You are on page 1of 37

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN

SEKOLAH TINGGI AKUNTANSI NEGARA

TANGERANG

ANALISIS PERSETUJUAN PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA

(P3B) INDONESIA DENGAN NORWEGIA

Disusun oleh:
Rindi Utami
NPM: 08320006807
Mahasiswa Program Diploma III Keuangan
Sekolah Tinggi Akuntansi Negara
Spesialisasi Administrasi Perpajakan
Untuk Memenuhi Tugas Akhir Mata Kuliah Pajak Internasional

Agustus 2010

i
KATA PENGANTAR

Tiada ucapan lain yang dapat penulis ucapkan selain alhamdulillah atas segala rahmat yang
telah diberikan Allah sehingga dengan segala kekurangan penulis dapat menyelesaikan pe-
nulisan makalah “Analisis Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) Indonesia de-
ngan Norwegia” ini.

Penulis sampaikan juga rasa terima kasih penulis kepada


Bapak Budi Susanto selaku dosen mata kuliah Pajak Internasional 2J-Administrasi
Perpajakan;
kedua orang tua penulis yang telah memberikan dukungan, baik berupa doa maupun mate-
ri, kepada penulis; dan

rekan-rekan di Sekolah Tinggi Akuntansi Negara yang juga telah membantu penulis sela-
ma penulisan karya tulis ini.

Penulis menyadari bahwa penulisan karya tulis ini masih jauh dari sempurna. Namun, pe-
nulis masih berharap bahwa penulisan makalah ini akan memberikan manfaat bagi pem-
baca. Dengan segala kekurangan, penulis akan menerima segala kritik dan saran yang dibe-
rikan kepada penulis dengan senang hati.

Tangerang, Agustus 2010

Penulis

ii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL.................................................................................................i
KATA PENGANTAR...............................................................................................ii
DAFTAR ISI..............................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN..........................................................................................1

A. Latar Belakang.....................................................................................................1
B. Tujuan..................................................................................................................2
C. Manfaat................................................................................................................2

BAB II DASAR TEORI............................................................................................3

A. Definisi, Tujuan, dan Manfaat Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda........3


1. Definisi.................................................................................................................3
2. Tujuan..................................................................................................................3
3. Manfaat................................................................................................................3
B. Model Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda..............................................4
C. Metode dan Terminologi dalam Tax Treaty........................................................5
1. Metode-metode dalam tax treaty.........................................................................5
2. Terminologi shall be taxable only in...................................................................7
3. Terminologi may be taxed in…............................................................................7

BAB III ANALISIS P3B INDONESIA-NORWEGIA.............................................9

A. Analisis Model.....................................................................................................9
1. Pasal-pasal yang mengikuti model United Nation...............................................11
2. Pasal-pasal yang mengikuti model OECD...........................................................18
3. Pasal-pasal yang diatur tersendiri tanpa mengikuti model UN atau OECD........19
B. Analisis Isi...........................................................................................................21
C. Implikasi Penerapan P3B Indonesia-Norwegia...................................................28

BAB IV PENUTUP...................................................................................................29

A. Kesimpulan..........................................................................................................29
B. Saran....................................................................................................................30

iii
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................31

LAMPIRAN

iv
BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dalam perkembangan era globalisasi seperti yang terjadi beberapa dasawarsa terakhir
ini, kemampuan masyarakat dalam mencari penghasilan bagi kelayakan hidup mereka
terus berkembang. Batasan negara bukanlah masalah lagi bagi setiap orang untuk men-
dapatkan penghasilan. Seseorang yang tinggal di Indonesia bisa saja mendapatkan
penghasilannya dari luar negeri, bahkan tanpa dia bekerja di luar negeri, misalkan saja
penghasilan dari dividen atas investasi yang dia tanam di perusahaan luar negeri.

Sehubungan dengan kewajiban perpajakan setiap warga negara yang sudah memenuhi
syarat untuk dikenakan pajak, adanya sumber penghasilan seperti ini akan mempenga-
ruhi kewajiban perpajakannya. Penghasilan tersebut tidak hanya akan dipajaki oleh ne-
garanya sendiri, tetapi negara sumber tempat penghasilan tersebut berasal pastinya juga
ingin mengenakan pajak atas penghasilan warga asing tersebut. Dengan begitu, kasus
pemajakan berganda akan muncul dalam kewajibannya dan ini tentunya akan membe-
ratkan si wajib pajak bersangkutan. Oleh karena itu, untuk membantu agar wajib pajak
tidak dikenakan pemajakan berganda atas penghasilannya, maka dibuatlah sebuah per-
setujuan antara Indonesia dengan negara-negara lain. Persetujuan ini akan mengatur se-
demikian rupa agar wajib pajak tidak dipajaki dua kali atas penghasilannya yang sama,
yakni di Indonesia dan negara lain tersebut.

Sampai saat ini, Indonesia telah membuat 58 buah persetujuan penghindaran pajak ber-
ganda dengan negara-negara di dunia. Dalam membuat persetujuan itu, organisasi du-
nia telah membuat sebuah model persetujuan yang nantinya akan menjadi landasan ne-
gara-negara dalam membuat sebuah persetujuan. Sampai saat ini sudah ada 2 model
umum yang diakui oelh internasional, yakni model OECD dan model UN.
2

Dalam sebuah perjanjian, pasti ada implikasi-implikasi yang akan diterima oleh
Indonesia berkaitan dengan aturan yang disetujui oleh Indonesia dengan negara lain
bersangkutan. Untuk mengetahui implikasi tersebut dan memahami lebih jauh
persetujuan penghindaran perpajakan berganda Indonesia dengan negara lainnya, maka
penulis membuat makalah ini sebagai analisis atas P3B Indonesia. Pada kesempatan
penulisan ini, penulis berkesempatan untuk membahas P3B antara Indonesia dengan
negara Norwegia.

B. Tujuan
Tujuan yang ingin dicapai penulis dengan penulisan makalah ini adalah
1. Menganalisis model yang digunakan dalam P3B Indonesia dengan Norwegia;
2. Menganalisis isi dan kesesuaian P3B Indonesia dengan Norwegia.
C. Manfaat
Dengan penulisan makalah ini, manfaat yang diharapkan penulis adalah
1. Pembaca memahami—walaupun sekilas—mengenai model P3B antara Indonesia
dengan Norwegia;
2. Pembaca memahami isi P3B antara Indonesia dengan Norwegia.
BAB II DASAR TEORI

A. Definisi, Tujuan, dan Manfaat Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda


1. Definisi

Pemajakan internasional tidak terlepas dari adanya suatu perjanjian antar negara guna
menghindari pemajakan berganda yang dapat menghambat laju investasi dan perekono-
mian negara tersebut. Perjanjian internasional adalah suatu perbuatan hukum yang
mengikat negara pada bidang-bidang tertentu, termasuk perpajakan. Oleh karena itu,
perjanjian internaisonal harus dibuat dengan dasar-dasar yang jelas dan kuat dengan
menggunakan instrumen peraturan perundang-undangan yang jelas.

Persetujuan penghindaran pajak berganda (P3B) adalah perjanjian pajak berganda an-
tara dua negara bilateral yang mengatur mengenai pembagian hak pemajakan atas
penghasilan yang diperoleh atau diterima oleh penduduk dari salah satu atau kedua ne-
gara pihak pada persetujuan (both contracting states).

2. Tujuan

Tujuan P3B adalah mencegah seminimal mungkin terjadinya pemajakan berganda.


