Professional Documents
Culture Documents
2. Ofensif Sibiangsa2
1
Istilah begu-ganjang dikenakan kepada black magic penggunaan sibiangsa sebagai
magic perusak (pupuk pangarobur) dan begu ganjang (“harimau panjang”) sebagai
“kendaraan”. Begu ganjang dibedakan dari begu hundulan (harafiah: harimau
tunggangan). Yang disebut pertama berupa black magic dan yang disebut teraknir white
magic. Sering keturunan Lontung, utamanya Siregar, menyandang ilmu gaib dapat
menunggangi seekor harimau dan dapat menghilang seketika. Ia berkisah mengenai
perlanan menunggangi harimau secara misterius, dan sekejap mata sudah samapi ke
tujuan.
2
Contoh peraga dari Sibiangsa atau pangulubalang adalah koleksi di Jl. Imam Bonjol 39.
Medan, yang terdiri dari guci tua tempat menyimpan (sisasisa) beluang anak.
______________________________________________________________________ 1
Seminar Begu Ganjang di Paroki St. Pius X Aek Kanopan-Agustus 2008
Pada dasarnya agama Batak termasuk Angst Religion, agama kecemasan.
Dimana-mana ada begu (tondi na jahat.) Struktur kampung sendiri adalah buah
hasil dari sumber-sumber yang mencemaskan ini. Kampung tradisional
dikelilingi oleh parik , yakni tanah galian yang diikuti oleh benteng kampung
yang ditinggikan, di mana ditanam buluduri yang rapat tak tertembus, dengan
hanya ada satu pintu keluar, bahal. Ini adalah bukti mental permusuhan dan
dunia defensdif-ofensif. Paranoia Primordial bersarang dengan subur di
dalamnya.
Ofensif yang terkenal dan berdasar magic ialah Sibiangsa atau pangulubalang.
Magic Sibiangsa berkembang dalam ranah Paranoia Primordial dan fungsinya
adalah senjata pamungkas magis: Piso pangabas di jolo, saongsaong di ginjang
jala lapiklapik di toru. Metode pembuatannya adalah sebagai berikut: Seorang
anak – paling disukai ialah hatoban – yang dipelihara dengan menggendutkan :
member makanan yang enak dan subur. Ke telinganya selalu dibisikkan : Ke
mana saja engkau saya suruh , engkau harus menuruti. Dalam harapan diberi
makanan, anak itu selalu mengangguk. Pada hari H diadakan penyumpah,
manumpa. Hal ini diikuti – tak lama kemudian – oleh panggurigurion,
“pengwadahan”. Cairan metal ditumpahkan ke dalam mulut yang disumpahi,
sampai anak mati. Tubuhnya dicincang dan dimasukkan ke dalam guci yang
sudah disediakan. Barang ini menjadi amulet ofensif – defensif. Sesuai janji
sumpah si anak, maka ia bersedia disuruh ke mana dan berbuat apa saja. Maka
seringlah ia disuruh manumpur huta ni musu. Bisa saja seluruh isi kampung
menjadi gila, berkelahi atau mati tulah.
3
Contoh Peraga dari Begu Ganjang adalah koleksi di Jl. A.I.S. Nasution 29, Sibolga
22811, yakni sebuah patung metal harimau, ukuran panjang sekitar 15 cm, berlobang di
punggung tempat memasukkan pupuk sibiangsa.
4
Begu Ajakan, “harimau tunggangan”. Nama ini membedakannya dari begu hundulan
(harimau tunggangan= white magic). Marga Lontung, utamanya Siregar (Siampudan),
dikatakan mewarisi “ilmu sitelpang”, kemampuan misterius meniru ilmu Si Boru Pareme,
sang ibunda Lontung, untuk menggunakan jasa harimau mendukung hidupnya. Selain
lewat berburu binatang menjadi makanannya, dikembangkan juga “Ilmu Sihunduli”, ilmu
untuk menjadikan harimau menjadi tunggangan membawa “tuannya” secara ajaib ke
mana suka.
______________________________________________________________________ 2
Seminar Begu Ganjang di Paroki St. Pius X Aek Kanopan-Agustus 2008
Cairan metal yang disumpahi itu lantas dituang menjadi patung harimau, begu
ganjang. Lantas ia dipuja dan dijadikan magic.
Pada waktu yang dibutuhkan untuk melakukan ofensif kepada musuh, patung
begu anjar diojur (dielek-puja) agar bersedia disuruh ke tempat tujuan. Dia pun
diajari siapa yang akan dijadikan sasaran dan bagaimana ia harus menunaikan
tugasnya.
Pada hari H pengutusan begu ganjang yang pertama diojur adalah pupui
sibiangsa. Dia disumpahi agar setia kepada janjinya yang semual, lantas
“dipesani” melakukan misi tertentu. Tumpur ma baba ni sibaoadi, na sai
mangondam hutanmi. Kemudian diojur pula begu ganjang agar bersedia
membawa situmpur panghunduli, atau situmpur pangarobur (sibiangsa) ke
tempat tujuan. Lalu diadakan ritual paborhathon. Dengan mangmang (mantra)
dan tabas pamorhati, begu ganjang diberangkatkan dan diutus.
Perlu diberi waktu kepada begu ganjang malakukan misinya. Datu pamorhati
melakukan sitagangi. Biasanya, sitagangi adalah magic berupa dramatisasi ritual
pangaroburon terhadap musuh. Ada orang membuat parsili, patung manusia
dari anak pisang yang diukir menyerupai wajah manusia. Parsili disumpahi dan
ditusuki atau dirusaki seperti merusak langsung musuh termaksud. Ada juga
yang melukis gambar, atau langsung mengambil foto dari musuh tertuju.
Gambar atau foto itu disiksa atau dirusak seperti menyiksa atau membunuh si
musuh langsung.
______________________________________________________________________ 3
Seminar Begu Ganjang di Paroki St. Pius X Aek Kanopan-Agustus 2008
Pertama pada tataran psikhe. Sejak pengembangan kekristenan, dan berduyun-
duyun orang Batak menganut kekristenan. Setiap perubahan isi keyakinan harus
tunduk kepada peribahasa Perancis: “Partir est mourir en peau: berpisah berarti
mati sedikit” Mati kepada tatanan yang ditinggalkan dan lahir pada milieu yang
diampu. Partir est mourir en peau berlaku baik terhadap perubahan isi maupun
perobahan cara. Setiap perobahan suasana hidup mengandung satu mourir en
peau, sehingga di sini terjadi mourir en peau ganda, alias pendobelan. Misalnya
di Amerika Serikat, tahun 1970-an terjadi Culture Shock karena perilaku generasi
muda yang dengan gampang menganut “pergaulan bebas”. Banyak generasi tua
yang tak sanggup “mencerna” gaya berpakaian, You Can See dan dansa-dansi
yang tak mengenal batas. Nudisme menjalar di Swedia ke seluruh Eropa lantas
ke seluruh dunia. Skaralitas sakramen pernikahan dengan gampang dilanggar
atau dilupakan. Orang menjadi gamang, cemas dan bingung.
Kemudian sudah juga terjadi bidang komunikasi dalam arti yang sangat luas.
Dahulu orang hidup dengan tenteram (splendid isolation) di desa yang
terpencil, di bawah lindungan alam, pamong pemerintah dari pangulu, dan dewa
rohani dalam diri datu, kemudian pastor dan pendeta. Di sini terjadi double
mourir en peau. Manusia pelakunya menerima juga kegamangan, kecemasan,
kegoncangan, dan perilaku aneh, tatkala melihat deretan mobil, lampu merah,
televise yang menghadirkan gambar-gambar yang mengatasi daya pikirnya,
sampai kepada internet. Informasi dari seluruh dunia langsung masuk ke dalam
rumah.
Berikut adalah Cultural Shock bidang konsumerisme. Ada jaman orang pagi-pagi
bertanya: Apa kita makan hari ini (masa kelaparan). Setelah kemakmuran
bertambah, maka pertanyaanya berubah: Di mana kita makan: di hotel, di
restaurant, di warung dalam rumah tangga sendiri. Kemudian berlanjut menjadi
pertanyaan: Siapa kita makan hari ini. Bagi orangtua karir, baik bapak maupun
ibu, kesulitan terkadang timbul bagaimana “memperkenalkan anak kepada
ayahnya”, sebab sang ayah karena karier sudah berangkat pagi-pagi dan masuk
rumah larut malam. Kalau dahulu, acara memask dan makan bersama satu
______________________________________________________________________ 4
Seminar Begu Ganjang di Paroki St. Pius X Aek Kanopan-Agustus 2008
keluarga menjadi ritus ikatan keluarga inti – ayah, ibu anak-anak dan mertua –
maka sekarang ini, orang tak sempat duduk bersama pun. Makanan diabil secara
instant, makan di restoran atau baw bontot (ke sekolah) dan waktu lebih banyak
digunakan di luar rumah daripada menjadi tondi ni jabu. Dapat dikatakan bahwa
sendi-sendi ikatan keluarga dan tata nilai mengalami revolusi yang tak sanggup
dicerna tanpa kecemasan, kegamangan, ketakutan, frustrasi dan stress. Ada
orang yang tak snaggup keluar rumah menghadapi kepadatan lalu lintas di jalan
raya.
