You are on page 1of 21

Contusio Cerebri

A. Latar Belakang
Tengkorak merupakan jaringan tulang yang berfungsi sebagai
pelindung jaringan otak mempunyai daya elastisitas untuk mengatasi trauma
bila dipukul atau terbentur benda tumpul. Namun pada benturan, beberapa mili
detik akan terjadi depresi maksimal dan diikuti osilasi. Trauma pada kepala
dapat menyebabkan fraktur pada tengkorak dan trauma jaringan otak atau kulit
seperti kontusio atau memar otak, oedem otak, perdarahan dengan derajat yang
bervariasi tergantung pada luas daerah trauma.
Trauma kepala yaitu adanya deformitas berupa penyimpangan bentuk
atau penyimpangan garis pada tulang tengkorak, percepatan dan perlambatan
(accelerasi – descelarasi) yang merupakan perubahan bentuk dipengaruhi oleh
perubahan peningkatan pada percepatan faktor dan penurunan percepatan,
serta rotasi yaitu pergerakan pada kepala dirasakan juga oleh otak sebagai
akibat perputaran pada tindakan pencegahan.
Side effect dari kontusio akibat trauma kepala tergantung dari bagian
mana yang mengalami trauma dan sejauh mana luas kontusio dan perdarahan
yang meluas atau tidak.
B. Tujuan
Tujuan dari laporan pendahuluan ini adalah :
1. Mampu melakukan pengkajian yaitu
mengumpulkan data subyektif dan data
obyektif pada pasien dengan contusion
cerebri
2. Mampu menganalisa data yang diperoleh
3. Mampu merumuskan diagnosa keperawatan
pada pasien dengan contusio cerebri
4. Mampu membuat rencana tindakan
keperawatan pada pasien dengan contusio
cerebri
5. Mampu melaksanakan tindakan keperawatan
sesuai dengan rencana yang ditentukan.
6. Mampu mengevaluasi tindakan keperawatan
yang telah dilaksanakan

