Professional Documents
Culture Documents
TANGERANG
Disusun oleh:
Rindi Utami
NPM: 08320006807
Mahasiswa Program Diploma III Keuangan
Sekolah Tinggi Akuntansi Negara
Spesialisasi Administrasi Perpajakan
Untuk Memenuhi Tugas Akhir Mata Kuliah Pajak Internasional
Agustus 2010
i
KATA PENGANTAR
Tiada ucapan lain yang dapat penulis ucapkan selain alhamdulillah atas segala rahmat yang
telah diberikan Allah sehingga dengan segala kekurangan penulis dapat menyelesaikan pe-
nulisan makalah “Analisis Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) Indonesia de-
ngan Norwegia” ini.
rekan-rekan di Sekolah Tinggi Akuntansi Negara yang juga telah membantu penulis sela-
ma penulisan karya tulis ini.
Penulis menyadari bahwa penulisan karya tulis ini masih jauh dari sempurna. Namun, pe-
nulis masih berharap bahwa penulisan makalah ini akan memberikan manfaat bagi pem-
baca. Dengan segala kekurangan, penulis akan menerima segala kritik dan saran yang dibe-
rikan kepada penulis dengan senang hati.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL.................................................................................................i
KATA PENGANTAR...............................................................................................ii
DAFTAR ISI..............................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN..........................................................................................1
A. Latar Belakang.....................................................................................................1
B. Tujuan..................................................................................................................2
C. Manfaat................................................................................................................2
A. Analisis Model.....................................................................................................9
1. Pasal-pasal yang mengikuti model United Nation...............................................11
2. Pasal-pasal yang mengikuti model OECD...........................................................18
3. Pasal-pasal yang diatur tersendiri tanpa mengikuti model UN atau OECD........19
B. Analisis Isi...........................................................................................................21
C. Implikasi Penerapan P3B Indonesia-Norwegia...................................................28
BAB IV PENUTUP...................................................................................................29
A. Kesimpulan..........................................................................................................29
B. Saran....................................................................................................................30
iii
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................31
LAMPIRAN
iv
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam perkembangan era globalisasi seperti yang terjadi beberapa dasawarsa terakhir
ini, kemampuan masyarakat dalam mencari penghasilan bagi kelayakan hidup mereka
terus berkembang. Batasan negara bukanlah masalah lagi bagi setiap orang untuk men-
dapatkan penghasilan. Seseorang yang tinggal di Indonesia bisa saja mendapatkan
penghasilannya dari luar negeri, bahkan tanpa dia bekerja di luar negeri, misalkan saja
penghasilan dari dividen atas investasi yang dia tanam di perusahaan luar negeri.
Sehubungan dengan kewajiban perpajakan setiap warga negara yang sudah memenuhi
syarat untuk dikenakan pajak, adanya sumber penghasilan seperti ini akan mempenga-
ruhi kewajiban perpajakannya. Penghasilan tersebut tidak hanya akan dipajaki oleh ne-
garanya sendiri, tetapi negara sumber tempat penghasilan tersebut berasal pastinya juga
ingin mengenakan pajak atas penghasilan warga asing tersebut. Dengan begitu, kasus
pemajakan berganda akan muncul dalam kewajibannya dan ini tentunya akan membe-
ratkan si wajib pajak bersangkutan. Oleh karena itu, untuk membantu agar wajib pajak
tidak dikenakan pemajakan berganda atas penghasilannya, maka dibuatlah sebuah per-
setujuan antara Indonesia dengan negara-negara lain. Persetujuan ini akan mengatur se-
demikian rupa agar wajib pajak tidak dipajaki dua kali atas penghasilannya yang sama,
yakni di Indonesia dan negara lain tersebut.
Sampai saat ini, Indonesia telah membuat 58 buah persetujuan penghindaran pajak ber-
ganda dengan negara-negara di dunia. Dalam membuat persetujuan itu, organisasi du-
nia telah membuat sebuah model persetujuan yang nantinya akan menjadi landasan ne-
gara-negara dalam membuat sebuah persetujuan. Sampai saat ini sudah ada 2 model
umum yang diakui oelh internasional, yakni model OECD dan model UN.
2
Dalam sebuah perjanjian, pasti ada implikasi-implikasi yang akan diterima oleh
Indonesia berkaitan dengan aturan yang disetujui oleh Indonesia dengan negara lain
bersangkutan. Untuk mengetahui implikasi tersebut dan memahami lebih jauh
persetujuan penghindaran perpajakan berganda Indonesia dengan negara lainnya, maka
penulis membuat makalah ini sebagai analisis atas P3B Indonesia. Pada kesempatan
penulisan ini, penulis berkesempatan untuk membahas P3B antara Indonesia dengan
negara Norwegia.
B. Tujuan
Tujuan yang ingin dicapai penulis dengan penulisan makalah ini adalah
1. Menganalisis model yang digunakan dalam P3B Indonesia dengan Norwegia;
2. Menganalisis isi dan kesesuaian P3B Indonesia dengan Norwegia.
C. Manfaat
Dengan penulisan makalah ini, manfaat yang diharapkan penulis adalah
1. Pembaca memahami—walaupun sekilas—mengenai model P3B antara Indonesia
dengan Norwegia;
2. Pembaca memahami isi P3B antara Indonesia dengan Norwegia.
BAB II DASAR TEORI
Pemajakan internasional tidak terlepas dari adanya suatu perjanjian antar negara guna
menghindari pemajakan berganda yang dapat menghambat laju investasi dan perekono-
mian negara tersebut. Perjanjian internasional adalah suatu perbuatan hukum yang
mengikat negara pada bidang-bidang tertentu, termasuk perpajakan. Oleh karena itu,
perjanjian internaisonal harus dibuat dengan dasar-dasar yang jelas dan kuat dengan
menggunakan instrumen peraturan perundang-undangan yang jelas.