Disamping itu, P3B memiliki tujuan lainnya, yaitu:

a) Mencegah timbulnya pengelakan pajak


b) Memberikan kepastian
c) Pertukaran informasi
d) Penyelesaian sengketa di dalam penerapan P3B
e) Non diskriminasi
f) Bantuan dalam penagihan pajak
g) Penghematan cashflow
3. Manfaat
Manfaat P3B adalah sebagai berikut.
4

a) Tidak terjadi pemajakan ganda yang memberatkan iklim dunia usaha


b) Peningkaan investasi modal dari luar negeri ke dalam negeri
c) Peningkatan sumber daya manusia
d) Pertukaran informasi guna mencegah pengelakan pajak
e) Keadilan dalam hal pemajakan penduduk antar kedua negara
B. Model Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda
Suatu perjanjian penghindaran pajak berganda yang bersifat komprehensif pada umum-
nya terdiri atas ketentuan-ketentuan sebagai berikut.
1. Ketentuan tentang hal-hal yang menjadi ruang lingkup (scope provisions) dari su-
atu tax treaty yang terdiri atas
a. Jenis-jenis pajak yang diatur dalam tax treaty
b. Subjek pajak yang dapat memanfaatkan tax treaty
2. Ketentuan yang mengatur tentang definisi dari istilah yang ada dalam tax treaty
(definition provisions).
3. Ketentuan yang mengatur tentang hak pemajakan suatu negara atas suatu jenis
penghasilan (substantive provisions).
4. Ketentuan yang mengatur tentang pemberian fasilitas eliminasi atau keringanan pa-
jak berganda (provisions for the elimination of double taxation).
5. Ketentuan yang mengatur tentang pencegahan upaya penghindaran pajak (anti avo-
idance provisions) yang terdiri atas
a. Ketentuan tentang hubungan istimewa
b. Ketentuan tentang kerjasama antar otoritas perpajakan (mutual agreement
procedure)
c. Ketentuan tentang pertukaran informasi
6. Ketentuan lainnya (special provisions) sepeti ketentuan tentang non-diskriminasi,
diplomasi, teritorial ekstensi, dan bantuan untuk melakukan pemungutan pajak.
7. Ketentuan tentang saat dimulai dan berakhirnya suatu tax treaty.

Model perjanjian penghindaran pajak berganda ada 3 macam, yakni

1. Model OECD
5

Model OECD merupakan model P3B untuk negara-neara maju. Model ini menge-
depankan pada asas domisili neara yang memberikan jasa atau menanamkan modal
dimana hak pemajakannya berada di negara domisili.
2. Model UN
Model UN merupakan model P3B untuk negara-negara berkembang. Model ini
mengedepankan asas sumber penghasilan karena mereka umumnya yang menggu-
nakan jasa dan yang menerima modal dari luar negeri, sehingga model ini lebih
me- nerapkan pemajakan yang berasak dari negara yang memberi penghasilan.
3. Model Indonesia
Model ini mengkombinasikan kedua jenis model UN dan OECD dan yang cocok
digunakan di Indonesia dengan melihat hal-hal yang terkait dengan ketentuan UU
PPh dan program pembangunan di Indonesia.
C. Metode dan Terminologi dalam Tax Treaty
1. Metode-Metode dalam Tax Treaty

Metode yang digunakan dalam suatu tax treaty untuk menghindari adanya pemajakan
berganda adalah menggolongkan sutau penghasilan berdasarkan suatu penggolongan
tertentu dan menentukan hak pemajakan suatu negara atas jenis-jenis penghaislan yang
dihasilkan dari penggolongan penghasilan tersebut. Penentuan jenis penghasilan ini sa-
ngat penting karena akan menentukan negara mana yang berhak untuk memajaki atas
penghasilan tersebut. Pasal-pasal yang mengatur tentang hak pemajakan suatu negara
atas jenis-jenis penghaislan tersebut disebut sebagai distributive rules atau assignment
rules.

Pada umumnya, penggolongan penghasilan dalam pasal-pasal yang disebut sebagai


distributive rules tersebut adalah sebagai berikut.

a) Active income
Active income merupakan penghasilan yang berasal dari kegiatan usaha dan peker-
jaan.
b) Passive income
Passive income merupakan penghasilan yang berasa dari investasi dalam bentuk
tangible maupun intangible properties , termausk dalam bentuk financial invest-
ment.
6

c) Other income
Other income merupakan penghasilan yang tidak dapat digolongkan terhadap ke-
dua golongan penghasilan diatas.

Adapun pembagian hak pemajakan suatu negara berdasarkan distributive rules yang
diatur dalam tax treaty pada dasarnya sebagai berikut.

a) Hak pemajakan diberikan sepenuhnya kepada salah satu negara.


b) Hak pemajakan dibagi antara negara domisili dan negara sumber penghasilan.

Metode penghindaran pajak berganda menurut Prof. DR. Gunadi adalah

a) Pembebasan (exemption)
Metode pembebasan ini terdiri atas
1) Pembebasan subjek pajak
Metode ini membebaskan perpajakan untuk penduduk atau badan asing yang
berada di Indonesia.
2) Pembebasan objek pajak
Metode ini menghitung kembali penghasilan dari luar negeri termasuk keugian
atau perpajaknnya di negara domisili. Dengan demikian penghasilan dari luar
negeri dianggap terpisah dan tidak perlu dikenakan pajak lagi.
3) Pembebasan pajak
b) Kredit (tax credit)
Pada dasarnya metode ini menghitung kembali jumlah penghasilan dari luar negeri
dan jumlah pajak terutang keselurhan di negara domisili. Pajak yang telah dibayar
di luar negeri dapat mengurangkan pajak terutang di negara domisili. Metode kredit
dibagi dalam 3 macam,
1) Kredit penuh
Metode ini memberikan fasilitas kepada wajib pajak domisili untuk meng-
kreditkan seluruh pajak yang dibayar di luar negeri sehingga jika tarif pajak
di luar negeri lebih besar dibandingkan dengan tarif pajak di dalam negeri,
dipastikan akan terjadi restitusi pajak.
2) Kredit terbatas
7

Metode ini membatasi pajak yang dibayar di luar neeri dapat dikreditkan
atau dapat dijadikan sebagai pengurang PPh terutang dalam negeri sebatas
pajak yang dibayarkan di dalam negeri atau paling tinggi adalah sebesar ta-
rif pajak yang ada di dalam negeri.
3) Kredit fiktif
Metode ini dengan memberikan pembebasan pajak untuk mendorong inves-
tor ke dalam negeri. Namun, untuk menghindari pemajakan di negara inves-
tor, maka dibuatlah kredit fiktif aar negara domisili mengenakan pajak sete-
lah dikurangi kredit fiktif ini sehingga pemajakannya bebas untuk di negara
lainnya dan negara domisili.
c) Metode lainnya
Metode lainnya yang dapat digunakan—dalam buku International Juridicial Dou-
ble Taxation on Income—adalah sebagai berikut.
a. Pembagian pajak (tax sharing)
b. Pembagian hak pemajakan (division of tax power)
c. Pengurangan tarif (reduction of the rate)
d. Pengurangan pajak (reduction of the tax)
e. Pemajakan dengan jumlah tetap (lumpsum of forfait taxation)
2. Terminologi Shall be Taxable Only in …

Dalam model tax treaty yang dikembangkna oleh OECD, terminologi yang diperguna-
kan untuk menyatakan bahwa hak pemajakan atas suatu penghasilan hanya diberikan
kepada satu negara yang biasanya diberikan kepada negara dimana subjek pajak terse-
but terdaftar sebagai subjek pajak dalam negeri adalah shall be taxable only in … De-
ngan demikian, jika hak pemajakan tersebut hanya diberikan kepada suatu negara maka
negara lainnya tidak boleh untuk mengenakan pajak. jadi, isu pemajakan berganda atas
suatu penghasilan yang diatur melalui penggunaan terminologi ini seharusnya tidak
akan terjadi karena hak pemajakan diberikan sepenuhnya kepada negara domisili dan
negara sumber dilarang untuk mengenakan pajak.

3. Terminologi May be Taxed in …

Di sisi lain, terminologi yang dipergunakan untuk menyatakan bahwa hak pemajakan
atas suatu penghasilan dibagi antara negara domisili dan negara sumber adalah may be
8

taxed in … Makna terminologi tersebut adalah negara sumber dapat mengenakan pajak.
Apabila masing-masing negara mengenakan pajak, maka terdapat isu pemajakan ber-
ganda. Untuk menghindari adanya pemajakan berganda, maka negara domisili diwa-
jibkan untuk memberikan keringanan pajak berganda melalui mekanisme tax credit
method atau tax exemption method.