Yang terakhir dari Culture Shock adalah hedonisme. Orang berlomba mau hidup
senang. Hiburan dan entertainment baik di masyarakat luas maupun pada
tayangan elektronik menjadi pelarian untuk bersembunyi dari kerasnya
tantangan dari perjuangan-perjuangan di atas. Memang manusia pada dasarnya
cenderung untuk hidup senang dan menikmati kesenangan. Berkembanglah
budaya hedonisme lewat tontonan atau gambar-gambar seronok, sampai
kepada pergaulan ceklek anara muda-mudi. Hal ini dikembangkan kepada
pelarian high, lewat minum-minuman, narkoba, sabu-sabu, rumah remang-
remang, judi dlsb. Kekalutan dan Shock batin adalah sangat besar, karena di
satu pihak nurani adat tradisional sangat bertentangan dengan adat baru ini,
dan di pihak lain, tatanan nilai dan etika tradisional secara langsung dan tanpa
argumentasi dijadikan tertuduh sebagai kolot. Budaya baru diberi lebel modern
dan “mulia” yang harus diberi jalan masuk dan segala lainnya adalah untuk
menyingkir.
Suatu bahan bakar kepada kekalutan batin dan psyche yang sangat membuat
orangtua stress berat, sekarang ini adalah terpaan ancaman untuk hidup. Adalah
bencana tsunami, bencana gempa, banjir, letusan gunung berapi, lumpur panas
yang sangat mengkalutkan batin dan memaksakan kecemasan hidup,
metaphysische Angst, bagi setiap nurani. Hal ini ditambah oleh “budaya
kekerasan” seperti di Poso, Ambon Papua. Hidup manusia terkadang dihargai
tak kurang dari hidup seekor ayam, yang disembelih dan dicabut nyawa telah
singgah ke strata kita, di ambang pintu rumah, dan bahkan ke pust rumah
sendiri lewat televisi.
______________________________________________________________________ 5
Seminar Begu Ganjang di Paroki St. Pius X Aek Kanopan-Agustus 2008
Tiga magma besar adalah dapur pemompa musibah begu ganjang. Yang
pertama adalah rasa keterjepitan di antara kutub-kutub tata nilai dan
pemaksaan harus melangkah ke arah yang berkenan pada nurani. Inilah rasa
frustrasi yang memaksakan stress berat dan menambah jumlah orang “sinting” .
Orang sinting jelas bertindak tidak menurut logika dan budi yang sehat. Ia
merasa frustrasi dan bertindak menurut etika sesat yang belum dicernakan
menurut akal sehat.
Yang kedua ialah paranoia atau panische Angst, yakni ketakutan yang besar dan
mengatasi daya nalar budi. Kita hidup seolah menunggangi “kuda liar” yang
lajunya kencang dan tak mungkin dapat diolah dengan memuaskan. Korban-
korban perjalanan hidup sudah pasti berjatuhan. Pengalaman hidup di sini
kembali kepada arketipe atau model dasar Batak, tatkala Si Boru Deang Parujar,
dalam menempa bumi, di Lautan Lapaslapas, yang ganas dan tanpa belas-
kasihan, digempur dan dibinasakan oleh Naga Padoha. Jeritan batin itu menjadi
arketipe: Boasa ma paloasonmu ahu, ale Debata Mulajadi Nabolon, mampar tu
laut parsorion, dipasampaksampak galumbang, dipaharatharat gurampang na
bolon, dipasursrsursar Naga Pahoda, hape gok dame do huta ni damang Batara
Guru di Banua Ginjang? Ua, tongos ma tano sampohul bahen hundulan
hamenakan !
Yang ketiga ialah pola dosa asal menurut versi budaya Batak. Hakekat dosa asal
ialah sendiri merasa bersalah tetapi kesalahan dituduhkan pada orang lain, yang
dianggap sebagai ancaman. Ndang ahu, ale Tuhan, siparsala i, boruboru i do.
Orang lain selalu bersalah dan aku selalu terancam.
Pola budaya Batak dalam mengungkapkan dosa asal itu mengambil dua corak.
Pertama, Naga Padoha, Si Raja Iblis, telah memakai kaki-tangannya, roh-roh
jahat dan hantu penyakit telah menyerang dan menerpa bumi manusia untuk
memaksakan kebinasaan. Keadaan hidup kita adalah seperti dahulu, tatkala
Naga Padoha menyerbu bumi manusia dengan begu harera, begu ngenge, begu
nurnur, begu monggop, begu pangambat. Manusia berseru kepada kepada
Dewata Mulajadi Nabolon, yang dahulu sudah menaklukkan Naga Padoha, tetapi
rasanya para Dewata membisu seribu bahasa. Manusia mengalami frustrasi.
Pola kedua ialah tradisi Batak dalam menghadapi ancaman musuh. Mereka
mengembangkan Sibiangsa dan begu ganjang. Di sini berkembanglah panische
Angst dan paranoia, yakni ketakutan yang amat sangat. Api pemantiknya adalah
pengalaman hidup, pada umumnya pada dua sisi, yakni : sakit hati dan
kecemburuan. Inilah wujud nyata dari rasa terancam dan kepanikan batin. Bila
berjangkit suatu penyakit alami, logika kepanikan berkata: Marsahit pe hita di
huta on ulaula ni si anu do i, Ibana do parutiutian dohot parujarujaran di huta on.
Molo naeng mangolu hita, ibana do ingkon pusaon. Hugoit ma ho, songon na
______________________________________________________________________ 6
Seminar Begu Ganjang di Paroki St. Pius X Aek Kanopan-Agustus 2008
nengel, molo dung mangholom ari pintor disubur do pangulubalangna dohot
begu ganjanna i, padalanhon botobotoanna i.
Bukan saja logikanya telah menganut goit songon na nengel, tetapi juga cara
pelampiasannya tidak ditapis lewat nalar yang sehat. Pendeknya berlaku
silogisme molo boti. Molo boti do hape, ingkon siusiron , sisurbuon jala sipusaon
ma bona ni gora. Tole tasurbu, tapaisir, tapusa. Demikianlah berjatuhan korban-
korban kesintingan logika yang tak berkeperi kemanusiaan, tak masuk akal dan
melanggar segala tatanan mapan dalam adat dan budaya. Alasannya, ketakutan
amat sangat, panische Angst, paranoia.
Bila kita amati daerah-daerah yang paling dilanda oleh wabah begu ganjang
terutama adalah wilayah yang mungkin dapat disebut Midah Ko (Miskin, datu,
hosom, komunis). Daerah-daerah miskin dengan tradisi surogat parminum,
parjuji, adalah paling rawan, karena rasa frustrasi dan stress sosial yang paling
gawat. Kemudian daerah pardatudatu, parutiutian, parujarujaran, sebab frustrasi
mengahadapi hidup selain lewat magic dan black magic. Alasannya tetap
panische Angst dan paranoia. Bagi daerah-daerah hosom dohot late, karena
dimana orang merasa frustrasi, muatan dosa asal muncul ke permukaan. Bukan
aku Ya Tuhan, tetapi dia adalah mungka ni singkam mabarbar. Dengan segala
daya pusat ancaman ini ingin dipusa jala dirobur. Daerah komunis sebab
ideology ini meninggalkan tiga luka besar yang sangat gawat. Komunis
menghapus tempat Allah, Mulajadi Nabolon dan Debata Natolu (Batara Guru,
Soripada, Mangalabulan). Komunis menghapus system marga yang berdasarkan
sumangot ni ompu. Tatanan pemberi rasa aman dan partuturon yang merupakan
Bibel Batak, dengan sekali gunting, dikerat dari akarnya. Berikutlah etiket
habatahon juga digunting, yakni pantun hangoluon, tois hamagoan. Habasaon
urat ni ngolu, hatomanon urat ni pasupasu. Seluruh tatanan nilai dan ethos
pengaman ini langsung dijungkirbalikkan oleh komunisme.
Bagaimana pun secara tidak masuk akal bumi Batak secara luas telah dilanda
tulah begu ganjang. Sangat menyedihkan dan memalukan bagi daerah yang
sudah disirami-resapi oleh Injil 144 tahun, sejak apostel Batak, tuan Ingwer
Hendrik Nommensen, sampai di Huta Dame Tarutung 1863.
Dari analisis psiko-kultural yang kita temukan kiranya dapat disimpulakan bahwa
sumber singkam mabarbar atau sebab dari musibah begu ganjang adalah rasa
______________________________________________________________________ 7
Seminar Begu Ganjang di Paroki St. Pius X Aek Kanopan-Agustus 2008
takut, kecemasan, kekalutan batin dan frustrasi. Lewat bermacam culture
shocks yang dialami secara keras dan bengis, maka pada akhirnya manusia
Batak dihadapkan kepada paranoia dan panische Angst alias malitondi
hariboriboan, siala haliapan jala halipurpuran.
Pertanyaannya, bila suatu desa atau wilayah dilanda oleh begu ganjang ,
makalah upaya penawar yang mungkin menurut tradisi budaya Batak ? Adakah
suatu bentuk upacara atau ritual penawar pemadam api musibah yang dahsyat
dan tak masuk akal ini?
(maaf, sedikit bagian akhir dari tulisan ini, entah karena apa hilang.
Saya masih sedang mengkontak Ompung untuk melengkapinya)
Pengantar
______________________________________________________________________ 8
Seminar Begu Ganjang di Paroki St. Pius X Aek Kanopan-Agustus 2008
Melihat judul tulisan ini, “Tuak dan Begu
ganjang”, secara spontan timbul pikiran bahwa
tulisan ini merupakan tulisan yang sungguh-
sungguh korelatif atau sebab akibat. Artinya
dengan tulisan ini kita akan menemukan
hubungan korelasi positip atau negatif antara tuak
dan begu ganjang. Dengan korelasi positif
dimaksudkan bahwa bila semakin banyak orang meminum tuak
maka akan semakin tinggilah kemungkinan adanya pemelihara
begu ganjang sebaliknya dengan korelasi negatif dimaksudkan
bahwa semakin banyak orang meminum tuak semakin sedikitlah
terjadinya pemelihara begu ganjang. Dengan hubungan sebab-
akibat dimaksudkan bahwa minuman tuak akan menyebabkan
adanya pemelihara begu ganjang.
