You are on page 1of 4

Etika dan Moralitas Berpolitik

Hanya menghitung hari dan waktu yang tepat saja, gerbang pemilihan pemimpin melalui Pilkada
akan terlaksana di berbagai wilayah Indonesia. Berbagai cara dan jalan telah diusung agar
merangkul partisipan masyarakat umum. Moment ini pun digunakan sebagai ajang strategis
untuk mencalonkan diri sebagi pemimpin daerah. Spanduk-spanduk dengan ukuran ‘super
ekstra’ pun mulai terpampang dilengkapi dengan ‘poin-poin” janji di berbagai badan jalan dan
pusat keramaian yang sering dilalu-lalangi publik. Selain itu merekapun mulai beraksi di
lapangan untuk mencari dukungan nyata. Kecurangn sekaligus berbagai tindakan abnormal tidak
jarang diterapkan. Liputan media massa pun menjadi bukti kongket atas pengabdian yang
terlaksana, dengan berbagai kerjasama dan kontrak politik yang telah ditandatangani, yang
tentunya merupakan kesepakatan secara tertulis yang akan dilaksanakan jika kelak terpilih nanti.
Namun, kompetisi antar elite politik belakangan ini ditengarai cenderung mengabaikan etika dan
estetika politik sehingga bermuara pada menipisnya moralitas dan kesantunan, yang kemudian
melahirkan kegamangan, kebingungan hingga apatisme politik. Dimana kebiasaan saling
menuding antar partai dan mengklaim diri sebagai partai terbaik serta ada juga terjadi perusakan
sejumlah atribut partai dan gambar calon yang diusung untuk maju menjadi pemimpin juga
menjadi indikasi bahwa menipisnya kesantunan dalam berpolitik.
Mengurai sejumlah problem di tengah realitas politik itu meniscayakan logika yang dapat
menjernihkan secuil persoalan bangsa di tahun ini. Salah satunya dengan mengembalikan norma
kesantunan, etika, estetika, dan moralitas dalam berpolitik yang sejatinya dari elite politik,
sehingga tercipta kedamaian publik.Kedamaian itu diharapkan menapasi roh demokrasi sebagai
penentu nasib negeri kedepan. Optimisme lahirnya pemimpin dan kepemimpinan kemudian
dihadapkan pada kedewasaan berpolitik menjadi keharusan dalam menghadapi realitas politik
yang diwarnai kompetisi di tengah konstelasi politik, terutama dengan munculnya fenomena
saling mencaci antar elite bahkan perseteruan yang melibatkan personal elite tertentu.
Kekhawatiran di tengah hiruk-pikuk proses kampanye, dimana kemampuan elite politik
mengelola konflik yang tiada taranya menjadi suatu keharusan sehingga pesta demokrasi yang
menjadi hajatan dapat terlaksana dengan transparan dan adil. Pilkada secara damai adalah
alternatif untuk menyelamatkan demokrasi melalui proses-proses yang normal.Kampanye
merupakan awal langkah untuk mencari pemimpin yang berbobot,memiliki integritas dan
komitmen moral. Dalam kontek sinilah etika politik menjadi kesadaran politik sebagai bagian
tanggung jawab menyelamatkan dengan meracik kedamaian dan kebersamaan dengan
mempertebal etika dan moralitas berpolitik.
Bagaimanapun kampanye sebagai untuk mensosilisasikan platform partai tertentu dan sebagai
ajang pengenalan calon yang akan maju sebagai pemimpin tidaklah harus mengorbankan rakyat
kecil, terus mengadaikan suara rakyat. Sikap kritis dan rasionalitas pemilih yang dibangun
melalui pendidikan politik yang berkualitas akan meminimalisasi keculasan elite politik yang
dilegalisasi kontitusi.
Pilkada ataupun pemilu sebagai mekanisme dari proses demokrasi mengagendakan mencari
kepemimpinan daerah maupun nasional secara selektif yang memiliki kepedulian
publik,demokrasi yang memberikan ruang untuk mendaur ulang kepemimpinan menuntut
lahirnya elite baru yang memiliki etika,integritas dan komitmen moral kerakyatan di tengah
masyarakat komunal yang gamang politik.Tanpa komitmen moral kerakyatan atau moral
kebangsaan akan di khawatirkan justru melahirkan konspirasi yang membiaskan kepentingan
rakyat. Rakyat yang menyerahkan kedaulatannya melalui bilik suara degan beberapa menit akan
menjadi kacau dan hilang kepercayaan dengan melihat cacat moral elite politik .
Begitu banyaknya pandangan politikus yang sinis,mereka menganggap bahwa berbicara etika
politik itu seperti berteriak di padang gurun.Realitas politik adalah pertarungan kekuatan dan
kepentingan. Politik dibangun bukan dari yang ideal, tidak tunduk kepada apa yang seharusnya.
Dalam politik kecenderungan umum adalah tujuan menghalalkan segala cara.Dalam konteks ini
bagaimana etika politik bisa berbicara? Betapa pentingnya sebuah etika berpolitik dalam
membangun manusia demokrasi apalagi yang haus akan kekuasaan,tentu saja persimpangan
politik yang melanda wilayah negeri ini harus di pungkas secepatnya dengan tindakan yang
merujuk pada norm-norma moral, nilai-nilai hukum atau peraturan perundangan sehingga
disinilah letak celah di mana etika politik bisa berbicara sebagi otoritas.