Persetujuan penghindaran pajak berganda (P3B) adalah perjanjian pajak berganda an-
tara dua negara bilateral yang mengatur mengenai pembagian hak pemajakan atas
penghasilan yang diperoleh atau diterima oleh penduduk dari salah satu atau kedua ne-
gara pihak pada persetujuan (both contracting states).
2. Tujuan
1. Model OECD
5
Model OECD merupakan model P3B untuk negara-neara maju. Model ini menge-
depankan pada asas domisili neara yang memberikan jasa atau menanamkan modal
dimana hak pemajakannya berada di negara domisili.
2. Model UN
Model UN merupakan model P3B untuk negara-negara berkembang. Model ini
mengedepankan asas sumber penghasilan karena mereka umumnya yang menggu-
nakan jasa dan yang menerima modal dari luar negeri, sehingga model ini lebih
me- nerapkan pemajakan yang berasak dari negara yang memberi penghasilan.
3. Model Indonesia
Model ini mengkombinasikan kedua jenis model UN dan OECD dan yang cocok
digunakan di Indonesia dengan melihat hal-hal yang terkait dengan ketentuan UU
PPh dan program pembangunan di Indonesia.
C. Metode dan Terminologi dalam Tax Treaty
1. Metode-Metode dalam Tax Treaty
Metode yang digunakan dalam suatu tax treaty untuk menghindari adanya pemajakan
berganda adalah menggolongkan sutau penghasilan berdasarkan suatu penggolongan
tertentu dan menentukan hak pemajakan suatu negara atas jenis-jenis penghaislan yang
dihasilkan dari penggolongan penghasilan tersebut. Penentuan jenis penghasilan ini sa-
ngat penting karena akan menentukan negara mana yang berhak untuk memajaki atas
penghasilan tersebut. Pasal-pasal yang mengatur tentang hak pemajakan suatu negara
atas jenis-jenis penghaislan tersebut disebut sebagai distributive rules atau assignment
rules.
a) Active income
Active income merupakan penghasilan yang berasal dari kegiatan usaha dan peker-
jaan.
b) Passive income
Passive income merupakan penghasilan yang berasa dari investasi dalam bentuk
tangible maupun intangible properties , termausk dalam bentuk financial invest-
ment.
6
c) Other income
Other income merupakan penghasilan yang tidak dapat digolongkan terhadap ke-
dua golongan penghasilan diatas.
Adapun pembagian hak pemajakan suatu negara berdasarkan distributive rules yang
diatur dalam tax treaty pada dasarnya sebagai berikut.
a) Pembebasan (exemption)
Metode pembebasan ini terdiri atas
1) Pembebasan subjek pajak
Metode ini membebaskan perpajakan untuk penduduk atau badan asing yang
berada di Indonesia.
2) Pembebasan objek pajak
Metode ini menghitung kembali penghasilan dari luar negeri termasuk keugian
atau perpajaknnya di negara domisili. Dengan demikian penghasilan dari luar
negeri dianggap terpisah dan tidak perlu dikenakan pajak lagi.
3) Pembebasan pajak
b) Kredit (tax credit)
Pada dasarnya metode ini menghitung kembali jumlah penghasilan dari luar negeri
dan jumlah pajak terutang keselurhan di negara domisili. Pajak yang telah dibayar
di luar negeri dapat mengurangkan pajak terutang di negara domisili. Metode kredit
dibagi dalam 3 macam,
1) Kredit penuh
Metode ini memberikan fasilitas kepada wajib pajak domisili untuk meng-
kreditkan seluruh pajak yang dibayar di luar negeri sehingga jika tarif pajak
di luar negeri lebih besar dibandingkan dengan tarif pajak di dalam negeri,
dipastikan akan terjadi restitusi pajak.
2) Kredit terbatas
7
Metode ini membatasi pajak yang dibayar di luar neeri dapat dikreditkan
atau dapat dijadikan sebagai pengurang PPh terutang dalam negeri sebatas
pajak yang dibayarkan di dalam negeri atau paling tinggi adalah sebesar ta-
rif pajak yang ada di dalam negeri.
3) Kredit fiktif
Metode ini dengan memberikan pembebasan pajak untuk mendorong inves-
tor ke dalam negeri. Namun, untuk menghindari pemajakan di negara inves-
tor, maka dibuatlah kredit fiktif aar negara domisili mengenakan pajak sete-
lah dikurangi kredit fiktif ini sehingga pemajakannya bebas untuk di negara
lainnya dan negara domisili.
c) Metode lainnya
Metode lainnya yang dapat digunakan—dalam buku International Juridicial Dou-
ble Taxation on Income—adalah sebagai berikut.
a. Pembagian pajak (tax sharing)
b. Pembagian hak pemajakan (division of tax power)
c. Pengurangan tarif (reduction of the rate)
d. Pengurangan pajak (reduction of the tax)
e. Pemajakan dengan jumlah tetap (lumpsum of forfait taxation)
2. Terminologi Shall be Taxable Only in …
Dalam model tax treaty yang dikembangkna oleh OECD, terminologi yang diperguna-
kan untuk menyatakan bahwa hak pemajakan atas suatu penghasilan hanya diberikan
kepada satu negara yang biasanya diberikan kepada negara dimana subjek pajak terse-
but terdaftar sebagai subjek pajak dalam negeri adalah shall be taxable only in … De-
ngan demikian, jika hak pemajakan tersebut hanya diberikan kepada suatu negara maka
negara lainnya tidak boleh untuk mengenakan pajak. jadi, isu pemajakan berganda atas
suatu penghasilan yang diatur melalui penggunaan terminologi ini seharusnya tidak
akan terjadi karena hak pemajakan diberikan sepenuhnya kepada negara domisili dan
negara sumber dilarang untuk mengenakan pajak.