C. Pengertian
Secara definisi kontusio serebri didefinisikan sebagai gangguan fungsi
otak akibat adanya kerusakan jaringan otak disertai perdarahan yang secara
makroskopis tidak mengganggu jaringan. Kontosio sendiri biasanya
menimbulkan defisit neurologis jika mengenai daerah motorik atau sensorik
otak., secara klinis didapatkan penderita pernah atau sedang tidak sadar selama
lebih dari 15 menit atau didapatkan adanya kelainan neurologis akibat
kerusakan jaringan otak. Pada pemerikasaan CT Scan didaptkan daerah
hiperdens di jaringan otak, sedangkan istilah laserasi serebri menunjukkan
bahwa terjadi robekan membran pia-arachnoid pada daerah yang mengalami
contusio serebri yang gambaran pada CT Scan disebut “Pulp brain”.
Kontusio cerebri erat kaitannya dengan trauma kepala berikut beberapa
prinsip pada trauma kepala :
a. Tulang tengkorak sebagai pelindung jaringan otak,
mempunyai daya elastisitas untuk mengatasi adanya
pukulan.
b. Bila daya / toleransi elastisitas terlampau akan terjadi
fraktur
c. Berat / ringannya cedera tergantung pada :
1) Lokasi yang terpengaruh :
• Cedera kulit.
• Cedera jaringan tulang / tengkorak.
• Cedera jaringan otak.
2) Keadaan kepala saat terjadi benturan.
a). Masalah utama adalah
terjadinya peningkatan
tekanan intrakranial (PTIK)
b). TIK dipertahankan oleh 3
komponen :
• Volume darah /Pembuluh darah
(± 75 - 150 ml).
• Volume Jaringan Otak (±. 1200
- 1400 ml).
• Volume LCS (± 75 - 150 ml).
2. Klasifikasi
Trauma kepala atau cedera kepala meliputi trauma kulit kepala,
tengkorak dan otak. Cedera otak terdapat dibagi dalam dua macam yaitu :
a. Cidera otak primer
Adalah kelainan patologi otak yang timbul segera akibat langsung dari
trauma. Pada cidera primer dapat terjadi: memar otak, laserasi.
b. Cidera otak sekunder
Adalah kelainan patologi otak disebabkan kelainan biokimia,
metabolisme, fisiologi yang timbul setelah trauma.
Berat ringannya cedera kepala bukan didasarkan berat ringanya gejala
yang muncul setelah cedera kepala (Alexander PM, 1995). Ada berbagai
klasifikasi yang dipakai dalam penentuan derajat cedera kepala. The Traumatic
Coma Data Bank mendifinisikan berdasarkan skor Skala Koma Glasgow
(Glasgow coma scale).
Kategori Penentuan Keparahan cedera kepala berdasarkan Glasgow coma
scale (GCS)
Penentuan Keparahan Deskripsi
Minor/ Ringan GCS 13 – 15
Dapat terjadi kehilangan kesadaran atau amnesia tetapi
kurang dari 30 menit. Tidak ada fraktur tengkorak,
tidak ada kontusia cerebral, hematoma
Sedang GCS 9 – 12
Kehilangan kesadaran dan atau amnesia lebih dari 30
menit tetapi kurang dari 24 jam. Dapat mengalami
fraktur tengkorak.
Berat GCS 3 – 8
Kehilangan kesadaran dan atau terjadi amnesia lebih
dari 24 jam. Juga meliputi kontusia serebral, laserasi
atau hematoma intrakranial
Glasgow coma scale (GCS)
1. Membuka Mata
Spontan 4
Terhadap rangsang suara 3
Terhadap nyeri 2
Tidak ada 1
2. Respon Verbal
Orientasi baik 5
Orientasi terganggu 4
Kata-kata tidak jelas 3
Suara Tidak jelas 2
Tidak ada respon 1
3. Respon Motorik
Mampu bergerak 6
Melokalisasi nyeri 5
Fleksi menarik 4
Fleksi abnormal 3
Ekstensi 2
Tidak ada respon 1
Total 3-
15
Annegers et al (1998) membagi trauma kepala berdasarkan lama tak
sadar dan lama amnesis pasca trauma yang dibagi menjadi :
a. Cedera kepala ringan, apabila kehilangan kesadaran dan amnesia
berlangsung kurang dari 30 menit.
b. Cedera kepala sedang, apabila kehilangan kesadaran atau amnesia
terjadi 30 menit sampai 24 jam atau adanya fraktur tengkorak.
c. Cedera kepala berat, apabila kehilangan kesadaran atau amnesia
lebih dari 24 jam, perdarahan subdural dan kontusio serebri.
Penggolongan cedera kepala berdasarkan periode kehilangan kesadaran
ataupun amnesia saat ini masih kontroversional dan tidak dipakai secara luas.
Klasifikasi cedera kepala berdasarkan jumlah GCS saat masuk rumah sakit
merupakan definisi yang paling umum dipakai (Hoffman, dkk, 1996).
3. Tipe
a. Cidera kepala terbuka
1) Trauma ini dapat menyebabkan fraktur tulang tengkorak dan
laserasi durameter. Kerusakan otak dapat terjadi bila tulang
tengkorak menusuk otak, misalnya akibat benda tajam atau
tembakan.
2) Fraktur linier di daerah temporal, dimana arteri meningeal media
berada dalam jalur tulang temporal, sering menyebabkan
perdarahan epidural. Fraktur linier yang melintang garis tengah,
sering menyebabkan perdarahan sinus dan robeknya sinus sagitalis
superior.
3) Fraktur di daerah basis, disebabkan karena trauma dari atas atau
kepala bagian atas yang membentur jalan atau benda diam. Fraktur
di fosa anterior, sering terjadi keluarnya liquor melalui hidung
(rhinorhoe) dan adanya brill hematom (raccon eye).
4) Fraktur pada os petrosus, berbentuk longitudinal dan transversal
(lebih jarang). Fraktur longitudinal dibagi menjadi anterior dan
posterior. Fraktur anterior biasanya karena trauma di daerah
temporal, sedang yang posterior disebabkan trauma di daerah
oksipital.
5) Fraktur longitudinal sering menyebabkan kerusakan pada meatus
akustikus interna, foramen jugularis dan tuba eustakhius. Setelah 2
– 3 hari akan nampak battle sign (warna biru di belakang telinga di
atas os mastoid) dan otorrhoe (liquor keluar dari telinga).
perdarahan dari telinga dengan trauma kepala hampir selalu
disebabkan oleh retak tulang dasar tengkorak. Pada dasarnya
fraktur tulang tengkorak itu sendiri tidaklah menimbulkan hal yang
emergensi, namun yang sering menimbulkan masalah adalah
fragmen tulang itu menyebabkan robekan pada durameter,
pembuluh darah atau jaringan otak. Hal ini dapat menyebabkan
kerusakan pusat vital, saraf kranial dan saluran saraf (nerve
pathway).
b. Cidera kepala tertutup
1) Komotio serebri (gegar otak)
2) Edema serebri traumatic
3) Kontusio serebri
4) Perdarahan Intrakranial
• Perdarahan epidural
• Perdarahan Subdural
• Perdarahan subarahnoid
Kontusio serebri murni biasanya jarang terjadi. Diagnosa kontusio
serebri meningkat sejalan dengan meningkatnya penggunaan CT scan dalam
pemeriksaan cedera kepala. Kontusio serebri sangat sering terjadi difrontal dan
labus temporal, walaupun dapat terjadi juga pada setiap bagian otak, termasuk
batang otak dan serebelum. Batas perbedaan antara kontusio dan perdarahan
intra serebral traumatika memang tidak jelas. Kontusio serebri dapat saja
dalam waktu beberapa jam atau hari mengalami evolusi membentuk pedarahan
intra serebral.

