You are on page 1of 12

MAKALAH

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Pada Mata Kuliah Teologi Islam

Judul :
“KAUM MURJI’AH”

Dosen :

DEDE, M.PD.

Penyusun :

 Giri Laya
 Fahrurrozi
 Nurjanah

(STIT) DAARUL FATAH KOTA TANGERANG SELATAN

Jl.Raya Puspiptek Serpong Gg. Wijaya Rt.002/007 Serpong


Kota Tangerang Selatan – Banten
2010
KATA PENGANTAR

Pertama-tama kami panjatkan puji syukur ke hadirat Allah SWT. Yang dengan rahmat,

taufiq dan hidayah-Nya telah kami susun dan selesaikan sebuah makalah khusus dalam mata

kuliah Teologi Islam di lingkungan STIT Daarul Fatah Kota Tangerang Selatan.

Kepada teman-teman serta kerabat-kerabat tidak lupa pula kami ucapkan terimakasih

atas segala bimbingan dan pengetahuannya. Makalah ini kami susun untuk memenuhi tugas

salah-satu mata kuliah yakni Teologi Islam. Penulis menyadari bahwa dalam penulisan makalah

ini masih mengandung banyak kekurangan, sekalipun telah diupayakan seoptimal mungkin.

Oleh karena itu, saran dan kritik yang bersifat konsturtif atau mebangun sangat penulis

nantikan demi kesempurnaan makalah ini pada pembahasan/presentasi selanjutnya.

Semoga makalah ini benar-benar bermanfaat bagi para mahasiswa, khususnya Maha

Siswa STIT Daarul Fatah dan umumnya bagi yang mambaca diseluruh Nusantara tercinta.

Serpong, Oktober 2010

Penyusun
BAB I

PENDAHLUAN

A. Latar Belakang

Teologi, sebagai mana diketahui, membahas ajarn-ajaran, dasar dari sesuatu

agama. Setiap orang ingin menyelami seluk beluk agamanya secara mendalam, perlu

mempelajari teologi yang terdapat dalam agama yang dianutnya. Mempelajari teologi

akan memberi seseorang keyakinan-keyakinan yang berdasarkan pada landasan kuat,

yang tidak mudah diombang-ambing oleh peredaran zaman. Dalam istilah Arab ajaran-

ajaran dasar itu disebut Ushul al-Din dan oleh karena itu bukan yang membahas soal-

soal teologi dalam islam selalu diberi nama Kitab Usul al-Din oleh para pengarangnya.

Ajaran-ajaran dasar itu disebut juga Al-‘aqa’id, credos atau keyakinan-keyakinan dan

buku-buku yang menghapus keyakinan-keyakinan itu diberi judul al-‘aqa’id seperti

Al-‘Aqa’id al-Nasafiyah dan Al-‘Aqa’id al-‘Adulillah. Teologi dalam Islam disebut juga ‘ilm

al-tauhid. Kata tauhid mengandung arti satu atau esa dan keesaan-keesaan dalam

pandangan Islam, sebagai agama monoteisme., merupakan sifat yang terpenting

diantara segala sifat-sifat Tuhan. Selanjutnya teologi Islam disebut juga ‘ilm al-kalam.

Kalam adalah kata-kata. Kalau yang dimaksud dengan kalam disini adalah kata-kata atau

sabda Tuhan maka teologi Islam dalam Islam disebut ‘ilm al-kalam, karena soal kalam,

sabda Tuhan atau al-Qur’an pernah menimbulkan pertentangan-pertentangan keras

dikalangan umat Islam di abad IX dan X masehi, sehingga timbul penganiayaan dan

pembunuhan-pembunuhan terhadap sesama muslim diwaktu itu.

B. Tujuan

Penulisan Makalah/karya tulis ini bertujuan untuk menggali lebih dalam serta

luas tentang suatu pokok bahasan materi. Selain itu untuk menunjang salah satu studi

mata kuliah studi “TEOLOGI ISLAM”, khususnya untuk semerter I, yang berada
dilingkungan Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah-(STIT) Daarul Fatah Kota Tangerang Selatan

yang mana pada penulisan dipokokan pada salah satu materi/judul yakni “KAUM

MURJI’AH”, dalam pembahasan ini kami akan mencoba menjelaskan tentang

karakteristik Kaum Murji’ah dan kaitannya terutama pada Sejarah Analisa Perbandingan.