Di sisi lain, terminologi yang dipergunakan untuk menyatakan bahwa hak pemajakan
atas suatu penghasilan dibagi antara negara domisili dan negara sumber adalah may be
8
taxed in … Makna terminologi tersebut adalah negara sumber dapat mengenakan pajak.
Apabila masing-masing negara mengenakan pajak, maka terdapat isu pemajakan ber-
ganda. Untuk menghindari adanya pemajakan berganda, maka negara domisili diwa-
jibkan untuk memberikan keringanan pajak berganda melalui mekanisme tax credit
method atau tax exemption method.
Dalam hal ketika negara sumber penghasilan dapat mengenakan pajak (may be taxed in
…) maka hak pemajakan atas penghasilan yang bersumber di negara tersebut dapat di-
berikan dengan
Artinya negara sumber dapat mengenakan pajak atas jenis penghasilan tersebut di
bawah ini dengan pembatasan yang diatur dalam tax treaty, misalnya berdasarkan
ketentuan domestik Indonesia, pembayaran dividen kepada wajib pajak luar negeri
dikenakan tarif 20%, maka ketika pembayaran dividen tersebut ditujukan kepada
WPLN yang mempunyai tax treaty dengan Indonesia maka tarifnya dibatasi mak-
simal sebesar 10%. Adapun jenis penghasilan tersebut adalah dividen dan bunga.
9
A. Analisis Model
Persetujuan penghindaran pajak berganda antara Indonesia dengan Norwegia terdiri atas
29 (dua puluh sembilan) pasal sebagai berikut.
10 Dividen Dividens
11 Bunga Interest
12 Royalti Royalties
20 Pelajar Student
23 Modal Capital
30 Akhir Termination
protokol Protocol
Dari 30 pasal yang tercakup dalam tax treaty Indonesia-Norwegia digunakan model Indo-
nesia (indonesian model) yakni bercampur antara model United Nation dengan model
OECD. Menurut Rachmanto Surachmat, Indonesia menggunakan model Indonesia yang
dijadikan pijakan dalam perundingan P3B. Pengunaan kedua model ini mugkin juga ka-
11
rena Indonesia merupakan anggota PBB dan selain itu Indonesia juga berstatus sebagai
negara dengan peningkatan keterlibatan dalam OECD.
11
Berikut ini disajikan pasal-pasal dimaksud berdasarkan model P3B yang digunakannya.
Pasal-pasal yang tidak disebutkan dibawah ini berarti model bunyi pasalnya antara OECD
dan UN model adalah sama—tidak ada perbedaan. Selain mengenai model, di bawah ini
dijelaskan pula mengenai analisis isi treaty Indonesia-Norwegia serta implikasinya bagi
Indonesia.
Dalam pasal 5 ayat 3 tersebut, salah satu hal yang menunjukkan bahwa pasal
tersebut mengikuti model UN adalah berkenaan dengan time test yang diberikan
kepada suatu bentuk usaha untuk bisa dikatakan mempunyai Bentuk Usaha Tetap
dalam pasal tersebut. Dalam pasal tersebut diberikan time test more than six month
dan three months yang jelas lebih singkat dan jelas dibandingkan dengan OECD
yang memberikan time test nya lebih lama, yakni pada kata if it last more than
twelve months (pasal 5 ayat 3 OECD Model). Jika kita melihat pada UU PPh
Indonesia, ketentuan mengenai jangka waktu ini diatur dalam pasal 2 ayat 5
berkenaan dengan Bentuk Usaha Tetap dengan time test 183 hari dalam jangka
waktu 12 bulan.
Pasal 5 ayat 5 mengatur mengenai orang atau badan yang akan dianggap sebagai
Bentuk Usaha tetap karena bertindak untuk dan atas nama perusahaan di negara
lainnya. Pasal ini mengikuti model UN karena memberikan dua alternatif syarat
seperti yang dicontohkan oleh model UN, yakni :
12
(a) Has and habitually exercises in that state an authority to conclude contracts in
the name of the enterprise, unless the activities of such person are limited to
those mentioned in paragraph 4 which, if exercised through a fixeb place of
bussiness, would not make this fixed palce of bussiness a permanent
establishment under the provisions of that paragraph; or
(b) Has no such authority, but habitually maintains in the first-mentioned state a
stock of goods or merchandise from which he regularly delivers goods or
merchandise on behalf of the enterprise.
Sementara untuk model OECD, sayarat yang diberikan hanya satu, yakni seperti
yang disebutkan dalam huruf (a) di atas.
Pasal 5 ayat 6 mengatur mengenai perusahaan asuransi. Berikut ini bunyi pasalnya.
