Professional Documents
Culture Documents
MUHAMMAD IQBAL
Written by Admin
Tuesday, 08 June 2010 09:24
I. Pendahuluan
Dalam kajian ini penulis akan membahas tentang tokoh yang monumental diabad
kedua puluh, yaitu Muhammad Iqbal (selanjutnya ditulis; Iqbal). Semoga tulisan
ini dapat menjadi bahan diskusi dan dapat diambil ibrah bagi kalangan intelektual
dan cendikiawan muda yang haus akan ilmu pengetahuan.
Dia sendiri akan mengarahkan Tanya padamu: Apakah yang kau kehendaki yang
sebenarnay".
Ia lahir dari kalangan keluarga yang taat beribadah sehingga sejak masa kecilnya
telah mendapatkan bimbingan langsung dari sang ayah Syekh Mohammad Noor
dan Muhammad Rafiq kakeknya[4]. Pendidikan dasar sampai tingkat menengah ia
selesaikan di Sialkot untuk kemudian melanjutkan ke Perguruan Tinggi di Lahore,
di Cambridge-Inggris dan terakhir di Munich-Jerman dengan mengajukan tesis
dengan judul The Development Of Metaphysics in Persia. Sekembalinya dari
Eropa tahun 1909 ia diangkat menjadi Guru Besar di Lahore dan sempat menjadi
pengacara.[5]
Sebagai seorang pemikir, tentu tidak dapat sepenuhnya dikatakan bahwa gagasan-
gagasannya tersebut tanpa dipengaruhi oleh pemikir-pemikir sebelumnya. Iqbal
hidup pada masa kekuasaan kolonial Inggris. Pada masa ini pemikiran kaum
muslimin di anak benua India sangat dipengaruhi oleh seorang tokoh religius yaitu
Syah Waliyullah Ad-Dahlawi[7] dan Sayyid Ahmad Khan[8]. Keduanya adalah
sebagai para pemikir muslim pertama yang menyadari bahwa kaum muslimin
tengah menghadapi zaman modern yang didalamnya pemahaman Islam mendapat
tantangan serius dari Inggris. Terlebih ketika Dinasti Mughal terakhir di India ini
mengalami kekalahan saat melawan Inggris pada tahun 1857, juga sangat
mempengaruhi 41 tahun kekuasaan Imperium Inggris[9] dan bahkan pada tahun
1858 British East India Company dihapus dan Raja Inggris bertanggungjawab atas
pemerintah imperium India[10].
Menurut Dr. Syed Zafrullah Hasan dalam pengantar buku Metafisika Iqbal yang
ditulis oleh Dr. Ishrat Hasan Enver, Iqbal memiliki beberapa pemikiran yang
fundamental yaitu intuisi, diri, dunia dan Tuhan. Baginya Iqbal sangat berpengaruh
di India bahkan pemikiran Muslim India dewasa ini tidak akan dapat dicapai tanpa
mengkaji ide-idenya secara mendalam.[11]
Namun dalam tataran praktek, Iqbal secara konkrit, yang diketahui dan difahami
oleh masyarakat dunia dengan bukti berupa literature-literatur yang beredar luas,
justru dia adalah sebagai negarawan, filosof dan sastrawan. Hal ini tidak
sepenuhnya keliru karena memang gerakan-gerakan dan karya-karyanya
mencerminkan hal itu. Dan jika dikaji, pemikiran-pemikirannya yang fundamental
(intuisi, diri, dunia dan Tuhan) itulah yang menggerakkan dirinya untuk berperan
di India pada khususnya dan dibelahan dunia timur ataupun barat pada umumnya
baik sebagai negarawan maupun sebagai agamawan. Karena itulah ia disebut
sebagai Tokoh Multidimensional.[12]
Dengan latar belakang itu pula maka dalam makalah ini penulis akan memaparkan
gagasan-gagasan Iqbal dalam dua hal yaitu: pemikirannya tentang politik dan
tentang Islam.
Sepulangnya dari Eropa, Iqbal kemudian terjun kedunia politik dan bahkan
menjadi tulang punggung Partai Liga Muslim India. Ia terpilih menjadi anggota
legistalif Punjab dan pada tahun 1930 terpilih sebagai Presiden Liga Muslim. Karir
Iqbal semakin bersinar dan namanya pun semakin harum ketika dirinya diberi
gelar ‘Sir’ oleh pemerintah kerajaan Inggris di London atas usulan seorang
wartawan Inggris yang aktif mengamati sepak terjang Iqbal[13] di bidang
intelektual dan politiknya. Gelar ini menunjukan pengakuan dari kerajaan inggris
atas kemampuan intelektualitas dan memperkuat bargening position politik
perjuangan umat Islam India pada saat itu. Ia juga dinobatkan sebagai Bapak
Pakistan yang pada setiap tahunnya dirayakan oleh rakyat Pakistan dengan sebutan
Iqbal Day.[14]
Pemikiran dan aktivitas Iqbal untuk mewujudkan Negara Islam ia tunjukkan sejak
terpilih menjadi Presidaen Liga Muslimin tahun 1930. Ia memandang bahwa
tidaklah mungkin umat Islam dapat bersatu dengan penuh persaudaraan dengan
warga India yang memiliki keyakinan berbeda. Oleh karenanya ia berfikir bahwa
kaum muslimin harus membentuk Negara sendiri. Ide ini ia lontarkan keberbagai
pihak melalui Liga Muslim dan mendapatkan dukungan kuat dari seorang politikus
muslim yang sangat berpengaruh yaitu Muhammad Ali Jinnah[15] (yang
mengakui bahwa gagasan Negara Pakistan adalah dari Iqbal), bahkan didukung
pula oleh mayoritas Hindu yang saat itu sedang dalam posisi terdesak saat
menghadapi front melawan Inggris.[16] Bagi Iqbal dunia Islam seluruhnya
merupakan satu keluarga yang terdiri atas republik-republik, dan Pakistan yang
akan dibentuk menurutnya adalah salat satu republik itu.[17]
Diantaran paham Iqbal yang mampu mambangunkan kaum muslimin dari tidurnya
adalah “dinamisme Islam” yaitu dorongannya terhadap umat Islam supaya
bergerak dan jangan tinggal diam. Intisari hidup adalah gerak, sedang hukum
hidup adalah menciptakan, maka Iqbal menyeeru kepada umat Islam agar bangun
dan menciptakan dunia baru. Begitu tinggi ia menghargai gerak, sehingga ia
menyebut bahwa seolah-lah orang kafir yang aktif kreatif "lebih baik" dari pada
muslim yang "suka tidur".[20]
Iqbal juga memiliki pandangan politik yang khas yaitu; gigih menentang
nasionalisme yang mengedepankan sentiment etnis dan kesukuan (ras). Bagi dia,
kepribadian manusia akan tumbuh dewasa dan matang di lingkungan yang bebas
dan jauh dari sentiment nasionalisme.[21]
Didalam agama Islam spiritual dan temporal, baka dan fana, bukanlah dua daerah
yang terpisah, dan fitrat suatu perbuatan betapapun bersifat duniawi dalam
kesannya ditentukan oleh sikap jiwa dari pelakunya. Akhir-akhirnya latar belakang
ruhani yang tak kentara dari sesuatu perbuatan itulah yang menentukan watak dan
sifat amal perbuatan itu. Suatu amal perbuatan ialah temporal (fana), atau duniawi,
jika amal itu dilakukan dengan sikap yang terlepas dari kompleks kehidupan yang
tak terbatas. Dalam agama islam yang demikian itu adalah adalah seperti yang
disebut orang "gereja" kalau dilihat dari satu sisi dan sebagai "negara" kalau dilihat
dari sisi yang lain. Itulah maka tidak benar kalau gereja dan negara disebut sebagai
dua faset atau dua belahan dari barang yang satu. Agama Islam adalah suatu
realitet yang tak dapat dipecah-pecahkan seperti itu.[22]
Demikian tegas Iqbal berpandangan bahwa dalam Islam; politik dan agama
tidaklah dapat dipisahkan, bahwa negara dan agama adalah dua keseluruhan yang
tidak terpisah.
Sebagai seorang yang terdidik dalam keluarga yang kuat memegang prinsip Islam,
Iqbal meyakini bahwa Al-Qur’an adalah benar firman Allah yang diturunkan
kepada Nabi Muhammad SAW melalui perantara Malaikat Jibril. Al-Qur’an
adalah sumber hukum utama dengan pernyataannya “The Qur’an Is a book which
emphazhise deed rather than idea (Al-Qur’an adalah kitab yang lebih
mengutamakan amal daripada cita-cita). Namun dia berpendapat bahwa al-Qur’an
bukanlah undang-undang. Dia berpendapat bahwa penafsiran Al-Qur’an dapat
berkembang sesuai dengan perubahan zaman, pintu ijtihad tidak pernah tertutup.