D. Etiologi
• Kecelakaan
• Jatuh
• Trauma

E. Patofisiologi
Pada contusio cerebri (memar otak) terjadi perdarahan-perdarahan di
dalam jaringan otak tanpa adanya robekan jaringanyang kasat mata, meskipun
neuron-neuron mengalami kerusakan atau terputus. Yang penting untuk
terjadinya lesi contusion ialah adanya akselerasi kepala yang seketika itu juga
menimbulkan pergeseran otak serta pengembangan gaya kompresi yang
destruktif. Akselerasi yang kuat berarti pula hiperekstensi kepala. Oleh karena
itu, otak membentang batang otak terlalu kuat, sehingga menimbulkan
blockade reversible terhadap lintasan asendens retikularis difus. Akibat
blockade itu, otak tidak mendapat input aferen dan karena itu, kesadaran
hilang selama blockade reversible berlangsung.
Timbulnya lesi contusio di daerah coup, contrecoup, dan intermediate
menimbulkan gejala deficit neurologik yang bisa berupa refleks babinsky yang
positif dan kelumpuhan UMN. Setelah kesadaran puli kembali, si penderita
biasanya menunjukkan organic brain syndrome.
Lesi akselerasi-deselerasi, gaya tidak langsung bekerja pada kepala
tetapi mengenai bagina tubuh yang lain, tetapi kepala tetap ikut bergerak
akibat adanya perbedaan densitas anar tulang kepala dengan densitas yang
tinggi dan jaringan otot yang densitas yang lebih rendah, maka terjadi gaya
tidak langsung maka tulang kepala akan bergerak lebih dulu sedangkan
jaringan otak dan isinya tetap berhenti, pada dasar tengkorak terdapat tonjolan-
tonjolan maka akan terjadi gesekan anatera jaringan otak dan tonjolan tulang
kepala tersebut akibatnya terjadi lesi intrakranial berupa hematom subdural,
hematom intra serebral, hematom intravertikal.kontra coup kontusio. Selain itu
gaya akselerasi dan deselarasi akan menyebabkan gaya tarik atau robekan
yang menyebabkan lesi diffuse berupa komosio serebri, diffuse axonal injuri.
Akibat gaya yang dikembangkan oleh mekanisme-mekanisme yang
beroperasi pada trauma kapitis tersebut di atas, autoregulasi pembuluh darah
cerebral terganggu, sehingga terjadi vasoparalitis. Tekanan darah menjadi
rendah dan nadi menjadi lambat, atau menjadi cepat dan lemah. Juga karena
pusat vegetatif terlibat, maka rasa mual, muntah dan gangguan pernafasan bisa
timbul.

F. Tanda dan Gejala


Manifestasi contusio bergantung pada lokasi luasnya kerusakan otak.
Akan terjadi penurunan kesadaran. Apabila kondisi berangsur kembali, maka
tingat kesadaranpun akan berangsur kembali tetapi akan memberikan gejala
sisa, tetapi banyak juga yang mengalami kesadaran kembali seperti biasanya.
Dapat pula terjadi hemiparese. Peningkatan ICP terjadi bila terjadi edema
serebral.
Gejala lain yang sering muncul :
• Gangguan kesadaran lebih lama.
• Kelainan neurologik positip, reflek patologik positip, lumpuh,
konvulsi.
• Gejala TIK meningkat.
• Amnesia retrograd lebih nyata.
• Pasien tidak sadarkan diri
• Pasien terbaring dan kehilangan gerakkan
• Denyut nadi lemah
• Pernafsan dangkal
• Kulit dingin dan pucat
• Sering defekasi dan berkemih tanpa di sadari.
• Hemiparese/Plegi
• Aphasia disertai gejala mual-muntah
• Pusing sakit kepala

G. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang seperti CT-Scan berguna untuk melihat letak
lesi dan adanya kemungkinan komplikasi jangka pendek.
H. Pathway
Kecelakaan
Jatuh
Trauma persalinan

Cidera kepala TIK - oedem


- hematom
Respon biologi Hypoxemia

Kelainan metabolisme
Cidera otak primer Cidera otak sekunder
Kontusio Nyeri akut
Laserasi Kerusakan cel otak

Gangguan autoregulasi rangsangan simpatis Stress

Aliran darah keotak ¯ tahanan vaskuler katekolamin


Sistemik & TD sekresi asam
lambung

O2 ¯ à ggg metabolisme ¯ tek. Pemb.darah Mual, muntah


Pulmonal

Asam laktat tek. Hidrostatik Asupan nutrisi


kurang

Oedem otak kebocoran cairan kapiler Ketidakseimbangan


nutrisi:kurang
dari kebutuhan
tubuh
Perfusi jaringan oedema paru à cardiac out put ¯
cerebral tidak efektif
Difusi O2 terhambat

Pola napas tidak efektif à hipoksemia,


hiperkapnea

I. Pengkajian

Pengumpulan data pasien baik subyektif atau obyektif pada gangguan


sistem persyarafan sehubungan dengan trauma kepala adalah sebagi berikut :

1. Identitas pasien dan keluarga (penanggung jawab)

2. Riwayat Kesehatan

Riwayat penyakit dahulu

3. Pemeriksaan Fisik

Aspek Neurologis :

Yang dikaji adalah Tingkat kesadaran, biasanya GCS kurang dari 15,
disorentasi orang/tempat dan waktu, adanya refleks babinski yang positif,
perubahan nilai tanda-tanda vital, adanya gerakan decebrasi atau
dekortikasi dan kemungkinan didapatkan kaku kuduk dengan brudzinski
positif. Adanya hemiparese.

Pada pasien sadar, dia tidak dapat membedakan berbagai


rangsangan/stimulus rasa, raba, suhu dan getaran. Terjadi gerakan-gerakan
involunter, kejang dan ataksia, karena gangguan koordinasi. Pasien juga
tidak dapat mengingat kejadian sebelum dan sesuadah trauma. Gangguan
keseimbangan dimana pasien sadar, dapat terlihat limbung atau tidak dapat
mempertahankana keseimabangan tubuh.

Nervus kranialis dapat terganggu bila trauma kepala meluas sampai batang
otak karena edema otak atau pendarahan otak. Kerusakan nervus I
(Olfaktorius) : memperlihatkan gejala penurunan daya penciuman dan
anosmia bilateral. Nervus II (Optikus), pada trauma frontalis :
memperlihatkan gejala berupa penurunan gejala penglihatan. Nervus III
(Okulomotorius), Nervus IV (Trokhlearis) dan Nervus VI (Abducens),
kerusakannya akan menyebabkan penurunan lapang pandang, refleks
cahaya ,menurun, perubahan ukuran pupil, bola mata tidak dapat
mengikuti perintah, anisokor.

Nervus V (Trigeminus), gangguannya ditandai ; adanya anestesi daerah


dahi. Nervus VII (Fasialis), pada trauma kapitis yang mengenai neuron
motorik atas unilateral dapat menurunkan fungsinya, tidak adanya lipatan
nasolabial, melemahnya penutupan kelopak mata dan hilangnya rasa pada
2/3 bagian lidah anterior lidah.

Nervus VIII (Akustikus), pada pasien sadar gejalanya berupa menurunnya


daya pendengaran dan kesimbangan tubuh. Nervus IX (Glosofaringeus).
Nervus X (Vagus), dan Nervus XI (Assesorius), gejala jarang ditemukan
karena penderita akan meninggal apabila trauma mengenai saraf tersebut.
Adanya Hiccuping (cekungan) karena kompresi pada nervus vagus, yang
menyebabkan kompresi spasmodik dan diafragma. Hal ini terjadi karena
kompresi batang otak. Cekungan yang terjadi, biasanya yang berisiko
peningkatan tekanan intrakranial.

Nervus XII (hipoglosus), gejala yang biasa timbul, adalah jatuhnya lidah
kesalah satu sisi, disfagia dan disartria. Hal ini menyebabkan adanya
kesulitan menelan.

