You are on page 1of 40

Peter Kasenda

Sejarah, Pemberontakan dan Komunisme

Dalam sebuah masyarakat sejati tidak boleh ada yang kaya maupun miskin. Orang yang berhasil memperoleh
terlalu banyak hanya akan menyebabkan orang lain kekurangan.

Francois – Noel Baheruf

Pertengahan tahun 2001, ribuan orang menghadang iring-iringan yang hendak menguburkan kembali
tulang-belulang sanak keluarga korban 1965 yang dibunuh dan dikuburkan secara massal di Wonosobo
pada 1968. Penolakan warga Kaloran, Temanggung, Jawa Tengah karena daerah itu pernah menjadi basis
PKI. Warga desa trauma dan kuatir acara penguburan kembali itu akan membangkitkan kembali PKI di
daerahnya.1

Pembunuhan kaum komunis dan yang dianggap komunis karena dijustifikasi sebagai pelaku
pembunuhan atas enam jenderal dan satu perwira menegah Angkatan Darat yang terjadi pada
tanggal 1 Oktober 1965. Pembunuhan tersebut banyak menyebabkan orang bungkam, tetapi
pembunuhan yang terjadi pada tanggal 1 Oktober dikutuk keras. Semua peristiwa di tahun 1965
dilimpahkan semua kesalahannya kepada kaum komunis. Pengadilan sama sekali tidak
memutuskan. Hanya keputusan politik MPRS yang ada. Tertuang dalam TAP
MPRS/XXVI/1966: PKI dilarang, diharamkan membaca dan menyebarkan marxisme-leninisme.

Keputusan politik MPRS mengalahkan prinsip hukum. Di mana-mana orang dijebloskan dalam penjara
tanpa melalui proses pengadilan. Apa mereka sekadar simpatisan atau benar-benar anggota Partai
Komunis Indonesia. Terjadi pengucilan hingga ke keluarga, pengekangan terhadap kebebasan anak
cucunya. Hak pendapatnya terampas. Ada ketidakadilan karena hukum tak pernah dihormati.

Mereka mendapat stigma tidak manusiawi. Kaum komunis tersebut sebagai ateis, pemberontak,
makar dan seterusnya. Orang menganggap benar belaka. Soalnya ada sejarah yang dibuat
penguasa Orde Baru yang membentuk kebenaran tunggal. Hasilnya, orang tidak lagi berbicara
kekejaman dari epilog peristiwa Gerakan 30 September, pembunuhan atas ratusan ribu manusia
Indonesia. Orang hanya berbicara pembunuhan enam jenderal di Jakarta dan PKI, dianggap
benar sebagai pelakunya.2

1
“Merekam Sisi Hitam Sebuah Bangsa”, Kompas, 1 Agustus 2003.
2
Nur Kholik Ridwan. “Tragedi 65; Generasi Baru dan Rekonsiliasi”, Kompas, 30 September 2003.
1
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

Dunia akademis boleh jadi tidak mudah untuk dijangkau oleh hegemoni pengetahuan yang dipaksakan
oleh penguasa. Biasanya para ilmuawan bersifat kritis dan selalu menuntut segala macam pertanggung-
jawaban akademis dan tampil dengan segala jenis gugatan mereka. Kalau demikian penguasa mungkin di
kalangan masyarakat ramai. Tetapi masalahnya, masyarakat adalah wilayah terjadinya segala macam
pembenturan nilai dan pengetahuan. Perlawanan selalu terjadi dalam menghadapi segala macam corak
hegemoni.

Setelah Soeharto “lengser keprabon” terjadi berbagai gugatan pun dilancarakan atas keabsahan
rekonstruksi peristiwa G 30 S dan berdirinya Orde Baru. Gugatan ini bertambah hebat setelah beberapa
tokoh yang dianggap dan terbukti terlibat dalam peristiwa yang tragis itu dibebaskan dan dipenjara.
Mereka pun mendapat pendengar yang sangat ingin mendapatkan kesaksian mereka. Setelah sekian lama
mendapatkan kesaksian yang bersumber dari ‘pihak yang menang’. Masyarakat juga ingin mendengar
kesaksian dari mereka yang telah dikalahkan, keinginan ini bertambah kuat karena ‘yang menang itu’ kini
pun telah kehilangan segala hal yang pernah membanggakan. Kini orang bisa membandingkan. Ada
banyak intrepretasi dan versi. Kaum komunis tidak lagi satu-satunya layak tertuduh meski memiliki
kesalahan.3

Sejarah resmi menyatakan bahwa dalam perjalanan bangsa Indonesia, kaum komunis telah melakukan
tiga kali perbuatan makar. 4 Karena itu kaum komunis memperoleh stigma sebagai pemberontakan yang
layak memperoleh peran dalam pentas politik tanpa berusaha menjelaskan akar-akar masalah dan
konteksnya. Dalam rangka itu agaknya berguna mengajukan pertanyaan: Apa benar mereka yang
memberontak? Kalau benar, mengapa mereka memberontak? Dengan cara ini kita memperoleh manfaat
untuk kini dan mendatang.

Masuknya Komunisme

Hendricus Josephus Franciscus Marie Sneevliet, H.M. Dekker, bersama dengan Brandsteder mendirikan
Indisctie Sociaal Demokratisctie Vereniging pada bulan Mei 1914. Dalam tahun 1915, ISDV
menyelenggarakan kongresnya yang pertama. Pada waktu itu jelas tampak dua aliran revolusioner,
pertama di bawah pimpinan Sneevlit, dan yang kedua adalah aliran revolusioner di bawah Schoutman.
Schoutman berpendapat bahwa sosialisme belum tiba saatnya disebarkan di kalangan perkumpulan-
perkumpulan di Indonesia. Kalau disebarkan sekarang, malah akan menimbulkan pemberontakan, karena
mereka belum masak. Saat sekarang sosialisme hanya boleh disebarkan ke tengah-tengah study club saja.
Sneevliit menentang pendapat ini. Ia bertanya kepada Semaon di dalam kongres, orang Indonesia satu-
satunya yang ikut menjawab bahwa orang Indonesia sudah sadar karena mereka membayar pajak. Mereka
selalu bertanya, untuk apa membayar pajak dan pertanyaan sosialisme ke tengah-tengah orang Indonesia.

3
Taufik Abdullah. “Perbedaan Sejarah dan Tragedi 1965”, Sejarah, No. 4, 2000.
4
Sekretariat Negara RI. Gerakan 30 September 1965, Pemberontakan Komunis Indonesia: Latar Belakang, Aksi
dan Penumpasannya. Jakarta: Sekneg RI, 1995.
2
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

Dan jika Indonesia sudah berontak, itu tandanya “kami sudah marah”. Sidang kongres gempar karenanya.
Sebagian anggota kongres anggota-anggota Belanda tidak menyokong Sneevlit. Mereka keluar satu per
satu.5 Kendati ISDV makin banyak anggotanya dan makin radikal marxismenya, tetapi kurang mampu
menarik orang Indonesia, sehingga hanya memperoleh sedikit dukungan massa. Pemimpin Eropa itu
menyadari bahwa tanpa dukungan semacam itu, keberhasilan suatu revolusi yang bertujuan memperoleh
kemeredekaan politik. Dukungan semacam itu perlu didapat untuk memperolah bantuan Indonesia bagi
dasar ajaran marxisme yang revolusioner Pimpinan Eropa membuat hubungan dengan para pemimpin
Indonesia yang cenderung sosialistis dari Sarekat Islam, tergabung dalam ISDV, dan dengan penuh
semangat menarik anggota ISDV.

Berkat hubungan itu, Sneevlit dan Baars berhasil dengan leluasa berbicara dalam forum Kongres SI,
bahkan mendapat kesempatan untuk menyajikan prasaran sidang-sidangnya tentang soal-soal perburuhan
dan pemerintahan. Kontaknya yang erat dengan ketua SI Semarang, Semaoen, memberikan kesempatan
baginya untuk berceramah dalam kursus-kursus kader, sehingga ISDV akhirnya banyak memperoleh
pengikut di dalam SI yang menciptakan keanggotaan ganda. Banyak anggota menyelundup ke dalam
tubuh SI merangkap menjadi anggota ISDV bahkan orang-orang seperti Semaoen, Darsono, Alimin
Prawirodirdjo dan Tan Malaka adalah sekaligus tokoh dan pemimpin kedua organisasi yang sebenarnya
berlainan pahamnya itu.6

Perembesan ke dalam cabang-cabang Sarekat Islam dengan maksud memperoleh dukungan dari massa
Indonesia. Peraturan pemerintah yang memaksa Sarekat Islam secara organisasi terpecah belah, sehingga
keadaan-keadaan itu memungkinkan pembebasan tersebut. Karena tekanan yang makin berat dari makin
banyaknya cabang SI yang makin berorientasi marxis dan karena tidak mempunyai sarana yang efektif
untuk mendisiplinkan semua unsur yang berbeda-beda itu maka pimpinan pusat SI lambat laun terpaksa
mengkompromikan ajaran-ajaran Modernisme Islam yang semula jadi pedomannya, dangan tujuan
marxisme yang revolusioner. Pengaruh tekanan itu dapat di lihat sejak bulan Oktober 1917, dengan
program yang digariskan oleh kongres nasional SI yang kedua. Bertolak belakang dari tuntutan semula
yakni pemerintah sendiri, program ini bertujuan untuk merdeka, dan ini menunjukkan bahwa jika usaha-
usaha tanpa kekerasan untuk mencapai tujuan ini tidak membawa hasil, mungkin perlu dipakai
pendekatan lain.

Sneevlit ditahan oleh pemerintah Hindia Belanda dan dipaksa meninggalkan Indonesia pada bulan
Desember 1918, tetapi ini tidak mengurangi infiltrasi anggota-anggota ISDV berkebangsaan di Indonesia
ke dalam kedudukan-kedudukan kepemimpinan di cabang-cabang menguasai Sarekat Islam setempat. Di
samping kekuatan unsur-unsur tersebut meningkat, mereka mampu menguasai kongres keempat Sarekat
Islam yang berlangsung pada tahun 1914, pada waktu itu seluruh anggota SI sudah mencapai hampir dua
setengah juta. Menuruti penolakan pimpinan pusat SI pada kongres itu untuk menerima usul-usul ekstrim

5
Soe Hok Gie. Di Bawah Lentera Merah. Yogyakarta: Bentang Budaya, 1999, hlm. 73—74.
6
M. Dawam Rahardjo. “Islam Mendayung di Antara Dua Karang: Sosialisasi dan Kapitalisme”, Prisma, No. Ekstra,
1984.
3
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

golongan Semaoen, bersama pimpinan-pimpinan lain ISDV, Semaoen berusaha memasukkan


organisasinya ke dalam Partai Komunis di Hindia Belanda atau umum dikenal sebagai PKI. Dalam partai
baru yang dibentuk di kantor Sarekat Islam Semarang pada tanggal 23 Mei 1920, Semaoen terpilih
sebagai ketua, Darsono sebagai wakil ketua, Bergsma sebagai sekretaris, dan H.M. Dekker sebagai
bendahara.7

Ada keinginan untuk menyebarkan ide-ide sosial-demokrat ke lingkungn kaum pergerakan rakyat. Tetapi
penyebaran ide-ide sosial-demokrat dan praktek politik mereka kemudian dikenal sebagai sosialisme-
revolusioner, tetap terbatas dan tidak menimbulkan dampak yang luas. Ada dua hal yang kelihatannya
menjadi sebab keterbatasan dan kegagalan. Pertama, meskipun Sneevliet maupun Baars siap untuk
mengadopsi hal-hal yang berlangsung dan berlaku dalam dunia pergerakan, namun mereka tidak dapat
sepenuhnya diterima. Dunia pergerakan adalah dunia para ksatria, yaitu intelegensia berlatar belakang
Jawa. Kedua, adanya kesulitan untuk mengekspresikan dan menyampaikan ide-ide sosialisme-
revolusioner serta menjelaskan atau memberikan argumen keyakinannya paham sosialis kepada kaum
pergerakan rakyat. Padahal, kemampuan itu sangat penting. Tidak ada keterbatasan seperti itu pada
Semaoen. Meskipun begitu, ada satu hal yang sempat menahannya untuk sepenuhnya diterima ke dalam
dunia pergerakan. Latar belakang sosial yang berbeda dengan kebanyakan kaum pergerakan, dia bukan
keturunan priyayi maupun orang yang berada.8

Partai baru tersebut mengembangkan hubungan akrab dengan komintern, dan bergabung dengan
organisasi itu pada akhir tahun 1920. Sneevlit yang sudah mengangkat dirinya sendiri menjadi wakil
Indonesia pada kongres kedua komintern (1920), kemudian membentuk hubungan dengan Partai Komuis
Indonesia lewat Shanghai, dan pada tahun 1921, Dharsono mewakili Indonesia pada kongres komintern
yang ketiga di Moskow. Tan Malaka salah satu pemimpin utama partai itu mewakili Indonesia pada
kongres keempat pada tahun berikutnya, dan memainkan peranan aktif dalam membuat kerangka
kebijakan komintern. Pada bulan Agustus 1923, Semaoen ditawan dan dipaksa memilih meninggalkan
negeri itu atau dipenjarakan di Toor, dan menjelang akhir tahun, semua pemimpin Belanda yang ada di
partai itu juga dipaksa untuk pergi. Menurut Semaoen, justru karena sudah ada kecurangan terhadap
orang Belanda bahkan terhadap mereka yang menunjukkan sikap menentang kolonialisme, maka
perginya para pemimpin Belanda dari partai itu meningkatkan gengsi partai itu di mata khalayak ramai.

Dengan maksud agar berhasil menguasai cabang-cabang Sarekat Islam, pada kongresnya yang
dilaksanakan pada tanggal 25 Desember 1921 di Semarang, golongan komunis yang telah merembet
masuk ke dalam banyak cabang itu, memutuskan mendirikan suatu Markas Sarekat Islam Merah untuk
bersaing dengan pemimpin pusat yang lama di bawah Tjokroaminoto.

7
George Mc Turnan Kahin. Nasionalisme dan revolusi di Indonesia. Jakarta-Solo: UNS Press dan Pustaka Sinar
Harapan, 1995, hlm. 92—95.
8
Soewarsono. Berbareng Bergerak; Sepenggal Riwayat dan Pemikiran Semaoen. Yogyakarta: LKIS, 2000, hlm.
122—123.
4
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

Perebutan kekuasaan dan terus makin berpengaruhnya dalam cabang-cabang Sarekat Islam setempat,
membuat para pemimpinnya berusaha memperluas disiplin partai ke dalam semua cabang organisasi
tersebut pada bulan Februari 1923. Sebagai pembalasan pada kongresnya yang diadakan pada bulan
Maret, golongan komunis memutuskan untuk membantu seksi-seksi Sarekat Islam Merah di tempat yang
ada suatu cabang Sarekat Islam, dan berusaha menarik anggota-anggota cabang tersebut. Unit-unit yang
kini dikuasai komunis ini sekarang berganti nama Sarekat Islam dan diakui sebagai dasar Partai Komunis
dalam masyarakat.

Kongres kelima komintern (1924) menekankan bahwa prioritas utama tujuan partai-partai Komunis
adalah menguasai pergerakan persatuan dagang karena komintern berpendapat bahwa tanpa itu revolusi
tidak berhasil. Di samping kenyataan bahwa pada rapat PKI yang sebelumnya, kaum tani sudah diakui
sebagai dasar massa yang sangat diperlukan, maka pada rapat bulan Desember 1924, Alirachman
(sekretaris PKI) mengajukan suatu resolusi yang menginginkan agar Sarekat Rakyat dibubarkan dan
diganti dengan pesatuan-persatuan dagang sebagai dasar massa PKI. Ia mendebat bahwa Sarekat Islam
terdiri dari begitu banyak nasionalis borjuis yang tidak dapat diikutsertakan pada saat-saat terjadinya
tindakan kekerasan. Pendapat Alirachman ini diserang keras dan akhirnya tercapailah suatu penyelesaian
yang bersifat kompromi. Pembubaran Sarekat Rakyat pada prinsipnya dapat diterima, tetapi proses
pembubarannya itu harus dilaksanakan tahap demi tahap agar tidak memeperlemah PKI. Sambil melepas
Sarekat Rakyat, komunis memusatkan kekuatannya pada pergerakan persatuan dagang. Di samping itu,
disetujui bahwa kader-kader PKI harus disiplin dan mutunya ditingkatkan sehingga mampu mengadakan
aksi revousioner secara efektif. Akhirnya, program yang digariskan menuntut pembentukan suatu
Republik Soviet Indonesia.9

Pemberontakan 1926/1927

Selama tahun 1925, unsur-unsur yang lebih mengekstrim dalam Partai Komunis berada di bawah
pengawasan Dahlan dan Soeskra, dua pemimpin yang menolak untuk patuh kepada kepemimpinan yang
tetap. Mereka terus menghasut dicetuskannya revolusi dan memakai metode-metode teoritis dengan
maksud menguasai partai tersebut. Dalam usaha-usahanya, mereka didukung oleh dua pemimpin penting
yang sudah berpengalaman, Alimin dan Musso. Kelompok ini berhasil menguasai suatu rapat Komisi
Pelaksana Partai tersebut dan para pemimpin persatuan-persatuan dagang rokok di bawah pengawasan
komunis, yang diselenggarakan di Candi Prambanan dan pertengahan bulan Oktober 1925. Sebagai
hasilnya, revolusi ditetapkan akan diadakan segera. Suatu pemogokan umum selanjutnya akan
dikembangkan ke arah suatu revolusi yang bertujuan menggulingkan kekuasaan Belanda dan
menggantikannya dengan pemerintahan Partai Komunis. Agar revolusi tersebut berhasil, di rasa perlu
untuk memperoleh bantuan Moskow, dan dari para pemimpin komunis Indonesia, termasuk yang terpaksa
tinggal di luar negeri.

