You are on page 1of 55

BEGU GANJANG : Analisa Psiko – Kultural

Mgr. Dr. Anicetus Bongsu Sinaga, OFMCap.

Kemelut begu-ganjang1 telah mengemuka terutama sejak tahun 2003.


Ketakutan terhadap black magic sekian mengemukan sehingga lewat tuduhan-
tuduhan yang para-rational beberapa rumah dirusak dan beberapa orang diusir
atau dibunuh secara sadis. Oleh kecemasan primordial (primordial paranoia),
orang langsung dan membabi buta menuduhkan suatu penyakit atau tulah
kepada ulah seseorang dukun black magic. Terjadi di tengah pasar Pakkat tahun
2003, seorang, yang dituduh menyandang begu ganjang, diseret ke tengah
public dan langsung diramai-ramaikan sampai mati , di depan pastor.

I. LATAR BELAKANG KULTURAL


Wilayah budaya yang menjadi sumber begu ganjang kiranya dapat dicatat dua,
yang saling membuahi satu sama lain.

1. Ekspansi Hegemoni Si Jahat : Naga Padoha


Dicatat oleh J.C. Vergouwen bahwa, pemikiran Batak keburu berjiwa animistis,
“lebih peka terhadap kegiatan roh begu : dia menyebut dirinya Sipelebegu :
pemuja roh orang mati. Jumlah roh-roh jahat ini, yang menimpakan segala
sengsara, yang harus ditolak oleh manusia, banyak sekali” (1986:81). Roh-roh
yang ditakuti disebut dengan beberapa nama: begu nurnur, begu monggop,
begu harera, begu sihabiaran bolon (Lihat Warneck 1922:63). Prinsip yang
berlaku bagi musibah harera menurut catatan Joh. Winkler 1925:21 ialah: Bila
suatu kampong atau wilayah dijangkiti penyakit kolera-kolera menjadi wabah
dunia abad ke-19, mematikan hamper sepertiga penduduk orang Batak – maka
orang sehat meninggalkan anggota keluarga yang sudah terjangkiti kepada
nasibnya, dan mereka menyingkir ke tempat yang aman. Sebagai pemahaman
di balik tindakan ini ialah : “Prinsip yang berlaku… bukannya secuil pemahaman
akan hakekat penyakit infeksi, melainkan kecemasan bahwa inilah perbuatan
penjalaran kegelapan dari roh-roh jahat”. Inilah ulah ekspansi kuasa maut dari Si
Jahat (Naga Padoha).

2. Ofensif Sibiangsa2

1
Istilah begu-ganjang dikenakan kepada black magic penggunaan sibiangsa sebagai
magic perusak (pupuk pangarobur) dan begu ganjang (“harimau panjang”) sebagai
“kendaraan”. Begu ganjang dibedakan dari begu hundulan (harafiah: harimau
tunggangan). Yang disebut pertama berupa black magic dan yang disebut teraknir white
magic. Sering keturunan Lontung, utamanya Siregar, menyandang ilmu gaib dapat
menunggangi seekor harimau dan dapat menghilang seketika. Ia berkisah mengenai
perlanan menunggangi harimau secara misterius, dan sekejap mata sudah samapi ke
tujuan.
2
Contoh peraga dari Sibiangsa atau pangulubalang adalah koleksi di Jl. Imam Bonjol 39.
Medan, yang terdiri dari guci tua tempat menyimpan (sisasisa) beluang anak.

______________________________________________________________________ 1
Seminar Begu Ganjang di Paroki St. Pius X Aek Kanopan-Agustus 2008
Pada dasarnya agama Batak termasuk Angst Religion, agama kecemasan.
Dimana-mana ada begu (tondi na jahat.) Struktur kampung sendiri adalah buah
hasil dari sumber-sumber yang mencemaskan ini. Kampung tradisional
dikelilingi oleh parik , yakni tanah galian yang diikuti oleh benteng kampung
yang ditinggikan, di mana ditanam buluduri yang rapat tak tertembus, dengan
hanya ada satu pintu keluar, bahal. Ini adalah bukti mental permusuhan dan
dunia defensdif-ofensif. Paranoia Primordial bersarang dengan subur di
dalamnya.

Ofensif yang terkenal dan berdasar magic ialah Sibiangsa atau pangulubalang.
Magic Sibiangsa berkembang dalam ranah Paranoia Primordial dan fungsinya
adalah senjata pamungkas magis: Piso pangabas di jolo, saongsaong di ginjang
jala lapiklapik di toru. Metode pembuatannya adalah sebagai berikut: Seorang
anak – paling disukai ialah hatoban – yang dipelihara dengan menggendutkan :
member makanan yang enak dan subur. Ke telinganya selalu dibisikkan : Ke
mana saja engkau saya suruh , engkau harus menuruti. Dalam harapan diberi
makanan, anak itu selalu mengangguk. Pada hari H diadakan penyumpah,
manumpa. Hal ini diikuti – tak lama kemudian – oleh panggurigurion,
“pengwadahan”. Cairan metal ditumpahkan ke dalam mulut yang disumpahi,
sampai anak mati. Tubuhnya dicincang dan dimasukkan ke dalam guci yang
sudah disediakan. Barang ini menjadi amulet ofensif – defensif. Sesuai janji
sumpah si anak, maka ia bersedia disuruh ke mana dan berbuat apa saja. Maka
seringlah ia disuruh manumpur huta ni musu. Bisa saja seluruh isi kampung
menjadi gila, berkelahi atau mati tulah.

3. Ofensif Begu Ganjang3


Masalah yang dihadapi dalam menggunakan Sibiangsa adalah proktil, angkutan
pangantar. Kendati memiliki magic sibiangsa dalam hal menggunakannya
terdapat masalah bagaimana mengantarnya mencapai kampung musuh.
Menghantar hanya seroang diri tentu kurang berani. Orang berplaing kepada
begu ganjang .

Pembuatannya. Pada hari H logam tuangan disumpahi agar menjadi begu


ajakan4. Latar belakang dari begu hundulan ialah kepercayaan, terutama di
kalangan marga Lontung (Babiat Sitelpang), adanya “ilmu menjinakkan seekor
harimau”, agar sanggup membawanya ke tempat tujuan secara ajaib
(mengubah diri seperti roh, atau terbang ke tempat tujuan). Dalam sekejap mata
dipercayai sudah mencapai tujuan, seperti dalam mimpi.

3
Contoh Peraga dari Begu Ganjang adalah koleksi di Jl. A.I.S. Nasution 29, Sibolga
22811, yakni sebuah patung metal harimau, ukuran panjang sekitar 15 cm, berlobang di
punggung tempat memasukkan pupuk sibiangsa.
4
Begu Ajakan, “harimau tunggangan”. Nama ini membedakannya dari begu hundulan
(harimau tunggangan= white magic). Marga Lontung, utamanya Siregar (Siampudan),
dikatakan mewarisi “ilmu sitelpang”, kemampuan misterius meniru ilmu Si Boru Pareme,
sang ibunda Lontung, untuk menggunakan jasa harimau mendukung hidupnya. Selain
lewat berburu binatang menjadi makanannya, dikembangkan juga “Ilmu Sihunduli”, ilmu
untuk menjadikan harimau menjadi tunggangan membawa “tuannya” secara ajaib ke
mana suka.

______________________________________________________________________ 2
Seminar Begu Ganjang di Paroki St. Pius X Aek Kanopan-Agustus 2008
Cairan metal yang disumpahi itu lantas dituang menjadi patung harimau, begu
ganjang. Lantas ia dipuja dan dijadikan magic.

Pada waktu yang dibutuhkan untuk melakukan ofensif kepada musuh, patung
begu anjar diojur (dielek-puja) agar bersedia disuruh ke tempat tujuan. Dia pun
diajari siapa yang akan dijadikan sasaran dan bagaimana ia harus menunaikan
tugasnya.

Pada hari H pengutusan begu ganjang yang pertama diojur adalah pupui
sibiangsa. Dia disumpahi agar setia kepada janjinya yang semual, lantas
“dipesani” melakukan misi tertentu. Tumpur ma baba ni sibaoadi, na sai
mangondam hutanmi. Kemudian diojur pula begu ganjang agar bersedia
membawa situmpur panghunduli, atau situmpur pangarobur (sibiangsa) ke
tempat tujuan. Lalu diadakan ritual paborhathon. Dengan mangmang (mantra)
dan tabas pamorhati, begu ganjang diberangkatkan dan diutus.

Perlu diberi waktu kepada begu ganjang malakukan misinya. Datu pamorhati
melakukan sitagangi. Biasanya, sitagangi adalah magic berupa dramatisasi ritual
pangaroburon terhadap musuh. Ada orang membuat parsili, patung manusia
dari anak pisang yang diukir menyerupai wajah manusia. Parsili disumpahi dan
ditusuki atau dirusaki seperti merusak langsung musuh termaksud. Ada juga
yang melukis gambar, atau langsung mengambil foto dari musuh tertuju.
Gambar atau foto itu disiksa atau dirusak seperti menyiksa atau membunuh si
musuh langsung.

Diyakini bahwa begu ganjang bersama dengan situmpur panghunduli sungguh


melakukan misinya. Begu Ganjang sendiri diyakini, oleh “kekuatan mental atau
tenaga batin atau tenaga dalam – dan mungkin pernah terjadi, tetapi di sini
cukup banyak terjadi sulap penipuan – sungguh melakukan misinya dan sang
musuh sungguh dihancurkan.

Tetapi sebenarnya, yang lebih menentukan, bukan kemampuan datu panogos,


melainkan kondisi labil dari sasaran. Semakin sasaran merasa terancam dan
ketakutan, semakin empuk pulalah ia menjadi mangsa.

Demikianlah korban-korban berjatuhan secara tidak masuk di akal dan orang


seperti kehilangan nalar yang sehat sehingga bertindak membabibuta. Ini timbul
dari kondisi kejiwaan yang berstatus panische Angst (kecemasan yang berstatus
panik).

II. ANALISA HAKEKAT KEKALUTAN

Sukar menentukan dengan persis timbulnya dan sebab timbulnya perilaku


bengis yang tiba-tiba sampai mempertontonkan sadism dalam perilaku begu
ganjang . Mungkin hal-hal berikut dapat dikatakan mengenai analisis psiko-
kultural gejala begu ganjang.

1. Gejolak Culture Shock Batin

______________________________________________________________________ 3
Seminar Begu Ganjang di Paroki St. Pius X Aek Kanopan-Agustus 2008
Pertama pada tataran psikhe. Sejak pengembangan kekristenan, dan berduyun-
duyun orang Batak menganut kekristenan. Setiap perubahan isi keyakinan harus
tunduk kepada peribahasa Perancis: “Partir est mourir en peau: berpisah berarti
mati sedikit” Mati kepada tatanan yang ditinggalkan dan lahir pada milieu yang
diampu. Partir est mourir en peau berlaku baik terhadap perubahan isi maupun
perobahan cara. Setiap perobahan suasana hidup mengandung satu mourir en
peau, sehingga di sini terjadi mourir en peau ganda, alias pendobelan. Misalnya
di Amerika Serikat, tahun 1970-an terjadi Culture Shock karena perilaku generasi
muda yang dengan gampang menganut “pergaulan bebas”. Banyak generasi tua
yang tak sanggup “mencerna” gaya berpakaian, You Can See dan dansa-dansi
yang tak mengenal batas. Nudisme menjalar di Swedia ke seluruh Eropa lantas
ke seluruh dunia. Skaralitas sakramen pernikahan dengan gampang dilanggar
atau dilupakan. Orang menjadi gamang, cemas dan bingung.

Batak sejak abad ke-20 tercatat mangalami sekurang-kurangnya 5 (lima) unit


Culture Shocks. Batak telah mengubah keyakinan keagamaan dan secara
bergerombol meninggalkan agama tradisional untuk menganut agama Kristen
dan Islam. Ini menghasilkan sepasang mourir en peaus. Sudah pada peralihan ini
terjadi kegamangan, kecemasan, kegoncangan dan perilaku aneh. Dalam
bahasa modern, di sini telah dibukukan satu stress berat.

Kemudian sudah juga terjadi bidang komunikasi dalam arti yang sangat luas.
Dahulu orang hidup dengan tenteram (splendid isolation) di desa yang
terpencil, di bawah lindungan alam, pamong pemerintah dari pangulu, dan dewa
rohani dalam diri datu, kemudian pastor dan pendeta. Di sini terjadi double
mourir en peau. Manusia pelakunya menerima juga kegamangan, kecemasan,
kegoncangan, dan perilaku aneh, tatkala melihat deretan mobil, lampu merah,
televise yang menghadirkan gambar-gambar yang mengatasi daya pikirnya,
sampai kepada internet. Informasi dari seluruh dunia langsung masuk ke dalam
rumah.

Milieu kehidupan bersama dengan pergaulan mengalami juga Cultural Shock.


Dahulu, orang sudah senang mengenal dengan akrab dan aman sesama
penghuni kampung. Sekali-sekali pergi ke keramaian pasar, tetapi sehariannya
peri kehidupan mengalami paradis splendid isolation. Sekarang terutama
kehidupan kota menyodorkan ribuan orang sekaligus. Menghafal namanya saja
kita telah mengalami Cultural Shock, sebab lebih banyak pertanyaan
“Bagaimana dan siapa itu?”. Ini juga menyodorkan stress yang tak terpaparkan
lewat data yang akurat.

Berikut adalah Cultural Shock bidang konsumerisme. Ada jaman orang pagi-pagi
bertanya: Apa kita makan hari ini (masa kelaparan). Setelah kemakmuran
bertambah, maka pertanyaanya berubah: Di mana kita makan: di hotel, di
restaurant, di warung dalam rumah tangga sendiri. Kemudian berlanjut menjadi
pertanyaan: Siapa kita makan hari ini. Bagi orangtua karir, baik bapak maupun
ibu, kesulitan terkadang timbul bagaimana “memperkenalkan anak kepada
ayahnya”, sebab sang ayah karena karier sudah berangkat pagi-pagi dan masuk
rumah larut malam. Kalau dahulu, acara memask dan makan bersama satu

______________________________________________________________________ 4
Seminar Begu Ganjang di Paroki St. Pius X Aek Kanopan-Agustus 2008
keluarga menjadi ritus ikatan keluarga inti – ayah, ibu anak-anak dan mertua –
maka sekarang ini, orang tak sempat duduk bersama pun. Makanan diabil secara
instant, makan di restoran atau baw bontot (ke sekolah) dan waktu lebih banyak
digunakan di luar rumah daripada menjadi tondi ni jabu. Dapat dikatakan bahwa
sendi-sendi ikatan keluarga dan tata nilai mengalami revolusi yang tak sanggup
dicerna tanpa kecemasan, kegamangan, ketakutan, frustrasi dan stress. Ada
orang yang tak snaggup keluar rumah menghadapi kepadatan lalu lintas di jalan
raya.

Yang terakhir dari Culture Shock adalah hedonisme. Orang berlomba mau hidup
senang. Hiburan dan entertainment baik di masyarakat luas maupun pada
tayangan elektronik menjadi pelarian untuk bersembunyi dari kerasnya
tantangan dari perjuangan-perjuangan di atas. Memang manusia pada dasarnya
cenderung untuk hidup senang dan menikmati kesenangan. Berkembanglah
budaya hedonisme lewat tontonan atau gambar-gambar seronok, sampai
kepada pergaulan ceklek anara muda-mudi. Hal ini dikembangkan kepada
pelarian high, lewat minum-minuman, narkoba, sabu-sabu, rumah remang-
remang, judi dlsb. Kekalutan dan Shock batin adalah sangat besar, karena di
satu pihak nurani adat tradisional sangat bertentangan dengan adat baru ini,
dan di pihak lain, tatanan nilai dan etika tradisional secara langsung dan tanpa
argumentasi dijadikan tertuduh sebagai kolot. Budaya baru diberi lebel modern
dan “mulia” yang harus diberi jalan masuk dan segala lainnya adalah untuk
menyingkir.

Suatu bahan bakar kepada kekalutan batin dan psyche yang sangat membuat
orangtua stress berat, sekarang ini adalah terpaan ancaman untuk hidup. Adalah
bencana tsunami, bencana gempa, banjir, letusan gunung berapi, lumpur panas
yang sangat mengkalutkan batin dan memaksakan kecemasan hidup,
metaphysische Angst, bagi setiap nurani. Hal ini ditambah oleh “budaya
kekerasan” seperti di Poso, Ambon Papua. Hidup manusia terkadang dihargai
tak kurang dari hidup seekor ayam, yang disembelih dan dicabut nyawa telah
singgah ke strata kita, di ambang pintu rumah, dan bahkan ke pust rumah
sendiri lewat televisi.

Pertanyaan: Dimana inti rumah tangga yang dahulu memberikan ketenangan


dan keamanan hidup? Semuanya itu, untuk sekarang ini, telah menjadi hancur
berantakan dan tinggal hanya debu-debunya. Kendati batin dan nurani kita
sangat kalut, dalam menantikan oase kedamaian, tetapi kita pada poin
perjalanan hidup sekarang ini, dihadapkan bukan kepada pilihan alternatif ,
melainkan terpaksakan kepada melangkah masuk ke jalan yang “penuh ranjau”
kekalutan dan kecemasan. Dalam batin dan pada fundamen nilai-nilai kehidupan
yang dibangun selama ini, kita mengalami ketakutan, kecemasan, kegentaran,
ketidk-pastian dan keengganan yang harus disambut dan diolah. Padahal
kekuatan kita sudah berkeping-keping dan tampa rakitan. Quo Vadis
kepribadian, keluarga dan budaya Batak yang sudah dibangun selama
eksistensinya?

2. Muara Begu Ganjang

______________________________________________________________________ 5
Seminar Begu Ganjang di Paroki St. Pius X Aek Kanopan-Agustus 2008
Tiga magma besar adalah dapur pemompa musibah begu ganjang. Yang
pertama adalah rasa keterjepitan di antara kutub-kutub tata nilai dan
pemaksaan harus melangkah ke arah yang berkenan pada nurani. Inilah rasa
frustrasi yang memaksakan stress berat dan menambah jumlah orang “sinting” .
Orang sinting jelas bertindak tidak menurut logika dan budi yang sehat. Ia
merasa frustrasi dan bertindak menurut etika sesat yang belum dicernakan
menurut akal sehat.

Yang kedua ialah paranoia atau panische Angst, yakni ketakutan yang besar dan
mengatasi daya nalar budi. Kita hidup seolah menunggangi “kuda liar” yang
lajunya kencang dan tak mungkin dapat diolah dengan memuaskan. Korban-
korban perjalanan hidup sudah pasti berjatuhan. Pengalaman hidup di sini
kembali kepada arketipe atau model dasar Batak, tatkala Si Boru Deang Parujar,
dalam menempa bumi, di Lautan Lapaslapas, yang ganas dan tanpa belas-
kasihan, digempur dan dibinasakan oleh Naga Padoha. Jeritan batin itu menjadi
arketipe: Boasa ma paloasonmu ahu, ale Debata Mulajadi Nabolon, mampar tu
laut parsorion, dipasampaksampak galumbang, dipaharatharat gurampang na
bolon, dipasursrsursar Naga Pahoda, hape gok dame do huta ni damang Batara
Guru di Banua Ginjang? Ua, tongos ma tano sampohul bahen hundulan
hamenakan !