BAGIAN PERTAMA:
______________________________________________________________________ 9
Seminar Begu Ganjang di Paroki St. Pius X Aek Kanopan-Agustus 2008
Saya yakin, kita semua mengenal minuman tuak. Kalau kita belum
pernah mencicipinya, saya yakin kita pernah melihatnya.
______________________________________________________________________ 10
Seminar Begu Ganjang di Paroki St. Pius X Aek Kanopan-Agustus 2008
tuak. Di kota Siantar dan kota-kota kecil lainnya pastilah juga
terdapat beberapa kedai tuak. Walaupun tidak hanya tuak
dihidangkan di kedai tersebut, namun nama kedai itu justru diambil
dari minuman tuak ini.
Bila meminum sedikit, tuak akan mencipta keramahan. Semakin banyak, tuak
akan mengganggu kemampuan peminumnya untuk mengerti kejadian-kejadian
penting yang berlangsung di sekitarnya. Semakin banyak diminum maka orang
tersebut akan secara serius mengalami gangguan koordinasi gerak tubuh, kemampuan
pikiran, membuat keputusan dan bicara. Bila semakin banyak, alcohol bisa membuat
pingsan, koma dan kematian (Plotnik, 1999:182).
Ada beberapa alasan mengapa orang minum tuak. Alasan itu bisa
terungkap secara spontan, bisa diamati dan bisa juga dianalisa
sebagai berikut:
______________________________________________________________________ 11
Seminar Begu Ganjang di Paroki St. Pius X Aek Kanopan-Agustus 2008
gangguan afektif yang tidak didapatnya di dalam keluarga sedangkan laki-laki
yang menjadi alkoholik karena kegagalan dalam hubungan akan cenderung
berperilaku antisocial(bdk. Straussner dan Zelvin, 1997: 37). Tuak bisa
dijadikan sebagai obatnya.
5. Ritus kedewasaan. Dalam beberapa budaya di luar negeri, minum banyak
alcohol merupakan ritus untuk menuju kedewasaan (Straussner dan Zelvin,
1997: 299). Artinya kalau si pemuda telah sanggup minum banyak alcohol, dia
sudah bisa diterima sebagai orang dewasa. Di daerah ini, minum tuak juga
tanda bahwa dia sudah termasuk orang yang dewasa.
6. Tuak membuat berani. Ada orang yang takut berkelahi atau tampil di muka
umum. Maka untuk para penakut, tuak memicu keberanian baik untuk melawan
orang lain maupun untuk tampil di depan umum.
Nampaknya, fungsi-fungsi di atas sangat positip. Individu terbantu oleh tuak itu
sendiri karena memang tuak ini beralkohol rendah. Namun bila dipelajari dan dilihat
dari kenyataan yang ada, tuak itu memberikan efek negatif yang lebih banyak untuk
para peminumnya. Secara pelan-pelan dan bertahap tuak atau alcohol lainnya
menuntun orang yang meminumnya menjadi seorang alkoholik. Peminum tuak sering
terpaku pada alasan minum tuak di atas. Jarang orang melihat efek tuak itu sendiri.
Kalaupun dilihat, karena sudah terbuai oleh perasaan enak yang ditimbulkan oleh tuak
tersebut, orang tetap bertahan minum tuak. Malah rationalisasi dipakai untuk
membenarkan aktivitas minum itu dengan menekankan aspek positipnya. Tetapi
benarkah bahwa aspek positip dari minum ini ditekankan?
Orang Amerika telah melihat bahaya alcohol itu sendiri. Karena itu mereka
telah mengkategorikan alkoholisme sebagai penyakit. Alkohol adalah penyebab
gangguan kesehatan yang ketiga paling berbahaya sesudah kanker dan penyakit
jantung. Karena alcohol ini secara signifikan telah berkaitan dengan berbagai masalah
pribadi dan social di masyarakat, banyak orang berpendapat bahwa inilah minuman
yang paling berbahaya bila dibandingkan dengan semua minuman atau zat-zat legal
dan illegal. Untuk membuktikan itu, mereka menunjukkan persentasi bahaya yang
telah disebabkan oleh alcohol sebagai berikut(Plotnik, 1999:183):
- 90% dari pemerkosaan di kampus berkaitan dengan alcohol oleh pemerkosa
bahkan juga pada korban.
- 68% yang tertuduh sebagai terlibat dalam pembunuh manusia dan 63% pelaku
telah menggunakan alcohol.
- 63% kejadian dimana suami melakukan kekerasan terhadap isteri terlibat
alcohol.
- 46% kematian di jalan raya juga berkaitan dengan alcohol.
- 50% mahasiswa dan 39% mahasiswi telah terlibat binge (memuntahkan yang
dimakan).
- 35% mahasiswi minum dan mabuk sementara 15 tahun lalu hanya 10%.
- 11% kecelakaan dalam pekerjaan karena alcohol.
- 8-21% bunuh tejadi karena alcohol.
- 7% mahasiswa tingkat 1 berhenti kuliah karena alcohol.
______________________________________________________________________ 12
Seminar Begu Ganjang di Paroki St. Pius X Aek Kanopan-Agustus 2008
Apa yang terjadi di Amerika mungkin telah terjadi di Indonesia, tetapi karena data-
data kita belum terekam dengan baik seperti halnya di Amerika, maka informasi
bahaya alkoholik masih sangat terbatas apalagi yang ada kaitannya dengan tuak di
daerah kita.
Menjadi Alkoholik
______________________________________________________________________ 13
Seminar Begu Ganjang di Paroki St. Pius X Aek Kanopan-Agustus 2008
Memang dia sendiri pun sudah merasa bahwa ada sesuatu
yang salah tetapi tak bisa menerangkannya. Sering dia merasa
berdosa atas kebutuhannya akan minum. Pada fase ini,
hidupnya sudah dikontrol dan berpusat pada alcohol.
Perhatian dan persahabatan/tanggungjawabnya atas keluarga
drastis menurun.
4. Fase Kronik (Chronic Phase). Fase ini ditandai dengan minum
pada pagi hari dan mabuk sepanjang hari. Orang tersebut
butuh minum untuk bisa berfungsi di pagi hari dan seringkali
nampak bahwa orang tersebut tremor bila tidak minum.
Alkohol akan menghilangkan tremor dan membuat orang
tersebut bisa berfungsi biasa. Sedikit alcohol saja telah bisa
membuat dia mabuk. Toleransi alcohol akan semakin
meningkat sehingga perlu meminum lebih banyak lagi untuk
menghasilkan rasa enak. Proses berpikir sungguh rusak.
Proses inilah yang menghasilkan kecemasan dan rasa panic.
Bahaya Alkoholik
Karena bahaya ini, para ahli medis di luar negeri (AMA), telah
menerima alkoholik (orang-orang yang sudah tergantung pada
alcohol) sebagai penyakit yang membutuhkan pengobatan medis.
Sangat umum diterima bahwa orang yang sudah candu dalam hal
minum alcohol tidak lagi memiliki control atas alcohol itu dan tidak
______________________________________________________________________ 14
Seminar Begu Ganjang di Paroki St. Pius X Aek Kanopan-Agustus 2008
memiliki kekuatan kemauan (will power) untuk berhenti (Pita, 1995:
23-26).
______________________________________________________________________ 15
Seminar Begu Ganjang di Paroki St. Pius X Aek Kanopan-Agustus 2008
yang biasa adalah alcohol dan kokain juga nikotin. Bila hal ini terjadi
maka si alkoholik akan sangat terpuruk.
Refleksi Psikologis
______________________________________________________________________ 16
Seminar Begu Ganjang di Paroki St. Pius X Aek Kanopan-Agustus 2008
Nikmatnya Tuak
Melihat efek negatif dari tuak ini untuk pribadi peminum, tidak
heran begitu banyak keluarga asal alkoholik ini terganggu, dan
kalau mereka terganggu tentu masyarakat darimana dan dimana si
alkoholik tinggal juga terganggu.
______________________________________________________________________ 17
Seminar Begu Ganjang di Paroki St. Pius X Aek Kanopan-Agustus 2008
kesejahteraan keluarga tetapi sudah terpusat pada kebutuhan
pribadinya untuk minum. Si alkoholik seringkali tidak lagi bisa
mengerti mengapa anggota keluarga lain marah atau kecewa
terhadapnya, sebaliknya, dia justru meminta pengertian dan
dukungan atas kebutuhan minumnya. Bila hal ini tidak
terpenuhi, ketegangan, percekcokan akan terjadi. Akibatnya,
keluarga tidak lagi bisa hidup harmonis karena memang tidak
ada lagi sharing dan usaha untuk saling mengerti. Di keluarga
seringkali terjadi kesengsaraan, kegilaan dan neraka.
2. Gangguan ekonomi. Selain ketidakharmonisan, keluarga
alkoholik cenderung makin miskin. Banyak uang habis hanya
untuk memenuhi kebutuhan minum apalagi kalau orangnya
tidak berusaha lagi menambah matapencaharian tetapi justru
menghabiskan untuk diri sendiri. Dalam situasi ekonomi yang
makin sulit sekarang, banyak bapak dan pemuda tetap
mempertahankan cara hidupnya di kedai. Akibatnya, kesulitan
ekonomi di rumah tangga sangat dirasakan serta dukungan
dana untuk pendidikan anak-anak dan kesehatan sangat
minim kalau tidak ada. Maka keluarga sering mengalami
ketegangan setiap kali uang tidak tersedia lagi untuk
memenuhi kebutuhan kesehatan, pendidikan bahkan
kebutuhan rumah tangga. Anak-anak alkoholik seringkali tidak
mampu sekolah karena ketiadaan uang sehingga pendidikan
tetap rendah. Bila hal ini terus-menerus terjadi, maka keluarga
dan anak-anak akan tetap hidup miskin.