“an insurance enterprise of a contracting state shall, except with regard to re-
insurance, be deemed to have permanent establishment in the other contracting
state if it collect premium in that other state or insurers risks situated therein
through an employee or through a representative who is not an agent of an
independent status within meaning of paragraph 7”
Pasal tersebut menegaskan bahwa perusahaan asuransi—dalam hal ini kita me-
lihat dari perspektif Indonesia—di Indonesia akan dianggap memiliki bentuk usaha
tetap di Norwegia apabila perusahaan asuransi tersebut memungut premi atau
menanggung risiko yang terjadi di Norwegia melalu seorang pegawai atau
perwakilan dan bukan merupakan agen.
Dalam hal ini, pasal ini mengikuti model UN karena dalam model yang ada, ha-
nya model UN lah yang mengatur mengenai perusahaan asuransi (dapat dilihat
pada pasal 5 ayat 6 dalam model UN). Dalam UU PPh Indonesia, hal ini juga sudah
diatur dalam pasal 2 ayat 5 huruf (o). Namun, beradasarkan UU PPh Indonesia,
agen termasuk ke dalamnya—berbeda dengan treaty di atas. Namun, dalam hal
hubungannya dengan Norwegia, maka yang digunakan adalah treaty tersebut.
b. Pasal 6 ayat 4
13
“the provisions of paraghraph 1 and 3 shall also apply to the income from im-
movable property of an enterprise and to income from immovable property used
for the performance of profesional services.”
Dalam model OECD, statement yang digarisbawahi pada pasal tersebut tidak ada.
Artinya, OECD tidak mengatur tentang penghasilan dari harta tak gerak yang
digunakan dalam menjalankan jasa profesional. Dengan begitu, pasal ini mengikuti
model UN yang juga mengatur demikian dalam pasalnya, sehingga apabila ada
penghasilan yang diterima atas harta tak gerak di Norwegia, walaupun harta itu
milik warga negara Indonesia, maka bisa dikenakan pajak di Norwegia pula. Untuk
pemajakanya akan disepakati oleh kedua negara, Indonesia dan Norwegia.
Hal ini mungkin sejalan dengan pemikiran bahwa arus transaksi nasional begitu
besar dan batas-batas negara bukan lagi merupakan batas untuk memiliki keka-
yaan hanya di salah satu negara. Selain itu, bekenaan juga dengan adanya azas
domisili dan sumber pula yang terkadang menjadi kendala dan menimbulkan pajak
berganda yang harus diterima oleh wajib pajak.
Dengan begitu, model UN disini dirasa lebih baik diterapkan demi aspek pema-
jakan kedua negara dan aspek penghindaran pemajakan berganda.
“…if the enterprise carries on bussiness as foresaid, the profits on the enterprise
may be taxed in the other state but only so much of them as is attributable to:
(b) Sales in that other state of goods or merchandise of the same or similar kind as
those sold through that permanent establishment; or
14
(c) Other bussiness activities carried on in the other state of the same or similar
kind as those effected through that permanent establishment.
Berdasarkan bunyi pasalnya dan format pasalnya, maka pasal ini mengikuti model
UN yang juga mengatur hal demikian dalam pasal-pasalnya (pasal 7 ayat 1 UN
model).
d. Pasal 8
Pasal 8 mengatur pemajakan atas laba dari pengoperasian kapa dan pesawat udara
dalam lalulintas internasional. Pasal ini menggunakan contoh pasal UN Model
15
alternatif A (pasal dapat dilihat pada treaty Indonesia-Norwegia dalam lampiran ini
makalah ini).
e. Pasal 10 ayat 2
However, such dividens may also be taxed in the contracting state of which the
company paying the dividens is a resident and according to the laws of the state,
but if the recipient is the beneficial owner of the dividens the tax so charged shall
not exceed 15 percent of the gross amount of the dividens.
Dengan memperhatikan pada persentase pajak yang dikenakan atas dividen yang
dikenakan terhadap dividen yang diterima beneficial owner tersebut, dapat
disimpulkan bahwa pasal ini menganut model UN dan pastinya persentase tersebut
adalah menurut persetujuan atas kedua belah pihak (negara). Dalam model OECD,
persentase yang diberikan adalah sebesar 5 persen, sementara di UN adalah sesuai
dengan kesepakatan dua negara.
Pasal 11 ayat 2 berbunyi however, such interest may also be taxed in the
contracting state in which it arises,and according to the laws of that state, but if
the recipient is the beneficial owner of the interest, the tax so charged shall not
exceed 10 per cent of the gross amount.
Pasal 11 ini megatur mengenai bunga yang timbul. Dalam pasal 11 ayat 2 dije-
laskan bahawa apabila penerima dan pemilik bunga adalah pemberi pinjaman yang
menikmati bunga itu (beneficial owner), maka pajak yang dikenakan tidak lebih
dari 10 persen dari jumlah bruto.
persentase tersebut tergantung atas persetujuan antara kedua negara (mela- lui
negosiasi) sedangkan pada model OECD, persentase sebesar 10 persen telah
ditetapkan di dalam model OECD—tanpa adanya statement yang menyatakan
dapat disesuaikan sesuai persetujuan kedua negara yang bernegosiasi. Namun,
penulis menganggap model ini tetap merupakan model UN karena sehubungan
dengan mayoritas pasal yang ada dalam perjanjian ini adalah model United Nation.
Pasal 11 ayat 5 (bisa dilihat pada lampiran makalah ini) secara format sama dengan
yang dicontohkan oleh model UN, berikut tambahan yang ada dalam bunyi
pasalnya karena adanya perbedaa pengertian juga pada jenis Bentuk usaha tetap—
dalam model UN, ada tambahan untuk jasa profesional.