Tujuan utama al-Qur’an adalah membangkitkan kesadaran manusia yang lebih
tinggi dalam hubungannya dengan Tuhan dan alam semesta, Al-Qur’an tidak
memuatnya secara detail maka manusialah yang ditutntut untuk
mengembangkannya. Dalam istilah fiqih hal ini disebut ijtihad. Ijtihad dalam
pandangan Iqbal sebagai prinsif gerak dalam struktur Islam. Disamping itu Al-
Qur’an memandang bahwa kehidupan adalah satu proses cipta yang kreatif dan
progresif. Oleh karenanya, walaupun Al-Qur’an tidak melarang untuk
memperimbangkan karya besar ulama terdahulu, namun masyarakat harus berani
mencari rumusan baru secara kreatif dan inovatif untuk menyelesaikan persoalan
yang mereka hadapi. Akibat pemahaman yang kaku terhadap ulama terdahulu,
maka ketika masyarakat bergerak maju, hukum tetap berjalan di tempatnya.[23]
Iqbal juga mengeluh tentang ketidak mampuan masyarakat India dalam memahami
Al-Qur’an disebabkan tidak memahami bahasa arab dan telah salah mengimpor
ide-ide India (hindu) dan Yunani ke dalam Islam dan Al-Qur’an. Iqbal begitu
terobsesi untuk menyadarkan umat Islam untuk lebih progresif dan dinamis dari
keadaaan statis dan stagnan dalam menjalani kehidupan duniawi. Karena
berdasarkan pengalaman, agama Yahudi dan Kristen telah gagal menuntun umat
manusia menjalani kehidupan. Kegagalan Yahudi disebabkan terlalu
mementingkan legalita kehidupan duniawi. Sedangkan kegagalan Kristen adalah
dalam memberikan nilai-nilai kepada pemeliharaan Negara, undang-undang dan
organisasi disebabkan terlalu mementingkan segi ibadah ritual. Dalam kegagalan
kedua agama tersebut menurut Iqbal Al-Qur’an berada ditengah-tengah dan sama-
sama mengajarkan keseimbangan kedua kehidupan tersebut, tanpa mebeda-
bedakannya. Baginya antara politik pemerintahan dan agama tidak ada pemisahan
sama sekali. Inilah yang dikembangkannya dalam merumuskan ide berdirinya
Negara Pakistan yang memisahkan diri dari India yang mayoritas Hindu.[24]
Satu segi mengenai al-Qur'an yang patut dicatat adalah bahwa ia sangat
menekankan pada aspek Hakikat yang bisa diamati. Tujuan al-Qur'an dalam
pengamatan reflektif atas alam ini adalah untuk membangkitkan kesadaran pada
manusia tentang alam yang dipandang sebagai sebuah symbol.[25] Iqbal
menyatakan hal ini seraya menyitir beberapa ayat, diantaranya: "Dan diantara
tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah menciptakan langit dan bumi dan berlain-
lainan bahasamu dan warna kulitmu. Sesungguhnya pada yang demikian itu
benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang mengetahui". (Qs.
30:22)
Iqbal memandang bahwa umat Islam perlu melakukan studi mendalam terhadap
literatur hadist dengan berpedoman langsung kepada Nabi sendiri selaku orang
yang mempunyai otoritas untuk menafsirkan wahyunya. Hal ini sangat besar
faedahnya dalam memahami nilai-nilai hidup dari prinsip-prinsip hukum Islam
sebagaimana yang dikemukakan al-Qur’an.
Iqbal sepakat dengan pendapat Syah Waliyullah tentang hadits, yaitu cara Nabi
dalam menyampaikan dakwah Islam dengan memperhatikan kebiasaan, cara-cara
dan keganjilan yang dihadapinya ketika itu. Selain itu juga Nabi sangat
memperhatikan sekali adat istiadat penduduk setempat. Dalam penyampaiannya
Nabi lebih menekankan pada prinsip-prinsip dasar kehidupan social bagi seluruh
umat manusia, tanpa terkait oleh ruang dan waktu. Jadi peraturan-peraturan
tersebut khusus untuk umat yang dihadapi Nabi. Untuk generasi selanjutnya,
pelaksanaannya mengacu pada prinsip kemaslahatan, dari pandangan ini Iqbal
menganggap wajar saja kalau Abu Hanifah lebih banyak mempergunakan konsep
istihsan dari pada hadits yang masih meragukan kualitasnya. Ini bukan berarti
hadits-hadits pada zamannya belum dikumpulkan, karena Abu Malik dan Az-Zuhri
telah membuat koleksi hadits tiga puluh tahun sebelum Abu Hanifah wafat. Sikap
ini diambil Abu Hanifah karena ia memandang tujuan-tujuan universal hadits
daripada koleksi belaka.[26]
Menurut Iqbal ijtihad adalah “Exert with view to form an independent judgment on
legal question” (bersungguh-sungguh dalam membentuk suatu keputusan yang
bebas untuk menjawab permasalahan hukum). Kalau dipandang baik hadits
maupun Al-Qur’an memang ada rekomendasi tentang ijtihad tersebut. Disamping
ijtihad pribadi hukum Islam juga memberi rekomendasi keberlakuan ijtihad
kolektif. Ijtihad inilah yang selama berabad-abad dikembangkan dan dimodifikasi
oleh ahli hukum Islam dalam mengantisipasi setiap permasalahan masyarakat yang
muncul. Sehingga melahirkan aneka ragam pendapat (mazhab). Sebagaimana
mayoritas ulama, Iqbal membagi ijtihad kedalam tiga tingkatan yaitu[27]:
Iqbal menggaris bawahi pada derajat yang pertama saja. Menurut Iqbal,
kemungkinan derajat ijtihad ini memang disepakati diterima oleh ulama ahl-al-
sunnah tetapi dalam kenyataannya dipungkiri sendiri sejak berdirinya mazhab-
mazhab. Ide ijtihad ini dipagar dengan persyaratan ketat yang hampir tidak
mungkun dipenuhi. Sikap ini, lanjut Iqbal, adalah sangat ganjil dalam suatu system
hukum Al-Qur’an yang sangat menghargai pandangan dinamis. Akibatnya
ketentuan ketatnya ijtihad ini, menjadikan hukum Islam selama lima ratus tahun
mengalami stagnasi dan tidak mampu berkembang[28]. Ijtihad yang menjadi
konsep dinamis hukum Islam hanya tinggal sebuah teori-teori mati yang tidak
berfungsi dan menjadi kajian-kajian masa lalu saja. Demikian juga ijma hanya
menjadi mimpi untuk mengumpulkan ulama, apalagi dalam konsepnya satu saja
ulama yang tidak setuju maka batallah keberlakuan ijma tersebut, hal ini
dikarenakan kondisi semakin meluasnya daerah Islam. Akhirnya kedua konsep ini
hanya tinggal teori saja, konsekwensinya, hukum Islam pun statis tidak
berkembang selama beberapa abad.
IV. Penutup
Iqbal adalah seorang intelektualis asal Pakistan telah melahirkan pemikiran dan
peradaban besar bagi generasi setelahnya . Iqbal merupakan sosok pemikir multi
disiplin. Ia adalah seorang sastrawan, negarawan, ahli hukum, filosof, pendidik
dan kritikus seni. Menilai kepiawaiannya yang multidisiplin itu, pak Natsir
mengatakan "tentulah sukar bagi kita untuk melukiskan tiap-tiap aspek kepribadian
Iqbal. Jiwanya yang piawai tidak saja menakjubkan tetapi juga jarang ditemui".
[29]
Islam sebagai way of life yang lengkap mengatur kehidupan manusia, ditantang
untuk bisa mengantisipasi dan mengarahkan gerak perubahan tersebut agar sesuai
dengan kehendak-Nya. Oleh sebab itu hukum Islam dihadapkan kepada masalah
signifikan, yaitu sanggupkah hukum islam memberi jawaban yang cermat dan
akurat dalam mengantisipasi gerak perubahan ini? Dengan tepat Iqbal menjawab
“bisa kalau umat Islam memahami hukum Islam seperti cara berfikir Umar bin
Khattab”.
Referensi
12. Iqbal, Muhammad. Tajdiid At-Tafkiir Ad-Diinii Fii al-Islam, Kairo, cet. 2, th.
1968
15. Nasution, Harun. Pembaharuan dalam Islam, Jakarta, Bulan Bintang, th.
2003, cet. XIV, hal 185
16. Natsir, Mohammad Kapita Selekta 2, Jakarta, PT Abadi dan Yayasan Kapita
Selekta, cet. 2 , th. 2008
[1] M. Natsir, Kapita Selekta 2, Jakarta, PT Abadi dan Yayasan Kapita Selekta,
cet. 2 , th. 2008, hal. 138-139
[3] H.A Mukti Ali, Alam Pikiran Islam Modern di India dan Pakistan, Bandung,
Mizan 1998, Cet. III hal.174. Lihat juga: Azzumardi Azra dan Syafi’i Ma’arif
dalam Ensiklopedi Tokoh Islam, hal 256. Lihat juga: Musthafa Muhammad Hilmi,
Manhaj 'Ulama' al-Hadits wa as-Sunnah Fii Ushuul ad-Diin, Kairo, Daar Ibn
Jauzi, Cet. 1, th. 2005 hal. 334. Lihat juga: Ensiklopedi Umum, Penerbit Yayasan
Kanisius, tahun 1977, hal. 473
[4] Herry Mohammad (dkk), Tokoh-Tokoh Islam Yang Berpengaruh Abad 20,
hal.237
[6] Ishrat Hasan Enver, Metafisika Iqbal, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, cet. 1, th.
