatu kompromi politik yang telah menolong bangsa Indonesia dalam
menghadapi saat krisis dan menetukan jalannya sejarahnya,

Pernyataan Takdir yang agak negatif tentang Pancasila itu mendapat sambutan hangat
dari wakil-wakil Islam. Hamka (Masyumi) misalnya, mengomentari bahwa Takdir tokh
mengakui paradoksnya Pancasila, tetapi partainya (Partai Sosialis) menerimanya sebagai
dasar negara adalah menurut tafsirannya sendiri, dan tidak keberatan bila sila-silanya
ditambah. Dengan demikian, menurut Hamka, penerimaan Takdir akan Pancasila
sebenarnya merupakan beban yang dipikulkan partai atas pundaknya sekalipun hal itu
berlawanan dengan hasil renungan bebasnya. Sejalan dengan penilaian Hamka, Saifuddin
Zuhri (NU) mengatakan bahwa pidato Takdir di atas tidak perlu dikomentari, karena
telah cukup jelas (bahwa) Pancasila masih banyak kekurangan-kekurangan serta di
dalamnya mengandung pertentangan-pertentangan disebabkan tiadanya kebulatan
pikiran. Karena itu dapat dpahami bilamana di antara pembicara penting, seperti Natsir,
menyayangkan penerimaan Takdir pada Pancasila sebagai dasar negara, padahal sila-
silanya masih bederai-derai. Sikap semacam ini menurut Natsir seharusnya tidak diambil
oleh seorang pemikir terkenal seperti Takdir karena masalah dasar negara adalah masalah
yang sangat serius.

Bagi Natsir Pancasila bersifat sekuler karena sumber sila-silanya bukan wahyu Allah.
Tetapi bila dipikirkan kembali, orang mungkin akan mengajukan pertanyaan: Apakah
tidak mungkin untuk mengislamkan Pancasila, yaitu dengan memberikan kepadanya
nilai-nilai transdental tertentu sebagaimana yang diajarkan al-Qur”an “ Analogi untuk
kerja semacam ini barangkali dapat dimbilkan dari sejarah permulaan Islam, sekalipun
tidak sepenuhnya persis. Untuk itu ada baiknya diberi contoh di bawah ini.

Sebagaimana diketahui bahwa konsep syura bukanlah ciptaan Islam buat pertama kali; ia
telah ada di Arabia sebelum Islam. Kemudian baru al-Qur’an mengambilnya dan
mengislamkannya. Karena itu, dalam kasus Pancasila, konversi semacam ini bukanlah
sesuatu yang mustahil, karena sila-silanya dapat juga dijumpai dalam ajaran Islam. Bila
sila Ketuhanan Yang Maha Esa dipercayai sebagai sumber sila-sila yang lain, kemudian
barangkali masalahnya mendekati penyelesaian. Tetapi usaha kearah itu, dalam majelis
tidak dilakukan secara serius oleh golongan mana pun.Di mata al-Qur’an, hubungan
antara kepercayaan kepada Allah dengan prinsip keadilan sosio-ekonomi adalah ibarat
hubungan antara dua sisi mata uang yang sama. Jika jalan analisa dapat diterima, maka
kemudian persoalannya adalah apakah Pancasila bersedia atau tidak menaikkan dirinya
dengan mengambil nilai-nilai moral fundamental seperti diajarkan oleh agama-agama
wahyu, khususnya Islam.

17
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

Seterusnya, bila Pancasila tetap seperti apa adanya dengan sila-silanya yang berderai-
derai, maka barangkali akan sulitlah baginya untuk mengklaim sebagai dasar falsafah
negara. Posisinya paling –paling hanyalah sebagai sebuah persetujuan politik bagi aliran-
aliran ideologi yang bermacam-macam sebagaimana didalilkan oleh beberapa nanggota
Majelis Konsituante.

Pembela Pancasila yang lain dalam majelis ialah Roeslan Abdulgani (PNI). Berbeda
dengan Takdir yang berpendapat bahwa masalah dasar negara adalah suatu metafor,
Roeslan Abdulgani memandang bahwa dasar negara adalah suatu prinsip dasar
(principalia). Ia merupakan jiwa dari seluruh ayat dalam konsitusi dan perundang-
perundangan serta peraturan-peraturan lainnya. Ia menolak pendapat yang mengatakan
bahwa Pancasila tidak mempunyai suatu kesatuan logika. Dalam menguatkan posisi
argumennya, Abdulgani mengutip pendapat Kahin yang mengatakan bahwa Pancasila
adalah sebuah sintesa dari gagasan-gagasan demokrasi asli seperti yang dijumpai di desa-
desa dan dalam komunialisme penduduk asli. Lagi, bersandar pada pendapat Kahin,
Abdulgani mengatakan: “ …Pancasila adalah suatu filsafat sosial yang sudah dewasa,
yang sangat besar pengaruhnya atas jalannya revolusi.” Singkatnya, bagi Roeslan
Abdulgani, sumber Pancasila adalah Islam, demokrasi liberat Barat, Marxisme dan
demokrasi asli yang kurang berkembang yang terdapat di desa-desa Indonesia.

Dengan menyebutkan Islam sebagai sumber pertama Pancasila Roeslan Abndulgani


menyangkal pendapat Natsir yang menyatakan bahwa “ Pancasila adalah suatu “abstraksi
“ atau suatu pure-concept belaka, sekuler dalam arti tanpa agama (la-diniyah) dan netral
Dalam hubungan ini adanya Departemen Agama pada seluruh kabinet Indonesia menurut
Abdulgani, membuktikan bahwa Pancasila bukanlah sekuler.

Mengenai issu sekuleraisme sebagai dibawakan Natsir dan lain-lainnya dalam kaitannya
dengan Islam, Abdulgani mengutip pendapat penulis Pakisatan, Kemal A Faruk. Menurut
Faruki, perkataan sekuler punya duia makna yang berlainan: (1) menjadi sekuler artinya
punya perhatian terhadap problema-problema duniawi. Dalam pengertian ini, Islam
adalah sebuah agama sekuler; (2) Dalam pengertian politik sebagaimana berkembang di
Barat, sekuler bermakna memisahkan masalah-masalah spiritual dengan yang temporal,
di mana yang terakhir ini dipandang lebih superior. Pengertian pertama dapat diterima
Islam, sementara yang kedua ditolaknya. Dengan alasan ini, sila Ketuhanan Yang Maha
Esa dalam Pancasila tidak dapat disamakan dengan konsep sekuleraisme. Sekulerisme,
kata Abdulgani, adalah terma yang berkaitan dengan teori pemerintahan yang berhadapan
dengan teori pemerintahan teokratis. Itulah sebabnya, menurut Abdulgani bahwa Natsir
dan ZA Ahmad, yang menyokong pendapat Natsir, terjebak dalam kekacauan semantik. “
Dan sulit sekali,” lanjut Abdulgani,” untuk tanpa alasan begitu saja dimasukkan ke dalam
bidang filsafat, seperti materialisme atau ateisme. Dalam hal ini Abdulgani tampaknya
gagal melihat bahwa materialisme dan ateisme hanyalah manifestasi belaka dari
pandangan sekuler dalam bentuknya yang ekstrem.

Seterusnya, untuk mempertahankan pandangan yang mengatakan bahwa Islam adalah


salah satu sumber Pancasila masih merupakan sesuatu yang harus dikaji dengan jujur dan
obyektif. Bagi Abdulgani sendiri, hal ini mungkin benar karena ia dibesarkan dalam

18
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

lingkungan santri di Surabaya. Karena itu bilamana konsepnya tentang Tuhan dibentuk
oleh Islam, cukup logis. Tetapi bagi kebanyakan pembela Pancasila yang lain, prinsip
percaya kepada Tuhan tidak ada sangkut pautnya dengan agama wahyui manapun.
Soedjatmoko (sosialis) dalam pidatonya mengamati bahwa dalam Majelis Konstuante,
mereka yang percaya kepada Tuhan menjadi dua kelompok. (1) kelompok yang percaya
kepada Tuhan tetapi tanpa wahyu. (2) kelompok yang percaya kepada semua agama
wahyu. Pembicara mengatakan bahwa perbedaan pendapat tentang issu ini tidak dapat
diperdebatkan lagi.

Sebagaimana telah disebutkan dimuka, bagi Soekarno sebagai penggali Pancasila, konsep
tentang Tuhan lebih bercorak sosiologis. Bila analisa kita hubungkan dengan ini,maka
teori Kahin yang diambil oleh Abdulgani – bahwa Islam adalah salah satu sumber
Pancasila - hanyalah dapat diterima oleh sebagian anggota majelis, sekalipun menurut
sensus sebagian besar anggotanya adalah muslim. Tetapi bagi mereka, agama belum
tentu mempunyai kaitan dengan nilai-nilai praktis dalam kehidupan mereka. Inilah yang
dimaksud Natsir dengan sekularaisme, karena teori sekuler tentang pemerintahan
hanyalah konsekuensi logis belaka dari suatu pandangan dunia sekuler. Menurut
pandangan Natsir, sekularisme sebagai filsafat hidup adalah ibarat pohon, maka
materialisme historis, ateisme dan komunisme adalah cabang-cabang nya. Inilah jawaban
yang diberikannya terhadap Abdulgani yang telah menuduhnya sebagai terjebak dalam
kekacauan semantik.