3. Gangguan kekerasan. Karena gangguan-gangguan di atas
hubungan interpersonal dalam rumahtangga seringkali
tergganggu dengan terjadinya percekcokan, kekerasan bahkan
perceraian. Anggota keluarga khususnya anak-anak tentu
seringkali menjadi korban kekerasan verbal, fisik, emosional
dari sang alkoholik. Mereka akhirnya menderita secara batin,
bingung, malu dan bahkan mengalami ketakutan. Sebagian
anggota keluarga malah sangat takut tinggal di rumah dan
ingin segera merantau walau modal tidak ada. Sementara
karena tuak, sang alkoholik semakin mengganas, menggila
dan mencipta neraka bila kebutuhan dan keinginan pribadinya
tidak terpenuhi. Dalam hal ini, ada bukti cukup kuat
(Breakwell, 1998:35) untuk mendukung gagasan popular
bahwa alcohol dalam jumlah sedang akan meningkatkan
perilaku agresif meskipun memang ada perbedaan besar antar
individu yang satu dengan yang lain sejauh mana mereka
dibuat lepas kendali oleh alcohol.
4. Gangguan social. Orang yang yang sudah minum tuak, tidak
terlalu peduli dengan ide-ide kesuksesan dan isu-isu
perkembangan. Mereka terfocus pada minuman. Keterlibatan
dalam gereja, social dan masyarakat bisa jadi masih ada tetapi
______________________________________________________________________ 18
Seminar Begu Ganjang di Paroki St. Pius X Aek Kanopan-Agustus 2008
dalam konteks, dia harus tetap memenuhi kebutuhan
minumnya. Dia terlebih aktif dan bekerja untuk bisa memenuhi
kebutuhan minum. Dengan kata lain, sumbangan yang
diharapkan lebih seringkali tidak bisa lagi. Mereka seringkali
menjadi model yang kurang baik di masyarakat. Begitu banyak
energi mereka sia-siakan dengan hanya menikmati hidup di
kedai. Mereka ini sering kali membuat keributan di kampong
atau di tempat mereka mabuk.
______________________________________________________________________ 19
Seminar Begu Ganjang di Paroki St. Pius X Aek Kanopan-Agustus 2008
sehari-hari apalagi dalam kaitan dengan hal-hal negatif yang tidak
nyata seringkali tidak tersentuh.
______________________________________________________________________ 20
Seminar Begu Ganjang di Paroki St. Pius X Aek Kanopan-Agustus 2008
yang arahnya menghancurkan bahkan membunuh direncanakan
dan sering dilaksanakan.
BAGIAN KEDUA:
Kasus yang kurang lebih serupa terjadi di salah satu desa di Tobasa, yaitu di
Desa Lumban Bagasan, Kecamatan Laguboti, Kabupaten Toba Samosir. Seorang
warga yang sudah tua, EH [70 tahun], dituduh memelihara begu ganjang. EH pernah
terlihat menari-nari dengan bertelanjang di halaman rumahnya pada tengah malam.
______________________________________________________________________ 21
Seminar Begu Ganjang di Paroki St. Pius X Aek Kanopan-Agustus 2008
Kejadian ini mendapat ingatan yang makin hidup karena ada warga yang meninggal
mendadak serta anak-anak di sana sakit-sakitan. Isu itu diperkuat lagi ketika suatu
malam, sekitar pukul 00.00 beberapa bulan lalu, seorang warga memergoki EH bugil
dan berlari-lari kecil sembari menari di pekarangan rumahnya. Tak lama berselang, di
sebuah dusun lain berjarak 500 meter dari rumahnya, dia lagi-lagi terlihat oleh warga
melakukan hal yang sama. “Waktu itu dia menari sambil mengelilingi sebuah pohon
aren,” kata sumber Blog Berita Dot Com.
EH dituduh memelihara Begu Ganjang karena seorang guru meninggal di desa
itu dan kematiannya mendadak tanpa penyakit sebelumnya. Beberapa anak-anak juga
dikabarkan sering sakit-sakitan. Semua kejadian itu menurut warga adalah aneh dan
perlu orang tersebut dicurigai. Mereka ribut, lalu meminta kepala desa “menyidang”
EH. Pertemuan pun digelar. Kala itu EH mengakui bahwa dia memang pernah bugil
sambil berlari-lari di halaman rumahnya. “Supaya badanku hangat saja, dan aku tidak
pernah pelihara begu ganjang,” katanya. Namun warga desa tetap tidak percaya.
Mereka mengumpulkan uang untuk menyewa seorang paranormal terkenal dari
Kutacane, Aceh yang ahli mengenali Begu Ganjang. Paranormal ini masih muda,
berusia sekitar 25 tahun, seorang perempuan. Warga berhasil mengumpulkan uang Rp
7 juta untuk dia.
Desa heboh. Sekitar 50 orang personal polisi dari Polsek Laguboti dan Polres
Tobasa turun ke sana, Mulai pagi hingga sore hari Desa Lumban Bagasan pun ramai
didatangi warga dari sejumlah desa dan kecamatan lain. Di sebuah rumah tetangga
EH, sang paranormal bersiap-siap menjalankan ritualnya. Dia meminta EH
berhadapan dengannya, disaksikan kepala desa dan beberapa orang saksi. Tapi EH
tidak bersedia menemui si orang pintar. Akhirnya paranormal tidak jadi melakukan
ritual, dan dia pulang setelah mendapat honor. Dan begitulah hampir setiap tahun
kehebohan karena kasus begu ganjang terjadi di kabupaten-kabupaten di Sumut.
Tondi adalah jiwa atau roh seseorang yang merupakan kekuatan, oleh karena
itu tondi memberi nyawa kepada manusia. Tondi didapat sejak seseorang di dalam
kandungan. Bila tondi meninggalkan badan seseorang, maka orang tersebut akan sakit
atau meninggal, maka diadakan upacara mangalap (menjemput) tondi dari sombaon
yang menawannya.
Sahala adalah jiwa atau roh kekuatan yang dimiliki seseorang. Semua orang
memiliki tondi, tetapi tidak semua orang memiliki sahala. Sahala sama dengan
sumanta, tuah atau kesaktian yang dimiliki para raja atau hula-hula.
Begu adalah tondi orang telah meninggal, yang tingkah lakunya sama dengan
tingkah laku manusia, hanya muncul pada waktu malam. Beberapa begu yang ditakuti
oleh orang Batak, yaitu:
______________________________________________________________________ 22
Seminar Begu Ganjang di Paroki St. Pius X Aek Kanopan-Agustus 2008
• Sombaon, yaitu begu yang bertempat tinggal di
pegunungan atau di hutan rimba yang gelap dan
mengerikan.
• Solobean, yaitu begu yang dianggap penguasa pada tempat
tempat tertentu
• Silan, yaitu begu dari nenek moyang pendiri huta/kampung
dari suatu marga
• Begu Ganjang, yaitu begu yang sangat ditakuti, karena
dapat membinasakan orang lain menurut perintah
pemeliharanya.
Demikianlah religi dan kepercayaan suku Batak yang terdapat dalam pustaha,
yang walaupun sudah menganut agama Kristen, dan berpendidikan tinggi orang batak
belum mau meninggalkan religi dan kepercayaan yang sudah tertanam di dalam hati
sanubari mereka.
Begu ganjang adalah, konon, hantu peliharaan yang bisa disuruh pemiliknya
untuk mencari kekayaan, dengan syarat mengorbankan nyawa manusia sebagai
tumbal. Begu ganjang; kalau diterjemahkan bebas menjadi hantu panjang. Menurut
cerita dari mulut ke mulut, begu ganjang di zaman dulu sengaja dipelihara oleh warga
untuk menjaga ladang atau lahan pertanian. Di zaman sekarang fungsi begu ganjang
berubah yaitu untuk mencari kekayaan. Si pemilik begu ganjang, konon, harus
membunuh seseorang untuk memuluskan niat memperoleh harta itu. Katanya, begu
ganjang bekerja pada malam hari khususnya pada jam 24.00 WIB sampai dengan kira-
kira pukul 04.00 WIB. Begu Ganjang ini seringkali mengincar wanita yang baru
melahirkan. Dalam berbagai kasus, orang yang memelihara begu ganjang sering
dituduhkan pada warga pendatang.
______________________________________________________________________ 23
Seminar Begu Ganjang di Paroki St. Pius X Aek Kanopan-Agustus 2008
benda-benda tanpa menyentuh mereka. Kekuatan psikis atau ESP ini disebut psi
phenomena atau fenomena psi (Plotnik,:138; Moran, 1999).
Setengah penduduk Amerika, Negara dimana penelitian tentang ini dibuat,
percaya bahwa ada persepsi ini namun para psikolog masih tetap bergulat untuk
membuktikan persepsi ini dengan penelitian yang teruji. Dan sampai sekarang banyak
psikolog tetap masih ragu akan ESP karena belum ada dukungan scientific tentang ini
karena itu masih banyak dari mereka yang berminat untuk terus mengadakan
penelitian tentang ini (Feldman, 2005:132-133).