2004, hal. 128, Lihat juga: RA. Gunadi, M. Shoelhi, Khazanah Orang Besar
Islam, Dari Penakluk Jerusalem Hingga Angkonol, hal. 162. Lihat juga: Robert
Gwinn (Et.al), The New Encyclopaedia Britannica, The Univercity Of Chicago,
Volume 6, Cet. 15, hal. 373. Lihat juga: Hawasi, Eksistensialisme Mohammad
Iqbal, Jakarta, Wedatama Widya Sastra, th. 2003, hal. 8-9
[7] Ia adalah Ahmad bin Abdurrahim bin Wajiduddin bin Mu'azzam bin Ahmad
bin Muhammad bin Qawanuddin al-Dahlan. Ia lahir di Kota dekat Delhi pada
tanggal 21 Pebruari 1703 M/ 4 Syawal 1114 H dan wafat pada tanggal 29
Muharram 1176 H/ 10 gustus 1762 dalam usia 61 tahun. Karya tulisnya yang
monumental adalah Hujjatullah al-Balighah. (Ensiklopedi Islam, hal. 185)
[8] Ia adalah seorang penulis, pemikir dan aktivis politik modernis Islam India.
Lahir di Delhi tahun 1817 M. Dimasa pemberontakan tahun 1857 ia berusaha
mencegah kekerasan yang karenanya banyak orang-orang Inggris tertolong dari
pembunuhan. Karena jasanya itu Inggris memberikan gelar kepadanya dengan
sebutan Sir. Selanjutnya ia menggunakan kesempatan itu untuk menjalin hubungan
baik dengan Inggris tapi semata-mata untuk kepentingan umat Islam India, karena
baginya dengan jalan itulah umat Islam dapat tertolong. Dan akhirnya setelah
kejadian tahun 1857 itu ia menjalankan tiga proyek besar yaitu: memprakarsai
dialog untuk menciptakan saling pegertian antara kaum muslim dan Kristen,
mendirikan organisasi ilmiah yang membantu kaum muslim untuk memahami
kunci keberhasilan Barat dan menganalisis secara objektif penyebab
pemberontakan 1857. (Didin Saefuddin, Pemikiran Modern Dan Postmodern
Islam, Jakarta, Grasindo, th. 2003, hal. 36-7). Ia mewujudkan cita-citanya
meninggikan kaum Muslimin India dengan mendirikan perguruan Islam dengan
nama Anglo Oriental College yang selanjutnya berkembang menjadi Universitas
Muslim Aligarh di Aligarh tempat kaum terpelajar Islam di India pada tahun 1920.
(Ensiklopedi Umum, hal. 25)
[9] Imperium Inggris (British Empire) pada puncak kejayaannya akhir abad ke-19
dan awal abad 20 merupakan kerajaan yang terbesar diseluruh dunia. Koloni yang
pertama adalah New-Foundland (1583). Dasar-dasar kerajaan diletakkan pada
permulaan abad ke-17 dengan mendirikan British East India Company.
(Ensiklopedi Umum, hal. 446)
[14] Robert Gwinn (Et.al), The New Encyclopaedia Britannica, hal. 373
[15] Mohammad Ali Jinnah (1876-1948), adalah pendiri Negara Pakistan. Lahir di
Pakistan tanggal 26 Desember 1876 dari seorang pedagang terkemuka. Pada usia
16 tahun ia ke Inggris mengikuti pelajaran di Lincoln's Institute di London. Duduk
dalam Dewan Legislatif Tertinggi di india (1909-1916). Ia mula-mula menyokong
Partai Kongres dan menganjurkan persatuan Hindu-Islam, tetapi sesudah 1934
(setelah menguasai Liga Muslim maka ia melancarkan ide Negara Pakistan
terpisah dari India yang akan terdiri dari daerah-daerah mayoritas muslimin di
Punjab, daerah perbatasan Baratdaya, Baluchistan, Sind sebelah barat dan
Benggala sebelah timur (Resolusi Liga Muslimin 1940). Membantu Inggris dalam
perang dunia kedua. Berhasil mendesak Congress untuk menerima pembagian
India (1947). Gubernur Jenderal Dominium Pakistan yang pertama. (Ensiklopedi
Umum, hal. 446/ Robert Gwinn, The New Encyclopaedia Britannica, hal. 555)
[17] Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam, Jakarta, Bulan Bintang, th.
2003, cet. XIV, hal 186
[19] Nama asalnya adalah Leopold Weiss, lahir di kota Livow (Austria) pada
tahun 1900 dan wafat tahun 1992. Pada umur 22 tahun ia mengunjungi Timur
Tengah dan selanjutnya menjadi wartawan luar negeri dari harian Frankfurter
Zeitung. Pada tahun 1926 ia memeluk Islam dan beberapa tahun mempelajari
Islam. Setelah itu ia bekerja di berbagai dunia Islam dari Afrika Utara sampai
Afghanistan di bagian Timur. Ia termasuk intelektual muslim terkemuka abad 20.
Karya-karyanya antara lain: Islam in the Cross Roads (Islam di Persimpangan
Jalan), Road to Mecca (Jalan ke Mekah) dan The Principles of States and
Government in Islam (Asas-asa Negara dan Pemerintahan dalam Islam, serta
sebuah kitab tafsir dengan nama The Message of the Qur'an. (Muhammad Asad,
Asas-asas Negara dan Pemerintahan dalam Islam (terj. Muhammad Radjab),
Jakarta, Granada, cet. 1, th. 1427 H, halaman sampul.
[20] Harun, Pembaharuan dalam Islam, hal 185 dan W.C. Smith, Modern Islam in
India (Lahore : Ashraf, 1963) hal. 111
[25] Muhammad Iqbal, Tajdiid At-Tafkiir Ad-Diinii Fii al-Islam, Kairo, cet. 2, th.
1968, hal. 20-21
[30] Syair ialah bentuk puisi lama Indonesia: satu bait biasanya terdiri atas empat
baris seperti pantun, tetapi keempat barisnya bersajak sama. Perbedaan lain
daripada pantun ialah: pantun terdiri atas empat baris dan sudah merupakan
kesatuan pikiran, sedangkan syair belum. Syair bias berisikan kisah, ceritera, soal
agama, sejarah atau ceritera suatu peristiwa. (Ensiklopedi Umum, hal. 1068)
I. Pendahuluan
Dalam kajian ini penulis akan membahas tentang tokoh yang monumental diabad
kedua puluh, yaitu Muhammad Iqbal (selanjutnya ditulis; Iqbal). Semoga tulisan
ini dapat menjadi bahan diskusi dan dapat diambil ibrah bagi kalangan intelektual
dan cendikiawan muda yang haus akan ilmu pengetahuan.
Dia sendiri akan mengarahkan Tanya padamu: Apakah yang kau kehendaki yang
sebenarnay".
Ia lahir dari kalangan keluarga yang taat beribadah sehingga sejak masa kecilnya
telah mendapatkan bimbingan langsung dari sang ayah Syekh Mohammad Noor
dan Muhammad Rafiq kakeknya[4]. Pendidikan dasar sampai tingkat menengah
ia selesaikan di Sialkot untuk kemudian melanjutkan ke Perguruan Tinggi di
Lahore, di Cambridge-Inggris dan terakhir di Munich-Jerman dengan mengajukan
tesis dengan judul The Development Of Metaphysics in Persia. Sekembalinya dari
Eropa tahun 1909 ia diangkat menjadi Guru Besar di Lahore dan sempat menjadi
pengacara.[5]
Sebagai seorang pemikir, tentu tidak dapat sepenuhnya dikatakan bahwa gagasan-
gagasannya tersebut tanpa dipengaruhi oleh pemikir-pemikir sebelumnya. Iqbal
hidup pada masa kekuasaan kolonial Inggris. Pada masa ini pemikiran kaum
muslimin di anak benua India sangat dipengaruhi oleh seorang tokoh religius
yaitu Syah Waliyullah Ad-Dahlawi[7] dan Sayyid Ahmad Khan[8]. Keduanya
adalah sebagai para pemikir muslim pertama yang menyadari bahwa kaum
muslimin tengah menghadapi zaman modern yang didalamnya pemahaman Islam
mendapat tantangan serius dari Inggris. Terlebih ketika Dinasti Mughal terakhir
di India ini mengalami kekalahan saat melawan Inggris pada tahun 1857, juga
sangat mempengaruhi 41 tahun kekuasaan Imperium Inggris[9] dan bahkan pada
tahun 1858 British East India Company dihapus dan Raja Inggris
bertanggungjawab atas pemerintah imperium India[10].