Sekarang ikuti pula penjelasan tentang Pancasila dari Arnold Mononutu (PNI) Berlainan
secara mendasar dari apa yang diberikan oleh Takdir Alisjabana dan Roeslan Abdulgani,
Mononutu menganggap bahwa Pancasila sebagai pancaran nilai-nilai agama Kristen. Sila
Ketuhanan Yang Maha Esa baginya merupakan tiang utama dari sumber sila-sila yang
lain dalam penglihatan Bibel. Dalam usahanya untuk mewarnai Pancasila dengan jaran
Kristen, Mononutu berkata: “ …oleh sebab itu Pancasila, bukan suatu perumusan belaka,
bukan suatu konmpilasi beberapa prisipila suatu pandangan hidup, akan tetapi Pancasila
adalah suatu bentuk filsafat yang logis, bersifat religius-monistis, yang dapat kami terima
sebagai orang Krsiten untuk dijadikan Dasar Negara Republik Indonesia. “ Dikatakan
seterusnya: “… yang paling penting ialah, bahwa Pancasila adalah titik pertemuan dari
segala golongan yang percaya pada Tuhan Yang Maha Esa, apa pun juga Nabi golongan
ini masing-masing. “ Mononutu tegas-tegas mengatakan bahwa dalam konsitusi
Indonesia tidak ada tempat sama sekali bagi pasal-pasal yang bersifat sekuleristis

Sebagai seorang Kristen, Mononutu menentang dengan keras dasar Islam bagi negara
Indonesia. Menurut pendapatnya, ini akan mengakibatkan terjadinya penjajahan spiritual
bagi kelompok minoritas. Memang dapat dipahami, sebagai seorang Kristen, Mononutu
mempunyai hak untuk menolak Islam sebagai dasar negara. Tetapi tafsirannya tentang
Pancasila dari sudut pandang Kristen teklah semakin mengundang kecurigaan dari wakil-
wakil Islam. Di mata wakil-wakil Islam, ini berarti bahwa Pancasila terbuka bagi
berbagai penafsiran. Dengan kata lain, warna Pancasila sepenuhnya bersifat relatif,
tergantung pada filsafat hidup seseorang. Bila memang ini kasusnya, Natsir akan
mengatakan.” Inilah satu tragik yang dihadapi oleh Pancasila yang sekuler (la-diniyah)
dan netral. Sebelumnya Ntasir mengatakan: “ Kalau ia memilih salah satu warna, salah

19
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

satu ideologi ia akan bercorak m ia tak akan netral lagi, rasion d’etre-nya sebagai
gemeene deler sebagai hidupnya tak ada lagi, ia bukan Pancasila lagi.

Perdebatan tentang dasar ideologi negara dalam Majelis Konsituante berlangsung sampai
rapatnya yang terakhir pada tanggal 2 Juni 1959, tanpa suatu keputusan. Dengan
demikian pembuatan suatu Undang-Undang Dasar Permanen menjadi terbengkalai. Pihak
pemerintah membaca situasi ini sebagai suatu kemacetan konsitusional yang serius, maka
pada tanggal 5 Juli 1959, Presiden Soekarno dengan sokongan penuh dari pihak militer
mengeluarkan dekrit untuk kembali kepada UUD 1945 dan sekaligus membubarkan
Majelis Konsituante yang dipilih rakyat itu. Situasi yang tidak seronok ini telah
mengguncangkan umat Islam, baik secara politik maupun secara psikologis. Di bawah
payung UUD 1945, Soekarno telah kembali menggegam kendali pimpinan politik
nasional dengan kekuasaan yang hampir –hampir tak terbatas.

Di dalam konsideran Dekrit 5 Juli 1959 disebutkan.” …bahwa Piagam Jakarta tertanggal
22 Juni 1945 menjiwai Undang-undang Dasar 1945 dan adalah merupakan suatu
rangkaian-kesatuan dengan konsitusi tersebnut.” Tercantumnya kondiderasi sangat
penting ini jelas merupakan suatu kompromi politik lagi antara pendukung dasar
Pancasila dan pendukung dasar Islam. Menurut pertimbangan kita, bilamana konsideransi
itu mempunyai makna secara konsitusional, dan memang seharusnya demikian, maka,
sekalipun hanya secara implisit, namun gagasan untuk melaksanakan syari”ah bagi
pemeluk agama Islam tidaklah dimatikan. Inilah barangkali tafsiran yang akurat dan adil
terhadap kaitan Dekrit 5 Juli dengan Piagam Jakarta. Penafsiran yang lain dari ini, di
samping tidak punya makna, juga bersifat ahistoris.(Maarif, 1985: 144– 161) Menurut
Yamin, yang secara politis ikut terlibat pada masa itu, dokumen ini merupakan “ bahan
berharga dan bersejarah “ walaupun “ tidak menjadi bagian intisari yang mutlak
essentieel daripada konsitusi.(Simandjuntak,1994: 250)

Pancasila dan Dunia Baru

“Berbicara di hadapan Anda semua, saya bergetar.” ujar Presiden Soekarno dari podium
Sidang Umum PBB tanggal 30 September 1960 di markas besar New York. Kalimat itu
diucap kan Presiden Soekarno di luar teks pidatonya yang monumental, To Build the
Wolrd A New (Membangun Dunia Baru), yang relevansinya terasa sampai sekarang Jauh
sebelum kearifan konvensional Tata Ekonomi Internasional Baru dirumuskan pada tahun
1974 oleh Majelis Umum PBB, dia telah mempersoalkan struktur sistem
internasional.Tanpa secara terbuka melanggar prinsip nonblok, Presiden Soekarno
berusaha mengalihkan kesimbangan perhatian umum dan ancaman terhadap perdamaian
dunia yang ditimbulkan dari ancaman terhadap perdamaian dunia yang ditimbulkan oleh
antagonisme yang berakar di antara negara-negara besar kearah dugaan sumber
ketegangan internasional yang lebih mengakar –mendalam. Presiden Soekarno
berpendapat:

Imperieliasme dan kolonialisme dan berlanjutnya kekuatan yang memecah bangsa-


bangsa – Saya tekankan kata-kata itu – adalah. akar hampir semua kejahatan inter
nasional dan ancaman kita ini Selama kejahatan-kejahatan yang dibenci pada masa
20
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

lalu itu belum berakhir, tak akan ada ketenangan dan perdamaian di seluruh dunia.

Dalam pidato ini, Soekarno mengeaskan bahwa toleransi Indonesia atas Irian Barat
hampir habis batasnya dan bahwa kegagalan PBB dilukiskan sebagai produk sistem
Barat, yang telah melahirkan imperialisme. Untuk menyembuhkan, dia menganjurkan
pencatuman Pancasila dalam Piagam PBB dan bahwa markas besar PBB hendaknya
dipindahkan dari New York ke suatu tempat di Asia atau Afrika atau di Genewa.

Pidato ini menandai suatu tawaran untuk memimpin apa yang disebutnya “ bangsa-
bangsa yang baru bangkit “ yang dia lukiskan sebagai melepaskan diri dari masa lalu dan
Membangun Dunia Baru yang merupakan judul pidatonya.

Uraian yang lebih terinci mengenai wawasan internasional Soekarno disampaikan pada
konperensi pertama negara-negara nonblok yang diselenggarakan di Beograd,
Yugoslavia, pada bulan September 1961. Di sana Soekarno menguraikan kritik yang
tajam terhadap struktur sistem internasional. Di samping itu, dia malah menantang
doktrin ortodoks gerakan nonblok itu sendiri, yang memandang nonblok sebagai
jawaban yang tepat terhadap persaingan perang dingin antara Amerika Serikat dan Uni
Soviet. saingan ini dipandang sebagai ancaman utama terhadap perdamaian dunia,
mengingat akibat-akibat yang ditimbulkan oleh perlombaan nuklir. Soekarno
menempatkan dirinya bertentangan dengan penafsiran patologi sistemm internasional.
Dia menjelaskan.

Pendapat dunia yang ada dewasa ini membuat kita percaya bahwa sumber ketegang
an dan perselisihan internasional yang sesungguhnya ialah konflik ideologi antara
negara-negara adikuasa.Saya kira hal itu tidak benar. Ada konflik yang menembus
lebih dalam raga manusia yaitu konflik antara kekuatan yang baru bangkit bagi ke
merdekaan dan keadilan dan kekuatan dominan yang lama, yang satu mendorong
kan kepalanya tanpa belas kasihan melalui lapisan bumi yang telah memberikannya
darah kehidupan, sedangkan yang lain berjuang tanpa lelah untuk mempertahankan
semua yang ia dapat coba untuk menahan jalannya sejarah.

Pandangan konvensional nonblok selama ini mendasarkan diri pada asumsi bahwa
negara-negara pascakolonial, yang bertindak sebagai kekuatan ketiga, tak hanya akan
menghindari lilitan gurita perang dingin tetapi juga berperan sebagai sarana bagi
konsoliasi dan mediasi yang mampu meredakan ketegangan internasional. Dalam pikiran
Soekarno, tak tersedia ruang bagi kekuatan ketiga seperti itu karena sistim internasional
dalam penafsirannya merupakan struktur dua pihak yang menggambarkan suatu konflik
endemic antara keadilan dan ketidakadilan tanpa adanya kemungkinan untuk hidup
berdampingan. Pandangan Soekarno menjadi lebih jelas dalam pidato tahunannya
memperingati hari Proklamasi Kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1963. Soekarno
menggambarkan dunia itu sebagai terbagi antara kekeutan-kekuatan baru yang sedang
bangkit (New Emerging Forces) dan kekuatan-kekuatan lama yang telah mapan (Old
Established Forces). Yang pertama dilukiskan sebagai terdiri atas “ bangsa –bangsa Asia,
Afrika dan Amerika Latin, negara-negara sosialis, dan kelompok-kelompok progresif di
negara-negara kapitalis.