9
George Mc Turnan Kahin, Op. Cit., hlm. 96—100.
5
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

Aktivis-aktivis komunis dalam selama periode intern itu ternyata tidak berkembang seperti yang
direncanakan. Mungkin sebagai suatu reaksi tehadap begitu meningkatnya jumlah pemogokan kecil dan
meningkatnya kekerasan bersenjata kecil-kecilan, dan mungkin juga karena sudah mengetahui rencana
jangka panjang komunis, atau keduanya, maka pada tanggal 28 November 1925, pemerintah mencabut
hak mengadakan pertemuan hampir di seluruh Indonesia untuk Partai Komunis Indonesia, Sarekat
Rakyat, dan kebanyakan organisasi buruh yang berada di bawah pengawasan komunisme.

Seperti diharapkan, tidak diragukan lagi bahwa tindakan ini berhasil membangun kontak yang
efektif antar kaum komunis dan persatuan-persatuan buruh. Akibatnya, urutan strategis
pemogokan tidak berjalan sesuai dengan yang sudah dijadwalkan komunisme di Prambanan.
Pemogokan besar-besaran oleh buruh perusahaan-perusahaan baja dan pelabuhan di Surabaya
baru pecah pada pertengahan bulan Desember 1925, yaitu enam bulan sesudah jadwal yang
direncanakan Pemerintah yang merasa terpukul hebat oleh desakan ini, menahan hampir semua
pemimpin buruh yang terlibat, di samping tiga dari siapa pemimpin tertinggi di Indonesia, yaitu
Darsono, Alirachman dan Mandjoha.

Partai Komunis makin lama makin terpaksa bekerja di bawah tanah sementara kehilangan pemimpin-
pemimpinnya yang paling hebat. Kegiatan-kegiatannya makin lama makin kurang terkoordinasi dengan
para pemimpin ekstrimis yang sudah menguasai Konferensi Prambanan berhasil mempertahankan
pengaruh mereka dalam banyak wilayah di Jawa. Selama sepuluh bulan pertama tahun 1926, makin
banyak lagi pemimpin komunis yang ditahan. Kontak antara organisasi makin lama makin kacau dan ini
terbukti oleh pecahnya tindakan kekerasan secara sporadis dan tidak terkoordinasi di tempat-tempat yang
sanagat terpisah di seluruh Jawa.

Cepatnya perpecahan organisasi partai komunis itu dibarengi oleh cepat hilangnya kontak dengan kaum
tani yang dahulu mendukung, walau banyak dari mereka tersingkir oleh kebijakan-kebijakan yang dimuat
kalangan pemimpin komunis di Indonesia. Komunisme menunda tanggal revolusi sehingga baru pecah
malam tanggal 12 November 1926. kericuhan yang kemudian muncul dalam partai itu ditunjukan oleh
kenyataan bahwa meskipun menurut rencana, revolusi itu akan dicetuskan pertama kalinya di Padang,
ternyata pecah untuk petama kalinya di Batavia, dan pemberontakan di daerah Padang baru muncul dua
bulan penuh kemudian dan setelah huru-hara di Jawa benar-benar di padamkan. 10

Jalannya pemberontakan di Batavia dapat digambarkan sebagai berikut. Pada tanggal 12 November 1912
larut malam, 200 pemberontak bergerak ke Kampung Karet ke Weltervieden. Di jembatan mereka
menyerang pos polisi Bumiputera. Satu agen polisi dibunuh, yang satu lagi berhasil lari. Tidak lama
kemudian 16 dari pemberontak yang diduga terlibat pembunuhan tersebut telah ditangkap.

10
Ibid, Hlm. 103—108.
6
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

Dalam waktu yang hampir sama, tujuh orang bersenjata tajam mengancam kepala kampung Mangga Dua.
Di sekitar Harmoni, 15 bumiputera ditangkap, menyusul 12 di tanah Abang. Tengah malam seorang agen
polisi dilukai di Gang Scott, tetapi seorang berhasil disabet pedang luka parah. Jadi di seluruh
Kewedanaan Batavia berhasil ditangkap sekitar 300 pemberontak sampai pada 13 November siang hari.
Pada malam 14 November tinggal satu persitiwa, yaitu kebakaran di daerah Beos (Vioslannd). Di
Kewedanaan Meester Cornelis (Jati Negara), dikabarkan adanya tujuh orang bersenjata di Pulo Gadung,
serombongan kecil bersenjata mencoba masuk kediaman asisten residen, sedang rombongan bersenjata
lain menakut-nakuti seorang tuan tanah di Kampung Melayu karena tidak mau bergabung.

Di Tanggerang dan Cengkareng pemberontakan berhasil menyerang tangsi polisi lapangan. Agen dan
matu polisi yang berjumlah lima orang dipaksa lari, sedang tangsi dirusak. Pemerintah juga menyiksa
seorang opas, seorang bumiputera, dan seorang Cina.

Di Priangan Tengah, buruh kereta api berhasil memutus lalu lintas, kabel telepon dan telegraf, serta
membunuh dua orang polisi. Jembatan Garut-Bandung misalnya, berhasil dirubuhkan. Selainnya hanya
pembakaran rumah, kebanyakan kosong, seperti terjadi di Cimahi dan Batu Jajar.

Di Priangan Barat, seperti di Gandasuli, misalnya, terjadi hanya pemutusan kabel dan telegraf.

Di Priangan Timur, sekitar seratus pemberontak melakukan pengrusakan rumah pejabat, termasuk rumah
asisten residen, pemutusan kabel telepon, dan melukai beberapa pegawai rendahan di Tasikmalaya.
Jumlah orang yang memberontak semakin naik di daerah Surakarta, khususnya di Boyolali, tetapi
menurun terus di Banyumas, Pekalongan, Kedu dan Kediri. 11

Di Sumatera Barat, terutama di Silungkang, pemberontakan lebih merata, kendati sama saja intensitasnya.
Di daerah ini PKI sempat membentuk organisasi khusus untuk perlawanan, dikenal sebagai Sarekat Djin.
Pada 1 dan 2 Januari, rakyat dalam berbagai satuan bersenjata bergerak menuju Sawahlunto hendak
menguasai kota dan membunuh pejabat pemerintah kebanyakan dari mereka datang dari daerah Solok
(Tarung-tarung dan Pianggul) dan berkumpul di Silungkung. Ternyata, sebelum tiba di Sawahlunto
banyak dari kelompok bersenjata itu berhasil ditangkap atau dipaksa lari.

Yang menarik dalam melakukan persiapan untuk memberontak. Disebarkan kabar bahwa Sampono Kayo,
saudagar kaya pemilik rumah besar bertingkat di Silungkang akan mengadakan kenduri besar. Tetapi
11
Parakitri T. Simbolon. Menjadi Indonesia. Jakarta: Kompas, 1995, hlm. 616—617.
7
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

ternyata tempat tersebut digunakan untuk memperoleh informasi dan instruksi tentang rencana operasi
pemberontakan. Apabila Sawahlunto dapat direbut, diharapkan daerah-daerah yang ada Sarekat Rakyat
menyusul.12

Pada tanggal 12 November Pasar Labuan (Banten) terlihat ramai. Orang-orang tumpah ruah karena saat
itu barang-barang dagangan sangat melimpah. Dilaporkan penjualan garam dan kain putih meningkat
beberapa hari terakhir dan dilaporkan juga banyak orang di daerah itu yang berpuasa. Malam itu, ratusan
massa petani yang dipimpin oleh Kiai Mukri dan Kiai Ilyas, berkumpul di Desa Bama. Persenjataan yang
telah terkumpul berbulan-bulan langsung dibagikan untuk menggempur Labuan. Pertemuan tersebut
diakhiri dengan ‘sembahyang perang’ sebelum mereka bergerak menuju Labuan.

Penyerbuan kota itu dilancarkan pada lewat tengah malam oleh ratusan orang bersenjata dengan sasaran
pertama, kediaman asisten wedana. Akibat serangan itu, Mas Wariadi Koesoema dan keluarganya
berhasil ditawan oleh para pemberontak. Seorang polisi pengawalnya berhasil terbunuh dan lainnya
terluka parah dalam insiden tersebut. Kemudian masa terpecah menjadi dua kelompok. Pertama,
mengawasi pemindahan Maswiriadi Koesoemah ke Caringain sementara yang lain mencari di jalan-jalan
Labuan yang bertugas masih di sana.

Pada malam yang sama di Menes, sebuah insiden berdarah meminta korban labih banyak lagi.
Target utama para pemberontakan adalah Widana Raden Partadinigrat, Benyamin (Pengawas
kereta Api), dan polisi. Penyerangan kediaman wedana dimulai pada jam suatu malam dengan
mengerahkan sekitar 400 orang. Dalam penyerangan itu wedana dan seorang politi pengawalnya
berhasil menembak beberapa orang pemberontak sebelum akhirnya tewas terbunuh. Sementara
itu, sekelompok lainnya telah meringkus Benyamin (orang Belanda satu-satunya yang tinggal di
kota itu). Dua orang polisi juga tewas pada malam itu. Di desa Cening, seorang polisi terbunuh
dan asisten wedana mengalami luka parah akibat tertembak. Selain itu rumah pensiunan Patih
juga tidak luput dari sasarn para pemberontak.

Adalah jelas, di samping para ulama, jawara pun memainkan peran penting dalam pemberontakan itu.
Apa yang patut diperhatikan adalah PKI mampu merekrut golongan ini ke dalam organisasinya,
kenyataan yang sulit dicari padanannya. Mereka dikenal sangat individualis dan dapat dikatakan jauh dari
mungkin untuk terlibat pergerakan sosial politik. Inilah yang terjadi di Banten.yang memiliki tradisi lama
perbanditan dan kekisruhan yang terjadi akibat ulah jawara, namun hal ini tidaklah serta merta dijadikan
alasan mengapa mereka ikut serta dalam pemberontakan. Dan pada peristiwa 1926, mayoritas massa yang
terlibat adalah petani biasa. Mereka yang datang ke Banten setelah peristiwa tersebut tercengang, karena
di seluruh desa di wilayah Menes dan Labuan telah ditinggalkan para penduduknya, yang semuanya
berprofesi sebagai petani.

12
A. Muluk Nasution. Pemberontakan rakyat Silukang Sumatra Barat 1926-1927. Jakarta: Mutiara, 1981, hlm. 97—
99.
8
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

Target paling utama di pemberontakan 1926 adalah para priyayi. Namun di lain pihak, para polisi
terpaksa menjadi korban. Terhadap pegawai sipil, mereka ternyata lebih selektif dalam memilih korban-
korbannya. Wedana Menes, Raden Partadinata, yang bukan orang Banten asli dan sering melakukan
kekerasan, akhirnya tewas di tangan para pemberontak. Nasib serupa pasti juga dialami oleh Asisten
Wedana Menes, jika tidak sempat diselamatkan. Kantor-kantor arsip dan rumah-rumah para pegawai
pemerintah juga tidak luput dari aksi penyerangan.

Nyaris tidak adanya penyerangan terhadap orang-orang Cina yang dikenal memonopoli sejumlah besar
perdagangan lokal, khususnya di daerah perkebunan kelapa Labuan, menunjukkan bahwa dalam Peristiwa
1926 adalah steril dari konflik kelas yang biasanya menjadi tema penting terjadinya pemberontakan.
Malahan menurut laporan, banyak para pemberontak adalah petani kaya dan peagang. Status mereka itu
tidak menjadi halangan untuk ikut serta dalam aksi dan bahkan menganggap diri mereka tiada beda
dengan para revolusioner lainnya.

Gerakan tersebut hampir dikatakan seluruhnya terdiri dari petani biasa yang tidak mengetahui rencana-
rencana awal yang digariskan para tokoh PKI. Lebih-lebih pemimpin mereka, para ulama, kurang
memiliki jangkauan pemikiran tentang apa yang akan dilakukan setelah aksi pemberontakan usai. Meeka
lazimnya hanya menunggu instruksi dari pimpinan revolusioner yang ada di Batavia. Selain itu, para
pemberontak miskin strategi dalam mempertahankan posisi mereka, sehingga dalam bentrokan dipastikan
tidak dapat mengelak dari kekalahan. Keadaan ini diperparah dengan keyakinan akan kekebalan dan
ketidak-terkalahkan dalam jihad melawan kafir Belanda, serta meliputi semangat bahwa mereka adalah
bagian dari satu aksi pemberontakan nasional terhadap pemerintah kolonial. 13

Peristiwa yang mengiring PKI pada pemberontakan yang gagal ini adalah penting untuk dikaji kerena
peristiwa ini berasal dari skisma yang memecah belah gerakan komunisme di Indonesia sejak dahulu.
Yang terpenting dari cerita ini sebagaimana dikisahkan oleh dua orang juru bicara mereka. Tan Malaka
menentang Keputusan Prambanan seperti sebelumnya ia juga menentang keputusan partai untuk
melepaskan Sarekat Rakyat. Karena ia gagal menyampaikan pendapatnya ini beberapa bulan sebelum
revolusi meletus, ia pernah menyebarkan beberapa dokumen di Indonesia yang isinya adalah alasan-
alasan penentangannya tersebut. Upaya-upaya Tan Malaka melarang para pemimpin PKI setempat untuk
mendukung pemberontakan tampaknya sedikit membuahkan hasil; alasan-alasannya secara umum
dianggap sebagai faktor penentu yang membuat banyak tokoh PKI di awal 1926 mengagalkan rencana
pemberontakan tersebut.

13
Michael C. Wiliams. Arit dan Bulan Sabit; Pemberontakan Komunis 1926 Banten. Yogyakarta Syarikat
Indonesia, 2003, hlm. 90—111.
9
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

Maka tatkala usaha kudeta tersebut berakhir dengan bencana. Alimin, Musso dan pemimpin lainnya yang
memaksa lahirnya Keputusan Prambanan berusaha untuk menjalankan rencana tersebut meski ditentang
oleh Tan Malaka serta melepar kesalahan gagalnya pemberontakan itu kepada Tan Malaka. Namun fitnah
ini hanya berhasil beberapa saat saja sampai akhirnya keluar versi komintern tentang sebab-sebab
kegagalan tersebut.

Ada ketidakpuasan yang meluas di kalangan petani yang membuat Tan Malaka harus mempertimbangkan
partai atas langkah yang meluas di kalangan petani yang membuat Tan Malaka harus memperingatkan
partai atas langkah drastis yang diambil seperti pemberontakan. Alasan yang dipakai oleh Tan Malaka,
seperti tercantum dalam “Massa Actie”, sebuah pamflet yang dicetak pada pertengahan 1926 adalah
bahwa pemimpin partai tidak lagi menerima dukungan massa untuk menjalankan sebuah pemberontakan
besar dan hanya akan mendatangkan chaos. Ia menunjukkan bahwa Moskow tidak mungkin akan
memberikan bantuan untuk sesuatu yang kecil kemungkinan akan berhasil. Ia juga mempertanyakan
kekuasaan latihan marxis bagi anggota PKI yang akan menduduki kursi pimpinan dalam setiap upaya
pemberontakan.

Sebelum itu, ketika dukungan massa PKI semakin kuat, Tan Malaka berpandangan lebih optimis atas
peluang partai untuk berhasil dalam pemberontakan tersebut. Ia juga memberikan perhatian besar untuk
mengkonsolidasikan dukungannya, akan tetapi, ketika keputusan Prambanan disampaikan kepadanya,
Tan Malaka merasa bahwa PKI telah kehilangan kesempatan untuk berhasil.

Dalam laporan Semaoen untuk kongres komintern keenam, ia mengklaim bahwa sebagian kegagalan
pemberontakan tahun 1926 itu disebabkan oleh sifat elite partai; ia juga menyatakan bahwa PKI pada saat
itu hanya memiliki 9.000 anggota yang terdaftar bila dibandingkan dengan 100.000 atau lebih anggota SI.
Penjelasan tentang besarnya partai bertentangan dengan omong kosong pemimpin PKI sebelumnya
tentang kekuasaan mereka dan barangkali merupakan usaha Semaoen untuk menata kembali sejarah dan
kekeliruan-kekeliruan PKI agar selaras dengan pola baru komintern.

Kaum tani dan buruh Indonesia seperti apakah yang mengibarkan bendera PKI dan berusaha merebut
kekuasaan pada bencana pembrontakan 1926 itu? Sejumlah 13.000 orang Indonesia ditangkap sesuah
pemberontakan dari jumlah ini, 4.500 dipenjara dan lebih dari 1.000 orang di bawa kepengasingan yang
konsentrasikan di Boven Digul, Papua. Meskipun oang-orang yang diasingkan oleh pemerintah diberi
label “komunis”, jelas bahwa kejahatan dan motivasi mereka adalah pemberontakan nasional, bukan
revolusi komunis.14

14
Jeanne S. Mintz, Muhammad, Marx, Marhaen; Akan Sosialisme Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002,
hlm. 39—44.
10
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

Pendirian kamp pengasingan massal diputuskan pada sebuah pertemuan tuan dewan Hindia Belanda yang
diadakan 18 November 1926, kurang dari seminggu pemberontakan komunis yang berawal di Jawa Barat
malam tanggal 12 November. Pertanyaan yang diajukan Gubernur Jenderal de Graef pada pertemuan itu
adalah: bilakah sejumlah tindakan harus diambil untuk memerangi meningkatnya gerakan komunis yang
berlangsung seminggu terakhir dan untuk mencegah di masa mendatang sebisa mungkin. Jika ya,
tindakan-tindakan seperti apa?

Ia mengatakan telah memutuskan sebelum mengundang pertemuan itu bahwa tak bisa ditawar lagi untuk
menemmpatkan para pemimpin komunis yang berbahaya di tahanan secepat mungkin demi keamanan
publik, dan telah menginstruksikan jaksa umum pada 17 November untuk memerintahkan para kepala
administrasi wilayah di Jawa dan Sumatera untuk melaksanakan keputusan itu. Dalam pandangannya,
bagaimanapun penahanan hanya memberikan tindakan sementara, karena setelah usai penyelidikan,
sebagian besar dari mereka yang harus dibebaskan karena tiadanya bukti legal untuk mendukung
pengenaan hukuman, dan selanjutnya lagi hanya ada satu cara untuk mencegah hal itu terjadi dengan
mengirimkan atau mengasingkan para pemimpin utama komunis dalam jumlah besar ke tempat yang
sama sejauh mungkin.

