You are on page 1of 32

Peter Kasenda

Sex , Kuasa dan Kapitalisme

Kuasa memproduksi Pengetahuan

Michael Foucaoult

Kita mungkin masih ingat kata-kata Camilie Paglia dan Luce Irigaray - dua feminis
kontroversial – bahwa tubuh yang didalamnya bersarang sexualitas harus dipahami
sebagai medan perang , bukan organ yang selamanya harmonis , Jika kemudian banyak
perempuan yang bermain-main dengan tubuhnya dan menfaatkan tubuhnya untuk
menyiasati modernitas . Seperti tampak dalam fenomena majalah Popular ,
Cosmopolitan yang melihat tubuh wanita dari tinjauan sexualitas bukan hanya rumit ,
dan jika tidak dilihat melalui kacamata yang jernih , bukan tidak mungkin akan kontra
produktif . Atau perempuan seni tradisi yang melikuk-liuk tubuh di atas panggung satu
hari penuh demi imbalan , sementara ia sadar bahwa profesinya sangat rawan gempuran
pencitraan. Lalu,
apakah ini sesuatu yang terlarang ?

Dengan kata lain , perempuan seni bisa saja menggunakan tubuhnya agar mnjadi
primadona , atau sebaliknya . Simak saja tayangan di beberapa televisi swasta medio
Desember 2003 , Inul Daratista penyanyi yang terkenal dengan goyangan ngebornya
yang sempat membuat panas beberapa seman senior , melainkan mengenai
kandungannya yang mengalami keguguran . Inul sempat stress, dengan sedikit mengeluh
ia berucap “ yah , bagaimana tidak stress saya kan sudah tujuh tahun menikah , tetapi
sampai saat ini belum dikarunia anak . . Akhirnya , berbagai asumi bermunculan . Ada
yang mengatakan bahwa Inul terlalu lelah karena harus ngebor siang dan malam . Tetapi
ada yang berpendapat bahwa organ reproduksi Inul mengalami persoalan akibat dari aksi
goyangnya yang terlalu berlebihan .

Analisis terus bermunculan tetapi Inul tidak ambil pusing dengan semua itu. Ia tidak
perduli apakah musibah yang menimpanya sebagai kutukan karena dicemooh terlalu
tampil erotis atau bukan . Yang ia tahu dan ia rasakan adalah kegundahan bahwa
keguguran berarti penundaan terhadap sebuah keinginan untuk mendapatkan momongan

175
yang selama ini diidam-idamkan . Persoalan goyangan adalah persoalan lain . Sebagai
publik figure yang tiap kali berpapasan dengan khalayak ramai, mungkin Inul sudah
cukup memahami profesinya yang menuntut kesadaran , bahwa tubuh merupakan milik
semua orang dan bia dinikmati oleh siapa pun . Apa yang menarik dari perempuan Inul
adalah, jika sewaktu-waktu ke-ada-an seorang buah hati mempengaruhi order manggung,
ia siap menerimanya bahkan siap meninggalkan profesi sebagai penyanyi .

Lain halnya dengan Anisa Bahar , artis dangdut yang terkenal dengan goyang patah-
patahnya juga sempat memunculkan kontroversi . Ia dituding munafik karena tidak
mengakui dirinya yang sudah berstatus sebagai ibu . Tudingan ini mengarah pada satu
titik simpul , bahwa status ibu mungkin berpengaruh bagi order manggungnya .Tentunya,
persoalan yang menggelayut Inul dan Anisa Bahar bukan uatu keanehan . Sama tidak
anehnya dengan fenomena yang terjadi pada Titi Dongkrak , siden dan penari asal
Kerawang , Jawa Barat . Selain sebagai penari, Titin juga berstatus ibu dari dua orang
anak yang sudah cukup berumur . Hanya saja , sampai saat ini Titin masih terus eksis di
atas panggung jaipongan meskipun perjalanan usia terus merambai kehidupannya
Sebuah status sebagai ibu bukan momok yang mengalami pikirannya . Ia masih bisa
manggung , panjeran masih kerap ia terima , dan masyarakat masih menikmati tariannya

Mungkin kontruksi yang terbangun memang berbeda . Di daerah urban seperti Jakarta
status dianggap sangat penting karena turut mempengaruhi aktivitas yang lain . Dunia
entertaintemnt yang lebih modern menunut kemandirian , profesionalitas , dan selalu
fokus terhadap profesi . Sehingga bersuami dan memiliki anak disinyalir akan
mempengaruhi profesionalitas seniman . Tuntutan untuk disiplin berujung pada tumbuh
dan ketatnya sebuah kontrol yang kuat . Sementara di Kerawang , Subang , Tuban, Pati ,
dan Banyuwangi , atau wilayah lain yang masih kerap menyuguhkan tontonan jaipongan ,
tayuban , dan gandrung . Kontruksi semacam itu bukan berarti keterpisahan . Penari ,
tarian , pesan, dan makna , yang ada di balik seni itu sendiri merupakan bagian dari
kehidupan masyarakat , sehingga status bukan satu-satunya ukuran bagi seorang
perempuan seni tradisi untuk pentas atau tidak . Mungkin , kontrol yang ada bukan
terletak pada ketetapan status , melainkan pada tuntutan – mekipun tidak tercatat secara
baku – terkait dengan lentur tubuh dan langgam suara .

Tentunya baik Inul Anisa Bahar , Titin Dongkrak , Indra , Undur-undur , Temu , dan
perempuan seni yang lain memiliki persoalan beragam mengenai tubuhnya . Representasi
di atas panggung atau di depan kamera audio visual sama-sama berbalut dengan
permainan kuasa yang saling tari menarik , tetapi tetap bermuara pada satu hal ; yaitu
tubuh perempuan . Kuasa ini sangat memahami betapa tubuh perempuan bisa dijadikan
obyek beroperasinya sekumpulan sistem ekonomi yang menjanjikan sekaligus tempat
bersarangnya kontrol kehidupan . Lihat saja, di mana-mana setiap mau bisa menyaksikan
beridirnya salon-salon kecantikan , pusat-pusat kebugaran , fitnes , dan propaganda diet
melalui buku dan majalah - bukan hanya membuat perempuan atau terutama tubuh
menjadi lebih melainkan juga agar lebih mudah dikontrol menurut keperluan modal dan
kekuasaan .

176
Nah, kontrol simbolis kekuasaan yang pada awal mulanya beroperasi pada wilayah mikro
ini ( tubuh individual ) kemudian bergeser kepada wilayah bio-politik dari tubuh
Pergeseran ini berkaitan dengan kebijaksanaan negara di dalam mengendalikan tingkah
laku tubuh dalam rangka menunjang stabilitas nasional . Sarana kontrol kependudukan
yang paling efektif dan selama ini terus dikumandangkan adalah melalui kontrol alat-alat
reproduksi . Paradoks memang , karena tujuannya bukan membuat tubuh menjadi lebih
sehat . Melainkan agar kekuasaan yang berkepentingan , mampu membatasi pembiakan
jumlah manusia yang bisa merebut kepentingan ekonomi politik dan menepis dampak
lain yang lebih negatif , yaitu suatu perang besar akibat konflik yang tidak bisa diredam
Mungkin , dalam benak penguasa sudah terpatri sebuah angan-angan lainnya bahwa
semakin sedikit jumlah penduduk , maka semakin mudah pula pengaturannya . ( Srinthil ,
2004 : 16 – 19 )

Sexualitas dan Kontruksi Sosial

Sex adalah keadaan anatomis dan biologis , yaitu jenis kelamin jantan atau betina
Seorang dilahirkan dengan jenis kelamin tertentu , seperti ia dilahirkan dengan bentuk
mata atau jenis rambut tertentu . Sedangkan sexualitas mencakup seluruh kompleksitas
emosi , perasaan , kepribadian , dan sikap atau watak sosial , berkaitan dengan perilaku
dan orientai sexual .Ada pula konsep maskulin ( kelaki-lakian ) dan feminin ( kewanitaan
atau keperempuan ) yang lebih bersifat abstrak dan menunjuk pada sifat-sifat yang
dimiliki semua manusia , apakah itu manusia berkelamin jantan atau betina .

Ada asumsi bahwa sifat tertentu diasosiasikan dengan feminitas , dan yang lain dengan
maskulinitas . Yang digolongkan “feminin “ misalnya kepekaan perasaan ,
kesabaran,kelembutan , irrasionalitas , kesetian , sifat mengalah dan lemah , sedang yang
maskulin keberanian , agresivitas , sifat dominan , rasionalitas , ketidaksetiaan , dan
kekuatan Semua sifat itu bisa terdapat pada semua manusia . Lagipula , yang dianggap
maskulin dalam satu budaya , sampai batas tertentu bisa dianggap feminin dalam budaya
lain , dan sebaliknya . Ciri maskulin atau feminin itu relatif . Namun ada kecenderungan
mengasosiasikan sifat feminin kepada wanita , dan sifat maskulin kepada laki-l;aki
Asosiasi ini sangat membatasi perilaku dan perkembangan si individu , bahkan mampu
memenjarakannya dalam suatu peran sosial yang ditentukan dari luar . Misalnya ,
sosialisasi anak perempuan dan laki-laki dibedakan dan diarahkan pada model-model
yang dianggap sesuai dengan norma kepantasan “kewanitaan” dan “kelaki-lakian “
Padahal keutuhan dan harmoni kepribadian seorang merupakan perimbangan sifat
maskulin dan feminin . Seorang laki-laki bisa mengeskpresikan keberanian , bahkan
agresivitas , juga dalam bidang sexual. Manusia yang utuh inilah yang disebut “ androgin
( androgyne ) “ yaitu konsep Dua dalam Satu : andro ( maskulin ) dan gyne ( feminine ) .

Gender dan sexualitas mempunyai persamaan : keduanya mempunyai basis biologis pada
sex , dan keduanya merupakan kontruksi sosial, bersifat politis , yaitu pengorganisasian
ke dalam sistem kekuasaan , yang mendukung dan menghargai individu dan kegiatan
tertentu , sambil menekan dan menghukum yang lainnya . Antara sexualitas dan gender
jelas berhubungan. Bahkan perkembangan sistem sexual mengambil tempat dalam

177
konteks hubungan gender . Tapi keduanya bukan hal yang sama karena terbentuk dari
basis sosial yang berbeda .
Pembedaan antara gender dan sexualitas ini melawan arus pemikiran kontemporer
feminis yang menganggap sexualitas sebagai turunan gender . Kebanyakan ideologi
feminis-lesbian menganalisa penindasan lesbian sebagai sebagai bagian dari diskriminasi
terhadap perempuan pada umumnya Padahal lesbian mengalami penindasan juga sebagai
manusia homosexual; dan abnormal; berdasarkan operasional stratifikasi sexual , bukan
gender , sama seperti homosex pria, sadomasochist , banci dan pelacur .

Konsep gender , yang sudah populer di Indonesia , merupakan ekspresi psikologis dan
kultural dari sex yang sifatnya biologis , menjadi peran dan perilaku sosial tertentu :
perempuan di sektor domestik dan pria di sektor publik . Misalkan , kelaziman
perempuan memakai gaun , pria memakai pantalon , perempuan bekerja di dapur , laki-
laki di kantor, lelaki membawa parang, perempuan membawa bakul .laki-laki boleh
keluar malam , wanita tidak , dan seterusnya .

Pemahaman sexualitas dikaitkan dengan kegiatan yang menyangkut gentila dan organ sex
sekunder lainnya . Dalam arti sempit , kegiatan sexual menyangkut atau mengarah pada
persetubuhan dan reproduksi .Dalam masyarakat kita, hubungan sexual sering
diasosiasikan dengan kesenangan , rasa nikmat ( dan kadang pula rasa sakit ). Dan
pemuasan dorongan biologis . Karena kemampuannya menghasilkan kehidupan melalui
prokreasi , sexualitas juga sering dihubungkan dengan suatu daya hidup , suatu energi
yang dapat ditransformasikan secara langsung dalam kegiatan sexual-genital , kegiatan
yang tidak langsung berorientasi kepada kegiatan sexual , tapi juga disublimasikan dalam
kegiatan kreatif seperti intelektual , artistik , sosial atau spiritual .

Sexualitas dapat diekspresikan melalui kontak fisik langsung , tetapi bisa juga secara
sugestif atau stimulatif . Mialnya, sexualitas yang terpancar dalam tarian jaipongan ,
pertunjukan Madonna, berbagai bentuk seni rupa , film atau sekedar cara bergerak
seseorang . Kadang suatu perilaku bisa begitu sugestifnya, sehingga ada yang
menganggapnya “ pornografis “. Tetapi yang dianggap porno oleh seseorang , bisa
dianggap erotis atau sensual oleh orang lain .

Contoh bagaimana norma mengenai sexualitas mempengaruhi perilaku : perempuan


harus perawan , laki-laki dianjurkan untuk mencari pengalaman ; laki-laki dianggap lebih
dominan dorongan sexualnya , wanita lebih pasif dan reseptif . Karenanya , dalam
perkawinanpun , kelazimannya laki-laki yang meminang , bukan perempuan . Laki-laki
dianggap poligami , jadi lumrah kalau menyeleweng , perempuan dianggap monogam ,
jadi kalau ia menyeleweng dianggap aib karena ia berusaha meniru kecenderungan
poligamis laki-laki , dan kemudian dipandang terlalu mengancam .

Kegiatan sexual yang tidak dalam kerangka sosial yang lazim akan diancam rasa bersalah
bagi pelakunya , maka oleh agama dikecam sebagai dosa. Heterosex dikecam jika
melakukan hubungan sex di luar perkawinan dan aktivitas sexual yang menyimpang
Sementara homosex seolah-olah tidak mempiunyai hak sexual bagi mereka ada di luar
perkawinan , dan pasti menyimpang . Diskriminasi dan rasa bersalah yang ditanamkan

178
pada diri kaum homosexual mengakibatkan mereka menutupi orioentasi sexualnya ,
dengan akibat lanjut penekanan jiwa yang sering parah . Yang ekstrim bisa melarikan diri
ke narkotika , alkohol , atau bunuh diri . Banyak kaum homosexual akhirnya memilih
hidup dalam kebohongan , kadang sampai menikah dan beranak-pinak , tetapi terpaksa
menjalani kehidupan ganda , secara terang sebagai heterosexual , secara gelap sebagai
homosexual .