Ternyata tidak ada jawaban penghiburan. Kita dinasibkan harus mengarungi


hidup keras dan mencemaskan. Jeritan itu dari St. Agustinus gambling kita
rasakan dan kita reguk dengan pahit: “Cemas-gelisahlah hati kami, Ya Tuhan,
sebelum beristirahat di dalam Engkau” (Confessio I, 1).

Yang ketiga ialah pola dosa asal menurut versi budaya Batak. Hakekat dosa asal
ialah sendiri merasa bersalah tetapi kesalahan dituduhkan pada orang lain, yang
dianggap sebagai ancaman. Ndang ahu, ale Tuhan, siparsala i, boruboru i do.
Orang lain selalu bersalah dan aku selalu terancam.

Pola budaya Batak dalam mengungkapkan dosa asal itu mengambil dua corak.
Pertama, Naga Padoha, Si Raja Iblis, telah memakai kaki-tangannya, roh-roh
jahat dan hantu penyakit telah menyerang dan menerpa bumi manusia untuk
memaksakan kebinasaan. Keadaan hidup kita adalah seperti dahulu, tatkala
Naga Padoha menyerbu bumi manusia dengan begu harera, begu ngenge, begu
nurnur, begu monggop, begu pangambat. Manusia berseru kepada kepada
Dewata Mulajadi Nabolon, yang dahulu sudah menaklukkan Naga Padoha, tetapi
rasanya para Dewata membisu seribu bahasa. Manusia mengalami frustrasi.

Pola kedua ialah tradisi Batak dalam menghadapi ancaman musuh. Mereka
mengembangkan Sibiangsa dan begu ganjang. Di sini berkembanglah panische
Angst dan paranoia, yakni ketakutan yang amat sangat. Api pemantiknya adalah
pengalaman hidup, pada umumnya pada dua sisi, yakni : sakit hati dan
kecemburuan. Inilah wujud nyata dari rasa terancam dan kepanikan batin. Bila
berjangkit suatu penyakit alami, logika kepanikan berkata: Marsahit pe hita di
huta on ulaula ni si anu do i, Ibana do parutiutian dohot parujarujaran di huta on.
Molo naeng mangolu hita, ibana do ingkon pusaon. Hugoit ma ho, songon na

______________________________________________________________________ 6
Seminar Begu Ganjang di Paroki St. Pius X Aek Kanopan-Agustus 2008
nengel, molo dung mangholom ari pintor disubur do pangulubalangna dohot
begu ganjanna i, padalanhon botobotoanna i.

3. Nir-Logika Begu Ganjang

Ketak-masuk-akalan logika begu ganjang ialah ketakutan besar, kepanikan dan


kesintingan, yang secara ajaib dan membahana meluas kepada hampir semua
hati penduduk, Goit parhusipon songon na nengel dianggap sebagai logika yang
paling masuk akal dan langsung diterima sebagai kebenaran satu-satunya. Nalar
biasa dan budi nurani biasa dianggap tidak berlaku, atau bahkan dianggap
“sinting”, parhata-lalaen. Jawaban yang diharapkan kepada goit parhusipon
songon na nengel hanyalah: I do tutu, ba. Ahu pe nunga huida na masa i.

Bukan saja logikanya telah menganut goit songon na nengel, tetapi juga cara
pelampiasannya tidak ditapis lewat nalar yang sehat. Pendeknya berlaku
silogisme molo boti. Molo boti do hape, ingkon siusiron , sisurbuon jala sipusaon
ma bona ni gora. Tole tasurbu, tapaisir, tapusa. Demikianlah berjatuhan korban-
korban kesintingan logika yang tak berkeperi kemanusiaan, tak masuk akal dan
melanggar segala tatanan mapan dalam adat dan budaya. Alasannya, ketakutan
amat sangat, panische Angst, paranoia.

Bila kita amati daerah-daerah yang paling dilanda oleh wabah begu ganjang
terutama adalah wilayah yang mungkin dapat disebut Midah Ko (Miskin, datu,
hosom, komunis). Daerah-daerah miskin dengan tradisi surogat parminum,
parjuji, adalah paling rawan, karena rasa frustrasi dan stress sosial yang paling
gawat. Kemudian daerah pardatudatu, parutiutian, parujarujaran, sebab frustrasi
mengahadapi hidup selain lewat magic dan black magic. Alasannya tetap
panische Angst dan paranoia. Bagi daerah-daerah hosom dohot late, karena
dimana orang merasa frustrasi, muatan dosa asal muncul ke permukaan. Bukan
aku Ya Tuhan, tetapi dia adalah mungka ni singkam mabarbar. Dengan segala
daya pusat ancaman ini ingin dipusa jala dirobur. Daerah komunis sebab
ideology ini meninggalkan tiga luka besar yang sangat gawat. Komunis
menghapus tempat Allah, Mulajadi Nabolon dan Debata Natolu (Batara Guru,
Soripada, Mangalabulan). Komunis menghapus system marga yang berdasarkan
sumangot ni ompu. Tatanan pemberi rasa aman dan partuturon yang merupakan
Bibel Batak, dengan sekali gunting, dikerat dari akarnya. Berikutlah etiket
habatahon juga digunting, yakni pantun hangoluon, tois hamagoan. Habasaon
urat ni ngolu, hatomanon urat ni pasupasu. Seluruh tatanan nilai dan ethos
pengaman ini langsung dijungkirbalikkan oleh komunisme.

Bagaimana pun secara tidak masuk akal bumi Batak secara luas telah dilanda
tulah begu ganjang. Sangat menyedihkan dan memalukan bagi daerah yang
sudah disirami-resapi oleh Injil 144 tahun, sejak apostel Batak, tuan Ingwer
Hendrik Nommensen, sampai di Huta Dame Tarutung 1863.

III. MENAWAR TULAH BEGUGANJANG

Dari analisis psiko-kultural yang kita temukan kiranya dapat disimpulakan bahwa
sumber singkam mabarbar atau sebab dari musibah begu ganjang adalah rasa

______________________________________________________________________ 7
Seminar Begu Ganjang di Paroki St. Pius X Aek Kanopan-Agustus 2008
takut, kecemasan, kekalutan batin dan frustrasi. Lewat bermacam culture
shocks yang dialami secara keras dan bengis, maka pada akhirnya manusia
Batak dihadapkan kepada paranoia dan panische Angst alias malitondi
hariboriboan, siala haliapan jala halipurpuran.

Pertanyaannya, bila suatu desa atau wilayah dilanda oleh begu ganjang ,
makalah upaya penawar yang mungkin menurut tradisi budaya Batak ? Adakah
suatu bentuk upacara atau ritual penawar pemadam api musibah yang dahsyat
dan tak masuk akal ini?

Sebelum kita berpretensi mampu mengatasinya, dari awal harus dikatakan


bahwa tidak semua jenis musibah seperti ini teratasi. Tergantung dari timbunan
magma panische Angst yang sudah menggumpal dari perjuangan dari
perjuangan dan frustrasi hidup yang dialami. Parameter pengukuranya pantas
ditepis dari segii merebak kemiskinan , kadar praktek datu ujarujaran, tingkat
hosom-late yang ada dan rembesan ideology komunisme. Bila ini sudah
bertimbun melewati ambang batas, kita hanya dapat melakukan etiket harera
Batak: Tak dapat banyak, terpaksa kita membiarkan kepada nasibnya, mari kita
pergi meninggalkannya.

Namun bila kadar intensitasnya masih manageable, tolerable, serentak sebagai


antisipasi, kita hendak mengutarakan cara dan upacara, sbb: Pertama adalah
penegasan praktek yang sudah mendarah-daging bagi Batak, dari pengalaman
hidup dan asahan logika hidup, sejarah hidup Batak telah sering dilanda musibah
masal.

Sesuai dengan kepekatan kesatuan psiko-somatis Batak, kesatuan jiwa dan


badan,

(maaf, sedikit bagian akhir dari tulisan ini, entah karena apa hilang.
Saya masih sedang mengkontak Ompung untuk melengkapinya)

TUAK DAN BEGU GANJANG: TINJAUAN


PSIKOLOGIS
Semi Loka – Pesta PAK Se-Paroki St. Pius X Aekkanopan

P. Dr. Sirilus Senator Manalu, OFMCap.

Pengantar

______________________________________________________________________ 8
Seminar Begu Ganjang di Paroki St. Pius X Aek Kanopan-Agustus 2008
Melihat judul tulisan ini, “Tuak dan Begu
ganjang”, secara spontan timbul pikiran bahwa
tulisan ini merupakan tulisan yang sungguh-
sungguh korelatif atau sebab akibat. Artinya
dengan tulisan ini kita akan menemukan
hubungan korelasi positip atau negatif antara tuak
dan begu ganjang. Dengan korelasi positif
dimaksudkan bahwa bila semakin banyak orang meminum tuak
maka akan semakin tinggilah kemungkinan adanya pemelihara
begu ganjang sebaliknya dengan korelasi negatif dimaksudkan
bahwa semakin banyak orang meminum tuak semakin sedikitlah
terjadinya pemelihara begu ganjang. Dengan hubungan sebab-
akibat dimaksudkan bahwa minuman tuak akan menyebabkan
adanya pemelihara begu ganjang.

Dengan rendah hati harus diakui bahwa tulisan ini tidaklah


lahir dari suatu penelitian korelasi dan sebab-akibat seperti
disebutkan di atas tetapi justru mau melihat beberapa factor yang
mungkin bisa diteliti secara dalam oleh para peneliti yang tertarik
akan topic tuak dan begu ganjang. Dengan demikian, tulisan ini
hanyalah pemancing inspirasi bagi para peneliti untuk membuktikan
kebenaran-kebenaran yang diungkapkan dalam tulisan ini.

Tuak dan Begu Ganjang adalah dua topic yang sangat


berbeda. Akan diusahakan oleh penulis menjembatani keduanya
secara psikologis. Tinjauan ini tentulah jauh dari sempurna. Tulisan
ini justru menantang penulis untuk meneliti secara lebih rigid/keras
efek tuak dalam kehidupan bermasyarakat bahkan dalam konteks
masyarakat yang sering diganggu oleh issu begu ganjang.

Tulisan ini seperti judulnya akan berbicara pertama-tama


tentang tuak, lalu begu ganjang. Tulisan akan ditutup oleh bagian
ketiga yaitu koneksi antara tuak dan begu ganjang.

BAGIAN PERTAMA:

TUAK EFEKNYA UNTUK PRIBADI DAN KEHIDUPAN BERSAMA

______________________________________________________________________ 9
Seminar Begu Ganjang di Paroki St. Pius X Aek Kanopan-Agustus 2008
Saya yakin, kita semua mengenal minuman tuak. Kalau kita belum
pernah mencicipinya, saya yakin kita pernah melihatnya.

Apa itu tuak?

Tuak adalah salah satu minuman yang masuk dalam golongan


alcohol, hasil fermentasi dari bahan minuman/buah yang
mengandung gula. Umumnya tuak di daerah Sumatera Utara
terbuat dari tanaman/pohon aren atau kelapa.

Tuak adalah alcohol yang berkadar rendah, harus banyak


diminum supaya bisa mencapai efek yang bisa diharapkan bila
dibandingkan dengan minuman alcohol lainnya seperti bir dan
anggur. Sebagai bagian dari alcohol, tuak adalah minuman
psikoaktif yang diklasifikasikan sebagai minuman yang membuat
tenang (depressant), yang berarti bahwa minuman ini akan
menekan berbagai kegiatan dari system saraf sentral para
peminumnya. Pada mulanya, tuak ini nampaknya bekerja sebagai
pembuat stimulasi (stimulant) karena hal ini mengurangi rintangan-
rintangan dalam saraf tetapi kemudian hal ini menekan banyak
reaksi fisiologis dan psikologis (Plotnik, 1999:182).

Dan untuk peminum tuak, tuak ini menjadi bagian dari


bevarages yang harus diminum khususnya pada malam hari. Tidak
heran, kedai-kedai tuak sering dipenuhi oleh para peminumnya yang
mayoritas adalah bapak-bapak dan pemuda-pemuda. Para peminum
ini dengan sendirinya akan meninggalkan rumah mereka pada pada
sore hari dan kembali dari kedai tuak pada malam hari (hingga larut
malam atau subuh). Jarang sekali orang membeli tuak lalu
meminumnya di rumah.

Daya tarik tuak ini tidak perlu diragukan lagi mengingat


begitu banyak bapak dan anak muda yang sungguh-sungguh
menikmati hidupnya di kedai khususnya pada sore dan malam hari.
Apalagi untuk menambah daya tarik tuak ini si pemilik kedai sering
juga menyediakan makanan pelezat (tambul) dan berupa
permainan seperti main judi.

Sampai sekarang, minuman tuak masih sangat merakyat di


daerah Sumatera Utara apalagi untuk orang Batak Toba yang
tinggal di bona pasogit atau tempat-tempat lain. Hampir di setiap
kampong ada kedai yang sering dinamakan kedai tuak atau lapo

______________________________________________________________________ 10
Seminar Begu Ganjang di Paroki St. Pius X Aek Kanopan-Agustus 2008
tuak. Di kota Siantar dan kota-kota kecil lainnya pastilah juga
terdapat beberapa kedai tuak. Walaupun tidak hanya tuak
dihidangkan di kedai tersebut, namun nama kedai itu justru diambil
dari minuman tuak ini.

Bila meminum sedikit, tuak akan mencipta keramahan. Semakin banyak, tuak
akan mengganggu kemampuan peminumnya untuk mengerti kejadian-kejadian
penting yang berlangsung di sekitarnya. Semakin banyak diminum maka orang
tersebut akan secara serius mengalami gangguan koordinasi gerak tubuh, kemampuan
pikiran, membuat keputusan dan bicara. Bila semakin banyak, alcohol bisa membuat
pingsan, koma dan kematian (Plotnik, 1999:182).

Alasan Minum Tuak

Ada beberapa alasan mengapa orang minum tuak. Alasan itu bisa
terungkap secara spontan, bisa diamati dan bisa juga dianalisa
sebagai berikut:

1. Menyehatkan. Tuak itu sering dianggap berguna antara lain menyehatkan,


menghangatkan dan menyegarkan orang yang meminumnya. Tuak termasuk
sumber vitamin, sama seperti buah apel. Dengan demikian tuak juga memberi
kekuatan dan bila cuaca dingin, tuak akan menghangatkan. Dalam pesta Batak
misalnya seperti pesta adat, minuman ini sering disuguhkan. Selain karena
memang minuman ini tidaklah dilarang atau diperbolehkan serta harganya pun
bisa terjangkau bila dibandingkan dengan jenis alcohol lain seperti anggur dan
bir, minuman ini membuat suasana pesta dan kebersamaan lebih hangat dan
bersemangat.
2. Obat Penenang. Tuak juga menjadi semacam obat penenang. Bila sulit tidur,
tuak akan membuat gampang tidur. Tuak sering dianggap sebagai obat
termasuk obat untuk orang-orang yang kurang merasa enak badannya.
3. Alat sosialisasi. Tuak adalah minuman yang diterima umum sebagai minuman
yang menghangatkan grup, pesta bahkan peserta sermon. Tuak membuat
sosialisasi di kedai menarik dan menghibur. Para peminum yang berkumpul
seringkali mengekspressikan diri dengan ngobrol-ngobrol, main judi, nyanyi-
nyanyi dan sekali-sekali bertengkar dengan teman sekedai.
4. Obat stress. Sebagian menggunakan tuak itu sebagai obat stress. Masalah yang
terjadi di dalam pekerjaan, di dalam hubungan interpersonal di rumah tangga
sering diatasi dengan tuak. Stress membuat mereka susah, tetapi dengan minum
tuak, masalah itu bisa dilupakan dan perasaan menjadi enak. Malah, ada
kemungkinan bahwa candu dalam alcohol atau hal-hal lain kemungkinan bisa
diassosiasikan dengan isolasi dan hubungan interpersonal yang sangat miskin
atau kering sehingga obat sakit dan kesepian didapat dari obat-obat terlarang
termasuk alcohol. Kemungkinan besar, wanita menjadi alkoholik karena

______________________________________________________________________ 11
Seminar Begu Ganjang di Paroki St. Pius X Aek Kanopan-Agustus 2008
gangguan afektif yang tidak didapatnya di dalam keluarga sedangkan laki-laki
yang menjadi alkoholik karena kegagalan dalam hubungan akan cenderung
berperilaku antisocial(bdk. Straussner dan Zelvin, 1997: 37). Tuak bisa
dijadikan sebagai obatnya.
5. Ritus kedewasaan. Dalam beberapa budaya di luar negeri, minum banyak
alcohol merupakan ritus untuk menuju kedewasaan (Straussner dan Zelvin,
1997: 299). Artinya kalau si pemuda telah sanggup minum banyak alcohol, dia
sudah bisa diterima sebagai orang dewasa. Di daerah ini, minum tuak juga
tanda bahwa dia sudah termasuk orang yang dewasa.
6. Tuak membuat berani. Ada orang yang takut berkelahi atau tampil di muka
umum. Maka untuk para penakut, tuak memicu keberanian baik untuk melawan
orang lain maupun untuk tampil di depan umum.