Perjuangan yang sama tetap hidup di daerah ini. Meskipun belum ada usaha
penelitian yang keras secara metodologi seperti yang diadakan di Amerika, isu tentang
adanya begu ganjang masih tetap hidup. Lebih jeleknya, efeknya untuk kehidupan
bersama kita nampaknya lebih terasa karena banyaknya orang yang tiba-tiba sakit atau
meninggal tanpa tahu alasan yang yang pasti. Walaupun demikian efek-efeknya untuk
kebanyakan orang tetap menjadi sumber-sumber kecemasan dan ketakutan.
BAGIAN KETIGA:
ULASAN PSIKOLOGIS ATAS TUAK DAN BEGU GANJANG
______________________________________________________________________ 24
Seminar Begu Ganjang di Paroki St. Pius X Aek Kanopan-Agustus 2008
Memang sebagian besar konflik-konflik batin ini seringkali
tidak ditampakkan dan nampak tenang di permukaan tetapi untuk
seseorang atau keluarga api terus berkobar dan menyala. Karena itu
pula secara diam-diam, orang yang sudah dipenuhi dengan “ego” ini
secara diam-diam mencari penyelesaian dengan menggunakan
energi negatif. Kalau keahlian itu tidak ada padanya sering kali hal
ini dimintakan kepada orang pintar atau belajar dari orang pintar
dan kalau kemampuan itu dia punya, dia akan berusaha
mentransfer itu dengan segala usaha dan cara sehingga orang lain
yang “dianggapnya” bersalah akan kena. Dengan kata lain, selain
konfrontasi fisik (jarang sekali terjadi), penyelesaian seringkali
dibuat dengan cara mistik atau guna-guna termasuklah di dalamnya
dengan tenaga begu ganjang.
______________________________________________________________________ 25
Seminar Begu Ganjang di Paroki St. Pius X Aek Kanopan-Agustus 2008
menunjuk pada ciri-cirinya. Tambah lagi, si korban yang sembuh
justru sering diam-diam dan menghindari orang pembuat penyakit
dan kematian tersebut.
Penutup
______________________________________________________________________ 26
Seminar Begu Ganjang di Paroki St. Pius X Aek Kanopan-Agustus 2008
Tuak telah merusak banyak individu dengan demikian telah merusak banyak
mental hidup para peminumnya termasuk orang-orang Kristen.
Mental yang rusak ini tidak lagi memiliki kekuatan untuk
membangun tetapi merusak.
Mental seperti ini adalah persemaian yang hebat untuk
tindakan-tindakan yang merusak termasuk mentransfer energi
negatif kepada orang lain. Mental seperti inilah yang terbuka
untuk belajar dari yang jahat dan bukan dari Tuhan.
Gereja dan Negara yang bertanggungjawab membangun
mental umat dan warganya harus dengan bijaksana
menghambat proses perusakan yang dibuat oleh tuak atau alcohol lainnya sejak dini.
Kalau terlambat hampir tidak ada gunanya kecuali Negara sudah membuat vonis
bahwa alkoholik adalah suatu penyakit yang harus diobati sehingga setiap orang yang
telah alkoholik wajib menjalani rehabilitasi sebelum diterjunkan kembali ke
masyarakat.
Mungkin ini hanya mimpi tetapi begitulah yang mungkin bisa menolong bila
tidak prinsip nikmatnya tuak itu akan tetap merusak individu, masyarakat dan Gereja
kita.
Pastor Sirilus Manalu (Senator Manalu), lahir tgl. 20 Juli 1963, di Hutapinang Pakkat.
Selekas menamatkan SMP RK Pakkat, dia melanjutkan sekolah di Seminari
Menengah dan Tinggi sejak tahun 1980-1993. S1-nya diselesaikan di STFT St.
Yohanes Sinaksak Pematangsiantar dengan judul Skripsi: “Paskah Israel Menurut
Keluaran 12: 1-28”. Dia ditahbiskan imam Kapusin tgl. 10 Juli 1993.
Sejak ditahbiskan, dia ditugaskan di Paroki Saribudolok sebagai pembantu pastor
paroki dari tahun 1993-1995 dan kemudian sebagai Sekretaris Propinsi sejak 1995-
1997. Dia tinggal di Nagahuta sejak menjabat sebagai sekretaris Propinsi Medan tetapi
tetap berkantor di Jl. Sibolga, Pematangsiantar.
Ordo menugaskan dia studi lanjut untuk mengambil Psikologi Klinis di Manila. Tugas
itu diembannya sejak Oktober 1997 dengan studi di University of Santo Tomas,
Manila dengan mengambil program Masteral dan Doktoral dengan judul
Desertasinya: “The Effects of Bibblical Prayers on the Trauma Level of the Abused
Adolescnts”. Tahun 2005 studi itu diselesaikannya dan dia langsung membuka
praktek menolong orang sakit mental di Nagahuta, Pematangsiantar. Sejak itu sampai
sekarang dia menangani poliklinik mental di biara tersebut sambil memberikan
berbagai macam seminar, retret dan bimbingan pribadi kepada keluarga, biarawan-
biarawati dan kepada umat Allah.
______________________________________________________________________ 27
Seminar Begu Ganjang di Paroki St. Pius X Aek Kanopan-Agustus 2008
Kepustakaan:
______________________________________________________________________ 28
Seminar Begu Ganjang di Paroki St. Pius X Aek Kanopan-Agustus 2008
MENCERMATI ISU “BEGU GANJANG”
Sebuah Tinjauan Sosio-Kultural
Semi-Loka PAK Se-Paroki St. Pius X Aekkanopan
1. Catatan Awal
______________________________________________________________________ 29
Seminar Begu Ganjang di Paroki St. Pius X Aek Kanopan-Agustus 2008
itulah kenyataan manusia. Orang yang tak beriman pun akan
mengakui itu.
Ciri utama dari tubuh adalah terikat pada ruang dan waktu
(spatio-temporal); tampak dan terjamah (visible and
touchable) oleh indera manusiawi. Sebaliknya, ciri utama
dari roh ialah tak terikat pada ruang dan waktu (aspatial-
atemporal); tidak tampak dan terjamah (invisible and
untouchable). Karena roh tidak mempunyai tubuh (raga,
materi) maka untuk mewujudkan dirinya, “memperlihat
dirinya”, roh membu-tuhkan raga (tubuh, materi). Plato
pernah mengatakan tubuh adalah “penjara” roh.5 Roh
membutuhkan “pengantara” (medium) untuk merealisir
dirinya di dunia.
5
Ioannes di Napoli, Manuale Philosophiae ad usum seminariorum: Psychologia –
Gnoseologia – Ontologia, (Italy: Marietti Editori Ltd., 1954), 184. Pythagoras et
pythagorici, Plato et platonici (inter platonicos christianos Origenes) tenuerunt animas
humanas praextitisse in astris et postea infusas fuisse in corpora tanquam in carceres
propter aliquam culpam vel sine culpa.
______________________________________________________________________ 30
Seminar Begu Ganjang di Paroki St. Pius X Aek Kanopan-Agustus 2008
b)Fenomena Psikofisis Luarbiasa (Ekstraordinaria)
Baik dari sudut iman maupun dari sudut filsafat diakui
bahwa tubuh jasmaniah (raga) dapat mati, sedangkan roh
tidak dapat mati (immortal). Karena roh tidak dapat mati,
maka dia tetap hidup (abadi).6 Karena itu, bila ada orang
mati, diyakini bahwa hanya tubuhnya yang mati tetapi
rohnya tetap ada (entah di mana soal lain!).
______________________________________________________________________ 31
Seminar Begu Ganjang di Paroki St. Pius X Aek Kanopan-Agustus 2008
Semuanya ini adalah gejala atau fenomena psikofisis yang
dialami oleh manusia, yang diyakini bersumber dari daya
atau kekuatan roh. Tanpa roh hal itu tidak mungkin terjadi.
______________________________________________________________________ 32
Seminar Begu Ganjang di Paroki St. Pius X Aek Kanopan-Agustus 2008
“kelihatan dan diketahui” itulah yang terjadi dalam
okultisme atau spiritisme.
______________________________________________________________________ 33
Seminar Begu Ganjang di Paroki St. Pius X Aek Kanopan-Agustus 2008
Dengan kata lain, prinsip teoretis dari tindakan atau
keyakinan magis ialah kepercayaan atau keyakinan akan
kemujaraban (efficaxcitas) langsung antara gerak tubuh,
kata ritual (mantera) dalam dirinya sendiri. Setiap hal yang
magis selalu memadukan antara gerak tubuh dan kata-kata
ritual (mantera, tabas). Oleh karena itu, dalam setiap hal
yang magis yang paling utama ialah melaksanakan tata
aturan (poda atau uhum ni tabasna) secara teliti, persis agar
bisa berkhasiat dan mujarab (efektif).13
producano effetti simili…. Già nelle pitture del Paleolitico superiore appaiono le prime
raffigurazioni magiche di bisonti, di cervidi, di mammuth, che hanno lo scopo di
assicurare abbondanti prede alle spedizioni dei cacciatori: possedere l’immagine, saperla
disegnare e dipingere su una roccia è analogo al possedere la cosa, in quanto costituisce
un dominio magico di essa.
13
La Vecchia, Antropologia…, 8.
14
C. M. Pleyte Wzn., Bataksche Vertalingen, (Utrecht: H. Honig, 1894), 3. De Batak, …,
staat …, nog volkomen op ééne lijn met den natuurmensch. Zijn godsdienst is derhalve
een natuurgodsdienst of, eenigszins juister omschreven een dergene, die de nieuwere
godsdienstwetenschap met den naam animsme bestempelt.