nilai etika dan estetika dalam berbudaya

Secara historis perkembangan zaman boleh saja mengalami perubahan yang dahsyatmun, peran
kesenian tidak akan pernah berubah dalam tatanan kehidupan manusia. Sebab, melalui media
kesenian, makna harkat menjadi citra manusia berbudaya semakin jelas dan nyata.
Bagi manusia Indonesia telanjur memiliki meterai sebagai bangsa yang berbudaya. Semua itu
dikarenakan kekayaan dari keragaman kesenian daerah dari Sabang sampai Merauke yang tidak
banyak dimiliki bangsa lain. Namun, dalam sekejap, pandangan terhadap bangsa kita menjadi
”aneh” di mata dunia. Apalagi dengan mencuatnya berbagai peristiwa kerusuhan, dan terjadinya
pelanggaran HAM yang menonjol makin memojokkan nilai-nilai kemanusiaan dalam potret
kepribadian bangsa.
Padahal, secara substansial bangsa kita dikenal sangat ramah, sopan, santun dan sangat
menghargai perbedaan sebagai aset kekayaan dalam dinamika hidup keseharian. Transparansi
potret perilaku ini adalah cermin yang tak bisa disangkal. Bahkan, relung kehidupan terhadap
nilai-nilai etika, moral dan budaya menjadi bagian yang tak terpisahkan. Namun, kenyataannya
kini semuanya telah tercerabut dan ”nyaris” terlupakan.
Barangkali ada benarnya, dalam potret kehidupan bangsa yang amburadul ini, kita masih
memiliki wadah BKKNI (Badan Koordinasi Kebudayaan Nasional Indonesia) yang mengubah
haluan dalam transformasi sosial, menjadi BKKI (Badan Kerja sama Kesenian Indonesia) pada
Februari lalu. Barangkali dengan baju dan bendera baru ini, H. Soeparmo yang terpilih sebagai
”bidannya” dapat membawa reformasi struktural dan sekaligus dapat memobilisasi aktivitas
kesenian sebagaimana kebutuhan bangsa kita. Sebab, salah satu tugas dalam peran berkesenian
adalah membawa kemerdekaan dan kebebasan kreativitas bagi umat manusia sebagai dasar
utama.
Tulang Punggung
Suatu dimensi baru, jika dalam pola kebijakan untuk meraih citra sebagai manusia Indonesia
dapat diwujudkan. Untuk hal tersebut, kebijakan menjadi bagian yang substansial sifatnya.
Bukan memberi penekanan pada konsep keorganisasian, sebagai bendera baru dalam praktik
kebebasan. Melainkan, bercermin pada kebutuhan manusia terhadap kebenaran, dan nilai-nilai
keadilan. Sehingga, kesenian dapat menjadi tulang punggung mempererat kehidupan yang lebih
tenang, teduh dan harmonis.
Dalam koridor menjalin kesatuan dan persatuan bangsa, dan mengangkat citra kehidupan
manusia Indonesia di mata dunia, perlu adanya upaya yang tangguh dan kokoh. Sebab, tanpa
upaya tersebut niscaya kita hanya mengenang masa silam dan mengubur masa depan dari
lahirnya sebuah peradaban. Dalam hal ini kita sebagai bangsa yang dikenal sangat menjunjung
tinggi nilai-nilai budaya, tentu tidak akan rela.
Namun demikian, gradasi budaya itu menukik tajam, dan dapat dirasakan sejak jatuhnya rezim
Soeharto. Meskipun, pada rezim kekuasaan Orde Baru bukan berarti tidak ada sama sekali
pelanggaran terhadap nilai-nilai kemanusiaan, justru karena terselubung dengan rapi maka
”borok” kemerosotan moral itu tidak begitu tampak. Tetapi, kini semuanya menjadi serba
terbuka dan menganga. Siapa pun punya hak dan kewajiban untuk menjadi ”pelaku” reformasi,
tidak sekadar jadi penonton. Itu sebabnya, tidaklah salah jika dalam memperbaiki kondisi
bangsa, kita juga proaktif dalam menyikapinya.
Tak dapat disangkal, jika kesenian merupakan kebutuhan dasar manusia secara kodrati dan unsur
pokok dalam pembangunan manusia Indonesia. Tanpa kesenian, manusia akan menjadi
kehilangan jati diri dan akal sehat. Sebab, kebutuhan manusia itu bukan hanya melangsungkan
hajat hidup semata, tetapi juga harus mengedepankan nilai-nilai etika dan estetika. Untuk
wujudkan manusia dewasa yang sadar akan arti pentingnya manusia berbudaya, obat penawar itu
barangkali adalah kesenian.
Unsur penciptaan manusia sebagai proses adalah konteks budaya. Dalam hal ini, apa yang
diimpikan Konosuke Matsushita dalam bukunya Pikiran Tentang Manusia menjadi dasar pijakan
kita, jika ingin menjadi manusia seutuhnya. Sebab, pada dasarnya manusia membawa
kebahagiaan dan mengajarkan pergaulan yang baik dan jika perlu memaafkan sesamanya.
Karena, dari sinilah dapat berkembang kesenian, kesusastraan, musik dan nilai-nilai moral.
Sehingga, pikiran manusia menjadi cerah dan jiwanya menjadi kaya.
Bertalian dengan konteks itu, Soeparmo dalam ceramahnya di depan pengurus daerah juga
mengatakan hal yang sama. Artinya, jika manusia sudah tidak mampu menjalankan tugas
kreativitasnya, maka manusia itu menjadi mandek dan mengesampingkan nilai-nilai
kemanusiaan.

