You are on page 1of 8

TARI OREK-OREK

a. Pengertian
Orek-orek adalah kesenian tradisional berupa tarian pergaulan yang merupakan
perpaduan antara gerak tari dan nyanyian yang diiringi tetabuhan yang cara
memukulnya salah satunya dengan dikorek.

b. Bentuk Permainan
Mengikuti pola/ bentuk teater/ tontonan yang diselingi gerak, tari, nyanyi dan
kemudian pesan dapat disampaikan melalui tembang.

c. Pemain
Pemain putera dan puteri antara 4 – 10 orang penari sekaligus pemain/ pendukung
cerita ( dengan menyesuaikan panggung yang tersedia, dan ini belum termasuk
pengiring/ pengrawit )

d. Pengiring/ Pengrawit
Gamelan yang dipakai laras slendro, tetapi tidak selengkap gamelan slendro yang
ada. Gamelan tersebut biasanya disebut gamelan “ thuk – brul “ ( bhs. Jawa
gathuk gabrul ), yang terdiri dari :
- Bonang Barung
- Saron Penerus
- Kendhang
- Kempul
- Gong
- Keprak/Kecrek
- Drumb

e. Pakaian/kostum
Sama dengan pakaian kethoprak atau disesuaikan cerita yang dibawakan untuk
putra, dan khusus untuk putri mamakai pakaian sama dengan pakaian gambyong
tari jawa.
f. Pementasan
semua dilakukan pada acara-acara resmi, sedekah laut, sedekah desa dll. Dimana
merupakan ucapan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas keberhasilan
dalam bertani/bercocok tanam, mencari ikan dll. Kemudian berkembang
dipentaskan pada acara-acara orang punya kerja, hiburan pada acara-acara resmi
Pemerintah Daerah juga dalam penyambutan tamu-tamu Negara yang datang ke
Rembang.

TRADISI KEDUK BEJI

NGAWI - Ritual mandi lumpur di Desa Tawun, Kecamatan Kasreman, Kabupaten


Ngawi yang telah berlangsung turun temurun tetap dilestarikan. Peserta ritual
yang dikenal dengan istilah Keduk Beji atau nyadran ini dilaksanakan dengan jalan
membersihkan kolam sumber mata air Sendang Tawun.

Peserta ritual mandi lumpur itu terdiri dari kalangan anak-anak, remaja, dewasa
hingga orang tua. Mereka bersama-sama bermandi lumpur yang ada di kolam
sumber mata air tersebut. Acara itu digelar setiap Selasa Kliwon menurut
kalender Jawa secara turun temurun.

Teriakan peserta yang ikut mandi lumpur bersaut-sautan dengan suara dua
sinden yang melantunkan tembang-tembang Jawa disertai iringan gamelan. Para
pemain gamelan dan dua sinden ini juga tampak gembira seperti peserta ritual
lainnya yang berada di dalam kolam.

"Kalau bulannya memang selalu berubah. Akan tetapi, untuk harinya selalu
dilaksanakan pada Selasa Kliwon yang menurut penanggalan Jawa sebagai hari
yang paling baik," kata Tunggal, Kepala Dusun (Kasun) Tawun.
Ratusan lelaki dari berbagai usia dan generasi ini memasuki kolam ukuran 20 x 30
meter. Usai membersihkan kolam, dua penyelam (tukang silem) juga masuk ke
dalam kolam tersebut. Kedua penyelam itu merupakan keturunan tukang silem ini
membawa sebuah kendi berisi air badhek (air tape) yang dianggap sebagai air
suci.

Usai dua penyelam yang mengenakan pakaian adat Jawa mengganti kendi yang ada
di pusat sumber mata air, para peserta ritual yang ada di dalam kolam mengikuti
irama sinden. Peserta tua maupun muda masing-masing memegang tongkat kayu
menarikan Tari Kecetan di dalam kolam.

Sesekali para penari memukulkan tongkat kayu di atas air, bahkan sebagian
memukul penari yang lain. Aksi saling pukul tak terhindarkan, penari yang lain
memisah keduanya agar tidak terjadi kekisruhan. Satu jam berlalu, tabuhan
gamelan semakin cepat, para penari juga bergerak menyesuaikan irama, menutup
tarian kecetan tersebut.

"Pukul-pukulan sudah biasa, jika ada persoalan diselesaikan di sini semuanya


tanpa meninggalkan rasa kesal dan benci di antara peserta," kata Mujamin (30)
yang telah mengikuti tradisi ini sejak umur 12 tahun.