Homosexual terdapat dalam begitu banyak masyarakat di dunia . Meskipun demikian , ia


masih dianggap aib dan mengancam , walaupun ia tidak merugikan orang lain . Dalam
kasus seperti ini , homophobia ( ketakutan kepada homosexualitas ) identik dengan
rasisme. Homosexualitas , seperti halnya orientasi sexual yang lain yang dianggap
menyimpang , memang diberi tafsiran sosial sebagai abnormal dan immoral , sehingga
homosexual menarik dipelajari karena represi terhadapnya bisa memberikan indikasi
mengenai nilai dan sikap suatu masyarakat terhadap sexualitas pada umumnya .

Langkah pertama untuk mempelajari sexualitas yakni dengan membedakan orientasinya


dari gender dan melihat bagaimana artikulasi antara keduanya . Sampai di mana gender
dan sexualitas bisa dilihat sebagai variabel independen ? Ada anggapan bahwa harus ada
kecocokan antara sex , gender dan orientasi sexual . Sebenarnya sex , gender dan
sexualitas masing-masing adalah suatu continum ( kelanjutan ) , tetapi demi keperluan
analisa, semua unsur ini akan dijabarkan dalam kategori terpisah . Dalam kategori
kelamin (sex) terdapat tiga kategori umum : jantan , betina dan hermaphrodite . Dalam
kategori gender ada maskulin , feminin dan androgin . Dalam kategori sexualitas bisa
terdapat berbagai orientasi : heterosexual , homosexual , bisexual , serta selibat , adalah
empat kategori pokok . Kombinasi yang dianggap lazim dan normal ialah seorang dengan
jenis kelamin ( sex biologis ) betina, gender feminin , sexualitas hetero , atau seorang
dengan kelamin jantan , gender maskulin dan sexualitas heterosexual . Tetapi seseorang
bisa saja terdiri dari permutasi yang berbeda . Seorang bisa mempunyai sex biologis
jantan , gender maskulin , sexualitas homosexualitas . Seorang waria mempunyai sex
jantan atau hermaphrodite , bergender feminin ( karena berdandan dan berperilaku seperti
perempuan ) , dan berorientasi honmosexual Seorang pastor berkelamin jantan ,
bergender maskulin dan berorientasi selibat . Bisa juga seseorang mempunyai sex
hermaphrodite , bergender androgin , dan bersexualitas bisexual . Ini semua sekedar
contoh dari berbagai artikulasi antara sex-biologis , gender dan sexualitas yang dalam
kenyataannya dalam masyarakat dikombinasi dengan unsur kelas,. ras, profesi , dan lain-
lain .

Seorang bisa mengeskpresikan orientasi sexualnya melalui gendernya . seperti seorang


wanita yang berdandan seronok , atau laki-laki yang berlagak sangat macho . Sebaliknya ,
seorang bisa kehilangan orientasi sexual tanpa kehilangan gendernya , seperti misalnya
biarawan atau biarawati . Sex juga dapat dipakai untuk mempertahankan suatu “ status
gender “ seperti dalam kasus seorang wanita yang memberi pelayanan sexual pada
suaminya agar dapat mempertahankan eksistensi gendernya sebagai istri , ibu rumah
tangga dan ibu anak-anaknya .

179
Bila sexualitas menjadi pusat perhatian kaum feminis karena sexualitas sering melihat
kaitannya dengan gender ( laki-laki dan perempuan ) , sebenarnya studi sexualitas bukan
monopoli feminis . Pemikiran feminis menganalisa pengorganisasian penindasan gender
atau bagaimana perbedaan status antara laki-laki dan perempuan terjadi dalam bidang
sosial, politik dan ekonomi . Sexualitas mendapat perhatian dari kalangan yang lebih
luas, mulai dari kedokteran, psikologi , filosofi, sejarah , dan spiritualitas. Meskipun
feminis sangat berminat pada issue sexualitas , terdapat dua aliran yang berlawanan
mengenai sexualitas . Aliran yang satu mengeritik pembatasan sexualitas wanita dan
berjuang untuk suatu pembebasan sexual. Aliran yang kedua beranggapan bahwa
kebebasan sexual sekedar perpanjangan hak istimewa laki-laki . Tradisi feminis ini ada
gaungnya dalam pemikiran anti –sexual yang konservatif . Dengan adanya gerakan anti-
pornografi besar-besaran , analisa feminis yang kedualah yang lebih mendapat angin .

Kecenderungan umum ilmu ialah membuat kategori , dikotomi dan hirarki , dengan
pendekatan yang linier dan analistis . Demikian pula dengan studi mengenai sexualitas
Bila berhadapan dengan hal-hal yang bertentangan , ada kecenderungan untuk melihatnya
sebagai tidak bisa dipertemukan , atau setidaknya , problematis . Cara berpikir inilah
yang diambil alih dalam ilmu pengetahuan di Indonesia dan mungkin negeri-negeri “
non-barat “ lainnya . Sepertinya sulit untuk menerima pemikiran yang holistis di mana
kekuatan yang berlawanan itu bisa jadi merupakan aspek dari yang sama atau suatu
keberlanjutan .

Sexualitas merupakan suatu keberlanjutan , antara jantan-betina , feminin-maskulin


heterosexualitas-homosexualitas. Secara biologis dan psikologis terdapat lebih banyak
persamaan antara laki-laki dan perempuan daripada perbedaannya , dan setiap individu
berdiri pada satu titik pada keberlanjutan tersebut . Sosialisasi memegang peran yang
sangat menentukan , sehingga bukan hanya perilaku , tetapi pikiran dan peran pun
dipengaruhinya . Serxualitas hampir selalu dikonsepsikan sebagai dikotomi biner yang
berlawanan : jantan-betina , maskulin-feminin , heterosexual-homosexual , perkawinan –
ekstra-marital . Dalam setiap kasus , salah satu dari pasangan ini dianggap sebagai
kategori dari sub-kategori di mana yang pertama dianggap lebih unggul dan normal –
dengan kata lain menjadi norma . Hirarki ideologi sexualitas – dari psikiatri, agama, adat,
negara atau kepercayaan populer – berfungsi dengan cara yang sama seperti halnya
sistem rasisme, etnosentrisme, dan chauvinisme agamis. Ada norma-norma baku untuk
sexualitas yang diberi cap normal dan berdiri ditingkat hirarki yang paling tinggi
Pandangan bahwa ada satu jenis sexualitas yang ideal menandai semua sistem pemikiran
mengenai sex . Untuk agama , yang menjadi ideal adalah sex untuk prokreasi ; dalam
ilmu kejiwaan , adalah heterosexualitas yang dewasa . Pada puncak hirarki sexualitas
adalah heterosexual dalam perkawinan monogami dengan tujuan prokreasi keturunan dan
menyebarkan nilai-nilai dominan dalam masyarakat . Dalam jaman yang mengagungkan
pluralitas , salah satu ide- yang paling bertahan mengenai sex , bahwa ada satu cara
terbaik melakukannya dan bahwa semua orang harus melakukannuya .

Tradisi berpikir di kalangan akademis ini, di dunia modern dilanjutkan ke kalangan awam
dan menjadi dasar dan pembentukan ideologi sexual . Bila kita memahami ideologi
sebagai seperangkat gagasan yang menjadi senjata untuk kepentingan sosial , maka

180
ideologi mengenai sexualitas amat besar pengaruhnya dalam kehidupan individu
maupun masyarakat . Selanjutnya ideologi sexual ini mampu mengkontrol bukan hanya
perilaku individu dan masyarakat ; tetapi juga cara berpikir , penghayatan dan bahkan
kenikmatan . Di luar kesadaran kita, ideologi sexual lebih merasuk dan mendominasi
daripada ideologi totaliter manapun

Segala sesuatu dalam hidup ada artinya karena kita memberikan suatu nilai kepadanya
Perangkat nilai menentukan apa yang menjadi realitas bagi kita . Realitas akhirnya adalah
suatu kontruksi sosial berdasarkan kesepakatan nilai yang diberikan masyarakat kepada
berbagai hal . Sexualitas adalah studi kasus yang menarik untuk memahami proses
kontruksi sosial ini, karena mempertemukan banyak aspek kehidupan manusia . Secara
psikologis , sex mempengaruhi kejiwaan manusia ; secara sosial sex merupakan cermin
dari tata pergaulan manusia yang diatur oleh pranata masyarakat ; secara ekonomis sex
mempunyai implikasi mulai dari perkawinan sampai pelacuran , dalam era kapitalisme ,
sex menjadi komoditi yang sangat menunjang , melalui film , televisi dan periklanan
Secara politis , artikulasi antara gender dan sexualitas menambah dimensi untuk
memahami hubungan kekuasaan antara pria dan wanita . Secara ideologis , moralitas
yang menyangkut sex bukan hanya mempunyai implikasi kontrol, tapi merupakan
cermin pergeseran nilai-nilai masyarakat karena seperti kita semua tahu , moralitas ,
apakah menyangkut sex atau yang lainnya , selalu berubah dari jaman ke jaman .
( Suryakusuma, 1991 : 4 – 9 )

Sex , Seni dan Wacana Publik

Sex bagi banyak orang masih merupakan wilayah yang penuh misteri . Dalam sejarah
kehidupan , ada kegamangan tertentu yang dihadapi manusia tatkala berhadapan dengan
sex . Ada rasa tertarik yang luar biasa , tetapi sekaligus juga ketakutan yang luar biasa
terhadap sex .Padahal, bukankah kegiatan sex sebagaimana makan dan minum , tidur dan
bekerja , olahraga dan doa tampaknya merupakan bagian wajar dari kehidupan manusia ?
Dan sebagai bagian dari kehidupan yang wajar , apakah kegiatan sex perlu ditakuti ?
Apakah tidak seharusnya manusia menghadapi sex dengan kewajaran yang biasa seperti
ketika menghadapi kegiatan biologis . Sekali lagi, sex menyembunyikan sesuatu misteri,
yang menyebabkan orang takut padanya .

Ada berbagai sikap dan upaya manusia dalam menghadapi problematika sex. Menurut
Michel Foucault , sex merupakan bagian dari ciri manusia sebagai makhluk yang
berhasrat . Pada zaman Yunani Kuno , orang-orang mengolah hasrat sex menjadi bagian
dari kegiatan yang sejajar dengan filsafat , ekonomi , dan pengelolalan kesehatan
Tampaknya Foucault mau memperlihatkan , bahwa kegiatan sex pun mempunyai
prestise yang tinggi . Dan seperti halnya kegiatan-kegiatan yang lain , kegiatan sex pun
memerlukan pengelolaan yang tidak sederhana , strategi dan perencanaan , pertimbangan
dan keputusan yang tepat . Akan tetapi dalam Abab Pertengahan atau era Kristen di
Eropa , kegiatan sex menjadi sesuatu yang dianggap berbahaya dan ditakuti . Agama
Kristen menjadikan sex sebagai sosok yang perlu diwaspadai karena menimbulkan hasrat
kuat yang disebut nafsu , dan diberi label khusus sebagai “daging “ . Dalam rangkaian “

181
Sejarah Seksualitas : yang ditulisnya , Foucault sedianya bermaksud menulis satu jidlid
lagi menyangkut kehidupan di era ini berjudul “ Les Aveux de la Chair “ ( Peringatan
Dagung ) , di samping “ L’Usage des Plaisirs “ (Pemanfatan Kenikmatan) dan “ Le
Souci de Soi “ ( Kepedulian pada Diri ) yang sudah terbit . Akan tetapi sampai sat
meninggalnya . jilid tersebut tak jadi ditulis , entah karena apa .

Di India dan Cina , kegiatan sex menjadi lahan pembelajaran yang menarik Sangat
terkenal misalnya Kamasutra karangan Vatsyayana , yang ditulis pada abad kelima
Masehi . Dan jangan lupa , di Jawa pun banyak suluk di masa lalu yang berbicara
mengenai seksualitas bahkan dalam kaitan dengan mistik keagamaan . Simbol lingga dan
yoni , dua kelamin laki-laki dan perempuan terlibat dalam beberapa candi di pulau Jawa
Dengan bahasa simbolis , orang Jawa menggunakan kata jangkrik jlitheng untuk
menyebut alat kelamin pria , dalam telaah mengenai pengelolaan keperkasaan , yang
banyak dinasehatkan orang tua kepada orang-orang muda . Di Barat , khususnya di
Amerika di tahun tujuh puluhan , berkembang pula pengetahuan mengenai sex yang
dirintis oleh William Howell Masters , seorang ginekolog and Virginia Eshelman
Johnson , seorang psikiatris . Mereka mendirikan lembaga Masters and Johnson Institute
di tahun 1978 , yang mengalami sukses besar dalam mempromosikan kehidupan sexual
yang sehat , mengatasi retriksi-retriksi agama yang kadang irasional dan tidak
memecahkan persoalan .

Pada abad sembilan belas, banyak pelukis Eropa mengambil perempuan sebagai
obyeknya . Akan tetapi perkembangan ini dirintis oleh sekularisasi seni lukis yang
berlangsung sejak abad keenam belas, ketika bangsawan-bangsawan kaya mulai
mengambil alih komisi-komisi untuk membiayai para pelukis dan seniman lain , yang
semula merupakan komisi gerejani . Tentu saja dengan proses pengambilalihan ini ,
bergeser pula tema-tema lukisan . Semula tema-tema religius merupakan obyek seni yang
dimonopoli oleh agama dan hanya dipasang di gereja-gereja . Sejak zaman modern ,
tema-tema religius mulai menghiasai rumah-rumah tinggal para bangsawan dan orang
kaya , tentu saja dengan gaya yang agak lain : kemudian potret keluarga dan topik-topik
profan menyangkut kehidupan sehari-hari . Dalam perkembangan ini , tidak berarti
nuansa religius hilang dari ungkapan seni . Hanya saja kini ungkapan ini mengambil
wujud dan bentuk yang manusiawi yang lebih luas , tidak terikat pada mitologi atau
topil-topik kitab suci . Dalam kerangka perkembangan ini pula perhatian para pelukis
pada tubuh perempuan harus ditempatkan .