Nampaknya, fungsi-fungsi di atas sangat positip. Individu terbantu oleh tuak itu
sendiri karena memang tuak ini beralkohol rendah. Namun bila dipelajari dan dilihat
dari kenyataan yang ada, tuak itu memberikan efek negatif yang lebih banyak untuk
para peminumnya. Secara pelan-pelan dan bertahap tuak atau alcohol lainnya
menuntun orang yang meminumnya menjadi seorang alkoholik. Peminum tuak sering
terpaku pada alasan minum tuak di atas. Jarang orang melihat efek tuak itu sendiri.
Kalaupun dilihat, karena sudah terbuai oleh perasaan enak yang ditimbulkan oleh tuak
tersebut, orang tetap bertahan minum tuak. Malah rationalisasi dipakai untuk
membenarkan aktivitas minum itu dengan menekankan aspek positipnya. Tetapi
benarkah bahwa aspek positip dari minum ini ditekankan?
Orang Amerika telah melihat bahaya alcohol itu sendiri. Karena itu mereka
telah mengkategorikan alkoholisme sebagai penyakit. Alkohol adalah penyebab
gangguan kesehatan yang ketiga paling berbahaya sesudah kanker dan penyakit
jantung. Karena alcohol ini secara signifikan telah berkaitan dengan berbagai masalah
pribadi dan social di masyarakat, banyak orang berpendapat bahwa inilah minuman
yang paling berbahaya bila dibandingkan dengan semua minuman atau zat-zat legal
dan illegal. Untuk membuktikan itu, mereka menunjukkan persentasi bahaya yang
telah disebabkan oleh alcohol sebagai berikut(Plotnik, 1999:183):
- 90% dari pemerkosaan di kampus berkaitan dengan alcohol oleh pemerkosa
bahkan juga pada korban.
- 68% yang tertuduh sebagai terlibat dalam pembunuh manusia dan 63% pelaku
telah menggunakan alcohol.
- 63% kejadian dimana suami melakukan kekerasan terhadap isteri terlibat
alcohol.
- 46% kematian di jalan raya juga berkaitan dengan alcohol.
- 50% mahasiswa dan 39% mahasiswi telah terlibat binge (memuntahkan yang
dimakan).
- 35% mahasiswi minum dan mabuk sementara 15 tahun lalu hanya 10%.
- 11% kecelakaan dalam pekerjaan karena alcohol.
- 8-21% bunuh tejadi karena alcohol.
- 7% mahasiswa tingkat 1 berhenti kuliah karena alcohol.

______________________________________________________________________ 12
Seminar Begu Ganjang di Paroki St. Pius X Aek Kanopan-Agustus 2008
Apa yang terjadi di Amerika mungkin telah terjadi di Indonesia, tetapi karena data-
data kita belum terekam dengan baik seperti halnya di Amerika, maka informasi
bahaya alkoholik masih sangat terbatas apalagi yang ada kaitannya dengan tuak di
daerah kita.

Menjadi Alkoholik

Terbuai oleh enaknya minum tuak, secara pelan-pelan


peminum digiring ke alkoholisme. Telah diterima umum di Amerika
bahwa alkoholisme adalah suatu penyakit kronis yaitu suatu
penyakit yang telah dibentuk melalui beberapa tahapan minum.
Artinya, penyakit ini mengikuti tahapan-tahapan tertentu sehingga
akhirnya orang tersebut akan disebut alkoholik.

Menurut Pita (Pita: 28-31), para peneliti telah memberikan


fase-fase bagaimana seorang peminum bisa menjadi alkoholik
sebagai berikut:

1. Fase Pra-alkoholik (Prealcoholic Phase). Pada fase ini minum


alcohol sudah mulai dimotivasi secara social. Orang tersebut
telah mengalami kesegaran sesudah minum dan sudah
mencari-cari berbagai kesempatan untuk minum dan
mengalami yang sama. Hubungan antara minum dan
menghilangkan stress telah dibuat secara sadar. Karena itu
minum telah digunakan untuk mengatasi masalah. Begitulah,
fase ini bisa terjadi beberapa bulan sampai dua tahun
sehingga toleransi terhadap minuman semakin kuat. Toleransi
artinya, orang tersebut harus meminum lebih banyak alcohol
untuk mencapai perasaan yang sama.
2. Fase Sakit (Prodromal Phase). Pada fase ini sudah ada tanda-
tanda bahwa dia mulai sakit. Hal itu nampak dari fase
blackouts, artinya orang tersebut kehilangan ingatan untuk
sementara. Hal ini menjadi bukti bahwa dia tidak lagi
meminum alcohol sebagai minuman biasa (beverages) tetapi
sudah menjadi kebutuhan. Orang tersebut sudah semakin
banyak minum sebelum pesta, dan sering menyembunyikan
minuman di kamarnya untuk memenuhi kebutuhan minumnya.
Minum sendiri ini juga dibuat agar menghindar dari
konsekuensi negatif dari orang lain.
3. Fase Krusial (Crucial Phase). Fase ini ditandai dengan
kehilangan control atas minuman itu. Orang tersebut memiliki
kebutuhan untuk selalu minum. Untuk itu dia membuat
rationalisasi atas kebutuhannya untuk minum tersebut.

______________________________________________________________________ 13
Seminar Begu Ganjang di Paroki St. Pius X Aek Kanopan-Agustus 2008
Memang dia sendiri pun sudah merasa bahwa ada sesuatu
yang salah tetapi tak bisa menerangkannya. Sering dia merasa
berdosa atas kebutuhannya akan minum. Pada fase ini,
hidupnya sudah dikontrol dan berpusat pada alcohol.
Perhatian dan persahabatan/tanggungjawabnya atas keluarga
drastis menurun.
4. Fase Kronik (Chronic Phase). Fase ini ditandai dengan minum
pada pagi hari dan mabuk sepanjang hari. Orang tersebut
butuh minum untuk bisa berfungsi di pagi hari dan seringkali
nampak bahwa orang tersebut tremor bila tidak minum.
Alkohol akan menghilangkan tremor dan membuat orang
tersebut bisa berfungsi biasa. Sedikit alcohol saja telah bisa
membuat dia mabuk. Toleransi alcohol akan semakin
meningkat sehingga perlu meminum lebih banyak lagi untuk
menghasilkan rasa enak. Proses berpikir sungguh rusak.
Proses inilah yang menghasilkan kecemasan dan rasa panic.

Bahaya Alkoholik

Kita melihat dari keterangan di atas bahwa alcohol sungguh


menghancurkan hidup individu. Dengan menghancurkan hidup
individiu, alcohol juga secara tidak langsung menghancurkan hidup
keluarga dan bersama. Jadi walaupun tidak berkadar tinggi, alkohol
bila disalahgunakan akan mengakibatkan gangguan-gangguan yang
kompleks dalam bidang biologis, psikologis dan social yang
kemudian punya pengaruh yang besar untuk masyarakat (Butcher,
et.al, 2004: 388). Kekuatan tuak untuk menghancurkan orang
terletak dalam kadar alcohol yang rendah serta rasa khusus yang
diberikannya kepada si peminum. Secara pelan tetapi pasti, tuak
akan membuat si alkoholik kehilangan control atas dirinya sehingga
dia tidak akan bisa lepas dari alcohol itu lagi. Dengan kata lain
alkoholik tidak akan mampu sembuh dari penyakitnya lagi. Bila
tidak diobati si alkoholik akan membutuhkan alcohol lebih banyak
secara permanent dan pelan-pelan akan menggiring si peminum ke
kematian. Dengan demikian alkoholik adalah penyakit terminal.

Karena bahaya ini, para ahli medis di luar negeri (AMA), telah
menerima alkoholik (orang-orang yang sudah tergantung pada
alcohol) sebagai penyakit yang membutuhkan pengobatan medis.
Sangat umum diterima bahwa orang yang sudah candu dalam hal
minum alcohol tidak lagi memiliki control atas alcohol itu dan tidak

______________________________________________________________________ 14
Seminar Begu Ganjang di Paroki St. Pius X Aek Kanopan-Agustus 2008
memiliki kekuatan kemauan (will power) untuk berhenti (Pita, 1995:
23-26).

Tidak heran, alkoholisme didefenisikan oleh World Health


Organization (WHO) dan AMA sebagai suatu penyakit kronis,
progressif dan dapat diobati dalam mana orang tersebut telah
kehilangan control atas minuman tersebut shingga minuman itu
telah mengganggu bidang kehidupan yang sangat penting seperti
keluarga, hubungan dengan teman-teman, gangguan di sekolah
atau kesehatan ( “a chronic, progressive, treatable disease in which
a person has lost control over his or her drinking so that it is
interfering with some vital area of his or her life such a family and
friends and school or health.”

Atau seperti didefinisikan oleh Jellinek “Alkoholisme adalah


suatu penyakit sehingga penggunaan alkohol terus walaupun hal itu
menyebabkan berbagai masalah di setiap bidang kehidupannya.”
(Alcoholism is a disease in which the person’s use of alcohol
continues despite problems it causes in any area of life”) (Pita,
1995: 23-26).

Karena kehancuran individu dan bersama yang disebabkan


oleh alcohol ini, selain masalah kesehatan fisik (biologis) seperti
kerusakan lever dan otak (memori dan mengatasi masalah) ada
berbagai masalah yang ditimbulkan oleh alcohol ini antara lain
masalah psikologis seperti kelelahan kronis, gampang tersinggung
(oversensitivity) dan kesedihan mendalam (depressi) serta masalah
social seperti kurangnya perhatian pada keluarga serta berbagai
kesulitan dalam keluarga. Dalam hal hidup berkeluarga dan
bersahabat ini misalnya, karena orang tersebut sungguh dikurung
oleh pikiran minum ini sehingga dia tidak bisa menikmati hidup
bersama dengan diri sendiri, keluarga, teman-teman dan karir lepas
dari minuman ini sehingga alkohol merusak kesehatan individu,
merusak hubungan personalnya dengan orang lain dan merusak
kerjanya juga (Butcher, et.al.:385).

Situasi buruk individu di atas diperparah lagi apabila dia juga


menggunakan zat-zat lain seperti narkoba. Hal ini juga sangat
mungkin. Para ahli (McCrady & Epstein, 1999: 79-80) telah melihat
bahwa orang yang telah menyalahgunakan alcohol, juga akan
gampang menggunakan zat-zat lain (other substances). Kombinasi

______________________________________________________________________ 15
Seminar Begu Ganjang di Paroki St. Pius X Aek Kanopan-Agustus 2008
yang biasa adalah alcohol dan kokain juga nikotin. Bila hal ini terjadi
maka si alkoholik akan sangat terpuruk.

Walaupun efek alcohol ini sedemikian buruk untuk kesehatan


individu dan kehidupan bersama, alkoholik di Indonesia belum
dianggap sebagai suatu penyakit sehingga para peminum di
Indonesia tetap bebas berkeliaran. Dimana-mana di Sumatera Utara,
kedai tuak tetap dipenuhi oleh bapak-bapak dan pemuda-pemuda
siang dan malam. Dari sekian banyak bapak dan pemuda-pemuda
itu, banyak juga orang Katolik yang menjadi pelanggan tetap tuak.
Masalah-masalah yang menerpa individu seperti diterangkan di atas
tadi terjadi juga untuk orang-orang Katolik. Dengan kata lain,
banyak orang Katolik yang telah dililit oleh tali alcohol dan tak bisa
lagi lepas. Mereka ini hanya menunggu waktunya untuk dihajar oleh
alcohol dan mereka sendiri akan secara tidak sadar telah menderita.
Dan karena penderitaan mereka, alcohol ini juga secara tidak
langsung telah menyiksa banyak keluarga Katolik sekaligus,
keluarga yang tersiksa ini akan mengkontribusikan berbagai
pemasalahan social di Gereja dan masyarakat.

Hingga sekarang belum ada tindakan tegas dari pemerintah


untuk para peminum berat. Keluarga-keluarga yang melihat anggota
keluarganya alkoholik juga tidak bisa bertindak banyak karena
tiadanya perangkat ketegasan dari pemerintah mengenai status
alkoholik ini. Bila berhadapan dengan keluarga yang alkoholik,
mereka seringkali bingung dan menanggung masalah itu sebagai
salib yang harus dipikul. Pada hal bila ini diterima sebagai penyakit
seperti di Amerika, maka orang tersebut wajib dirumahsakitkan dan
harus menjalani rehabilitasi sebelum dilepaskan kembali ke
keluarganya.

Refleksi Psikologis

Sebenarnya efek negatif dari tuak untuk kehidupan bersama


telah dikenal oleh orang Batak sendiri dari pengalaman. Tuak ini
telah memberikan bahaya yang telah disadari oleh para
peminumnya seperti terungkap dalam ungkapan berikut yang
sumbernya sering tidak jelas:

______________________________________________________________________ 16
Seminar Begu Ganjang di Paroki St. Pius X Aek Kanopan-Agustus 2008
Nikmatnya Tuak

Satu gelas tuak, penambah darah

Dua gelas tuak, lancar bicara

Tiga gelas tuak, mulai tertawa-tawa

Empat gelas tuak, mencari gara-gara

Lima gelas tuak, hati membara

Enam gelas tuak, membuat perkara

Tujuh gelas tuak, semakin menggila

Delapan gelas tuak, membuat sengsara

Sembilan gelas tuak, masuk penjara

Sepuluh gelas tuak, masuk neraka

Melihat efek negatif dari tuak ini untuk pribadi peminum, tidak
heran begitu banyak keluarga asal alkoholik ini terganggu, dan
kalau mereka terganggu tentu masyarakat darimana dan dimana si
alkoholik tinggal juga terganggu.

Inilah beberapa gangguan yang mungkin disebabkan oleh si


alkoholik

1. Keharmonisan keluarga. Gangguan pertama yang mungkin


dialami oleh keluarga adalah keharmonisan keluarga. Orang-
orang yang sudah alkoholik tidak lagi peduli terhadap

______________________________________________________________________ 17
Seminar Begu Ganjang di Paroki St. Pius X Aek Kanopan-Agustus 2008
kesejahteraan keluarga tetapi sudah terpusat pada kebutuhan
pribadinya untuk minum. Si alkoholik seringkali tidak lagi bisa
mengerti mengapa anggota keluarga lain marah atau kecewa
terhadapnya, sebaliknya, dia justru meminta pengertian dan
dukungan atas kebutuhan minumnya. Bila hal ini tidak
terpenuhi, ketegangan, percekcokan akan terjadi. Akibatnya,
keluarga tidak lagi bisa hidup harmonis karena memang tidak
ada lagi sharing dan usaha untuk saling mengerti. Di keluarga
seringkali terjadi kesengsaraan, kegilaan dan neraka.
2. Gangguan ekonomi. Selain ketidakharmonisan, keluarga
alkoholik cenderung makin miskin. Banyak uang habis hanya
untuk memenuhi kebutuhan minum apalagi kalau orangnya
tidak berusaha lagi menambah matapencaharian tetapi justru
menghabiskan untuk diri sendiri. Dalam situasi ekonomi yang
makin sulit sekarang, banyak bapak dan pemuda tetap
mempertahankan cara hidupnya di kedai. Akibatnya, kesulitan
ekonomi di rumah tangga sangat dirasakan serta dukungan
dana untuk pendidikan anak-anak dan kesehatan sangat
minim kalau tidak ada. Maka keluarga sering mengalami
ketegangan setiap kali uang tidak tersedia lagi untuk
memenuhi kebutuhan kesehatan, pendidikan bahkan
kebutuhan rumah tangga. Anak-anak alkoholik seringkali tidak
mampu sekolah karena ketiadaan uang sehingga pendidikan
tetap rendah. Bila hal ini terus-menerus terjadi, maka keluarga
dan anak-anak akan tetap hidup miskin.
3. Gangguan kekerasan. Karena gangguan-gangguan di atas
hubungan interpersonal dalam rumahtangga seringkali
tergganggu dengan terjadinya percekcokan, kekerasan bahkan
perceraian. Anggota keluarga khususnya anak-anak tentu
seringkali menjadi korban kekerasan verbal, fisik, emosional
dari sang alkoholik. Mereka akhirnya menderita secara batin,
bingung, malu dan bahkan mengalami ketakutan. Sebagian
anggota keluarga malah sangat takut tinggal di rumah dan
ingin segera merantau walau modal tidak ada. Sementara
karena tuak, sang alkoholik semakin mengganas, menggila
dan mencipta neraka bila kebutuhan dan keinginan pribadinya
tidak terpenuhi. Dalam hal ini, ada bukti cukup kuat
(Breakwell, 1998:35) untuk mendukung gagasan popular
bahwa alcohol dalam jumlah sedang akan meningkatkan
perilaku agresif meskipun memang ada perbedaan besar antar
individu yang satu dengan yang lain sejauh mana mereka
dibuat lepas kendali oleh alcohol.
4. Gangguan social. Orang yang yang sudah minum tuak, tidak
terlalu peduli dengan ide-ide kesuksesan dan isu-isu
perkembangan. Mereka terfocus pada minuman. Keterlibatan
dalam gereja, social dan masyarakat bisa jadi masih ada tetapi

______________________________________________________________________ 18
Seminar Begu Ganjang di Paroki St. Pius X Aek Kanopan-Agustus 2008
dalam konteks, dia harus tetap memenuhi kebutuhan
minumnya. Dia terlebih aktif dan bekerja untuk bisa memenuhi
kebutuhan minum. Dengan kata lain, sumbangan yang
diharapkan lebih seringkali tidak bisa lagi. Mereka seringkali
menjadi model yang kurang baik di masyarakat. Begitu banyak
energi mereka sia-siakan dengan hanya menikmati hidup di
kedai. Mereka ini sering kali membuat keributan di kampong
atau di tempat mereka mabuk.

Bila banyak keluarga alkoholik macam ini, tidak heran akan


begitu banyaklah pengalaman negatif seperti ketidakharmonisan
dalam keluarga, pemiskinan keluarga dan akhirnya bermuara pada
kekerasan dalam rumah tangga.

Telah disadari oleh para ahli bahwa kekerasan dalam rumah


tangga (KDRT) itu bersifat siklis. Artinya anak-anak yang telah
menyaksikan kekerasan yang dibuat oleh orangtua atau bahkan
telah melecehkan mereka kemungkinan besar akan membuat
kekerasan dan melecehkan orang lain ketika mereka sudah dewasa.
Transmissi intergenerasi dari kekerasan tidak terhindarkan. Hampir
kebanyakan orang yang telah menyaksikan atau mengalami sendiri
kekerasan di dalam keluarga asal mereka tidak akan dengan
sendirinya membuat kekerasan dalam keluarga baru mereka tetapi
kemampuan kekerasan untuk menyebar melalui semua cabang
keluarga sungguh-sungguh mungkin dan inilah hal yang sangat
mengganggu (Brehm, 1993, 388).

Jenis-jenis kekerasan yang dikembangkan itu tentu tidak satu


jenis. Hal itu sungguh tergantung pada kondisi pribadi dan
lingkungan yang ada dalam masyarakat itu sendiri. Untuk
masyarakat Batak, kekerasan yang sering terjadi itu seringkali tidak
terlalu nampak, tetapi dalam kenyataan selalu ada pribadi-pribadi
tertentu yang dituduh membuat masalah bagi yang lain. Masalah itu
seringkali nampak dalam hal membuat penyakit bagi orang lain.
Dalam hal ini, selalu ada kecurigaan, ketidakpercayaan dan akhirnya
mengarah pada ketegangan antar anggota masyarakat.

Diharapkan bahwa dalihan natolu sebagai dasar hubungan


interpersonal Batak itu akan bekerja untuk menyelesaikan masalah
dan ketegangan. Namun dalam praktek, dalihan natolu itu hanya
bekerja dalam praktek adat, tetapi fungsinya dalam kehidupan

______________________________________________________________________ 19
Seminar Begu Ganjang di Paroki St. Pius X Aek Kanopan-Agustus 2008
sehari-hari apalagi dalam kaitan dengan hal-hal negatif yang tidak
nyata seringkali tidak tersentuh.