Sesepuh Desa Tawun yang dinobatkan sebagai juru silem, Mbah Wo Supomo
menjelaskan, upacara Keduk Beji merupakan salah satu cara untuk melestarikan
adat budaya penduduk Desa Tawun. Tujuan utamanya membersihkan sumber dari
kotoran. Inti utama dari upacara itu terletak pada penggantian dan penyimpanan
kendi di pusat sumber yang terdapat di dalam gua.

“Setiap tahunnya, kendi di dalam sumber diganti melalui upacara ini. Hal ini
dimaksudkan agar sumber air tetap bersih dan dapat mengairi lahan pertanian
warga sekitar dan kebutuhan air untuk konsumsi warga," ungkapnya.

Selain itu, juga disiapkan sesaji berisi jadah, jenang, pisang, kelapa, rengginang,
lempeng, tempe, bunga dan telur serta seekor kambing kendit yang dibakar di
samping punden sumber air. Upacara adat ditutup dengan makan bersama
Gunungan Lanang dan Gunungan Wadon yang disediakan bagi warga untuk mencari
berkah.
Menurut Kades Tawun, Suryo Wirawan yang memimpin ritual ini menegaskan
porsi acara ritual tahun ini dikurangi. "Jika sebelumnya Tayuban sebagai penutup
dilaksanakan dua hari dua malam, saat ini hanya dilaksanakan sehari saja agar
biayanya tidak membengkak," tandasnya.

KESENIAN DONGKREK

Seni dongkrek lahir sekitar tahun 1867 di Kecamatan Caruban yang saat ini
namanya berganti menjadi Kecamatan Mejayan, kabupaten Madiun. Kesenian itu
lahir di masa kepemimpinan Raden Ngabehi Lo Prawirodipuro yang menjadi
demang (jabatan setingkat kepala desa) yang membawahi lima desa.
Kesenian dongkrek hanya mengalami masa kejayaan antara 1867 – 1902. Setelah
itu, perkembangannya mengalami pasang surut seiring pergantian kondisi politik
di Indonesia. Pada masa penjajahan Belanda, kesenian dongkrek sempat dilarang
oleh pemerintahan Belanda untuk dipertontonkan dan dijadikan pertunjukan
kesenian rakyat. Saat masa kejayaan Partai Komunis Indonesia (PKI) di Madiun,
kesenian ini dikesankan sebagai kesenian genjer-genjer yang dikembangkan PKI
untuk memperdaya masyarakat umum. Sehingga kesenian dongkrek mengalami
masa pasang surut akibat imbas politik.
Konon rakyat desa Mejayan terkena wabah penyakit, ketika siang sakit sore hari
meninggal dunia atau pagi sakit malam hari meninggal dunia, dalam kesedihannya,
Raden Prawirodipuro sebagai pemimpin rakyat Mejayan mencoba merenungkan
metode atau solusi penyelesaian atas wabah penyakit yang menimpa rakyatnya.
Renungan, meditasi dan bertapa di wilayah gunung kidul Caruban. Ia mendapatkan
wangsit untuk membuat semacam tarian atau kesenian yang bisa mengusir balak
tersebut.
Dalam cerita tersebut wangsit menggambarkan para punggawa kerajaan roh
halus atau pasukan gondoruwo menyerang penduduk mejayan dapat diusir dengan
menggiring mereka keluar dari desa mejayan, maka dibuatlah semacam kesenian
yang melukiskanfragmentasi pengusiran roh halus yang membawa pagelebuk
tersebut.
“Komposisi para pemain fragmen satu babak pengusiran roh halus tersebut
terdiri dari barisan buto kolo, orang tua sakti dan kedua perempuan tua separuh
baya. Para perempuan yang disimbulkan posisi lemah sedang dikepung oleh para
pasukan buto kala dan ingin mematikan perempuan tersebut, maka muncullah
sesosok lelaki tua dengan tongkatnya mengusir para barisan roh halus tersebut
untuk menjauh dari para perempuan tersebut”; jelasnya.
Selanjutnya, melalui peperangan yang cukup sengit, pertarungan antar rombongan
buto kolo dengan orang tua sakti, dan dimenangkan oleh orang tua tersebut. Pada
episode selanjutnya, orang tua tersebut dapat menyelamatkan kedua perempuan
dari ancaman para buto kolo tersebut dan rombongan buto kolo itu mengikuti dan
patuh terhadap kehendak orang tua sakti tersebut, kemudian orang tua yang
didampingi dua perempuan itu menggiring pasukan buto kolo keluar dari desa
mejayan sehingga sirnalah pagebluk yang menyerang rakyat desa mejayan selama
ini dan tradisi ini menjadi ciri kebudayaan masyarakat caruban, dengan sebutan
Dongkrek.
Masyarakat pada waktu itu mendengar musik dari kesenian dongkrek ini yang
berupa bunyian ‘dung’ berasal dari beduk atau kendang dan ‘krek’ ini dan alat
musik yang disebut korek. Alat korek ini berupa kayu berbentuk bujur sangkar,
di satu ujungnya ada tangkai kayu bergerigi yang saat digesek berbunyi krek.
Dari bunyi dung pada kendang dan krek pada korek itulah muncul nama kesenian
Dongkrek.Dalam perkembangannya digunakan pula komponen alat musik lainnya
berupa gong, kenung, kentongan, kendang dan gong berry sebagai perpaduan
antar budaya yang dialiri kebudayaan Islam, kebudayaan cina dan kebudayaan
masyarakat jawa pada umumnya.
Dalam tiap pementasan dongkrek, ada tiga topeng yang digunakan para penari.
Ada topeng raksasa atau ‘buto’ dalam bahasa Jawa dengan muka yang seram. Ada
topeng perempuan yang sedang mengunyah kapur sirih serta topeng orang tua
lambang kebajikan.
“Dan kalau ditarik kesimpulan, maksud jahat akhirnya akan lebur juga dengan
kebakan dan kebenaran sesuai dengan sesanti atau moto surodiro joyoningrat,
ngasto tekad darmastuti.” Dalam islam istilahnya, Ja’al haq wa zahaqal bathil.
Innal Bathila kaana zahuqa.