Dewan mendukung usulan de Giaeff dan memutuskan bahwa pengasinagan harus dimulai pada mereka
yang ditangkap di Jawa Barat dan pengasingan bagi mereka yang ditahan di berbagai tempat bakal
mengikuti secepatnya setelah kantor jaksa umum, menerima informasi yang diperlukan bagi tindakan
tersebut. Diputuskan pula bahwa prosedur dan formulasi yang harus dipenuhi bagi pengasingan direvisi
dan disederhanakan untuk memberlakukannya. Alasan-alasan yang diberikan dalam rancangan keputusan
pengasingan harus jelas dan dibatasi pada delapan poin, intinya bahwa orang yang bakal diasingkan
adalah anggota PKI, partai yang mengikuti Internasional ketiga, dan bermaksud menggulingkan dan
membentuk pemerintahan baru; bahwa PKI membentuk organisasi-organisasi ilegal; bertujuan merekrut
elemen-elemen buruh melakukan tindakan kriminal melawan milik dan kehidupan para pejabat dan
melawan keselamatan masyarakat.

Tanggal 24 November, daftar pertanyaan yang diajukan dalam introgasi terhadap mereka yang akan
diasingkan dikirimkan kepada para kepala pemerintah regional. Di seluruh Hindia Belanda, semua orang
yang bakal diasigkan diintrogasi dengan pertanyaan-pertanyaan sama, nama, umur, tempat lahir, tempat
tinggal, posisi karir, apakah mengetahui tujuan utama PKI adalah menumbangkan pemerintah; bahwa
PKI membentuk organisasi-organisasi ilegal ini adalah merekrut unsur kriminal untuk mengerjakan
tindakan kriminal; apakah mereka anggota PKI dan/atau salah satu organisasi ilegal di bawahnya; dan
apakah mereka turut serta dalam tindakan yang mengancam ketenangan dan tatanan.

Pertanyaan-pertanyaan ini disusun berdasarkan teori yang diajukan kepala polisi rahasia A.E. Van Der
Lely tentang pemberontakan komunis. Dalam laporan pendahauluan yang diajukan pada Jaksa Agung ia
berargumentasi bahwa di balik apa yang tampaknya sebagai usaha perlawanan yang terorganisir dan
11
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

sporadis terhadap rezim yang ada terhadap sebuah gagasan dasar, sperti diformulasikan dalam karya Tan
Malaka, Naar de Republieke Indonesia (Menuju Republik Indonesia), bahwa membimbing para
pemimpin komunis dan memberikan aspirasi bagi tindakan-tindakan mereka. Oleh karena itu dianjurkan
penerapan kekuasaan luar biasa yang besar-besaran terhadap para pengikut, inti, dan pimpinan utama
yang bekerja di belakang layar, untuk mencegah terulangnya pemberontakan yang baru saja terjadi.
Dalam kesempatan lain,ia menegaskan bahwa pengasingan berskala besar ini bakal kehilangan
efektivitasnya, jika kelompok pemimpin baru bisa tampil di muka tanpa dihalangi. Menjadi tiga
pemerintah dan polisi untuk jangka waktu tertentu menguburkan arti dan pengaruh yang mengancam dari
kaum propaganda baru dan memilih saat yang tepat untuk menetralisir mereka dengan cara yang sama
seperti para pendahulunya. Tergantung pada interpretasi para pemimpin komunis atau propagandis yang
bisa diasingkan sekarang.15

Peristiwa Madiun 1948

Pemerintah jajahan memilih untuk tidak melarang PKI sebagai organisasi yang mengancam keamanan
dan ketertiban. Hukuman yang dianggap lebih sesuai adalah menangkap para pemimpinnya dan
membuang mereka tanpa proses pengadilan ke suatu daerah khusus, terpencil dan berbahaya, yaitu Boven
Digul.

Konon inilah kamp konsentrasi pertama lahir di dunia. Di kamp ini tidak ada penyiksaan fisik, tetapi
keadaan Digoel benar-benar terisolasi, belantara rawa penuh nyamuk malaria dan berada di sekitar 450
Km ke hulu sungai yan penuh buaya adalah siksaan tersendiri. Dengan daerah hunian yang tak layak
dihuni ini, rasa sepi yang mencekam dan rindu kampung halaman yang kuat, maka ada di antara para
tahanan itu yang kemudian menjadi gila, mati, mencoba melarikan diri namun kemudian lenyap tak tahu
rimbanya, atau tunduk dengan apa yang diinginkan oleh pemerintah. Kendati demikian, ada yang tetap
teguh terus mencoba menyusun perlawanan.

Jika golongan yang pertama itu cukup di Tanah Merah, maka untuk mereka yang tetap ‘bengal’ ini,
pemerintah membuatkan kamp yang lebih ganas lagi di kawasan itu, Tanah Tinggi.

Dengan ditumpasnya usaha pemberontakan ini di tahun 1926/1927, PKI terpaksa bergerak di
bawah tanah. Banyak pemimpinnya lari keluar negeri seperti Musso, Alimin, Semaoen di Rusia,
serta berusaha mengorganisir partau dari laut; sementara itu yang ditangkap, mengorganisir
gerakan di bawah tanah atau bergerak dan aktif dengan anggota partai atau organisasi massa.

15
Takshi Shiraishi, Hantoe Digoel; Politik Pengamanan Politik Zaman Kolonial. Yogyakarta: LKIS, 2001, hlm. 3—
6.
12
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

Di dalam negeri gerakan di bawah tanah masih hidup. Dalam pada itu mereka sempat juga mengeluarkan
‘program 18 pasal dalam tahun 1932’. Tuntutan dari program itu, sangat mengutamakan kebebasan untuk
berorganisasi, yang tentu akan berkembang jika Indonesia bebas dari penjaahan. Juga direncanakan upah
buruh dan perbaikan-perbaikan kehidupan petani.

Dari luar negeri usaha mengorganisir kembali PKI berjalan terus. Pada bulan April 1935, Musso
kembali, dan di Surabaya ia membentuk PKI di bawah tanah (ilegal PKI). Di samping itu Tan Malaka
juga mengorganisir gerakan di bawah tanah. Tetapi karena gerakannya sangat terbatas sebagi akibat dari
kewaspadaan PID dan pemerintah Kolonial Belanda, maka sangat terbataslah pengaruhnya dalam
masyarakat. Apa lagi kalau dilihat adanya perbedaan pendapat antara Musso dan Tan Malaka.

Gerakan-gerakan pada masa kekuasaan Jepang masih diteruskan. Orang-orang penting PKI ilegal
melibatkan diri dalam gerakan bawah tanah, yang paling besar dan terorganisir baik di bawah pimpinan
Amir Syarifuddin, kendati para pimpinan organisasi ini kebanyakan diambil dari jajaran ‘PKI Ilegal’,
tetapi para anggota di tingkat bawah di sebagian besar cabang gerakan ini bisa jadi bukan orang-orang
komunis. Walaupun cukup baik organisasinya, namun Jepang dapat juga mengetahui gerakan mereka
sehingga Amir Syarifuddin dan para pemimpin lainnya ditangkap pada tahun 1943 dan akibatnya banyak
menyingkir kembali ke luar negeri.16 Tetapi yang sulit dibayangkan adalah Jepang menunjuk Wikana,
seorang anggota PKI ilegal menjadi direktur Asrama Indonesia (sekolah paling penting yang didirikan
Jepang untuk para tokoh politik Indonesia) tanpa menyadari afiliasinya dengan komintern. 17

Pada tanggal 21 Oktober 1945, Partai Komunis Indonesia muncul kembali di bawah pimpinan Mr.
Mohammad Jusuf. Jusuf tidak memiliki hubungan dengan bawah-tanah PKI yang sebenarnya dan juga
tidak dengan PKI yang sebelumnya mencetuskan pemberontakan pada tahun 1926-1927. Sebelum bulan
Mei 1945 kelanjutan dan wibawa partai itu sangat kecil perkembangannya, dan keadaan ini baru berubah
setelah pemimpin komunis zaman dulu, Sardjono, kembali dari Australia dan mengantikan Jusuf sebagai
ketua. Pada tanggal 12 Agustus 1946, Alimin kembali ke Indonesia setelah 20 tahun bermukim di luar
ngeri. Meskipun Sardjono yang tetap menjadi ketua itu memimpin dengan baik dan meningkatkan partai
itu, baru pada tahun 1948, PKI dapat mengejar apa yang sudah di sampai oleh PNI, Masyumi atau Partai
Sosialis Indonesia.

Penting dicatat bahwa sejumlah besar pengikut Stalin di Indonesia, termasuk beberapa yang
penting, tidak masuk PKI. Sebaliknya mereka memasuki satu atau yang lain dari ketiga partai
besar marxis non-komunis, yaitu Partai Sosialis, Partai Buruh dan Partindo. Mungkin juga,
jumlah anggota PKI ilegal yang semula diorganisir oleh Musso pada tahun 1935 dan kemudian
menjadi salah satu gerakan bawah tanah anti-Jepang yang utama, yang ikut kelompok ini sama
16
Arbi Sanit, Badai Revolusi; Sketsa Kekuatan Politik PKI di Jawa tengah dan Jawa Timur. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2000, 52—54.
17
Jeanne S. Mintz, Ibid, hlm. 52—54.
13
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

banyaknya dengan yang masuk PKI-nya Jusuf. Mungkin juga mereka semula ragu-ragu masuk
organisasi Jusuf karena rendahnya tingkat kepemimpinan Jusuf, atau pun karena organsisasi ini
jelas keluar dari jalur Moskow. Ada juga alasan-alasan yang dapat dipercaya, bahwa sementara
orang menghindari PKI setelah Sardjono dan Alimin merebut kepemipinannya, karena mereka
punya pandangan kedua pemimpin tersebut. Mungkin juga, karakter PKI semula menyebabkan
beberapa pemimpin komunis Indonesia yang pulang ke Indonesia dari negeri Belanda pada akhir
1945 dan permulaan tahun 1946, merasa bahwa mereka akan punya prospek politik yang lebih
baik jika mereka punya hubungan dengan partai sosialis yang jauh lebih kuat.

Orang-orang Komunis yang masuk Partai Sosialis, Partai Buruh dan Pesindo, pada akhirnya menguasai
organisasi-organisasi tersebut dan berusaha menarik ketiganya untuk bergabung dengan PKI. Ini
menyebabkan sementara orang menarik kesimpulan bahwa memang ada rencana jangka panjang orang-
orang komunis untuk merembes ke dalam dan merebut kekuasaan ke dalam ketiga partai tersebut dengan
maksud memasukan ke dalam tujuan-tujuan kaum pengikut Stalin. Meskipun sudah terjadi, belum ada
bukti yang menyakinkan untuk menuduh hal ini sebagai rencana jangka panjang mereka. 18

Dalam pada itu, orang-orang komunis Indonesia di Belanda dan di manapun selain di Indonesia, sudah
mengikuti langkah-langkah Partai Komunis Nederland (CPN), yaitu mencela revolusi sebuah ‘bom waktu
Jepang’ yang menyebut Soekarno-Hatta sebagai kolaborasi fasis. Didorong oleh sikap semacam ini,
pemerintah Belanda mengirim sejumlah tokoh PKI kembali ke Indonesia dengan harapan besar bahwa
begitu mereka sampai di sana, orang-orang itu akan mewakili kepentingan Belanda. Akan tetapi, dalam
waktu yang teramat singkat, orang-orang komunis yang kembali itu berhasil mendapatkan wilayah serta
pegnaruh revolusi dan berbalik mendukung Republik. Dari sini, kekacauan mulai hilang, garis partai
menjadi lurus dan kedua kelompok orang komunis lama, baik yang di luar maupun yang masih di dalam
negeri tidak lagi menampakkan keraguan tentang penggunaan kembali strategi masa perang front
persatuan yang kali ini demi kepentingan kemerdekaan.

Kekaburan politik yang diciptakan oleh kebijakan front persatuan memungkinkan orang-orang komunis
dan kelompok komunis meraih posisi kekuasaan yang tinggi dalam pemerintah Republik bahkan sampai
pada posisi Perdana Menteri yang dipegang oleh Amir Syarifuddin. Ini juga memungkinkan partisipasi
mereka dalam sebuah koalisi sayap kiri yang terdiri dari orang-orang sosialis, orang-orang Stalin dan
orang-orang komunis nasional. Koalisi ini disebut sayap kiri dan secara perlahan berkembang menjadi
sebuah front yang baru.

Akan tetapi, keputusan komunis untuk menentang pemerintah revolusioner Indonesia baru kelar pada
bulan Februari 1948. Sejak Partai Sosialis pecah, kubu sosialis Sjahrir membentuk Partai Sosialis
Indonesia (PSI) sedangkan kelompok Syarifuddin mempelopori transformasi sayap kiri di bawah
kepemimpinan Syarifuddin I, dan ketika manuver parlementer FDR untuk bergabung sengan kabinet baru

18
George Mc Turnan, Ibid, hlm. 199—202.
14
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

Hatta ditolak mentah-mentah. FDR memanfaatkan perjanjian Renville sebagai sebuah alasan yang tepat
untuk menentang administrasi baru Hatta.19

Perjanjian Renville merupakan hasil dari perundingan resmi yang dibuka di atas kapal angkut pasukan
Renville pada 7 November 1947. Belanda berusaha agar garis ‘Van Mook’ diakui oleh RI sedangkan
Indonesia meminta agar tentara Belanda ditarik ke kedudukan semual sebelum Belanda menyerbu.
Masalah lain yang menjadi pertikaian adalah persoalan pembentukan RIS di kemudian hari. Dalam ide
Belanda, RI adalah satu negara bagian yang sederajat dengan negara bagian yang lain (negara Sumatera
Timur, NIT, Negara Pasundan dan lain-lain), padahal dalam persetujuan linggar Jati dinyatakan bahwa RI
dan Belanda bersama-sama membentuk RIS.

Belanda dalam perundingan-perundingan tadi menyatakan secara halus bahwa jika perundingan ini gagal
maka konsekuensinya adalah perang lagi. Dan jika RI menolak usul Belanda maka Amerika Serikat tidak
akan membantu RI, sehingga RI sendirian. Di bawah tekanan yang berat dan dengan janji akan adaya
Pemilihan Umum yang bebas (seperti dalam persetujuan-persetujuan sebelumnya)—from the bullet to the
balott—akhirnya Amir Sjahrifuddin menyerah. Tanggal 17 Januari 1948 persetujuan ditandatangani oleh
Amir Sjahrifuddin (RI) dan Raden Abdulkadir Widjojo Atmodjo (wakil Belanda). Amir hanya melihat
bahwa persetujuan Renville akan dilaksanakan karena adanya wakil-wakil KTN sebagai wakil PBB. Ia
percaya beberapa bulan bahkan dalam beberapa minggu penyelesaian akan tercapai. Kepercayaan Amir
ini dibayar mahal sekali oleh sayap kiri.

Setelah persetujuan ditandatangani, Dr. Giaham (wakil Amerika Serikat) yang merupakan harapan dan
jaminan. Amir bahwa Amerika Seikat di belakang persetujuan Rencana Renville ditarik kembali ke
negerinya—secara moral AS seolah-olah tidak setuju dengan garis Dr. Giaham. Apa yang dialami Sjahrir
juga dialami oleh Amir. Yaitu ditikam dari belakang oleh rekan-rekannya sendiri.

Pada waktu Amir Sjahrifuddin ada di Jakarta (16 Januari 1948), Masyumi menarik diri dari kabinet.
Tindakan ini kemudian diikuti oleh PNI, sehingga Amir kehilangan dukungan utama. Tanggal 23 Januari
1948 Amir meletakan jabatan berakhirlah pemerintahan sayap kiri di Indonesia yang berlangsung dari 14
November 1945—23 Januari 1948. Politik diplomasi dan harapan-harapan atas analisis perkembangan
dunia yang ditetapkan dalam politik Sjahrir, Amir telah berakhir dengan kekacauan. 20

Program reorganisasi militer oleh pemerintahan Hatta yang diumumkan sesaat setelah
persetujuan Renville—telah mempertinggi tingkat konflik kekuasaan dan ideologi yang telah

19
Jeanne S. Mintz, Ibid, hlm. 122—123.
20
Soe Hok Gie. Orang-orang di Persimpangan Kiri Jalan; Kisah Pemberontakan Madiun September 1948.
Yogyakarta: Bentang Budaya, 1997, hlm. 124—126.
15
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

berlangsung di dalam tubuh Angkatan Bersenjata Republik permulaan revolusi. Oposisi terhadap
program reformasi tersebut terutama berasal dari kesatuan-kesatuan di Surakarta dan Kediri,
yang merasa tidak puas karena adanya sekelompok perwira staf umum yang memiliki
keistimewaan sosial tertentu yang sebagian besar berasal dari beberapa kota kota kosmopolitan
di Indonesia dan dipenuhi perwira berlatar belakang pendidikan militer Belanda yang telah
menempati posisi mereka di jajaran staf umum dan dipandang telah mengurangi kekuasaan
Panglima Besar Jenderal Soedirman, yang terlihat enggan menjalankan kebijakan yang telah
mereka dan Menteri Pertahanan Hatta gariskan.

Program baru tersebut memang terkesan lebih mengedepankan kepentingan para perwira bekas KNIL,
yang berkeinginan untuk meningkatkan kualitas dan efesiensi operasional kesatuan-kesatuan di lapangan,
yang sejalan dengan keinginan pemerintah untuk mengurangi beban berat ekonomi dan keuangan atas
ketentaran di masa perang dan untuk mengeliminasi bagian-bagian dalam Angkatan Bersenjata yang
dicurigai secara aktual atau potensial berada di bawah pengaruh kekuatan oposisi, Partai Sosialis (Amir
Sjahrifuddin).