Dalam hal ketika negara sumber penghasilan dapat mengenakan pajak (may be taxed in
…) maka hak pemajakan atas penghasilan yang bersumber di negara tersebut dapat di-
berikan dengan

a) Tanpa adanya pembatasan (unrestricted right of tax in the source tax),


Artinya negara sumber dapat mengenakan pajak ats penghasilan tersebut di bawah
ini sesuai dengan ketentuan domestiknya tanpa adanya pembatasan (misalnya tanpa
ada pembatasan tarif). Adapun jenis-jenis penghasilan tersebut adalah sebagai beri-
kut.
 Penghasilan harta tidak bergerak
 Pengahsilan usaha yang diatribusikan kepada BUT
 Capital gain
 Penghasilan profesi yang diterima oleh individu
 Gaji yang diterima oleh pegawai
 Gaji direktur
 Penghasilan yang diterima oleh artis terkait dengan hasil pertunjukannya
meupun penghasilan olahragawan yang terkait dengan hasil
pertandingannya.
b) Dengan pembatasan (restricted right of tax in the source tax),

Artinya negara sumber dapat mengenakan pajak atas jenis penghasilan tersebut di
bawah ini dengan pembatasan yang diatur dalam tax treaty, misalnya berdasarkan
ketentuan domestik Indonesia, pembayaran dividen kepada wajib pajak luar negeri
dikenakan tarif 20%, maka ketika pembayaran dividen tersebut ditujukan kepada
WPLN yang mempunyai tax treaty dengan Indonesia maka tarifnya dibatasi mak-
simal sebesar 10%. Adapun jenis penghasilan tersebut adalah dividen dan bunga.
9

BAB III ANALISIS P3B INDONESIA-NORWEGIA

A. Analisis Model

Persetujuan penghindaran pajak berganda antara Indonesia dengan Norwegia terdiri atas
29 (dua puluh sembilan) pasal sebagai berikut.

Pasal/ Isi Content


article

1 Orang dan badan yang tercakup Personal scope


dalam persetujuan

2 Pajak-pajak yang dicakup dalam Taxes covered


persetujuan

3 Pengertian-pengertian umum General definition

4 Domisili fiskal Resident

5 Bentuk usaha tetap Permanent establishment

6 Penghasilan dari harta gerak Income from immovable property

7 Laba usaha Bussiness profits

8 Perkapalan dan pengangkutan Shipping and air transport


udara

9 Perusahaan-perusahaan yang Associated enterprise


mempunyai hubungan istimewa

10 Dividen Dividens

11 Bunga Interest

12 Royalti Royalties

13 Keuntungan Modal Capital Gain


10

14 Pekerjaan bebas Independent personal services

15 Pekerjaan dalam hubungan kerja Dependent personal services

16 Imbalan para direktur Director’s fees

17 Para artis dan atlit Artistes and athletes

18 Pensiun, Alimony, Anuitas, dan Pesions, Alimony, Annuities, and


Pembayaran jaminan sosial Payment Under a Social Security
System

19 Pejabat pemerintah Government services

20 Pelajar Student

21 Aktivitas offshore Offshore activity

22 Penghasilan lain Other Income

23 Modal Capital

24 Eliminasi Pajak Berganda Elimination of Double Taxation

25 Non Diskriminasi Non Discrimination

26 Prosedur Mutual Agreement Mutual Agreement Procedure

27 Pertukaran Informasi Exchange of Information

28 Diplomat dan kantor Konsultan Diplomatic Agent and Consular officer

29 Entry Into Force Entry Into Force

30 Akhir Termination

protokol Protocol

Dari 30 pasal yang tercakup dalam tax treaty Indonesia-Norwegia digunakan model Indo-
nesia (indonesian model) yakni bercampur antara model United Nation dengan model
OECD. Menurut Rachmanto Surachmat, Indonesia menggunakan model Indonesia yang
dijadikan pijakan dalam perundingan P3B. Pengunaan kedua model ini mugkin juga ka-
11

rena Indonesia merupakan anggota PBB dan selain itu Indonesia juga berstatus sebagai
negara dengan peningkatan keterlibatan dalam OECD.
11

Berikut ini disajikan pasal-pasal dimaksud berdasarkan model P3B yang digunakannya.
Pasal-pasal yang tidak disebutkan dibawah ini berarti model bunyi pasalnya antara OECD
dan UN model adalah sama—tidak ada perbedaan. Selain mengenai model, di bawah ini
dijelaskan pula mengenai analisis isi treaty Indonesia-Norwegia serta implikasinya bagi
Indonesia.

1. Pasal-pasal yang mengikuti model United Nation


Secara dominan pasal-pasal dalam treaty Indonesia-Norwegia ini mengikuti model
yang dinamakan model United Nation. Pasal-pasal tersebut adalah sebagai berikut.
a. Pasal 5 ayat 3, ayat 5, dan ayat 6
Pasal 5 mengatur tentang Bentuk Usaha Tetap. Bunyi pasal 5 ayat 3 adalah sebagai
berikut
The term “permanent establishment” likewise encompassess:
(a) a building site, construstion, assembly or installation project or supervisory
activities in connection therewith, but only were such site, project or activities
continue for a period of more than six month.
(b) The furnishing of service …within the country for a period or period
aggregating more than three months within any twelve month period.

Dalam pasal 5 ayat 3 tersebut, salah satu hal yang menunjukkan bahwa pasal
tersebut mengikuti model UN adalah berkenaan dengan time test yang diberikan
kepada suatu bentuk usaha untuk bisa dikatakan mempunyai Bentuk Usaha Tetap
dalam pasal tersebut. Dalam pasal tersebut diberikan time test more than six month
dan three months yang jelas lebih singkat dan jelas dibandingkan dengan OECD
yang memberikan time test nya lebih lama, yakni pada kata if it last more than
twelve months (pasal 5 ayat 3 OECD Model). Jika kita melihat pada UU PPh
Indonesia, ketentuan mengenai jangka waktu ini diatur dalam pasal 2 ayat 5
berkenaan dengan Bentuk Usaha Tetap dengan time test 183 hari dalam jangka
waktu 12 bulan.

Pasal 5 ayat 5 mengatur mengenai orang atau badan yang akan dianggap sebagai
Bentuk Usaha tetap karena bertindak untuk dan atas nama perusahaan di negara
lainnya. Pasal ini mengikuti model UN karena memberikan dua alternatif syarat
seperti yang dicontohkan oleh model UN, yakni :
12

…If such person:

(a) Has and habitually exercises in that state an authority to conclude contracts in
the name of the enterprise, unless the activities of such person are limited to
those mentioned in paragraph 4 which, if exercised through a fixeb place of
bussiness, would not make this fixed palce of bussiness a permanent
establishment under the provisions of that paragraph; or
(b) Has no such authority, but habitually maintains in the first-mentioned state a
stock of goods or merchandise from which he regularly delivers goods or
merchandise on behalf of the enterprise.

Sementara untuk model OECD, sayarat yang diberikan hanya satu, yakni seperti
yang disebutkan dalam huruf (a) di atas.

Pasal 5 ayat 6 mengatur mengenai perusahaan asuransi. Berikut ini bunyi pasalnya.

“an insurance enterprise of a contracting state shall, except with regard to re-
insurance, be deemed to have permanent establishment in the other contracting
state if it collect premium in that other state or insurers risks situated therein
through an employee or through a representative who is not an agent of an
independent status within meaning of paragraph 7”

Pasal tersebut menegaskan bahwa perusahaan asuransi—dalam hal ini kita me-
lihat dari perspektif Indonesia—di Indonesia akan dianggap memiliki bentuk usaha
tetap di Norwegia apabila perusahaan asuransi tersebut memungut premi atau
menanggung risiko yang terjadi di Norwegia melalu seorang pegawai atau
perwakilan dan bukan merupakan agen.