Menurut Dr. Syed Zafrullah Hasan dalam pengantar buku Metafisika Iqbal yang
ditulis oleh Dr. Ishrat Hasan Enver, Iqbal memiliki beberapa pemikiran yang
fundamental yaitu intuisi, diri, dunia dan Tuhan. Baginya Iqbal sangat
berpengaruh di India bahkan pemikiran Muslim India dewasa ini tidak akan dapat
dicapai tanpa mengkaji ide-idenya secara mendalam.[11]
Namun dalam tataran praktek, Iqbal secara konkrit, yang diketahui dan difahami
oleh masyarakat dunia dengan bukti berupa literature-literatur yang beredar luas,
justru dia adalah sebagai negarawan, filosof dan sastrawan. Hal ini tidak
sepenuhnya keliru karena memang gerakan-gerakan dan karya-karyanya
mencerminkan hal itu. Dan jika dikaji, pemikiran-pemikirannya yang
fundamental (intuisi, diri, dunia dan Tuhan) itulah yang menggerakkan dirinya
untuk berperan di India pada khususnya dan dibelahan dunia timur ataupun barat
pada umumnya baik sebagai negarawan maupun sebagai agamawan. Karena
itulah ia disebut sebagai Tokoh Multidimensional.[12]
Dengan latar belakang itu pula maka dalam makalah ini penulis akan
memaparkan gagasan-gagasan Iqbal dalam dua hal yaitu: pemikirannya tentang
politik dan tentang Islam.
Pemikiran dan aktivitas Iqbal untuk mewujudkan Negara Islam ia tunjukkan sejak
terpilih menjadi Presidaen Liga Muslimin tahun 1930. Ia memandang bahwa
tidaklah mungkin umat Islam dapat bersatu dengan penuh persaudaraan dengan
warga India yang memiliki keyakinan berbeda. Oleh karenanya ia berfikir bahwa
kaum muslimin harus membentuk Negara sendiri. Ide ini ia lontarkan keberbagai
pihak melalui Liga Muslim dan mendapatkan dukungan kuat dari seorang
politikus muslim yang sangat berpengaruh yaitu Muhammad Ali Jinnah[15] (yang
mengakui bahwa gagasan Negara Pakistan adalah dari Iqbal), bahkan didukung
pula oleh mayoritas Hindu yang saat itu sedang dalam posisi terdesak saat
menghadapi front melawan Inggris.[16] Bagi Iqbal dunia Islam seluruhnya
merupakan satu keluarga yang terdiri atas republik-republik, dan Pakistan yang
akan dibentuk menurutnya adalah salat satu republik itu.[17]
Iqbal juga memiliki pandangan politik yang khas yaitu; gigih menentang
nasionalisme yang mengedepankan sentiment etnis dan kesukuan (ras). Bagi dia,
kepribadian manusia akan tumbuh dewasa dan matang di lingkungan yang bebas
dan jauh dari sentiment nasionalisme.[21]
Didalam agama Islam spiritual dan temporal, baka dan fana, bukanlah dua daerah
yang terpisah, dan fitrat suatu perbuatan betapapun bersifat duniawi dalam
kesannya ditentukan oleh sikap jiwa dari pelakunya. Akhir-akhirnya latar
belakang ruhani yang tak kentara dari sesuatu perbuatan itulah yang menentukan
watak dan sifat amal perbuatan itu. Suatu amal perbuatan ialah temporal (fana),
atau duniawi, jika amal itu dilakukan dengan sikap yang terlepas dari kompleks
kehidupan yang tak terbatas. Dalam agama islam yang demikian itu adalah adalah
seperti yang disebut orang "gereja" kalau dilihat dari satu sisi dan sebagai
"negara" kalau dilihat dari sisi yang lain. Itulah maka tidak benar kalau gereja dan
negara disebut sebagai dua faset atau dua belahan dari barang yang satu. Agama
Islam adalah suatu realitet yang tak dapat dipecah-pecahkan seperti itu.[22]
Demikian tegas Iqbal berpandangan bahwa dalam Islam; politik dan agama
tidaklah dapat dipisahkan, bahwa negara dan agama adalah dua keseluruhan yang
tidak terpisah.
Sebagai seorang yang terdidik dalam keluarga yang kuat memegang prinsip
Islam, Iqbal meyakini bahwa Al-Qur’an adalah benar firman Allah yang
diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW melalui perantara Malaikat Jibril. Al-
Qur’an adalah sumber hukum utama dengan pernyataannya “The Qur’an Is a
book which emphazhise deed rather than idea (Al-Qur’an adalah kitab yang
lebih mengutamakan amal daripada cita-cita). Namun dia berpendapat bahwa al-
Qur’an bukanlah undang-undang. Dia berpendapat bahwa penafsiran Al-Qur’an
dapat berkembang sesuai dengan perubahan zaman, pintu ijtihad tidak pernah
tertutup. Tujuan utama al-Qur’an adalah membangkitkan kesadaran manusia yang
lebih tinggi dalam hubungannya dengan Tuhan dan alam semesta, Al-Qur’an
tidak memuatnya secara detail maka manusialah yang ditutntut untuk
mengembangkannya. Dalam istilah fiqih hal ini disebut ijtihad. Ijtihad dalam
pandangan Iqbal sebagai prinsif gerak dalam struktur Islam. Disamping itu Al-
Qur’an memandang bahwa kehidupan adalah satu proses cipta yang kreatif dan
progresif. Oleh karenanya, walaupun Al-Qur’an tidak melarang untuk
memperimbangkan karya besar ulama terdahulu, namun masyarakat harus berani
mencari rumusan baru secara kreatif dan inovatif untuk menyelesaikan persoalan
yang mereka hadapi. Akibat pemahaman yang kaku terhadap ulama terdahulu,
maka ketika masyarakat bergerak maju, hukum tetap berjalan di tempatnya.[23]
Satu segi mengenai al-Qur'an yang patut dicatat adalah bahwa ia sangat
menekankan pada aspek Hakikat yang bisa diamati. Tujuan al-Qur'an dalam
pengamatan reflektif atas alam ini adalah untuk membangkitkan kesadaran pada
manusia tentang alam yang dipandang sebagai sebuah symbol.[25] Iqbal
menyatakan hal ini seraya menyitir beberapa ayat, diantaranya: "Dan diantara
tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah menciptakan langit dan bumi dan berlain-
lainan bahasamu dan warna kulitmu. Sesungguhnya pada yang demikian itu
benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang mengetahui". (Qs.
30:22)
3.2.2. Pendapat tentang Al-Hadits
Iqbal memandang bahwa umat Islam perlu melakukan studi mendalam terhadap
literatur hadist dengan berpedoman langsung kepada Nabi sendiri selaku orang
yang mempunyai otoritas untuk menafsirkan wahyunya. Hal ini sangat besar
faedahnya dalam memahami nilai-nilai hidup dari prinsip-prinsip hukum Islam
sebagaimana yang dikemukakan al-Qur’an.
Iqbal sepakat dengan pendapat Syah Waliyullah tentang hadits, yaitu cara Nabi
dalam menyampaikan dakwah Islam dengan memperhatikan kebiasaan, cara-cara
dan keganjilan yang dihadapinya ketika itu. Selain itu juga Nabi sangat
memperhatikan sekali adat istiadat penduduk setempat. Dalam penyampaiannya
Nabi lebih menekankan pada prinsip-prinsip dasar kehidupan social bagi seluruh
umat manusia, tanpa terkait oleh ruang dan waktu. Jadi peraturan-peraturan
tersebut khusus untuk umat yang dihadapi Nabi. Untuk generasi selanjutnya,
pelaksanaannya mengacu pada prinsip kemaslahatan, dari pandangan ini Iqbal
menganggap wajar saja kalau Abu Hanifah lebih banyak mempergunakan konsep
istihsan dari pada hadits yang masih meragukan kualitasnya. Ini bukan berarti
hadits-hadits pada zamannya belum dikumpulkan, karena Abu Malik dan Az-
Zuhri telah membuat koleksi hadits tiga puluh tahun sebelum Abu Hanifah wafat.
Sikap ini diambil Abu Hanifah karena ia memandang tujuan-tujuan universal
hadits daripada koleksi belaka.[26]
Menurut Iqbal ijtihad adalah “Exert with view to form an independent judgment
on legal question” (bersungguh-sungguh dalam membentuk suatu keputusan yang
bebas untuk menjawab permasalahan hukum). Kalau dipandang baik hadits
maupun Al-Qur’an memang ada rekomendasi tentang ijtihad tersebut. Disamping
ijtihad pribadi hukum Islam juga memberi rekomendasi keberlakuan ijtihad
kolektif. Ijtihad inilah yang selama berabad-abad dikembangkan dan dimodifikasi
oleh ahli hukum Islam dalam mengantisipasi setiap permasalahan masyarakat
yang muncul. Sehingga melahirkan aneka ragam pendapat (mazhab).