Pembahasan-pembahasan materi ini, selain memakai bahasa sendiri juga menggunakan

media baca yang ada supaya lebih mendukung pada penyusunan materi.
BAB II

KAUM MURJI’AH

A. Latar Belakang

Kaum Murji’ah pada mulanya merupakan golongan yang tidak mau turut campur

dalam pertentangan-pertertangan yang terjadi ketika itu dan mengambil sikap

menyerahkan peraturan hukum kafir atau tidak kafirnya orang-orang yang bertentangan itu

kepada Tuhan. Persoalan dosa besar yang ditimbulkan kaum Khawarij, mau tidak mau

menjadi bahan perhatian dan pembahasan pula bagi mereka. Kalau kaum Khawarij

menjatuhkan hukum kafir bagi orang yang berdosa besar, kaum Murji’ah menjatuhkan

hukum mukmin1 bagi orang yang serupa itu. Argumentasi yang mereka majukan dalam hal

ini ialah bahwa orang Islam yang berdosa besar itu tetap mengakui bahwa tiada Tuhan

selain Allah dan bahwa Nabi Muhammad adalah Rasul-Nya. Oleh karena itu berdosa besar

menurut pendapat golongan ini, tetap mu’min dan bukan kafir. Ini merupakan kesimpulan

logis dari pendirian bahwa yang menentukan Mu’min atau kekafirannya seseorang hanyalah

kepercayaan atau imannya dan bukan perbuatan atau amalnya. Perbuatan disini mendapat

kedudukan yang kudian dari iman. Dengan kata lain perbuatan di kudiankan kedudukannya

dari iman. Dan Arja’a memang mengandung arti membuat sesuatu mengambil tempat

dibelakang dalam makna memandang kurang penting. Dan sebagian akan dilihat kepada

paham-paham yang ekstrim.

Arja’a selanjutnya, juga mengandung arti memberi pengharapan. Orang yang

berpendapat bahwa orang islam melakukan dosa besar bukanlah kafir, tetapi tetap mu’min

dan tidak akan kekal dalam neraka. Oleh karenai itu ada juga pendapat yang mengatakan

bahwa nama murji’ah diberikan kepada golongan ini, bukan karena merekan menunda

menentukan hukum terhadap orang Islam yang berdosa besar kepada Allah dihari

perhitungan kelah dan bukan pula karena mereka memandang perbuatan mengambil

1
Kata Mu’min sebagai dipakai pada waktu itu kelihatannya masih identik dengan kata muslim belum terdapat
perbedaan arti seperti yang terdapat di zaman sesudahnya.
tempat kudian dari Iman. Demikianlah beberapa pendapat tentang asal-usul nama murji’ah

yang diberikan kepada golongan ini. Kaum Murji’ah pecah menjadi beberapa golongan

kecil. Berlainan dengan kaum khawarij yang menekankan pemikiaran pada masalah siapa

dari orang islam yang sudah menjadi kafir, yaitu siapa yang telah keluar dari islam, kaum

murji’ah menekankan pemikiran pada hal yang sebaliknya, yaitu siapa yang masih mu’min

dan tidak keluar dari Islam. Disamping ini mereka membahas soal Jabariyah atau fatalisme

dan soal kodariyah atau free will. Pada umumnya kaum Murji’ah dapat dibagi dua golongan

besar, yakni golongan moderat dan golongan ekstrim.2

Golongan moderat bependapat bahwa orang yang berdosa besar bukanlah kafir dan

tidak kekal dalam neraka, 3 tetapi akan dihukum sesuai dengan besarnya dosa yang

dilakukannya dan ada kemungkinan bahwa Tuhan akan mengampuni dosanya dan oleh

karena itu tidak akan masuk neraka sama sekali.4

Dalam golongan Murji’ah moderat ini termasuk Al-Hasan Ibn Muhammad Ibn ’Ali

Ibn Abi Talib, Abu Hanifah abu Yusuf dan beberapa ahli hadis. 5 Jadi bagi golongan ini orang