21
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

Dalam mengedepankan suatu pandangan revisionis mengenai masyarakat internasional


Soekarno melukiskan Indonesia sebagai anggota kelompok kekuatan progresif dinamis
yang militant yang ditugasi oleh sejarah untuk melawan dan mengacaukan kekuatan
penindasan dan eksploitasi yang reaksioner. Penyelenggaraan Games of New Emerging
Forces (CANEFO) sebagai bukti keinginan mewujudkan impiannya.(Leifer, 1989: 84 –
86)

Mengenai Pidato Membangun Dunia Baru, sejarah versi Orde Baru menjelaskan bahwa
kesempatan itu digunakan Indonesia seakan-akan “menjual” konsepsinya sebagai solusi
berbagai persoalan internasional dewasa itu. Posisi kepeloporan Indonesia seharusnya
ditingkatkan, terutama di bidang ekonomi. Lagi pula, Indonesia masih harus mengatasi
Persoalan-persoalan yang timbul. Mampu atau tidaknya mengatasi kesulitan-kesulitan
dalam negeri inilah yang menentukan apakah suara Indonesia didengar atau tidak oleh
dunia internasional. (Notosusanto, 1984: 144)

Pancasila dan Manipol

Dalam pidato Penemuan Kembali Revolusi Kita pada peringatan hari Proklamasi
Kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1959, Presiden Soekarno menguraikan ideology
demokrasi terpimpin, yang beberapa bulan kemudian dinamakan Manifesto Politik
Repiblik Indonesia. Bersamaan dengan itu Soekarno mengesahkan sistimatikanya yang
disusun oleh Dewan Pertimbangan Agung. Maka lahirnya semacam katekiasasi mengenai
dasar, tujuan dan kewajiban revolusi Indonesia, kekuatan-kekuatan sosial revolusi
Indonesia, watak, massa depan dan musuh-musuhnya, serta program umumnya yang
meliputi bidang politik, ekonomi, sosial, mental budaya dan keamanan. Dalam pidato-
pidatonya di awal tahun 1960, Soekarno selalu mengungkapkan bahwa revolusi
Indonesia mengandung lima gagasan penting. (1) Undang-undang Dasar 1945; (2)
Sosialisme ala Indonesia; (3) Demokrasi Terpimpin; (4) Ekonomi Terpimpin dan (5)
Kepribadian Indonesia. Dengan mengambil huruf pertama masing-masing gagasan itu,
maka muncullah singkatan USDEK USDEK. “ Manifesto Politik Republik Indonesia “
diangkat “ Manipol “, dan ajaran baru itu dikenal dengan nama “ Manipol USDEK, yang
kemudian dinyatakan sebagai pelaksaan Pancasila.

Manipol USDEK benar-benar memiliki daya pikat bagi banyak kalangan masyarakat
politik. Masyarakat politik, yang terutama didominasi oleh pegawai negeri, sudah lama
mendukung apa yang selalu ditekankan persiden mengenai kegotongrongan,
menempatkan kepentingan nasional di atas kepentingan golongan dan kemungkinan
mencapai mufakat melalui musyawarah yang dilakukan dengan penuh kesabaran. Ada
dua sebab mengenai hal ini. Pertama, keselarasan dan ketiakawanan merupakan nilai-
nilai yang dijunjung tinggi oleh kebanyakan masyarakat-masyarakat Indonesia. Dan
kedua, bangsa Indonesia benar-benar menyadari betapa akibat keterpecahbelahan mereka
dalam tahun-tahun sebelumnya. Selain itu, bnanyak yang tertarik kepada gagasan bahwa
apa yang diperlukan Indonesia dewasa itu adalah orang-orang yang berpikir benar.,
berjiwa patriot sejati. “ Kembali kepada kepribadian nasional kita sendiri “ menarik
banyak orang yang ingin melepaskan diri dari tantangan dunia modern. Selain juga bagi

22
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

mereka yang ingin memberikan kepercayaannya pada kepemimpinan politik saat itu
tetapi menyadari modernisasi masyarakat ketimbang India dan Malayisa. Bagi anggota
beberapa komunitas Indonesia, terutama bagi orang-orang Jawa, mereka menemukan
makna yang sesungguhnya dalam pelbagai skema rumit yang disampaikan Presiden
Soekarno itu ketika mengupas panjang lebar Manipol-USDEK, yang menjelaskan arti
dan tugas-tugas khusus tahap sejarah sekarang ini.

Barangkali daya tarik terpenting Manipol-USDEK justru terletak pada kenyataa bahwa ia
menjanjikan pegangan. Yang pokok ialah bahwa presiden menawarkan pengertian
tentang apa yang hendak dituju. Nilai-nilai dan pola-pola kognitif berubah terus dan
saling berbenturan sehingga timbul keinginan yang kuat untuk mencari perumusan,
sehingga timbul keinginan yang kuat untuk mencari perumusan dogmatis dan skematis
mengenai apa yang baik dalam politik. Satu tanggapan umum terhadap Manipol-USDEK
ialah bahwa “ ia boleh jadi bukan ideologi yang sangat baik atau lengkap, tetapi yang
pasti kita membutuhkan sebuah ideologi.”

Sebenarnya hanya di sebagian masyarakat politik saja Manipol-USDEK diterima sepenuh


hati, sedangkan sebagian lain menaruh curiga. Manipol –USDEK itu sendiri tidaklah
begitu jelas. Selain itu, bukan pula suatu upaya mensitesakan semua pola penting dari
orientasi politik yang ada di Indonesia. Dapat dipastikan, Manipol USDEK belum
mampu mengatasi besar besar orientasi politik kutub aristokrasi Jawa dan kutub
kewiraswastaan Islam. Bagi kalangan kewiraswataan Islam yang terutama berada dli luar
Jawa, rumusan baru itu terasa asing.

Manipol USDEK merupakan pembenaran utama dalam upaya pengendalian pikiran. Oleh
karena ittu, ia diperkenalkan di segala tingkat pendidikan dan pemerintahan dan pers
diharuskan mendukungnya. Beberapa redaktur yang pro PSI dan Masyumi menolak
berbuat begitu, dan surat kabar mereka dilarang terbit. Dalam lingkungan universitas,
Manipol –USDEK, disambut dengan sikap permusuhan, sinisme, dan acuh tak acuh.
Ideologi itu menarik bagi sebagian mahasiswa yang idealis, karena memberi dorongan
baru bagi keterlibatan universitas dalam masalah-masalah masyakarat. Selain itu, karena
mengutamakan masa pendidikan yang lebih pendek dan berorientasi kepada praktik dan
memungkinkan para mahasiswa menghentikan kuliahnya sementara waktu guna
menjalankan tugas pemerintah di daerah yang terpencil. Pada umumnya banyak warga
universitas, baik dosen maupun mahasiswa, menyetujui nilai-nilai yang diungkapkan
dalam Manipol –USDEK. Namun, banyak pula lainnya merasa diasingkan oleh nilai-nilai
itu. Kecaman Presiden Soekarno terhadap “intelektualisme “ Hollands denken dan
textbook thingking itu dianggapnya sebagai serangan kepada kebebasan akademis. Lagi
pula kebanyakan warga masyarakat akademis menilai ideologi itu sebagai sistim
intelektual, dan sebagian besar mereka melihatnya dengan sebelah mata.

Program indoktrinasi yang yang dimantapkan oleh Presiden Soekarno ditandingi oleh
program yang serupa yang diusahakan oleh Angkatan Darat. Para pemimpin militer
secara konsisten mendukung kata-kata Manipol USDEK dan banyak dari gagasannya.
Sebagian dari gagasan ini, terutama konsep pegangan nasional telah dipegang teguh olah
baik atasan maupun bawahannya. (Ideologi Manipol-USDEK sering kali membantu

23
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

mereka untuk membenarkan kekuasaannya yang baru atau hak-hak istimewanya, baik di
kalangan sendiri maupun di kalangan lain, tetapi hal itu tidak berarti mereka itu munafik).
Akan tetapi, apabila berbicara di depan anggota sendiri, para pemimpin Angkatan Darat
biasanya memberikan penafsirannya sendiri terhadap Manipol-USDEK sebagai ideologi
yang selain antilibaral juga antikomunis. Sejak tahun 1961, Angkatan Darat
menyelenggarakan program indoktrinasinya sendiri dan bagian dari skema latihan
kemiliteran. Dengan demikian, maka banyak mahasiswa, sarjana, dan pegawai negeri
telah menerima ideologi negara dalam versi pimpinan Angkatan Darat, pluralisme telah
merangkak dalam usahanya menanamkan sebuah doktrin tunggal. (Feith, 1995: 79 – 86)

Jiwa Pancasila adalah jiwa Nasakom, demikian kata Soekarno. Oleh karena itu setiap
Pancasilais haruslah menjadi seorang Nasakomis. Itu berarti, bahwa Naskom tidak. Itu
berarti, bahwa Nasakom tidaklah sekedar kerjasama antara tiga kekuatan yang terpisah,
tetapi merupakan sintese dari tiga ideologi menjadi satu jiwa, jiwa Nasakom.
(Darmaputera, 1987: 113) Makna Nasakom yang sesungguhnya tidak pernah dijelaskan
secara terang. Pernah PKI menganggap bahwa Nasakom juga berarti penciptaaan
keseimbangan antara nasionalisme, agama dan komunisme pada semua tingkat ekskutif
pemerintahan dan dewan perwakilan, sehingga juga pimpinan komandan tertinggi militer
ketiga unsur ini juga diwakili. Dalam pengertian ini PKI menuntut penasokoman
Angkatan Darat. Angkatan Darat menolak dengan alasan bahwa istilah itu hanya berarti
kerja sama dengan semangatnya yang umum, yang memberitahukan jalannya urusan
negara. (Legge, 1985: 400- 401) Lagi pula di mata TNI-AD, PKI sebagai natural enemy-
nya m bukan saja karena PKI adalah tidak beragama, dan dibawah pengaruh Komintern,
tetapi juga karena PKI satu-satunya partai terkuat yang mengancam kepentingan politik
TNI-AD.(Muhaimin, 1982: 166 – 182) Dengan menampilkan gagasan Nasakom, tujuan
Soekarno adalah untuk mengontrol kekuatan-kekuatan yang saling bersaing). Tidak saja
untuk mempersatuakan lewat dirinya.” Saya Nasakom itu.” Jawabnya, demikian pernah
terbentuk berita ketika ia menolak tuntutan PKI untuk disertakan dalam Kabinet pada
tahun 1963 (Legge, 1985: 400 – 401)
.