Aliansi taktis ini mungkin tidak akan mampu bertahan tanpa didukung oleh kehadiran sejumlah pasukan
Siliwangi yang berhijrah ke Jawa Tengah dan Jawa Timur sebagai pelaksanaan persetujuan Renville.
Kabinet Hatta dan para pembantu militernya di Kementerian Pertahanan telah memberi status elite pada
Pasukan Siliwangi ini, dan penempatannya di sekitar ibu kota dan beberapa tempat lain yang sensitif
secara politik di daerah Republik, telah membawa mantan komandan pasukan mobil di bawah Sudirman,
yang dengan demikian telah mengurangi dominasi perwira Jawa dan jajaran komando tertinggi yang telah
berlangsung sejak hari-hari pertama revolusi.

Kesatuan-kesatuan di Surakarta dan Kediri saja tersingkirkan dari piramida kekuasaan dan akselerasi
kenaikan pangkat yang lebih tinggi pada pusat komando, namun bahkan mereka juga tidak sepenuhnya
merasa aman kedudukannya di wilayah mereka sendiri, ketika pasukan Siliwangi telah disertai
pelaksanaan tugas-tuigas kebijakan umum dalam wilayah Republik. Terlebih lagi, pasukan-pasukan
regional Jawa ini merasa kuatir dengan arah ideologi yang dibawakan oleh kabinet dan para pendukung
militernya terhadap Angkatan Bersenjata. Kesatuan-kesatuan lokal tersebut senantiasa menekankan sifat
populis tentara revolusi, suatu tentara yang terikat erat dengan masyarakat pedesaan atau kota kecil di
pedalaman Jawa, dan mengandalkan kekuatan semangat perjuangan dan dukungan masyarakat untuk
memperjuangkan kemerdekaan penuh dari kolonialisme barat.

Penolakan terhadap langkah-langkah reformasi pemerintah di bidang kemiliteran, yang paling kuat
diperlihatkan di Kabupaten Surakarta telah menggeser Mayor Jenderal Sutarto, satu-satunya pemimpin
militer di daerah tersebut yangmemiliki prestise untuk memimpin kesatuan Divisi Siliwangi dan pasukan
yang sebelumnya berada di bawah kepemimpinannya telah digabungkan dalam reformasi brigade-brigade
bebas yang berada di bawah kendali langsung pemimpin tinggi tentara di Yogyakarta.

16
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

Reaksi total atas langkah-langkah yang ditempuh segera terlihat. Pada tanggal 20 Mei 1948 digelar suatu
pertunjukan militer besar-besaran di Solo oleh sejumlah batalyon bersenjata berat dari Pemuda Sosialis
Indonesia (Pesindo) dan tentara Laut Republik Indonesia (TLRI). Terungkapkan juga terhadap
kelangsungan kepemimpinan Sutarto atas Divisi Senopati, dan demonstrasi diakhiri dengan tuntutan agar
pemerintah membatalkan pelaksanaan reorganisasi karena bukan hanya tidak relevan waktunya pada saat
negara sedang menghadapi tekanan permasalahan dari dalam dan luar negeri, namun juga karena
mengancam keberhasilan gerakan kemerdekaan, yang jika sungguh-sunuh diberlakukan akan merusak
sifat dan demokrasi Angkatan Bersenjata di wilayah Solo. 21 Tidak bisa dipungkiri bahwa sikap Senopati
dan kesatuan-kesatuan non-reguler dalam menentang pembaruan pasca-perundingan Renville diperkeras
dengan kehadiran kelompok oposisi utama. Front Demokrasi Rakyat (FDR) yang memiliki kantor pusat
di Solo. Sejak penghujung Februari 1948 tampaknya telah terjalin kesepakatan diam-diam yang berhasil
dicapai antara Senopati (yang memiliki otonom yang tinggi) yang curiga bahwa pembaharuan dalam
tubuh militer akan meningkatkan kekuatan Kementrian Pertahanan secara telah dan mungkin akan
menghancurkan peluang bahwa Republik akan memperoleh kemenangan secara militer atas Belanda,
dengan FDR yang mencari modal politik melalui ketidakpuasan yang disebebkan oleh kebijakan kabinet,
dalam rangka kembali ke kursi kekuasaan. Ada kaitan pertemanan yang akrab antara para pemimpin
Senopati dan beberapa tokoh FDR, dan dukungan atas oposisi secara politis oleh divisi tersebut
diperhitungkan dengan benar-benar, tidak perlu diragukan bahwa dalam permasalahan penting seperi
reformasi militer, sikap yang ditempuh Senopati akan memerlukan dukungan dari sekutu sipilnya.

Bagaimanpun Senopati telah berhasil menjalankan status sejak tahun 1946 yang sebagian besar
merupakan buah dari segala usaha dan penentangannya terhadap kemauan kabinet yang didominasi oleh
Partai Sosialis, dan dalam tahun 1948 dalam mempertahankan otonominya tidak begitu ditentukan oleh
ada atau tdaknya dukungan dari FDR. Para pemimpin Senopati dan laskar-laskar, sebagian karena
pendidikan dan latar belakang sosial mereka yang rendah dan juga karena adanya persaingan sejarah dan
budaya antara Yogyakarta dan Solo, tidak pernah memandang diri mereka atau sesungguhnya tidak
pernah dapat diterima sebagai bagian yang sah secara utuh dari konstalasi militer pada tingkat nasional,
dan karenanya dapat menempatkan diri mereka pada posisi berhadap hadapan secara radikal dan
permanen terhadap pemerintah di Yogyakarta berikut segala urusan politiknya.

Tidaklah mengejutkan apabila para pemimpin militer di Surakarta memilih untuk mengabaikan rencana
asli pembaruan yang diajukan Nasution, pada awal Juni 1948 mengelompokan diri mereka ke dalam
sebuah formasi baru yang disebut “Perhimpunan Pertemuran panembahan Senopati” di bawah
kepemimpinan Mayor Jenderal Sutarto, secara substansial, ‘pembatuan’ ini jauh dari perubahan yang
dibayangkan Yogyakarta: jumlah pasukan, posisi kepemimpinan dan distribusi persenjataan di antara
kesatuan-kesatuan PPS adalah sama dengan pada saat mereka masih bersama Senopati. TLRI, Pesindo,
dan pasukan laskar tidak dihapus, tetapi dibentuk dalam kesatuan terpisah dalam PPS.

21
David Charles Anderson. Peristiwa madiun 1948; Kudeta atau Konflik Internal Tentara?. Jakarta: Media
Pressindo, 2000, hlm. 23—41.
17
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

Dalam waktu singkat pasukan Siliwangi menjadi sasaran ketidak-senangan Kresidenan Surakarta, sejak
mereka ditempatkan di daerah yang harus menanggung pengungsi perang dari Semarang dan Jawa Timur
secara mendadak, dan ini masih harus ditimbulkan oleh blokade ekonomi Belanda. Beban yang harus
ditanggung oleh Senopati adalah kehadiran Siliwangi dalam jumlah besar diakui sendiri secara langsung
oleh kesatuan-kesatuan Senopati yang bertempat tinggal dan memiliki sanak saudara di daerah yang
paling berpengaruh (akibat kehadiran pasukan Jawa Barat). Terlebih lagi, terdapat pertentangan yang
jelas secara etnititas dan kultural untuk pasukan lokal yang terdiri dari orang Jawa dan pasukan Siliwangi
yang kebanyakan terdiri orang Sunda dan ditambah dengan orang-orang dari luar Jawa.

Ketegangan hubungan antara kesatuan-kesatuan dari Surakarta dan kesatuan-kesatuan Siliwangi hampir
meledak menjadi suatu pertikaian terbuka ketika pada tanggal 2 juli 1948 Panglima PPS Sutarto ditembak
ditempatnya sendiri di Solo dan sesaat kemudian meninggal. Adalah wajar apabila kemudian para
pengikutnya curiga pembunuhan tersebut merupakan bagian dan paket strategi pemerintah untuk
memaksa Senopati menerima rencanan reorganisasi militer. Dugaan ini menjadi semakin kuat dengan
dikeluarkan penyataan keras pada hari itu juga oleh komandan militer kota Solo, Mayor Ahmadi, yang
menyatakan bahwa kesabaran pemeritah terhadap sikap keras kepala para penentang reorganisasi telah
habis dan tindakan setimpal akan dilakukan terhadap pasukan-pasukan yang tetap mengabaikan
pembaruan yang telah diumumkan sejak Mei.

Pada 7 september, terjadi penculikan misterius di dalam kota yang menimpa hampir seluruh perwira dan
beberapa prajurit Brigade TLRI yang dipimpin oleh Kolonel Yadau, dan hal serupa yang menimpa empat
perwira staf dari kesatuan marinir lain yang dipimpin oleh Letnan Kolonel Suyoto. Dari bukti-bukti yang
ada, tampaknya mengarah pada keterlibatan pasukan-pasukan dari Jawa Barat dalam peristiwa tersebut.
Letnan Kolonel Suharman dari TNI dan Masyarakat ditunjuk memimpin penyelidikan, akan tetapi baru
saja akan memulai perjalanannya, ia juga tidak terlihat lagi. Pada hari berikutnya (10 September) giliran
mantan komandan kota Solo, Letnan Kolonel Sumarto, juga diculik dan dibawa ke asrama tentara
Srambatan di mana para tawanan lainnya juga ditahan.

Pimpinan Senopati menjadi sangat marah dan menuntut Batalyon Rukman dari Brigade ke-2 Siliwangi
(yang menempati asrama Srambatan) mengembalikan para perwira paling lambat pada 13 September, dan
akan memperkuat ultimatum terebut dikirim pasukan di bawah pimpinan Mayor Slamet Riyadi ke daerah
Srambatan. Beberapa jam sebelum batas waktu yang ditetapkan berakhir, Mayor Sutarno dan Brigader
Marinir Yadau, yang dikirim untuk memperoleh jawaban dari pihak Siliwangi, ditembak begitu saja
ketika dia memasuki kawasan Srambatan. Tiba-tiba Senopati bersama-sama dengan pasukan dari Brigade
Suyoto menyerang markas pasukan dari Jawa Barat tersebut, meskipun serangan tersebut tidak
memperoleh hasil apapun karena ternyata pasukan Siliwangi yang bertahan terbukti lebih unggul. Ketika
malam tiba, kedua pihak sepakat mengindahkan seruan Sudirman untuk melakukan gencatan senjat.
Dalam siaran radio yang diudarakan pada tanggal 16 September, Sudirman menekankan bahwa Angkatan
Bersenjata sebagai alat kekuasaan Negara meiliki tugas untuk menjaga keutuhan Republik dari serangan
dalam maupun luar negeri. Ia mengingatkan bahwa para pemimpin negara dan pemimpin tentara telah
18
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

berada dalam prsetujuan atas langkah-langkah yang akan diambil guna menjamin keamanan umum di
wilayah Surakarta dan tidak akan ragu-ragu menerapkannya di daerah Republik lainnya bila memang
situasi menuntut demikian.

Dilema yang dihadapi ooleh pemimpin tentang atas kekacauan di Solo itu hanya melibatkan masalah
internal militer semata, namun juga berkaitan dengan isu-isu politik dan isu-isu strategis yang lebih luas.
Pada suatu sisi terlihat jelas kemungkinan bahwa FDR-PKI akan mampu menciptakan suasana tentang di
Solo dan bahkan mungkin akan bertindak sendiri untuk mengupayakan pembebasan pasa sandera politik
dan para perwira PPS yang bersimpati padanya. Cukup masuk akal bahwa ketegangan sosial yang
sebelumnya telah mencuat di permukaan dalam aksi pemogokkan buruh pabrik tekstil dan perkebunan di
Delangu dapat saja merembet ke dunia kemiliteran dan berubah menjadi perang saudara. 22

Berbagai usaha FDR untuk memperoleh kursi dalam kabinet ternyata tidak berhasil, dan pemerintah
mengancam untuk secara teratur berangsur-angsur menghapus kekuatan FDR, yang akan menjadikannya
bulan-bulan suatu tentara revolusioner yang bersikap bermusuhan terhadanya. Amir dan rekan-rekannya
telah mengakui kesalahan kebijakan moderat mereka di masa lampau. Bahwa revolusi ‘borjuis’ pun
sekarang dikecam oleh Rusia, merupakan kekecewaan yang pahit sebab Amerika telah gagal memaksa
Belanda agar mematuhi syarat-syaratnya. Musso tiba (11 Agustus 1948) seakan-akan dari awang-awang,
tidak tercemar oleh kebijakan-kebijakan masa lampau yang salah, dan membawa suatau cetak baru yang
meyakinkan tentang suatu jalan yang baru dan pasti menuju kemenangan.

Dua minggu setelah Musso tiba di Yogyakarta, PKI memerima kepemimpinan Musso dan kebijakannya
yang disebut Jalan Baru. Harus ada hanya satu partai saja dari golongan pekerja, yang memegang peranan
pemimpin dalam satu front nasional yang pada gilirannya harus menguasai pemerintah. Walaupun
revolusi masih pada tahap nasional, kepemimpinan tidak dapat dipercayakan kepada ‘borjuis nasional’,
yang mudah dibujuk oleh rayuan imperealis. Dalam soal-soal dalam negeri, Jalan Baru tidak merubah
melainkan memperkuat dengan bahasa yang eksplisit dan agresif kecenderungan yang ada dalam
kebijakan FDR. Kapitalisme harus tetap ada di Indonesia, di bawah pengawasan negara, guna memajukan
perkembangan ekonomi yang diperlukan bagi revolusi sosialis di kemudian hari. Namun hak istimewa
feodal dan asing atas tanah-tanah harus dihapus, dan tanah petani kaya disita. Dalam kebijakan luar
negeri, Musso mendesak adanya pengandalan lebih kuat kepada Uni Soviet, yang kekuasaannya di
Indonesia telah sangat diremehkan oleh kaum marxis Indonesia di masa lampau. Optimisme Musso tetang
dukungan dari Rusia, digabung dengan apa yang kelihatan sebagai kegagalan Amerika untuk memenuhi
janji yang diberikan sebelumnya, merupakan salah satu faktor mengapa kaum marxis menerima Jalan
Baru itu.

22
Ibid, hlm. 23—41.
19
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

Semua pidato Musso memberi implikasi bahwa pemimpin borjuis revolusi tidak dapat ditolerir
dan hanya untuk sementara waktu. Amir Syahrifuddin telah melakukan kesalahan besar dengan
menyerahkan kemudi pemerintahan tanpa pejuangan, dan kaum komunis sekarang merebut
kembali kepemimpinan itu dengan cara apa pun.

Nada yang yakin dan agresif itu sekurang-kurangnya telah mempersiapkan kaum komunis secara
psikologis terhadap suatu usaha menumbangkan pemerintah. Para pemimpin baru PKI juga akan bersikap
sangat bodoh kalau mereka tidak mempersiapkan diri dari suatu konfrontasi bersenjata, sedangkan posisi
Moskow, langkah-langkah rasionalisasi militer, dan polarisasi pandangan-pandangan politik dengan pasti
menuju ke sana. Berbagai strategi pemberontakan FDR/PKI diterbitkan oleh musuh-musuhnya. Salah satu
di antaranya, yang dikatakan dan disusun sejak awal bulan Juli 1948 tetapi jatuh ke tangan pemerintah
setelah pemberontakan. Strategi darurat ini bagi ‘pemberontakan atau pemerintahan terpisah’ katanya
dipusatkan pada pengungsian pasukan-pasukan FDR dari ‘garis depan’ Belanda, konsentrasi kekuasaan di
Kresidenan Madiun yang terletak sentral dan stimuli berbagai kegiatan untuk mengalihkan perhatian.
Hampir dapat dipastikan bahwa memang ada rencana semacam itu, sekurang-kurangnya setelah
kedatangan Musso, namun perlu suatu sikap skeptis di dalam menangkap suatu teks yang katanya begitu
mudah meletakan segala kesulitan Republik pada kaki PKI yang membuat rencana-rencana jahat.

Semua indikasi menujukan bahwa rencana apapun yang dipersiapkan PKI adalah bagi jangka waktu yang
lebih lama, pada salah satu awal 1949. Pada waktu itu, mungkin asumsinya adalah bahwa pemimpin
borjuis telah disingkirkaan oleh pihak Belanda dalam suatu aksi militer kedua, sehingga tinggal PKI yang
harus menyaingi tentara atau meresapnya selama perjuangan gerilya yang terakhir. Kelihatannya sangat
tipis kemungkinannya bahwa pemimpin FDR/PKI yang berpengalaman itu akan berupaya langsung
menantang Soekarno sebagai lambang pemersatu Republik, kecuali kalau ia telah dideskreditkan oleh
suatu aksi Belanda, tetapi Musso sendiri merupakan titik lemah di dalam pelaksanaan suatu strategi
komunis yang realistits, sebab ia kurang peka terhadap kekhususan situasi Indonesia. 23

Sementara itu di Madiun sendiri Pesindo secara aktif mendukung aksi pemogokan yang dilakukan oleh
serikat-serikat buruh yang telah berlangsung sejak 10 September sebagai protes atas perlakuan kasar yang
dilakukan terhadap para pegawai sipil dan buruh kereta api oleh Batlyon Mobil CPM yang dipimpin
Warsito. Namun dengan terjadinya perkembangan baru sejak 16 September yang membuat para
pemimpin laskar di Madiun meragukan strategi depensif mereka sebelumnya akan cukup mampu
digunakan untuk mengatasi perkembangan situasi. Pada hari itu, Hatta kembali menyatakan keputusan
pemerintahannya untuk menggunakan tangan besi bila memang diperlukan untuk memelihara keamanan
di dalam negeri.