Kondisi Semrawut
Carut marut kehidupan saat ini, semakin tumpang tindih. Persoalan bangsa menjadi bara api
yang sulit untuk dipadamkan. Kondisi sosial yang tidak lagi bersahabat, menjadikan manusia
makin kehilangan jati dirinya. Bahkan berbagai ramalan menatap masa depan bangsa, hanya
berisi pesimistis dan sinis. Jika kearifan yang dimiliki manusia semakin sempit dan terbatas,
barangkali kegelisahan sebagai anak bangsa semakin beralasan.
Potret sosial yang kini menjadi skenario massal masih menjadi tekanan dalam konteks berpolitik.
Akibatnya, pertarungan yang tidak pernah akan menyelesaikan masalah terus berjalan tanpa ada
”rem” nya. Dan itu dapat kita lihat secara kasat mata, pertunjukan ”dagelan” yang hanya untuk
memuaskan nafsu kekuasaan dan ingin menunjukkan kekuatan dalam menggalang massa.
Padahal, tugas sebagai manusia yang berbudaya senantiasa mengulurkan cinta kasih, perdamaian
dan menjaga harmoni kehidupan. Tetapi, kenyataannya sikap dan perilaku dalam potret masa
kini, nilai-nilai etika, norma-norma sosial, dan hukum moral menjadi ”haram” untuk dijadikan
landasan berpikir yang sehat. Bahkan, upaya untuk berani membohongi diri sendiri, adalah ciri-
ciri lenturnya nilai-nilai budaya.
Dimensi sosial semacam ini, Indonesia di mata dunia semakin menjadi bahan lelucon. Apalagi
yang harus dijadikan komoditi bangsa dari berbagai aspek kehidupan.

Bicara soal ekonomi, bangsa Indonesia sudah menggadaikan diri nasibnya pada IMF. Soal
politik, dianggap ”ludrukan” karena hanya sekadar entertainment. Dan lebih mengerikan lagi,
pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi di daerah-daerah membuat bingkai kemanusiaan
semakin tidak memiliki harga diri. Dan masih banyak persoalan seputar kita yang semakin
semrawut dan kehilangan konteks dalam pijakan untuk membangun manusia seutuhnya.
Jalan pintas melalui kesenian, barangkali masih bisa menjadi ”mediasi” silahturahmi di mata
dunia. Karena dalam pendekatan kesenian, estika, etika, dan hukum moral merupakan ekspresi
yang tidak pernah bicara soal kalah menang. Melainkan, dalam korelasi budaya pintu melalui
kesenian masih bisa dijadikan komoditi yang bisa dijadikan akses kepercayaan.
Apalagi dengan diberikannya kebebasan terhadap otonomi daerah, melalui undang-undang
No.22/1999 harus dipandang sebagai suatu masa pencerahan dalam pembangunan manusia
seutuhnya. Karena dengan otoritas yang ada, daerah dapat membangun wilayahnya dan
pengembangan terhadap kesenian tidak lagi dijadikan ”proyek” yang sentralistik di pusat,
Jakarta. Kebebasan akan hal ini, harus dijadikan peluang untuk membangun potensi yang ada.
Karena itu makna pembangunan, jangan hanya dilihat dari sukses dan tidaknya sarana jalan tol,
pasar swalayan, mal-mal atau bahkan tempat-tempat hiburan yang kini sedang ”menggoda” mata
budaya. Padahal ada hal yang lebih penting dari pesan Eric From dalam bukunya Manusia Bagi
Dirinya bahwa, ”Ketidakharmonisan eksistensi, manusia menimbulkan kebutuhan yang jauh
melebihi kebutuhan asli kebinatangannya. Kebutuhan-kebutuhan ini menimbulkan dorongan
yang memaksa untuk memperbaiki sebuah kesatuan dan keseimbangan antara dirinya dan bagian
alam.”
Jika demikian masalahnya, masihkah kita men-dewa-kan pembangunan dalam arti yang harafiah
sebagai lingkup keberadaan manusia. Sebab masih ada yang lebih substansial, pembangunan
manusia seutuhnya lewat kesenian adalah cermin bagi kepribadian bangsa. Ironis, selama ini kita
hanya terlena dalam memikirkan nasib bangsa dari sisi pembangunan perut semata. Akibatnya,
dari waktu ke waktu, kita hanya bisa merenungi peradaban baru yang membawa bangsa ini
semakin bodoh.

You might also like