15
Pleyte, Bataksche…, 3-4. Het eene dezer gronddogmen luidt: “alles in de natuur, in
dieren- en plantenwereld, het bewerktuigde en onbewerktuigde, ieder voorwerp groot of
klein heeft eene ziel. Het tweede dogme kan aldus worden uitgedrukt: de zielen of
geesten, die in de voorwerpen wonen, hebben de macht die te verlaten, vrij rond te
______________________________________________________________________ 34
Seminar Begu Ganjang di Paroki St. Pius X Aek Kanopan-Agustus 2008
Dalam keyakinan animisme yang paling utama ialah jiwa
atau roh itu (anima). Segala sesuatu dirasuki dan dimasuki
oleh jiwa atau roh tersebut. Karena itulah, menurut orang
Batak Toba segala sesuatu memiliki jiwa (martondi): rumah,
cangkul, pisau, periuk, pohon, batu, padi. Tentulah tondi dari
hal-hal di atas mempunyai gradasi (tingkatan). Dari segala
sesuatu – selain manusia tentu – padi adalah hal yang
memiliki tondi yang paling tinggi, karena padi adalah
makanan yang memberi hidup kepada manusia.
Sesungguhnya, tondi adalah pemberi daya hidup
16
(Lebenskraft).
______________________________________________________________________ 35
Seminar Begu Ganjang di Paroki St. Pius X Aek Kanopan-Agustus 2008
Dari kutipan di atas menjadi jelas beberapa hal, antara
lain: Tondi berasal dari Tuhan (Debata). Tondi itu adalah
kekuatan dan penentu nasib manusia. Karena itu, nasib baik
dan buruk ditentukan oleh tondi.18
______________________________________________________________________ 36
Seminar Begu Ganjang di Paroki St. Pius X Aek Kanopan-Agustus 2008
yang sudah meninggal yang lebih rendah mutu atau
tingkatannya. Sedangkan roh alam dan orang yang sudah
mati yang lebih tinggi mutu dan tingkatannya – yang lebih
besar pengaruhnya waktu hidup – disebut sombaon.22
Dari sini dapat diketahui bahwa ada dua jenis begu, yakni:
roh-alam (nature-spirits) dan roh orang mati. Begu dalam arti
roh-alam itu antara lain: Pangulubalang, boru-saniang naga
(penguasa air), boraspati ni tano (penguasa tanah). Dalam
konteks ini, begu boleh disamakan dengan dewa-dewi.
Sedangkan begu yang berasal dari roh orang mati mendapat
aneka macam nama. Bagaimana roh seorang yang sudah
mati menjadi begu dilukiskan oleh PH. L. Tobing, sebagai
berikut:
22
Warneck, Die Religion…, 74. Es gibt zwei Arten begu: solche, die an sich begu sind, das
sind gefärliche Gespenster, und dann die Geister Verstorbener, denn jeder Gestorbene
wird ein begu. Man unterscheidet die zwei Arten aber nicht wesentlich voneinander.
23
Warneck, Die Religion…, 8. Die Batak sagen zwar: nach dem Tode wird der Tondi zum
begu; das ist aber nicht so zu verstehen, daß der tondi sich in den begu umwandelt,
sondern der tondi verläßt den Menschen, und der Rest seiner Persönlichkeit, sein
schattenhaftes Selbst, heißt nun begu; bdk. Tobing, The Structure…, 95. As soon as a
man dies he becomes a begu. As such, he is believed to wander about in the
middleworld, to die and to rise again several times. At length he goes to one of the many
realms of death, where he will have the same profession and position he had during his
life.
24
Raja Patik Tampubolon, Pustaha Tumbaga Holing: Adat Batak – Patik Uhum, Jilid 1
(Buku I dan II), 20 (Jakarta: Dian Utama dan KERABAT, 2004), 126.
______________________________________________________________________ 37
Seminar Begu Ganjang di Paroki St. Pius X Aek Kanopan-Agustus 2008
simandjadihon sahit tok ni ulu tu djolma manisia, ai
dipatudos ma songon na mamasak bosi mamasak
porson-tinganna molo na tok uluna; pangonai ni begu
sihabanghabang ma i. Dung ni asa mate ma beguna
sahali nari, laho ma ibana tu gindjang: “Dison ma ahu
Ompung” Botima ninna. “Inda adong ho dison, laho ma
ho barang tu dia; beha ma inda mate ma ahu soada
adong panganonhu?” Botima ninna. “Anggo hasudung-
anmu adong do patuduhononhu: gabe begu gunung ma
ho, asa adong bahen sitopa bosi nasida.” Botima ninna
Debata. Djadi didjadihon ma tutu begu ni panopa i gabe
begu gunung, djadi sai manopai ma ulaonna ganup
borngin....
______________________________________________________________________ 38
Seminar Begu Ganjang di Paroki St. Pius X Aek Kanopan-Agustus 2008
diterangkan panjang-lebar di atas mengenai begu, kita
belum tahu apa persisnya itu begu.
26
Warneck, Die Religion…, 74. Die Weise der begu ist umgekehrt wie diejenige der
Lebende. Wenn sie die Treppe hinuntergehen, so klettern sie mit dem Kopfe voran…. Sie
halten auch Märkte ab, aber nur des Nachts. Auch ihre Ratsversammlungen und ihr
gesamtes Treiben spielt sich des Nachts ab. Am Tage schlafen sie, in der Nacht laufen sie
herum, am liebsten bei zunehmendem Monde. Die begu haben einen Leib, den man nicht
fassen kann, wenn man ihn auch sieht.
______________________________________________________________________ 39
Seminar Begu Ganjang di Paroki St. Pius X Aek Kanopan-Agustus 2008
Penyebab penyakit yang dialami manusia: Dari sudut
pandang orang Batak Toba kuno, penyebab penyakit
bukanlah virus atau sejenisnya. Penyebab penyakit adalah
begu! Yang menyebabkan penyakit epilepsi (sawan, solpot)
adalah begu gunung atau begu jumpang.27 Bisa saja terjadi
bahwa seseorang keluar pada malam hari dan
menanggalkan pakaiannya. Orang itu mengalami
disorientasi, bingung atau bertindak beringas. Karena terjadi
pada malam hari, maka orang lain yang melihat kenyataan
itu berpikir bahwa orang tersebut pemelihara begu-
(ganjang).
27
Bdk. keterangan PH. L. Tobing di atas.
28
Di sebuah tempat di Tanah Batak, seseorang yang mandi ke mata air yang dingin
dengan turunnya embun biasanya diyakini akan mengalami sebuah penyakit yang
dinamakan "Dipastap Begu". Penyakit ini akan mengakibatkan wajah seseorang
mengalami stroke ringan sebelah. Kata orang itu akibat tidak permisi sama hantu
penjaga "mual" sehingga wajahnya ditampar hantu sehingga nampak mulut dan
matanya moyong karena tidak bisa digerakkan. Padahal apa yang dimaksud dengan
dipatap begu tersebut mungkin saja sebuah gejala hipotermia biasa.
(posted by marbun @ http://humbahas.blogspot.com/2007/11/begu-dan-dunia-medis-
batak.html)
29
Paradoxical undressing: 20% to 50% of hypothermal deaths are associated with a
phenomenon known as paradoxical undressing. This typically occurs during moderate to
severe hypothermia as the victim becomes disoriented, confused, and combative. The
hypothermic victim may begin discarding the clothing he or she has been wearing, which
in turn increases the rate of temperature loss, There have been several published case
studies of victims throwing off their clothes before help reached them.
One explanation for the effect is a cold-induced malfunction of the hypothalamus, the
part of the brain that regulates body temperature. Another explanation is that the
muscles contracting peripheral blood vessels become exhausted (known as a loss of
vasomoter tone) and relax, leading to a sudden surge of blood (and heat) to the
______________________________________________________________________ 40
Seminar Begu Ganjang di Paroki St. Pius X Aek Kanopan-Agustus 2008
Demikianlah, segala sesuatu yang mendatangkan
penyakit, bala atau malapetaka yang tidak dapat diketahui
dan dikontrol oleh manusia dikenakan kepada begu. Wabah
kolera adalah perbuatan ‘begu antuk’. Penyakit busung lapar
atau lever dengan akibat perut membuncit adalah pekerjaan
‘begu sijunde’. Sekarang, karena secara medis sudah kita
tahu penyebab penyakit itu, kita tidak mempercayai lagi
bahwa itu adalah ulah para begu.
(http://en.wikipedia.org/wiki/Hypothermia#Paradoxical_undressing).
30
Warneck, Die Religion…, 116-117. Begu, Geist eines Gestorbenen, Gespent, Dämon.
Jeder Mensch wird mit seinem Tode begu. Es gibt aber auch begu, die nie Menschen
gewesen sind, Personifizierungen von Naturgewalten. Alle begu sind ein
Gegenstand der Furcht. Mit den Gottheiten haben die begu nichts zu tun. Ein Gott
heißt nie begu und ein begi nie Debata (bold dan italic dari kami).
______________________________________________________________________ 41
Seminar Begu Ganjang di Paroki St. Pius X Aek Kanopan-Agustus 2008
Pantulan ketakutan yang dialami manusia: Dalam
bingkai kepercayaan animis, yang paling penting dan
menentukan ialah jiwa, roh. Segala nasib baik dan buruk
manusia ditentukan oleh jiwa atau roh itu. Dalam
kepercayaan orang Batak Toba kuno, yang menentukan
nasib baik atau buruk adalah tondi atau begu. Seluruh gerak
hidup manusia Batak Toba dimotivisir oleh ketakutan
terhadap tondi dan begu.31 Karena segala sesuatu memiliki
tondi atau begu, maka segala sesuatu adalah obyek
ketakutan: pohon beringin, hutan, sungai, mata air, ular,
dlsb. Yang paling menakutkan ialah sesuatu yang tak
kelihatan, tak terjamah, tak diketahui. Inilah kecemasan
(ketakutan dengan obyek yang tidak jelas; anxiety).