Sudah cukup lama sex , dan dengan itu juga gambar perempuan , selalu diasosiasikan
dengan sesuatu yang berlawanan agama . Pada abad tujuh belas, moral Eropa masih
dikuasai oleh Kristianisme yang berkisar sekitar “ tujuh dosa berat “ , di mana kecabulan
merupakan salah satunya .Seperti diutarakan di depan , dosa kecabulan adalah dosa
kedagingan berkaitan dengan nafsu manusia . Dalam kerangka ini , segala tindakan
sexual , kecuali persetubuhan antara suami istri – ini pun dengan cara tertentu saja – tidak
bisa dibenarkan .Foucault mencatat , bahwa saat itulah muncul daftar istilah untuk
berbagai macam tindakan sexual yang dianggap menyimpang . Sejak abad sembilan ,
pertentangan kelas antara sex dan agama , sedikit banyak mulai diperdamaikan oleh para
seniman , sebagaimana diutarakan di atas . Selain itu , studi tentang seni juga mulai

182
mendapat perhatian dari para teolog yang memperhatikan ungkapan-ungkapan religius
manusia . Hal ini mempengaruhi juga sikap mereka terhadap sex .Sex bisa dibicarakan
tidak hanya dalam kerangka moral dan agama, melainkan dalam berbagai dimensi
kehidupan .

Pada akhir bulan April 2006 , dalam sebuah pameran yang dilangsungkan di “ Sudirman
Place “ tampil Tiara Lestari dengan koleksi foto dirinya . Pameran yang diberi judul “
From Sensual to Elegance “. Orang boleh menilai setelah melihatnya , tetapi yang jelas
pameran itu merupakan ekspresi diri Tiara yang melakukan perjalanan apresiatif , kalau
boleh dikatakan demikian , terhadap penguasaan tubuh perempuan , suatu topik yang
sangat signifikan dalam perjuangan feminis yang ingin membebaskan diri dari dominasi
kultur patriaki . Jikalau perempuan merasa iri hari terhadap penis laki-laki ( phallus eny ),
menurut Freud , apakah tidak tidak sebaliknya dikatakan bahwa laki-laki merasa iri hati
terhadap keindahan tubuh perempuan ? Pornografi banyak kali diartikan sebagai
penampilan tubuh perempuan yang telanjang , untuk dikomersialkan . Dan laki-laki
merasa ambigu menghadapinya . Laki-laki “ babi “ mengagumi dan ingin menikmatinya
dan dari saku mereka dapat dikeruk uang , sedangkan laki-laki “ papi “ menilainya cabul
dan berpretensi mau menyelamatkannya . Mengapa penilaian tidak diserahkan saja
kepada kaum perempuan sendiri , itulah soalnya . Dan Tiara dengan pameran fotonya
telah membuka wacana , untuk memperlihatkan di satu pihak puncak-puncak ekspresi
dari keindahan tubuh perempuan dan dari lain pihak batas-batas toleransi yang bisa
diterima .

Dengan cara yang berbeda tetapi tujuan yang sama . Merlyn Supjan, putri waria
Indonesia 2006, menuliskan pengalaman dan pendakuannya sebagai perempuan tak
bervagina dalam bukunya Perempuan tanpa V . Dia berkepentingan membela kaumnya ,
yang selama ini senantiasa dinilai negatif oleh masyarakat dan didiskriminasi dari
pergaulan sosial yang dianggap normal . Dalam masyarakat terbuka, wacana sangat
penting dan inisiatif untuk membongkar persepsi yang menghakimi secara keliru kadang
membutuhkan keberanian . Berkat keberanian para inisiatris untuk memulai wacana
seperti inilah persepsi-persepsi itu bisa dipromosikan . Masyarakat plural juga semakin
belajar untuk bisa menerima persepsi-persepsi yang berbeda , menyangkut opsi-opsi
kultural dari berbagai pihak , tanpa menghakiminya .

Salah satu persoalan yang muncul dalam masyarakat terbuka adalah berkembangnya
media massa, yang berperan menyebarluaskan isu-isu khas , lokal, yang kadang bersifat
pribadi , menjadi isu global yang bisa diketahui oleh banyak orang . Salah satu fenomena
yang baru-baru ini muncul sebagai polemik adalah “ infotainment “ dalam televisi , yang
bermaksud menyiarkan berita (info) , tetapi ternyata memasuki wilayah pribadi orang
yang diberitakan . Akan tetapi tidak hanya itu . Pertemuan kedelapan dari World
Assembly of Religion for Peace , tanggal 29 Agustus 2006 yang lalu di Kyoto yang
mengangkat isu agama yang sering dibajak oleh kelompok ekstrem untuk melakukan
kekerasan, dalam deklarasinya juga memperingatkan agar media massa lebih cermat dan
berhati-hati dalam menjaga ketentraman Penggunaan media massa merupakan perubahan
revolusioner dalam cara berkomunikasi dan menuntut pula akurasi penanganan yang
tinggi . Ibarat peluru kendali dalam perang modern , kesalahan kecil dalam sudut

183
peluncuran bisa berakibat salah sasaran yang menghancurkan rakyat sipil yang tidak
bersalah , demikian pun isu-isu yang disiarkan oleh media massa.. Akan tetapi dari lain
pihak , keterbukaan mamang merupakan resiko juga dari kemajuan alat-alat komunikasi
modern yang disebut media massa ini . Diterapkan dalam kegiatan sex, menurut
McLuhan , mass media menghancurkan tembok-tembok rumah pelacuran dan
menampilkan tontonan apa adanya Dan kemajuan teknologi sering lebih cepat dari
kesiapan hati manusia untuk menerimanya . ( Sudiardja, 2006 : 4 – 9 )

Sex dan Masyarakat Terbuka

Gejala apakah sebenarnya yang mendasari kecenderungan masyarakat untuk membuka


sex ini atau untuk bersikap terbuka terhadap persoalan sex ? Di Eropa keterbukaan
terhadap sex diawali dengan apa yang disebut sebagai revolusi sex pada akhir Perang
Dunia II. Peristiwa itu disusul kemudian dengan cara hidup a la hippies Amerika yang
menentang peperangan – khususnya sehubungan dengan perang Vietnam – dan
mempromosikan free sex . Sangat menarik bahwa promosi free sex bersamaan dengan
protes anti perang . Tetapi ini dapat dipahami . Bukankah sex adalah lambang kehidupan,
cinta dan perdamaian , sedangkan peperangan adalah lambang dari kebencian dan
kematian ? Perang merupakan gejala yang nampak dari kebutuihan komunikasi ; adanya
tembok-tembok pemisah yang tidak memungkinkan perundingan . Perang merupakan
dampak dari ketertutupan hati. Sex sebaliknya merupakan daya tarik untuk saling
memikat , saling mendekati dan saling menyatu . Tujuan sex pada akhirnya adalah untuk
membuka, tidak hanya raga, tetapi juga jiwa kepada yang lain .

Van Perusen dalam Strategi Kebudayaan membedakan dengan jelas tingkah laku sex di
Eropa pada zaman Victorian yang legendaris itu dengan zaman modern . Dengan sebuah
gambar ditunjukkan bagaimana sex pada zaman Victorian itu mau disembunyikan
Segala yang berbau sex atau ciri-ciri kelamin harus ditutupi , maka wanita-wanita yang
mau mandi di pantai pun dipotret dengan pakaian lengkap . Zaman sekarang sebaliknya,
buku-buku penerangan mengenai sex pun bisa diperoleh di tempat loak , kadang dengan
ilustrasi yang tidak tanggung-tanggung . Memang benar , barangkali penyimpangan sez
zaman sekarang tidak bisa dilebih-lebihkan dengan cara membandingkan dengan zaman
dulu , karena zaman sez tertutup itu kita tidak mendapatkan data yang cukup . Akan
tetapi dengan demikian sekrang tak dapat ditolak , bahwa beredarnya banyak buku
tentang sez dari yang paling ilmiah hingga yang paling kotor , memberikan data yang
jelas tidak mengenai pola tingkah laku sex pada zaman ini , tetapi mengenai ciri
keterbukaan dan keterusterangan dari sex itu sendiri . Dengan demikian sudah tidak
relevan lagi untuk membandingkan zaman ini dengan zaman Victorian . Keterbukaan sex
itu sendiri sudah cukup membuat shock ! Data lain tidak perlu .

Memang zaman dahulu pun sex sudah terbuka . Jauh sebelum ratu Victoria naik tahta ,
Eropa tentunya pernah mengalami pula zaman primitif . Sekarang pun banyak orang di
Afrika atau Irian masih memakai koteka dan membiarkan bagian tubuhnya yang lain
terbuka . Sebelum perang kemerdekaan para putri Bali masih membuka dadanya .Tetapi
keterbukaan macam itu bukanlah yang dimaksud di sini. Keterbukaan sez jaman ini

184
adalah keterbukaan yang sudah reflektif , bukan keterbukaan alamiah lagi . Keterbukaan
refleksi adalah keterbukaan yang disadari . Ada maksud untuk merangang dan dirangsang
di situ . Keterbukaan sez zaman ini adalah keterbukaan blouse dengan belahan dada yang
dalam atau gaun panjang hingga mata kaki dengan belahan samping atau depan hingga
bagian paha. Itulah keterbukaan untuk disentuh , menurut isitilah Mc Luhan dalam
Understanding Media , bukan keterbukaan untuk dilihat .

Menurut Mc Luhan , promosi keterbukaan ini seluruhnya berhutang kepadsa media


massa Media massa –lah yang membuka segala ketersembunyian abad-abad lalu . Media
massa telah berkembang sejak saat Gutenberg menggunakan perkakas cetak hingga
sekarang , ketika alat-alat elektronik sudah mampu mengantarkan berita-berita dengan
amat cepat . Dan dengan itu media massa telah menggeser peran mata dengan peran
syaraf . Daya visual yang sudah terbiasa menangkap tulisan mampu menangkap kode-
kode elektronik , rangsangan mata digeser oleh rangsangan syaraf yang langsung ,
sehingga keinginan untuk melihat ditingkatkan menjadi keinginan untuk bertindak .

Peranan media massa amat besar dalam mempromosikan keterbukaan . Demikian juga
menyangkut keterbukaan di bidang sex. Karena sex dipromosikan dalam media
komunikasi , maka sex menjadi barang komoditi yang umum . Kemajuan alat-alat optik
misalnya , kata Mc Luhan , telah membuat manusia menjadi barang tontotan yang bisa
dibesar-besar-kecilkan . Fotografi memperbanyak gambar manusia untuk dijadikan
barang dagangan yang laris . Para bintang film dan artis yang cantik-cantik menjadi
impian yang dapat dibeli dengan uang . Mereka dapat dibeli , digantungkan didinding
kamar , dicium atau diremas jauh lebih mudah daripada pelacur . Dan inilah kekhasan
pelacuran modern : yakni bahwa diperluas bedanya . Pelacuran sudah dimulai dalam
gradasi yang amat tipis, kalau boleh dikatakan demikian , dalam reklame gadis-gadis
cantik dengan pakaian minim atau ddalam foto-foto bintang film yang dapat kita
dinikmati dengan uang . Fotografi menurut Mc Luhan membuat bordil-bordil kehilangan
dindingnya , sehingga hilanglah privacy dalam hubungan sex.

Tentu saja dalam hal ini perilaku sex lantas nampak abstrak . Akan tetapi abstraksi
bukanlah justru merupakan petunjuk tentang sikap manusia yang ingin menguasai dan
menangkap apa yang diabstraksikannya itu secara menyeluruh ? Tak ada kekuatan
manusia yang jauh lebih melumatkan daripada kemampuannya untuk mengabstraksikan
obyeknya . Dengan itulah berkembang angka . . Angka merupakan abstraksi yang paling
lumat dari suatu struktur suatu obyek . Strategi perang , rencana pembangunan gedung
yang megah , perkembangan ekonomi , semua ini dikendalikan oleh statistik angka-angka
Tidak mengherankan bahwa manusia suka mengotak-katik angka untuk mengetahui
peruntungannya . Angka memberikan kekuasaan yang sungguh misterius . Demikian juga
menyangkut sexualitas manusia . Dalam kontak jodoh , di koran atau majalah , orang
menyanjikan data mengenai dirinya dengan angka-angka : janda , 30 tahun . 159 cm/45
kg . Dan orang modern dengan gesit menangkap profil itu dengan abstraksinya . Semakin
ia berminat , semakin hidup abstrakasi itu dalam benaknya . Dan bagaimana mengenai
profil itu ratu kecantikan dengan ukuran 36 – 24 – 36 ?

185
Mercedes , seoreang keturunan kulit hitam , mengalami kesulitan dalam perkawinannya
Suaminya , seorang kulit putih yang mempunyai kedudukan , merasa tidak puas
dengannya , karena itu ia ingin menceraikannya . Perkawinan mereka sudah berlangsung
delapan tahun . Usia Mercedes . 32 tahun . Dari luar ia nampak sebagai wanita yang
manis dan masih muda . Tetapi gairah sex , ia sudah tak punya . Ia menderita apa yang
kita kenal sebagai frigiditas . Berkali-kali ia menyatakan persetujuannnya dengan
suaminya untuk mrmpunyai anak , tetapi setiap kali mengandung ia mengalami
keguguran atau harus melakukan aborsi , entah apapun alasannya .

Demikianlah salah satu kasus yang ditangani oleh Dr Rollo May , seorang psikoterapis
dari New York . Dalam bukunya Power and Innoncence , Dr May menunjukkan bahwa
di Amerika Serikat terjadi krisis kepercayaan diri . Banyak orang merasa bahwa dirinya
tidak berdaya berhadapan dengan gejolak kehidupan masyarakat yang melandanya
Ketidakberdayaan ini diartikannya sebagai ketidakmungkinannya untuk mempengaruhi
orang lain , untuk berbicara secara jujur dan untuk menyatakan identitas dirinya
Sebaliknya , yang terjadi malahan , ia ditelan oleh kehidupan masyarakatnya , ia digiring
dan dipengaruhi oleh bermacam-macam kekuatan dari luar dirinya . Ia tidak mampu
menolak pengaruh-pengaruh itu . Ia menjadi impotent dan hidupnya serta didiktekan dari
luar .

Itulah keadaan Mercedes , seperti diduga oleh Dr May . Tetapi keadaan ini dapat dilacak
oleh pengalaman hidup Mercedes sendiri . Ternyata ketika masih kecil, Mercedes
dieksploitisir oleh ayah tirinya . Semenjak usia sebelas tahun ia dijadikan pelacur.
Kadang-kadang ayah tirinya mengundang laki-laki ke rumahnya dan Mercedes harus
melayaninya, ketika ia baru saja pulang dari sekolah . Mercedes tidak tahu apa arti
semuanya itu . Ia dibiasakan dengan petuah , harus membalas kebaikan ayah tirinya dan
ia “tidak berdaya “ untuk memberontak dari keadaan itu . Dan semenjak itu, sex tidak
mempunyai arti baginya .