Aspek Kardiovaskuler :

Didapat perubahan tekanan darah menurun, kecuali apabila terjadi


peningkatan intrakranial maka tekanan darah meningkat, denyut nadi
bradikardi, kemudian takhikardia, atau iramanya tidak teratur. Selain itu
pengkajian lain yang perlu dikumpulkan adalah adanya perdarahan atau
cairan yang keluar dari mulut, hidung, telinga, mata. Adanya hipereskresi
pada rongga mulut. Adanya perdarahan terbuka/hematoma pada bagian
tubuh lainnya. Hal ini perlu pengkajian dari kepalal hingga kaki.
Aspek sistem pernapasan :

Terjadi perubahan pola napas, baik irama, kedalaman maupun frekuensi


yaitu cepat dan dangkal, irama tidak teratur (chyne stokes, ataxia brething),
bunyi napas ronchi, wheezing atau stridor. Adanya sekret pada tracheo
brokhiolus. Peningkatan suhu tubuh dapat terjadi karena adanya infeksi
atau rangsangan terhadap hipotalamus sebagai pusat pengatur suhu tubuh.

Aspek sistem eliminasi :

Akan didapatkan retensi/inkontinen dalam hal buang air besar atau kecil.
Terdapat ketidakseimbangan cairan dan elektrolit, dimana terdapat
hiponatremia atau hipokalemia. Pada sistem gastro-intestinal perlu dikaji
tanda-tanda penurunan fungsi saluran pencernaan seperti bising usus yang
tidak terdengar atau lemah, aanya mual dan muntah. Hal ini menjadi dasar
dalam pemberian makanan.

4. Pengkajian Psikologis :

Dimana pasien dnegan tingkat kesadarannya menurun, maka untuk


data psikologisnya tidak dapat dinilai, sedangkan pada pasien yang tingkat
kesadarannya agak normal akan terlihat adanya gangguan emosi,
perubahan tingkah laku, emosi yang labil, iritabel, apatis, delirium, dan
kebingungan keluarga pasien karena mengalami kecemasan sehubungan
dengan penyakitnya.

Data sosial yang diperlukan adalah bagaimana psien berhubungan


dnegan orang-orang terdekat dan yang lainnya, kemampuan
berkomunikasi dan peranannya dalam keluarga. Serta pandangan pasien
terhadap dirinya setelah mengalami trauma kepala dan rasa aman.

5. Data spiritual :
Diperlukan adalah ketaatan terhadap agamanya, semangat dan
falsafah hidup pasien serta ke-Tuhanan yang diyakininya. Tentu saja data
yang dikumpulkan bila tidak ada penurunan kesadaran.
Prinsip melakukan pengkajian dengan menggunakan 5 B yaitu :
a. Breathing
Kompresi pada batang otak akan mengakibatkan gangguan irama jantung,
sehingga terjadi perubahan pada pola napas, kedalaman, frekuensi maupun
iramanya, bisa berupa Cheyne Stokes atau Ataxia breathing. Napas
berbunyi, stridor, ronkhi, wheezing ( kemungkinana karena aspirasi),
cenderung terjadi peningkatan produksi sputum pada jalan napas.
b. Blood
Efek peningkatan tekanan intrakranial terhadap tekanan darah bervariasi.
Tekanan pada pusat vasomotor akan meningkatkan transmisi rangsangan
parasimpatik ke jantung yang akan mengakibatkan denyut nadi menjadi
lambat, merupakan tanda peningkatan tekanan intrakranial. Perubahan
frekuensi jantung (bradikardia, takikardia yang diselingi dengan
bradikardia, disritmia).
c. Brain
Gangguan kesadaran merupakan salah satu bentuk manifestasi adanya
gangguan otak akibat cidera kepala. Kehilangan kesadaran sementara,
amnesia seputar kejadian, vertigo, sinkope, tinitus, kehilangan
pendengaran, baal pada ekstrimitas. Bila perdarahan hebat/luas dan
mengenai batang otak akan terjadi gangguan pada nervus cranialis, maka
dapat terjadi :
• Perubahan status mental (orientasi, kewaspadaan, perhatian,
konsentrasi, pemecahan masalah, pengaruh emosi/tingkah laku dan
memori).
• Perubahan dalam penglihatan, seperti ketajamannya, diplopia,
kehilangan sebagian lapang pandang, foto fobia.
• Perubahan pupil (respon terhadap cahaya, simetri), deviasi pada mata.
• Terjadi penurunan daya pendengaran, keseimbangan tubuh.
• Sering timbul hiccup/cegukan oleh karena kompresi pada nervus vagus
menyebabkan kompresi spasmodik diafragma.
• Gangguan nervus hipoglosus. Gangguan yang tampak lidah jatuh
kesalah satu sisi, disfagia, disatria, sehingga kesulitan menelan.
d. Blader dan Bowel
Pada cidera kepala sering terjadi gangguan berupa retensi, inkontinensia
urin, ketidakmampuan menahan miksi.
Terjadi penurunan fungsi pencernaan: bising usus lemah, mual, muntah
(mungkin proyektil), kembung dan mengalami perubahan selera.
Gangguan menelan (disfagia) dan terganggunya proses eliminasi alvi.
e. Bone
Pasien cidera kepala sering datang dalam keadaan parese, paraplegi. Pada
kondisi yang lama dapat terjadi kontraktur karena imobilisasi dan dapat
pula terjadi spastisitas atau ketidakseimbangan antara otot-otot antagonis
yang terjadi karena rusak atau putusnya hubungan antara pusat saraf di
otak dengan refleks pada spinal selain itu dapat pula terjadi penurunan
tonus otot.