Pancasila dan Orde Barui

Pada tanggal 16 Agustus 1967, di depan sidang DPR-GR, Jendral Soeharto sebagai
Pejabat Presiden memberikan penegasan pokok tentang Orde Baru Orde Baru tidak lain
adalan tatanan seluruh peri kehidupan rakyat, bangsa dan negara yang diletakkan kembali
kepada pelaksanaan kemurnian Pancasila dan UUD 1945.Mempertahankan, memurnikan
wujud dan memurnikan pelaksanaan Pancasila dan UUD 1945, itulah fungsi dan tujuan
Orde Barui.

Pada kesempatan itu Jendral Soeharto mengemukakan pula pemikirannya bahwa


Pancasila, yang merupakan keluhuran pandangan hidup bangsa itu, mencerminkan nilai-
nmilai pokok pandangan hidup seluruh bangsa Indonesia, dan merupakan kepribadian
Indonesia. Pancasila ini selanjutkan di jabarkan dalam Undang-Undang Dasar negara,
UUD 1945 merupakan pencerminan Pancasila sebagai dasar negara. Pokok –pokok

24
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

pikiran tentang negara dan sistim pemerintahan jelas langsung bersumber dan merupakan
pelaksanaan Pancasila. Pancasila dan UUD 1945 karena itu merupakan satu rangkaian.

Beberapa peristiwa yang telah terjadi dilihat oleh Pejabat Presiden itu sebagai
penyelewengan dari Pancasila. (1) Pancasila telah diselewengkan, dan kehilangan
kemurniannya dengan dilahirkannya konsepsi nasakom, yang mengikutkan dan
memasukkan komunisme ke dalam pelaksaaan Pancasila. Komunisme, yang didasarkan
pada dialeketika –materialisme, jelas anti Tuhan, sedangkan Pancasila berke-Tuhanan
Yang Maha Esa. Agama diselewengkan untuk kepentingan politik.: (2) Sila
Perikemanusian yang adil dan beradab ditinggalkan, hak-hak asasi manusia hampir-
jampir lenyap, sebab semuanya ditentukan oleh kemauan penguasa; (3) Sila Persatuan
Indonesia dalam prakteknya luntur, karena ada aliran-aliran yang menudukkan diri
kepada kepentingan dan ideologi lain; (4) Sila Kedaulatan Rakyat menjadi kabur, yang
ada adalah kedaulatan pemimpin.dan (5). Sila Keadilan semakin kabur, sebab ada
kekayaan dipakai untuk kepentingan pribadi dipakai untuk proyek-proyek mercu-suar
yang merusak ekonomi rakyat dannegara. Sistim eekonomi terpimpin dalam praktek
menjadi sistim lisensi yang hanya menguntungkan segelintir orang yang dekat dengan
penguasa.Oleh karena itu, Jendral Soeharto menganggap mengenai perlunya Panca
Tertib, yang meiputi tertib politik, pembinaan tertib ekonomi, pembinaan tertib sosial,
tertib hukum dan tertib Hankam.

Suasana umum tetap diwarnai dengan pikiran-pikiran dasar Orde Baru, yaitu Pelaksanaan
Pancasila dan Undang Undang Dasar 1945 secara murni dan konsekuen. Pemikiran itu
mengalami perkembangan tahap demi tahap, dalam mana status Pancasila di bidang
hukum, kenegaraan dan ideologi secara terus-menerus dipertegas. Tap XX/MPRS/1966
mempertegas status Pancasila sebagai sumber hukum negara Republik Indonesia. Tap IV
/PMR.1973 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara menjelaskan hubungan antara
Pancasila dan Pembangunan Nasional. Tap II /MPR /1978 mengajarkan bahwa Pancasila
sebagai nilai kebudayaan bangsa dihayati oleh seluruh warga negara Republik Indonesia
dengan ini status Pancasila sebagau ideologi nasional menjadi jelas.Tahun 1978 melalui
Tap II.MPR /1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengalaman Pancasila (Eka
Prasetia Pancakarsa). MPR menegaskan bahwa Pancasila sebagai nilai kebvudayaan
bangsa harus dihayati oleh semua warga negara Indonesia. Dengan cara Pancasila sebagai
ideologi kebangsaan dijabartkan melalaui penataran-penataran dan Pendidikan Moral
Pancasila di sekolah-sekolah. Selanjutnya pada tahun 1983 melalui Tap II /MPR/1983
tentang GBHN ditegaskan dua hal utama, yaitu: (1) Partai Politik dan Golongan Karya
harus benar-benar mernjadi kekuatan sosial-politik yang hanya bersaskan Pancasila
sebagai satu-satunya asas; dan (2) pembangunan nasional sebagai pengamalan Pancasila.
Perintah GBHN ini telah terwujud di dalam dua buah undang-undang, yaitu UU No 3
Tahun 1985 tentang Partai Polityik dan Golongan Karya, dan UU No 8 Tahun 1985
tentang Organisasi Kemasyarakatan. Di dalam kedua UU itu terdapat ketentuan mengenai
asas yang menetapkan bahwa semua organisasi kekuatan sosial politik (PPP. Golkar dan
PDI) hanya memakai Pancasila sebagai satiu-satunya asas dan semua asas sebagai ciri-
ciri golongan yang dipakai sebelumnya tidak dibenarkan untuk dipergunakan lagi.
Ketentuan tentang kedudukan UUD 1045 tidak boleh diganggu gugat lagi, meskipun
pasal 37 UUD 1945 membenarkan untuk melakukan perubahan UUD 1845 telah

25
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

ditetapkan UU No 5 Tahun 1985 tentang Referendum. Di dalam UU ini dikatakan bahwa


apabila ada keinginan dari anggota golongan masyarakat bangsa Indonesia untuk
melakukan perubahan terhadap UUD 1945, maka pendapat rakyat harus dipertanyakan
terlebih dahulu. Semua ini menunjukkan kemauan dan tekad yang sungguh dari
pemerintah untuk memenatapkan Pancasila dan UUD 1945. (Kasenda, 2005: 64)

Di masa rezim Orde Baru, Pancasila telah dijadikan ideologi atas kekuasaannya. Hal ini
berhubungan dengan janji Orde Baru untuk mengoreksi kesalahan-kesalahn
ideologis,politik dan ekonomi Orde Lama. Pancasila telah digunakan sebagai wahana
untuk membatasi perilaku politik tertentu yang dinilai bertentangan dengannya.Selama
pemerintahan Soeharto, Pancasila telah seringkali dipakai sebagai alat untuk menarik
garis batas yang diizinkan dalam wacana dan tingkah laku politik masyarakat. Tetapi,
Pancasila juga pada dasarnya mewakili cita-cita yang luhur untuk membanmgun bangsa:
toleransi, penghargaaan terhadap perbedaan, keadilan sosial dan ekonomi, serta sistem
politik yang demokratis sesuai dengan kultur politik asli Indonesia(Ramage, 1994: 123).

Sumber Pancasila

Perjalanan Orde Baru bukanlah suatu perjalanan sejarah yang tanpa permasalahan. Dalam
konteks pemikiran pembaruan mendasar dan menyeluruh mengenai pelaksaan Pancasila
dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen.Tema persoalan pertama adalah berkenan
dengan Pancasila itu sendiri. Pada tahap awalnya, pengertian mengenai pelaksaaan
Pancsaila secara murni dan konsekuen terbatas kepada pernolakan terhadap ajaran
Marxisme-Leninisme dan Naskom. Permasalahan sudah timbul ketika sampai kepada
penentuan apakah seluruh isi dari Manipol _USDEK itu harus ditolak. Persaoalan ini
merupakan bagian dari persoalan politik yang dikemukakan terutama oleh kalangan yang
mempertahankan kedudukan Presiden Soekarno. Persoalan iitu berkembang menjadi
kritis, karena akhirnya haruslah ditentukan batasan mengenai apakah arti Pancasila
murni. Dengan perkataan lain di sini mulai timbul masalah sumber. Persoalan mengenai
sumber ini menjadi penting di dalam perkembangan pemikran tentang Pancasila
disebabkan karena dari sumber itulah dapat ditentukan “eksistensi “esensi “ maupun “
operasionalisasi “ dari Pancasila.

Ada dua pendapat sekurang-kurangnya yang timbul. Pendapat pertama mengemukakan


bahwa sumber Pancasila secara murni dan konsekuen tidak dapat dipisahkan dari diri
Presiden Soekarno sebagai penggali tersebut. Dalam rangka ini dikemukakan pula bahwa
tanggal 1 Juni 1945 telah menjadi tanggal hari lahirnya Pancasila. Pandangan kedua,
membantah pandangan ini dengan mengemukakan bahwa Presiden Soekarno bukanlah
penggali Pancasila, sebab pemikiran mengenai Pancasila itu telah dikemuakan oleh Muh.
Yamin (29 Mei 1945) dan Supomo (30 Mei 1945). Dalam pidato tanggal 1 Juni 1945
Presiden Soekarno sendiri mengatakan bahwa Pancasila adalah isi jiwa bangsa Indonesia,
maka dari itu sumber Pancasila tidak terletak pada diri Presiden Soekarno melainkan di
dalam kepribadian dan kebudayaan Indonesia. Berkaitan dengan pandangan kedua ini ada
pula dikemukakan pendapat bahwa Presiden Soekarno sendiri tidak memiliki konsistensi
pemikiran mengenai Pancasila sebab Presiden Soekarno dengan mudah sekali

26
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

mengembangkan kompromi-kompromi, seteri yang terungkap dari Piagam Jakarta, dan di


dalam Nasakom. Tema rebvolusi serta dengan pemikiran-pemikiran di dalam Manipol–
USDEK serta Nasakom mengaburkan status Pancasila. Bahkan sejak awalnya Presiden
Soekarno sendiri berbicara mengenai pemerasan Pancasila ke dalam Trisila ataupun
Ekasila, di mana tidak ada lagi ada Pancasila itu. Pemikiran mengenai Marhaenisme
yang juga mempunyai kaitan dengan Presiden Soekarno menunjukkan adanya pengaruh
konsep Mrxis. Dalam rangka itu maka terdapat pemikiran untuk mengadakan peninjauan
terhadap ajaran-ajaran Presiden Sorekarno.