Terdengar kabar bahwa Siliwangi dan Barisan Banteng telah berhasil memukul mundur Senopati di Solo
pada 17 September dan kini tengah mempersiapkan serangannya ke Benteng Pesindo di Madiun untuk

23
Anthony J.S. Reid. Revolusi Nasional Indonesia. Jakarta: Sinar Harapan, 1996, hlm. 235—242.
20
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

melengkapi kemenangan mereka. Dalam situasi seperti ini, para pemimpin laskar dihadapkan pada hanya
dua pilihan tindakan yang paling mungkin. Mereka bisa memutuskan untuk berdiam diri dan membiarkan
pasukan-pasukan propemerintah menghancurkan organisasi militer mereka di Madiun dan di tempat lain
dengan dalih bahwa telah dinyatakan sebagai ancaman terhadap keamanan dalam negeri, atau mereka
juga bisa memutuskan untuk mengambil alih pemerintahan Republik di wilayah Keresidenan Madiun—di
mana orang-orang FDR menguasai banyak hal di kota—dan percaya bahwa langkah dramatis yang
menentukan kelangsungan mereka ini akan pasukan-pasukan itulah yang kemudian dipandang sebagai
tindakan yang paling sesuai dengan dalam keadaan seperti itu. Keputusan yang demikian menetukan ini
terkesan diambil perencanan dan persiapan yang matang, hanya sebuah improvan yang tergesa-gesa, dan
ini dibuat dari sebuah posisi kelemahan oleh Pesindo dan para kader FDR di Madiun dan bukan para
pemimpin oposisi nasional yang pada saat itu sedang berkampanye keliling Jawa. 24

Pagi sekali pada tanggal 18 September Pesindo mengambil alih instalasi-instalasi vital di Madiun atau
instruksi pemimpin nasionalnya, Sumarsono. Bersama dengan Brigade 29 TNI (sebelumnya Biro
Perjuangan yang pro-FDR, mereka menangkap dan membunuh perwira-perwira terkemuka yang
propemerintah di Madiun, termasuk hapir seluruh staf dari apa yang direncanakan akan menjadi Divisi
Jawa Timur dalam TNI hasil rasionalisasi. Pada jam 10 pagi Radio Madiun mengumumkan dibentukanya
suatu pemerintah Front Nasional bagi keresidenan Madiun, dikepalai oleh Sumarsono sebagai gubernur
militer. ‘Pemberotakan’ masih pada tingkat kup daerah, walaupun Sumarsono rupanya telah
memberikannya implikasi nasional dengan mendesak melalui radio agar contoh revolusionernya diikuti di
seluruh Indonesia.

Musso, Amir Syarifuddin dan Setiadjit telah meningalkan Madiun pada tanggal 9 September dalam
rangka tur mereka ke pusat-pusat Republik di Jawa untuk berpidato. Dalam suatu pidato yang bernada
keras di depan suatu rapat raksasa di Madiun, Musso telah menegur kaum komunis karena membiarkan
revolusi jatuh ke tangan kaum borjuis, dan menuntut agar ‘unsur-unsur yang menetang haluan revolusi
harus diberishkan’. Namun para pemimpin itu tidak dapat menduga terjadinya perkembangan militer yang
begitu cepat di Surakarta. Pada tanggal 18 September mereka tiba Purwadadi dalam rangka turnya, tidak
dapat disangsikan bahwa semuanya terkejut, dan semuanya kuatir kecuali mungkin Musso, mendengar
aksi Sumarsono.

Bagaimanapun juga pemerintahlah yang bertindak terlebih dahulu untuk menggambarkan kup tersebut
sebagai suatu pemebrontakan terhadap kepemimpinan nasional. Pagi-pagi pada tanggal 19 September
pemimpin-pemimpin PKI di Yogyakarta ditangkap, kebanyakan dari mereka, malah termasuk anggota
Sarekat Umum Tan Liang Djie, tidak tahu menahu tentang kejadian-kejadian di Madiun pada malam yang
sama Soekarno menyatakan perang kepada PKI dalam salah satu pidatonya yang paling pedas. Seraya
mengutip dari apa yang dikatakan merupakan petunjuk FDR dari bulan Februari 1948, ia menyatakan
bahwa kekacauan di Surakarta dan kup di Madiun kedua-duanya merupakan bagian suatu rencana jahat
PKI untuk menggantikan Republik dengan suatu pemerintahan Soviet di bawah Musso.
24
David Charles Anderson, Ibid, hlm. 60—62.
21
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

Kalau Soekarno berharap untuk menyudutkan Musso dengan pidatoya, maka ia berhasil dengan
gemilang. Hanya sejam setelah Soekarno selesai bicara, Musso menjawab melalui Radio
Madiun, dengan suatu pidato yang telah dilukiskan sebagai contoh ‘psikologi politik terburuk
yang dikenal dalam sejarah Indonesia’.

Pidato Musso melenyapkan kesempatan bagi suatu kompromi, dan kaum komunis siap-siap bagi perang
saudara. Pada tanggal 20 September mereka mengeluarkan program revolusioner mereka, yang
merencanakan perombakan dan penggantian birokrasi sama sekali, dipersenjatainya pekerja-pekerja dan
petani-petani, mengambil alihan bank-bank dan pabrik-pabrik, dan pembagian-pembagian tanah kepada
penggarap-penggarap. Kekuatan-kekuatan progresif di seluruh Jawa dan Sumatera diimbau ikut serta
melawan pemerintah Soekarno-Hatta. Namun pada kenyataannya polarisasi politik yang sedang
berlangsung di jantung wilayah Republik di Jawa tidak ada kaitannya dengan peristiwa-peristiwa di
tempat lain.

Jumlah pasukan yang bergabung mendukung telah diperkirakan antara sepuluh sampai dua puluh ribu
orang, walaupun 35.000 orang akhrinya ditangkap oleh pemerintah. Pasukan yang secara efektif
dimobilisasi oleh Yogyakarta juga kecil jumlahnya. Sebagian besar kesatuan-kesatuan Republik tidak
memiliki transpor, mempunyai kemampuan ofensif yang minimal dalam suatu perang sudara.

Pada kenyataannya pasukan pemberontak meningalkan Madiun tanpa mengadakan perlawanan pada
tanggal 30 September, setelah gagal menghentikan gerak maju pasukan Siliwangi di Ngerong dan
Magetan. Mula-mula mereka bergerak di daerah pegunungan di sebelah Selatan Madiun dalam upaya
mencari basis gerilya yang aman. Di situ Musso meninggalkan pasukan utama, mungkin setelah suatu
perselisihan. Ia dibunuh dalam suatu peristiwa pada tanggal 31 Oktober. Pasukan utama yang berjumlah
kira-kira 2.000 orang dipimpin Amir Syahrifuddin juga dikejar-kejar dari berbagai penjuru oleh pasukan
Siliwangi, dan mulai bergerak di arah utara melintasi Gunung Lawu. Mungkin mereka berharap dapat
mencapai daerah pendudukan Belanda yang relatif aman. Pada akhir bulan November pemimpin-
pemimpin tertinggi ditangkap dekat garis Renville di daerah Purwodadi. Pada tanggal 20 Desember
mereka langsung ditembak.25

Peristiwa G 30 S

Setelah pemerintah RI mengakui kembali eksistensi PKI, berarti partai tersebut mempunyai kesempatan
untuk melakukan kembali aktivitasnya secara legal. Sikap pemerintah itu memberikan dampak yang luas

25
Anthony J.S., Ibid, hlm. 243—249.
22
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

terhadap tokoh-tokoh PKI. Mereka yang menghilang sejak Peristiwa Madiun 1948, mulai keluar dari
tempat persembunyiannya. Pada bulan September 1949, Alimin Prawirodirjo yang dihormati sebagai the
great old man gerakan komunis di Indonesia muncul di Yogyakarta. Kemunculan aktivis 1920-an itu
sungguh di luar dugaan, karena itu menjadi berita yang mengejutkan. Hal ini disebabkan bahwa di masa
itu kabar yang tersiar menyebutkan Alimin telah tewas selama aksi di Madiun. Dengan kemunculan
Alimin menunjukkan bahwa sikap pemerintah untuk tidak melarang PKI, mendapat respon positif dari
mereka.

Persoalan pertama yang dihadapi PKI adalah hancurnya struktur partai akibat Peristiwa Madiun. Aktivis
banyak yang terbunuh, serta tidak sedikit yang masih mendekam di penjara konsekuensi lainnya yakni
citra buruk yang diderita partai. Itulah kenyataan objektif yang ditemuai Alimin. Begitu partai di bawah
kendalinya, maka sebagai langkah awal ia menghimpun kembali kekuatan komunis yang tercerai-berai.
Tampaknya partai secara organisasi mulai bergerak dengan ditandai tersiarnya susunan sekretariat Central
Comitee (CO) meskipun untuk sementara. Susunan sekretariat yang disiarkan pada tanggal 10 Juli 1950
itu terdiri Sudisman (mantan sekjen Pesindo), Djaetun (mantan Digulis), dan Ngadiman.

Di dalam tubuh partai, Alimin mulai melakukan upaya-upaya konkret guna menghapus citra buruk partai.
Demi mengembalikan kekuatan partai, ia menerapkan kebijakan yan lebih ketat dalam arti berhitung
secara kualitas. Ia cenderung membangun kembali partai sebagai partai kecil, tetapi sangat selektif dan
mempunyai posisi yang kuat dengan dukungan kader yang cakap. Alimin menghendaki sebagai partai
kader. Tetapi Alimin menerapkan taktik infiltrasi yang cukup jitu. Ia memerintahkan kepada para kader
partai untuk memasuki organisasi kepemudaan, buruh, petani dan lain-lain.

Di dalam membangun partai timbul perbedaan visi. Ini malah menimbulkan friksi internal yang semakin
menguat, bahkan dengan mencuatnya polarisasi dua kekuatan, yakni faksi ‘golongan tua’ yang dipimpin
Alimin berhadapan dengan faksi ‘golongan muda’ yang dipimpin Aidit.

Golongan tua tampaknya menghendaki strategi rasional—revolusioner untuk membangkitkan dan


mengerakan partai. Sedangkan golongan muda lebih kentara semangat emosional—revolusioner dalam
mengendalikan dan menjalankan garis politik partai. Bila ditelusuri ke belakang, perbedaan itu memang
sangat kontras, akibat pengalaman masing-masing. Golongan tua dimatangkan oleh kondisi kolonisasi
Belanda. Mereka mengalami berbagai penderitaan pahit, seperti mendekam di penjara atau dibuang ke
daerah terpencil atau terasing di dalam masyarakatnya. Sedangkan golongan muda terobsesi masa
pendudukan Jepang dan dipengaruhi oleh romantika revolusi 1945.

Frikasi kedua golongan itu pada akhirnya menjelma menjadi rebutan pengaruh. Bisa dibayangkan bila
masing-masing golongan mengincar posisi yang kuat dalam elite partai. Keputusan-keputusan politik
golongan tua dirasakan sangat lamban mengantisipasi berbagai persoalan. Taktiknya pun dianggap oleh
golongan muda sudah tidak lagi efektif karena bisa mengakibatkan PKI tidak popular di masyarakat.
23
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

Kritik golongan muda tidak bisa dibendung lagi. Dalam pucuk pimpinan pun golongan tua mulai
tersingkir. Pada tanggal 7 Januari 1951, tejadi suksesi kepemimpinan dalam partai. Aidit mengambil alih
posisi Alimin, guru politiknya sendiri. Dalam susunan politbiro tampak dominasi golongan muda seperti
Aidit, Lukman, Sudisman, sedangkan golongan tua terwakili Alimin.

Tampilnya kepemimpinan golongan muda terutama sosok Aidit telah memberikan catatan-catatan
tersendiri. Mereka mengembangkan corak yang khas bagi partai. Kedua tokoh yang mudanya yang aktif
dalam revolusi Agustus 1945, pada gilirannya mengarahkan PKI menjalin hubungan dengan pelaku-
pelaku yang telah melakukan Proklamasi. Dengan begitu, PKI diproyeksikan sebagai wadah guna
melahirkan kembali semangat pemuda yang pernah diperlihatkan pada pertengahan 1945.

Aidit pun menyadari bahwa kelompok yang bersikap ‘kekanan-kananan’ dan ‘kekiri-kiran’. Golongan
pertama berfikir empirik, yakni menghendaki PKI menjadi partai terbuka, termasuk penggalangan
berbagai kekuatan masssa. Namun cara berfikir ini, kelemahannya adalah partai tidak akan bisa
mengontrol anggotanya, sehingga loyalitas anggota sukar dipertanggungjawabkan. Sementara golongan
kedua berfikir dogmatis. Mereka menginginkan PKI tetap memegang teguh garis politiknya keras. Ini
mengandalkan kader-kader yang tangguh dan teruji, kendati secara kuantitas tidak terlampau banyak.
Tetapi ditakutkan, PKI malah terjebak menjadi partai yang terasing dan tidak populer di mata masyarakat.

Menyadari kondisi objektif demikian, lantas Aidit menetapkan haluan yang boleh dikatakan sebagai
“garis tengah”. Ia mengarahkan partai agar menjadi besar dan mendapat simpati di kalangan masyarakat
luas, tetapi sekaligus membangun struktur partai dengan kuat agar posisi partai tidak mudah goyah,
konkretnya dilakukan penggalangan berbagai kekuasaan massa, dengan tanpa terhenti menciptakan
kader-kader militan. Aidit sadar bahwa kekuasaan partai begitu kecil sebagai akibat Peristiwa Madiun
1948.26

Pada bulan Agustus 1951, menjelang tahun Proklamasi, tetap tujuh bulan setelah terbentukanya
pemimpin baru, Perdana Menteri Sukiman (Masyumi), yang pernah menjadi menteri dalam negeri pada
zaman peristiwa Madiun melancarkan penangkapan-penangkapan massal terhadap kaum komunis,
anggota-anggota serkat buruh, peranakan Cina dan lain-lain. Tindakan-tindakan intimidasi tersebut antara
lain ditunjukan untuk mempermudah diterimanya Undang-undang perburuhan yang sangat kontroversial.
Aidit terhindar dari penangkapan dan melewati beberapa minggu di bawah tanah Jakarta. Tetapi banyak
kader di seluruh negeri yang baru saja ditunjuk, ditawan berbulan-bulan tanpa pengadilan suatu konfrensi
partai bisa berlangsung pada bulan Januari 1952 tetapi banyak kader yang seharusnya ikut serta dalam
konferensi ini masih meringkuk dalam tawanan. ‘Razia Agustus’ itu di satu pihak, untuk sementara telah
menambah berbagai kesulitan di dalam partai. Kesulitan itu tidak saja karena organisasinya yang masih
26
Subchan Sd. Langkah Merah; Gerakan PKI 1950—1955. Yogyakarta: Bentang Budaya, 1996, hlm. 24—31.
24
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

sangat lemah, tapi lebih penting lagi adalah dari segi penentuan garisnya, taktik dan strategi, dengan
memberikan kembali alasan-alasan kepada mereka yang masih berpendapat bahwa PKI seharusnya tetap
berada di bawah tanah dan berjuang dengan menitik beratkan kepada aksi-aksi bersenjata. Tetapi di pihak
lain, peristiwa Agustus 1951 itu juga telah berakhir menimbulkan atau menyebabkan makin besar
pertentangan di antara kalangan yang berkuasa. Hubungan antara PNI dengan Masyumi, dua partai pokok
di dalam pemerintahan sejak bulan Januari 1948, menjadi rusak.

Seiring dengan itu, tampaknya rusak juga hubungan antara Soekarno dan Hatta. Akibatnya, suatu operasi
yang semula bertujuan mematahkan PKI, bahkan jika mungkin mendatangkan pelarangannya, malahan
sebaliknya telah memberikan peluang bagi PKI guna ikut serta dalam percaturan politik dengan
menyokong PNI dan menetang Masyumi yang dianggap sebagai kubu kaum reaksi pro-Amerika Serikat.
Karena itu, garis Aidit untuk masuk secara kritis ke dalam percaturan itu, telah kembali memperoleh daya
kekuasaan.27

PKI meluas pengaruhnya ke wilayah pedesaan Jawa Tengah dan Jawa Timur, identitas kelas dan
kemilitan-potensialnya benar-benar tenggelam. Banyak petani miskin yang bergabung dengan PKI
berjanji akan membela kepentingan mereka, tetapi banyak petani yang bergabung dengan alasan-alasan
lain. Tim-tim PKI memperbaiki jembatan-jembatan, sekolah-sekolah, rumah-rumah, bendungan-
bendungan, WC dan kamar mandi umum, saluran-saluran, dan jalan-jalan; mereka memberantas hama
dan mengadakan kursus-kursus pemberantasan buta huruf, mengorganisasi kelompok-kelompok olahraga,
musik dan musik desa, serta memberikan bantuan kepada anggota pada saat-saat sulit. Sebagai suatu
organisasi masyarakat, PKI mengungguli organisasi lainnya, dan karena partai itu tampak tidak menganut
kekerasan dan lunak, dan para penduduk pedesaan berduyun-duyun menjadi anggotanya. Di desa-desa
partai ini sering kali dipimpin oleh guru-guru, kepala desa, para petani menengah dan kaya, dan beberapa
tuan tanah, yang membawa bersama-sama mereka komunitas atau kelompok pengikut untuk masuk ke
dalam organisasi ini. Komunitas-komunitas tersebut hampir seluruhnya muslim nominal (abangan).