Ketidakberdayaan manusia zaman sekarang yang dilukiskan oleh Dr May dengan amat
mengesankan itu rupanya bersesuaian dengan gambaran Marshall Mc Luhan dalam
bukunya The Gutenberg Galaxy , mengenai profil utama manusia yang seragam . Selalu
dengan mengembalikan permasalahan pada pengaruh media massa yang begitu besar .
Mc Luhan berpendapat bahwa kebudayaan tipografi ( alat cetak ) telah mendidik
masyarakat menjadi bermental seragam dan membentuk profil yang monoton seperti
halnya huruf-huruf yang berderet rapi dalam suatu buku cetakan . Manusia yang satu
menjadi duplikat dari manusia lainnya . Pemikiran modern adalah “pemikiran yang
membujur “ ,lurus, pasti . logis dan rasional . Inilah pola pemikiran mekanistis , yang
bergerak “ajeg” dan menghasilkan barang yang selalu yang sama. Media massa
elektronika semakin mempercepat proses monoton ini . Karena media massa berfungsi
membuka setiap ketersembunyian dan mempromosikannya di hadapan masyarakat
umum, maka manusia semakin kehilangan ciri-ciri pribadinya yang khas . Media massa
membuat manusia saling mempengaruhi dan dipengaruhi secara massal Keunikan
pribadi dirampas sedikit demi sedikit .sehingga akhirnya dia menjadi telanjang sama
sekali .

186
Pengaruh kebudayaan yang demikian itu terasa pula dalam kehidupan sex . Bukankah sex
merupakan ciri kepribadian yang paling khas ? Masalah seksual adalah masalah yang
amat pribadi . Bukankah dahulu sex disembunyikan rapat-rapat sehingga praktis menjadi
sautu rahasia yang tak terjamah ? Dan orang yang masih memiliki rahasia pribadi
nampaknya adalah orang yang masih merasa “kaya “ , mempunyai “harga diri “ . Kita
tahu betapa malunya yang terbongkar “ rahasia pribadi “ –nya . Ia kehilangan “ harga
diri“ –nya . Demikianlah profil manusia dalam masyarakat yang terbuka . Karena unsur-
unsur kerahasiaan sudah berkurang atau tidak ada sama sekali , maka hubungan sex pun
tidak lagi menjadi hubungan pribadi yang khas. Sementara itu mentalitas mesin membuat
kehidupan sex menjadi monoton juga . Setiap tindakan sex seolah selalu sama dan
menjemukan ,” seperti yang ditulis dalam buku-buku , “ seperti yang dialami oleh orang-
orang lain “, “ seperti yang dilihat dalam film “ dan sebagainya . Kegiatan sex tidak
ekspresif lagi . Tentu saja hal ini membuat orang frustasi juga di bidang sex . Apalagi
kalau bukan “ impotentia “ yang dihasilkan ?

Dr May mencatat bahwa manusia mau mengatasi krisis dan “impotentia “ itu dengan lari
kepada teknik . Mereka berharap teknik dapat menolong . Maka dibukalah klinik-klinik
sex a la “ Masters and Johnson “ yang memberikan nasehat bagaimana caranya
berhubungan sex . Obat-obat kuat pun mulai diprodusir secara besar-besaran yang
menjanjikan daya tahan yang lama dan gairah muda kembali . Konsultasi sex dan senam
sex dipromosikan . Tetapi apakah ini semua memecahkan masalah ? Dalam bukunya
yang lain . Love and Will, Dr May melihat dasar yang lebih mendalam dari semua krisis
“kehendak “ . Orang-orang dalam masyarakat terbuka ini menyukai cinta dan sex , tetapi
tanpa disertai kehendak .

Melihat uraian di atas nampaknya benar pendapat kelompok indiferen yang menyatakan
bahwa kalau sex dibuka dengan gamblang dan disodorkan begitu saja , maka kita menjadi
tahu bahwa tidak ada apa-apanya di dalam sex itu . Pernyataan itu benar , dalam arti
bahwa orang menjadi kecewa dan frustasi setelah melihat dan mengalami sendiri sex
yang terbuka . Sex yang terbuka itu ternyata memang monoton dan menjemukan . Dan
dalam arti inilah sex ini nampaknya tidak ada apa-apanya . Manusia dalam masyarakat
yang membela sex terbuka merasa kehilangan sesuatu yang berharga . Kini mereka
terlanjur membuka sex dan tidak tahu lagi makna yang lebih jauh dari yang ditampilkan
itu . Dalam buku-buku mengenai sex yang terbit belakangan , pengarang-pengarang
modern mengintrodusir semboyan yang baru : “ sex as enjoyment “ di samping nilai-nilai
lainnya . Tetapi dalam praktek , sex yang terbuka tidak lebih dari hanya “enjoyment “.
Angkatan inilah yang oleh Rollo May disebut sebagai “ Puritanisme Baru “ ( The New
Puritanisme ) . Seperti halnya “ Puritanisme Lama “ mengutuk setiap keterusterangan
dalam hal sex , maka “ Puritanisme Baru “ pun mengutuk setiap ketersembunyian dalam
hal sex . Slogan mereka menyeruhkan bahwa orang harus mempunyai pengalaman dan
pengetahuan sebanyak-banyak mengenai sex . Akan tetapi jika keterbukaan semacam ini
justru mengakibatkan frustasi , lantas mau apa dengan sex yang terbuka ?

Pertanyaan ini sungguh sulit untuk dijawab . Para pembela keterusterangan di dalam sex
mungkin akan membela diri lewat argumen biologi seperti dipaparkan oleh Desmon
Morris . Dalam penyajian yang populer , buku Morris , The Naked Ape. , tentulah

187
merupakan bacaan yang menarik . Menurut Morris , manuisa dari sudut biologi , adalah
makhluk sexual . Keistimewaan tubuh manusia itu terletak pada sexnya . Morris bahkan
terang-terangan mengatakan bahwa manusia bangga karena mempunyai rongga otak
yang paling besar dari antara primat-primat yang lain , tetapi lupa bahwa dia juga
mempunyai penis yang paling besar dari antara primat-primat itu .

Dengan pernyataan itu Morris nampaknya mau mengikuti langkah-langkah Freud lewat
jalan biologi . Pembicaraannya mengenai sex manusia sungguh-sungguh provokatif
Dikatakannya bahwa berbeda dari primat-primat yang lain , jenis manusia ini tidak
mempunyai bulu-bulu yang cukup lebat kecuali pada bagian-bagian kecil dari tubuhnya
Hal ini membuat tubuh manusia nampak mulus dan sexi , apalagi postur tubuhnya yang
tegak lurus itu membuat bagian-bagian tubuhnya yang merangsang terbuka lebar bila
saling berhadapan satu sama lain . Semua fungsi sexual manusia terletak di depan , baik
dari wajah , dada maupun genitalnya . Segala lipatan daging pada wajah manusia
menurut Morris menjadi lambang genitalia dan oleh karena itu mempunyai fungsi
sexual .
Akan tetapi lain dari primat-primat lainnya , jenis manusia terdidik dalam ikatan
kekeluargaan . Maka untuk menjamin ikatan , manusia menciptakan restriki-retriksi di
bidang sex istri-istri mereka tidak menyeleweng atau diganggu selagi mereka ditinggal
berburu , suatu hal yang yang akan menggoyahkan ikatan keluarga . Apa yang kita
terima dewasa ini adalah sisa-sisa dari restrik itu . Mereka membuat pakaian penutup
tubuh , membuat sopan-santun untuk meminta maaf apabila terjadi persentuhan tubuh
tanpa disengaja ; para wanita membiasakan diri menutup mulutnya apabila tertawa dan
berusaha selalu duduk dengan kaki terkatup ; para pria membiasakan diri mencukur dan
mengatur kumis dan jenggot agar fungsi sexualnya dikurangi ; mereka juga
menggunakan wangi-wangian untuk mengetahui bau badannya yang merangsang sex
Akhirnya mereka juga menyusun hukum-hukum dan larangan-larangan moral
menyangkut sexualitas .

Akan tetapi menurut Morris , restriksi-restriksi ternyata tidak mengurangi dorongan sex
melainkan hanya menekan atau menyembunyikannya . Sebab di luar kesadarannya,
manusia justru lebih menunjukkan dorongannya yang azasi itu dengan menonjolkan segi-
segi sexualitasnya . BH , misalnya , menurut Morris , kecuali untuk menutup juga
memanipulasi bentuk buah dada wanita sehingga nampak lebih menonjol . Hak sepatu
yang tinggi dimaksudkan untuk memperbesar efek goyang pinggul . Korset
memanipulasi bentuk pinggang sehingga nampak lebih ramping . Lipstick dan gincu
memulas bibir dan pipi untuk memperoleh warna yang merangsang dan sebagainya .

Dalam itu semua, manusia seolah bertarung antara mempertahankan ikatan kekeluargaan
dengan menahan diri di bidang sex dan menurut kecondongan sexualnya . Begitu
banyaknya retriks dalam bidang sexualitas di satu pihak dan penonjolan sexualitas di lain
pihak telah mengakibatkan suatu suasana kontradiksi yang menggelihkan . Tetapi
menurut Morris , kontradiksi ini dapat berjalan karena dengan mode pakaian , alat-alat
kosmetika dan sarana-sarana untuk mempercantik diri yang lainnya itu , manusia hanya
mau menyatakan bahwa dirinya makhluk sexi, dan tidak berani melangkah lebih jauh dari
itu . ( Sudiardja, 1983 : 444 – 448 )

188
Dominasi laki-laki melalui wacana

Sungguh menyakitkan bahwa dalam upaya menggambarkan kebahagian dirinya,


perempuan harus menoleh kepada laki-laki untuk bisa menemukan kata yang tepat dan
disetujui . Hampir semua iklan produk kecantikan , pakaian , perlengkapan perempuan,
selalu diukur keberhasilannya dari kemampuan pemakainya memikat laki-laki . Untuk
menyebut bagian-bagian dari tubuhnya , bahkan yang paling intim , perempuan memakai
kata-kata yang dipilih oleh laki-laki . Penguasaan atas wacana menjadikan dominasi laki-
laki seakan-akan sebagai sesuatu yang alamiah dan bisa diterima . Bahkan situasi paling
menyiksa dan tak bisa ditoleransi pun bisa tampak wajar . Seorang perempuan rela
menanggung malu dan tidak mau mengungkapkan nama kekasih yang menghamilinya ,
supaya nama baik dan karier laki-laki itu tak ternodai .

Dominasi laki-laki semacam ini, sebetulnya merupakan kekerasaan . Oleh Pierre Bordieu
kekerasan ini disebut “ kekerasan simbolis “ atau kekerasan yang tak kasat mata
Kekerasan semacam ini oleh korbannya ( kaum perempuan ) bahkan tidak dilihat atau
tidak dirasakan sebagai kekerasan , tetapi sebagai sesuatu yang alamiah dan wajar Bahwa
perempuan tinggal di rumah untuk mengurus anak-anak dan rumah tangga diterima
sebagai sesuatu yang sudah semestinya ; representasi Tuhan yang mengacu pada jenis
kelamin laki-laki tidak perlu dipertanyakan lagi . Kisah tentang perempuan yang
diciptakan dari tulang rusuk laki-laki dalam Kitab Kejadian harus diterima sebagai
Wahyu , dan sebagainya . Konsepsi antropologis , sosiologis, dan teologis tentang
hubungan laki-laki dan perempuan yang tidak menguntungkan perempuan ini tentu saja
mempunyai implikasi yang dalam , yaitu kekerasan, maka perlu dibongkar .

Di balik konsepsi tersebut , tersembunyi anggapan seolah-olah perubahan dari sejarah


tersebut merupakan proses yang alamiah ; peristiwa seolah-olah sesuatu yang sudah
semestinya . Anggapan tentang yang alamiah , yang sudah semestinya itu menjadi mitos
yang didukung oleh wacana yang dikuasai laki-laki diterima dan didukung oleh struktur
sosio—budaya dan pengorganisasian masyarakat . Mitos pembagian kerja dalam bentuk
tugas rumah tangga bagi perempuan dan aktivitas publik untuk laki-laki mulai terbongkar
Pembagian semacam itu ternyata merupakan fakta sejarah yang bisa diubah , bukan
tatanan alamiah . Maka ,membongkar ketidakadilan gender merupakan tindakan yang
bisa ditafsirkan sebagai pemberontakan terhadap tatanan yang ada .

Ciri-ciri yang membedakan laki-laki dari perempuan sering dirumuskan secara positif
dalam organisasi masyarakat . Bentuk tubuh laki-laki menemukan aturan main dalam
kebanyakan cabang olahraga ; siklus hidup laki-laki menentukan dalam mendefinisikan
syarat-syarat keberhasilan professional ; kehadirannya menentukan utuh-tidaknya
keberadaan suatu keluarga ; agresivitas dan dominasinya mendefinsikan apa yang disebut
sejarah . Memang , semua ciri ini tidak tertutup bagi perempuan , artinya perempuan juga
bisa melakukan dan mencapai keberhasilan yang sama, tetapi tujuan-tujuannya dalam
kenyataan ,didasarkan pada kepentingan dan nilai-nilia laki-laki . Justru ketidakadilannya

189
terletak pada kesan seakan-akan memberi kesempatan yang sama kepada perempuan
berada dalam posisi yang tidak diuntungkan karena seluruh masyarakat secara sistematis
lebih memberi peluang kepada laki-laki dengan definisinya tentang moral, kerja , karier ,
kepantasan dan jasa.

Dominasi melalui wacana menentukan dalam pendefinisian pengorganisasian masyarakat


dan pembagian kerja . Sering kita mendengar seorang istri mengatakan suaminya setuju
bahwa dia meneruskan kariernya , seakan-akan bagi perempuan , menekuni profesinya
itu menjadi mungkin karena belas kasih sang suami . Mengapa justru tidak mengadaikan
yang sebaliknya bahwa melalui profesinya itu perempuan mencapai pemenuhan diri
Laki-laki itu bisa menjadi suaminya justru karena menerimanya secara utuh termasuk
profesi itu . Dari pembalikan wacana seperti itu tampak bahwa perjuangan untuk
kesetaraan perempuan tidak bisa hanya berhenti pada pemenuhan hak-hak perempuan ,
tetapi harus sampai pada pembongkaran sistem penindasan itu sendiri yaitu dominasi
wacana oleh laki-laki , yang merupakan kekerasan simbolis .