Kata yang digarisbawahi merupakan kata yang menunjukkan bahwa pasal tersebut
mengikuti aturan atau mengikuti model UN. Secara substansial, mungkin model
pasal ini hampir sama dengan pada model OECD yang berbunyi royal- ties arising
ina contracting state and beneficially owned by a resident of the other contracting
state shall be taxable only in that other state. Namun, ternya- ta hal ini berbeda
karena juga meimbulkan dampak pemajakan yang berbeda—hal ini terkait dengan
terminologi may be taxed in dan shall be taxable only in. Dampak tersebut
disebabkan oleh penggunaan kata yang digarisbawahi di atas` walaupun sebenarnya
—menurut penulis—hakikatnya adalah sama saja, yakni royalti tersebut diterima
oleh penduduk negara pihak lainnya, dalam hal ini adalah Norwegia.
Hal ini berkaitan dengan terminologi—kalau boleh penulis pinjam istilah termi-
nologi—kata paid to dan beneficially owned. istilah beneficially owned, berda-
sarkan OECD, tidak boleh diartikan secara sempit, tetapi harus diartikan sesuai
dengan konteks tujuan dari tax treaty yang ada. Menurut International Tax Glo-
ssary, beneficial owner adalah orang yang memang berhak menikmati suatu ak-
tiva. Jadi apabila seseorang atau badan secara hukum pemilik suatu aktiva, be- lum
tentu yang bersangkutan adalah beneficial owner dari aktiva tersebut. Jadi dapat
17
Untuk istilah paid to, artinya royalti tersebut diberikan kepada warga negara pi- hak
lainnya dalam persetujuan ini. Resident itu sendiri belum tentu merupakan
beneficial owner dari merek yang menimbulkan royalti tersebut.
Jadi, dalam hal ini, apabila orang indonesia membayarkan royalti kepada warga
negara Norwegia, maka Norwegia dapat mengenakan pajak terhadap royalti
tersebut.
However, such royalties may also be taxed in the contracting state in which they
arise, and according to the laws of that state, but if the recipient is the beneficial
owner of the royalties the tax so charge shall not exceed;
(a) 15 per cent of the gross amount of royalties as defined in paragraph 3(a) ; and
(b) 10 per cent of the gross amount of royalties as defined in paragraph 3 (b)
Ternyata UN juga mengatur jika royalti tersebut diterima oleh beneficial owner
nya dan model UN memberikan batasan pajak yang dikenakan yang ditentukan
oleh kesepakatan dua negara yang berkesepakatan, dalam hal ini Indonesia dan
Norwegia membatas pajaknya tidak sampai 15% atau 10%. Jadi dalam hal
misalkan orang di Indonesia membayarkan royalti kepada orang di Norwegia yang
merupakan beneficial owner , maka Indonesia bisa mengenakan pajak atas royalti
tersebut , tetapi tidak lebih dari 15% atau 10%. Dengan begitu asas sumber berlaku
pula dan Indonesia tidak dirugikan mengingat banyak juga wajib pajak di Indonesia
yang memanfaatkan merk atau hak paten lain dari luar negeri—dalam hal ini
berarti Norwegia—dan membayarkan royaltinya ke luar negeri sana. Prinsip
pembagian hak pemajakan pun tercapai.
18
h. Pasal 13 ayat 4
Pasal 13 ayat 4 berbunyi gains from the alienation of shares in a company which is
a resident of a contracting state may be taxed in that state, but only if the shares
alienated form part of an interest of at least 30 per cent in the company.
Pengaturan pemajakan atas capital gain dari pengalihan saham ini hanya
dicontohkan oleh model UN, sehingga dapat disimpulkan bahwa pasal ini
mengikuti model UN—dalam pasal 13 ayat 5 UN model.
i. Pasal 14
Walaupun secara keseluruhan tax treaty Indonesia dengan Norwegia ini mengikuti mo-
del United Nation, tetapi ada beberapa pasal dalam treaty yang mengikuti juga OECD
model. Ini sangat sesuai dengan model Indonesia atau Indonesian Model yang meng-
ambil pasal-pasal dalam UN maupun OECD dan dipilih yang sesuai dengan hasil yang
diharapkan dan tetap selaras dengan tujuan awal tax treaty, yakni menghindari pema-
jakan berganda. Ingat, tax treaty tidak menghasilkan pajak yang baru. Pasal-pasal yang
mengikuti model OECD adalah sebagai berikut.
a. Pasal 7 ayat 5
Pengaturan semacam ini dicontohkan dalam model OECD (pasal 7 ayat 5 model
OECD), sehingga dapat disimpulkan adal model OECD dalam pasal 7 ini, yakni
pada pasal 7 ayat 5.
b. Pasal 16
c. Pasal 23
Pasal 23 ini ditinjau dari format pasalnya dan bunyi pasalnya mengikuti model
OECD model. Bunyi pasalnya sama dengan yang dicontohkan dalam model
tersebut. Selengkapnya bunyi pasal 23 yang mengatur mengenai pemajakan atas
capital ini dapat dilihat dalam lampiran makalah ini.
a. Pasal 8 ayat 3
Pada pasal 8 ayat 3 diatur sendiri oleh pihak pada persetujuan mengenai pihak-
pihak yang memperoleh akan memperoleh perlakuan treaty ini. Berikut bunyi pasal
8 ayat 3
The provisions of paragraph 1 and 2 shall apply to profits derived by the joint
Norwegian, Danish, and Swedish air transport consortium Scandinavian Airlines
System (SAS), but only in so far as profits derived by Det Norske Luftfartsselskap
A/S (DNL), the Norwegian partner of the Scandinavian Airlines System (SAS),are
in proportion to its share in that organization.
b. Pasal 10 ayat 6
lainnya, tetapi tambahan pajak tersebut tidak lebih dari 15 persen. Berikut sebagian
bunyi pasalnya.