Masalah sumber menjadi lebih majemuk lagi karena sementara orang juga mulai
mempertanyakan kedudukan Piagam Jakarta sebagai sumber. Hal ini dihubungkan
dengan pendapat yang menekankan urgensi agama di dalam pembangunan Orde Baru
sebagai landasan perlawanan terhadap Marxisme-Leninisme. Reaksi terhadap PKI yang
dipandang sebagai penganut atheisme, mengakibatkan timbulnya usaha menekankan
peranan agama. Menurut anggapan ini, kesalahan komunisme teritama adalah karena
ideologi ini bersifat atheistic. Oleh sebab itu sila Ketuhanan Yang Maha Esa adalah amat
penting menghadapi PKI dan Komunisme. Di samping itu sila ini adalah sila yang
menentukan sila-sila lainnya. Adapun menurut pandangan tersebut pelaksanaan sila
Ketuhanan Yang Maha Esa itu tidak dapat lain kecuali di dalam agama. Atas dasar itulah
maka dikemukakan agar pelaksanaan Pancasila secara murni dan konsekuen itu
didasarkan dan diketemukan oleh agama. Oleh karena itu maka kata-kata “ dengan
kewajiban menjalankan syari”at Islam bahi pemeluk-pemeluknya: diminta untuk
diberlakukan. Pandangan ini mengatakan bahwa Pancasila dan UUD 1945 tidak dapat
dipisahkan dari Piagam Jakarta. Piagam Jakarta adalah sumber Pancasila. Pemikiran ini
diperkuat lagi oleh kenyataan bahwa Dekrit 5 Juli 1959 menyebutkan kedudukan Piagam
Jakarta tersebut dan dekrit itu merupakan landasan berlakunya UUD 1945 itu sendiri.

Terhadap pandangan ini sebaliknya ada diajukan pendapat-pendapat lain. Ada yang
mengatakan bahwa di dalam dekrit iitu yang penting adalah diktumnya dan bukan
konsiderannya. Pendapat lain lagi mengatakan bahwa pada waktu Piagam Jakarta
dirumuskan, negara Indonesia belum ada, oleh karena itu Piagam Jakarta merupakan
dokumen histories semata-mata dan bukan dokumen hukum. Di samping itu, ada pula
pendapat yang mengatakan bahwa negara tidak dapat mewajibkan pelaksanaan syari”at
agama apa pun, sebab fungsinya berbeda-beda. NKRI adalah insitusi kebangsaan dan
bangsa Indonesia terdiri dari warga negara yang mengikuti bermacam-macam agama.
Agama merupakan masalah pribadi yang asasi. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa tidak
identik dengan agama. Ada pendapat lain vahwa keinginan memberi kedudukan hukum
kepada Piagam Jakarta itu berarti mengubah UUD dan mengubah dasar negara, terutama
karena akan mengubvah Pembukaan UUD 1945, padahal Pembukaan itu tidak dapat
diubah oleh siapa pun secara hukum. Berubahnya Pembukaan berarti hilangnya negara
Proklamasi 17 Agustus 1945. Dalam pada itu, oleh karena berlakuknya UUD 1945 itu
masih didasarkan atas Dekrit 5 Juli 1959, yang ternyata masih menjadi sumber pertikaian
ideologis, ada dikemuakakan pendapat agar MPR mengatakan sendiri berlakunya UUD
1945 itu sehingga tidak lagi terkait dengan Dekrit Presiden Soekarnmo terbut.

27
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

Dengan latar belakang perdebatan mengenai sumber Pancasila ini, dikeluarkan Instruksi
Presiden No. 12 Tahun 1968, mengenai tata urutan perumusan Pancasila.Disebutkan
bahwa sumber Pancasila yang mempunyai kekuatan hukum adalah Pembukaan UUD
1945, dan bukan pidato Muh, Yamin, Supomo, Soekarno ataupun di dalam Paigam
Jakarta. Ditegaskan pula bahwa Pancasila yang berkekuatan hukum juga tidak terdapat di
dalam Preambule Konsitusi RI atau Mukadimah UUDS 1950. Penjelasan ini penting
artinya karena nama Pancasila sendiri memang tidak terdapat di dalam UUD 1945.
Derngan demikian dibakukannya: sumber Pancasila, rumus Pancasila dan nama Pancasila
yang mempunyai kekuatan hukum (Pranarka, 1985: 220 – 223).

Lahirnya Pancasila dalam perdebatan

Masyarakat Indonesia pernah dibikin heboh oleh artikel yang berjudul “ Proses
Perumusan Pancasila Dasar Negara “ di Sinar Harapan, 3 Agustus 1981. Artikel ini
ditulis Nugroho Notosusanto yang ketika itu sebagai Kepala Pusat Sejarah ABRI. Dalam
artikelnya, Nugroho Notosusanto, menyatakan Soekarno bukan orang pertama yang
merumuskan lima prinsip Pancasila. Menurut Nugroho Notosusanto, perumus utama
Pancasila adalah Muhammad Yamin, Supomo, baru kemudian Soekarno. Peran
Soekarno, hanyalah dalam hal memunculkan istilah Pancasila. Bertolak dari premis ini,
Nugroho Notosusanto, juga menggugat keabsahan tanggal 1 Juni 1945 sebagai hari
lahirnya Pancasila.

Menariknya untuk dicatat, premis yang merupakan reevaluasi terhadap sejarah Pancasila
ini pararel dengan perubahan kebijakan rezim Orde Baru. Soeharto kemudian menghapus
peringatan hari lahirnya Pancasila pada tanggal 1 Juni 1945, dan melarang semua bentuk
peringatan pada tanggal itu. Meskipun menimbulkan keberatan dari berbagai pihak,
rezim Orde Baru secara terang-terangan justru mengabsahkan premis Nugroho
Notosusanto. Tahun 1982, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan mengembangkan
artikel Nugroho Notosusanto itu menjadi booklet 69 halaman yang dijadikan bacaan
wajib bagi para guru pengajar Pendidikan Moral Pancasila (PMP).

Ada hal yang kurang relevan dalam tulisan Nugroho Notosusanto. Permusan Pancasila
adalah proses sejarah yang terjadi tahun 1945, namun Nugroho Notosusanto
menghubung-hubungankannya dengan apa yang terjadi pada decade 1960-an Nugroho
Notosusanto menegaskan, generasi muda perlu diberi tahu pengalaman sejarah Orde
Lama di mana ideologi Marxisme –Leninisme berkembang, agar mereka tiodak
mengulangi salah langkah pada masa itu, semata-mata hanya karena tidak tahu. Nugroho
Notosusanto juga melihat pencabutan kekuasaan pemerintahan dari Soekarno oleh MPRS
tahun 1967 adalah “ faktor yang menjulang tinggi “ di dalam persoalan pengamanan
Pancasila dari ancaman ideologi Marxisme-Lenisnisme sebagaimana yang dimaksud oleh
Ketetapan MPRS No XXV/MPRS/1966.

Selanjutnya, menurut Nugroho Notosusanto, penghormatan terhadap jasa-jasa Soekarno


seharusnya tidak membutakan mata masyarakat terhadap “ kenyataan bahwa selama
zaman Orde Lama itu, Bung Karno memberikan keleluasaan bergerak kepada PKI dan

28
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

bahkan mendukung partai itu dengan menyikirkan kekuatan-kekuatan Pancasila yang


dapat mengimbangi kaum komunis …”

Perlu dipertanyakan apa relevansi ditampilkannya “tafsir “ sejarah itu. Sebab Nugroho
Notosusanto tidak sedang berbicara tentang ancaman komunisme terjhadap Pancasila,
atau “ kesaktian “ Pancasila dalam menghadapi berbagai rongrongan. Proses perumusan
Pancasila notabene berhenti pada 18 Agustus 1945 kektika PPKI mengesahkan UUD
1945, dan tentu saja berbeda drengan “proses perjalanan Pancasila sebagai dasar negara”.
Nugroho Notosusanto terlalu jauh masuk dalam pembahasan sejarah tentang sepak
terjang politik Soekarno sehingga sedikit keluar dari konteks bahasan lahirnnya
Pancasila.

Di sisi lain, Nugroho Notosusanto juga menegaskan rumusan Pancasila 1 Juni 1945
rentan terhadap ancaman komunisme. Nugroho Notosusanto menunjukkan bagaimana
tokoh PKI seperti DN Aidit dan Nyoto pernah menggunakan sila internasionalisme,salah
satu sila dalam Pancasila rumusan 1 Juni, untuk mendukung ide-ide komunismenya.
Sebuah kesimpulan yang simplistik. Legitimasi atas rumusan Pancasila 1 Juni datang dari
berbagai pihak, dengan latar belakang dan alasan yang berbeda dengan yang diutarakan
oleh tokoh PKI tadi.

Dua minggu setelah artikel Nugroho Notosusanto itu dimuat, Lembaga Soekarno-Hatta
mengumumkan “ Deklarasi Pancasila “ yang berisi penegasan bahwa tanggal 1 Juni 1945
merupakan hari lahirnya Pancasila. Deklarasi ini ditandatangani 17 tokoh masyarakat
yang sebagian mempunyai latar belakang anti-komunis. Mereka di antaranya adalah
Jusuf Hasyim (politisi terkemuka PPP), Usep Ranuwihardja (politisi senior PDI Letnan
Jendral Purnawirawan HR Dharsono (mantan Sekretaris Jenderal ASEAN) dan Jerndral
Purnawirawan Polisi Hoegeng Iman Slamet Santoso. Deklarasi ini ini dibacxakan di
Monumen Soekarno – Hatta, Jalan Proklamasi Jakarta pada pukul 00,00,17 Agustus
1981. Sebuah pemandangan yang menarik. Sejumlah tohok dengan otoritas politik yang
tinggi melakukan perlawanan simbolis terhadap seorang ahli sejarah yang baru saja
menggugat sebuah versi sejarah. Kompetensi akademis di lawan secara politis.