WAYANG KRUCIL
SENI tradisi Wayang Krucil di Nganjuk mempunyai nilai-
nilai budaya yang tinggi. Kesenian ini tak hanya mengangkat cerita-cerita
sejarah, tetapi juga memuat aspek moral dan etika. Sekaligus berperan sebagai
media hiburan rakyat.
Di Nganjuk, Wayang Krucil pernah menjadi tontonan yang populer, bersaing
dengan wayang purwa. Namun, saat jenis hiburan lain yang lebih modern
menjamur, Wayang Krucil semakin tergusur.
Sekarang pementasan-pementasan Wayang Krucil semakin sulit dijumpai. Kecuali,
dalam acara-acara ritual yang berkait dengan bersih desa dan nadar. Padahal,
kesenian ini masih banyak dijumpai hingga masa 1960-an.
Pada puncak kejayaannya, Wayang Krucil tersebar hampir di seluruh daerah
(desa dan kecamatan) di Nganjuk, bahkan sampai di kawasan Kabupaten Kediri.
Namun, saat ini tinggal tersisa beberapa saja. Salah satunya, Wayang Krucil milik
Paguyuban Mardi Laras di Desa Garu Kecamatan Baron, sekitar 15 kilometer
sebelah timur Kota Nganjuk.
Boleh jadi, Wayang Krucil yang ada di desa itu menjadi satu-satunya di Nganjuk
atau Jawa Timur. Sedangkan di desa lainnya sudah punah dan tak memiliki
pewaris lagi.
Wayang Krucil satu-satunya yang tertinggal di Nganjuk itu dikenal sebagai
Wayang Krucil Garu, karena tinggal dan berkembang di Desa Garu.
Pelaku seni tradisi atau dalang Wayang Krucil Garu ini tinggal seorang, yaitu Ki
Sudiono, yang merupakan dalang Wayang Krucil turun-temurun.
Ayahnya, Joyo Untung, adalah seorang dalang Wayang Krucil di Nganjuk yang
populer dengan sebutan dalang Purwocarito. Sedang kakeknya, Sastrorejo,
populer dengan sebutan dalang Kondo Suwarno.
Selain sebagai seorang dalang, Ki Sudiono juga seorang perajin Wayang Krucil.
Sebagian menjadi koleksi pribadi dan sebagian menjadi pesanan turis-turis
Eropa.
Di desa ini, Wayang Krucil dianggap sebagai bagian dari keberadaan desa
sehingga berlangsung turun-temurun, dianggap sakral, sehingga harus selalu
dipentaskan dalam upacara bersih desa setahun sekali. Kesakralan dan malati
Wayang Krucil Garu terwujud dalam bentuk pagelaran yang harus disertai
sesajen khusus.
Wayang Krucil dibuat dari kayu Mentaos berbentuk pipih. Mula-mula, kayu
dipotong dan dibuat papan agak tebal. Setelah itu, papan kayu diberi gambar,
diukir dan diberi cat sesuai tokoh wayang yang akan dibuat. "Kayu Mentaos
memiliki serat halus, kalau dibuat wayang hasilnya bagus. Namun, kayu ini
sekarang susah didapat," ujar Ki Sudiono.
Meskipun bentuknya pipih, Wayang Krucil berbeda dengan Wayang Kulit. Pada
Wayang Krucil, memiliki ketebalan 2 -3 Centimeter, sedang Wayang Kulit sekitar
3 milimeter. Boleh dikatakan, bentuk Wayang Krucil mengarah tiga demensi.
Karena itu, karakter tokoh-tokoh pada Wayang Krucil terkesan lebih bernyawa