Sebagaimana mayoritas ulama, Iqbal membagi ijtihad kedalam tiga tingkatan
yaitu[27]:
Iqbal menggaris bawahi pada derajat yang pertama saja. Menurut Iqbal,
kemungkinan derajat ijtihad ini memang disepakati diterima oleh ulama ahl-al-
sunnah tetapi dalam kenyataannya dipungkiri sendiri sejak berdirinya mazhab-
mazhab. Ide ijtihad ini dipagar dengan persyaratan ketat yang hampir tidak
mungkun dipenuhi. Sikap ini, lanjut Iqbal, adalah sangat ganjil dalam suatu
system hukum Al-Qur’an yang sangat menghargai pandangan dinamis. Akibatnya
ketentuan ketatnya ijtihad ini, menjadikan hukum Islam selama lima ratus tahun
mengalami stagnasi dan tidak mampu berkembang[28]. Ijtihad yang menjadi
konsep dinamis hukum Islam hanya tinggal sebuah teori-teori mati yang tidak
berfungsi dan menjadi kajian-kajian masa lalu saja. Demikian juga ijma hanya
menjadi mimpi untuk mengumpulkan ulama, apalagi dalam konsepnya satu saja
ulama yang tidak setuju maka batallah keberlakuan ijma tersebut, hal ini
dikarenakan kondisi semakin meluasnya daerah Islam. Akhirnya kedua konsep ini
hanya tinggal teori saja, konsekwensinya, hukum Islam pun statis tidak
berkembang selama beberapa abad.
IV. Penutup
Iqbal adalah seorang intelektualis asal Pakistan telah melahirkan pemikiran dan
peradaban besar bagi generasi setelahnya . Iqbal merupakan sosok pemikir multi
disiplin. Ia adalah seorang sastrawan, negarawan, ahli hukum, filosof, pendidik
dan kritikus seni. Menilai kepiawaiannya yang multidisiplin itu, pak Natsir
mengatakan "tentulah sukar bagi kita untuk melukiskan tiap-tiap aspek
kepribadian Iqbal. Jiwanya yang piawai tidak saja menakjubkan tetapi juga jarang
ditemui".[29]
Islam sebagai way of life yang lengkap mengatur kehidupan manusia, ditantang
untuk bisa mengantisipasi dan mengarahkan gerak perubahan tersebut agar sesuai
dengan kehendak-Nya. Oleh sebab itu hukum Islam dihadapkan kepada masalah
signifikan, yaitu sanggupkah hukum islam memberi jawaban yang cermat dan
akurat dalam mengantisipasi gerak perubahan ini? Dengan tepat Iqbal menjawab
“bisa kalau umat Islam memahami hukum Islam seperti cara berfikir Umar bin
Khattab”.
Referensi
12. Iqbal, Muhammad. Tajdiid At-Tafkiir Ad-Diinii Fii al-Islam, Kairo, cet. 2, th.
1968
15. Nasution, Harun. Pembaharuan dalam Islam, Jakarta, Bulan Bintang, th.
2003, cet. XIV, hal 185
16. Natsir, Mohammad Kapita Selekta 2, Jakarta, PT Abadi dan Yayasan Kapita
Selekta, cet. 2 , th. 2008
[1] M. Natsir, Kapita Selekta 2, Jakarta, PT Abadi dan Yayasan Kapita Selekta,
cet. 2 , th. 2008, hal. 138-139
[3] H.A Mukti Ali, Alam Pikiran Islam Modern di India dan Pakistan, Bandung,
Mizan 1998, Cet. III hal.174. Lihat juga: Azzumardi Azra dan Syafi’i Ma’arif
dalam Ensiklopedi Tokoh Islam, hal 256. Lihat juga: Musthafa Muhammad
Hilmi, Manhaj 'Ulama' al-Hadits wa as-Sunnah Fii Ushuul ad-Diin, Kairo, Daar
Ibn Jauzi, Cet. 1, th. 2005 hal. 334. Lihat juga: Ensiklopedi Umum, Penerbit
Yayasan Kanisius, tahun 1977, hal. 473
[4] Herry Mohammad (dkk), Tokoh-Tokoh Islam Yang Berpengaruh Abad 20,
hal.237
[5] Ensiklopedi Umum, hal. 473
[6] Ishrat Hasan Enver, Metafisika Iqbal, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, cet. 1, th.
2004, hal. 128, Lihat juga: RA. Gunadi, M. Shoelhi, Khazanah Orang Besar
Islam, Dari Penakluk Jerusalem Hingga Angkonol, hal. 162. Lihat juga: Robert
Gwinn (Et.al), The New Encyclopaedia Britannica, The Univercity Of Chicago,
Volume 6, Cet. 15, hal. 373. Lihat juga: Hawasi, Eksistensialisme Mohammad
Iqbal, Jakarta, Wedatama Widya Sastra, th. 2003, hal. 8-9
[7] Ia adalah Ahmad bin Abdurrahim bin Wajiduddin bin Mu'azzam bin Ahmad
bin Muhammad bin Qawanuddin al-Dahlan. Ia lahir di Kota dekat Delhi pada
tanggal 21 Pebruari 1703 M/ 4 Syawal 1114 H dan wafat pada tanggal 29
Muharram 1176 H/ 10 gustus 1762 dalam usia 61 tahun. Karya tulisnya yang
monumental adalah Hujjatullah al-Balighah. (Ensiklopedi Islam, hal. 185)
[8] Ia adalah seorang penulis, pemikir dan aktivis politik modernis Islam India.
Lahir di Delhi tahun 1817 M. Dimasa pemberontakan tahun 1857 ia berusaha
mencegah kekerasan yang karenanya banyak orang-orang Inggris tertolong dari
pembunuhan. Karena jasanya itu Inggris memberikan gelar kepadanya dengan
sebutan Sir. Selanjutnya ia menggunakan kesempatan itu untuk menjalin
hubungan baik dengan Inggris tapi semata-mata untuk kepentingan umat Islam
India, karena baginya dengan jalan itulah umat Islam dapat tertolong. Dan
akhirnya setelah kejadian tahun 1857 itu ia menjalankan tiga proyek besar yaitu:
memprakarsai dialog untuk menciptakan saling pegertian antara kaum muslim
dan Kristen, mendirikan organisasi ilmiah yang membantu kaum muslim untuk
memahami kunci keberhasilan Barat dan menganalisis secara objektif penyebab
pemberontakan 1857. (Didin Saefuddin, Pemikiran Modern Dan Postmodern
Islam, Jakarta, Grasindo, th. 2003, hal. 36-7). Ia mewujudkan cita-citanya
meninggikan kaum Muslimin India dengan mendirikan perguruan Islam dengan
nama Anglo Oriental College yang selanjutnya berkembang menjadi Universitas
Muslim Aligarh di Aligarh tempat kaum terpelajar Islam di India pada tahun
1920. (Ensiklopedi Umum, hal. 25)
[9] Imperium Inggris (British Empire) pada puncak kejayaannya akhir abad ke-19
dan awal abad 20 merupakan kerajaan yang terbesar diseluruh dunia. Koloni yang
pertama adalah New-Foundland (1583). Dasar-dasar kerajaan diletakkan pada
permulaan abad ke-17 dengan mendirikan British East India Company.
(Ensiklopedi Umum, hal. 446)
[14] Robert Gwinn (Et.al), The New Encyclopaedia Britannica, hal. 373
[15] Mohammad Ali Jinnah (1876-1948), adalah pendiri Negara Pakistan. Lahir
di Pakistan tanggal 26 Desember 1876 dari seorang pedagang terkemuka. Pada
usia 16 tahun ia ke Inggris mengikuti pelajaran di Lincoln's Institute di London.
Duduk dalam Dewan Legislatif Tertinggi di india (1909-1916). Ia mula-mula
menyokong Partai Kongres dan menganjurkan persatuan Hindu-Islam, tetapi
sesudah 1934 (setelah menguasai Liga Muslim maka ia melancarkan ide Negara
Pakistan terpisah dari India yang akan terdiri dari daerah-daerah mayoritas
muslimin di Punjab, daerah perbatasan Baratdaya, Baluchistan, Sind sebelah barat
dan Benggala sebelah timur (Resolusi Liga Muslimin 1940). Membantu Inggris
dalam perang dunia kedua. Berhasil mendesak Congress untuk menerima
pembagian India (1947). Gubernur Jenderal Dominium Pakistan yang pertama.
(Ensiklopedi Umum, hal. 446/ Robert Gwinn, The New Encyclopaedia
Britannica, hal. 555)
[17] Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam, Jakarta, Bulan Bintang, th.
2003, cet. XIV, hal 186
[19] Nama asalnya adalah Leopold Weiss, lahir di kota Livow (Austria) pada
tahun 1900 dan wafat tahun 1992. Pada umur 22 tahun ia mengunjungi Timur
Tengah dan selanjutnya menjadi wartawan luar negeri dari harian Frankfurter
Zeitung. Pada tahun 1926 ia memeluk Islam dan beberapa tahun mempelajari
Islam. Setelah itu ia bekerja di berbagai dunia Islam dari Afrika Utara sampai
Afghanistan di bagian Timur. Ia termasuk intelektual muslim terkemuka abad 20.
Karya-karyanya antara lain: Islam in the Cross Roads (Islam di Persimpangan
Jalan), Road to Mecca (Jalan ke Mekah) dan The Principles of States and
Government in Islam (Asas-asa Negara dan Pemerintahan dalam Islam, serta
sebuah kitab tafsir dengan nama The Message of the Qur'an. (Muhammad Asad,
Asas-asas Negara dan Pemerintahan dalam Islam (terj. Muhammad Radjab),
Jakarta, Granada, cet. 1, th. 1427 H, halaman sampul.