Dalam hal ini, pasal ini mengikuti model UN karena dalam model yang ada, ha-
nya model UN lah yang mengatur mengenai perusahaan asuransi (dapat dilihat
pada pasal 5 ayat 6 dalam model UN). Dalam UU PPh Indonesia, hal ini juga sudah
diatur dalam pasal 2 ayat 5 huruf (o). Namun, beradasarkan UU PPh Indonesia,
agen termasuk ke dalamnya—berbeda dengan treaty di atas. Namun, dalam hal
hubungannya dengan Norwegia, maka yang digunakan adalah treaty tersebut.

b. Pasal 6 ayat 4
13

Pasal 6 ayat 4 berbunyi

“the provisions of paraghraph 1 and 3 shall also apply to the income from im-
movable property of an enterprise and to income from immovable property used
for the performance of profesional services.”

Dalam model OECD, statement yang digarisbawahi pada pasal tersebut tidak ada.
Artinya, OECD tidak mengatur tentang penghasilan dari harta tak gerak yang
digunakan dalam menjalankan jasa profesional. Dengan begitu, pasal ini mengikuti
model UN yang juga mengatur demikian dalam pasalnya, sehingga apabila ada
penghasilan yang diterima atas harta tak gerak di Norwegia, walaupun harta itu
milik warga negara Indonesia, maka bisa dikenakan pajak di Norwegia pula. Untuk
pemajakanya akan disepakati oleh kedua negara, Indonesia dan Norwegia.

Hal ini mungkin sejalan dengan pemikiran bahwa arus transaksi nasional begitu
besar dan batas-batas negara bukan lagi merupakan batas untuk memiliki keka-
yaan hanya di salah satu negara. Selain itu, bekenaan juga dengan adanya azas
domisili dan sumber pula yang terkadang menjadi kendala dan menimbulkan pajak
berganda yang harus diterima oleh wajib pajak.

Dengan begitu, model UN disini dirasa lebih baik diterapkan demi aspek pema-
jakan kedua negara dan aspek penghindaran pemajakan berganda.

c. Pasal 7 ayat 1 dan ayat 3

Pasal 7 mengatur mengenai pemajakan atas laba yang diperoleh perusahaan


berdasarkan treaty ini. Pasal 7 ayat 1 mengatur mengenai pembagian hak pemajaka
atas laba yang diperoleh perusahaan.Berikut bunyi pasal 7 ayat 1

“…if the enterprise carries on bussiness as foresaid, the profits on the enterprise
may be taxed in the other state but only so much of them as is attributable to:

(a) That permanent establishment;

(b) Sales in that other state of goods or merchandise of the same or similar kind as
those sold through that permanent establishment; or
14

(c) Other bussiness activities carried on in the other state of the same or similar
kind as those effected through that permanent establishment.

Berdasarkan bunyi pasalnya dan format pasalnya, maka pasal ini mengikuti model
UN yang juga mengatur hal demikian dalam pasal-pasalnya (pasal 7 ayat 1 UN
model).

Pasal 7 ayat 3 menjelaskan bahwa beban-beban dapat menjadi pengurang


penghasilan untuk suatu bentuk usaha tetap. Baik dalam pasal 7 model UN maupun
OECD mengatur hal demikian, tetapi dalam pasal ini terdapat tambahan—yang
merupakan hal yang sama dengan yang dicontohkan dengan UN Model—bahwa
beban-beban tidak bisa dikurangkan jika dibayar oleh bentuk usaha tetap tersebut
kepada kantor pusat perusahaannya, seperti royalti. Selengkapnya bunyi tambahan
tersebut adalah sebagai berikut.

“…however, no such deduction shall be allowed in respect of amounts, if any, paid


(otherwise than towards reimbusement of actual expenses) by the permanent
establishment to the head office of the enterprise or any of its other office, by way
of royalties fees, or other similar payment in return for the use of patents or other
rights, or by way of commision, for specific services performed or for management,
or, except in the case of a banking enterprise, by way of interest on moneys ent to
the permanent establishment. Likewise, no account shall be taken, in the
determination of the profits of a permanent establishment, for amounts charged,
(otherwise than towards reimbursement of actual expense), by the permanent
establishment to the head office of the enterprise or any of its other offices, by way
of royalties, fees, or other similar payment in return for the use of patents or other
rights, or by way of commision for spesific services performed or for management,
or, except in the case of a banking enterprise, by way of interest on moneys lent to
the head office of the enterprise or any of its other offices.

d. Pasal 8

Pasal 8 mengatur pemajakan atas laba dari pengoperasian kapa dan pesawat udara
dalam lalulintas internasional. Pasal ini menggunakan contoh pasal UN Model
15

alternatif A (pasal dapat dilihat pada treaty Indonesia-Norwegia dalam lampiran ini
makalah ini).

e. Pasal 10 ayat 2

Pasal 10 secara keseluruhan mengatur mengenai pemajakan atas dividen. Pasal 2


ayat 2 mengatur mengenai pembagian pemajakan atas dividen yang diterima oleh
beneficial ownernya, berikut bunyi pasalnya.

However, such dividens may also be taxed in the contracting state of which the
company paying the dividens is a resident and according to the laws of the state,
but if the recipient is the beneficial owner of the dividens the tax so charged shall
not exceed 15 percent of the gross amount of the dividens.

Dengan memperhatikan pada persentase pajak yang dikenakan atas dividen yang
dikenakan terhadap dividen yang diterima beneficial owner tersebut, dapat
disimpulkan bahwa pasal ini menganut model UN dan pastinya persentase tersebut
adalah menurut persetujuan atas kedua belah pihak (negara). Dalam model OECD,
persentase yang diberikan adalah sebesar 5 persen, sementara di UN adalah sesuai
dengan kesepakatan dua negara.

f. Pasal 11 ayat 2 dan ayat 5

Pasal 11 ayat 2 berbunyi however, such interest may also be taxed in the
contracting state in which it arises,and according to the laws of that state, but if
the recipient is the beneficial owner of the interest, the tax so charged shall not
exceed 10 per cent of the gross amount.

Pasal 11 ini megatur mengenai bunga yang timbul. Dalam pasal 11 ayat 2 dije-
laskan bahawa apabila penerima dan pemilik bunga adalah pemberi pinjaman yang
menikmati bunga itu (beneficial owner), maka pajak yang dikenakan tidak lebih
dari 10 persen dari jumlah bruto.

Penekanan yang mencerminkan penggunaan model UN atau OECD model ada


pada persentase pajak yang dikenakan. Dalam pasal ini, model yang digunakan
bisa dikatakan model UN maupun model OECD. Hal ini karena pada model UN,
16

persentase tersebut tergantung atas persetujuan antara kedua negara (mela- lui
negosiasi) sedangkan pada model OECD, persentase sebesar 10 persen telah
ditetapkan di dalam model OECD—tanpa adanya statement yang menyatakan
dapat disesuaikan sesuai persetujuan kedua negara yang bernegosiasi. Namun,
penulis menganggap model ini tetap merupakan model UN karena sehubungan
dengan mayoritas pasal yang ada dalam perjanjian ini adalah model United Nation.

Pasal 11 ayat 5 (bisa dilihat pada lampiran makalah ini) secara format sama dengan
yang dicontohkan oleh model UN, berikut tambahan yang ada dalam bunyi
pasalnya karena adanya perbedaa pengertian juga pada jenis Bentuk usaha tetap—
dalam model UN, ada tambahan untuk jasa profesional.

g. Pasal 12 ayat 1 dan ayat 2

Pasal 12 ayat 1 berbunyi royalties arising in a contracting state and paid to a


resident of the other contracting state may be taxed in that other state.