Agama yang kiranya meletakkan dasar cintakasih,


pengampunan dan saling mendukung kiranya seringkali tidak laku
lagi apalagi bagi para peminum. Para peminum jarang mengikuti
kegiatan pembinaan Gerejani atau rohani. Mereka lebih menikmati
hidup bersenang-senang di kedai tuak dan tak peduli lagi untuk
mengikuti acara di Gereja. Bila ketepatan ada yang ke Gereja,
agama itu sering mereka pakai untuk menutupi hal-hal yang tidak
baik dari perilakunya. Orang yang dituduh misalnya pemelihara
begu ganjang, seringkali lebih rajin dibanding dengan orang lain.

Tinjaun Psikologis dan Lahirnya Kejahatan

Dari keterangan di atas nampaklah bahwa individu alkoholik


itu egois. Dia tidak peduli dengan keluarga dan anak-anak apalagi
orang lain. Dia tidak lagi peduli dengan kemajuan dan kesejahteraan
bersama. Orang-orang yang telah menikmati nikmatnya alkhohol
khususnya tuak sudah melihat tuak sebagai pusat hidupnya.

Seperti dikatakan di atas, alkoholik itu sangat sensitive,


gampang curiga dan cemburu. Dia tidak dengan gampang
menerima kemajuan dan kehebatan orang lain. Karena curiga dan
cemburu, dia tidak senang kalau orang maju. Maka terjadilah
ketegangan diam-diam. Ketegangan diam-diam ini seringkali
melahirkan rasa dendam dan maksud jahat untuk orang lain. Rasa
curiga ini bisa dibagikan kepada teman-teman “senasib” di kedai
dan di sinilah nanti lahir rencana untuk “mengganggu” orang yang
maju, orang yang baik.

Tatanan moral yang sudah dipatrikan dalam adat tidak lagi


dipegang. Suara hati yang ditanamkan dan diperkenalkan Gereja
juga tidak befungsi karena tidak pernah diisi dengan prinsip-prinsip
Tuhan. Yang ada hanyalah dorongan emosi yang dipicu dan dipacu
oleh alcohol. Yang bekerja adalah thanatos seperti ungkapan Freud,
yaitu prinsip kematian. “ Dang di ahu, dang di ho, tumagon ma di
begu”. Artinya, tidak sama saya, tidak untukmu tetapi lebih baik
untuk hantu. Late akhirnya gampang timbul. Late atau kedengkian

______________________________________________________________________ 20
Seminar Begu Ganjang di Paroki St. Pius X Aek Kanopan-Agustus 2008
yang arahnya menghancurkan bahkan membunuh direncanakan
dan sering dilaksanakan.

Individu dan masyarakat yang dipenuhi maksud-maksud jahat


karena sudah dirusak oleh alcohol mungkin jumlahnya tidak terlalu
banyak. Namun karena keberaniannya untuk bertindak, mereka ini
sering kali berpengaruh. Tokoh-tokoh yang dihormati di kedai tuak
seringkali lebih didengar kelompoknya daripada tokoh-tokoh Gereja
atau masyarakat. Premanisme akhirnya lebih menonjol sementara
suara Gereja akhirnya tidak terlalu diperhatikan.

Kadang, alat Negara yang diharapkan bisa lebih berani


menegakkan keamanan juga hidup tidak jauh berbeda dari para
alkoholik. Tidak jarang alat keamanan sendiri termasuk kelompok
peminum tuak ini. Mereka akhirnya tidak bisa bertindak tegas dan
adil karena memang kekacauan dan keonaran dibuat oleh
kelompoknya. Situasi macam ini sudah lama berlangsung sehingga
dimana tuak makin banyak dikonsumsi, disitulah kejahatan lebih
banyak timbul. Gereja-gereja yang diharapkan turut memperbaiki
situasi tidak bisa juga berbuat banyak karena bapak-bapak yang
sudah terbuai oleh enaknya tuak tidak lagi rajin mendengar kotbah-
kotbah dan pengajaran yang sebenarnya paling cocok untuk
mereka. Kejahatan tetap timbul dan merajalela baik yang sudah
berakar kuat di dalam diri individu-individu maupun juga dalam
kelompok masyarakat yang dibentuk oleh individu-individu ini.

BAGIAN KEDUA:

FENOMENA BEGU GANJANG DAN PERSEPSI ATASNYA

Fenomena Begu Ganjang

Baru-baru ini penduduk Hutaginjang di Kecamatan Pakkat, Kabupaten


HUMBAHAS heboh karena warga menuduh seorang bapak memelihara begu ganjang
dan dialah dituduh yang menyebabkan matinya warga di kampong-kampung
sekitarnya. Untuk membuktikan itu mereka pergi ke Onan Ganjang kepada seorang
dukun dan dukun itulah yang mengkonfirmasi bahwa dia memelihara begu ganjang.

Kasus yang kurang lebih serupa terjadi di salah satu desa di Tobasa, yaitu di
Desa Lumban Bagasan, Kecamatan Laguboti, Kabupaten Toba Samosir. Seorang
warga yang sudah tua, EH [70 tahun], dituduh memelihara begu ganjang. EH pernah
terlihat menari-nari dengan bertelanjang di halaman rumahnya pada tengah malam.

______________________________________________________________________ 21
Seminar Begu Ganjang di Paroki St. Pius X Aek Kanopan-Agustus 2008
Kejadian ini mendapat ingatan yang makin hidup karena ada warga yang meninggal
mendadak serta anak-anak di sana sakit-sakitan. Isu itu diperkuat lagi ketika suatu
malam, sekitar pukul 00.00 beberapa bulan lalu, seorang warga memergoki EH bugil
dan berlari-lari kecil sembari menari di pekarangan rumahnya. Tak lama berselang, di
sebuah dusun lain berjarak 500 meter dari rumahnya, dia lagi-lagi terlihat oleh warga
melakukan hal yang sama. “Waktu itu dia menari sambil mengelilingi sebuah pohon
aren,” kata sumber Blog Berita Dot Com.
EH dituduh memelihara Begu Ganjang karena seorang guru meninggal di desa
itu dan kematiannya mendadak tanpa penyakit sebelumnya. Beberapa anak-anak juga
dikabarkan sering sakit-sakitan. Semua kejadian itu menurut warga adalah aneh dan
perlu orang tersebut dicurigai. Mereka ribut, lalu meminta kepala desa “menyidang”
EH. Pertemuan pun digelar. Kala itu EH mengakui bahwa dia memang pernah bugil
sambil berlari-lari di halaman rumahnya. “Supaya badanku hangat saja, dan aku tidak
pernah pelihara begu ganjang,” katanya. Namun warga desa tetap tidak percaya.
Mereka mengumpulkan uang untuk menyewa seorang paranormal terkenal dari
Kutacane, Aceh yang ahli mengenali Begu Ganjang. Paranormal ini masih muda,
berusia sekitar 25 tahun, seorang perempuan. Warga berhasil mengumpulkan uang Rp
7 juta untuk dia.
Desa heboh. Sekitar 50 orang personal polisi dari Polsek Laguboti dan Polres
Tobasa turun ke sana, Mulai pagi hingga sore hari Desa Lumban Bagasan pun ramai
didatangi warga dari sejumlah desa dan kecamatan lain. Di sebuah rumah tetangga
EH, sang paranormal bersiap-siap menjalankan ritualnya. Dia meminta EH
berhadapan dengannya, disaksikan kepala desa dan beberapa orang saksi. Tapi EH
tidak bersedia menemui si orang pintar. Akhirnya paranormal tidak jadi melakukan
ritual, dan dia pulang setelah mendapat honor. Dan begitulah hampir setiap tahun
kehebohan karena kasus begu ganjang terjadi di kabupaten-kabupaten di Sumut.

Persepsi Orang Batak tentang Begu Ganjang

Keberadaan begu ini menurut salah satu situs orang Batak di


internet [www.blogberita.com] diakui karena memang orang
Batak mengenal tiga konsep “roh”, yaitu: Tondi, Sahala dan Begu.

Tondi adalah jiwa atau roh seseorang yang merupakan kekuatan, oleh karena
itu tondi memberi nyawa kepada manusia. Tondi didapat sejak seseorang di dalam
kandungan. Bila tondi meninggalkan badan seseorang, maka orang tersebut akan sakit
atau meninggal, maka diadakan upacara mangalap (menjemput) tondi dari sombaon
yang menawannya.
Sahala adalah jiwa atau roh kekuatan yang dimiliki seseorang. Semua orang
memiliki tondi, tetapi tidak semua orang memiliki sahala. Sahala sama dengan
sumanta, tuah atau kesaktian yang dimiliki para raja atau hula-hula.
Begu adalah tondi orang telah meninggal, yang tingkah lakunya sama dengan
tingkah laku manusia, hanya muncul pada waktu malam. Beberapa begu yang ditakuti
oleh orang Batak, yaitu:

______________________________________________________________________ 22
Seminar Begu Ganjang di Paroki St. Pius X Aek Kanopan-Agustus 2008
• Sombaon, yaitu begu yang bertempat tinggal di
pegunungan atau di hutan rimba yang gelap dan
mengerikan.
• Solobean, yaitu begu yang dianggap penguasa pada tempat
tempat tertentu
• Silan, yaitu begu dari nenek moyang pendiri huta/kampung
dari suatu marga
• Begu Ganjang, yaitu begu yang sangat ditakuti, karena
dapat membinasakan orang lain menurut perintah
pemeliharanya.

Demikianlah religi dan kepercayaan suku Batak yang terdapat dalam pustaha,
yang walaupun sudah menganut agama Kristen, dan berpendidikan tinggi orang batak
belum mau meninggalkan religi dan kepercayaan yang sudah tertanam di dalam hati
sanubari mereka.
Begu ganjang adalah, konon, hantu peliharaan yang bisa disuruh pemiliknya
untuk mencari kekayaan, dengan syarat mengorbankan nyawa manusia sebagai
tumbal. Begu ganjang; kalau diterjemahkan bebas menjadi hantu panjang. Menurut
cerita dari mulut ke mulut, begu ganjang di zaman dulu sengaja dipelihara oleh warga
untuk menjaga ladang atau lahan pertanian. Di zaman sekarang fungsi begu ganjang
berubah yaitu untuk mencari kekayaan. Si pemilik begu ganjang, konon, harus
membunuh seseorang untuk memuluskan niat memperoleh harta itu. Katanya, begu
ganjang bekerja pada malam hari khususnya pada jam 24.00 WIB sampai dengan kira-
kira pukul 04.00 WIB. Begu Ganjang ini seringkali mengincar wanita yang baru
melahirkan. Dalam berbagai kasus, orang yang memelihara begu ganjang sering
dituduhkan pada warga pendatang.

Extrasensory Perception (ESP)


Sebagian kecil orang bisa menyaksikan adanya roh dan begu ini. Namun
karena tidak bisa banyak orang bisa membuktikannya, penglihatan-penglihatan
macam ini sering kali diragukan. Para psikolog atau psikiater gampang menuduh
penglihatan macam ini sebagai halusinasi penglihatan dan sering orang tidak
mempercayainya secara verbal. Namun demikian, hampir semua individu orang Batak
cukup yakin akan adanya begu ini.
Dalam psikologi dikenal Extra Sensory Perception (ESP), yaitu sejumlah
pengalaman psikis (psychic) yang berhubungan dengan menerima (perceive) atau
mengirim informasi (gambaran-gambaran) diluar proses atau saluran sensori yang
normal.
Hampir semua buku yang membahas persepsi dalam psikologi menerangkan
bahwa ada empat kemampuan umum dalam ESP ini yaitu telepathy, precognition,
clairvoyance dan psychokinesis. Telepathy adalah kemampuan untuk mengirim
pikiran-pikiran seseorang kepada orang lain atau membaca pikiran-pikiran orang lain.
Precognition adalah kemampuan untuk meramalkan kejadian-kejadian atau
mengetahui kejadian sebelum terjadi. Clairvoyance adalah kemampuan untuk
mengerti kejadian-kejadian atau objek diluar penglihatan. Psychokinesis adalah
kemampuan untuk menguasai benda lewat pikiran misalnya dengan menggerakkan

______________________________________________________________________ 23
Seminar Begu Ganjang di Paroki St. Pius X Aek Kanopan-Agustus 2008
benda-benda tanpa menyentuh mereka. Kekuatan psikis atau ESP ini disebut psi
phenomena atau fenomena psi (Plotnik,:138; Moran, 1999).
Setengah penduduk Amerika, Negara dimana penelitian tentang ini dibuat,
percaya bahwa ada persepsi ini namun para psikolog masih tetap bergulat untuk
membuktikan persepsi ini dengan penelitian yang teruji. Dan sampai sekarang banyak
psikolog tetap masih ragu akan ESP karena belum ada dukungan scientific tentang ini
karena itu masih banyak dari mereka yang berminat untuk terus mengadakan
penelitian tentang ini (Feldman, 2005:132-133).

Perjuangan yang sama tetap hidup di daerah ini. Meskipun belum ada usaha
penelitian yang keras secara metodologi seperti yang diadakan di Amerika, isu tentang
adanya begu ganjang masih tetap hidup. Lebih jeleknya, efeknya untuk kehidupan
bersama kita nampaknya lebih terasa karena banyaknya orang yang tiba-tiba sakit atau
meninggal tanpa tahu alasan yang yang pasti. Walaupun demikian efek-efeknya untuk
kebanyakan orang tetap menjadi sumber-sumber kecemasan dan ketakutan.

BAGIAN KETIGA:
ULASAN PSIKOLOGIS ATAS TUAK DAN BEGU GANJANG

Pada dasarnya tuak adalah minuman yang menyehatkan bila


diminum pada porsi yang tepat. Namun, kita telah melihat bahwa
tuak telah sering disalahgunakan dan telah melemahkan banyak
individu sehingga mereka tak mampu lagi mengontrol hidup mreka
lepas dari tuak. Tuak telah dijadikan sebagai pusat hidup sehingga
prinsip Anakhonhi do Hamoraon di Ahu” (Anakku merupakan
kekayaan bagiku) telah terhapus. Demikian juga nilai-nilai keluarga
seperti digariskan di dalam dalihan na tolu serta nilai-nilai
Kekristenan seperti ditanamkan oleh Kristus atau kevakuman rohani
(Kosmas dalam Media Unika, 2001:1-9) tidak lagi mempengaruhi
pola hidup. Banyak individu sekarang berpusat pada diri, ego dan
dengan demikian berbagai masalah timbul dalam keluarga sendiri
dan masyarakat.

Dengan bangkitnya “ego” timbullah begitu banyak pikiran dan


perasaan yang tidak enak. Sebagian masalah timbul karena sakit
hati, tersinggung, salah pengertian. Sebagian lagi karena masalah
harajaon (kerajaan) di kampung atau tanah. Banyak masalah terjadi
dalam hubungan interpersonal sehingga sering timbul saling curiga,
tidak percaya, benci, menghianati yang lain, bersaing secara
negatif, cemburu dan lain-lain. Masalah-masalah ini tidak bisa lagi
ditangani secara lebih positip tetapi hampir selalu diselesaikan
dengan cara yang negatif yaitu dalam semangat tuak atau alcohol.

______________________________________________________________________ 24
Seminar Begu Ganjang di Paroki St. Pius X Aek Kanopan-Agustus 2008
Memang sebagian besar konflik-konflik batin ini seringkali
tidak ditampakkan dan nampak tenang di permukaan tetapi untuk
seseorang atau keluarga api terus berkobar dan menyala. Karena itu
pula secara diam-diam, orang yang sudah dipenuhi dengan “ego” ini
secara diam-diam mencari penyelesaian dengan menggunakan
energi negatif. Kalau keahlian itu tidak ada padanya sering kali hal
ini dimintakan kepada orang pintar atau belajar dari orang pintar
dan kalau kemampuan itu dia punya, dia akan berusaha
mentransfer itu dengan segala usaha dan cara sehingga orang lain
yang “dianggapnya” bersalah akan kena. Dengan kata lain, selain
konfrontasi fisik (jarang sekali terjadi), penyelesaian seringkali
dibuat dengan cara mistik atau guna-guna termasuklah di dalamnya
dengan tenaga begu ganjang.

Praktek marbeguganjang ini sangat sulit dibuktikan tetapi


hampir semua orang yakin bahwa cara ini ada dan sangat
mengerikan karena itu tidak hanya membuat penyakit aneh-aneh
yang tidak bisa diobati dokter tetapi terlebih bisa membuat
kematian tiba-tiba sebagaimana telah diceritakan sebelumnya.

Di daerah ini hal ini semakin sulit dibuktikan karena memang


kalau orang sakit masih jarang dibawa ke Rumah Sakit. Penduduk di
daerah ini masih jarang mengadakan check up atau pemeriksaan
yang teratur ke rumah sakit. Karena itu, kematian atau penyakit
seseorang sering kali dianggap tiba-tiba dan penyebabnya sering
dilemparkan kepada kuasa kegelapan. Padahal mungkin penyebab
aslinya ialah karena dia mengidap penyakit yang belum
diperiksakan secara medis sebelumnya. Tambah lagi, alat-alat
pemeriksaan Rumah Sakit kita di daerah ini masih sangat terbatas.
Sering tenaga medis mendiagnose suatu penyakit hanya
berdasarkan stetoskop atau interview singkat.

Karena itu sulit sekali membuktikan kasus begu ganjang ini.


Sulit sekali juga membuktikan bahwa orang tersebut memelihara
beguganjang karena memang tidak bisa dilihat oleh mata dan
disentuh oleh tangan. Yang ada adalah bahwa orang yang sakit
secara tiba-tiba dan mengalami ketakutan-ketakutan aneh sering
secara diam-diam pergi berobat ke orang pintar. Para orang pintar
sering memberitahukan bahwa penyakit dan kematian orang
tertentu dibuat oleh orang tertentu yaitu par-beguganjang. Orang
pintar pun sering tidak menyebut secara langsung orangnya tetapi

______________________________________________________________________ 25
Seminar Begu Ganjang di Paroki St. Pius X Aek Kanopan-Agustus 2008
menunjuk pada ciri-cirinya. Tambah lagi, si korban yang sembuh
justru sering diam-diam dan menghindari orang pembuat penyakit
dan kematian tersebut.

Situasi macam ini mencipta kebencian baru, sakit hati dan


dendam. Rasa sakit hati, dendam melemahkan sistim kekebalan
tubuh. Bila hal ini tidak diatasi dengan cara yang positip yaitu
dengan mengampuni seperti yang diminta oleh Yesus, maka suatu
usaha baru untuk balas dendam akan terjadi. Kondisinya pun
semakin lemah dan gampang sakit. Bila memang cara Tuhan tidak
dipakai untuk mengatasi masalah ini maka akan ada kemungkinan
untuk menggunakan mistik pula untuk membalaskannya atau
bahkan dengan agressi, pembakaran atau pembunuhan atas orang
yang dituduh par-begu ganjang seperti terjadi di Kecamatan Pakkat,
Humbahas dan Palipi, Tobasa tahun 2000. Hukum yang berlaku bagi
orang yang tidak mengenal Tuhan ialah mata ganti mata dan gigi
ganti gigi.