J. Diagnosa Keperawatan Yang Muncul


1. Nyeri akut (nyeri kepala, pusing) berhubungan dengan agen injuri fisik,
biologis, psikologis
2. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
dengan faktor biologis, fisiologis
3. Pola Nafas tidak efektif berhubungan dengan disfungsi neuromuskuler
4. Perfusi jaringan tidak efektif berhubungan dengan menurunnya curah
jantung, hipoksemia jaringan, asidosis dan kemungkinan thrombus atau
emboli
DAFTAR PUSTAKA

Barbara, CL., 1996, Perawatan Medikal Bedah (Suatu Pendekatan proses


keperawatan), Bandung.

Brunner & Suddarth, 2002, Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, alih bahasa:
Waluyo Agung., Yasmin Asih., Juli., Kuncara., I.made karyasa, EGC,
Jakarta.

Carpenito, L.J., 2000, Diagnosa Keperawatan Aplikasi pada Praktek Klinis, alih
bahasa: Tim PSIK UNPAD Edisi-6, EGC, Jakarta

Corwin, 2000, Hand Book Of Pathofisiologi, EGC, Jakarta.

Doenges,M.E., Moorhouse, M.F., Geissler, A.C., 1993, Rencana Asuhan


Keperawatan untuk perencanaan dan pendukomentasian perawatan
Pasien, Edisi-3, Alih bahasa; Kariasa,I.M., Sumarwati,N.M., EGC, Jakarta

Komite Keperawatan RSUD Dr. Soedono Madiun. 1999, Penatalaksanaan Pada


Kasus Trauma Kepala. Makalah Kegawat daruratan dalam bidang
bedah, Tidak dipublikasikan.

Long, B.C., 1996, Perawatan Medikal Bedah (Suatu Pendekatan Proses


Kperawatan), Bandung : Yayasan Ikatan Alumni Pendidikan Keperawatan
Bandung.
Mansjoer, Arif, 2000, Kapita Selekta Kedokteran, Media Aesculapius FK-UI,
Jakarta.

McCloskey&Bulechek, 1996, Nursing Interventions Classifications, Second edisi,


By Mosby-Year book.Inc,Newyork

NANDA, 2001-2002, Nursing Diagnosis: Definitions and classification,


Philadelphia, USA

Reksoprodjo, S. dkk, 1995, Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah, Bina rupa Aksara,
Jakarta.