Kata yang digarisbawahi merupakan kata yang menunjukkan bahwa pasal tersebut
mengikuti aturan atau mengikuti model UN. Secara substansial, mungkin model
pasal ini hampir sama dengan pada model OECD yang berbunyi royal- ties arising
ina contracting state and beneficially owned by a resident of the other contracting
state shall be taxable only in that other state. Namun, ternya- ta hal ini berbeda
karena juga meimbulkan dampak pemajakan yang berbeda—hal ini terkait dengan
terminologi may be taxed in dan shall be taxable only in. Dampak tersebut
disebabkan oleh penggunaan kata yang digarisbawahi di atas` walaupun sebenarnya
—menurut penulis—hakikatnya adalah sama saja, yakni royalti tersebut diterima
oleh penduduk negara pihak lainnya, dalam hal ini adalah Norwegia.

Hal ini berkaitan dengan terminologi—kalau boleh penulis pinjam istilah termi-
nologi—kata paid to dan beneficially owned. istilah beneficially owned, berda-
sarkan OECD, tidak boleh diartikan secara sempit, tetapi harus diartikan sesuai
dengan konteks tujuan dari tax treaty yang ada. Menurut International Tax Glo-
ssary, beneficial owner adalah orang yang memang berhak menikmati suatu ak-
tiva. Jadi apabila seseorang atau badan secara hukum pemilik suatu aktiva, be- lum
tentu yang bersangkutan adalah beneficial owner dari aktiva tersebut. Jadi dapat
17

diartikan bahwa beneficially owned berarti benar-benar memiliki aktiva tersebut


dan jika kita melihat pada konteks kalimat dalam pasal model OECD tersebut,
artinya yang menerima royalti adalah benar-benar pemilik atas merek atau apapun
yang dapat menimbulkan royalti atau pemegang asli rela title. Oleh karena itu,
OECD menerapkan aturan pemajakan yang berbeda dengan UN models.

Untuk istilah paid to, artinya royalti tersebut diberikan kepada warga negara pi- hak
lainnya dalam persetujuan ini. Resident itu sendiri belum tentu merupakan
beneficial owner dari merek yang menimbulkan royalti tersebut.

Jadi, dalam hal ini, apabila orang indonesia membayarkan royalti kepada warga
negara Norwegia, maka Norwegia dapat mengenakan pajak terhadap royalti
tersebut.

Pasal 12 ayat 2 berbunyi sebagai berikut.

However, such royalties may also be taxed in the contracting state in which they
arise, and according to the laws of that state, but if the recipient is the beneficial
owner of the royalties the tax so charge shall not exceed;

(a) 15 per cent of the gross amount of royalties as defined in paragraph 3(a) ; and

(b) 10 per cent of the gross amount of royalties as defined in paragraph 3 (b)

Ternyata UN juga mengatur jika royalti tersebut diterima oleh beneficial owner
nya dan model UN memberikan batasan pajak yang dikenakan yang ditentukan
oleh kesepakatan dua negara yang berkesepakatan, dalam hal ini Indonesia dan
Norwegia membatas pajaknya tidak sampai 15% atau 10%. Jadi dalam hal
misalkan orang di Indonesia membayarkan royalti kepada orang di Norwegia yang
merupakan beneficial owner , maka Indonesia bisa mengenakan pajak atas royalti
tersebut , tetapi tidak lebih dari 15% atau 10%. Dengan begitu asas sumber berlaku
pula dan Indonesia tidak dirugikan mengingat banyak juga wajib pajak di Indonesia
yang memanfaatkan merk atau hak paten lain dari luar negeri—dalam hal ini
berarti Norwegia—dan membayarkan royaltinya ke luar negeri sana. Prinsip
pembagian hak pemajakan pun tercapai.
18

h. Pasal 13 ayat 4

Pasal 13 ayat 4 berbunyi gains from the alienation of shares in a company which is
a resident of a contracting state may be taxed in that state, but only if the shares
alienated form part of an interest of at least 30 per cent in the company.

Pengaturan pemajakan atas capital gain dari pengalihan saham ini hanya
dicontohkan oleh model UN, sehingga dapat disimpulkan bahwa pasal ini
mengikuti model UN—dalam pasal 13 ayat 5 UN model.

i. Pasal 14

Pasal 14 mengatur mengenai pekerjaan bebas (independet personal services). Pasal


ini pasti mengikuti model UN karena dalam model OECD pasal mengenai
independent personal services telah dihapuskan. Dalam model persetujuan, pasal
mengenai independent personal services ini berada dalam pasal 14 juga.
Penghapusan pasal 14 model OECD ini berkaitan dengan adanya konferensi ta-
hunan ke-4 Committee of Experts on International Cooperation in Tax Matters
pada tanggal 20-24 Oktober 2008 lalu.

2. Pasal-pasal yang mengikuti model OECD

Walaupun secara keseluruhan tax treaty Indonesia dengan Norwegia ini mengikuti mo-
del United Nation, tetapi ada beberapa pasal dalam treaty yang mengikuti juga OECD
model. Ini sangat sesuai dengan model Indonesia atau Indonesian Model yang meng-
ambil pasal-pasal dalam UN maupun OECD dan dipilih yang sesuai dengan hasil yang
diharapkan dan tetap selaras dengan tujuan awal tax treaty, yakni menghindari pema-
jakan berganda. Ingat, tax treaty tidak menghasilkan pajak yang baru. Pasal-pasal yang
mengikuti model OECD adalah sebagai berikut.

a. Pasal 7 ayat 5

Pasal 7 ayat 5 berbunyi

“no profits shall be attributable to a permanent establishment by reason of the


mere purchase by that permanetn establishment of goods or merchandise for the
enterprise.”
19

Pengaturan semacam ini dicontohkan dalam model OECD (pasal 7 ayat 5 model
OECD), sehingga dapat disimpulkan adal model OECD dalam pasal 7 ini, yakni
pada pasal 7 ayat 5.

b. Pasal 16

Sebagaimana yang dicontohkan dalam model OECD, pasal 16 hanya mengatur


mengenai Director’s fees dan tidak mengatur mengenai remuneration of top level
manager sebagaimana yang dicontohkan dalam model UN. Pasal 16 dapat dilihat
dalam lampiran di makalah ini.

c. Pasal 23

Pasal 23 ini ditinjau dari format pasalnya dan bunyi pasalnya mengikuti model
OECD model. Bunyi pasalnya sama dengan yang dicontohkan dalam model
tersebut. Selengkapnya bunyi pasal 23 yang mengatur mengenai pemajakan atas
capital ini dapat dilihat dalam lampiran makalah ini.

3. Pasal-pasal yang diatur tersendiri tanpa mengikuti model UN atau OECD

a. Pasal 8 ayat 3

Pada pasal 8 ayat 3 diatur sendiri oleh pihak pada persetujuan mengenai pihak-
pihak yang memperoleh akan memperoleh perlakuan treaty ini. Berikut bunyi pasal
8 ayat 3

The provisions of paragraph 1 and 2 shall apply to profits derived by the joint
Norwegian, Danish, and Swedish air transport consortium Scandinavian Airlines
System (SAS), but only in so far as profits derived by Det Norske Luftfartsselskap
A/S (DNL), the Norwegian partner of the Scandinavian Airlines System (SAS),are
in proportion to its share in that organization.

b. Pasal 10 ayat 6

Pasal 10 ayat 6 mengatur sendiri—tidak dicontohkan dalam OECD model atau UN


model—tentang tambahan pajak yang dikenakan atas laba BUT pada pihak negara
20

lainnya, tetapi tambahan pajak tersebut tidak lebih dari 15 persen. Berikut sebagian
bunyi pasalnya.

…but the additional tax so charged shall not exceed 15 per cent of the amount of
such profits after deducting thereform income tax and other taxes on income
imposed thereon in that other state.

c. Pasal 11 ayat 3

Dalam treaty Indonesia-Norwegia ini diberikan tambahan peraturan mengenai


pengecualian bunga dari pajak. syarat-syaratnya disebutkan dalam pasalnya sebagai
berikut.