Orang yang sudah diperlemah oleh alcohol baik secara


langsung atau tidak langsung juga akan makin lemah secara fisik
dan psikis. Ada kemungkinan, penyakit-penyakit baru pun timbul.
Penyakit-penyakit itu antara lain ketakutan akan begu ganjang.
Ketakutan-ketakutan ini akan menambah stress dan mungkin akan
melemahkan jiwa dan raganya sehingga suatu saat bila kondisinya
tidak makin baik dia sendiri karena halusinasinya melihat begu
ganjang dan mati atau sakit.

Dengan demikian, isu begu ganjang adalah isu yang cukup


pelik apakah itu muncul karena ketakutan dari dalam yang luar
biasa sehingga menghasilkan halusinasi begu ganjang atau itu
terjadi karena orang lain yang mentransfer energi negatif dalam
rupa begu ganjang sehingga membuat orang sakit dan mati tiba-
tiba karena ketakutan dan shock?

Sayang sekali orang-orang yang memiliki ESP di Amerika belum bisa


menerangkannya kekuatan mereka secara ilmiah. Ada kekuatan itu tetapi bagaimana
pembuktiannya secara ilmiah masih tetap dinanti.
Para ahli ini membuat kita makin sadar bahwa ada kekuatan itu dan kekuatan
itu masih perlu dipelajari sehingga suatu saat kita makin bisa mengenalinya, kalau
bukan karena kita memiliki ESP sekurang-kurangnya karena secara ilmiah bahwa
begu ganjang telah terbukti.

Penutup

______________________________________________________________________ 26
Seminar Begu Ganjang di Paroki St. Pius X Aek Kanopan-Agustus 2008
Tuak telah merusak banyak individu dengan demikian telah merusak banyak
mental hidup para peminumnya termasuk orang-orang Kristen.
Mental yang rusak ini tidak lagi memiliki kekuatan untuk
membangun tetapi merusak.
Mental seperti ini adalah persemaian yang hebat untuk
tindakan-tindakan yang merusak termasuk mentransfer energi
negatif kepada orang lain. Mental seperti inilah yang terbuka
untuk belajar dari yang jahat dan bukan dari Tuhan.
Gereja dan Negara yang bertanggungjawab membangun
mental umat dan warganya harus dengan bijaksana
menghambat proses perusakan yang dibuat oleh tuak atau alcohol lainnya sejak dini.
Kalau terlambat hampir tidak ada gunanya kecuali Negara sudah membuat vonis
bahwa alkoholik adalah suatu penyakit yang harus diobati sehingga setiap orang yang
telah alkoholik wajib menjalani rehabilitasi sebelum diterjunkan kembali ke
masyarakat.
Mungkin ini hanya mimpi tetapi begitulah yang mungkin bisa menolong bila
tidak prinsip nikmatnya tuak itu akan tetap merusak individu, masyarakat dan Gereja
kita.

Dr. Sirilus Senator Manalu


Biara Kapusin Nagahuta
Pematangsiantar
CURICULUM VITAE

Pastor Sirilus Manalu (Senator Manalu), lahir tgl. 20 Juli 1963, di Hutapinang Pakkat.
Selekas menamatkan SMP RK Pakkat, dia melanjutkan sekolah di Seminari
Menengah dan Tinggi sejak tahun 1980-1993. S1-nya diselesaikan di STFT St.
Yohanes Sinaksak Pematangsiantar dengan judul Skripsi: “Paskah Israel Menurut
Keluaran 12: 1-28”. Dia ditahbiskan imam Kapusin tgl. 10 Juli 1993.
Sejak ditahbiskan, dia ditugaskan di Paroki Saribudolok sebagai pembantu pastor
paroki dari tahun 1993-1995 dan kemudian sebagai Sekretaris Propinsi sejak 1995-
1997. Dia tinggal di Nagahuta sejak menjabat sebagai sekretaris Propinsi Medan tetapi
tetap berkantor di Jl. Sibolga, Pematangsiantar.
Ordo menugaskan dia studi lanjut untuk mengambil Psikologi Klinis di Manila. Tugas
itu diembannya sejak Oktober 1997 dengan studi di University of Santo Tomas,
Manila dengan mengambil program Masteral dan Doktoral dengan judul
Desertasinya: “The Effects of Bibblical Prayers on the Trauma Level of the Abused
Adolescnts”. Tahun 2005 studi itu diselesaikannya dan dia langsung membuka
praktek menolong orang sakit mental di Nagahuta, Pematangsiantar. Sejak itu sampai
sekarang dia menangani poliklinik mental di biara tersebut sambil memberikan
berbagai macam seminar, retret dan bimbingan pribadi kepada keluarga, biarawan-
biarawati dan kepada umat Allah.

______________________________________________________________________ 27
Seminar Begu Ganjang di Paroki St. Pius X Aek Kanopan-Agustus 2008
Kepustakaan:

Breakwell, Glynis M. Coping With Aggressive Behaviour. Kanisius, Yogyakarta,


1998.
Feldman, Robert S. Essesntials of Understanding Psychology (6th Ed.).McGraw
Hill, Boston, 2005.
Kaplan, Harold I. dan Sadock, Benjamin J. Synopsis of Psychiatry: Behavioral
Sciences/Clinical Psychiatry (8th Ed.). Williams And Wlkins, Maryland, USA,
1998.
Kosslyn, Stephen dan Rosenberg, Robin S. Psychology: The Brain, The Person,
The World. Allyn and Bacon, Boston, 2001.
McCrady, Barbara S. dan Elisabeth E., Epstein (Editors). Addictions: A
Comprehensive Guidebook. Oxford University Press, 1999.
Moran, Sarah. Psychics: The Investigators and Spies Who Use Paranormal
Powers. CLB, Quadrllion Publishing Ltd., England, 1999.
Pita, Dianne Doyle. Addictions Counseling. The Crossroad Publishing Company,
New York, 1992.
Plotnik, Rod. Introduction to Psychology (5th Ed.). ITP, Publishing Company,
Belmon, et.al., 1999.
Straussner, S.L.A. dan Zelvin, Elizabeth (editors). Gender And Addictions. Jason
Aronson, Inc. New Jersey,1997.
Tumanggor, Kosmas. Isu Begu Ganjang Suatu Fenomena
Kevakuman Rohani dalam Media UNIKA Tahun 13 No.36
September-Oktober 2001.

______________________________________________________________________ 28
Seminar Begu Ganjang di Paroki St. Pius X Aek Kanopan-Agustus 2008
MENCERMATI ISU “BEGU GANJANG”
Sebuah Tinjauan Sosio-Kultural
Semi-Loka PAK Se-Paroki St. Pius X Aekkanopan

P.Serpulus Tano Simamora, Lic.S.S., OFMCap.

1. Catatan Awal

Barangkali hal yang dinanti-nantikan dari


saya pada pertemuan ini adalah: Adong do
ulaning dohonon ni pastor on begu-ganjang i?
Songondia do tompa ni begu-ganjang i
mangihuthon pastor on? Saya yakin bahwa ada orang yang
hadir di sini menginginkan bahwa saya maunya mengatakan
begu ganjang tidak ada; atau sebaliknya, begu-ganjang ada.
Anda akan kecewa nanti karena saya tidak akan menjawab
apakah ada atau tidak ada begu-ganjang. Yang hendak saya
paparkan ialah pengalaman manusia akan kenyataan roh
atau pengalaman manusia akan kerohanian.

Salah satu definisi filsafat atas siapa itu manusia ialah:


Manusia adalah makhluk jasmani dan rohani sekaligus. Itulah
hakekat manusia. Yang jasmani dan yang rohani tidak
terpisahkan satu dari yang lain. Bila terpisah maka manusia
tidak manusia lagi melainkan jasad, mayat, bangkai.

Manusia berbeda dari hewan yang mempunyai tubuh


(jasmani) tetapi tidak mempunyai roh. Manusia berbeda dari
malaikat yang mempunyai roh tetapi tidak mempunyai
tubuh, jasmani. Manusia adalah tubuh yang ber-roh dan roh
yang bertubuh. Hal ini tidak berasal dari keterangan iman,
agama atau keyakinan seseorang tetapi berdasar dari
keterangan akal-budi manusiawi (rasio). Menurut akal sehat

______________________________________________________________________ 29
Seminar Begu Ganjang di Paroki St. Pius X Aek Kanopan-Agustus 2008
itulah kenyataan manusia. Orang yang tak beriman pun akan
mengakui itu.

Bila manusia pada hakekatnya adalah makhluk jasmani


dan rohani, maka dalam diri manusia terdapat unsur sejajar
dari kedua aspek itu. Bila jasmani sehat, kuat, lemah, sakit,
maka roh itu juga mengandung kesehatan, kekuatan,
kelemahan, kesakitan. Pada dasarnya keadaan antara tubuh
dan jiwa itu seimbang, kendati tidak selalu. Karena itu ada
motto orang Romawi yang mengatakan: Mens sana in
corpore sano (Jiwa [pikiran] yang sehat terdapat dalam
tubuh yang sehat).

2. Kenyataan Roh dalam Pengalaman Manusia

a) Hakekat Tubuh (raga, jasmani) dan Roh

Manusia adalah makhluk jasmani dan rohani dan


keduanya menyatu utuh agar manusia itu dapat disebut
manusia yang utuh. Namun kendati utuh, jasmani atau
tubuh berbeda dari roh.

Ciri utama dari tubuh adalah terikat pada ruang dan waktu
(spatio-temporal); tampak dan terjamah (visible and
touchable) oleh indera manusiawi. Sebaliknya, ciri utama
dari roh ialah tak terikat pada ruang dan waktu (aspatial-
atemporal); tidak tampak dan terjamah (invisible and
untouchable). Karena roh tidak mempunyai tubuh (raga,
materi) maka untuk mewujudkan dirinya, “memperlihat
dirinya”, roh membu-tuhkan raga (tubuh, materi). Plato
pernah mengatakan tubuh adalah “penjara” roh.5 Roh
membutuhkan “pengantara” (medium) untuk merealisir
dirinya di dunia.
5
Ioannes di Napoli, Manuale Philosophiae ad usum seminariorum: Psychologia –
Gnoseologia – Ontologia, (Italy: Marietti Editori Ltd., 1954), 184. Pythagoras et
pythagorici, Plato et platonici (inter platonicos christianos Origenes) tenuerunt animas
humanas praextitisse in astris et postea infusas fuisse in corpora tanquam in carceres
propter aliquam culpam vel sine culpa.

______________________________________________________________________ 30
Seminar Begu Ganjang di Paroki St. Pius X Aek Kanopan-Agustus 2008
b)Fenomena Psikofisis Luarbiasa (Ekstraordinaria)
Baik dari sudut iman maupun dari sudut filsafat diakui
bahwa tubuh jasmaniah (raga) dapat mati, sedangkan roh
tidak dapat mati (immortal). Karena roh tidak dapat mati,
maka dia tetap hidup (abadi).6 Karena itu, bila ada orang
mati, diyakini bahwa hanya tubuhnya yang mati tetapi
rohnya tetap ada (entah di mana soal lain!).

Dari sudut pandang kristiani, kenyataan dan pengalaman


akan roh sungguh ada. Dan dalam pengalaman orang
beriman, baik seperti tertulis dalam Kitab Suci maupun
dalam kisah-kisah hidup para orang kudus, terjadi hal-hal
yang tidak biasa, yang ajaib, yang tidak bisa diterangkan
hanya dari sudut pandang jasmaniah atau keterangan ilmiah
dari ilmu-ilmu. Konon, kejadian atau peristiwa seperti ini
diyakini sebagai “karya roh” atau “karena roh”. Memang,
daya atau kekuatan roh yang tak dapat mati dan tak
kelihatan itu bisa terwujud dalam dunia pengalaman
manusiawi secara luar biasa.

Hal-hal yang luar biasa itu bisa dalam bentuk telepati


(telephatia), pandangan terang (clara visio), penglihatan
kedua (visio secunda), pengalihan pikiran (trans-missio
cogitationis). Telepati (telephatia) adalah fenomena di mana
subyek dapat merasakan atau mengetahui obyek yang jauh,
yang secara normal tidak dapat kita rasakan. Penglihatan
terang (visio clara), mungkin inilah tenung, ialah
pengetahuan tentang hal-hal yang tersembunyi. Penglihatan
kedua (visio secunda) ialah pengetahuan akan hal-hal di
masa depan (ramalan). Pengalihan (pencerapan) pikiran
[transmissio cogitationis] ialah kemampuan membaca
pikiran orang lain; pengalihan pikiran terhadap pikiran yang
dimiliki oleh seseorang.7
6
di Napoli, Manuale…, 188. Doctrina communissima et certissima scholasticorum, hodie
ab omnibus catholicis admissa et admittenda, tenet animam humanam esse immortalem
et insuper immortalitatem posse perfecte demonstrari a ratione, quamvis plena
confirmatio certitudinis philosophicae habeatur a revelatione.
7
di Napoli, Manuale…, 203-204.

______________________________________________________________________ 31
Seminar Begu Ganjang di Paroki St. Pius X Aek Kanopan-Agustus 2008
Semuanya ini adalah gejala atau fenomena psikofisis yang
dialami oleh manusia, yang diyakini bersumber dari daya
atau kekuatan roh. Tanpa roh hal itu tidak mungkin terjadi.

Selain hal-hal yang disebut di atas masih ada apa yang


dinamai dengan spiritisme (spiritismus). Spiritisme adalah
sekumpulan gejala (fenomena) yang di dalamnya entah
lewat manusia atau hal, dikatakan mempunyai kontak
dengan roh-roh orang yang sudah meninggal dunia.8 Orang
yang melaluinya roh-roh itu berkontak dengan dunia
(manusia atau hal) disebut ‘pengantara’ (medium).

Fenomena psikofisis yang luarbiasa ini ditemukan baik


dalam pengalaman religius dalam agama maupun dalam
pengalaman non-religius di luar agama. Hal-hal yang luar
biasa juga terjadi dalam dunia religius seperti tercatat dalam
Kitab Suci maupun dalam riwayat hidup santo-santa.9 Dalam
dunia agama (kisah biblis dan santo-santa) itulah yang kita
sebut dengan ‘mukjizat’. Sedangkan dalam dunia non-agama
itulah yang disebut okultisme. Disebut okultisme karena
berkaitan dengan hal-hal yang tak kelihatan atau
tersembunyi (Lat. occulĕre-occului-occultus: menutupi,
menyembunyikan). Salah satu bentuk okultisme adalah
magic. Okultisme berarti upaya menghasilkan kenyataan
gaib, ajaib dengan bantuan daya misterius kodrati atau
praeternaturalis, yang dimungkinkan oleh ritus (kultus) atau
rumus magis.10 Segala upaya untuk membuat yang tak
kelihatan dan tak diketahui (nasib, peristiwa masa depan,
segala sesuatu dari orang yang sudah mati) menjadi
8
di Napoli, Manuale…, 205. Spiritismus est complexus phaenomenorum in quibus, per
quasdam personas et quaedam facta, dicitur haberi communicatio cum spiritibus
defunctorum….
9
Maria Theresa La Vecchia, Antropologia Paranormale. Parte I: Fenomeni dell’occulto e
della Parapsicologia, 2o, (Roma: Editrice Pontificia Università Gregoriana, 1995), 1. Nei
Libri Sacri e nelle vite dei Santi si ranccontano fatti sorprendenti e meravigliosi, come le
guarigioni improvvise e durature da malattie estremamente gravi (cancro, lebbra, ecc.),
la chiusura isntantanea di ferite profonde e sanguinanti, le moltiplicazioni straodinarie dei
pani, la trasformazione a comando di sostanze, o adirittura la resurrezione dei morti….
Anche in sede non-religiosa o pseudo-religiosa si ammette che accadono fenomeni
straordinari. Ciò avverrebbe sopratutto nel corso di sedute spiritiche e in certi individui
che si considerano particolarmente dotati. Si ammette, …, avvengano apparizioni di
fantasmi, guarigioni portentose, fenomeni di levitazione, di luminosità, di apporto, ecc.
10
La Vecchia, Antropologia…, 5.

______________________________________________________________________ 32
Seminar Begu Ganjang di Paroki St. Pius X Aek Kanopan-Agustus 2008
“kelihatan dan diketahui” itulah yang terjadi dalam
okultisme atau spiritisme.

Lalu apa yang membedakan fenomena psikofisis religius


dengan psikofisis dan non-religius ini? Kendati mirip antara
fenomena psikofisis luar biasa yang religius dan yang non-
religius, terdapat perbedaan fundamental. Dalam fenomena
psikofisis religius, penyebab langsung atau tidak langsung
adalah Tuhan. Sementara dalam fenomena psikofisis
okultisme ialah pemaksaan daya misterius kodrati atau
praeter-naturalis yang tidak ilahi untuk tunduk kepada
pembuatnya.11

c) Dasar Pikiran Cara Kerja Magis


Dasar pikiran dari cara kerja magis sudah ditemukan
dalam masyarakat primitif. Pertama, manusia primitif sudah
mempunyai pikiran sebab-akibat (hukum kausalitas). Bila
terjadi sesuatu pasti ada penyebabnya. Kedua, pikiran
penyebab palsu (pseudo-causalitas). Paham ini berkeyanikan
bahwa tindakan pada satu bagian sesuatu akan berakibat
pada keseluruhan sesuatu itu. Ini menurunkan keyakinan
bahwa tindakan pada gambaran atau perwakilan dari
sesuatu akan menghasilkan yang sama pada pada obyek
yang dimaksud (bdk. dengan penggunaan parsili).