Islam yang berdosa besar masih tetap mukmin. Dalam hubungan ini Abu Hanifah memberi

definisi iman sebagai berikut: iman ialah pengetahuan dan pengakuan tentang Tuhan,

tentang Rasul-Rasul-Nya dan tentang segala apa yang datang dari Tuhan dalam keseluruhan

dan tidak dalam perincian; iman tidak mempunyai sifat bertambah atau berkurang, dan

tidak ada perbedaan antara manusia dalam hal iman.6

Definisi yang diberikan Abu Hanifah ini menggmbarakan bahwa semuanya, atau

dengan kata lain, Iman semua orang sama tidak ada perbedaan antara iman orang islam

2
Al-Baghdadi membagi mereka dalam tiga golongan Murji’ah, yang dipengaruhi ajaran-ajaran Jabariyah, Murji’ah
yang dipengaruhi ajaran Kodariyah dan Murji’ah yang tidak dipengaruho oleh ajaran-ajaran itu, Lihat al-Farq, 202.
Al-Syahrastani memberikan pembagian yang hampir sama, Murji’ah Khawarij, Murji’ah Jabariyah dan Murji’ah Asli,
Lihat Al-Milal I / 139.
3
Al-Milal, I / 146
4
Al-Mazahib, 205
5
Lihat Al-Almilal, I / 146.
6
Al-Farq,203.
yang berdosa besar dan Iman orang Islam yang patuh mrnjalankan perintah-perintah Allah.

Tetapi abu Hanifah juga berpendapat bahwa perbuatan atau amal tidak penting, rasanya

tidak dapat diterima. Sebagai orang islam yang membentuk mazhab besar dalam Islam, Abu

hanifah tidak mungkin mendapat bahwa perbuatan atau amal tidak penting bagi orang

Islam seperti kata Al-Syahrastani : “bagaiman mungkin seorang yang dididik beramal

sampai besarnya dapat menganjurkan untuk meninggalkan amal ?”7

Bertitik tolak sari kesimpulan definisi abu Hanifah tersebut diatas, yaitu bahwa

perbuatan atau amal tidak penting, ada ulama-ulama 8yang tidak menyetujui dimasukan Abu

Hanifah ke dalam golongan kaum Murji’ah. Untuk memasukan Abu Hanifah ke dalam

golongan kaum Murji’ah untuk memasukan kamum murjiah Esktrim, memang tidak

mungkin, tetapi untuk memasukannya ke dalam golongan Murji’ah Moderat. “sekali-sekali

tidak akan merugikan bagi Abu Hanifah, kata Ahmad Amin, kalau ia dimasukan ke dalam

golongan Murji’ah.” Yang dimaksud oleh Ahmad Amin ialah Murji’ah Moderat. 9 Tetapi Abu

Zahrah berpendapat, karena tidak adanya kesatuan pendapat tentang siapa yang dimaksud

dengan sebenarnya dengan kaum Murji’ah, Murji’ah Moderat dan Murji’ah atau ekstrim

sebaiknya abu Hanifah dan Imam-imam lainnya janganlah dimasukan ke dalam golongan

Murji’ah.10

Bagaimanapun juga Abu Hanifah berpendapat bahwa orang Islam yang berdosa

besar bukanlah kafir, tetapi tetap mu’min. Kaum Murji’ah yang pertama kali mengeluarkan

pendapat yang sedemikian.

Di antara golongan ekstrim yang dimaksud ialah Al-jahmiyah, pengikut-pengikut

Jahm Ibn Safwan. Menurut golongan ini orang Islam yang percaya pada Tuhan dan

7
Al-Milal, I /146
8
Umpamanya Al syahrastani Lihat Al-Milal, Ibid.
9
Duha Al-Islam, Kairo, Maktabah Al- Nahdah 1964, jilid III, halaman. 322
10
Lihat Al-Mazahid, 206.
kemudian menyatakan kekufuran secara lisan tidaklah menjadi kafir, karena iman dan Kufr

tempatnya hanyalah dalam hati, bukan dalam bagian lain dari tubuh manusia.