Notwithstanding the provision of paragraph 2, interest shall be exempt from tax in


the contracting state in which it arises if:

(a) The interest is beneficially owned by a contracting state, a political subdivision


or local authority there of or an instrumentality, subdivision or authority of a
contracting state which is not subject to tax by the state;

(b) The interest is beeficiallly owned by a resident of a contracting state with


respect to debt obligations gguarantee by that state, a political subdivision, or
local authority thereof or an instrumentality, subdivision or authority of such
state which is not subject to tax by that state.

d. Pasal 13 ayat 3

Pasal 13ayat 3 ini mengatur mengenai capital gain yang diterima oleh resident of
contracting state dari pengalihan perahu atau peswat udara yang dioperasikan
dalam lalulintas internasional. Sebagian bunyi pasal 13 ayat 3 adalah sebagai
berikut.

…with respect to gains derived by Norwegian, Danish, and Swedish air transport
consortium Scandinavian Airlines System (SAS), the provision of this paragraph
shall applly only to such proportion of the gains as corresponds to the
participation held in that consortium by Det Norske Luftfartsselkap (DNL) the
Norwegian partner of Scandinavian Airlines System (SAS).
21

e. Pasal 15 ayat 4

Pasal 15 ayat 4 masih berkenaan dengan SAS juga, berikut bunyi pasalnya.

Where a resident of Norway derives remuneration in respect of an employment


exercised aboard an aircraft operated in international traffic by the Scandinavian
Airlines System (SAS) consortium, such remuneration shall be taxable only in
Norway.

f. Pasal 18

Pasal 18 mengatur mengenai pensiun, alimoni, anuitas, serta pembayaran jaminan


sosial. Kebijakan alimoni dan anuitas sendiri tidak dicontohkan dalam model UN
maupun OECD—dalam model UN maupun OECD hanya dicontohkan pembayaran
pensiun. Hal ini mungkin karena pembayaran alimoni sudah sangat jarang
digunakan dalam masyarakat sekarang dan mungkin sudah tidk seharusnya dikenai
pajak. namun, alimoni ini pada negara-negara tertentu masih dikenakan pajaknya.

Adapun pengertian alimony sendiri adalah suatu pembayaran wajib kepada mantan
isteri yang harus dibayarkan saat proses perceraian. Bunyi pasal selengkapnya bisa
dilihat dalma lampiran treaty di makalah ini.

g. Pasal 21

Pasal 21 mengatur mengenai ativitas offshore. Aktivitas offshore merupakan


aktivitas yang berhubungan dengan eksplorasi atau eksploitasi dasar laut dan
lapisan tanah dan sumber-sumber alam. Pengaturan mengenai aktivitas offshore
sendiri bisa dilihat di treaty dalam lampiran makalah ini.

B. Analisis Isi

1. Pasal 2

Pasal 2 treaty ini mengatur mengenai pajak-pajak yang dicakup dalam persetujuan
(P3B). Istilah Ordonansi Pajak Perseroan sebenarnya kurang tepat apabila masih
digunakan dalam hubungannya dengan perpajakan di Indonesia. Hal ini karena
Indonesia sudah tidak mengenal lagi istilah pajak perseroan lagi setelah adanya
22

perubahan terhadap undang-undang Pajak Penghasilan indonesia. Istilah yang


dikenal dalam UU Pajak Penghasilan Indonesia saat ini adalah pajak atas laba
usaha atau pajak penghasilan. Demikian juga untuk Undang-Undang pajak atas
Bunga, Dividen, dan Royalti 1970 dirasa juga sudah tidak seharusnya dipakai lagi
dalam treaty ini karena memang semua pajak sudah dicakup dalam UU PPh 1984
dan peraturan pelaksanaannya.

Untuk istilah pajak penghasilan sendiri UU pajak penghasilan Indonesia telah men-
definisikannya dalam pasal 4 ayat 1 UU PPh 1984. Semua yang termasuk disana
merupakan penghasilan yang atasnya akan dikenakan pajak penghasilan.

2. Pasal 4

Pasal 4 mengatur tentang domisili fiskal. Dalam pasal ini diatur mengenai status
kependudukan seseorang. Satu ayat yang penting adalah pada ayat 2 tentang penen-
tuan domisili fiskal bagi orang yang punya kedudukan di dua negara maupun tidak
di keduanya. Penentuan ini sangat penting berkaitan dengan perlakuan perpajakan
yang akan diterima oleh prang bersangkutan apakah akan diperlakukan sebagai
subjek pajak dalam negeri dengan tarif tertentu—tarif pasal 17 untuk Indonesia—
ataukah akan diperlakukan sebagai subjek pajak luar negeri yang umumnya
dikenakan tarif lebih besar.

3. Pasal 5

Pasal 5 P3B Indonesia-Norwegia ini mengatur mengenai bentuk usaha tetap.


Bunyinya pun sama dengan aturan sebagaimana yang dicontohkan dalam model
UN dan OECD. Satu hal yang penulis anggap kurang mengenai istilah yang
termasuk dalam BUT adalah gudang. Dalam P3B Indonesia-Norwegia ini tidak
memasukkan unsur gudang sebagai suatu hal yang meliputi bentuk usaha tetap
sebagaimana yang tercantum dalam UU PPh Indonesia pada pasal 2 ayat 5.

Model Indonesia lebih mengedepankan azas sumber penghasilan dan guna meng-
hindari pemajakan di negara summber kadang kala aparat ditjen pajak sulit membe-
dakan antara pabrik, kantor, bengkel, dan gudang. Oleh karena itu, sebenarnya un-
sur gudang ini menjadi cukup penting sebagai salah satu unsur BUT.
23

Berkaitan dengan BUT, time test menjadi sesuatu hal yang penting untuk
diperhatikan. Jika kita menlihat time test yang ada dalam treaty ini, maka suatu
bentuk usaha baru bisa dikatakan mempunyai BUT jika sudah mencapai 6 bulan
atau lebih—dalam pasal 5 ayat 3 huruf (b). sementara, di Indonesia sendiri untuk
BUT diberikan time test 183 hari dalam 12 bulan. Hendaknya time test ini bisa
lebih pendek atau paling tidak sama dengan waktu di Indonesia sehingga Indonesia
bisa segera mengenakan pajak atas BUT tersebutdan perlakuan perpajakan atas
penghasilan dari pemberian jasa tersebut bisa sama dengan SPDN Indonesia.

4. Pasal 6

Pasal 6 mengatur tentang penghasilan yang diperoleh dari harta tak gerak. Penulis
menganggap pasal ini merupakan salah satu pasal yang penting dalam tax treaty
Indonesia-Norwegia ini, terutama pada definisi harta tak gerak. Definisi harta tak
gerak disini memang disesuaikan dengan undang-undang yang berlaku di negara
masing-masing pihak dalam treaty, tetapi ada tambahan dalam definisinya bahwa
harta tak gerak tersebut juga termasuk harta atau benda-benda yang menyertainya.
Dengan begitu jelas bahwa harta tak gerak terseut merupakan satu paket dan tidak
terpisahkan dengan benda yang ada di dalamnya atau menyertainya tersebut.

Undang-undang Pajak Penghasilan Indonesia, dalam pasal 4 ayat 1, tidak menun-


jukkan pengaturan mengenai penghasilan dari barang tak gerak seperti pasal terse-
but. Disana hanya disebutkan bahwa penghasilan termasuk keuntungan karena pen-
jualan atau karena pengalihan harta. Satu hal lagi yang masih menjadi pertanyaan
penulis adalah bagaimana dengan aspek perpajakan atas penghasilan harta tak ge-
rak tersebut, apakah akan dikenakan PPh 23, PPh 26, atau PPh 4(2). Namun, apa-
bila kembali ke pasal 2 ayat 1 tax treaty ini, maka cara pemungutan pajaknya tidak
diperhatikan, artinya cara pemungutan pajaknya terserah pada negara masing-
masing. Ini memberikan ruang gerak pula bagi DJP untuk dapat memungut pajak
atas penghasilan tersebut.