Pada dasarnya kekerasan simbolis berlangsung karena ketidaktahuan dan pengakuan dari
yang ditindas . Jadi , sebetulnya logika dominasi ini bisa berjalan karena prinsip simbolis
yang diketahui dan diterima baik oleh yang menguasai maupun yang dikuasai . Prinsip
simbolis itu berupa bahasa, gaya hidup , cara berpikir , cara bertindak , dan kepemilikan
yang khas pada kelompok tertentu atas dasar ciri ketubuhan .

Wacana laki-laki mendikte cara berpikir , cara bertindak bahkan bahasa perempuan Suatu
ketidakpuasan atau protes harus dijelaskan dengan argumen yang melandaskan pada
logika yang dibangun oleh laki-laki .Sebuah tangisan tidak cukup bisa melukiskan
kepedihan yang dalam ; kekeluan lidah karena penderitaan tidak dianggap cukup
menggerakkan empati ; menolak melayani suami tidak mampu membuat laki-laki merasa
bersalah . Laki-laki menuntut alasan dan penjelasan . Dengan debat dan adu argumen,
itulah cara laki-laki memenangkan nilai-nilainya . Maka , benar saran Annie Leclerc
ketika mengatakan ,” Jangan berperang melawan laki-laki . Hal itu justru merupakan cara
dia untuk menegaskan diri . Membunuh untuk hidup . Cukup kita kurangi isi nilai-
nilainya dengan menertawakannya .” Nasehat itu mau mencegah perempuan agar tidak
terjebak ke dalam perangkap wacana laki-laki yang punya pretensi netral . Padahal
wacana tidak bebas nilai , selalu membawa kepentingan .

Ketika perempuan masuk dalam dinamika wacana laki-laki , dia tunduk dalam kategori-
kategori yang telah ditetapkannya . Bila perempuan menetapkan skema pemikiran yang
merupakan hasil dominasi , dia sudah kalah sebelum melawan laki-laki . Ketika
pemikiran dan persepsi perempuan terstruktur sesuai dengan struktur hubungan dominasi,
upaya untuk mengetahui berarti sama saja dengan sebuah pengakuan dan ketertundukan,
karena perempuan harus menggunakan kosa kata dan kategori yang dibangun oleh laki-
laki . Kesetaraan gender yang diartikan sebagai tuntutan akan pemenuhan hak-hak yang
sama justru akan menjebak perempuan dalam logika wacana laki-laki . Terjebak karena
perbendaharan kata dan kategori yang dipakai merupakan bagian dari dunia laki-laki Hak
bukan merupakan anugerah , tetapi sesuatu yang harus diperjuangkan . Perjuangan

190
mengandalkan agresivitas , suatu bentuk superioritas fisik .Asumsi ini justru memberikan
pembenaran kepada laki-laki untuk menentukan hukum dan memberlakukannya .
Kesadaran akan hak-hak yang disetarakan dengan laki-laki bisa menjebak perempuan
pada pengakuan atas standar yang ditentukan oleh laki-laki. Maka ungkapan-ungkapan
seperti siapakah yang harus maju berperang kalau negara ini diserang ? Siapa
bertanggung jawab bila keluarga tidak bisa memenuhi kebutuhannya ? Siapakah yang
wajib melakukan ronda malam ? Ungkapan-ungkapan tersebut mau memberi legitimasi
atas previlese yang diterima laki-laki . Jadi kalau perempuan menginginkannya , ia lebih
dulu harus memenuhi syarat-syarat seperti yang dilakukan laki-laki . Syarat-syarat itu
sebetulnya dibuat sesuai dengan fisiologi dan kepentingan laki-laki , kemudian
dilembagakan dalam insitusi-insitusi sosial sehingga diterima oleh masyarakat .

Kalau perempuan menuntut kesetaraan gender , mereka harus mulai dengan membangun
wacana baru yang mampu membongkar insitusi-insitusi sosial yang dibangun oleh laki-
laki . Pembongkaran itu perlu karena ketika mendefinsikan peran-peran dalam insitusi-
insitusi sosial itu kriteria yang dipakai disesuaikan dengan nilai-nilai dan kepentingan-
kepentingan laki-laki . Suatu universitas akan berpikir dua kali sebelum menyekolahkan
seorang dosen perempuan yang masih lajang , karena jangan-jangan setelah disekolahkan
dan kemudian menikah , dia akan mengikuti suaminya yang tinggal di kota lain . Hampir
dalam semua agama, peran utama ada di tangan laki-laki apa pun landasan teologisnya .
Meskipun perspektif teologis memberi peran khas dan terhormat kepada perempuan ,
yang jelas bukan peran pengambil keputusan . Insitusi sosial, insitusi agama , dan profesi,
mempunyai sejarah . Sejarah disusun menurut kepentingan yang kuat .

Bila sejak awal insitusi-insitusi sosial dan profesi didefinisikan atas dasar kepentingan
dan nilai-nilai laki-laki , maka dalam perkembangannya yang terjadi lebih suatu proses
diskualifikasi perempuan. Situasi biologis , psikologis , dan kompetensi dari perempuan
dianggap tidak kondusif atau tidak sesuai dengan tuntutan dan kualifikasi yang
diisyaratkan . Kalau sejak awal perempuan ikut menemukan dan mendefinisikannya, cuti
hamil atau cuti memelihara anak kecil tidak akan menjadi uatu kelemahan yang
menyebabkan seorang manajer HRD akan lebih suka memilih calon karyawan laki-laki
daripada perempuan . Wacana bisa menjadi sumber kekerasan simbolis . Orang tidak
menyadari , karena dominasi wacana oleh laki-laki, perempuan tersingkir melalui proses
yang legitim . Seakan-akan karena kelemahan dan kesalahan perempuan marginalisasi itu
terjadi . Proses manipulatifnya terletak pada tradisi dan kebiasaan yang melegitimasi laki-
laki untuk mendefinisikan peran , kerja , jasa , dan norma.

Wacana membangun struktur kehidupan yang mengkondisikan dan bisa menghalangi


perjuangan kaum perempuan . Temporalitas menjadi ciri sebuah wacana karena wacana
selalu dinyatakan dalam waktu tertentu dan mempunyai kesejarahnya . Penindasan
melalui wacana itu tampak jelas dari pengalaman lingkup publik bahwa subyek
pembicara didominasi oleh laki-laki . Kalau laki-laki mendominasi wacana, maka acuan
pada dunia yang ingin digambarkan atau direpresentasikan tentu sesuai dengan
keinginan, kepentingan , dan nilai-nilai laki-laki .

191
Apa yang terjadi kalau laki-laki mendominasi model pemahaman akan keyakinan-
keyakinan moral dan kognitif tentang manusia, masyarakat dan dunia serta hubungan
antara ketiga hal itu ? Ideologisasi merupakan proses yang melekat pada semua bentuk
pemikirtan yang melibatkan diri si pembicara untuk memihak . Maka kecenderungan
phal locentrisme seperti halnya ideologi lainnya yaitu tidak transparan sehingga
menyebabkan kelambanan . Maksudnya sesuatu yang baru tidak bisa diterima atau
diintegrasikan oleh ideologi bila tidak sesuai dengan tipe-tipe yang sudah ditentukan
olehnya , yang diyakini sebagai endapan pengalaman sosial . Tuntutan kesetaraan gender
akan dianggap sebagai penyimpangan karena tidak sesuai dengan peran perempuan
seperti sudah digariskan adat , kebiasaan , tradisi , atau agama.

Dalam konteks itu, phal locentrisme memiliki ciri yang sama dengan ideologi yang
disimulasi ::menyembunyikan kenyataan-kenyataan yang benar-benar dihayati oleh
kelompok perempuan , yaitu ketidakadilan dan aspirasi akan kesetaraan gender . Aspirasi
dan kenyatan baru itu tidak bisa diintegrasikan oleh skema penuntun ideologi laki-laki .
Jawaban dari mereka yang tidak setuju terhadap tuntutan penahbisan pastor perempuan
merupakan contoh menarik dan fungsi disimulasi ideologi ; tuntutan itu hanya akan
membawa perpecahan di dalam Gereja Katolik; umat belum siap menerima perubahan
seperti itu ; harus dibedakan antara wacana pada tataran sosiologis dan tataran teologis ;
tuntutan itu menyimpang dari tradisi yang sudah berabad-abad . Setiap kelompok
memiliki ciri-ciri ortodoksi dan tidak toleran bila tersingkir . Tuntutan kesetaraan gender
dari perempuan mengancam peran dan dominasi laki-laki dengan segala nikmat sosialnya
Bukan hanya itu , kebaruan bisa dianggap sebagai ancaman karena bisa mengakibatkan
laki-laki tidak bisa mengenal dirinya kembali , yang sebelumnya dianggap ciri khas. Ciri
disimulasi phal locentrisme itu lebih terasa dalam hubungannya dengan peran dominasi
yang terkait dengan hirarki suatu organisasi sosial . Biasanya apa yang ditafsirkan dan
mendapat pembenaran diri ideologi adalah hubungan kekuasaan .

Untuk keluar dari penindasan dan ketidakadilan yang diakibatkan oleh wacana laki-laki ,
cara yang mungkin ialah melakukan penafsiran kembali wacana tersebut . Ini berarti
menafsir ulang pemikiran-pemikiran filsafat , teologi , produk-produk hukum , norma-
norma , moral dan agama . Penafsiran itu pertama-tama harus memperhitungkan unsur
kesejarahan dan pemahaman ; kedua melakukan kritik ideologi ; ketiga mengadakan
dekontruksi atau pembongkaran wacana laki-laki .( Haryatmoko , 2003 : 17 – 20 )

Sex dan Binatangisme

Apa yang terjadi di kehidupan saat ini, terutama di kota-kota besar , memperlihatkan
betapa sex menjadi gelombang besar yang melanda kehidupan setiap manusia . Kita tiba-
tiba saja telah tenggelam di dalamnya , persis seperti kita tenggelam dalam gelombang
konsumerisme dan hedonisme yang dihantamkan badai kapitalisme ke segenap penjuru
dunia . Sex juga telah menjadi lautan semacam konsumerisme dan hedonisme . Ada
pusaran-pusaran yang bisa menarik da menenggelamkan siapa pun yang masuk ke
dalamnya . Tidak ada batas yang jelas antara hedonisme , lautan konsumerisme, dan

192
lautan sex . Ketiganya adalah lautan tanpa batas . Muaranya mungkin adalah keserahkaan
dalam jiwa setiap manusia .

Namun, berbeda dengan hedonisme dan konsumerisme yang materialistik , sex mau tak
mau melibatkan kompleksitas perasaan manusia .Sek bahkan mengaduk-aduk emosi-
emosi terdalam yang mungkin tak tersentuh oleh hedonisme dan konumerisme yang
materialistik . Sex, karenanya , lebih mudah membuat seseorang lupa daratan . ada tahap
ini , berbagai tragedi dalam hidup manusia menjadi ranjau-ranjau yang siap meledak dan
menghancurkan siapa pun pun yang menginjaknya . Manusia menjadi sangat rapuh
Hubungan antar manusia juga rapuih . Perceraian mengancam setiap perkawinan dari
waktu ke waktu . Cinta menjadi ilusi yang digerogoti sex karena cinta juga adalah bagian
dari emosi-emosi terdalam dalam diri setiap manusia di mana sexz mengaduk-aduknya
dengan sistem yang tak terbaca .

Mungkin, pada dasarnya manusia memang mahluk yang rapuh . Perang antara pikiran
dan perasaan adalah perang yang tak pernah usai . Kemenangan pikiran kebanyakan
hanya kemenangan-kememangan kecil yang sesaat . Lalu perasaan kembali memegang
kendali . Lalu sex kembali mengaduk-aduknya dengan sistem yang tak terbaca oleh
pikiran . Kerap , keserakahan ikut mengacaukan dan memperparah keadaan . Lalu
seorang lelaki kembali merasa jatuh cinta ketika seorang perempuan menghampirinya
Lalu seorang perempuan merasa tergoda ketika seorang lelaki muncul menyeruak dari
rutinitas kehidupannya yang membosakan . Perang antara pikiran dan perasaan kembali
berkecamuk bagai lidah api yang menjilat tubuh Sinta dalam Sinta Obong .

Sex menjadi tema besar dalam drama kehidupan manusia saat ini. Pikiran-pikiran
manusia piun belakangan menjadi lebih sexual saking besarnya tema sex mendominasi
kehidupan . Dalam situasi ini, kekuasaan pun menjadi lebur dalam tema besar tersebut .
Pemikiran sexual sebagai strategi kuasa untuk mengatur dan mengkontrol hidup manusia
mulai terbentur oleh perkembangan realitas yang terjadi saat ini . Nilai-nilai moral , nilai-
nilai agama yang mencoba mengatur kehidupan sex manusia , juga semakin terbentur
oleh kenyataan yang sama sekali berbeda .Tatanan kehidupan jelas sekali semakin
bergeser dan berubah . Mungkin , inilah aatnya manusia membuat sebuah tatanan
kehidupan baru . Sebuah tatanan baru yang mengakomodasi dan memberikan porsi lebih
besar pada kodrat manusia sebagai mahluk sexual .

Pendewaan pada pengubaran nafsu secara naïf merupakan pembiaran pada naluri
kebintangan manusia .. Dalam perilaku sex , naluri kebinatangan manusia berperan cukup
besar sehingga menungkinkan perilaku sexual yang brutal sekalipun . Pemerikosaan
terhadap anak balita yang makin kerap terjadi dewasa ini , kasus-kasus inscet ,
pemerkosaan missal seperti yang terjadi peristiwa 13 Mei 1998 , kasus-kasus domestic
violence , adalah perilaku sexual yang didorong oleh naluri kebinatangan yang salah
Salah, karena , hanya manusia yang melakukan perilaku-perilaku brutal semacam itu .
Binatang tidak melakukannya . Pola perilaku sex binatang sangat jelas batasan-
batasannya dan sangat ditentukan oleh musim atau periode . Manusia tidak . Modalitas
ekspresi , sexualnya sangat tidak terpola . Sangat fleksibel dan luas . Manusia tidak
mengenal musim kawin. Manusia bisa kawin kapan pun .

193
Istilah naluri kebinatangan yang mengacu pada sexualitas manusia menjadi tidak tepat
dan harus didenisikan dengan jelas . Sebagai mahluk sexual , manusia adalah spexies
binatang tersendiri yang bisa menjadi lebih brutal dari binatang paling buas sekalipun .
Dan karen sex menurut Foucault adalh sebentuk permaian kekuasaan ., maka dalam
wacana politik sebagai panggung kekuasaan kita juga bisa melihat kebinatangan manusia
dengan jelas . Politik kemudian kerap menjadikan manusia sangat kejam . Kualitas
kekejaman ini juga muncul dalam perilaku sexual tertentu yang kerap menjadi headline
di koran-koran kuning, seperti Pos Kota , Lampu Merah , dan lain-lain .