University IOWA., NIC and NOC Project., 1991, Nursing outcome


Classifications, Philadelphia, USA

Wilkinson, Judith, 2007, Buku Saku Diagnosis Keperawatan dengan Intervensi


NIC dan Kriteria Hasil NOC, EGC, Jakarta.
K. Rencana Keperawatan
No Diagnosis NOC NIC
.1 Nyeri akut (nyeri kepala, 1. Tingkat kenyamanan Pain Management :
pusing) berhubungan dengan 2. Kontrol nyeri 1. Kaji secara komprehensif tentang nyeri meliputi lokasi,
agen injuri fisik, biologis, 3. Nyeri : efek yang merusak karakteristik serta onset, durasi, frekuensi, kualitas, intensitas /
psikologis 4. Tingkat nyeri beratnya, nyeri dan faktor-faktor presipitasi.
2. Observasi isyarat-isyarat non verbal dan ketidaknyamanan,
khususnya dalam ketidakmampuan untuk komunikasi secara
efektif.
3. Gunakan komunikasi terapeutik agar pasien dapat
mengekspresikan nyeri
4. Kaji latarbelakang budaya pasien
5. Kaji pengalaman individu terhadap nyeri, keluarga dengan nyeri
kronis
6. Evaluasi tentang keefektifan dan tindakan mengontrol nyeri yang
telah digunakan
7. Berikan dukungan terhadap pasien dan keluarga
8. Kontrol faktor-faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi
respon pasien terhadap ketidaknyamanan
9. Beri informasi tentang nyeri seperti penyebab, berapa lama
terjadi dan tindkaan pencegahan
10. Anjutkan pasien untuk memonitor sendiri nyerinya
11. Anjurkan penggunaan tekhnik non farmakologis (relaksasi,
guided imagery, terapi musik, distraksi, aplikasi panas-dingin,
massase, TENS, hipnotis, terapi bermain, terapi aktivitas,
akupresure)
12. Berikan analgetik sesuai anjuran
13. Evaluasi ketidakefektifan dari tindakan mengontrol nyeri
14. Modifikasi tindakan nyeri berdasarkan respon pasien
15. Tingkatkan tidur / istirahat yang cukup
16. Anjurkan pasien untuk berdiskusi tentang pengalaman nyeri
secara tepat
17. Anjurkan pasien untuk berdiskusi tentang pengalaman nyeri
secara tepat
18. Beritahu dokter jika tindakan tidak berhasil atau terjadi keluhan
19. Informasikan kepada tim kesehatan lainnya / anggota kleuarga
saat tindakan non farmakologi dilakukan, untuk pendekatan
prefentif
20. Monitor kenyamanan pasien terhadap manajemen nyeri
21. Monitor perubahan nyeri dan bantu pasien mengidentifikasi
faktor presipitasi nyeri baik aktual dan potensial
22. Lakukan pengkajian terhadap pasien dengan nyaman dan lakukan
monitoring dari rencana yang dibuat
23. Turunkan dan hilangkan faktor yang dapat meningkatkan
pengalaman nyeri (rasa takut, kelelahan dan kurang pengetahuan)
24. Pertimbangan pasien untuk berpartisipasi, dukungan dari
keluarga dekat dan kontraindikasi ketika strategi penurunan nyeri
telah dipilih
25. Lakukan tekhnik variasi untuk mengontrol nyeri (farmakologi,
non frmakologi dan interpersonal)
26. Libatkan keluarga untuk mengurangi nyeri
Analgetik administration :
1. Tentukan lokasi, karakteristik, kualitas dan derajat nyeri sebelum
pemberian obat.
2. Cek instruksi dokter tentang pemberian obat, dosisi dan frekuensi
3. Cek riwayat alergi
4. Pilih analgesik yang diperlukan atau kombinasi dari analgesik
ketika pemberian lebih dari satu
5. Tentukan pilihan analgetik tergantung tipe dan beratnya nyeri
6. tentukan analgetik pilihan, rute pemberian dan dosis optimal
7. Pilih rute pemberian secra IV, IM untuk pengobatan nyeri secara
teratur
8. Monitor vital sign sebelum dan sesudah pemberian analgesik
pertama kali
9. Berikan analgesik tepat waktu terutama saat nyeri hebat
Evaluasi efektifitas analgesik, tanda dan gejala (efek samping)
2 Ketidakseimbangan nutrisi 1. Nutritional Status Manajemen Nutrisi:
kurang dari kebutuhan tubuh 2. Nutritional Status : food and 1. Catat jika klien memiliki alergi makanan
berhubungan dengan faktor Fluid Intake 2. Tentukan jumlah kalori dan tipe nutrien yang dibutuhkan
biologis, fisiologis 3. Nutritional Status : nutrient 3. Dorong asupan kalori sesuai tipe tubuh dan gaya hidup
Intake 4. Dorong asupan zat besi
4. Weight control 5. Berikan gula tambahan k/p
6. Berikan makanan tinggi kalori, protein dan minuman yang
mudah dikonsumsi