5. Pasal 7

Pasal 7 ini merupakan penting bagi Indonesia karena merupakan upaya pembagian
pajak berhubungan dengan penghasilan yang diterima oleh suatu perusahaan.
24

Dengan adanya aturan ini, maka Indonesia bisa mnegenakan pajak atas laba usaha
tersebut sepanjang atribusi yang diberikan dan diatur dalam pasal 7 ayat 1 treaty
ini.

Kemudian, pasal 7 ayat 3 juga merupakan pasal yang menguntungkan bagi


Indonesia karena dengan aturan ini, maka Bentuk usaha tetap tidak serta merta
membiayakan semua biaya yang dideritanya ke BUT di Indonesia, tetapi harus
sesuai dan dalam pasal 7 ayat 3 ini juga diatur mengenai biaya yang tidak dapat
dikurangkan oleh BUT tersebut.

6. Pasal 8

Pasal 8 ini mungkin agak merugikan bagi Indonesia karena juga terdapat fasilitas
bagi aircraft negara Swedia dan Denmark yang joint dengan Norwegia. Selain itu,
juga tidak ada pembagian hak pemajakan sebagaimana yang dicontohkan oleh
pasal 8 alternatif B UN model.

7. Pasal 9

Pasal 9 mengatur mengenai perusahaan-perusahaan yang mempunyai hubungan is-


timewa. Mengenai hubungan istimewa ini, UU PPh Indonesia telah mengaturnya
dalam pasal 18 UU PPh 1984.

8. Pasal 10

Pasal 10 mengatur tentang dividen. Dalam pasal ini dijelaskan bahwa pembayaran
dividen ke luar negeri hanya boleh dipajaki oleh negara tempat penerima dividen
tersebut. Namun, pajak atas dividen juga dapat dikenakan di negara tempat dividen
tersebut timbul dan sesuai dengan perundang-undangan negara tersebut—dalam hal
ini Indonesia—tetapi hanya jika penerima dividen tersebut adalah beneficial owner
atas dividen tersebut dengan pajak yang dikenakan tidak lebih dari 15%.

Salah satu hal yang penting diperhatikan dalam ayat ini adalah tentang ketentuan
beneficial owner. agar makna beneficial owner dalam P3B ini tidak
disalahgunakan, maka Direktorat Jenderal Pajak memberikan peraturan penegas
melalui SE-03/PJ.03/2008 tentang Penentuan Status Beneficial Owner dan PER-
25

62/PJ./2009 tentang Pencegahan Penyalahgunaan Persetujuan Penghindaran Pajak


Berganda.

Beneficial Owner adalah pemilik yang sebenarnya dari penghasilan berupa dividen,
bunga, dan/atau royalti yang berhak sepenuhnya untuk menikmati secara langsung
manfaat penghasilan-penghasilan tersebut. Dengan demikian Indonesia dapat me-
ngenakan pajak atas penghasilan dividen, bunga, dan/atau royalti yang bersumber
dari Indonesia.

Dalam PER-62/PJ/2009, yang dimaksud dengan pemilik sebenarnya atas manfaat


ekonomis adalah penerima penghasilan yang

a. Bertindak tidak sebagai agen

b. Bertindak tidak sebagai nominee, dan

c. Bukan perusahaan conduit

Tidak termasuk dalam pengertian beneficial owner adalah perusahaan dalam ben-
tuk special purpose company, conduit company, paper box company, atau pass-
trough company.

Agen adalah orang atau badan yang bertindak sebagai perantara dan melakukan tin-
dakan untuk dan/atau atas nama pihak lain.

Nominee adalah orang atau badan yang secara hukum memiliki suatu harta dan.atau
penghasilan untuk kepentingan atau berdasarkan amanat pihak yang sebenarnya
menjadi pemilik harta dan.atau pihak yang sebenarnya menikmati manfaat atas
penghasilan.

Conduit company adalah suat perusahaan yang memperoleh manfaat dari suatu
P3B sehubungan dengan penghasilan yang timbul di negara lain, sementara manfa-
at ekonomis dari penghasilan tersebut dimiliki oleh orang-orang di negara lain yang
tidak akan dapat memperoleh hak pemanfaatan P3B apabila penghasilan tersebut
diterima langsung.
26

Ada baiknya kalau saja dalam persetujuan ini juga dirumuskan mengenai beneficial
owner itu sendiri mengingat tidak adanya penjelas dalam P3B ini—bahkan dalam
setiap P3B.

9. Pasal 12

Pasal 12 tentang royalti. Pembagian ha pemajakan atas royalti ini sangat


menguntungkan Indonesia karena dapat kita lihat bahwa sepertinya Indonesia
merupakan sumber royalti yang besar—mengingat juga bahwa iklim pertumbuhan
usaha di Indonesia juga terus berkembang dan banyak juga produk-produk baru
yang masuk ke Indonesia. Persentase 10% atau 15% ini jelas menguntungkan bagi
Indonesia sebagai tambahan atas penerimaan pajak negara.

10. pasal 14

Pasal 14 mengatur tentang penghasilan yang diterima atau diperoleh orang karena
pekerjaan bebas. Dalam ayat pasal ini dijelaskan bahwa penduduk dari suatu con-
tracting state karena pekerjaan bebas atau jasa profesional lainnya hanya akan di-
kenakan pajak di contracting state tersebut. Dalam hal ini orang Indonesia yang
bekerja bebas di Indonesia hanya akan dikenakan pajak di Indonesia. Namun,
penduduk tersebut dapat dikenakan juga di negara lain sehubungan dengan peker-
jaan bebas yang dilakukannya di negara lain tersebut selama dia bekerja dalam
jangka waktu lebih dari 90 hari dalam 12 bulan di negara lain tersebut. Dalam hal
ini, ketentuan tersebut masih belum jelas bagi penulis apakah penduduk Indonesia
itu akan diperlakukan sebagai suatu BUT di Norwegia saat dia memberikan jasa-
nya atau pekerjaan bebas tersebut karena jika kita lihat pada pasal 5 treaty ini,maka
pemberian jasa tersebut akan dikatakan berbentuk BUT jika jangka waktu 90 hari
tersebut terlampaui.

Dalam pasal ini juga telah diberikan kejelasan tentang jenis jasa profesional yang
tercakup dalam pengertian jasa-jasa profesional ,yakni kegiatan-kegiatan di bidang
ilmu pengetahuan, kesusasteraan, kesenian, pendidikan, atau pengajaran yang dila-
kukan secara independen, demikian juga pekerjaan bebas yang dialkukan oleh dok-
ter, ahli teknik, ahli hukum, dokter gigi, arsitek, dan para akuntan. Yang menjadi
pertanyaan kemudian adalah bagaimana dengan jasa lainnya?
27

11. Pasal 15 dan 16

Pasal 15 dan 16 sebenarnya menegaskan suatu hal yang sama, yakni mengenai
pembagian pemajakan dimana orang yang bekerja pada other contracting state da-
pat dikenakan pajak di negara tersebut. semuanya tergantung dimana ia bekerja dan
darimana ia menerima imbalan tersebut. tata cara pemungutannya diserahkan kepa-
da negara masing-masing.

12. Pasal 20

Pasal 20 tentang pelajar dan peserta latihan. Orang yang semata-mata sebagai pela-
jar atau magang atau pelatihan akan dibebaskan dari pajak. Pasal ini mungkin
memberikan kelonggaran yang lebih banyak lagi untuk kemajuan edukasi di bidang
pengetahuan dan teknologi karena tida adanya batasan pembayaran yang diatur
dalam treaty ini, sehingga berapapun pembayarannya, maka tidak akan ada pajak
yang dikenakan. Untuk mahasiswa Indonesia yang berbeasiswa ke Norwegia hal ini
akan sangat menguntungkan.

13. Pasal 21

Pengaturan tersendiri tentang aktivitas offshore ini memberikan arti penting bagi
Indonesia mengingat bahwa Indonesia merupakan negara yang bisa dibilang aya
dalam hal sumber daya alamnya, sehingga banyak juga investor asing—tak
terkecuali untuk Norwegia—untuk masuk dan beraktivitas di Indoensia. Dengan
adanya aturan ini, maka Indonesia berhak atas hak pemajakan atas profit atau gaji
yang diberikan terhadap karyawan perusahaan yang melakukan aktivitas ini.

