You are on page 1of 6

BAGIAN 3

HUKUM TANAH PERDATA HINDIA BELANDA

2.2 Hukum Tanah yang dualistic

A. Politik Hukum Pemerintah Hindia Belanda

Dalam hukum perdata pada garis besarnya diadakan perbedaan antara hukum yang
belaku bagi golongan eropa dan timur asing pada satu pihak dan hukum yang berlaku
bagi golongan pribumi pada lain pihak. Bagi golongan Eropa dan Timur Asing Cina
berlaku hukum perdata barat , yang hamper semuanya merupakan hukum yang tertulis
dan berpokok pada KUUHPdt, KUUH Dagang serta faillissements verordening. Bagi
golongan timur asing bukan cina berlaku hukum perdata barat, yaitu kekayaan dan
hukum waris testamenter. Mengenai hukum pribadi, hukum keluarga dan hukum waris
abintestato (hukum waris tanpa wasiat ), bagi golongan ini masih berlaku hukum adatnya
masing-masing bagi golongan pribumi berlaku hukum perdata adat
Ini berarti, bahwa hubungan-hubungan hukum dan peristiwa-peristiwa hukum di
kalangan orang-orang dari golongan pribumi di selesaikan menurut ketentuan-ketentuan
hukum adatnya masing-masing. Demikian juga di kalangan orang-orang dari golongan
yang lain. Hukum yang diterapkan adalah hukum yang berlaku bagi golongan masing-
masing.
Adapun hubungan – hubungan hukum antara orang-orang pribumi dan orang-
orang non pribumi diselesaikan oleh apa yang disebut Hukum Antargolongan atau
Hukum Intergentiel. Misalnya seorang wanita pribumi menikah dengan seorang pria
Eropa, seorang cina membeli lima ekor ayam kampong dari seorang pedagang pribumi,
seorang pribumi meninggal dunia, sedang diantara para ahli warisnya ada yang berstatus
Eropa, petani pribumi menyewakan sawahnya kepada perusahaan pabrik gula. Dalam
peristiwa-peristiwa hukum antargolongan yang demikian itu timbul pertanyaan, hukum
yang mana atau hukum apa yang berlaku terhadapnya. Pertanyaan itu timbul karena
pemerintah hindia belanda meganut apa yang disebut asas persamaan drajat atau
persamaan penghargaan bagi stelsel – stelsel hukum yang berlaku, baik hukum barat,
hukum adat golongan pribumi maupun hukum adat golongan timur asing bukan cina.
Politik hukum tersebut berbeda dengan yang dianut pemerintah Perancis bagi
daerah-daerah tanah jajahannya. Di Aljazair misalnya, dalam hubungan-hubungan hukum
antargolongan antara orang pribumi Aljazair dan orang perancis, selalu hukum Perancis
yang diberlakukan. Politik hukum “assimilate” tersebur diberlakukan atas dasar
keyakinan bahwa hukum Perancis mempunyai bobot peradaban yang lebih tinggi.
Hukum antargolongan di Indonesia, terdiri atas berbagai peraturan hukum dan
asas-asas hukum yang di dasarkan pada politik persamaan derajat di antara stelsel-stelsel
hukum yang ada itu. Adakalanya hukum antargolongan memberikan ketentuan-ketentuan
khusus, memberikan ketentuan-ketentuan sendiri. Tetapi biasanya hanya menunjuk
kepada berlakunya atau peristiwa hukum yang di hadapi, berdasarkan asas atau factor-
faktor tertentu yang ditemukan dan dikembangkan oleh ilmu pengetahuan serta
yurisprudensi.