…but the additional tax so charged shall not exceed 15 per cent of the amount of
such profits after deducting thereform income tax and other taxes on income
imposed thereon in that other state.
c. Pasal 11 ayat 3
d. Pasal 13 ayat 3
Pasal 13ayat 3 ini mengatur mengenai capital gain yang diterima oleh resident of
contracting state dari pengalihan perahu atau peswat udara yang dioperasikan
dalam lalulintas internasional. Sebagian bunyi pasal 13 ayat 3 adalah sebagai
berikut.
…with respect to gains derived by Norwegian, Danish, and Swedish air transport
consortium Scandinavian Airlines System (SAS), the provision of this paragraph
shall applly only to such proportion of the gains as corresponds to the
participation held in that consortium by Det Norske Luftfartsselkap (DNL) the
Norwegian partner of Scandinavian Airlines System (SAS).
21
e. Pasal 15 ayat 4
Pasal 15 ayat 4 masih berkenaan dengan SAS juga, berikut bunyi pasalnya.
f. Pasal 18
Adapun pengertian alimony sendiri adalah suatu pembayaran wajib kepada mantan
isteri yang harus dibayarkan saat proses perceraian. Bunyi pasal selengkapnya bisa
dilihat dalma lampiran treaty di makalah ini.
g. Pasal 21
B. Analisis Isi
1. Pasal 2
Pasal 2 treaty ini mengatur mengenai pajak-pajak yang dicakup dalam persetujuan
(P3B). Istilah Ordonansi Pajak Perseroan sebenarnya kurang tepat apabila masih
digunakan dalam hubungannya dengan perpajakan di Indonesia. Hal ini karena
Indonesia sudah tidak mengenal lagi istilah pajak perseroan lagi setelah adanya
22
Untuk istilah pajak penghasilan sendiri UU pajak penghasilan Indonesia telah men-
definisikannya dalam pasal 4 ayat 1 UU PPh 1984. Semua yang termasuk disana
merupakan penghasilan yang atasnya akan dikenakan pajak penghasilan.
2. Pasal 4
Pasal 4 mengatur tentang domisili fiskal. Dalam pasal ini diatur mengenai status
kependudukan seseorang. Satu ayat yang penting adalah pada ayat 2 tentang penen-
tuan domisili fiskal bagi orang yang punya kedudukan di dua negara maupun tidak
di keduanya. Penentuan ini sangat penting berkaitan dengan perlakuan perpajakan
yang akan diterima oleh prang bersangkutan apakah akan diperlakukan sebagai
subjek pajak dalam negeri dengan tarif tertentu—tarif pasal 17 untuk Indonesia—
ataukah akan diperlakukan sebagai subjek pajak luar negeri yang umumnya
dikenakan tarif lebih besar.
3. Pasal 5
Model Indonesia lebih mengedepankan azas sumber penghasilan dan guna meng-
hindari pemajakan di negara summber kadang kala aparat ditjen pajak sulit membe-
dakan antara pabrik, kantor, bengkel, dan gudang. Oleh karena itu, sebenarnya un-
sur gudang ini menjadi cukup penting sebagai salah satu unsur BUT.
23
Berkaitan dengan BUT, time test menjadi sesuatu hal yang penting untuk
diperhatikan. Jika kita menlihat time test yang ada dalam treaty ini, maka suatu
bentuk usaha baru bisa dikatakan mempunyai BUT jika sudah mencapai 6 bulan
atau lebih—dalam pasal 5 ayat 3 huruf (b). sementara, di Indonesia sendiri untuk
BUT diberikan time test 183 hari dalam 12 bulan. Hendaknya time test ini bisa
lebih pendek atau paling tidak sama dengan waktu di Indonesia sehingga Indonesia
bisa segera mengenakan pajak atas BUT tersebutdan perlakuan perpajakan atas
penghasilan dari pemberian jasa tersebut bisa sama dengan SPDN Indonesia.
4. Pasal 6
Pasal 6 mengatur tentang penghasilan yang diperoleh dari harta tak gerak. Penulis
menganggap pasal ini merupakan salah satu pasal yang penting dalam tax treaty
Indonesia-Norwegia ini, terutama pada definisi harta tak gerak. Definisi harta tak
gerak disini memang disesuaikan dengan undang-undang yang berlaku di negara
masing-masing pihak dalam treaty, tetapi ada tambahan dalam definisinya bahwa
harta tak gerak tersebut juga termasuk harta atau benda-benda yang menyertainya.
Dengan begitu jelas bahwa harta tak gerak terseut merupakan satu paket dan tidak
terpisahkan dengan benda yang ada di dalamnya atau menyertainya tersebut.
5. Pasal 7
Pasal 7 ini merupakan penting bagi Indonesia karena merupakan upaya pembagian
pajak berhubungan dengan penghasilan yang diterima oleh suatu perusahaan.
24
Dengan adanya aturan ini, maka Indonesia bisa mnegenakan pajak atas laba usaha
tersebut sepanjang atribusi yang diberikan dan diatur dalam pasal 7 ayat 1 treaty
ini.
6. Pasal 8
Pasal 8 ini mungkin agak merugikan bagi Indonesia karena juga terdapat fasilitas
bagi aircraft negara Swedia dan Denmark yang joint dengan Norwegia. Selain itu,
juga tidak ada pembagian hak pemajakan sebagaimana yang dicontohkan oleh
pasal 8 alternatif B UN model.