14. Pasal 24

Dalam upaya penghindaran pajak berganda, maka Indonesia menggunakan kredit


method sebagaimana yang tercantum dalam pasal 24 UU PPh 1984, sedangkan
untuk Norwegia sendiri menggunakan 2 metode, yakni credit method dan
exemption method.

15. Pasal 27
28

Pasal 27 ini merupakan pasal yan juga sangat penting karena berkaitand engan
pertukaran informasi. Dengan adanya aturan ini, maka setiap negara dalam
perjanjian berhak atas informasi yang mereka inginkan dari negara lainnya,
sepanjang informasi tersebut bersifat wajar untuk ditukar, seperti informasi untuk
para pelaku transfer pricing. Kesulitan utama Indonesia terkadang adalah berkaitan
dengan informasi-informasi ini.

C. Implikasi

Dengan adanya Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda antara Indonesia dengan


Norwegia ini, maka
1. Semua penduduk Indonesia dan Norwegia harus mematuhi peraturan sesuai dengan
yang tertera dalam P3B dalam rangka pemenuhan kewajiban perpajakan mereka.
2. Sesuai dengan tujuan P3B, maka wajib pajak dari kedua negara akan terhindar dari
pemajakan yang berlebihan dari kedua negara.
3. Adanya kemungkinan bagi Indonesia untuk mendapatkan bagian hak pemajakan
dari penghasilan yang bersumber dari Norwegia, begitu juga dengan Norwegia.
4. Adanya komunikasi antar pejabat yang berwenang dapat membantu Indonesia da-
lam upaya pemberantasan kasus-kasus transfer pricing yang selama ini masih men-
jadi masalah bagi aparat perpajakan Indonesia.
BAB IV PENUTUP

A. Kesimpulan

Persetujuan penghindaran pajak berganda (P3B) adalah perjanjian pajak berganda an-
tara dua negara bilateral yang mengatur mengenai pembagian hak pemajakan atas
penghasilan yang diperoleh atau diterima oleh penduduk dari salah satu atau kedua ne-
gara pihak pada persetujuan (both contracting states). Tujuan utama atas P3B ini ada-
lah untuk menghindarkan aspek pemajakan berganda yang akan diterima oleh pendu-
duk atau wajib pajak kedua negara saat menerima penghasilan, walaupun tidak dapat
dipungkiri bahwa pemajaan berganda itu akan tetap ada dalam praktiknya.

Dalam P3B dikenal 3 model P3B, yakni model OECD, model UN, dan model Indo-
nesia. Model Indonesia ini adalah model yang digunakan Indonesia dalam P3B Indo-
nesia dengan Sigapura ini, tetapi pasal-pasal di dalamnya lebih cenderung (dominan)
terhadap model UN. Indonesia menggunakan model Indonesia karena lebih menge-
depankan azas sumber dalam pemajakan penghasilan yang diterima oleh suatu pen-
duduk. Keikutsertaan Indonesia dalam PBB dan status Indonesia sebagai negara de-
ngan peningkatan keterlibatan dalam OECD juga kemungkinan merupakan penyebab
Indonesia menerapkan 2 model ini dalam suatu P3B.

Pasal 5 ayat (3), (5), dan (6) , pasal 6 ayat (4), pasal 7 ayat (1) dan (3), pasal 8, pasal 10
ayat (2), pasal 11 ayat (2) dan (5), pasal 12 ayat (1) dan (2), pasal 13 ayat (4), dan pasal
14 merupakan pasal-pasal yang menggu- nakan model UN. Pasal 7 ayat (5) , pasal 16,
dan pasal 23 merupakan pasal-pasal yang menggunakan model OECD. Pasal 8 ayat
(3), pasal 10 ayat (6), pasal 11 ayat (3), pasal 13 ayat (3), pasal 15 ayat (4), pasal 18,
dan pasal 21 merupaan pasal yang mengatur khusus. Untuk pasal-pasal lainnya sudah
sama antara model OECD dan UN.

Dalam P3B Indonesia-Norwegia ini ada ketidaksesuaian istilah, yakni istilah pajak
perseroan.
30

Dalam P3B ini, Pembagian hak pemajakan juga diberikan seperti pada pasal yang
mengatur tentang dividen, bunga, dan royalti serta pemajakan atas laba BUT.

Pembatasan atas definisi jasa-jasa profesional telah dilakukan dalam P3B ini dalam pa-
sal yang mengatur tentang independent personal service. Secara keseluruhan, P3B an-
tara Indonesia dan Norwegia ini pengaturannya telah sejalan dengan yang diatur dalam
UU PPh Indonesia. Kalaupun ada perbedaan , itu hanyalah merupakan perbedaan ling-
kup yang lebih sempit dan tarif yang bisa lebih rendah jika dibandingkan dengan di
Indonesia.

Dengan adanya P3B ini, Indonesia dapat memperoleh berbagai keuntungan seperti ada-
nya pembagian hak pemajakan atas penghasilan yang diterima dari negara sumber di
Norwegia, pertukaran informasi, pengembangan SDM sehubungan dengan pemajaakan
terhadap pelajar..

B. Saran

Dari pembahasan ini, penulis memberikan saran agar dalam pembuatan persetujuan
penghindaran pajak berganda ini diberikan aturan-aturan yang jelas dan lebih
mendetail atau diberikan penjelasan sebagaimana undang-undang yang ada di dalam
negeri. De- ngan begitu tidak timbul penafsiran-penafsiran yang salah dalam
pemahaman treaty tersebut. Treaty yang sudah bagus tentunya tidak akan memerlukan
aturan penjelas atau pelaksanaan lagi.

Mengingat aturan P3B ini sudah dibuat sejak 20 tahun yang lalu dan UU Pajak Peng-
hasilan Indonesia sudah berubah beberapa kali, mungkin perlu juga untuk meninjau
ulang P3B Indonesia dengan Norwegia. Hal ini juga mempertimbangkan mengenai
iklim investasi dan usaha yang berkembang dalam beberapa dasawarsa terakhir ini.
31

DAFTAR PUSTAKA

Darussalam dan Danny Septriadi.2008.Pembagian Hak Pemajakan Atas Suatu Jenis


Peng- hasilan Berdasarkan OECD Model Tax Treaty.10 November
2008.http://www.or- tax.org/ortax/?
mod=issue&page=show&id=35&q=&hlm=1(diakses 24 Juni 2010)
Darussalam dan Danny Septriadi.2005.Pengertian Beneficial Owner dalam Tax
Treaty.5 September 2005.http://www.dannydarussalam.com/dd15/artikel-
pajak/4920-pe- ngertian-beneficial-owner-dalam-tax-treaty.html (diakses 24
Juni 2010)

Dudi.2009.Beneficial Owner.3 Desember 2009.http://dudiwahyudi.com/pajak/pajak-


peng- hasilan/beneficial-owner.html (diakses 24 Juni 2010)

Husein, Yunus.2009.OECD dan Tax Havens Country.14 April


2009.http://www.ahmad- heryawan.com/opini-media/ekonomi-bisnis/2970-
oecd-dan-tax-havens-country.html (diakses 24 Juni 2010)

Organization for Economic Co-operation and Development.2008.Article of The


Model Convention With Respect to Taxes on Income and on Capital.___:
OECD

Setiawan, Agus.2006.Perpajakan Internasional di Indonesia.Jakarta: Departemen


Keuang- an Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan

Suparman, Raden.2009.Permanent Establishment.6 Februari 2009.


http://pajaktaxes.blog- spot.com/2009/02/permanent-establishment.html
(diakses 24 Juni 2010)

United Nation.2001.Article of The United Nations Model Double Taxation


Convention Between Developed and Developing Countries.___: United
Nation

You might also like