[20] Harun, Pembaharuan dalam Islam, hal 185 dan W.C. Smith, Modern Islam
in India (Lahore : Ashraf, 1963) hal. 111
[21] http://tghrib.ir/melayu/?pgid=69&scid=156&dcid=38329, disadur pada
tanggal 18 November 2008
[25] Muhammad Iqbal, Tajdiid At-Tafkiir Ad-Diinii Fii al-Islam, Kairo, cet. 2, th.
1968, hal. 20-21
[30] Syair ialah bentuk puisi lama Indonesia: satu bait biasanya terdiri atas empat
baris seperti pantun, tetapi keempat barisnya bersajak sama. Perbedaan lain
daripada pantun ialah: pantun terdiri atas empat baris dan sudah merupakan
kesatuan pikiran, sedangkan syair belum. Syair bias berisikan kisah, ceritera, soal
agama, sejarah atau ceritera suatu peristiwa. (Ensiklopedi Umum, hal. 1068)
Terjadinya penetrasi kolonial Barat disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu faktor
intern dan faktor ekstern. Disatu sisi kekuatan militer dan politik negara - negara
muslim menurun, perekonomian mereka merosot sebagai akibat monopoli
perdagangan antara timur dan barat tidak lagi ditangan mereka. Disamping itu
pengetahuan di dunia muslim dalam kondisi stagnasi. Tarekat-tarekat diliputi oleh
suasana khurafat dan supertisi. Umat Islam dipengaruhi oleh sikap fatalistik1.
Pada sisi yang lain, Eropa dalam waktu yang sama menggunakan metode berpikir
rasional, dan disana tumbuh kelompok intelektual yang melepaskan diri dari
ikatan-ikatan Gereja; Barat memasuki abad renaisanse. Sementara dalam bidang
ekonomi dan perdagangan mereka telah mengalami kemajuan pesat dengan
ditemukannya Tanjung Harapan sebagai jalur perdagangan maritim langsung ke
Timur, demikian pula penemuan benua Amerika. Dengan dua temuan ini Eropa
memperoleh kemajuan dalam dunia perdagangan karena tidak bergantung lagi
kepada jalur lama yang dikuasai Islam.
Pada permulaan abad ini tumbuh kesadaran nasionalisme hampir disemua negeri
muslim yang menghasilkan pembentukan negara-negara nasional. Tetapi persoalan
mendasar yang dihadapi adalah keterbelakangan umat Islam, terutama menyangkut
kemampuan menguasai dan mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi
sebagai alat paling penting dalam mempertahankan hidup bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara, tanpa mengenyampingkan agama, politik dan ekonomi.
Upaya kearah itu tidak lepas dari pembaharuan pemikiran yang dapat
mengantarkan Islam terlepas dari cengkraman kolonialisme Barat.
Sejak Napoleon menduduki Mesir, umat Islam mulai merasakan dan sadar akan
kelemahan dan kemundurannya, sementara mereka juga merasa kaget dengan
kemajuan yang telah dicapai Barat. Gelombang ekspansi Barat ke negaranegara
muslim yang tidak dapat dibendung itu memaksa para pemuka Islam untuk mulai
berpikir guna merebut kembali kemerdekaan yang dirampas. Salah seorang tokoh
yang pikirannya banyak mengilhami gerakan - gerakan kemerdekaan adalah
Sayyed Jamaluddin Al Afghani. Ia dilahirkan pada tahun 1839 di Afghanistan dan
meninggal di Istambul 18973. Pemikiran dan pergerakan yang dipelopori Afghani
ini disebut Pan-Islamisme, yang dalam pengertian luas berarti solidaritas antara
seluruh umat muslim di dunia internasional.
Tema perjuangan yang terus menerus dikobarkan oleh Afghani dalam kesempatan
apa saja adalah semangat melawankolonialisme dengan berpegang kepada tema-
tema ajaran Islam sebagaistimulasinya. Murtadha Muthahhari menjelaskan bahwa
diskursus tema-tema itu
antara lain diseputar: Perjuangan melawan absolutisme para penguasa;Melengkapi
sains dan teknologi modern; Kembali kepada ajaran Islam yang sebenarnya; Iman
dan keyakinan aqidah; Perjuangan melawan kolonial asing; Persatuan Islam;
Menginfuskan semangat perjuangan dan perlawanan kedalam tubuh masyarakat
Islam yang sudah separo mati; dan Perjuangan melawan ketakutan terhadap
Barat4.
Disamping Afghani, terdapat dua orang ahli pikir Arab lainnya yang telah
mempengaruhi hampir semua pemikiran politik Islam pada masa berikutnya. Dua
pemikir itu adalah Muhammad Abduh(1849-1905) dan Rasyid Ridha(1865-1935).
Mereka sangat dipengaruhi oleh gagasan-gagasan guru mereka yakni Afghani, dan
berkat mereka berdualah pengaruh Afghani diteruskan untuk mempengaruhi
perkembangan nasionalisme Mesir. Seperti halnya Afghani dan Abduh, Ridha
percaya bahwa Islam bersifat politis, sosial dan spiritual. Untuk membangkitkan
sifat-sifat tersebut, umat Islam mesti kembali kepada Islam yang sebenarnya
sebagaimana yang diajarkan oleh Nabi dan para sahabatnya atau para salafiah.
Pada pertengahan pertama abad XX terjadi perang dunia kedua yang melibatkan
seluruh negara kolonialis. Seluruh daratan Eropa dilanda peperangan, disamping
Amerika, Rusia dan Jepang. Kecamuk perang ini disatu sisi melibatkan Jepang,
Hitler dengan Nazi Jermannya, dan Mussolini dengan Fasis Italianya, dan disisi
lain terdapat Inggris, Perancis, dan Amerika yang bersekutu, serta Rusia.
Dalam pada itu, negara muslim tidak terlibat langsung dalam perang dunia
keduasehingga pemikiran mereka waktu itu terkonsentrasi pada perjuangan untuk
kemerdekaan negerinya masing-masing, dan kondisi dunia yang berkembang pada
saat itu memungkinkan tercapainya cita-cita luhur tersebut. Mulai saat itu negara
negara muslim yang terjajah memproklamirkan kemerdekaannya.
Usaha untuk memulihkan kembali kekuatan Islam pada umumnya yang dikenal
dengan gerakan pembaharuan didorong oleh dua faktor yang saling mendukung,
yaitu pemurnian ajaran Islam dari unsur-unsur asing yang dipandang sebagai
penyebab kemunduran Islam, dan menimba gagasan-gagasan pembaharuan dan
ilmu pengetahuan dari Barat. Gerakan pembaharuan itu dengan segera juga
memasuki dunia politik, karena Islam memandang tidak bisa dipisahkan dengan
politik. Gagasan politik yang pertama kali muncul adalah
gagasan Pan - Islamisme yang mula-mula didengungkan oleh gerakan Wahabiyah
dan Sanusiah. Namun, gagasan ini baru disuarakan dengan lantang oleh tokoh
pemikir Islam terkenal, Jamaluddin Al Afghani [1839-1897 M].
Jika di Mesir bangkit dengan nasionalismenya, dibagian negeri Arab lainnya lahir
gagasan nasionalisme Arab yang segera menyebar dan mendapat sambutan hangat,
sehingga nasionalisme itu terbentuk atas dasar kesamaan bahasa. Demikianlah
yang terjadi di Mesir, Syria, Libanon, Palestina, Irak, Hijaz, Afrika Utara, Bahrein,
dan Kuweit. Di India, sebagaimana di Turki dan Mesir gagasan Pan - Islamisme
yang dikenal dengan gerakan Khilafat juga mendapat pengikut, pelopornya adalah
Syed Amir Ali ( 1848 - 1928 M ). Gagasan itu tidak mampu bertahan lama, karena
terbukti dengan ditinggalkannya gagasan-gagasan tersebut oleh sebagian besar
tokoh-tokoh Islam. Maka, umat Islam di anak benua India ini tidak menganut
nasionalisme, tetapi Islamisme yang dalam masyarakat India dikenal dengan nama
komunalisme.
Tidak lama kemudian, partaipartai politik lainnya berdiri seperti Partai Nasional
Indonesia [PNI] didirikan oleh Soekarno, Pendidikan Nasional Indonesia [PNI-
Baru], didirikan oleh Muhammad Hatta [1931], Persatuan Muslimin Indonesia
[PERMI] yang baru menjadi partai politik pada tahun 1932, dipelopori oleh
Mukhtamar Luthfi8. Munculnya gagasan nasionalisme yang diikuti dengan
berdirinya partai-partai politik merupakan modal utama umat Islam dalam
perjuangannya untuk mewujudkan negara merdeka yang bebas dari pengaruh
politik Barat, dalam kenyataannya, memang partai-partai itulah yang berjuang
melepaskan diri dari kekuasaan penjajah.