Dalam kacamata Karen Brooks, tindakan Nugroho Notosusanto di atas mendapat restu
pemerintah, sebagai bagian dari usaha untuk menciptakan “keseimbangan “ perspektif
tentang Soekarno. Peningkatan idealisasi terhadap Soekarno di kalangan loyalis Soekarno
dan generasi muda, diimbangi dengan usaha-usaha untuk menegaskan makna penting
Soekarno dalam konteks sejarah. Kebangkitan kekuatan-kekuatan nostaligia terhadap
Soekarno dan semakin kuatnya mitos-mitos tentang Soekarno sekitar tahun 1978 cukup
mengkwatirkan Orde Baru, sehingga Nugroho Notosusanto diinstruksikan untuk
melakukan counter dengan menciptakan gambaran-gambaran yang negativf tentang
Soekarno.

Meskipun premis-premisnya sempat memicu kontroversi, Nugroho Notosusanto


dipromosikan pemerintah menjadi Rektor UI tahun 1982. Setahun kemudian, Nugrtoho
Notosusanto diangkat menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Dalam jabatan yang
terakhir ini, Nugroho Notosusanto pernah diinstruksikan Soeharto untuk merevisi

29
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

pelajaran sekolah dengan menekankan instabilitas politik di era kepemimpinan Soekarno


tahun 1960-an. Berawal dari sinilah kemudian bermunculan kontruksi-kontruksi
unfavourable tentang Soekarno dalam buku teks sejarah.

Satu fakta yang sangat menarik diketemukan Barbara Leigh dalam soal-soal ujian untuk
materi sejarah tingkat sekolah dasar. Dalam sosal-soal pilihan berganda itu, Soekarno
ternyata banyak ditempatkan pada pilihan jawaban yang salah untuk pertanyaan-
pertanyaan seputar Pancasila, perjuangan melawan penjajah, dan penumpasan
pemberontakan pasca-kemerdekaan. Sebaliknya.Barbara Leiigh tidak menemukan satu
pun soal ujian yang menempatkan nama Soeharto dalam pilihan jawaban yang salah.
Fakta ini menurut Barbara Leigh dapat berdampak buruk terhadap persepsi siswa
terhadap peranan Soekarno maupun Soeharto dalam sejarah (Subdiyo, 2001 393 – 397)

Penutup

Secara faktual Pancasila lahir pada tanggal 1 Juni 1945, pidato mana diucapkan untuk
memenuhi permintaan Ketua PPKI, Radjiman Wediodiningrat, membenatngkan pendapat
tentang “ filosofische gronslag: dari Indonesia Merdeka. “ pandangan, fisalafat, pikiran
juga sedalam-dalamnya, jiwa rakyat yang sedalam-dalamnya untuk diatasnya didirikan
gedung Indonesia Merdeka yang kekal dan abadi. Begitulah maka menurut sifatnya
pidato ini adalah suatu falsafah.

Akan tetapi secara tematis, sebagai suatu falsafah, Pancasila selanjutnya menjadi
pengertian yang kabur. Hal ini tidaklah mengherankan, sebab penggali dan permus
Pancasila itu sendiri memang tidak memberikan uraiian yang jelas mengenai isi tematis
Pancasila sebagai satu falsafah. Pernah dikatakan bahwa sebelumnmya Pancasila
sebagai isi jiwa bangsa Indonesia, tetapi pernah juga dikatakan bahwa Pancasila adalah “
hoogere optrekking Dari Manifesto Komunis dan Declaration of Independence.
Sementara orang berkata bahwa Pancasila sebagai marxisme yang diterapkan di
Indonesia. Ada kemudian yang menyebutkan Pancasila sebagai alat pemersatu belaka,
sebagai ideologi, sebagai kumpulan dari lima sila-sila melulu. Sementara menegaskan
bahwa Pancasila adalah ciptaan dan ajaran Soekarno, tetapi Soekarno sendiri berkata,
bahwa Pancasila bukanlah pancaran isi jiwa bangsa Indonesia. Hal ini menyebabkan
bahwa Pancasila menjadi multi tafsir, menumbuhkan interpretasi-intrepretasi yang quasi
atau psudo –logis.

Tentu saja didalam situasi demikian ini akhirnya harus ada tedensi mengarah pada
landasan kriteriologi yang merupakan pedoman normatik, untuk menyelami dan
merumuskan isi tematis Pancasila sebagai falsafah, yang tidak terjerumus lagi kedalam
tafsir pseudo –logis ataupun quasi-logis.

Dengan diterimanya Pancasila sebagai dasar negara Indonesia, sebagai sesuatu yang
terpancar daripada Weltanschauung bangsa Indonesia, maka hal yang harus dibuktikan
ialah: Apakah Pancasila benar-benar bisa disamakan dengan falsafah bangsa Indonesia,
dari alam pikiran Indonesia. Dengan perkataan lain ini berarti bahwa: Alam Pikiran

30
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

Indonesia, Weltanschung Indonesia atau geistlichen hintergrund bangsa Indonesia


merupakan pedoman normatif, atau landasan kriteriologi yang dikemuakan diatas.

Memang sesungguhnya Soekarno sendiri mengatakan bahwa apa yang dirumuskannya


didalam Pancasila itu adalah apa yang merupakan isi-jiwa bangsa Indonesia. Akan tetapi
selanjutnya tidaklah dibutikan bahwa Pancasila adalah isi-jiwa bangsa Indonesia, cirak
karakternya bangsa Indonesia, Apakah corak karakter bangsa Indonesia tadi, secara
sistematis dan dengan argumentasi yang mestinya ada. Sehubungan dengan ini Drijarkara
berbicara mengenai perlunya kita meneliti sejarah, masyarakat, watak dan jiwa manusia
Indonesia. Jika kesemuanya telah diselidiki untuk menjawab pertanyaan: Bagaimanakah
dasar yang sebaik-baiknya bagi negara kita, maka jawaban dapat dirumuskan dalam lima
sila itu. Drijarkara yakin benar bahwa visi dari Presiden Soekarno adalah tepat sekali.
Dan karena uraian-uraian, yang ditunjukkan Presiden Soekarno pernah ditulis panjang –
lebar, maka disarankan pada para sarjana dalam lapangan yang bersangkutan untuk
menegakkan pendapat tersebut dengan bukti-bukti, yang berdasarkan penyelidikan
ilmiah.

Secara singkat dapat dikatakan bahwa perumusan Pancasila dengan kelima intinya itu,
bila diselami, sesunghuhnya membawa pola-pola alam pikiran Indonesia sebagaimana
dikemukakan diatas itu. Didalam Pancasila itu kita melihat hubungan antara manusia
dengan Sang Pencipta, manusia dengan sesamanya dan juga manusia dengan dunianya Di
dalam rumusaan-rumusan Pancasila itu kita dapat menemukan aspek kekeluargaan, “
kesatuan dalam perbedaan, perbedaan dalam kesatuan, sintesa, harmoni, keseimbangan,
kongkrit, realisme, sakral dan religius.

Begitulah Pancasila bisa dilihat sebagai rumusan alam pikiran Indonesia yang percaya
akan Tuhan yang menciptakan alam semesta, yang juga menciptakan manusia. Manusia
diciptakan sebagai suatu kesatuan kemanusian, tetapi juga di dalam perbedan bangsa-
bangsa.

Manusia-manusia yang diciptakan Sang Pencipta di dunia ini dimaksudkan untuk


mencapai kebahagian semua bersama-sama, hal mana harus juga dilaksanakan
sedemikian sehingga memungkinkan manusia bersama-sama dapat mencapai kebahagian
itu. Apa yang dirumuskan ini adalah rumusan didalam bentuk ikatan tematis dari sila-sila
Ketuhanan Yang Maha Esa, Peri Kemanusian, Persatuan Indonesia, Musyawarah
/Mufakat dan Keadilan Sosial. (Pranarka, 1969: 69 -70)

Apa pun mungkin kelemahannya dari sudut sistem filsafat (sebagaimana pernha
dituduhkan) dan betapapun mungkin bisa tergelincirnya ideologi ini ke dalam proses
vulgarisasi dan nilai ideal (seperti yang pernah disinyalir). Pancasila ternyata telah
mampu memperlihatkan kemampuan integratif yang luar biasa. Bukan saja Pancasila
memancarkan integrasi kebangsaan dan lapisan-lapisan sosial, tetapi juga ikatan integratif
kesejarahan antara lampau, kini dan akan datang dan sesama umat manusia serta
makhluk dengan Al-Khalik. Berhadapan dengan ideologi yang bersifat integratif,
ideologi lain, apa pun juga sumber dan corak strtaeginya, telah dijadikan sebagai faktor
disintegratif. Dalam logika situasi yang telah dibentuk, yaitu “ Indonesia sebagai negara

31
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

berkembang:, maka unsur disintegratif menjadi suatu anathema yang tak bisa dibiarkan.
Dan, pemegang “kendali “ ideologi yang integratif ini adalah pemerintah(Abdullah,1987:
40)