Lukisan yang paling tua dan primitif ditemukan di


kalangan masyarakat pemburu. Para pemburu itu
menggambar dulu binatang buruan di dinding batu, di gua-
gua, lalu gambar binatang itu ditombak atau ditikam.
Menurut keyakinan mereka, dengan menombak atau
menikam gambar binatang buruan, itu sudah berakibat pada
binatang yang akan ditemukan nanti. Dengan melakukan
ritus itu, mereka yakin bahwa hasil binatang buruan akan
banyak.12
11
La Vecchia, Antropologia…, 6.
12
La Vecchia, Antropologia…, 7. La magia trova il suo fondamento in una sorta di
pensiero pseudo-causalistico che ammette che l’azione su una parte del tutto si rifletta
sul tutto, che l’azione su un simulacro si riproduce sul modello, che oggetti simili

______________________________________________________________________ 33
Seminar Begu Ganjang di Paroki St. Pius X Aek Kanopan-Agustus 2008
Dengan kata lain, prinsip teoretis dari tindakan atau
keyakinan magis ialah kepercayaan atau keyakinan akan
kemujaraban (efficaxcitas) langsung antara gerak tubuh,
kata ritual (mantera) dalam dirinya sendiri. Setiap hal yang
magis selalu memadukan antara gerak tubuh dan kata-kata
ritual (mantera, tabas). Oleh karena itu, dalam setiap hal
yang magis yang paling utama ialah melaksanakan tata
aturan (poda atau uhum ni tabasna) secara teliti, persis agar
bisa berkhasiat dan mujarab (efektif).13

3. Tondi dan Begu menurut Orang Batak Toba

Tondi dalam Keyakinan Orang Batak Toba


a)
Paham atau pandangan orang Batak Toba atas alam
semesta – yakni segala sesuatu yang di jagad raya ini –
boleh digolongkan dalam apa yang disebut ‘agama alam’
(natuurgodsdienst). Agama alam ini termasuk dalam
kerangka keyakinan animisme.14

Dalam keyakinan animisme terdapat dua ajaran atau


doktrin dasariah. Doktrin yang pertama ialah bahwa bahwa
segala sesuatu yang ada di jagad raya ini memiliki jiwa, roh
(anima = jiwa, roh). Doktrin yang kedua ialah bahwa roh
atau jiwa yang tinggal (diam) dalam obyek (benda-benda),
berkuasa untuk meninggalkan benda-benda itu, sebagai
hantu bebas gentayangan, untuk hidup tak bertubuh atau
pergi ke tubuh yang lain.15

producano effetti simili…. Già nelle pitture del Paleolitico superiore appaiono le prime
raffigurazioni magiche di bisonti, di cervidi, di mammuth, che hanno lo scopo di
assicurare abbondanti prede alle spedizioni dei cacciatori: possedere l’immagine, saperla
disegnare e dipingere su una roccia è analogo al possedere la cosa, in quanto costituisce
un dominio magico di essa.
13
La Vecchia, Antropologia…, 8.
14
C. M. Pleyte Wzn., Bataksche Vertalingen, (Utrecht: H. Honig, 1894), 3. De Batak, …,
staat …, nog volkomen op ééne lijn met den natuurmensch. Zijn godsdienst is derhalve
een natuurgodsdienst of, eenigszins juister omschreven een dergene, die de nieuwere
godsdienstwetenschap met den naam animsme bestempelt.
15
Pleyte, Bataksche…, 3-4. Het eene dezer gronddogmen luidt: “alles in de natuur, in
dieren- en plantenwereld, het bewerktuigde en onbewerktuigde, ieder voorwerp groot of
klein heeft eene ziel. Het tweede dogme kan aldus worden uitgedrukt: de zielen of
geesten, die in de voorwerpen wonen, hebben de macht die te verlaten, vrij rond te

______________________________________________________________________ 34
Seminar Begu Ganjang di Paroki St. Pius X Aek Kanopan-Agustus 2008
Dalam keyakinan animisme yang paling utama ialah jiwa
atau roh itu (anima). Segala sesuatu dirasuki dan dimasuki
oleh jiwa atau roh tersebut. Karena itulah, menurut orang
Batak Toba segala sesuatu memiliki jiwa (martondi): rumah,
cangkul, pisau, periuk, pohon, batu, padi. Tentulah tondi dari
hal-hal di atas mempunyai gradasi (tingkatan). Dari segala
sesuatu – selain manusia tentu – padi adalah hal yang
memiliki tondi yang paling tinggi, karena padi adalah
makanan yang memberi hidup kepada manusia.
Sesungguhnya, tondi adalah pemberi daya hidup
16
(Lebenskraft).

Satu keterangan mengenai tondi dalam keyakinan orang


Batak Toba adalah sebagai berikut:

Painte so ro dope tondi i tu na di bortian, djolo


disungkun Debata do manang aha pangidoanna djala
manag dia dipillit tondi i, i do dipasahat Debata gabe
bagianna. Debata do maniop tondi ni djolma. Di tingki
andorang so sorang dope djolma tu hasiangan on,
nunga dipangido hian tu Debata. Ia na denggan
dipangido na denggan ro. Di Debata do tondi ni na
mangolu dohot na mate dohot na naeng tubu djala di
sude halak do adong Debata dohot di nasa na marhosa.
Tondi i do manontuhon parngoluon dohot bagian ni
djolma. Di na laho djadi djolma i, mangido ma ibana tu
Ompunta Mula Djadi taringot di bagianna. Radja molo
ninna, saut radja; molo dipangido panangko saut
panangko.17

spoken, onbelichaamd voort te leven of in andere lichamen over te gaan.”


16
Joh. Warneck, Die Religion der Batak: Ein Paradigma für die animitischen Religionen
des indischen Archipels, (Göttingen: Vandenhoeck & Ruprecht, 1909), 8. Von ungleich
größer Bedeutung für die Religion der Batak als die Götterlehre sind ihre Vorstellungen
von der Seele (tondi). Es ist das eine Lebenskraft, Lebensmaterie oder Seelenstoff.
17
Dr. PH. L. Tobing, The Structure of the Toba-Batak Belief in the High God, (Amsterdam:
Jacob van Campen, 1956), 84-85.

______________________________________________________________________ 35
Seminar Begu Ganjang di Paroki St. Pius X Aek Kanopan-Agustus 2008
Dari kutipan di atas menjadi jelas beberapa hal, antara
lain: Tondi berasal dari Tuhan (Debata). Tondi itu adalah
kekuatan dan penentu nasib manusia. Karena itu, nasib baik
dan buruk ditentukan oleh tondi.18

Sesungguhnya, tondi-lah prinsip kehidupan dan


kesejahteraan (kesehatan) menurut pandangan orang Batak
Toba.19 Hal itu tampak dalam ungkapan bilamana seseorang
mengalami sesuatu yang buruk misalnya: Nunga tinodo ni
tondingku i; atau bila orang selamat dari bahaya: Di ahu do
tondingku! Maka, bila tondi seseorang meninggalkan
tubuhnya, dia akan sakit bahkan mati. Dalam konteks inilah
dipahami upacara ‘mangalap tondi’. Upacara mangalap tondi
dilaksanakan bila tondi seseorang tertahan di tempat
tertentu dan meninggalkan orangnya sehingga dia menjadi
sakit. Untuk menyembuhkan dia, maka perlu upacara
menjemput atau memanggil tondi tersebut.

Mari ma ho, ale tondi ni si adui. Di liangliang pe ho


nuaeng manang di hau na paturonsiton, ba sai unang
ho lilian disi. Beta hita muli, adong do ingannmu, adong
do amangmu dohot inangmu paolooloi ho. Panganonmu
pe adong do.... Mulak ma tondim tu dagingmu, tinggal
ma na niae na milas na niae na mohop sian
pamatangmon. Pir ma tondim neang ma holiholim.20

Begu dalam Keyakinan Orang Batak Toba


b)
Menurut keyakinan orang Batak Toba kuno, seluruh jagad
raya didiami oleh roh-roh alam atau hantu yang berbahaya
dan roh yang sudah meninggal, yang mereka sebut begu.21
Begu, dalam arti sempit, adalah segala roh alam dan orang
18
Tobing, The Structure…, 1956), 85-86.
19
Warneck, Die Religion…, 46. die Wünsche des Menschen und seines tondi sind
keineswegs immer die gleichen, aber immer erfüllen sich die Wünsche des tondi. Vom
tondi hängt das Geschick des Menschen ab. Der tondi macht den Menschen leben und
wachsen. Was auch immer dem Menschen geschieht, sein tondi hat es so gefordert, sei
es Reichtum, zahlreiche Nachkommenschaft, Machtstellung, sei es Armut,
Unansehnlichkeit, früher Tod und Elend.
20
Tobing, The Structure…, 86.
21
Tobing, The Structure…, 95.

______________________________________________________________________ 36
Seminar Begu Ganjang di Paroki St. Pius X Aek Kanopan-Agustus 2008
yang sudah meninggal yang lebih rendah mutu atau
tingkatannya. Sedangkan roh alam dan orang yang sudah
mati yang lebih tinggi mutu dan tingkatannya – yang lebih
besar pengaruhnya waktu hidup – disebut sombaon.22

Begu adalah tondi orang yang sudah meninggal, tetapi


tidak berarti bahwa tondi sendirilah yang berubah menjadi
begu, melainkan “diri” yang tidak kelihatan (ada dalam
bayang-bayang sesudah kematian) disebut begu.23
Keyakinan itu terungkap dalam ungkapan: Martondi do na
mangolu, marsahala do naung mate.24

Dari sini dapat diketahui bahwa ada dua jenis begu, yakni:
roh-alam (nature-spirits) dan roh orang mati. Begu dalam arti
roh-alam itu antara lain: Pangulubalang, boru-saniang naga
(penguasa air), boraspati ni tano (penguasa tanah). Dalam
konteks ini, begu boleh disamakan dengan dewa-dewi.
Sedangkan begu yang berasal dari roh orang mati mendapat
aneka macam nama. Bagaimana roh seorang yang sudah
mati menjadi begu dilukiskan oleh PH. L. Tobing, sebagai
berikut:

Ia halak panopa mate anggo sintap hasahali mate dape


beguna gabe porsimangotan tumondjol dape ibana. Asa
molo siar ibana tu hasiangan morpelean dengke saur
ma ibana dibahen na pinomparna, dibahen dohot
indahan dimpuan. Ia molo mate ma beguna sahali
(nari) gabe begu habanghabang ma ibana. I ma

22
Warneck, Die Religion…, 74. Es gibt zwei Arten begu: solche, die an sich begu sind, das
sind gefärliche Gespenster, und dann die Geister Verstorbener, denn jeder Gestorbene
wird ein begu. Man unterscheidet die zwei Arten aber nicht wesentlich voneinander.
23
Warneck, Die Religion…, 8. Die Batak sagen zwar: nach dem Tode wird der Tondi zum
begu; das ist aber nicht so zu verstehen, daß der tondi sich in den begu umwandelt,
sondern der tondi verläßt den Menschen, und der Rest seiner Persönlichkeit, sein
schattenhaftes Selbst, heißt nun begu; bdk. Tobing, The Structure…, 95. As soon as a
man dies he becomes a begu. As such, he is believed to wander about in the
middleworld, to die and to rise again several times. At length he goes to one of the many
realms of death, where he will have the same profession and position he had during his
life.
24
Raja Patik Tampubolon, Pustaha Tumbaga Holing: Adat Batak – Patik Uhum, Jilid 1
(Buku I dan II), 20 (Jakarta: Dian Utama dan KERABAT, 2004), 126.

______________________________________________________________________ 37
Seminar Begu Ganjang di Paroki St. Pius X Aek Kanopan-Agustus 2008
simandjadihon sahit tok ni ulu tu djolma manisia, ai
dipatudos ma songon na mamasak bosi mamasak
porson-tinganna molo na tok uluna; pangonai ni begu
sihabanghabang ma i. Dung ni asa mate ma beguna
sahali nari, laho ma ibana tu gindjang: “Dison ma ahu
Ompung” Botima ninna. “Inda adong ho dison, laho ma
ho barang tu dia; beha ma inda mate ma ahu soada
adong panganonhu?” Botima ninna. “Anggo hasudung-
anmu adong do patuduhononhu: gabe begu gunung ma
ho, asa adong bahen sitopa bosi nasida.” Botima ninna
Debata. Djadi didjadihon ma tutu begu ni panopa i gabe
begu gunung, djadi sai manopai ma ulaonna ganup
borngin....

Ia halak na hona begu gunung morbalihan ma matana


morpullitan dohot monmonna morgubogubo dohot
idjurna mohop pamatangna. Ia somba ni uhumna: asa
dibahen ma mombang pitu, sada mombang godang
djana mordjarungdjung sada sipitupitu sada
sionomonom sada silimalima sada siopatopat sada
sitolutolu sada siduadua. Dung ni asa dibuat bulu
sangkarair dipiu ma idjuk; dung ni asa dibahen ma
sitompion sahundulan songon ragam ni sitompion
Debata ma dibahen. Dibuat ma sada manuk batara
siang djagar pangase balgana. Dung ni asa dipanggang
ma manuk i; dung ni asa dihatahon datu ma i tu begu
gunung. Molo na tama roha ni begu gunung i mandjalo
somba ni na morsahit inon malum sahitna i. Hape molo
so tama rohana mandjalo mate ma na morsahit inon.25

Lalu, Apakah Ada Begu?


c)
Dari seluruh apa yang kita bicarakan di atas, apakah kita
sudah bisa sampai kepada kesimpulan bahwa begu itu ada?

Sebelum menjawab pertanyaan itu masih harus kita


pertanggungjawabkan apa itu begu. Kendati sudah
25
Tobing, The Structure…, 98.

______________________________________________________________________ 38
Seminar Begu Ganjang di Paroki St. Pius X Aek Kanopan-Agustus 2008
diterangkan panjang-lebar di atas mengenai begu, kita
belum tahu apa persisnya itu begu.

Sesungguhnya begu adalah “personifikasi” atau “nama”


dari segala sesuatu yang tidak kelihatan, yang tidak dapat
dipahami, yang ditakuti. Hal itu tampak dalam hal-hal
berikut:

“Cara hidup” begu: Konon, menurut keyakinan orang


Batak Toba, begu beraktivitas sama seperti manusia
beraktivitas. Begu juga berkumpul di pasar, meng-adakan
pertemuan atau rapat, tetapi semuanya itu dilaksanakan
atau berlangsung pada waktu malam. Cara hidup begu
persis terbalik dengan cara hidup manusia biasa, yakni
bahwa pada waktu malam mereka beraktivitas dan pada
waktu siang mereka tidur. Begu diyakini mempunyai “tubuh”
tetapi yang tidak dapat dipegang, disentuh oleh manusia.
Singkatnya, “cara hidup” begu persis terbalik dari cara hidup
manusia yang hidup.26 Keberadaan begu ada hanya dalam
bayang-bayang.

Apa artinya ini? Artinya ialah bahwa “cara hidup” begu


tidak kita ketahui, karena terjadi pada waktu malam
(kegelapan). Kegelapan adalah simbol dari segala sesuatu
kekaburan, ketidaktahuan, ketakutan. “mempunyai tubuh
yang tidak dapat disentuh oleh manusia” adalah ungkapan
yang menunjukkan bahwa keberadaan, bentuk dan
wujudnya tidak diketahui oleh manusia. Keberadaan dalam
bayang-bayang adalah bahasa untuk yang tidak diketahui,
terlihat dan tak teramati.

26
Warneck, Die Religion…, 74. Die Weise der begu ist umgekehrt wie diejenige der
Lebende. Wenn sie die Treppe hinuntergehen, so klettern sie mit dem Kopfe voran…. Sie
halten auch Märkte ab, aber nur des Nachts. Auch ihre Ratsversammlungen und ihr
gesamtes Treiben spielt sich des Nachts ab. Am Tage schlafen sie, in der Nacht laufen sie
herum, am liebsten bei zunehmendem Monde. Die begu haben einen Leib, den man nicht
fassen kann, wenn man ihn auch sieht.

______________________________________________________________________ 39
Seminar Begu Ganjang di Paroki St. Pius X Aek Kanopan-Agustus 2008
Penyebab penyakit yang dialami manusia: Dari sudut
pandang orang Batak Toba kuno, penyebab penyakit
bukanlah virus atau sejenisnya. Penyebab penyakit adalah
begu! Yang menyebabkan penyakit epilepsi (sawan, solpot)
adalah begu gunung atau begu jumpang.27 Bisa saja terjadi
bahwa seseorang keluar pada malam hari dan
menanggalkan pakaiannya. Orang itu mengalami
disorientasi, bingung atau bertindak beringas. Karena terjadi
pada malam hari, maka orang lain yang melihat kenyataan
itu berpikir bahwa orang tersebut pemelihara begu-
(ganjang).

Apa artinya ini? Artinya ialah karena orang Batak Toba


primitif belum mengenal penyebab sesungguhnya penyakit
itu, mereka mengenakannya pada begu: ‘dipastap begu’.
Padahal, dari segi medis jelas, peristiwa seperti itu hanyalah
karena serangan hipotermia biasa.28 Hipotermia biasa ialah
kekakuan pada wajah karena temperatur yang menurun,
terpaan angin dingin atau karena stroke kecil pada
pembuluh darah di sekitar wajah. Sementara orang yang
melepaskan pakaian pada malam hari adalah orang yang
kena serangan ‘paradoxical undressing’. Ini termasuk, secara
medis, gejala hipotermia ekstrim.29

27
Bdk. keterangan PH. L. Tobing di atas.
28
Di sebuah tempat di Tanah Batak, seseorang yang mandi ke mata air yang dingin
dengan turunnya embun biasanya diyakini akan mengalami sebuah penyakit yang
dinamakan "Dipastap Begu". Penyakit ini akan mengakibatkan wajah seseorang
mengalami stroke ringan sebelah. Kata orang itu akibat tidak permisi sama hantu
penjaga "mual" sehingga wajahnya ditampar hantu sehingga nampak mulut dan
matanya moyong karena tidak bisa digerakkan. Padahal apa yang dimaksud dengan
dipatap begu tersebut mungkin saja sebuah gejala hipotermia biasa.
(posted by marbun @ http://humbahas.blogspot.com/2007/11/begu-dan-dunia-medis-
batak.html)
29
Paradoxical undressing: 20% to 50% of hypothermal deaths are associated with a
phenomenon known as paradoxical undressing. This typically occurs during moderate to
severe hypothermia as the victim becomes disoriented, confused, and combative. The
hypothermic victim may begin discarding the clothing he or she has been wearing, which
in turn increases the rate of temperature loss, There have been several published case
studies of victims throwing off their clothes before help reached them.

One explanation for the effect is a cold-induced malfunction of the hypothalamus, the
part of the brain that regulates body temperature. Another explanation is that the
muscles contracting peripheral blood vessels become exhausted (known as a loss of
vasomoter tone) and relax, leading to a sudden surge of blood (and heat) to the

______________________________________________________________________ 40
Seminar Begu Ganjang di Paroki St. Pius X Aek Kanopan-Agustus 2008
Demikianlah, segala sesuatu yang mendatangkan
penyakit, bala atau malapetaka yang tidak dapat diketahui
dan dikontrol oleh manusia dikenakan kepada begu. Wabah
kolera adalah perbuatan ‘begu antuk’. Penyakit busung lapar
atau lever dengan akibat perut membuncit adalah pekerjaan
‘begu sijunde’. Sekarang, karena secara medis sudah kita
tahu penyebab penyakit itu, kita tidak mempercayai lagi
bahwa itu adalah ulah para begu.