7. Pasal 9
8. Pasal 10
Pasal 10 mengatur tentang dividen. Dalam pasal ini dijelaskan bahwa pembayaran
dividen ke luar negeri hanya boleh dipajaki oleh negara tempat penerima dividen
tersebut. Namun, pajak atas dividen juga dapat dikenakan di negara tempat dividen
tersebut timbul dan sesuai dengan perundang-undangan negara tersebut—dalam hal
ini Indonesia—tetapi hanya jika penerima dividen tersebut adalah beneficial owner
atas dividen tersebut dengan pajak yang dikenakan tidak lebih dari 15%.
Salah satu hal yang penting diperhatikan dalam ayat ini adalah tentang ketentuan
beneficial owner. agar makna beneficial owner dalam P3B ini tidak
disalahgunakan, maka Direktorat Jenderal Pajak memberikan peraturan penegas
melalui SE-03/PJ.03/2008 tentang Penentuan Status Beneficial Owner dan PER-
25
Beneficial Owner adalah pemilik yang sebenarnya dari penghasilan berupa dividen,
bunga, dan/atau royalti yang berhak sepenuhnya untuk menikmati secara langsung
manfaat penghasilan-penghasilan tersebut. Dengan demikian Indonesia dapat me-
ngenakan pajak atas penghasilan dividen, bunga, dan/atau royalti yang bersumber
dari Indonesia.
Tidak termasuk dalam pengertian beneficial owner adalah perusahaan dalam ben-
tuk special purpose company, conduit company, paper box company, atau pass-
trough company.
Agen adalah orang atau badan yang bertindak sebagai perantara dan melakukan tin-
dakan untuk dan/atau atas nama pihak lain.
Nominee adalah orang atau badan yang secara hukum memiliki suatu harta dan.atau
penghasilan untuk kepentingan atau berdasarkan amanat pihak yang sebenarnya
menjadi pemilik harta dan.atau pihak yang sebenarnya menikmati manfaat atas
penghasilan.
Conduit company adalah suat perusahaan yang memperoleh manfaat dari suatu
P3B sehubungan dengan penghasilan yang timbul di negara lain, sementara manfa-
at ekonomis dari penghasilan tersebut dimiliki oleh orang-orang di negara lain yang
tidak akan dapat memperoleh hak pemanfaatan P3B apabila penghasilan tersebut
diterima langsung.
26
Ada baiknya kalau saja dalam persetujuan ini juga dirumuskan mengenai beneficial
owner itu sendiri mengingat tidak adanya penjelas dalam P3B ini—bahkan dalam
setiap P3B.
9. Pasal 12
10. pasal 14
Pasal 14 mengatur tentang penghasilan yang diterima atau diperoleh orang karena
pekerjaan bebas. Dalam ayat pasal ini dijelaskan bahwa penduduk dari suatu con-
tracting state karena pekerjaan bebas atau jasa profesional lainnya hanya akan di-
kenakan pajak di contracting state tersebut. Dalam hal ini orang Indonesia yang
bekerja bebas di Indonesia hanya akan dikenakan pajak di Indonesia. Namun,
penduduk tersebut dapat dikenakan juga di negara lain sehubungan dengan peker-
jaan bebas yang dilakukannya di negara lain tersebut selama dia bekerja dalam
jangka waktu lebih dari 90 hari dalam 12 bulan di negara lain tersebut. Dalam hal
ini, ketentuan tersebut masih belum jelas bagi penulis apakah penduduk Indonesia
itu akan diperlakukan sebagai suatu BUT di Norwegia saat dia memberikan jasa-
nya atau pekerjaan bebas tersebut karena jika kita lihat pada pasal 5 treaty ini,maka
pemberian jasa tersebut akan dikatakan berbentuk BUT jika jangka waktu 90 hari
tersebut terlampaui.
Dalam pasal ini juga telah diberikan kejelasan tentang jenis jasa profesional yang
tercakup dalam pengertian jasa-jasa profesional ,yakni kegiatan-kegiatan di bidang
ilmu pengetahuan, kesusasteraan, kesenian, pendidikan, atau pengajaran yang dila-
kukan secara independen, demikian juga pekerjaan bebas yang dialkukan oleh dok-
ter, ahli teknik, ahli hukum, dokter gigi, arsitek, dan para akuntan. Yang menjadi
pertanyaan kemudian adalah bagaimana dengan jasa lainnya?
27
Pasal 15 dan 16 sebenarnya menegaskan suatu hal yang sama, yakni mengenai
pembagian pemajakan dimana orang yang bekerja pada other contracting state da-
pat dikenakan pajak di negara tersebut. semuanya tergantung dimana ia bekerja dan
darimana ia menerima imbalan tersebut. tata cara pemungutannya diserahkan kepa-
da negara masing-masing.
12. Pasal 20
Pasal 20 tentang pelajar dan peserta latihan. Orang yang semata-mata sebagai pela-
jar atau magang atau pelatihan akan dibebaskan dari pajak. Pasal ini mungkin
memberikan kelonggaran yang lebih banyak lagi untuk kemajuan edukasi di bidang
pengetahuan dan teknologi karena tida adanya batasan pembayaran yang diatur
dalam treaty ini, sehingga berapapun pembayarannya, maka tidak akan ada pajak
yang dikenakan. Untuk mahasiswa Indonesia yang berbeasiswa ke Norwegia hal ini
akan sangat menguntungkan.