dibanding Wayang Kulit.
"Saya sendiri heran, setelah jadi wayang kok jadi hidup. Sama-sama tokoh
Bratasena, pada Wayang Krucil terlihat kokoh dan bernyawa," imbuh Ki Sudiono.
Perbedaan lainnya, Wayang Kulit (purwa), satu wayang mewakili satu tokoh atau
satu karakter dan memiliki satu nama. Sedang, pada Wayang Krucil Sri Guwak ini
satu wayang bisa berganti-ganti memerankan beberapa tokoh dan karakter.
Tokoh Baladewa dapat digunakan ketika sang dalang mengambil sumber cerita
Mahabarata. Tetapi, ketika mengangkat cerita Menak, tokoh ini digunakan
sebagai figur Prabu Rusmantono, Raja Sindukaas. Sedang Bima (Bratasena)
menjadi tokoh Raja Lamdaur Alam dari Kerajaan Srandil.
Wayang Krucil Garu Nganjuk juga berbeda dengan Wayang Golek atau Wayang
Tengul. Wayang Golek berbentuk boneka, sedang Wayang Krucil pipih. Untuk
mementaskan kesenian itu, diringi perangkat gamelan Mardi Laras dengan 20-an
pemusik (penabuh) dan 5 pesinden (penyanyi).
Cerita Wayang Garu Nganjuk mengambil beberapa sumber, diantaranya, cerita
yang berkaitan dengan Kerajaan Kediri. Seperti, kisah Panji Semirang Asmara
Bangun, Candra Kirana, Panji Asmaratanka, Candra Kirana Mbarang Jantur.
Juga, mengambil sumber cerita rakyat tentang pemberontakan kepada Belanda.
Seperti, kisah perlawanan Untung Surapati, Diponegoro, Trunojoyo. Atau, cerita-
cerita seputar Walisongo dan pendirian Kerajaan Islam Demak.
Ada juga cerita dari Serat Menak yang diadaptasi dari Persia. Cerita ini
berkaitan dengan prkembangan agama Islam, seperti pada cerita Umarmaya,
Umarmadi, Amir Hamzah. Namun, nama-nama tokohnya sudah diadaptasi.
Bahkan, dalang juga bisa mengambil sumber cerita dari Mahabarata. Selain itu,
dalang juga membuat cerita sendiri atau dikenal sebagai lakon carangan.
Kondisi Wayang Krucil Garu Nganjuk kini dalam keadaan yang menyedihkan. Tak
banyak yang peduli, kecuali segelintir seniman. Bahkan, pemerintah daerah
setempat pun tak banyak berbuat. Inilah yang menjadi kekhawatiran Ki Sudiono.
Ki Sudiono mengaku, setiap tahun rata-rata hanya bisa tampil 4 kali. Biasanya,
untuk memeriahkan kegiatan bersih desa. Di Desa Garu sendiri, acara seperti ini
rutin dilakukan setiap tahun sekali.
Meskipun demikian, Ki Sudiono bertekad untuk tetap melestarikan kesenian ini.
Selama ini, dirinya lebih banyak meluangkan waktunya untuk membuat wayang.
Yang membanggakan bagi Ki Sudiono, adalah Wayang Krucil Nganjuk sudah
dikenal sampai di Jerman.
Dalam waktu satu minggu, Ki Sudiono bisa menyelesaikan satu wayang. Ia hanya
membuat apabila ada pesanan. Untuk pasar lokal, satu wayang dijual sekitar
Rp700 ribu. Sedang pemesan luar negeri, diatas satu juta rupiah.palopo
abdurahman

You might also like