______________________________________________________________________ 42
Seminar Begu Ganjang di Paroki St. Pius X Aek Kanopan-Agustus 2008
4. Mencermati Isu-isu Begu-Ganjang dalam Masa Krisis
a) Sosio-psikologis
Di atas sudah kita katakan bahwa manusia terdiri dari
tubuh dan roh. Hal-hal yang menyangkut tubuh juga
menyangkut roh(aniah). Jiwa (psikhe) manusia juga
ditentukan oleh tubuh (ketubuhan) manusia.
b) Sosio-politis
______________________________________________________________________ 43
Seminar Begu Ganjang di Paroki St. Pius X Aek Kanopan-Agustus 2008
Mungkin untuk sebagian orang agak aneh mengaitkan
isu begu-ganjang dengan politik. Kendati aneh, namun
tidak berarti mustahil.
______________________________________________________________________ 44
Seminar Begu Ganjang di Paroki St. Pius X Aek Kanopan-Agustus 2008
upaya untuk mendiskreditkan para kiyai Nahdatul Ulama
di daerah Jawa Timur.
c) Sosio-ekonomis
Persoalan sosio-ekonomis juga tidak terlepas dari isu
begu ganjang ini. Kemajuan ekonomi, kemakmuran adalah
sesuatu yang didambakan orang secara bersama. Akan
tetapi kemajuan ekonomi, kemakmuran tidak dengan
serta merta membuat rakyat bahagia. Kerap terjadi
kemajuan ekonomi justru melahirkan jurang antara si kaya
dan si miskin. Kesenjangan sosial seperti itu akan mudah
memercikkan api konflik. Kesenjangan sosial dengan
sendirinya akan melahirkan kecemburuan sosial. Ketika
sebagian orang maju, makmur dan bersenang-senang,
sebagian orang lagi (sialnya jumlahnya lebih banyak)
menderita dan merana, yang timbul ialah krisis relasi
sosial.
______________________________________________________________________ 45
Seminar Begu Ganjang di Paroki St. Pius X Aek Kanopan-Agustus 2008
saat tertentu (ada orang sakit di kampung itu, ada
kejadian yang tidak umum, ada orang yang mati),
rancangan yang tak kelihatan itu langsung menyala yakni:
menuduh seseorang sebagai parbegu-ganjang. Tuduhan
parbegu-ganjang itu menjadi konstruksi sosial yang
“mengizinkan” orang yang merancang (pribadi atau
kelompok) itu bisa bertindak untuk melampiaskan
kecemburuan sosial tadi.
d) Sosio-religius
Akhirnya, gejala maraknya isu begu ganjang adalah
akibat dari krisis religiositas yang sejati. Krisis religiositas
itu bisa dalam dua bentuk, yakni: tidak mengandalkan
Tuhan lagi dalam hidup. Dalam tekanan segala krisis
multi-dimensi itu, orang cenderung mengatasinya dengan
upaya sendiri. Kemiskinan, keterhinaan dan
keterkungkungan secara sosial, hendak diatasi secara
jalan pintas (instant). Untuk jalan pintas seperti itu agama
atau Tuhan tidak memberi jawaban. Yang memberi
jawaban ialah kekuatan duniawi yang dapat dimanipulasi
(magic, sim salabim). Inilah penyembahan berhala yang
paling utama (membuat, mengandalkan dan menyembah
yang bukan Tuhan sebagai Tuhan).
______________________________________________________________________ 46
Seminar Begu Ganjang di Paroki St. Pius X Aek Kanopan-Agustus 2008
Banyak kenyataan yang diyakini orang, bukan karena
‘demikian adanya’ atau ‘begitulah hakekatnya’, melainkan
karena konstruksi (bangunan atau ciptaan) sosial.
______________________________________________________________________ 47
Seminar Begu Ganjang di Paroki St. Pius X Aek Kanopan-Agustus 2008
penyebabnya.34 Penyebabnya tidak tahu, maka mesti dicari
penyebab yang tidak diketahui itu. Jawabannya begu-
ganjang!
34
Sulitnya pembuktian kasus santet dicontohkan Gultom dalam perkara begu ganjang
(setan panjang), yang baru-baru ini disidangkan di Pengadilan Negeri Medan, Sumatera
Utara. Dalam kasus itu seseorang dituduh memelihara begu ganjang sehingga
masyarakat melempar dan membakar rumahnya sampai rata. Namun, ketika di
persidangan ditanya apakah ada yang pernah melihat begu ganjang, tidak ada yang
mengaku pernah melihat.
"Ini soal kepercayaan masyarakat. Tetapi, nyatanya waktu di sidang, saat mereka
ditanya apakah melihat begu ganjang, mereka bilang tidak," ujarnya.
(http://64.203.71.11/kompas-cetak/0309/30/utama/591388.htm)
______________________________________________________________________ 48
Seminar Begu Ganjang di Paroki St. Pius X Aek Kanopan-Agustus 2008
6. Begu Ganjang: Menguak Sosialitas yang Kabur,
Irasionalitas (Kebodohan) yang Merajalela dan
Religiositas yang Pura-pura
______________________________________________________________________ 49
Seminar Begu Ganjang di Paroki St. Pius X Aek Kanopan-Agustus 2008
keyakinan klenik-klenik dan pada penumpulan cara
berpikir rasional dan kritis. Hantu, jin, setan dan begu-
ganjang terus gentayangan.
c) Religiositas Palsu
Isu begu-ganjang ternyata telah membuka kedok
religiositas kita yang palsu. Di satu sisi bangsa kita amat
tampak secara lahiriah sebagai orang religius, beragama
dan ber-Tuhan. Perayaan atau ibadah religius
dilaksanakan secara hebat-hebat baik dalam skala kecil
maupun besar. Yang lucu, justru di negeri yang amat
religius ini segala macam ketidakadilan dan kejahatan
sungguh dirasakan, terutama oleh orang kecil. Di negeri
______________________________________________________________________ 50
Seminar Begu Ganjang di Paroki St. Pius X Aek Kanopan-Agustus 2008
yang amat ber-Tuhan ini, isu begu-ganjang, santet dan
sejenisnya amat banyak muncul.
7. Catatan Akhir
______________________________________________________________________ 51
Seminar Begu Ganjang di Paroki St. Pius X Aek Kanopan-Agustus 2008
Waaooo, rupanya sangat pendek begu-ganjang yang
gentayangan itu!
Curiculum Vitae:
Pertanyaan Pembuka.
Adakah beguganjang? Tanpa ragu-ragu,jawaban kami ialah: ADA. Dan
jika Anda kemudian bertanya : “Apakah penulis pernah melihat beguganjang?”
Sebelum menjawab pertanyaan ini, terlebih dahulu, ijinkan kami bertanya
kepada Anda. “Bagi Anda, adakah Tuhan ?” Apa jawaban Anda? Bagi Anda
yang menjawab “ada”, lanjutkanlah membaca tulisan ini.
Pembaca yang budiman, seperti Anda mengatakan “Tuhan ada”, kami
pun demikian. Jika Anda belum pernah melihat Tuhan secara kasat mata, kami
pun begitu. Jadi, baik bagi Anda maupun untuk penulis, Tuhan itu ada kendati
kita belum pernah melihatNya secara kasat mata. Semoga analogi ini
“bersuara” bagi kita untuk mengerti keberadaan beguganjang.
Pertanggunjawaban.
______________________________________________________________________ 52
Seminar Begu Ganjang di Paroki St. Pius X Aek Kanopan-Agustus 2008
Untuk lebih mempertanggungjawabkan pengungkapan kami bahwa
beguganjang memang ada, kami akan membagikan kepada Anda penjelasan
seorang guru filsafat. Apa itu ? Dalam mata kuliah Filsafat yakni “Ontologi” (Ilmu
tentang ADA) Beliau pernah menerangkan bahwa YANG ADA ITU, tidak terbatas
kepada hal yang kasat mata (yang bisa dilihat oleh mata) saja. YANG ADA ITU,
tidak hanya sesuatu yang dapat dilihat oleh mata, sesuatu yang bisa diraba oleh
tangan dan dirasakan oleh kulit kita. Sesuatu yang dapat menyentuh perasaan
batiniah dan hal yang dapat dicerna oleh pikiran, hal itu juga ADA kendati hal
itu tidak berwujud secara material.
Dalam konteks pembicaraan atau sejatinya “persoalan kita” yakni perihal
“BEGUGANJANG” misalnya; Sebagai ide dan isu, beguganjang nyata-nyata
ada. Dalam artian inilah penulis mengatakan bahwa beguganjang memang ada.
Dan orang yang pernah menuduh dan membakar saudaranya karena
beguganjang , bagi mereka beguganjang tidak sebatas isu atau ide semata
tetapi keberadaannya sudah mereka percayai.
Jadi, kiranya terang untuk kita sekarang bahwa beguganjang memang
ada. Entah dia kasat mata atau tidak, bukan itu yang terutama untuk kita. Yang
pertama dan terutama untuk kita sekarang ialah bahwa kita sampai kepada
pengakuan bersama bahwa beguganjang memang ada. Pengakuan ini penting
karena tidak mungkin kita “memperkarakan” hal yang tidak ada. Kiranya tidak
ada lagi di antara kita yang tidak mau tahu dan memandang sepele keberadaan
beguganjang ini. Jika keberadaan beguganjang kita anggap enteng dan dianggap
tidak ada maka korban akan bertambah lagi. Begitu keyakinan kami.
Fokus Kita.