Dengan perkembangan seperti itu, maka PKI memerpoleh basis massa yang memungkinkan partai ini
untuk menekan kekuatan-kekuatan politik lainnya dan dalam waktu singkat membuat penampilan yang
mengesankan dalam Pemilihan Umum. Akan tetapi tidaklah mungkin bahwa kesemuanya itu dapat benar-
benar menjadi suatu dasar bagi suatu revolusi komunis. Kepemimpinan Aidit harus mengadakan kursus-
kursus umum pemberantaasan buta huruf dan kursus-kursus penidikan dasar sebelum partai ini dapat
mengungkapkan gagasan-gagasan marxis-leninis kepada sebagian besar pengikutnya yang dengan cepat
bertambah banyak itu. Strategi untuk mencari jalan melalui parlemen secara damai dalam rangka
mencapai kekuasaan dengan cara membangun keanggotaan massa yang sangat besar sekarang in begitu
berhasil, sehingga akan sulit bagi PKI untuk memikirkan jalan yang lain. 28

27
Jacques Leclenc. Aidit dan Partai pada tahun 1950. Prisma, No. 7, 1982, hlm. 61—79.
28
M.C. Ricklefs. Sejarah Indonesia Modern. Jakarta: Gajah Mada University Press, 1991, hlm. 374—375.
25
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

Hasil-hasil yang dicapai PKI dalam Pemilihan Umum tahun 1955 maupun Pemilihan Umum daerah tahun
1957 diterima sebagai bukti bahwa garis politiknya tepat. Dalam suatu pidato yang dilakukan pada tahun
1957 untuk memperingati ulang tahun ke-40 Revolusi Soviet, Aidit mengulangi lagi bahwa PKI harus
belajar dari semua partai sekawan dan harus mempelajari pengalaman Partai Komunis Uni Soviet dan
Partai Komunis Cina yang telah merebut kekuasaan pakai kekuatan bersenjata dan juga pengalaman
Partai Komunis Prancis serta Partai Komunis Italia yang menggunakan jalan-jalan damai dan parlementer
untuk maju. Pembelaan dewan perwakilan, pembelaan demokrasi parlementer pada waktu itu menjadi
penting bagi PKI, tidak hanya karena pengaruh garis baru yang berkembang di Soviet dan Kruschef dan
yang diterima oleh banyak partai-partai di dunia, teapi terutama karena situasi dalam negeri di
Indonesia.29

Ktika Presiden memproklamasikan konsep demokrasi terpimpin, PKI adalah salah satu unsur
terkuat yang mendukung konsep tersebut karena PKI belum cukup untuk menentang presiden,
akan tetapi para peimpin partai dan musuh-musuh mereka menyadari fakta bahwa dengan
seluruh cabang-cabangnya PKI mengontrol dukungan massa yang terbesar dan terorganisir rapi
di tanah air. Akibatnya adalah bahwa PKI sudah menjadi semacam pesaing bagi presiden untuk
mengambil alih dan menguasai arah demokrasi dan militan untuk mendukung program-program
presiden.

Presidenlah yang dengan gigih berkampanye untuk memasukkan PKI kedalam kabinet pascaPemilu dan
selalu menegaskan bahwa ia tidak akan menunggangi ‘kuda berkaki tiga’, yaitu sebuah pemerintahan
yang hanya mewakili tiga dari empat pemenang utama Pemilu, yaitu PNI, Masyumi dan NU. Presiden
selalu saja membela PKI setiap kali PKI mendapat serangan. Oleh karena itu, larangan-larangan
Angkatan Bersenjata terhadap aktivis-aktivis PKI atau kelompok-kelompk front mereka salalu diimbangi
dengan tuduhan komunis—phobia dari presiden.

Dalam usaha untuk mempertahankan langkah dalam kerangka kerja yang sulit dan rumit yang dibuat oleh
Presiden, PKI telah menyadari kekurangan mereka dalam hal kekuatan militer. Gagalnya dalam upaya
untuk meningkatkan pengaruh melalui dukungan militer. PKI kemudian mencurahkan perhatian untuk
membangun dukungan dari petani. Sejak tahun 1959, PKI bersemangat sekali berkampanye reformasi
tanah, menyerang ‘kondisi petani yang mengenaskan’ dan praktek-praktek ‘feodal’ yang masih
berlangsung di desa-desa. Pada bulan Oktober 1959, wakil-wakil BTI dalam parlemen agar para buruh
tani melalui ‘perjuangan yang tak kenal lelah’ organisasi ini, para buruh tani di beberapa daerah berhasil
mendapatkan 70-80 persen hasil panen. Pada bulan berikutnya, parlemen mengesahkan sebuah rancangan
Undang-undang yang mengatur pembagian hasil panen sebesar 50-50 persen, sedangkan biaya produksi
yang meliputi bibit dan pupuk ditangung oleh pemilik tanah.

29
Jacques Leclenc, Loc. Cit.
26
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

PKI juga mengalami beebrapa persoalan internal dan kesulitan-kesulitan yang diperparah oleh
perselisihan di dalam blok komunis. PKI pada waktu itu menghadapi masalah yang lazim bagi sebuah
partai komunis yang mengidentifikasi dirinya dengan slogan-slogan nasionalis rezim yang sedang
berkuasa. Besarnya anggota PKI, baik di dalam tubuh partai maupun di dalam sejumlah cabangnya,
diperoleh melalui kombinasi antara janji-janji, serangan-serangan yang menuduh partai lain sebagai
penyebab korupsi dan bencana yang menimpa negeri ini sejak kemerdekaan, serta sokongan penuh oleh
slogan-slogan nasionalisme radikal yang dipopulerkan oleh presiden.

Dengan program yang direncanakan untuk menarik dukungan massa ini, PKI tidak sekadar berdiri tapi
juga berkembang dengan pesat. Namun, seperti halnya para politisi lain, bagi orang-orang komunis juga
tiba masa pembalasan. Suatu janji-janji mereka harus dipenuhi. Pada saat itulah, PKI akan menghadapi
ketidakpuasan dan keresahan di tengah-tengah para pendukungannya.

Ada bukti-bukti kuat bahwa selama beberapa tahun, terdapat pertikaian di kalangan elite partai. Usaha-
usaha ketua Aidit untuk mengontrol semangat revolusioner sayap kiri partai yang dipimpin oleh Lukman
dan Sudisman pada tahun 1961 tampaknya berhasil. Namun ketika perpecahan antara Moskow dan
Peking bertambah besar, Aidit mulai mencemaskan perlunya mempertahankan kesatuan di dalam tubuh
partai. Mendesaknya keinginan untuk mengembalikan keutuhan partai di dalam negeri dalam beberapa
tahun ini tercermin dalam usaha-usaha para pemimpin PKI untuk menyembuhkan putusnya hubungan
antara Moskow dan Peking. Usaha-usaha ini tercermin dalam seruan-seruan untuk bersatu dalam gerakan-
gerakan komunis Indonesia yang dibuat oleh Aidit, Nyoto dan kawan-kawan sefaksi lainnya. Pada saat
yang sama, untuk menjawab tekanan yang dilakukan oleh sayap kiri partai, Aidit meningkatkan
kampanye publiknya terhadap Angkatan Bersenjata terutama pembatasan-pembatasan yang dipaksakan
Angkatan Bersenjata atas aktivitas organisasi-oeganisasi front PKI.

Namun betapa besarnya tekanan yang didesakan oleh sayap kiri partai, Aidit yang faksinya masih
dominan, jelas-jelas tidak beminat meninggalkan strateginya untuk mengumpulkan kekuatan dengan cara
damai. Dengan demikian, untuk mendapatkan pandangan yang lengkap mengenai posisi relatif PKI dalam
demokrasi terpimpin, mau tidak mau kita harus melihat pula istana dan Presiden Soekarno.

Hubungan Presiden dengan PKI adalah salah satu yang paling rumit dan ruwet dari segala macam
manuver politik. Dari kutipan-kutipan tulisan Soekarno dan pidato-pidatonya, terbukti bahwa kekuatan
dan latar belakang intelektual Soekarno lebih banyak dibentuk oeh berbagai sumber sosialis dan
menunjukkan minatnya yang besar terhadap pemikiran-pemikiran yang berbau marxisme-leninisme.
Akan tetapi, juga ada bukti dari perilaku politiknya selama beberapa tahun bahwa komitmen terbesar
Presiden adalah pandangan-pandangan nasionalisnya.

27
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

Ini barangkali bisa menjelaskan mengapa meskipun terjadi Insiden Madiun, presiden tampaknya
mengganggap bahwa bersama dengan orang-orang komunis dan orang Indonesia lainnya, nasionalisme
harus didahulukan, dan bahwa ideologi apapun yang mengganti cita-cita nasionalis harus diabaikan. Atau
mungkin juga, Soekarno tidak pernah menganggap PKI tidak memiliki peluang yang lebih besar daripada
kelompok-kelompok politik lainya untuk mendapatkan kedudukan yang bisa menentang wibawa
presiden. Apapun alasannya, ketika PKI mulai menabuh genderang perang untuk merebut kekuasaan,
Soekarno memilih untuk tidak melawan kekuatan komunis tersebut. 30

Kalau Partai Komunis Indonesia mau sampai berkuasa, jelas ini akan meminta kemampuannya untuk
mengatasi sejumlah besar rintangan, PKI masih terlalu lemah di luar Jawa. Nampaknya juga belum
memiliki pijakan kuat di dalam Angkatan Bersenjata. Sedangkan kebanyakan dari mereka juga
mempunyai kedudukan, kekuasaan dan hak-hak istimewa, baik militer maupun sipil, secara pribadi
menganggap PKI sebagai ancaman penting bagi diri mereka. Satu pola umum percakapan dengan para
petinggi pemerintah, ialah semakin terbuka kekuatan dan muncul keterus-terangan semakin jelas
mengungkapkan sikap antikomunis. Sifat-sifat yang sama mengenai kejujuran, kegigihan, semangat dan
kelekatannya kepada rakyat yang telah menyebabkan PKI dikagumi tetapi sekaligus dicemburi, ternyata
ditakuti oleh banyak kalangan yang memiliki hak-hak istimewa.

Sesungguhnya ada suatu sifat khas tersendiri mengenai partai itu, yang tidak dapat dihalangi semboyan-
semboyan persatuan Nasakom yang sering diucapkan. Pada pemimpinnya, pusat dan daerah, pada
umumnya orang-orang yang datang dari lapisan sosial yang rendah dibandingkan dibandingkan dengan
para pemimpin kelompok politik lainnya yang kesetiaan mereka kepada organisasinya telah mengerem
kecenderungan menjadi bagan dari ‘kelas baru’ yaitu dunia sosial budaya elite politisi.

Memang inilah yang mejadi kekuasaan komunis dalam jangka panjang, akan tetapi dalam situasi dekat ini
justru inilah yang memperkuat kecurigaan kelompok-kelompok lain terhadap mereka dan menjadikannya
sukar untuk infiltrasi partai-partai lain. Ketakutan orang terhadap mereka itu barangkali semakin menjadi
besar karena kaum yang memiliki hak-hak istmewa itu telah bertambah takut lagi kepada massa, misalnya
sebagai akibat kesaksiannya terhadap bagaimana rumah-rumah terbakar gara-gara kerusuhan anti-Cina
atau anti-Inggris. Dan tidak ada petunjuk bahwa ketakutan itu membawa mereka pada sikap ‘jika kamu
tidak dapat megalahkannya maka ikutlah mereka’.

Karena alasan-alasan ini semua, maka setelah Presiden Soekarno tidak ada, kemungkinan PKI akan
mengalami masa yang sukar, tentara akan muncul sebagai kekuatan politik yang dominan dan
memperlakukan PKI sebagai musuh. Akan tetapi, jikalau kecenderungan ke kiri sekarang ini berlarut
terus, bila terjadi peristiwa yang berlainan, dalam kata-kata Aidit: “Bilamana dengan kita berhasil
menyelesaikan tahap pertema revolusi kita dapat menmpuh jalan musyawarah dengan unsur-unsur

30
Jeanne S. Mintz, Op. Cit., hlm. 283—291.
28
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

progresif lainnya di dalam masyarakat kita dan tanpa suatu perjuangan bersenjata, maka akan membawa
negara kita menuju revolusi sosialis. Pengaruh yang menghukum (dari tahap revolusi ini) akan
mempertahankan semacam tekanan revolusioner terhadap kaum kapitalis nasional Indonesia. Tidak ada
perjuangan bersenjata kecuali apabila terjadi intervensi bersenjata dari luar yang mewakili kepentingan-
kepentingan kapitalis dan bilamana kita merampungkan dengan sukses revolusi nasional demokrasi kita
sekarang ini, maka peluang bagi suatu intervensi kekuatan asing terhadap dalam negeri Indonesia menjadi
sedikit sekali.31

Politik Demorasi Terpimpin masih terus bergeser ke arah nasionalisme kiri yang lebih radikal. Soekarno
masih tetap tak tersaingi dalam kedudukanya di puncak struktur kekuasaan, sementara Angkatan Darat
mendapatkan dirinya makin terkepung oleh Partai Komunis yang lebih galak. Dalam waktu yang
bersamaan, pengaruh terus menerus meluas. Orang-orang komunis belum memiliki kedudukan yang
penting dalam kabinet, tetapi mungkin pula, dalam keadaan di mana bidang ekonomi sedang mengalami
perkembangan menuju bencana, PKI tidak lagi begitu bernafsu untuk ikut memikul tanggung jawab atas
kebijaksanaan pemerintah. Hanya saja PKI makin sering memprakarsai kebijakan, dan dalam banyak hal,
Soekarno yang tampaknya sedang kehabisan gagasan pada akhirnya tak dapat berbuat lain kecuali hanya
menyetujui kebijaksanaan yang diprakarsai PKI itu. Jelas berlebih-lebihan untuk mengatakan bahwa
orang komunis menguasai presiden, tetapi mereka memuji-mujinya, menyenangkan hatinya, dan
dengancara itu mereka mempengaruhinya.

Pada umumnya PKI mendapatkan perhatian presiden. Daya tariknya bagi massa tak disangsikan lagi terus
bertambah sementara situasi ekonomi menjadi semakin buruk. Partai itu bebas untuk berbicara dengan
terus terang dan untuk beragitasi tanpa merasa takut terhadap tentara. Tetapi, partai itu juga menjadi
militan. Anggota-anggota kader yang maih muda menghendaki tindakan. Petugas-petugas BTI mendesak
agar diambil tindakan untuk dilaksanakan undang-undang Land Reform yang telah disetuji dalam 1960
dan telah ditentang oleh pemilik tanah dan pejabat-pejabat.

Timbul keresahan dalam partai, yang ditimbulkan oleh kaum doktriner marxis yang mempertanyakan
kebijakan Aidit mengenai kerja sama dengan borjuis nasional yang mengancam apa yang mereka anggap
sebagai suatu perkembangan ke arah “pemborjuisan” dalam puncak pimpinan PKI. Dengan demikian
pada awal 1964 PKI tampaknya sudah siap untuk suatu upaya yang lebih radikal dan lebih tegas guna
“melancarkan ofensif revolusioner” termasuk pembantaian lawan-lawannya, sipil maupun militer, dan
untuk mendorong kebijaksanaan dan politik Indonesia lebih ke kiri lagi. 32

Sepanjang tahun 1965 situasi politik terpolarisasi lebih daripada sebelumnya karena Presiden
Soekarno terang-terangan telah menyatakan berpihak pada PKI melawan pemimpin Angkatan
Darat, sementara aksi-aksi PKI berangsur-angsur makin ditunjukan kepada Angkatan Darat

31
Herbert Feith. Soekarno – Militer Dalam Demokrasi Terpimpin. Jakarta: Sinar Harapan, 1995, hlm. 148—150.
32
Ulf Sundhaussen. Politik Militer Indonesia 1945—1967; Menuju Dwi Fungsi ABRI. Jakarta: LP3ES, 1986, hlm.
314—319.
29
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

sendiri, dan bukan hanya sekutu-sekutu Angkatan Darat. Walaupun pemimpin angkatan ini tetap
yakin bahwa kekuatan militer yang besar pada mereka dapat menjamin PKI tidak akan bertindak
leluasa, namun mereka mulai—khususnya sejak Mei 1965—mempertimbangankan langkah-
langkah yang lebih giat yang akan dilakukan untuk melindungi kedudukan mereka. Ketika
pengaruh PKI semakin besar di bawah ‘selimut’ yang disediakan presiden, para pemimpin
Angkatan Darat berpendapat bahwa mereka terpaksa menilai kembali hubungan mereka dengan
presiden. Bila Angkatan Darat tidak bertindak terhadap presiden dan ia tetap memberikan
dorongan kepada PKI, bagi beberapa perwira ini berarti bahwa kemajuan PKI akan terus
berlangsung tanpa batas. Jadi, kalangan Angkatan Darat sependapat bahwa mereka harus berbuat
sesuatu, sekalipun itu berarti perpecahan terbuka dengan Soekarno.

Sungguhpun PKI mengalami kemajuan-kemajuan besar bahkan luar biasa sejak tahun 1963,
khususnya dalam mempengaruhi perumusan-perumusan ideologi Soekarno, kedudukan partai ini
masih jauh dari aman. Iklim ideologis di mana percaturan ini berlangsung mengalami banyak
perubahan karena Soekarno mengambil sikap dan kebijakan sejalan dengan yang disuarakan
PKI. Persamaan pandangan antara presiden dan partai ini menyebabkan anti-komunisme di
dalam negeri tampak sebagai suatu sikap yang tidak setia. Namun demikian kemajuan PKI masih
terbatas. Terlepas dari kampanye Nasakomisasi di segala bidang, PKI tidak mempunyai
dukungan yang dapat diandalkan di kalangan birokrasi pemerintah dan karena Angkatan Darat
kompak melawan partai ini, kekuatannya hanyalah massa dapat disuruh berdemokrasi tetapi
bukan melakukan perlawanan bersenjata. Karena sangat tergantung pada kemauan baik presiden,
PKI harus berlomba dengan waktu.

Selagi Soekarno masih hidup, PKI berniat menanam pengaruh Angkatan Darat di dalam birokrasi
pemerintahan. Jika partai mempunyai kekuatan di dalam kabinet dan mendapatkan bagian dari
kedudukan-kedudukan penting dalam pemerintahan daerah, PKI dapat berharap akan mendapatkan
pengesahan dan kekuasaan untuk memaksa Angkatan Darat menerimanya sebagai rekan setara di masa
depan. Akan tetapi, sampai bulan September 1965 tujuan tersebut masih jauh dari jangkauan dan lebih
sulit lagi, tindakan-tindakan PKI yang ofensif sejak tahun 1963 telah menjadikan lawan-lawannya
waspada, tidak hanya di kalangan Angkatan Darat tetapi juga NU dan PNI, khususnya di daerah
pedesaan.