Sebagai binatang sex, eksistensi manusia campur aduk dengan eksistensi manusia sebagai
mahluk paling luhur di muka bumi . Percampuran ini seperti mencampur minyak dan air
Tidak nyambung . Minyak tetap minyak dan air tetap air Kedua unsur itu tak mungkin
bersenyawa sebagaimana konsep keluhuran dan kebnatangan dalam pengertian umum .
Pemisahan konsep keluhuran dan kebinatangan adalah sesuatu yang baku dalam
masyarakat kita . Keluhuran berarti enyahnya kebinatangan dan kebinatangan beratu
hengkangnya keluhuran . Tetapi kebinatangan tak benar-benar enyah dari dalam manusia,
juga keluhuran . Kebinatangan hanya bisa diingkari secara temporer dan periodic . Pada
sebagaian manusia , kebiantangan mungkin bisa dijinakan secara nyaris permanent .
Pada sebagian manusia lain, kebinatangan mungkin malah kerap mengenyahkan .

Perilaku sex manusia berada dalam ketegangan tarik-menarik antara kebinatangan dan
keluhuran tersebut . Dan ini berlaku pada semua manusia tanpa memandang pangkat
,derajat darah, tingkat pendidikan , jenis kelamin , agama, suku , ras , ataupun faktor-
faktor pembeda lainnya .Ketegangan tarik-menarik inilah yang memungkinkan eksplorasi
dalam perilaku sexual manusia berkembang dalam berbagai bentuk , variasi , dengan
pengaryh faktor-faktor di luar sexualitas itu sendiri . Bila unsure pengaruhnya bersumber
dari kekerasan maka terjadilah sexual abuse, saomasochisme , atau anger rape Bila yang
mempengaruhi misalnya rasa sakit terhadap lawan jenis , bisa jadi yang muncul adalah
hubungan sex sejenis atau homosexual , atau bisa juga perilaku play boy atay petualangan
sex . Ini tergantung pada konteks tarik-menarik antara kebinatangan dan keluhuran yang
tengah berkecamuk dalam diri manusia yang bersangkutan . ( Gunawan, 2003 : 34 – 37 )

Teknologi Kekuasaan dan Naluri Sex

Melalui teknologi , kekuasaan membujuk , merayu , dan meyakinkan . Kekuasaan dapat


diidentikan melalui teknik yang dipakai untuk mencapai tujuannya , yang adalah
kepatuhan . Dalam bio-politik , obyek dan sasaran kekuasaan adalah tubuh manusia ,
lebih-lebih hasrat-hastratnya . Hasrat yang paling dominan mengarahkan manusia adalah
hasrat sex . Pernyataan ini oleh Schopenhauer dirumuskan secara lebih mengelitik, ketika
orang bertanya , di mana letak pengetahuan yang paling intim tentang hakekat dunia ini ?
( Pengetahuan yang pada dirinya merupakan kehendak untuk hidup ) . Jawabnya ialah

194
kehendak dalam berhubungan badan . Itulah hakekat dan inti sesungguhnya segala hal
atau tujuan hidup

Dalam sex terdapat inti atau konsentrasi yang riil , yang justru harus diperangi dan
dileyapkan karena dianggap menyeret ke kejahatan atau dosa . Tubuh harus ditaklukkan
dan dibuat patuh . Naluri sex harus dicegah agar tidak lagi mendominasi . Dengan cara
inilah manusia menjadi lebih berguna . Dalam upaya merepresi , menyalurkan dan
memerangi naluri sex inilah teknologi kekuasaan berkembang . Ketrampilan-ketrampilan
untuk menundukkan tubuh dari kecenderungan naluri sex semakin canggih . Dari
antisipasi , represi sampai dengan tindakan aksetis dan penyangkalan diri dalam bentuk
kastrasi ( pengebirian ) pada tradisi tertentu dianjurkan bahkan ada yang melakukan
untuk mencegah pelampiasan naluri sexual , seperti yang dilakukan para eumuque .

Memberi konsesi kepada kecenderungan materi dianggap kesalahan besar . Materi harus
dibuat tunduk terhadap jiwa agar tidak jatuh ke dalam sexualita belaka . Maka menunda
belajar kenikmatan sexual berarti menjaga tubuh agar tetap dalam kondisi berkembang
secara sehat . Semakin orang muda memperlambat menikmati kesenangan badani
semakin mampu mencapai kematangan hidup Sensualitas menjadi musuh paling
berbahaya bagi pertumbuhan orang muda. Maka perspektif Manikean cenderung
memakai logika pengebirian , yaitu menghubungkan kenikmatan fisik dengan derai tawa
iblis. Kenikmatan harus disikapi dengan menumbuhkan ingatan dan gagasan yang
menjijikan

Untuk menghindari jatuh dalam pelukan sensualitas perlu mengendalikan juga naluri lain
yang sangat erat terkait dengan hastrat sex , yaitu nafsu makan . Nafsu sex dan nafsu
makan pada dasarnya berasal dari naluri yang sama, yaitu keinginan untuk menyentuh
dan merasakan Maka kemampuan menahan diri berhadapan dengan makanan merupakan
latihan yang baik untuk bisa menguasai diri terhadap nafsu sexual . Nafsu sex dan nafsu
makan sering mudah mendorong orang melakukan kejahatan yang sama keduanya
mecari kenikmatan kulit dan sensasi sentuhan , yang pada gilirannya akan mengasingkan
pikiran . Kewaspadaan terhadapan makanan adalah antiipasi untuk menghadapi naluri sex

Tindakan-tindakan antiipasi diperlukan agar tidak tergoda mengikuti kecenderungan


naluri sex menghindari kesempatan yang menggoda yang datang dari bacaan , gambar ,
foto pornografi atau eotis ; mengalihkan perhatian dan adegan, representasi , atau
pembicaraan yang akan menyebabkan rangsangan sexual ; dan menghindari perjumpaan
dengan lawan jenis di tempat yang lepas dari pandangan publik . Logika pengeibirian dan
antiipasi itu sudah tidak diperlukan lagi pengawasan dari luar . Orang udah
menginternalisasikannya menjadi motivasi sendiri , selain karena pendidikan , juga
karena diyakinkan bahwa semua itu untuk kepentingan dan kebaikannya dirinya sendiri .

Bila antisipasi tidak berhasil , maka tidak bisa tidak represi harus dilakukan , yaitu
menanamkan dalam hati aturan yang keras terhadap naluri ; menumbuhkan rasa muak
dan jijik terhadap kecenderungan naluri sex ; menghadirkan dalam bayangan gagasan-
gagasan yang menyiksa seperti rasa malu , dan akibat-akibat yang akan menyengsarakan;
meyakinkan diri bahwa hidup menjadi lebih menyiksa , hilang kebanggaan diri bila

195
menuruti naluri tersebut . Lebih baik lagi bila tidak menurut sama sekali hasrta sex
selama mungkin sampai tubuh lupa pada dirinya , lalu membiarkannya layu .

Represi sering membutuhkan kehendak yang kuat dan mudah mengakibatkan


kekecewaan yang dalam , bahkan bisa menimbulkan penyimpangan . Maka tersedia
teknik lain yang oleh disiplin psikologi disebut sublimasi . Sadar bahwa tidak mungkin
melenyapkan sama sekali harat sexual , filsuf seperti Rosseau menganjurkan lebih baik
menyalurkan ke hal positif , mengalihkan ke kegiatan yang lebih bermanfaat .

Rosseau memberi fokus pada pengolahan perasaan terhadap orang lain sebagai obyek
utama untuk mengalihkan hasrat sexual . Perasaan itu perlu diarahkan agar tumbuh
persahabatan , rasa belah kasih , dan belarasa . Keprihatinan dan rasa tanggung jawab
terhadap tugas-tugas , penderitaan dan nasib orang lain merupakan bentuk penyaluran
naluri sex yang dianggap positif dan produktif .

Selain itu, menghidupkan imajinasi secara positif akan mampu pula mengalihkan
dorongan sexual . Ajaklah orang muda untuk menghadirkan dalam pikirannya saudara
atau temannya yang cacat . Mereka ini meskipun cacat juga memiliki naluri sex yang
sama . Maka upaya mengontrol diri untuk tidak menuruti naluri sexnya merupakan
ungkapan solidaritas dan bela rasa terhadap saudaranya atau temannya yang cacat itu ,
yang karena hambatan fisiknya tidak mampu menikmati nalurinya . Dengan demikian ,
kemampuan mengekang naluri sexual tidak hanya demi kepentingan diri , namun
merupakan bentuk altruisme.

Kalau di dalam imajinasi positif masih dibutuhkan jeda karena butuh waktu untuk
peralihan dari hasrat ke bela rasa , bentuk pengalihan naluri sex yang bisa langsung
dirasakan hasilnya adalah kerja fisik atau olahraga . Yang mau diarah adalah membuat
tubuh kelelahan . Dengan bekerja keras , fisik terkuras , lalu imajinasi pun bisa
istirahat.Bila tubuh lemah karena kelelahan , naluri tidak akan mudah terbakar sehingga
rangsangan tubuh tidak lagi dirasakan . Dan tubuh akan diubah menjadi daging tanpa
nafsu .

Demi asas manfaat sosial tubuh ini , kegiatan-kegiatan positif lain harus selalu mengisi
kesibukan orang muda agar naluri sex bisa dialihkan ke hal yang akan lebih berdaya guna
Degan demikian , bekerja merupakan cara untuk mengalihkan energi , agar perhatian
lebih pada tujuan-tujuan yang bisa berguna atau setidaknya, lebih bisa diterima
masyarakat karena secara budaya lebih bisa ditoleransi .Kemampuan menyalurkan energi
naluri sexual ini sering digunakan sebagai kriteria kedewasaan seseorang sehingga setiap
orang akan berupaya dengan sukarela melakukannya , bahkan bangga karena dianggap
mencapai kematangan atau kedewasaan . Sekali lagi sistem panotik berjalan . 1
1
Sistim panotik ini diperkenalkan oleh Michel Foucault . Istilah ini diambil-=alih dari sistem penjara yang
dikembangkan oleh Jeremy Bentham untuk menghemat sistem pengawasan dengan merancang aristektur
penjara yang khas. Panotik berasal dari bahasa Yunani , yaitu pan yang artinya semua dan opyikan yang
berarti melihat .. Arsitektur penjara itu bentuknya melingkar . Di tengahnya terdapat menara pengawas .
Dari menara itulah dapat dipantau dengan jelas semua gerakan narapidana yang ada di masing-masing sel .
Pemantauan menyeluruh ini dumungkinkan berkat dua jendela , yang satu mengarah ke menara dan yang
lain terarah ke luar sehingga cahaya dari luar dapat masuk menerangi sel . Dengan desain ini, bukan hanya

196
Dalam disiplin psikologi juga dikenal istilah catharsis sebagai salah satu bentuk
pengalihan dorongan sexual dngan cara mengangkatnya ke permukaan melalui
pembicaraan atau konsultasi hal-hal yang menyesakkan . Foucault menyebut pengakuan
dosa adalah bagian dari hubungan kekuasaan yang tidak lagi dalam bentuk represi
Pengakuan dosa menunjukkan bahwa kekuasaan itu produktif karena memberi kelegaan,
menghasilkan berbagai bentuk wacana dan tulisan .

Sebetulnya dengan mengungkapkan hasrat-hasrat yang dianggap negatif terjadi proses


catharsis . Melalui pengakuan dosa terjadi pembebasan dari rasa bersalah yang selama
ini ditekan atau disimpan . Di luar pengakuan dosa , proses catharsis juga bisa
berlangsung dalam bentuk lain, yaitu bimbingan rohani dengan pemuka agama ,
konsultasi dengan psikolog , psikiater , atau curhat dengan sahabat dekat , orang tua ,
orang yang dipercaya Tentu saja dalam catharsis itu proses internalisasi juga
berlangsung . Sistem panoptik berjalan . Orang diyakinkan bahwa dengan
mengungkapkan apa yang menekan dalam hati , orang diajak merumukan masalah yang
dihidupinya . Mampu merumuskan masalah berarti langkah penting kearah penyelesaian
masalah . Para konselor sering mengatakan bahwa dengan mampu merumuskan masalah
lima puluh persen masalah sudah diselesaikan .

Semua teknik pengalihan dorongan naluri sex itu entah dengan represi , sublimasi ,
catharsis , imajinasi positif , membayangkan akibat-akibat yang menyengsarakan ( malu,
hilangnya kebanggaan ) , puasa dan sebagainya , bisa semakin efektif karena berlangsung
dalam kerangka sistem panoptik.. Unsur panoptik yang paling menentukan ialah proses
internalisasi pengawasan .

Melalui proses semacam inilah pengawasan tidak memerlukan lagi kehadiran fisik karena
telah diubah menjadi motivasi yang berasal dari dalam dirinya . Memang akan lebih
efektif lagi bila ada struktur-struktur yang mengondisikan ( ritme hidup, organisasi,
aturan , hierarkisasi keanggotaan , sanksi sosial ) . Pembatinan pengawasan menjadi
motivasi tindakan ini memungkinkan untuk mendapatkan kepatuhan tubuh sebab apabila
mangkir atau melanggar akan tumbuh rasa bersalah , kecewa atau bentuk kekacauan
bantin lainnya . Dari mana datangnya dorongan untuk membatinkan / menginternalisasi
pengawasan ini ? ( Haryatmoko , 2006 : 31 – 32 )

Tubuh Indah dan Kapitalisme

Sistim kapitalisme ikut berpengaruh besar pada pembentukan body image . Kapitalisme
menentukan standar tubuh ideal masa kini bagi perempuan agar mereka terus-menerus

iluet narapidana yang kelihatan , tapi seluruh gerak-gerik dan wajahnya . Sebaliknya , narapidana tidak bisa
melihat siapa, atau berapa orang yang mengawasinya . Sehingga , dalam diri narapidana tertanam
kesadaran bahwa selalu ada yang mengawasi . Akibatnya , narapidana selalu merasa diawasi meskipun
mungkin tidak ada pengawas. Jadi kehebatan prinip panotik terletak pada pengawasan yang bisa
discontinue , namun sefek kesadaran diawasinya kontinu. Model pengawasan semacam ini bisa berjalan
efektif karena mendorong orang yang diawasi untuk menginternalisasi atau membantinkan pengawasan .
Dengan demikian semakin efektif suatu kekuasaan atau pengawasan , kehadiran fisiok semakin kurang
dibutuhkan .