B. Tanah – Tanah Hak Barat dan Tanah – Tanah Hak Indonesia

Dualismen dalam hukum tanah bukan karena pada pemegang hak atas tanah
berbeda hukum perdatanya, melainkan karene perbedaan hukum yang berlaku terhadap
tanahnya. Tanah dalam hukum Indonesia mempunya status atau kedudukan hukum
sendiri, terlepas dari status hukum subjek yang mempunyainya.
Ada tanah-tanah dengan hak-hak barat, seperti hak eigendom, hak erfpacht, hak
opstal, yang disebut tanah-tanah dengan hak-hak Indonesia, seperti tanah-tanah eropa.
Ada tanah-tanah dengan hak-hak Indonesia, seperti tanah-tanah dengan hak adat, yang
disebut tanah-tanah hak adapt. Ada tanah-tanah dengan hak-hak ciptaan pemerintah
hindia belanda.
Tanah – tanah hak barat jumlahnya tidak sebanyak tanah-tanah hak Indonesia
( lebih kurang 200.000 bidang ), tersebar di daerah-daerah perkotaan, daerah-daerah
peristirahatan pegunungan dan sebagai tanah-tanah usaha perkebunan besar, ditengah-
tengah tanah-tanah hak Indonesia.
Tanah – tanah hak adat hamper semuanya belum di daftar, sebagaimana
dikemukakan diatas, tanah-tanah tersebur tunduk pada hukum tanah adapt, yang tidak
tertulis. Tanah-tanah hak adapt yang terdiri atas apa yang disebut tanah ulayat
masyarakat-masyarakat hukum adapt dan tanah atas perorangan, seperti hak milik adapt,
merupakan sebagian besar tanah di hindia belanda.
Tanah – tanah di Indonesia yang bukan tanah-tanah hak adapt, juga tunduk pada
ketentuan hukum tanah adat, sepanjang tidak ada ketentuan yang khusus diadakan untuk
hak yang bersangkutan.
Yang dimaksudkan dengan di daftar adalah dihimpun dan di sediakan data fisik
dan data yuridis tanah dan hak yang bersangkutan. Kegiatan tersebut diadakan dalam
rangka menjamin apa yang disebut “kepastian hukum dan kepastian hak” di bidang
pertanahan.

C. Hak – Hak Jaminan Atas Tanah yang juga Dualistik

• Selain hak – hak atas tanah yang beraneka perangkat, hukum tanah perdata yang
dualistic mengenal perangkat hak jaminan atas tanah yang dualistic juga. Yang
dimaksudkan dengan hak jaminan atas tanah adalah hak penguasaan yang secara
khusus dapat diberikan kepada kreditor, yang memberi wewenang kepadanya
untuk, jika debitor cidera janji, menjual lelang tanah yang secara khusus pula
ditunjuk sebagai agunan piutangnya dan mengambil seluruh atau sebagian
hasilnya untuk pelunasan piutangnya tersebut, dengan hak mendahulu daripada
kreditor-kreditor yang lain. Selain berkedudukan mendahulukan kreditor
pemegang hak jaminan atas tanah tetap berhak menjual lelang tanag yang
dijadikan jaminan dan mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan
tersebut, sungguhpun tanah yang bersangkutan sudah dipindahkan haknya kepada
pihak lain.
• Bagi hypotheek, pembebanannya dilakukan di hadapan overcshrijivings
ambtenaar yang membuat aktanya, sedang bagi credietverband penajabt yang
membuat aktanya adalah wedana. Oleh pejabat-pejabat tersebut diterbitkan surat
tanda bukti adanya hypotheek dan credietverband yang bersangkutan, berupa
salinan akta yang dibubuhi irah-irah dengan kata-kata seperti putusan pengadilan
yang telah mempunyai kekuataan hukum tetap.
• Di hindia belanda ada tanah-tanah yang dipunyai dengan hak-hak yang memnuhi
syarat untuk dijadikan jaminan kredit, tetapi tidak dapat digunakan hypotheek,
karena oleh undang-undang tidak ditunjuk sebagai objek hypotheek. Dalam hal
terjadi cidera janji pada pihak debitur, tanah yang bersangkutan bukan terus
dimilikinya melainkan harus dijualnya lelang untuk pelunasan piutangnya.
Jika debitor memenuhi kewajibannya, hak atas tanah yang bersangkutan dengan
sendirinya kembali kepada debitor. Tetapi dalam hubungannya dengan kreditor
lain, ia adalah pemegang hak atas tanah yang bersangkutan, karena hak tersebut
sudah dipindahkan kepadanya.
• Dalam hukum adat tidak dikenal lembaga hak jaminan atas tanah dalam
pengertian sebagai yang diuraikan diatas, yaitu bahwa jika debitor tidak
memenuhi kewajibannya tanah yang ditunjuk sebagai agunan, akan dijual lelang
oleh kreditor untuk pelunasan piutangnya. Dalam hubungan utang piutang
dikalangan para warga masyarakat hukum adat, digunakan lembaga jonggolan.
Diperjanjikan bahwa selama utangnya belum bayar lunas, debitor tidak akan
melakukan perbuatan hukum apapun dengan pihak lain mengenai tanah yang
dijadikan jonggolan. Selama itu tanah yang bersangkutan tetap dikuasai debitor.
Jika debitor tidak dapat lagi memenuhi kewajibannya, maka utangnya
diselesaikan dengan cara melakukan perbuatan hukum mengenai tanah yang
bersangkutan dengan kreditor. Bisa jual tahunan, gadai atau jual beli. Uang yang
diterima debitor dalam perbuatan hukum tersebut, digunakan untuk memenuhi
kewajibannya.