Di tengah berlangsungnya antara Presiden dan pemimpin Angkatan Darat ke-5 (yang dipersenjatai) dan
kehidupan ekonomi sedang menuju kehancuran, sementara tampak membesarkannya kemungkinan
terjadi dua kekuatan. Dalam situasi ini, pagi hari tanggal 4 Agustus Soekarno muntah dan pingsan
sewaktu menerima delegasi yang diumumkan bahwa presiden mulai menerima delegasi yang dipimpin
Brigadir Jenderal Djuhartono dari sekretariat bersama Golongan Karya (Sekber-Golkar). Tidak lama
kemudian diumumkan bahwa presiden ‘mulai memusatkan perhatian pada pidato 17 Agustus’ dan karena
itu menghentikan kegiatan-kegiatan lainnya. Walupun Soekarno sukup cepat membaik sehingga dapat
menyampaikan pidato pada peringatan hari kemerdekaan 13 hari kemudian, peristiwa jatuh pingsannya
itu menyadarkan perang bahwa ia tidaklah abadi.

30
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

Bulan-bulan berikutnya suasana politik menjadi sangat tegang. Di tengah-tengah ketidakpastian mengenai
kesehatan presiden dan berbagai desas-desus tentang kudeta, Angkatan Bersenjata menyiapkan perayaan
Hari Angkatan Bersenjata secara besar-besaran pada tanggal 5 Oktober untuk menandingi perayaan ulang
tahun PKI yang dirayakan secara luar biasa pada bulan Mei sebelumnya. Ketika 20.000 anggota
dipusatkan di Jakarta terasa bahwa ‘sesuatu akan terjadi’. Menurut seorang ahli politik Amerika yang
berada di Jakarta ketika itu, “Wawancara yang saya catat dan pengalaman secara umum pada tanggal 1
Oktober bahwa tidak seorang pun merasa terkejut atas kejadian yang disingkapkan kepada umum di pagi
hari itu.”33

Selesai siaran warta berita radio jam tujuh pagi tanggal 1 Oktober 1965, dibacakan sebuah pengumuman
khusus yang menyatakan bahwa terjadi suatu gerakan militer dalam tubuh Angkatan Darat dibantu oleh
satuan-satuan dari unsur Angkatan Bersenjata lainnya. Disebut bahwa ‘Gerakan 30 September ‘ yang
dipimpin oleh Letnan Kolonel Untung, komandan Batalyon Tjakrabirawa yang mengawal istana telah
menawan anggota Dewan Jenderal yang dikatakan disponsori CIA, yang semenjak sakitnya presiden pada
awal Agustus telah menunjukkan kegiatan yang luar biasa. Pernyataan tersebut mengemukakan bahwa
Dewan Jenderal telah membawa pasukan-pasukan dari Jawa Barat, Tengah dan Timur ke Jakarta untuk
melakukan kudeta sekitar 5 Oktober, Hari Angkatan Bersenjata. Para Jenderal dituduh gila kekuasaan,
mengabaikan kesejahteraan paskan mereka, hidup dalam kemewahan di atas penderitaan rakyatnya,
merendahkan wanita dan menghambur-hamburkan uang negara. Gerakan 30 September mengambil
tindakan untuk mencegah terjadinya kudeta seperti itu. Jadi gerakan ini adalah suatu gerakan yang murni
dan intern Angkatan Darat yang ditujukan untuk melawan Dewan Jenderal. Presiden Soekarno ada dalam
keadaan selamat di bawah perlindungan Gerakan 30 September dan akan dibentuk suatu Dewan Revolusi
yang akan melaksankan kebijakan-kebijakan Presiden Soekarno.

Pengumuman itu diikuti penyiaran dekret pada jam 11 pagi yang menyatakan bahwa seluruh kekuasaan
dalam wilyah Republik Indonesia telah dialihkan kepada suatu Dewan Revolusi yang akan memegang
pemerintahan sampai Pemilihan Umum dapat diselenggarakan. Sementara itu kabinet dinyatakan berada
dalam keadaan demisioner, yang berarti bahwa para menteri hanya diperkenankan melakukan kegiatan-
kegiatan rutin. Jam dua siang, keputusan dari gerakan itu disiarkan. Yang pertama berisi pengumuman
nama-nama 45 orang Anggota Pusat Dewan Revolusi. Presidium terdiri dari Untung sebagai ketua,
dengan Supardjo, Heru Atmodjo, Sunardi dan Anwas sebagai wakil-wakil ketua. Di antara para anggota
dewan itu terdapat 22 perwira tinggi Angkatan Bersenjata. Dua dari tiga wakil perdana menteri
(Subandrio dan Leimena, tatapi Chaerul Saleh tidak masuk), juga partai-partai besar terwakili, di
antaranya tiga dari PKI. Nama yang paling mencolok kerana tidak termasuk daftar itu adalah nama
Presiden Soekarno. Keputusan kedua yang diumumkan adalah bahwa semua pangkat kemiliteran di atas
Letnan Kolonel dihapus dan para perwira serta sipil yang melibatkan diri ke dalam gerakan tersebut akan
dipromosikan.

33
Harlod Crouch. Militer dan Politik Indonesia. Jakarta: Sinar Harapan, 1986, hlm. 98—101.
31
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

Sore harinya disiarkan melaui radio perintah harian Panglima Angkatan Udara, Omar Dhani. Dalam
perintah tersebut I menunjuk pada Gerakan 30 September yang telah “melindungi dan menjaga revolusi
serta Pemimpin Besar dari subversi CIA denganjalan melakukan ‘suatu pembersihan di kalangan
angkatan Darat’”. Ia menyatakan bahwa Angkatan Udara telah dan selalu mendukung seluruh gerakan
yang progresif revolusioner.

Akhirnya, sekitar jam 9, Mayor Jenderal Soeharto, Komandan Komando Strategi Angkatan Darat
(Kostrad) menyampaikan pidato singkat di radio dan mengatakan bahwa suatu gerakan kontra-
revolusioner telah menahan enam jenderal termasuk panglima Angkatan Darat, Letnan jendeal A. Yani.
Ia menguraikan pembentukan Dewan Revolusi sebagai suatu kudeta melawan Presiden Soekarno dan
mengumumkan bahwa ia telah mengambil alih kepemimpinan Angkatan Darat, dan telah dicapai
pengertian bersama antara Angkatan Darat dan Kepolisian untuk menghancurkan Gerakan 30 September.
Dinyatakan bahwa sekarang situasi telah berhasil kita kuasai, baik di pusat maupun di daerah-derah, dan
bahwa Angkatan Darat bersatu.

Ke enam Jenderal yang disebut Soeharto telah diambil dari rumah mereka masing oleh sekelompok kecil
tentara melalui penyergapan di pagi buta. Mereka adalah Letnan Jenderal A. Yani (Menteri Panglima
Angkatan Darat), Mayor Jenderal Suprapto (Deputi Kedua), Mayor Jenderal Haryono MT (Asisten I),
Brigader Jenderal D.I. Pandjaitan (Asisten IV), dan Brigadir Jenderal Sutojo Siswomihardjo (Oditur
Jenderal Angkatan Darat). Tentara yang melakukan penyergapan itu mengatakan kepada para Jenderal
bahwa mereka dipanggil menghadap ke Istana Presiden. Hampir semua Jenderal itu menyangkal
kebenarannya, tetapi masing-masing diringkus dan diseret keluar ke truk atau jip yang telah menunggu.
Dalam proses tersebut, tiga orang (A. Yani, Haryono dan Pandjaitan) terbunuh, baik oleh peluru atau
banyonet, sedang yang lainnya dibawa hidup-hidup. Rumah Jenderal Naution juga disergap, tetapi dia
berhasil meloloskan diri melalui tembok rumah kediamannya dan masuk ke pekarangan Duta Besar Irak
yang tinggal bersebelahan. Dalam penyergapan di sini, anak perempuan Nasution berusia lima tahun luka
parah mereka juga mengkap salah seorang ajudan Nasution, Letnan Satu Piere Tandean, yang tinggal di
rumah Nasution, dan membawanya, bukan Nasution. Ke enam Jenderal dan Letnan itu dibawa ke suatu
daerah yang disebut dengan Lubang Buaya di wilayah dekat Pangkalan Udara Halim di pinggiran Jakarta.
Di situ, yang masih hidup di bunuh dan semuanya dijebloskan ke dalam sebuah sumur yang tidak
digunakan lagi. Sementara itu dua batalyon masing-masing berkekuatan 1000 orang telah ditempatkan di
Lapangan Merdeka. Mereka adalah para anggota dari batalyon 545 Jawa Tengah dan Batalyon 530 Jawa
Timur. Kehadiran mereka di Jakarta adalah untuk mengikuti perayaan Hari Angkatan Bersenjata tanggal
5 Oktober, tetapi para komandan mereka telah sepakat mendukung Gerakan 30 September. Dengan
menempatkan diri di lapangan Merdeka, mereka berada dalam posisi siap menguasai Istana Presiden di
sebelah selatan. Dari Markas Besar Kostrad, lapangan itu dapat terlihat dari timur.

Markas pertama Gerakan 30 September dalam Gedung Aerial Survey (Pengawasan Udara) pangkalan
Halim, kemudian dalam rumah seorang perwira menegah Angkatan Udara. Di tempat lain sekitar
pangkalan itu bermukim Aidit. Sesaat setelah jam 9 pagi, Presiden Soekarno (yang tidak mengetahui apa
32
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

yang terjadi) ti ba dipangkalan dan disambut oleh Pangima Angkatan Udara Omar Dhani yang juga
menginap di situ. Soekarno sepanjang siang berada di sna, di rumah seorang perwira tinggi Angkatan
Udara.

Perlawanan terhadap Gerakan 30 September dipusatkan di Markas Besar Kostrad di mana Soeharto
adalah panglimanya. Pada siang itu ia berhasil membujuk satu dari batalyon-batalyon yang ada di
lapangan. Mereka untuk bergabung dengannya, tetapi yang lainnya menuju ke Halim. Sore harinya
Soeharto menyampaikan ultimatum ke Halim yang mengakibatkan pangkalan yang pada pagi hari
berikutnya dapat dikuasai oleh Soeharto.34

Alasan yang sebenarnnya bagi Gerakan 30 September itu sesungguhnya cukup jelas, dan terkandung di
dalam pernyataan Untung. Terlepas dari satu kalimat pada akhir pengumumannya yang pertama melalui
radio, kalimat yang mengacu kepada para jenderal yang menelantarkan nasib prajurit, serta kepada gaya
hidup mereka yang mewah dan berfoya-foya, Untung dengan jelas mengatakan bahwa gerakannya
bertindak terhadap alasan mereka karena alasan-alasan politik dalam negeri. Dikatakannya, bahwa
perwira-perwira yang ditangkap itu telah membentuk sebuah Dewan Jenderal yang bertujuan
mengulingkan Soekarno dan pemerintahaanya dengan bantuan CIA, dan mereka ditangkap untuk
menyelamatkan presiden dan Revolusi Indonesia.

Tetapi, apakah memang ada Dewan Jenderal? dan jika ada, apa tujuannya, dan siapakah yang telah
menyampaikan informasi itu kepada perwira-perwira di sekitar Untung dan dengan demikian menghasut
mereka untuk menangkapi, dan kemudian membunuh orang-orang yang dituduh menjadi anggota dewan
itu?

Cerita tentang Dewan Jenderal yang merencanakan untuk menggulingkan pemerintahan telah
diinjeksikan ke dalam pasar kabar angin di Jakarta sekitar bulan Maret dan April 1965. Cerita itu memang
bisa diterima di tengah-tengah sedang meningkatnya ketegangan di dalam rangka ‘ofensif revolusioner’
yang sedang dilancarkan PKI, adanya ancaman dari golongan Islam untuk melancarkan jihad terhadap
komunis, dan tuduhan serta institusi terselimut dari pihak istana, seperti upaya Subandrio untuk
menghubung-hubungkan BPS dan Partai Murba dengan CIA. Pertanyaan tetang siapa yang sebenarnya
telah mengarang cerita itu agak sulit untuk dijawab.

Dalam pembelaannya yang terakhir di hadapan sebuah pangadilan militer, Nyono, tokoh PKI yang
memimpin pemuda-pemuda komunis dilatih di Pangkalan Udara Halim, mengatakan pada tanggal 19
Februari 1966 bahwa keyakinannya sendiri mengenai adanya Dewan Jenderal itu didasarkan atas
informasi yang diperoleh dari BPI, organisasi intel yang dipimpin Subandrio, dari sumber-sumber intel
34
Ibid, hlm. 108—111.
33
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

Angkatan Darat, dan pihak Kejaksaan. Juga Aidit dikabarkan telah menerima informasinya terutama dari
Brigadir Jenderal Polisi Soetanto, kepala Staf BPI. Sementara Subandrio, di dalam sidang pengadilan
yang memeriksanya menerangkan bahwa dalam bulan Mei BPI telah menerima informasi mengenai
Dewan Jeneral itu dari anggota PKI dan CGMI. Mengingat cara beroperasinya kabar angin itu, maka
yang tampaknya merupakan suatu proses saling mempengaruhi dengan bahan informasi itu memang
masuk akal dan bukan sesuatu yang tidak konsisten. Yang bisa dikatakan dengan pasti adalah bahwa
Soekarno, Subandrio, dan PKI telah mengangkat suatu desas-desus yang boleh dikatakan samar-samar ke
tingkat suatu persoalan yang dibicarakan secara umum.

Dalam situasi yang semacam ini, Subandrio pada tanggal 26 Mei memperlihatkan sebuah dokumen
kepada Soekarno yang kemudian dikenal sebagai ‘Surat Gilchrust’. Dokumen itu, sebuah konsep
telegram yang diketik dari Duta Besar Inggris dan Dubes Amerika Serikat, dan bahwa “kawan-kawan kita
dari tentara setempat” juga terlibat di dalamnya. Konsep itu diketik di atas kertas yang biasa digunakan
kedutaan Besar Inggris dan tertanggal 24 Mei 1965.

Kemudian Soekarno memanggil semua panglima angkatan ke istana. Pertemuan itu dihadir oleh Ahmad
Yani, Panglima Angkatan Laut Martadinata, Kepala Kepolisian Sutjipto, dan Sri Muljono yang mewakili
Omar Dhani yang pada saat itu sedang berada di Cina, dan Subandrio. Soekarno bertanya kepada Yani
apakah ada di antara para pembantunya yang mempunyai kontak dengan Kedutaan Besar Inggris dan
Amerika Serikat. Yani kabarnya telah menjawab bahwa Sukendero dan Parman memang sedang
mengumpulkan informasi dari kedutaan-kedutaan itu, dan Haryono, terus menerus mengadakan kontak
dengan perusahaan minyak asing. Ditanya mengenai ada tidaknya ‘Dewan Revolusi’ Yani mengatakan
bahwa memang ada sebuah badan yang sering diberi nama itu akan tetapi namanya yang sebenarnya
adalah Dewan Jabatan dan Pangkatan Perwira Tertinggi (Wanjabati) dan bahwa fungsinya semata-mata
untuk bermusyawarah mengenai kenaikan pangkat, dan penugasan para jenderal dan kolonel penuh.

Kemudian Subandrio dengan segera memberi laporan kepada PKI mengenai pertemuan di istana itu, dan
pada hari itu juga mengatakan di hadapan anggota-anggota PKI bahwa presdien sekarang sudah
mempunyai bahan bukti tentang adanya suatu “gerakan kontra revolusioner”. Soekarno telah mengambil
langkah lebih jauh dalam menafsirkan Surat Gilchrist ini. Kepada suatu rapat para panglima tentara
tanggal 28 Mei bahwa sudah memiliki bukti-bukti yang menyatakan bahwa Nekolim merencanakan untuk
membunuh dia, Subandrio dan Yani. Apabila rencana itu gagal, mereka akan menyerang Indonesia,
dengan bantuan ‘kaki tangan mereka setempat’. Peryataan-pernyataan Soekarno dan Subandrio telah jadi
bisa menghilangkan setiap keragu-raguan yang mungkin masih terdapat pada orang-orang komunis
mengenai kemungkinan akan dilancarkannya kudeta dengan Dewan Jenderal. Dengan demikian maka
yang akan memperingati publik—dan Untung—tentang adanya suatu Dewan Jenderal dan Rencana-
rencana untuk melancarkan kudeta, adalah PKI yang bekerja sama dengan Subandrio dan BPI, dan
Presiden.

34
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

Dalam 1966/1967 Brigjen Sukendro menerangkan kepada siapa saja yang mau mendengarkannya bahwa
memang benar ada suatu Dewan Jenderal, yang terdiri dari ke enam Jenderal yang dibunuh dan dia
sendiri, tetapi tidak mengikutsertakan Nasution. Ia sendiri dapat lolos dari aksi Gerakan 30 September itu
hanya karena dia kebetulan sedang berada di Cina pada tanggal 1 Oktober. Menurut Sukendro, Dewan
Jenderal bersidang untuk mengevaluasi perkembangan politik tetapi tidak pernah membicarakan rencana
kudeta terhadap Soekarno. Sukendro dalam 1967 pernah ditahan untuk beberapa lama, kabarnya untuk
menegahnya ‘desas-desus’ tetang adanya suatu Dewan Jenderal.