197
memperbaiki penampilannya demi mencapai ukuran yang diidealkan . Para perempuan di
masyarakat kita salig bersaing untuk menjajarkan diri mereka dengan tuntutan
masyarakat patriakis yang menggemari perempuan dengan tubuh ideal di mata laki-laki
dengan ukuran-ukuran yang diinginkan laki-laki .

Semakin tinggi keinginan perempuan untuk mengejar ukuran tubuah ideal semakin
terbuka kesempatan bagi pemilik modal unuk mengembangkan produk kecantikan dan
jasa memperbaiki penampilan . Trend bentuk tubuh perempuan yang digemari oleh
mayoritas laki-laki saat ini dan yang banyak ditampilkan oleh media massa adalah yang
langsing namun proporsional , sehingga membuka peluang untuk membentuk cara
pandang perempuan terhadap bentuk tubuh yang ideal . Hal ini menumbuhkan pikiran
pada perempuan bahwa tubuh ideal adalah yang langsing , sekaligus menumbuhkan
kecemasan akan kegemukan .

Kapitalisme berperan besar meyakinkan para perempuan bahwa tubuh ideal masa kini
lebih disukai dan dapat dicapai .Di dalam masyarakat kapitalis , akan sangat
mengutungkan untuk menciptakan permasalahan dan kemudian menawarkan produk
yang dapat memecahkan masalah tersebut . Jika selulit dianggap disukai , atau setidaknya
dianggap bukan masalah , maka tidak akan ada kebutuhan untuk pergi ke gym demi
menghilangkan lemak tubuh atau membeli makanan-makanan diet untuk mengurangi
lemak tubuh . Dan jika payudara tidak kencang atau bentuk tubuh tidak ideal adalah
masalah, seseorang hanya perlu membeli produk atau jasa pelayanan , dan masalahnya
akan terpecahkan .

Industri-industri tersebut berkembang pesat dalam menumbuhkan keraguan pribadi


perempuan . Untuk meraih sukses , industri-industri yang bergerak di bidang kecantikan
tidak hanya haris memotivasi keinginan terhadap produknya , tetapi juga harus
meyakinkan perempuan bahwa tanpa produk tersebut , ia tidak akan diinginkan . Dalam
proses penerimaan diri . perempuan menjadi sasaran para pengusaha dan pembuat iklan
yang lihai , di mana pesan iklan mereka sangat jelas tersampaikan kepada kaum
perempuan . Pembudayaan mitos kecantikan yang disebarkan melalui iklan dapat
mempengaruhi citra diri konsumennya . Pengaruhnya adalah bahwa banyak perempuan
yang menjadi rentan terhadap bentuk tubuhnya sendiri dan mulai memandang bentuk
tubuhnya sebagai “ gemuk “ , sehingga mereka menjadi terobsesi untuk melakukan
kontrol terhadap bentuk tubuhnya . Mitos kecantikan akan lebih merugikan bagi
perempuan , karena menyebabkan rendahnya penghargaan terhadap diri sendiri , dan
sebaliknya akan mengutungkan perusahaan .

Tidak peduli seberapa keras perempuan mencoba meraih penerimaan , ia tetap merasa
kurang sempurna. .Tak peduli seberapa baik penampilan atau harum tubuhnya , ia selalu
merasa ada yang kurang atau tidak lengkap . Jika penilaian yang berlebihan terhadap
tubuh perempuan terus berlanjut , cara untuk mencapai bentuk tubuh perempuan terus
berlanjut , cara untuk mencapai bentuk tubuh yang mendekati “ ideal” biasanya akan
dicari melalui diet atau berolahraga , yang belum tentu berhasil memenuhi hasrat
perempuan akan tubuh yang langsing . Dan pada akhirnya ia menjadi terperangkap dalam
lingkaran obsesi diri yang berlebihan serta penolakan diri . Dinamika ini merupakan bukti

198
ganguan semacam anoreksia dan bulimia, obsesi pada berat tubuh dan diet , serta latihan
kebugaran yang berlebihan . Gangguan-gangguan tersebut tidak dapat dianalisis secara
terpisah dan budaya yang saat ini sedang berlalu . Budaya yang kerap disebarkan lewat
majalah ataupun iklan dalam dunia kecantikan bagi munculnya gangguan makan dan
sebagainya .

Sebagian perempuan menghasbiskan uang yang tidak sedikit demi memperbaiki


penampilan fisik di klinik perawatan wajah dan tubuh . Fenomena ini berkaitan dengan
kontruksi sosial tentang kecantikan dan kelangsingan yang berkembang saat ini . Cantik
merupakan kontruksi budaya industri yang tak lepas dari kepentingan industri untuk
menyalurkan produk mereka, di mana produk seperti itu baru bisa dipasarkan jika ada
permintaan . Maka permintaan itu harus diciptakan , salah satunya melalui iklan dan
nyatanya masyarakat menerima kontruksi ini . Ambillah contoh sebuah iklan perusahaan
pembentukan tubuh papan atas berbunyi “ Program pelangsingan baru yang
menakjubkan , yang telah membantu para perempuan mendapatkan tubuh yang
sensasional .”

Kiranya tidaklah cukup tubuh udeal saja , tetapi tubuh dimaknai sebagai suatu instrument
yang dapat memberikan sensasi , entah apa pun wujudnya . Tubuh langsing tak berlemak,
perut datar , payudara kencang , pinggang berlekuk-liku, pantat sintal , bisa disebut
sebagai contoh penanda cantik dalam kontruksi sosial semacam ini . Kemudian
kebutuhan melangsingkan tubuh , mengencangkan payudara , dan sebagainya itu dikemas
dalam stu paket perawatan tubuh di klinik-klinik tersebut . Fenomena ini muncul karena
industri kecantikan mengontruksikan citra ideal sebagai upaya memasarkan produknya .

Ironisnya , majalah maupun iklan dalam dunia kecantikan menjadikan perempuan


sebagai target atau sasaran utama pemasaran produknya . Misalnya adalah pesatnya
industri produk diet dan semacamnya yang bertujuan melangsingkan dan membentuk
tubuh perempuan , tetapi pada kenyataannya nyaris tidak menghasilkan tubuh yang lebih
langsing . Bagaimanapun, industri-industri tersebut tetap saja dapat menarik para
perempuan dengan penekanan pada pencitraan fitur ideal perempuan di mata
masyarakat, bahwa perempuan itu seharusnya indah dipandang . Nilai-nilai yang
terkandung di dalam strategi kapitalisme menyosialisasikan pada kaum perempuan agar
memperlakukan tubuhnya lebih sebagai obyek untuk diamati . Oleh karena itu ,
diharapkan perempuan menampilkan kecantikan fisik di mata masyarakat .

Hal ini kemudian mengarahkan perempuan menjadi semakin konsumtif karena tuntutan
keburuhan akan penampilan agar menarik , cantik , dan modis dengan beragam mode
pakaian dan komestik yang ditawarkan . Mode pakaian pun dibuat untuk menampilkan
keindahan tubuh perempuan , sehingga jika perempuan ingin tampil modis dan sensual
dalam busana tertentu , ia harus berusaha memperbaiki bentuk tubuhnya terlebih dahulu ,
baru kemudian ia dapat mengenakan pakaian idamannya . Mode pakaian yang variatif
dan modis memang kebanyakan diperuntukan bagi perempuan bertubuh ideal , jadi jika
tubuhnya tidak demikian , ia dianggap kurang pantas tampil modis dan menarik , bahkan
bisa jadi malah mengundang cibiran dari orang lain yang melihat cara berbusananya .
Masyarakat kita memersepsi kalau perempuan bertubuh ideal , model pakaian apa saja

199
akan terlihat bagus jika dikenakannya . Sedangkan kalau bertubuh gemuk , selain varian
model pakaian semakin terbatas , juga tidak bisa menarik jika dikenakan .
Sungguh menarik sekaligus menyedihkan melihat bagaimana perempuan teleh
diperbudak oleh standar masyarakat mengenai penampilan lahiriah yang ideal .Seringkali
perempuan menjadi musuh terbesar bagi dirinya sendiri sehubungan dengan penampilan .
Ia merasa tidak berarti karena berat badan dan penampilannya . Ia terkurung dalam
perasaannya sendiri , diperkuat mitos kecantikan yang tumbuh di masyarakat , dan malah
memicu lahirnya kepercayaan baru bahwa tanpa tubuh langsing dan wajah cantik , tak
ada bagian dari hidup ini yang dapat dinikmati . Akibatnya bukan seft-esteem yang
didapat, tetapi perang terbesar perempuan terhadap tubuhnya sendiri pun dimulai . Begitu
banyak perempuan kehilangan rasa kepemilikan terhadap tubuh mereka sendiri sehingga
merasa tidak nyaman dengan tubuh mereka . Itu semakin memisahkan tubuh perempuan
dari totalitas kediriannya sebagai seorang individu yang utuh , lebih dari sekadar aspek-
aspek fisik saja . Hal ini tidak mengherankan di mana perempuan di masyarakat memang
lebih dilihat dan dinilai dari penampilan fisiknya . Efek berlanjut dari peampilan
perempuan sebagai komoditas ini adalah perempuan secara tidak sadar dikondisikan
untuk merasa terasing dari tubuhnya .

Pengasingan pikiran dengan tubuh dipacu oleh sejumlah aspek pengalaman perempuan
Pengasingan tersebut dapat diidentifikasi sebagai fenomena pikologis yang terjalin
melalui sejarah pribadi dan distorsi imajinasi , sebagai fenomena budaya yang
mengabadikan mitos bahwa perempuan harus berpenampilan dengan suatu cara tertentu ;
sebagai fenomena politik yang menindas perempuan dalam suatu perjuangan melawan
tubuh mereka sendiri ; dan sebagai fenomen filosofis-spiritual yang merancang pikiran
melawan tubuh sebagai musuh . Kontruksi sosial yang ada dalam masyarakat telah
menyebabkan perempuan mudah merasa teralinasi dari tubuh mereka sendiri .

Tubuh seolah menjadi ajang perebutan kekuasaan ekonomi politik pada masyarakat
industrial .Payudara, pantat , mata , dan lainnya dianggap potensial dipasarkan Sementara
tubuh bagian dalam menjadi sasaran potensi pasar bagi obat-obatan , tubuh bagian luar
menjadi sasaran potensi pasar bagi industri yang semakin mengukuhkan mitos kecantikan
Identitas diri perempuan berada dalam kontruksi sosial yang diciptakan oleh kaum
kapitalis Usaha-usaha untuk mendefinsikan ulang arti kecantikan dan untuk
mengembalikan kepemilikan tubuh perempuan kepada perempuan perlu digalakkan dari
tahap perkembangan perempuan sendiri . Jika tidak, ditengah-tengah trend pasar bebas
dunia, posisi tubuh perempuan akan semakin ditentukan oleh pasar , bukan oleh
perempuan sendiri . Kini semua tergantung pada perempuan sendiri . Selalu terbuka
pilihan untuk meneguhkan identitas dan konsep diri . ( Melliana S , 2006 : 73 – 80 )

Penutup

Seperti yang dilaporkan oleh Jakarta Undercover , Sex n” the city , pemuasaan hasrat sex
itu berupa-rupa variasinya . Variasi sex yang aneh-aneh dan menyeweng dari kebisaan
umum tersebut kiranya bisa menjadi contoh , yang membenarkan konsep Herbert
Marcuse , bahwa pada kodratnya sexualitas itu adalah polymorphous preserve ,

200
penyimpangan yang beranekaragam . Konsep Marcuse tentang sexualitas sebagai seiring
dengan analisis serta refleksinya tentang revolusi sex yang meletus di zaman modern ini .
Di Abad Pertengahan , sex dipandang sebagai sesuatu yang suci . Maklum , pada waktu
itu dunia serta segala isinya dipandang sebagai suatu kosmos , yang utuh , menyeluruh
dan suci . Seperti kosmos itu utuh dan suci , demikian pula bagian-bagiannya juga tak
terpisahkan satu dari lainnya., menyatu dalam kesuciannya . Unsur-unsur dalam kesatuan
ini tak boleh bertentangan satu dengan lainnya : semuanya harus berada dalam dan
menjaga keharmonisan . Karenanya , agama tak bisa dipisahkan dari politik . Agama ikut
menentukan politik , dan politik dengan sendirinya juga suci seperti agama. Sex adalah
bagian dari satu kosmos yang utuh dan suci ini . Maka , bukan individu melainkan
kosmos itulah yang mengkontrol kehidupan dan aktivitas sexual . Sex pun ditentukan
oleh kekuatan atau kekuasaan dari luar individu , biasanya adalah agama dan kekuasaan
politik sendiri . Sangat sempitlah pandangan tentang aktivitas sex pada waktu itu , yakni
untuk sekedar reproduksi saja .

Di abad modern , situasi berubah dengan dratis . Sexualitas manusia bangkit untuk
membebaskan diri dan represinya , dan kemudian dengan terang-terangan menyatakan
dirinya . Dua tokoh pemikir patut disebut di sini pihak ia khawatir akan kedashyatan
dorongan naluri sexual . Seperti pemikir atau moralis borjuis lain, Freud tetap yakin ,
bahwa peradaban masyarakat industri bisa dilestarikan , bila masyarakat mengkontrol
dorongan nalurinya , sesuai dengan tuntutan rasional .

Betapa pun liberal pandangan Freud , ia tetap pada pola lama , bahwa realitas dan rasio
harus menundukkan spontanitas naluri manusia, artinya Logos harus tetap mengatasi
Eros . Bedanya , ia berpendapat , bahwa naluri sexual itu tidak perlu ditekan , tapi
diarahkan dan disublimasikan . Bukan represi terhadap libido , sanpai manajemen libido ,
itulah rumus yang diusulkan Freud .

Seperti Freud, Herbert Marcuse , pemikir kritis dari Sekolah Frankurt , juga yakin bahwa
peradaban modern ini bisa dibangun karena represi rasio terhadap spontanitas naluri
manusia . Namun lebih dari Freud , Marcuse berpendapat, demi pertumbuhan ekonomi ,
represi itu dijalankan dengan berlebih-lebihan . Maklum , masyarakat industri mnaju
telah menggantikan prinsip-prinsip realitas dengan prinsip hasil dan keuntungan .