Tetapi Pancasila adalah sebuah ideologi modern. Hal itu tidak karena ia diwujudkan
dalam zaman modern, tetapi juga lebih-lebih lagi karena ia ditampilkan oleh seorang
founding father dengan wawasan modern, dan dimaksudkan untuk memberi landasan
filosofis bersama sebuah masyarakat plural yang modern, yaitu Masyarakat Indonesia.
Sebagai produk pikiran modern. Pancasila adalah sebuah ideologi yang dinamis, tidak
statis, dan memang harus dipandang demikian. Watak dinamis Pancasila itu membuatnya
sebagai ideologi terbuka. Dalam hal perumusan formalnya, Pancasila tidak perlu lagi
dipersoalkan. Demikian pula kedudukan konsitusionalnya sebagai dasar kehidupan
berbangsa dan bernegara dan bermasyarakat dalam pluralitas Indonesia, juga merupakan
final. Namun dari segi pengembangan prinsip-prinsipnya sehingga menjadi situasi aktual
dan relevan bagi masyarakat yang senantiasa tumbuh dan berkembang. Pancasila tidak
bisa lain kecuali mesti dipahami dan dipandang sebagai ideologi terbuka yang dinamis.
Oleh karena itu tidak mungkin ia ia dibiarkan mendapat tafsiran sekali untuk selama-
lamanya. Pancasila juga tidak mengizinkan adanya badan tunggal yang memonopoli hak
untuk menafsirkannya. (Madjid)

Sebenarnya Indonesia adalah sebuah negara yang terlalu banyak meributkan masalah
ideologi dibandingkan negara-negara lain. Para elite sangat memikirkan masalah ideologi
sehingga mereka seringkali terbenam dalam polemik yang tak berkesudahan Hingga kni,
sebagian elite politik masih cemas dengan munculnya kembali ideologi-ideologi “swasta
“ yang (dianggap) berbahaya. Setelah dihancurkan komunisme, elite politik memandang
ancaman yang paling berbahaya terhadap proses depolitisasi berasal dari para aktivis
yang menghendaki hubungan resmi antara Islam dan negara. Beberapa tahun belakangan
terlihat kembali adanya pertentangan-pertentangan ideologi, terutama pertikaian antara
Islamisme dan nasionalisme. Kalangan nasionalis sekuler yang menganggap Pancasila
sebagai dasar negara yang sudah final, cemas tatkala masalah-masalah dasar negara
diungkit-ungkit kembali seperti upaya penerapan kembali Piagam Jakarta yang diusung
sebagai komoditi oleh sejumlah kelompok Islam. Sebagian yang lain juga cemas melihat
bangkitnya kembali primordialisme Islam. Sementara bagi kaum nasionalisme Islam
politik. Sementara bagi sebagian kaum Islam Pncasila dianggap tdaik mampu mewadahi
seluruh perjuangan dan menjadi spirit dalam kehidupan berbangsa dan mengklaim Islam
sebagai ideologi universal yang melampui Pancasila. Konflik laten sungguh disayangkan
jika sampai sekarang masih terjadi salah mengerti antara Islam sebagai agama dan
Pancasila sebagai ideologi. Jika ditelisik, letak kesalahpahaman itu sejatunya lebih
didominasi kepentingan politik ketimbang substansi
Secara substansif, mestinya tidak perlu terjadi kesalahpahaman. Substansi keduanya jelas
berbeda, Islam adalah agama dan paham kebangsaan adalah ideologi. Agama dapat
menjadi ideologi, sementara ideologi tidak bisa berperan sebagai agama. Permainan
politiklah yang mengeksploitasi perbedaan itu pun meruncing. Usaha-usaha untuk
menduduk perkaranya secara jernih banyak dilakukan oleh, tapi semuanya tenggelam
dari hiruk pikuk politik. Kubu nasionalis sekuler dan nasionalis Islam kerapkali
mengambil posisi berseberangan. Bagi sebagian kaum nasionalis Islam, issu penerapan

32
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

Piagam Jakarta merupakan komoditas politik yang layah dijual dalam pemilu,minimal
meraih simpati massa. Issu ini dikemas sedemikian rupa sehingga banyak masyarakat
yang tertarik. Antunsiasme ini didukung dengan situasi krisis yang berkepanjangan,
masyarakat hehilangan pegangan dan dan butuh jawaban kepastian. Dalam konteks ini,
agama Islam yang dapat memberi jawaban. Di sisi lain, kondisi politik umat Islam
sepanjang sejarah yang seringkali dipinggirkan oleh penguasa membuat mereka tidak
mau lagi ditindas, ingin merebut kekuasaan dan masuk dalam struktur negara. Sementara
bagi kaum nasionalis sekuler, kelompok nasionalis Islam merupakan saingan berat yang
memiliki affiliasi primordial yang cukup kuat. Mereka menganggap Islamisme
bertentangan dengan semangat kebangsaan, memandang memperjuangkan Islame
sebagai sekretarian dan primordial anti kebangsaan. Isu ini terus bergulir hingga sekarang
ini. Wahasil kedua kubu berlarur-larut dalam perseteruan yang tak berkesudahan.
(Chayono)

Apakah ideologi semacam Pancasila masih revelavan dalam masa globalisasi dan
demokratisasi, yang nyaris tanpa batasdewasa ini. Pertanyaan seperti ini sering
dikemukakan dalam berbagai diskusi dan seminar tentang poisisi dan relevansi Pancasila
dalam Indonesia yang lebih demokratis.

Pertanyaan tentang relevansi ideologi umumnya dalam dunia yang berubah cepat
sebenartnya tidak terlalu baru. Sejak akhir tahun -1960, mulai muncul kalangan yang
mempertanyakan relevansi ideologi baik dalam konteks negara-bangsa tertentu maupun
dalam tataran internasional Daniel Bell pada tahun 1960 telah berbicara tentang end of
ideology. Tetapi perang dingin yang terus meningkat antara Blok Barat dengan ideology
kapitalisme dan Blok Timur dengan ideologi komunisme menunjukkan bahwa ideologi
tetap relevan dalam kancah politik, ekonomi, dan lain-lain.

Gelombang demokratisasi sejak akhir 1980-an, yang mengakibatkan runtuhnya rezim-


rezim komunis di Uni Soviet dan Eropa Timur, kembali membuat ideologi seolah-olah
tidak relevan. Bahkan Francis Fukuyama memandang perkembangan seperti ini sebagai
the end of history, di mana ideologi yang relevan adalah demokrasi Barat.

Gelombang demokratisasi yang terjadi berbarengan dengan meningkatkannya globalisasi


seakan-akan membuat ideologi semakin tidak relevan dalam dunia yang kian tanpa batas
Tetapi, seperti sudah banyak diketahui, globalisasi mengakibatkan kebangkrutan banyak
ideologi – baik yang universal maupun lokal - tetapi pada pihak lain, nasionalisme lokal
bahkan dalam bentuknya yang paling kasar, semacam ethno-nasionalism dan bahkan
tribalism justru menunjukkan gejala peningkatan. Gejala terakhir ini sering disebut
sebagai penyebab “ Balkanisasi “ yang terus mengancam integrasi negara-bangsa yang
majemuk dari sudut etnik sosio-kultural, dan agama seperti Indonesia.

Gelombang demokratisasi yang melanda Indonesia berikut dengan krisis moneter,


ekonomi dan politik sejak akhir 1997, juga membuat Pancasila sebagai basis ideologis,
common platform dan identitas nasional bagi negara –bangsa Indonesia yang plural
seolah semakin kehilangan relevansinya. Tetapi setidaknya tiga faktor yang membuat
Pancasila semakin sulit dan marjinal dalam semua perkembangan yang terjadi.

33
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

Pertama, Pancasila terlanjur tercermar karena kebijakan rezim Soeharto yang menjadikan
Pancasila sebagai alat politik untuk mempertahankan status quo kekuasaannya. Rezim
Soeharto juga mendominasi pemaknaan Pancasila yang selanjutnya diindoktrinasikan
secara paksa melalui Penataran P 4. Kedua, liberalisasi politik dengan penghapusan
ketentuan oleh Presiden B.J. Habibie tentang Pancasila sebagai satu-satunya asas setiap
organisasi. Penghapusan ini memberikan peluang bagi adopsi asas-asas ideologi lain,
khususnya yang berbasiskan agama (religious –base ideology), Pancasila jadinya
cenderung tidak lagi menjadi common platform dalam kehidupan politik.Ketiga,
desentralisasi dan otonomi daerah yang sedikit banyak mendorong penguatan sentimen
kedaerahan, yang jika tidak diantisipasi bukan tidak bisa menumbuhkan sentimen local-
nationalism yang dapat tumpang-tindih dengan ethno-nasionalism. Dalam proses ini
Pancasila baik sengaja maupun by-implication kian kehilangan posisi sentralnya.
Kecenderungan bahwa posisi Pancasila semakin sulit, dan menjadi lampu kuning bagi
masa depan Indonesia yang tetap terintegrasi.

Kendati Pancasila menghadapi ketiga masalah tadi – ia tetap merupakan kekuatan


pemersatu yang relatif utuh sebagai common platform bagi bangsa-bangsa Indonesia.
Kekuatan-kekuatan pemersatu lainnya, utamanya birokrasi kepemerintahan birokrasi,
telah mengalami kemerosotan signifikan. Liberalisasi politik yang menghasilkan
fragmentasi elite politik, menghalangi kemunculan kepemimpinan nasional pemersatu,
corak kepemimpinan solidarity maker yang dapat mencegah diintegrasi tetap belum
tampail.

Sebenarnya tidak ada yang salah dengan Pancasila an sich. Yang keliru adalah membuat
pemaknaan tunggal atas Pancasila yang kemudian dipaksakan sebagai alat politik untuk
mempertahankan status quo kekuasaan. Karena itu tidak ada masalah dengan Pancasila
itu sendiri, dan sebab itu, tidak pada tempatnya mengesampingkan Pancasila atas dasar
perlakuan pemerintah Orde Baru.

Lebih lanjut, Pancasila terbukti sebagai common platform ideologis negara-bangsa


Indonesia yang paling feasible dan sebab itu lebih viable bagi kehidupan bangsa hari ini
dan di masa datang. Sampai saat ini – dan juga di masa depan – belum bisa melihat
alternatif common-platform ideologis lain, yang tidak hanya aksetatabel bagi bangsa,
tetapi juga viable dalam perjalanan negara-bangsa Indonesia di masa-masa sebelumnya,
tetapi juga viable dalam perjalanan negara-bangsa Indonesia di masa-masa selanjutnya.