Maka, segala sesuatu yang tersembunyi, tak kelihatan, tak


tersentuh, tak dapat diterangkan dengan akal rasional, dan
dengan demikian segala sesuatu yang ditakuti, dinamai
secara kolektif dan universal oleh orang Batak Toba “begu”.
Johanes Warneck memberi definisi atas begu, yakni: Begu
adalah roh orang yang sudah mati, hantu dan setan. Setiap
manusia dengan kematiannya menjadi begu. Akan tetapi
ada juga begu yang sebelumnya bukan manusia,
personifikasi dari kekuatan alam. Setiap begu adalah obyek
ketakutan. Tidak ada kaitan antara Tuhan dengan begu.
Tuhan tidak disebut begu dan begu bukan Debata.30

Monding, konsep tentang orang mati: Menariklah


menganilisis kata yang dipakai untuk orang yang sudah
mati. Orang yang mati disebut monding. Kata ‘monding’
berasal dari kata ‘onding’ (tersembunyi, tidak kelihatan).
Orang yang sudah mati tidak berarti dia tiada, habis,
melainkan hanya “hidup secara tersembunyi dan tak
kelihatan”. Orang yang menjadi ‘onding’ itulah yang disebut
begu.

extremities, fooling the victim into feeling warm.

(http://en.wikipedia.org/wiki/Hypothermia#Paradoxical_undressing).
30
Warneck, Die Religion…, 116-117. Begu, Geist eines Gestorbenen, Gespent, Dämon.
Jeder Mensch wird mit seinem Tode begu. Es gibt aber auch begu, die nie Menschen
gewesen sind, Personifizierungen von Naturgewalten. Alle begu sind ein
Gegenstand der Furcht. Mit den Gottheiten haben die begu nichts zu tun. Ein Gott
heißt nie begu und ein begi nie Debata (bold dan italic dari kami).

______________________________________________________________________ 41
Seminar Begu Ganjang di Paroki St. Pius X Aek Kanopan-Agustus 2008
Pantulan ketakutan yang dialami manusia: Dalam
bingkai kepercayaan animis, yang paling penting dan
menentukan ialah jiwa, roh. Segala nasib baik dan buruk
manusia ditentukan oleh jiwa atau roh itu. Dalam
kepercayaan orang Batak Toba kuno, yang menentukan
nasib baik atau buruk adalah tondi atau begu. Seluruh gerak
hidup manusia Batak Toba dimotivisir oleh ketakutan
terhadap tondi dan begu.31 Karena segala sesuatu memiliki
tondi atau begu, maka segala sesuatu adalah obyek
ketakutan: pohon beringin, hutan, sungai, mata air, ular,
dlsb. Yang paling menakutkan ialah sesuatu yang tak
kelihatan, tak terjamah, tak diketahui. Inilah kecemasan
(ketakutan dengan obyek yang tidak jelas; anxiety).

Nama dari segala sesuatu yang tidak dikenal dan


diketahui: Dalam kehidupan harian, bila kita tidak
mengenal atau mengetahui sesuatu, maka kita katakan: Ai
begu aha do on? Kalau suatu barang atau hal tidak
bermakna kita rasakan, maka kita katakan: Tu begu aha i?
Begu di sini adalah representasi dari ‘yang tidak dikenal,
diketahui’, ‘yang manfaat atau fungsinya tidak dikenal’.
Singkat kata, begu adalah ‘segala sesuatu yang tidak
dikenal, tidak diketahui, tersembunyi, menakutkan’.

Demikianlah keterangan atas begu. Kalau begu tidak


dikenal dan diketahui, sebenarnya tidak ada artinya
membicarakan begu atau tidak bisa kita pastikan bagaimana
sesungguhnya begu. Karena begu termasuk ruang bahasan
spiritisme, maka tentang begu, secara ilmiah berbicara, tidak
ada yang pasti, karena tentang spiritisme juga tidak ada
yang pasti.32 Yang pasti bagi saya, saya tidak mengakui
adanya begu seperti yang diyakini sebagai begu-ganjang
oleh kebanyakan orang.
31
Warneck, Die Religion…, 116-117.
32
di Napoli, Manuale…, 207. Quampropter, scientifice loquendo, nulla certa et definitiva
solutio habetur circa phaenomena spiritica.

______________________________________________________________________ 42
Seminar Begu Ganjang di Paroki St. Pius X Aek Kanopan-Agustus 2008
4. Mencermati Isu-isu Begu-Ganjang dalam Masa Krisis

Kasus atau fenomena begu ganjang perlu juga dilihat


dalam bingkai krisis yang dialami oleh manusia (Indonesia,
Batak). Krisis multi-dimensi di Indonesia juga turut berperan
dalam menghangatkan dan membakar isu begu-ganjang.
Krisis hidup itu mencakup antara lain: krisis sosio-psikologis,
sosio-politis, sosio-ekonomis dan sosio-religius.

a) Sosio-psikologis
Di atas sudah kita katakan bahwa manusia terdiri dari
tubuh dan roh. Hal-hal yang menyangkut tubuh juga
menyangkut roh(aniah). Jiwa (psikhe) manusia juga
ditentukan oleh tubuh (ketubuhan) manusia.

Krisis multi-dimensi yang dialami oleh bangsa Indonesia


akhir-akhir ini membuat juga jiwa (psikhe) banyak dari
orang Indonesia “sakit” (stroke, stress, gila). Maka tidak
mengherankan banyak persoalan psikologis menimpa
orang Indonesia. Epidemi “kesurupan” yang melanda
anak-anak sekolah di seantero Indonesia adalah buah
ketegangan yang dialami oleh para siswa-siswi baik di
rumah maupun di sekolah. Epidemi kesurupan itu semakin
ditumbuhsuburkan oleh tayangan-tayangan media audio-
visual dengan segala tontonan alam gaib.

Manusia Indonesia mengalami banyak kecemasan,


ketakutan dan akhirnya ialah pengendapan ketakutan itu
dalam psikhe, yang pada akhirnya terungkap dalam
segala bentuk manifestasi irasional.

b) Sosio-politis

______________________________________________________________________ 43
Seminar Begu Ganjang di Paroki St. Pius X Aek Kanopan-Agustus 2008
Mungkin untuk sebagian orang agak aneh mengaitkan
isu begu-ganjang dengan politik. Kendati aneh, namun
tidak berarti mustahil.

Maraknya isu santet, begu-ganjang, secara kronologis


bisa ditelusuri. Isu santet dan begu-ganjang marak setelah
era Reformasi. Peralihan antara zaman Orde Baru ke era
Reformasi memunculkan hal yang sebelumnya “tabu”
pada zaman Orde Baru sekarang “bebas” di era
Reformasi.

Apa yang terjadi? Pada masa Orde Baru, dengan


kekuasaan represif dari pemerintah yang berkuasa, orang
tidak leluasa berbuat sesuka hatinya. Orang takut pada
pemerintah. Salah satu “senjata” untuk menghancurkan
seseorang yang tidak disukai (musuh, lawan) ialah dengan
menuduh seseorang ‘PKI’. Bila ada orang atau kelompok
orang yang berbuat sesuatu karena didasarkan oleh
‘cacad (stigma) politis PKI’, pihak penguasa tidak akan
bertindak kekerasan terhadap pelaku. Secara sosio-politis,
barang siapa yang dituduh sebagai PKI, maka dia bisa
diperlakukan tidak adil. Sesudah zaman Orde Baru, cacad
(stigma) politis PKI tidak berdaya lagi.

Pada era Reformasi, orang Indonesia seolah terlepas


dari kungkungan yang mencekam dan represif dari
penguasa pemerintah. Orang seolah bebas bertindak
sesuai dengan keinginannya (lihat betapa maraknya
segala bentuk demonstrasi dan pengungkapan tuntutan).
Penguasa (pemerintah) seakan-akan tidak berdaya.
Sekarang, demokrasi harus ditegakkan (pemerintahan ada
di tangan rakyat). Stigma politis PKI tidak mujarab lagi.
Untuk menghantam orang yang tidak disukai, stigma baru
harus ada. Jadilah santet atau begu-ganjang hadir. Selekas
seseorang dituduh parbegu-ganjang, maka dia boleh
diusir, rumahnya boleh dibakar bahkan orangnya boleh
dibunuh. Konon, isu santet yang beredar di Jawa Timur
beberapa tahun yang lalu, ternyata disinyalir, adalah

______________________________________________________________________ 44
Seminar Begu Ganjang di Paroki St. Pius X Aek Kanopan-Agustus 2008
upaya untuk mendiskreditkan para kiyai Nahdatul Ulama
di daerah Jawa Timur.

c) Sosio-ekonomis
Persoalan sosio-ekonomis juga tidak terlepas dari isu
begu ganjang ini. Kemajuan ekonomi, kemakmuran adalah
sesuatu yang didambakan orang secara bersama. Akan
tetapi kemajuan ekonomi, kemakmuran tidak dengan
serta merta membuat rakyat bahagia. Kerap terjadi
kemajuan ekonomi justru melahirkan jurang antara si kaya
dan si miskin. Kesenjangan sosial seperti itu akan mudah
memercikkan api konflik. Kesenjangan sosial dengan
sendirinya akan melahirkan kecemburuan sosial. Ketika
sebagian orang maju, makmur dan bersenang-senang,
sebagian orang lagi (sialnya jumlahnya lebih banyak)
menderita dan merana, yang timbul ialah krisis relasi
sosial.

Dari sekian banyak kasus begu-ganjang, bila dicermati


secara kritis, di belakangnya selalu – kendati tidak secara
jelas dan terang-benderang – terdapat motif sosio-
ekonomis, politis. Biasanya yang menjadi korban adalah
“orang kecil” (pendatang di suatu kampung, partubu na
metmet, dlsb.). Orang kecil itu tidak berdaya secara sosio-
politis, tetapi boleh jadi kuat secara sosio-ekonomis
(ekonomi baik). Karena terdorong kecemburuan (berbagai
hal boleh jadi ada pemicunya), muncullah suatu
‘rancangan yang tak kelihatan’ (by design).33 Pada suatu
33
IStilah begu ganjang biasanya ditujukan kepada sebuah isu yang terlah mengental dan
terkristalisasi menjadi sebuah persepsi dan opini. Isu yang telah diolah 'by design' inilah
yang disebut sebagai begu ganjang. Apabila istilah begu ganjang telah didesas-desuskan
berarti tandanya ada sebuah 'gerakan bawah tanah' yang dilakuakn oleh kelompok
tertentu untuk menguasasi atau menghabisi lawan-lawannya. Isu begu ganjang semakin
mengerikan dan menyeramkan karena kelompok yang bergerak di bawah tanah itu
biasanya sulit diidentifikasi. Karena setelah kejadian, biasanya peristiwa tersebut dapat
tersamarkan dengan 'gejolak massa' yang ikut-ikutan terpancing. Mereka yang tidak
tahu menahu dengan skenario tersebut.

(posted by marbun @ http://humbahas.blogspot.com/2007/11/begu-dan-dunia-medis-


batak.html)

______________________________________________________________________ 45
Seminar Begu Ganjang di Paroki St. Pius X Aek Kanopan-Agustus 2008
saat tertentu (ada orang sakit di kampung itu, ada
kejadian yang tidak umum, ada orang yang mati),
rancangan yang tak kelihatan itu langsung menyala yakni:
menuduh seseorang sebagai parbegu-ganjang. Tuduhan
parbegu-ganjang itu menjadi konstruksi sosial yang
“mengizinkan” orang yang merancang (pribadi atau
kelompok) itu bisa bertindak untuk melampiaskan
kecemburuan sosial tadi.

d) Sosio-religius
Akhirnya, gejala maraknya isu begu ganjang adalah
akibat dari krisis religiositas yang sejati. Krisis religiositas
itu bisa dalam dua bentuk, yakni: tidak mengandalkan
Tuhan lagi dalam hidup. Dalam tekanan segala krisis
multi-dimensi itu, orang cenderung mengatasinya dengan
upaya sendiri. Kemiskinan, keterhinaan dan
keterkungkungan secara sosial, hendak diatasi secara
jalan pintas (instant). Untuk jalan pintas seperti itu agama
atau Tuhan tidak memberi jawaban. Yang memberi
jawaban ialah kekuatan duniawi yang dapat dimanipulasi
(magic, sim salabim). Inilah penyembahan berhala yang
paling utama (membuat, mengandalkan dan menyembah
yang bukan Tuhan sebagai Tuhan).

Bentuk kedua dari krisis religiositas ialah


ketidaktahanan untuk menderita. Semua manusia
berupaya untuk mengelakkan segala bentuk penderitaan.
Ini benar dan tepat. Lalu bagaimana kalau penderitaan
sungguh hadir? Dalam pengalaman penderitaan sering
muncul pandangan: Tuhan tidak berdaya! Karena Tuhan
tidak berdaya, maka mesti dicari kekuatan yang lain untuk
menyingkirkan penderitaan itu.

5. Begu Ganjang sebagai Konstruksi Sosial?

______________________________________________________________________ 46
Seminar Begu Ganjang di Paroki St. Pius X Aek Kanopan-Agustus 2008
Banyak kenyataan yang diyakini orang, bukan karena
‘demikian adanya’ atau ‘begitulah hakekatnya’, melainkan
karena konstruksi (bangunan atau ciptaan) sosial.

Dalam sosiologi dikenal apa yang disebut ‘konstruksi


sosial’. Apa maksudnya? Secara sosiologis masyarakat sering
dikelompokkan, dikotak-kotakkan. Ideologi paternalistik
dengan bias gender juga sering menggariskan jenis kerja
manusia pria dan wanita. Misalnya, seorang wanita yang
sudah menikah adalah “ibu rumah tangga”. Pekerjaan
sebagai sopir adalah pekerjaan kaum lelaki. Hal-hal seperti
ini sekarang ini sudah dikritisi. Memang begitukah? Hakekat
dari tugas atau pekerjaan sebagai sopir tidak ditentukan oleh
jenis kelamin, melainkan oleh kemampuan dan izin untuk
mengendara. Bahwa sopir dianggap tugas atau pekerjaan
kaum pria adalah konstruksi sosial atau bangunan sosial.
Dari “sono”-nya tidak harus demikian!

Demikianlah banyak hal dalam kehidupan manusia yang


muncul karena konstruksi sosial. Bagaimana pun juga
pekuburan sudah dengan sendirinya dianggap tempat hantu
dan oleh karena itu ditakuti. Pohon beringin yang sedikit
seram atau sumber mata air yang sedikit angker adalah
tempat hunian hantu (adong do pangisi ni i). Pandangan atau
konsep, yang terjadi karena konstruksi sosial seperti ini,
akan membentuk cara bertingkah-laku dan cara bertindak
manusia di lingkungan sosial itu.

Isu begu-ganjang juga tidak terlepas dari kemungkinan


konstruksi sosial. Dari sekian banyak kasus begu-ganjang,
belum pernah terbukti secara empiris di pengadilan bahwa
seseorang yang dituduh parbegu-ganjang sungguh-sungguh
memang memelihara begu-ganjang. Ketika ditanya kepada
si penuduh begu-ganjang, apa itu begu-ganjang, mereka
sendiri tidak tahu menjelaskan. Mereka hanya
membentangkan rangkaian peristiwa yang diyakini sebagai
akibat begu-ganjang, dengan prinsip sebab-akibat yang
palsu (pseudo-causalitas): Jika ada begini, maka ada

______________________________________________________________________ 47
Seminar Begu Ganjang di Paroki St. Pius X Aek Kanopan-Agustus 2008
penyebabnya.34 Penyebabnya tidak tahu, maka mesti dicari
penyebab yang tidak diketahui itu. Jawabannya begu-
ganjang!

Bahwa isu begu-ganjang sangat rawan sebagai hasil


konstruksi sosial, semakin diperkuat oleh pengalaman dari
seorang orangtua pastor. Di kampungnya satu keluarga
dituduh memelihara begu-ganjang. Orang sekampung
mengadakan rapot huta untuk membicarakannya.
Disepakatilah mengadakan rapot bolon sahuta untuk
membicarakan soal itu. Ditetapkanlah bahwa barang siapa
yang tidak datang, berarti dia juga parbegu-ganjang. Ada
beberapa keluarga yang tidak dapat pada rapat itu, karena
takut dan bingung, tetapi ada keluarga (orangtua si pastor)
yang memang sengaja tidak datang karena tidak percaya
akan adanya begu-ganjang. Rapot bolon sahuta digelar, dan
diketahui orangtua si pastor tidak hadir. Apa kata mereka?
Karena orangtua si pastor itu adalah orang terhormat,
berwibawa, bersahabat luwes dan baik, orang yang hadir
pada rapat itu tetap yakin bahwa orangtua si pastor pasti
bukan parbegu-ganjang: Ndang mungkin amanta i parbegu-
ganjang, ai anakna pe adong pastor, jala di ngolu siapari
ndang hea hatihaan.

Apa yang tampak dari kenyataan ini? Jelas sudah ada


konstruksi sosial. Ditetapkan syarat, tetapi syarat itu sudah
menjurus kepada seseorang (kelompok orang). Target sudah
dirancang dan ditentukan. Konstruksi sosial selalu bekerja by
design!

34
Sulitnya pembuktian kasus santet dicontohkan Gultom dalam perkara begu ganjang
(setan panjang), yang baru-baru ini disidangkan di Pengadilan Negeri Medan, Sumatera
Utara. Dalam kasus itu seseorang dituduh memelihara begu ganjang sehingga
masyarakat melempar dan membakar rumahnya sampai rata. Namun, ketika di
persidangan ditanya apakah ada yang pernah melihat begu ganjang, tidak ada yang
mengaku pernah melihat.

"Ini soal kepercayaan masyarakat. Tetapi, nyatanya waktu di sidang, saat mereka
ditanya apakah melihat begu ganjang, mereka bilang tidak," ujarnya.

(http://64.203.71.11/kompas-cetak/0309/30/utama/591388.htm)

______________________________________________________________________ 48
Seminar Begu Ganjang di Paroki St. Pius X Aek Kanopan-Agustus 2008
6. Begu Ganjang: Menguak Sosialitas yang Kabur,
Irasionalitas (Kebodohan) yang Merajalela dan
Religiositas yang Pura-pura

a) Sosialitas yang Kabur


Manusia adalah makhluk sosial; makhluk yang pada
dasarnya bersesama, berteman agar dia menjadi manusia
yang utuh (Lat. socius = teman, sesama, sahabat). Karena
itulah hakekat manusia, maka manusia yang cenderung
menyendiri (tarpinjil, songon tandiang na hapuloan)
adalah manusia yang punya kekurangan dasariah secara
manusiawi.

Dalam dunia yang serba modern, canggih dan cepat


berubah dan bergerak ini, manusia cenderung menjadi
individualistis. Manusia dikejar-kejar oleh pencapaian
pribadi entah dalam hal pangkat, kuasa, harta kekayaan,
dlsb. Manusia tidak lagi saling mengenal, tidak saling
bersahabat, tidak saling peduli. Dalam keadaan yang
demikian, yang muncul ialah atau sikap tak peduli
terhadap sesama atau sikap curiga sampai takut terhadap
sesamanya.