Spontanitas manusia ditindas, agar masyarakat menghasilkan lebih dan lebih . Akibatnya,
manusia modern memiliki lebih daripada yang dibutuhkan oleh realitasnya . Namun
bersamaan dengan itu , spontanitas naluri manusia pun ditindas lebih dari proposi
penindasan yang diperlukan untuk mempertahankan peradaban dan terpenuhinya
kebutuhan . Marcuse mengatakan , penindasan yang berlebihan itu tidak lagi rasional tapi
rasional . Inilah situasi yang nanti menyebabkan meletusnya revolusi sexual di awal
tahun enam puluhan . Dalam revolusi itu terjadilah pemberontakan Eros terhadap Logos
secara terang-terangan .

Pemikir maupun aktivis revolusi sex tahun enam puluhan yakin , bahwa represi terhadap
naluri sexual manusia adalah penyebab bagi terjadinya agresi dalam masyarakat dan
perkosaan terhadap yang lemah . Represi itu pula yang melahirkan fasisme dan perang ,

201
dua hal yang sangat dibenci oleh generasi enam puluhan yang mulai muak terhadap
affluent society . Maka , lebih-lebih para aktivisnya berpendapat , bahwa praktik sex
bebas di antara manuia akan membebaskan masyarakat dari kejahatan-kejahatan
penindasannya . Maka masyarakat Barat pun mengimpikan dan mempraktikan sex
sebebas-bebasnya , seperti dinyanyikan Frank Zappa, rocker tahun enam puluhan.
Kumpulan orang-orang bebas itu melakukan oral sex , tanpa berpikir di mana mereka
berada di belakang panggung , di dalam selubung mantel , di jalanan , di mana pun ,
selalu dan kapan saja .

Dalam konteks revolusi sex di atas kiranya menjadi lebih jelas apa yang dimaksud oleh
Marcuse dengan sex sebagai polymorphous perverse . Pertama-tama , aneka ragam
praktek sexual ini disebut menyimpang, karena berlawan dengan praktik sex yang wajar ,
karenanya juga bertentangan dengan norma-norma moral sexual yang mapan . Namun ,
di liain pihak , prektek sex yang tak kenal batas itu sesungguhnya adalah kodrat dan
hakikat sexualitas manuia sendiri . Menuruti kodrat itu, manusia tidak hanya akan
menjadi jujur tapi juga otonom , dan terbebas dari segala penindasan terhadap nalurinya
Tidak ada yang lebih benar di antara keduanya . Yang benar bahwa keduanuya adalah
reqalitas yang sama-sama ada dalam hidup manusia . Kedua realitas itu akan selalu
berada dalam ketegangan dialektis menuju kepada kesempurnaannya

Polymorphous perverse berkenaan dengan praktik sex yang dituturkan dalam “ Jakarta
Undercover “ kiranya bisa kita lihat dari kacamata di atas . Jelas, di satu pihak , praktik
sex gila-gilaan itu adalah menyimpang menurut norma yang berlaku , bahkan mungkin
terkutuk manurut norma tradisional yang ada dalam masyarakat kita. Namun , di lain
pihak , praktik ini justru dapat dilihat sebagai petunjuk , bahwa diam-diam sebagian
masyarakat kita telah hidup menurut kebebasan yang dijanjikan oleh masyarakat industri
lewat revolusi sexualnya . Pada yang terakhir ini kita boleh segera menambahkan
pelbagai data kebebasan sex yang sekarang sedang melanda masyarakat kita , misalnya
lewat internet , pornografi , dan VCD . Sementara sudah bukan rahasia lagi , bahwa di
antara anak-anak muda , sex telah menjadi demikian bebas dan terbuka . Beragam praktik
sex itu kiranya tidak bisa dihakimi hanya sebagai “ menyimpang “ . Semuanya itu justru
harus bisa diterima sebagai fakta , bahwa masyarakat kita sedang menuju kepada
masyarakat yang sedang terbuka , apa pun resikonya . .

Dengan menjadi terbuka sex tidak lagi bersifat privat tapi publik . Buku “ Jakarta
Undercover dengan jelas melaporkan hal tersebut . Di sana aktivitas sex tidak dilakukan
dalam keintiman privat , tapi dalam perayaan , pesta dan kebersamaan publik . Untuk
melengkapi data tersebut , kita bisa mencermati berita media massa yang menguas
kehidupan pribadi para selebriti , lebih-lebih para artis. Secara langsung atau tidak ,
aroma sexualitas terasa di sana . Apalagi jika berita atau kisah itu ditayangkan di televisi ,
imajinasi permisa menjadi lebih terbuka dan liar , karena langsung menyaksikan si artis
yang dengan segala gerak-geriknya begitu terbuka berbicara mengenai keintiminannya .

Semuanya itu kiranya bisa juga ditangkap sebagai tanda-tanda , bahwa sexualitas dan ide-
ide revolusi sexual yang dibawa oleh kemajuan masyarakat industri sudah dengan agresif
menyusupi masyakat kita . Sex bukan lagi realitas privat tapi publik . Sex bukan lagi

202
sinomim bagi intimitas di antara dua manusia . Intip mengintip intimitas sexual
seseorang seorang tidak lagi dianggap sebagai pelanggaran hak asasi . Lagipula untuk apa
mengintip mereka yang dulu bermain dengan menutup pintu , sekarang malah membuka
pintunya lebar-lebar , mengundang orang ikut dalam perbuatan intimnya . Itulah terror
dari intimitas di zaman modern ini . Sementara dalam masyakat pun tiada lagi ketakutan ,
bahwa sex akan menjadi tak terkendali dan menyimpang .

Seperti terjadi di negeri Barat , di sini pun , sex bukan lagi barang tabu . Orang mulai
berani bicara terang-terangan . Media pun melaporkan pelbagai aktivitas dan masalah
sexual tanpa banyak hambatan . Pelbagai tontotan pun memanggungkan sexualitas
dengan berani dan vulgar . Buku “ Jakarta Undercover “ malah melaporkan aktivitas
sexualitas sebagai pesta , di mana orang tidak hanya menonton, tetapi ikut aktif ambil
bagian dalam kenikmatannya ( Sindhunata , 2003 : 11 – 18 ).

Tubuh senantiasa kehausan, yang selalu anggup meminum dan mencerna segala
pengalaman yang memaskuinya . Tubuh itu mempunyai kapasitas yang luarbiasa untuk
dirangsang , Stimulus apapun ia terima dan ia respons . Ia tak pernah jenuh dan berhenti
menanggapi rasangan itu . Kapasitas inilah yang terutama memungkinkan tubuh
menjalankan fungsi sebagai instrumen kenikmatan , sebagai wadah pengalaman sensual
dan sexual . Kini tubuh lebih mementingkan kebugaran daripada kesehatan . Karena
itulah tubuh dipahami sebagai bejana yang harus menampung segala macam pengalaman
sensual , kesehatan saja tidak mencukupi . Yang dibutuhkan adalah kondisi tubuh yang
bugar , Sebagai sekadar catatan samping adalah menarik untuk mencermati bahwa begitu
banyak praktikpraktik sex yang terjadi di lingkungan pusat-pusat kebugaran . Kalau toh
tubuh tidak bisa bugar secara alami , kebugaran ini seringkali diusahakan dengan cara-
cara yang koersif , misalnya dengan mengkonsumsi narkoba , atau zat-zat lain yang
dipercaya sanggup menaikkan kondisi bugar itu .

Budaya postmodern tidak lagi mementingkan perfoma tubuh . Yang lebih dipentingkan
bukanlah performa, melainkan sensasi-sensai yang diterima tubuh itu sendiri . Sex
bukanlah sebuah performa tubuh yang mesti dipertanggungjawabkan . Orang-orang
postmodern memahami sex terutama sebagai pengalaman yang sensual , suatu
pengalaman yang netral sehingga tak perlu dipertanggungjawabkan . Namun , tubuh
postmodern ternyata juga mengajukan kriterium dasar untuk menyaring pengalaman-
pengalaman itu . Kriterium ini menuntut agar sensasi-sensasi itu betul-betul memuaskan
Untuk bisa menghasilkan kepuasaan maksimal , pengalaman atau sensasi-sensasi itu
mesti bersifat menghebohkan , mengejutkan , mempersona , dan estates .

Dari kisah-kisah Jakarta Undercover itu kita tahu bahwa sexualitas terutama dipahami
sebagai pengalaman . Sebagai pengalaman ia diburu , dicari –cari dengan penuh minat
Pemburunya adalah manusia-manusia yang menghayati kultur urban postmodern .Mereka
hendak menampung pengalaman itu ke dalam wadah tubuhnya . Tubuh postmeodern
adalah bagaikan spons yang bisa menyerap berapa pun cairan yang ia terima , lantaran
spons yang bisa menyerap berapa pun cairan yang ia terima , lantaran spons itu cepat
mongering sehingga terus-,menerus sanggup menyerap cairan itu . Tubuh adalah bagai
spons yang tak pernah basah . Dengan demikian pengalaman sexualitas yang bagaikan

203
cairan itu akan diserap sebanyak-banyaknya . Hampir tak ada batas yang bisa
menghentikannya . ( Laksana, 2003 : 59 – 60 )
Sebenarnya sudah lama kita hidup dalam hawa pengap sexual , yang diantarkan oleh
bisnis dan entertainment modern . Kita seakan berada dalam suasana sexual yang
menyesakkan . Kelep harus dibuka , agar hawa sexual itu keluar , dan kesesakan sexual
itu menemukan saluran pelampiasannya . Dengan demikian juga terror intimidasi sex
yang kita derita bisa lampiaskan , , dan menjadi publik . Untuk itu kita harus menunggu
lama, Inul dengan bokongnya yang ngebor datang dan menjadsi ikon yang pas bagi ituasi
sexual kita yang tersembunyi .

Maka kelep terbuka, dan meldak pula segala kepengapan dan kesexualan kita . Ledakan
itu tidak hanya terjadi dalam panggung, ketika kita berjoget bersama Inul Daratista yang
bokongnya negbor . Ledakan itu juga meletus dalam pelbagai wacana , yang meributkan
Inul Daratista dari segi politik , sosial, seni sampai agama. Rasanya “ Ikon Bokong Inul :
itu menyimpang pelbagai ketertindasan dan problematika sexual kita . Ikon itu juga
menunjukkan , bahwa sexual dengan segala masalahnya juga sudah mulai menimpa kita
Tak mungkin segala masalah dan tantangan sex itu bisa kita hadapi dengan kemunafikan .

204
Bibliografi

Caturwati , Endang, “ Bahasa Tubuh Jaipongan : Seksualitas di Atas Panggung , “


Srinthil, 6 , Juli 2004 , Hlm. 37 – 51 .

Dam Truong, Thanh .1992 Seks, Uang dan Kekuasaan . Parawisata dan Pelacuran di
Asia Tenggara. Jakarta : LP3ES .

Dhakidae , Daniel, “ Industri Sex : Sebuah Tinjauan Sosiao-Ekonomis,” Prisma, No. 5 .


Tahun V , Juni 1976 , Hlm. 25 – 39

Foucault , Michel .1997 Seks & Kekuasaan . Sejarah Seksualitas . Jakarta : Gramedia .

Giddens, Anthony .2004 . Transformation of intimacy . Jakarta : Fresh Book .

Gunawan, FX Rudy ,” Seks Alasan dan Motif ,” Basis, No. 03 – 04 , Tahun Ke-52 ,
Maret - April 2003 , Hlm. 32 – 37 .

Haryatmoko,” Menyingkap Kepalsuan Budaya Penguasa,” Basis, No. 11 – 12 , Tahun


Ke 52 , November – Desember 2003 , Hlm. 4 – 22 .

Haryatmoko, “ Politik Melirik Agama Karena Seks : Panopotisme , Kekuasaan dan


Erotisme,: Basis , No 09 – 10 , September – Oktober 2006 .Hl,. 26 – 36 .

Kebung , Konard , “ Kembalinya Moral Melalui Seks,”: Basis , No. 01-02 , Tahun Ke-
51 . Januari – Februari 2002 , Hlm. 32 – 41 .

Kieser , Bernhard ,” Revolusi Seks . Seks Membuat Revolusi ,” Basis , No 09 – 10,


Tahun ke -55 , September- Oktober 2006, Hlm. 12 – 17 .

Laksana, Bagus, “ Tubuh Postmodern Bejana Sensual ,” Basis , No. 03-04 , Tahun Ke-52
Maret – April 2003 , Hlm. 58 – 62 .

Marcuse, Herbert . 2003 . Cinta dan Peradaban . Yogyakarta : Pustaka Pelajar .

Melliana S , Annastasia. 2006 .Menjelajahi Tubuh . Perempuan dan Mitios Kecantikan .


Yogyakarta : LKIS .

Oetomo, Dede,” Homoseksualitas di Indonesia ,” Prisma, No. 7 , Tahun XX , Juli 1991,


Hlm. 84 – 96

Prasetia, Heru.” Dari Buku ke Buku .Narasi Seks di Lembar-lembar Buku,” Desantra
Edisi 08 , Tahun III , 2003 , Hlm. 58 – 64 .

205
Sindhunanta ,” Seks Undercover : Ikon Bokong Inul, “ Basis, No 03 – 04 . Tahun 52 ,
Maret – April 2003 , Hlm. 6 – 33 .

Spillane, James J, “ Seks Sebagai Komoditas : Persoalan Pelacuran dan Perdagangan ini,:
Basis , No. 09 – 10 , Tahun Ke – 44 , September – Oktober 20096 , Hlm. 56 – 61 .

Sudiardja, Anton. “ Seks dan Masyarakat Terbuka, “: Basis , No. 12, Tahun XXXII ,
Desember 1983 , Hlm. 442 – 454 .

Sudiardja, A .” Pan Seksualisme : Antara Kewajaran dan Kepanikan .” Basis, No 09 – 10,


Tahun Ke-55 , September – Oktober 2006 , Hlm. 4 – 11 .

Suryakusuma, Yulia ,” Konstruksi Sosial Seksualitas : Seluruh Pengantar Teoritik ,”


Prisma, Np. 7, Tahun XX , Juli 1991 . Hlm. 3 – 14 .

Surus , Miftahus dan Novi Anoegrahekti, “ Liputan Utama : Politik Tubuh : Seksualitas
Perempuan Seni, “ Srinthil , 6 ,Juni 2004 , Hlm. 5 – 27 .

206

You might also like