Karena posisi Pancasila yang krusial seperti ini, saya melihat urgensi mendesak bagi
rehabilitasi dan rejuvenasi Pancasila khususnya dalam proses memilih kepemimpinan
nasional. Jika tidak, ada kemungkinan bangkitnya ideologi-ideologi lain, termasuk yang
berbasiskan keagamaan. Gejala meningkatnya pencarian dan upaya –upaya penerimaan
religious based-religious ini merupakan salah satu tedensi terlihat jelas di Indonesia pada
masa pasca- Soeharto.

Rejuvensi Pancasila dapat dimulai dengan menjadikan Pancasila kembali sebagai public
discourse. Dengan menjadi wacana publik, sekalgus dapat dilakukan reassessment

34
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

(p[enilaian kembali) atas pemaknaan Pancasila selama ini, untuk kemudian


menghasilkan pemikiran dan pemaknaan baru. Dengan demikian, menjadikan Pancasila
sebagai wacana publik merupakan tahap awal krusial untuk membangun kembali
Pancasila sebagai ideologi terbuka, yang dapat dimaknai secara terus-menerus, sehingga
tetap relevan dalam kehidupan bangsa dan negara Indonesia.

Rehabilitasi dan rejuvenasi Pancasila memerlukan keberanian moral kepemimpinan


nasional. Tiga kepemimpinan nasional pasca-Soeharto, sejak dari Presiden Habibie,
Abdurrachman Wahid sampai Megawati Soekarnoputri, gagal membawa Pancasila ke
dalam wacana dan kesadaran politik. Ada kesan traumatik untuk kembali membicarakan
Pancasila. Sudah waktunya kepemimpinan nasional sekarang ini memberikan perhatian
khusus kepada ideology pemersatu itu, jika mereka betul-betul peduli pada identitas
nasional dan integrasi negara-bangsa Indonesia. (Arza, 47 – 50)

Pendekatan yang melulu teortitis terhadap Pancasila cenderung menjerumuskan kita


pada problematika teortitis pula, tanpa menyentuh problematika nyata yang mendesak
yang terjadi ditengah masyarakat yang sedang membangun. Pendekatan teoritis terhadap
Pancasila mengandung bahaya akan melibatkan kita ke dalam suatu usaha yang
melelahkan dan sia-sia, karena menghadapi keruwetan teoritis yang tak pernah mampu
kita uraikan. Masalah yang nyata malah menjadi terlantar. Pancasila bisa membeku dan
buntu dalam bentuk formal sehingga tidak lagi mampu memberikan ilham serta daya
dorong untuk bertindak. Tentu saja pendekatan teoritis adalah perlu, bahkan tak
terelakan. Pada dasarnya Pancasila sendiri adalah sebuah rumusan yang teoritis dan
abstrak dari suatu warisan budaya. Namun demikian, teori yang kita butuhkan adalah
teori yang secara langsung bersangkut-paut dengan masalah-masalah kongkret serta
mendesak. Ditinjau secara teoritis, Pancasila adalah wajar bila dianggap sebagai sesuau
yang umum, terlalu luas dan terlalu kabur.Namun yang ingin saya katakan, bahwa
perhatian kita tertuju pada Pancasila sebagai instrumen untuk menghadapi persoalan-
persoalan yang kongkret, bukan sebagai konsep teoritis. Dengan demikian
pertanyaannya, apakah Pancasila efektif menjawab tantangan-tantangan yang ada, bukan
apakah Pancasila sebagai konsep yang koheren.(Darmaputera, 1987: 129)

Pancasila sebagai ideologi mengandung tiga unsur pokok yang saling berkaitan, yaitu
nilai-nilai (ketuhanan, kemanusian, persatuan, kedaulatan rakyat, keadilan), kepentingan
(partai, golongan, bangsa), pilihan-pilihan (perwakilan, pimpinan, kebijakan). Perbedaan
dalam tataran nilai akan menimbulkan konflik. Sedangkan pertikaian dalam tataran
kepentingan akan memunculkan kompetisi, dan perbedaan dalam tataran pilihan akan
memunculkan kooperasi, tawar menawar lewat partai, dan organisasi sosial.
Perumusannya memang sudah final, gagasan-gagasanya demikian juga, tetapi Pancasila
masih dalam perkembangan. Pancasila masih berada dalam proses menghadapi
perkembangan-perkembangan baru yang merupakan tantangan baru. Namun, masyarakat
demokratis menempatkan nilai yang tinggi pada pilihan-pilihan masyarakat. Masyarakat
yang lewat perjalanan sejarah sejarahnya meyakini bahwa kelima sila menjadi postulat
keutuhan bangsa. Akibatnya, nilai dan pilihan menjadi satu.Negoisasi dan tawar-
menawar pilihan dan penyesuaian kepentingan menjadi komitmen.

35
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

Pancasila sebagai élan vital harus kita simak kembali untuk mencecapi “bara api “nya
yang menggerakkan seluruh bangsa Indonesia untuk bertindak, beraksi sekaligus
berrefleksi terhadap kenyataan dan tantangan-tantangan yang dihadapi. Jadi dari ideologi
ke aksi, dari aksi ke refleksi, dan refleksi ke aksi, dari aksi ke refeleksi, terus menerus
sehingga tercapai idam-idaman para founding father ini “…Gemah ripah loh djinawi
tata titi tentrem kerta rahardja

36
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

Bibliografi

Abdulgani, Roeslan.1965. Sosialisme Indonesia. Jakarta: Yayasan Parpanca.

….., 1988. Pancasila Perjalanan Sebuah Ideologi. Jakarta: PT Gramedia


Widiasarana Indonesia.

Anshari, Endang Saifuddin. 1981. Piagam Jakarta 22 Juni 1945. Dan Sejarah Konsensus
Nasionalis Islam dan Nasionalis Sekuler tentang Dasar Negara Republik Indonesia
1945 – 1959. Bandung: Pustaka.

Azra, Asyumardi ”Pancasila dan Identitas Nasional Indonesia Perpektif Multikulturalis


me dan Pendidikan Multikultural Analisis CSIS, Vol. 34, No. 1, Maret 2005,hlm
47 – 59.

Boland, BJ. 1985. Pergumulan Islam di Indonesia 1945 – 1972. Jakarta: Grafitipers.

Cahyono, Imam.: Mengakhiri Pertikaian Ideologi “. (Internet)

Budiman, Arief. 1989. Sistem Perekonomian Pancasila san Ideologi Ilmu Sosial di
Indonesia. Jakarta.; PT Gramedia.

Darmaputera, Eka.1987 Pancasila:Identitas dan Modernitas.Tinjauan Etis dan Budaya


Jakarta: BPK Gunung Mulia.

Feith, Herbert. 1995. Soekarno – Militer dan Demokrasi Terpimpin. Jakarta: Pustaka
Sinar Harapan.

Gunarto,” Menuju Negara Bebas Ideologi “ (Internet)

Hatta, Muhammad. 1982. Sekitar Proklamasi 17 Agustus 1945. Jakarta: Tintamas.

Husodo, Siswono Yudo, “ Pancasila dan Keberlanjutan NKRI.” (Internet)

Idayu, Yayasan (ed).1982. Moral Ekonomi Pancasila. Jakarta: Yayasan Idayu.

Kasenda, Peter. 2005. Pancasila. Jakarta: Diktat Kuliah FISIP Universitas 17 Agustus
1945)

Krissantono. 1979. Pandangan Presiden Soeharto tentang Pancasila. Jakarta: CSIS.

Legge, John D. 1985. Sukarno Sebuah Biografi Politik. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan

Leifer, Michael.1989. Politik Luar Negeri Indonesia. Jakarta: PT Gramedia.

37
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

Maarif, Ahmad Syafii. 1985. Studi tentang Percaturan dalam Konsituante. Islam dan
Masalah Kenegaraan.Jakarta: LP3ES.

Madjid, Nurcholis. “Islam di Indonesia dan Potensinya sebagai Sumber Substansi Ideolo
gi dan Etos Nasional” (Internet )

Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto 1990. Sejarah Nasional Indo
nesia VI. Jakarta: Balai Pustaka.

Mubyarto. 1980. Ilmu Ekonomi, Ilmu Sosial dan Keadilan. Analisa Trans-Disiplin Da
lam Rangka Mendalami Sistem Ekonomi Pancasila. Yogyakarta: Yayasan Argo
Ekonomika.

Muhamin, A Yahya 1982 Perkembangan Militer Dalam Politik di Indonesia 1945 –


1966
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Noer, Deliar 1983.Islam, Pancasila dan Azas Tunggal. Jakarta: Yayasan Perkhidmatan.

Notosusanto, Nugroho. 1981. Proses Permusan Pancasila Dasar Negara. Jakarta; PN


Balai Pustaka.

Pranarka, A.M.W. 1969, Pancasila Diantara Ajaran-Ajaran Negara Modern. Bandung:


Skripsi Sarjana Faklultas Hukum Universitas Parahiyangan.

1985. Sejarah Pemikiran tentang Pancasila. Jakarta: CSIS.

Ramage, Doulgas E.” Pemahaman Abdurrachman Wahid tentang Pnacasila dan Penerap
annya. Dalam Era Paska Azas Tunggal.”dalam Ellyasa KH Dharwis (ed) Gus Dur
dan Masyarakat Sipil. Yogyakarta: LKIS, 1994. hlm. 101 – 124.

Sitompul, Einar Martahan.1989. NU dan Pancasila. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

Simandjuntak, Marsilam. 1994.Pandangan Negara Integralistik. Jakarta: PT Pustaka


Utama Grafiti.

Sudibyo, Agus. “ DeSokeranoisasi: Delegitimasi yang Tak Tuntas:, dalam St Sularto


. (ed) Dialog dengan Sejarah. Jakarta:Kompas, 2001., hlm.388 – 401.

Subagya, Rachmat. 1959. Pancasila Dasar Negara Indonesia. Yogyakarta: Basis

38
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com

You might also like