Bahka orang yang demikian juga tidak menjadi kafir, sungguhpun ia menyembah

Berhala menjalankan ajaran-ajaran agama yahudi atau agama kristen dengan menyembah

salib, menyatakan percaya pada trinity, dan kemudian mati. Orang yang demikian bagi Allah

tetap merupakan seorang mu’min yang sempurna imannya.

Bagi al-Shalihih, pengikut-pengikut Abu Al hasan al-Shalihi, iamn dalah mengetahui

Tuhan. Dalam pengertian mereka sembahyang tidaklah merupakan ibadah kepada Allah ,

karena yang disebut ibadat hanyalah Iman kepadanya dalam arti mengetahui Tuhan. Lebih

lanjut al-Baghdadi menerangkan bahwa dalam pendapat al-Shalihih, sembahyang, zakat,

puasa, dan haji hanya menggambarkan kepatuhan dan tidak merupakan ibadah kepada

Allah. Yang disebut ibadah hanyalah Iman

Karena dalam pengertian kaum Murji’ah yang disebut Iman ialah mengetahui Tuhan,

golongan al-Yunusiah mengambil kesimpulan bahwa melakukan maksiat atau pekerjaan-

pekerjaan tidaklah merusak iman seseorang. 11 Golongan al-‘Ubaidiah berpendapat demikian

pula, tegasnya jika seseorang mati dalam iman, dosa-dosa dan perbuatan-perbuatan jahat

12
yang dikerjakannya tidak akan merugikan bagi yang bersangkutan. karena itu pulalah

maka Muqatil Ibn Sulaiman mengatakan bahwa perbuatan jahat, banyak atau sedikit, tidak

merusakan seseorang, dan sebaiknya pula perbuatan baik tidak akan mengubah kedudukan

seseorang musyrik atau politheist. 13

Selanjutnya menurut al-Khassaniah, jika seseorang mengatakan, “Saya tahu bahwa

Tuhan melarang makan daging babi, tetapi saya tak tahu apakah babi yang diharamkan itu

adalah kambing ini,” orang-orang yang demikian tetap mukmin dan bukan kafir. Dan jika

11
Al-Milal, I/140
12
Ibid
13
Al Fisal , jilid V, hlm. 47
seseorang mengatakan, “Saya tahu Tuhan mewajibkan naik haji ke Ka’bah tetapi saya tidak

tahu apakah Ka’bah di India atau ditempat lain, orang demikian juga tetap mukmin. 14

Pendapat-pendapat ekstrim seperti yang diuraikan di atas timbul pengertian bahwa

perbuatan amal tidaklah sepenting iman, yang kemudian meningkat pada pengertian bahwa

hanya ilmiah yang penting dan menentukan mukmin atau tidak mukminnya seseorang:

perbuatan-perbuatan tidak mempunyai pengaruh dalam hal ini. Iman letaknya dalam hati

dan apa yang ada dihati seseorang tidak diketahui orang lain; selanjutnya perbuatan-

perbuatan manusia tidak selamanya menggambarkan apa yang ada di dalam hatinya. Oleh

karena itu ucapan-ucapan dan perbuatan-perbuatan seseorang tidak mesti mengandung

makna bahwa ia tidak mempunyai iman. Yang penting ialah iman yang dalam hati. Dengan

demikian perbuatan-perbuatan tidak merusak iman seseorang.

Ajaran serupa ini ada bahayanya karena dapat membawa pada moral latitude, sikap

memperlemah ikatan-ikatan moral, atau masyarakat yang bersifat permissive, masyarakat

yang berlaku. Karena yang dipentingkan hanyalah iman, norma-norma akhlak bisa

dipandang kurang penting dan diabaikan oleh oarng-orangyang menganut paham demikian.