D. Hukum Tanah Barat yang Individualistik

Konsep individualistic tersebut berpangkal dan berpusat pada hak individu


atas tanah yang bersifat pribadi semata-mata. Hal itu jelas tercermin pada
rumusan hak individu yang tertinggi, yang dalam KUHPdt disebut hak eigendom.
E. Hukum Tanah Adat yang Tidak Murni lagi

Hukum tanah adat yang murni berkonsepsi komunalistik, yang


mewujudkan semangat gotong royong dan kekeluargaan, yang diliputi suasana
religius. Tanah merupakan tanah bersama kelompok territorial atau genealogic.
Hak-hak perorangan atas tanah secara langsung ataupun tidak langsung
bersumber pada hak bersama tersebut. Oleh karena itu, biarpun sifatnya pribadi,
dalam arti penggunaannya untuk kepentingan pribadi dan keluarganya, berbeda
dengan hak-hak dalam hukum tanah barat, sejak kelahirannya sekaligus dalam
dirinya sudah terkandung unsure kebersamaan.

F. Dualisme Menimbulkan Pelbagai Masalah Hukum Antar Golongan

Selain bertentangan dengan cita-cita persatuan bangsa, dualisme hukum


tanah menimbulkan pelbagai masalah hukum antargolongan yang serta sulit,
sehubungan dengan adanya juga dualisme dalam hukum perdata.
Persoalan hubungan antargolongan selain timbul karena adanya dualisme
dalam hukum tanah, juha karena menurut hukum dan kenyataannya, tanah-tanah
hak barat tidak hanya dipunyai dan dapat dipunyai oleh orang-orang dan badan-
badan hukum yang tunduk pada hukum perdata barat.
Menurut rumusannya, yang dilarang atau menurut hukum tidak
dimungkinkan adalah eprbuatan hukum pemindahan hak milik adat oleh orang
pribumi kepada non pribumi. Maka, perlihan hak milik adat yang bukan
perbuatan hukum pemindahan hak tidak dilarang. Misalnya perolehan sebagai
warisan tanpa wasiat, karena percampuran harta dalam perkawinan campuran
tidak terkena larangan tersebut. Demikian juga jika sudah berada pada seorang
nonpribumi melalui peralihan tersebut, hak milik adat bebas dialihkan kepada non
pribumi lainnya.
Sehubungan dengan kemungkinan diperoleh atau dipunyainya tanah oleh
orang-orang yang tunduk pada hukum perdata yang berbeda dengan hukum yang
berlaku terhadap tanahnya, timbullah persoalan hukum, hukum apakah atau
hukum yang manakah yang berlaku, jika tanah hak adapt dipunyai oleh orang
pribumi . hukum apa atau hukum mana yang berlaku, jika dalam perbuatan-
perbuatan hukum mengenai tanah tersangkut pihak atau pihak-pihak yang hukum
perdatanya berbeda dengan hukum yang berlaku terhadap tanahnya

G. Dualisme Bertentangan dengan Cita – Cita Kesatuan dan Persatuan Bangsa

Dualisme dalam hukum agrarian yakni dengan adanya hak-hak barat


disamping hak-hak adapt, harus pula ditiadakan.
Cita-cita unufikasi yaitu cita-cita tentang berlakunya satu perangkat saja di
Hindia Belanda, sudah ada pada abad ke 19. Selama pemerintahan colonial telah
beberapa kali diusahakan terselanggaranya unifikasi hukum di bidang hukum
perdata. Unifikasi direncanakan dengan memperluas berlakunya hukum barat
kepada golongan pribumi. Adapun pertimbangannya adalah bahwa hukum barat
telah mengalami pertumbuhan dan perkembangan selama sekian abad dan
peraturan-peraturannya pun tertulis, hingga mempermudah mereka yang perlu
mengetahuinya. Sifat-sifat tersebut tidak ada pada hukum yang lain.

You might also like