Rasanya isu begu-ganjang adalah sebuah kritisisme


terhadap sosialitas yang semakin kabur, ketika manusia
tidak peduli lagi kepada sesamanya yang lain. Begu-
ganjang adalah ‘hantu modern egoisme dan
individualisme’.

b) Irasionalitas (Kebodohan) yang


Merajalela
Kendati dunia semakin canggih, pengetahuan semakin
maju, namun toh sebagian orang masih tinggal dalam
dunia ‘zaman bahaeula’. Irasionalisme semakin marak.
Cukup melihat tontonan yang amat kerap muncul di
media audio-visual. Betapa banyak tontonan itu yang
menuntun orang pada cara pikir primitif, jatuh pada

______________________________________________________________________ 49
Seminar Begu Ganjang di Paroki St. Pius X Aek Kanopan-Agustus 2008
keyakinan klenik-klenik dan pada penumpulan cara
berpikir rasional dan kritis. Hantu, jin, setan dan begu-
ganjang terus gentayangan.

Irasionalitas ini semakin memprihatinkan, karena


kejahatan yang jelas-jelas aktornya (korupsi,
pemerkosaan, tindak kekerasan terhadap perempuan,
ketidak-adilan, pembunuhan, dlsb.) akhirnya luput dari
perhatian, karena seluruh pikiran, perhatian dan daya-
upaya sudah ditumpahkan pada isu begu-ganjang yang
tidak jelas juntrungannya.

Isu begu-ganjang sungguh memperlihatkan cara pikir


irasional ini. Sekelompok orang menuduh si A parbegu-
ganjang. Lalu kelompok itu membakar rumah dan bahkan
membunuhnya. Yang menjadi pertanyaan logis dan
rasional ialah: Kalau memang benar ada begu-ganjang itu
dan si A memelihara begu-ganjang tersebut, mengapa dia
tidak memakai begu-ganjang itu untuk meng-hancurkan
orang-orang yang memusuhi dia? Aneh bin ajaib, dia mati
konyol tanpa daya membela diri dengan pasukan begu-
ganjang-nya! Lalu di mana parbegu-ganjang itu? Di mana
kekuatan gaib begu-ganjang itu?

Sementara orang lain sudah mencapai prestasi-prestasi


besar dan canggih ilmu pengetahuan, kita masih berkutat
dalam dunia klenik, setan dan begu-ganjang.

c) Religiositas Palsu
Isu begu-ganjang ternyata telah membuka kedok
religiositas kita yang palsu. Di satu sisi bangsa kita amat
tampak secara lahiriah sebagai orang religius, beragama
dan ber-Tuhan. Perayaan atau ibadah religius
dilaksanakan secara hebat-hebat baik dalam skala kecil
maupun besar. Yang lucu, justru di negeri yang amat
religius ini segala macam ketidakadilan dan kejahatan
sungguh dirasakan, terutama oleh orang kecil. Di negeri

______________________________________________________________________ 50
Seminar Begu Ganjang di Paroki St. Pius X Aek Kanopan-Agustus 2008
yang amat ber-Tuhan ini, isu begu-ganjang, santet dan
sejenisnya amat banyak muncul.

Isu begu-ganjang sekaligus menguak topeng religiositas


kita yang palsu dalam menghadapi kenyataan hidup
secara kristiani. Pengalaman derita adalah pengalaman
manusiawi yang sangat normal. Ketahanan dan kesabaran
dalam penderitaan adalah bentuk pengalaman iman yang
paling asli. Justru Tuhan Yesus sendiri, Anak Allah,
mengalami sendiri pengalaman menderita. Maka setiap
penderitaan yang dialami oleh orang Kristen seharusnya
adalah bagian pengalaman iman, yang dipersatukan
dalam pengalaman Tuhan Yesus Kristus. Pada saat
penderitaan itu orang tidak sanggup mempersatukan
pengalaman hidupnya dengan pengalaman Tuhan
(pengalaman rohani). Kalau ini yang terjadi, maka paham
tentang Tuhan dan ber-Tuhan, agama dan beragama
menjadi dipersempit. Kita ber-Tuhan dan beragama hanya
dalam pengalaman yang menyenangkan, menguntungkan
dan membahagiakan.

7. Catatan Akhir

Kita telah berbicara panjang lebar tentang begu-


ganjang. Saya tidak tahu apakah ada begu-
ganjang seperti dipahami dan diyakini oleh
banyak orang. Yang pasti saya tahu ialah
bahwa manusia adalah makhluk jasmani
dan rohani. Itu berarti bahwa manusia
mempunyai daya jasmani dan daya rohani. Tetapi
sesungguhnya, daya rohani itu bukanlah begu. Lalu apa?

Seorang orangtua pastor pernah berkata: “Pastor tahu


berapa panjang begu-ganjang? Panjangnya hanya sepuluh
sentimeter, Pastor!” (seraya menunjuk mulut). Baginya,
begu-ganjang itu tidak ada! Mulutlah begu-ganjang itu, yang
menebarkan fitnah, permusuhan, kecurigaan dan ketakutan.

______________________________________________________________________ 51
Seminar Begu Ganjang di Paroki St. Pius X Aek Kanopan-Agustus 2008
Waaooo, rupanya sangat pendek begu-ganjang yang
gentayangan itu!

Curiculum Vitae:

Nama/ Marga P. Serpulus Tano Simamora, Lic.S.S. OFMCap

Tempat/Tgl. Lahir Sialum ni ate-Bonandolok: 01 Juli 1965

Pendidikan SD Negeri 1 Bonandolok, SMP Negeri 877 Bonandolok,


Seminari Menengah Pematangsiantar, Sekolah Tinggi
Filsafat Teologi, St. Yohanes, Pematangsiantar, Pontificium
Biblicum, Roma

Tempat Berkarya Pernah Pastor pembantu di Paroki St. Mikhael, Pangururan,


Sekarang Dosen Kitab Suci di STFT Sinaksak Pematangsiantar

BEGUGANJANG ITU MEMANG ADA


Pastor Hiasintus Sinaga, OFMCap
(

Pertanyaan Pembuka.
Adakah beguganjang? Tanpa ragu-ragu,jawaban kami ialah: ADA. Dan
jika Anda kemudian bertanya : “Apakah penulis pernah melihat beguganjang?”
Sebelum menjawab pertanyaan ini, terlebih dahulu, ijinkan kami bertanya
kepada Anda. “Bagi Anda, adakah Tuhan ?” Apa jawaban Anda? Bagi Anda
yang menjawab “ada”, lanjutkanlah membaca tulisan ini.
Pembaca yang budiman, seperti Anda mengatakan “Tuhan ada”, kami
pun demikian. Jika Anda belum pernah melihat Tuhan secara kasat mata, kami
pun begitu. Jadi, baik bagi Anda maupun untuk penulis, Tuhan itu ada kendati
kita belum pernah melihatNya secara kasat mata. Semoga analogi ini
“bersuara” bagi kita untuk mengerti keberadaan beguganjang.

Pertanggunjawaban.

______________________________________________________________________ 52
Seminar Begu Ganjang di Paroki St. Pius X Aek Kanopan-Agustus 2008
Untuk lebih mempertanggungjawabkan pengungkapan kami bahwa
beguganjang memang ada, kami akan membagikan kepada Anda penjelasan
seorang guru filsafat. Apa itu ? Dalam mata kuliah Filsafat yakni “Ontologi” (Ilmu
tentang ADA) Beliau pernah menerangkan bahwa YANG ADA ITU, tidak terbatas
kepada hal yang kasat mata (yang bisa dilihat oleh mata) saja. YANG ADA ITU,
tidak hanya sesuatu yang dapat dilihat oleh mata, sesuatu yang bisa diraba oleh
tangan dan dirasakan oleh kulit kita. Sesuatu yang dapat menyentuh perasaan
batiniah dan hal yang dapat dicerna oleh pikiran, hal itu juga ADA kendati hal
itu tidak berwujud secara material.
Dalam konteks pembicaraan atau sejatinya “persoalan kita” yakni perihal
“BEGUGANJANG” misalnya; Sebagai ide dan isu, beguganjang nyata-nyata
ada. Dalam artian inilah penulis mengatakan bahwa beguganjang memang ada.
Dan orang yang pernah menuduh dan membakar saudaranya karena
beguganjang , bagi mereka beguganjang tidak sebatas isu atau ide semata
tetapi keberadaannya sudah mereka percayai.
Jadi, kiranya terang untuk kita sekarang bahwa beguganjang memang
ada. Entah dia kasat mata atau tidak, bukan itu yang terutama untuk kita. Yang
pertama dan terutama untuk kita sekarang ialah bahwa kita sampai kepada
pengakuan bersama bahwa beguganjang memang ada. Pengakuan ini penting
karena tidak mungkin kita “memperkarakan” hal yang tidak ada. Kiranya tidak
ada lagi di antara kita yang tidak mau tahu dan memandang sepele keberadaan
beguganjang ini. Jika keberadaan beguganjang kita anggap enteng dan dianggap
tidak ada maka korban akan bertambah lagi. Begitu keyakinan kami.

Fokus Kita.
Setelah kita sampai kepada pengakuan keberadaan beguganjang, dan
mengakui hal ini sebagai perkara yang serius, maka kita memberi fokus
perhatian kita kepada akibat keberadaanya. Keberadaan beguganjang
sungguh mengakibatkan dosa yang paling besar yakni pembunuhan kehidupan
manusia. Masih banyak lagi dosa-dosa yang diakibatkan oleh beguganjang yang
ujung-ujungnya selalu mengarah kepada keterancaman hidup dan masa depan
manusia. Dan oleh karena itulah kita semua harus “mengangkat senjata” untuk
memusnahkan beguganjang.
Apa dan bagaimana kita buat untuk pelan-pelan menghancurkan
beguganjang? Berikut ini kami akan memaparkan tindakan kongkrit untuk
mengangkat senjata melawan dan memusnahkan beguganjang. Setelah
memparkan apa yang sudah pernah kami buat untuk berperang melawan
beguganjang, selanjutnya kami akan mengungkapkan harapan kami kepada
pihak-pihak yang kami percayai bisa menutup usia beguganjang. Hal inilah yang
menjadi fokus utama kita.

“Angkat Senjata”
Dalam pertemuan pembinaan para bapak-bapak se-Paroki St. Pius X
Aekkanopan pada tanggal 23-24 Agustus 2008 yang lalu kami mengusung tema
pembinaan : “Para Bapak Se-Paroki St. Pius X Aekkanopan Beriman, Bermoral
dan Bersaudara”. Dalam bingkai tema besar ini, kami memfokuskan perhatian
kepada tema yang lebih kecil lagi yakni: “Ada Apa Dengan Tuak dan
Beguganjang”.
Pihak kepolisian, tokoh adat dan masyrakyat, tokoh gereja dan agama
tetangga kami undang dalam pertemuan ini. Ada yang absen (entah karena
apa) tetapi kebanyakan undangan kita hadir.
Nara sumber pertama yang kami hadirkan ialah P. Serpulus Tano
Simamora, Lic. S.S., OFMCap. dengan judul makalahnya : “Mencermati Isu
Beguganjang: Sebuah Tinjauan Sosio-Kultural”. Beliau adalah seorang dosen

______________________________________________________________________ 53
Seminar Begu Ganjang di Paroki St. Pius X Aek Kanopan-Agustus 2008
Kitab Suci tamatan Fontificium Biblicum, Roma Italy dan sekarang mengajar di
Sekolah Tinggi Filsafat Teologi St. Yohanes Pematangsiantar Sumut. Nara
sumber kedua ialah P.Dr. Sirilus Senator Manalu, OFMCap. dengan judul
makalah: “Tuak dan Beguganjang: Sebuah Tinjauan Psikologis”. Pastor Kapusin
ini adalah tamatan dari University of Santo Tomas Manila – Philippines yang
membidangi Psikologi Klinis. Beliau sekarang berkarya dalam pendampingan
orang-orang yang sakit mental . Pusat Pembinaannya ada di Biara Kapusin
Nagahuta Pematangsiantar Sumut.
Sementara yang menjadi pembanding pertama ialah Mgr. Dr. Anicetus
Bongsu Sinaga, OFMCap., dengan judul makalah yang diuraikannya:
“Beguganjang: Sebuah Analisis Psiko-Kultural”. Hanya saja sangat disayangkan
bahwa Beliau karena tugas yang begitu penting di luar Sumatera tidak bisa hadir
pada saat itu. Akan tetapi jauh-jauh sebelumnya “Ompung” ini sudah
mengirimkan makalahnya kepada kami. “Ompung” ini sekarang berkarya
sebagai Uskup Agung Medan. Pembanding kedua ialah Frans Sihol Siagian.
Bapak sarjana Filsafat ini adalah sebagai insan pers yang sudah banyak
melalang buana ke seluruh nusantara untuk meliput berbagai peristiwa untuk
dimuat dalam Majalah Mingguan Hidup. Beliau sekarang tinggal di Jakarta.
Penyelenggaraan pembinaan ini kami sebut sebagai “angkat senjata yang
pertama”.
Ironisnya, tiga bulan setelah peristiwa pembinaan ini, muncul isu
beguganjang di desa Padangmahondang, Kecamatan Puloraja – Asahan. Daerah
ini, termasuk wilayah layanan pastoral kami. Isu ini dipicu dan disulut oleh
seorang paranormal. Dengan penuh keyakinan kami mengatakan, kesempatan
ini menjadi saat yang tepat untuk tampil “angkat senjata” melawan
beguganjang. Para pengurus Gereja setempat kita kontak segera untuk tampil
melawan beguganjang itu. Utusan dari tim pastoral paroki kita terjunkan secara
diam-diam untuk memantau acara ritual yang diselenggarakan oleh penduduk
dan dipimpin oleh paranormal. Rupaya, kehadiran kami yang diam-diam dalam
acara-acara ritual itu tercium oleh pihak “penyelenggara” dan sang paranormal
pun kabur. Syukur kepada Tuhan, beguganjang kali ini tidak memakan korban
jiwa dan harta benda. Dengan siap terjun melawan beguganjang, hal ini kami
sebut sebagai “angkat senjata yang kedua”.
Pasca peristiwa itu, setiap kali ada kunjungan pastoral sampai sekarang
kita dengan gencar dan terus terang mencela beguganjang. Entah melalui
mimbar, pertemuan-pertemuan pembinaan dan pada saat obrolan kaki lima, kita
gencar melawan beguganjang. Pada saat pesta pernikahan, baik di dalam gereja
melalui kotbah maupun di tengah kegiatan pesta adat di “pogu ni alaman” kita
tidak segan mencela beguganjang. Ketika acara adat orang meninggal, kita juga
melihat kesempatan ini sebagai moment yang sangat tepat untuk mengajak
umat dan masyrakat untuk turut “angkat senjata” melawan beguganjang.
Makalah-makalah yang dipaparkan para presenter di atas, sangat membantu
kami dan dengan senang hati kami gandakan bagi mereka yang
membutuhkannya di tempat kami. Jadi kami masih sedang “angkat senjata”
melawan beguganjang. Dan mudah-mudahan kita tidak kalah.

Harapan
Kami cukup yakin, cara ini merupakan salah satu jalan yang efektif untuk
memusnahkan beguganjang dari atas bumi ini. Senada dengan hal ini mungkin
dapat kita buat. Selain itu, kami yakin ada usaha-usaha yang pasti lebih ampuh
dan berdaya gugah lebih dahsyat, jika para pucuk pimpinan Gereja-Gereja di
seantero Sumatera Utara menganggap perkara beguganjang merupakan hal
yang serius dan sangat fundamental menyentuh inti keberimanan Kristiani.
Bersediakah atau mampukah para pucuk pimpinan Gereja se-Sumut yang kami

______________________________________________________________________ 54
Seminar Begu Ganjang di Paroki St. Pius X Aek Kanopan-Agustus 2008
hormati dan banggakan, untuk duduk bersama barang satu atau dua jam
membicarakan perkara beguganjang ini? Jika para pimpinan kita ini mampu dan
bersedia untuk duduk bersama, mungkinkah pihak Sinar Indonesia Baru(SIB)
yang sangat dekat dengan rakyat ini menjadi pendukung utama pertemuan para
pucuk pimpinan Gereja kita? Ini harapan kami. Semoga.

Catatan Simpul
Disentak dan “digugat” oleh kepiluan-kepiluan korban yang diakibatkan
oleh beguganjang, kita sebagai pekerja karya-karya pastoral mestinya berada
pada barisan pertama terpanggil untuk turut ambil bagian secara kongkrit
manakala beguganjang muncul di sekitar kita. Sekian lama beguganjang yang
menelan korban jiwa dan harta kekayaan yang tidak sedikit jumlahnya sungguh-
sungguh menggugat hati nurani kita dan jatidiri kekristenan serta melecehkan
martabat luhur “Bangso Batak” . Masih mampukah kita tinggal diam? Kini
saatnya tiba dalam semangat bahu membahu dan atas nama kebersamaan
persaudaraan penuh kasih untuk tampil dan berbuat sebagai pemusnah
beguganjang. Lonceng Gereja se-Sumut untuk kematian beguganjang sudah
saatnya dibunyikan dengan nyaring.

Salam Damai.
Untukmu saudara-saudari kami di Muara dan Sipoholon. Kampung kita ini
sudah sejak lama terkenal sebagai Muara Nauli dan Sipoholon Najogi. Penyanyi-
penyanyi kita sudah mendendangkan hal itu dengan sangat indah, merdu dan
menggembirakan. Dari kampung kita ini perantau-perantau cukup terhormat di
negeri orang dan di negeri kita ini. Akan tetapi beguganjang sudah mencabik-
cabik dan melecehkan jatidiri kita. Oleh beguganjang, Muara Nauli dan Sipoholon
Najogi dilecehkan dan dipermalukan di jagad ini.
Untuk mu kami berdoa dari jauh, semoga semangat pertobatan mampu
memulihkan nama baik kita dan jatidiri kita sebagai orang yang percaya kepada
Tuhan Yesus Kristus. Berdamailah dalam Tuhan. Bersama Tuhan kita mampu
memusnahkan beguganjang. Dalam kasih persaudaraan kita mampu merajut
ulang ketercabikan yang ada di antara kita. Demikialah kita bisa memulihkan diri
di hadapan Tuhan dan sesama. Dengan tekad bulat ke depan, mari kita
tunjukkan diri kita sebagai pencinta persaudaraan bukan sebagai pembunuh dan
pembakar saudaranya sendiri. Salam Damai. (Penulis bekerja di Paroki St. Pius X
Aekkanopan-Labura-Sumut)

______________________________________________________________________ 55
Seminar Begu Ganjang di Paroki St. Pius X Aek Kanopan-Agustus 2008

You might also like