Negara muslim kedua yang merdeka dari penjajahan adalah Pakistan, yaitu tanggal
15 Agustus 1947 ketika Inggris menyerahkan kedaulatannya di India kepada dua
Dewan Konstitusi, satu untuk India dan lainnya untuk Pakistan-waktu itu terdiri
dari Pakistan dan Bangladesh sekarang-. Di Timur Tengah, Mesir misalnya, secara
resmi memperoleh kemerdekaannya dari Inggris pada tahun 1922. akan tetapi,
pada saat kendali pemerintahan dipegang oleh Raja Farouk pengaruh Inggris
sangat besar. Baru pada waktu pemerintahan Jamal Abd al Nasser yang
menggulingkan raja Farouk 23 Juli 1952, Mesir menganggap dirinya benar - benar
merdeka. Mirip dengan Mesir, Irak merdeka secara formal pada tahun 1932, tetapi
rakyatnya baru merasakan benar-benar merdeka pada tahun 1958. sebelum itu,
negara-negara sekitar Irak telah mengumumkan kemerdekaannya seperti Syria,
Yordania, dan Libanon pada tahun 1946. Di Afrika, Libya merdeka pada tahun
1951 M, Sudan dan Maroko tahun 1956 M, serta Aljazair merdeka pada tahun
1962 M yang kesemuanya itu membebaskan diri dari Perancis. Dalam waktu yang
hampir bersamaan, Yaman Utara dan Yaman Selatan, serta Emirat Arab
memperoleh kemerdekaannya pula. Di Asia Tenggara, Malaysia yang waktu itu
merupakan bagian dari Singapura mendapat kemerdekaan dari Inggris pada tahun
1957, dan Brunei Darussalam baru pada tahun 1984 M9.
Namun, sampai saat ini masih ada umat muslim yang berharap mendapatkan
otonomi sendiri, atau paling tidak menjadi penguasa atas masyarakat mereka
sendiri. Mereka itu adalah penduduk minoritas muslim dalam negara-negara
nasional, misalnya Kasymir di India dan Moro di Filipina. Alasan mereka
menuntut kebebasan dan kemerdekaan itu adalah karena status minoritas seringkali
mendapatkan kesulitan dalam memperoleh kesejahteraan hidup dan kebebasan
dalam menjalankan ajaran agama mereka.
PEMBAHARUAN DALAM ISLAM
Januari 27, 2010 oleh Wahid Hasyim
1 Votes
BAB I
PENDAHULUAN
Sumber ajaran Islam adalah al Quran dan hadis. Keduanya lalu ditafsirkan, tafsir
itu merupakan hasil pemikiran mufasir. Pemikiran itulah sebenarnya yang
membentuk sikap dan perilaku kaum muslimin. Tatkala suatu pemikiran
dimunculkan dan dianggap sesuai dengan keadaan zaman, pemikiran tersebut
diterima oleh masyarakat Islam masa itu. Tetapi lama kelamaan situasi berubah.
Pemikiran tadi adakalanya tidak sesuai lagi dengan keadaan yang baru. Maka para
pemikir memikirkan kembali hasil pemikiran lama untuk disesuaikan dengan
keadaan baru. Tatkala pemikiran ulang itu dilakukan dan disesuaikan dengan
zaman modern, hasil pemikiran itu disebut modernisasi pemikiran Islam.
Pembaruan dalam Islam dilakukan berdasarkan pemikiran baru tersebut. Jadi, pada
hakikatnya, istilah pembaharuan atau modernisasi itu sama saja, yaitu penerapan
pemikiran modern dalam memajukan Islam dan umat Islam.
Kondisi zaman modern ditandai oleh penggunaan rasio dalam kehidupan. Karena
itu, pada dasarnya, pembaharuan atau modernisasi dalam Islam identik dengan
rasionalisasi. Pemikiran rasional dalam Islam dipengaruhi oleh persepsi tentang
tingginya kedudukan akal dalam Islam. Persepsi ini bertemu dengan persepsi yang
sama dari Yunani yang sudah masuk ke dunia Islam. Tetapi, jika pemikiran
rasional Islam itu bersifat religius, maka pemikiran rasional Yunani bercorak
sekuler.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian pembaharuan
Pada periode pertengahan, telah muncul pemikiran dan usaha pembaharuan Islam
dikerajaan Usmani di Turki. Akan tetapi usaha itu gagal karena ditentang golongan
militer dan ulama. Pada abad ke-17, kerajaan Usmani mulai mengalami kekalahan
dalam peperangan dengan Negara Eropa. Kekalahan itu mendorong raja dan
pemuka kerajaan Usmani untuk menyelidiki sebab-sebabnya. Kemudian diketahui
bahwa penyebabnya adalah ketertinggalan mereka dalam teknologi militer.
Mereka selidiki pula rahasia keunggulan Barat. Mereka temukan bahwa rahasianya
adalah karena Barat memiliki sains dan teknologi tinggi yang diterapkan dalam
kemiliteran.
Karena itulah, pada 1720, kerajaan Usmani mengangkat Celebi Mehmed sebagai
utusan kerajaan untuk Perancis. Dia bertugas mempelajari benteng-benteng
pertahanan, pabrik-pabrik, serta institusi-institusi Perancis lainnya. Laporan Celebi
Mehmed tertuang dalam bukunya, seferetname. Berdasarkan laporan itu,
diupayakanlah pembaharuan di Kerajaan Usmani.
Di India, sebelum periode modernisasi, muncul juga ide dan usaha pembaharuan.
Pada awal abad ke-18, kesultanan mogul memasuki zaman kemunduran. Perang
saudara untuk merebut kekuasaan sering terjadi. Golongan hindu yang merupakan
mayoritas, ingin melepaskan diri dari kekuasaan mogul. Selain itu, inggris juga
telah mulai memperbesar usahanya untuk memperoleh daerah kekuasaan di India.
Suasana itu menyadarkan para pemimpin Islam India akan kelemahan umat Islam.
Salah seorang yang menyadari hal itu ialah Syah Waliyullah (1703-1762) dari
Delhi. Ia berpendapat Salah satu penyebab kelemahan umat Islam ialah perubahan
system pemerintahan dari system khilafah ke system kerajaan. System pertama
bersifat demokratis, sedang system kedua bersifat otokratis. Karena itu system ke
Khalifahan seperti pada masa al- Khulafa al-Rasyidun perlu dihidupkan kembali.
Di Arab Saudi juga ada usaha pembaharuan sebelum periode modern yang
dipelopori oleh Mohammad bin Abdul Wahab (1703-1787). Menurut Wahab,
penyebab kelemahan umat Islam saat itu ialah tauhid umat Islam yang tidak lagi
murni. Kemurnian tauhid mereka telah dirusak oleh ajaran tarekat. Tarekat
menurut Muhammad bin Abdul Wahab, mengajarkan pemujaan kepada syekh dan
wali. Umat Islam menunaikan haji dan meminta pertolongan kekuburan-kuburan
syekh dan wali itu. Karenanya, semua hal itu harus diberantas. Ia juga
menganjurkan ijtihad. Inti pemikirannya adalah al-Quran dan hadislah sumber
ajaran Islam, taqlid kepada ulama tidak dibenarkan dan pintu ijtihad tidak tertutup.
Gerakan pembaharuan Islam juga muncul melalui tasawwuf. Gerakan ini disebut
neo sufisme, yaitu tasawwuf yang di perbaharui dan tampil dalam bentuk aktifis.
Neo sufisme berawal di Afrika Utara melalui tarekat sanusiyah. Sanusiyah adalah
cabang Ordo Idrisiyah yang didirikan di Arab Saudi oleh Ahmad Ibnu Idris (w.
1837). Tarekatnya ini dinamakan juga Tariqah Muhammadiyyah.
Tujuan tarekat ini ialah memperbaharui moral kaum muslim melalui tindakan
politik. Tarekat ini membangun banyak tempat peribadatan. Yang paling penting
diantaranya adalah Di Kafra dan Jaghbub. Disana orang tidak hanya diajari agama,
tetapi juga dilatih menggunakan senjata dan didorong untuk melibatkan diri dalam
usaha professional seperti bertani dan berdagang.