13. Pasal 21
Pengaturan tersendiri tentang aktivitas offshore ini memberikan arti penting bagi
Indonesia mengingat bahwa Indonesia merupakan negara yang bisa dibilang aya
dalam hal sumber daya alamnya, sehingga banyak juga investor asing—tak
terkecuali untuk Norwegia—untuk masuk dan beraktivitas di Indoensia. Dengan
adanya aturan ini, maka Indonesia berhak atas hak pemajakan atas profit atau gaji
yang diberikan terhadap karyawan perusahaan yang melakukan aktivitas ini.
14. Pasal 24
15. Pasal 27
28
Pasal 27 ini merupakan pasal yan juga sangat penting karena berkaitand engan
pertukaran informasi. Dengan adanya aturan ini, maka setiap negara dalam
perjanjian berhak atas informasi yang mereka inginkan dari negara lainnya,
sepanjang informasi tersebut bersifat wajar untuk ditukar, seperti informasi untuk
para pelaku transfer pricing. Kesulitan utama Indonesia terkadang adalah berkaitan
dengan informasi-informasi ini.
C. Implikasi
A. Kesimpulan
Persetujuan penghindaran pajak berganda (P3B) adalah perjanjian pajak berganda an-
tara dua negara bilateral yang mengatur mengenai pembagian hak pemajakan atas
penghasilan yang diperoleh atau diterima oleh penduduk dari salah satu atau kedua ne-
gara pihak pada persetujuan (both contracting states). Tujuan utama atas P3B ini ada-
lah untuk menghindarkan aspek pemajakan berganda yang akan diterima oleh pendu-
duk atau wajib pajak kedua negara saat menerima penghasilan, walaupun tidak dapat
dipungkiri bahwa pemajaan berganda itu akan tetap ada dalam praktiknya.
Dalam P3B dikenal 3 model P3B, yakni model OECD, model UN, dan model Indo-
nesia. Model Indonesia ini adalah model yang digunakan Indonesia dalam P3B Indo-
nesia dengan Sigapura ini, tetapi pasal-pasal di dalamnya lebih cenderung (dominan)
terhadap model UN. Indonesia menggunakan model Indonesia karena lebih menge-
depankan azas sumber dalam pemajakan penghasilan yang diterima oleh suatu pen-
duduk. Keikutsertaan Indonesia dalam PBB dan status Indonesia sebagai negara de-
ngan peningkatan keterlibatan dalam OECD juga kemungkinan merupakan penyebab
Indonesia menerapkan 2 model ini dalam suatu P3B.
Pasal 5 ayat (3), (5), dan (6) , pasal 6 ayat (4), pasal 7 ayat (1) dan (3), pasal 8, pasal 10
ayat (2), pasal 11 ayat (2) dan (5), pasal 12 ayat (1) dan (2), pasal 13 ayat (4), dan pasal
14 merupakan pasal-pasal yang menggu- nakan model UN. Pasal 7 ayat (5) , pasal 16,
dan pasal 23 merupakan pasal-pasal yang menggunakan model OECD. Pasal 8 ayat
(3), pasal 10 ayat (6), pasal 11 ayat (3), pasal 13 ayat (3), pasal 15 ayat (4), pasal 18,
dan pasal 21 merupaan pasal yang mengatur khusus. Untuk pasal-pasal lainnya sudah
sama antara model OECD dan UN.
Dalam P3B Indonesia-Norwegia ini ada ketidaksesuaian istilah, yakni istilah pajak
perseroan.
30
Dalam P3B ini, Pembagian hak pemajakan juga diberikan seperti pada pasal yang
mengatur tentang dividen, bunga, dan royalti serta pemajakan atas laba BUT.
Pembatasan atas definisi jasa-jasa profesional telah dilakukan dalam P3B ini dalam pa-
sal yang mengatur tentang independent personal service. Secara keseluruhan, P3B an-
tara Indonesia dan Norwegia ini pengaturannya telah sejalan dengan yang diatur dalam
UU PPh Indonesia. Kalaupun ada perbedaan , itu hanyalah merupakan perbedaan ling-
kup yang lebih sempit dan tarif yang bisa lebih rendah jika dibandingkan dengan di
Indonesia.
Dengan adanya P3B ini, Indonesia dapat memperoleh berbagai keuntungan seperti ada-
nya pembagian hak pemajakan atas penghasilan yang diterima dari negara sumber di
Norwegia, pertukaran informasi, pengembangan SDM sehubungan dengan pemajaakan
terhadap pelajar..
B. Saran
Dari pembahasan ini, penulis memberikan saran agar dalam pembuatan persetujuan
penghindaran pajak berganda ini diberikan aturan-aturan yang jelas dan lebih
mendetail atau diberikan penjelasan sebagaimana undang-undang yang ada di dalam
negeri. De- ngan begitu tidak timbul penafsiran-penafsiran yang salah dalam
pemahaman treaty tersebut. Treaty yang sudah bagus tentunya tidak akan memerlukan
aturan penjelas atau pelaksanaan lagi.
Mengingat aturan P3B ini sudah dibuat sejak 20 tahun yang lalu dan UU Pajak Peng-
hasilan Indonesia sudah berubah beberapa kali, mungkin perlu juga untuk meninjau
ulang P3B Indonesia dengan Norwegia. Hal ini juga mempertimbangkan mengenai
iklim investasi dan usaha yang berkembang dalam beberapa dasawarsa terakhir ini.
31
DAFTAR PUSTAKA