Mengingat tidak ada bahan-bahan bukti tentang adanya suatu kudeta dari pihak Dewan Jenderal seperti
yang dikatakan Soekarno, Subandrio, dan Aidit, dalam pertayaan-pertanyaan mereka di muka umum
maka masuk akan kiranya untuk mengandalkan bahwa Untung dan pembantu-pembantunya telah diberi
lebih banyak bukti, dan telah dihasut sebelum mereka melancarkan gerakan mereka yang luar biasa dan
sangat berbahaya itu. Tuduhan Angkatan Darat bahwa PKI sebagai biang keladi yang menghasut kudeta
Untung mengandung kelemahan. Penangkapan dan pembunuhan terhadap para Jenderal itu merupakan
suatu tindakan yang memang mungkin dilaksanakan dan bisa saja direncanakan atau disetujui pimpinan
PKI, operasi tindak lanjutnya tak menunjukkan adanya pengarahan dari orang-orang politik yang sudah
berpengalaman seperti Aidit, penculikan para Jenderal seharusnya disusul oleh tindakan politik yang
cepat yang harus memperoleh persetujuan—jika bukan partisipasi aktif dari presiden. Akan tetapi, selain
dekret mengenai pembentukan Dewan Revolusi, tidak ada tindakan politik yang demikian itu. Selain itu,
membuat pengumuman yang menyatakan bahwa seluruh wewenang berada di tangan Dewan Revolusi
dengan mengesampingkan Soekarno merupakan suatu kesalahan yang sangat besar yang kiranya
mungkin, tak mungkin direncanakan atau disetujui Aidit. Bahwa PKI bagaimanapun sangat terlibat dalam
petualangan Untung itu tak dapat disangsikan lagi, namun tak mungkin ia telah memainkan peran yang
dominan di dalam komplotan tersebut, dan kita harus menarik kesimpulan bahwa perwira-perwira di
sekitar Untung jauh lebih mandiri terhadap orang-orang komunis yang ikut berkomplot. 35

Penyelesaian akibat-akibat seluruhnya dari percobaan kudeta itu berlangsung berbulan-bulan,


penentangan terbuka dari Soeharto terhadap Soekarno menandakan suatu pergeseran yang kritis dalam
keseimbangan politik Indonesia. Hancurnya sistem demokrasi terpimpin telah dapat dibayangkan pada
tanggal 1 Oktober 1965 ketika Soeharto yang didukung oleh para jenderal senior yang lain tidak sejalan
dengan pandangan-pandangan presiden, tetapi baru pada minggu-mingu berikutnya dalam bulan itu
imbangan kekuasaan yang lama tak tertolong lagi, sehingga terjadi pembunuhan besar-besaran terhadap
para pendukung komunisme. Lenyapnya PKI, salah satu kekuatan politik yang efektif dalam tiga bulan
terkahir tahun 1965, mengabitkan tinggal hanyalah Soekarno dan kepemimpinan Angkatan Darat sebagai
dua pusat kekuatan yang saling bersaing.

Tidak jelas apakah para pemimpin Angkatan Darat memang bermaksud pembunuhan-pembunuhan
sesudah kudeta itu harus sampai pada tingkat yang begitu ganas seperti yang dialami di daerah Jawa
Timur, Bali dan Aceh, namun tidak dapat diragukan bahwa mereka mengeksploitasi kesempatan yang
35
Ulf Sundhaussen, Op. Cit., hlm. 349—358.
35
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

tersedia oleh percobaan kudeta itu untuk melenyapkan kepemimpinan PKI. Di daerah pedesan di Jawa
dan di tempat-tempat lain, para perwira Angkatan Angkatan Darat bekerja sam dengan anggota organisasi
sipil non-komunis dalam pembunuhan ratusan aktivis PKI, sehingga partai tersebut kehilangan dukungan
dasarnya yaitu massa yang terorganisir. PKI yang diorganisasikan lebih untuk beragitasi daripada
berperang, sama sekali tidak berada dalam posisi untuk membela diri terhadap serangan yang didukung
oleh Angkatan Darat. Para pemimpinnya bersikap ragu-ragu untuk mendorong mengadakan perlawanan,
sedangkan kawan-kawan mereka dalam Angkatan Bersenjata terlau kecil untuk mampu memberikan
perlindungan. Sementara Presiden Soekarno di Jakarta berkali-kali agar menyerukan pembunuhan massal
di Jawa itu tidak dapat dilanjutkan, pendukung-pendukung terdekatnya di dalam Angkatan Bersenjata dan
partai-partai politik tinggal diam.36

Penutup

Pemberontakan 1926/1927 sebenarnya lebih merupakan suatu tindakan putus asa daripada suatu
percobanan yang dapat dianggap untuk merebut kekuasaan: “Kami menganggap adalah lebih baik
berjuang daripada mati tanpa bejuang,” demikian dikatakan oleh salah seoarang pemimpin PKI kemudian
kepada komunis Internasional. Pemberontakan itu dengan mudah ditumpas oleh pemerintah, oleh karena
organisasi komunis pada waktu itu sudah begitu dilemahkan oleh tindakan polisi dan tekanan-tekanan
anarkis sehingga pemberontakan itu terkoordinasi dan hanya lokal sifatnya. Namun demikian, ia
merupakan bukti betapa meluas dan mendalamnya rasa tidak puas orang Indonesia. Akan tetapi,
pemerintah tidak menanggapi peringatan itu dengan perubahan. Malahan, sebagai pencerminan dari
suasana reaksioner waktu itu, dilakukannya penindasan secara besar-besaran. PKI hancur dalam proses
tersebut; sebuah kamp konsentrasi diadakan di sebuah daerah terpencil di Irian barat, Boven Digul, dan
banyak kaum pemberontakan dan kader-kader komunis pemberontak dan kader-kader komunis
mengakhiri hidup mereka di sana.37

Pemberontakan-pemberontakan yang gagal tersebut telah menimbulkan sejumlah akibat bagi gerakan
nasional. Pertama, kelihatan bahwa pemberontakan dengan kekerasan semacam itu ada gunanya, karena
dengan mudah dapat ditekan oleh kekuatan Belanda yang lebih unggul. Kedua, menyingkirkan kaum
komunis dari arena politik sampai berakhirnya masa penjajahan Belanda. Ketiga, kaum nasionalis
menjadi sadar akan kelemahan-kelemahan organisatoris tidak hanya dari PKI, tetapi juga dari semua
organisasi nasionalis dan juga akan perluanya menciptakan suatu organisasi yang rapi dan berdisiplin.
Dan yang terakhir, dan yang paling penting, dengan disingkirkan PKI timbul suatu kekorsaongan dalam
gerakan nasionalis; gerakan ini memerlukan pengarahan dan pimpinan baik dari sisa-sisa organisasi yang
ada maupun dari pembentukan partai-partai yang baru. 38

36
Harlord Crouch, Op. Cit., hlm. 151—152.
37
Ruth Mc Vey. “Permulaan Komunisme di Indonesia”, dalam Colid Wilid dan Peter Carey Cedl. Gelora Revolusi.
Sebuah Antologi Sejarah. Jakarta: BBC Seksi Indonesia dan Gramedia, 1986, hlm. 25—31.
36
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

Tetapi peristiwa ini menjadi titik tolak yang paling penting dalam riwayat hidup Soekarno. Merosotnya
Sarekat Islam dan ditumpasnya PKI oleh Belanda, telah meratakan jalan bagi suatu gerakaan tipe baru
yang didasarkan pada suatu bentuk nasionalisme yang telah padat, dalam pengertian bahwa gerakan
nasionalisme itu menyampingkan masalah-masalah sosial dan memusatkan seluruh upaya dan gerakannya
pada tujuan tunggal: kemerdekaan nasional.39

Peristiwa Madiun yang terjadi pada tanggal 18 September 1948, paling tepat bila dipahami sebagai suatu
krisis internal politik militer, dan suatu kegagalan upaya kaum kiri dalam menguasai jalannya revolusi di
Indonesia secara keseluruhan, sesuatu yang sering kali digambarkan dari sudut pandang nasional dan
internasional. Pertikaian antara kesatuan-kesatuan yang terdiri dari orang-orang Jawa di daerah
pedalaman, yang menuntut tetap dipertahankannya ketentaraan rakyat yang populis, dan komando yang
tertinggi, yang senantiasa berusaha menempatkan kesatuan-kesatuan yang ada di lapangan di bawah
kontrol pusat secara lebih efektif, adalah permasalahan-permasalahan utama yang terjadi di masa
revolusi, yang terjadi sebelum meletusnya peristiwa Madiun kemudian berlanjut pada masa-masa setelah
pengakuan kedaulatan.

Sementara itu partai-partai politik, apakah itu beraliran kiri maupun kanan, tetap saja menempati
posisi pinggiran dalam percaturan ini, kadang-kadang mereka membentuk aliansi taktis dengan
kelompok-kelompok militer, baik pada tingkat nasional maupun tingkat regional, namun tidak
pernah benar-benar berada pada posisi yang menentukan aturan main dalam petikaian intra-
militer.40

Tetapi peristiwa Madiun itu telah melenyapkan PKI untuk sementara. Fakta bahwa partai ini sedemikian
cepat dapat disapu bersih disebabkan sebagian besar kemamuan Soekarno menempatkan dirinya sebagai
simbol Persatuan Republik; semuanya adalah satu gambaran lagi tentang kesanggupannya untuk bangkit
melawan pemberontakan itu. Tetapi kemelut ini juga mempunyai arti lain bagi dirinya. Pertama,
Soekarno tetap menganggap PKI sebagai unsur asli dari revolusi Indonesia dan kutukannya atas
pemberontakan itu adalah kutukan terhadap penyimpangan PKI dari jalan yang benar, seperti juga pada
tahun 1926 ia mengutuk kaum marxis yang mengkhianati kepentingan persatuan bangsa sebagai ‘racun
masyarakat’; kedua, ialah telah belajar—atau mengira telah belajar—bahwa kepemimpinannya sudah
cukup untuk memungkinkan ia mengedalikan unsur-unsur penting yang membahayakan negara. Pada
tahun-tahun kemudian, kepercayaan Soekarno bahwa ia dapat mengatasi setiap tantangan telah
membawanya dekat dengan PKI yang sudah diregenerasi dan menuntutnya kembali ke pinggir kekuasaan
dengan keyakinan apabila mereka kembali mengancam persatuan nasioanal Indonesia, ia dapat
menghantarkannya dengan hanya satu kali perintah. 41
38
John Ingelson. Jalan ke Pengasingan; Pergerakan Nasionalis Indonesia Tahun 1927—1934. Jakarta: LP3ES,
1983, hlm. 31
39
John D. Legge. Soekarno Sebuah Biografi Politik. Jakarta: LP3ES, 1985, hlm. 105—106.
40
David Charles Anderson, Op. Cit, hlm. 127—128.
41
Jhon D. Legge, Op. Cit, hlm. 267—269.
37
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

Peristiwa G 30 S telah menyebabkan para pemimpin Angkatan Darat mendorong terjadinya pembunuhan
massal terhadap para pendukung PKI dan melenyapkan PKI sebagai suatu kekuatan politik. Para
pemimpin Angkatan Darat memandang operasi terhadap PKI sebagai suatu taktik untuk mencapai tujuan
strategis. Lagi pula perwira lapangan di Jawa terutama datang dari kalangan priyayi, yang cenderung
memandang aktivitas PKI memobilisasi kelas-kelas yang lebih rendah sebagai sikap ‘yang tidak men-
Jawa’ serta merupakan ancaman terhadap hirarki yang sudah ada yang menempatkan mereka di atas,
dekat ke puncak.

Ketika pembunuhan-pembunuhan tetap berjalan, Presiden Soekarno di Jakarta berbicara menentang


kejadian-kejadian yamg merupakan ‘epilog’ dari Gerakan 30 September 1965. Epilog ini telah
mengganggu sukmaku, telah membuatku sedih, membuatku khawatir. Dengan terus terang aku meratap
kepada Allah Robbi, bagaimana semua ini dapat terjadi? Alam kesempatan lain, Soekarno berkata,
“Kalau kita melanjutkan keadaan seperti ini, saudara-saudara kita akan masuk ke dalam neraka, benar-
benar kita akan masuk.”

Walapun tak perlu diragukan bahwa Soekarno benar-benar ngeri melihat bayangan bangsa yang bersatu
diremukkan olah pemandangan di mana orang Indonesia membunuh secara kejam orang-orang Indonesia
lainnya, namun ia sadar sepenuhnya akan implikasi politik dari semangat anti PKI itu. Nasakom
mempunyai arti yang lebih daripada konsep nasional dengan mengakui peranan integral dari PKI, ini
merupakan syarat utama dari sistem politik yang menjadi dasar pemerintahan Soekarno. Dengan bergerak
melenyapkan PKI sebagai suatu kekuatan politik, Angkatan Darat juga menumbangkan sistem yang
memberikan kekuasaan kepada sistem yang memberikan kekuatan kepada Soekarno. Tanpa adanya PKI
untuk mengimbangi kekuasaan Angkatan Darat, maka peran Presiden Soekarno sendiri akan menjadi
terbatas.42

Massa demonstran menuntut Presiden Soekarno agar PKI yang dianggap sebagai dalang dari
Peristiwa G 30 S dibubarkan. Tetapi dalam pertemuannya dengan delegasi KAMI di Istana
Bogor pada tanggal 15 Januari 1966, Soekarno tidak memperdulikan tuntutan mahasiswa untuk
melarang PKI.43 Suatu keputusan yang berada di luar prkiraan Soekarno, yang tetap berpendirian
PKI sebagai bagian integral dari gagasan Nasakom. Disingkirkan aliran komunis merupakan
bukti yang paling meyakinkan bahwa Nasakom tak berjalan dan tidak dapat dilaksanakan.

Ketika MPRS bersidang pada tanggal 20 Juni, sidang memutuskan untuk meningkatkan Surat Perintah 11
Maret menjadi ketetapan MPRS, yang tidak dapat dicabut kembali oleh Presiden Soekarno dan berlaku
sampai terbentuknya Majelis yang baru melalui Pemilu. Sidang juga menyetujui pembubaran PKI,
42
Harlod Crouch, Op. Cit., hlm. 169—174.
43
John Maxwell. Soe Hok Gie; Pergulatan Intelektual Muda Melawan Tirani. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 2001,
hlm. 177.
38
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

melarang marxisme “dalam segala bentuk dan manifestasinya”, dan membentuk sebuah panitia untuk
meninjau kembali ajaran Soekarno. 44 Kendati demikan, dalam pidato 19 Agustus 1966, Presiden
Soekarno berpendapat bahwa “Nasakom atau NASASOS atau Nasa apapun adalah unsur mutlak daripada
pembangunan bangsa Indonesia.45

Mengenai peristiwa G 30 S, dalam keterangan tertulis (yang dikenal sebagai pelengkap pidato
Nawaksara) pada tanggal 19 Januari 1967, sebagai jawaban atas nota pimpinan MPRS, Soekarno
menyatakan bahwa:

1. G 30 S adalah satu ‘complete over rompeling’ bagi dirinya.


2. Dalam Pidato 17 Agustus 1966, Presiden Soekarno telah mengutuk Gestok.
3. Kata Gestok digunakan oleh Soekarno karena pembunuhan kepada jenderal-jenderal dan ajudan
dan pengawal terjadi pada 1 Oktober pagi-pagi sekali.
4. Peristiwa G 30 S itu ditimbulkan oleh pertemuannya tiga sebab yaitu kebelinger pemimpin PKI,
kelihaian subversi dan adanya oknum-oknum yang tidak benar. 46

Bersamaan dengan itu muncul aksi-aksi yang menuntut agar Soekarno ditangkap dan diadili di
hadapan Mahkamah Militer Luar Biasa (Mahmilub) karena telah mendalangi Gestapu. Selain itu
brisan anggota parlemen yang mengikat diri dengan Orde Baru menyatakan keresahan mengenai
peran Soekarno dalam peristiwa 30 September. Mereka menuntut agar Soekarno dipecat dari
jabatannya dan dituntut sesuai dengan hukum yang berlaku. Tetapi tuntutan mengadili Soekanro,
seandainya para penyelidik militer berhasil mengumpulkan bahan bukti yang cukup
menunjukkan keterlibatan Soekarno dalam kudeta Untung, Presiden Soekarno, atas
pertimbangan-pertimbangan politik dan pertimbangan negara tidak dapat diadili; penangkapan
atas diri Soekarno tidak saja menyebabkan para pendukunganya bersatu untuk membelanya,
tetapi tidakan itu juga akan menimbulkan kesan, benar atau salah, bahwa Orde Baru itu tidak sah,
tidak layak, dan merupakan perbuatan sewenang-wenang dari golongan militer, suatu resiko
politik yang Soeharto tidak berani memikulnya.

Laporan Soeharto di hadapan sidang MPRS mengenai keterlibatan Soekrno dalam kudeta Untung,
mencerminkan dengan jelas keinginan agar Presiden Soekarno diadili. Soeharto menyimpulkan bahwa
Presiden Soekarno “tidak tahu dengan pasti” kapan untung akan melancarkan aksinya dan bagaima
bentuk aksi tersebut. Oleh sebab itu Soekarno tidak boleh dianggap sebagai organisatoris, dalang atau
malahan partisipan dari Gerakan 30 September, sebagaimana diisyaratkan oleh Memorandum Parlemen
tanggal 9 Februari, dan terhadapnya tidak dapat dikenakan hukuman. Pada tanggal 12 Maret 1967, MPRS
mencabut kembali mandatnya sebagai Presiden RI dan melarangnya melakukan kegiatan politik sampai
dilangsungkannya Pemilu.47

44
Ulf Sundhaussen, Op. Cit, hlm 415.
45
Roso Daras. PidatoTterakhir Bung Karno; Jangan Sekali-kali Meninggalkan Sejarah. Jakarta: Grasindo, 2001.
46
Suwanto Mulyosudarmo. Peralihan Kekuasaan; Kajian Teoritis dan Yuridis terhadap Pidato Nawaksara. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 1997, hlm. 127—128.
47
Ulf Sundhaussen, Op. Cit, hlm. 426—439.
39
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com
Peter Kasenda

40
Web: www.peterkasenda.wordpress.com
Email: mr.kasenda@gmail.com

You might also like