1. Mesir
Pemikiran dan pembaharuan Islam di Mesir pada periode modern ditokohi oleh
cukup banyak pemikir, antara lain: Muhammad Ali Pasya (1765-1849) yang
bermodel reformisme Barat. Dia mempertautkan ekonomi Mesir dengan Eropa. at-
Tahtawi (1801-1873) memiliki pandangan bahwa rahasia pertumbuhan Eropa
terletak pada pikiran orang-orangnya yang bebas untuk berfikir secara kritis,
mengubah kebijakan lama dan menerapkan ilmu dan teknologi modern untuk
menyelesaikan masalah.[4] Jamaluddin al-Afgani (1839-1897)yang mencoba
menanamkan kembali kepercayaan kepada kekuatan sendiri dengan melepas baju
apatis dan putus asa, Muhammad Abduh (1849-1905) yang mengumandangkan
panggilan jihad melawan penjajah , dan muridnya Rasyid Ridha (1865-1935) yang
membangkitkan ruh jihad dan ijtihad, mengumandangkan kembali kepada Quran
dan Sunnah, sebagai satu-satunya jalan untuk keluar dari kelemahan dan kehinaan
posisi.[5]
Pemikiran dan pembaharuan Islam Turki pada periode modern dipimpin oleh
banyak tokoh pemikir, antara lain Sultan Mahmud II (1785-1839), tokoh-tokoh
Tanzimat (Mustafa Rasyid Pasya, Mustafa Sami, Mehmed Sadik Rifat Pasya),
tokoh-tokoh pemikir Usmani Muda (Ziya Pasya dan Namik Kemal), para pemikir
Turki Muda (Ahmad Riza, Pangeran Sabahuddin, Mehmed Murad), tokoh-tokoh
aliran Barat-Islam-Nasionalis dan Mustafa Kemal (1881-1938). Isi pembaharuan
tokoh-tokoh pemikir Turki diantaranya memisahkan urusan agama dan urusan
dunia, pembaharuan dibidang pemerintahan, pendidikan yaitu pendidikan
universal, ekonomi dan politik, juga westernisasi, sekularisasi dan nasionalisme
terbatas.[7]
3. India-pakistan
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
Pembagian periode pemikiran pembaharuan Islam yang kita bahas pada makalah
ini berbeda dengan pembagian periode menurut Fazlur Rahman. Ia membagi
periode pemikiran pembaharuan Islam menjadi empat bagian, yaitu; revivalisme
pra-modernis, modernisme klasik, neo-revivalisme dan neo-modernisme.
B. Daftar Rujukan
4.S. Ahmed, Akbar, Rekonstruksi Sejarah Islam: Ditengah Pluralitas Agama Dan
Peradaban, cet. II (Yogyakarta; Fajar Pustaka Baru, 2003)
[1] Taufik Abdullah [et.al], Ensiklopedi Tematis Dunia Islam: Pemikiran Dan
Peradaban, vol. 4 cet. III (Jakarta, Ichtiar Baru Van Hoeve, 2005) hal: 9
[3] Akbar S. Ahmed, Rekonstruksi Sejarah Islam: Ditengah Pluralitas Agama Dan
Peradaban, cet. II (Yogyakarta; Fajar Pustaka Baru, 2003) hal:155
[4] John Cooper, Ronald L. Nettler, Mohamed Mahmo ud. Pemikiran Islam, cet. I
(Jakarta; Erlangga, 2002) hal: XV
[6]Op. cit. Ensiklopedi Tematis Dunia Islam: Pemikiran Dan Peradaban, hal: 397-
401
[8] Op.cit. Rekonstruksi Sejarah Islam: Ditengah Pluralitas Agama Dan Peradaban,
hal: 154
[10] Irwandar, Dekonstruksi Pemikiran Islam: Idealitas Nilai dan Realitas Empiris,
cet. I (Yogyakarta; Ar-Ruzz Media Press, 2003) hal: 146
[11]Op.cit. Ensiklopedi Tematis Dunia Islam: Pemikiran Dan Peradaban, hal: 407-
412
Perjalanan Agama Islam sejak awal sampai kini telah melahirkan banyak tokoh
penting di berbagai bidang ilmu. Sejalan dengan pesatnya perkembangan berbagai
bidang pada abad XIX-XX, Islam melahirkan sejumlah tokoh, antara lain sebagai
berikut.
MASA_HIDU
NAMA ASAL KETOKOHAN
P
Tokoh kemerdekaan
Abdurrahman,
1903-1990 Malaysia Malaysia dan sekjen
Tunku
pertama OKI
Ilmuwan muslim
pertama peraih Nobel
Abdus Salam 1926-1996 Pakistan Fisika, pendiri ICTP
(International Centre
for Theorical Physics)
Agha Khan Imam Syiah
Muhammad 1877-1957 India Ismailiyah, penulis,
Syah al-Hali Aga Khan ketiga)
Ahmad Khan,
1817-1898 India Pembaru Islam
Sir Sayid
Alusi,
Ulama, mufti, dan
Syihabudin 1802-1854 Irak
pemikir
Ahmad
Pembaru, sejarawan,
Ameer Ali 1849-1928 India pengacara, dan guru
besar hukum Islam
Pemikir Islam
Arkoun, kontemporer di bidang
1928 Aljazair
Mohammed teologi, filsafat dan
hukum
Wartawan, pengarang,
Farid Wajdi,
1875-1954 Mesir ahli fikih, dan pembaru
Muhammad
pemikiran Islam
Ilmuwan, penggagas
Islamisasi ilmu
pengetahuan, pendiri
al-Faruqi,
1921-1986 Palestina Pusat Pengkajian Islam
Ismail Raji
Temple University,
Philadelphia (Amerika
Serikat)
Cendekiawan, penulis,
aktivis muslim, dan
Faziur Rahman 1919-1988 Pakistan guru besar University
of Chicago (Amerika
Serikat)
Negarawan dan
Gamal Abdul
1918-1970 Mesir presiden Mesir (1956-
Nasser
1970)
Haekal,
Sejarawan, sastrawan,
Muhammad 1888-1956 Mesir
dan negarawan
Husain
Inayat Khan,
1882-1927 India Musikus dan sufi
Hazrat
Jinnah,
1876-1948 Pakistan Pendiri negara Pakistan
Muhammad Ali
Penyair, pengarang,
Kemal Pasya, wartawan, penulis
1840-1888 Turki
Namik drama, dan tokoh
Usmani Muda
Khomeini,
Pendiri Republik Islam
Ayatullah 1900-1989 Iran
Iran
Ruhollah
Sastrawan Muslim,
Mahfouz,
1911 Mesir pemenang Nobel sastra
Naguib
1988
Pemikir IslaSyiah
Nasr, Husein 1933 Iran
kontemporer
Cendekiawan dan
Qutub, Sayid 1906-1966 Mesir tokoh Ikhwanul
Muslimin
Ahli perbandingan
agama dan pemimpin
aliran filsafat perenial,
Shuon, Frithjof 1907 Swiss
nama muslimnya
Muhammad Isa
Nuruddin
Syaukani,
Ahli hadis, fikih, usul
Muhammad bin w. 1834 Yaman
fikih, dan mujtahid
Ali
Sastrawan Arab
Syauqi, Ahmad 1869-1932 Mesir modern dan kolumnis
surat kabar
Sastrawan, pemikir,
Thaha Husein 1889-1973 Mesir
dan pembaru
Politikus, pendidik,
at-Turabi,
1932 Sudan dan tokoh Islamisasi
Hasan
Sudan
Referensi
Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA, Prof. Dr. Abdul Aziz Dahlan, Prof. Dr.
Nurcholish Madjid, etc. Ensiklopedi Islam, Penerbit PT. Ichtiar Baru Van
Hoeve, Jakarta, 2005.
Prof. Dr. Nurcholish Madjid, Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA, Dr. Ahmad
Qodri Abdillah Azizy, MA, Dr. A. Chaeruddin, SH., etc. Ensiklopedi
Tematis Dunia Islam, Penerbit PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 2008,
Editor : Prof. Dr. Taufik Abdullah, Prof. Dr. M. Quraish Shihab, Prof. Dr.
H. Ahmad Sukardja, MA.
Sami bin Abdullah bin Ahmad al-Maghluts, Atlas Sejarah Para Nabi dan
Rasul, Mendalami Nilai-nilai Kehidupan yang Dijalani Para Utusan Allah,
Obeikan Riyadh, Almahira Jakarta, 2008.
Dr. Syauqi Abu Khalil, Atlas Al-Quran, Membuktikan Kebenaran Fakta
Sejarah yang Disampaikan Al-Qur'an secara Akurat disertai Peta dan
Foto, Dar al-Fikr Damaskus, Almahira Jakarta, 2008.
Tim DISBINTALAD (Drs. A. Nazri Adlany, Drs. Hanafi Tamam, Drs. A.
Faruq Nasution), Al-Quran Terjemah Indonesia, Penerbit PT. Sari Agung,
Jakarta, 2004
Departemen Agama RI, Yayasan Penyelenggara Penerjemah/Penafsir Al-
Quran, Syaamil Al-Quran Terjemah Per-Kata, Syaamil International, 2007.
alquran.bahagia.us, keislaman.com, dunia-islam.com, Al-Quran web, PT.
Gilland Ganesha, 2008.
Muhammad Fu'ad Abdul Baqi, Mutiara Hadist Shahih Bukhari Muslim,
PT. Bina Ilmu, 1979.
Al-Hafizh Zaki Al-Din 'Abd Al-'Azhum Al Mundziri, Ringkasan Shahih
Muslim, Al-Maktab Al-Islami, Beirut, dan PT. Mizan Pustaka, Bandung,
2008.
M. Nashiruddin Al-Albani, Ringkasan Shahih Bukhari, Maktabah al-
Ma'arif, Riyadh, dan Gema Insani, Jakarta, 2008.
Al-Bayan, Shahih Bukhari Muslim, Jabal, Bandung, 2008.
Muhammad Nasib Ar-Rifa'i, Kemudahan dari Allah, Ringkasan Tafsir
Ibnu Katsir, Maktabah al-Ma'arif, Riyadh, dan Gema Insani, Jakarta, 1999.