Setelah kita sampai kepada pengakuan keberadaan beguganjang, dan
mengakui hal ini sebagai perkara yang serius, maka kita memberi fokus
perhatian kita kepada akibat keberadaanya. Keberadaan beguganjang
sungguh mengakibatkan dosa yang paling besar yakni pembunuhan kehidupan
manusia. Masih banyak lagi dosa-dosa yang diakibatkan oleh beguganjang yang
ujung-ujungnya selalu mengarah kepada keterancaman hidup dan masa depan
manusia. Dan oleh karena itulah kita semua harus “mengangkat senjata” untuk
memusnahkan beguganjang.
Apa dan bagaimana kita buat untuk pelan-pelan menghancurkan
beguganjang? Berikut ini kami akan memaparkan tindakan kongkrit untuk
mengangkat senjata melawan dan memusnahkan beguganjang. Setelah
memparkan apa yang sudah pernah kami buat untuk berperang melawan
beguganjang, selanjutnya kami akan mengungkapkan harapan kami kepada
pihak-pihak yang kami percayai bisa menutup usia beguganjang. Hal inilah yang
menjadi fokus utama kita.
“Angkat Senjata”
Dalam pertemuan pembinaan para bapak-bapak se-Paroki St. Pius X
Aekkanopan pada tanggal 23-24 Agustus 2008 yang lalu kami mengusung tema
pembinaan : “Para Bapak Se-Paroki St. Pius X Aekkanopan Beriman, Bermoral
dan Bersaudara”. Dalam bingkai tema besar ini, kami memfokuskan perhatian
kepada tema yang lebih kecil lagi yakni: “Ada Apa Dengan Tuak dan
Beguganjang”.
Pihak kepolisian, tokoh adat dan masyrakyat, tokoh gereja dan agama
tetangga kami undang dalam pertemuan ini. Ada yang absen (entah karena
apa) tetapi kebanyakan undangan kita hadir.
Nara sumber pertama yang kami hadirkan ialah P. Serpulus Tano
Simamora, Lic. S.S., OFMCap. dengan judul makalahnya : “Mencermati Isu
Beguganjang: Sebuah Tinjauan Sosio-Kultural”. Beliau adalah seorang dosen
______________________________________________________________________ 53
Seminar Begu Ganjang di Paroki St. Pius X Aek Kanopan-Agustus 2008
Kitab Suci tamatan Fontificium Biblicum, Roma Italy dan sekarang mengajar di
Sekolah Tinggi Filsafat Teologi St. Yohanes Pematangsiantar Sumut. Nara
sumber kedua ialah P.Dr. Sirilus Senator Manalu, OFMCap. dengan judul
makalah: “Tuak dan Beguganjang: Sebuah Tinjauan Psikologis”. Pastor Kapusin
ini adalah tamatan dari University of Santo Tomas Manila – Philippines yang
membidangi Psikologi Klinis. Beliau sekarang berkarya dalam pendampingan
orang-orang yang sakit mental . Pusat Pembinaannya ada di Biara Kapusin
Nagahuta Pematangsiantar Sumut.
Sementara yang menjadi pembanding pertama ialah Mgr. Dr. Anicetus
Bongsu Sinaga, OFMCap., dengan judul makalah yang diuraikannya:
“Beguganjang: Sebuah Analisis Psiko-Kultural”. Hanya saja sangat disayangkan
bahwa Beliau karena tugas yang begitu penting di luar Sumatera tidak bisa hadir
pada saat itu. Akan tetapi jauh-jauh sebelumnya “Ompung” ini sudah
mengirimkan makalahnya kepada kami. “Ompung” ini sekarang berkarya
sebagai Uskup Agung Medan. Pembanding kedua ialah Frans Sihol Siagian.
Bapak sarjana Filsafat ini adalah sebagai insan pers yang sudah banyak
melalang buana ke seluruh nusantara untuk meliput berbagai peristiwa untuk
dimuat dalam Majalah Mingguan Hidup. Beliau sekarang tinggal di Jakarta.
Penyelenggaraan pembinaan ini kami sebut sebagai “angkat senjata yang
pertama”.
Ironisnya, tiga bulan setelah peristiwa pembinaan ini, muncul isu
beguganjang di desa Padangmahondang, Kecamatan Puloraja – Asahan. Daerah
ini, termasuk wilayah layanan pastoral kami. Isu ini dipicu dan disulut oleh
seorang paranormal. Dengan penuh keyakinan kami mengatakan, kesempatan
ini menjadi saat yang tepat untuk tampil “angkat senjata” melawan
beguganjang. Para pengurus Gereja setempat kita kontak segera untuk tampil
melawan beguganjang itu. Utusan dari tim pastoral paroki kita terjunkan secara
diam-diam untuk memantau acara ritual yang diselenggarakan oleh penduduk
dan dipimpin oleh paranormal. Rupaya, kehadiran kami yang diam-diam dalam
acara-acara ritual itu tercium oleh pihak “penyelenggara” dan sang paranormal
pun kabur. Syukur kepada Tuhan, beguganjang kali ini tidak memakan korban
jiwa dan harta benda. Dengan siap terjun melawan beguganjang, hal ini kami
sebut sebagai “angkat senjata yang kedua”.
Pasca peristiwa itu, setiap kali ada kunjungan pastoral sampai sekarang
kita dengan gencar dan terus terang mencela beguganjang. Entah melalui
mimbar, pertemuan-pertemuan pembinaan dan pada saat obrolan kaki lima, kita
gencar melawan beguganjang. Pada saat pesta pernikahan, baik di dalam gereja
melalui kotbah maupun di tengah kegiatan pesta adat di “pogu ni alaman” kita
tidak segan mencela beguganjang. Ketika acara adat orang meninggal, kita juga
melihat kesempatan ini sebagai moment yang sangat tepat untuk mengajak
umat dan masyrakat untuk turut “angkat senjata” melawan beguganjang.
Makalah-makalah yang dipaparkan para presenter di atas, sangat membantu
kami dan dengan senang hati kami gandakan bagi mereka yang
membutuhkannya di tempat kami. Jadi kami masih sedang “angkat senjata”
melawan beguganjang. Dan mudah-mudahan kita tidak kalah.
Harapan
Kami cukup yakin, cara ini merupakan salah satu jalan yang efektif untuk
memusnahkan beguganjang dari atas bumi ini. Senada dengan hal ini mungkin
dapat kita buat. Selain itu, kami yakin ada usaha-usaha yang pasti lebih ampuh
dan berdaya gugah lebih dahsyat, jika para pucuk pimpinan Gereja-Gereja di
seantero Sumatera Utara menganggap perkara beguganjang merupakan hal
yang serius dan sangat fundamental menyentuh inti keberimanan Kristiani.
Bersediakah atau mampukah para pucuk pimpinan Gereja se-Sumut yang kami
______________________________________________________________________ 54
Seminar Begu Ganjang di Paroki St. Pius X Aek Kanopan-Agustus 2008
hormati dan banggakan, untuk duduk bersama barang satu atau dua jam
membicarakan perkara beguganjang ini? Jika para pimpinan kita ini mampu dan
bersedia untuk duduk bersama, mungkinkah pihak Sinar Indonesia Baru(SIB)
yang sangat dekat dengan rakyat ini menjadi pendukung utama pertemuan para
pucuk pimpinan Gereja kita? Ini harapan kami. Semoga.
Catatan Simpul
Disentak dan “digugat” oleh kepiluan-kepiluan korban yang diakibatkan
oleh beguganjang, kita sebagai pekerja karya-karya pastoral mestinya berada
pada barisan pertama terpanggil untuk turut ambil bagian secara kongkrit
manakala beguganjang muncul di sekitar kita. Sekian lama beguganjang yang
menelan korban jiwa dan harta kekayaan yang tidak sedikit jumlahnya sungguh-
sungguh menggugat hati nurani kita dan jatidiri kekristenan serta melecehkan
martabat luhur “Bangso Batak” . Masih mampukah kita tinggal diam? Kini
saatnya tiba dalam semangat bahu membahu dan atas nama kebersamaan
persaudaraan penuh kasih untuk tampil dan berbuat sebagai pemusnah
beguganjang. Lonceng Gereja se-Sumut untuk kematian beguganjang sudah
saatnya dibunyikan dengan nyaring.
Salam Damai.
Untukmu saudara-saudari kami di Muara dan Sipoholon. Kampung kita ini
sudah sejak lama terkenal sebagai Muara Nauli dan Sipoholon Najogi. Penyanyi-
penyanyi kita sudah mendendangkan hal itu dengan sangat indah, merdu dan
menggembirakan. Dari kampung kita ini perantau-perantau cukup terhormat di
negeri orang dan di negeri kita ini. Akan tetapi beguganjang sudah mencabik-
cabik dan melecehkan jatidiri kita. Oleh beguganjang, Muara Nauli dan Sipoholon
Najogi dilecehkan dan dipermalukan di jagad ini.
Untuk mu kami berdoa dari jauh, semoga semangat pertobatan mampu
memulihkan nama baik kita dan jatidiri kita sebagai orang yang percaya kepada
Tuhan Yesus Kristus. Berdamailah dalam Tuhan. Bersama Tuhan kita mampu
memusnahkan beguganjang. Dalam kasih persaudaraan kita mampu merajut
ulang ketercabikan yang ada di antara kita. Demikialah kita bisa memulihkan diri
di hadapan Tuhan dan sesama. Dengan tekad bulat ke depan, mari kita
tunjukkan diri kita sebagai pencinta persaudaraan bukan sebagai pembunuh dan
pembakar saudaranya sendiri. Salam Damai. (Penulis bekerja di Paroki St. Pius X
Aekkanopan-Labura-Sumut)
______________________________________________________________________ 55
Seminar Begu Ganjang di Paroki St. Pius X Aek Kanopan-Agustus 2008