Inilah yang kelihatannya yang menjadi sebab maka onama Murji’ah itu pada

akhirnya mengandung arti tidak baik dan tidak disenangi

Tetapi bagaimanapun ajaran yang terdapat pada golongan kaum Murji’ah Moderat

di atas menjadi ajaran yang diterima dalam golongan ahli sunnah wal jama’ah dalam Islam.

Menurut al-Asy’ari sendiri ialah pengakuan dalam hati tentang ke-Esaan Tuhan dan

tentang kebenaran Rasul-rasulnya serta segala apa yang mereka bawa. Pendapat yang

diuraikan al’Asy’ari ini identik dengan pendapat yang dimajukan golongan Murji’ah

14
Al-Milal I/140
moderat. Dan mungkin inilah sebabnya maka Ibn Hasan memasukkan al-Asy’ari kedalam

golongan kaum Murji’ah.”15

Paham yang sama diberikan oleh al-Baghdadi ketika ia menerangkan bahwa ada 3

(tiga) macam Iman yakni :

1. Iman yang membuat orang keluar dari golongan kafir dan tidak kekal dalam neraka;

yaitu mengakui Tuhan , Kitsb, Rasul-rasul, kadar baik dan buruk, sifat-sifat Tuhan dan

segala keyakinan-keyakinan lain yang diakui dalam syari’at.

2. Iman yang mewajibkan adanya keadilan dan yang melenyapkan nama fisik dari

seseorang serta yang melepaskannya dari neraka, yaitu mengerjakan yang wajib dan

menjauhi segal dosa-dosa besar.

3. Iman yang membuat seseorang memperoleh prioritas untuk langsung masuk surga

tanpa perhitungan, yaitu mengerjakan segala yang sunnat dan menjauhi segala

dosa.16

Ringkasnya menurut uraian di atas orang yang berdosa besar bukalah kafir, dan

tidak kekal dalam neraka. Orang yang demikian Mu’min dan akhirnya akan masuk surga.

Dengan demikian pendapat-pendapat yang diterangkan oleh pemuka-pemuka

Ahli Sunnah Tersebut di atas pada dasarnya sama dengan pendapat-pendapat yang

dikemukakan oleh kaum Murji’ah moderat. Hal ini diakui sendiri oleh al-Baznawi ketika

ia mengatakan “Kaum Murji’ah pada umumnya sependapat dengan ahli Sunnah dan

Jama’ah.”17

15
Lihat Al-Fisal, Jilid V, Hlm. 46
16
Usul al-Din, Istambul 1928, hlm.249
17
Ibid., 132
BAB III

KESIMPULAN DAN PENUTUP

A. Kesimpulan

Sebagai kesimpulan dapat dikemukakan bahwa golongan Murji’ah Moderat,

sebagai golongan sendiri telah hilang dalam sejarah dan ajaran-ajaran mereka mengenai

iman, kufr, dan dosa besar masuk kedalam aliran Ahli Suna wal Jamaah. Adapun

golongan Mur’jiah ekstrim juga telah hilang sebagai aliran yang berdiri sendiri, tetapi

dalam praktek masih dapat sebagian umat Islam yang menjalankan ajaran-ajaran

ekstrim itu, mungkin dengan tidak sadar bahwa mereka sebenarnya dalam hal ini

mengikuti ajaran-ajaran golongan Murji’ah Ekstrim.

B. Penutup

Teologi Islam pada umumnya secara garis besarnmenggali ilmu-ilmu tentang

agama pada masa-masa tertentu secara rinci dan jelas. Pada uraian-uraian tentang

kaum Mur’jiah diatas kami pandang masih banyak pendapat-pendapat yang belum kami

uaraikan dikarnakan keterbatasan sarana penunjang yang kami dapat. Untuk itu, kami

sangat mengharapkan agar mahasiswa yang membaca/menelaah karya tulis ini, tidak

sepenuhnya berpendapat benar. Namun kita harus terus lebih menggali tentang Ilmu

Teologi Islam sebanyak-banyknya dari media-media maupun bacaan-bacaan yang

lainnya. Semoga makalah/karya tulis ini dapat bermanfaat dan menjadi motifasi bagi

mahasiswa khususnya dan umumnya bagi kita semua. Amin..

You might also like