7. Ajarkan keluarga cara membuat catatan makanan
8. Monitor asupan nutrisi dan kalori
9. Timbang berat badan secara teratur
10. Berikan informasi tentang kebutuhan nutrisi dan bagaimana
memenuhinya
11. Ajarkan teknik penyiapan dan penyimpanan makanan
12. Tentukan kemampuan klien untuk memenuhi kebutuhan
nutrisinya
Monitor nutrisi
1. BB klien dalam interval spesifik
2. Monitor adanya penurunan BB
3. Monitor tipe dan jumlah nutrisi untuk aktivitas biasa
4. Monitor respon emosi klien saat berada dalam situasi yang
mengharuskan makan.
5. Monitor interaksi anak dengan orang tua selama makan.
6. Monitor lingkungan selama makan.
7. Jadwalkan pengobatan dan tindakan, tidak selama jam makan.
8. Monitor kulit kering dan perubahan pigmentasi
9. Monitor turgor kulit
10. Monitor kekeringan, rambut kusam dan mudah patah.
11. Monitor adanya bengkak pada alat pengunyah, peningkatan
perdarahan, dll.
12. Monitor mual dan muntah
13. Monitor kadar albumin, total protein, Hb, kadar Ht.
14. Monitor kadar limfosit dan elektrolit.
15. Monitor makanan kesukaan.
16. Monitor pertumbuhan dan perkembangan.
17. Monitor kadar energi, kelelahan, kelemahan.
18. Monitor pucat, kemerahan, dan kekeringan pada jaringan
konjungtiva.
19. Monitor kalori dan intake nutrisi.
20. Catat adanya edema, hiperemia, hipertropik papila lidah dan
cavitas oral.
Catat jika lidah berwarna merah keunguan.
3. Pola Nafas tidak efektif 1. Respiratory status : Respirasory monitoring
berhubungan dengan disfungsi ventilation 1. Monitor frekuensi, ritme dan kedalaman pernafasan
neuromuskuler 2. Respiratory status : airway 2. Catat pergerakan dada, kesimetrisan, penggunaan otot nafas
potency tambahan dan retraksi otot intracostal
3. Aspiration control 3. Monitor pernafasan hidung
4. Palpasi ekspansi paru
5. Auskultasi bunyi nafas
Airway management
1. Posisikan pasien untuk memaksimalkan ventilasi
2. Auskultasi suara nafas, catat adanya suara tambahan
3. Berikan bronkodilator bila perlu
4. Berikan pelembab udara kasa basah NaCl lembab
5. Atur intake untuk cairan mengoptimalkan keseimbangan
6. Monitor respirasi dan status O2
Oxygen therapi
1. Bersihkan mulut, hidung sampai trakea bila perlu
2. Pertahankan jalan nafas yang paten
3. Atur peralatan oksigenasi
4. Monitor aliran oksigen
5. Pertahankan posisi pasien
6. Observasi adanya tanda-tanda hipoventilasi
7. Monitor adanya kecemasan pasien terhadap oksigenasi
Vital sign monitoring
1. Monitor TD, nadi, suhu dan RR
2. Monitor VS saat pasien berbaring, duduk atau berdiri
3. Monitor frekuensi dan irama pernafasan
4. Monitor suara paru
5. Monitor pola pernafasan abnormal
6. Monitor suhu, warna dan kelembaban kulit
7. Monitor sianosis perifer
Identifikasi penyebab dari perubahan vital sign
4. Perfusi jaringan tidak efektif 1. Circulation status Peripheral Sensation Management (Manajemen sensasi perifer)
berhubungan dengan 2. Tissue Prefusion : cerebral 1. Monitor adanya daerah tertentu yang hanya peka terhadap
menurunnya curah jantung, panas/dingin/tajam/tumpul
hipoksemia jaringan, asidosis 2. Monitor adanya paretese
dan kemungkinan thrombus atau 3. Instruksikan keluarga untuk mengobservasi kulit jika ada lsi atau
emboli laserasi
4. Gunakan sarun tangan untuk proteksi
5. Batasi gerakan pada kepala, leher dan punggung
6. Monitor kemampuan BAB
7. Kolaborasi pemberian analgetik
8. Monitor adanya tromboplebitis
9. Diskusikan menganai penyebab perubahan sensasi
Vital sign Monitoring
1. Monitor TD, nadi, suhu, dan RR
2. Catat adanya fluktuasi tekanan darah
3. Monitor VS saat pasien berbaring, duduk, atau berdiri
4. Auskultasi TD pada kedua lengan dan bandingkan
5. Monitor TD, nadi, RR, sebelum, selama, dan setelah aktivitas
6. Monitor kualitas dari nadi
7. Monitor frekuensi dan irama pernapasan
8. Monitor suara paru
9. Monitor pola pernapasan abnormal
10. Monitor suhu, warna, dan kelembaban kulit
11. Monitor sianosis perifer
12. Monitor adanya cushing triad (tekanan nadi yang melebar,
bradikardi, peningkatan sistolik)
Identifikasi penyebab dari perubahan vital sign

You might also like